Selasa, 10 Juni 2025

Eudaimonisme: Menelusuri Jalan Menuju Kehidupan yang Baik dan Bermakna

Eudaimonisme

Menelusuri Jalan Menuju Kehidupan yang Baik dan Bermakna


Alihkan ke: Aliran Aksiologi.

Hedonisme, Stoisisme, Etika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas eudaimonisme sebagai salah satu aliran utama dalam cabang aksiologi, khususnya dalam etika kebajikan yang menempatkan eudaimonia (kebahagiaan atau kehidupan yang baik) sebagai tujuan moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Dimulai dari akar historisnya dalam filsafat Yunani Kuno melalui pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles, pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan eudaimonisme dalam filsafat Hellenistik melalui Stoisisme dan Epikureanisme. Artikel ini juga mengeksplorasi transformasi eudaimonisme dalam filsafat modern dan kontemporer, termasuk kritik dari aliran utilitarian, deontologis, relativis budaya, dan eksistensialis. Lebih lanjut, artikel ini menyoroti dimensi aksiologis dari eudaimonisme sebagai sistem nilai yang integratif dan aplikatif dalam konteks sosial, pendidikan, kebijakan publik, dan psikologi positif. Refleksi akhir menegaskan bahwa eudaimonisme bukan sekadar etika historis, tetapi tetap relevan sebagai landasan etis yang mampu membimbing manusia menuju kehidupan yang bermakna, bermoral, dan berkeutamaan dalam dunia yang kompleks dan pluralistik.

Kata Kunci: Eudaimonisme, etika kebajikan, aksiologi, kebahagiaan, kehidupan bermakna, Aristoteles, pendidikan karakter, psikologi positif, nilai moral, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Eudaimonisme sebagai Fondasi Etika


1.           Pendahuluan

Dalam ranah filsafat, aksiologi merupakan cabang utama yang mengkaji nilai—baik nilai estetika, nilai moral, maupun nilai-nilai kehidupan secara umum. Salah satu manifestasi penting dari nilai moral dalam kerangka aksiologis adalah teori tentang kebahagiaan sebagai puncak tujuan etis dalam kehidupan manusia. Pandangan ini dikenal sebagai Eudaimonisme, yaitu suatu aliran dalam etika yang menekankan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan tertinggi dan intrinsik dari eksistensi manusia.

Secara etimologis, istilah eudaimonia berasal dari bahasa Yunani, yang secara harfiah berarti “memiliki roh baik” atau “dinaungi oleh daimon yang baik.” Namun dalam perkembangan filosofis, istilah ini dimaknai lebih luas sebagai “kehidupan yang baik,” yakni kondisi di mana seseorang hidup sesuai dengan kebajikan dan mencapai aktualisasi dirinya secara penuh dalam kerangka moral dan rasionalitas manusiawi¹. Dalam hal ini, eudaimonia tidak identik dengan kesenangan sesaat, melainkan mengacu pada suatu kehidupan yang dijalani secara utuh dan bernilai.

Gagasan eudaimonisme mendapat bentuk sistematis pertamanya dalam filsafat Yunani Kuno, terutama melalui pemikiran Aristoteles. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menyatakan bahwa “kebahagiaan adalah sesuatu yang kita kehendaki demi dirinya sendiri,” dan ia menempatkannya sebagai telos atau tujuan akhir dari seluruh tindakan manusia². Ia juga menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengembangan kebajikan (aretē) dan keterlibatan aktif dalam kehidupan rasional dan bermasyarakat³.

Namun demikian, eudaimonisme bukanlah pandangan yang bersifat monolitik. Dalam sejarah etika, konsep ini berkembang dalam berbagai bentuk, seperti dalam Stoisisme yang menekankan keselarasan dengan alam, atau dalam Epikureanisme yang melihat kebahagiaan sebagai hasil dari kenikmatan yang bijaksana dan bebas dari gangguan⁴. Bahkan dalam diskursus etika kontemporer, eudaimonisme mengalami revitalisasi sebagai tanggapan terhadap kegagalan etika deontologis dan utilitarian dalam memberikan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia modern⁵.

Mengingat relevansi dan kedalaman filsafat eudaimonistik, artikel ini bertujuan untuk menyelami fondasi-fondasi filosofis dari eudaimonisme, menelusuri kontribusinya dalam sejarah etika, serta menimbang relevansinya dalam konteks kontemporer. Dengan mendalami eudaimonisme, kita tidak hanya memahami sebuah aliran etika, melainkan juga membuka jalan untuk merumuskan kembali makna hidup yang baik dan bermakna bagi manusia abad ke-21.


Footnotes

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 27.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–20.

[3]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford University Press, 1991), 25–30.

[4]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 187–205.

[5]                Rosalind Hursthouse, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/.


2.           Landasan Konseptual Eudaimonisme

Konsep dasar dari eudaimonisme berakar dari gagasan bahwa kebahagiaan bukanlah sekadar perasaan yang menyenangkan atau emosi sesaat, melainkan merupakan kondisi ideal dari kehidupan manusia yang sepenuhnya berkembang dan dijalani dalam kebajikan. Dalam konteks ini, eudaimonia adalah suatu bentuk kebahagiaan yang objektif dan holistik, yang mencerminkan aktualisasi potensi moral dan rasional manusia dalam keseharian hidupnya.

Secara etimologis, istilah eudaimonia berasal dari bahasa Yunani: eu berarti “baik” dan daimōn berarti “roh” atau “penuntun ilahi”. Gabungan istilah ini secara literal dapat dimaknai sebagai “memiliki roh yang baik” atau “diberkati oleh kekuatan penuntun yang baik”¹. Namun, dalam filsafat Yunani Kuno, maknanya berkembang menjadi “kehidupan yang unggul” atau “keadaan hidup terbaik yang dapat dicapai oleh manusia”, yang tidak semata-mata diukur oleh kenikmatan indrawi, tetapi oleh pencapaian nilai-nilai kebajikan yang membentuk karakter mulia².

Dalam kerangka eudaimonisme, kebahagiaan dipahami bukan sebagai tujuan eksternal dari tindakan moral, tetapi sebagai bentuk pemenuhan alami dari kodrat manusia. Aristoteles, tokoh sentral dalam pengembangan eudaimonisme, menekankan bahwa setiap makhluk memiliki tujuan (telos) yang inheren. Bagi manusia, tujuan tersebut adalah menjalani hidup secara rasional dan berbudi luhur. Dengan demikian, eudaimonia bukanlah sesuatu yang kita “miliki” melainkan sesuatu yang kita “lakukan”—suatu proses hidup dalam kebajikan dan realisasi diri³.

Lebih lanjut, Aristoteles membedakan antara kebahagiaan sebagai bentuk aktualisasi diri (yang diperoleh dari hidup sesuai kebajikan) dengan kenikmatan atau kesenangan (hēdonē) yang lebih bersifat pasif dan tidak cukup untuk menjamin hidup yang bermakna⁴. Ia mengemukakan bahwa kebajikan (aretē) adalah kondisi yang memungkinkan seseorang untuk menjalankan fungsi khas manusia secara sempurna—yakni berpikir dan bertindak rasional secara moral⁵.

Eudaimonisme juga menolak pandangan bahwa kebahagiaan bersifat subjektif sepenuhnya. Ia berupaya merumuskan standar objektif tentang apa yang merupakan hidup yang baik, berdasarkan pada fungsi khas manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Dalam perspektif ini, nilai-nilai seperti keadilan, keberanian, kejujuran, dan kebijaksanaan dianggap sebagai pilar-pilar utama dari kehidupan eudaimonik⁶.

Konsekuensinya, eudaimonisme menggabungkan antara etika deskriptif dan normatif: ia tidak hanya menggambarkan apa yang dianggap sebagai hidup yang baik, tetapi juga menetapkan kriteria moral bagi tindakan yang patut dilakukan untuk mencapainya. Ini menjadikannya bukan sekadar sistem nilai, tetapi juga proyek hidup filosofis yang mengajak manusia untuk berpikir, bertindak, dan hidup secara integral sesuai dengan potensi tertingginya.


Footnotes

[1]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 59.

[2]                Richard Kraut, What Is Good and Why: The Ethics of Well-Being (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 137.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a7–17.

[4]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 20–23.

[5]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford University Press, 1991), 45–48.

[6]                Rosalind Hursthouse, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Fall 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/.


3.           Tokoh-Tokoh Sentral dan Pandangan Klasik

Eudaimonisme sebagai aliran etika memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Yunani Kuno. Pemikiran tentang kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia telah dikembangkan oleh para filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles. Ketiganya bukan hanya membentuk dasar konseptual dari eudaimonisme, tetapi juga memberikan landasan etika kebajikan (virtue ethics) yang menjadi pusat dari tradisi ini.

3.1.       Socrates: Kebajikan sebagai Pengetahuan

Socrates tidak meninggalkan tulisan langsung, tetapi melalui dialog-dialog Plato, ia dikenal sebagai sosok yang menghubungkan kebahagiaan dengan kehidupan yang dijalani dalam kebajikan dan pengetahuan. Baginya, eudaimonia tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui apa yang baik dan benar. Oleh karena itu, kebijaksanaan moral menjadi syarat utama bagi kebahagiaan sejati¹. Socrates menyatakan bahwa “hidup yang tidak diperiksa (unexamined life) tidak layak dijalani” (aphrastos)², yang menandakan bahwa refleksi diri dan pencarian akan kebenaran adalah fondasi dari kehidupan yang bermakna.

3.2.       Plato: Keharmonisan Jiwa dan Ide Kebajikan

Plato, murid Socrates, melanjutkan warisan gurunya dengan menekankan pentingnya keharmonisan jiwa dalam mencapai eudaimonia. Dalam karyanya The Republic, ia membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: rasional, emosional, dan nafsu. Kebahagiaan dicapai ketika ketiga bagian ini berada dalam keteraturan, dengan bagian rasional memimpin secara adil dan bijaksana³. Bagi Plato, kebajikan bukan hanya merupakan sarana menuju kebahagiaan, tetapi juga kondisi intrinsik dari jiwa yang baik dan teratur⁴. Eudaimonia, dalam hal ini, berkaitan erat dengan pencapaian kebenaran dan partisipasi dalam dunia ide yang sempurna.

3.3.       Aristoteles: Eudaimonia sebagai Tujuan Akhir

Kontribusi paling sistematis terhadap eudaimonisme datang dari Aristoteles. Dalam Nicomachean Ethics, ia menjelaskan bahwa semua tindakan manusia bertujuan menuju suatu kebaikan, dan kebaikan tertinggi itu adalah eudaimonia. Berbeda dari Plato yang lebih metafisik, Aristoteles mendasarkan pandangannya pada pengamatan empiris terhadap kodrat manusia dan aktivitasnya⁵.

Menurut Aristoteles, kebahagiaan sejati diperoleh melalui pengaktualan kebajikan (aretē) dalam hidup sehari-hari. Ia membedakan antara kebajikan moral (seperti keberanian dan keadilan) dan kebajikan intelektual (seperti kebijaksanaan), yang keduanya harus dikembangkan melalui kebiasaan dan pendidikan⁶. Eudaimonia bukanlah keadaan pasif, melainkan aktivitas (energeia) yang mencerminkan kesempurnaan fungsi manusia sebagai makhluk rasional.

Lebih lanjut, Aristoteles menekankan konsep mesotes atau jalan tengah, yakni kebajikan sebagai titik tengah antara dua ekstrem buruk. Misalnya, keberanian adalah titik tengah antara pengecut dan gegabah. Dengan menjalani kehidupan yang penuh kebajikan dalam keseimbangan, seseorang tidak hanya mencapai kebahagiaan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kebaikan bersama⁷.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 200–203.

[2]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.

[3]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 435b–441c.

[4]                Julia Annas, Plato: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 65–70.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.

[6]                Terence Irwin, Aristotle’s First Principles (Oxford: Clarendon Press, 1988), 319–322.

[7]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (New York: Oxford University Press, 1991), 76–81.


4.           Perkembangan Eudaimonisme dalam Etika Hellenistik

Setelah era klasik yang dipelopori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, pemikiran eudaimonistik berkembang secara lebih pragmatis dalam periode Hellenistik. Filsafat masa ini ditandai oleh pencarian cara hidup yang dapat memberikan ketenangan batin (ataraxia) dan kebebasan dari penderitaan (aponia) dalam konteks sosial-politik yang tidak menentu. Meskipun tidak selalu menggunakan istilah eudaimonia secara eksplisit, aliran-aliran Hellenistik seperti Stoisisme dan Epikureanisme tetap mempertahankan semangat eudaimonistik: bahwa hidup yang baik adalah hidup yang bahagia, meskipun pendekatan terhadap kebahagiaan sangat berbeda.

4.1.       Stoisisme: Kebahagiaan dalam Keselarasan dengan Alam

Stoa, yang didirikan oleh Zeno dari Citium, mengembangkan bentuk eudaimonisme yang berbasis pada rasionalitas dan penerimaan terhadap tatanan kosmos. Bagi para Stoik, eudaimonia diperoleh dengan hidup sesuai dengan logos (rasio alam semesta), yang berarti hidup dalam harmoni dengan hukum alam dan akal budi manusia¹. Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada hal-hal eksternal seperti kekayaan, kesehatan, atau reputasi, tetapi bergantung sepenuhnya pada kebajikan moral dan kemampuan untuk menerima segala sesuatu di luar kendali kita².

Tokoh penting seperti Epiktetos dan Marcus Aurelius menekankan bahwa ketenangan batin hanya bisa diraih dengan mengembangkan sikap batin yang rasional, tabah, dan tidak terpengaruh oleh penderitaan atau kenikmatan eksternal. Mereka membedakan antara "hal-hal dalam kuasa kita" dan "hal-hal di luar kuasa kita," dan hanya yang pertama yang menjadi bahan moral sejati³. Dengan demikian, eudaimonia dalam Stoisisme adalah ekspresi dari kebebasan batin dan kekuatan moral menghadapi dunia⁴.

4.2.       Epikureanisme: Kebahagiaan melalui Kenikmatan yang Bijak

Sementara Stoisisme menekankan rasionalitas dan pengendalian diri, Epikureanisme—yang didirikan oleh Epicurus—mengusulkan bahwa eudaimonia dapat dicapai melalui kenikmatan (hēdonē) yang dihayati secara rasional dan sederhana. Berbeda dari stereotip yang menyamakan Epikureanisme dengan hedonisme ekstrem, Epicurus justru membedakan antara kenikmatan dinamis dan kenikmatan statis, dan lebih menghargai yang terakhir—yaitu kebebasan dari rasa sakit fisik dan mental (aponia dan ataraxia)⁵.

Bagi Epicurus, kebahagiaan tidak ditemukan dalam pemuasan nafsu secara berlebihan, tetapi dalam hidup yang sederhana, bebas dari rasa takut (terutama takut akan kematian dan para dewa), serta dalam hubungan persahabatan yang tulus⁶. Ia bahkan menyatakan bahwa “kenikmatan adalah awal dan tujuan dari hidup yang diberkahi,” namun kenikmatan yang dimaksud adalah yang disertai kebijaksanaan dan penghindaran dari penderitaan jangka panjang⁷.

4.3.       Analisis Perbandingan: Rasionalitas dan Kebajikan sebagai Inti Bersama

Meskipun pendekatan Stoik dan Epikurean terhadap kebahagiaan tampak berseberangan—yang satu menekankan ketabahan dalam menghadapi dunia, sementara yang lain menekankan kenikmatan dan penghindaran penderitaan—keduanya menyepakati bahwa eudaimonia adalah kondisi yang stabil dan berkelanjutan, bukan sekadar emosi sesaat. Keduanya juga sepakat bahwa kebajikan dan penalaran adalah alat yang tak tergantikan dalam pencarian kebahagiaan.

Dengan demikian, etika Hellenistik memperluas cakrawala eudaimonisme klasik dari Aristoteles ke arah kehidupan praktis yang dapat dijalani oleh setiap individu, tanpa mengandalkan status sosial atau keunggulan intelektual tertentu. Dalam hal ini, eudaimonisme Hellenistik menampilkan dimensi personal dan eksistensial dari etika kebahagiaan yang tetap relevan hingga hari ini.


Footnotes

[1]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 120.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 223–224.

[3]                Epictetus, The Handbook (Enchiridion), trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), sec. 1.

[4]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), Book 2, sec. 5–6.

[5]                Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Art of Happiness, trans. George K. Strodach (New York: Penguin Classics, 2012), 25.

[6]                Catherine Wilson, Epicureanism at the Origins of Modernity (Oxford: Oxford University Press, 2008), 31–35.

[7]                Timothy O’Keefe, Epicurus on Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 78–80.


5.           Eudaimonisme dalam Filsafat Modern dan Kontemporer

Setelah masa kejayaan filsafat Yunani dan Hellenistik, pengaruh eudaimonisme sebagai dasar etika mengalami pergeseran yang signifikan dalam filsafat modern. Munculnya etika deontologis Immanuel Kant dan etika utilitarian seperti yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menggeser fokus dari pencapaian kebahagiaan melalui kebajikan menuju prinsip kewajiban moral atau konsekuensi tindakan. Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, eudaimonisme tidak punah. Justru seiring kritik terhadap formalitas dan impersonalitas etika modern, terjadi kebangkitan minat terhadap eudaimonisme melalui revitalisasi etika kebajikan (virtue ethics).

5.1.       Kritik Kantian terhadap Eudaimonisme

Immanuel Kant secara eksplisit mengkritik eudaimonisme, karena ia memandang bahwa dasar moralitas tidak boleh bersandar pada kebahagiaan, melainkan pada kewajiban dan prinsip rasional yang bersifat apriori. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, ia menegaskan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dilakukan demi tugas, bukan demi hasil yang menyenangkan atau membahagiakan¹. Bagi Kant, kebahagiaan adalah suatu tujuan yang terlalu subjektif dan berubah-ubah untuk dijadikan fondasi moral yang universal.

Walaupun demikian, Kant tetap mengakui bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan kodrati manusia, namun ia memisahkan antara “moralitas” dan “eudaimonia” dalam arti tegas². Dengan kata lain, moralitas bagi Kant bersifat otonom dan bersumber dari akal praktis murni, bukan dari konsekuensi afektif seperti kebahagiaan.

5.2.       Kebangkitan Etika Kebajikan dalam Filsafat Kontemporer

Kritik terhadap etika modern yang terlalu formalistik dan tidak kontekstual mendorong kembalinya minat terhadap eudaimonisme. Salah satu tokoh utama dalam kebangkitan ini adalah Alasdair MacIntyre, yang dalam karyanya After Virtue menyatakan bahwa filsafat moral modern telah terlepas dari akar tradisi kebajikan yang memberi makna pada tindakan manusia³. Ia menyoroti bahwa tanpa narasi hidup dan komunitas yang membentuk kebajikan, moralitas menjadi hampa dan arbitrer. Eudaimonia, dalam pengertian Aristoteles, dipulihkan sebagai konsep sentral dalam kehidupan etis yang terintegrasi dalam struktur sosial dan budaya.

MacIntyre berpendapat bahwa kita hanya dapat memahami makna kebajikan jika kita memiliki gambaran tentang kehidupan manusia yang baik secara keseluruhan. Dalam hal ini, eudaimonia bukan sekadar kebahagiaan subjektif, tetapi orientasi hidup yang memiliki arah dan tujuan dalam konteks komunitas historis⁴.

5.3.       Virtue Ethics dan Neo-Eudaimonisme

Tokoh seperti Philippa Foot, Rosalind Hursthouse, dan Julia Annas telah mengembangkan bentuk etika kebajikan kontemporer yang menempatkan eudaimonia sebagai inti dalam pemikiran etis. Hursthouse, misalnya, menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dilakukan oleh orang bermoral yang memiliki kebajikan, dalam situasi yang tepat, dengan motivasi yang tepat—karena itu merupakan bagian dari kehidupan yang baik⁵. Annas menambahkan bahwa kebajikan perlu dilihat seperti keterampilan yang berkembang melalui latihan dan refleksi dalam konteks kehidupan praktis⁶.

Eudaimonisme kontemporer tidak hanya menjadi reaksi terhadap kegagalan pendekatan modern, tetapi juga menjawab kebutuhan akan suatu etika yang lebih manusiawi, kontekstual, dan mengakar pada kehidupan sehari-hari. Dalam lanskap etika saat ini, eudaimonisme memberikan kerangka alternatif yang menggabungkan aspek afektif, rasional, dan sosial dari kehidupan moral.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:397–401.

[2]                Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 85–88.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 1–5.

[4]                Ibid., 186–203.

[5]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 28–35.

[6]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 15–21.


6.           Dimensi Aksiologis: Eudaimonisme sebagai Sistem Nilai

Dalam kerangka filsafat aksiologi, eudaimonisme dapat dipahami sebagai suatu sistem nilai yang menyatukan orientasi etika, eksistensial, dan humanistik menuju satu tujuan utama: kebahagiaan yang sejati dan bermakna. Di antara berbagai teori nilai, eudaimonisme menonjol karena menyelaraskan antara nilai moral (kebajikan), nilai instrumental (sarana), dan nilai intrinsik (tujuan akhir) dalam satu struktur yang kohesif. Dengan demikian, eudaimonia bukan sekadar produk akhir dari perilaku baik, tetapi juga merupakan ekspresi dari kehidupan yang dijalani secara benar, bijak, dan bernilai.

6.1.       Eudaimonia sebagai Nilai Tertinggi (Summum Bonum)

Dalam tradisi eudaimonistik Aristotelian, eudaimonia diposisikan sebagai summum bonum, yaitu kebaikan tertinggi yang menjadi tujuan akhir dari semua aktivitas manusia. Aristoteles menyatakan bahwa setiap tindakan dan pilihan bertujuan menuju suatu kebaikan, dan kebaikan tertinggi itu adalah kebahagiaan, yang dipilih demi dirinya sendiri dan bukan sebagai alat untuk tujuan lain¹. Oleh karena itu, eudaimonia berfungsi sebagai poros normatif yang memberi makna dan arah bagi struktur nilai dalam kehidupan.

Sebagai nilai tertinggi, eudaimonia memiliki dimensi teleologis dan normatif: ia bukan hanya hal yang diinginkan, tetapi juga sesuatu yang “seharusnya” dicapai melalui aktualisasi potensi terbaik manusia. Dalam hal ini, eudaimonia bukan nilai subjektif yang bergantung pada kesenangan pribadi, tetapi nilai obyektif yang melekat pada kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan bermoral².

6.2.       Kebajikan sebagai Nilai Instrumental dan Intrinsik

Dalam sistem nilai eudaimonistik, kebajikan (aretē) memiliki posisi unik karena ia sekaligus merupakan nilai instrumental dan nilai intrinsik. Nilai instrumental karena kebajikan adalah sarana yang diperlukan untuk mencapai eudaimonia, dan nilai intrinsik karena kebajikan itu sendiri adalah bagian dari kehidupan yang baik. Orang yang berani, adil, dan bijak tidak hanya menjalani hidup yang bermoral, tetapi juga hidup yang memuaskan secara eksistensial dan spiritual³.

Etika eudaimonistik menekankan bahwa nilai moral tidak boleh dipisahkan dari kehidupan praktis. Dalam pengertian ini, nilai-nilai seperti kejujuran, ketekunan, tanggung jawab, dan belas kasih bukan hanya norma abstrak, tetapi prinsip yang membentuk karakter dan arah hidup. Nilai-nilai tersebut tidak memiliki arti jika tidak diwujudkan dalam tindakan nyata dalam konteks sosial dan relasional⁴.

6.3.       Eudaimonisme dan Hirarki Nilai dalam Aksiologi

Dari perspektif aksiologi formal seperti yang dikembangkan oleh Max Scheler dan Nicolai Hartmann, nilai memiliki hierarki mulai dari nilai-nilai utilitarian, vital, spiritual, hingga nilai-nilai kepribadian⁵. Eudaimonisme klasik selaras dengan pandangan ini karena ia memosisikan kebahagiaan sebagai hasil dari pemenuhan nilai-nilai moral dan spiritual tertinggi, bukan dari kesenangan biologis atau manfaat ekonomis semata.

Dengan demikian, eudaimonia berada pada puncak piramida nilai sebagai realisasi tertinggi dari makna hidup manusia. Ia mengintegrasikan nilai-nilai yang lebih rendah (seperti kesehatan dan kemapanan) sebagai syarat yang mendukung, tetapi bukan esensial. Eudaimonia tetap tegak bahkan dalam penderitaan, selama kebajikan dijalankan dengan konsistensi dan integritas moral.

6.4.       Eudaimonisme sebagai Kritik terhadap Relativisme Nilai

Di tengah relativisme nilai yang berkembang dalam masyarakat pluralistik modern, eudaimonisme menawarkan kerangka nilai yang bersifat universal namun kontekstual. Ia tidak menggantungkan moralitas pada kesepakatan sosial atau konstruksi budaya semata, tetapi berakar pada struktur kodrati manusia yang rasional dan mampu bertumbuh dalam kebajikan. Oleh sebab itu, eudaimonisme tidak bersifat dogmatis, namun tetap memiliki landasan normatif yang kokoh dalam filsafat manusia⁶.

Eudaimonisme, dalam bentuk kontemporernya, menjadi semacam sistem nilai yang bersifat pembimbing (guiding value system), yang mampu menjembatani antara idealisme moral dan praktik kehidupan nyata. Ia menuntun individu untuk mengembangkan kehidupan yang baik tidak hanya secara etis, tetapi juga secara psikologis, sosial, dan spiritual.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–25.

[2]                Richard Kraut, What Is Good and Why: The Ethics of Well-Being (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 19–23.

[3]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 43–48.

[4]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 29–36.

[5]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 105–114.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 222–230.


7.           Eudaimonisme dalam Konteks Sosial dan Pendidikan

Konsep eudaimonia tidak hanya memiliki signifikansi individual, melainkan juga mengandung dimensi sosial dan pedagogis yang luas. Dalam perspektif eudaimonistik, manusia adalah makhluk rasional dan sosial (zoon politikon), sehingga pencapaian kebahagiaan tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan sesama, struktur komunitas, dan proses pembentukan karakter. Oleh karena itu, eudaimonisme bukanlah etika egoistik, tetapi merupakan visi moral kolektif tentang bagaimana masyarakat dan institusi—terutama pendidikan—dapat membentuk kehidupan yang baik dan bermakna.

7.1.       Komunitas sebagai Ruang Eudaimonik

Aristoteles menegaskan bahwa kebahagiaan individu tidak terwujud dalam isolasi, melainkan dalam kerangka polis (negara-kota) yang memungkinkan realisasi kebajikan secara kolektif. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa tujuan utama negara bukan sekadar menjamin kelangsungan hidup, tetapi memungkinkan warganya hidup dengan baik (to eu zen)¹. Oleh karena itu, struktur sosial ideal dalam pandangan eudaimonistik adalah komunitas yang memberi ruang bagi pertumbuhan moral, partisipasi aktif, dan kehidupan bermakna.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran kontemporer seperti yang dikemukakan oleh Alasdair MacIntyre, yang menyatakan bahwa praktik kebajikan hanya dapat dimengerti dan dijalankan dalam konteks tradisi dan komunitas moral yang hidup². Komunitas yang mendukung eudaimonia adalah komunitas yang menumbuhkan teladan, dialog etis, dan kebiasaan baik dalam kerangka relasi timbal balik yang manusiawi.

7.2.       Pendidikan sebagai Sarana Pembentukan Karakter dan Kebahagiaan

Dalam konteks pendidikan, eudaimonisme memberikan kerangka normatif yang kuat bagi pengembangan karakter dan etika. Aristoteles memandang bahwa kebajikan diperoleh melalui pembiasaan (ethismos) dan pendidikan yang baik sejak usia dini³. Pendidikan yang eudaimonistik tidak hanya menekankan pencapaian kognitif atau keterampilan teknis, tetapi juga membina kebajikan moral dan sosial seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan belas kasih.

Filsuf pendidikan seperti Martha Nussbaum memperluas gagasan ini melalui pendekatan capabilities approach, yang menyatakan bahwa pendidikan harus membekali individu dengan kemampuan mendasar untuk menjalani hidup yang bermartabat dan reflektif⁴. Nussbaum menegaskan pentingnya pengembangan “imaginative capacities” dan “narrative understanding” dalam membentuk warga negara yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak secara etis⁵.

Dalam praktik kontemporer, eudaimonisme juga menjadi landasan bagi pendidikan karakter (character education) yang menekankan integrasi antara pengetahuan, emosi, dan tindakan moral. Pendidikan semacam ini bertujuan membentuk peserta didik yang tidak hanya sukses secara akademik, tetapi juga mampu menjalani kehidupan yang bermakna dan berkontribusi positif bagi masyarakat⁶.

7.3.       Implikasi Sosial: Menuju Masyarakat Eudaimonik

Secara lebih luas, eudaimonisme menawarkan model etis bagi tatanan sosial yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan manusia yang utuh. Dalam kerangka ini, pembangunan tidak cukup hanya mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi harus mencerminkan kualitas hidup, relasi sosial, dan keadilan distributif yang mendukung aktualisasi potensi manusia.

Berbagai inisiatif dalam kebijakan publik, seperti indeks kesejahteraan subjektif, pendidikan berbasis nilai, serta gerakan kesejahteraan holistik (e.g. Gross National Happiness di Bhutan), mencerminkan semangat eudaimonistik yang menilai kualitas hidup dari dimensi moral dan relasional, bukan sekadar indikator material⁷.

Dengan demikian, eudaimonisme mengandung potensi transformatif bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat dan sistem pendidikan. Ia mengusulkan bahwa hidup yang baik bukan hanya urusan privat, melainkan merupakan proyek kolektif yang menuntut tanggung jawab sosial, pendidikan yang bernilai, dan struktur komunitas yang mendukung pembentukan karakter dan kebahagiaan sejati.


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a1–6.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 204–225.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a10–15.

[4]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–31.

[5]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 89–94.

[6]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–49.

[7]                Daniel Haybron, Happiness: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2013), 112–118.


8.           Kritik dan Kontroversi terhadap Eudaimonisme

Meskipun eudaimonisme telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah etika dan aksiologi, gagasan ini tidak lepas dari berbagai kritik dan kontroversi, baik dari sudut pandang etika modern maupun dari kerangka filsafat moral yang bersifat pluralistik dan kontekstual. Kritik terhadap eudaimonisme umumnya diarahkan pada aspek teoretis, praktis, dan kultural, yang menantang klaim universalitas serta kecukupan konsep kebahagiaan sebagai fondasi etis.

8.1.       Kritik Utilitarian dan Deontologis: Kebajikan vs. Konsekuensi atau Kewajiban

Salah satu kritik paling mendasar datang dari para filsuf utilitarian dan deontologis, yang menilai bahwa eudaimonisme gagal memberikan kriteria objektif untuk menilai tindakan moral. Dalam utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, moralitas diukur berdasarkan konsekuensi—khususnya sejauh mana suatu tindakan meningkatkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak¹. Eudaimonisme, sebaliknya, dianggap terlalu fokus pada pengembangan pribadi dan mengabaikan dimensi kalkulatif dalam distribusi manfaat secara kolektif².

Sementara itu, dari perspektif deontologi Kantian, eudaimonia dianggap sebagai tujuan yang terlalu bersifat empiris dan kontingen untuk dijadikan dasar moralitas. Kant berargumen bahwa tindakan moral sejati adalah tindakan yang dilakukan karena kewajiban, bukan karena kecenderungan menuju kebahagiaan³. Dengan demikian, eudaimonisme dituduh mencampuradukkan antara motivasi moral dan motivasi hedonistik atau eudaimonistik yang bersifat egoistik.

8.2.       Kritik Relativisme Budaya: Apakah Eudaimonia Bersifat Universal?

Kritik lainnya menyasar pada asumsi universalitas dari konsep eudaimonia. Sebagian pemikir postmodern dan relativis budaya berpendapat bahwa gagasan “kehidupan yang baik” bersifat kontekstual dan pluralistik, sehingga tidak dapat ditentukan oleh satu sistem nilai tertentu. Konsep eudaimonia yang berakar pada filsafat Yunani Kuno dinilai terlalu bergantung pada asumsi budaya tertentu—terutama terkait pandangan tentang kebajikan, fungsi manusia, dan tatanan sosial⁴.

Dalam masyarakat multikultural kontemporer, pertanyaan tentang "apa itu kebahagiaan" atau "kehidupan yang baik" tidak dapat dijawab secara tunggal. Apa yang dianggap bermakna atau bernilai dalam satu komunitas bisa jadi ditolak oleh komunitas lain. Oleh karena itu, eudaimonisme ditantang untuk lebih inklusif terhadap keragaman perspektif, pengalaman, dan struktur nilai yang berkembang dalam masyarakat global⁵.

8.3.       Kritik Eksistensialis: Kebebasan vs. Kodrat Manusia

Kaum eksistensialis, seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, mengkritik ide bahwa manusia memiliki “kodrat tetap” atau fungsi spesifik yang harus diwujudkan untuk mencapai kebahagiaan. Bagi Sartre, manusia “dikutuk untuk bebas” dan tidak memiliki esensi sebelum bertindak⁶. Dalam pandangan ini, setiap individu harus menciptakan sendiri makna dan nilai kehidupannya tanpa bergantung pada struktur metafisis seperti telos atau fungsi manusiawi sebagaimana ditegaskan dalam eudaimonisme klasik.

Kritik ini menggugah diskusi mendalam tentang otonomi moral dan makna kebebasan dalam filsafat etika. Apakah kebahagiaan manusia ditentukan oleh aktualisasi kodrat objektif, atau justru oleh kemampuan untuk memilih nilai secara bebas, bahkan jika itu bertentangan dengan kebajikan tradisional?

8.4.       Tantangan Psikologis dan Empiris

Dalam konteks ilmu psikologi kontemporer, eudaimonisme juga dihadapkan pada pertanyaan mengenai keterukuran dan validitas empiris dari klaim bahwa kebajikan menghasilkan kebahagiaan. Sementara pendekatan psikologi positif, seperti yang dikembangkan oleh Martin Seligman dan Carol Ryff, cenderung mengafirmasi bahwa kehidupan bermoral berkontribusi pada well-being, masih terdapat perdebatan mengenai bagaimana kebahagiaan didefinisikan, diukur, dan dibandingkan antar individu dan budaya⁷.

Apakah orang yang hidup dalam kebajikan memang lebih bahagia secara objektif? Apakah eudaimonia dapat dijadikan kerangka interdisipliner antara filsafat dan sains psikologis? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa eudaimonisme memerlukan pengembangan konseptual lebih lanjut agar dapat bersaing dalam wacana etika kontemporer yang multidimensional.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 7–10.

[2]                Julia Driver, Uneasy Virtue (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 85–88.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:399–401.

[4]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 91–97.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–30.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–23.

[7]                Carol Ryff and Burton Singer, “Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being,” Journal of Happiness Studies 9, no. 1 (2008): 13–39.


9.           Relevansi dan Aplikasi Eudaimonisme di Era Kontemporer

Di tengah kompleksitas moral, krisis identitas, dan meningkatnya tuntutan hidup modern, eudaimonisme menawarkan pendekatan filosofis yang bernilai dan praktis dalam menjawab pertanyaan mendasar: “Bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan bermakna?” Meskipun konsep ini berakar pada filsafat Yunani kuno, aktualitasnya tetap kuat dalam menghadapi problematika eksistensial, sosial, dan ekologis di abad ke-21. Eudaimonisme menggabungkan kerangka etika, kebijaksanaan praktis, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam satu sistem yang integral dan aplikatif.

9.1.       Psikologi Positif dan Kesejahteraan Eudaimonik

Salah satu bentuk konkret relevansi eudaimonisme dalam era kontemporer tampak dalam psikologi positif, sebuah cabang ilmu psikologi yang berfokus pada kesejahteraan, kebahagiaan, dan pengembangan potensi manusia. Martin Seligman membedakan antara kebahagiaan hedonistik (kenikmatan dan kepuasan sesaat) dan kesejahteraan eudaimonik, yakni hidup yang penuh makna, tujuan, dan keterlibatan aktif dalam aktivitas bermakna¹. Model PERMA (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) yang dikembangkan Seligman menjadi representasi empiris dari pendekatan eudaimonistik dalam psikologi kontemporer².

Begitu pula, Carol Ryff mengembangkan model kesejahteraan psikologis yang berbasis pada enam dimensi: penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi—semuanya berakar kuat pada nilai-nilai eudaimonik³. Dengan pendekatan ini, eudaimonisme tidak lagi sebatas teori etika, tetapi menjadi dasar bagi pendekatan ilmiah terhadap kesejahteraan manusia.

9.2.       Eudaimonisme dan Kebijakan Publik yang Humanistik

Konsep eudaimonia juga mulai diintegrasikan dalam paradigma kebijakan publik yang menekankan kesejahteraan holistik, seperti pada model Gross National Happiness (GNH) di Bhutan. Alih-alih mengandalkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator kesejahteraan, GNH menggunakan pendekatan multidimensional yang mencakup kesejahteraan psikologis, pelestarian budaya, kesehatan, pendidikan, dan tata kelola yang baik⁴. Hal ini mencerminkan penerapan prinsip eudaimonistik dalam konteks politik dan pembangunan berkelanjutan.

Di dunia Barat, konsep well-being policy mulai menggantikan kebijakan berbasis pertumbuhan ekonomi semata. Negara-negara seperti Selandia Baru dan Skotlandia telah mengadopsi pendekatan kebijakan publik yang mengutamakan pembangunan manusia dan keseimbangan sosial, berdasarkan prinsip kesejahteraan yang bersifat etis dan partisipatif⁵. Nilai-nilai ini sangat selaras dengan cita-cita eudaimonistik tentang kehidupan yang baik dalam komunitas yang adil.

9.3.       Eudaimonisme sebagai Fondasi Etika Profesi dan Pendidikan Karakter

Dalam dunia profesi dan pendidikan, eudaimonisme dapat menjadi dasar pengembangan etika karakter dan integritas profesional. Profesi seperti kedokteran, pendidikan, hukum, dan pelayanan publik menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis; ia memerlukan pembentukan karakter dan komitmen terhadap nilai-nilai intrinsik seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Etika eudaimonistik menekankan pentingnya menjalani profesi sebagai panggilan untuk mewujudkan kebaikan bersama dan bukan sekadar sebagai alat untuk memperoleh keuntungan pribadi⁶.

Dalam dunia pendidikan, program pendidikan karakter berbasis kebajikan telah dikembangkan untuk membina siswa tidak hanya menjadi “cerdas” secara kognitif, tetapi juga secara moral dan emosional. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan bahwa pendidikan seharusnya memfasilitasi realisasi potensi terbaik manusia dan membentuk pribadi yang utuh secara moral, intelektual, dan sosial⁷.

9.4.       Tantangan Ekologis dan Etika Kehidupan yang Baik

Krisis lingkungan global juga membuka ruang baru bagi eudaimonisme untuk berkontribusi sebagai etika ekologis. Banyak filsuf lingkungan seperti Holmes Rolston III dan Mary Midgley menegaskan bahwa hidup yang baik tidak bisa dilepaskan dari hubungan harmonis dengan alam. Eudaimonisme mendorong manusia untuk tidak hanya menjalani hidup yang memuaskan secara pribadi, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan secara kolektif dan ekologis⁸.

Dalam konteks ini, eudaimonia bukan hanya tujuan pribadi, tetapi juga komitmen terhadap kehidupan yang baik bersama—dalam relasi dengan sesama manusia dan seluruh sistem kehidupan di bumi. Ia membuka wawasan tentang moralitas yang tidak antroposentris, tetapi ekologis dan integral.


Footnotes

[1]                Martin E. P. Seligman, Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment (New York: Free Press, 2002), 61–65.

[2]                Martin E. P. Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-Being (New York: Free Press, 2011), 16–25.

[3]                Carol D. Ryff, “Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being,” Journal of Personality and Social Psychology 57, no. 6 (1989): 1069–1081.

[4]                Karma Ura, Sabina Alkire, and Tshoki Zangmo, An Extensive Analysis of GNH Index (Thimphu: Centre for Bhutan Studies, 2012), 4–6.

[5]                Neil Thin, Social Happiness: Theory into Policy and Practice (Bristol: Policy Press, 2012), 112–123.

[6]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 145–147.

[7]                Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York: Touchstone, 2004), 30–36.

[8]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 170–178.


10.       Kesimpulan dan Refleksi Filosofis

Dalam perjalanan panjang sejarah filsafat moral, eudaimonisme muncul sebagai salah satu pendekatan etika yang paling mendalam dan menyeluruh. Berakar dari filsafat Yunani kuno, khususnya pemikiran Aristoteles, eudaimonisme mengajukan pandangan bahwa hidup yang baik (eudaimonia) adalah tujuan akhir manusia dan bahwa kebajikan (aretē) adalah jalan utama menuju realisasi tujuan tersebut. Pendekatan ini menyatukan dimensi moral, eksistensial, sosial, dan spiritual dalam satu kerangka yang koheren dan integral.

Sebagai suatu sistem aksiologis, eudaimonisme memposisikan kebahagiaan bukan sebagai kenikmatan sesaat, tetapi sebagai hasil dari kehidupan yang dijalani secara benar dan bermakna. Kebajikan bukan hanya alat, tetapi juga substansi dari kebahagiaan itu sendiri¹. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa berbahagia tanpa menjadi baik, dan tidak bisa menjadi baik tanpa membentuk diri dalam kebajikan yang otentik.

Di tengah tantangan zaman modern—dari krisis moral, alienasi sosial, hingga degradasi lingkungan—eudaimonisme tampil kembali bukan sekadar sebagai nostalgia etika klasik, melainkan sebagai jawaban filosofis yang hidup untuk membimbing manusia modern mencari makna hidup yang sejati. Dalam bidang psikologi positif, pendidikan karakter, etika profesi, hingga kebijakan publik, eudaimonisme terbukti aplikatif dan relevan².

Namun demikian, refleksi filosofis atas eudaimonisme menuntut kita untuk bersikap kritis dan kontekstual. Konsep eudaimonia tidak boleh dimutlakkan dalam bentuk tunggal yang mengabaikan pluralitas budaya, pengalaman manusia, dan kebebasan eksistensial. Maka, tantangan kontemporer adalah bagaimana menafsir ulang eudaimonisme secara inklusif dan transformatif—sebagai etika yang menumbuhkan kehidupan yang baik tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi komunitas, alam, dan generasi mendatang³.

Eudaimonisme mengajak manusia untuk tidak sekadar hidup, tetapi hidup dengan baik dan bertanggung jawab. Ia menawarkan jalan tengah antara ekstrem formalisme etika dan relativisme moral, antara egoisme pribadi dan idealisme sosial. Dalam penghayatan nilai-nilai kebajikan, manusia bukan hanya menjadi makhluk rasional, tetapi juga makhluk yang bermakna.

Sebagaimana disimpulkan oleh Julia Annas, kebajikan dalam eudaimonisme adalah seperti keterampilan: ia dibentuk melalui latihan, refleksi, dan orientasi yang benar⁴. Dan dalam keterampilan itu, hidup menjadi bukan hanya serangkaian pilihan, tetapi sebuah proyek etis untuk menjadi lebih manusiawi. Di sinilah kekuatan eudaimonisme terletak—sebagai fondasi aksiologi yang menyalakan harapan akan kemungkinan kehidupan yang lebih baik, bijaksana, dan bernilai.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–18.

[2]                Martin E. P. Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-Being (New York: Free Press, 2011), 21–25.

[3]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 117–122.

[4]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 21–27.


Daftar Pustaka

Annas, J. (2003). Plato: A very short introduction. Oxford University Press.

Annas, J. (2011). Intelligent virtue. Oxford University Press.

Appiah, K. A. (2005). The ethics of identity. Princeton University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aristotle. (2013). Politics (C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.

Bentham, J. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1789)

Broadie, S. (1991). Ethics with Aristotle. Oxford University Press.

Driver, J. (2001). Uneasy virtue. Cambridge University Press.

Epictetus. (1983). The handbook (Enchiridion) (N. P. White, Trans.). Hackett Publishing.

Haybron, D. (2013). Happiness: A very short introduction. Oxford University Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Hursthouse, R. (2021). Virtue ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2021 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/ethics-virtue/

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kraut, R. (2007). What is good and why: The ethics of well-being. Harvard University Press.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.

Lickona, T. (2004). Character matters: How to help our children develop good judgment, integrity, and other essential virtues. Touchstone.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). University of California Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

O’Keefe, T. (2005). Epicurus on freedom. Cambridge University Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans., Rev. C. D. C. Reeve). Hackett Publishing.

Plato. (1997). Apology. In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works. Hackett Publishing.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069–1081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069

Ryff, C. D., & Singer, B. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13–39. https://doi.org/10.1007/s10902-006-9019-0

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. Funk, Trans.). Northwestern University Press.

Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. Free Press.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being. Free Press.

Thin, N. (2012). Social happiness: Theory into policy and practice. Policy Press.

Ura, K., Alkire, S., & Zangmo, T. (2012). An extensive analysis of GNH index. Centre for Bhutan Studies.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Wilson, C. (2008). Epicureanism at the origins of modernity. Oxford University Press.

Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar