Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-3: Fungsi dan Kewenangan Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Bahan Ajar PPKn

Fungsi dan Kewenangan Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Kajian Kritis Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca-amandemen. Pembahasan diawali dengan latar belakang reformasi konstitusional yang mendorong restrukturisasi kelembagaan negara guna menjamin prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan pembagian kekuasaan yang seimbang. Artikel ini mengkaji teori dan dasar konstitusional penyusunan lembaga negara, klasifikasi kelembagaan berdasarkan pendekatan fungsional dan yuridis, serta analisis mendalam terhadap fungsi lembaga seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, KY, BPK, dan lembaga independen lainnya.

Melalui pendekatan normatif dan analitis, artikel ini juga menelaah dinamika aktual dalam implementasi kewenangan lembaga negara, termasuk tumpang tindih kewenangan, konflik antar lembaga, dan politisasi institusi. Studi komparatif dengan sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang memberikan perspektif tambahan untuk mengevaluasi keunikan dan kelemahan sistem Indonesia. Di bagian akhir, refleksi kewarganegaraan ditekankan sebagai fondasi penting dalam membangun partisipasi publik yang kritis dan berlandaskan Pancasila, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan yang transformatif. Artikel ini diharapkan dapat memperkaya literasi konstitusional dan memperkuat kesadaran politik warga negara dalam menjaga demokrasi yang sehat.

Kata Kunci: Konstitusi; Lembaga Negara; UUD 1945; Fungsi dan Kewenangan; Ketatanegaraan Indonesia; Demokrasi Konstitusional; Pendidikan Kewarganegaraan; Checks and Balances; Partisipasi Publik; Pancasila.


PEMBAHASAN

Fungsi dan Kewenangan Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


1.           Pendahuluan

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami transformasi mendasar sejak dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada periode 1999–2002. Perubahan ini bukan sekadar bersifat kosmetik, melainkan menyentuh fondasi konstitusional dalam pengaturan struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara. Tujuan utama dari reformasi konstitusi ini adalah memperkuat prinsip demokrasi, menjamin supremasi hukum, serta menciptakan sistem check and balances yang lebih sehat di antara lembaga-lembaga negara, yang sebelumnya cenderung bersifat hegemonik dan sentralistik pada kekuasaan eksekutif, khususnya Presiden.1

Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, pembagian kekuasaan (separation of powers) dan pembagian fungsi (division of functions) menjadi dua prinsip utama yang menjiwai pengaturan kelembagaan negara. Sebagaimana ditegaskan oleh Montesquieu dalam gagasannya mengenai trias politica, kekuasaan negara seharusnya dipisahkan ke dalam tiga cabang utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang dapat mengarah pada tirani.2 UUD NRI 1945 pasca-amandemen mengadopsi prinsip ini secara kontekstual melalui restrukturisasi dan reposisi kelembagaan negara, termasuk pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), serta penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi daerah dalam parlemen.

Namun demikian, implementasi ketentuan konstitusional tersebut tidak selalu berjalan linier. Terdapat banyak tantangan normatif dan praksis dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara. Tumpang tindih kewenangan, ketidakharmonisan antar lembaga, serta dinamika politik yang mempengaruhi kinerja institusi merupakan beberapa realitas yang menguji konsistensi pelaksanaan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berkeadilan.3 Oleh karena itu, kajian terhadap fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara menurut UUD NRI Tahun 1945 bukan hanya penting sebagai wacana akademik, tetapi juga relevan sebagai instrumen edukatif dalam pendidikan kewarganegaraan.

Dalam kerangka Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pemahaman terhadap struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara merupakan bagian dari upaya strategis untuk membangun kesadaran konstitusional (constitutional awareness) di kalangan generasi muda. Melalui analisis terhadap tugas, fungsi, dan relasi antar lembaga negara, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip demokrasi konstitusional diterapkan dalam praktik kenegaraan, sekaligus mendorong partisipasi aktif dan kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat UUD 1945.4


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 85–87.

[2]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 156–158.

[3]                Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 112–115.

[4]                Siti Zuhro, “Penguatan Civic Education dalam Membangun Budaya Demokrasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 12, no. 3 (2008): 323–325.


2.           Dasar Konstitusional dan Teori Kelembagaan

Konstitusi merupakan fondasi normatif tertinggi dalam suatu negara, yang mengatur bagaimana kekuasaan disusun, dibagi, dan dijalankan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjadi pedoman utama yang menetapkan struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara. Pasca reformasi, UUD NRI 1945 mengalami empat kali amandemen yang secara substansial mengubah wajah ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam hal distribusi kekuasaan dan penguatan prinsip checks and balances antar lembaga negara.1

Secara teoretis, penyusunan lembaga negara dalam UUD 1945 mengacu pada teori klasik trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.2 Dalam perkembangannya, pemikiran kelembagaan ini diadaptasi secara kontekstual dalam sistem presidensial Indonesia, yang tidak menganut pemisahan kekuasaan secara mutlak, tetapi lebih kepada pembagian fungsi dan koordinasi antarlembaga dalam bingkai negara hukum demokratis.

Setelah amandemen, sistem kelembagaan Indonesia mengalami perluasan dan penguatan. Beberapa lembaga baru dibentuk secara eksplisit dalam konstitusi, seperti Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C), Komisi Yudisial (Pasal 24B), dan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C dan 22D). Hal ini menunjukkan pergeseran dari model supremasi satu lembaga (Presiden sebagai mandataris MPR sebelum amandemen) menjadi sistem dengan pluralitas kelembagaan yang saling mengimbangi.3

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, lembaga-lembaga negara dalam UUD NRI 1945 dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar: (1) lembaga konstitutif, seperti MPR dan Presiden; (2) lembaga operatif, seperti DPR, DPD, dan Presiden dalam pelaksanaan kebijakan; serta (3) lembaga yudikatif dan eksaminatif, seperti MA, MK, KY, dan BPK.4 Pembagian ini penting untuk menunjukkan bahwa masing-masing lembaga memiliki fungsi berbeda sesuai mandat konstitusi, dan tidak boleh saling mencampuri secara sewenang-wenang.

Namun demikian, konsep ideal yang tertera dalam konstitusi sering kali berhadapan dengan kenyataan politik yang dinamis. Ketegangan antar lembaga, penyimpangan kewenangan, serta penafsiran hukum yang multitafsir menjadi tantangan dalam mengoperasionalkan sistem ketatanegaraan yang efektif. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang dasar konstitusional dan teori kelembagaan negara sangat penting untuk menilai apakah pelaksanaan fungsi dan kewenangan lembaga negara benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Dengan demikian, kajian ini tidak hanya memetakan struktur formal lembaga-lembaga negara menurut konstitusi, tetapi juga menempatkannya dalam kerangka teoritis dan historis agar siswa atau pembaca dapat melihat bagaimana konstitusi tidak hanya sebagai teks hukum, tetapi sebagai sistem nilai dan praktik ketatanegaraan yang hidup dan dinamis.


Footnotes

[1]                Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), 45–47.

[2]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–159.

[3]                Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 64–66.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), 75–78.


3.           Klasifikasi Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945

Setelah empat kali amandemen UUD NRI Tahun 1945, struktur lembaga-lembaga negara Indonesia mengalami reformulasi secara signifikan, baik dari sisi nomenklatur, kewenangan, maupun hubungan antarlembaga. Konstitusi hasil amandemen tersebut tidak hanya menetapkan lembaga-lembaga negara secara eksplisit, tetapi juga memberikan pengakuan terhadap sejumlah lembaga independen yang muncul seiring dinamika demokrasi dan kebutuhan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

3.1.       Kriteria dan Dasar Klasifikasi

Klasifikasi lembaga negara dapat dilakukan berdasarkan pendekatan yuridis-formal maupun fungsional. Pendekatan yuridis-formal merujuk pada penyebutan langsung lembaga dalam konstitusi, sedangkan pendekatan fungsional menyoroti peran dan fungsi lembaga dalam sistem ketatanegaraan, meskipun tidak selalu disebut secara eksplisit dalam UUD. Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan lembaga negara menjadi tiga kelompok besar: (1) lembaga konstitutif, (2) lembaga operatif, dan (3) lembaga yudikatif dan eksaminatif.1

·                     Lembaga konstitutif adalah lembaga yang keberadaannya bersifat mendasar dan menentukan struktur dasar negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

·                     Lembaga operatif meliputi lembaga pelaksana kekuasaan negara dalam bidang eksekutif dan legislatif seperti Presiden, DPR, dan DPD.

·                     Lembaga yudikatif dan eksaminatif mencakup lembaga peradilan serta lembaga pemeriksa keuangan seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Klasifikasi ini bersifat terbuka dan dapat diperluas sesuai perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan demokratisasi institusi.

3.2.       Lembaga Negara yang Disebut Secara Eksplisit dalam UUD NRI 1945

Pasca-amandemen, beberapa lembaga negara disebut secara tegas dalam teks konstitusi, antara lain:

·                     Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) – Pasal 2 dan Pasal 3

·                     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – Pasal 19 sampai 20A

·                     Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – Pasal 22C dan 22D

·                     Presiden dan Wakil Presiden – Pasal 4 sampai 16

·                     Mahkamah Agung (MA) – Pasal 24A

·                     Mahkamah Konstitusi (MK) – Pasal 24C

·                     Komisi Yudisial (KY) – Pasal 24B

·                     Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) – Pasal 23E sampai 23G

Penyebutan langsung ini menunjukkan adanya pengakuan konstitusional terhadap lembaga-lembaga tersebut sebagai bagian dari struktur utama negara. Masing-masing lembaga memiliki fungsi dan kewenangan yang dibatasi oleh pasal-pasal tertentu, sehingga prinsip separation of power dan checks and balances dapat dijalankan secara efektif.

3.3.       Lembaga Negara yang Tidak Disebut Secara Langsung dalam UUD NRI 1945

Selain lembaga yang diatur secara eksplisit, terdapat pula lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang atau pengakuan yuridis lain, dan memiliki fungsi strategis dalam sistem pemerintahan. Lembaga-lembaga ini sering disebut sebagai lembaga negara independen, seperti:

·                     Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

·                     Komisi Pemilihan Umum (KPU)

·                     Ombudsman Republik Indonesia (ORI)

·                     Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Meskipun tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD, keberadaan lembaga-lembaga tersebut dijustifikasi oleh prinsip constitutional necessity, yakni kebutuhan konstitusional yang lahir dari semangat demokrasi dan tuntutan reformasi kelembagaan.2 Beberapa akademisi bahkan menganggap bahwa lembaga independen ini merupakan bagian dari pengembangan praktik konstitusional modern, khususnya dalam membangun sistem horizontal accountability antar cabang kekuasaan negara.3

3.4.       Implikasi Konstitusional dari Klasifikasi Kelembagaan

Pemetaan klasifikasi lembaga negara tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga berdampak praktis dalam pembentukan peraturan, mekanisme pengawasan, dan pembagian kewenangan. Ketepatan dalam memahami fungsi dan kedudukan lembaga negara dapat mencegah konflik yurisdiksi antar lembaga serta memperkuat efektivitas kerja lembaga dalam melayani kepentingan publik dan menegakkan konstitusi.

Melalui klasifikasi ini pula, peserta didik dan warga negara secara umum dapat melihat gambaran besar sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk memahami bagaimana struktur kekuasaan dijalankan dan dikontrol secara konstitusional demi menjaga demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 89–91.

[2]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 198–199.

[3]                Bivitri Susanti, “Desain Lembaga Negara Independen dalam Negara Hukum Demokratis,” Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (2012): 650–652.


4.           Analisis Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara

Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945, struktur lembaga negara Indonesia mengalami reposisi yang signifikan. Fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga tidak lagi terpusat pada MPR atau Presiden, tetapi tersebar secara seimbang kepada berbagai lembaga yang memiliki kekhususan tugas dan peran. Pembagian kewenangan ini bertujuan untuk menjamin prinsip demokrasi konstitusional dan mencegah konsentrasi kekuasaan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Bagian ini akan mengkaji fungsi dan kewenangan utama dari beberapa lembaga negara sentral yang tercantum dalam UUD NRI 1945 secara sistematis.

4.1.       Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana pada masa sebelum amandemen. Kini, MPR berfungsi sebagai lembaga permusyawaratan yang bersifat ad hoc dalam hal tertentu. Fungsi utamanya adalah mengubah dan menetapkan UUD serta melantik Presiden dan Wakil Presiden.1 Selain itu, MPR dapat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam sidang paripurna berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pelanggaran hukum oleh Presiden.2

4.2.       Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR merupakan lembaga legislatif yang memegang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam hal legislasi, DPR bersama Presiden membentuk undang-undang (Pasal 20 UUD 1945). Dalam hal pengawasan, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah.3 Fungsi anggaran DPR terlihat dalam kewenangannya menyetujui RAPBN dan mengawasi pelaksanaannya (Pasal 20A ayat 1–2).

4.3.       Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan daerah di tingkat nasional. DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan dan pengawasan terhadap rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.4 Namun, kewenangan legislatif DPD masih terbatas dan tidak setara dengan DPR, menimbulkan kritik mengenai efektivitas keberadaannya.

4.4.       Presiden dan Wakil Presiden

Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memegang kekuasaan eksekutif, termasuk mengangkat dan memberhentikan menteri, menetapkan peraturan pemerintah, serta menyusun dan menetapkan kebijakan nasional (Pasal 4 dan 17). Presiden juga berperan dalam bidang militer sebagai panglima tertinggi TNI dan memiliki wewenang untuk menyatakan perang atau membuat perdamaian dengan persetujuan DPR.5

4.5.       Mahkamah Agung (MA)

MA merupakan puncak kekuasaan kehakiman bagi semua pengadilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. MA memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi serta menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 24A UUD 1945). MA juga bertugas memberikan nasihat hukum kepada Presiden dan mengawasi peradilan di bawahnya.6

4.6.       Mahkamah Konstitusi (MK)

MK dibentuk pasca amandemen sebagai penjaga konstitusi. MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, membubarkan partai politik, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C). Selain itu, MK memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden atau Wakil Presiden.7

4.7.       Komisi Yudisial (KY)

KY memiliki tugas mengusulkan pengangkatan hakim agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Meskipun wewenangnya tidak mencakup ranah pengambilan putusan, KY berperan penting dalam pengawasan etis di lembaga peradilan.8

4.8.       Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Kewenangan BPK ini ditegaskan dalam Pasal 23E sampai 23G UUD 1945, menjadikannya sebagai pilar akuntabilitas keuangan publik.9

4.9.       Lembaga Negara Independen

Seiring perkembangan demokrasi, Indonesia juga memiliki lembaga-lembaga negara independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komnas HAM. Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam konstitusi, lembaga-lembaga ini berperan penting dalam menjaga integritas demokrasi, supremasi hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.10


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 134.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 7B.

[3]                Saldi Isra, Pergerseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 45.

[4]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 205.

[5]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10–13.

[6]                Mahkamah Agung RI, Profil dan Fungsi Mahkamah Agung (Jakarta: MA RI, 2020), 17.

[7]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122.

[8]                Komisi Yudisial RI, Panduan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Jakarta: KY RI, 2015), 3–5.

[9]                Badan Pemeriksa Keuangan RI, Tugas dan Fungsi BPK (Jakarta: BPK RI, 2021), 12.

[10]             Bivitri Susanti, “Lembaga Negara Independen dalam Konteks Negara Demokrasi Konstitusional,” Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (2012): 642–644.


5.           Dinamika dan Tantangan Implementasi Fungsi Lembaga Negara

Meskipun desain kelembagaan negara dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca-amandemen telah mengarah pada sistem pembagian kekuasaan yang lebih seimbang, dalam praktiknya tidak jarang terjadi friksi, disfungsi, dan ketidakefektifan antar lembaga negara. Kompleksitas dinamika ini tidak hanya disebabkan oleh faktor kelembagaan semata, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya politik, kepentingan elite, kualitas hukum, serta kapasitas aktor negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.

5.1.       Tumpang Tindih Kewenangan dan Ambiguitas Konstitusional

Salah satu tantangan utama adalah tumpang tindih dan ketidakjelasan batas kewenangan di antara lembaga-lembaga negara. Contohnya, relasi antara DPR dan DPD sering kali menimbulkan perdebatan, terutama terkait proses legislasi. Meskipun DPD memiliki hak mengajukan dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang tertentu, kewenangan final tetap berada pada DPR dan Presiden, sehingga peran DPD sering dianggap simbolik dan kurang berpengaruh dalam praktik legislasi.1

Ambiguitas juga muncul dalam praktik pengawasan antar lembaga. Dalam beberapa kasus, DPR pernah mengintervensi kinerja lembaga yudikatif atau lembaga negara independen di luar kewenangan legislatifnya, yang menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap prinsip checks and balances.2 Ketidaktegasan norma konstitusional turut memperparah ketidakpastian ini.

5.2.       Konflik Antar Lembaga dan Disfungsionalitas Politik

Konflik kelembagaan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis. Sengketa antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, misalnya, mencerminkan friksi antara lembaga penegak hukum dan eksekutif yang dapat mengganggu stabilitas tata kelola negara.3 Demikian pula ketegangan antara Presiden dan DPR dalam proses pembentukan undang-undang atau penetapan pejabat publik menandakan belum optimalnya koordinasi dalam sistem presidensial Indonesia yang bercorak multipartai.

Disfungsionalitas juga terjadi ketika lembaga negara tidak menjalankan tugasnya secara efektif. Laporan tahunan dari Ombudsman RI menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik tidak ditindaklanjuti oleh instansi terkait, memperlihatkan lemahnya daya eksekusi lembaga pengawas administratif.4 Hal ini mencerminkan kesenjangan antara idealitas norma dan realitas pelaksanaan.

5.3.       Politisisasi dan Intervensi Kekuasaan

Tantangan lain yang signifikan adalah politisasi lembaga negara, khususnya dalam pengisian jabatan publik yang semestinya bersifat profesional dan meritokratik. Proses seleksi hakim konstitusi, anggota BPK, atau komisioner lembaga independen kerap diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di DPR atau eksekutif.5 Fenomena ini mengancam independensi dan objektivitas lembaga negara dalam menjalankan fungsinya, sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.

5.4.       Lemahnya Penegakan Etika dan Akuntabilitas

Meski lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial dan BPK telah dibentuk, namun efektivitasnya masih terbatas. Komisi Yudisial, misalnya, sering menghadapi resistensi dari Mahkamah Agung dalam hal pengawasan perilaku hakim. Banyak rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti secara serius, menandakan perlunya penguatan kewenangan dan sinergi antar lembaga yudikatif.6

Akuntabilitas lembaga eksekutif juga masih menjadi sorotan. Dalam laporan evaluasi kinerja tahunan, ditemukan bahwa sejumlah kementerian dan lembaga negara belum sepenuhnya transparan dalam pengelolaan anggaran maupun dalam menyampaikan informasi publik.7 Lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal berdampak pada rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja pemerintahan.

5.5.       Peran Publik dan Keterbukaan Informasi

Reformasi institusional tidak akan bermakna tanpa partisipasi publik dan keterbukaan informasi. Namun dalam praktiknya, akses terhadap dokumen publik dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi atau evaluasi kebijakan masih terbatas. Meskipun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah berlaku, implementasinya masih menghadapi hambatan birokratis dan resistensi dari sejumlah lembaga negara.8


Kesimpulan Sementara

Berbagai dinamika dan tantangan tersebut menunjukkan bahwa desain konstitusional yang baik tidak serta-merta menjamin keberhasilan dalam praktik kenegaraan. Diperlukan integritas aktor, penguatan sistem hukum, budaya birokrasi yang transparan, serta peran aktif masyarakat dalam mengawal pelaksanaan fungsi dan kewenangan lembaga negara. Tanpa itu semua, reformasi kelembagaan hanya akan menjadi simbol tanpa substansi.


Footnotes

[1]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 210.

[2]                Saldi Isra, Pergerseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 116.

[3]                Bivitri Susanti, “KPK, Polisi, dan Kelembagaan Antikorupsi,” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 3 (2013): 412.

[4]                Ombudsman Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: ORI, 2023), 45–48.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 143.

[6]                Komisi Yudisial RI, Laporan Kinerja 2022 (Jakarta: KY, 2023), 32.

[7]                Badan Pemeriksa Keuangan RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023 (Jakarta: BPK, 2023), 20–21.

[8]                Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Evaluasi Implementasi UU KIP (Jakarta: PSHK, 2020), 17–19.


6.           Studi Komparatif Singkat

Dalam memahami dan mengevaluasi sistem kelembagaan negara Indonesia, pendekatan komparatif menjadi instrumen penting. Dengan membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan negara lain yang menganut model pemerintahan serupa atau berbeda, pembaca dapat memperoleh wawasan mengenai kelebihan, kekurangan, serta peluang penguatan sistem kelembagaan nasional. Dalam bagian ini, sistem ketatanegaraan Indonesia akan dibandingkan secara singkat dengan tiga negara: Amerika Serikat (presidensial murni), Jerman (parlementer federal), dan Jepang (monarki parlementer).

6.1.       Amerika Serikat: Presidensialisme Murni dengan Pemisahan Kekuasaan yang Ketat

Amerika Serikat merupakan prototipe negara dengan sistem pemerintahan presidensial yang tegas memisahkan tiga cabang kekuasaan negara: legislatif (Kongres), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (Mahkamah Agung). Ciri utama dari model ini adalah independensi absolut antar cabang kekuasaan, termasuk larangan rangkap jabatan antara anggota legislatif dan eksekutif.1

Berbeda dengan Indonesia yang menerapkan model presidensial dengan corak multipartai dan campuran mekanisme parlementer, Presiden Amerika Serikat tidak dapat membentuk atau membubarkan parlemen. Fungsi legislasi sepenuhnya berada di tangan Kongres, sementara Presiden hanya memiliki hak veto terbatas. Mahkamah Agung Amerika memiliki kewenangan pengujian konstitusional yang kuat (judicial review), sebagaimana juga dilakukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, namun dalam konteks sistem hukum common law yang berbeda.2

Keunggulan sistem Amerika terletak pada keseimbangan kekuasaan yang stabil dan budaya politik yang mapan, namun sistem ini sering dikritik karena dapat menyebabkan kebuntuan (gridlock) dalam pengambilan keputusan ketika eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai berbeda.

6.2.       Jerman: Parlementer Federal dengan Koordinasi Lembaga yang Efisien

Jerman menganut sistem parlementer dalam bingkai negara federal. Kanselir (Perdana Menteri) dipilih oleh Bundestag (parlemen) dan bertanggung jawab langsung kepadanya. Presiden Jerman hanya memiliki peran simbolik sebagai kepala negara. Dalam sistem ini, hubungan antar lembaga negara berlangsung secara terkoordinasi dan efisien karena kepala pemerintahan berasal dari dan dikendalikan oleh parlemen.3

Salah satu keunggulan sistem Jerman adalah stabilitas pemerintahan dan efektivitas kebijakan publik, karena hubungan antara eksekutif dan legislatif bersifat hirarkis. Namun, kelemahannya adalah potensi dominasi partai mayoritas yang dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap eksekutif. Berbeda dengan Indonesia, lembaga yudisial di Jerman seperti Bundesverfassungsgericht (Mahkamah Konstitusi Jerman) memainkan peran sangat penting dalam menyeimbangkan kekuasaan antar negara bagian (Länder) dan pemerintah pusat.4

6.3.       Jepang: Monarki Parlementer dengan Peran Simbolik Kekuasaan Eksekutif Tertinggi

Jepang merupakan negara dengan sistem monarki parlementer di mana Kaisar hanya berperan sebagai simbol negara dan pemersatu bangsa, tanpa memiliki kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Diet Nasional). Seperti Jerman, sistem parlementer di Jepang menjamin koordinasi erat antara legislatif dan eksekutif.5

Namun, uniknya, sistem hukum Jepang juga memasukkan unsur budaya lokal dan hukum kebiasaan, serta mengutamakan konsensus dalam penyusunan kebijakan. Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung Jepang tidak sekuat Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal pengujian undang-undang terhadap konstitusi, meskipun tetap memainkan peran penting dalam menjaga konsistensi hukum.6

6.4.       Implikasi bagi Indonesia: Belajar dari Model Global

Jika dibandingkan, sistem kelembagaan Indonesia merupakan bentuk hibrida antara presidensialisme dan sistem parlementer, yang dipengaruhi oleh dinamika politik multipartai dan kebutuhan akan lembaga-lembaga independen. Dari Amerika, Indonesia dapat belajar mengenai pemisahan kekuasaan dan batasan institusional; dari Jerman, mengenai efisiensi pemerintahan dan federalisme fungsional; sementara dari Jepang, pentingnya simbolisme dan konsensus dalam sistem politik.

Namun demikian, konteks historis, sosial, dan politik Indonesia berbeda, sehingga adopsi kelembagaan harus mempertimbangkan karakteristik lokal. Studi komparatif bukan untuk meniru secara utuh, tetapi sebagai sarana reflektif untuk memperbaiki desain dan praktik sistem ketatanegaraan Indonesia.


Footnotes

[1]                Richard Neustadt, Presidential Power and the Modern Presidents: The Politics of Leadership from Roosevelt to Reagan (New York: Free Press, 1990), 33–35.

[2]                Mark Tushnet, The Constitution of the United States of America: A Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2009), 61–64.

[3]                Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed. (Durham: Duke University Press, 2012), 89–92.

[4]                David P. Currie, The Constitution of the Federal Republic of Germany (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 127–130.

[5]                Shigenori Matsui, The Constitution of Japan: A Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2011), 54–56.

[6]                Craig Martin, “Japan’s Quasi-Constitutional Court: Judicial Review and the Japanese Supreme Court,” University of British Columbia Law Review 40, no. 1 (2007): 1–3.


7.           Refleksi Kewarganegaraan

Pemahaman terhadap fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara bukan hanya bersifat akademik atau normatif, melainkan merupakan bagian esensial dari pengembangan kesadaran kewarganegaraan (civic consciousness) yang utuh. Di era demokrasi modern, warga negara tidak cukup hanya mengetahui hak dan kewajiban secara formal, tetapi juga harus memiliki kemampuan kritis dan partisipatif dalam mengawal jalannya pemerintahan sesuai dengan prinsip konstitusional dan nilai-nilai Pancasila.

7.1.       Kesadaran Konstitusional sebagai Pilar Kewarganegaraan

Kesadaran konstitusional (constitutional awareness) merupakan bentuk pemahaman mendalam atas konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, yang menjadi acuan dalam menilai kinerja lembaga negara serta kebijakan publik. Menurut Jimly Asshiddiqie, kesadaran ini merupakan salah satu indikator dari kedewasaan demokrasi suatu bangsa, karena konstitusi bukan hanya teks hukum, tetapi juga perwujudan dari nilai, norma, dan semangat kebangsaan.1

Warga negara yang sadar konstitusi akan memiliki orientasi yang kuat terhadap nilai-nilai keadilan, supremasi hukum, dan akuntabilitas publik. Dengan demikian, pemahaman terhadap fungsi DPR, MA, MK, atau lembaga-lembaga independen seperti KPK tidak sekadar sebagai informasi institusional, melainkan sebagai bahan evaluasi dan kontrol sosial terhadap implementasi kekuasaan negara.

7.2.       Peran Kritis dan Partisipatif Warga Negara

Salah satu esensi dari kewarganegaraan aktif adalah keberanian untuk bersikap kritis terhadap praktik penyelenggaraan negara yang menyimpang dari prinsip demokrasi. Partisipasi warga dalam proses legislasi (misalnya melalui public hearing), pengawasan anggaran, pelaporan dugaan korupsi, hingga keterlibatan dalam pemilu adalah bentuk nyata dari pelaksanaan fungsi kontrol warga negara.2

Namun, partisipasi semacam ini hanya mungkin terjadi apabila masyarakat memiliki literasi politik dan konstitusi yang baik. Kajian Civic Education menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang rendah tentang fungsi lembaga negara berkorelasi dengan tingginya tingkat apatisme politik dan rendahnya kepedulian terhadap pelanggaran etika penyelenggara negara.3

7.3.       Pancasila sebagai Landasan Etis Pengawalan Kekuasaan

Dalam konteks Indonesia, refleksi kewarganegaraan harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Sila keempat menekankan pentingnya permusyawaratan dan perwakilan dalam pengambilan keputusan, sementara sila kedua dan kelima menekankan keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Nilai-nilai ini menjadi pijakan moral bagi warga negara dalam mengkritisi atau mendukung kebijakan lembaga negara secara etis dan konstruktif.4

Dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan etis, sikap warga negara terhadap lembaga negara tidak menjadi anarkistik atau destruktif, tetapi tetap dalam batas kewajaran demokrasi. Kritik dan koreksi dilakukan dalam semangat membangun, bukan menjatuhkan legitimasi lembaga negara.

7.4.       Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Strategi Kultural

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memegang peran penting dalam membentuk generasi muda yang memiliki kesadaran konstitusional dan kemampuan reflektif terhadap sistem pemerintahan. Materi tentang lembaga negara harus dikembangkan tidak hanya dalam bentuk hafalan struktural, tetapi melalui pendekatan kontekstual, analitis, dan aplikatif.

Menurut Tilaar, pendidikan kewarganegaraan harus diarahkan pada pembentukan karakter warga negara yang demokratis, kritis, dan bertanggung jawab.5 Oleh karena itu, metode pengajaran yang dialogis dan berbasis masalah (problem-based learning) lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai konstitusional kepada peserta didik.


Kesimpulan Sementara

Refleksi kewarganegaraan atas fungsi lembaga negara membuka ruang bagi pembentukan warga negara yang tidak sekadar menjadi objek kebijakan, tetapi subjek aktif dalam kehidupan bernegara. Melalui kesadaran konstitusional, partisipasi kritis, dan pembentukan sikap etis berlandaskan Pancasila, generasi muda diharapkan mampu mengawal praktik ketatanegaraan agar tetap sesuai dengan semangat demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 177.

[2]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 149–151.

[3]                Zuly Qodir dan Fajar R. Riyanto, “Civic Education dan Penguatan Literasi Demokrasi,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 21, no. 3 (2016): 248.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 103–104.

[5]                H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional (Jakarta: Kompas, 2009), 56.


8.           Penutup

Studi mengenai fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa desain kelembagaan konstitusional pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah membawa perubahan signifikan dalam struktur dan distribusi kekuasaan negara. Penguatan prinsip checks and balances, pembentukan lembaga independen, dan reposisi kewenangan antar institusi negara merupakan wujud dari transformasi sistemik menuju demokrasi konstitusional yang lebih terbuka dan akuntabel.1

Namun demikian, realitas implementasi di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan harapan konstitusional tersebut. Berbagai tantangan masih mengemuka, mulai dari tumpang tindih kewenangan, politisasi lembaga negara, lemahnya pengawasan, hingga rendahnya partisipasi publik dalam proses kenegaraan. Hal ini menandakan bahwa reformasi kelembagaan yang bersifat struktural harus diimbangi dengan penguatan kultur demokrasi, kualitas aktor, serta kesadaran hukum warga negara.2

Pemahaman terhadap fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara tidak boleh berhenti pada aspek teoritis atau normatif semata. Dalam konteks Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), materi ini harus dikembangkan dalam bentuk yang kontekstual, reflektif, dan aplikatif agar mampu membentuk peserta didik sebagai warga negara yang sadar konstitusi, aktif, dan bertanggung jawab. Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi wahana pembudayaan nilai-nilai konstitusional dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.3

Studi komparatif dengan sistem ketatanegaraan negara lain seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang memberikan pelajaran berharga bahwa tidak ada sistem yang sepenuhnya ideal. Setiap negara membangun desain kelembagaannya berdasarkan sejarah, budaya politik, dan kebutuhan sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, Indonesia harus terus menyempurnakan sistemnya dengan menjadikan konstitusi sebagai pedoman utama sekaligus instrumen korektif terhadap praktik kekuasaan.

Akhirnya, penguatan fungsi dan kewenangan lembaga negara secara substantif hanya dapat tercapai apabila didukung oleh warga negara yang cerdas secara politik, kritis terhadap penyimpangan kekuasaan, dan berlandaskan pada nilai-nilai moralitas publik. Dalam kerangka itulah, peran generasi muda sebagai aktor perubahan dan penjaga demokrasi harus terus ditumbuhkan melalui pendidikan yang transformatif dan bernurani.4


Footnotes

[1]                Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), 65–66.

[2]                Bivitri Susanti, “Desain dan Tantangan Lembaga Negara di Era Reformasi,” Jurnal Konstitusi 10, no. 2 (2013): 240.

[3]                H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kekuasaan, dan Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 78–79.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 145.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun 2023. Jakarta: BPK RI.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (ed. revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Currie, D. P. (1994). The constitution of the Federal Republic of Germany. Chicago: University of Chicago Press.

Indrayana, D. (2008). Indonesian constitutional reform 1999–2002: An evaluation of constitution-making in transition. Jakarta: Konstitusi Press.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2015). Panduan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Jakarta: KY RI.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Laporan kinerja 2022. Jakarta: KY RI.

Kommers, D. P., & Miller, R. A. (2012). The constitutional jurisprudence of the Federal Republic of Germany (3rd ed.). Durham: Duke University Press.

Martin, C. (2007). Japan’s quasi-constitutional court: Judicial review and the Japanese Supreme Court. University of British Columbia Law Review, 40(1), 1–3.

Matsui, S. (2011). The constitution of Japan: A contextual analysis. Oxford: Hart Publishing.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Neustadt, R. (1990). Presidential power and the modern presidents: The politics of leadership from Roosevelt to Reagan. New York: Free Press.

Ombudsman Republik Indonesia. (2023). Laporan tahunan 2022. Jakarta: ORI.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. (2020). Evaluasi implementasi UU KIP. Jakarta: PSHK.

Qodir, Z., & Riyanto, F. R. (2016). Civic education dan penguatan literasi demokrasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 21(3), 247–255.

Saldi, I. (2010). Pergeseran fungsi legislasi: Menguatnya legislasi oleh Presiden. Jakarta: Rajawali Pers.

Susanti, B. (2012). Desain lembaga negara independen dalam negara hukum demokratis. Jurnal Konstitusi, 8(4), 641–654.

Susanti, B. (2013). Desain dan tantangan lembaga negara di era reformasi. Jurnal Konstitusi, 10(2), 238–244.

Tilaar, H. A. R. (2004). Pendidikan, kekuasaan, dan pendidikan kewarganegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H. A. R. (2009). Manifesto pendidikan nasional. Jakarta: Kompas.

Tushnet, M. (2009). The constitution of the United States of America: A contextual analysis. Oxford: Hart Publishing.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar