Filsafat Nusantara
Refleksi Kearifan Lokal dalam Konteks Budaya, Sejarah,
dan Pemikiran Filosofis Indonesia
Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan
Geografis.
La
Galigo, Mahabharata,
Filsafat Wayang.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Filsafat
Nusantara sebagai bentuk pemikiran filosofis yang tumbuh dari akar budaya,
sejarah, dan spiritualitas masyarakat Indonesia. Filsafat Nusantara dipahami
bukan sebagai sistem spekulatif seperti dalam tradisi Barat, melainkan sebagai
refleksi hidup yang bersumber dari kearifan lokal, struktur sosial, simbolisme
budaya, dan pengalaman historis yang beragam. Penelitian ini menelusuri konsep
dasar, ruang lingkup, serta landasan historis Filsafat Nusantara, mulai dari
pengaruh Hindu-Buddha, proses Islamisasi, hingga kolonialisme dan gerakan
intelektual pascakemerdekaan. Artikel ini juga mengkaji nilai-nilai utama yang
terkandung di dalamnya—seperti harmoni kosmis, etika sosial, epistemologi
simbolik, dan ontologi relasional—serta sistem pemikiran lokal dari berbagai
wilayah seperti Jawa, Bali, Bugis, Minangkabau, dan Batak. Selanjutnya, artikel
ini menyoroti transformasi dan kontestasi Filsafat Nusantara di tengah
modernisasi, globalisasi, dan proyek dekolonisasi ilmu. Di bagian akhir,
ditunjukkan bahwa Filsafat Nusantara memiliki kontribusi penting bagi wacana
filsafat global, terutama dalam membangun etika ekologis, dialog antarbudaya,
dan pluralisme epistemologis. Penulisan ini menekankan urgensi akademik untuk
mengembangkan Filsafat Nusantara sebagai basis berpikir dan bertindak yang
kontekstual, etis, dan transformatif bagi Indonesia dan dunia.
Kata Kunci: Filsafat Nusantara; Kearifan Lokal; Epistemologi
Dekolonial; Etika Kolektif; Kosmologi Harmonis; Identitas Budaya; Pluralisme
Pengetahuan.
PEMBAHASAN
Menggali Filsafat Nusantara Berdasarkan Konteks Budaya
dan Geografis
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai disiplin tidak hanya bersumber
dari tradisi Yunani atau Barat modern, tetapi juga berkembang dalam berbagai
konteks lokal yang kaya akan kebijaksanaan, nilai-nilai hidup, dan sistem
makna. Salah satu wacana yang kini mengemuka adalah Filsafat Nusantara—sebuah
upaya konseptual dan reflektif untuk menggali, memahami, serta memformulasikan
kearifan lokal masyarakat Indonesia sebagai bentuk pemikiran filosofis yang
otentik. Di tengah arus globalisasi dan dominasi wacana Barat, penegasan atas
identitas filosofis lokal ini menjadi bagian dari gerakan dekolonisasi
pengetahuan dan afirmasi terhadap pluralitas epistemik.
Secara historis, kawasan Nusantara telah lama
menjadi ruang dialog dan sintesis antara berbagai kebudayaan dunia: mulai dari
animisme dan dinamisme lokal, pengaruh Hindu-Buddha, Islam, hingga kolonialisme
Eropa. Dalam jalinan sejarah ini, terbentuk sistem nilai dan kosmologi yang
khas—sebuah sintesis yang bukan sekadar folklor atau mitologi, tetapi menyimpan
struktur pemikiran filosofis yang mendalam, walau sering kali disampaikan
melalui simbol, ritus, atau narasi mitologis. Sebagaimana dikemukakan oleh
filsuf Ignas Kleden, kebudayaan Indonesia menyimpan bentuk-bentuk pemikiran
normatif yang layak dikaji secara filosofis karena di dalamnya terkandung
sistem moral, pandangan hidup, serta pemahaman tentang realitas dan manusia
dalam hubungan sosial dan kosmisnya.¹
Urgensi kajian Filsafat Nusantara juga muncul dari
kebutuhan untuk merumuskan filsafat yang berpijak pada pengalaman historis dan
horizon budaya masyarakat Indonesia sendiri. Filsafat ini tidak dimaksudkan
untuk menandingi filsafat Barat secara antagonistik, tetapi lebih kepada
afirmasi nilai-nilai lokal yang relevan dengan permasalahan kontemporer,
seperti krisis lingkungan, disintegrasi sosial, dan kehilangan makna hidup
dalam dunia modern.² Dalam konteks ini, Filsafat Nusantara menjadi media untuk
menjembatani antara kebijaksanaan lokal (local wisdom) dan refleksi
filosofis kritis, antara warisan leluhur dan tantangan zaman.
Selain itu, pendekatan terhadap Filsafat Nusantara
menuntut metodologi yang khas, yang tidak hanya rasionalistik-formal, tetapi
juga bersifat hermeneutis, interkultural, dan fenomenologis. Seperti
diungkapkan oleh Bagus Takwin, upaya memformulasikan filsafat lokal harus
memperhatikan bentuk-bentuk pengetahuan non-diskursif seperti simbolisme
budaya, nilai-nilai adat, narasi mitis, serta praktik etis dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat.³ Oleh karena itu, Filsafat Nusantara bukan sekadar
pengulangan kearifan tradisional, tetapi refleksi kritis atasnya dalam rangka
membangun sistem makna yang relevan dan transformatif.
Dalam artikel ini, penulis akan mengurai secara
sistematis dimensi-dimensi filosofis dari Filsafat Nusantara, mencakup konsep
dasar, landasan historis, tema-tema pokok, ekspresi lokal yang beragam, hingga
tantangan dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Tujuannya adalah untuk
memperlihatkan bahwa filsafat bukan monopoli suatu peradaban, melainkan lahir
dari kepekaan terhadap realitas dan keberadaan yang menjadi milik semua
kebudayaan, termasuk Nusantara.
Footnotes
[1]
Ignas Kleden, “Filsafat Indonesia dan Identitas Budaya,”
Jurnal Prisma 10, no. 5 (1981): 15–16.
[2]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu
Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 89.
[3]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi
Identitas dan Etika Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 35–36.
2.
Konsep
Dasar dan Ruang Lingkup Filsafat Nusantara
Filsafat Nusantara adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan usaha reflektif dan sistematis dalam memahami nilai-nilai,
pandangan hidup, dan kebijaksanaan kolektif masyarakat Indonesia berdasarkan
konteks budaya, sejarah, dan geografisnya sendiri. Filsafat ini tidak lahir
dari tradisi skolastik akademis sebagaimana lazim dalam filsafat Barat, tetapi
tumbuh dari praksis kehidupan, ritus sosial, narasi kosmologis, serta
pengalaman historis yang sarat dengan nilai-nilai simbolik dan spiritual. Oleh
karena itu, Filsafat Nusantara tidak hanya menyoal spekulasi metafisik, tetapi
juga mencakup pandangan hidup yang dijalankan secara konkret oleh masyarakat
adat dan komunitas lokal di berbagai wilayah Indonesia.¹
Secara konseptual, Filsafat Nusantara dapat
dipahami sebagai sistem pemikiran yang bersumber dari kearifan lokal (local
genius) dan budaya luhur masyarakat Nusantara. Istilah "filsafat"
dalam konteks ini mengalami perluasan makna: tidak hanya sebagai love of
wisdom yang rasional dan argumentatif, tetapi juga mencakup bentuk-bentuk
pengetahuan simbolik, intuitif, dan naratif.² Dalam berbagai budaya lokal
Indonesia, pemikiran filosofis seringkali tertuang dalam bentuk peribahasa,
mitos, kisah leluhur, pranata adat, dan sistem nilai kolektif yang mengandung
pandangan ontologis (tentang hakikat realitas), epistemologis (tentang pengetahuan),
dan aksiologis (tentang nilai dan etika).
Bagus Takwin mengusulkan bahwa Filsafat Nusantara
harus dimaknai sebagai upaya membaca struktur-struktur makna yang tersembunyi
di balik ekspresi budaya lokal.³ Ini berarti filsafat tidak hanya dicari dalam
teks atau diskursus formal, tetapi juga dalam habitus sosial, sistem
simbol, dan relasi antara manusia, alam, dan Tuhan sebagaimana termanifestasi
dalam adat, seni, dan spiritualitas masyarakat lokal. Dalam hal ini, pendekatan
terhadap Filsafat Nusantara menuntut keterbukaan metodologis—yakni
menggabungkan pendekatan hermeneutis, antropologis, dan fenomenologis untuk
mengungkap dimensi filosofis dari ekspresi budaya.
Ruang lingkup Filsafat Nusantara meliputi:
·
Pandangan Kosmologis dan Ontologis:
Bagaimana
manusia Nusantara memahami posisinya dalam semesta, seperti dalam konsep manunggaling
kawula-Gusti (Jawa), Tri Hita Karana (Bali), atau Dalihan Na Tolu
(Batak).⁴
·
Epistemologi Budaya:
Cara
masyarakat memperoleh pengetahuan, tidak hanya melalui akal rasional tetapi
juga lewat pengalaman spiritual, petuah leluhur, atau intuisi—sebagaimana
tercermin dalam sistem simbol dan ritual.⁵
·
Etika dan Nilai Sosial:
Prinsip-prinsip
hidup seperti gotong royong, musyawarah, siri’ na pacce,
atau adat basandi syarak yang mengatur hubungan sosial dan etika
kolektif.
·
Estetika dan Simbolisme:
Pengungkapan
nilai dan makna melalui ekspresi estetis seperti seni ukir, tarian sakral, kain
tradisional, dan arsitektur yang sarat dengan filsafat kehidupan.
Dengan demikian, Filsafat Nusantara tidak sekadar
membahas pertanyaan metafisika universal, tetapi justru berpijak pada
konkretisasi kehidupan manusia dalam ruang budaya tertentu. Di sinilah letak
keunikan dan keotentikannya sebagai filsafat yang mengakar pada pengalaman
historis dan kebudayaan Indonesia, namun tetap memiliki daya reflektif dan
kontribusi universal bagi pengembangan filsafat secara global.
Footnotes
[1]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011), 57.
[2]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu
Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 93.
[3]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi
Identitas dan Etika Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 17–18.
[4]
Soedjatmoko, “Kebudayaan Nasional: Suatu Refleksi,”
dalam Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1985), 112.
[5]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 45.
3.
Landasan
Historis dan Genealogi Intelektual
Filsafat Nusantara
tidak lahir dalam kekosongan historis, melainkan merupakan hasil akumulasi
pemikiran dan kebijaksanaan yang terbentuk melalui interaksi panjang antara
manusia Nusantara dengan lingkungan alam, sistem sosial, serta dinamika
kebudayaan global. Landasan historisnya bersifat pluralistik dan berlapis,
mencerminkan proses historis yang kompleks dan beragam yang melibatkan dinamika
internal masyarakat lokal serta pengaruh eksternal dari luar kepulauan
Indonesia.
3.1. Warisan Pra-Islam:
Hindu-Buddha dan Tradisi Lokal
Periode pra-Islam di
Nusantara memperlihatkan jejak pemikiran filosofis yang berkembang dalam
konteks sinkretik antara kepercayaan lokal dan pengaruh Hindu-Buddha dari
India. Relief-relief Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, tidak hanya
berfungsi sebagai karya seni religius, tetapi juga mencerminkan kosmologi dan
pandangan eksistensial manusia dalam hubungan dengan alam dan transendensi.¹
Ajaran seperti Tat Twam Asi
(“Aku adalah Engkau”) yang tercermin dalam kebudayaan Bali merupakan
ekspresi dari prinsip kesatuan ontologis antara individu dan semesta, yang
sangat filosofis dalam pengertian klasik.²
Namun, kebudayaan
lokal sebelumnya juga telah memiliki sistem nilai dan makna tersendiri yang
berakar pada animisme dan dinamisme. Sistem kepercayaan ini menyiratkan
pemahaman bahwa roh atau kekuatan hidup hadir dalam setiap unsur semesta: batu,
pohon, air, binatang, dan manusia. Dalam pandangan ini, relasi manusia dengan
alam bukanlah relasi eksploitasi, tetapi relasi harmonis yang sarat dengan
penghormatan dan etika spiritual.³ Pandangan tersebut membentuk fondasi
filosofis dari relasi ekologis yang khas dalam pemikiran masyarakat tradisional
di Nusantara.
3.2.
Transformasi Islamisasi dan Integrasi Kearifan
Baru
Kedatangan Islam
sejak abad ke-13 membawa perubahan signifikan dalam orientasi kosmologis dan
etis masyarakat Nusantara. Namun, proses Islamisasi tidak serta-merta
meniadakan kearifan lokal, melainkan lebih sering terjadi melalui proses
akulturasi dan reinterpretasi simbolik. Filsafat Islam dalam bentuk tasawuf,
misalnya, sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran di wilayah Jawa dan
Sumatra. Tokoh seperti Sunan Kalijaga menyebarkan Islam melalui pendekatan
kultural yang sarat dengan simbol-simbol lokal, seperti wayang, tembang, dan
upacara adat.⁴
Integrasi pemikiran
tasawuf dengan nilai-nilai lokal menghasilkan bentuk filsafat religius yang
unik, seperti dalam konsep manunggaling kawula-Gusti
(penyatuan hamba dengan Tuhan), yang menggabungkan aspek mistik Islam dengan
spiritualitas Jawa.⁵ Di Minangkabau, muncul rumusan etis dan filosofis “adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang mencerminkan upaya
sintesis antara adat dan syariat Islam dalam sistem sosial dan hukum.⁶ Hal ini
memperlihatkan bahwa Filsafat Nusantara bersifat adaptif dan dialogis dalam
menghadapi dinamika peradaban.
3.3.
Kolonialisme dan Krisis Intelektual
Masuknya
kolonialisme Barat pada abad ke-16 hingga abad ke-20 membawa tantangan besar
terhadap keberlangsungan sistem pengetahuan lokal. Pengetahuan dan nilai-nilai
pribumi dipinggirkan oleh wacana modernitas dan rasionalitas Barat yang dibawa
oleh kolonialis. Proses ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga
epistemik—terjadi marginalisasi terhadap sistem makna lokal yang dianggap
irasional, mistik, dan tidak ilmiah.⁷
Namun, dalam konteks
perlawanan terhadap kolonialisme, muncul pula gerakan intelektual dan politik
yang mulai merumuskan kembali identitas keindonesiaan. Tokoh-tokoh seperti Ki
Hajar Dewantara, Soekarno, dan Mohammad Hatta menggabungkan nilai-nilai lokal
dengan ide-ide modern Barat untuk membentuk narasi kebangsaan dan kedaulatan.⁸
Dalam aspek ini, dapat dikatakan bahwa Filsafat Nusantara juga turut berperan
dalam pembentukan fundamen ideologis bangsa Indonesia, terutama dalam menyusun
landasan etik dan filosofis bagi kemerdekaan.
3.4.
Genealogi Intelektual Kontemporer dan
Revitalisasi Akademik
Seiring
berkembangnya studi filsafat di Indonesia pascakemerdekaan, muncul usaha-usaha
akademik untuk membentuk wacana filsafat Indonesia sebagai bidang
kajian yang serius. Upaya ini dilakukan oleh para filsuf seperti Driyarkara,
Franz Magnis-Suseno, Sunoto, dan Soedjatmoko yang tidak hanya mengajarkan
filsafat Barat, tetapi juga mengeksplorasi potensi filosofis dari tradisi dan
budaya lokal.⁹ Belakangan, muncul generasi baru seperti Bagus Takwin dan Yudi
Latif yang secara eksplisit membahas Filsafat Nusantara dalam kerangka
filosofis yang lebih terstruktur dan kritis.
Melalui revitalisasi
ini, Filsafat Nusantara tidak hanya diposisikan sebagai objek antropologis,
tetapi sebagai subjek filosofis yang sah—yang mampu menyumbangkan konsep,
paradigma, dan alternatif bagi diskursus filosofis global.
Footnotes
[1]
Agus Aris Munandar, Borobudur: Warisan Umat Manusia (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), 45.
[2]
I Made Titib, The Relevance of Hindu Dharma in Contemporary
Indonesia (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2001), 73.
[3]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,
1985), 56.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal
(Bandung: Mizan, 2002), 102.
[5]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 110.
[6]
Naharuddin, “Filsafat Adat dalam Sistem Sosial Minangkabau,” Jurnal
Filsafat 22, no. 2 (2012): 131.
[7]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity
(Durham: Duke University Press, 2011), 59.
[8]
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta:
LP3ES, 1985), 98–99.
[9]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi Identitas dan Etika
Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 25–27.
4.
Nilai-Nilai
dan Tema Pokok dalam Filsafat Nusantara
Filsafat Nusantara,
sebagai cerminan reflektif dari kebudayaan dan pengalaman historis masyarakat
Indonesia, mengandung sejumlah nilai-nilai dan tema pokok yang khas.
Nilai-nilai tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pedoman etika dan sosial,
tetapi juga mencerminkan struktur pemikiran filosofis yang mencakup dimensi
ontologis, epistemologis, aksiologis, dan kosmologis. Dalam konteks ini,
Filsafat Nusantara tidak bersifat spekulatif seperti dalam tradisi filsafat
Barat, melainkan bersifat praksis, simbolik, dan komunal—berakar dalam
pengalaman hidup kolektif serta keseimbangan dengan alam dan spiritualitas.
4.1.
Kosmologi dan Relasi Harmonis
Manusia-Alam-Tuhan
Salah satu tema
paling menonjol dalam Filsafat Nusantara adalah pandangan kosmologis yang
menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Konsep seperti manunggaling
kawula-Gusti dalam tradisi Jawa menggambarkan kesatuan ontologis
antara manusia dan realitas ilahi, di mana eksistensi manusia dipahami sebagai
bagian dari tatanan semesta yang sakral dan transenden.¹ Dalam masyarakat Bali,
ajaran Tri Hita
Karana menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara
manusia dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama manusia
(pawongan),
dan dengan alam (palemahan).² Nilai-nilai ini tidak
hanya menunjukkan kesadaran ekologis, tetapi juga merupakan ekspresi dari
filsafat keberadaan yang integral dan spiritual.
4.2.
Etika Sosial: Gotong Royong, Musyawarah, dan
Harmoni
Filsafat Nusantara
menekankan nilai-nilai sosial yang berorientasi pada kebersamaan, keseimbangan,
dan harmoni. Konsep gotong royong menjadi simbol utama
etika kolektif yang memosisikan kerja sama sebagai bagian integral dari
kehidupan bermasyarakat.³ Nilai ini bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan
suatu asas etika yang mencerminkan pandangan bahwa manusia tidak dapat hidup
secara individualistik, melainkan harus selalu memperhatikan kepentingan bersama
dan relasi sosial yang adil.
Demikian pula,
prinsip musyawarah
untuk mufakat dalam masyarakat adat maupun dalam politik Indonesia
mencerminkan semangat deliberatif yang mengedepankan dialog, konsensus, dan
penghargaan terhadap keberagaman pendapat.⁴ Dalam banyak komunitas adat,
keputusan bersama dicapai melalui proses diskusi yang melibatkan seluruh
anggota komunitas sebagai bentuk partisipasi dan tanggung jawab kolektif.
4.3.
Epistemologi Simbolik dan Intuitif
Berbeda dengan
epistemologi rasional-analitik dalam tradisi Barat, Filsafat Nusantara banyak
mengandalkan cara-cara simbolik, mitologis, dan intuitif dalam menyampaikan
pengetahuan. Pengetahuan dianggap tidak hanya bersumber dari akal, tetapi juga
dari pengalaman batin, petuah leluhur, dan kesadaran spiritual. Misalnya, dalam
masyarakat Bugis, sistem pangngadereng yang meliputi adat,
hukum, dan moral dipahami dan dijalankan melalui simbol dan ritus yang tidak
tertulis, namun bermakna filosofis mendalam.⁵
Dalam filsafat Jawa,
terdapat konsep ngelmu sebagai ilmu kebijaksanaan
yang tidak dapat dicapai hanya dengan belajar secara tekstual, tetapi harus
dihayati melalui laku spiritual dan kontemplasi batin.⁶ Ini menunjukkan bahwa
epistemologi Nusantara sangat menghargai dimensi transrasonal dan holistik dalam
proses memperoleh pengetahuan.
4.4.
Ontologi Relasional dan Keseimbangan
Ontologi dalam
Filsafat Nusantara bersifat relasional dan kontekstual. Manusia tidak dipandang
sebagai subjek otonom yang berdiri sendiri, melainkan sebagai makhluk yang
terhubung secara mendalam dengan alam, leluhur, komunitas, dan kekuatan
adikodrati. Dalam kosmologi Batak, misalnya, struktur Dalihan
Na Tolu menempatkan relasi sosial sebagai dasar keberadaan, dengan
peran-peran etis yang saling melengkapi dan menyeimbangkan.⁷ Ontologi seperti
ini tidak bersifat dikotomis, melainkan integratif dan komplementer.
Relasi antara unsur
dualitas seperti laki-laki–perempuan, terang–gelap, atau kering–basah, sering
kali tidak dipandang sebagai oposisi biner, melainkan sebagai unsur yang saling
melengkapi dan menjadi satu kesatuan utuh. Konsep Rwa Bhineda dalam kebudayaan Bali
mengajarkan bahwa kehidupan selalu terdiri atas pasangan yang berbeda namun
tidak bertentangan, melainkan saling menyeimbangkan.⁸
4.5.
Aksiologi: Kebijaksanaan, Keseimbangan, dan
Kemanusiaan
Secara aksiologis,
Filsafat Nusantara berfokus pada nilai-nilai kebijaksanaan (kawicaksanan),
keselarasan hidup, dan keutamaan moral. Nilai-nilai ini menjadi fondasi dalam
sistem pendidikan tradisional dan struktur sosial adat. Dalam banyak komunitas
adat, individu yang dihormati bukanlah yang paling kaya atau berkuasa,
melainkan yang paling bijaksana, adil, dan mampu menjaga keseimbangan.⁹
Kebijaksanaan ini sering ditanamkan melalui cerita rakyat, petuah tokoh adat,
dan peribahasa yang kaya akan muatan etis dan filosofis.
Footnotes
[1]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 85.
[2]
I Made Titib, The Relevance of Hindu Dharma in Contemporary
Indonesia (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2001), 90–92.
[3]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,
1985), 143.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 117.
[5]
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis (Makassar: Hasanuddin University Press, 1985), 65–66.
[6]
S. Soebardi, “The Book of Centhini: The Javanese Enkyklopaedie,” Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 133, no. 4 (1977): 452.
[7]
Naharuddin, “Filsafat Adat dalam Sistem Sosial Minangkabau,” Jurnal
Filsafat 22, no. 2 (2012): 132–133.
[8]
I Nyoman Darma Putra, Tri Hita Karana dan Rwa Bhineda dalam Konteks
Pembangunan Bali (Denpasar: Udayana University Press, 2017), 44–45.
[9]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi Identitas dan Etika
Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 61–62.
5.
Sistem
Pemikiran dan Kearifan Lokal di Berbagai Wilayah
Salah satu kekayaan
Filsafat Nusantara terletak pada keragaman ekspresi pemikiran filosofis yang
tertanam dalam budaya-budaya lokal di berbagai wilayah Indonesia. Setiap daerah
memiliki sistem nilai, simbolisme, dan struktur pemikiran tersendiri yang
mencerminkan relasi khas antara manusia, alam, dan transendensi. Sistem
pemikiran ini, walau tidak selalu dikodifikasikan secara akademis, merupakan
refleksi mendalam atas pengalaman historis dan spiritual masyarakat setempat.
Dalam kerangka ini, Filsafat Nusantara harus dipahami sebagai mozaik
intelektual yang tersebar dalam beragam tradisi dan kearifan lokal.
5.1.
Filsafat Jawa: Kejawen dan Mistisisme Sinkretik
Filsafat Jawa
dikenal sebagai salah satu bentuk ekspresi filosofis paling kompleks dan
mendalam dalam tradisi Nusantara. Inti ajarannya terletak pada pencarian
harmoni antara manusia dan kosmos melalui praktik laku, kontemplasi batin, dan kesadaran
mistik. Konsep seperti manunggaling kawula-Gusti
(penyatuan hamba dengan Tuhan), sangkan paraning dumadi (asal dan
tujuan keberadaan), serta ngelmu kasampurnan (ilmu
kesempurnaan) menunjukkan bahwa filsafat Jawa bersifat metafisik dan spiritual,
namun tetap berpijak pada praktik etika dan moral kehidupan sehari-hari.¹
Ajaran ini terungkap
secara khas dalam teks-teks seperti Serat Centhini, Serat
Kalatidha, dan Serat Wedhatama yang menggabungkan
elemen sufistik Islam dengan simbolisme budaya lokal.²
5.2.
Filsafat Bugis-Makassar: Siri’ na Pacce
dan Pangngadereng
Di Sulawesi Selatan,
masyarakat Bugis dan Makassar mengembangkan sistem etika dan nilai sosial yang
dikenal dengan siri’ na pacce. Siri’
mengacu pada harga diri dan kehormatan pribadi maupun kolektif, sedangkan pacce
mencerminkan empati dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain. Bersama
dengan pangngadereng
(aturan adat), sistem ini membentuk kerangka moral yang menjadi dasar tata
kehidupan masyarakat.³
Nilai-nilai ini
bukan sekadar norma sosial, tetapi juga mencerminkan pandangan ontologis
tentang manusia sebagai makhluk bermartabat yang terikat dalam jaringan relasi
timbal balik dan tanggung jawab moral.⁴
5.3.
Filsafat Batak: Dalihan Na Tolu sebagai
Etika Relasional
Dalam masyarakat
Batak Toba, struktur sosial dan nilai etika dibangun di atas prinsip Dalihan
Na Tolu (tungku yang tiga). Tiga unsur dalam struktur ini adalah hula-hula
(pihak pemberi perempuan), dongan tubu (saudara seketurunan),
dan boru
(pihak penerima perempuan). Sistem ini tidak hanya mengatur hubungan
kekeluargaan, tetapi juga mencerminkan etika relasional yang menekankan
keseimbangan, penghormatan, dan tanggung jawab antarindividu dalam masyarakat.⁵
Dalihan
Na Tolu menjadi dasar kesadaran sosial dan spiritual yang
menempatkan manusia sebagai makhluk relasional yang harus menjaga harmoni dalam
struktur adat dan kosmos.
5.4.
Filsafat Bali: Tri Hita Karana dan Rwa
Bhineda
Kebudayaan Bali dikenal
memiliki filsafat hidup yang sangat sistematis, sebagaimana tercermin dalam
konsep Tri Hita
Karana—tiga penyebab kebahagiaan dan keharmonisan hidup: hubungan
harmonis dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama manusia
(pawongan),
dan dengan alam (palemahan).⁶
Selain itu, prinsip Rwa
Bhineda (dua perbedaan yang seimbang) mencerminkan pandangan
ontologis dan epistemologis bahwa kehidupan terdiri dari dualitas (baik–buruk,
siang–malam) yang tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi dalam
satu kesatuan kosmos.⁷ Kedua konsep ini menjadi dasar dalam struktur sosial,
arsitektur, seni, dan sistem nilai masyarakat Bali.
5.5.
Filsafat Minangkabau: Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah
Di Sumatera Barat,
sistem pemikiran Minangkabau membentuk sintesis antara nilai adat dan ajaran
Islam dalam ungkapan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Prinsip ini menegaskan bahwa adat istiadat tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai Islam, dan sebaliknya, ajaran Islam harus diwujudkan dalam kerangka
budaya lokal.⁸
Etika kehidupan
Minangkabau dibangun atas prinsip musyawarah (mufakat), penghormatan terhadap
perempuan (melalui sistem matrilineal), dan tanggung jawab
sosial kolektif, yang semua itu menyatu dalam sistem nilai yang fleksibel namun
kuat.⁹
5.6.
Kearifan Lokal Lain: Sunda, Dayak, Papua, dan
Maluku
Selain wilayah yang
telah disebutkan, banyak daerah lain di Indonesia memiliki filsafat lokal yang
kaya. Masyarakat Sunda, misalnya, mengenal konsep silih asih, silih asah, silih asuh
sebagai dasar etika sosial dan spiritual.⁽¹⁰⁾ Suku Dayak dan masyarakat Papua
memiliki relasi kosmologis yang erat dengan alam dan leluhur melalui ritual
adat dan narasi penciptaan yang sarat makna eksistensial. Demikian pula,
masyarakat Maluku mengembangkan sistem kekerabatan dan perdamaian berbasis pela
gandong yang mengedepankan prinsip persaudaraan dan toleransi
lintas etnis dan agama.⁽¹¹⁾
Footnotes
[1]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 109–111.
[2]
S. Soebardi, “The Book of Centhini: The Javanese Enkyklopaedie,” Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 133, no. 4 (1977): 451–460.
[3]
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis (Makassar: Hasanuddin University Press, 1985), 58–60.
[4]
Nurhayati Rahman, “Etika Siri’ Na Pacce dan Relevansinya dalam
Pendidikan Karakter,” Jurnal Al-Ulum 15, no. 1 (2015): 121–134.
[5]
Naharuddin, “Filsafat Adat dalam Sistem Sosial Minangkabau,” Jurnal
Filsafat 22, no. 2 (2012): 130–132.
[6]
I Made Titib, The Relevance of Hindu Dharma in Contemporary
Indonesia (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2001), 88–90.
[7]
I Nyoman Darma Putra, Tri Hita Karana dan Rwa Bhineda dalam Konteks
Pembangunan Bali (Denpasar: Udayana University Press, 2017), 44.
[8]
Bustami, “Adat dan Syariat dalam Perspektif Minangkabau,” Jurnal
Sosiohumaniora 11, no. 2 (2009): 131–134.
[9]
Yusriadi dan Misnawati, “Kearifan Lokal dalam Struktur Sosial
Minangkabau,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 17, no. 1 (2015): 47–58.
[10]
Didi Turmudzi, Silih Asih, Asah, Asuh: Filsafat Sosial Sunda
(Bandung: UPI Press, 2008), 23–27.
[11]
M. Adnan Amal, Sejarah Kepulauan Maluku (Ambon: Balai Kajian
Sejarah dan Budaya Maluku, 2010), 95–96.
6.
Transformasi
dan Kontestasi dalam Konteks Modern
Dalam menghadapi
arus modernisasi, globalisasi, dan perkembangan teknologi informasi, Filsafat
Nusantara mengalami transformasi dan kontestasi yang signifikan. Transformasi
ini mencakup pergeseran cara berpikir, perubahan bentuk ekspresi nilai-nilai
lokal, serta upaya revitalisasi dan reaktualisasi kearifan tradisional ke dalam
konteks kekinian. Sementara itu, kontestasi muncul dalam bentuk ketegangan epistemologis
antara paradigma lokal dan paradigma modern-global, antara budaya adiluhung dan
budaya pop, serta antara pengetahuan spiritual-intuitif dan
rasional-instrumental.
6.1.
Modernisasi dan Perubahan Struktur Kultural
Modernisasi membawa
perubahan besar dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Nusantara, termasuk
dalam sistem nilai dan cara pandang terhadap kehidupan. Proses urbanisasi,
industrialisasi, dan sekularisasi telah mendorong pergeseran dari masyarakat
komunal ke masyarakat individualistik, dari relasi spiritual dengan alam ke
relasi eksploitatif berbasis kapital.¹
Nilai-nilai seperti gotong
royong, musyawarah, atau silih
asih, silih asah, silih asuh mulai tergantikan oleh budaya
kompetitif, pragmatis, dan konsumtif. Akibatnya, fondasi ontologis dan
aksiologis Filsafat Nusantara menghadapi tantangan keberlangsungan dalam
generasi muda yang lebih terpapar pada nilai-nilai global dibandingkan
nilai-nilai lokal.²
6.2.
Globalisasi Pengetahuan dan Tantangan
Epistemologis
Di bidang
epistemologi, Filsafat Nusantara menghadapi kontestasi dari dominasi ilmu
pengetahuan modern yang berbasis positivisme dan rasionalisme Barat.
Pengetahuan lokal yang bersifat simbolik, intuitif, dan berbasis pengalaman
batin sering dianggap sebagai bentuk subaltern knowledge atau “pengetahuan
kelas dua” dalam sistem akademik modern.³
Hal ini menciptakan
ketidakseimbangan epistemik (epistemic asymmetry) yang membatasi pengakuan
terhadap filsafat dan ilmu yang berkembang di luar kerangka Barat. Sebagaimana
dikemukakan oleh Walter Mignolo, modernitas seringkali membawa “logika
kolonialitas” yang merendahkan sistem pengetahuan pribumi dalam proyek
pembangunan nasional.⁴
6.3.
Reaktualisasi dan Dekolonisasi Filsafat Lokal
Meski demikian,
dalam beberapa dekade terakhir muncul gerakan intelektual dan budaya yang
berupaya melakukan reaktualisasi nilai-nilai lokal serta dekolonisasi ilmu
pengetahuan. Para akademisi Indonesia seperti Bagus Takwin dan Yudi Latif
mendorong agar Filsafat Nusantara tidak hanya dijadikan bahan pelestarian
budaya, tetapi juga dikembangkan sebagai landasan etik, spiritual, dan
epistemologis dalam merumuskan arah pembangunan nasional.⁵
Reaktualisasi ini
tidak hanya dilakukan melalui kajian akademik, tetapi juga melalui seni,
sastra, pendidikan karakter, hingga kebijakan publik yang berupaya
mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam sistem nasional—misalnya dalam
pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal atau pembangunan berkelanjutan
berbasis Tri Hita
Karana.⁶
6.4.
Kontestasi Identitas dan Politik Budaya
Transformasi
Filsafat Nusantara juga berlangsung dalam konteks kontestasi identitas dan
politik budaya. Di satu sisi, nilai-nilai lokal sering digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan atau pembangunan nasionalisme yang homogen; di sisi lain,
sebagian masyarakat adat memperjuangkan pengakuan atas pengetahuan dan hak
budaya mereka yang termarjinalisasi.⁷
Kontestasi ini
memunculkan pertanyaan mendasar: siapa yang berhak menafsirkan Filsafat
Nusantara? Apakah ia milik negara, akademisi, komunitas adat, atau masyarakat
luas? Dalam konteks ini, Filsafat Nusantara berada di persimpangan antara
repolitisasi dan revitalisasi—antara dijadikan simbol dan dipraktikkan sebagai
etos hidup.
6.5.
Peran Teknologi dan Media Digital
Perkembangan
teknologi dan media digital juga menjadi medan baru bagi transformasi Filsafat
Nusantara. Di satu sisi, teknologi memberi peluang untuk mendokumentasikan,
mendiseminasikan, dan mendialogkan nilai-nilai lokal secara lebih luas, bahkan
lintas generasi dan lintas bangsa. Di sisi lain, terdapat risiko komodifikasi
kearifan lokal menjadi sekadar "brand budaya" atau "produk
wisata spiritual" yang kehilangan kedalaman filosofisnya.⁸
Oleh karena itu,
penting untuk membangun kesadaran kritis dalam penggunaan media digital, agar
nilai-nilai Filsafat Nusantara tetap dipelihara secara otentik, reflektif, dan
kontekstual.
Footnotes
[1]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2002), 98.
[2]
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Budaya Lokal dalam Konteks Global: Paradoks
dan Peluang,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 13, no. 2 (2011): 174.
[3]
Catherine Odora Hoppers, Indigenous Knowledge Systems: Implications
for Education, Development and Research (Cape Town: HSRC Press, 2002),
3–4.
[4]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 64.
[5]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi Identitas dan Etika
Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 88.
[6]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 140–143.
[7]
Siti Syamsiyatun, “Revitalisasi Budaya Lokal dan Hak Masyarakat Adat
dalam Bingkai NKRI,” Jurnal Antropologi Indonesia 37, no. 1 (2016):
23.
[8]
Zuly Qodir, “Spiritual Tourism dan Komodifikasi Kearifan Lokal,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 17, no. 3 (2013): 229–243.
7.
Filsafat
Nusantara dalam Kajian Akademik Kontemporer
Dalam beberapa
dekade terakhir, Filsafat Nusantara mulai mendapatkan perhatian yang lebih
serius dalam wacana akademik di Indonesia. Perhatian ini lahir dari kesadaran
akan pentingnya pengakuan terhadap sumber-sumber pengetahuan lokal sebagai
bagian integral dari pembangunan identitas intelektual bangsa serta sebagai
upaya dekolonisasi epistemologis dalam pendidikan tinggi. Kajian-kajian kontemporer
tidak lagi memandang kearifan lokal sebagai objek folkloristik semata,
melainkan sebagai sumber refleksi filosofis yang sah dan produktif dalam
menjawab tantangan kemanusiaan, sosial, dan ekologis modern.
7.1.
Perintis Kajian: Humanisme dan Etika Lokal
Salah satu tokoh
penting dalam perintisan filsafat Indonesia adalah Romo Driyarkara yang
menekankan pentingnya humanisme kontekstual yang berpijak pada pengalaman
manusia Indonesia. Dalam berbagai tulisannya, ia berupaya membangun filsafat
sebagai upaya pembebasan manusia Indonesia dari dominasi budaya asing melalui
pendekatan kritis dan reflektif.¹
Sementara itu, Franz
Magnis-Suseno mengembangkan pendekatan etika Jawa dengan menjadikan sistem
nilai lokal sebagai medan kajian filsafat moral. Ia menegaskan bahwa kebudayaan
lokal memiliki struktur normatif yang dapat dianalisis secara filosofis
layaknya sistem etika klasik.²
7.2.
Konseptualisasi Akademik: Identitas, Etika, dan
Epistemologi
Dalam upaya yang
lebih sistematis, Bagus Takwin memformulasikan Filsafat Nusantara sebagai ruang
eksplorasi identitas dan etika yang bersumber dari kebudayaan Indonesia. Ia
mengkritik dominasi filsafat Barat yang seringkali menutup kemungkinan hadirnya
wacana filosofis alternatif dari dunia non-Barat. Dalam karyanya Filsafat
Nusantara, Takwin menyatakan bahwa filsafat Indonesia dapat dan
harus dikembangkan dengan menggali struktur makna yang tersembunyi dalam
bahasa, adat, kesenian, dan praktik hidup masyarakat Indonesia.³
Pendekatan Takwin
mencerminkan paradigma baru dalam kajian filsafat: bahwa filsafat bukan sekadar
warisan intelektual Barat, tetapi juga bisa tumbuh dari kebudayaan non-modern
melalui pendekatan hermeneutik, fenomenologis, dan interkultural.
7.3.
Dekolonisasi Ilmu dan Wacana Kebangsaan
Yudi Latif, dalam Negara
Paripurna, menyuarakan pentingnya merumuskan kembali identitas
kebangsaan Indonesia secara filosofis melalui pendekatan historis dan kultural.
Ia melihat Pancasila bukan hanya sebagai ideologi politik, melainkan sebagai
“filosofi publik” yang berakar pada Filsafat Nusantara, terutama dalam aspek
spiritualitas, sosialitas, dan pluralisme nilai.⁴
Pandangan Latif
menempatkan filsafat lokal sebagai dasar normatif dalam merumuskan etika
kebangsaan yang inklusif, demokratis, dan berkeadaban. Kontribusi ini penting
dalam membentuk basis filosofis yang kontekstual dan otentik dalam diskursus
kenegaraan dan pembangunan sosial.
7.4.
Kajian Lintas Disiplin:
Antropologi-Filsafat-Budaya
Filsafat Nusantara
dalam studi kontemporer juga berkembang dalam kajian multidisipliner, terutama
antara filsafat, antropologi, dan studi budaya. Para peneliti seperti Heddy
Shri Ahimsa-Putra dan Koentjaraningrat memberikan dasar teoritis dalam melihat
budaya lokal sebagai struktur pemaknaan yang dapat diinterpretasi secara
filosofis.⁵ Mereka menegaskan bahwa simbol, ritus, dan mitos lokal mengandung
logika eksistensial dan etika yang mampu menjelaskan hubungan manusia dengan
dunia secara holistik.⁶
Dengan pendekatan
ini, kajian filsafat tidak lagi terpaku pada nalar formal dan argumentatif
semata, melainkan membuka ruang pada ekspresi non-diskursif seperti seni,
ritual, atau narasi adat sebagai sarana refleksi filosofis.
7.5.
Ruang Akademik dan Tantangan Institusional
Walaupun berkembang,
Filsafat Nusantara masih menghadapi tantangan institusional dalam dunia
akademik. Kurikulum pendidikan tinggi filsafat di Indonesia masih sangat
didominasi oleh tradisi filsafat Barat (Plato, Kant, Hegel, Heidegger, dll.)
dengan sedikit ruang untuk eksplorasi pemikiran lokal.⁷
Namun, beberapa
universitas mulai membuka ruang kajian khusus seperti “Filsafat Indonesia” atau
“Filsafat Timur” dalam mata kuliah pilihan. Selain itu, munculnya jurnal-jurnal
filsafat lokal dan seminar nasional menjadi wadah penting dalam mengembangkan
diskursus Filsafat Nusantara secara akademis. Inisiatif seperti ini sangat
penting untuk memperluas horizon berpikir dan memperkuat posisi filsafat lokal
dalam lanskap ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]
Driyarkara, “Filsafat sebagai Pemikiran Reflektif dan Kritis,” dalam Karya
Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Peristiwa Zaman (Jakarta: Gramedia, 2006), 45–46.
[2]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 6–7.
[3]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi Identitas dan Etika
Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 19–21.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 105–110.
[5]
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Struktur Makna dan Makna Struktur dalam
Kajian Budaya,” Jurnal Antropologi Indonesia 29, no. 2 (2005): 56–57.
[6]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2002), 65.
[7]
Yusdi Santika, “Kurikulum Filsafat di Indonesia: Evaluasi dan
Rekomendasi,” Jurnal Filsafat 31, no. 1 (2021): 77–78.
8.
Kontribusi
dan Relevansi Filsafat Nusantara dalam Konteks Global
Dalam konteks global
yang ditandai oleh krisis ekologis, disorientasi moral, serta meningkatnya
kesenjangan sosial dan konflik identitas, Filsafat Nusantara menawarkan
alternatif paradigma pemikiran yang berakar pada keharmonisan, relasionalitas,
dan kebijaksanaan hidup kolektif. Meskipun belum banyak dikenal dalam wacana
filsafat internasional, nilai-nilai dan struktur makna yang terkandung dalam
Filsafat Nusantara memiliki potensi kontribusi yang signifikan terhadap
percakapan filosofis global, terutama dalam upaya mendekolonisasi filsafat,
membangun dialog lintas budaya, dan merumuskan etika keberlanjutan yang lebih
manusiawi.
8.1.
Dekolonisasi Epistemologi dan Pluralitas
Pengetahuan
Filsafat Nusantara
dapat berperan dalam proyek dekolonisasi epistemologi global dengan menunjukkan
bahwa filsafat tidak hanya lahir dari tradisi Barat, tetapi juga dari
pengalaman dan refleksi masyarakat non-Barat. Sebagaimana dikemukakan oleh
Walter Mignolo, dekolonisasi pengetahuan harus dimulai dengan membuka ruang
bagi epistemologies
of the South—yakni bentuk-bentuk pengetahuan yang lahir dari
pengalaman historis, kultural, dan spiritual masyarakat dunia ketiga.¹
Filsafat Nusantara,
dengan struktur epistemik yang bersifat simbolik, intuitif, dan komunal,
menawarkan pandangan dunia yang tidak berbasis dominasi rasio instrumental,
tetapi pada relasi antara manusia, alam, dan yang transenden.² Hal ini
memperkaya khazanah filsafat dunia dengan perspektif yang lebih integratif dan
non-dualistis.
8.2.
Etika Ekologis dan Kosmologi Harmonis
Di tengah krisis
lingkungan global akibat eksploitasi berlebihan dan paradigma antroposentris,
Filsafat Nusantara menghadirkan model kosmologi yang menekankan keharmonisan
manusia dengan alam. Konsep-konsep seperti Tri Hita Karana (Bali), manunggaling
kawula-Gusti (Jawa), atau relasi sakral masyarakat adat Dayak dan
Papua dengan lingkungan menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara telah lama
mengembangkan etika ekologis berbasis spiritualitas dan keseimbangan kosmis.³
Konsep ini sangat
relevan dengan diskursus deep ecology atau eco-philosophy
di Barat, yang menuntut reformulasi hubungan manusia dengan alam secara lebih
etis dan transformatif. Dengan demikian, Filsafat Nusantara dapat menjadi
sumber etika alternatif yang berakar pada kearifan lokal namun memiliki daya
resonansi global.
8.3.
Kontribusi terhadap Dialog Interkultural dan
Multikulturalisme
Filsafat Nusantara
juga dapat menjadi instrumen penting dalam memperkuat dialog antarbudaya di era
globalisasi. Nilai-nilai seperti toleransi, musyawarah, keseimbangan dualitas
(misalnya dalam Rwa Bhineda), dan orientasi
kolektif menawarkan kontribusi terhadap wacana multikulturalisme dan resolusi
konflik berbasis nilai-nilai non-konfrontatif.⁴
Dalam masyarakat
global yang sering kali terpolarisasi oleh fanatisme ideologis dan identitas
yang eksklusif, Filsafat Nusantara memberi contoh bagaimana pluralitas dapat
dikelola dalam kerangka relasi yang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
8.4.
Paradigma Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Di tengah kritik
terhadap sistem pendidikan global yang terlalu teknokratis dan berorientasi
pada produktivitas ekonomi semata, Filsafat Nusantara berpotensi memberi arah
baru dalam pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter,
spiritualitas, dan etika kolektif. Pendidikan berbasis kearifan lokal,
sebagaimana dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia, mengedepankan
pembelajaran yang holistik, kontekstual, dan berakar pada nilai-nilai budaya
setempat.⁵
Pendekatan ini
sejalan dengan gagasan indigenous education di tingkat
global yang mengusulkan pendidikan sebagai proses penanaman makna hidup, bukan
sekadar transfer pengetahuan teknis.⁶
8.5.
Sumbangan pada Etika Global dan Filsafat
Peradaban
Filsafat Nusantara
memiliki potensi untuk menyumbang pada pembangunan etika global yang inklusif
dan transkultural. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, dibutuhkan
landasan etik yang tidak hanya bersumber dari tradisi Barat (seperti
utilitarianisme atau deontologi), tetapi juga dari nilai-nilai kolektif dan
spiritual yang hidup dalam masyarakat non-Barat.⁷
Dalam konteks ini,
Filsafat Nusantara menawarkan kerangka etika yang berpijak pada keutamaan hidup
selaras (selaras
alam dan sesama), penghormatan terhadap keberagaman, serta tanggung
jawab kolektif—nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam membangun peradaban
global yang lebih adil, lestari, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 62–64.
[2]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi Identitas dan Etika
Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 35.
[3]
I Made Titib, The Relevance of Hindu Dharma in Contemporary
Indonesia (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2001), 91–93.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 127.
[5]
Siti Murtiningsih, “Pengembangan Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 20, no. 4 (2014): 471–485.
[6]
Catherine Odora Hoppers, Indigenous Knowledge and the Integration
of Knowledge Systems (Cape Town: New Africa Books, 2002), 18.
[7]
Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization
and Exclusion (Durham: Duke University Press, 2013), 142.
9.
Penutup
Filsafat Nusantara merupakan sebuah bentuk refleksi
mendalam atas kebijaksanaan lokal yang tumbuh dalam dinamika sejarah,
kebudayaan, dan spiritualitas masyarakat Indonesia. Ia tidak hadir sebagai
sistem tertutup yang terstruktur secara sistematis seperti filsafat Barat
klasik, tetapi sebagai jaringan makna yang hidup dalam praktik sosial, simbol
budaya, dan etika komunal. Filsafat ini lahir dari interaksi historis antara
warisan adat lokal, pengaruh Hindu-Buddha, Islamisasi, serta pergulatan
kolonial dan nasionalisme, yang kemudian membentuk konfigurasi pemikiran yang
khas, kaya akan nuansa simbolik dan spiritual.¹
Dalam perkembangannya, Filsafat Nusantara menunjukkan
bahwa filsafat tidak harus identik dengan rasionalisme sistematis, melainkan
dapat hadir dalam bentuk pemahaman intuitif, pengalaman kolektif, dan struktur
nilai-nilai kehidupan.² Ia menekankan pentingnya relasi harmonis antara
manusia, alam, dan Tuhan; menumbuhkan etika sosial berbasis kebersamaan dan
tanggung jawab kolektif; serta menyuarakan ontologi relasional yang melihat
eksistensi sebagai jejaring keterhubungan, bukan sebagai entitas atomistik yang
terpisah.³
Di era globalisasi yang sering kali mengedepankan
homogenisasi budaya dan dominasi epistemologis, Filsafat Nusantara memberikan
kontribusi penting dalam mendorong pluralisme pengetahuan dan dialog
antarperadaban. Ia menjadi representasi dari epistemologi Selatan yang
menantang monopoli rasionalitas modern Barat, serta menawarkan nilai-nilai
alternatif dalam menghadapi krisis ekologis, disintegrasi sosial, dan
kekosongan spiritual yang melanda dunia kontemporer.⁴ Dengan pendekatan yang
holistik, integratif, dan humanistik, filsafat ini menjadi sumber inspirasi
untuk merumuskan etika publik, paradigma pendidikan, dan arah pembangunan yang
lebih berkeadaban dan berkelanjutan.
Namun demikian, keberlangsungan dan relevansi
Filsafat Nusantara ke depan sangat bergantung pada kesadaran kolektif dalam mengaktualisasikannya
secara kritis dan kreatif. Perlu ada usaha yang sistematis dalam
mendokumentasikan, mengkaji, dan mengembangkan warisan kearifan lokal ini di
dalam institusi pendidikan, riset akademik, serta kebijakan kebudayaan
nasional. Sebagaimana ditegaskan oleh Bagus Takwin, Filsafat Nusantara bukan
hanya soal pelestarian, tetapi juga soal keberanian untuk menjadikannya sebagai
modus berpikir dan modus hidup yang relevan dengan tantangan
zaman.⁵
Dengan demikian, Filsafat Nusantara adalah sebuah
tawaran filosofis yang otentik dari Indonesia untuk dunia—sebuah filsafat yang
lahir dari bumi sendiri, berpijak pada akar budaya, namun menatap masa depan
umat manusia secara universal.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global
dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), 67.
[2]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 85–86.
[3]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta:
Balai Pustaka, 1985), 56–58.
[4]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western
Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University
Press, 2011), 64–66.
[5]
Bagus Takwin, Filsafat Nusantara: Eksplorasi
Identitas dan Etika Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2020), 92–93.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. (2005). Struktur makna dan
makna struktur dalam kajian budaya. Jurnal Antropologi Indonesia, 29(2),
51–60.
Ahimsa-Putra, H. S. (2011). Budaya lokal dalam
konteks global: Paradoks dan peluang. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 13(2),
169–182.
Amal, M. A. (2010). Sejarah Kepulauan Maluku.
Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Budaya Maluku.
Azra, A. (2002). Islam Nusantara: Jaringan
global dan lokal. Bandung: Mizan.
Bustami. (2009). Adat dan syariat dalam perspektif
Minangkabau. Jurnal Sosiohumaniora, 11(2), 131–134.
Driyarkara. (2006). Filsafat sebagai pemikiran
reflektif dan kritis. Dalam Karya lengkap Driyarkara: Esai-esai filsafat
pemikir yang terlibat penuh dalam peristiwa zaman (hlm. 45–46). Jakarta:
Gramedia.
Dussel, E. (2013). Ethics of liberation in the
age of globalization and exclusion (A. A. Vallega, Trans.). Durham: Duke
University Press.
Hoppers, C. O. (2002). Indigenous knowledge
systems: Implications for education, development and research. Cape Town:
HSRC Press.
Hoppers, C. O. (2002). Indigenous knowledge and
the integration of knowledge systems. Cape Town: New Africa Books.
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan, mentalitas
dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Mattulada. (1985). Latoa: Satu lukisan analitis
terhadap antropologi politik orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University
Press.
Magnis-Suseno, F. (1993). Etika Jawa: Sebuah
analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, F. (1987). Filsafat sebagai ilmu
kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Mignolo, W. D. (2011). The darker side of
Western modernity: Global futures, decolonial options. Durham: Duke
University Press.
Murtiningsih, S. (2014). Pengembangan kurikulum
berbasis kearifan lokal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20(4),
471–485.
Naharuddin. (2012). Filsafat adat dalam sistem
sosial Minangkabau. Jurnal Filsafat, 22(2), 129–138.
Odora Hoppers, C. (2002). Indigenous knowledge
systems: Implications for education, development and research. Cape Town:
HSRC Press.
Putra, I. N. D. (2017). Tri Hita Karana dan Rwa
Bhineda dalam konteks pembangunan Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Qodir, Z. (2013). Spiritual tourism dan
komodifikasi kearifan lokal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(3),
229–243.
Rahman, N. (2015). Etika Siri’ Na Pacce dan
relevansinya dalam pendidikan karakter. Jurnal Al-Ulum, 15(1), 121–134.
Santika, Y. (2021). Kurikulum filsafat di Indonesia:
Evaluasi dan rekomendasi. Jurnal Filsafat, 31(1), 75–92.
Soebardi, S. (1977). The Book of Centhini: The
Javanese Enkyklopaedie. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 133(4),
451–460.
Soedjatmoko. (1985). Dimensi manusia dalam
pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Siti Syamsiyatun. (2016). Revitalisasi budaya lokal
dan hak masyarakat adat dalam bingkai NKRI. Jurnal Antropologi Indonesia, 37(1),
20–34.
Takwin, B. (2020). Filsafat Nusantara:
Eksplorasi identitas dan etika Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Titib, I. M. (2001). The relevance of Hindu
Dharma in contemporary Indonesia. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Turmudzi, D. (2008). Silih asih, asah, asuh:
Filsafat sosial Sunda. Bandung: UPI Press.
Yusriadi & Misnawati. (2015). Kearifan lokal
dalam struktur sosial Minangkabau. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 17(1),
47–58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar