Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an
Al-Insan, Basyar,
Bani Adam, dan Khalifah
Abstrak
Artikel ini membahas konsep manusia dalam
perspektif Al-Qur'an dengan menyoroti kedudukan, karakter, dan tanggung jawab
manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia digambarkan sebagai makhluk istimewa
yang diciptakan dengan tujuan utama untuk beribadah kepada Allah dan mengelola
bumi dengan bijaksana. Berbagai istilah yang digunakan dalam Al-Qur'an, seperti
al-insan, basyar, bani Adam, dan khalifah,
mencerminkan sifat kompleks manusia yang memiliki potensi besar untuk kebaikan,
namun juga cenderung melakukan kesalahan. Artikel ini juga mengkaji hubungan
manusia dengan Allah, sesama, dan alam sebagai fondasi kehidupan yang harmonis.
Tujuan penciptaan manusia meliputi pemenuhan tugas spiritual dan duniawi,
dengan hikmah yang mengarahkan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dengan analisis tematik dari ayat-ayat Al-Qur'an dan tafsir yang
kredibel, artikel ini memberikan panduan holistik tentang peran manusia dalam
kehidupan kontemporer.
Kata Kunci: Manusia, Al-Qur'an, Khalifah, Hubungan Spiritual,
Hubungan Sosial, Ibadah, Tanggung Jawab, Hikmah Penciptaan.
1.
Pendahuluan
Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang paling
unik dan istimewa, diberikan akal, kebebasan memilih, serta amanah sebagai
khalifah di bumi. Dalam Al-Qur'an, manusia sering kali disebut dengan istilah
yang berbeda-beda, seperti al-insan, basyar, dan bani Adam,
yang masing-masing mencerminkan dimensi tertentu dari sifat dan kedudukan
manusia. Istilah ini menunjukkan kompleksitas manusia sebagai makhluk biologis,
spiritual, dan sosial. Sebagai makhluk yang memiliki kedudukan tinggi, manusia
diberi tanggung jawab besar untuk mengelola bumi dengan bijaksana dan beribadah
kepada Allah sebagai tujuan utama penciptaannya.
Dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya dianggap
sebagai individu yang berdiri sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari hubungan
tiga dimensi: hubungan dengan Allah (hablum minallah), hubungan dengan sesama
manusia (hablum minannas), dan hubungan dengan alam (hablum minal ‘alam). Hal
ini ditekankan dalam berbagai ayat Al-Qur'an yang menegaskan peran manusia
sebagai penjaga keharmonisan di muka bumi (QS. Hud [11] ayat 61) dan larangan
untuk membuat kerusakan (QS. Al-A'raf [07] ayat 56).
Sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan akal dan
wahyu, manusia juga diberi ujian dalam menjalankan tanggung jawabnya. Allah
berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh." (QS. Al-Ahzab [33]
ayat 72). Ayat ini menegaskan betapa besar tanggung jawab manusia sebagai
makhluk yang diberi amanah, meski sering kali lalai dalam memikulnya.
Konsep manusia dalam Al-Qur'an memberikan landasan
yang kuat bagi manusia modern untuk memahami identitas dan tanggung jawabnya
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang semakin kompleks,
penghayatan terhadap konsep ini dapat memberikan panduan moral dan spiritual
untuk menjalani kehidupan yang selaras dengan tujuan penciptaan manusia. Dengan
demikian, pembahasan tentang manusia dalam perspektif Al-Qur'an menjadi relevan
untuk menganalisis bagaimana manusia dapat menjalankan perannya dengan optimal
di tengah perubahan global.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 18-19.
[2]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), 173.
[3]
Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur'an (Beirut: Dar
Al-Shuruq, 1999), 1:140-141.
[4]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 624.
[5]
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 3:470.
2.
Pengertian
dan Penyebutan Manusia dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menyebut
manusia dengan berbagai istilah, masing-masing mencerminkan aspek tertentu dari
sifat, fungsi, dan kedudukan manusia dalam kehidupan. Penyebutan ini tidak
hanya menggambarkan identitas manusia sebagai makhluk Allah, tetapi juga
menjelaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.
2.1. Al-Insan (الإنسان): Manusia Secara Umum
Istilah al-insan
merupakan penyebutan yang paling sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk merujuk
kepada manusia secara keseluruhan, baik individu maupun kolektif. Kata ini
mencerminkan sifat dasar manusia, seperti kelemahan, ketergesa-gesaan, dan rasa
syukur. Allah berfirman:
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir." (QS. Al-Ma’arij [70] ayat 19-20).
Al-Insan juga
mencakup potensi kebaikan
manusia, seperti kemampuan untuk bersyukur dan beriman kepada Allah,
sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Insan [76] ayat 3, "Sesungguhnya
Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kufur." Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa istilah ini
menekankan sifat manusia sebagai
makhluk yang bergantung kepada Allah dan mudah berubah sesuai dengan lingkungan
dan keadaan hatinya.¹
2.2. Al-Basyar (البشر): Manusia sebagai Makhluk Biologis
Istilah al-basyar
digunakan untuk menggambarkan manusia dalam aspek fisik dan biologisnya. Kata ini menunjukkan karakteristik manusia
yang berbentuk jasmani dan berasal dari tanah. Dalam QS. Al-Kahfi [18] ayat
110, Allah berfirman:
"Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanyalah
seorang manusia biasa seperti kamu."
Menurut Muhammad
Asad, istilah ini menekankan kesetaraan fisik manusia dan membedakannya dari
makhluk lain, seperti malaikat.² Kata basyar juga menunjukkan bahwa manusia memiliki
keterbatasan biologis, seperti kebutuhan makan dan minum (QS. Al-Furqan [25]
ayat 7).³
2.3. Bani Adam (بني آدم): Hubungan dengan Nabi Adam
Penyebutan bani
Adam dalam Al-Qur'an merujuk pada manusia sebagai keturunan
Nabi Adam. Hal ini menegaskan bahwa manusia memiliki asal usul yang sama, yaitu dari satu nenek moyang. Allah
berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam." (QS. Al-Isra [17] ayat 70).
Menurut Tafsir
Al-Qurthubi, penyebutan ini mengingatkan manusia akan kemuliaan dan tanggung
jawabnya sebagai makhluk yang diberi keistimewaan oleh Allah.⁴ Selain itu,
istilah ini juga digunakan untuk memperingatkan manusia agar tidak mengikuti
jejak kesalahan Adam, seperti dalam QS. Al-A'raf [07] ayat 27, "Hai
anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu ditipu oleh setan sebagaimana ia telah
mengeluarkan ibu bapakmu dari surga."
2.4. An-Nas (الناس): Manusia dalam Konteks Kolektif
Kata an-nas
sering digunakan untuk menggambarkan manusia dalam konteks sosial dan kolektif.
Istilah ini menunjukkan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam
hubungan antarindividu. QS. An-Nas [114] ayat 1-6 memberikan contoh penggunaan
istilah ini dalam doa perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang
mempengaruhi manusia secara umum.
Sayyid Qutb dalam Fi Zilal
al-Qur’an menjelaskan bahwa istilah ini juga menekankan keragaman
manusia dalam perilaku, keyakinan, dan status sosial.⁵
2.5. Khalifah (خليفة): Manusia sebagai Pemimpin
Istilah khalifah
digunakan untuk menunjukkan
tugas manusia sebagai wakil Allah di bumi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 30,
Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi."
Tugas ini mencakup pengelolaan bumi, pemeliharaan keseimbangan,
dan tanggung jawab moral terhadap makhluk lainnya. Tafsir Al-Mawardi menyatakan
bahwa khalifah tidak hanya berarti pemimpin secara politik, tetapi juga
pelindung nilai-nilai ilahiah di muka bumi.⁶
2.6. Nafsun (نفس): Dimensi Spiritual Manusia
Istilah nafs
dalam Al-Qur'an mengacu
pada aspek jiwa manusia. Allah berfirman:
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS. Asy-Syams [91] ayat
8).
Quraish Shihab dalam
Tafsir
Al-Mishbah menjelaskan bahwa istilah ini mencakup potensi kebaikan
dan keburukan yang ada dalam diri manusia.⁷ Dengan kata lain, manusia memiliki
kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, yang kemudian akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS. Al-Muddaththir [74] ayat 38).
Kesimpulan
Penggunaan berbagai
istilah dalam Al-Qur'an untuk menyebut manusia menunjukkan kompleksitas makhluk
ini, baik dari segi fisik, sosial, maupun spiritual. Dengan memahami
penyebutan-penyebutan ini, manusia diharapkan menyadari kedudukannya yang istimewa di sisi Allah sekaligus
tanggung jawab besar yang diembannya.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 3:210.
[2]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 40.
[3]
Ibid., 98.
[4]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 10:47.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:110.
[6]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 1:56.
[7]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 73.
3.
Proses
Penciptaan dan Keistimewaan Manusia
Manusia memiliki
kedudukan yang istimewa di antara makhluk Allah. Al-Qur'an menjelaskan proses penciptaan manusia dengan rinci, menyoroti
keunikannya dalam aspek fisik, spiritual, dan moral. Pemahaman tentang proses
penciptaan ini memberikan wawasan mendalam mengenai posisi manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah.
3.1. Proses Penciptaan Manusia
3.1.1.
Penciptaan dari
Tanah
Al-Qur'an
menyebutkan bahwa manusia pertama,
Nabi Adam, diciptakan dari tanah. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari saripati yang berasal dari tanah." (QS.
Al-Mu’minun [23] ayat 12).
Menurut Tafsir Ibnu
Katsir, tanah ini merujuk pada unsur-unsur bumi yang menyusun tubuh manusia,
mencerminkan hubungan manusia dengan bumi sebagai sumber kehidupan.¹ Proses
penciptaan ini juga menunjukkan keharmonisan antara fisik manusia dan alam
semesta.
3.1.2.
Peniupan Ruh oleh
Allah
Setelah pembentukan
fisik manusia, Allah meniupkan
ruh-Nya ke dalam diri manusia, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr [15]
ayat 29:
"Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud."
Peniupan ruh ini
menegaskan dimensi spiritual manusia yang membedakannya dari makhluk lain.
Tafsir Al-Mawardi menjelaskan bahwa
ruh ini memberikan manusia kemampuan untuk berpikir, merasa, dan menyembah
Allah.²
3.1.3.
Tahapan Penciptaan
dalam Rahim
Dalam QS.
Al-Mu’minun [23] ayat 13-14, Allah menggambarkan proses penciptaan manusia
secara bertahap dalam rahim:
"Kemudian
Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh. Lalu, air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling
baik."
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa tahapan ini mencerminkan kekuasaan Allah yang Mahasempurna
dalam menciptakan manusia dari sesuatu yang sederhana menjadi makhluk yang
kompleks.³
3.2. Keistimewaan Manusia
3.2.1.
Dimuliakan oleh
Allah
Allah menegaskan
bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan, sebagaimana firman-Nya:
"Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak
Adam." (QS. Al-Isra [17] ayat 70).
Menurut Sayyid Qutb
dalam Fi Zilal
al-Qur'an, kemuliaan ini meliputi pemberian akal, kemampuan
berbicara, dan potensi untuk berhubungan langsung dengan Allah melalui ibadah.⁴
Kemuliaan manusia juga tercermin
dalam kemampuan mereka untuk mengelola bumi sebagai khalifah.
3.2.2.
Diberikan Akal dan
Kehendak Bebas
Manusia dianugerahi
akal dan kebebasan memilih, yang menjadi dasar tanggung jawabnya. Allah
berfirman:
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 31).
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa pengajaran ini menunjukkan kapasitas manusia untuk memahami,
mengolah informasi, dan membuat keputusan, yang tidak dimiliki oleh makhluk
lain seperti malaikat.⁵ Kehendak bebas ini memberikan manusia peluang untuk mencapai kebaikan atau
sebaliknya, tergantung pada pilihannya.
3.2.3.
Sebagai Khalifah di
Bumi
Keistimewaan lain
yang diberikan kepada manusia adalah perannya sebagai khalifah di bumi,
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 30:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi."
Menurut Tafsir
Al-Qurthubi, peran khalifah mencakup tanggung jawab manusia untuk menjaga
keseimbangan alam, menegakkan keadilan,
dan menyebarkan kebaikan.⁶
3.3. Hikmah dari Proses Penciptaan dan Keistimewaan
Manusia
1)
Mengingat
Kebesaran Allah:
Proses penciptaan manusia menunjukkan
betapa besar kekuasaan Allah dalam menciptakan makhluk dari sesuatu yang
sederhana menjadi luar biasa.
2)
Kesadaran
akan Tanggung Jawab:
Keistimewaan manusia membawa tanggung
jawab besar sebagai pemimpin di bumi.
3)
Kesadaran
Spiritual:
Dimensi ruh yang diberikan Allah
mengingatkan manusia untuk selalu menyembah-Nya dan menjaga hubungan dengan
sesama makhluk.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 2:123.
[2]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 1:68.
[3]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 231-233.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:150.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 1:215.
[6]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 2:12.
4.
Sifat-Sifat
Dasar Manusia dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang kompleks, memiliki potensi besar
untuk kebaikan sekaligus cenderung melakukan kesalahan. Sifat-sifat dasar manusia
yang disebutkan dalam Al-Qur'an mencerminkan karakter yang melekat pada manusia, baik dalam aspek
positif maupun negatif. Pemahaman terhadap sifat-sifat ini menjadi penting
untuk membimbing manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah dan khalifah
di bumi.
4.1. Sifat Positif Manusia
4.1.1.
Diciptakan dalam
Keadaan Terbaik
Allah menyatakan
bahwa manusia diciptakan dalam bentuk dan kondisi yang terbaik:
"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin [95] ayat 4).
Menurut Tafsir
Al-Mawardi, pernyataan ini menunjukkan keunggulan fisik, akal, dan spiritual
manusia dibandingkan makhluk lainnya.¹ Penciptaan dalam kondisi terbaik ini
memberikan manusia potensi untuk mencapai kesempurnaan moral dan spiritual.
4.1.2.
Potensi untuk
Bersyukur dan Bertakwa
Manusia memiliki
kemampuan untuk bersyukur atas nikmat Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS.
Ibrahim [14] ayat 7:
"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu."
Menurut Quraish
Shihab, kemampuan bersyukur ini adalah bentuk kesadaran spiritual manusia yang
menunjukkan kepekaan terhadap karunia Allah.² Selain itu, manusia diberi potensi untuk bertakwa,
sebagaimana dinyatakan dalam QS. Asy-Syams [91] ayat 8, "Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
4.1.3.
Kemampuan untuk Berubah
dan Memperbaiki Diri
Salah satu sifat
positif manusia adalah
kemampuannya untuk bertaubat dan memperbaiki diri setelah melakukan kesalahan.
Allah berfirman:
"Dan
orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri,
mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka."
(QS. Ali Imran [03] ayat 135).
Menurut Tafsir Ibnu
Katsir, ayat ini menunjukkan bahwa meskipun manusia cenderung berbuat dosa,
mereka diberi kesempatan untuk kembali kepada Allah.³
4.2. Sifat Negatif Manusia
4.2.1.
Keluh Kesah dan
Kikir
Allah menggambarkan
manusia sebagai makhluk yang sering kali bersifat keluh kesah dan kikir:
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir." (QS. Al-Ma’arij [70] ayat 19-20).
Menurut Sayyid Qutb
dalam Fi Zilal
al-Qur'an, sifat ini muncul ketika manusia tidak mampu
mengendalikan hawa nafsunya.⁴ Namun, sifat ini dapat diatasi melalui keimanan dan ibadah yang konsisten.
4.2.2.
Tergesa-gesa
Manusia sering kali
bersifat tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Allah berfirman:
"Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa." (QS. Al-Isra [17]
ayat 11).
Tafsir Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa sifat tergesa-gesa ini mencerminkan kelemahan manusia dalam
bersabar terhadap hasil yang belum terlihat.⁵ Hal ini dapat membawa manusia
pada keputusan yang salah jika tidak diimbangi dengan akal dan kebijaksanaan.
4.2.3.
Lalai dan Pelupa
Salah satu sifat
manusia yang sering disebutkan adalah kelalaian. Dalam QS. Thaha [20] ayat 115,
Allah berfirman:
"Dan sungguh, telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, tetapi ia lupa, dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang
kuat."
Menurut Tafsir
Al-Mawardi, kelalaian ini adalah sifat dasar manusia yang harus diatasi dengan
terus mengingat Allah melalui ibadah dan dzikir.⁶
4.2.4.
Cenderung Melampaui
Batas
Ketika diberikan
nikmat, manusia cenderung melampaui batas. Allah berfirman:
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup."
(QS. Al-‘Alaq [96] ayat 6-7).
Quraish Shihab
menyebutkan bahwa sifat ini muncul ketika manusia merasa tidak membutuhkan
Allah, sehingga menjadi
sombong dan melupakan tanggung jawabnya.⁷
4.3. Implikasi Sifat Dasar Manusia
1)
Kesadaran
akan Potensi Diri:
Manusia harus menyadari potensi positif
dalam dirinya untuk bersyukur, bertakwa, dan memperbaiki diri.
2)
Kendali
terhadap Sifat Negatif:
Sifat negatif manusia harus dikendalikan
melalui iman, ibadah, dan kesadaran akan akibatnya.
3)
Pentingnya
Pendidikan dan Bimbingan:
Pendidikan agama dan moral menjadi
instrumen penting untuk mengarahkan manusia agar dapat memaksimalkan potensi
positifnya.
Catatan Kaki
[1]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 1:112.
[2]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 145.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 2:215.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:187.
[5]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 10:172.
[6]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 1:134.
[7]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 201.
5.
Kedudukan
dan Peran Manusia sebagai Khalifah
Al-Qur'an menetapkan
manusia sebagai khalifah di bumi, yang berarti
pemimpin atau wakil Allah untuk mengelola kehidupan dunia. Kedudukan ini
menunjukkan penghormatan besar yang diberikan Allah kepada manusia sekaligus
tanggung jawab berat yang harus diembannya. Konsep khalifah mencakup dimensi
spiritual, sosial, dan ekologis, menjadikan manusia sebagai penjaga keseimbangan dan harmoni di muka bumi.
5.1. Kedudukan Manusia sebagai Khalifah
5.1.1.
Penetapan Khalifah
oleh Allah
Konsep manusia
sebagai khalifah ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 30:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi."
Menurut Tafsir
Al-Qurthubi, istilah khalifah di sini bermakna wakil
Allah yang diberi mandat untuk mengatur dan menjaga bumi sesuai dengan
aturan-Nya.¹ Pengangkatan manusia sebagai khalifah menunjukkan keistimewaan manusia di antara makhluk lain karena
dianugerahi akal, kehendak bebas, dan kemampuan berinteraksi dengan alam secara
kreatif.
5.1.2.
Keistimewaan sebagai
Khalifah
Allah tidak hanya
memberikan manusia tanggung jawab, tetapi juga mempersiapkan mereka dengan
kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan peran tersebut. Dalam QS. Al-Isra [17] ayat 70, Allah
menyatakan:
"Dan sungguh, Kami telah memuliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan."
Sayyid Qutb
menjelaskan bahwa kemuliaan
ini meliputi akal, kekuatan moral, dan kemampuan manusia untuk mengenal Allah
melalui tanda-tanda kebesaran-Nya.²
5.2. Peran Manusia sebagai Khalifah
5.2.1.
Pengelolaan Bumi
secara Bijaksana
Sebagai khalifah,
manusia bertanggung jawab untuk mengelola bumi dengan bijaksana dan adil. Allah berfirman dalam QS. Hud [11] ayat 61:
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya."
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ayat ini memuat perintah untuk menggunakan sumber daya alam
dengan cara yang tidak merusak lingkungan dan memastikan keberlanjutan hidup generasi mendatang.³
5.2.2.
Menegakkan Keadilan
Salah satu tugas
utama manusia sebagai khalifah adalah menegakkan keadilan. Dalam QS. Al-Hadid [57] ayat 25, Allah berfirman:
"Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan
neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil."
Menurut Tafsir Ibnu
Katsir, manusia diberi pedoman melalui wahyu untuk menegakkan keadilan sebagai
fondasi kehidupan bermasyarakat.⁴ Keadilan adalah inti dari kepemimpinan manusia di bumi, mencakup aspek
sosial, politik, dan ekonomi.
5.2.3.
Menjaga Harmoni
dengan Alam
Sebagai khalifah,
manusia harus menjaga keseimbangan ekologis dan tidak melakukan kerusakan di bumi. Allah memperingatkan dalam QS.
Al-A'raf [07] ayat 56:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di
bumi setelah (Allah) memperbaikinya."
Al-Mawardi
menyebutkan bahwa ayat ini mengajarkan manusia untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup sebagai amanah dari Allah.⁵
5.3. Tanggung Jawab Moral dan Spiritualitas
Sebagai wakil Allah,
manusia tidak hanya bertugas mengatur kehidupan duniawi tetapi juga memelihara
hubungan spiritual dengan Allah. QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56 menegaskan:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Ibadah di sini tidak
hanya dalam bentuk ritual tetapi juga mencakup seluruh aktivitas manusia yang
dilakukan dengan niat untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai khalifah.⁶
5.4. Tantangan dalam Menjalankan Peran sebagai Khalifah
Tugas sebagai
khalifah bukanlah tanpa tantangan. Dalam QS. Al-Ahzab [33] ayat 72, Allah
menggambarkan amanah yang berat yang diterima manusia:
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikulnya
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh
manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
Menurut Quraish
Shihab, ayat ini menunjukkan bahwa sifat dasar manusia, seperti kezaliman dan
kebodohan, harus diatasi dengan akal dan iman untuk mampu menjalankan amanah
dengan baik.⁷
5.5. Implikasi Kedudukan dan Peran Manusia sebagai
Khalifah
1)
Kesadaran
akan Tanggung Jawab:
Manusia harus menyadari bahwa perannya
sebagai khalifah adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah.
2)
Peningkatan
Kapasitas Moral dan Spiritual:
Agar dapat menjalankan tugasnya dengan
baik, manusia perlu memperkuat keimanan dan akhlaknya.
3)
Keseimbangan
antara Dunia dan Akhirat:
Peran khalifah mencakup dimensi duniawi
dan ukhrawi yang harus dijalankan secara seimbang.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 1:178.
[2]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:153.
[3]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 243.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 4:78.
[5]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 2:116.
[6]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
(Jakarta: UI Press, 1985), 28.
[7]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 213.
6.
Hubungan
Manusia dengan Allah, Sesama, dan Alam
Al-Qur'an
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dalam tiga dimensi hubungan
utama: hubungan vertikal
dengan Allah (hablum minallah), hubungan horizontal dengan sesama manusia
(hablum minannas), dan hubungan dengan alam sebagai bagian dari tanggung
jawabnya sebagai khalifah. Ketiga hubungan ini saling terkait dan menjadi
fondasi penting bagi kehidupan yang harmonis dan berkesinambungan.
6.1. Hubungan Manusia dengan Allah (Hablum Minallah)
6.1.1.
Tujuan Penciptaan
Manusia
Manusia diciptakan
untuk beribadah kepada Allah. Dalam QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56, Allah
berfirman:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Menurut Sayyid Qutb,
ibadah tidak terbatas pada ritual semata, tetapi mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia yang dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah.¹ Ibadah yang benar menjadi
fondasi bagi manusia untuk menjaga hubungannya dengan Allah dan mengarahkan
hidupnya sesuai dengan syariat-Nya.
6.1.2.
Ketaatan kepada
Allah
Hubungan manusia dengan
Allah dibangun melalui ketaatan terhadap perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. QS. Al-Baqarah [02] ayat 2-3 menyebutkan bahwa Al-Qur'an adalah
petunjuk bagi orang yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan salat, dan
menafkahkan sebagian rezekinya.²
Tafsir Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa iman kepada Allah dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya
menjadi tanda hubungan yang kokoh antara manusia dengan Penciptanya.³
6.2. Hubungan Manusia dengan Sesama (Hablum Minannas)
6.2.1.
Prinsip Persaudaraan
Al-Qur'an menegaskan
bahwa manusia berasal dari satu asal dan harus hidup dalam persaudaraan. Dalam QS. Al-Hujurat [49] ayat
13, Allah berfirman:
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan pentingnya menjalin hubungan sosial yang
harmonis berdasarkan prinsip saling mengenal dan menghormati perbedaan.⁴
6.2.2.
Menegakkan Keadilan
Manusia
diperintahkan untuk menegakkan keadilan dalam hubungan sosial, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 8:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah
kamu orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku
adil."
Menurut Tafsir
Al-Mawardi, keadilan adalah fondasi penting dalam hubungan antarindividu dan
masyarakat, yang harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang atau afiliasi
tertentu.⁵
6.2.3.
Menyebarkan Kasih
Sayang
Islam mengajarkan
pentingnya kasih sayang dalam hubungan sosial, sebagaimana hadis Nabi Muhammad:
"Tidak
sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim). Prinsip ini
mendorong manusia untuk saling membantu dan mengutamakan kepentingan bersama.
6.3. Hubungan Manusia dengan Alam (Hablum Minal ‘Alam)
6.3.1.
Amanah untuk
Memakmurkan Bumi
Allah menciptakan
manusia dengan tugas untuk memakmurkan bumi. Dalam QS. Hud [11] ayat 61, Allah
berfirman:
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya."
Sayyid Qutb dalam Fi Zilal
al-Qur'an menjelaskan bahwa tugas memakmurkan bumi mencakup
pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.⁶
6.3.2.
Larangan Merusak
Lingkungan
Al-Qur'an melarang
manusia untuk melakukan kerusakan di muka bumi. QS. Al-A'raf [07] ayat 56
menyatakan:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di
bumi setelah (Allah) memperbaikinya."
Tafsir Al-Qurthubi
menyebutkan bahwa perintah ini mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan
ekosistem dan menghindari eksploitasi alam yang berlebihan.⁷
6.3.3.
Kesadaran akan
Tanda-Tanda Allah
Alam dipenuhi dengan
tanda-tanda kekuasaan Allah yang harus direnungkan oleh manusia. Dalam QS.
Al-Baqarah [02] ayat 164, Allah berfirman:
"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan
bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang
bermanfaat bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,
lalu dengan itu Dia hidupkan bumi setelah mati (keringnya), dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh, (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berpikir."
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ayat ini mengajak manusia untuk bersyukur atas nikmat Allah
yang terwujud dalam alam semesta dan untuk memelihara alam sebagai bentuk
ibadah.⁸
Kesimpulan
Hubungan manusia
dengan Allah, sesama, dan alam saling terkait dan harus dijaga secara seimbang.
Ketiga dimensi ini membentuk dasar kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi.
Dengan memahami dan menjalankan tugasnya, manusia dapat mencapai keharmonisan
hidup yang sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Catatan Kaki
[1]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:201.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 1:42.
[3]
Ibid., 1:45.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 410.
[5]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 2:77.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 2:303.
[7]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 6:14.
[8]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 215.
7.
Tujuan
dan Hikmah Penciptaan Manusia
Penciptaan manusia
dalam Al-Qur'an tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia diciptakan, tetapi
juga menegaskan tujuan dan hikmah yang melekat dalam keberadaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan tugas tertentu
yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, sehingga kehidupan manusia
di dunia menjadi bermakna dan selaras dengan kehendak-Nya.
7.1. Tujuan Penciptaan Manusia
7.1.1.
Beribadah kepada
Allah
Tujuan utama
penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Menurut Sayyid Qutb,
ibadah dalam konteks ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang
diarahkan untuk mencapai keridhaan Allah, bukan hanya dalam bentuk ritual
formal seperti salat dan puasa, tetapi juga dalam menjalankan tugas sebagai
khalifah di bumi.¹ Dengan kata lain, setiap tindakan manusia yang dilakukan
dengan niat tulus karena Allah adalah bentuk ibadah.
7.1.2.
Mengelola dan
Memakmurkan Bumi
Selain beribadah,
manusia juga diciptakan untuk menjadi khalifah yang bertanggung jawab mengelola
bumi. QS. Hud [11] ayat 61 menyebutkan:
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya."
Tafsir Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa pemakmuran bumi melibatkan penggunaan sumber daya alam secara
bijaksana untuk kepentingan manusia dan seluruh makhluk, sambil menjaga keseimbangan ekosistem.²
Tugas ini menunjukkan bahwa manusia harus berperan aktif dalam menciptakan
kehidupan yang adil dan berkelanjutan.
7.1.3.
Sebagai Ujian
Kehidupan
Manusia diciptakan
sebagai makhluk yang diuji dalam kehidupannya. Dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 2, Allah berfirman:
"Yang menciptakan mati dan hidup untuk
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya."
Menurut Al-Mawardi,
ujian ini adalah sarana untuk membuktikan kualitas iman dan amal manusia, yang nantinya akan menentukan nasib mereka di
akhirat.³
7.2. Hikmah Penciptaan Manusia
7.2.1.
Menunjukkan
Kebesaran dan Kekuasaan Allah
Penciptaan manusia
dari tanah, kemudian diberi ruh, menunjukkan kebesaran Allah sebagai Pencipta
yang Mahasempurna. Dalam QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, Allah menggambarkan proses penciptaan manusia
secara rinci, yang berakhir dengan pernyataan, "Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling
baik."
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan asal-usul mereka dan menyadari betapa besar kekuasaan Allah.⁴
Kesadaran ini diharapkan menumbuhkan rasa syukur dan kepatuhan kepada-Nya.
7.2.2.
Memberikan
Kesempatan untuk Meraih Kemuliaan
Manusia diberi
potensi untuk mencapai kemuliaan melalui iman dan amal saleh. QS. At-Tin [95] ayat
4 menyatakan:
"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
Menurut Tafsir
Al-Qurthubi, "bentuk yang sebaik-baiknya" ini mencakup kemampuan
intelektual, spiritual, dan fisik
manusia, yang memungkinkan mereka untuk menjalankan tugas sebagai khalifah
dengan baik.⁵ Namun, potensi ini hanya dapat diwujudkan jika manusia mengikuti
petunjuk Allah.
7.2.3.
Membangun Hubungan
Harmonis dengan Makhluk Lain
Penciptaan manusia
memiliki hikmah sosial, yaitu membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan makhluk lain. Dalam QS.
Al-Hujurat [49] ayat 13, Allah berfirman:
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
Tafsir Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya menghargai perbedaan sebagai
anugerah dari Allah dan
menjadikannya sarana untuk mempererat persaudaraan.⁶
7.2.4.
Menguji Kemampuan
Manusia untuk Mengemban Amanah
Dalam QS. Al-Ahzab [33]
ayat 72, Allah menyebutkan bahwa manusia menerima amanah yang ditolak oleh
makhluk lain:
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul
amanah itu... dan dipikullah amanah itu oleh manusia."
Sayyid Qutb
menafsirkan bahwa amanah ini mencakup tanggung jawab manusia untuk taat kepada
Allah dan menjalankan tugasnya sebagai khalifah.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa
penciptaan manusia adalah bentuk penghormatan sekaligus ujian besar dari Allah.
7.3. Implikasi Tujuan dan Hikmah Penciptaan Manusia
1)
Kesadaran
akan Tujuan Hidup:
Manusia harus menyadari bahwa
keberadaannya di dunia bukanlah tanpa tujuan, melainkan untuk beribadah kepada
Allah dan menjalankan tugas sebagai khalifah.
2)
Penghargaan
terhadap Kehidupan:
Penciptaan manusia mengajarkan nilai
kehidupan yang harus dihargai, baik dalam konteks individu maupun sosial.
3)
Komitmen
terhadap Keadilan dan Keseimbangan:
Sebagai khalifah, manusia memiliki
tanggung jawab untuk menjaga keadilan, keseimbangan, dan harmoni dalam
kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:256.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 3:415.
[3]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 2:121.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 244.
[5]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo:
Dar al-Hadith, 2003), 10:156.
[6]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 4:412.
[7]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:478.
8.
Penutup
Manusia dalam perspektif Al-Qur'an adalah makhluk
yang memiliki kedudukan, karakter, dan tanggung jawab yang unik. Al-Qur'an
memberikan panduan yang komprehensif tentang asal-usul, sifat dasar, tujuan
penciptaan, dan peran manusia di dunia. Dengan memahami konsep ini, manusia
dapat menjalani kehidupan sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu sebagai
hamba Allah yang beribadah kepada-Nya dan sebagai khalifah yang bertanggung
jawab memakmurkan bumi.
Kedudukan manusia sebagai khalifah
menunjukkan penghormatan Allah kepada manusia sekaligus amanah yang besar. QS.
Al-Baqarah [02] ayat 30 menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mengelola
bumi dengan adil dan bijaksana, menjaga keseimbangan ekosistem, serta
menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.¹ Dalam menjalankan tugas ini,
manusia diberi akal, kehendak bebas, dan petunjuk berupa wahyu, yang membedakan
mereka dari makhluk lainnya.²
Namun, manusia juga memiliki sifat dasar yang
kompleks, mencakup potensi kebaikan dan kecenderungan terhadap kesalahan. QS.
At-Tin [95] ayat 4-6 menggambarkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk
terbaik, tetapi dapat jatuh ke tempat yang paling rendah jika tidak menjalankan
kehidupannya sesuai dengan petunjuk Allah.³ Oleh karena itu, kesadaran akan
sifat dasar manusia menjadi penting untuk mengarahkan potensi positifnya
melalui ibadah dan akhlak yang mulia.
Selain itu, hubungan manusia dengan Allah, sesama
manusia, dan alam harus dijaga dengan seimbang. Hubungan dengan Allah (hablum
minallah) menjadi landasan spiritual yang memperkuat hubungan horizontal dengan
sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan ekologis dengan alam (hablum
minal ‘alam). QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 dan QS. Al-A'raf [07] ayat 56
menekankan pentingnya harmoni ini untuk menciptakan kehidupan yang damai dan
berkelanjutan.⁴
Tujuan penciptaan manusia sebagai makhluk yang
diuji (QS. Al-Mulk [67] ayat 2) memberikan hikmah penting bahwa kehidupan
adalah perjalanan untuk membuktikan kualitas iman dan amal saleh.⁵ Kesadaran
ini mengarahkan manusia untuk menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab,
memanfaatkan potensi yang diberikan Allah, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat.
Pada akhirnya, pemahaman tentang manusia dalam
perspektif Al-Qur'an memberikan panduan yang relevan untuk menghadapi tantangan
kehidupan modern. Prinsip-prinsip ini mengajarkan pentingnya moralitas,
tanggung jawab, dan keberlanjutan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Semoga
pembahasan ini dapat menjadi inspirasi bagi setiap individu untuk menjalankan
perannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi dengan sebaik-baiknya.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Hadith, 2003), 1:178.
[2]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1999), 1:256.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 3:415.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), 410.
[5]
Al-Mawardi, Tafsir al-Nukat wa al-Uyun
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 2:121.
Daftar Pustaka
Al-Mawardi. (1992). Tafsir
al-Nukat wa al-Uyun. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qurthubi. (2003). Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hadith.
Ibnu Katsir. (1997). Tafsir
al-Qur'an al-Azim. Beirut: Dar al-Fikr.
Quraish Shihab. (2009). Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.
Sayyid Qutb. (1999). Fi
Zilal al-Qur'an. Beirut: Dar al-Shuruq.
Nasution, H. (1985). Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Lampiran: Penyebutan Manusia dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur'an, manusia disebut dengan berbagai
istilah yang menggambarkan karakter, fungsi, dan posisi mereka sebagai makhluk
ciptaan Allah. Penyebutan ini menunjukkan kompleksitas sifat manusia dan
hubungan mereka dengan Allah serta alam semesta. Berikut adalah beberapa konsep
penyebutan manusia dalam Al-Qur'an:
1.
Al-Insan
(الإنسان)
Makna: Secara umum
berarti manusia secara keseluruhan.
Konotasi:
Menggambarkan kelemahan, kebutuhan, atau sifat dasar manusia, seperti pelupa,
lemah, atau tergesa-gesa.
Ayat Contoh:
·
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir." (QS.
Al-Ma'arij [70] ayat 19)
·
"Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya." (QS. At-Tin
[95] ayat 4)
2.
Bani
Adam (بني آدم)
Makna: Anak-anak
Adam, merujuk pada manusia sebagai keturunan Nabi Adam.
Konotasi:
Mengingatkan manusia akan asal-usul mereka dan tanggung jawab mereka sebagai
khalifah di bumi.
Ayat Contoh:
·
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (QS. Al-Isra [17] ayat 70)
·
"Hai anak-anak Adam! Janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan." (QS.
Al-A'raf [07] ayat 27)
3.
An-Nas
(الناس)
Makna: Orang-orang
atau umat manusia secara kolektif.
Konotasi: Mengacu
pada hubungan sosial manusia dalam masyarakat.
Ayat Contoh:
·
"Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan
menguasai) manusia." (QS. An-Nas
[114] ayat 1)
·
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu." (QS. An-Nisa [04] ayat 1)
4.
Al-Basyar
(البشر)
Makna: Makhluk
yang memiliki jasad dan sifat fisik (biologis).
Konotasi: Penekanan
pada aspek biologis dan fisik manusia, serta perbedaan mereka dari makhluk
lain.
Ayat Contoh:
·
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti
kamu." (QS.
Al-Kahfi [18] ayat 110)
·
"Dan mereka berkata: 'Mengapa Rasul ini makan makanan dan berjalan
di pasar-pasar?'" (QS.
Al-Furqan [25] ayat 7)
5.
Abd
(عبد)
Makna: Hamba atau
makhluk yang tunduk kepada Allah.
Konotasi: Menunjukkan
hubungan manusia dengan Allah sebagai hamba yang harus taat dan beribadah.
Ayat Contoh:
·
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku." (QS.
Adz-Dzariyat [51] ayat 56)
·
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat [49] ayat 13)
6.
Khalifah
(خليفة)
Makna: Pemimpin
atau wakil Allah di bumi.
Konotasi: Menunjukkan
tugas manusia sebagai pengelola bumi dengan tanggung jawab moral dan spiritual.
Ayat Contoh:
·
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." (QS.
Al-Baqarah [02] ayat 30)
7.
Nafsun
(نفس)
Makna: Jiwa atau
diri manusia.
Konotasi: Penekanan
pada aspek spiritual, emosional, dan tanggung jawab individu.
Ayat Contoh:
·
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya." (QS.
Al-Muddaththir [74] ayat 38)
·
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya." (QS.
Asy-Syams [91] ayat 8)
8.
Al-Mu’min,
Al-Kafir, dan Al-Munafik
Makna: Manusia
dibagi berdasarkan keimanan dan perbuatannya.
·
Al-Mu’min: Orang yang
beriman.
·
Al-Kafir: Orang yang
menutup hati dari kebenaran.
·
Al-Munafik: Orang yang
berpura-pura beriman.
Ayat Contoh:
·
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat [49] ayat 10)
·
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 6)
Penyebutan ini tidak hanya menunjukkan keberagaman
sifat dan keadaan manusia, tetapi juga mengandung pelajaran agar manusia
memahami posisi dan tanggung jawab mereka sebagai makhluk Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar