Eudaimonisme
Menelusuri Jalan Menuju Kehidupan yang Baik dan
Bermakna
Alihkan ke: Aliran Aksiologi.
Hedonisme, Stoisisme, Etika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas eudaimonisme sebagai salah
satu aliran utama dalam cabang aksiologi, khususnya dalam etika kebajikan yang
menempatkan eudaimonia (kebahagiaan atau kehidupan yang baik) sebagai
tujuan moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Dimulai dari akar historisnya
dalam filsafat Yunani Kuno melalui pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles,
pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan eudaimonisme dalam filsafat
Hellenistik melalui Stoisisme dan Epikureanisme. Artikel ini juga
mengeksplorasi transformasi eudaimonisme dalam filsafat modern dan kontemporer,
termasuk kritik dari aliran utilitarian, deontologis, relativis budaya, dan
eksistensialis. Lebih lanjut, artikel ini menyoroti dimensi aksiologis dari
eudaimonisme sebagai sistem nilai yang integratif dan aplikatif dalam konteks
sosial, pendidikan, kebijakan publik, dan psikologi positif. Refleksi akhir
menegaskan bahwa eudaimonisme bukan sekadar etika historis, tetapi tetap
relevan sebagai landasan etis yang mampu membimbing manusia menuju kehidupan
yang bermakna, bermoral, dan berkeutamaan dalam dunia yang kompleks dan
pluralistik.
Kata Kunci: Eudaimonisme, etika kebajikan, aksiologi, kebahagiaan,
kehidupan bermakna, Aristoteles, pendidikan karakter, psikologi positif, nilai
moral, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Eudaimonisme sebagai Fondasi Etika
1.
Pendahuluan
Dalam ranah
filsafat, aksiologi merupakan cabang utama yang mengkaji nilai—baik nilai
estetika, nilai moral, maupun nilai-nilai kehidupan secara umum. Salah satu
manifestasi penting dari nilai moral dalam kerangka aksiologis adalah teori
tentang kebahagiaan sebagai puncak tujuan etis dalam kehidupan manusia. Pandangan
ini dikenal sebagai Eudaimonisme, yaitu suatu
aliran dalam etika yang menekankan bahwa kebahagiaan
(eudaimonia)
adalah tujuan tertinggi dan intrinsik dari eksistensi manusia.
Secara etimologis,
istilah eudaimonia
berasal dari bahasa Yunani, yang secara harfiah berarti “memiliki roh baik”
atau “dinaungi oleh daimon yang baik.” Namun dalam perkembangan
filosofis, istilah ini dimaknai lebih luas sebagai “kehidupan yang baik,”
yakni kondisi di mana seseorang hidup sesuai dengan kebajikan dan mencapai
aktualisasi dirinya secara penuh dalam kerangka moral dan rasionalitas
manusiawi¹. Dalam hal ini, eudaimonia tidak identik dengan kesenangan sesaat,
melainkan mengacu pada suatu kehidupan yang dijalani secara utuh dan bernilai.
Gagasan eudaimonisme
mendapat bentuk sistematis pertamanya dalam filsafat Yunani Kuno, terutama
melalui pemikiran Aristoteles. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles
menyatakan bahwa “kebahagiaan adalah sesuatu yang kita kehendaki demi dirinya
sendiri,” dan ia menempatkannya sebagai telos atau tujuan akhir dari
seluruh tindakan manusia². Ia juga menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya
dapat diperoleh melalui pengembangan kebajikan (aretē) dan keterlibatan aktif dalam
kehidupan rasional dan bermasyarakat³.
Namun demikian,
eudaimonisme bukanlah pandangan yang bersifat monolitik. Dalam sejarah etika,
konsep ini berkembang dalam berbagai bentuk, seperti dalam Stoisisme yang
menekankan keselarasan dengan alam, atau dalam Epikureanisme yang melihat
kebahagiaan sebagai hasil dari kenikmatan yang bijaksana dan bebas dari
gangguan⁴. Bahkan dalam diskursus etika kontemporer, eudaimonisme mengalami
revitalisasi sebagai tanggapan terhadap kegagalan etika deontologis dan
utilitarian dalam memberikan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia
modern⁵.
Mengingat relevansi
dan kedalaman filsafat eudaimonistik, artikel ini bertujuan untuk menyelami
fondasi-fondasi filosofis dari eudaimonisme, menelusuri kontribusinya dalam
sejarah etika, serta menimbang relevansinya dalam konteks kontemporer. Dengan
mendalami eudaimonisme, kita tidak hanya memahami sebuah aliran etika,
melainkan juga membuka jalan untuk merumuskan kembali makna hidup yang baik dan
bermakna bagi manusia abad ke-21.
Footnotes
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 27.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–20.
[3]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford
University Press, 1991), 25–30.
[4]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(Berkeley: University of California Press, 1986), 187–205.
[5]
Rosalind Hursthouse, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia
of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/.
2.
Landasan Konseptual Eudaimonisme
Konsep dasar dari eudaimonisme
berakar dari gagasan bahwa kebahagiaan bukanlah sekadar perasaan yang
menyenangkan atau emosi sesaat, melainkan merupakan kondisi ideal dari
kehidupan manusia yang sepenuhnya berkembang dan dijalani dalam kebajikan.
Dalam konteks ini, eudaimonia adalah suatu bentuk
kebahagiaan yang objektif dan holistik, yang mencerminkan aktualisasi potensi
moral dan rasional manusia dalam keseharian hidupnya.
Secara etimologis,
istilah eudaimonia
berasal dari bahasa Yunani: eu berarti “baik” dan daimōn
berarti “roh” atau “penuntun ilahi”. Gabungan istilah ini secara
literal dapat dimaknai sebagai “memiliki roh yang baik” atau “diberkati
oleh kekuatan penuntun yang baik”¹. Namun, dalam filsafat Yunani Kuno,
maknanya berkembang menjadi “kehidupan yang unggul” atau “keadaan
hidup terbaik yang dapat dicapai oleh manusia”, yang tidak semata-mata
diukur oleh kenikmatan indrawi, tetapi oleh pencapaian nilai-nilai kebajikan
yang membentuk karakter mulia².
Dalam kerangka
eudaimonisme, kebahagiaan dipahami bukan sebagai tujuan eksternal dari tindakan
moral, tetapi sebagai bentuk pemenuhan alami dari kodrat manusia. Aristoteles,
tokoh sentral dalam pengembangan eudaimonisme, menekankan bahwa setiap makhluk
memiliki tujuan (telos) yang inheren. Bagi manusia,
tujuan tersebut adalah menjalani hidup secara rasional dan berbudi luhur.
Dengan demikian, eudaimonia bukanlah sesuatu yang
kita “miliki” melainkan sesuatu yang kita “lakukan”—suatu proses hidup dalam
kebajikan dan realisasi diri³.
Lebih lanjut,
Aristoteles membedakan antara kebahagiaan sebagai bentuk aktualisasi diri (yang
diperoleh dari hidup sesuai kebajikan) dengan kenikmatan atau kesenangan (hēdonē)
yang lebih bersifat pasif dan tidak cukup untuk menjamin hidup yang bermakna⁴.
Ia mengemukakan bahwa kebajikan (aretē) adalah kondisi yang
memungkinkan seseorang untuk menjalankan fungsi khas manusia secara
sempurna—yakni berpikir dan bertindak rasional secara moral⁵.
Eudaimonisme juga
menolak pandangan bahwa kebahagiaan bersifat subjektif sepenuhnya. Ia berupaya
merumuskan standar objektif tentang apa yang merupakan hidup yang baik,
berdasarkan pada fungsi khas manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Dalam
perspektif ini, nilai-nilai seperti keadilan, keberanian, kejujuran, dan
kebijaksanaan dianggap sebagai pilar-pilar utama dari kehidupan eudaimonik⁶.
Konsekuensinya,
eudaimonisme menggabungkan antara etika deskriptif dan normatif: ia tidak hanya
menggambarkan apa yang dianggap sebagai hidup yang baik, tetapi juga menetapkan
kriteria moral bagi tindakan yang patut dilakukan untuk mencapainya. Ini
menjadikannya bukan sekadar sistem nilai, tetapi juga proyek hidup filosofis
yang mengajak manusia untuk berpikir, bertindak, dan hidup secara integral
sesuai dengan potensi tertingginya.
Footnotes
[1]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 59.
[2]
Richard Kraut, What Is Good and Why: The Ethics of Well-Being
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 137.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a7–17.
[4]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 20–23.
[5]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford
University Press, 1991), 45–48.
[6]
Rosalind Hursthouse, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia
of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/.
3.
Tokoh-Tokoh Sentral dan Pandangan Klasik
Eudaimonisme sebagai
aliran etika memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Yunani Kuno.
Pemikiran tentang kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia
telah dikembangkan oleh para filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan terutama
Aristoteles. Ketiganya bukan hanya membentuk dasar konseptual dari
eudaimonisme, tetapi juga memberikan landasan etika kebajikan (virtue
ethics) yang menjadi pusat dari tradisi ini.
3.1.
Socrates: Kebajikan sebagai Pengetahuan
Socrates tidak
meninggalkan tulisan langsung, tetapi melalui dialog-dialog Plato, ia dikenal
sebagai sosok yang menghubungkan kebahagiaan dengan kehidupan yang dijalani
dalam kebajikan dan pengetahuan. Baginya, eudaimonia tidak mungkin dicapai
tanpa mengetahui apa yang baik dan benar. Oleh karena itu, kebijaksanaan moral
menjadi syarat utama bagi kebahagiaan sejati¹. Socrates menyatakan bahwa “hidup
yang tidak diperiksa (unexamined life) tidak layak dijalani”
(aphrastos)²,
yang menandakan bahwa refleksi diri dan pencarian akan kebenaran adalah fondasi
dari kehidupan yang bermakna.
3.2.
Plato: Keharmonisan Jiwa dan Ide Kebajikan
Plato, murid
Socrates, melanjutkan warisan gurunya dengan menekankan pentingnya keharmonisan
jiwa dalam mencapai eudaimonia. Dalam karyanya The
Republic, ia membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: rasional,
emosional, dan nafsu. Kebahagiaan dicapai ketika ketiga bagian ini berada dalam
keteraturan, dengan bagian rasional memimpin secara adil dan bijaksana³. Bagi
Plato, kebajikan bukan hanya merupakan sarana menuju kebahagiaan, tetapi juga
kondisi intrinsik dari jiwa yang baik dan teratur⁴. Eudaimonia, dalam hal ini,
berkaitan erat dengan pencapaian kebenaran dan partisipasi dalam dunia ide yang
sempurna.
3.3.
Aristoteles: Eudaimonia sebagai Tujuan
Akhir
Kontribusi paling
sistematis terhadap eudaimonisme datang dari Aristoteles. Dalam Nicomachean
Ethics, ia menjelaskan bahwa semua tindakan manusia bertujuan
menuju suatu kebaikan, dan kebaikan tertinggi itu adalah eudaimonia.
Berbeda dari Plato yang lebih metafisik, Aristoteles mendasarkan pandangannya
pada pengamatan empiris terhadap kodrat manusia dan aktivitasnya⁵.
Menurut Aristoteles,
kebahagiaan sejati diperoleh melalui pengaktualan kebajikan (aretē)
dalam hidup sehari-hari. Ia membedakan antara kebajikan moral (seperti
keberanian dan keadilan) dan kebajikan intelektual (seperti kebijaksanaan),
yang keduanya harus dikembangkan melalui kebiasaan dan pendidikan⁶. Eudaimonia
bukanlah keadaan pasif, melainkan aktivitas (energeia) yang mencerminkan
kesempurnaan fungsi manusia sebagai makhluk rasional.
Lebih lanjut,
Aristoteles menekankan konsep mesotes atau jalan tengah, yakni
kebajikan sebagai titik tengah antara dua ekstrem buruk. Misalnya, keberanian
adalah titik tengah antara pengecut dan gegabah. Dengan menjalani kehidupan
yang penuh kebajikan dalam keseimbangan, seseorang tidak hanya mencapai
kebahagiaan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kebaikan bersama⁷.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 200–203.
[2]
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
[3]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 435b–441c.
[4]
Julia Annas, Plato: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 65–70.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.
[6]
Terence Irwin, Aristotle’s First Principles (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 319–322.
[7]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford
University Press, 1991), 76–81.
4.
Perkembangan Eudaimonisme dalam Etika
Hellenistik
Setelah era klasik
yang dipelopori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, pemikiran eudaimonistik
berkembang secara lebih pragmatis dalam periode Hellenistik. Filsafat masa ini ditandai
oleh pencarian cara hidup yang dapat memberikan ketenangan batin (ataraxia)
dan kebebasan dari penderitaan (aponia) dalam konteks
sosial-politik yang tidak menentu. Meskipun tidak selalu menggunakan istilah eudaimonia
secara eksplisit, aliran-aliran Hellenistik seperti Stoisisme
dan Epikureanisme
tetap mempertahankan semangat eudaimonistik: bahwa hidup yang baik adalah hidup
yang bahagia, meskipun pendekatan terhadap kebahagiaan sangat berbeda.
4.1.
Stoisisme: Kebahagiaan dalam Keselarasan dengan
Alam
Stoa, yang didirikan
oleh Zeno
dari Citium, mengembangkan bentuk eudaimonisme yang berbasis
pada rasionalitas dan penerimaan terhadap tatanan kosmos. Bagi para Stoik, eudaimonia
diperoleh dengan hidup sesuai dengan logos (rasio alam semesta), yang
berarti hidup dalam harmoni dengan hukum alam dan akal budi manusia¹.
Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada hal-hal eksternal seperti kekayaan,
kesehatan, atau reputasi, tetapi bergantung sepenuhnya pada kebajikan moral dan
kemampuan untuk menerima segala sesuatu di luar kendali kita².
Tokoh penting
seperti Epiktetos dan Marcus
Aurelius menekankan bahwa ketenangan batin hanya bisa diraih
dengan mengembangkan sikap batin yang rasional, tabah, dan tidak terpengaruh
oleh penderitaan atau kenikmatan eksternal. Mereka membedakan antara "hal-hal
dalam kuasa kita" dan "hal-hal di luar kuasa kita,"
dan hanya yang pertama yang menjadi bahan moral sejati³. Dengan demikian, eudaimonia
dalam Stoisisme adalah ekspresi dari kebebasan batin dan kekuatan moral
menghadapi dunia⁴.
4.2.
Epikureanisme: Kebahagiaan melalui Kenikmatan
yang Bijak
Sementara Stoisisme
menekankan rasionalitas dan pengendalian diri, Epikureanisme—yang didirikan
oleh Epicurus—mengusulkan
bahwa eudaimonia
dapat dicapai melalui kenikmatan (hēdonē) yang dihayati secara
rasional dan sederhana. Berbeda dari stereotip yang menyamakan Epikureanisme
dengan hedonisme ekstrem, Epicurus justru membedakan antara kenikmatan dinamis
dan kenikmatan statis, dan lebih menghargai yang terakhir—yaitu kebebasan dari
rasa sakit fisik dan mental (aponia dan ataraxia)⁵.
Bagi Epicurus,
kebahagiaan tidak ditemukan dalam pemuasan nafsu secara berlebihan, tetapi
dalam hidup yang sederhana, bebas dari rasa takut (terutama takut akan kematian
dan para dewa), serta dalam hubungan persahabatan yang tulus⁶. Ia bahkan
menyatakan bahwa “kenikmatan adalah awal dan tujuan dari hidup yang
diberkahi,” namun kenikmatan yang dimaksud adalah yang disertai
kebijaksanaan dan penghindaran dari penderitaan jangka panjang⁷.
4.3.
Analisis Perbandingan: Rasionalitas dan
Kebajikan sebagai Inti Bersama
Meskipun pendekatan
Stoik dan Epikurean terhadap kebahagiaan tampak berseberangan—yang satu
menekankan ketabahan dalam menghadapi dunia, sementara yang lain menekankan
kenikmatan dan penghindaran penderitaan—keduanya menyepakati bahwa eudaimonia
adalah kondisi yang stabil dan berkelanjutan, bukan sekadar emosi sesaat.
Keduanya juga sepakat bahwa kebajikan dan penalaran adalah alat yang tak
tergantikan dalam pencarian kebahagiaan.
Dengan demikian,
etika Hellenistik memperluas cakrawala eudaimonisme klasik dari Aristoteles ke
arah kehidupan praktis yang dapat dijalani oleh setiap individu, tanpa
mengandalkan status sosial atau keunggulan intelektual tertentu. Dalam hal ini,
eudaimonisme Hellenistik menampilkan dimensi personal dan eksistensial dari
etika kebahagiaan yang tetap relevan hingga hari ini.
Footnotes
[1]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 120.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, vol. 2,
trans. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 223–224.
[3]
Epictetus, The Handbook (Enchiridion), trans. Nicholas P.
White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), sec. 1.
[4]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), Book 2, sec. 5–6.
[5]
Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Art of Happiness,
trans. George K. Strodach (New York: Penguin Classics, 2012), 25.
[6]
Catherine Wilson, Epicureanism at the Origins of Modernity
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 31–35.
[7]
Timothy O’Keefe, Epicurus on Freedom (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 78–80.
5.
Eudaimonisme dalam Filsafat Modern dan
Kontemporer
Setelah masa
kejayaan filsafat Yunani dan Hellenistik, pengaruh eudaimonisme sebagai dasar
etika mengalami pergeseran yang signifikan dalam filsafat modern. Munculnya
etika deontologis Immanuel Kant dan etika utilitarian seperti yang dikembangkan
oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menggeser fokus dari pencapaian
kebahagiaan melalui kebajikan menuju prinsip kewajiban moral atau konsekuensi
tindakan. Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, eudaimonisme tidak
punah. Justru seiring kritik terhadap formalitas dan impersonalitas etika
modern, terjadi kebangkitan minat terhadap eudaimonisme melalui revitalisasi etika
kebajikan (virtue ethics).
5.1.
Kritik Kantian terhadap Eudaimonisme
Immanuel Kant secara
eksplisit mengkritik eudaimonisme, karena ia memandang bahwa dasar moralitas
tidak boleh bersandar pada kebahagiaan, melainkan pada kewajiban dan prinsip
rasional yang bersifat apriori. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals,
ia menegaskan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dilakukan demi tugas,
bukan demi hasil yang menyenangkan atau membahagiakan¹. Bagi Kant, kebahagiaan
adalah suatu tujuan yang terlalu subjektif dan berubah-ubah untuk dijadikan
fondasi moral yang universal.
Walaupun demikian,
Kant tetap mengakui bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan kodrati manusia,
namun ia memisahkan antara “moralitas” dan “eudaimonia” dalam
arti tegas². Dengan kata lain, moralitas bagi Kant bersifat otonom dan
bersumber dari akal praktis murni, bukan dari konsekuensi afektif seperti
kebahagiaan.
5.2.
Kebangkitan Etika Kebajikan dalam Filsafat
Kontemporer
Kritik terhadap
etika modern yang terlalu formalistik dan tidak kontekstual mendorong
kembalinya minat terhadap eudaimonisme. Salah satu tokoh utama dalam
kebangkitan ini adalah Alasdair MacIntyre, yang dalam
karyanya After
Virtue menyatakan bahwa filsafat moral modern telah terlepas dari
akar tradisi kebajikan yang memberi makna pada tindakan manusia³. Ia menyoroti
bahwa tanpa narasi hidup dan komunitas yang membentuk kebajikan, moralitas
menjadi hampa dan arbitrer. Eudaimonia, dalam pengertian Aristoteles, dipulihkan
sebagai konsep sentral dalam kehidupan etis yang terintegrasi dalam struktur
sosial dan budaya.
MacIntyre
berpendapat bahwa kita hanya dapat memahami makna kebajikan jika kita memiliki
gambaran tentang kehidupan manusia yang baik secara keseluruhan. Dalam hal ini,
eudaimonia
bukan sekadar kebahagiaan subjektif, tetapi orientasi hidup yang memiliki arah
dan tujuan dalam konteks komunitas historis⁴.
5.3.
Virtue Ethics dan Neo-Eudaimonisme
Tokoh seperti Philippa
Foot, Rosalind Hursthouse, dan Julia
Annas telah mengembangkan bentuk etika kebajikan kontemporer
yang menempatkan eudaimonia sebagai inti dalam
pemikiran etis. Hursthouse, misalnya, menyatakan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang dilakukan oleh orang bermoral yang memiliki kebajikan,
dalam situasi yang tepat, dengan motivasi yang tepat—karena itu merupakan
bagian dari kehidupan yang baik⁵. Annas menambahkan bahwa kebajikan perlu
dilihat seperti keterampilan yang berkembang melalui latihan dan refleksi dalam
konteks kehidupan praktis⁶.
Eudaimonisme
kontemporer tidak hanya menjadi reaksi terhadap kegagalan pendekatan modern,
tetapi juga menjawab kebutuhan akan suatu etika yang lebih manusiawi,
kontekstual, dan mengakar pada kehidupan sehari-hari. Dalam lanskap etika saat
ini, eudaimonisme memberikan kerangka alternatif yang menggabungkan aspek
afektif, rasional, dan sosial dari kehidupan moral.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:397–401.
[2]
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 85–88.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 2007), 1–5.
[4]
Ibid., 186–203.
[5]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 28–35.
[6]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 15–21.
6.
Dimensi Aksiologis: Eudaimonisme sebagai Sistem
Nilai
Dalam kerangka
filsafat aksiologi, eudaimonisme dapat dipahami sebagai suatu sistem nilai yang
menyatukan orientasi etika, eksistensial, dan humanistik menuju satu tujuan
utama: kebahagiaan yang sejati dan bermakna. Di antara berbagai teori nilai,
eudaimonisme menonjol karena menyelaraskan antara nilai moral (kebajikan),
nilai instrumental (sarana), dan nilai intrinsik (tujuan akhir) dalam satu
struktur yang kohesif. Dengan demikian, eudaimonia bukan sekadar produk akhir
dari perilaku baik, tetapi juga merupakan ekspresi dari kehidupan yang dijalani
secara benar, bijak, dan bernilai.
6.1.
Eudaimonia sebagai Nilai Tertinggi (Summum
Bonum)
Dalam tradisi
eudaimonistik Aristotelian, eudaimonia diposisikan sebagai summum
bonum, yaitu kebaikan tertinggi yang menjadi tujuan akhir dari
semua aktivitas manusia. Aristoteles menyatakan bahwa setiap tindakan dan
pilihan bertujuan menuju suatu kebaikan, dan kebaikan tertinggi itu adalah
kebahagiaan, yang dipilih demi dirinya sendiri dan bukan sebagai alat untuk
tujuan lain¹. Oleh karena itu, eudaimonia berfungsi sebagai poros
normatif yang memberi makna dan arah bagi struktur nilai dalam kehidupan.
Sebagai nilai
tertinggi, eudaimonia memiliki dimensi teleologis dan normatif: ia bukan hanya
hal yang diinginkan, tetapi juga sesuatu yang “seharusnya” dicapai
melalui aktualisasi potensi terbaik manusia. Dalam hal ini, eudaimonia
bukan nilai subjektif yang bergantung pada kesenangan pribadi, tetapi nilai
obyektif yang melekat pada kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan
bermoral².
6.2.
Kebajikan sebagai Nilai Instrumental dan
Intrinsik
Dalam sistem nilai
eudaimonistik, kebajikan (aretē) memiliki posisi unik karena
ia sekaligus merupakan nilai instrumental dan nilai
intrinsik. Nilai instrumental karena kebajikan adalah sarana
yang diperlukan untuk mencapai eudaimonia, dan nilai intrinsik
karena kebajikan itu sendiri adalah bagian dari kehidupan yang baik. Orang yang
berani, adil, dan bijak tidak hanya menjalani hidup yang bermoral, tetapi juga
hidup yang memuaskan secara eksistensial dan spiritual³.
Etika eudaimonistik
menekankan bahwa nilai moral tidak boleh dipisahkan dari kehidupan praktis.
Dalam pengertian ini, nilai-nilai seperti kejujuran, ketekunan, tanggung jawab,
dan belas kasih bukan hanya norma abstrak, tetapi prinsip yang membentuk
karakter dan arah hidup. Nilai-nilai tersebut tidak memiliki arti jika tidak
diwujudkan dalam tindakan nyata dalam konteks sosial dan relasional⁴.
6.3.
Eudaimonisme dan Hirarki Nilai dalam Aksiologi
Dari perspektif
aksiologi formal seperti yang dikembangkan oleh Max Scheler dan Nicolai
Hartmann, nilai memiliki hierarki mulai dari nilai-nilai
utilitarian, vital, spiritual, hingga nilai-nilai kepribadian⁵. Eudaimonisme
klasik selaras dengan pandangan ini karena ia memosisikan kebahagiaan sebagai
hasil dari pemenuhan nilai-nilai moral dan spiritual tertinggi, bukan dari kesenangan
biologis atau manfaat ekonomis semata.
Dengan demikian,
eudaimonia berada pada puncak piramida nilai sebagai realisasi tertinggi dari
makna hidup manusia. Ia mengintegrasikan nilai-nilai yang lebih rendah (seperti
kesehatan dan kemapanan) sebagai syarat yang mendukung, tetapi bukan esensial.
Eudaimonia tetap tegak bahkan dalam penderitaan, selama kebajikan dijalankan
dengan konsistensi dan integritas moral.
6.4.
Eudaimonisme sebagai Kritik terhadap
Relativisme Nilai
Di tengah
relativisme nilai yang berkembang dalam masyarakat pluralistik modern,
eudaimonisme menawarkan kerangka nilai yang bersifat universal namun
kontekstual. Ia tidak menggantungkan moralitas pada kesepakatan sosial atau
konstruksi budaya semata, tetapi berakar pada struktur kodrati manusia yang
rasional dan mampu bertumbuh dalam kebajikan. Oleh sebab itu, eudaimonisme
tidak bersifat dogmatis, namun tetap memiliki landasan normatif yang kokoh
dalam filsafat manusia⁶.
Eudaimonisme, dalam
bentuk kontemporernya, menjadi semacam sistem nilai yang bersifat pembimbing
(guiding value system), yang mampu menjembatani antara idealisme moral dan
praktik kehidupan nyata. Ia menuntun individu untuk mengembangkan kehidupan
yang baik tidak hanya secara etis, tetapi juga secara psikologis, sosial, dan spiritual.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–25.
[2]
Richard Kraut, What Is Good and Why: The Ethics of Well-Being
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 19–23.
[3]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 43–48.
[4]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 29–36.
[5]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1973), 105–114.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 2007), 222–230.
7.
Eudaimonisme dalam Konteks Sosial dan
Pendidikan
Konsep eudaimonia
tidak hanya memiliki signifikansi individual, melainkan juga mengandung dimensi
sosial dan pedagogis yang luas. Dalam perspektif eudaimonistik, manusia adalah
makhluk rasional dan sosial (zoon politikon), sehingga
pencapaian kebahagiaan tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan sesama,
struktur komunitas, dan proses pembentukan karakter. Oleh karena itu,
eudaimonisme bukanlah etika egoistik, tetapi merupakan visi moral kolektif
tentang bagaimana masyarakat dan institusi—terutama pendidikan—dapat membentuk
kehidupan yang baik dan bermakna.
7.1.
Komunitas sebagai Ruang Eudaimonik
Aristoteles
menegaskan bahwa kebahagiaan individu tidak terwujud dalam isolasi, melainkan
dalam kerangka polis (negara-kota) yang memungkinkan realisasi kebajikan secara
kolektif. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa
tujuan utama negara bukan sekadar menjamin kelangsungan hidup, tetapi
memungkinkan warganya hidup dengan baik (to eu zen)¹. Oleh karena itu,
struktur sosial ideal dalam pandangan eudaimonistik adalah komunitas yang
memberi ruang bagi pertumbuhan moral, partisipasi aktif, dan kehidupan
bermakna.
Pandangan ini
sejalan dengan pemikiran kontemporer seperti yang dikemukakan oleh Alasdair
MacIntyre, yang menyatakan bahwa praktik kebajikan hanya dapat dimengerti dan
dijalankan dalam konteks tradisi dan komunitas moral yang hidup². Komunitas
yang mendukung eudaimonia adalah komunitas yang
menumbuhkan teladan, dialog etis, dan kebiasaan baik dalam kerangka relasi
timbal balik yang manusiawi.
7.2.
Pendidikan sebagai Sarana Pembentukan Karakter
dan Kebahagiaan
Dalam konteks
pendidikan, eudaimonisme memberikan kerangka normatif yang kuat bagi
pengembangan karakter dan etika. Aristoteles memandang bahwa kebajikan
diperoleh melalui pembiasaan (ethismos) dan pendidikan yang baik
sejak usia dini³. Pendidikan yang eudaimonistik tidak hanya menekankan
pencapaian kognitif atau keterampilan teknis, tetapi juga membina kebajikan
moral dan sosial seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan belas
kasih.
Filsuf pendidikan
seperti Martha Nussbaum memperluas gagasan ini melalui pendekatan capabilities
approach, yang menyatakan bahwa pendidikan harus membekali individu
dengan kemampuan mendasar untuk menjalani hidup yang bermartabat dan
reflektif⁴. Nussbaum menegaskan pentingnya pengembangan “imaginative
capacities” dan “narrative understanding” dalam membentuk warga
negara yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak secara etis⁵.
Dalam praktik
kontemporer, eudaimonisme juga menjadi landasan bagi pendidikan karakter (character
education) yang menekankan integrasi antara pengetahuan, emosi, dan
tindakan moral. Pendidikan semacam ini bertujuan membentuk peserta didik yang
tidak hanya sukses secara akademik, tetapi juga mampu menjalani kehidupan yang
bermakna dan berkontribusi positif bagi masyarakat⁶.
7.3.
Implikasi Sosial: Menuju Masyarakat Eudaimonik
Secara lebih luas,
eudaimonisme menawarkan model etis bagi tatanan sosial yang berkeadilan dan
berorientasi pada kesejahteraan manusia yang utuh. Dalam kerangka ini,
pembangunan tidak cukup hanya mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi harus
mencerminkan kualitas hidup, relasi sosial, dan keadilan distributif yang
mendukung aktualisasi potensi manusia.
Berbagai inisiatif
dalam kebijakan publik, seperti indeks kesejahteraan subjektif, pendidikan
berbasis nilai, serta gerakan kesejahteraan holistik (e.g. Gross National
Happiness di Bhutan), mencerminkan semangat eudaimonistik yang menilai kualitas
hidup dari dimensi moral dan relasional, bukan sekadar indikator material⁷.
Dengan demikian,
eudaimonisme mengandung potensi transformatif bukan hanya bagi individu, tetapi
juga bagi masyarakat dan sistem pendidikan. Ia mengusulkan bahwa hidup yang
baik bukan hanya urusan privat, melainkan merupakan proyek kolektif yang
menuntut tanggung jawab sosial, pendidikan yang bernilai, dan struktur komunitas
yang mendukung pembentukan karakter dan kebahagiaan sejati.
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University
of Chicago Press, 2013), 1252a1–6.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 2007), 204–225.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a10–15.
[4]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–31.
[5]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 89–94.
[6]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–49.
[7]
Daniel Haybron, Happiness: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 112–118.
8.
Kritik dan Kontroversi terhadap Eudaimonisme
Meskipun
eudaimonisme telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah etika dan
aksiologi, gagasan ini tidak lepas dari berbagai kritik dan kontroversi, baik
dari sudut pandang etika modern maupun dari kerangka filsafat moral yang
bersifat pluralistik dan kontekstual. Kritik terhadap eudaimonisme umumnya
diarahkan pada aspek teoretis, praktis,
dan kultural,
yang menantang klaim universalitas serta kecukupan konsep kebahagiaan sebagai
fondasi etis.
8.1.
Kritik Utilitarian dan Deontologis: Kebajikan
vs. Konsekuensi atau Kewajiban
Salah satu kritik
paling mendasar datang dari para filsuf utilitarian dan deontologis,
yang menilai bahwa eudaimonisme gagal memberikan kriteria objektif untuk
menilai tindakan moral. Dalam utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill, moralitas diukur berdasarkan konsekuensi—khususnya
sejauh mana suatu tindakan meningkatkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak¹. Eudaimonisme, sebaliknya, dianggap terlalu fokus pada pengembangan
pribadi dan mengabaikan dimensi kalkulatif dalam distribusi manfaat secara
kolektif².
Sementara itu, dari
perspektif deontologi Kantian, eudaimonia dianggap sebagai tujuan
yang terlalu bersifat empiris dan kontingen untuk dijadikan dasar moralitas.
Kant berargumen bahwa tindakan moral sejati adalah tindakan yang dilakukan
karena kewajiban,
bukan karena kecenderungan menuju kebahagiaan³. Dengan demikian, eudaimonisme
dituduh mencampuradukkan antara motivasi moral dan motivasi hedonistik atau
eudaimonistik yang bersifat egoistik.
8.2.
Kritik Relativisme Budaya: Apakah Eudaimonia
Bersifat Universal?
Kritik lainnya
menyasar pada asumsi universalitas dari
konsep eudaimonia. Sebagian pemikir postmodern dan relativis budaya berpendapat
bahwa gagasan “kehidupan yang baik” bersifat kontekstual
dan pluralistik, sehingga tidak dapat ditentukan oleh satu sistem
nilai tertentu. Konsep eudaimonia yang berakar pada
filsafat Yunani Kuno dinilai terlalu bergantung pada asumsi budaya
tertentu—terutama terkait pandangan tentang kebajikan, fungsi manusia, dan
tatanan sosial⁴.
Dalam masyarakat
multikultural kontemporer, pertanyaan tentang "apa itu kebahagiaan"
atau "kehidupan yang baik" tidak dapat dijawab secara tunggal.
Apa yang dianggap bermakna atau bernilai dalam satu komunitas bisa jadi ditolak
oleh komunitas lain. Oleh karena itu, eudaimonisme ditantang untuk lebih
inklusif terhadap keragaman perspektif, pengalaman, dan struktur nilai yang
berkembang dalam masyarakat global⁵.
8.3.
Kritik Eksistensialis: Kebebasan vs. Kodrat
Manusia
Kaum eksistensialis,
seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, mengkritik ide bahwa manusia
memiliki “kodrat tetap” atau fungsi spesifik yang harus diwujudkan untuk
mencapai kebahagiaan. Bagi Sartre, manusia “dikutuk untuk bebas” dan
tidak memiliki esensi sebelum bertindak⁶. Dalam pandangan ini, setiap individu
harus menciptakan sendiri makna dan nilai kehidupannya tanpa bergantung pada
struktur metafisis seperti telos atau fungsi
manusiawi sebagaimana ditegaskan dalam eudaimonisme klasik.
Kritik ini menggugah
diskusi mendalam tentang otonomi moral dan makna
kebebasan dalam filsafat etika. Apakah kebahagiaan manusia
ditentukan oleh aktualisasi kodrat objektif, atau justru oleh kemampuan untuk
memilih nilai secara bebas, bahkan jika itu bertentangan dengan kebajikan
tradisional?
8.4.
Tantangan Psikologis dan Empiris
Dalam konteks ilmu
psikologi kontemporer, eudaimonisme juga dihadapkan pada pertanyaan mengenai keterukuran
dan validitas
empiris dari klaim bahwa kebajikan menghasilkan kebahagiaan.
Sementara pendekatan psikologi positif, seperti yang dikembangkan oleh Martin
Seligman dan Carol Ryff, cenderung mengafirmasi bahwa kehidupan bermoral
berkontribusi pada well-being, masih terdapat perdebatan mengenai bagaimana
kebahagiaan didefinisikan, diukur, dan dibandingkan antar individu dan budaya⁷.
Apakah orang yang
hidup dalam kebajikan memang lebih bahagia secara objektif? Apakah eudaimonia
dapat dijadikan kerangka interdisipliner antara filsafat dan sains psikologis?
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa eudaimonisme memerlukan
pengembangan konseptual lebih lanjut agar dapat bersaing dalam wacana etika
kontemporer yang multidimensional.
Footnotes
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 7–10.
[2]
Julia Driver, Uneasy Virtue (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 85–88.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:399–401.
[4]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 91–97.
[5]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–30.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–23.
[7]
Carol Ryff and Burton Singer, “Know Thyself and Become What You Are: A
Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being,” Journal of Happiness
Studies 9, no. 1 (2008): 13–39.
9.
Relevansi dan Aplikasi Eudaimonisme di Era
Kontemporer
Di tengah
kompleksitas moral, krisis identitas, dan meningkatnya tuntutan hidup modern,
eudaimonisme menawarkan pendekatan filosofis yang bernilai dan praktis dalam
menjawab pertanyaan mendasar: “Bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan
bermakna?” Meskipun konsep ini berakar pada filsafat Yunani kuno,
aktualitasnya tetap kuat dalam menghadapi problematika eksistensial, sosial,
dan ekologis di abad ke-21. Eudaimonisme menggabungkan kerangka etika,
kebijaksanaan praktis, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam satu sistem yang
integral dan aplikatif.
9.1.
Psikologi Positif dan Kesejahteraan Eudaimonik
Salah satu bentuk
konkret relevansi eudaimonisme dalam era kontemporer tampak dalam psikologi
positif, sebuah cabang ilmu psikologi yang berfokus pada
kesejahteraan, kebahagiaan, dan pengembangan potensi manusia. Martin Seligman
membedakan antara kebahagiaan hedonistik
(kenikmatan dan kepuasan sesaat) dan kesejahteraan eudaimonik, yakni
hidup yang penuh makna, tujuan, dan keterlibatan aktif dalam aktivitas
bermakna¹. Model PERMA (Positive Emotion,
Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) yang dikembangkan
Seligman menjadi representasi empiris dari pendekatan eudaimonistik dalam
psikologi kontemporer².
Begitu pula, Carol
Ryff mengembangkan model kesejahteraan psikologis yang berbasis pada enam
dimensi: penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi—semuanya berakar kuat pada nilai-nilai
eudaimonik³. Dengan pendekatan ini, eudaimonisme tidak lagi sebatas teori
etika, tetapi menjadi dasar bagi pendekatan ilmiah terhadap kesejahteraan
manusia.
9.2.
Eudaimonisme dan Kebijakan Publik yang
Humanistik
Konsep eudaimonia
juga mulai diintegrasikan dalam paradigma kebijakan publik yang menekankan kesejahteraan
holistik, seperti pada model Gross National Happiness (GNH)
di Bhutan. Alih-alih mengandalkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator
kesejahteraan, GNH menggunakan pendekatan multidimensional yang mencakup
kesejahteraan psikologis, pelestarian budaya, kesehatan, pendidikan, dan tata
kelola yang baik⁴. Hal ini mencerminkan penerapan prinsip eudaimonistik dalam
konteks politik dan pembangunan berkelanjutan.
Di dunia Barat,
konsep well-being
policy mulai menggantikan kebijakan berbasis pertumbuhan ekonomi
semata. Negara-negara seperti Selandia Baru dan Skotlandia telah mengadopsi
pendekatan kebijakan publik yang mengutamakan pembangunan manusia dan
keseimbangan sosial, berdasarkan prinsip kesejahteraan yang bersifat etis dan
partisipatif⁵. Nilai-nilai ini sangat selaras dengan cita-cita eudaimonistik
tentang kehidupan yang baik dalam komunitas yang adil.
9.3.
Eudaimonisme sebagai Fondasi Etika Profesi dan
Pendidikan Karakter
Dalam dunia profesi
dan pendidikan, eudaimonisme dapat menjadi dasar pengembangan etika
karakter dan integritas profesional. Profesi
seperti kedokteran, pendidikan, hukum, dan pelayanan publik menuntut lebih dari
sekadar keterampilan teknis; ia memerlukan pembentukan karakter dan komitmen
terhadap nilai-nilai intrinsik seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab.
Etika eudaimonistik menekankan pentingnya menjalani profesi sebagai panggilan
untuk mewujudkan kebaikan bersama dan bukan sekadar sebagai alat untuk
memperoleh keuntungan pribadi⁶.
Dalam dunia
pendidikan, program pendidikan karakter berbasis kebajikan telah dikembangkan
untuk membina siswa tidak hanya menjadi “cerdas” secara kognitif, tetapi juga
secara moral dan emosional. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan bahwa
pendidikan seharusnya memfasilitasi realisasi potensi terbaik manusia dan
membentuk pribadi yang utuh secara moral, intelektual, dan sosial⁷.
9.4.
Tantangan Ekologis dan Etika Kehidupan yang
Baik
Krisis lingkungan
global juga membuka ruang baru bagi eudaimonisme untuk berkontribusi sebagai etika
ekologis. Banyak filsuf lingkungan seperti Holmes Rolston III
dan Mary Midgley menegaskan bahwa hidup yang baik tidak bisa dilepaskan dari
hubungan harmonis dengan alam. Eudaimonisme mendorong manusia untuk tidak hanya
menjalani hidup yang memuaskan secara pribadi, tetapi juga bertanggung jawab
terhadap keberlanjutan kehidupan secara kolektif dan ekologis⁸.
Dalam konteks ini, eudaimonia
bukan hanya tujuan pribadi, tetapi juga komitmen terhadap kehidupan yang baik
bersama—dalam relasi dengan sesama manusia dan seluruh sistem kehidupan di
bumi. Ia membuka wawasan tentang moralitas yang tidak antroposentris, tetapi
ekologis dan integral.
Footnotes
[1]
Martin E. P. Seligman, Authentic Happiness: Using the New Positive
Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment (New York:
Free Press, 2002), 61–65.
[2]
Martin E. P. Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of
Happiness and Well-Being (New York: Free Press, 2011), 16–25.
[3]
Carol D. Ryff, “Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the
Meaning of Psychological Well-Being,” Journal of Personality and Social
Psychology 57, no. 6 (1989): 1069–1081.
[4]
Karma Ura, Sabina Alkire, and Tshoki Zangmo, An Extensive Analysis
of GNH Index (Thimphu: Centre for Bhutan Studies, 2012), 4–6.
[5]
Neil Thin, Social Happiness: Theory into Policy and Practice
(Bristol: Policy Press, 2012), 112–123.
[6]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 145–147.
[7]
Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York:
Touchstone, 2004), 30–36.
[8]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 170–178.
10.
Kesimpulan dan Refleksi Filosofis
Dalam perjalanan
panjang sejarah filsafat moral, eudaimonisme muncul sebagai
salah satu pendekatan etika yang paling mendalam dan menyeluruh. Berakar dari
filsafat Yunani kuno, khususnya pemikiran Aristoteles, eudaimonisme mengajukan
pandangan bahwa hidup yang baik (eudaimonia) adalah tujuan akhir
manusia dan bahwa kebajikan (aretē) adalah jalan utama menuju
realisasi tujuan tersebut. Pendekatan ini menyatukan dimensi moral, eksistensial,
sosial, dan spiritual dalam satu kerangka yang koheren dan integral.
Sebagai suatu sistem
aksiologis, eudaimonisme memposisikan kebahagiaan bukan sebagai kenikmatan
sesaat, tetapi sebagai hasil dari kehidupan yang dijalani secara benar
dan bermakna. Kebajikan bukan hanya alat, tetapi juga substansi
dari kebahagiaan itu sendiri¹. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa
berbahagia tanpa menjadi baik, dan tidak bisa menjadi baik tanpa membentuk diri
dalam kebajikan yang otentik.
Di tengah tantangan
zaman modern—dari krisis moral, alienasi sosial, hingga degradasi
lingkungan—eudaimonisme tampil kembali bukan sekadar sebagai nostalgia etika
klasik, melainkan sebagai jawaban filosofis yang hidup
untuk membimbing manusia modern mencari makna hidup yang sejati. Dalam bidang
psikologi positif, pendidikan karakter, etika profesi, hingga kebijakan publik,
eudaimonisme terbukti aplikatif dan relevan².
Namun demikian,
refleksi filosofis atas eudaimonisme menuntut kita untuk bersikap kritis dan
kontekstual. Konsep eudaimonia tidak boleh dimutlakkan
dalam bentuk tunggal yang mengabaikan pluralitas budaya, pengalaman manusia,
dan kebebasan eksistensial. Maka, tantangan kontemporer adalah bagaimana menafsir
ulang eudaimonisme secara inklusif dan transformatif—sebagai
etika yang menumbuhkan kehidupan yang baik tidak hanya bagi individu, tetapi
juga bagi komunitas, alam, dan generasi mendatang³.
Eudaimonisme
mengajak manusia untuk tidak sekadar hidup, tetapi hidup
dengan baik dan bertanggung jawab. Ia menawarkan jalan tengah
antara ekstrem formalisme etika dan relativisme moral, antara egoisme pribadi
dan idealisme sosial. Dalam penghayatan nilai-nilai kebajikan, manusia bukan
hanya menjadi makhluk rasional, tetapi juga makhluk yang bermakna.
Sebagaimana
disimpulkan oleh Julia Annas, kebajikan dalam eudaimonisme adalah seperti
keterampilan: ia dibentuk melalui latihan, refleksi, dan orientasi yang benar⁴.
Dan dalam keterampilan itu, hidup menjadi bukan hanya serangkaian pilihan,
tetapi sebuah
proyek etis untuk menjadi lebih manusiawi. Di sinilah kekuatan
eudaimonisme terletak—sebagai fondasi aksiologi yang menyalakan harapan akan
kemungkinan kehidupan yang lebih baik, bijaksana, dan bernilai.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), 1098a16–18.
[2]
Martin E. P. Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of
Happiness and Well-Being (New York: Free Press, 2011), 21–25.
[3]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 117–122.
[4]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 21–27.
Daftar Pustaka
Annas, J. (2003). Plato:
A very short introduction. Oxford University Press.
Annas, J. (2011). Intelligent
virtue. Oxford University Press.
Appiah, K. A. (2005). The
ethics of identity. Princeton University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aristotle. (2013). Politics
(C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.
Bentham, J. (2001). Utilitarianism
(G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1789)
Broadie, S. (1991). Ethics
with Aristotle. Oxford University Press.
Driver, J. (2001). Uneasy
virtue. Cambridge University Press.
Epictetus. (1983). The
handbook (Enchiridion) (N. P. White, Trans.). Hackett Publishing.
Haybron, D. (2013). Happiness:
A very short introduction. Oxford University Press.
Hursthouse, R. (1999). On
virtue ethics. Oxford University Press.
Hursthouse, R. (2021).
Virtue ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Fall 2021 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Kraut, R. (2007). What
is good and why: The ethics of well-being. Harvard University Press.
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility.
Bantam Books.
Lickona, T. (2004). Character
matters: How to help our children develop good judgment, integrity, and other
essential virtues. Touchstone.
Long, A. A. (1986). Hellenistic
philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). University of
California Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism
(G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating
humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
O’Keefe, T. (2005). Epicurus
on freedom. Cambridge University Press.
Plato. (1992). The
Republic (G. M. A. Grube, Trans., Rev. C. D. C. Reeve). Hackett
Publishing.
Plato. (1997). Apology.
In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works. Hackett Publishing.
Rolston, H. III. (1988). Environmental
ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University
Press.
Ryff, C. D. (1989).
Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological
well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6),
1069–1081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069
Ryff, C. D., & Singer,
B. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to
psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13–39. https://doi.org/10.1007/s10902-006-9019-0
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Scheler, M. (1973). Formalism
in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. Funk,
Trans.). Northwestern University Press.
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic
happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for
lasting fulfillment. Free Press.
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish:
A visionary new understanding of happiness and well-being. Free Press.
Thin, N. (2012). Social
happiness: Theory into policy and practice. Policy Press.
Ura, K., Alkire, S., &
Zangmo, T. (2012). An extensive analysis of GNH index. Centre for
Bhutan Studies.
Vlastos, G. (1991). Socrates:
Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.
Wilson, C. (2008). Epicureanism
at the origins of modernity. Oxford University Press.
Wood, A. W. (1999). Kant’s
ethical thought. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar