Pemikiran Ibn ‘Arabi
Telaah Kritis atas Pemikiran Ibn ‘Arabi dalam Tradisi
Tasawuf Islam
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
metafisik dan spiritual Ibn ‘Arabi, seorang tokoh sentral dalam tradisi tasawuf Islam yang dikenal dengan gelar al-Shaykh al-Akbar. Melalui pendekatan
analitis dan kritis, artikel ini menelusuri konsep-konsep kunci seperti Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud), Tajallī (Penampakan Ilahi), al-Insān al-Kāmil (Manusia Paripurna), serta epistemologi ilham dan kasyf dalam
kerangka pemikiran Ibn ‘Arabi. Kajian ini juga membahas sumber-sumber rujukan
yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi, termasuk Al-Qur’an, hadis, serta warisan
tasawuf klasik dan filsafat Neoplatonik. Selain itu, dipaparkan pula berbagai
respons terhadap pemikirannya, baik dari kalangan sufi, ulama ortodoks, maupun
sarjana modern. Artikel ini menunjukkan bahwa meskipun pemikirannya kerap
diperdebatkan, Ibn ‘Arabi tetap relevan di era modern dalam menjawab tantangan
spiritualitas, krisis makna, serta hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam
semesta. Dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabi bukan sekadar warisan sejarah,
tetapi juga sumber refleksi kontemporer yang berharga bagi pengembangan
spiritualitas Islam yang mendalam dan transformatif.
Kata Kunci: Ibn ‘Arabi; Tasawuf Islam; Wahdat al-Wujūd; Insān Kāmil; Tajallī; Metafisika Islam; Spiritualitas Kontemporer; Kasyf; Ilham;
Teosofi Islam.
PEMBAHASAN
Menyingkap Layar Hakikat: Pemikiran Ibn ‘Arabi
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah
pemikiran Islam, tasawuf merupakan salah satu dimensi spiritual yang berfungsi
menyeimbangkan aspek syariat dan hakikat dalam kehidupan umat Muslim. Tasawuf
tidak hanya berbicara tentang etika dan akhlak, tetapi juga tentang perjalanan
ruhani menuju Tuhan (suluk), pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs), dan makrifat
(pengetahuan intuitif tentang Allah). Di antara tokoh-tokoh terkemuka dalam
sejarah tasawuf Islam, nama Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 1240
M) menempati posisi yang sangat sentral dan kontroversial. Ia dikenal sebagai
tokoh yang mengembangkan konsep metafisika wujud secara sangat mendalam,
terutama dalam karya-karyanya seperti Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ
al-Ḥikam.
Ibn ‘Arabi sering
dijuluki sebagai "al-Shaykh al-Akbar"
(Guru Agung), gelar yang mencerminkan pengaruh dan kedalaman spiritual serta
intelektualnya. Konsep-konsepnya, seperti wahdat al-wujūd (kesatuan eksistensi), tajallī (penampakan ilahi), dan
al-insān al-kāmil (manusia paripurna), telah menjadi bahan diskusi
panjang dalam diskursus tasawuf, filsafat Islam, hingga studi agama komparatif.
Meskipun beberapa kalangan menganggap pemikirannya terlalu esoteris atau bahkan
menyimpang, sebagian besar cendekiawan Muslim mengakui kontribusinya yang luar
biasa dalam membangun kerangka teologis-metafisik bagi pengalaman mistik
Islam.¹
Urgensi kajian
terhadap pemikiran Ibn ‘Arabi semakin besar dalam konteks kekinian, ketika
krisis spiritual dan sekularisasi menggiring banyak individu menjauh dari
nilai-nilai ilahiah. Pemikiran Ibn ‘Arabi menawarkan jalan spiritual alternatif
yang tetap bersumber pada tradisi Islam tetapi mampu menembus batasan
formalitas religius menuju makna terdalam dari kehadiran Tuhan dalam kehidupan
manusia.² Pemikirannya telah mengilhami banyak tokoh sufi setelahnya, seperti
al-Jīlī, al-Qashānī, dan bahkan tokoh-tokoh filsafat Barat melalui para
orientalis seperti Henry Corbin dan William C. Chittick.³
Meski demikian,
untuk memahami Ibn ‘Arabi secara objektif dan akademik, diperlukan pendekatan
kritis yang menyandingkan pemikirannya dengan tafsir klasik, hadis
sahih, serta pandangan ulama besar, baik
yang mendukung maupun yang mengkritisi. Hal ini penting agar pembahasan tidak
terjebak pada glorifikasi buta maupun penolakan tanpa dasar. Dengan pendekatan
ini, artikel ini berusaha menyajikan sebuah telaah yang menyeluruh atas
pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai bagian dari warisan intelektual Islam, yang kaya
akan perdebatan dan kedalaman makna.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 2–5.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 140–143.
[3]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 3–6.
2.
Biografi Singkat Ibn ‘Arabi
Muḥyiddīn
Abū ‘Abdillāh Muhammad ibn ‘Alī ibn Muḥammad ibn al-‘Arabī al-Ṭā’ī al-Ḥātimī,
yang lebih dikenal sebagai Ibn ‘Arabi, lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H (26
Juli 1165 M) di kota Murcia, wilayah Andalusia (Spanyol Muslim).¹ Ia berasal
dari keluarga Arab keturunan suku Ṭayy yang bermigrasi ke wilayah barat
kekuasaan Islam pada masa kejayaan Andalusia. Ayahnya adalah seorang tentara
sekaligus pengikut tarekat sufi yang dikenal dekat dengan para tokoh spiritual
dan politik, termasuk Ibnu Rushd (Averroes), seorang filsuf besar Islam.²
Pada usia muda,
keluarganya pindah ke Sevilla, salah satu pusat ilmu pengetahuan dan
spiritualitas di Andalusia. Di kota inilah Ibn ‘Arabi mulai mengenyam
pendidikan formal dalam bidang fikih, hadis, tafsir, dan bahasa Arab, sekaligus
menapaki jalan spiritual bersama para sufi setempat. Ia sempat mengalami pengalaman
spiritual transformasional (kasyf) pada usia sekitar 20 tahun
yang mengubah arah hidupnya dari pengetahuan eksoterik menuju pengembaraan
hakikat.³
Perjalanan
intelektual dan spiritual Ibn ‘Arabi membawanya ke berbagai wilayah Islam: dari
Andalusia ke Afrika Utara, kemudian ke Makkah, Baghdad, Damaskus, dan Asia
Kecil. Ia bertemu dan berdiskusi dengan para ulama besar dan tokoh-tokoh sufi,
termasuk Syaikh Abu Madyan dan Syaikh Yusuf al-Nassaj. Perjalanan ini tak hanya
memperkaya wawasannya, tetapi juga menjadi medium kontemplatif yang melahirkan
karya-karya agungnya.
Di antara karya
paling monumental Ibn ‘Arabi adalah:
·
Al-Futūḥāt
al-Makkiyyah (Pembukaan-Pembukaan Makkiyyah), sebuah
ensiklopedia spiritual dan metafisika tasawuf dalam 37 jilid,
·
Fuṣūṣ
al-Ḥikam (Permata Hikmah), sebuah karya esoterik yang merangkum
hikmah kenabian dalam kerangka wahdat al-wujūd.⁴
Sebagian ulama
menyebutnya sebagai "al-Shaykh al-Akbar" karena keluasan
ilmunya, terutama dalam menyusun sistem filsafat ilahiah yang kompleks dan
sangat simbolik.⁵ Ibn ‘Arabi dikenal tidak hanya sebagai sufi, tetapi juga
sebagai mufassir, ahli hadis, penyair, dan filsuf metafisik. Tulisan-tulisannya
banyak menggunakan pendekatan simbolik, isyārī, dan ma‘nawī yang menuntut
pembaca untuk memiliki kesiapan spiritual dalam memahaminya.
Ibn ‘Arabi wafat di
Damaskus pada tahun 638 H (1240 M) dan dimakamkan di daerah Ṣāliḥiyyah.
Makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah dan renungan spiritual bagi para
pencari jalan hakikat. Meskipun pemikirannya terus menjadi perdebatan—di antara
yang mengagungkan dan yang mengritisi—tak dapat disangkal bahwa ia telah
memberikan kontribusi besar dalam memperkaya diskursus intelektual dan
spiritual Islam.
Footnotes
[1]
Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn ‘Arabi,
trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 3.
[2]
Ibid., 21–24.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
124–126.
[4]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 12–15.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 96.
3.
Konsep-Konsep Kunci dalam Pemikiran Ibn ‘Arabi
Pemikiran Ibn ‘Arabi
merupakan suatu sistem metafisika dan spiritualitas Islam yang sangat kompleks,
simbolik, dan mendalam. Ia membangun bangunan pemikiran yang menempatkan Tuhan
sebagai satu-satunya Realitas Mutlak, dan seluruh ciptaan sebagai manifestasi
dari-Nya. Dalam sistem ini, terdapat beberapa konsep kunci yang menjadi fondasi
utama pemikiran Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujūd, Tajallī,
al-Insān al-Kāmil, dan Ma‘rifah serta Mahabbah Ilahiyyah.
3.1.
Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud)
Konsep Wahdat al-Wujūd adalah pilar utama dalam filsafat tasawuf Ibn ‘Arabi.
Secara harfiah berarti “Kesatuan Eksistensi”, konsep ini menyatakan
bahwa hanya
Allah yang memiliki wujud sejati, sedangkan segala sesuatu
selain-Nya adalah bentuk penampakan (tajallī) dari Wujud-Nya yang tunggal.¹
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, alam semesta tidak memiliki eksistensi yang
independen, melainkan eksistensinya bergantung dan muncul dari Wujud Allah
secara terus-menerus.
Ibn ‘Arabi menulis:
“Tiada wujud kecuali Wujud-Nya; semua yang ada adalah bayangan dari cahaya-Nya.”_²
Ayat-ayat Al-Qur'an seperti “Dia-lah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir
dan yang Batin” (QS. Al-Ḥadīd [57] ayat 3) sering dijadikan dalil
metafisik yang menunjukkan bahwa seluruh eksistensi berporos pada Dzat Ilahi.³
Konsep ini bukan
berarti menyamakan makhluk dengan Tuhan (panteisme), tetapi lebih tepat
dipahami sebagai realitas bertingkat di mana Tuhan adalah sumber dan puncak
segala eksistensi.⁴ William C. Chittick menjelaskan bahwa bagi Ibn ‘Arabi,
Wujud itu satu secara mutlak, sedangkan makhluk adalah "bayangan"
atau "tampilan" dari Wujud Tunggal tersebut.⁵
3.2.
Tajallī (Penampakan Ilahi)
Tajallī, atau manifestasi
Tuhan dalam ciptaan, adalah proses teofani yang menggambarkan
bagaimana Tuhan “menampakkan” Diri-Nya dalam berbagai bentuk keberadaan. Dalam
karya Futūḥāt
al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa seluruh ciptaan adalah
bentuk-bentuk tajallī dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.⁶
Contoh yang sering
dikutip adalah ayat tentang Nabi Musa: “Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajallā)
kepada gunung, maka gunung itu hancur luluh...” (QS. Al-A‘rāf [07]
ayat 143). Bagi Ibn ‘Arabi, ayat ini adalah simbol bahwa realitas
Ilahi tidak bisa diterima secara total oleh makhluk, kecuali
secara terbatas dan bertingkat.⁷ Tajallī juga terjadi dalam berbagai tingkat
spiritual yang dialami oleh para sufi ketika mengalami ma‘rifah terhadap Tuhan.
3.3.
Al-Insān al-Kāmil (Manusia Paripurna)
Konsep al-Insān al-Kāmil, atau Manusia Sempurna, merupakan puncak
spiritualitas dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Ia memandang Nabi Muhammad sebagai
bentuk ideal dari insan kamil karena beliau adalah mazhar (cermin) sempurna dari
seluruh nama dan sifat Tuhan.⁸
Insan kamil bukan
hanya makhluk yang dekat dengan Tuhan, tetapi juga mikrokosmos yang mencerminkan
hakikat semesta dan menjadi poros antara Tuhan dan makhluk. Dalam kerangka ini,
manusia ideal memiliki tanggung jawab sebagai khalīfah yang menyerap dan
memanifestasikan sifat-sifat Ilahi secara seimbang.⁹
Chittick menyebutkan
bahwa konsep insan kamil merupakan jembatan antara kosmologi dan antropologi
metafisik Ibn ‘Arabi, di mana manusia menjadi titik temu antara ciptaan dan
Pencipta.¹⁰
3.4.
Ma‘rifah dan Mahabbah (Cinta Ilahi dan
Pengetahuan Gnostik)
Ma‘rifah (gnosis)
dalam pemikiran Ibn ‘Arabi bukan sekadar pengetahuan rasional, melainkan pengetahuan
intuitif dan langsung yang diperoleh melalui tajallī
dan kasyf.¹¹ Pengetahuan ini lahir dari pengalaman ruhani yang dalam dan hanya
bisa dicapai melalui penyucian jiwa dan penghayatan cinta Ilahi (mahabbah).
Menurut Ibn ‘Arabi,
cinta adalah kekuatan kosmik yang menyebabkan penciptaan itu sendiri: “Aku
adalah harta terpendam dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk.”_¹²
Cinta Ilahi mendorong manusia menuju kesempurnaan spiritual dan ma‘rifah yang
sejati. Dalam hal ini, cinta dan pengetahuan saling berkelindan: orang yang
mencintai Allah akan diberi makrifat, dan orang yang mencapai makrifat sejati
akan tenggelam dalam cinta-Nya.¹³
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 77–81.
[2]
Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo:
al-Hay’ah al-Miṣriyyah, n.d.), I:153.
[3]
Tafsir al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, vol. 17
(Beirut: Dār al-Fikr, 2002), 240.
[4]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
156–158.
[5]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 85.
[6]
Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, II:90.
[7]
Tafsir Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 15
(Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 2001), 117.
[8]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1946), 47–50.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 99–102.
[10]
Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s
Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 82–83.
[11]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 35.
[12]
Hadis Qudsi, diriwayatkan oleh al-‘Ajluni dalam Kashf al-Khafa’,
no. 2016.
[13]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 71–72.
4.
Sumber Referensi dan Metodologi Ibn ‘Arabi
Ibn ‘Arabi bukan
hanya seorang mistikus, tetapi juga seorang ilmuwan yang sangat menguasai
berbagai disiplin ilmu Islam klasik, termasuk tafsir, hadis, fikih, usul fikih,
logika, dan filsafat. Pemikirannya tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan
dibangun di atas warisan tradisi Islam yang sangat kaya, serta disusun dengan
pendekatan metodologis yang khas dan multidimensi. Oleh karena itu, untuk
memahami sistem pemikiran Ibn ‘Arabi secara utuh, penting untuk menelaah baik sumber
referensialnya maupun metodologi yang digunakannya dalam menyusun
argumentasi spiritual dan metafisik.
4.1.
Al-Qur’an sebagai Sumber Utama dan Inspirasi
Metafisik
Bagi Ibn ‘Arabi,
Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan mutlak yang tidak hanya dipahami secara zahir
(tekstual), tetapi juga melalui pendekatan isyārī dan bāṭinī
(simbolik dan spiritual). Ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode yang
mendalam dan intuitif, seraya meyakini bahwa setiap huruf dan kata dalam
Al-Qur’an mengandung hakikat-hakikat ilahiah yang hanya dapat ditangkap oleh
hati yang tersucikan.¹
Dalam Futūḥāt
al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa seluruh doktrin
spiritualnya bersumber dari ilham Qur’ani dan tajallī rabbānī (manifestasi
Tuhan dalam jiwa), bukan dari spekulasi semata.² Contohnya, ayat “Kemanapun
kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [05] ayat 115)
ia pahami sebagai bukti dari kesatuan wujud dan kehadiran Ilahi dalam setiap
fenomena.³
4.2.
Hadis Nabi dan Hadis Qudsi sebagai Basis
Spiritualitas
Selain Al-Qur’an,
Ibn ‘Arabi juga merujuk secara intensif pada hadis, terutama hadis-hadis
qudsi dan hadis-hadis spiritual (yang menekankan aspek cinta,
makrifat, dan tajallī). Misalnya, ia banyak mengembangkan ide metafisika cinta
berdasarkan hadis qudsi: “Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin
dikenal, maka Aku ciptakan makhluk”.⁴
Metode Ibn ‘Arabi
dalam menggunakan hadis tidak selalu bersifat tekstual-fiqih, tetapi seringkali
bersifat maknawi—ia mengeksplorasi kedalaman makna dan konotasi spiritual yang
terkandung dalam sabda Nabi, sehingga menghasilkan pembacaan baru yang simbolik
dan esoterik.⁵
4.3.
Warisan Tasawuf Klasik dan Transmisi Spiritual
Pemikiran Ibn ‘Arabi
juga banyak terinspirasi oleh para sufi pendahulunya, seperti al-Ḥallāj,
al-Bisṭāmī,
dan al-Junayd
al-Baghdādī. Dari mereka, ia mewarisi pendekatan eksistensial
terhadap pengalaman ketuhanan dan penghayatan intens terhadap ma‘rifah dan
fana’.⁶
Namun, Ibn ‘Arabi
tidak sekadar mengulang pemikiran mereka, melainkan menyusun sistem kosmologi
dan metafisika spiritual yang sangat luas dan orisinal. Ia juga mengembangkan
struktur konseptual yang lebih sistematis, seperti hierarki tajallī dan konsep
al-Insān al-Kāmil.⁷ Dalam hal ini, ia tampil sebagai penyusun sistem filsafat
tasawuf yang lengkap dan teoritis, tidak hanya sebagai pengamalnya.
4.4.
Interaksi dengan Filsafat dan Teosofi
Neoplatonik
Meski Ibn ‘Arabi
tidak secara eksplisit menyebut para filsuf Yunani, banyak peneliti mendeteksi pengaruh
Neoplatonisme, terutama dalam konsep emanasi,
hierarki wujud, dan ide tentang Realitas Pertama (al-Ḥaqq) yang memancarkan
segala sesuatu.⁸ Namun, perbedaan fundamental tetap ada: bagi Ibn ‘Arabi,
proses manifestasi berasal dari kehendak dan cinta Tuhan, bukan
sekadar hukum rasional atau logika emanasi seperti dalam filsafat Yunani.⁹
Ia juga menunjukkan
ketegasan terhadap para filsuf rasionalis dalam beberapa karyanya, sembari
menyerap unsur-unsur epistemologis dan ontologis yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip wahyu.¹⁰ Hal ini mencerminkan metodologi inklusif-kritis,
yaitu mengintegrasikan elemen luar secara selektif dan tetap berakar pada
wahyu.
4.5.
Metode Intuisi, Ilham, dan Kasyf dalam
Penyusunan Gagasan
Metodologi Ibn
‘Arabi dalam merumuskan gagasan spiritualnya sangat berbeda dari pendekatan
akademik skolastik. Ia menyusun karya-karyanya berdasarkan tajallī
(penampakan Ilahi) dan kasyf (penyingkapan batin),
yang menurutnya bersumber dari cahaya Ilahi, bukan hasil berpikir spekulatif
semata.¹¹
Dalam pengantar Fuṣūṣ
al-Ḥikam, ia menegaskan bahwa kitab itu bukan karangan rasional,
melainkan ilham yang ia terima langsung dari Nabi Muhammad melalui mimpi
spiritual.¹² Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi tidak menulis sebagai seorang
filsuf, melainkan sebagai seorang wali yang menjadi penerima pesan ruhani.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 15–18.
[2]
Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahya (Cairo:
al-Hay’ah al-Miṣriyyah, n.d.), I:21.
[3]
Tafsir al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, vol. 2
(Beirut: Dār al-Fikr, 2002), 132.
[4]
al-‘Ajlūnī, Kashf al-Khafā’ wa Muzīl al-Ilbās, no. 2016.
[5]
Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints: Prophethood and Sainthood
in the Doctrine of Ibn ‘Arabi (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993),
27–30.
[6]
Reynold A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1921), 130–134.
[7]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
170–175.
[8]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 102–108.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 147.
[10]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 162–165.
[11]
Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s
Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 33–35.
[12]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1946), 1–3.
5.
Penerimaan dan Kritik terhadap Pemikiran Ibn
‘Arabi
Pemikiran metafisik
dan tasawuf Ibn ‘Arabi telah menimbulkan gelombang pengaruh yang sangat besar
di dunia Islam maupun di Barat. Namun, sebagaimana tokoh-tokoh pemikir radikal
dalam sejarah, respon terhadap Ibn ‘Arabi sangat beragam,
mulai dari pengagungan total hingga penolakan keras. Penerimaan dan kritik
terhadap dirinya berkisar pada beberapa aspek utama, yakni: doktrin Wahdat al-Wujūd, pendekatannya yang esoterik terhadap nash, serta pengakuannya
akan pengalaman spiritual yang bersifat ilhamiah.
5.1.
Kalangan Pendukung dan Pengagum
Di antara kalangan
sufi, Ibn ‘Arabi dianggap sebagai puncak pemikiran tasawuf falsafi
dan spiritualitas Islam. Tokoh-tokoh seperti ‘Abd al-Razzāq al-Kāsyānī, Dāwūd
al-Qaysarī, dan ‘Abd al-Karīm al-Jīlī
menjadikan karya-karya Ibn ‘Arabi sebagai rujukan utama dalam membangun sistem
teosofi Islam.¹
Al-Kāsyānī bahkan
menyusun syarah (komentar) mendalam atas Fuṣūṣ al-Ḥikam, yang menjadi bacaan
wajib di banyak madrasah sufi di dunia Islam.² Sementara al-Jīlī dalam karyanya
al-Insān al-Kāmil mengembangkan secara sistematis konsep insan kamil yang
diwarisi dari Ibn ‘Arabi.³
Di wilayah
Kesultanan Utsmaniyah dan India Muslim, pemikiran Ibn ‘Arabi sangat dominan dan
dianggap sebagai landasan teologis tasawuf Sunni,
terutama dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah.⁴ Ulama besar
seperti Mullā Ṣadrā di Iran dan Shāh
Walī Allāh al-Dihlawī di India juga memberikan penghargaan
terhadap kedalaman spiritual Ibn ‘Arabi, meskipun dengan beberapa catatan
kritis.⁵
5.2.
Kritik dari Kalangan Ortodoks dan Literalis
Meski dipuji oleh
sebagian besar kaum sufi, Ibn ‘Arabi juga menuai kritik tajam dari
sebagian ulama ortodoks yang melihat doktrin-doktrinnya sebagai menyimpang dari
akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Tokoh seperti Ibn Taymiyyah adalah salah satu
pengkritik paling keras terhadap Ibn ‘Arabi. Ia menuduh Ibn ‘Arabi telah
melampaui batas dalam hal tafsir isyārī dan menanamkan pandangan yang dapat
mengarah pada panteisme.⁶
Dalam Majmū‘
al-Fatāwā, Ibn Taymiyyah menyebut bahwa banyak ucapan Ibn ‘Arabi
mengandung unsur batil yang bertentangan dengan prinsip tauhid, meskipun ia
berhati-hati untuk tidak serta-merta mengkafirkan semua pengikutnya.⁷ Kritik
ini kemudian diteruskan oleh ulama seperti al-Dhahabī, meskipun dengan
bahasa yang lebih moderat. Al-Dhahabī menyebut bahwa Ibn ‘Arabi adalah “seorang
ulama besar dan sufi yang luas ilmunya, namun sebagian pandangannya perlu
disikapi dengan sangat hati-hati.”_⁸
Selain dari kalangan
Hanbali dan salafi, sebagian ulama Syafi‘i dan Maliki juga mengkritik gaya
penafsiran batin Ibn ‘Arabi yang dianggap terlalu subjektif dan sulit
diverifikasi secara ilmiah. Mereka menyoroti kecenderungan Ibn ‘Arabi untuk
menyusun doktrin berdasarkan ilham pribadi dan pengalaman spiritual yang tidak
dapat diuji secara syar‘i.⁹
5.3.
Kritik Akademik dan Kajian Modern
Dalam dunia akademik
modern, respons terhadap Ibn ‘Arabi lebih bernuansa analitis dan filosofis.
Para sarjana seperti Henry Corbin, Titus
Burckhardt, dan William C. Chittick memuji Ibn
‘Arabi sebagai mistikus visioner dan filsuf spiritual paling agung
dalam Islam.¹⁰ Mereka menekankan bahwa pemikirannya tidak dapat
disederhanakan sebagai panteisme dalam pengertian Barat, melainkan sebagai
ekspresi dari pengalaman keesaan eksistensial yang melampaui dikotomi teisme
dan monisme.
Namun, ada pula
sarjana Muslim seperti Fazlur Rahman yang melihat
pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai terlalu metaforis dan sulit dijadikan dasar
normatif bagi kehidupan umat Islam. Baginya, pendekatan esoterik Ibn ‘Arabi
bersifat elitis dan dapat menjauhkan umat dari orientasi praktis ajaran
Islam.¹¹
5.4.
Telaah Kritis: Antara Ilham dan Nash
Kritik utama
terhadap Ibn ‘Arabi berkaitan dengan sumber epistemologi yang ia gunakan,
yaitu ilham dan kasyf (penyingkapan batiniah). Walaupun para sufi menilai bahwa
ilham adalah bentuk dari karunia Tuhan yang sah, banyak ulama yang
mempersoalkan otoritasnya jika tidak diverifikasi oleh dalil syar‘i. Ibn ‘Arabi
sendiri berulang kali menegaskan bahwa ilham yang ia terima tidak bertentangan
dengan syariat, namun tetap saja pendekatannya menimbulkan polemik dalam
diskursus fiqh dan akidah.¹²
Sebagian pihak
menilai bahwa karya Ibn ‘Arabi lebih tepat dibaca sebagai teks-teks inspiratif
untuk tazkiyatun nafs daripada rujukan dalam penyusunan hukum
atau akidah formal. Oleh karena itu, pemahaman atas karya-karyanya memerlukan bimbingan
guru mursyid, bukan sekadar pembacaan tekstual.¹³
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 11.
[2]
ʿAbd al-Razzāq al-Kāshānī, Sharḥ Fuṣūṣ al-Ḥikam (Cairo:
Maktabat al-Qāhirah, 1950), 5.
[3]
ʿAbd al-Karīm al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa
al-Awā’il (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 12–15.
[4]
Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine
(Bloomington: World Wisdom, 2008), 43–45.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 142.
[6]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dar al-Wafa’,
1995), 132–135.
[7]
Ibid., 134.
[8]
Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, vol. 23 (Beirut:
Mu’assasat al-Risālah, 1985), 48–50.
[9]
Abu Hamid al-Ghazali (dirujuk sebagai pembanding), Iḥyā’ ‘Ulūm
al-Dīn, ed. Badawi Tazi (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah, 2004), IV:230.
[10]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 14–17.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
118–120.
[12]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 22.
[13]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
166.
6.
Relevansi Pemikiran Ibn ‘Arabi di Era Modern
Di tengah arus
modernitas dan globalisasi yang cenderung menekankan dimensi materialistik,
rasionalistik, dan sekularistik dalam kehidupan, pemikiran Ibn ‘Arabi tampil
sebagai salah satu alternatif intelektual dan spiritual yang mampu menawarkan
kedalaman makna dan arah hidup yang transenden.⁽¹⁾ Dalam dunia yang semakin
terdistraksi oleh teknologi dan konsumsi, Ibn ‘Arabi membawa manusia kembali
kepada dimensi hakikat wujud dan pentingnya perjalanan batin menuju Tuhan.
6.1.
Kembali ke Pusat: Spiritualitas dalam Dunia
yang Terpecah
Salah satu aspek
paling relevan dari pemikiran Ibn ‘Arabi adalah urgensi penyatuan batiniah di
tengah keterpecahan manusia modern. Konsep Wahdat al-Wujūd tidak semata-mata
metafisika abstrak, tetapi mengandung ajakan untuk melihat kesatuan ilahiah
dalam keragaman dunia.⁽²⁾ Dalam masyarakat yang terbelah oleh fanatisme agama,
identitas rasial, dan politik ideologis, wawasan Ibn ‘Arabi tentang kebersatuan
wujud dapat menjadi titik temu lintas agama dan budaya.
Henry Corbin
menyebut pemikiran Ibn ‘Arabi sebagai “jembatan kosmologis” yang membuka
dialog antara manusia dan realitas spiritual, serta antara agama-agama yang
mencari makna ketuhanan yang lebih mendalam.⁽³⁾ Konsep ini menjadi penting
dalam dunia interreligius modern, karena Ibn ‘Arabi tidak menafikan eksistensi
kebenaran pada agama-agama lain, tetapi melihat semuanya sebagai ekspresi
tajallī Tuhan yang beragam.⁽⁴⁾
6.2.
Revitalisasi Kesadaran Diri dan Etika Spiritual
Gagasan Ibn ‘Arabi
tentang al-Insān al-Kāmil memiliki
nilai terapeutik dan pendidikan moral dalam konteks pembinaan karakter manusia
modern. Dalam budaya yang sering membentuk manusia menjadi makhluk konsumtif
dan egoistik, konsep manusia paripurna—yang sadar akan asal-usul ilahiahnya dan
hidup dengan cermin sifat-sifat Tuhan—menginspirasi pentingnya transformasi
diri dan tazkiyah al-nafs.⁽⁵⁾
Menurut Chittick,
insan kamil adalah model eksistensial bagi setiap manusia yang ingin menjadikan
hidupnya sebagai manzhar (cermin) bagi rahmat dan
hikmah Tuhan.⁽⁶⁾ Dalam pendidikan karakter, ini berarti mengintegrasikan
dimensi ruhani dengan dimensi sosial melalui kesadaran akhlak ilahiyah: sabar,
adil, kasih sayang, dan kebijaksanaan.
6.3.
Relevansi dalam Kajian Kosmologi dan Ekologi
Spiritual
Pemikiran Ibn ‘Arabi
tentang kosmos sebagai tajallī Tuhan juga menawarkan
paradigma baru dalam ekologi spiritual. Dalam kerangka Ibn ‘Arabi, alam semesta
bukan sekadar benda mati atau objek eksploitasi, tetapi manifestasi
sakral dari sifat-sifat Tuhan.⁽⁷⁾ Hal ini membuka jalan bagi
pendekatan ekologis yang spiritual dan etis—sebuah pendekatan yang kini sangat
dibutuhkan di tengah krisis lingkungan global.
Burckhardt mencatat
bahwa pemahaman Ibn ‘Arabi tentang alam sebagai “kitab terbuka” tempat
Tuhan menampakkan Diri adalah fondasi dari ekosofi Islam yang memuliakan
ciptaan sebagai ayat-ayat Tuhan.⁽⁸⁾ Dengan demikian, relasi manusia dan alam
harus dilandasi rasa hormat, tanggung jawab, dan kontemplasi spiritual, bukan
sekadar dominasi teknologis.
6.4.
Peran dalam Dialog Ilmu Pengetahuan dan
Spiritualitas
Di era sains modern
yang sering menyingkirkan dimensi transenden, Ibn ‘Arabi dapat menginspirasi integrasi
ilmu dan spiritualitas. Konsep-konsep seperti haqīqah,
tajallī,
dan marātib
al-wujūd (tingkatan eksistensi) membuka ruang bagi pemahaman
multidimensional terhadap realitas.⁽⁹⁾ Ini penting dalam perkembangan filsafat
sains Islam dan pendekatan holistik terhadap pengetahuan.
Ibn ‘Arabi
membedakan antara ‘ilm al-yaqīn (pengetahuan rasional), ‘ayn al-yaqīn
(pengetahuan pengalaman), dan ḥaqq al-yaqīn (pengetahuan langsung dari Tuhan),
suatu konsep yang sangat relevan dalam diskursus epistemologi kontemporer yang
sedang mencari keseimbangan antara objektivitas dan subjektivitas.¹⁰
6.5.
Makna Kehidupan dan Psikologi Eksistensial
Karya Ibn ‘Arabi
juga memiliki dampak besar dalam psikologi eksistensial. Dalam dunia modern
yang penuh alienasi dan krisis makna, ajarannya tentang makrifah,
cinta ilahi, dan fana’ menyediakan kerangka eksistensial bagi
pencarian makna hidup yang autentik.¹¹ Ibn ‘Arabi menempatkan pengalaman
spiritual bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai transformasi dari keterasingan
menjadi kesatuan dengan sumber segala wujud.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Izutsu, Ibn ‘Arabi mengajarkan bahwa hakikat kehidupan manusia
adalah perjalanan spiritual dari Allah, dengan Allah, dan kembali kepada
Allah.¹² Ini adalah pesan yang menyejukkan sekaligus menggerakkan: bahwa
kehidupan bukan sekadar peristiwa biologis, tetapi medan manifestasi Cinta
Ilahi.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), xii.
[2]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
195–198.
[3]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 24–26.
[4]
Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1946), 49.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 122–123.
[6]
Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 114–117.
[7]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 48.
[8]
Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine
(Bloomington: World Wisdom, 2008), 67–70.
[9]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 109–112.
[10]
Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, I:258.
[11]
Chittick, The Self-Disclosure of God, 89–91.
[12]
Izutsu, Sufism and Taoism, 155–157.
7.
Kesimpulan
Pemikiran Ibn ‘Arabi
merupakan puncak pencapaian spiritual dan intelektual dalam tradisi tasawuf
Islam yang tidak hanya mempengaruhi generasi sufi sesudahnya, tetapi juga
menjadi perhatian para filsuf, teolog, dan sarjana dari Timur maupun Barat.
Melalui konsep-konsep kunci seperti Wahdat al-Wujūd, Tajallī,
al-Insān al-Kāmil, dan Ma‘rifah Ilahiyyah, Ibn ‘Arabi
membangun sistem kosmologi dan spiritualitas yang bertumpu pada pandangan bahwa
Allah
adalah satu-satunya Wujud sejati, sementara segala makhluk
adalah manifestasi dari wujud-Nya.¹
Pemikiran Ibn ‘Arabi
tidak bisa dilepaskan dari kerangka metodologinya yang khas: ia berpijak pada
Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ilham, namun dibaca melalui pendekatan isyārī
dan batinī,
serta didukung oleh pengalaman kasyf dan tajallī
yang menjadi ciri utama epistemologi sufi.² Hal ini menempatkannya sebagai figur
intelektual yang menyatukan dimensi wahyu dan intuisi, syariat dan hakikat,
eksoterik dan esoterik.³
Respon terhadap
pemikirannya memang beragam. Di satu sisi, ia diagungkan sebagai “al-Shaykh
al-Akbar” oleh para sufi dan dianggap sebagai pewaris warisan
kenabian dalam dimensi batin.⁴ Di sisi lain, tidak sedikit ulama yang memandang
sebagian ajarannya kontroversial atau bahkan menyimpang dari prinsip tauhid
normatif.⁵ Namun demikian, kritik terhadap Ibn ‘Arabi tidak mengurangi
signifikansi kontribusinya dalam membentuk kerangka teologis dan filosofis
spiritualitas Islam.
Di era modern,
ajaran-ajarannya tetap relevan, bahkan semakin mendesak untuk dikaji ulang
secara bijak. Konsep kesatuan eksistensial yang ia tawarkan membuka peluang
bagi dialog
lintas agama, revitalisasi makna kehidupan, etika
ekologis, dan pengembangan spiritualitas personal
di tengah krisis modernitas dan disintegrasi makna.⁶ Dalam dunia yang semakin
terfragmentasi secara moral dan eksistensial, pemikiran Ibn ‘Arabi menghadirkan
semacam “teologi penghayatan” yang mengajak manusia kembali mengenal
dirinya, Tuhannya, dan realitas di sekitarnya sebagai satu kesatuan makna yang
saling terhubung.⁷
Dengan demikian, Ibn
‘Arabi bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan warisan intelektual hidup yang
menantang umat Islam dan dunia modern untuk menafsirkan ulang relasi antara
yang tampak dan yang tersembunyi, antara yang profan dan yang sakral, antara
manusia dan Tuhan. Kajian terhadapnya harus terus dilakukan, bukan dalam
semangat glorifikasi tanpa kritik, tetapi dalam semangat ilmiah yang adil, jujur, dan mendalam,
sebagaimana dipesankan oleh para ulama yang arif dan bijaksana.⁸
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 89–91.
[2]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book,
and the Law (Albany: SUNY Press, 1993), 18–22.
[3]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
123–127.
[4]
Claude Addas, Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn ‘Arabi,
trans. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Texts Society, 1993), 195.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dar al-Wafa’,
1995), 132–134.
[6]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 29–32.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 147–149.
[8]
Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine
(Bloomington: World Wisdom, 2008), 73–75.
Daftar Pustaka
Addas, C. (1993). Quest for the red sulphur: The
life of Ibn ‘Arabi (P. Kingsley, Trans.). Islamic Texts Society.
al-‘Ajluni, I. (n.d.). Kashf al-khafa’ wa muzīl
al-ilbās. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Dhahabi, M. b. A. (1985). Siyar a‘lām
al-nubalā’ (Vol. 23). Mu’assasat al-Risālah.
al-Ghazali, A. H. (2004). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn
(B. Tazi, Ed.). al-Maktabah al-Tijariyyah.
al-Jīlī, ‘A. K. (1997). al-Insān al-kāmil fī
ma‘rifat al-awākhir wa al-awā’il. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Kāshānī, ‘A. R. (1950). Sharḥ fuṣūṣ al-ḥikam.
Maktabat al-Qāhirah.
al-Qurṭubī, M. A. (2002). al-Jāmi‘ li-aḥkām
al-Qur’ān (Vols. 2 & 17). Dār al-Fikr.
al-Rāzī, F. al-D. (2001). al-Tafsīr al-kabīr
(Vol. 15). Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Burckhardt, T. (2008). An introduction to Sufi
doctrine. World Wisdom.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. State University of New York
Press.
Chodkiewicz, M. (1993). An ocean without shore:
Ibn Arabi, the book, and the law. State University of New York Press.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabi (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.
Ibn ‘Arabi, M. (n.d.). al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(O. Yahya, Ed.). al-Hay’ah al-Miṣriyyah.
Ibn ‘Arabi, M. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam (‘A.
‘Afīfī, Ed.). Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn Taymiyyah, A. H. (1995). Majmū‘ al-fatāwā
(Vol. 2). Dar al-Wafa’.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Nicholson, R. A. (1921). Studies in Islamic
mysticism. Cambridge University Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar