Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-5: Ancaman terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Bahan Ajar PPKn

Ancaman terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Kajian Strategis dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif berbagai bentuk ancaman multidimensional yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mencakup bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Kajian ini menempatkan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai kerangka filosofis dan strategis dalam membangun ketahanan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Melalui pendekatan deskriptif-analitis, artikel ini menguraikan dinamika ancaman aktual melalui studi kasus—termasuk radikalisme, polarisasi politik, intoleransi sosial—serta mengevaluasi efektivitas respons institusional dan peran masyarakat dalam menanggulanginya. Disimpulkan bahwa implementasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, seperti toleransi, gotong royong, musyawarah, dan penghargaan atas keberagaman, merupakan strategi pencegahan yang paling mendasar dan berkelanjutan dalam menghadapi disintegrasi nasional. Artikel ini juga menawarkan rekomendasi strategis berupa revitalisasi pendidikan kebangsaan, penguatan sinergi kelembagaan, dan pemberdayaan komunitas lokal sebagai garda depan ketahanan nasional.

Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika; ancaman nasional; ketahanan bangsa; toleransi; radikalisme; pendidikan kebangsaan; integrasi sosial; Pancasila.


PEMBAHASAN

Ancaman terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


1.           Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnis, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat yang sangat kompleks. Keberagaman ini merupakan kekayaan sekaligus potensi rawan konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, ancaman terhadap kehidupan nasional tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam, mencakup berbagai aspek seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Ancaman-ancaman ini, bila tidak ditangani secara sistematis dan berkelanjutan, berpotensi mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Secara historis, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai tantangan yang menguji integrasi nasional, mulai dari pemberontakan ideologis seperti DI/TII, PRRI/Permesta, hingga separatisme Papua dan konflik horizontal bernuansa SARA. Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa keutuhan bangsa tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis dan perlu terus dipelihara melalui kesadaran kolektif dan kebijakan negara yang adaptif terhadap perubahan zaman. Sejalan dengan itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional menjadi fondasi filosofis dan ideologis dalam menjaga kohesi sosial serta integritas nasional di tengah pluralitas bangsa.

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, muncul pula bentuk-bentuk ancaman baru yang bersifat multidimensional dan kompleks. Misalnya, penyebaran paham radikal melalui media sosial, serangan siber terhadap infrastruktur strategis negara, pengaruh budaya asing yang mereduksi nilai-nilai lokal, hingga ketimpangan ekonomi yang melahirkan kecemburuan sosial. Hal ini mempertegas bahwa ancaman terhadap bangsa tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis dan struktural, yang menuntut adanya pendekatan strategis dan menyeluruh dalam penanganannya1.

Lebih lanjut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan pentingnya menjaga keutuhan dan kedaulatan negara melalui upaya bela negara yang dilakukan oleh seluruh warga negara. Dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Ketentuan ini menegaskan bahwa ketahanan nasional merupakan tanggung jawab bersama yang tidak hanya menjadi tugas TNI dan Polri, tetapi juga seluruh elemen masyarakat2.

Dalam konteks Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pembelajaran tentang ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan strategi mengatasinya memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran kewarganegaraan yang kritis, inklusif, dan solutif. Pendidikan ini bukan hanya mentransfer pengetahuan normatif, tetapi juga mendorong peserta didik untuk memahami realitas kebangsaan secara kontekstual dan reflektif. Dengan membekali generasi muda dengan pemahaman akan tantangan yang dihadapi bangsa serta cara-cara strategis untuk menghadapinya, diharapkan terbentuklah warga negara yang aktif, bertanggung jawab, dan berkomitmen terhadap persatuan nasional dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.


Footnotes

[1]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia, Strategi Pencegahan Terorisme Berbasis Kearifan Lokal (Jakarta: BNPT, 2021), 14.

[2]                Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 30 ayat (1).


2.           Landasan Konstitusional dan Ideologis dalam Menangkal Ancaman

Ketahanan nasional Indonesia dibangun atas fondasi ideologis dan konstitusional yang kokoh, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Keduanya bukan hanya menjadi dasar normatif dalam kehidupan bernegara, melainkan juga menjadi pijakan utama dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap eksistensi bangsa. Pancasila sebagai dasar negara memuat nilai-nilai universal dan integral yang mampu menjadi tameng ideologis terhadap pengaruh negatif dari luar maupun dari dalam yang berpotensi merusak integritas bangsa1.

Pancasila bukan hanya simbol persatuan, melainkan juga sistem nilai yang menanamkan prinsip toleransi, keadilan sosial, demokrasi, dan ketuhanan yang beradab. Nilai-nilai ini merupakan sarana efektif dalam menangkal ideologi transnasional seperti radikalisme keagamaan, komunisme, liberalisme ekstrem, atau sekularisme yang bertentangan dengan jati diri bangsa. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila mampu merespons dinamika zaman tanpa kehilangan substansi, sehingga menjadikannya landasan ideologis yang adaptif dan protektif terhadap perubahan sosial-politik2.

Selain itu, UUD 1945 memberikan kerangka hukum yang mengatur sistem ketatanegaraan, pembagian kekuasaan, serta hak dan kewajiban warga negara. Dalam menghadapi ancaman, konstitusi Indonesia telah menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2)), serta menegaskan hak dan kewajiban bela negara (Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1)). Pasal-pasal ini menjadi acuan legal bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat, bukan monopoli institusi pertahanan semata3.

Dalam konteks pertahanan ideologis, Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan berpendapat, tetapi dengan batasan pada ketertiban umum dan nilai-nilai Pancasila. Kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab moral dan sosial agar tidak menjadi celah bagi penyebaran ideologi yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, konstitusi Indonesia telah membangun sistem pertahanan ideologis dan sosial melalui jaminan kebebasan yang terarah pada tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia4.

Dalam perspektif kebangsaan, semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi pilar simbolik yang mendukung ideologi dan konstitusi negara. Semboyan ini bukan hanya ungkapan budaya, tetapi bagian dari narasi kebangsaan yang meneguhkan pentingnya persatuan dalam keberagaman. Ketika dihadapkan pada ancaman disintegrasi sosial atau sektarianisme, nilai Bhinneka Tunggal Ika mengingatkan bahwa pluralitas adalah realitas yang harus dijaga, bukan ditakuti atau dihindari. Oleh karena itu, semboyan ini berfungsi sebagai pengikat ideologis dan kultural dalam menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia5.

Dengan demikian, kombinasi antara ideologi Pancasila, konstitusi UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika membentuk sistem pertahanan ideologis dan konstitusional yang komprehensif. Ketiganya tidak hanya menyatukan, tetapi juga memandu arah kehidupan berbangsa dalam menghadapi ancaman multidimensi yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan integrasi bangsa.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 15.

[2]                Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantja Simbol, 1983), 45–46.

[3]                Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 ayat (1).

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2020), 88–90.

[5]                Azyumardi Azra, Indonesia: Pluralisme, Kebangsaan, dan Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Prenada Media, 2009), 37.


3.           Ancaman terhadap Ideologi Negara

Ideologi negara merupakan fondasi utama dalam membangun identitas nasional, arah kebijakan publik, dan integrasi sosial-politik suatu bangsa. Bagi Indonesia, Pancasila bukan hanya ideologi negara, tetapi juga sistem nilai yang menyatukan keragaman masyarakat dalam bingkai kebangsaan yang utuh. Oleh karena itu, setiap bentuk ancaman terhadap Pancasila harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap keutuhan NKRI. Ancaman terhadap ideologi tidak selalu berbentuk fisik atau militer, melainkan bisa bersifat halus dan sistemik, seperti penyebaran ideologi radikal, liberalisme ekstrem, sekularisme, dan komunisme gaya baru yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila1.

Salah satu bentuk ancaman ideologis yang menonjol dewasa ini adalah radikalisme dan ekstremisme keagamaan yang kerap menyusup melalui media sosial, institusi pendidikan, maupun lembaga keagamaan. Gerakan ini cenderung menolak keberagaman, menganggap Pancasila sebagai thaghut (musuh agama), dan memperjuangkan sistem khilafah sebagai pengganti sistem kenegaraan Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal kerap memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan narasi intoleran dan ajakan kekerasan berbasis agama2.

Ancaman lain datang dari ideologi transnasional yang mengusung paham-paham yang tidak sesuai dengan nilai kebangsaan Indonesia, seperti kapitalisme global yang menekankan individualisme dan materialisme ekstrem, atau komunisme modern yang mengaburkan nilai ketuhanan dan hak milik pribadi. Ideologi-ideologi ini secara perlahan dapat mereduksi semangat gotong royong, keadilan sosial, dan solidaritas yang menjadi jiwa dari Pancasila3.

Selain itu, penyalahgunaan kebebasan berekspresi juga dapat menjadi saluran bagi masuknya ancaman terhadap ideologi negara. Pasal 28 UUD 1945 memang menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh ketertiban umum dan penghormatan terhadap hak orang lain. Dalam praktiknya, media sosial kerap digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, serta propaganda ideologis yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan literasi digital dan pendidikan karakter di kalangan generasi muda4.

Untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap Pancasila, negara perlu menerapkan strategi deradikalisasi, penguatan wawasan kebangsaan, dan revitalisasi pendidikan ideologi. Dalam konteks pendidikan, pembelajaran PPKn diharapkan tidak sekadar menyampaikan teori, tetapi juga menumbuhkan pemahaman reflektif dan sikap aktif dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan. Sementara itu, lembaga negara seperti BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT, dan Kemenko Polhukam perlu bersinergi dalam menangkal propaganda ideologi alternatif yang destruktif terhadap kedaulatan negara5.

Yang tak kalah penting, peran masyarakat sipil juga harus diperkuat dalam menjaga ideologi negara. Organisasi kemasyarakatan, tokoh agama, tokoh adat, serta media massa memiliki andil besar dalam membumikan kembali nilai-nilai Pancasila secara kontekstual di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks. Dengan kolaborasi lintas sektor ini, ancaman terhadap ideologi negara dapat dicegah sejak dini melalui pendekatan yang bersifat edukatif, persuasif, dan konstruktif.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 22.

[2]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia, Laporan Akhir: Strategi Penanggulangan Radikalisme di Lingkungan Pendidikan (Jakarta: BNPT, 2020), 19–21.

[3]                Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam: Menjawab Tantangan Modernitas dan Globalisasi (Bandung: Mizan, 2005), 134.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kebebasan Beragama (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), 106.

[5]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Grand Design Pembinaan Ideologi Pancasila (Jakarta: BPIP, 2021), 38–41.


4.           Ancaman di Bidang Politik

Stabilitas politik merupakan syarat utama bagi terselenggaranya pemerintahan yang efektif, pembangunan nasional yang berkelanjutan, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Namun, dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi yang multikultural, ancaman di bidang politik dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari disintegrasi politik, polarisasi ideologis, hingga penyalahgunaan kekuasaan dan praktik politik identitas yang menggerus nilai-nilai demokrasi substansial dan persatuan nasional.

4.1.       Disintegrasi Politik dan Separatisme

Salah satu bentuk ancaman politik yang paling nyata adalah gerakan separatis yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasus Papua merupakan contoh klasik dari problem politik yang kompleks karena menyangkut sejarah, marginalisasi ekonomi, dan tuntutan otonomi yang belum sepenuhnya terpenuhi. Separatisme bukan hanya persoalan keamanan, melainkan juga masalah kegagalan politik dalam membangun dialog yang inklusif dan adil1.

Gerakan separatis tersebut mengancam keutuhan nasional karena mendelegitimasi ide Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar persatuan dalam keberagaman. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan dan kesetaraan politik di daerah-daerah pinggiran, rasa keterasingan dan ketidakpercayaan kepada pusat kekuasaan tumbuh subur, yang pada akhirnya menjadi lahan subur bagi disintegrasi2.

4.2.       Polarisasi Politik dan Erosi Etika Demokrasi

Era digital dan keterbukaan informasi juga membawa tantangan serius dalam bentuk polarisasi politik yang tajam, khususnya menjelang dan pasca pemilu. Politik identitas dan kampanye berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sering kali digunakan sebagai strategi elektoral yang menciptakan fragmentasi sosial dan mencederai semangat kebhinekaan. Polarisasi ini tidak hanya terjadi di kalangan elit politik, tetapi juga merambah ke masyarakat akar rumput, termasuk pelajar dan mahasiswa3.

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kecenderungan masyarakat yang terbelah secara politik semakin nyata sejak pemilu 2014 dan 2019, di mana perbedaan pilihan politik kerap dikapitalisasi untuk memperkuat loyalitas sektarian. Hal ini berpotensi mengikis fondasi kebangsaan dan memperlemah semangat deliberasi dalam demokrasi4.

4.3.       Penyalahgunaan Kekuasaan dan Lemahnya Akuntabilitas

Ancaman lain yang tidak kalah penting adalah praktik korupsi politik, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya sistem akuntabilitas lembaga negara. Ketika lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak menjalankan fungsi checks and balances secara optimal, maka kepercayaan publik terhadap sistem politik menurun drastis. Korupsi politik tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai legitimasi pemerintahan dan memperkuat apatisme politik masyarakat5.

4.4.       Strategi Menangkal Ancaman Politik

Untuk menghadapi berbagai ancaman di bidang politik, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan partisipatif. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme demokrasi deliberatif, memperluas ruang dialog antar kelompok politik dan sosial, serta mengedepankan prinsip good governance. Pendidikan politik bagi masyarakat, khususnya generasi muda, juga harus diarahkan pada penguatan etika politik, nilai kebangsaan, dan keterampilan berpartisipasi secara konstruktif dalam kehidupan demokratis.

Peran pendidikan kewarganegaraan sangat strategis dalam hal ini. Melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), peserta didik dapat dikembangkan kesadaran politik yang sehat dan bertanggung jawab—yakni politik yang tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi juga meneguhkan cita-cita kebangsaan yang dilandasi oleh Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.


Footnotes

[1]                Adriana Elisabeth, Separatisme dan Integrasi Nasional: Studi Kasus Papua (Jakarta: LIPI Press, 2019), 63–65.

[2]                Saldi Isra, Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi dalam Politik Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2017), 144.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 273.

[4]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah Kebijakan: Polarisasi Politik dan Tantangan Persatuan Bangsa (Jakarta: LIPI, 2020), 6.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kajian Sistem Integritas Politik di Indonesia (Jakarta: KPK, 2021), 11–13.


5.           Ancaman di Bidang Ekonomi

Stabilitas dan keadilan ekonomi merupakan fondasi penting bagi keberlangsungan suatu bangsa. Ketika kesenjangan ekonomi meningkat dan akses terhadap sumber daya tidak merata, maka potensi konflik sosial dan disintegrasi nasional pun ikut meningkat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan keberagaman suku, agama, dan daerah, persoalan ekonomi yang tidak terkelola dengan baik berpotensi menjadi ancaman serius terhadap kesatuan dan persatuan nasional.

5.1.       Kesenjangan Ekonomi dan Ketimpangan Distribusi Kekayaan

Salah satu ancaman utama dalam bidang ekonomi adalah ketimpangan ekonomi yang nyata antar daerah maupun antar kelompok sosial. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks Gini—yang mengukur ketimpangan pendapatan—masih relatif tinggi dan cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir1. Ketimpangan ini menimbulkan rasa ketidakadilan, khususnya di daerah-daerah yang merasa terpinggirkan dalam pembangunan nasional, seperti wilayah Indonesia Timur. Ketimpangan semacam ini dapat memicu frustrasi sosial dan memperbesar jurang antara pusat dan daerah, yang pada akhirnya bisa berkembang menjadi gerakan separatis atau konflik horizontal2.

5.2.       Ketergantungan terhadap Asing dan Globalisasi Ekonomi

Ancaman lain dalam bidang ekonomi adalah ketergantungan terhadap ekonomi global, khususnya dalam sektor strategis seperti energi, pangan, dan teknologi. Ketika perekonomian nasional terlalu tergantung pada investasi asing dan ekspor komoditas mentah, maka daya tawar negara dalam menentukan arah kebijakan ekonomi menjadi lemah. Globalisasi ekonomi yang tidak disertai dengan penguatan ekonomi domestik juga membuka celah bagi dominasi korporasi multinasional yang dapat merusak kedaulatan ekonomi nasional3.

Dalam konteks ini, agenda ekonomi kerakyatan sebagaimana dicita-citakan dalam sila kelima Pancasila—“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”—belum sepenuhnya terwujud. Ketika orientasi ekonomi terlalu liberal dan terpusat pada pertumbuhan semata tanpa pemerataan, maka Pancasila sebagai ideologi ekonomi pun kehilangan makna praksisnya4.

5.3.       Krisis Ekonomi dan Dampaknya terhadap Ketahanan Nasional

Krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal (seperti pandemi global atau konflik geopolitik), dapat melemahkan ketahanan nasional. Dampak langsung dari krisis ini adalah meningkatnya pengangguran, kemiskinan, inflasi, serta keresahan sosial. Sejarah mencatat bahwa krisis moneter 1997–1998 di Indonesia tidak hanya menyebabkan keruntuhan ekonomi, tetapi juga melahirkan krisis politik dan kerusuhan sosial yang nyaris mengoyak keutuhan bangsa5. Ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi tidak bisa dilepaskan dari stabilitas politik dan sosial secara keseluruhan.

5.4.       Strategi Penguatan Ketahanan Ekonomi Nasional

Menghadapi ancaman-ancaman ekonomi tersebut, negara perlu menerapkan strategi yang menyeluruh dan berbasis keadilan. Di antaranya adalah:

·                     Mendorong ekonomi inklusif dan pembangunan berbasis wilayah.

·                     Memperkuat kedaulatan pangan dan energi sebagai prioritas strategis.

·                     Memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

·                     Menumbuhkan semangat kewirausahaan sosial yang berpihak kepada masyarakat kecil.

Di samping itu, pendidikan kewarganegaraan harus turut menginternalisasikan nilai-nilai ekonomi Pancasila dalam pembelajaran, agar generasi muda memiliki kesadaran ekonomi yang berkeadilan, mandiri, dan berwawasan kebangsaan.

Dengan menempatkan pembangunan ekonomi dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, maka kebijakan ekonomi tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga memperhatikan pemerataan dan keadilan sosial sebagai prasyarat menjaga kesatuan bangsa.


Footnotes

[1]                Badan Pusat Statistik, Indeks Gini Ratio Indonesia 2023 (Jakarta: BPS, 2024), 3–4.

[2]                Faisal Basri, Kesenjangan dan Ancaman Integrasi Nasional (Jakarta: LP3ES, 2020), 27.

[3]                Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan: Tantangan Globalisasi Ekonomi (Jakarta: UI Press, 2004), 114–116.

[4]                Sri Edi Swasono, Pancasila Ekonomi: Gagasan dan Aktualisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 54.

[5]                Jeffrey A. Winters, Oligarki: Kekuasaan dan Kekayaan di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), 89–91.


6.           Ancaman di Bidang Sosial dan Budaya

Dalam negara multikultural seperti Indonesia, stabilitas sosial dan kelestarian budaya menjadi aspek vital dalam mempertahankan keutuhan nasional. Keberagaman suku, agama, adat istiadat, dan bahasa bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga fondasi sosial yang memperkaya identitas bangsa. Namun, keberagaman ini juga menyimpan potensi konflik apabila tidak dijaga melalui prinsip keadilan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam hal ini, bidang sosial dan budaya menjadi salah satu ruang strategis yang rentan terhadap berbagai bentuk ancaman.

6.1.       Konflik Sosial dan Intoleransi

Salah satu bentuk ancaman paling nyata di bidang sosial adalah konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan identitas, seperti suku, agama, atau status sosial. Berbagai konflik komunal yang terjadi di Ambon, Poso, dan Papua merupakan contoh historis betapa perbedaan yang tidak dikelola dengan bijak dapat meletup menjadi kekerasan berskala besar. Konflik semacam ini melemahkan kohesi sosial dan berpotensi menciptakan luka kolektif yang berkepanjangan1.

Bersamaan dengan itu, meningkatnya intoleransi antarumat beragama juga mengkhawatirkan. Laporan Setara Institute mencatat bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih terjadi, terutama terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sering menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan2. Fenomena ini mengancam sendi-sendi Bhinneka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi prinsip keberagaman dalam persatuan.

6.2.       Krisis Identitas dan Penurunan Solidaritas Sosial

Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, generasi muda semakin terpapar oleh budaya global yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai lokal. Hal ini memunculkan krisis identitas kultural, di mana masyarakat, khususnya generasi muda, mulai kehilangan keterikatan terhadap nilai-nilai budaya bangsa seperti gotong royong, tepa salira, dan musyawarah. Fenomena ini juga berkorelasi dengan melemahnya solidaritas sosial dan meningkatnya sikap individualistik3.

Menurut Azyumardi Azra, jika krisis identitas tidak segera diatasi, maka generasi muda berisiko tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri dan menjadi “kosmopolitan tanpa akar”—yakni generasi yang kehilangan arah dan pijakan dalam kehidupan sosial-budaya mereka4.

6.3.       Pengaruh Budaya Asing dan Komersialisasi Nilai

Ancaman lainnya adalah penetrasi budaya asing yang masuk melalui media, hiburan, dan produk gaya hidup. Budaya konsumtif, hedonisme, serta gaya hidup instan dan materialistik mulai menggeser orientasi hidup masyarakat, menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Selain itu, banyak kebudayaan lokal yang mulai terpinggirkan oleh industri budaya global, yang lebih menonjolkan aspek komersial daripada substansi nilai5.

Jika tidak ada upaya serius untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, maka budaya bangsa akan kehilangan relevansinya di mata generasi penerus. Ini merupakan ancaman jangka panjang yang bersifat ideologis dan eksistensial.

6.4.       Strategi Penguatan Sosial Budaya Berbasis Nilai Kebangsaan

Untuk mengatasi berbagai ancaman sosial dan budaya, diperlukan pendekatan kultural dan edukatif yang bersifat partisipatif dan kontekstual. Strategi yang dapat ditempuh antara lain:

·                     Mengembangkan pendidikan multikultural dan toleransi sejak dini.

·                     Mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

·                     Mendorong revitalisasi seni, tradisi, dan bahasa daerah sebagai warisan budaya bangsa.

·                     Mengembangkan media dan konten digital yang mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dan kesetaraan.

Lebih dari itu, pendidikan PPKn harus membekali peserta didik dengan kesadaran kritis terhadap bahaya perpecahan sosial dan hilangnya jati diri budaya. Dengan demikian, nilai Bhinneka Tunggal Ika dapat diwujudkan bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai realitas sosial yang hidup dalam praktik kehidupan berbangsa.


Footnotes

[1]                Bambang Sulistyo, Potret Konflik Sosial di Indonesia (Jakarta: Komnas HAM, 2015), 51–54.

[2]                Setara Institute, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: Setara Institute, 2024), 7–10.

[3]                Komaruddin Hidayat, Psikologi Kebudayaan dan Pendidikan Karakter (Jakarta: Erlangga, 2012), 122.

[4]                Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Tantangan Globalisasi terhadap Nasionalisme (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), 18.

[5]                Ratna Megawangi, Membumikan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Dunia Modern (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2014), 67.


7.           Ancaman di Bidang Pertahanan dan Keamanan

Pertahanan dan keamanan merupakan aspek krusial dalam menjamin eksistensi dan kelangsungan hidup suatu negara. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, plural, dan memiliki posisi strategis secara geopolitik, tantangan di bidang pertahanan dan keamanan tidak hanya bersifat militer, tetapi juga non-militer, bahkan hibrida—menggabungkan ancaman fisik, ideologis, siber, dan sosial. Mengabaikan dinamika ini dapat melemahkan daya tahan bangsa dan membuka celah terhadap gangguan dari dalam maupun luar negeri.

7.1.       Ancaman Militer dan Separatisme Bersenjata

Ancaman konvensional terhadap pertahanan nasional masih aktual, terutama dalam bentuk separatisme bersenjata. Di Papua, misalnya, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) masih aktif melakukan serangan terhadap aparat keamanan dan warga sipil, serta menyuarakan pemisahan dari NKRI. Aksi-aksi ini menunjukkan bahwa kekuatan bersenjata non-negara masih menjadi tantangan serius terhadap stabilitas wilayah dan otoritas negara1.

Selain itu, posisi geografis Indonesia yang berbatasan langsung dengan banyak negara menjadikannya rawan terhadap infiltrasi militer, penyelundupan senjata, dan konflik perbatasan. Persoalan di Laut Natuna Utara terkait klaim sepihak Tiongkok melalui nine-dash line adalah bukti bahwa ancaman terhadap kedaulatan wilayah tidak dapat dipandang remeh2.

7.2.       Ancaman Non-Militer: Terorisme, Narkotika, dan Kejahatan Siber

Dalam beberapa dekade terakhir, terorisme menjadi ancaman nyata yang menargetkan simbol-simbol negara dan tempat publik. Serangan Bom Bali (2002), aksi JAD di Surabaya (2018), serta berbagai peristiwa lainnya menunjukkan bahwa jaringan teror di Indonesia masih aktif, dengan ideologi transnasional dan kemampuan memanfaatkan ruang digital3. Selain itu, Indonesia menjadi koridor perdagangan narkotika internasional, yang tidak hanya merusak generasi muda tetapi juga melemahkan ketahanan sosial dan ekonomi bangsa4.

Tak kalah penting adalah ancaman keamanan siber. Di era digital, serangan terhadap sistem teknologi informasi—termasuk lembaga pemerintah, perbankan, dan pertahanan—berpotensi melumpuhkan fungsi negara. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat jutaan serangan siber setiap tahun yang mengincar infrastruktur kritis nasional5.

7.3.       Ancaman Hibrida dan Politisasi Keamanan

Ancaman modern tidak lagi terpisah antara militer dan non-militer, tetapi cenderung hibrida, yakni gabungan dari berbagai bentuk gangguan yang saling terkait. Contohnya adalah operasi informasi yang menyebarkan hoaks dan propaganda untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, memecah belah masyarakat, serta menciptakan instabilitas politik dalam negeri. Ancaman ini sangat kompleks karena dapat bersumber dari aktor negara maupun non-negara, dan sulit dideteksi secara konvensional6.

Selain itu, dalam beberapa kasus, terjadi politisasi terhadap isu keamanan di mana persoalan pertahanan digunakan sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini dapat menurunkan profesionalisme institusi keamanan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat negara.

7.4.       Strategi Penguatan Ketahanan Pertahanan dan Keamanan

Untuk menghadapi kompleksitas ancaman di bidang ini, Indonesia mengembangkan konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang menekankan pada sinergi antara TNI, Polri, dan partisipasi warga negara. Konsep ini merupakan refleksi dari nilai gotong royong dan semangat kebangsaan yang selaras dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika7.

Beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat antara lain:

·                     Modernisasi alutsista dan sistem komando pertahanan.

·                     Penguatan sistem intelijen nasional dan keamanan siber.

·                     Pendidikan bela negara yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

·                     Peningkatan kesejahteraan aparat dan profesionalisme institusi keamanan.

Dengan pertahanan yang kuat dan keamanan yang responsif, bangsa Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan zaman, baik yang bersifat terbuka maupun tersembunyi.


Footnotes

[1]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Separatisme dan Dinamika Sosial Politik Papua (Jakarta: LIPI Press, 2018), 37.

[2]                Connie Rahakundini Bakrie, Paradoks Militer Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2020), 114.

[3]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Strategi Nasional Pencegahan Terorisme 2020–2024 (Jakarta: BNPT, 2020), 23–25.

[4]                Badan Narkotika Nasional, Laporan Tahunan BNN 2023 (Jakarta: BNN, 2024), 18.

[5]                Badan Siber dan Sandi Negara, Laporan Keamanan Siber Nasional 2023 (Jakarta: BSSN, 2024), 6–7.

[6]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara di Era Globalisasi (Jakarta: Lemhannas RI, 2016), 78.

[7]                Kementerian Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2021 (Jakarta: Kemhan RI, 2021), 49–50.


8.           Peran Masyarakat dan Institusi Negara dalam Mengatasi Ancaman

Menangkal ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya menjadi tanggung jawab negara sebagai pemegang otoritas, tetapi juga merupakan kewajiban seluruh elemen masyarakat. Konsep pertahanan dan ketahanan nasional Indonesia menempatkan rakyat sebagai bagian integral dari sistem keamanan nasional. Hal ini selaras dengan prinsip demokrasi Pancasila yang menekankan partisipasi rakyat dalam setiap aspek kehidupan bernegara, termasuk dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

8.1.       Peran Masyarakat Sipil: Kekuatan Sosial dalam Menjaga Integrasi Bangsa

Masyarakat memiliki posisi strategis dalam menciptakan ketahanan sosial dan budaya. Melalui peran-peran yang dijalankan oleh organisasi kemasyarakatan, komunitas lokal, tokoh agama, tokoh adat, serta media sosial, masyarakat dapat:

·                     Menyebarluaskan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi,

·                     Menjadi garda terdepan dalam mencegah radikalisme dan ekstremisme,

·                     Menginisiasi forum-forum dialog antaragama, antarsuku, dan antarbudaya untuk memperkuat semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani yang kuat adalah prasyarat penting bagi demokrasi dan stabilitas nasional yang berkelanjutan1. Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan, literasi digital, dan penguatan nilai lokal berperan besar dalam membangun masyarakat yang resilien terhadap pengaruh destruktif, baik dari dalam maupun luar.

8.2.       Peran Institusi Negara: Fungsi Protektif, Koordinatif, dan Edukatif

Institusi negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Peran institusi negara dalam menghadapi ancaman mencakup beberapa aspek berikut:

8.2.1.    TNI dan Polri

TNI bertugas menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negara dari ancaman militer dan strategis, sementara Polri menjalankan peran penting dalam menjaga ketertiban umum, menanggulangi kriminalitas, dan melawan terorisme. Kedua institusi ini juga terlibat dalam pembinaan bela negara dan penanggulangan bencana, serta menjaga stabilitas saat terjadi konflik sosial2.

8.2.2.    Kementerian dan Lembaga Negara

Kementerian Pertahanan (Kemhan), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Negara (BIN) adalah aktor utama dalam menyusun kebijakan nasional terhadap berbagai ancaman kontemporer. Mereka memiliki fungsi strategis dalam:

·                     Mendeteksi dini dan merespons ancaman (early warning system),

·                     Menyusun kebijakan pencegahan,

·                     Menjalin kerja sama internasional dalam keamanan global3.

8.2.3.    Lembaga Pendidikan dan BPIP

Lembaga pendidikan memegang peran kunci dalam penguatan kesadaran ideologis dan kebangsaan generasi muda. Melalui kurikulum yang mencakup Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), siswa dibina untuk mengenal potensi ancaman, serta diajak untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa yang damai dan produktif. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) turut berkontribusi dalam menyusun narasi kebangsaan yang aktual dan inklusif, serta menyelaraskan nilai-nilai Pancasila dengan dinamika masyarakat modern4.

8.3.       Sinergi Negara dan Masyarakat: Model Ketahanan Semesta

Keberhasilan dalam menangani ancaman menuntut adanya sinergi antara masyarakat dan negara dalam bingkai ketahanan nasional. Konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945, menegaskan bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab seluruh rakyat, yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terintegrasi antara kekuatan militer dan non-militer5.

Dalam praktiknya, sinergi ini memerlukan:

·                     Pelibatan masyarakat dalam perumusan dan evaluasi kebijakan keamanan,

·                     Transparansi informasi dan akuntabilitas institusi negara,

·                     Peningkatan kesejahteraan sosial sebagai prasyarat stabilitas nasional.

Dengan kolaborasi yang solid antara rakyat dan negara, Indonesia dapat membangun ketahanan nasional yang bersifat multidimensi, tangguh menghadapi ancaman, serta tetap berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Indonesia Beragama: Perspektif Sosial Budaya dan Politik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 58.

[2]                Kementerian Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2021 (Jakarta: Kemhan RI, 2021), 37–40.

[3]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Strategi Nasional Pencegahan Terorisme 2020–2024 (Jakarta: BNPT, 2020), 12.

[4]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Grand Design Pembinaan Ideologi Pancasila (Jakarta: BPIP, 2021), 15–17.

[5]                Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: MPR RI, 2020), Pasal 30 ayat (1)–(2).


9.           Implementasi Nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai Strategi Pencegahan

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang secara harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, bukan sekadar slogan simbolik, melainkan juga fondasi filosofis dan kultural bangsa Indonesia dalam mengelola keberagaman. Dalam konteks ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika memiliki daya cegah (preventif) yang kuat, terutama dalam meredam potensi disintegrasi, konflik sosial, dan polarisasi ideologis yang berakar pada perbedaan identitas.

9.1.       Toleransi dan Pengakuan atas Keberagaman

Salah satu nilai utama dari Bhinneka Tunggal Ika adalah toleransi, yaitu sikap menghormati dan menerima perbedaan sebagai bagian dari identitas kolektif bangsa. Toleransi ini bukan hanya bersifat pasif, melainkan aktif—ditunjukkan melalui praktik hidup berdampingan secara damai meskipun memiliki latar belakang agama, budaya, bahasa, atau suku yang berbeda. Sejarah mencatat bahwa Indonesia mampu bertahan sebagai negara majemuk karena masyarakatnya menjunjung tinggi nilai toleransi, seperti yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Bali, Yogyakarta, hingga Ambon pasca-konflik1.

Dalam dimensi kenegaraan, toleransi ini juga diakomodasi oleh sistem hukum dan kebijakan publik, seperti pengakuan terhadap enam agama resmi dan perlindungan hak minoritas dalam konstitusi. Toleransi yang dilandasi oleh semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi pagar ideologis yang menghambat masuknya radikalisme, sektarianisme, dan gerakan eksklusivisme identitas2.

9.2.       Gotong Royong dan Solidaritas Sosial

Nilai gotong royong sebagai warisan budaya bangsa juga merupakan manifestasi nyata dari semangat kebhinekaan. Gotong royong menciptakan solidaritas antarwarga negara, menguatkan kohesi sosial, serta menjadi modal sosial dalam menghadapi bencana, krisis, dan ancaman keamanan. Ketika masyarakat bersatu dalam menghadapi pandemi COVID-19, misalnya, tercermin jelas bagaimana gotong royong berperan dalam mengorganisasi bantuan sosial, pendidikan daring, hingga vaksinasi massal3.

Nilai ini sangat penting dalam konteks strategi pencegahan karena mendorong partisipasi kolektif dalam menyelesaikan masalah bersama. Ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari sistem sosial yang saling menopang, maka mereka tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA atau kepentingan politik yang memecah belah.

9.3.       Musyawarah dan Demokrasi Konsensual

Bhinneka Tunggal Ika juga mendorong praktik musyawarah mufakat, yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan dialog, kesetaraan, dan pencapaian konsensus. Dalam masyarakat yang majemuk, musyawarah menjadi pendekatan kultural yang efektif untuk meredam konflik dan menghindari dominasi mayoritas terhadap kelompok minoritas4.

Prinsip ini penting diterapkan dalam sistem demokrasi Indonesia agar tidak terjebak pada mekanisme mayoritarianisme semata, yang bisa mengancam kebersamaan nasional. Musyawarah menciptakan ruang deliberatif yang menghargai semua suara, dan menjadi strategi politik yang etis dalam menyikapi perbedaan.

9.4.       Pendidikan Multikultural dan Internalisasi Nilai

Implementasi nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi pencegahan juga harus menyentuh sektor pendidikan. Pendidikan multikultural menjadi sarana utama untuk menanamkan nilai-nilai kebhinekaan sejak dini kepada generasi muda. Kurikulum yang mencakup sejarah kebangsaan, keragaman budaya, dan nilai toleransi akan membentuk karakter peserta didik yang terbuka, inklusif, dan sadar akan pentingnya persatuan dalam keberagaman5.

Pendidikan kewarganegaraan (PPKn) harus bertransformasi dari sekadar pendidikan normatif menjadi pendidikan reflektif yang membangun kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan dan fasilitator dialog antarbudaya di lingkungan sekolah.

9.5.       Revitalisasi Nilai Lokal dan Budaya Nusantara

Untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi preventif yang efektif, perlu dilakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai lokal dan budaya nusantara. Banyak kearifan lokal seperti mapalus di Minahasa, sasi di Maluku, subak di Bali, atau besik di Lampung mengandung filosofi harmoni sosial dan tanggung jawab kolektif yang sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Kearifan ini harus diangkat kembali ke dalam ruang publik melalui festival budaya, media massa, dan kurikulum pendidikan daerah6.

Kebijakan negara juga harus memfasilitasi pelestarian budaya lokal, bahasa daerah, dan praktik tradisional sebagai bagian dari integrasi nasional. Ketika identitas lokal diakui dan dilindungi, maka potensi konflik akibat marginalisasi budaya dapat ditekan secara signifikan.


Penutup Subbagian

Dengan demikian, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebagai simbol kesatuan, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa. Melalui penguatan toleransi, solidaritas, musyawarah, pendidikan multikultural, dan revitalisasi budaya lokal, Indonesia dapat membangun ketahanan nasional yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga kokoh secara kultural dan moral. Inilah fondasi kehidupan berbangsa yang inklusif dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Bambang Hudayana, Resolusi Konflik di Masyarakat Multikultur (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2019), 88.

[2]                Komnas HAM, Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: Komnas HAM, 2020), 12–14.

[3]                Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Laporan Penanggulangan Pandemi COVID-19 2020–2022 (Jakarta: BNPB, 2023), 43.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 115.

[5]                Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 42–44.

[6]                Ratna Megawangi, Membangun Karakter Bangsa melalui Kearifan Lokal (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2015), 63–64.


10.       Studi Kasus Ancaman dan Respons Strategis

Untuk memahami dinamika ancaman terhadap kehidupan berbangsa secara konkret, diperlukan telaah terhadap sejumlah studi kasus nyata yang pernah menguji daya tahan ideologi, persatuan, dan sistem politik Indonesia. Kajian ini bertujuan tidak hanya untuk menganalisis pola ancaman, tetapi juga untuk menilai efektivitas respons strategis yang ditempuh oleh negara dan masyarakat. Berikut ini dipaparkan tiga kasus penting yang mencerminkan spektrum ancaman multidimensi dan respons strategisnya dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.

10.1.    Kasus Radikalisme dan Terorisme: Aksi Bom Surabaya 2018

Pada 13 Mei 2018, Indonesia diguncang aksi terorisme berupa pengeboman tiga gereja di Surabaya, yang dilakukan oleh satu keluarga (orang tua dan anak-anak). Aksi ini menjadi titik balik karena menunjukkan bahwa jaringan teror telah mengeksploitasi institusi keluarga dan anak sebagai alat kekerasan. Serangan ini dilakukan oleh simpatisan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS1.

Ancaman:

Kasus ini mengungkap ancaman ideologi transnasional berbasis kekerasan yang menyusup melalui pengaruh digital, lingkungan sosial tertutup, dan minimnya literasi keagamaan. Selain menyerang institusi keagamaan, aksi ini mencederai sendi kebinekaan dan harmoni sosial antarumat beragama.

Respons Strategis:

Pemerintah segera mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU No. 5 Tahun 2018, yang memperluas kewenangan aparat untuk mencegah dan menindak jaringan terorisme2. Di sisi lain, lembaga seperti BNPT memperkuat program deradikalisasi berbasis keluarga, sekolah, dan komunitas lokal. Masyarakat sipil juga merespons dengan kampanye solidaritas lintas agama, menunjukkan bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika mampu menjadi benteng ideologis dalam situasi krisis.

10.2.    Kasus Polarisasi Politik: Pilpres 2019 dan Politik Identitas

Pemilu Presiden 2019 mencatat tingkat partisipasi tinggi namun juga memunculkan polarisasi politik berbasis identitas. Kampanye yang sarat dengan narasi keagamaan dan simbol-simbol primordial telah membelah masyarakat menjadi dua kutub ekstrem, yang berlanjut pasca-pemilu dalam bentuk ujaran kebencian, disinformasi, dan persekusi di media sosial3.

Ancaman:

Polarisasi ini tidak hanya mengganggu kehidupan demokrasi, tetapi juga mengancam kohesi sosial, terutama ketika perbedaan politik dilihat sebagai permusuhan identitas. Politik identitas memperlemah prinsip musyawarah dan mengikis penghargaan terhadap perbedaan dalam bingkai kebangsaan.

Respons Strategis:

KPU, Bawaslu, dan berbagai elemen masyarakat mengintensifkan literasi pemilu damai, serta penguatan aturan kampanye berbasis etika. Selain itu, para tokoh agama dan pemuda lintas organisasi menginisiasi dialog kebangsaan untuk meredakan tensi politik. Strategi ini menegaskan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip demokrasi inklusif yang mendorong kesetaraan dalam perbedaan4.

10.3.    Kasus Intoleransi dan Kriminalisasi Identitas: Penolakan Rumah Ibadah Minoritas

Di beberapa wilayah, terjadi penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas, seperti kasus penolakan pembangunan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi dan GKI Yasmin di Bogor. Kedua kasus ini berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang tuntas, dan menjadi sorotan nasional maupun internasional mengenai pelanggaran kebebasan beragama5.

Ancaman:

Penolakan ini menunjukkan adanya intoleransi sosial dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam praktik. Jika dibiarkan, hal ini dapat memicu konflik horizontal dan mencederai prinsip negara hukum yang menjamin kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E dan 29.

Respons Strategis:

Respons dari Komnas HAM, Mahkamah Agung, serta pemerintah pusat telah menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus dilindungi secara konstitusional. Meski demikian, implementasi kebijakan di daerah sering menghadapi resistensi sosial. Oleh karena itu, respons strategis kini difokuskan pada edukasi masyarakat, pembinaan tokoh lokal, dan penegakan hukum berbasis HAM untuk memastikan prinsip Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana, tetapi realitas yang melindungi setiap warga negara6.


Refleksi Umum

Dari ketiga kasus di atas, terlihat bahwa ancaman terhadap bangsa Indonesia tidak selalu bersifat fisik atau bersenjata, tetapi dapat hadir dalam bentuk ideologi eksklusif, politisasi identitas, dan diskriminasi sosial. Namun, ketika respons negara dan masyarakat didasarkan pada prinsip keadilan, kebersamaan, dan toleransi, maka nilai Bhinneka Tunggal Ika menjadi kekuatan strategis dalam mencegah eskalasi ancaman menjadi disintegrasi.


Footnotes

[1]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Laporan Tahunan 2018: Evaluasi Penanggulangan Terorisme di Indonesia (Jakarta: BNPT, 2019), 23–25.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Sekretariat Negara, 2018).

[3]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah Kebijakan: Polarisasi Politik dan Tantangan Persatuan Bangsa (Jakarta: LIPI, 2020), 4–5.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 269.

[5]                Komnas HAM, Laporan Situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2020 (Jakarta: Komnas HAM, 2021), 10–13.

[6]                Wahid Institute, Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus GKI dan HKBP (Jakarta: Wahid Foundation, 2019), 33–35.


11.       Evaluasi Kritis dan Rekomendasi Strategis

Setelah menelaah berbagai bentuk ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan respons yang telah dilakukan oleh negara maupun masyarakat, penting untuk melakukan evaluasi kritis terhadap efektivitas langkah-langkah tersebut. Evaluasi ini tidak hanya bertujuan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, tetapi juga untuk merumuskan rekomendasi strategis yang dapat memperkuat ketahanan nasional berbasis nilai Bhinneka Tunggal Ika secara berkelanjutan dan inklusif.

11.1.    Evaluasi Kritis terhadap Respons yang Telah Dijalankan

1)                  Fragmentasi Koordinasi Antar-Lembaga

Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai institusi yang menangani ancaman nasional (BNPT, BSSN, Kemhan, Polri, dll.), namun seringkali terjadi tumpang tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Hal ini memperlambat respons terhadap ancaman kompleks seperti terorisme siber atau radikalisasi digital1.

2)                  Minimnya Pendekatan Pencegahan Berbasis Komunitas

Kebijakan negara cenderung lebih reaktif daripada preventif. Misalnya, pendekatan kontra-radikalisasi lebih menekankan pada keamanan dan penindakan daripada edukasi nilai dan pelibatan masyarakat lokal. Padahal, studi menunjukkan bahwa ketahanan komunitas lokal lebih efektif dalam menangkal ekstremisme berbasis ideologi maupun identitas2.

3)                  Belum Optimalnya Pendidikan Multikultural dan Literasi Kebangsaan

Sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya menjadikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan pedagogis yang kontekstual. Pembelajaran PPKn sering kali bersifat kognitif dan normatif, tanpa mendorong refleksi kritis peserta didik terhadap realitas sosial yang majemuk dan dinamis3.

4)                  Ketimpangan Sosial-Ekonomi yang Belum Terselesaikan

Kesenjangan pendapatan dan ketimpangan antarwilayah masih menjadi akar dari banyak bentuk konflik sosial dan separatisme. Selama distribusi sumber daya tidak merata, maka narasi kebangsaan akan selalu menghadapi tantangan dalam implementasinya di lapangan4.

11.2.    Rekomendasi Strategis untuk Memperkuat Ketahanan Bangsa

1)                  Penguatan Sinergi Institusi melalui Manajemen Ancaman Terpadu

Pemerintah perlu membentuk sistem manajemen ancaman nasional berbasis koordinasi terpadu, yang menyatukan data, strategi, dan eksekusi dari berbagai institusi. Pendekatan berbasis big data dan kolaborasi multi-sektor (termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil) akan mempercepat respons dan mencegah duplikasi kebijakan5.

2)                  Revitalisasi Pendidikan Kebangsaan dan Literasi Sosial

Pendidikan kewarganegaraan perlu direformulasi menjadi pendidikan multikultural reflektif, yang menekankan pada dialog, toleransi, dan pembelajaran berbasis proyek sosial di komunitas. Kurikulum harus diarahkan pada pengembangan empati, kepekaan sosial, dan semangat inklusivitas.

3)                  Pemberdayaan Masyarakat Lokal sebagai Garda Terdepan Ketahanan Sosial

Program pembangunan dan penanggulangan konflik harus berbasis kearifan lokal dan dilakukan secara partisipatif. Pemerintah daerah, lembaga adat, tokoh agama, dan organisasi pemuda perlu diberi ruang dan dukungan anggaran untuk menjadi aktor utama dalam membina kohesi sosial di daerahnya.

4)                  Percepatan Pemerataan Ekonomi dan Keadilan Sosial

Realisasi ekonomi Pancasila yang inklusif harus menjadi prioritas dalam RPJMN dan kebijakan fiskal nasional. Investasi harus diarahkan ke daerah tertinggal, penguatan UMKM berbasis komunitas, dan peningkatan akses terhadap layanan publik yang adil dan bermartabat6.

5)                  Integrasi Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Kebijakan Publik

Nilai kebinekaan harus menjadi indikator utama dalam evaluasi kebijakan pemerintah—baik dalam bidang pendidikan, sosial, politik, maupun keamanan. Ini termasuk pengawasan terhadap konten intoleran di media, penguatan regulasi anti-diskriminasi, dan pemberian penghargaan bagi inisiatif perdamaian berbasis komunitas.


Refleksi Penutup Subbagian

Mewujudkan Indonesia yang aman, adil, dan bersatu dalam keberagaman bukanlah pekerjaan instan, melainkan proyek kolektif yang memerlukan konsistensi kebijakan, keberanian politik, dan partisipasi masyarakat sipil. Evaluasi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia bersifat sistemik dan kompleks, sehingga hanya dapat diatasi melalui pendekatan holistik yang menyatukan nilai ideologis, strategi kelembagaan, dan aksi komunitas dalam satu tarikan nafas kebangsaan.

Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, tetapi harus menjadi kerangka kerja strategis nasional dalam merawat Indonesia sebagai rumah bersama yang damai, berkeadilan, dan beradab.


Footnotes

  1. Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara di Era Globalisasi (Jakarta: Lemhannas RI, 2016), 72–74.
  2. International Crisis Group, Indonesia: Responding to Terrorism in Poso (Brussels: ICG, 2022), 9–10.
  3. H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 66.
  4. Faisal Basri, Kesenjangan dan Ancaman Integrasi Nasional (Jakarta: LP3ES, 2020), 27.
  5. Kementerian Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2021 (Jakarta: Kemhan RI, 2021), 81–82.
  6. Sri Edi Swasono, Pancasila Ekonomi: Gagasan dan Aktualisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 112–113.

12.       Penutup

Ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia bersifat multidimensional, mencakup aspek ideologis, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Di tengah kompleksitas ancaman tersebut, nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika terbukti tetap relevan sebagai fondasi pemersatu bangsa. Tantangan globalisasi, radikalisme, intoleransi, ketimpangan ekonomi, polarisasi politik, hingga penetrasi budaya asing menuntut respons yang tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai ideologis dan kebangsaan yang hidup dalam masyarakat.

Berbagai studi kasus yang dikaji dalam artikel ini menunjukkan bahwa respons negara, meskipun sudah menunjukkan kemajuan—misalnya melalui legislasi antiterorisme, pendidikan multikultural, atau pendekatan dialog antaragama—masih menghadapi tantangan implementatif. Lemahnya koordinasi kelembagaan, pendekatan yang terlalu birokratis, serta belum meratanya pendidikan kebangsaan menjadi kendala dalam membumikan nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam praktik kehidupan sehari-hari1.

Oleh karena itu, penguatan ketahanan nasional menuntut lebih dari sekadar kebijakan top-down. Ia memerlukan pembangunan kesadaran kolektif di tingkat masyarakat akar rumput, terutama generasi muda sebagai agen perubahan. Di sinilah pendidikan kewarganegaraan memiliki peran transformatif, yakni tidak hanya mengajarkan hafalan tentang ideologi dan konstitusi, tetapi membentuk karakter warga negara yang reflektif, inklusif, dan solutif terhadap dinamika kebangsaan2.

Dalam konteks global yang penuh turbulensi, bangsa Indonesia perlu menegaskan kembali identitas nasionalnya sebagai bangsa yang plural, demokratis, dan berkeadaban. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah slogan yang statis, melainkan kerangka etis dan strategis untuk membangun harmoni sosial, mendorong keadilan ekonomi, merawat solidaritas politik, serta menjaga integritas wilayah dalam semangat kebersamaan3.

Dengan memadukan kekuatan ideologi, perangkat hukum, kapasitas kelembagaan, dan partisipasi masyarakat, Indonesia dapat terus memperkuat ketahanannya dalam menghadapi berbagai ancaman. Dalam proses itu, nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus senantiasa hadir bukan hanya dalam wacana, tetapi juga dalam kebijakan publik, praktik sosial, dan pendidikan nasional.

Sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai persatuan dalam keberagaman.” Maka, menjaga Indonesia hari ini berarti merawat kebinekaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan, dan menjadikannya pilar untuk mewujudkan masa depan bangsa yang adil, damai, dan bermartabat4.


Footnotes

[1]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Risalah Kebijakan: Polarisasi Politik dan Ketahanan Nasional (Jakarta: LIPI, 2021), 6–7.

[2]                Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 55.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 263.

[4]                Soekarno, Pidato Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ed. Sekretariat Negara RI (Jakarta: Sekneg RI, 1995), 71.


Daftar Pustaka

Azyumardi, A. (2010). Identitas dan krisis budaya: Tantangan globalisasi terhadap nasionalisme. Jakarta: Prenadamedia Group.

Azyumardi, A. (2015). Indonesia beragama: Perspektif sosial budaya dan politik. Jakarta: Prenadamedia Group.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Laporan penanggulangan pandemi COVID-19 2020–2022. Jakarta: BNPB.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2019). Laporan tahunan 2018: Evaluasi penanggulangan terorisme di Indonesia. Jakarta: BNPT.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2020). Strategi nasional pencegahan terorisme 2020–2024. Jakarta: BNPT.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2021). Grand design pembinaan ideologi Pancasila. Jakarta: BPIP.

Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Gini ratio Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Badan Siber dan Sandi Negara. (2024). Laporan keamanan siber nasional 2023. Jakarta: BSSN.

Basri, F. (2020). Kesenjangan dan ancaman integrasi nasional. Jakarta: LP3ES.

Elisabeth, A. (2019). Separatisme dan integrasi nasional: Studi kasus Papua. Jakarta: LIPI Press.

Hudayana, B. (2019). Resolusi konflik di masyarakat multikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

International Crisis Group. (2022). Indonesia: Responding to terrorism in Poso. Brussels: ICG.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Komnas HAM. (2020). Kebebasan beragama dan toleransi dalam masyarakat majemuk. Jakarta: Komnas HAM.

Komnas HAM. (2021). Laporan situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2020. Jakarta: Komnas HAM.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2021). Kajian sistem integritas politik di Indonesia. Jakarta: KPK.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2021). Buku putih pertahanan Indonesia 2021. Jakarta: Kemhan RI.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2020). Risalah kebijakan: Polarisasi politik dan tantangan persatuan bangsa. Jakarta: LIPI.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2018). Separatisme dan dinamika sosial politik Papua. Jakarta: LIPI Press.

Megawangi, R. (2014). Membumikan nilai-nilai kearifan lokal dalam dunia modern. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Megawangi, R. (2015). Membangun karakter bangsa melalui kearifan lokal. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Rahakundini Bakrie, C. (2020). Paradoks militer Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Setara Institute. (2024). Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia: Laporan tahunan 2023. Jakarta: Setara Institute.

Soekarno. (1995). Pidato Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945. Dalam Risalah Sidang BPUPKI (hlm. 66–75). Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Sri Edi Swasono. (2007). Pancasila ekonomi: Gagasan dan aktualisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2020). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (2018). Jakarta: Sekretariat Negara.

Wahid Institute. (2019). Toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia: Studi kasus GKI dan HKBP. Jakarta: Wahid Foundation.

Widjajanto, A. (2016). Strategi pertahanan negara di era globalisasi. Jakarta: Lemhannas RI.

Winters, J. A. (2013). Oligarki: Kekuasaan dan kekayaan di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Yudi Latif. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar