Sabtu, 05 April 2025

Pemikiran Ibn ‘Arabi: Telaah Kritis atas Pemikiran Ibn ‘Arabi dalam Tradisi Tasawuf Islam

Pemikiran Ibn ‘Arabi

Telaah Kritis atas Pemikiran Ibn ‘Arabi dalam Tradisi Tasawuf Islam


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran metafisik dan spiritual Ibn ‘Arabi, seorang tokoh sentral dalam tradisi tasawuf Islam yang dikenal dengan gelar al-Shaykh al-Akbar. Melalui pendekatan analitis dan kritis, artikel ini menelusuri konsep-konsep kunci seperti Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud), Tajallī (Penampakan Ilahi), al-Insān al-Kāmil (Manusia Paripurna), serta epistemologi ilham dan kasyf dalam kerangka pemikiran Ibn ‘Arabi. Kajian ini juga membahas sumber-sumber rujukan yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi, termasuk Al-Qur’an, hadis, serta warisan tasawuf klasik dan filsafat Neoplatonik. Selain itu, dipaparkan pula berbagai respons terhadap pemikirannya, baik dari kalangan sufi, ulama ortodoks, maupun sarjana modern. Artikel ini menunjukkan bahwa meskipun pemikirannya kerap diperdebatkan, Ibn ‘Arabi tetap relevan di era modern dalam menjawab tantangan spiritualitas, krisis makna, serta hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabi bukan sekadar warisan sejarah, tetapi juga sumber refleksi kontemporer yang berharga bagi pengembangan spiritualitas Islam yang mendalam dan transformatif.

Kata Kunci: Ibn ‘Arabi; Tasawuf Islam; Wahdat al-Wujūd; Insān Kāmil; Tajallī; Metafisika Islam; Spiritualitas Kontemporer; Kasyf; Ilham; Teosofi Islam.


PEMBAHASAN

Menyingkap Layar Hakikat: Pemikiran Ibn ‘Arabi


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah pemikiran Islam, tasawuf merupakan salah satu dimensi spiritual yang berfungsi menyeimbangkan aspek syariat dan hakikat dalam kehidupan umat Muslim. Tasawuf tidak hanya berbicara tentang etika dan akhlak, tetapi juga tentang perjalanan ruhani menuju Tuhan (suluk), pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs), dan makrifat (pengetahuan intuitif tentang Allah). Di antara tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah tasawuf Islam, nama Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) menempati posisi yang sangat sentral dan kontroversial. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan konsep metafisika wujud secara sangat mendalam, terutama dalam karya-karyanya seperti Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Ḥikam.

Ibn ‘Arabi sering dijuluki sebagai "al-Shaykh al-Akbar" (Guru Agung), gelar yang mencerminkan pengaruh dan kedalaman spiritual serta intelektualnya. Konsep-konsepnya, seperti wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi), tajallī (penampakan ilahi), dan al-insān al-kāmil (manusia paripurna), telah menjadi bahan diskusi panjang dalam diskursus tasawuf, filsafat Islam, hingga studi agama komparatif. Meskipun beberapa kalangan menganggap pemikirannya terlalu esoteris atau bahkan menyimpang, sebagian besar cendekiawan Muslim mengakui kontribusinya yang luar biasa dalam membangun kerangka teologis-metafisik bagi pengalaman mistik Islam.¹

Urgensi kajian terhadap pemikiran Ibn ‘Arabi semakin besar dalam konteks kekinian, ketika krisis spiritual dan sekularisasi menggiring banyak individu menjauh dari nilai-nilai ilahiah. Pemikiran Ibn ‘Arabi menawarkan jalan spiritual alternatif yang tetap bersumber pada tradisi Islam tetapi mampu menembus batasan formalitas religius menuju makna terdalam dari kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia.² Pemikirannya telah mengilhami banyak tokoh sufi setelahnya, seperti al-Jīlī, al-Qashānī, dan bahkan tokoh-tokoh filsafat Barat melalui para orientalis seperti Henry Corbin dan William C. Chittick.³

Meski demikian, untuk memahami Ibn ‘Arabi secara objektif dan akademik, diperlukan pendekatan kritis yang menyandingkan pemikirannya dengan tafsir klasik, hadis sahih, serta pandangan ulama besar, baik yang mendukung maupun yang mengkritisi. Hal ini penting agar pembahasan tidak terjebak pada glorifikasi buta maupun penolakan tanpa dasar. Dengan pendekatan ini, artikel ini berusaha menyajikan sebuah telaah yang menyeluruh atas pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai bagian dari warisan intelektual Islam, yang kaya akan perdebatan dan kedalaman makna.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 2–5.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 140–143.

[3]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 3–6.


2.           Biografi Singkat Ibn ‘Arabi

Muḥyiddīn Abū ‘Abdillāh Muhammad ibn ‘Alī ibn Muḥammad ibn al-‘Arabī al-Ṭā’ī al-Ḥātimī, yang lebih dikenal sebagai Ibn ‘Arabi, lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H (26 Juli 1165 M) di kota Murcia, wilayah Andalusia (Spanyol Muslim).¹ Ia berasal dari keluarga Arab keturunan suku Ṭayy yang bermigrasi ke wilayah barat kekuasaan Islam pada masa kejayaan Andalusia. Ayahnya adalah seorang tentara sekaligus pengikut tarekat sufi yang dikenal dekat dengan para tokoh spiritual dan politik, termasuk Ibnu Rushd (Averroes), seorang filsuf besar Islam.²

Pada usia muda, keluarganya pindah ke Sevilla, salah satu pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas di Andalusia. Di kota inilah Ibn ‘Arabi mulai mengenyam pendidikan formal dalam bidang fikih, hadis, tafsir, dan bahasa Arab, sekaligus menapaki jalan spiritual bersama para sufi setempat. Ia sempat mengalami pengalaman spiritual transformasional (kasyf) pada usia sekitar 20 tahun yang mengubah arah hidupnya dari pengetahuan eksoterik menuju pengembaraan hakikat.³

Perjalanan intelektual dan spiritual Ibn ‘Arabi membawanya ke berbagai wilayah Islam: dari Andalusia ke Afrika Utara, kemudian ke Makkah, Baghdad, Damaskus, dan Asia Kecil. Ia bertemu dan berdiskusi dengan para ulama besar dan tokoh-tokoh sufi, termasuk Syaikh Abu Madyan dan Syaikh Yusuf al-Nassaj. Perjalanan ini tak hanya memperkaya wawasannya, tetapi juga menjadi medium kontemplatif yang melahirkan karya-karya agungnya.

Di antara karya paling monumental Ibn ‘Arabi adalah:

·                     Al-Futūḥāt al-Makkiyyah (Pembukaan-Pembukaan Makkiyyah), sebuah ensiklopedia spiritual dan metafisika tasawuf dalam 37 jilid,

·                     Fuṣūṣ al-Ḥikam (Permata Hikmah), sebuah karya esoterik yang merangkum hikmah kenabian dalam kerangka wahdat al-wujūd.⁴

Sebagian ulama menyebutnya sebagai "al-Shaykh al-Akbar" karena keluasan ilmunya, terutama dalam menyusun sistem filsafat ilahiah yang kompleks dan sangat simbolik.⁵ Ibn ‘Arabi dikenal tidak hanya sebagai sufi, tetapi juga sebagai mufassir, ahli hadis, penyair, dan filsuf metafisik. Tulisan-tulisannya banyak menggunakan pendekatan simbolik, isyārī, dan ma‘nawī yang menuntut pembaca untuk memiliki kesiapan spiritual dalam memahaminya.

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada tahun 638 H (1240 M) dan dimakamkan di daerah Ṣāliḥiyyah. Makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah dan renungan spiritual bagi para pencari jalan hakikat. Meskipun pemikirannya terus menjadi perdebatan—di antara yang mengagungkan dan yang mengritisi—tak dapat disangkal bahwa ia telah memberikan kontribusi besar dalam memperkaya diskursus intelektual dan spiritual Islam.


Footnotes

[1]                Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn ‘Arabi, trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 3.

[2]                Ibid., 21–24.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 124–126.

[4]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 12–15.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 96.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Pemikiran Ibn ‘Arabi

Pemikiran Ibn ‘Arabi merupakan suatu sistem metafisika dan spiritualitas Islam yang sangat kompleks, simbolik, dan mendalam. Ia membangun bangunan pemikiran yang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Mutlak, dan seluruh ciptaan sebagai manifestasi dari-Nya. Dalam sistem ini, terdapat beberapa konsep kunci yang menjadi fondasi utama pemikiran Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujūd, Tajallī, al-Insān al-Kāmil, dan Ma‘rifah serta Mahabbah Ilahiyyah.

3.1.       Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud)

Konsep Wahdat al-Wujūd adalah pilar utama dalam filsafat tasawuf Ibn ‘Arabi. Secara harfiah berarti “Kesatuan Eksistensi”, konsep ini menyatakan bahwa hanya Allah yang memiliki wujud sejati, sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah bentuk penampakan (tajallī) dari Wujud-Nya yang tunggal.¹ Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, alam semesta tidak memiliki eksistensi yang independen, melainkan eksistensinya bergantung dan muncul dari Wujud Allah secara terus-menerus.

Ibn ‘Arabi menulis: “Tiada wujud kecuali Wujud-Nya; semua yang ada adalah bayangan dari cahaya-Nya.”_² Ayat-ayat Al-Qur'an seperti “Dia-lah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Batin” (QS. Al-Ḥadīd [57] ayat 3) sering dijadikan dalil metafisik yang menunjukkan bahwa seluruh eksistensi berporos pada Dzat Ilahi.³

Konsep ini bukan berarti menyamakan makhluk dengan Tuhan (panteisme), tetapi lebih tepat dipahami sebagai realitas bertingkat di mana Tuhan adalah sumber dan puncak segala eksistensi.⁴ William C. Chittick menjelaskan bahwa bagi Ibn ‘Arabi, Wujud itu satu secara mutlak, sedangkan makhluk adalah "bayangan" atau "tampilan" dari Wujud Tunggal tersebut.⁵

3.2.       Tajallī (Penampakan Ilahi)

Tajallī, atau manifestasi Tuhan dalam ciptaan, adalah proses teofani yang menggambarkan bagaimana Tuhan “menampakkan” Diri-Nya dalam berbagai bentuk keberadaan. Dalam karya Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa seluruh ciptaan adalah bentuk-bentuk tajallī dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.⁶

Contoh yang sering dikutip adalah ayat tentang Nabi Musa: “Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajallā) kepada gunung, maka gunung itu hancur luluh...” (QS. Al-A‘rāf [07] ayat 143). Bagi Ibn ‘Arabi, ayat ini adalah simbol bahwa realitas Ilahi tidak bisa diterima secara total oleh makhluk, kecuali secara terbatas dan bertingkat.⁷ Tajallī juga terjadi dalam berbagai tingkat spiritual yang dialami oleh para sufi ketika mengalami ma‘rifah terhadap Tuhan.

3.3.       Al-Insān al-Kāmil (Manusia Paripurna)

Konsep al-Insān al-Kāmil, atau Manusia Sempurna, merupakan puncak spiritualitas dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Ia memandang Nabi Muhammad sebagai bentuk ideal dari insan kamil karena beliau adalah mazhar (cermin) sempurna dari seluruh nama dan sifat Tuhan.⁸

Insan kamil bukan hanya makhluk yang dekat dengan Tuhan, tetapi juga mikrokosmos yang mencerminkan hakikat semesta dan menjadi poros antara Tuhan dan makhluk. Dalam kerangka ini, manusia ideal memiliki tanggung jawab sebagai khalīfah yang menyerap dan memanifestasikan sifat-sifat Ilahi secara seimbang.⁹

Chittick menyebutkan bahwa konsep insan kamil merupakan jembatan antara kosmologi dan antropologi metafisik Ibn ‘Arabi, di mana manusia menjadi titik temu antara ciptaan dan Pencipta.¹⁰

3.4.       Ma‘rifah dan Mahabbah (Cinta Ilahi dan Pengetahuan Gnostik)

Ma‘rifah (gnosis) dalam pemikiran Ibn ‘Arabi bukan sekadar pengetahuan rasional, melainkan pengetahuan intuitif dan langsung yang diperoleh melalui tajallī dan kasyf.¹¹ Pengetahuan ini lahir dari pengalaman ruhani yang dalam dan hanya bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan penghayatan cinta Ilahi (mahabbah).

Menurut Ibn ‘Arabi, cinta adalah kekuatan kosmik yang menyebabkan penciptaan itu sendiri: “Aku adalah harta terpendam dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk.”_¹² Cinta Ilahi mendorong manusia menuju kesempurnaan spiritual dan ma‘rifah yang sejati. Dalam hal ini, cinta dan pengetahuan saling berkelindan: orang yang mencintai Allah akan diberi makrifat, dan orang yang mencapai makrifat sejati akan tenggelam dalam cinta-Nya.¹³


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 77–81.

[2]                Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah, n.d.), I:153.

[3]                Tafsir al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, vol. 17 (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), 240.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 156–158.

[5]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 85.

[6]                Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, II:90.

[7]                Tafsir Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 15 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 2001), 117.

[8]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 47–50.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 99–102.

[10]             Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 82–83.

[11]             Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 35.

[12]             Hadis Qudsi, diriwayatkan oleh al-‘Ajluni dalam Kashf al-Khafa’, no. 2016.

[13]             Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 71–72.


4.           Sumber Referensi dan Metodologi Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi bukan hanya seorang mistikus, tetapi juga seorang ilmuwan yang sangat menguasai berbagai disiplin ilmu Islam klasik, termasuk tafsir, hadis, fikih, usul fikih, logika, dan filsafat. Pemikirannya tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dibangun di atas warisan tradisi Islam yang sangat kaya, serta disusun dengan pendekatan metodologis yang khas dan multidimensi. Oleh karena itu, untuk memahami sistem pemikiran Ibn ‘Arabi secara utuh, penting untuk menelaah baik sumber referensialnya maupun metodologi yang digunakannya dalam menyusun argumentasi spiritual dan metafisik.

4.1.       Al-Qur’an sebagai Sumber Utama dan Inspirasi Metafisik

Bagi Ibn ‘Arabi, Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan mutlak yang tidak hanya dipahami secara zahir (tekstual), tetapi juga melalui pendekatan isyārī dan bāṭinī (simbolik dan spiritual). Ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode yang mendalam dan intuitif, seraya meyakini bahwa setiap huruf dan kata dalam Al-Qur’an mengandung hakikat-hakikat ilahiah yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang tersucikan.¹

Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa seluruh doktrin spiritualnya bersumber dari ilham Qur’ani dan tajallī rabbānī (manifestasi Tuhan dalam jiwa), bukan dari spekulasi semata.² Contohnya, ayat “Kemanapun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [05] ayat 115) ia pahami sebagai bukti dari kesatuan wujud dan kehadiran Ilahi dalam setiap fenomena.³

4.2.       Hadis Nabi dan Hadis Qudsi sebagai Basis Spiritualitas

Selain Al-Qur’an, Ibn ‘Arabi juga merujuk secara intensif pada hadis, terutama hadis-hadis qudsi dan hadis-hadis spiritual (yang menekankan aspek cinta, makrifat, dan tajallī). Misalnya, ia banyak mengembangkan ide metafisika cinta berdasarkan hadis qudsi: “Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk”.⁴

Metode Ibn ‘Arabi dalam menggunakan hadis tidak selalu bersifat tekstual-fiqih, tetapi seringkali bersifat maknawi—ia mengeksplorasi kedalaman makna dan konotasi spiritual yang terkandung dalam sabda Nabi, sehingga menghasilkan pembacaan baru yang simbolik dan esoterik.⁵

4.3.       Warisan Tasawuf Klasik dan Transmisi Spiritual

Pemikiran Ibn ‘Arabi juga banyak terinspirasi oleh para sufi pendahulunya, seperti al-Ḥallāj, al-Bisṭāmī, dan al-Junayd al-Baghdādī. Dari mereka, ia mewarisi pendekatan eksistensial terhadap pengalaman ketuhanan dan penghayatan intens terhadap ma‘rifah dan fana’.⁶

Namun, Ibn ‘Arabi tidak sekadar mengulang pemikiran mereka, melainkan menyusun sistem kosmologi dan metafisika spiritual yang sangat luas dan orisinal. Ia juga mengembangkan struktur konseptual yang lebih sistematis, seperti hierarki tajallī dan konsep al-Insān al-Kāmil.⁷ Dalam hal ini, ia tampil sebagai penyusun sistem filsafat tasawuf yang lengkap dan teoritis, tidak hanya sebagai pengamalnya.

4.4.       Interaksi dengan Filsafat dan Teosofi Neoplatonik

Meski Ibn ‘Arabi tidak secara eksplisit menyebut para filsuf Yunani, banyak peneliti mendeteksi pengaruh Neoplatonisme, terutama dalam konsep emanasi, hierarki wujud, dan ide tentang Realitas Pertama (al-Ḥaqq) yang memancarkan segala sesuatu.⁸ Namun, perbedaan fundamental tetap ada: bagi Ibn ‘Arabi, proses manifestasi berasal dari kehendak dan cinta Tuhan, bukan sekadar hukum rasional atau logika emanasi seperti dalam filsafat Yunani.⁹

Ia juga menunjukkan ketegasan terhadap para filsuf rasionalis dalam beberapa karyanya, sembari menyerap unsur-unsur epistemologis dan ontologis yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu.¹⁰ Hal ini mencerminkan metodologi inklusif-kritis, yaitu mengintegrasikan elemen luar secara selektif dan tetap berakar pada wahyu.

4.5.       Metode Intuisi, Ilham, dan Kasyf dalam Penyusunan Gagasan

Metodologi Ibn ‘Arabi dalam merumuskan gagasan spiritualnya sangat berbeda dari pendekatan akademik skolastik. Ia menyusun karya-karyanya berdasarkan tajallī (penampakan Ilahi) dan kasyf (penyingkapan batin), yang menurutnya bersumber dari cahaya Ilahi, bukan hasil berpikir spekulatif semata.¹¹

Dalam pengantar Fuṣūṣ al-Ḥikam, ia menegaskan bahwa kitab itu bukan karangan rasional, melainkan ilham yang ia terima langsung dari Nabi Muhammad melalui mimpi spiritual.¹² Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi tidak menulis sebagai seorang filsuf, melainkan sebagai seorang wali yang menjadi penerima pesan ruhani.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 15–18.

[2]                Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah, n.d.), I:21.

[3]                Tafsir al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, vol. 2 (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), 132.

[4]                al-‘Ajlūnī, Kashf al-Khafā’ wa Muzīl al-Ilbās, no. 2016.

[5]                Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints: Prophethood and Sainthood in the Doctrine of Ibn ‘Arabi (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 27–30.

[6]                Reynold A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1921), 130–134.

[7]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 170–175.

[8]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 102–108.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 147.

[10]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 162–165.

[11]             Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 33–35.

[12]             Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 1–3.


5.           Penerimaan dan Kritik terhadap Pemikiran Ibn ‘Arabi

Pemikiran metafisik dan tasawuf Ibn ‘Arabi telah menimbulkan gelombang pengaruh yang sangat besar di dunia Islam maupun di Barat. Namun, sebagaimana tokoh-tokoh pemikir radikal dalam sejarah, respon terhadap Ibn ‘Arabi sangat beragam, mulai dari pengagungan total hingga penolakan keras. Penerimaan dan kritik terhadap dirinya berkisar pada beberapa aspek utama, yakni: doktrin Wahdat al-Wujūd, pendekatannya yang esoterik terhadap nash, serta pengakuannya akan pengalaman spiritual yang bersifat ilhamiah.

5.1.       Kalangan Pendukung dan Pengagum

Di antara kalangan sufi, Ibn ‘Arabi dianggap sebagai puncak pemikiran tasawuf falsafi dan spiritualitas Islam. Tokoh-tokoh seperti ‘Abd al-Razzāq al-Kāsyānī, Dāwūd al-Qaysarī, dan ‘Abd al-Karīm al-Jīlī menjadikan karya-karya Ibn ‘Arabi sebagai rujukan utama dalam membangun sistem teosofi Islam.¹

Al-Kāsyānī bahkan menyusun syarah (komentar) mendalam atas Fuṣūṣ al-Ḥikam, yang menjadi bacaan wajib di banyak madrasah sufi di dunia Islam.² Sementara al-Jīlī dalam karyanya al-Insān al-Kāmil mengembangkan secara sistematis konsep insan kamil yang diwarisi dari Ibn ‘Arabi.³

Di wilayah Kesultanan Utsmaniyah dan India Muslim, pemikiran Ibn ‘Arabi sangat dominan dan dianggap sebagai landasan teologis tasawuf Sunni, terutama dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah.⁴ Ulama besar seperti Mullā Ṣadrā di Iran dan Shāh Walī Allāh al-Dihlawī di India juga memberikan penghargaan terhadap kedalaman spiritual Ibn ‘Arabi, meskipun dengan beberapa catatan kritis.⁵

5.2.       Kritik dari Kalangan Ortodoks dan Literalis

Meski dipuji oleh sebagian besar kaum sufi, Ibn ‘Arabi juga menuai kritik tajam dari sebagian ulama ortodoks yang melihat doktrin-doktrinnya sebagai menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah adalah salah satu pengkritik paling keras terhadap Ibn ‘Arabi. Ia menuduh Ibn ‘Arabi telah melampaui batas dalam hal tafsir isyārī dan menanamkan pandangan yang dapat mengarah pada panteisme.⁶

Dalam Majmū‘ al-Fatāwā, Ibn Taymiyyah menyebut bahwa banyak ucapan Ibn ‘Arabi mengandung unsur batil yang bertentangan dengan prinsip tauhid, meskipun ia berhati-hati untuk tidak serta-merta mengkafirkan semua pengikutnya.⁷ Kritik ini kemudian diteruskan oleh ulama seperti al-Dhahabī, meskipun dengan bahasa yang lebih moderat. Al-Dhahabī menyebut bahwa Ibn ‘Arabi adalah “seorang ulama besar dan sufi yang luas ilmunya, namun sebagian pandangannya perlu disikapi dengan sangat hati-hati.”_⁸

Selain dari kalangan Hanbali dan salafi, sebagian ulama Syafi‘i dan Maliki juga mengkritik gaya penafsiran batin Ibn ‘Arabi yang dianggap terlalu subjektif dan sulit diverifikasi secara ilmiah. Mereka menyoroti kecenderungan Ibn ‘Arabi untuk menyusun doktrin berdasarkan ilham pribadi dan pengalaman spiritual yang tidak dapat diuji secara syar‘i.⁹

5.3.       Kritik Akademik dan Kajian Modern

Dalam dunia akademik modern, respons terhadap Ibn ‘Arabi lebih bernuansa analitis dan filosofis. Para sarjana seperti Henry Corbin, Titus Burckhardt, dan William C. Chittick memuji Ibn ‘Arabi sebagai mistikus visioner dan filsuf spiritual paling agung dalam Islam.¹⁰ Mereka menekankan bahwa pemikirannya tidak dapat disederhanakan sebagai panteisme dalam pengertian Barat, melainkan sebagai ekspresi dari pengalaman keesaan eksistensial yang melampaui dikotomi teisme dan monisme.

Namun, ada pula sarjana Muslim seperti Fazlur Rahman yang melihat pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai terlalu metaforis dan sulit dijadikan dasar normatif bagi kehidupan umat Islam. Baginya, pendekatan esoterik Ibn ‘Arabi bersifat elitis dan dapat menjauhkan umat dari orientasi praktis ajaran Islam.¹¹

5.4.       Telaah Kritis: Antara Ilham dan Nash

Kritik utama terhadap Ibn ‘Arabi berkaitan dengan sumber epistemologi yang ia gunakan, yaitu ilham dan kasyf (penyingkapan batiniah). Walaupun para sufi menilai bahwa ilham adalah bentuk dari karunia Tuhan yang sah, banyak ulama yang mempersoalkan otoritasnya jika tidak diverifikasi oleh dalil syar‘i. Ibn ‘Arabi sendiri berulang kali menegaskan bahwa ilham yang ia terima tidak bertentangan dengan syariat, namun tetap saja pendekatannya menimbulkan polemik dalam diskursus fiqh dan akidah.¹²

Sebagian pihak menilai bahwa karya Ibn ‘Arabi lebih tepat dibaca sebagai teks-teks inspiratif untuk tazkiyatun nafs daripada rujukan dalam penyusunan hukum atau akidah formal. Oleh karena itu, pemahaman atas karya-karyanya memerlukan bimbingan guru mursyid, bukan sekadar pembacaan tekstual.¹³


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 11.

[2]                ʿAbd al-Razzāq al-Kāshānī, Sharḥ Fuṣūṣ al-Ḥikam (Cairo: Maktabat al-Qāhirah, 1950), 5.

[3]                ʿAbd al-Karīm al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā’il (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 12–15.

[4]                Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 43–45.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 142.

[6]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dar al-Wafa’, 1995), 132–135.

[7]                Ibid., 134.

[8]                Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, vol. 23 (Beirut: Mu’assasat al-Risālah, 1985), 48–50.

[9]                Abu Hamid al-Ghazali (dirujuk sebagai pembanding), Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Tazi (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah, 2004), IV:230.

[10]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 14–17.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 118–120.

[12]             Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 22.

[13]             Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 166.


6.           Relevansi Pemikiran Ibn ‘Arabi di Era Modern

Di tengah arus modernitas dan globalisasi yang cenderung menekankan dimensi materialistik, rasionalistik, dan sekularistik dalam kehidupan, pemikiran Ibn ‘Arabi tampil sebagai salah satu alternatif intelektual dan spiritual yang mampu menawarkan kedalaman makna dan arah hidup yang transenden.⁽¹⁾ Dalam dunia yang semakin terdistraksi oleh teknologi dan konsumsi, Ibn ‘Arabi membawa manusia kembali kepada dimensi hakikat wujud dan pentingnya perjalanan batin menuju Tuhan.

6.1.       Kembali ke Pusat: Spiritualitas dalam Dunia yang Terpecah

Salah satu aspek paling relevan dari pemikiran Ibn ‘Arabi adalah urgensi penyatuan batiniah di tengah keterpecahan manusia modern. Konsep Wahdat al-Wujūd tidak semata-mata metafisika abstrak, tetapi mengandung ajakan untuk melihat kesatuan ilahiah dalam keragaman dunia.⁽²⁾ Dalam masyarakat yang terbelah oleh fanatisme agama, identitas rasial, dan politik ideologis, wawasan Ibn ‘Arabi tentang kebersatuan wujud dapat menjadi titik temu lintas agama dan budaya.

Henry Corbin menyebut pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai “jembatan kosmologis” yang membuka dialog antara manusia dan realitas spiritual, serta antara agama-agama yang mencari makna ketuhanan yang lebih mendalam.⁽³⁾ Konsep ini menjadi penting dalam dunia interreligius modern, karena Ibn ‘Arabi tidak menafikan eksistensi kebenaran pada agama-agama lain, tetapi melihat semuanya sebagai ekspresi tajallī Tuhan yang beragam.⁽⁴⁾

6.2.       Revitalisasi Kesadaran Diri dan Etika Spiritual

Gagasan Ibn ‘Arabi tentang al-Insān al-Kāmil memiliki nilai terapeutik dan pendidikan moral dalam konteks pembinaan karakter manusia modern. Dalam budaya yang sering membentuk manusia menjadi makhluk konsumtif dan egoistik, konsep manusia paripurna—yang sadar akan asal-usul ilahiahnya dan hidup dengan cermin sifat-sifat Tuhan—menginspirasi pentingnya transformasi diri dan tazkiyah al-nafs.⁽⁵⁾

Menurut Chittick, insan kamil adalah model eksistensial bagi setiap manusia yang ingin menjadikan hidupnya sebagai manzhar (cermin) bagi rahmat dan hikmah Tuhan.⁽⁶⁾ Dalam pendidikan karakter, ini berarti mengintegrasikan dimensi ruhani dengan dimensi sosial melalui kesadaran akhlak ilahiyah: sabar, adil, kasih sayang, dan kebijaksanaan.

6.3.       Relevansi dalam Kajian Kosmologi dan Ekologi Spiritual

Pemikiran Ibn ‘Arabi tentang kosmos sebagai tajallī Tuhan juga menawarkan paradigma baru dalam ekologi spiritual. Dalam kerangka Ibn ‘Arabi, alam semesta bukan sekadar benda mati atau objek eksploitasi, tetapi manifestasi sakral dari sifat-sifat Tuhan.⁽⁷⁾ Hal ini membuka jalan bagi pendekatan ekologis yang spiritual dan etis—sebuah pendekatan yang kini sangat dibutuhkan di tengah krisis lingkungan global.

Burckhardt mencatat bahwa pemahaman Ibn ‘Arabi tentang alam sebagai “kitab terbuka” tempat Tuhan menampakkan Diri adalah fondasi dari ekosofi Islam yang memuliakan ciptaan sebagai ayat-ayat Tuhan.⁽⁸⁾ Dengan demikian, relasi manusia dan alam harus dilandasi rasa hormat, tanggung jawab, dan kontemplasi spiritual, bukan sekadar dominasi teknologis.

6.4.       Peran dalam Dialog Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Di era sains modern yang sering menyingkirkan dimensi transenden, Ibn ‘Arabi dapat menginspirasi integrasi ilmu dan spiritualitas. Konsep-konsep seperti haqīqah, tajallī, dan marātib al-wujūd (tingkatan eksistensi) membuka ruang bagi pemahaman multidimensional terhadap realitas.⁽⁹⁾ Ini penting dalam perkembangan filsafat sains Islam dan pendekatan holistik terhadap pengetahuan.

Ibn ‘Arabi membedakan antara ‘ilm al-yaqīn (pengetahuan rasional), ‘ayn al-yaqīn (pengetahuan pengalaman), dan ḥaqq al-yaqīn (pengetahuan langsung dari Tuhan), suatu konsep yang sangat relevan dalam diskursus epistemologi kontemporer yang sedang mencari keseimbangan antara objektivitas dan subjektivitas.¹⁰

6.5.       Makna Kehidupan dan Psikologi Eksistensial

Karya Ibn ‘Arabi juga memiliki dampak besar dalam psikologi eksistensial. Dalam dunia modern yang penuh alienasi dan krisis makna, ajarannya tentang makrifah, cinta ilahi, dan fana’ menyediakan kerangka eksistensial bagi pencarian makna hidup yang autentik.¹¹ Ibn ‘Arabi menempatkan pengalaman spiritual bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai transformasi dari keterasingan menjadi kesatuan dengan sumber segala wujud.

Sebagaimana dijelaskan oleh Izutsu, Ibn ‘Arabi mengajarkan bahwa hakikat kehidupan manusia adalah perjalanan spiritual dari Allah, dengan Allah, dan kembali kepada Allah.¹² Ini adalah pesan yang menyejukkan sekaligus menggerakkan: bahwa kehidupan bukan sekadar peristiwa biologis, tetapi medan manifestasi Cinta Ilahi.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), xii.

[2]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 195–198.

[3]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 24–26.

[4]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 49.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 122–123.

[6]                Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 114–117.

[7]                Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 48.

[8]                Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 67–70.

[9]                Nasr, Knowledge and the Sacred, 109–112.

[10]             Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, I:258.

[11]             Chittick, The Self-Disclosure of God, 89–91.

[12]             Izutsu, Sufism and Taoism, 155–157.


7.           Kesimpulan

Pemikiran Ibn ‘Arabi merupakan puncak pencapaian spiritual dan intelektual dalam tradisi tasawuf Islam yang tidak hanya mempengaruhi generasi sufi sesudahnya, tetapi juga menjadi perhatian para filsuf, teolog, dan sarjana dari Timur maupun Barat. Melalui konsep-konsep kunci seperti Wahdat al-Wujūd, Tajallī, al-Insān al-Kāmil, dan Ma‘rifah Ilahiyyah, Ibn ‘Arabi membangun sistem kosmologi dan spiritualitas yang bertumpu pada pandangan bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud sejati, sementara segala makhluk adalah manifestasi dari wujud-Nya.¹

Pemikiran Ibn ‘Arabi tidak bisa dilepaskan dari kerangka metodologinya yang khas: ia berpijak pada Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ilham, namun dibaca melalui pendekatan isyārī dan batinī, serta didukung oleh pengalaman kasyf dan tajallī yang menjadi ciri utama epistemologi sufi.² Hal ini menempatkannya sebagai figur intelektual yang menyatukan dimensi wahyu dan intuisi, syariat dan hakikat, eksoterik dan esoterik

Respon terhadap pemikirannya memang beragam. Di satu sisi, ia diagungkan sebagai “al-Shaykh al-Akbar” oleh para sufi dan dianggap sebagai pewaris warisan kenabian dalam dimensi batin.⁴ Di sisi lain, tidak sedikit ulama yang memandang sebagian ajarannya kontroversial atau bahkan menyimpang dari prinsip tauhid normatif.⁵ Namun demikian, kritik terhadap Ibn ‘Arabi tidak mengurangi signifikansi kontribusinya dalam membentuk kerangka teologis dan filosofis spiritualitas Islam.

Di era modern, ajaran-ajarannya tetap relevan, bahkan semakin mendesak untuk dikaji ulang secara bijak. Konsep kesatuan eksistensial yang ia tawarkan membuka peluang bagi dialog lintas agama, revitalisasi makna kehidupan, etika ekologis, dan pengembangan spiritualitas personal di tengah krisis modernitas dan disintegrasi makna.⁶ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi secara moral dan eksistensial, pemikiran Ibn ‘Arabi menghadirkan semacam “teologi penghayatan” yang mengajak manusia kembali mengenal dirinya, Tuhannya, dan realitas di sekitarnya sebagai satu kesatuan makna yang saling terhubung.⁷

Dengan demikian, Ibn ‘Arabi bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan warisan intelektual hidup yang menantang umat Islam dan dunia modern untuk menafsirkan ulang relasi antara yang tampak dan yang tersembunyi, antara yang profan dan yang sakral, antara manusia dan Tuhan. Kajian terhadapnya harus terus dilakukan, bukan dalam semangat glorifikasi tanpa kritik, tetapi dalam semangat ilmiah yang adil, jujur, dan mendalam, sebagaimana dipesankan oleh para ulama yang arif dan bijaksana.⁸


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 89–91.

[2]                Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book, and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 18–22.

[3]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 123–127.

[4]                Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn ‘Arabi, trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 195.

[5]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dar al-Wafa’, 1995), 132–134.

[6]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 29–32.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 147–149.

[8]                Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 73–75.


Daftar Pustaka

Addas, C. (1993). Quest for the red sulphur: The life of Ibn ‘Arabi (P. Kingsley, Trans.). Islamic Texts Society.

al-‘Ajluni, I. (n.d.). Kashf al-khafa’ wa muzīl al-ilbās. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Dhahabi, M. b. A. (1985). Siyar a‘lām al-nubalā’ (Vol. 23). Mu’assasat al-Risālah.

al-Ghazali, A. H. (2004). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (B. Tazi, Ed.). al-Maktabah al-Tijariyyah.

al-Jīlī, ‘A. K. (1997). al-Insān al-kāmil fī ma‘rifat al-awākhir wa al-awā’il. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Kāshānī, ‘A. R. (1950). Sharḥ fuṣūṣ al-ḥikam. Maktabat al-Qāhirah.

al-Qurṭubī, M. A. (2002). al-Jāmi‘ li-aḥkām al-Qur’ān (Vols. 2 & 17). Dār al-Fikr.

al-Rāzī, F. al-D. (2001). al-Tafsīr al-kabīr (Vol. 15). Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Burckhardt, T. (2008). An introduction to Sufi doctrine. World Wisdom.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York Press.

Chodkiewicz, M. (1993). An ocean without shore: Ibn Arabi, the book, and the law. State University of New York Press.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.

Ibn ‘Arabi, M. (n.d.). al-Futūḥāt al-Makkiyyah (O. Yahya, Ed.). al-Hay’ah al-Miṣriyyah.

Ibn ‘Arabi, M. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam (‘A. ‘Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn Taymiyyah, A. H. (1995). Majmū‘ al-fatāwā (Vol. 2). Dar al-Wafa’.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nicholson, R. A. (1921). Studies in Islamic mysticism. Cambridge University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar