Bahan Ajar PPKn
Menjaga Persatuan dalam Keberagaman
Evaluasi Dinamika Kesatuan Bangsa dalam Bingkai NKRI
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
dinamika persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dengan menekankan pentingnya upaya kolektif dalam
menjaga keutuhan bangsa di tengah keberagaman sosial, budaya, dan agama. Dengan
pendekatan historis dan kritis, kajian ini menelusuri akar sejarah perjuangan
nasional dalam menegakkan persatuan sejak era pergerakan kebangsaan, proklamasi
kemerdekaan, hingga tantangan integrasi pada era reformasi dan globalisasi.
Evaluasi terhadap kebijakan dan realitas sosial-politik menunjukkan keberhasilan
Indonesia mempertahankan integrasi nasional, namun juga mengungkap sejumlah
tantangan serius seperti ketimpangan sosial, polarisasi identitas, serta
ancaman disintegrasi di era digital. Artikel ini menekankan pentingnya sinergi
antara pemerintah, masyarakat, dan pendidikan kewarganegaraan dalam membina
semangat nasionalisme yang inklusif dan dinamis. Pendidikan menjadi kunci dalam
membentuk warga negara yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab dalam merawat
NKRI sebagai rumah bersama yang damai dan berkeadilan.
Kata Kunci; Persatuan dan Kesatuan; NKRI; Bhinneka Tunggal Ika;
Pendidikan Kewarganegaraan; Nasionalisme; Globalisasi; Disintegrasi; Toleransi
Sosial.
PEMBAHASAN
Evaluasi Dinamika Kesatuan Bangsa dalam Bingkai NKRI
1.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat keberagaman paling
tinggi di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, Nusantara dihuni oleh ratusan suku
bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, serta ragam kepercayaan yang hidup
berdampingan dalam satu negara—Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keberagaman ini merupakan potensi luar biasa yang memperkaya khazanah budaya
bangsa, namun di sisi lain juga menyimpan potensi konflik apabila tidak
dikelola dengan baik. Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
menjadi agenda nasional yang terus relevan dari masa ke masa.
Sejak awal
berdirinya bangsa Indonesia, semangat persatuan telah menjadi landasan utama
dalam proses pembentukan negara. Ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan
"satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia" menjadi
simbol tekad pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang etnis untuk bersatu
memperjuangkan kemerdekaan1. Persatuan itu pula yang menjadi fondasi
dalam menghadapi penjajahan serta perpecahan di masa-masa awal kemerdekaan.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
tegas dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa2.
Namun, dalam
praktiknya, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara tidak selalu berjalan
mulus. Tantangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa terus bermunculan dalam
berbagai bentuk, mulai dari konflik horizontal berbasis SARA (Suku, Agama, Ras,
dan Antargolongan), gerakan separatisme, hingga pengaruh ideologi transnasional
yang mengancam integritas nasional3. Di era globalisasi dan kemajuan
teknologi informasi saat ini, disrupsi sosial semakin mudah terjadi melalui
penyebaran hoaks, ujaran kebencian, serta politik identitas yang eksploitatif.
Hal ini memicu polarisasi masyarakat dan mengikis kohesi sosial yang selama ini
menopang keutuhan bangsa4.
Kondisi tersebut
menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap dinamika persatuan dan kesatuan
bangsa, serta perumusan strategi yang tepat guna memperkuat ketahanan nasional.
Peran pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat strategis dalam menanamkan
nilai-nilai toleransi, nasionalisme, dan tanggung jawab sosial kepada generasi
muda. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menggali secara kritis
faktor-faktor yang memengaruhi persatuan bangsa, menilai tantangan aktual yang
dihadapi, serta mengidentifikasi peran warga negara—khususnya pelajar—dalam
menjaga dan mempertahankan NKRI dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Footnotes
[1]
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah
Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), 74.
[2]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2020),
Pembukaan alinea keempat.
[3]
Bambang Purwanto, “Ancaman Separatisme dan Disintegrasi Bangsa dalam
Perspektif Ketahanan Nasional,” Jurnal Ketahanan Nasional 23, no. 2
(2017): 152–163.
[4]
Hermawan Sulistyo, “Radikalisme dan Disintegrasi Sosial: Tantangan
Kebangsaan di Era Digital,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 24,
no. 3 (2020): 201–215.
2.
Hakikat Persatuan dan Kesatuan dalam Kehidupan
Berbangsa
2.1.
Pengertian Persatuan
dan Kesatuan
Secara etimologis, persatuan
berasal dari kata "satu" yang berarti utuh, tidak terpecah belah;
sedangkan kesatuan
menunjukkan kondisi menyatu dari berbagai unsur yang berbeda. Dalam konteks
kehidupan berbangsa, persatuan dan kesatuan adalah kondisi harmonis yang
terjadi ketika keragaman sosial, budaya, etnis, agama, dan bahasa dikelola
secara adil dan proporsional dalam satu sistem kenegaraan yang menjunjung
keadilan, toleransi, dan kesejahteraan bersama1.
Persatuan dan
kesatuan bangsa bukan sekadar slogan politis, melainkan prinsip dasar yang
menopang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai-nilai ini
berakar dalam kepribadian bangsa yang menjunjung tinggi musyawarah, gotong
royong, dan semangat kekeluargaan sebagai warisan luhur dari budaya Nusantara2.
2.2.
Landasan Filosofis
dan Konstitusional
Nilai persatuan dan
kesatuan secara eksplisit tercermin dalam dasar negara Indonesia, yakni Pancasila,
khususnya sila ketiga: Persatuan Indonesia. Sila ini
mengandung makna bahwa seluruh elemen bangsa harus mengutamakan kepentingan
bersama di atas golongan dan perbedaan, demi terwujudnya negara yang kuat dan
berdaulat3. Sebagaimana dikemukakan
oleh Soekarno, Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga falsafah hidup
bangsa yang menggambarkan semangat gotong royong dan persaudaraan yang
menyatukan beragam suku dan agama dalam satu identitas nasional4.
Selain itu,
konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, juga mengukuhkan pentingnya persatuan. Dalam Pembukaan
UUD 1945, bangsa Indonesia menyatakan tekad untuk membentuk “suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia”5. Pasal 1 ayat (1)
menegaskan bentuk negara sebagai “Negara Kesatuan”, dan Pasal 30 ayat (1)
menyatakan kewajiban seluruh warga negara dalam upaya pertahanan dan keamanan
negara.
2.3.
Peran Semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”
Semboyan nasional Bhinneka
Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”,
merupakan simbol ideologis yang merefleksikan realitas sosiologis bangsa
Indonesia. Dikutip dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular
pada abad ke-14, semboyan ini mengandung filosofi bahwa perbedaan agama, budaya,
dan etnis tidak menjadi penghalang untuk membentuk solidaritas nasional6.
Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya
sekadar semboyan, melainkan paradigma kebangsaan yang menuntut adanya sikap
saling menghargai dan keterbukaan terhadap pluralitas sebagai kekayaan, bukan
ancaman.
Dalam konteks
modern, semboyan ini tetap relevan di tengah arus globalisasi dan tantangan
multikulturalisme. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk menanamkan
pemahaman bahwa identitas kultural yang beragam tidak boleh menjadi sumber
konflik, tetapi sebaliknya menjadi dasar sinergi dalam membangun Indonesia yang
berdaulat, adil, dan makmur.
Footnotes
[1]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ed. IV (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), 1155.
[2]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 2009), 256.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
71.
[4]
Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, dalam Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1998), 25.
[5]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pembukaan alinea keempat.
[6]
Mpu Tantular, Sutasoma, dalam I Gusti Bagus Sugriwa, Kakawin
Sutasoma (Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), 37.
3.
Sejarah Perjuangan Menegakkan Persatuan Bangsa
Persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang terbentuk secara instan,
melainkan hasil dari proses sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan,
pengorbanan, serta kesadaran kolektif untuk merajut kebhinekaan menjadi
kekuatan nasional. Sejak masa penjajahan hingga era pascakemerdekaan, bangsa
Indonesia telah menunjukkan tekad dan upaya konsisten dalam menegakkan serta
mempertahankan persatuan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
3.1.
Kebangkitan Nasional
dan Sumpah Pemuda
Awal abad ke-20
menjadi titik tolak kesadaran nasional yang semakin menguat di kalangan rakyat
Indonesia. Pendirian organisasi modern seperti Budi Utomo (1908) menandai
lahirnya gerakan nasional yang bertujuan tidak hanya memperbaiki nasib rakyat
melalui pendidikan dan kebudayaan, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan antar
etnis dan daerah1. Perkembangan ini mencapai
puncaknya pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,
ketika para pemuda dari berbagai suku, bahasa, dan latar belakang daerah
berikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia2.
Sumpah Pemuda memiliki
makna historis yang sangat penting karena menandai transformasi orientasi
perjuangan dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional. Momen ini mengikis
semangat primordialisme dan mendorong lahirnya kesadaran kolektif sebagai satu
bangsa yang utuh. Dalam konteks tersebut, bahasa Indonesia dipilih sebagai
simbol pemersatu yang demokratis dan inklusif di tengah keberagaman bahasa
daerah3.
3.2.
Proklamasi dan
Konsolidasi Nasional
Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang
melawan penjajahan. Namun, kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan
awal dari ujian besar dalam mempertahankan persatuan bangsa. Dalam kurun waktu
1945–1950, Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius berupa agresi militer
Belanda serta pemberontakan dan gerakan separatis yang mengancam keutuhan NKRI,
seperti PKI Madiun (1948), APRA
(1950), Andi Azis (1950), dan RMS
(1950)4.
Pemerintah Indonesia
kala itu melakukan konsolidasi politik dan militer untuk menumpas
pemberontakan, menyatukan wilayah-wilayah yang sempat terpecah dalam bentuk
negara federal buatan Belanda (RIS), dan akhirnya menetapkan bentuk negara
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
melalui dekret Presiden 5 Juli 1959 dan berbagai kebijakan sentralisasi
berikutnya5.
3.3.
Peran Integrasi
Budaya dan Pendidikan
Selain melalui
kekuatan politik dan militer, persatuan bangsa ditegakkan melalui upaya
integrasi sosial-budaya, terutama lewat pendidikan nasional. Pemerintah Orde
Baru, misalnya, menggunakan kurikulum pendidikan, media massa, dan
simbol-simbol negara (seperti lagu nasional, bendera, dan lambang Garuda) untuk
menanamkan kesadaran kebangsaan dan identitas kolektif6.
Meski pendekatan
tersebut tidak lepas dari kritik, terutama karena tendensinya yang sentralistis
dan homogenistik, namun tetap memainkan peran dalam memperkuat integrasi
nasional di tengah kemajemukan. Persatuan bangsa dijaga bukan hanya dengan
kekuatan koersif, melainkan juga dengan penguatan narasi kebangsaan yang
menyentuh aspek emosional dan kultural warga negara.
Footnotes
[1]
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari Awal Abad XX sampai Proklamasi (Jakarta:
Gramedia, 1993), 112.
[2]
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah
Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), 66–67.
[3]
Anton Moeliono, Bahasa Indonesia dan Pembinaan Kesatuan Bangsa
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988), 23.
[4]
Asvi Warman Adam, Indonesia dalam Arus Sejarah, Vol. VII: Indonesia
Merdeka (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), 87–95.
[5]
Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian
Politics, 1957–1959 (Jakarta: Equinox Publishing, 2009), 218.
[6]
Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in
Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006), 45.
4.
Dinamika Persatuan dan Kesatuan dalam Era
Reformasi dan Globalisasi
Memasuki era
Reformasi pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan besar dalam berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi politik, kebebasan
berpendapat, otonomi daerah, serta keterbukaan informasi menjadi ciri utama
reformasi yang pada satu sisi memperkuat partisipasi rakyat, namun di sisi lain
juga menimbulkan dinamika baru dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Ditambah dengan pesatnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi,
bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks dalam mempertahankan
integrasi nasional di tengah pluralitas budaya, agama, dan kepentingan.
4.1.
Demokratisasi dan
Disintegrasi Sosial
Reformasi membuka
ruang demokrasi yang luas bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara
terbuka. Namun, kebebasan tersebut tidak selalu diiringi dengan kedewasaan
dalam berwacana publik. Munculnya politik identitas, sektarianisme, serta
polarisasi ideologis telah menciptakan segregasi sosial yang mengganggu kohesi
nasional1. Fenomena ini terlihat nyata dalam berbagai
konflik sosial berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
seperti kerusuhan Poso, Ambon, dan Sambas di awal 2000-an yang menelan banyak
korban jiwa dan mengancam persatuan bangsa2.
Selain itu, sistem
desentralisasi yang diterapkan melalui Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999,
meskipun dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan lokal, dalam beberapa kasus
justru mendorong munculnya “nasionalisme lokal” yang menantang loyalitas
terhadap NKRI3. Beberapa daerah
memanfaatkan otonomi untuk menegaskan identitas kedaerahan secara eksklusif,
bahkan dalam bentuk tuntutan pemekaran atau pemisahan wilayah.
4.2.
Pengaruh Globalisasi
dan Teknologi Digital
Globalisasi telah
membawa perubahan besar dalam pola komunikasi dan interaksi masyarakat. Arus
informasi lintas negara yang cepat mempertemukan berbagai nilai, ideologi, dan
gaya hidup baru yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Kemajuan teknologi digital, khususnya media sosial, menjadi pedang bermata dua:
di satu sisi memperkuat jejaring sosial dan demokratisasi informasi; di sisi
lain menjadi medium efektif untuk penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan
propaganda yang dapat memecah belah masyarakat4.
Riset yang dilakukan
oleh Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa
media sosial telah digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi
intoleran dan anti-NKRI secara masif, yang secara langsung mengancam persatuan
nasional5. Di tengah keterbukaan digital ini, anak muda
sebagai pengguna dominan internet menjadi kelompok yang paling rentan terhadap
infiltrasi nilai-nilai asing yang berpotensi menggerus identitas kebangsaan
mereka.
4.3.
Upaya Menjaga
Persatuan di Tengah Tantangan Kontemporer
Menghadapi tantangan
tersebut, negara dan masyarakat perlu mengembangkan strategi yang adaptif dan
integratif. Pemerintah melalui berbagai lembaga seperti Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek),
serta Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara aktif
mengkampanyekan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan nasionalisme dalam
berbagai program pendidikan dan literasi digital6.
Pendidikan karakter
yang berbasis Pancasila menjadi strategi utama dalam membentengi generasi muda
dari ancaman disintegrasi. Program Profil Pelajar Pancasila yang
diintegrasikan ke dalam kurikulum merdeka adalah contoh konkret dari upaya ini.
Di luar itu, komunitas sipil dan organisasi keagamaan juga memainkan peran
penting dalam merawat ruang-ruang dialog, memperkuat solidaritas sosial, dan
mempromosikan kebhinekaan sebagai kekuatan bersama.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Demokrasi, Pluralisme, dan Integrasi Sosial di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), 81–82.
[2]
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for
Identity in Post-New Order Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia
Program Publications, 2006), 117–120.
[3]
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Decentralization: The Rise of Local Identities
and the Survival of the Nation-State,” Asian Survey 49, no. 4 (2009):
745–752.
[4]
Damar Juniarto, “Medsos dan Polarisasi Publik: Tantangan Demokrasi Digital,”
dalam Demokrasi Digital di Asia Tenggara, ed. Damar Juniarto (Jakarta:
SAFEnet, 2020), 24–31.
[5]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Kinerja
BNPT Tahun 2021 (Jakarta: BNPT RI, 2022), 18–21.
[6]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Buku Panduan Pendidikan
Pancasila untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: BPIP, 2021), 9–13.
5.
Upaya Menjaga dan Mempertahankan NKRI
Menjaga dan
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan
tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Sebagai negara yang dibangun di
atas fondasi keberagaman, NKRI harus senantiasa dirawat melalui upaya
berkelanjutan, baik dalam bidang ideologis, sosial, pendidikan, maupun
pertahanan. Ancaman terhadap persatuan bangsa tidak hanya datang dari luar,
melainkan juga dari dalam—berupa disintegrasi sosial, intoleransi, radikalisme,
dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah sistematis
dan sinergis dari berbagai pihak untuk menjamin kelangsungan NKRI dalam
semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
5.1.
Peran Pemerintah
dalam Menguatkan Integrasi Nasional
Pemerintah sebagai
pengelola negara memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keutuhan NKRI
melalui kebijakan nasional yang menjamin keadilan, kesetaraan, dan persatuan.
Salah satu upaya strategis yang dilakukan adalah penguatan Wawasan
Kebangsaan, yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri
dan lingkungannya berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan semangat nasionalisme1.
Melalui pendekatan ini, negara berupaya membangun ketahanan nasional dalam
menghadapi ancaman multidimensional.
Selain itu, program
seperti Revolusi Mental, yang
dicanangkan sejak 2014, bertujuan membentuk karakter bangsa yang berintegritas,
bekerja keras, dan gotong royong, sebagai upaya internalisasi nilai kebangsaan
dalam kehidupan sehari-hari2. Pemerintah juga
mengembangkan pendekatan deradikalisasi melalui BNPT dan memperkuat lembaga
seperti BPIP untuk membumikan Pancasila
sebagai ideologi terbuka yang adaptif terhadap perkembangan zaman.
Di bidang hukum,
penegakan terhadap pelanggaran yang merusak tatanan kebangsaan, seperti ujaran
kebencian, separatisme, dan terorisme, terus diintensifkan. Namun, pendekatan
ini tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif melalui edukasi dan
pemberdayaan masyarakat.
5.2.
Peran Masyarakat
dalam Merawat Persatuan
Masyarakat memegang
peran vital dalam menjaga iklim sosial yang harmonis. Sikap toleransi antarumat
beragama, solidaritas sosial antar kelompok, serta keterlibatan dalam kegiatan
gotong royong merupakan bentuk nyata dari partisipasi warga dalam menjaga
persatuan. Dalam banyak kasus, masyarakat adat, tokoh agama, dan organisasi
keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
menjadi pilar moderasi sosial yang meredam potensi konflik dan memperkuat
integrasi antar kelompok3.
Gerakan akar rumput
seperti kampanye “#IndonesiaBersatu” dan program lintas budaya di daerah
konflik menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menjadi agen
perdamaian yang efektif. Ruang-ruang komunitas, baik fisik maupun digital,
dapat difungsikan sebagai media edukasi, literasi, dan dialog antar warga
negara.
5.3.
Peran Generasi Muda
dan Pendidikan Kewarganegaraan
Generasi muda
merupakan ujung tombak dalam menjaga kelangsungan NKRI. Oleh karena itu,
penguatan pendidikan kewarganegaraan sangat penting untuk menanamkan kesadaran
nasionalisme sejak dini. Kurikulum Merdeka yang kini diimplementasikan di
berbagai jenjang pendidikan menyisipkan Profil Pelajar Pancasila, yang
mencakup enam dimensi karakter unggul, termasuk berkebinekaan global, gotong
royong, dan beriman serta bertakwa kepada Tuhan YME4.
Sekolah dan lembaga
pendidikan berperan sebagai wahana pembentukan karakter melalui metode
pembelajaran yang partisipatif, kontekstual, dan berbasis nilai. Kegiatan
ekstrakurikuler seperti Paskibra, OSIS, dan Pramuka
juga menjadi ruang pendidikan informal dalam membangun jiwa kepemimpinan dan
cinta tanah air.
Di era digital,
penting pula mengedukasi siswa untuk menjadi warga digital yang bertanggung
jawab. Literasi media menjadi bagian dari upaya membentengi generasi muda dari
informasi yang memecah belah, termasuk hoaks dan narasi ekstremisme.
Footnotes
[1]
Lemhannas RI, Modul Wawasan Kebangsaan (Jakarta: Lembaga
Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 2020), 10–13.
[2]
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(Kemenko PMK), Grand Design Gerakan Nasional Revolusi Mental (Jakarta:
Kemenko PMK, 2018), 6–8.
[3]
Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and
Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2008), 155–159.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek), Panduan Implementasi Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 4–6.
6.
Evaluasi Kritis atas Dinamika Persatuan dan
Kesatuan
Persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia merupakan fondasi utama dalam menjaga eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam perjalanannya, upaya
menjaga keutuhan bangsa ini tidak selalu berjalan mulus. Perkembangan politik,
sosial, ekonomi, dan teknologi telah menghadirkan dinamika baru yang menuntut
evaluasi kritis terhadap efektivitas strategi persatuan yang selama ini
dijalankan. Evaluasi ini penting sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan dan
pendekatan yang lebih adaptif dalam memperkuat integrasi nasional di tengah
arus perubahan global dan domestik.
6.1.
Keberhasilan dalam
Memelihara Kesatuan Bangsa
Di tengah tantangan
pluralitas, Indonesia telah berhasil mempertahankan bentuk negara kesatuan
selama hampir delapan dekade sejak proklamasi kemerdekaan. Keberhasilan ini
tidak terlepas dari kokohnya dasar ideologi negara, yaitu Pancasila,
yang berperan sebagai titik temu dari berbagai aspirasi dan identitas kultural
masyarakat1. Sistem demokrasi yang
inklusif dan keberadaan institusi-institusi representatif seperti DPR, MPR,
serta Mahkamah Konstitusi menjadi wadah artikulasi kepentingan yang mencegah
akumulasi konflik yang dapat mengancam persatuan2.
Selain itu, upaya
edukatif melalui kurikulum pendidikan nasional, program bela negara, serta
kampanye kebhinekaan telah turut memperkuat kesadaran kolektif mengenai
pentingnya hidup bersama dalam perbedaan. Banyak daerah yang dulunya menjadi
pusat konflik kini berkembang menjadi contoh integrasi yang berhasil, seperti
Ambon dan Aceh pasca-perjanjian damai3.
6.2.
Kegagalan dan Kelemahan
dalam Menangani Ancaman Disintegrasi
Meski terdapat
capaian penting, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kelemahan masih
menghambat penguatan persatuan bangsa. Salah satu masalah mendasar adalah ketimpangan
sosial dan ekonomi antarwilayah yang memicu rasa ketidakadilan
dan marginalisasi, terutama di kawasan timur Indonesia4.
Ketimpangan ini tidak hanya memunculkan kekecewaan terhadap pusat, tetapi juga
menjadi celah bagi tumbuhnya gerakan separatisme dan sentimen lokal yang
mengancam NKRI.
Dalam bidang
politik, praktik politik identitas dan polarisasi elektoral
telah mengikis nilai-nilai kebangsaan dan menggantinya dengan loyalitas sempit
berbasis suku, agama, atau golongan. Fenomena ini terlihat dalam pemilu-pemilu
belakangan ini, di mana masyarakat terpecah ke dalam kubu-kubu yang saling
curiga dan menyebarkan kebencian5.
Selain itu,
perkembangan teknologi digital yang tidak diimbangi dengan literasi informasi
menyebabkan maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan
propaganda ekstrem di media sosial. Hal ini mempercepat
fragmentasi sosial dan membentuk ekosistem komunikasi yang tertutup, penuh
prasangka, dan resisten terhadap dialog6.
6.3.
Studi Kasus: Papua
dan Tantangan Integrasi Nasional
Papua menjadi salah
satu wilayah yang hingga kini menyisakan tantangan serius bagi persatuan
bangsa. Meskipun telah diberi status Otonomi Khusus sejak 2001 dan diperbarui
pada 2021, aspirasi separatisme masih muncul dalam berbagai bentuk, baik
demonstrasi damai, aksi kekerasan bersenjata, maupun propaganda digital7.
Studi menunjukkan bahwa ketidakpuasan masyarakat Papua sering kali dipicu oleh
kegagalan negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, ketimpangan pembangunan,
serta representasi yang kurang dalam sistem politik nasional8.
Situasi ini
menunjukkan bahwa integrasi nasional tidak cukup hanya dilakukan dengan
pendekatan administratif dan simbolik, tetapi harus menyentuh akar-akar
struktural seperti keadilan sosial, pengakuan budaya lokal, serta jaminan
hak-hak asasi manusia secara setara.
6.4.
Rekomendasi Strategis
untuk Penguatan Persatuan
Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa untuk memperkuat dinamika persatuan dan kesatuan bangsa,
perlu dilakukan:
1)
Redistribusi
pembangunan secara adil dan merata untuk mengurangi ketimpangan
antardaerah;
2)
Penguatan literasi
digital dan pendidikan kebangsaan yang kontekstual di era media
sosial;
3)
Reformasi kelembagaan
agar lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat pinggiran;
4)
Pendekatan kultural dan
dialogis dalam merespons aspirasi kelompok-kelompok marjinal.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
54–55.
[2]
Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, 2nd ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 601–603.
[3]
Rizal Sukma, Indonesia and the Quest for Peace in Aceh
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), 113–119.
[4]
Hal Hill, The Indonesian Economy: Growth, Crisis, and Recovery,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 249–251.
[5]
Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika
Elektoral: Mengurai Polarisasi Politik di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2020), 89–94.
[6]
Damar Juniarto, “Medsos dan Polarisasi Publik: Tantangan Demokrasi
Digital,” dalam Demokrasi Digital di Asia Tenggara, ed. Damar Juniarto
(Jakarta: SAFEnet, 2020), 25–28.
[7]
International Crisis Group, Jokowi’s Papua Dilemma (Asia
Report No. 296, Jakarta/Brussels, August 2020), 1–4.
[8]
Theo van den Broek, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving
the Present, Securing the Future (Jakarta: LIPI Press, 2009), 63–69.
7.
Kesimpulan dan Refleksi Kewarganegaraan
Persatuan dan
kesatuan bangsa merupakan warisan ideologis dan historis yang sangat
fundamental dalam perjalanan panjang pembentukan dan pemeliharaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak era pergerakan nasional hingga era
reformasi dan globalisasi saat ini, semangat untuk bersatu dalam keberagaman
menjadi fondasi utama dalam menjaga keutuhan negara di tengah tantangan zaman.
Evaluasi kritis terhadap dinamika persatuan menunjukkan bahwa meskipun bangsa
Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam menjaga integrasi nasional,
sejumlah persoalan mendasar seperti ketimpangan sosial, konflik identitas, dan
polarisasi politik masih memerlukan perhatian serius.
Keberhasilan
Indonesia dalam mempertahankan bentuk negara kesatuan selama lebih dari tujuh
dekade patut diapresiasi. Fondasi ideologi Pancasila, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, serta nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan
musyawarah terbukti menjadi perekat sosial yang kuat di tengah masyarakat yang
majemuk1. Di samping itu, sistem demokrasi dan institusi kenegaraan
yang terus diperbaiki telah memberikan ruang partisipatif bagi seluruh elemen
bangsa untuk turut menjaga keberlangsungan NKRI2.
Namun demikian,
berbagai dinamika kontemporer menunjukkan bahwa persatuan bangsa bukanlah
kondisi yang statis, melainkan sebuah proses sosial dan politik yang dinamis.
Tantangan globalisasi, radikalisme, konflik identitas, serta ketimpangan
pembangunan membutuhkan respons strategis yang inklusif, adil, dan
berkelanjutan. Integrasi nasional tidak akan bertahan tanpa keadilan sosial
sebagai prasyarat utama persatuan yang sejati3.
Dalam konteks
pendidikan kewarganegaraan, refleksi atas dinamika persatuan bangsa menjadi
sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab kebangsaan,
terutama di kalangan generasi muda. Peserta didik harus memahami bahwa menjadi
warga negara bukan sekadar status administratif, tetapi merupakan komitmen etis
untuk menjaga keutuhan bangsa melalui perilaku yang menjunjung toleransi,
menghargai perbedaan, serta berpartisipasi aktif dalam kehidupan demokratis4.
Di tengah era digital dan keterbukaan informasi, pelajar Indonesia harus
dibekali dengan literasi kebangsaan yang memadai agar mampu bersikap kritis,
inklusif, dan produktif dalam memaknai keberagaman.
Dengan demikian,
menjaga persatuan dalam keberagaman bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau
elite politik semata, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh rakyat
Indonesia sebagai bagian dari warga negara. Semangat nasionalisme harus
dikembangkan tidak dalam bentuk chauvinisme atau keseragaman paksa, melainkan
melalui penghormatan terhadap keberagaman sebagai kekuatan bersama. Pendidikan
kewarganegaraan, dalam hal ini, menjadi ruang strategis untuk menanamkan
kesadaran bahwa hanya dengan bersatu, Indonesia dapat terus berdiri tegak
sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
71–73.
[2]
Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in
Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 145–148.
[3]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
2000), 5–11.
[4]
Hoskins, Bryony, dan Massimiliano Mascherini, “Measuring Active
Citizenship through the Development of a Composite Indicator,” Social
Indicators Research 90, no. 3 (2009): 459–488.
Daftar Pustaka
Adam, A. W. (2012). Indonesia dalam arus
sejarah, Vol. VII: Indonesia merdeka. Ichtiar Baru van Hoeve.
Azra, A. (2010). Demokrasi, pluralisme, dan
integrasi sosial di Indonesia. Kencana.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2022). Laporan
kinerja BNPT tahun 2021. BNPT RI.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2021). Buku
panduan pendidikan Pancasila untuk perguruan tinggi. BPIP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2015). Kamus
besar bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Gramedia Pustaka Utama.
Djoened Poesponegoro, M., & Notosusanto, N.
(2008). Sejarah nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan zaman Republik
Indonesia. Balai Pustaka.
Fealy, G., & White, S. (Eds.). (2008). Expressing
Islam: Religious life and politics in Indonesia. ISEAS Publishing.
Hasan, N. (2006). Laskar Jihad: Islam,
militancy, and the quest for identity in post-New Order Indonesia. Cornell
Southeast Asia Program Publications.
Hill, H. (2000). The Indonesian economy: Growth,
crisis, and recovery (2nd ed.). Cambridge University Press.
Horowitz, D. L. (2000). Ethnic groups in
conflict (2nd ed.). University of California Press.
Horowitz, D. L. (2013). Constitutional change
and democracy in Indonesia. Cambridge University Press.
International Crisis Group. (2020). Jokowi’s
Papua dilemma (Asia Report No. 296). https://www.crisisgroup.org
Juniarto, D. (2020). Medsos dan polarisasi publik:
Tantangan demokrasi digital. Dalam D. Juniarto (Ed.), Demokrasi digital di
Asia Tenggara (hlm. 24–31). SAFEnet.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Paradigma.
Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah
Indonesia baru: Sejarah pergerakan nasional dari awal abad XX sampai proklamasi.
Gramedia.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan. (2018). Grand design Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Kemenko PMK.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2021). Panduan implementasi Profil Pelajar Pancasila.
Kemendikbudristek.
Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan kebudayaan
di Indonesia. Djambatan.
Lev, D. S. (2009). The transition to guided
democracy: Indonesian politics, 1957–1959. Equinox Publishing.
Mietzner, M. (2009). Indonesia’s decentralization:
The rise of local identities and the survival of the nation-state. Asian
Survey, 49(4), 745–752. https://doi.org/10.1525/as.2009.49.4.745
Moeliono, A. (1988). Bahasa Indonesia dan
pembinaan kesatuan bangsa. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Muhtadi, B. (2020). Populisme, politik
identitas, dan dinamika elektoral: Mengurai polarisasi politik di Indonesia.
Penerbit Buku Kompas.
Sen, A. (2000). Development as freedom.
Anchor Books.
Sugriwa, I. G. B. (Ed.). (1975). Kakawin
Sutasoma oleh Mpu Tantular. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukma, R. (2004). Indonesia and the quest for
peace in Aceh. Institute of Southeast Asian Studies.
van den Broek, T. (2009). Papua road map:
Negotiating the past, improving the present, securing the future. LIPI
Press.
Hoskins, B., & Mascherini, M. (2009). Measuring
active citizenship through the development of a composite indicator. Social
Indicators Research, 90(3), 459–488. https://doi.org/10.1007/s11205-008-9271-2
Sekretariat Jenderal MPR RI. (2020). Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar