Bahan Ajar PPKn
Ancaman terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Kajian Strategis dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif berbagai
bentuk ancaman multidimensional yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, mencakup bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan. Kajian ini menempatkan Bhinneka Tunggal
Ika bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai kerangka filosofis dan
strategis dalam membangun ketahanan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Melalui pendekatan deskriptif-analitis, artikel ini menguraikan dinamika
ancaman aktual melalui studi kasus—termasuk radikalisme, polarisasi politik,
intoleransi sosial—serta mengevaluasi efektivitas respons institusional dan
peran masyarakat dalam menanggulanginya. Disimpulkan bahwa implementasi
nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, seperti toleransi, gotong royong,
musyawarah, dan penghargaan atas keberagaman, merupakan strategi pencegahan
yang paling mendasar dan berkelanjutan dalam menghadapi disintegrasi nasional.
Artikel ini juga menawarkan rekomendasi strategis berupa revitalisasi
pendidikan kebangsaan, penguatan sinergi kelembagaan, dan pemberdayaan
komunitas lokal sebagai garda depan ketahanan nasional.
Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika; ancaman nasional; ketahanan
bangsa; toleransi; radikalisme; pendidikan kebangsaan; integrasi sosial;
Pancasila.
PEMBAHASAN
Ancaman terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
1.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki
keanekaragaman etnis, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat yang sangat
kompleks. Keberagaman ini merupakan kekayaan sekaligus potensi rawan konflik
apabila tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara,
ancaman terhadap kehidupan nasional tidak hanya datang dari luar, tetapi juga
dari dalam, mencakup berbagai aspek seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan. Ancaman-ancaman ini, bila tidak ditangani
secara sistematis dan berkelanjutan, berpotensi mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara historis, bangsa Indonesia telah mengalami
berbagai tantangan yang menguji integrasi nasional, mulai dari pemberontakan
ideologis seperti DI/TII, PRRI/Permesta, hingga separatisme Papua dan konflik
horizontal bernuansa SARA. Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa
keutuhan bangsa tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis dan perlu terus
dipelihara melalui kesadaran kolektif dan kebijakan negara yang adaptif
terhadap perubahan zaman. Sejalan dengan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika
sebagai semboyan nasional menjadi fondasi filosofis dan ideologis dalam menjaga
kohesi sosial serta integritas nasional di tengah pluralitas bangsa.
Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi
informasi, muncul pula bentuk-bentuk ancaman baru yang bersifat
multidimensional dan kompleks. Misalnya, penyebaran paham radikal melalui media
sosial, serangan siber terhadap infrastruktur strategis negara, pengaruh budaya
asing yang mereduksi nilai-nilai lokal, hingga ketimpangan ekonomi yang
melahirkan kecemburuan sosial. Hal ini mempertegas bahwa ancaman terhadap
bangsa tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis dan struktural, yang
menuntut adanya pendekatan strategis dan menyeluruh dalam penanganannya1.
Lebih lanjut, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan pentingnya menjaga keutuhan dan kedaulatan
negara melalui upaya bela negara yang dilakukan oleh seluruh warga negara.
Dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Ketentuan ini menegaskan bahwa ketahanan nasional merupakan tanggung jawab bersama
yang tidak hanya menjadi tugas TNI dan Polri, tetapi juga seluruh elemen
masyarakat2.
Dalam konteks Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), pembelajaran tentang ancaman terhadap kehidupan
berbangsa dan strategi mengatasinya memiliki peran penting dalam membentuk
kesadaran kewarganegaraan yang kritis, inklusif, dan solutif. Pendidikan ini
bukan hanya mentransfer pengetahuan normatif, tetapi juga mendorong peserta
didik untuk memahami realitas kebangsaan secara kontekstual dan reflektif.
Dengan membekali generasi muda dengan pemahaman akan tantangan yang dihadapi
bangsa serta cara-cara strategis untuk menghadapinya, diharapkan terbentuklah
warga negara yang aktif, bertanggung jawab, dan berkomitmen terhadap persatuan
nasional dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Footnotes
[1]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia, Strategi Pencegahan Terorisme Berbasis Kearifan Lokal
(Jakarta: BNPT, 2021), 14.
[2]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 30 ayat
(1).
2.
Landasan
Konstitusional dan Ideologis dalam Menangkal Ancaman
Ketahanan nasional Indonesia dibangun atas fondasi
ideologis dan konstitusional yang kokoh, yaitu Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Keduanya bukan hanya
menjadi dasar normatif dalam kehidupan bernegara, melainkan juga menjadi
pijakan utama dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap eksistensi
bangsa. Pancasila sebagai dasar negara memuat nilai-nilai universal dan
integral yang mampu menjadi tameng ideologis terhadap pengaruh negatif dari
luar maupun dari dalam yang berpotensi merusak integritas bangsa1.
Pancasila bukan hanya simbol persatuan, melainkan
juga sistem nilai yang menanamkan prinsip toleransi, keadilan sosial,
demokrasi, dan ketuhanan yang beradab. Nilai-nilai ini merupakan sarana efektif
dalam menangkal ideologi transnasional seperti radikalisme keagamaan,
komunisme, liberalisme ekstrem, atau sekularisme yang bertentangan dengan jati
diri bangsa. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila mampu merespons dinamika zaman
tanpa kehilangan substansi, sehingga menjadikannya landasan ideologis yang
adaptif dan protektif terhadap perubahan sosial-politik2.
Selain itu, UUD 1945 memberikan kerangka
hukum yang mengatur sistem ketatanegaraan, pembagian kekuasaan, serta hak dan
kewajiban warga negara. Dalam menghadapi ancaman, konstitusi Indonesia telah
menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2)), serta menegaskan hak dan kewajiban bela
negara (Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1)). Pasal-pasal ini menjadi acuan
legal bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen
masyarakat, bukan monopoli institusi pertahanan semata3.
Dalam konteks pertahanan ideologis, Pasal 28E UUD
1945 menjamin kebebasan beragama dan berpendapat, tetapi dengan batasan pada
ketertiban umum dan nilai-nilai Pancasila. Kebebasan ini harus diiringi dengan
tanggung jawab moral dan sosial agar tidak menjadi celah bagi penyebaran
ideologi yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, konstitusi
Indonesia telah membangun sistem pertahanan ideologis dan sosial melalui
jaminan kebebasan yang terarah pada tujuan negara, yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia4.
Dalam perspektif kebangsaan, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi pilar simbolik yang mendukung ideologi dan konstitusi
negara. Semboyan ini bukan hanya ungkapan budaya, tetapi bagian dari narasi
kebangsaan yang meneguhkan pentingnya persatuan dalam keberagaman. Ketika
dihadapkan pada ancaman disintegrasi sosial atau sektarianisme, nilai Bhinneka
Tunggal Ika mengingatkan bahwa pluralitas adalah realitas yang harus
dijaga, bukan ditakuti atau dihindari. Oleh karena itu, semboyan ini berfungsi
sebagai pengikat ideologis dan kultural dalam menyatukan perbedaan-perbedaan
yang ada dalam masyarakat Indonesia5.
Dengan demikian, kombinasi antara ideologi
Pancasila, konstitusi UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
membentuk sistem pertahanan ideologis dan konstitusional yang komprehensif.
Ketiganya tidak hanya menyatukan, tetapi juga memandu arah kehidupan berbangsa
dalam menghadapi ancaman multidimensi yang dapat mengganggu stabilitas nasional
dan integrasi bangsa.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 15.
[2]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer
(Jakarta: Pantja Simbol, 1983), 45–46.
[3]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 1 ayat
(2), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 ayat (1).
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2020), 88–90.
[5]
Azyumardi Azra, Indonesia: Pluralisme,
Kebangsaan, dan Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Prenada Media, 2009),
37.
3.
Ancaman
terhadap Ideologi Negara
Ideologi negara merupakan fondasi utama dalam
membangun identitas nasional, arah kebijakan publik, dan integrasi
sosial-politik suatu bangsa. Bagi Indonesia, Pancasila bukan hanya
ideologi negara, tetapi juga sistem nilai yang menyatukan keragaman masyarakat
dalam bingkai kebangsaan yang utuh. Oleh karena itu, setiap bentuk ancaman
terhadap Pancasila harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap keutuhan
NKRI. Ancaman terhadap ideologi tidak selalu berbentuk fisik atau militer,
melainkan bisa bersifat halus dan sistemik, seperti penyebaran ideologi
radikal, liberalisme ekstrem, sekularisme, dan komunisme gaya baru yang
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila1.
Salah satu bentuk ancaman ideologis yang menonjol
dewasa ini adalah radikalisme dan ekstremisme keagamaan yang kerap
menyusup melalui media sosial, institusi pendidikan, maupun lembaga keagamaan.
Gerakan ini cenderung menolak keberagaman, menganggap Pancasila sebagai thaghut
(musuh agama), dan memperjuangkan sistem khilafah sebagai pengganti sistem
kenegaraan Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal
kerap memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan narasi intoleran dan ajakan
kekerasan berbasis agama2.
Ancaman lain datang dari ideologi transnasional
yang mengusung paham-paham yang tidak sesuai dengan nilai kebangsaan Indonesia,
seperti kapitalisme global yang menekankan individualisme dan materialisme
ekstrem, atau komunisme modern yang mengaburkan nilai ketuhanan dan hak milik
pribadi. Ideologi-ideologi ini secara perlahan dapat mereduksi semangat gotong
royong, keadilan sosial, dan solidaritas yang menjadi jiwa dari Pancasila3.
Selain itu, penyalahgunaan kebebasan berekspresi
juga dapat menjadi saluran bagi masuknya ancaman terhadap ideologi negara.
Pasal 28 UUD 1945 memang menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat,
namun kebebasan tersebut dibatasi oleh ketertiban umum dan penghormatan
terhadap hak orang lain. Dalam praktiknya, media sosial kerap digunakan untuk
menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, serta propaganda ideologis yang mengarah
pada disintegrasi bangsa. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan literasi
digital dan pendidikan karakter di kalangan generasi muda4.
Untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap
Pancasila, negara perlu menerapkan strategi deradikalisasi, penguatan
wawasan kebangsaan, dan revitalisasi pendidikan ideologi. Dalam konteks
pendidikan, pembelajaran PPKn diharapkan tidak sekadar menyampaikan teori,
tetapi juga menumbuhkan pemahaman reflektif dan sikap aktif dalam menjaga
nilai-nilai kebangsaan. Sementara itu, lembaga negara seperti BPIP (Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT, dan Kemenko Polhukam perlu bersinergi
dalam menangkal propaganda ideologi alternatif yang destruktif terhadap
kedaulatan negara5.
Yang tak kalah penting, peran masyarakat sipil juga
harus diperkuat dalam menjaga ideologi negara. Organisasi kemasyarakatan, tokoh
agama, tokoh adat, serta media massa memiliki andil besar dalam membumikan
kembali nilai-nilai Pancasila secara kontekstual di tengah tantangan zaman yang
semakin kompleks. Dengan kolaborasi lintas sektor ini, ancaman terhadap
ideologi negara dapat dicegah sejak dini melalui pendekatan yang bersifat
edukatif, persuasif, dan konstruktif.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 22.
[2]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia, Laporan Akhir: Strategi Penanggulangan Radikalisme di Lingkungan
Pendidikan (Jakarta: BNPT, 2020), 19–21.
[3]
Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam: Menjawab
Tantangan Modernitas dan Globalisasi (Bandung: Mizan, 2005), 134.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kebebasan
Beragama (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), 106.
[5]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Grand Design
Pembinaan Ideologi Pancasila (Jakarta: BPIP, 2021), 38–41.
4.
Ancaman
di Bidang Politik
Stabilitas politik merupakan syarat utama bagi
terselenggaranya pemerintahan yang efektif, pembangunan nasional yang
berkelanjutan, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Namun, dalam
konteks Indonesia sebagai negara demokrasi yang multikultural, ancaman di
bidang politik dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari disintegrasi
politik, polarisasi ideologis, hingga penyalahgunaan kekuasaan
dan praktik politik identitas yang menggerus nilai-nilai demokrasi
substansial dan persatuan nasional.
4.1.
Disintegrasi Politik dan Separatisme
Salah satu bentuk ancaman politik yang paling nyata
adalah gerakan separatis yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kasus Papua merupakan contoh klasik dari problem politik
yang kompleks karena menyangkut sejarah, marginalisasi ekonomi, dan tuntutan
otonomi yang belum sepenuhnya terpenuhi. Separatisme bukan hanya persoalan
keamanan, melainkan juga masalah kegagalan politik dalam membangun dialog yang
inklusif dan adil1.
Gerakan separatis tersebut mengancam keutuhan
nasional karena mendelegitimasi ide Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar
persatuan dalam keberagaman. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan dan
kesetaraan politik di daerah-daerah pinggiran, rasa keterasingan dan
ketidakpercayaan kepada pusat kekuasaan tumbuh subur, yang pada akhirnya
menjadi lahan subur bagi disintegrasi2.
4.2.
Polarisasi Politik dan Erosi Etika
Demokrasi
Era digital dan keterbukaan informasi juga membawa
tantangan serius dalam bentuk polarisasi politik yang tajam, khususnya
menjelang dan pasca pemilu. Politik identitas dan kampanye berbasis SARA (suku,
agama, ras, dan antargolongan) sering kali digunakan sebagai strategi elektoral
yang menciptakan fragmentasi sosial dan mencederai semangat kebhinekaan.
Polarisasi ini tidak hanya terjadi di kalangan elit politik, tetapi juga
merambah ke masyarakat akar rumput, termasuk pelajar dan mahasiswa3.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
kecenderungan masyarakat yang terbelah secara politik semakin nyata sejak pemilu
2014 dan 2019, di mana perbedaan pilihan politik kerap dikapitalisasi untuk
memperkuat loyalitas sektarian. Hal ini berpotensi mengikis fondasi kebangsaan
dan memperlemah semangat deliberasi dalam demokrasi4.
4.3.
Penyalahgunaan Kekuasaan dan
Lemahnya Akuntabilitas
Ancaman lain yang tidak kalah penting adalah praktik
korupsi politik, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya sistem
akuntabilitas lembaga negara. Ketika lembaga legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif tidak menjalankan fungsi checks and balances secara optimal, maka
kepercayaan publik terhadap sistem politik menurun drastis. Korupsi politik
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai legitimasi
pemerintahan dan memperkuat apatisme politik masyarakat5.
4.4.
Strategi Menangkal Ancaman Politik
Untuk menghadapi berbagai ancaman di bidang
politik, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan partisipatif. Pemerintah
perlu memperkuat mekanisme demokrasi deliberatif, memperluas ruang
dialog antar kelompok politik dan sosial, serta mengedepankan prinsip good
governance. Pendidikan politik bagi masyarakat, khususnya generasi muda,
juga harus diarahkan pada penguatan etika politik, nilai kebangsaan, dan
keterampilan berpartisipasi secara konstruktif dalam kehidupan demokratis.
Peran pendidikan kewarganegaraan sangat strategis
dalam hal ini. Melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn), peserta didik dapat dikembangkan kesadaran politik yang sehat dan
bertanggung jawab—yakni politik yang tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi
juga meneguhkan cita-cita kebangsaan yang dilandasi oleh Pancasila dan semangat
Bhinneka Tunggal Ika.
Footnotes
[1]
Adriana Elisabeth, Separatisme dan Integrasi
Nasional: Studi Kasus Papua (Jakarta: LIPI Press, 2019), 63–65.
[2]
Saldi Isra, Membangun Politik Hukum: Menegakkan
Konstitusi dalam Politik Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2017), 144.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 273.
[4]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah
Kebijakan: Polarisasi Politik dan Tantangan Persatuan Bangsa (Jakarta:
LIPI, 2020), 6.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kajian
Sistem Integritas Politik di Indonesia (Jakarta: KPK, 2021), 11–13.
5.
Ancaman
di Bidang Ekonomi
Stabilitas dan keadilan ekonomi merupakan fondasi
penting bagi keberlangsungan suatu bangsa. Ketika kesenjangan ekonomi meningkat
dan akses terhadap sumber daya tidak merata, maka potensi konflik sosial dan disintegrasi
nasional pun ikut meningkat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan
keberagaman suku, agama, dan daerah, persoalan ekonomi yang tidak terkelola
dengan baik berpotensi menjadi ancaman serius terhadap kesatuan dan persatuan
nasional.
5.1.
Kesenjangan Ekonomi dan Ketimpangan
Distribusi Kekayaan
Salah satu ancaman utama dalam bidang ekonomi
adalah ketimpangan ekonomi yang nyata antar daerah maupun antar kelompok
sosial. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks
Gini—yang mengukur ketimpangan pendapatan—masih relatif tinggi dan cenderung
stagnan dalam beberapa tahun terakhir1. Ketimpangan ini menimbulkan
rasa ketidakadilan, khususnya di daerah-daerah yang merasa terpinggirkan dalam
pembangunan nasional, seperti wilayah Indonesia Timur. Ketimpangan semacam ini
dapat memicu frustrasi sosial dan memperbesar jurang antara pusat dan daerah,
yang pada akhirnya bisa berkembang menjadi gerakan separatis atau konflik
horizontal2.
5.2.
Ketergantungan terhadap Asing dan
Globalisasi Ekonomi
Ancaman lain dalam bidang ekonomi adalah ketergantungan
terhadap ekonomi global, khususnya dalam sektor strategis seperti energi,
pangan, dan teknologi. Ketika perekonomian nasional terlalu tergantung pada
investasi asing dan ekspor komoditas mentah, maka daya tawar negara dalam
menentukan arah kebijakan ekonomi menjadi lemah. Globalisasi ekonomi yang tidak
disertai dengan penguatan ekonomi domestik juga membuka celah bagi dominasi
korporasi multinasional yang dapat merusak kedaulatan ekonomi nasional3.
Dalam konteks ini, agenda ekonomi kerakyatan
sebagaimana dicita-citakan dalam sila kelima Pancasila—“Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”—belum sepenuhnya terwujud. Ketika orientasi ekonomi
terlalu liberal dan terpusat pada pertumbuhan semata tanpa pemerataan, maka
Pancasila sebagai ideologi ekonomi pun kehilangan makna praksisnya4.
5.3.
Krisis Ekonomi dan Dampaknya
terhadap Ketahanan Nasional
Krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal (seperti pandemi global atau konflik geopolitik),
dapat melemahkan ketahanan nasional. Dampak langsung dari krisis ini adalah
meningkatnya pengangguran, kemiskinan, inflasi, serta keresahan sosial. Sejarah
mencatat bahwa krisis moneter 1997–1998 di Indonesia tidak hanya menyebabkan
keruntuhan ekonomi, tetapi juga melahirkan krisis politik dan kerusuhan sosial
yang nyaris mengoyak keutuhan bangsa5. Ini menunjukkan bahwa aspek
ekonomi tidak bisa dilepaskan dari stabilitas politik dan sosial secara
keseluruhan.
5.4.
Strategi Penguatan Ketahanan Ekonomi
Nasional
Menghadapi ancaman-ancaman ekonomi tersebut, negara
perlu menerapkan strategi yang menyeluruh dan berbasis keadilan. Di antaranya
adalah:
·
Mendorong ekonomi inklusif dan pembangunan berbasis wilayah.
·
Memperkuat kedaulatan pangan dan energi sebagai prioritas
strategis.
·
Memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi
nasional.
·
Menumbuhkan semangat kewirausahaan sosial yang berpihak kepada
masyarakat kecil.
Di samping itu, pendidikan kewarganegaraan harus
turut menginternalisasikan nilai-nilai ekonomi Pancasila dalam pembelajaran,
agar generasi muda memiliki kesadaran ekonomi yang berkeadilan, mandiri, dan
berwawasan kebangsaan.
Dengan menempatkan pembangunan ekonomi dalam
kerangka Bhinneka Tunggal Ika, maka kebijakan ekonomi tidak hanya
mengejar pertumbuhan, tetapi juga memperhatikan pemerataan dan keadilan sosial
sebagai prasyarat menjaga kesatuan bangsa.
Footnotes
[1]
Badan Pusat Statistik, Indeks Gini Ratio
Indonesia 2023 (Jakarta: BPS, 2024), 3–4.
[2]
Faisal Basri, Kesenjangan dan Ancaman Integrasi
Nasional (Jakarta: LP3ES, 2020), 27.
[3]
Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan: Tantangan
Globalisasi Ekonomi (Jakarta: UI Press, 2004), 114–116.
[4]
Sri Edi Swasono, Pancasila Ekonomi: Gagasan dan
Aktualisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 54.
[5]
Jeffrey A. Winters, Oligarki: Kekuasaan dan
Kekayaan di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), 89–91.
6.
Ancaman
di Bidang Sosial dan Budaya
Dalam negara multikultural seperti Indonesia,
stabilitas sosial dan kelestarian budaya menjadi aspek vital dalam
mempertahankan keutuhan nasional. Keberagaman suku, agama, adat istiadat, dan
bahasa bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga fondasi sosial yang memperkaya
identitas bangsa. Namun, keberagaman ini juga menyimpan potensi konflik apabila
tidak dijaga melalui prinsip keadilan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Dalam hal ini, bidang sosial dan budaya menjadi salah satu ruang strategis yang
rentan terhadap berbagai bentuk ancaman.
6.1.
Konflik Sosial dan Intoleransi
Salah satu bentuk ancaman paling nyata di bidang
sosial adalah konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan identitas,
seperti suku, agama, atau status sosial. Berbagai konflik komunal yang terjadi
di Ambon, Poso, dan Papua merupakan contoh historis betapa perbedaan yang tidak
dikelola dengan bijak dapat meletup menjadi kekerasan berskala besar. Konflik
semacam ini melemahkan kohesi sosial dan berpotensi menciptakan luka kolektif
yang berkepanjangan1.
Bersamaan dengan itu, meningkatnya intoleransi
antarumat beragama juga mengkhawatirkan. Laporan Setara Institute mencatat
bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih terjadi, terutama terhadap
kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sering menjadi sasaran
diskriminasi dan kekerasan2. Fenomena ini mengancam sendi-sendi Bhinneka
Tunggal Ika yang menjunjung tinggi prinsip keberagaman dalam persatuan.
6.2.
Krisis Identitas dan Penurunan
Solidaritas Sosial
Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi
informasi, generasi muda semakin terpapar oleh budaya global yang tidak selalu
sejalan dengan nilai-nilai lokal. Hal ini memunculkan krisis identitas
kultural, di mana masyarakat, khususnya generasi muda, mulai kehilangan
keterikatan terhadap nilai-nilai budaya bangsa seperti gotong royong, tepa
salira, dan musyawarah. Fenomena ini juga berkorelasi dengan melemahnya
solidaritas sosial dan meningkatnya sikap individualistik3.
Menurut Azyumardi Azra, jika krisis identitas tidak
segera diatasi, maka generasi muda berisiko tercerabut dari akar kebudayaannya
sendiri dan menjadi “kosmopolitan tanpa akar”—yakni generasi yang
kehilangan arah dan pijakan dalam kehidupan sosial-budaya mereka4.
6.3.
Pengaruh Budaya Asing dan
Komersialisasi Nilai
Ancaman lainnya adalah penetrasi budaya asing
yang masuk melalui media, hiburan, dan produk gaya hidup. Budaya konsumtif,
hedonisme, serta gaya hidup instan dan materialistik mulai menggeser orientasi
hidup masyarakat, menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Pancasila. Selain itu, banyak kebudayaan lokal yang mulai terpinggirkan
oleh industri budaya global, yang lebih menonjolkan aspek komersial daripada
substansi nilai5.
Jika tidak ada upaya serius untuk menghidupkan
kembali nilai-nilai kearifan lokal, maka budaya bangsa akan kehilangan
relevansinya di mata generasi penerus. Ini merupakan ancaman jangka panjang
yang bersifat ideologis dan eksistensial.
6.4.
Strategi Penguatan Sosial Budaya
Berbasis Nilai Kebangsaan
Untuk mengatasi berbagai ancaman sosial dan budaya,
diperlukan pendekatan kultural dan edukatif yang bersifat partisipatif
dan kontekstual. Strategi yang dapat ditempuh antara lain:
·
Mengembangkan pendidikan multikultural dan toleransi sejak dini.
·
Mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam kurikulum
pendidikan nasional.
·
Mendorong revitalisasi seni, tradisi, dan bahasa daerah sebagai
warisan budaya bangsa.
·
Mengembangkan media dan konten digital yang mengedepankan nilai-nilai
kebangsaan dan kesetaraan.
Lebih dari itu, pendidikan PPKn harus membekali
peserta didik dengan kesadaran kritis terhadap bahaya perpecahan sosial dan
hilangnya jati diri budaya. Dengan demikian, nilai Bhinneka Tunggal Ika
dapat diwujudkan bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai realitas sosial
yang hidup dalam praktik kehidupan berbangsa.
Footnotes
[1]
Bambang Sulistyo, Potret Konflik Sosial di
Indonesia (Jakarta: Komnas HAM, 2015), 51–54.
[2]
Setara Institute, Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia: Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: Setara Institute,
2024), 7–10.
[3]
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kebudayaan dan
Pendidikan Karakter (Jakarta: Erlangga, 2012), 122.
[4]
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya:
Tantangan Globalisasi terhadap Nasionalisme (Jakarta: Prenadamedia Group,
2010), 18.
[5]
Ratna Megawangi, Membumikan Nilai-Nilai Kearifan
Lokal dalam Dunia Modern (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2014),
67.
7.
Ancaman
di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Pertahanan dan keamanan merupakan aspek krusial
dalam menjamin eksistensi dan kelangsungan hidup suatu negara. Bagi Indonesia
sebagai negara kepulauan yang luas, plural, dan memiliki posisi strategis
secara geopolitik, tantangan di bidang pertahanan dan keamanan tidak hanya
bersifat militer, tetapi juga non-militer, bahkan hibrida—menggabungkan
ancaman fisik, ideologis, siber, dan sosial. Mengabaikan dinamika ini dapat
melemahkan daya tahan bangsa dan membuka celah terhadap gangguan dari dalam
maupun luar negeri.
7.1.
Ancaman Militer dan Separatisme
Bersenjata
Ancaman konvensional terhadap pertahanan nasional
masih aktual, terutama dalam bentuk separatisme bersenjata. Di Papua, misalnya,
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) masih aktif melakukan serangan terhadap
aparat keamanan dan warga sipil, serta menyuarakan pemisahan dari NKRI.
Aksi-aksi ini menunjukkan bahwa kekuatan bersenjata non-negara masih menjadi
tantangan serius terhadap stabilitas wilayah dan otoritas negara1.
Selain itu, posisi geografis Indonesia yang
berbatasan langsung dengan banyak negara menjadikannya rawan terhadap
infiltrasi militer, penyelundupan senjata, dan konflik perbatasan. Persoalan di
Laut Natuna Utara terkait klaim sepihak Tiongkok melalui nine-dash line
adalah bukti bahwa ancaman terhadap kedaulatan wilayah tidak dapat dipandang
remeh2.
7.2.
Ancaman Non-Militer: Terorisme,
Narkotika, dan Kejahatan Siber
Dalam beberapa dekade terakhir, terorisme
menjadi ancaman nyata yang menargetkan simbol-simbol negara dan tempat publik.
Serangan Bom Bali (2002), aksi JAD di Surabaya (2018), serta berbagai peristiwa
lainnya menunjukkan bahwa jaringan teror di Indonesia masih aktif, dengan
ideologi transnasional dan kemampuan memanfaatkan ruang digital3.
Selain itu, Indonesia menjadi koridor perdagangan narkotika internasional,
yang tidak hanya merusak generasi muda tetapi juga melemahkan ketahanan sosial
dan ekonomi bangsa4.
Tak kalah penting adalah ancaman keamanan siber.
Di era digital, serangan terhadap sistem teknologi informasi—termasuk lembaga
pemerintah, perbankan, dan pertahanan—berpotensi melumpuhkan fungsi negara.
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat jutaan serangan siber
setiap tahun yang mengincar infrastruktur kritis nasional5.
7.3.
Ancaman Hibrida dan Politisasi
Keamanan
Ancaman modern tidak lagi terpisah antara militer
dan non-militer, tetapi cenderung hibrida, yakni gabungan dari berbagai
bentuk gangguan yang saling terkait. Contohnya adalah operasi informasi yang
menyebarkan hoaks dan propaganda untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap
pemerintah, memecah belah masyarakat, serta menciptakan instabilitas politik
dalam negeri. Ancaman ini sangat kompleks karena dapat bersumber dari aktor
negara maupun non-negara, dan sulit dideteksi secara konvensional6.
Selain itu, dalam beberapa kasus, terjadi politisasi
terhadap isu keamanan di mana persoalan pertahanan digunakan sebagai alat
untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini dapat menurunkan profesionalisme institusi
keamanan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat negara.
7.4.
Strategi Penguatan Ketahanan
Pertahanan dan Keamanan
Untuk menghadapi kompleksitas ancaman di bidang
ini, Indonesia mengembangkan konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat
Semesta (Sishankamrata), yang menekankan pada sinergi antara TNI, Polri,
dan partisipasi warga negara. Konsep ini merupakan refleksi dari nilai gotong
royong dan semangat kebangsaan yang selaras dengan Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika7.
Beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat
antara lain:
·
Modernisasi alutsista dan sistem komando pertahanan.
·
Penguatan sistem intelijen nasional dan keamanan siber.
·
Pendidikan bela negara yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
·
Peningkatan kesejahteraan aparat dan profesionalisme institusi keamanan.
Dengan pertahanan yang kuat dan keamanan yang
responsif, bangsa Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan zaman, baik
yang bersifat terbuka maupun tersembunyi.
Footnotes
[1]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Separatisme
dan Dinamika Sosial Politik Papua (Jakarta: LIPI Press, 2018), 37.
[2]
Connie Rahakundini Bakrie, Paradoks Militer
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2020), 114.
[3]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Strategi
Nasional Pencegahan Terorisme 2020–2024 (Jakarta: BNPT, 2020), 23–25.
[4]
Badan Narkotika Nasional, Laporan Tahunan BNN
2023 (Jakarta: BNN, 2024), 18.
[5]
Badan Siber dan Sandi Negara, Laporan Keamanan
Siber Nasional 2023 (Jakarta: BSSN, 2024), 6–7.
[6]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara di
Era Globalisasi (Jakarta: Lemhannas RI, 2016), 78.
[7]
Kementerian Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan
Indonesia 2021 (Jakarta: Kemhan RI, 2021), 49–50.
8.
Peran
Masyarakat dan Institusi Negara dalam Mengatasi Ancaman
Menangkal ancaman
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya menjadi tanggung jawab
negara sebagai pemegang otoritas, tetapi juga merupakan kewajiban seluruh
elemen masyarakat. Konsep pertahanan dan ketahanan nasional Indonesia
menempatkan rakyat sebagai bagian integral
dari sistem keamanan nasional. Hal ini selaras dengan prinsip demokrasi
Pancasila yang menekankan partisipasi rakyat dalam setiap aspek kehidupan
bernegara, termasuk dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.
8.1.
Peran Masyarakat Sipil: Kekuatan
Sosial dalam Menjaga Integrasi Bangsa
Masyarakat memiliki
posisi strategis dalam menciptakan ketahanan sosial dan budaya.
Melalui peran-peran yang dijalankan oleh organisasi kemasyarakatan, komunitas
lokal, tokoh agama, tokoh adat, serta media sosial, masyarakat dapat:
·
Menyebarluaskan nilai-nilai
kebangsaan dan toleransi,
·
Menjadi garda terdepan
dalam mencegah radikalisme dan ekstremisme,
·
Menginisiasi forum-forum
dialog antaragama, antarsuku, dan antarbudaya untuk memperkuat semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
Menurut Azyumardi
Azra, masyarakat madani yang kuat adalah prasyarat penting bagi demokrasi dan
stabilitas nasional yang berkelanjutan1. Dalam
hal ini, pendidikan kewarganegaraan, literasi digital, dan penguatan nilai
lokal berperan besar dalam membangun masyarakat yang resilien terhadap pengaruh
destruktif, baik dari dalam maupun luar.
8.2.
Peran Institusi Negara: Fungsi
Protektif, Koordinatif, dan Edukatif
Institusi negara,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, memiliki tanggung jawab
konstitusional untuk menjamin keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Peran institusi negara dalam menghadapi ancaman mencakup beberapa aspek
berikut:
8.2.1.
TNI dan Polri
TNI bertugas menjaga
keutuhan wilayah dan kedaulatan negara dari ancaman militer dan strategis,
sementara Polri menjalankan peran penting dalam menjaga ketertiban umum,
menanggulangi kriminalitas, dan melawan terorisme. Kedua institusi ini juga
terlibat dalam pembinaan bela negara dan
penanggulangan bencana, serta menjaga stabilitas saat terjadi konflik sosial2.
8.2.2.
Kementerian dan
Lembaga Negara
Kementerian
Pertahanan (Kemhan), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan
Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Negara (BIN) adalah aktor
utama dalam menyusun kebijakan nasional terhadap berbagai ancaman kontemporer.
Mereka memiliki fungsi strategis dalam:
·
Mendeteksi dini dan
merespons ancaman (early warning system),
·
Menyusun kebijakan
pencegahan,
·
Menjalin kerja sama
internasional dalam keamanan global3.
8.2.3.
Lembaga Pendidikan dan
BPIP
Lembaga pendidikan
memegang peran kunci dalam penguatan kesadaran ideologis dan kebangsaan
generasi muda. Melalui kurikulum yang mencakup Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), siswa dibina untuk mengenal potensi ancaman, serta
diajak untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa yang damai dan
produktif. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) turut berkontribusi dalam
menyusun narasi kebangsaan yang aktual dan inklusif, serta menyelaraskan
nilai-nilai Pancasila dengan dinamika masyarakat modern4.
8.3.
Sinergi Negara dan Masyarakat: Model
Ketahanan Semesta
Keberhasilan dalam
menangani ancaman menuntut adanya sinergi antara masyarakat dan negara
dalam bingkai ketahanan nasional. Konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
(Sishankamrata), sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945,
menegaskan bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab seluruh rakyat, yang
dilaksanakan secara menyeluruh dan terintegrasi antara kekuatan militer dan
non-militer5.
Dalam praktiknya,
sinergi ini memerlukan:
·
Pelibatan masyarakat dalam
perumusan dan evaluasi kebijakan keamanan,
·
Transparansi informasi dan
akuntabilitas institusi negara,
·
Peningkatan kesejahteraan
sosial sebagai prasyarat stabilitas nasional.
Dengan kolaborasi
yang solid antara rakyat dan negara, Indonesia dapat membangun ketahanan
nasional yang bersifat multidimensi, tangguh menghadapi
ancaman, serta tetap berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila dan semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Indonesia Beragama: Perspektif Sosial Budaya dan
Politik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 58.
[2]
Kementerian Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2021
(Jakarta: Kemhan RI, 2021), 37–40.
[3]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Strategi Nasional
Pencegahan Terorisme 2020–2024 (Jakarta: BNPT, 2020), 12.
[4]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Grand Design Pembinaan Ideologi
Pancasila (Jakarta: BPIP, 2021), 15–17.
[5]
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 30 ayat (1)–(2).
9.
Implementasi
Nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai Strategi Pencegahan
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang secara
harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, bukan sekadar slogan
simbolik, melainkan juga fondasi filosofis dan kultural bangsa Indonesia dalam
mengelola keberagaman. Dalam konteks ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika memiliki daya
cegah (preventif) yang kuat, terutama dalam meredam potensi disintegrasi,
konflik sosial, dan polarisasi ideologis yang berakar pada perbedaan identitas.
9.1.
Toleransi dan Pengakuan atas
Keberagaman
Salah satu nilai utama dari Bhinneka Tunggal Ika
adalah toleransi, yaitu sikap menghormati dan menerima perbedaan sebagai
bagian dari identitas kolektif bangsa. Toleransi ini bukan hanya bersifat
pasif, melainkan aktif—ditunjukkan melalui praktik hidup berdampingan secara
damai meskipun memiliki latar belakang agama, budaya, bahasa, atau suku yang
berbeda. Sejarah mencatat bahwa Indonesia mampu bertahan sebagai negara majemuk
karena masyarakatnya menjunjung tinggi nilai toleransi, seperti yang tercermin
dalam kehidupan masyarakat Bali, Yogyakarta, hingga Ambon pasca-konflik1.
Dalam dimensi kenegaraan, toleransi ini juga
diakomodasi oleh sistem hukum dan kebijakan publik, seperti pengakuan terhadap
enam agama resmi dan perlindungan hak minoritas dalam konstitusi. Toleransi
yang dilandasi oleh semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi pagar
ideologis yang menghambat masuknya radikalisme, sektarianisme, dan gerakan
eksklusivisme identitas2.
9.2.
Gotong Royong dan Solidaritas Sosial
Nilai gotong royong sebagai warisan budaya
bangsa juga merupakan manifestasi nyata dari semangat kebhinekaan. Gotong
royong menciptakan solidaritas antarwarga negara, menguatkan kohesi sosial,
serta menjadi modal sosial dalam menghadapi bencana, krisis, dan ancaman
keamanan. Ketika masyarakat bersatu dalam menghadapi pandemi COVID-19,
misalnya, tercermin jelas bagaimana gotong royong berperan dalam mengorganisasi
bantuan sosial, pendidikan daring, hingga vaksinasi massal3.
Nilai ini sangat penting dalam konteks strategi
pencegahan karena mendorong partisipasi kolektif dalam menyelesaikan masalah
bersama. Ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari sistem sosial yang saling
menopang, maka mereka tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA atau
kepentingan politik yang memecah belah.
9.3.
Musyawarah dan Demokrasi Konsensual
Bhinneka Tunggal Ika juga mendorong praktik musyawarah
mufakat, yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan dialog,
kesetaraan, dan pencapaian konsensus. Dalam masyarakat yang majemuk, musyawarah
menjadi pendekatan kultural yang efektif untuk meredam konflik dan menghindari
dominasi mayoritas terhadap kelompok minoritas4.
Prinsip ini penting diterapkan dalam sistem
demokrasi Indonesia agar tidak terjebak pada mekanisme mayoritarianisme semata,
yang bisa mengancam kebersamaan nasional. Musyawarah menciptakan ruang
deliberatif yang menghargai semua suara, dan menjadi strategi politik yang etis
dalam menyikapi perbedaan.
9.4.
Pendidikan Multikultural dan
Internalisasi Nilai
Implementasi nilai Bhinneka Tunggal Ika
sebagai strategi pencegahan juga harus menyentuh sektor pendidikan. Pendidikan
multikultural menjadi sarana utama untuk menanamkan nilai-nilai kebhinekaan
sejak dini kepada generasi muda. Kurikulum yang mencakup sejarah kebangsaan,
keragaman budaya, dan nilai toleransi akan membentuk karakter peserta didik
yang terbuka, inklusif, dan sadar akan pentingnya persatuan dalam keberagaman5.
Pendidikan kewarganegaraan (PPKn) harus
bertransformasi dari sekadar pendidikan normatif menjadi pendidikan reflektif
yang membangun kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, guru
bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan dan fasilitator
dialog antarbudaya di lingkungan sekolah.
9.5.
Revitalisasi Nilai Lokal dan Budaya
Nusantara
Untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
strategi preventif yang efektif, perlu dilakukan revitalisasi terhadap
nilai-nilai lokal dan budaya nusantara. Banyak kearifan lokal seperti mapalus
di Minahasa, sasi di Maluku, subak di Bali, atau besik di
Lampung mengandung filosofi harmoni sosial dan tanggung jawab kolektif yang
sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Kearifan ini harus diangkat kembali ke
dalam ruang publik melalui festival budaya, media massa, dan kurikulum pendidikan
daerah6.
Kebijakan negara juga harus memfasilitasi
pelestarian budaya lokal, bahasa daerah, dan praktik tradisional sebagai bagian
dari integrasi nasional. Ketika identitas lokal diakui dan dilindungi, maka
potensi konflik akibat marginalisasi budaya dapat ditekan secara signifikan.
Penutup
Subbagian
Dengan demikian, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika
bukan hanya sebagai simbol kesatuan, tetapi juga sebagai instrumen strategis
untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa. Melalui penguatan toleransi,
solidaritas, musyawarah, pendidikan multikultural, dan revitalisasi budaya
lokal, Indonesia dapat membangun ketahanan nasional yang tidak hanya kuat
secara struktural, tetapi juga kokoh secara kultural dan moral. Inilah fondasi
kehidupan berbangsa yang inklusif dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Bambang Hudayana, Resolusi Konflik di Masyarakat
Multikultur (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2019), 88.
[2]
Komnas HAM, Kebebasan Beragama dan Toleransi
dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: Komnas HAM, 2020), 12–14.
[3]
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Laporan
Penanggulangan Pandemi COVID-19 2020–2022 (Jakarta: BNPB, 2023), 43.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 115.
[5]
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme:
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional
(Jakarta: Grasindo, 2004), 42–44.
[6]
Ratna Megawangi, Membangun Karakter Bangsa
melalui Kearifan Lokal (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2015),
63–64.
10. Studi Kasus Ancaman dan Respons Strategis
Untuk memahami dinamika ancaman terhadap kehidupan
berbangsa secara konkret, diperlukan telaah terhadap sejumlah studi kasus
nyata yang pernah menguji daya tahan ideologi, persatuan, dan sistem
politik Indonesia. Kajian ini bertujuan tidak hanya untuk menganalisis pola
ancaman, tetapi juga untuk menilai efektivitas respons strategis yang
ditempuh oleh negara dan masyarakat. Berikut ini dipaparkan tiga kasus penting
yang mencerminkan spektrum ancaman multidimensi dan respons strategisnya dalam
kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
10.1.
Kasus Radikalisme dan Terorisme:
Aksi Bom Surabaya 2018
Pada 13 Mei 2018, Indonesia diguncang aksi
terorisme berupa pengeboman tiga gereja di Surabaya, yang dilakukan oleh
satu keluarga (orang tua dan anak-anak). Aksi ini menjadi titik balik karena
menunjukkan bahwa jaringan teror telah mengeksploitasi institusi keluarga dan
anak sebagai alat kekerasan. Serangan ini dilakukan oleh simpatisan Jamaah
Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS1.
Ancaman:
Kasus ini mengungkap ancaman ideologi transnasional
berbasis kekerasan yang menyusup melalui pengaruh digital, lingkungan sosial
tertutup, dan minimnya literasi keagamaan. Selain menyerang institusi
keagamaan, aksi ini mencederai sendi kebinekaan dan harmoni sosial antarumat
beragama.
Respons Strategis:
Pemerintah segera mengesahkan Perppu No. 1 Tahun
2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU No. 5 Tahun
2018, yang memperluas kewenangan aparat untuk mencegah dan menindak jaringan
terorisme2. Di sisi lain, lembaga seperti BNPT memperkuat program
deradikalisasi berbasis keluarga, sekolah, dan komunitas lokal. Masyarakat
sipil juga merespons dengan kampanye solidaritas lintas agama, menunjukkan
bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika mampu menjadi benteng ideologis
dalam situasi krisis.
10.2.
Kasus Polarisasi Politik: Pilpres
2019 dan Politik Identitas
Pemilu Presiden 2019 mencatat tingkat partisipasi
tinggi namun juga memunculkan polarisasi politik berbasis identitas.
Kampanye yang sarat dengan narasi keagamaan dan simbol-simbol primordial telah
membelah masyarakat menjadi dua kutub ekstrem, yang berlanjut pasca-pemilu
dalam bentuk ujaran kebencian, disinformasi, dan persekusi di media sosial3.
Ancaman:
Polarisasi ini tidak hanya mengganggu kehidupan
demokrasi, tetapi juga mengancam kohesi sosial, terutama ketika perbedaan
politik dilihat sebagai permusuhan identitas. Politik identitas memperlemah
prinsip musyawarah dan mengikis penghargaan terhadap perbedaan dalam bingkai
kebangsaan.
Respons Strategis:
KPU, Bawaslu, dan berbagai elemen masyarakat
mengintensifkan literasi pemilu damai, serta penguatan aturan kampanye
berbasis etika. Selain itu, para tokoh agama dan pemuda lintas organisasi
menginisiasi dialog kebangsaan untuk meredakan tensi politik. Strategi ini
menegaskan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip demokrasi inklusif
yang mendorong kesetaraan dalam perbedaan4.
10.3.
Kasus Intoleransi dan Kriminalisasi
Identitas: Penolakan Rumah Ibadah Minoritas
Di beberapa wilayah, terjadi penolakan terhadap
pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas, seperti kasus penolakan pembangunan
Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi dan GKI Yasmin di Bogor. Kedua
kasus ini berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang tuntas, dan
menjadi sorotan nasional maupun internasional mengenai pelanggaran kebebasan
beragama5.
Ancaman:
Penolakan ini menunjukkan adanya intoleransi sosial
dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam praktik. Jika
dibiarkan, hal ini dapat memicu konflik horizontal dan mencederai prinsip
negara hukum yang menjamin kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam UUD 1945
Pasal 28E dan 29.
Respons Strategis:
Respons dari Komnas HAM, Mahkamah Agung, serta
pemerintah pusat telah menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus dilindungi
secara konstitusional. Meski demikian, implementasi kebijakan di daerah sering
menghadapi resistensi sosial. Oleh karena itu, respons strategis kini
difokuskan pada edukasi masyarakat, pembinaan tokoh lokal, dan penegakan
hukum berbasis HAM untuk memastikan prinsip Bhinneka Tunggal Ika bukan
hanya wacana, tetapi realitas yang melindungi setiap warga negara6.
Refleksi
Umum
Dari ketiga kasus di atas, terlihat bahwa ancaman
terhadap bangsa Indonesia tidak selalu bersifat fisik atau bersenjata, tetapi
dapat hadir dalam bentuk ideologi eksklusif, politisasi identitas, dan
diskriminasi sosial. Namun, ketika respons negara dan masyarakat didasarkan
pada prinsip keadilan, kebersamaan, dan toleransi, maka nilai Bhinneka
Tunggal Ika menjadi kekuatan strategis dalam mencegah eskalasi ancaman
menjadi disintegrasi.
Footnotes
[1]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Laporan
Tahunan 2018: Evaluasi Penanggulangan Terorisme di Indonesia (Jakarta:
BNPT, 2019), 23–25.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (Jakarta: Sekretariat Negara, 2018).
[3]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah
Kebijakan: Polarisasi Politik dan Tantangan Persatuan Bangsa (Jakarta:
LIPI, 2020), 4–5.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 269.
[5]
Komnas HAM, Laporan Situasi Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Indonesia 2020 (Jakarta: Komnas HAM, 2021), 10–13.
[6]
Wahid Institute, Toleransi dan Kebebasan
Beragama di Indonesia: Studi Kasus GKI dan HKBP (Jakarta: Wahid Foundation,
2019), 33–35.
11. Evaluasi Kritis dan Rekomendasi Strategis
Setelah menelaah berbagai bentuk ancaman terhadap kehidupan
berbangsa dan respons yang telah dilakukan oleh negara maupun masyarakat,
penting untuk melakukan evaluasi kritis terhadap efektivitas
langkah-langkah tersebut. Evaluasi ini tidak hanya bertujuan untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan, tetapi juga untuk merumuskan rekomendasi
strategis yang dapat memperkuat ketahanan nasional berbasis nilai Bhinneka
Tunggal Ika secara berkelanjutan dan inklusif.
11.1.
Evaluasi Kritis terhadap Respons
yang Telah Dijalankan
1)
Fragmentasi Koordinasi Antar-Lembaga
Meskipun
Indonesia telah memiliki berbagai institusi yang menangani ancaman nasional
(BNPT, BSSN, Kemhan, Polri, dll.), namun seringkali terjadi tumpang tindih
kewenangan dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Hal ini memperlambat
respons terhadap ancaman kompleks seperti terorisme siber atau radikalisasi
digital1.
2)
Minimnya Pendekatan Pencegahan Berbasis Komunitas
Kebijakan
negara cenderung lebih reaktif daripada preventif. Misalnya, pendekatan
kontra-radikalisasi lebih menekankan pada keamanan dan penindakan daripada
edukasi nilai dan pelibatan masyarakat lokal. Padahal, studi menunjukkan bahwa ketahanan
komunitas lokal lebih efektif dalam menangkal ekstremisme berbasis ideologi
maupun identitas2.
3)
Belum Optimalnya Pendidikan Multikultural dan Literasi Kebangsaan
Sistem
pendidikan nasional belum sepenuhnya menjadikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal
Ika sebagai landasan pedagogis yang kontekstual. Pembelajaran PPKn sering
kali bersifat kognitif dan normatif, tanpa mendorong refleksi kritis peserta
didik terhadap realitas sosial yang majemuk dan dinamis3.
4)
Ketimpangan Sosial-Ekonomi yang Belum Terselesaikan
Kesenjangan
pendapatan dan ketimpangan antarwilayah masih menjadi akar dari banyak bentuk
konflik sosial dan separatisme. Selama distribusi sumber daya tidak merata,
maka narasi kebangsaan akan selalu menghadapi tantangan dalam implementasinya
di lapangan4.
11.2.
Rekomendasi Strategis untuk
Memperkuat Ketahanan Bangsa
1)
Penguatan Sinergi Institusi melalui Manajemen Ancaman Terpadu
Pemerintah
perlu membentuk sistem manajemen ancaman nasional berbasis koordinasi
terpadu, yang menyatukan data, strategi, dan eksekusi dari berbagai
institusi. Pendekatan berbasis big data dan kolaborasi multi-sektor (termasuk
sektor swasta dan masyarakat sipil) akan mempercepat respons dan mencegah
duplikasi kebijakan5.
2)
Revitalisasi Pendidikan Kebangsaan dan Literasi Sosial
Pendidikan
kewarganegaraan perlu direformulasi menjadi pendidikan multikultural
reflektif, yang menekankan pada dialog, toleransi, dan pembelajaran
berbasis proyek sosial di komunitas. Kurikulum harus diarahkan pada
pengembangan empati, kepekaan sosial, dan semangat inklusivitas.
3)
Pemberdayaan Masyarakat Lokal sebagai Garda Terdepan Ketahanan Sosial
Program
pembangunan dan penanggulangan konflik harus berbasis kearifan lokal dan
dilakukan secara partisipatif. Pemerintah daerah, lembaga adat, tokoh agama,
dan organisasi pemuda perlu diberi ruang dan dukungan anggaran untuk menjadi
aktor utama dalam membina kohesi sosial di daerahnya.
4)
Percepatan Pemerataan Ekonomi dan Keadilan Sosial
Realisasi ekonomi
Pancasila yang inklusif harus menjadi prioritas dalam RPJMN dan kebijakan
fiskal nasional. Investasi harus diarahkan ke daerah tertinggal, penguatan UMKM
berbasis komunitas, dan peningkatan akses terhadap layanan publik yang adil dan
bermartabat6.
5)
Integrasi Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Kebijakan Publik
Nilai
kebinekaan harus menjadi indikator utama dalam evaluasi kebijakan
pemerintah—baik dalam bidang pendidikan, sosial, politik, maupun keamanan. Ini
termasuk pengawasan terhadap konten intoleran di media, penguatan regulasi
anti-diskriminasi, dan pemberian penghargaan bagi inisiatif perdamaian berbasis
komunitas.
Refleksi
Penutup Subbagian
Mewujudkan Indonesia yang aman, adil, dan bersatu
dalam keberagaman bukanlah pekerjaan instan, melainkan proyek kolektif yang
memerlukan konsistensi kebijakan, keberanian politik, dan partisipasi
masyarakat sipil. Evaluasi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia bersifat sistemik dan kompleks, sehingga hanya dapat diatasi
melalui pendekatan holistik yang menyatukan nilai ideologis, strategi
kelembagaan, dan aksi komunitas dalam satu tarikan nafas kebangsaan.
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, tetapi harus menjadi kerangka
kerja strategis nasional dalam merawat Indonesia sebagai rumah bersama yang
damai, berkeadilan, dan beradab.
Footnotes
- Andi Widjajanto, Strategi
Pertahanan Negara di Era Globalisasi (Jakarta: Lemhannas RI, 2016),
72–74.
- International Crisis Group, Indonesia:
Responding to Terrorism in Poso (Brussels: ICG, 2022), 9–10.
- H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme:
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 66.
- Faisal Basri, Kesenjangan
dan Ancaman Integrasi Nasional (Jakarta: LP3ES, 2020), 27.
- Kementerian Pertahanan RI, Buku
Putih Pertahanan Indonesia 2021 (Jakarta: Kemhan RI, 2021), 81–82.
- Sri Edi Swasono, Pancasila
Ekonomi: Gagasan dan Aktualisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007), 112–113.
12. Penutup
Ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia bersifat multidimensional, mencakup aspek ideologis,
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Di tengah
kompleksitas ancaman tersebut, nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika terbukti tetap relevan sebagai fondasi pemersatu bangsa.
Tantangan globalisasi, radikalisme, intoleransi, ketimpangan ekonomi, polarisasi
politik, hingga penetrasi budaya asing menuntut respons yang tidak hanya
bersifat teknokratis, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai ideologis
dan kebangsaan yang hidup dalam masyarakat.
Berbagai studi kasus yang dikaji dalam artikel ini
menunjukkan bahwa respons negara, meskipun sudah menunjukkan kemajuan—misalnya
melalui legislasi antiterorisme, pendidikan multikultural, atau pendekatan
dialog antaragama—masih menghadapi tantangan implementatif. Lemahnya
koordinasi kelembagaan, pendekatan yang terlalu birokratis, serta belum
meratanya pendidikan kebangsaan menjadi kendala dalam membumikan nilai Bhinneka
Tunggal Ika dalam praktik kehidupan sehari-hari1.
Oleh karena itu, penguatan ketahanan nasional
menuntut lebih dari sekadar kebijakan top-down. Ia memerlukan pembangunan
kesadaran kolektif di tingkat masyarakat akar rumput, terutama generasi
muda sebagai agen perubahan. Di sinilah pendidikan kewarganegaraan memiliki
peran transformatif, yakni tidak hanya mengajarkan hafalan tentang ideologi dan
konstitusi, tetapi membentuk karakter warga negara yang reflektif, inklusif,
dan solutif terhadap dinamika kebangsaan2.
Dalam konteks global yang penuh turbulensi, bangsa
Indonesia perlu menegaskan kembali identitas nasionalnya sebagai bangsa yang
plural, demokratis, dan berkeadaban. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah
slogan yang statis, melainkan kerangka etis dan strategis untuk
membangun harmoni sosial, mendorong keadilan ekonomi, merawat solidaritas
politik, serta menjaga integritas wilayah dalam semangat kebersamaan3.
Dengan memadukan kekuatan ideologi, perangkat
hukum, kapasitas kelembagaan, dan partisipasi masyarakat, Indonesia dapat terus
memperkuat ketahanannya dalam menghadapi berbagai ancaman. Dalam proses itu,
nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus senantiasa hadir
bukan hanya dalam wacana, tetapi juga dalam kebijakan publik, praktik
sosial, dan pendidikan nasional.
Sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, “Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai persatuan dalam keberagaman.” Maka, menjaga
Indonesia hari ini berarti merawat kebinekaan sebagai kekuatan, bukan
kelemahan, dan menjadikannya pilar untuk mewujudkan masa depan bangsa yang
adil, damai, dan bermartabat4.
Footnotes
[1]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah
Kebijakan: Polarisasi Politik dan Ketahanan Nasional (Jakarta: LIPI, 2021),
6–7.
[2]
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme dan Pendidikan
Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 55.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 263.
[4]
Soekarno, Pidato Hari Lahir Pancasila 1 Juni
1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ed. Sekretariat Negara RI
(Jakarta: Sekneg RI, 1995), 71.
Daftar Pustaka
Azyumardi, A. (2010). Identitas dan krisis
budaya: Tantangan globalisasi terhadap nasionalisme. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Azyumardi, A. (2015). Indonesia beragama: Perspektif
sosial budaya dan politik. Jakarta: Prenadamedia Group.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Laporan
penanggulangan pandemi COVID-19 2020–2022. Jakarta: BNPB.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2019). Laporan
tahunan 2018: Evaluasi penanggulangan terorisme di Indonesia. Jakarta:
BNPT.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2020). Strategi
nasional pencegahan terorisme 2020–2024. Jakarta: BNPT.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2021). Grand
design pembinaan ideologi Pancasila. Jakarta: BPIP.
Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Gini ratio
Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Badan Siber dan Sandi Negara. (2024). Laporan
keamanan siber nasional 2023. Jakarta: BSSN.
Basri, F. (2020). Kesenjangan dan ancaman
integrasi nasional. Jakarta: LP3ES.
Elisabeth, A. (2019). Separatisme dan integrasi
nasional: Studi kasus Papua. Jakarta: LIPI Press.
Hudayana, B. (2019). Resolusi konflik di
masyarakat multikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
International Crisis Group. (2022). Indonesia:
Responding to terrorism in Poso. Brussels: ICG.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Komnas HAM. (2020). Kebebasan beragama dan
toleransi dalam masyarakat majemuk. Jakarta: Komnas HAM.
Komnas HAM. (2021). Laporan situasi kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2020. Jakarta: Komnas HAM.
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.
(2021). Kajian sistem integritas politik di Indonesia. Jakarta: KPK.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2021). Buku
putih pertahanan Indonesia 2021. Jakarta: Kemhan RI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2020). Risalah
kebijakan: Polarisasi politik dan tantangan persatuan bangsa. Jakarta:
LIPI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2018). Separatisme
dan dinamika sosial politik Papua. Jakarta: LIPI Press.
Megawangi, R. (2014). Membumikan nilai-nilai
kearifan lokal dalam dunia modern. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, R. (2015). Membangun karakter bangsa
melalui kearifan lokal. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Rahakundini Bakrie, C. (2020). Paradoks militer
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Setara Institute. (2024). Kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia: Laporan tahunan 2023. Jakarta: Setara Institute.
Soekarno. (1995). Pidato Hari Lahir Pancasila 1
Juni 1945. Dalam Risalah Sidang BPUPKI (hlm. 66–75). Jakarta:
Sekretariat Negara RI.
Sri Edi Swasono. (2007). Pancasila ekonomi:
Gagasan dan aktualisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme:
Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional.
Jakarta: Grasindo.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. (2020). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018
tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. (2018). Jakarta: Sekretariat Negara.
Wahid Institute. (2019). Toleransi dan kebebasan
beragama di Indonesia: Studi kasus GKI dan HKBP. Jakarta: Wahid Foundation.
Widjajanto, A. (2016). Strategi pertahanan
negara di era globalisasi. Jakarta: Lemhannas RI.
Winters, J. A. (2013). Oligarki: Kekuasaan dan
kekayaan di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Yudi Latif. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar