Bahan Ajar PPKn
Fungsi dan Kewenangan Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Kajian Kritis Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca-amandemen. Pembahasan diawali dengan latar belakang reformasi
konstitusional yang mendorong restrukturisasi kelembagaan negara guna menjamin
prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan pembagian kekuasaan yang seimbang.
Artikel ini mengkaji teori dan dasar konstitusional penyusunan lembaga negara,
klasifikasi kelembagaan berdasarkan pendekatan fungsional dan yuridis, serta
analisis mendalam terhadap fungsi lembaga seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA,
MK, KY, BPK, dan lembaga independen lainnya.
Melalui pendekatan normatif dan analitis, artikel
ini juga menelaah dinamika aktual dalam implementasi kewenangan lembaga negara,
termasuk tumpang tindih kewenangan, konflik antar lembaga, dan politisasi
institusi. Studi komparatif dengan sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat,
Jerman, dan Jepang memberikan perspektif tambahan untuk mengevaluasi keunikan
dan kelemahan sistem Indonesia. Di bagian akhir, refleksi kewarganegaraan
ditekankan sebagai fondasi penting dalam membangun partisipasi publik yang
kritis dan berlandaskan Pancasila, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan
yang transformatif. Artikel ini diharapkan dapat memperkaya literasi
konstitusional dan memperkuat kesadaran politik warga negara dalam menjaga
demokrasi yang sehat.
Kata Kunci: Konstitusi; Lembaga Negara; UUD 1945; Fungsi dan
Kewenangan; Ketatanegaraan Indonesia; Demokrasi Konstitusional; Pendidikan
Kewarganegaraan; Checks and Balances; Partisipasi Publik; Pancasila.
PEMBAHASAN
Fungsi dan Kewenangan Lembaga-Lembaga Negara dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
1.
Pendahuluan
Sistem
ketatanegaraan Indonesia mengalami transformasi mendasar sejak dilakukannya
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) pada periode 1999–2002. Perubahan ini bukan sekadar bersifat
kosmetik, melainkan menyentuh fondasi konstitusional dalam pengaturan struktur
dan fungsi lembaga-lembaga negara. Tujuan utama dari reformasi konstitusi ini
adalah memperkuat prinsip demokrasi, menjamin supremasi hukum, serta
menciptakan sistem check and balances yang lebih sehat di antara
lembaga-lembaga negara, yang sebelumnya cenderung bersifat hegemonik dan
sentralistik pada kekuasaan eksekutif, khususnya Presiden.1
Dalam konteks sistem
pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, pembagian kekuasaan
(separation of powers) dan pembagian fungsi (division of functions) menjadi dua
prinsip utama yang menjiwai pengaturan kelembagaan negara. Sebagaimana
ditegaskan oleh Montesquieu dalam gagasannya mengenai trias
politica, kekuasaan negara seharusnya dipisahkan ke dalam tiga
cabang utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah konsentrasi
kekuasaan yang dapat mengarah pada tirani.2 UUD NRI 1945
pasca-amandemen mengadopsi prinsip ini secara kontekstual melalui
restrukturisasi dan reposisi kelembagaan negara, termasuk pembentukan
lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY),
serta penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi
daerah dalam parlemen.
Namun demikian,
implementasi ketentuan konstitusional tersebut tidak selalu berjalan linier.
Terdapat banyak tantangan normatif dan praksis dalam pelaksanaan fungsi dan
kewenangan lembaga-lembaga negara. Tumpang tindih kewenangan, ketidakharmonisan
antar lembaga, serta dinamika politik yang mempengaruhi kinerja institusi
merupakan beberapa realitas yang menguji konsistensi pelaksanaan sistem
ketatanegaraan yang demokratis dan berkeadilan.3 Oleh karena itu,
kajian terhadap fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara menurut UUD NRI
Tahun 1945 bukan hanya penting sebagai wacana akademik, tetapi juga relevan
sebagai instrumen edukatif dalam pendidikan kewarganegaraan.
Dalam kerangka
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pemahaman terhadap struktur
dan fungsi lembaga-lembaga negara merupakan bagian dari upaya strategis untuk
membangun kesadaran konstitusional (constitutional awareness) di kalangan
generasi muda. Melalui analisis terhadap tugas, fungsi, dan relasi antar
lembaga negara, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional diterapkan dalam praktik kenegaraan, sekaligus
mendorong partisipasi aktif dan kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat UUD 1945.4
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 85–87.
[2]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et
al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 156–158.
[3]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh
Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 112–115.
[4]
Siti Zuhro, “Penguatan Civic Education dalam Membangun Budaya
Demokrasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 12, no. 3 (2008):
323–325.
2.
Dasar
Konstitusional dan Teori Kelembagaan
Konstitusi merupakan
fondasi normatif tertinggi dalam suatu negara, yang mengatur bagaimana
kekuasaan disusun, dibagi, dan dijalankan. Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) menjadi pedoman utama yang menetapkan struktur dan mekanisme kerja
lembaga-lembaga negara. Pasca reformasi, UUD NRI 1945 mengalami empat kali
amandemen yang secara substansial mengubah wajah ketatanegaraan Indonesia,
terutama dalam hal distribusi kekuasaan dan penguatan prinsip checks
and balances antar lembaga negara.1
Secara teoretis,
penyusunan lembaga negara dalam UUD 1945 mengacu pada teori klasik trias
politica yang dikemukakan oleh Montesquieu, yang membagi kekuasaan
negara menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, guna mencegah
penyalahgunaan kekuasaan.2 Dalam perkembangannya, pemikiran
kelembagaan ini diadaptasi secara kontekstual dalam sistem presidensial
Indonesia, yang tidak menganut pemisahan kekuasaan secara mutlak, tetapi lebih
kepada pembagian fungsi dan koordinasi antarlembaga dalam bingkai negara hukum
demokratis.
Setelah amandemen,
sistem kelembagaan Indonesia mengalami perluasan dan penguatan. Beberapa
lembaga baru dibentuk secara eksplisit dalam konstitusi, seperti Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24C), Komisi Yudisial (Pasal 24B), dan Dewan Perwakilan
Daerah (Pasal 22C dan 22D). Hal ini menunjukkan pergeseran dari model supremasi
satu lembaga (Presiden sebagai mandataris MPR sebelum amandemen) menjadi sistem
dengan pluralitas kelembagaan yang saling mengimbangi.3
Dalam pandangan
Jimly Asshiddiqie, lembaga-lembaga negara dalam UUD NRI 1945 dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar: (1) lembaga
konstitutif, seperti MPR dan Presiden; (2) lembaga
operatif, seperti DPR, DPD, dan Presiden dalam pelaksanaan
kebijakan; serta (3) lembaga yudikatif dan eksaminatif,
seperti MA, MK, KY, dan BPK.4 Pembagian ini penting untuk
menunjukkan bahwa masing-masing lembaga memiliki fungsi berbeda sesuai mandat
konstitusi, dan tidak boleh saling mencampuri secara sewenang-wenang.
Namun demikian,
konsep ideal yang tertera dalam konstitusi sering kali berhadapan dengan kenyataan
politik yang dinamis. Ketegangan antar lembaga, penyimpangan kewenangan, serta
penafsiran hukum yang multitafsir menjadi tantangan dalam mengoperasionalkan
sistem ketatanegaraan yang efektif. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang
dasar konstitusional dan teori kelembagaan negara sangat penting untuk menilai
apakah pelaksanaan fungsi dan kewenangan lembaga negara benar-benar
mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Dengan demikian,
kajian ini tidak hanya memetakan struktur formal lembaga-lembaga negara menurut
konstitusi, tetapi juga menempatkannya dalam kerangka teoritis dan historis
agar siswa atau pembaca dapat melihat bagaimana konstitusi tidak hanya sebagai
teks hukum, tetapi sebagai sistem nilai dan praktik ketatanegaraan yang hidup
dan dinamis.
Footnotes
[1]
Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An
Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Konstitusi
Press, 2008), 45–47.
[2]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et
al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–159.
[3]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh
Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 64–66.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), 75–78.
3.
Klasifikasi
Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Setelah empat kali
amandemen UUD NRI Tahun 1945, struktur lembaga-lembaga negara Indonesia
mengalami reformulasi secara signifikan, baik dari sisi nomenklatur,
kewenangan, maupun hubungan antarlembaga. Konstitusi hasil amandemen tersebut
tidak hanya menetapkan lembaga-lembaga negara secara eksplisit, tetapi juga
memberikan pengakuan terhadap sejumlah lembaga independen yang muncul seiring
dinamika demokrasi dan kebutuhan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).
3.1.
Kriteria dan Dasar
Klasifikasi
Klasifikasi lembaga
negara dapat dilakukan berdasarkan pendekatan yuridis-formal maupun fungsional.
Pendekatan yuridis-formal merujuk pada penyebutan langsung lembaga dalam
konstitusi, sedangkan pendekatan fungsional menyoroti peran dan fungsi lembaga
dalam sistem ketatanegaraan, meskipun tidak selalu disebut secara eksplisit
dalam UUD. Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan lembaga negara menjadi tiga
kelompok besar: (1) lembaga konstitutif, (2) lembaga operatif, dan (3) lembaga
yudikatif dan eksaminatif.1
·
Lembaga konstitutif
adalah lembaga yang keberadaannya bersifat mendasar dan menentukan struktur
dasar negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
·
Lembaga operatif
meliputi lembaga pelaksana kekuasaan negara dalam bidang eksekutif dan
legislatif seperti Presiden, DPR, dan DPD.
·
Lembaga yudikatif
dan eksaminatif mencakup lembaga peradilan serta lembaga pemeriksa
keuangan seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial
(KY), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Klasifikasi ini
bersifat terbuka dan dapat diperluas sesuai perkembangan ketatanegaraan dan
kebutuhan demokratisasi institusi.
3.2.
Lembaga Negara yang
Disebut Secara Eksplisit dalam UUD NRI 1945
Pasca-amandemen,
beberapa lembaga negara disebut secara tegas dalam teks konstitusi, antara
lain:
·
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) – Pasal 2 dan Pasal 3
·
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) – Pasal 19 sampai 20A
·
Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) – Pasal 22C dan 22D
·
Presiden dan Wakil
Presiden – Pasal 4 sampai 16
·
Mahkamah Agung (MA)
– Pasal 24A
·
Mahkamah Konstitusi
(MK) – Pasal 24C
·
Komisi Yudisial
(KY) – Pasal 24B
·
Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) – Pasal 23E sampai 23G
Penyebutan langsung
ini menunjukkan adanya pengakuan konstitusional terhadap lembaga-lembaga
tersebut sebagai bagian dari struktur utama negara. Masing-masing lembaga
memiliki fungsi dan kewenangan yang dibatasi oleh pasal-pasal tertentu, sehingga
prinsip separation
of power dan checks and balances dapat
dijalankan secara efektif.
3.3.
Lembaga Negara yang
Tidak Disebut Secara Langsung dalam UUD NRI 1945
Selain lembaga yang
diatur secara eksplisit, terdapat pula lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
undang-undang atau pengakuan yuridis lain, dan memiliki fungsi strategis dalam
sistem pemerintahan. Lembaga-lembaga ini sering disebut sebagai lembaga
negara independen, seperti:
·
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
·
Komisi Pemilihan
Umum (KPU)
·
Ombudsman Republik
Indonesia (ORI)
·
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM)
Meskipun tidak
tercantum secara eksplisit dalam UUD, keberadaan lembaga-lembaga tersebut
dijustifikasi oleh prinsip constitutional necessity, yakni
kebutuhan konstitusional yang lahir dari semangat demokrasi dan tuntutan
reformasi kelembagaan.2 Beberapa akademisi bahkan menganggap bahwa
lembaga independen ini merupakan bagian dari pengembangan praktik
konstitusional modern, khususnya dalam membangun sistem horizontal
accountability antar cabang kekuasaan negara.3
3.4.
Implikasi
Konstitusional dari Klasifikasi Kelembagaan
Pemetaan klasifikasi
lembaga negara tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga berdampak
praktis dalam pembentukan peraturan, mekanisme pengawasan, dan pembagian
kewenangan. Ketepatan dalam memahami fungsi dan kedudukan lembaga negara dapat
mencegah konflik yurisdiksi antar lembaga serta memperkuat efektivitas kerja
lembaga dalam melayani kepentingan publik dan menegakkan konstitusi.
Melalui klasifikasi
ini pula, peserta didik dan warga negara secara umum dapat melihat gambaran
besar sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk memahami bagaimana struktur
kekuasaan dijalankan dan dikontrol secara konstitusional demi menjaga
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 89–91.
[2]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 198–199.
[3]
Bivitri Susanti, “Desain Lembaga Negara Independen dalam Negara Hukum
Demokratis,” Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (2012): 650–652.
4.
Analisis
Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara
Pasca amandemen UUD
NRI Tahun 1945, struktur lembaga negara Indonesia mengalami reposisi yang
signifikan. Fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga tidak lagi terpusat pada
MPR atau Presiden, tetapi tersebar secara seimbang kepada berbagai lembaga yang
memiliki kekhususan tugas dan peran. Pembagian kewenangan ini bertujuan untuk
menjamin prinsip demokrasi konstitusional dan mencegah konsentrasi kekuasaan
yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Bagian ini akan mengkaji
fungsi dan kewenangan utama dari beberapa lembaga negara sentral yang tercantum
dalam UUD NRI 1945 secara sistematis.
4.1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana pada masa sebelum amandemen. Kini,
MPR berfungsi sebagai lembaga permusyawaratan yang bersifat ad hoc
dalam hal tertentu. Fungsi utamanya adalah mengubah dan menetapkan UUD serta
melantik Presiden dan Wakil Presiden.1 Selain itu, MPR dapat
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam sidang paripurna berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pelanggaran hukum oleh Presiden.2
4.2.
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
DPR merupakan
lembaga legislatif yang memegang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Dalam hal legislasi, DPR bersama Presiden membentuk undang-undang (Pasal 20 UUD
1945). Dalam hal pengawasan, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, angket, dan
menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah.3 Fungsi anggaran
DPR terlihat dalam kewenangannya menyetujui RAPBN dan mengawasi pelaksanaannya
(Pasal 20A ayat 1–2).
4.3.
Dewan Perwakilan
Daerah (DPD)
DPD dibentuk sebagai
representasi kepentingan daerah di tingkat nasional. DPD memiliki fungsi
memberikan pertimbangan dan pengawasan terhadap rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.4 Namun, kewenangan legislatif DPD masih
terbatas dan tidak setara dengan DPR, menimbulkan kritik mengenai efektivitas
keberadaannya.
4.4.
Presiden dan Wakil
Presiden
Presiden Indonesia
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memegang kekuasaan
eksekutif, termasuk mengangkat dan memberhentikan menteri, menetapkan peraturan
pemerintah, serta menyusun dan menetapkan kebijakan nasional (Pasal 4 dan 17).
Presiden juga berperan dalam bidang militer sebagai panglima tertinggi TNI dan
memiliki wewenang untuk menyatakan perang atau membuat perdamaian dengan
persetujuan DPR.5
4.5.
Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan puncak
kekuasaan kehakiman bagi semua pengadilan umum, agama, militer, dan tata usaha
negara. MA memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi serta
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang (Pasal 24A UUD 1945). MA juga bertugas memberikan nasihat hukum
kepada Presiden dan mengawasi peradilan di bawahnya.6
4.6.
Mahkamah Konstitusi
(MK)
MK dibentuk pasca
amandemen sebagai penjaga konstitusi. MK berwenang menguji undang-undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, membubarkan
partai politik, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C). Selain
itu, MK memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum
oleh Presiden atau Wakil Presiden.7
4.7.
Komisi Yudisial (KY)
KY memiliki tugas
mengusulkan pengangkatan hakim agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Meskipun wewenangnya tidak mencakup
ranah pengambilan putusan, KY berperan penting dalam pengawasan etis di lembaga
peradilan.8
4.8.
Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
BPK berwenang
melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Hasil pemeriksaan BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya. Kewenangan BPK ini ditegaskan dalam Pasal 23E sampai 23G UUD
1945, menjadikannya sebagai pilar akuntabilitas keuangan publik.9
4.9.
Lembaga Negara
Independen
Seiring perkembangan
demokrasi, Indonesia juga memiliki lembaga-lembaga negara independen seperti Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Ombudsman
Republik Indonesia, dan Komnas HAM. Meskipun tidak
secara eksplisit diatur dalam konstitusi, lembaga-lembaga ini berperan penting
dalam menjaga integritas demokrasi, supremasi hukum, dan perlindungan hak asasi
manusia.10
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 134.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 7B.
[3]
Saldi Isra, Pergerseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh
Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 45.
[4]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 205.
[5]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10–13.
[6]
Mahkamah Agung RI, Profil dan Fungsi Mahkamah Agung (Jakarta:
MA RI, 2020), 17.
[7]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122.
[8]
Komisi Yudisial RI, Panduan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(Jakarta: KY RI, 2015), 3–5.
[9]
Badan Pemeriksa Keuangan RI, Tugas dan Fungsi BPK (Jakarta:
BPK RI, 2021), 12.
[10]
Bivitri Susanti, “Lembaga Negara Independen dalam Konteks Negara
Demokrasi Konstitusional,” Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (2012): 642–644.
5.
Dinamika
dan Tantangan Implementasi Fungsi Lembaga Negara
Meskipun desain
kelembagaan negara dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca-amandemen telah mengarah pada
sistem pembagian kekuasaan yang lebih seimbang, dalam praktiknya tidak jarang
terjadi friksi, disfungsi, dan ketidakefektifan antar lembaga negara.
Kompleksitas dinamika ini tidak hanya disebabkan oleh faktor kelembagaan
semata, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya politik, kepentingan elite,
kualitas hukum, serta kapasitas aktor negara dalam menjalankan mandat
konstitusionalnya.
5.1.
Tumpang Tindih
Kewenangan dan Ambiguitas Konstitusional
Salah satu tantangan
utama adalah tumpang tindih dan ketidakjelasan batas kewenangan di antara
lembaga-lembaga negara. Contohnya, relasi antara DPR dan DPD sering kali menimbulkan
perdebatan, terutama terkait proses legislasi. Meskipun DPD memiliki hak
mengajukan dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang
tertentu, kewenangan final tetap berada pada DPR dan Presiden, sehingga peran
DPD sering dianggap simbolik dan kurang berpengaruh dalam praktik legislasi.1
Ambiguitas juga
muncul dalam praktik pengawasan antar lembaga. Dalam beberapa kasus, DPR pernah
mengintervensi kinerja lembaga yudikatif atau lembaga negara independen di luar
kewenangan legislatifnya, yang menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap prinsip checks
and balances.2 Ketidaktegasan norma konstitusional turut
memperparah ketidakpastian ini.
5.2.
Konflik Antar
Lembaga dan Disfungsionalitas Politik
Konflik kelembagaan
tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis. Sengketa antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, misalnya, mencerminkan friksi antara
lembaga penegak hukum dan eksekutif yang dapat mengganggu stabilitas tata
kelola negara.3 Demikian pula ketegangan antara Presiden dan DPR
dalam proses pembentukan undang-undang atau penetapan pejabat publik menandakan
belum optimalnya koordinasi dalam sistem presidensial Indonesia yang bercorak
multipartai.
Disfungsionalitas
juga terjadi ketika lembaga negara tidak menjalankan tugasnya secara efektif.
Laporan tahunan dari Ombudsman RI menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat
terhadap pelayanan publik tidak ditindaklanjuti oleh instansi terkait,
memperlihatkan lemahnya daya eksekusi lembaga pengawas administratif.4
Hal ini mencerminkan kesenjangan antara idealitas norma dan realitas
pelaksanaan.
5.3.
Politisisasi dan
Intervensi Kekuasaan
Tantangan lain yang
signifikan adalah politisasi lembaga negara, khususnya dalam pengisian jabatan
publik yang semestinya bersifat profesional dan meritokratik. Proses seleksi
hakim konstitusi, anggota BPK, atau komisioner lembaga independen kerap
diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di DPR atau eksekutif.5
Fenomena ini mengancam independensi dan objektivitas lembaga negara dalam
menjalankan fungsinya, sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadap
institusi negara.
5.4.
Lemahnya Penegakan
Etika dan Akuntabilitas
Meski
lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial dan BPK telah dibentuk,
namun efektivitasnya masih terbatas. Komisi Yudisial, misalnya, sering
menghadapi resistensi dari Mahkamah Agung dalam hal pengawasan perilaku hakim.
Banyak rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti secara serius, menandakan
perlunya penguatan kewenangan dan sinergi antar lembaga yudikatif.6
Akuntabilitas
lembaga eksekutif juga masih menjadi sorotan. Dalam laporan evaluasi kinerja
tahunan, ditemukan bahwa sejumlah kementerian dan lembaga negara belum
sepenuhnya transparan dalam pengelolaan anggaran maupun dalam menyampaikan
informasi publik.7 Lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal
berdampak pada rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja pemerintahan.
5.5.
Peran Publik dan
Keterbukaan Informasi
Reformasi
institusional tidak akan bermakna tanpa partisipasi publik dan keterbukaan
informasi. Namun dalam praktiknya, akses terhadap dokumen publik dan
partisipasi masyarakat dalam proses legislasi atau evaluasi kebijakan masih
terbatas. Meskipun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik telah berlaku, implementasinya masih menghadapi hambatan
birokratis dan resistensi dari sejumlah lembaga negara.8
Kesimpulan Sementara
Berbagai dinamika
dan tantangan tersebut menunjukkan bahwa desain konstitusional yang baik tidak
serta-merta menjamin keberhasilan dalam praktik kenegaraan. Diperlukan
integritas aktor, penguatan sistem hukum, budaya birokrasi yang transparan,
serta peran aktif masyarakat dalam mengawal pelaksanaan fungsi dan kewenangan
lembaga negara. Tanpa itu semua, reformasi kelembagaan hanya akan menjadi
simbol tanpa substansi.
Footnotes
[1]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 210.
[2]
Saldi Isra, Pergerseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi oleh
Presiden (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 116.
[3]
Bivitri Susanti, “KPK, Polisi, dan Kelembagaan Antikorupsi,” Jurnal
Hukum dan Peradilan 2, no. 3 (2013): 412.
[4]
Ombudsman Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2022 (Jakarta:
ORI, 2023), 45–48.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 143.
[6]
Komisi Yudisial RI, Laporan Kinerja 2022 (Jakarta: KY, 2023),
32.
[7]
Badan Pemeriksa Keuangan RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I
Tahun 2023 (Jakarta: BPK, 2023), 20–21.
[8]
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Evaluasi
Implementasi UU KIP (Jakarta: PSHK, 2020), 17–19.
6.
Studi
Komparatif Singkat
Dalam memahami dan
mengevaluasi sistem kelembagaan negara Indonesia, pendekatan komparatif menjadi
instrumen penting. Dengan membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan
negara lain yang menganut model pemerintahan serupa atau berbeda, pembaca dapat
memperoleh wawasan mengenai kelebihan, kekurangan, serta peluang penguatan
sistem kelembagaan nasional. Dalam bagian ini, sistem ketatanegaraan Indonesia
akan dibandingkan secara singkat dengan tiga negara: Amerika Serikat
(presidensial murni), Jerman (parlementer federal), dan Jepang (monarki
parlementer).
6.1.
Amerika Serikat:
Presidensialisme Murni dengan Pemisahan Kekuasaan yang Ketat
Amerika Serikat
merupakan prototipe negara dengan sistem pemerintahan presidensial yang tegas
memisahkan tiga cabang kekuasaan negara: legislatif (Kongres), eksekutif
(Presiden), dan yudikatif (Mahkamah Agung). Ciri utama dari model ini adalah
independensi absolut antar cabang kekuasaan, termasuk larangan rangkap jabatan
antara anggota legislatif dan eksekutif.1
Berbeda dengan
Indonesia yang menerapkan model presidensial dengan corak multipartai dan
campuran mekanisme parlementer, Presiden Amerika Serikat tidak dapat membentuk
atau membubarkan parlemen. Fungsi legislasi sepenuhnya berada di tangan
Kongres, sementara Presiden hanya memiliki hak veto terbatas. Mahkamah Agung
Amerika memiliki kewenangan pengujian konstitusional yang kuat (judicial
review), sebagaimana juga dilakukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, namun dalam konteks sistem hukum common law yang berbeda.2
Keunggulan sistem
Amerika terletak pada keseimbangan kekuasaan yang stabil dan budaya
politik yang mapan, namun sistem ini sering dikritik karena
dapat menyebabkan kebuntuan (gridlock) dalam pengambilan
keputusan ketika eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai berbeda.
6.2.
Jerman: Parlementer
Federal dengan Koordinasi Lembaga yang Efisien
Jerman menganut
sistem parlementer dalam bingkai negara federal. Kanselir (Perdana Menteri)
dipilih oleh Bundestag (parlemen) dan bertanggung jawab langsung kepadanya.
Presiden Jerman hanya memiliki peran simbolik sebagai kepala negara. Dalam
sistem ini, hubungan antar lembaga negara berlangsung secara terkoordinasi dan
efisien karena kepala pemerintahan berasal dari dan dikendalikan oleh parlemen.3
Salah satu
keunggulan sistem Jerman adalah stabilitas pemerintahan dan efektivitas
kebijakan publik, karena hubungan antara eksekutif dan
legislatif bersifat hirarkis. Namun, kelemahannya adalah potensi dominasi
partai mayoritas yang dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap eksekutif.
Berbeda dengan Indonesia, lembaga yudisial di Jerman seperti
Bundesverfassungsgericht (Mahkamah Konstitusi Jerman) memainkan peran sangat
penting dalam menyeimbangkan kekuasaan antar negara bagian (Länder) dan
pemerintah pusat.4
6.3.
Jepang: Monarki
Parlementer dengan Peran Simbolik Kekuasaan Eksekutif Tertinggi
Jepang merupakan
negara dengan sistem monarki parlementer di mana Kaisar hanya berperan sebagai
simbol negara dan pemersatu bangsa, tanpa memiliki kekuasaan pemerintahan.
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinet yang
bertanggung jawab kepada parlemen (Diet Nasional). Seperti Jerman, sistem
parlementer di Jepang menjamin koordinasi erat antara legislatif dan eksekutif.5
Namun, uniknya,
sistem hukum Jepang juga memasukkan unsur budaya lokal dan hukum kebiasaan,
serta mengutamakan konsensus dalam penyusunan kebijakan. Lembaga yudikatif
seperti Mahkamah Agung Jepang tidak sekuat Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam
hal pengujian undang-undang terhadap konstitusi, meskipun tetap memainkan peran
penting dalam menjaga konsistensi hukum.6
6.4.
Implikasi bagi
Indonesia: Belajar dari Model Global
Jika dibandingkan,
sistem kelembagaan Indonesia merupakan bentuk hibrida antara presidensialisme dan sistem
parlementer, yang dipengaruhi oleh dinamika politik multipartai
dan kebutuhan akan lembaga-lembaga independen. Dari Amerika, Indonesia dapat
belajar mengenai pemisahan kekuasaan dan batasan institusional;
dari Jerman, mengenai efisiensi pemerintahan dan federalisme
fungsional; sementara dari Jepang, pentingnya simbolisme
dan konsensus dalam sistem politik.
Namun demikian,
konteks historis, sosial, dan politik Indonesia berbeda, sehingga adopsi
kelembagaan harus mempertimbangkan karakteristik lokal. Studi komparatif bukan
untuk meniru secara utuh, tetapi sebagai sarana reflektif untuk memperbaiki
desain dan praktik sistem ketatanegaraan Indonesia.
Footnotes
[1]
Richard Neustadt, Presidential Power and the Modern Presidents: The
Politics of Leadership from Roosevelt to Reagan (New York: Free Press,
1990), 33–35.
[2]
Mark Tushnet, The Constitution of the United States of America: A
Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2009), 61–64.
[3]
Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The Constitutional
Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed. (Durham: Duke
University Press, 2012), 89–92.
[4]
David P. Currie, The Constitution of the Federal Republic of
Germany (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 127–130.
[5]
Shigenori Matsui, The Constitution of Japan: A Contextual Analysis
(Oxford: Hart Publishing, 2011), 54–56.
[6]
Craig Martin, “Japan’s Quasi-Constitutional Court: Judicial Review and
the Japanese Supreme Court,” University of British Columbia Law Review
40, no. 1 (2007): 1–3.
7.
Refleksi
Kewarganegaraan
Pemahaman terhadap
fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara bukan hanya bersifat akademik atau
normatif, melainkan merupakan bagian esensial dari pengembangan kesadaran
kewarganegaraan (civic consciousness) yang utuh. Di
era demokrasi modern, warga negara tidak cukup hanya mengetahui hak dan
kewajiban secara formal, tetapi juga harus memiliki kemampuan kritis dan
partisipatif dalam mengawal jalannya pemerintahan sesuai dengan prinsip
konstitusional dan nilai-nilai Pancasila.
7.1.
Kesadaran
Konstitusional sebagai Pilar Kewarganegaraan
Kesadaran
konstitusional (constitutional awareness) merupakan
bentuk pemahaman mendalam atas konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, yang
menjadi acuan dalam menilai kinerja lembaga negara serta kebijakan publik.
Menurut Jimly Asshiddiqie, kesadaran ini merupakan salah satu indikator dari
kedewasaan demokrasi suatu bangsa, karena konstitusi bukan hanya teks hukum,
tetapi juga perwujudan dari nilai, norma, dan semangat kebangsaan.1
Warga negara yang
sadar konstitusi akan memiliki orientasi yang kuat terhadap nilai-nilai
keadilan, supremasi hukum, dan akuntabilitas publik. Dengan demikian, pemahaman
terhadap fungsi DPR, MA, MK, atau lembaga-lembaga independen seperti KPK tidak
sekadar sebagai informasi institusional, melainkan sebagai bahan evaluasi dan
kontrol sosial terhadap implementasi kekuasaan negara.
7.2.
Peran Kritis dan
Partisipatif Warga Negara
Salah satu esensi
dari kewarganegaraan aktif adalah keberanian untuk bersikap kritis terhadap
praktik penyelenggaraan negara yang menyimpang dari prinsip demokrasi.
Partisipasi warga dalam proses legislasi (misalnya melalui public
hearing), pengawasan anggaran, pelaporan dugaan korupsi, hingga
keterlibatan dalam pemilu adalah bentuk nyata dari pelaksanaan fungsi kontrol
warga negara.2
Namun, partisipasi
semacam ini hanya mungkin terjadi apabila masyarakat memiliki literasi politik
dan konstitusi yang baik. Kajian Civic Education menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan yang rendah tentang fungsi lembaga negara berkorelasi dengan
tingginya tingkat apatisme politik dan rendahnya kepedulian terhadap
pelanggaran etika penyelenggara negara.3
7.3.
Pancasila sebagai
Landasan Etis Pengawalan Kekuasaan
Dalam konteks
Indonesia, refleksi kewarganegaraan harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai
Pancasila. Sila keempat menekankan pentingnya permusyawaratan dan perwakilan
dalam pengambilan keputusan, sementara sila kedua dan kelima menekankan
keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Nilai-nilai ini menjadi pijakan
moral bagi warga negara dalam mengkritisi atau mendukung kebijakan lembaga
negara secara etis dan konstruktif.4
Dengan menjadikan
Pancasila sebagai landasan etis, sikap warga negara terhadap lembaga negara
tidak menjadi anarkistik atau destruktif, tetapi tetap dalam batas kewajaran
demokrasi. Kritik dan koreksi dilakukan dalam semangat membangun, bukan
menjatuhkan legitimasi lembaga negara.
7.4.
Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Strategi Kultural
Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) memegang peran penting dalam membentuk generasi muda
yang memiliki kesadaran konstitusional dan kemampuan reflektif terhadap sistem
pemerintahan. Materi tentang lembaga negara harus dikembangkan tidak hanya
dalam bentuk hafalan struktural, tetapi melalui pendekatan kontekstual,
analitis, dan aplikatif.
Menurut Tilaar,
pendidikan kewarganegaraan harus diarahkan pada pembentukan karakter warga
negara yang demokratis, kritis, dan bertanggung jawab.5 Oleh karena
itu, metode pengajaran yang dialogis dan berbasis masalah (problem-based
learning) lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai konstitusional
kepada peserta didik.
Kesimpulan Sementara
Refleksi
kewarganegaraan atas fungsi lembaga negara membuka ruang bagi pembentukan warga
negara yang tidak sekadar menjadi objek kebijakan, tetapi subjek aktif dalam
kehidupan bernegara. Melalui kesadaran konstitusional, partisipasi kritis, dan
pembentukan sikap etis berlandaskan Pancasila, generasi muda diharapkan mampu
mengawal praktik ketatanegaraan agar tetap sesuai dengan semangat demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 177.
[2]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 149–151.
[3]
Zuly Qodir dan Fajar R. Riyanto, “Civic Education dan Penguatan
Literasi Demokrasi,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 21, no. 3
(2016): 248.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
103–104.
[5]
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional (Jakarta: Kompas,
2009), 56.
8.
Penutup
Studi mengenai
fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia menunjukkan bahwa desain kelembagaan konstitusional pasca amandemen
UUD NRI Tahun 1945 telah membawa perubahan signifikan dalam struktur dan
distribusi kekuasaan negara. Penguatan prinsip checks and balances, pembentukan
lembaga independen, dan reposisi kewenangan antar institusi negara merupakan
wujud dari transformasi sistemik menuju demokrasi konstitusional yang lebih
terbuka dan akuntabel.1
Namun demikian,
realitas implementasi di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan harapan
konstitusional tersebut. Berbagai tantangan masih mengemuka, mulai dari tumpang
tindih kewenangan, politisasi lembaga negara, lemahnya pengawasan, hingga
rendahnya partisipasi publik dalam proses kenegaraan. Hal ini menandakan bahwa
reformasi kelembagaan yang bersifat struktural harus diimbangi dengan penguatan
kultur demokrasi, kualitas aktor, serta kesadaran hukum warga negara.2
Pemahaman terhadap
fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara tidak boleh berhenti pada aspek
teoritis atau normatif semata. Dalam konteks Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), materi ini harus dikembangkan dalam bentuk yang
kontekstual, reflektif, dan aplikatif agar mampu membentuk peserta didik
sebagai warga negara yang sadar konstitusi, aktif, dan bertanggung jawab.
Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi wahana pembudayaan nilai-nilai
konstitusional dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.3
Studi komparatif
dengan sistem ketatanegaraan negara lain seperti Amerika Serikat, Jerman, dan
Jepang memberikan pelajaran berharga bahwa tidak ada sistem yang sepenuhnya
ideal. Setiap negara membangun desain kelembagaannya berdasarkan sejarah,
budaya politik, dan kebutuhan sosialnya masing-masing. Oleh karena itu,
Indonesia harus terus menyempurnakan sistemnya dengan menjadikan konstitusi
sebagai pedoman utama sekaligus instrumen korektif terhadap praktik kekuasaan.
Akhirnya, penguatan
fungsi dan kewenangan lembaga negara secara substantif hanya dapat tercapai
apabila didukung oleh warga negara yang cerdas secara politik, kritis terhadap
penyimpangan kekuasaan, dan berlandaskan pada nilai-nilai moralitas publik.
Dalam kerangka itulah, peran generasi muda sebagai aktor perubahan dan penjaga
demokrasi harus terus ditumbuhkan melalui pendidikan yang transformatif dan
bernurani.4
Footnotes
[1]
Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An
Evaluation of Constitution-Making in Transition (Jakarta: Konstitusi
Press, 2008), 65–66.
[2]
Bivitri Susanti, “Desain dan Tantangan Lembaga Negara di Era
Reformasi,” Jurnal Konstitusi 10, no. 2 (2013): 240.
[3]
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kekuasaan, dan Pendidikan
Kewarganegaraan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 78–79.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
145.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Hukum tata negara dan
pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
(2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun 2023. Jakarta: BPK
RI.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(ed. revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Currie, D. P. (1994). The constitution of the
Federal Republic of Germany. Chicago: University of Chicago Press.
Indrayana, D. (2008). Indonesian constitutional
reform 1999–2002: An evaluation of constitution-making in transition.
Jakarta: Konstitusi Press.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2015). Panduan
kode etik dan pedoman perilaku hakim. Jakarta: KY RI.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Laporan
kinerja 2022. Jakarta: KY RI.
Kommers, D. P., & Miller, R. A. (2012). The
constitutional jurisprudence of the Federal Republic of Germany (3rd ed.).
Durham: Duke University Press.
Martin, C. (2007). Japan’s quasi-constitutional
court: Judicial review and the Japanese Supreme Court. University of British
Columbia Law Review, 40(1), 1–3.
Matsui, S. (2011). The constitution of Japan: A
contextual analysis. Oxford: Hart Publishing.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Neustadt, R. (1990). Presidential power and the
modern presidents: The politics of leadership from Roosevelt to Reagan. New
York: Free Press.
Ombudsman Republik Indonesia. (2023). Laporan
tahunan 2022. Jakarta: ORI.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. (2020). Evaluasi
implementasi UU KIP. Jakarta: PSHK.
Qodir, Z., & Riyanto, F. R. (2016). Civic
education dan penguatan literasi demokrasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
21(3), 247–255.
Saldi, I. (2010). Pergeseran fungsi legislasi:
Menguatnya legislasi oleh Presiden. Jakarta: Rajawali Pers.
Susanti, B. (2012). Desain lembaga negara
independen dalam negara hukum demokratis. Jurnal Konstitusi, 8(4),
641–654.
Susanti, B. (2013). Desain dan tantangan lembaga
negara di era reformasi. Jurnal Konstitusi, 10(2), 238–244.
Tilaar, H. A. R. (2004). Pendidikan, kekuasaan,
dan pendidikan kewarganegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H. A. R. (2009). Manifesto pendidikan
nasional. Jakarta: Kompas.
Tushnet, M. (2009). The constitution of the
United States of America: A contextual analysis. Oxford: Hart Publishing.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar