Filsafat Akal Budi
Antara Pikiran, Kesadaran, dan Tubuh
Alihkan ke: Objek
Kajian Filsafat.
Kesadaran, Intensionalitas, Qualia, Kehendak Bebas, Konsep Diri dan Identitas Personal,
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif cabang
filsafat yang disebut filsafat akal budi (philosophy of mind), yang
membahas hakikat, struktur, dan fungsi pikiran serta hubungan antara kesadaran
dan tubuh fisik. Dimulai dari fondasi historisnya dalam pemikiran Yunani klasik
hingga perkembangan kontemporer yang melibatkan ilmu kognitif, psikologi, dan
kecerdasan buatan, artikel ini memaparkan keragaman pendekatan filosofis
terhadap isu-isu seperti kesadaran, intensionalitas, qualia, kehendak bebas,
serta identitas personal. Setiap pendekatan dikaji dari perspektif historis,
konseptual, dan aplikatif, sekaligus disertai refleksi terhadap tantangan-tantangan
kontemporer seperti reduksionisme, subjektivitas, serta dampak teknologi
terhadap makna diri dan tanggung jawab moral. Dengan menjalin dialog
interdisipliner dan mempertimbangkan kritik dari perspektif Timur maupun
posthumanis, artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat akal budi tetap merupakan
ranah refleksi yang esensial dalam memahami eksistensi manusia di tengah
kemajuan ilmu pengetahuan dan transformasi budaya global.
Kata Kunci: Filsafat akal budi, kesadaran, pikiran, tubuh,
qualia, intensionalitas, kehendak bebas, identitas personal, reduksionisme,
etika teknologi, kecerdasan buatan.
PEMBAHASAN
Menelusuri Filsafat Akal Budi
1.
Pendahuluan
Filsafat akal budi,
atau philosophy
of mind, merupakan salah satu cabang filsafat yang paling kompleks
dan fundamental dalam upayanya memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang
berpikir. Cabang ini menyoroti isu-isu sentral mengenai akal, kesadaran,
identitas personal, kehendak bebas, serta hubungan antara pikiran dan tubuh.
Dalam sejarah pemikiran Barat, persoalan ini telah menjadi perhatian para
filsuf sejak masa Yunani kuno. Plato, misalnya, mengemukakan adanya dualitas
antara dunia ide (yang rasional dan abadi) dengan dunia materi (yang berubah
dan fana), yang kelak memberi landasan bagi dualisme pikiran dan tubuh dalam
filsafat selanjutnya.¹
Perkembangan lebih
lanjut dalam filsafat modern membawa persoalan akal budi ke dalam kerangka yang
lebih sistematis. René Descartes, dalam Meditations on First Philosophy,
secara eksplisit membedakan substansi berpikir (res cogitans) dari substansi yang
terbentang secara fisik (res extensa), membentuk dasar dari
apa yang dikenal sebagai Cartesian Dualism.² Meskipun
pendekatan ini berpengaruh besar dalam sejarah filsafat, ia juga menimbulkan tantangan
serius, terutama dalam menjelaskan bagaimana dua substansi yang berbeda secara
ontologis dapat saling berinteraksi.
Masalah ini, yang
dikenal sebagai mind-body problem, tetap menjadi
inti perdebatan filsafat akal budi hingga kini. Seiring dengan kemajuan dalam
ilmu kognitif dan neurosains, muncul pula pendekatan-pendekatan baru yang
berusaha menafsirkan aktivitas mental dalam istilah biologis, material, atau
komputasional. Teori-teori seperti fisikalisme, fungsionalisme, dan
eliminativisme mencoba menjelaskan pikiran sebagai produk dari proses
neurofisiologis atau sistem informasi.³ Namun, pendekatan-pendekatan ini pun
tidak luput dari kritik, terutama dalam menjawab aspek subjektif dari
pengalaman manusia, seperti kesadaran fenomenal dan pengalaman batin (qualia).
Urgensi mengkaji
filsafat akal budi tidak hanya terletak pada signifikansinya secara teoretis,
melainkan juga pada dampaknya yang luas terhadap berbagai bidang, mulai dari
etika, hukum, psikologi, hingga teknologi, khususnya dalam perkembangan
kecerdasan buatan dan bioetika. Pemahaman tentang kesadaran, intensionalitas,
dan kehendak bebas memiliki implikasi langsung terhadap bagaimana kita memahami
tanggung jawab moral, hak individu, dan eksistensi manusia dalam era modern
yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan globalisasi nilai.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis persoalan-persoalan
pokok dalam filsafat akal budi, mulai dari fondasi historis, aliran-aliran
utama, hingga isu-isu kontemporer yang menantang batas antara filsafat dan ilmu
empirik. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman
menyeluruh tentang peran filsafat akal budi dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan esensial tentang diri, pikiran, dan dunia.
Footnotes
[1]
Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1977), 64a–69e.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.
[3]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind (Boulder: Westview Press,
2011), 86–102.
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Akal Budi
Filsafat akal budi,
atau yang sering dikenal sebagai philosophy of mind, adalah cabang
filsafat yang mengkaji hakikat pikiran, kesadaran, dan fenomena mental lainnya
serta hubungannya dengan tubuh fisik. Kajian ini tidak hanya berfokus pada
definisi dan struktur pikiran, melainkan juga mengeksplorasi
persoalan-persoalan kompleks seperti hubungan antara pikiran dan tubuh,
asal-usul kesadaran, serta bagaimana proses mental memengaruhi perilaku dan
pengalaman subjektif manusia.⁽¹⁾
2.1.
Definisi Filsafat Akal Budi
Secara umum,
filsafat akal budi didefinisikan sebagai usaha untuk memahami:
·
Hakikat
dan sifat pikiran
Bagaimana kita mendefinisikan “pikiran”
sebagai entitas yang memiliki kapasitas untuk merasakan, berpikir, dan
menghayati. Konsep kesadaran sering menjadi inti dari definisi ini karena
merupakan penanda utama dari pengalaman subjektif.⁽²⁾
·
Fungsi
dan peran mental
Meliputi analisis bagaimana proses-proses mental,
seperti persepsi, ingatan, dan penalaran, terjadi dan berkontribusi terhadap
interaksi manusia dengan lingkungan.⁽³⁾
·
Hubungan
antara pikiran dan tubuh
Memeriksa bagaimana pikiran yang bersifat
non-fisik bisa berhubungan, bahkan berinteraksi, dengan tubuh yang bersifat materi.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Bagaimana pikiran dapat mengubah keadaan
fisik?” menjadi pusat perdebatan klasik yang dikenal sebagai mind-body
problem.⁽⁴⁾
2.2.
Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup kajian
filsafat akal budi meluas ke beberapa dimensi berikut:
1)
Ontologi Pikiran:
Kajian yang mengeksplorasi apakah pikiran itu
bersifat material atau non-material. Di sini muncul berbagai perspektif seperti
dualisme (contohnya, pandangan René Descartes yang memisahkan pikiran dan tubuh
secara ontologis) dan fisikalisme (yang menganggap semua fenomena mental
sebagai hasil dari proses fisik dalam otak).⁽⁵⁾
2)
Epistemologi dan
Metodologi:
Kajian ini mempertanyakan bagaimana kita dapat
mengetahui atau memahami fenomena mental. Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan
pengalaman subjektif (qualia) dan kesadaran fenomenologis menjadi fokus dalam
upaya menghubungkan data empiris (misalnya, temuan neurosains) dengan teori
filosofis mengenai pikiran.⁽⁶⁾
3)
Fungsi Kognitif dan
Proses Mental:
Pada aspek ini, filsafat akal budi juga menghubungkan
konsep-konsep tradisional dengan temuan terbaru dalam ilmu kognitif dan
psikologi. Misalnya, teori-teori seperti fungsionalisme berusaha menggambarkan
pikiran melalui fungsi dan mekanisme komputasional yang meniru sistem informasi
dalam otak.⁽⁷⁾
4)
Implikasi Etis dan
Sosial:
Pembahasan mengenai akal budi tidak terlepas dari
implikasinya terhadap pemahaman tentang kehendak bebas, tanggung jawab moral,
dan hak asasi manusia. Pemahaman tentang bagaimana pikiran bekerja menjadi
dasar argumentasi dalam bidang etika, terutama ketika mempertimbangkan
implikasi kecerdasan buatan (AI) dan bioetika.⁽⁸⁾
2.3.
Pendekatan Multidisipliner
Filsafat akal budi
tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi dengan berbagai disiplin
ilmu lain, seperti:
·
Ilmu
Saraf (Neurosains):
Memberikan data empiris mengenai aktivitas otak
yang membantu menginformasikan teori-teori tentang kesadaran dan proses mental.
·
Psikologi:
Menyelidiki bagaimana proses kognitif
mempengaruhi perilaku dan pengalaman subjektif.
·
Kecerdasan
Buatan:
Mendorong pertanyaan tentang apakah mesin dapat
memiliki kesadaran atau bentuk “pikiran” yang serupa dengan manusia.⁽⁹⁾
Pendekatan
multidisipliner ini menegaskan bahwa pemahaman terhadap pikiran dan kesadaran
tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga praktis dan aplikatif dalam
kehidupan sehari-hari serta dalam berbagai inovasi teknologi dan kebijakan
etis.
Footnotes
[1]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–12.
[2]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind (Boulder: Westview Press,
2011), 27–31.
[3]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 45–50.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–62.
[5]
Patricia and Paul Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified
Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 79–85.
[6]
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the
Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 18–24.
[7]
Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Philosophy of Mind,
edited by F. Jackson and S. Stich (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 170–196.
[8]
John Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT
Press, 1992), 112–117.
[9]
Marvin Minsky, The Society of Mind (New York: Simon &
Schuster, 1986), 142–147.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pemikiran tentang Akal
Budi
Pemikiran tentang
akal budi memiliki akar yang sangat panjang dalam sejarah filsafat,
mencerminkan pergulatan manusia untuk memahami dirinya sendiri sebagai makhluk
berpikir dan sadar. Dari zaman Yunani kuno hingga era postmodern, diskursus
mengenai pikiran, kesadaran, dan tubuh telah mengalami transformasi
paradigmatik yang signifikan. Pemahaman historis ini penting sebagai fondasi
untuk menelusuri perkembangan konseptual dan metodologis dalam filsafat akal
budi kontemporer.
3.1.
Masa Klasik: Filsafat Yunani
Filsafat akal budi
bermula dari perenungan metafisik dan etis dalam filsafat Yunani. Plato, dalam Phaedo
dan Republic,
menekankan dualitas antara jiwa (psyche) dan tubuh. Jiwa, menurutnya, adalah
entitas abadi yang mampu mengakses dunia ide, sementara tubuh adalah sumber
kesementaraan dan ketidaksempurnaan.¹ Pandangan ini menempatkan jiwa sebagai
inti dari identitas dan akal budi manusia.
Aristoteles, murid
Plato, menawarkan pendekatan yang lebih naturalistik. Dalam karyanya De Anima,
ia menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk dari tubuh yang hidup, sehingga tidak
bisa dipisahkan secara mutlak.² Jiwa, menurutnya, memiliki fungsi-fungsi
seperti persepsi, gerak, dan berpikir, yang semuanya menunjukkan keberfungsian
akal budi dalam kerangka biologis.
3.2.
Masa Pertengahan: Sintesis Teologis dan
Filsafat Islam
Pemikiran akal budi
pada Abad Pertengahan ditandai oleh sintesis antara filsafat Yunani dengan
teologi monoteistik. Augustinus dari Hippo, misalnya, mengintegrasikan ajaran
Kristiani dengan elemen Platonik. Ia memandang akal sebagai instrumen ilahi
dalam jiwa manusia untuk mengenal kebenaran.³
Di dunia Islam,
filsuf seperti Ibn Sina (Avicenna) memberikan sumbangan besar dalam teori akal.
Dalam Kitab
al-Najat, Ibn Sina membedakan antara akal potensial (‘aql bi
al-quwwah), akal aktual (‘aql bi al-fi‘l), dan akal mustafad
(akal yang diperoleh), menunjukkan proses bertahap dalam aktualisasi akal
manusia menuju kesempurnaan intelektual.⁴
Thomas Aquinas
kemudian mengembangkan sintesis Aristotelian dan Kristiani. Ia menegaskan bahwa
akal manusia adalah potensi rasional yang diciptakan Tuhan, dan walau terkait
erat dengan tubuh, jiwa tetap bersifat spiritual dan abadi.⁵
3.3.
Masa Modern: Dualisme dan Revolusi Metodologis
Era modern dimulai
dengan René Descartes, yang mendefinisikan manusia sebagai res
cogitans—substansi berpikir yang berbeda secara esensial dari res
extensa, yaitu tubuh fisik.⁶ Dualisme Descartes ini memberi
dorongan kuat bagi perdebatan filsafat akal budi, khususnya masalah interaksi
antara dua substansi tersebut.
Tokoh-tokoh lain
seperti John Locke dan David Hume memberikan perspektif empiris terhadap
pikiran. Locke memahami pikiran sebagai “tabula rasa” yang terisi oleh
pengalaman, sementara Hume meragukan eksistensi diri yang tetap dan menekankan
aliran persepsi sebagai dasar dari kesadaran.⁷⁻⁸
Di akhir abad ke-18,
Immanuel Kant memberikan sintesis baru: akal budi tidak sekadar pasif menerima
kesan, tetapi aktif membentuk pengalaman melalui kategori-kategori a priori.⁹
Pandangan Kant membuka jalan bagi pemahaman pikiran sebagai struktur
transendental yang memungkinkan pengetahuan.
3.4.
Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20: Transisi ke
Sains dan Fenomenologi
Pada abad ke-19,
perhatian terhadap psikologi dan biologi mulai meningkat. Wilhelm Wundt
mendirikan psikologi eksperimental, sementara William James menekankan
kesadaran sebagai stream of consciousness—kesadaran
yang mengalir dan bukan sesuatu yang tetap.¹⁰
Sementara itu,
Edmund Husserl memperkenalkan fenomenologi sebagai metode untuk menyelidiki
struktur kesadaran secara langsung, tanpa reduksi terhadap proses fisik.
Husserl menekankan intensionalitas—sifat pikiran yang selalu tertuju pada
sesuatu—sebagai ciri mendasar pengalaman mental.¹¹
3.5.
Filsafat Kontemporer: Materialisme,
Fungsionalisme, dan Krisis Reduksionisme
Pada paruh kedua
abad ke-20, filsafat akal budi mengalami ledakan pendekatan analitik yang
dipengaruhi oleh perkembangan neurosains dan ilmu komputer. Materialisme
identitas menyatakan bahwa keadaan mental identik dengan keadaan otak
tertentu.¹² Namun pendekatan ini ditantang oleh keberadaan qualia
dan pengalaman subjektif yang tidak mudah direduksi ke dalam kerangka biologis.
Sebagai alternatif,
fungsionalisme menawarkan pemahaman bahwa keadaan mental ditentukan oleh fungsi
kausalnya, bukan oleh substrat fisiknya.¹³ Filsafat pikiran pun berkembang ke
arah interdisipliner, dengan keterlibatan kecerdasan buatan, kognisi
terdistribusi, dan bahkan filsafat budi dari perspektif Timur yang menekankan no-self
dan kehampaan (misalnya dalam Buddhisme).¹⁴
Footnotes
[1]
Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing,
1977), 64a–69e.
[2]
Aristotle, De Anima, trans. J.A. Smith (New York: Oxford
University Press, 1931), II.1–III.7.
[3]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book X.
[4]
Ibn Sina, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 277–290.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 75, a. 2.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.
[7]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.1.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1960), I.iv.6.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A83/B116.
[10]
William James, The Principles of Psychology (New York: Henry
Holt, 1890), 224–225.
[11]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J.N. Findlay
(London: Routledge, 2001), vol. 2, Investigation V.
[12]
J.J.C. Smart, “Sensations and Brain Processes,” The Philosophical
Review 68, no. 2 (1959): 141–156.
[13]
Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Philosophy of Mind,
ed. F. Jackson and S. Stich (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 170–196.
[14]
Evan Thompson, Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in
Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University
Press, 2014), 47–74.
4.
Problematika Utama dalam Filsafat Akal Budi
Filsafat akal budi
berurusan dengan sejumlah persoalan fundamental yang telah menjadi subjek
perdebatan intens sejak zaman kuno hingga kontemporer. Problematika ini tidak
hanya bersifat metafisik dan epistemologis, tetapi juga berimplikasi etis dan
ilmiah. Beberapa masalah pokok yang menonjol dalam diskursus ini antara lain
adalah persoalan hubungan antara pikiran dan tubuh, kesadaran, pengalaman
subjektif (qualia), serta identitas dan kehendak bebas. Setiap masalah ini
melibatkan pertanyaan mendasar tentang hakikat eksistensi manusia dan
batasan-batasan pemahaman kita terhadapnya.
4.1.
Masalah Pikiran dan Tubuh (Mind-Body Problem)
Salah satu
permasalahan klasik dalam filsafat akal budi adalah bagaimana menjelaskan
hubungan antara entitas mental dan entitas fisik. Masalah ini, dikenal sebagai mind-body
problem, secara garis besar mempertanyakan bagaimana keadaan mental
seperti pikiran, niat, dan perasaan bisa memengaruhi atau dipengaruhi oleh
keadaan fisik tubuh, khususnya otak.¹
René Descartes
adalah tokoh sentral yang memformulasikan versi modern dari masalah ini melalui
dualisme substansial, yakni pemisahan ontologis antara res
cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang
terbentang/fisik).² Meskipun pandangan ini membuka jalan bagi pengakuan
terhadap aspek non-material manusia, ia menyisakan pertanyaan besar tentang
mekanisme interaksi kausal antara dua substansi tersebut.
Sebagai tanggapan,
pendekatan monistik seperti fisikalisme berusaha mereduksi seluruh fenomena
mental ke dalam fenomena fisik. Namun, pendekatan ini pun menghadapi tantangan
dalam menjelaskan bagaimana aktivitas neural bisa melahirkan pengalaman
subjektif.³
4.2.
Masalah Kesadaran (The Problem of
Consciousness)
Masalah kesadaran (consciousness
problem) dianggap sebagai “masalah keras” (the hard
problem) oleh David Chalmers, karena menyangkut bagaimana dan
mengapa proses fisik di otak menghasilkan pengalaman subjektif yang kaya dan
bermakna.⁴ Kesadaran fenomenal, yaitu kesadaran akan “apa rasanya” mengalami
sesuatu, sulit dijelaskan secara fungsional atau neurobiologis.
Berbagai pendekatan
telah dikembangkan untuk menjawabnya, termasuk teori identitas (yang menyamakan
keadaan mental dengan keadaan otak), fungsionalisme, dan pendekatan
neurofenomenologis. Namun belum ada konsensus filosofis atau ilmiah yang mampu
memberikan jawaban memadai terhadap persoalan mengapa kesadaran muncul dari
substrat fisik.⁵
4.3.
Masalah Qualia dan Pengalaman Subjektif
Qualia
merujuk pada kualitas subjektif dari pengalaman mental, seperti rasa sakit,
warna merah, atau rasa manis. Thomas Nagel dalam esainya yang terkenal What Is
It Like to Be a Bat? menyatakan bahwa pengalaman batiniah semacam
itu tidak dapat diakses secara objektif atau dijelaskan hanya melalui
pendekatan fisik.⁶
Argumen ini
memperkuat posisi bahwa ada sesuatu dalam pengalaman manusia yang tidak bisa
direduksi ke dalam istilah-istilah fisik atau komputasional. Frank Jackson,
melalui knowledge
argument-nya, juga menyatakan bahwa seseorang bisa mengetahui semua
fakta fisik tentang warna, namun tetap tidak mengetahui bagaimana rasanya
melihat warna tersebut sampai ia mengalaminya sendiri.⁷
4.4.
Masalah Identitas Personal dan Kontinuitas Diri
Filsafat akal budi
juga menghadapi persoalan identitas personal, yakni bagaimana seseorang tetap
menjadi “diri yang sama” meskipun mengalami perubahan biologis dan
psikologis sepanjang waktu. John Locke menekankan pentingnya kontinuitas memori
sebagai dasar dari identitas personal.⁸ Namun pendekatan ini menuai kritik
karena memori dapat bersifat tidak stabil atau keliru.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti: Apakah kita masih menjadi orang yang sama setelah amnesia? Apakah
pemindahan pikiran ke tubuh lain (seperti dalam fiksi ilmiah) mempertahankan
identitas?—merupakan problem-problem filosofis yang masih terbuka untuk
dijawab.
4.5.
Masalah Kehendak Bebas dan Determinisme
Masalah kehendak bebas berhubungan dengan pertanyaan apakah manusia benar-benar memiliki kontrol
atas pilihannya, ataukah semua tindakan sudah ditentukan oleh kondisi
neurofisiologis sebelumnya. Dalam filsafat akal budi, ini berkaitan langsung
dengan status kausal dari pikiran terhadap tindakan.
Daniel Dennett
mengajukan model kehendak bebas yang kompatibel dengan determinisme (compatibilism),
sedangkan filsuf lain seperti Galen Strawson menilai bahwa kehendak bebas
sejati adalah ilusi logis.⁹ Perdebatan ini tidak hanya bersifat metafisik,
tetapi juga berdampak pada moralitas, hukum, dan tanggung jawab individu.
Kesimpulan Sementara
Permasalahan-permasalahan
utama dalam filsafat akal budi memperlihatkan bahwa upaya memahami pikiran
tidak sekadar persoalan saintifik, melainkan menyangkut aspek eksistensial dan
etis manusia. Setiap pendekatan filosofis yang ditawarkan memiliki kekuatan dan
keterbatasan, mencerminkan kompleksitas dari usaha memahami apa artinya
“menjadi sadar” dan “menjadi manusia”.
Footnotes
[1]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview
Press, 2011), 5–10.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.
[3]
Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of
the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 305–310.
[4]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), xi–xiv.
[5]
Thomas Metzinger, Being No One: The Self-Model Theory of
Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 55–70.
[6]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[7]
Frank Jackson, “Epiphenomenal Qualia,” The Philosophical Quarterly
32, no. 127 (1982): 127–136.
[8]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.27.
[9]
Galen Strawson, “The Impossibility of Moral Responsibility,” Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
5.
Aliran dan Pendekatan dalam Filsafat Akal Budi
Seiring
berkembangnya kajian mengenai hakikat pikiran, kesadaran, dan hubungan antara
akal dan tubuh, para filsuf mengembangkan beragam aliran dan pendekatan
teoritis dalam filsafat akal budi. Setiap aliran berusaha menjawab pertanyaan
mendasar dengan landasan ontologis, epistemologis, dan metodologis yang
berbeda-beda. Beberapa pendekatan berikut menjadi pilar utama dalam diskursus
modern dan kontemporer.
5.1.
Dualisme (Dualism)
Dualisme
adalah pandangan bahwa pikiran dan tubuh merupakan dua substansi atau entitas
yang berbeda secara esensial. Gagasan ini paling terkenal dikembangkan oleh
René Descartes, yang membedakan res cogitans (substansi berpikir)
dari res
extensa (substansi fisik).¹
Meski memberikan
tempat bagi pengalaman subjektif dan kesadaran sebagai entitas non-material,
dualisme menghadapi kritik serius terkait problem interaksi—yakni bagaimana
dua substansi yang berbeda secara ontologis dapat saling memengaruhi.² Variasi
dualisme lainnya termasuk dualisme properti (property
dualism), yang mengakui hanya satu substansi fisik, tetapi menambahkan bahwa
pikiran memiliki sifat-sifat khusus yang tidak dapat direduksi.³
5.2.
Materialisme dan Fisikalisme (Materialism and
Physicalism)
Sebagai respons
terhadap problematika dualisme, materialisme (atau fisikalisme)
menyatakan bahwa semua yang ada, termasuk pikiran, pada dasarnya bersifat
fisik. Salah satu varian awal adalah teori identitas (identity theory),
yang menyatakan bahwa setiap keadaan mental identik dengan keadaan otak
tertentu.⁴
Namun, pendekatan
ini menghadapi kesulitan menjelaskan aspek-aspek seperti qualia
dan pengalaman subjektif. Oleh karena itu, muncul pendekatan reduktionistik
dan eliminativistik
yang lebih radikal, seperti yang dikemukakan oleh Paul dan Patricia Churchland.
Mereka mengusulkan bahwa konsep-konsep mental tradisional seperti niat dan
kepercayaan adalah “teori rakyat” (folk psychology) yang pada akhirnya
harus digantikan oleh istilah-istilah neurobiologis.⁵
5.3.
Behaviorisme (Behaviorism)
Behaviorisme
berupaya menghindari spekulasi metafisik tentang pikiran dengan mendefinisikan
keadaan mental sepenuhnya dalam hal perilaku atau kecenderungan untuk
bertindak. Tokoh-tokoh seperti Gilbert Ryle dan B.F. Skinner menolak pandangan
dualistik, dengan menyebut ide "pikiran sebagai substansi"
sebagai category
mistake.⁶
Meski berhasil
menjelaskan aspek-aspek eksternal dari perilaku, behaviorisme dikritik karena
gagal menangkap dimensi batiniah dan kesadaran introspektif, terutama karena ia
menolak adanya pengalaman subjektif sebagai bagian sah dari kajian ilmiah.⁷
5.4.
Fungsionalisme (Functionalism)
Fungsionalisme
muncul sebagai pendekatan yang mempertahankan kekuatan behaviorisme dalam menganalisis
input-output, namun mengakui bahwa keadaan mental bergantung pada fungsi atau
peran kausalnya, bukan pada substrat fisiknya.⁸
Hilary Putnam dan
Jerry Fodor mengembangkan pendekatan ini dengan membandingkan pikiran dengan
perangkat lunak (software) dan otak sebagai
perangkat keras (hardware), membuka jalan bagi
kajian dalam kecerdasan buatan dan ilmu kognitif.⁹ Namun, fungsionalisme tetap
menghadapi tantangan serius dari argumen qualia seperti dalam eksperimen
pemikiran “Chinese Room” oleh John Searle.¹⁰
5.5.
Fenomenologi dan Intentionalitas
Pendekatan fenomenologis, yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan oleh
Maurice Merleau-Ponty, menempatkan pengalaman kesadaran langsung
sebagai titik tolak analisis. Husserl mengembangkan konsep intensionalitas,
yakni bahwa kesadaran selalu “tentang sesuatu”.¹¹
Fenomenologi tidak
hanya menyoroti struktur batin kesadaran, tetapi juga bagaimana tubuh sebagai lived
body menjadi medium utama dalam menjembatani subjektivitas dan
dunia objektif.¹² Pendekatan ini menghindari reduksionisme dan memulihkan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan filosofis yang sah.
5.6.
Konstruktivisme dan Kritik Postmodern
Dalam lanskap
filsafat kontemporer, muncul juga pendekatan yang menolak klaim-klaim objektif
tentang pikiran, terutama dari perspektif postmodern dan konstruktivis.
Tokoh seperti Michel Foucault menyoroti bagaimana wacana tentang pikiran dan
tubuh terbentuk melalui relasi kekuasaan dan konstruksi sosial.¹³
Dalam pendekatan
ini, akal budi tidak dilihat sebagai entitas tetap, melainkan sebagai produk
dari kondisi historis dan sosial tertentu. Walaupun tidak selalu menjawab
persoalan metafisik, pendekatan ini menantang asumsi dasar dari filsafat
tradisional dan membuka ruang baru bagi analisis kritis terhadap institusi-institusi
yang mendefinisikan pikiran dan kesadaran.
Kesimpulan Sementara
Setiap pendekatan
dalam filsafat akal budi membawa kekuatan, kelemahan, dan implikasinya
masing-masing. Baik dualisme yang menggarisbawahi pengalaman batin, fisikalisme
yang bertumpu pada sains, behaviorisme yang fokus pada perilaku, fungsionalisme
yang kompatibel dengan teknologi, fenomenologi yang menekankan pengalaman
subjektif, maupun konstruktivisme yang kritis terhadap struktur sosial—semuanya
memperlihatkan kompleksitas dan keberagaman cara memahami akal budi manusia.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.
[2]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview
Press, 2011), 32–35.
[3]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 123–128.
[4]
J.J.C. Smart, “Sensations and Brain Processes,” The Philosophical
Review 68, no. 2 (1959): 141–156.
[5]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 43–56.
[6]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
11–23.
[7]
Ned Block, “Troubles with Functionalism,” in Readings in Philosophy
of Psychology, vol. 1, ed. Ned Block (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1980), 268–286.
[8]
Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Mind, Language and
Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 429–440.
[9]
Jerry Fodor, The Language of Thought (New York: Thomas Crowell,
1975), 27–38.
[10]
John Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[11]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983),
193–201.
[12]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 98–110.
[13]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 24–30.
6.
Konsep-Konsep Kunci dalam Filsafat Akal Budi
Filsafat akal budi
mengkaji beragam konsep sentral yang menjadi fondasi dalam memahami hakikat
pikiran dan kesadaran. Konsep-konsep ini bukan hanya menjadi alat analitis
untuk menyusun teori-teori filsafat, tetapi juga mencerminkan kompleksitas
pengalaman manusia yang tidak mudah direduksi ke dalam istilah ilmiah atau
material. Di antara konsep-konsep yang paling penting adalah kesadaran,
intensionalitas,
qualia,
dan kehendak bebas. Setiap konsep ini memiliki beban filosofis yang besar
dan menjadi titik sentral dalam perdebatan lintas aliran.
6.1.
Kesadaran (Consciousness)
Kesadaran adalah
fenomena di mana seseorang mengalami keadaan mental, baik secara reflektif
maupun fenomenal. David Chalmers membedakan antara “masalah
mudah” (easy problems) kesadaran—seperti penjelasan perilaku
atau fungsi neurobiologis—dan “masalah sulit” (hard problem),
yaitu mengapa dan bagaimana pengalaman subjektif muncul dari aktivitas otak.¹
Dalam kajian
fenomenologis, kesadaran dipandang sebagai struktur intensional, yakni selalu
tertuju pada objek atau isi tertentu.² Sementara dalam pendekatan
neurofisiologis, kesadaran sering dikaitkan dengan keterlibatan sistem saraf
pusat dan aktivitas otak, namun hal ini belum mampu menjelaskan aspek subjektif
atau kualitas pengalaman secara utuh.³
6.2.
Intensionalitas (Intentionality)
Konsep
intensionalitas pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Franz Brentano,
yang menyatakan bahwa “setiap fenomena mental mengandung intensionalitas,”
yaitu kebermaknaan terhadap sesuatu di luar dirinya.⁴ Edmund Husserl kemudian
mengembangkan hal ini menjadi basis bagi seluruh struktur kesadaran, dengan
menunjukkan bahwa kesadaran tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu dalam
relasi dengan objeknya.⁵
Intensionalitas
menjadi aspek mendasar yang membedakan keadaan mental dari fenomena fisik.
Sementara objek fisik bisa eksis secara independen, keadaan mental selalu
memiliki "arah" atau keterarahan terhadap isi, gagasan, atau
representasi tertentu, baik yang nyata maupun imajiner.⁶
6.3.
Qualia dan Pengalaman Subjektif
Qualia
merujuk pada kualitas khas dari pengalaman subjektif, seperti "rasa"
melihat merah atau "rasa" sakit. Istilah ini sering digunakan
dalam konteks argumentasi melawan reduksionisme fisikalis, karena tidak mudah
menjelaskan bagaimana sifat-sifat ini dapat direduksi menjadi deskripsi fisik.⁷
Contoh klasik adalah
eksperimen pemikiran Frank Jackson tentang “Mary’s Room,” di mana
seorang ilmuwan mengetahui semua fakta fisik tentang warna, tetapi tetap tidak
tahu bagaimana rasanya melihat warna merah sampai
ia benar-benar mengalaminya.⁸ Qualia menjadi tantangan besar bagi teori-teori
materialistik yang menolak entitas mental non-fisik.
6.4.
Kehendak Bebas dan Determinisme (Free Will and
Determinism)
Kehendak bebas
adalah gagasan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk membuat keputusan secara
otonom, tidak sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab fisik atau kondisi
sebelumnya. Dalam filsafat akal budi, ini menimbulkan pertanyaan apakah pikiran
dapat menjadi sebab yang independen dari mekanisme deterministik otak.⁹
Beberapa pendekatan
seperti kompatibilisme berusaha
menyatukan kehendak bebas dengan determinisme, seperti yang dikemukakan oleh
Daniel Dennett.¹⁰ Di sisi lain, pendekatan libertarian menekankan bahwa kebebasan
moral mengandaikan adanya kapasitas untuk bertindak sebaliknya dari yang
dilakukan. Diskursus ini penting, karena menyentuh isu moral, hukum, dan
tanggung jawab individu.
6.5.
Diri dan Identitas Personal (The Self and
Personal Identity)
Konsep diri
dan identitas personal mengacu pada pertanyaan filosofis tentang “siapakah
saya” dan “apa yang membuat saya tetap saya dari waktu ke waktu.”
John Locke mengemukakan bahwa kontinuitas memori adalah dasar dari identitas
personal.¹¹ Namun pendekatan ini menuai tantangan dari kasus-kasus hilangnya
ingatan atau gangguan identitas.
Dalam pendekatan
Buddhis dan beberapa versi fenomenologi kontemporer, ide tentang “diri”
dipandang sebagai konstruksi, bukan substansi tetap.¹² Thomas Metzinger,
misalnya, berargumen bahwa diri adalah representasi neuropsikologis yang
dibentuk oleh sistem otak, bukan entitas metafisik yang berdiri sendiri.¹³
Kesimpulan Sementara
Konsep-konsep kunci
dalam filsafat akal budi membentuk kerangka konseptual yang sangat penting
untuk menganalisis pikiran, kesadaran, dan tubuh. Meskipun tidak semua konsep
dapat dijelaskan secara definitif, perdebatan tentang mereka mendorong kemajuan
dalam pemahaman kita mengenai eksistensi manusia. Kajian-kajian kontemporer
juga menunjukkan perlunya pendekatan interdisipliner untuk menjawab persoalan
yang semakin kompleks ini.
Footnotes
[1]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–10.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer
Academic, 1983), 66–72.
[3]
Patricia Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 102–108.
[4]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint,
trans. Antos C. Rancurello et al. (London: Routledge, 1995), 88–91.
[5]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 146–152.
[6]
John Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–12.
[7]
Ned Block, “Troubles with Functionalism,” in Readings in Philosophy
of Psychology, vol. 1, ed. Ned Block (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1980), 268–286.
[8]
Frank Jackson, “Epiphenomenal Qualia,” The Philosophical Quarterly
32, no. 127 (1982): 127–136.
[9]
Galen Strawson, “The Impossibility of Moral Responsibility,” Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[10]
Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
1–25.
[11]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.27.9–15.
[12]
Evan Thompson, Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in
Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University
Press, 2014), 55–62.
[13]
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the
Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 1–23.
7.
Dialog Antardisipliner: Filsafat, Psikologi,
dan Ilmu Kognitif
Filsafat akal budi
tidak lagi menjadi ranah eksklusif para filsuf metafisik. Dalam perkembangannya,
bidang ini menjalin hubungan yang semakin erat dengan disiplin ilmu lain,
terutama psikologi dan ilmu kognitif, serta cabang-cabang baru seperti neurosains
dan kecerdasan
buatan (AI). Interaksi antardisipliner ini memperkaya pemahaman
tentang pikiran dan kesadaran, serta memperluas ruang investigasi dari
perenungan spekulatif menjadi analisis empiris dan komputasional. Namun
demikian, sinergi ini juga menimbulkan tantangan metodologis dan konseptual
yang membutuhkan kehati-hatian dalam integrasi teori.
7.1.
Kolaborasi Filsafat dan Psikologi
Hubungan antara
filsafat dan psikologi telah berlangsung sejak awal kemunculan psikologi
sebagai ilmu. Tokoh seperti Wilhelm Wundt dan William James berada di garis
depan pembentukan psikologi eksperimental, sembari tetap mempertahankan
keterikatan dengan refleksi filosofis.¹ James, dalam The
Principles of Psychology, menyebut kesadaran sebagai “arus
pikiran” (stream of consciousness),
menekankan aspek dinamis dan subjektif yang sukar direduksi menjadi rangkaian
rangsangan dan respons.²
Di sisi lain,
filsafat memberikan kerangka konseptual dan analitis untuk memahami
istilah-istilah kunci dalam psikologi, seperti persepsi, ingatan, niat, dan
emosi. Tanpa kejelasan konseptual, psikologi rentan terjebak pada pendekatan
empiris yang dangkal dan fragmentaris.³ Oleh karena itu, banyak psikolog
kognitif seperti George A. Miller dan Ulric Neisser mengakui pentingnya
kontribusi filsafat dalam memperkuat fondasi teoritis dan refleksi kritis atas
data empirik.⁴
7.2.
Ilmu Kognitif dan Evolusi Studi Pikiran
Ilmu kognitif
sebagai bidang interdisipliner mencakup psikologi, linguistik, antropologi,
ilmu komputer, dan filsafat. Fokusnya adalah bagaimana sistem (baik biologis
maupun buatan) memperoleh, menyimpan, memproses, dan menggunakan informasi.
Filsafat akal budi memberikan kontribusi signifikan dalam aspek definisional,
metodologis,
dan evaluatif
dari teori-teori kognisi.⁵
Sebagai contoh, fungsionalisme,
yang berakar dari filsafat, menjadi landasan bagi teori komputasional
tentang pikiran (computational theory of mind), yang menyamakan
pikiran dengan perangkat lunak yang dijalankan oleh “perangkat keras”
otak.⁶ Pandangan ini memungkinkan para ilmuwan kognitif untuk mengembangkan
model pemrosesan informasi dalam bentuk simulasi komputer, seperti jaringan
saraf tiruan (neural networks) dan algoritma
pembelajaran mesin.⁷
Namun demikian,
pendekatan komputasional menghadapi kritik dari filsuf seperti John Searle
melalui eksperimen pemikiran Chinese Room, yang menegaskan bahwa
manipulasi simbol tidak sama dengan memahami arti—artinya, simulasi pemrosesan
informasi belum tentu disertai kesadaran.⁸
7.3.
Neurosains dan Pemetaan Aktivitas Mental
Perkembangan dalam neurosains
telah mendorong eksplorasi empiris terhadap korelasi antara struktur otak dan
fungsi-fungsi mental. Teknologi seperti fMRI dan EEG memungkinkan para peneliti
untuk memetakan area otak yang aktif selama aktivitas tertentu seperti
pengambilan keputusan, meditasi, atau pengalaman emosi.⁹
Filsafat berperan
penting dalam menafsirkan temuan-temuan ini agar tidak terjebak dalam reduksionisme
biologis. Misalnya, Thomas Metzinger menyatakan bahwa self
adalah konstruksi representasional dari otak yang kompleks, namun ia tetap
mempertahankan pentingnya kajian fenomenologis terhadap pengalaman subyektif.¹⁰
Tanpa filsafat, neurosains bisa tergelincir ke dalam determinisme yang
menafikan aspek normatif dari kesadaran dan tanggung jawab moral.
7.4.
Kecerdasan Buatan dan Etika Mesin Berpikir
Kemajuan dalam
bidang AI
dan pembelajaran mesin telah menghidupkan kembali perdebatan filosofis tentang
apakah mesin dapat berpikir, memahami, atau bahkan menjadi sadar. Konsep
seperti kesadaran mesin, kognisi
buatan, dan agensi non-manusia menjadi
bagian dari diskursus filsafat kontemporer.¹¹
Filsafat akal budi
memainkan peran sentral dalam mengklarifikasi syarat-syarat ontologis dan
epistemologis bagi pikiran. Misalnya, apa kriteria yang harus dipenuhi agar
sistem dikatakan “memiliki pikiran”? Apakah chatbot yang lulus Turing Test
benar-benar memahami bahasa, atau hanya meniru kemampuan linguistik manusia?¹²
Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong pengembangan etika AI dan regulasi
teknologi berdasarkan pemahaman filosofis tentang kesadaran, niat, dan tanggung
jawab.
Kesimpulan Sementara
Dialog antara
filsafat, psikologi, dan ilmu kognitif memperlihatkan bahwa pemahaman tentang
akal budi tidak dapat dibatasi dalam satu disiplin saja. Filsafat memberikan
kerangka konseptual dan refleksi kritis, psikologi menyediakan data perilaku
dan afektif, sementara ilmu kognitif dan neurosains menghadirkan bukti empiris
yang memperkaya peta kerja pikiran. Kolaborasi antardisipliner ini sangat
penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang hakikat kesadaran,
identitas diri, dan kecerdasan, baik alami maupun buatan.
Footnotes
[1]
Georges D. V. Smith, “Philosophy and Psychology: Partners in
Understanding the Mind,” Journal of Mind and Behavior 20, no. 4
(1999): 343–354.
[2]
William James, The Principles of Psychology (New York: Henry
Holt, 1890), 224–225.
[3]
Patricia Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 1–20.
[4]
George A. Miller, “The Cognitive Revolution: A Historical Perspective,”
Trends in Cognitive Sciences 7, no. 3 (2003): 141–144.
[5]
Howard Gardner, The Mind’s New Science: A History of the Cognitive
Revolution (New York: Basic Books, 1985), 15–30.
[6]
Hilary Putnam, “The Nature of Mental States,” in Mind, Language and
Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 429–440.
[7]
Paul Thagard, Mind: Introduction to Cognitive Science, 2nd ed.
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 53–68.
[8]
John Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[9]
Michael S. Gazzaniga, The Ethical Brain (New York: Dana Press,
2005), 42–58.
[10]
Thomas Metzinger, Being No One: The Self-Model Theory of
Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 29–51.
[11]
Margaret A. Boden, Mind as Machine: A History of Cognitive Science
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 273–299.
[12]
Alan Turing, “Computing Machinery and Intelligence,” Mind 59,
no. 236 (1950): 433–460.
8.
Isu-Isu Kontemporer dan Aplikasi Etis
Dalam konteks abad
ke-21, filsafat akal budi tidak lagi menjadi domain eksklusif diskusi akademik
semata, tetapi telah memasuki ranah publik dan kebijakan. Kemajuan pesat dalam
ilmu saraf, kecerdasan buatan, dan teknologi informasi menimbulkan sejumlah isu
etis dan eksistensial yang menuntut respons filosofis yang cermat. Isu-isu
kontemporer yang menonjol antara lain adalah implikasi etis dari kecerdasan
buatan, hak-hak makhluk sadar non-manusia, pemahaman tentang penderitaan dan
kesejahteraan, serta tantangan terhadap konsep identitas dan otonomi diri.
8.1.
Kesadaran Buatan dan Agensi Mesin
Salah satu isu paling
menantang adalah apakah mesin dapat memiliki kesadaran, dan jika ya, apakah
mereka layak diberi status moral. Perkembangan kecerdasan buatan yang semakin
kompleks memunculkan pertanyaan mendalam tentang batas antara simulasi
dan kesadaran
aktual.¹ Menurut beberapa filsuf seperti David Chalmers, jika
sistem buatan dapat mengalami kesadaran fenomenal (qualia), maka ia berhak atas
perlakuan etis tertentu.²
Namun, perdebatan
masih berlangsung apakah kesadaran bisa direduksi menjadi algoritma atau
informasi, sebagaimana diyakini oleh para pendukung strong AI.³ John Searle, melalui
eksperimen pemikirannya yang terkenal Chinese Room, berargumen bahwa
kemampuan menjalankan algoritma tidak berarti memahami atau memiliki pengalaman
batin.⁴ Perbedaan ini krusial karena menyangkut pengakuan terhadap martabat
moral suatu entitas buatan.
8.2.
Bioetika dan Rekayasa Pikiran
Perkembangan dalam neuroteknologi,
seperti implan otak dan brain-computer interfaces (BCIs), menimbulkan isu-isu
baru tentang identitas personal, privasi pikiran, dan otonomi mental.⁵ Jika
otak dapat diubah atau diatur melalui perangkat eksternal, maka batas antara
agen yang alami dan agen yang dimodifikasi menjadi kabur. Hal ini menantang
asumsi klasik tentang kehendak bebas dan tanggung jawab moral.
Filsuf seperti
Thomas Metzinger menekankan pentingnya neuroetika sebagai panduan dalam
mengembangkan teknologi pikiran yang tetap menjunjung hak subjek dan
perlindungan terhadap integritas kesadaran.⁶ Salah satu persoalan utama adalah
bagaimana membedakan antara peningkatan kognitif (enhancement) yang sah dan
manipulasi mental yang mengganggu keutuhan kepribadian.
8.3.
Hak Makhluk Sadar Non-Manusia
Filsafat akal budi
juga terlibat dalam perdebatan tentang status moral makhluk non-manusia yang menunjukkan
kapasitas mental tinggi, seperti simpanse, lumba-lumba, atau bahkan sistem AI
canggih. Peter Singer, misalnya, mengusulkan prinsip equal
consideration of interests, yang menekankan bahwa kemampuan untuk
merasakan penderitaan (sentience) menjadi dasar utama untuk pengakuan hak
moral.⁷
Implikasi dari
pendekatan ini sangat luas, mulai dari perlakuan terhadap hewan dalam industri
pangan hingga kemungkinan pemberian “hak digital” bagi entitas buatan
yang memiliki tingkat kognisi tertentu.⁸ Dalam konteks ini, filsafat akal budi
tidak hanya menjelaskan apa itu pikiran, tetapi juga membantu menentukan siapa
yang layak dianggap sebagai “subjek moral”.
8.4.
Penderitaan, Emosi, dan Kesejahteraan Mental
Pergeseran pemahaman
terhadap kesehatan mental dari semata gangguan klinis menjadi bagian dari
kesejahteraan holistik membuka ruang baru bagi kontribusi filsafat akal budi.
Penelitian tentang keterhubungan antara struktur otak, pengalaman emosi, dan
makna hidup menunjukkan bahwa penderitaan mental tidak dapat dijelaskan hanya
dalam kerangka biologis, tetapi harus dilihat sebagai fenomena eksistensial.⁹
Pendekatan
fenomenologis terhadap gangguan seperti depresi dan kecemasan, seperti yang
dikembangkan oleh Thomas Fuchs dan Matthew Ratcliffe, menekankan pentingnya pengalaman
waktu, tubuh, dan makna dalam membentuk kondisi mental.¹⁰ Hal ini menunjukkan
bahwa intervensi medis harus disertai refleksi filosofis untuk benar-benar
memahami penderitaan manusia.
8.5.
Posthumanisme dan Masa Depan Kesadaran
Dalam arus pemikiran
posthumanisme,
beberapa filsuf berpendapat bahwa batas antara manusia dan mesin akan menjadi
semakin kabur seiring perkembangan teknologi augmentasi kognitif dan
hibridisasi biologis-digital.¹¹ Ide tentang “kesadaran yang dapat diprogram”
atau bahkan “pengunggahan pikiran” (mind uploading) menantang konsep
tradisional tentang keberlanjutan identitas dan pengalaman subjektif.
Meskipun sebagian
kalangan menyambut ide ini sebagai bentuk emansipasi dari batas-batas biologis,
kritik posthumanis mengingatkan bahwa penghapusan batas-batas tersebut dapat
menghilangkan esensi eksistensial manusia sebagai makhluk terbatas dan sadar.¹²
Filsafat akal budi berperan penting dalam mengkritisi dan mengarahkan arah
perkembangan teknologi agar tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulan Sementara
Isu-isu kontemporer
dalam filsafat akal budi memperlihatkan bahwa kajian tentang pikiran dan
kesadaran kini memiliki dampak langsung terhadap arah perkembangan teknologi,
etika, dan kehidupan sosial. Filsafat tidak hanya berkutat pada pertanyaan
abstrak, tetapi juga berperan dalam merumuskan kerangka etis dan normatif yang
diperlukan untuk menghadapi realitas baru di era digital dan bioteknologi.
Dalam hal ini, filsafat akal budi menjadi jembatan penting antara refleksi eksistensial
dan kebijakan praktis.
Footnotes
[1]
Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial
Intelligence,” in Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed.
Keith Frankish and William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 316–334.
[2]
David J. Chalmers, “The Singularity: A Philosophical Analysis,” Journal
of Consciousness Studies 17, no. 9–10 (2010): 7–65.
[3]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend
Biology (New York: Viking, 2005), 153–190.
[4]
John Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[5]
Nita A. Farahany, The Battle for Your Brain: Defending the Right to
Think Freely in the Age of Neurotechnology (New York: St. Martin’s Press,
2023), 45–61.
[6]
Thomas Metzinger, “The Ego Tunnel and the Future of Mind Science,” Journal
of Consciousness Studies 17, no. 9–10 (2010): 149–173.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 57–83.
[8]
Joanna Bryson, Mihailis Diamantis, and Thomas Grant, “Of, for, and by
the People: The Legal Lacuna of Synthetic Persons,” Artificial Intelligence
and Law 25, no. 3 (2017): 273–291.
[9]
Owen Flanagan, The Bodhisattva’s Brain: Buddhism Naturalized
(Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 103–125.
[10]
Thomas Fuchs and Matthew Ratcliffe, “Subjectivity and the Body in
Depression,” Journal of Consciousness Studies 21, no. 7–8 (2014):
217–238.
[11]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 89–101.
[12]
Jean-François Lyotard, The Inhuman: Reflections on Time,
trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby (Stanford: Stanford University
Press, 1991), 9–25.
9.
Kritik dan Tantangan terhadap Filsafat Akal
Budi
Walaupun filsafat
akal budi telah memberikan kontribusi besar dalam memahami hakikat kesadaran,
pikiran, dan identitas manusia, bidang ini tidak luput dari kritik dan
tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Kritik tersebut mencerminkan
upaya untuk mendorong filsafat akal budi agar lebih reflektif, terbuka terhadap
pendekatan interdisipliner, dan relevan terhadap dinamika kontemporer. Beberapa
isu yang sering menjadi sorotan mencakup reduksionisme konseptual, problem
subjektivitas, bias antroposentris, dan keterbatasan metodologis.
9.1.
Kritik terhadap Reduksionisme dalam Filsafat
Pikiran
Salah satu kritik
paling mendasar datang dari penolakan terhadap reduksionisme, yakni pandangan
bahwa fenomena mental dapat dijelaskan sepenuhnya melalui proses fisik atau
biologis. Filsuf-filsuf seperti Thomas Nagel dan David Chalmers berargumen bahwa
kesadaran memiliki aspek subjektif yang tidak
dapat direduksi ke dalam istilah fisik, apa pun kelengkapan data
neurofisiologisnya.¹
Nagel, dalam esainya
What Is
It Like to Be a Bat?, menunjukkan bahwa pengalaman kesadaran
bersifat intrinsik dan tak terakses oleh pendekatan objektif, bahkan dengan
deskripsi ilmiah paling lengkap sekalipun.² Kritik ini menjadi pengingat bahwa
reduksionisme seringkali gagal menangkap dimensi fenomenologis dari pikiran dan
pengalaman.
9.2.
Problematika Subjektivitas dan Observasi Ilmiah
Filsafat akal budi
kerap dikritik karena kesulitannya mengintegrasikan pengalaman subjektif ke
dalam kerangka observasi ilmiah yang objektif dan dapat diverifikasi. Dalam
konteks ilmu kognitif dan neurosains, terdapat ketegangan metodologis antara
data empirik (seperti pemindaian otak) dan pengalaman introspektif yang tidak
dapat diakses secara langsung oleh orang lain.³
Filsuf fenomenologis
seperti Maurice Merleau-Ponty berargumen bahwa pengalaman subjektif tidak boleh
direduksi menjadi variabel-variabel kuantitatif semata, karena kesadaran selalu
memiliki makna, niat, dan konteks eksistensial.⁴ Oleh karena itu, ia mendorong
pendekatan yang menghargai pengalaman langsung sebagai sumber pengetahuan yang
sahih, bukan sebagai gejala yang perlu dieliminasi atau dijelaskan semata-mata
secara ilmiah.
9.3.
Kritik dari Perspektif Filsafat Timur dan
Non-Barat
Sebagian kritik
terhadap filsafat akal budi Barat datang dari tradisi filsafat Timur dan non-Barat, terutama dalam hal asumsi ontologis
tentang “diri” sebagai entitas yang tetap dan substansial. Dalam
Buddhisme, misalnya, konsep anattā (non-self) menolak
keberadaan diri yang tetap, dan mengajukan bahwa kesadaran adalah arus
peristiwa yang berubah terus-menerus, tanpa pusat yang stabil.⁵
Thomas Metzinger,
dalam kerangka filsafat analitik kontemporer, mengadopsi pendekatan serupa
dengan menyatakan bahwa “diri” adalah konstruksi representasional dari
sistem otak, bukan entitas metafisik.⁶ Perspektif ini memperluas cakrawala
filsafat akal budi untuk mempertimbangkan berbagai kerangka kebudayaan dan
epistemologi alternatif, yang mungkin lebih sesuai dalam menjelaskan dinamika
batin dan pengalaman manusia secara holistik.
9.4.
Antroposentrisme dan Batas Etis
Kritik lain
diarahkan pada bias antroposentris dalam
banyak teori akal budi yang menempatkan manusia sebagai pusat segala kategori
pikiran dan kesadaran. Dalam era kemajuan kecerdasan buatan dan pemikiran
posthumanisme, pendekatan semacam ini dianggap terbatas karena gagal
mengantisipasi kemungkinan bentuk-bentuk kesadaran non-manusia, baik dalam
konteks hewan cerdas maupun entitas digital.⁷
Kritikus
posthumanisme seperti Rosi Braidotti menyerukan pembongkaran hierarki nilai
yang menempatkan akal budi manusia sebagai tolok ukur tunggal kesadaran dan
etika.⁸ Dalam konteks ini, filsafat akal budi ditantang untuk mengembangkan
kategori-kategori konseptual baru yang inklusif dan adaptif terhadap pluralitas
bentuk-bentuk pikiran.
9.5.
Tantangan Interdisipliner dan Evolusi Teknologi
Filsafat akal budi
juga menghadapi tantangan dalam menyelaraskan diri dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang sangat cepat, khususnya dalam bidang teknologi neurokognitif,
kecerdasan buatan, dan pemrosesan data. Ketertinggalan dalam mengintegrasikan
temuan-temuan mutakhir membuat filsafat akal budi terancam menjadi usang dan
tidak relevan.⁹
Diperlukan
keterbukaan metodologis untuk menjalin dialog yang konstruktif dengan ilmu
empirik, tanpa kehilangan kedalaman refleksi filosofis. Hal ini mencakup
kemampuan untuk mengevaluasi konsekuensi etis dari teknologi pikiran,
mempertimbangkan hak makhluk sadar baru, dan menyusun kerangka moral yang
adaptif namun kritis terhadap realitas digital masa depan.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Kritik dan tantangan
terhadap filsafat akal budi menandakan bahwa bidang ini berada dalam dinamika
reflektif yang sehat. Beragam kritik tersebut mengajak para filsuf untuk tidak
hanya memperhalus argumen teoretis, tetapi juga membuka diri terhadap
pluralitas perspektif, termasuk dari tradisi non-Barat, pengalaman subjektif,
serta ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan demikian, filsafat akal budi dapat
terus berkembang sebagai arena refleksi yang relevan dalam memahami
kompleksitas eksistensi manusia dan kesadaran dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–10.
[2]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[3]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in
the Making of Consciousness (New York: Harcourt, 1999), 84–91.
[4]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), xvii–xxv.
[5]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 45–56.
[6]
Thomas Metzinger, Being No One: The Self-Model Theory of
Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 1–20.
[7]
Joanna Bryson, “Robots Should Be Slaves,” in Close Engagements with
Artificial Companions, ed. Yorick Wilks (Amsterdam: John Benjamins, 2010),
63–74.
[8]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
13–35.
[9]
Stephen J. Morse, “Neuroscience and the Future of Personhood and
Responsibility,” in Constitutional Commentary 23, no. 2 (2006):
423–455.
[10]
Nita A. Farahany, The Battle for Your Brain: Defending the Right to
Think Freely in the Age of Neurotechnology (New York: St. Martin’s Press,
2023), 105–121.
10.
Penutup
Filsafat akal budi
merupakan medan refleksi yang kompleks, multidimensi, dan senantiasa berkembang
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hakikat pikiran,
kesadaran, dan hubungan antara akal dan tubuh. Dalam lintasan historisnya,
bidang ini telah menjelma dari perenungan metafisik Plato dan Aristoteles
tentang jiwa, menuju sistematika rasional Descartes, lalu berkembang dalam
spektrum teori modern seperti fungsionalisme, materialisme, fenomenologi,
hingga dialog kontemporer dengan neurosains dan kecerdasan buatan.¹
Salah satu
kontribusi utama filsafat akal budi adalah kemampuannya dalam memperjelas dan
mengkritisi asumsi-asumsi dasar yang sering kali tersembunyi dalam kajian
ilmiah maupun budaya populer tentang pikiran.² Filsafat tidak hanya mengajukan
pertanyaan “apa itu kesadaran?” atau “bagaimana pikiran berhubungan
dengan tubuh?”, tetapi juga bertanya “apa makna dari menjadi sadar?”
dan “apa tanggung jawab moral dari makhluk yang berpikir?”.³
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa filsafat akal budi bukan sekadar
wacana teoritis, melainkan ruang etik dan eksistensial yang relevan bagi
kehidupan manusia kontemporer.
Di tengah derasnya
perkembangan teknologi neurokognitif, artificial intelligence, dan bioetika,
filsafat akal budi menghadapi tantangan untuk tetap kritis dan adaptif.
Kecepatan inovasi teknologi menuntut kejelasan konsep, ketajaman analisis, dan
kepekaan etis—tiga hal yang justru menjadi kekuatan khas dari tradisi
filsafat.⁴ Dalam konteks ini, filsafat akal budi menjadi jembatan antara ilmu
dan nilai, antara representasi objektif dan pengalaman subjektif, serta antara
inovasi dan kebijaksanaan.
Ke depan, relevansi
filsafat akal budi akan semakin ditentukan oleh kemampuannya menjawab isu-isu
mutakhir secara reflektif dan kolaboratif. Konvergensi dengan ilmu kognitif,
psikologi, antropologi, bahkan spiritualitas membuka kemungkinan baru bagi
pemahaman tentang pikiran manusia dalam kerangka yang lebih menyeluruh.⁵ Oleh
karena itu, filsafat akal budi tidak hanya harus mempertahankan akarnya dalam
tradisi berpikir kritis, tetapi juga membangun sayapnya untuk terbang melampaui
batas-batas disipliner demi merespons kompleksitas realitas baru.
Dengan demikian,
filsafat akal budi tetap merupakan ladang subur untuk mengembangkan pemahaman
manusia tentang dirinya sendiri. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan
terotomatisasi, kebutuhan akan pengetahuan yang mendalam tentang kesadaran,
kehendak, dan nilai tidak pernah berkurang—justru semakin mendesak. Filsafat
akal budi, dengan segala kerumitannya, hadir sebagai pemandu bagi pencarian
makna dan arah dalam kehidupan intelektual dan moral umat manusia.
Footnotes
[1]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 3rd ed. (Boulder: Westview
Press, 2011), 1–15.
[2]
Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 21–35.
[3]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford
University Press, 1986), 5–20.
[4]
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the
Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 89–102.
[5]
Evan Thompson, Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in
Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University
Press, 2014), 301–325.
Daftar Pustaka
Block, N. (1980). Troubles
with functionalism. In N. Block (Ed.), Readings in philosophy of
psychology (Vol. 1, pp. 268–286). Harvard University Press.
Boden, M. A. (2006). Mind
as machine: A history of cognitive science. Oxford University Press.
Bostrom, N., &
Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish
& W. M. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial
intelligence (pp. 316–334). Cambridge University Press.
Brentano, F. (1995). Psychology
from an empirical standpoint (A. C. Rancurello et al., Trans.). Routledge.
(Original work published 1874)
Braidotti, R. (2013). The
posthuman. Polity Press.
Bryson, J. (2010). Robots
should be slaves. In Y. Wilks (Ed.), Close engagements with artificial
companions (pp. 63–74). John Benjamins.
Bryson, J., Diamantis, M.,
& Grant, T. (2017). Of, for, and by the people: The legal lacuna of
synthetic persons. Artificial Intelligence and Law, 25(3), 273–291. https://doi.org/10.1007/s10506-017-9212-6
Chalmers, D. J. (1996). The
conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University
Press.
Chalmers, D. J. (2010). The
singularity: A philosophical analysis. Journal of Consciousness Studies, 17(9–10),
7–65.
Churchland, P. M. (1988). Matter
and consciousness. MIT Press.
Churchland, P. S. (2002). Brain-wise:
Studies in neurophilosophy. MIT Press.
Damasio, A. R. (1999). The
feeling of what happens: Body and emotion in the making of consciousness.
Harcourt.
Dennett, D. C. (2003). Freedom
evolves. Viking.
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1641)
Farahany, N. A. (2023). The
battle for your brain: Defending the right to think freely in the age of
neurotechnology. St. Martin’s Press.
Flanagan, O. (2011). The
bodhisattva’s brain: Buddhism naturalized. MIT Press.
Fodor, J. A. (1975). The
language of thought. Thomas Crowell.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Fuchs, T., & Ratcliffe,
M. (2014). Subjectivity and the body in depression. Journal of
Consciousness Studies, 21(7–8), 217–238.
Gardner, H. (1985). The
mind’s new science: A history of the cognitive revolution. Basic Books.
Gazzaniga, M. S. (2005). The
ethical brain. Dana Press.
Hume, D. (1960). A
treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
(Original work published 1739)
Husserl, E. (1983). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Kluwer Academic. (Original work published 1913)
Jackson, F. (1982).
Epiphenomenal qualia. The Philosophical Quarterly, 32(127), 127–136. https://doi.org/10.2307/2960077
James, W. (1890). The
principles of psychology (Vol. 1). Henry Holt.
Keown, D. (2000). Buddhism:
A very short introduction. Oxford University Press.
Kim, J. (2011). Philosophy
of mind (3rd ed.). Westview Press.
Kurzweil, R. (2005). The
singularity is near: When humans transcend biology. Viking.
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon
Press. (Original work published 1690)
Lyotard, J.-F. (1991). The
inhuman: Reflections on time (G. Bennington & R. Bowlby, Trans.).
Stanford University Press.
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology
of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published
1945)
Metzinger, T. (2003). Being
no one: The self-model theory of subjectivity. MIT Press.
Metzinger, T. (2009). The
ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. Basic Books.
Metzinger, T. (2010). The
ego tunnel and the future of mind science. Journal of Consciousness
Studies, 17(9–10), 149–173.
Miller, G. A. (2003). The
cognitive revolution: A historical perspective. Trends in Cognitive
Sciences, 7(3), 141–144. https://doi.org/10.1016/S1364-6613(03)00029-9
Moran, D. (2000). Introduction
to phenomenology. Routledge.
Morse, S. J. (2006).
Neuroscience and the future of personhood and responsibility. Constitutional
Commentary, 23(2), 423–455.
Nagel, T. (1974). What is
it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450. https://doi.org/10.2307/2183914
Nagel, T. (1986). The
view from nowhere. Oxford University Press.
Putnam, H. (1975). The
nature of mental states. In Mind, language and reality: Philosophical
papers, Vol. 2 (pp. 429–440). Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1980).
Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3),
417–424. https://doi.org/10.1017/S0140525X00005756
Searle, J. R. (1983). Intentionality:
An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Smart, J. J. C. (1959).
Sensations and brain processes. The Philosophical Review, 68(2),
141–156. https://doi.org/10.2307/2182164
Strawson, G. (1994). The
impossibility of moral responsibility. Philosophical Studies, 75(1–2),
5–24. https://doi.org/10.1007/BF00989643
Thagard, P. (2005). Mind:
Introduction to cognitive science (2nd ed.). MIT Press.
Thompson, E. (2014). Waking,
dreaming, being: Self and consciousness in neuroscience, meditation, and
philosophy. Columbia University Press.
Turing, A. M. (1950).
Computing machinery and intelligence. Mind, 59(236), 433–460. https://doi.org/10.1093/mind/LIX.236.433
Tidak ada komentar:
Posting Komentar