Jumat, 06 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 12-4: Menjaga Persatuan dalam Keberagaman

Bahan Ajar PPKn

Menjaga Persatuan dalam Keberagaman

Evaluasi Dinamika Kesatuan Bangsa dalam Bingkai NKRI


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang dinamika persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan menekankan pentingnya upaya kolektif dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah keberagaman sosial, budaya, dan agama. Dengan pendekatan historis dan kritis, kajian ini menelusuri akar sejarah perjuangan nasional dalam menegakkan persatuan sejak era pergerakan kebangsaan, proklamasi kemerdekaan, hingga tantangan integrasi pada era reformasi dan globalisasi. Evaluasi terhadap kebijakan dan realitas sosial-politik menunjukkan keberhasilan Indonesia mempertahankan integrasi nasional, namun juga mengungkap sejumlah tantangan serius seperti ketimpangan sosial, polarisasi identitas, serta ancaman disintegrasi di era digital. Artikel ini menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pendidikan kewarganegaraan dalam membina semangat nasionalisme yang inklusif dan dinamis. Pendidikan menjadi kunci dalam membentuk warga negara yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab dalam merawat NKRI sebagai rumah bersama yang damai dan berkeadilan.

Kata Kunci; Persatuan dan Kesatuan; NKRI; Bhinneka Tunggal Ika; Pendidikan Kewarganegaraan; Nasionalisme; Globalisasi; Disintegrasi; Toleransi Sosial.


PEMBAHASAN

Evaluasi Dinamika Kesatuan Bangsa dalam Bingkai NKRI


1.           Pendahuluan

Bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat keberagaman paling tinggi di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, Nusantara dihuni oleh ratusan suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, serta ragam kepercayaan yang hidup berdampingan dalam satu negara—Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keberagaman ini merupakan potensi luar biasa yang memperkaya khazanah budaya bangsa, namun di sisi lain juga menyimpan potensi konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa menjadi agenda nasional yang terus relevan dari masa ke masa.

Sejak awal berdirinya bangsa Indonesia, semangat persatuan telah menjadi landasan utama dalam proses pembentukan negara. Ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan "satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia" menjadi simbol tekad pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang etnis untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan1. Persatuan itu pula yang menjadi fondasi dalam menghadapi penjajahan serta perpecahan di masa-masa awal kemerdekaan. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa2.

Namun, dalam praktiknya, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara tidak selalu berjalan mulus. Tantangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa terus bermunculan dalam berbagai bentuk, mulai dari konflik horizontal berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), gerakan separatisme, hingga pengaruh ideologi transnasional yang mengancam integritas nasional3. Di era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi saat ini, disrupsi sosial semakin mudah terjadi melalui penyebaran hoaks, ujaran kebencian, serta politik identitas yang eksploitatif. Hal ini memicu polarisasi masyarakat dan mengikis kohesi sosial yang selama ini menopang keutuhan bangsa4.

Kondisi tersebut menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap dinamika persatuan dan kesatuan bangsa, serta perumusan strategi yang tepat guna memperkuat ketahanan nasional. Peran pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai toleransi, nasionalisme, dan tanggung jawab sosial kepada generasi muda. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menggali secara kritis faktor-faktor yang memengaruhi persatuan bangsa, menilai tantangan aktual yang dihadapi, serta mengidentifikasi peran warga negara—khususnya pelajar—dalam menjaga dan mempertahankan NKRI dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.


Footnotes

[1]                Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 74.

[2]                Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2020), Pembukaan alinea keempat.

[3]                Bambang Purwanto, “Ancaman Separatisme dan Disintegrasi Bangsa dalam Perspektif Ketahanan Nasional,” Jurnal Ketahanan Nasional 23, no. 2 (2017): 152–163.

[4]                Hermawan Sulistyo, “Radikalisme dan Disintegrasi Sosial: Tantangan Kebangsaan di Era Digital,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 24, no. 3 (2020): 201–215.


2.           Hakikat Persatuan dan Kesatuan dalam Kehidupan Berbangsa

2.1.       Pengertian Persatuan dan Kesatuan

Secara etimologis, persatuan berasal dari kata "satu" yang berarti utuh, tidak terpecah belah; sedangkan kesatuan menunjukkan kondisi menyatu dari berbagai unsur yang berbeda. Dalam konteks kehidupan berbangsa, persatuan dan kesatuan adalah kondisi harmonis yang terjadi ketika keragaman sosial, budaya, etnis, agama, dan bahasa dikelola secara adil dan proporsional dalam satu sistem kenegaraan yang menjunjung keadilan, toleransi, dan kesejahteraan bersama1.

Persatuan dan kesatuan bangsa bukan sekadar slogan politis, melainkan prinsip dasar yang menopang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai-nilai ini berakar dalam kepribadian bangsa yang menjunjung tinggi musyawarah, gotong royong, dan semangat kekeluargaan sebagai warisan luhur dari budaya Nusantara2.

2.2.       Landasan Filosofis dan Konstitusional

Nilai persatuan dan kesatuan secara eksplisit tercermin dalam dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, khususnya sila ketiga: Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung makna bahwa seluruh elemen bangsa harus mengutamakan kepentingan bersama di atas golongan dan perbedaan, demi terwujudnya negara yang kuat dan berdaulat3. Sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno, Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga falsafah hidup bangsa yang menggambarkan semangat gotong royong dan persaudaraan yang menyatukan beragam suku dan agama dalam satu identitas nasional4.

Selain itu, konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga mengukuhkan pentingnya persatuan. Dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia menyatakan tekad untuk membentuk “suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”5. Pasal 1 ayat (1) menegaskan bentuk negara sebagai “Negara Kesatuan”, dan Pasal 30 ayat (1) menyatakan kewajiban seluruh warga negara dalam upaya pertahanan dan keamanan negara.

2.3.       Peran Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”

Semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, merupakan simbol ideologis yang merefleksikan realitas sosiologis bangsa Indonesia. Dikutip dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14, semboyan ini mengandung filosofi bahwa perbedaan agama, budaya, dan etnis tidak menjadi penghalang untuk membentuk solidaritas nasional6. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya sekadar semboyan, melainkan paradigma kebangsaan yang menuntut adanya sikap saling menghargai dan keterbukaan terhadap pluralitas sebagai kekayaan, bukan ancaman.

Dalam konteks modern, semboyan ini tetap relevan di tengah arus globalisasi dan tantangan multikulturalisme. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk menanamkan pemahaman bahwa identitas kultural yang beragam tidak boleh menjadi sumber konflik, tetapi sebaliknya menjadi dasar sinergi dalam membangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.


Footnotes

[1]                Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. IV (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), 1155.

[2]                Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 256.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 71.

[4]                Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1998), 25.

[5]                Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pembukaan alinea keempat.

[6]                Mpu Tantular, Sutasoma, dalam I Gusti Bagus Sugriwa, Kakawin Sutasoma (Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), 37.


3.           Sejarah Perjuangan Menegakkan Persatuan Bangsa

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang terbentuk secara instan, melainkan hasil dari proses sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan, pengorbanan, serta kesadaran kolektif untuk merajut kebhinekaan menjadi kekuatan nasional. Sejak masa penjajahan hingga era pascakemerdekaan, bangsa Indonesia telah menunjukkan tekad dan upaya konsisten dalam menegakkan serta mempertahankan persatuan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

3.1.       Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda

Awal abad ke-20 menjadi titik tolak kesadaran nasional yang semakin menguat di kalangan rakyat Indonesia. Pendirian organisasi modern seperti Budi Utomo (1908) menandai lahirnya gerakan nasional yang bertujuan tidak hanya memperbaiki nasib rakyat melalui pendidikan dan kebudayaan, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan antar etnis dan daerah1. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai suku, bahasa, dan latar belakang daerah berikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia2.

Sumpah Pemuda memiliki makna historis yang sangat penting karena menandai transformasi orientasi perjuangan dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional. Momen ini mengikis semangat primordialisme dan mendorong lahirnya kesadaran kolektif sebagai satu bangsa yang utuh. Dalam konteks tersebut, bahasa Indonesia dipilih sebagai simbol pemersatu yang demokratis dan inklusif di tengah keberagaman bahasa daerah3.

3.2.       Proklamasi dan Konsolidasi Nasional

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang melawan penjajahan. Namun, kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari ujian besar dalam mempertahankan persatuan bangsa. Dalam kurun waktu 1945–1950, Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius berupa agresi militer Belanda serta pemberontakan dan gerakan separatis yang mengancam keutuhan NKRI, seperti PKI Madiun (1948), APRA (1950), Andi Azis (1950), dan RMS (1950)4.

Pemerintah Indonesia kala itu melakukan konsolidasi politik dan militer untuk menumpas pemberontakan, menyatukan wilayah-wilayah yang sempat terpecah dalam bentuk negara federal buatan Belanda (RIS), dan akhirnya menetapkan bentuk negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui dekret Presiden 5 Juli 1959 dan berbagai kebijakan sentralisasi berikutnya5.

3.3.       Peran Integrasi Budaya dan Pendidikan

Selain melalui kekuatan politik dan militer, persatuan bangsa ditegakkan melalui upaya integrasi sosial-budaya, terutama lewat pendidikan nasional. Pemerintah Orde Baru, misalnya, menggunakan kurikulum pendidikan, media massa, dan simbol-simbol negara (seperti lagu nasional, bendera, dan lambang Garuda) untuk menanamkan kesadaran kebangsaan dan identitas kolektif6.

Meski pendekatan tersebut tidak lepas dari kritik, terutama karena tendensinya yang sentralistis dan homogenistik, namun tetap memainkan peran dalam memperkuat integrasi nasional di tengah kemajemukan. Persatuan bangsa dijaga bukan hanya dengan kekuatan koersif, melainkan juga dengan penguatan narasi kebangsaan yang menyentuh aspek emosional dan kultural warga negara.


Footnotes

[1]                Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Awal Abad XX sampai Proklamasi (Jakarta: Gramedia, 1993), 112.

[2]                Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 66–67.

[3]                Anton Moeliono, Bahasa Indonesia dan Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988), 23.

[4]                Asvi Warman Adam, Indonesia dalam Arus Sejarah, Vol. VII: Indonesia Merdeka (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), 87–95.

[5]                Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959 (Jakarta: Equinox Publishing, 2009), 218.

[6]                Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 45.


4.           Dinamika Persatuan dan Kesatuan dalam Era Reformasi dan Globalisasi

Memasuki era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi politik, kebebasan berpendapat, otonomi daerah, serta keterbukaan informasi menjadi ciri utama reformasi yang pada satu sisi memperkuat partisipasi rakyat, namun di sisi lain juga menimbulkan dinamika baru dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ditambah dengan pesatnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks dalam mempertahankan integrasi nasional di tengah pluralitas budaya, agama, dan kepentingan.

4.1.       Demokratisasi dan Disintegrasi Sosial

Reformasi membuka ruang demokrasi yang luas bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka. Namun, kebebasan tersebut tidak selalu diiringi dengan kedewasaan dalam berwacana publik. Munculnya politik identitas, sektarianisme, serta polarisasi ideologis telah menciptakan segregasi sosial yang mengganggu kohesi nasional1. Fenomena ini terlihat nyata dalam berbagai konflik sosial berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) seperti kerusuhan Poso, Ambon, dan Sambas di awal 2000-an yang menelan banyak korban jiwa dan mengancam persatuan bangsa2.

Selain itu, sistem desentralisasi yang diterapkan melalui Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan lokal, dalam beberapa kasus justru mendorong munculnya “nasionalisme lokal” yang menantang loyalitas terhadap NKRI3. Beberapa daerah memanfaatkan otonomi untuk menegaskan identitas kedaerahan secara eksklusif, bahkan dalam bentuk tuntutan pemekaran atau pemisahan wilayah.

4.2.       Pengaruh Globalisasi dan Teknologi Digital

Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam pola komunikasi dan interaksi masyarakat. Arus informasi lintas negara yang cepat mempertemukan berbagai nilai, ideologi, dan gaya hidup baru yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Kemajuan teknologi digital, khususnya media sosial, menjadi pedang bermata dua: di satu sisi memperkuat jejaring sosial dan demokratisasi informasi; di sisi lain menjadi medium efektif untuk penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda yang dapat memecah belah masyarakat4.

Riset yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa media sosial telah digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi intoleran dan anti-NKRI secara masif, yang secara langsung mengancam persatuan nasional5. Di tengah keterbukaan digital ini, anak muda sebagai pengguna dominan internet menjadi kelompok yang paling rentan terhadap infiltrasi nilai-nilai asing yang berpotensi menggerus identitas kebangsaan mereka.

4.3.       Upaya Menjaga Persatuan di Tengah Tantangan Kontemporer

Menghadapi tantangan tersebut, negara dan masyarakat perlu mengembangkan strategi yang adaptif dan integratif. Pemerintah melalui berbagai lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara aktif mengkampanyekan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan nasionalisme dalam berbagai program pendidikan dan literasi digital6.

Pendidikan karakter yang berbasis Pancasila menjadi strategi utama dalam membentengi generasi muda dari ancaman disintegrasi. Program Profil Pelajar Pancasila yang diintegrasikan ke dalam kurikulum merdeka adalah contoh konkret dari upaya ini. Di luar itu, komunitas sipil dan organisasi keagamaan juga memainkan peran penting dalam merawat ruang-ruang dialog, memperkuat solidaritas sosial, dan mempromosikan kebhinekaan sebagai kekuatan bersama.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Demokrasi, Pluralisme, dan Integrasi Sosial di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), 81–82.

[2]                Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2006), 117–120.

[3]                Marcus Mietzner, “Indonesia’s Decentralization: The Rise of Local Identities and the Survival of the Nation-State,” Asian Survey 49, no. 4 (2009): 745–752.

[4]                Damar Juniarto, “Medsos dan Polarisasi Publik: Tantangan Demokrasi Digital,” dalam Demokrasi Digital di Asia Tenggara, ed. Damar Juniarto (Jakarta: SAFEnet, 2020), 24–31.

[5]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Kinerja BNPT Tahun 2021 (Jakarta: BNPT RI, 2022), 18–21.

[6]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Buku Panduan Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: BPIP, 2021), 9–13.


5.           Upaya Menjaga dan Mempertahankan NKRI

Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Sebagai negara yang dibangun di atas fondasi keberagaman, NKRI harus senantiasa dirawat melalui upaya berkelanjutan, baik dalam bidang ideologis, sosial, pendidikan, maupun pertahanan. Ancaman terhadap persatuan bangsa tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam—berupa disintegrasi sosial, intoleransi, radikalisme, dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah sistematis dan sinergis dari berbagai pihak untuk menjamin kelangsungan NKRI dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.

5.1.       Peran Pemerintah dalam Menguatkan Integrasi Nasional

Pemerintah sebagai pengelola negara memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keutuhan NKRI melalui kebijakan nasional yang menjamin keadilan, kesetaraan, dan persatuan. Salah satu upaya strategis yang dilakukan adalah penguatan Wawasan Kebangsaan, yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan semangat nasionalisme1. Melalui pendekatan ini, negara berupaya membangun ketahanan nasional dalam menghadapi ancaman multidimensional.

Selain itu, program seperti Revolusi Mental, yang dicanangkan sejak 2014, bertujuan membentuk karakter bangsa yang berintegritas, bekerja keras, dan gotong royong, sebagai upaya internalisasi nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari2. Pemerintah juga mengembangkan pendekatan deradikalisasi melalui BNPT dan memperkuat lembaga seperti BPIP untuk membumikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang adaptif terhadap perkembangan zaman.

Di bidang hukum, penegakan terhadap pelanggaran yang merusak tatanan kebangsaan, seperti ujaran kebencian, separatisme, dan terorisme, terus diintensifkan. Namun, pendekatan ini tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif melalui edukasi dan pemberdayaan masyarakat.

5.2.       Peran Masyarakat dalam Merawat Persatuan

Masyarakat memegang peran vital dalam menjaga iklim sosial yang harmonis. Sikap toleransi antarumat beragama, solidaritas sosial antar kelompok, serta keterlibatan dalam kegiatan gotong royong merupakan bentuk nyata dari partisipasi warga dalam menjaga persatuan. Dalam banyak kasus, masyarakat adat, tokoh agama, dan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi pilar moderasi sosial yang meredam potensi konflik dan memperkuat integrasi antar kelompok3.

Gerakan akar rumput seperti kampanye “#IndonesiaBersatu” dan program lintas budaya di daerah konflik menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menjadi agen perdamaian yang efektif. Ruang-ruang komunitas, baik fisik maupun digital, dapat difungsikan sebagai media edukasi, literasi, dan dialog antar warga negara.

5.3.       Peran Generasi Muda dan Pendidikan Kewarganegaraan

Generasi muda merupakan ujung tombak dalam menjaga kelangsungan NKRI. Oleh karena itu, penguatan pendidikan kewarganegaraan sangat penting untuk menanamkan kesadaran nasionalisme sejak dini. Kurikulum Merdeka yang kini diimplementasikan di berbagai jenjang pendidikan menyisipkan Profil Pelajar Pancasila, yang mencakup enam dimensi karakter unggul, termasuk berkebinekaan global, gotong royong, dan beriman serta bertakwa kepada Tuhan YME4.

Sekolah dan lembaga pendidikan berperan sebagai wahana pembentukan karakter melalui metode pembelajaran yang partisipatif, kontekstual, dan berbasis nilai. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Paskibra, OSIS, dan Pramuka juga menjadi ruang pendidikan informal dalam membangun jiwa kepemimpinan dan cinta tanah air.

Di era digital, penting pula mengedukasi siswa untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Literasi media menjadi bagian dari upaya membentengi generasi muda dari informasi yang memecah belah, termasuk hoaks dan narasi ekstremisme.


Footnotes

[1]                Lemhannas RI, Modul Wawasan Kebangsaan (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 2020), 10–13.

[2]                Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Grand Design Gerakan Nasional Revolusi Mental (Jakarta: Kemenko PMK, 2018), 6–8.

[3]                Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2008), 155–159.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Panduan Implementasi Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 4–6.


6.           Evaluasi Kritis atas Dinamika Persatuan dan Kesatuan

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia merupakan fondasi utama dalam menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam perjalanannya, upaya menjaga keutuhan bangsa ini tidak selalu berjalan mulus. Perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan teknologi telah menghadirkan dinamika baru yang menuntut evaluasi kritis terhadap efektivitas strategi persatuan yang selama ini dijalankan. Evaluasi ini penting sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan dan pendekatan yang lebih adaptif dalam memperkuat integrasi nasional di tengah arus perubahan global dan domestik.

6.1.       Keberhasilan dalam Memelihara Kesatuan Bangsa

Di tengah tantangan pluralitas, Indonesia telah berhasil mempertahankan bentuk negara kesatuan selama hampir delapan dekade sejak proklamasi kemerdekaan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kokohnya dasar ideologi negara, yaitu Pancasila, yang berperan sebagai titik temu dari berbagai aspirasi dan identitas kultural masyarakat1. Sistem demokrasi yang inklusif dan keberadaan institusi-institusi representatif seperti DPR, MPR, serta Mahkamah Konstitusi menjadi wadah artikulasi kepentingan yang mencegah akumulasi konflik yang dapat mengancam persatuan2.

Selain itu, upaya edukatif melalui kurikulum pendidikan nasional, program bela negara, serta kampanye kebhinekaan telah turut memperkuat kesadaran kolektif mengenai pentingnya hidup bersama dalam perbedaan. Banyak daerah yang dulunya menjadi pusat konflik kini berkembang menjadi contoh integrasi yang berhasil, seperti Ambon dan Aceh pasca-perjanjian damai3.

6.2.       Kegagalan dan Kelemahan dalam Menangani Ancaman Disintegrasi

Meski terdapat capaian penting, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kelemahan masih menghambat penguatan persatuan bangsa. Salah satu masalah mendasar adalah ketimpangan sosial dan ekonomi antarwilayah yang memicu rasa ketidakadilan dan marginalisasi, terutama di kawasan timur Indonesia4. Ketimpangan ini tidak hanya memunculkan kekecewaan terhadap pusat, tetapi juga menjadi celah bagi tumbuhnya gerakan separatisme dan sentimen lokal yang mengancam NKRI.

Dalam bidang politik, praktik politik identitas dan polarisasi elektoral telah mengikis nilai-nilai kebangsaan dan menggantinya dengan loyalitas sempit berbasis suku, agama, atau golongan. Fenomena ini terlihat dalam pemilu-pemilu belakangan ini, di mana masyarakat terpecah ke dalam kubu-kubu yang saling curiga dan menyebarkan kebencian5.

Selain itu, perkembangan teknologi digital yang tidak diimbangi dengan literasi informasi menyebabkan maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda ekstrem di media sosial. Hal ini mempercepat fragmentasi sosial dan membentuk ekosistem komunikasi yang tertutup, penuh prasangka, dan resisten terhadap dialog6.

6.3.       Studi Kasus: Papua dan Tantangan Integrasi Nasional

Papua menjadi salah satu wilayah yang hingga kini menyisakan tantangan serius bagi persatuan bangsa. Meskipun telah diberi status Otonomi Khusus sejak 2001 dan diperbarui pada 2021, aspirasi separatisme masih muncul dalam berbagai bentuk, baik demonstrasi damai, aksi kekerasan bersenjata, maupun propaganda digital7. Studi menunjukkan bahwa ketidakpuasan masyarakat Papua sering kali dipicu oleh kegagalan negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, ketimpangan pembangunan, serta representasi yang kurang dalam sistem politik nasional8.

Situasi ini menunjukkan bahwa integrasi nasional tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan administratif dan simbolik, tetapi harus menyentuh akar-akar struktural seperti keadilan sosial, pengakuan budaya lokal, serta jaminan hak-hak asasi manusia secara setara.

6.4.       Rekomendasi Strategis untuk Penguatan Persatuan

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa untuk memperkuat dinamika persatuan dan kesatuan bangsa, perlu dilakukan:

1)                  Redistribusi pembangunan secara adil dan merata untuk mengurangi ketimpangan antardaerah;

2)                  Penguatan literasi digital dan pendidikan kebangsaan yang kontekstual di era media sosial;

3)                  Reformasi kelembagaan agar lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat pinggiran;

4)                  Pendekatan kultural dan dialogis dalam merespons aspirasi kelompok-kelompok marjinal.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 54–55.

[2]                Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 601–603.

[3]                Rizal Sukma, Indonesia and the Quest for Peace in Aceh (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), 113–119.

[4]                Hal Hill, The Indonesian Economy: Growth, Crisis, and Recovery, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 249–251.

[5]                Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Polarisasi Politik di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2020), 89–94.

[6]                Damar Juniarto, “Medsos dan Polarisasi Publik: Tantangan Demokrasi Digital,” dalam Demokrasi Digital di Asia Tenggara, ed. Damar Juniarto (Jakarta: SAFEnet, 2020), 25–28.

[7]                International Crisis Group, Jokowi’s Papua Dilemma (Asia Report No. 296, Jakarta/Brussels, August 2020), 1–4.

[8]                Theo van den Broek, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, Securing the Future (Jakarta: LIPI Press, 2009), 63–69.


7.           Kesimpulan dan Refleksi Kewarganegaraan

Persatuan dan kesatuan bangsa merupakan warisan ideologis dan historis yang sangat fundamental dalam perjalanan panjang pembentukan dan pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak era pergerakan nasional hingga era reformasi dan globalisasi saat ini, semangat untuk bersatu dalam keberagaman menjadi fondasi utama dalam menjaga keutuhan negara di tengah tantangan zaman. Evaluasi kritis terhadap dinamika persatuan menunjukkan bahwa meskipun bangsa Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam menjaga integrasi nasional, sejumlah persoalan mendasar seperti ketimpangan sosial, konflik identitas, dan polarisasi politik masih memerlukan perhatian serius.

Keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan bentuk negara kesatuan selama lebih dari tujuh dekade patut diapresiasi. Fondasi ideologi Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan musyawarah terbukti menjadi perekat sosial yang kuat di tengah masyarakat yang majemuk1. Di samping itu, sistem demokrasi dan institusi kenegaraan yang terus diperbaiki telah memberikan ruang partisipatif bagi seluruh elemen bangsa untuk turut menjaga keberlangsungan NKRI2.

Namun demikian, berbagai dinamika kontemporer menunjukkan bahwa persatuan bangsa bukanlah kondisi yang statis, melainkan sebuah proses sosial dan politik yang dinamis. Tantangan globalisasi, radikalisme, konflik identitas, serta ketimpangan pembangunan membutuhkan respons strategis yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Integrasi nasional tidak akan bertahan tanpa keadilan sosial sebagai prasyarat utama persatuan yang sejati3.

Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, refleksi atas dinamika persatuan bangsa menjadi sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab kebangsaan, terutama di kalangan generasi muda. Peserta didik harus memahami bahwa menjadi warga negara bukan sekadar status administratif, tetapi merupakan komitmen etis untuk menjaga keutuhan bangsa melalui perilaku yang menjunjung toleransi, menghargai perbedaan, serta berpartisipasi aktif dalam kehidupan demokratis4. Di tengah era digital dan keterbukaan informasi, pelajar Indonesia harus dibekali dengan literasi kebangsaan yang memadai agar mampu bersikap kritis, inklusif, dan produktif dalam memaknai keberagaman.

Dengan demikian, menjaga persatuan dalam keberagaman bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau elite politik semata, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh rakyat Indonesia sebagai bagian dari warga negara. Semangat nasionalisme harus dikembangkan tidak dalam bentuk chauvinisme atau keseragaman paksa, melainkan melalui penghormatan terhadap keberagaman sebagai kekuatan bersama. Pendidikan kewarganegaraan, dalam hal ini, menjadi ruang strategis untuk menanamkan kesadaran bahwa hanya dengan bersatu, Indonesia dapat terus berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 71–73.

[2]                Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 145–148.

[3]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 2000), 5–11.

[4]                Hoskins, Bryony, dan Massimiliano Mascherini, “Measuring Active Citizenship through the Development of a Composite Indicator,” Social Indicators Research 90, no. 3 (2009): 459–488.


Daftar Pustaka

Adam, A. W. (2012). Indonesia dalam arus sejarah, Vol. VII: Indonesia merdeka. Ichtiar Baru van Hoeve.

Azra, A. (2010). Demokrasi, pluralisme, dan integrasi sosial di Indonesia. Kencana.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2022). Laporan kinerja BNPT tahun 2021. BNPT RI.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2021). Buku panduan pendidikan Pancasila untuk perguruan tinggi. BPIP.

Departemen Pendidikan Nasional. (2015). Kamus besar bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Gramedia Pustaka Utama.

Djoened Poesponegoro, M., & Notosusanto, N. (2008). Sejarah nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia. Balai Pustaka.

Fealy, G., & White, S. (Eds.). (2008). Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia. ISEAS Publishing.

Hasan, N. (2006). Laskar Jihad: Islam, militancy, and the quest for identity in post-New Order Indonesia. Cornell Southeast Asia Program Publications.

Hill, H. (2000). The Indonesian economy: Growth, crisis, and recovery (2nd ed.). Cambridge University Press.

Horowitz, D. L. (2000). Ethnic groups in conflict (2nd ed.). University of California Press.

Horowitz, D. L. (2013). Constitutional change and democracy in Indonesia. Cambridge University Press.

International Crisis Group. (2020). Jokowi’s Papua dilemma (Asia Report No. 296). https://www.crisisgroup.org

Juniarto, D. (2020). Medsos dan polarisasi publik: Tantangan demokrasi digital. Dalam D. Juniarto (Ed.), Demokrasi digital di Asia Tenggara (hlm. 24–31). SAFEnet.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Paradigma.

Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru: Sejarah pergerakan nasional dari awal abad XX sampai proklamasi. Gramedia.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2018). Grand design Gerakan Nasional Revolusi Mental. Kemenko PMK.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Panduan implementasi Profil Pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.

Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Djambatan.

Lev, D. S. (2009). The transition to guided democracy: Indonesian politics, 1957–1959. Equinox Publishing.

Mietzner, M. (2009). Indonesia’s decentralization: The rise of local identities and the survival of the nation-state. Asian Survey, 49(4), 745–752. https://doi.org/10.1525/as.2009.49.4.745

Moeliono, A. (1988). Bahasa Indonesia dan pembinaan kesatuan bangsa. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Muhtadi, B. (2020). Populisme, politik identitas, dan dinamika elektoral: Mengurai polarisasi politik di Indonesia. Penerbit Buku Kompas.

Sen, A. (2000). Development as freedom. Anchor Books.

Sugriwa, I. G. B. (Ed.). (1975). Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sukma, R. (2004). Indonesia and the quest for peace in Aceh. Institute of Southeast Asian Studies.

van den Broek, T. (2009). Papua road map: Negotiating the past, improving the present, securing the future. LIPI Press.

Hoskins, B., & Mascherini, M. (2009). Measuring active citizenship through the development of a composite indicator. Social Indicators Research, 90(3), 459–488. https://doi.org/10.1007/s11205-008-9271-2

Sekretariat Jenderal MPR RI. (2020). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar