Nominalisme
Realitas Universal dan Identitas Entitas dalam
Perspektif Filsafat
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam aliran nominalisme
dalam cabang filsafat ontologi, khususnya terkait persoalan klasik
mengenai status realitas universal. Nominalisme merupakan pandangan yang
menolak eksistensi objektif dari universal dan menegaskan bahwa hanya entitas
partikular yang sungguh-sungguh ada, sedangkan istilah umum hanyalah konstruksi
linguistik yang berfungsi pragmatis. Artikel ini menguraikan pengertian
ontologi dan problema universal, memetakan pokok ajaran nominalisme, serta
menelusuri sejarah perkembangannya dari filsafat Yunani hingga era kontemporer.
Selanjutnya, dianalisis pula kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Roscellinus,
William of Ockham, John Locke, Nelson Goodman, dan W.V.O. Quine. Perbandingan
antara nominalisme, realisme, dan konseptualisme menunjukkan kekhasan
masing-masing dalam memahami keberadaan dan identitas entitas. Pembahasan
kemudian diperluas ke ranah filsafat bahasa, logika, ilmu, etika, dan ontologi
sosial untuk menunjukkan relevansi kontemporer nominalisme. Artikel ini juga
menyajikan kritik filosofis terhadap nominalisme, terutama terkait kelemahannya
dalam menjelaskan kemiripan, landasan nilai, dan status entitas matematika.
Melalui pendekatan filosofis-analitis, artikel ini menegaskan posisi
nominalisme sebagai pendekatan yang ekonomis namun terbatas, serta mengajak
pada refleksi ulang terhadap dasar-dasar metafisika modern.
Kata Kunci: Nominalisme, Ontologi, Universal, Partikular,
William of Ockham, Realisme, Konseptualisme, Filsafat Bahasa, Parsimoni
Ontologis, Identitas Entitas.
PEMBAHASAN
Nominalisme dalam Konteks Ontologi
1.
Pendahuluan
Masalah tentang
hakikat keberadaan merupakan salah satu persoalan tertua dan paling mendasar
dalam sejarah filsafat. Dalam konteks ontologi, yakni cabang filsafat
yang membahas tentang keberadaan dan struktur realitas, timbul pertanyaan
fundamental mengenai apakah entitas universal seperti
"manusia", "keadilan", atau "warna
merah" memiliki eksistensi yang nyata ataukah hanyalah konstruksi
bahasa semata. Persoalan ini memunculkan perdebatan yang panjang antara tiga
pendekatan besar dalam filsafat: realisme, konseptualisme,
dan nominalisme.
Di antara ketiganya,
nominalisme
tampil sebagai posisi ontologis yang secara radikal menolak eksistensi realitas
objektif dari universal. Menurut pandangan ini, hanya individu
konkret yang benar-benar ada, sedangkan kategori-kategori umum
tidak memiliki keberadaan mandiri, melainkan hanya merupakan nama
(nomen) atau label linguistik yang digunakan manusia untuk
mengelompokkan benda-benda yang serupa satu sama lain.1 Dengan kata
lain, "kemerahan" tidak ada sebagai entitas terpisah dari benda-benda
merah; ia hanyalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kesamaan di
antara benda-benda tersebut.
Asal-usul gagasan
nominalisme dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani Kuno, meskipun
bentuknya yang sistematis baru berkembang pada Abad Pertengahan, terutama
dalam karya Roscellinus dan kemudian
diperkokoh oleh William of Ockham. Pandangan
ini menjadi sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka berpikir modernitas,
terutama dalam pendekatan ilmiah dan empiris yang menolak entitas metafisis
yang tidak terobservasi secara langsung.2
Studi terhadap
nominalisme bukan hanya penting secara historis, tetapi juga memiliki relevansi
dalam berbagai bidang kontemporer seperti filsafat bahasa, logika,
filsafat
sains, bahkan etika dan filsafat agama.
Perdebatan mengenai apakah kategori-kategori moral atau ilmiah merupakan
entitas nyata atau hanya konstruksi linguistik memengaruhi cara kita memahami
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Dengan demikian,
pembahasan tentang nominalisme dalam konteks ontologi menjadi penting untuk
memahami bagaimana manusia membangun konsepsi tentang realitas, serta bagaimana
perbedaan pendekatan terhadap universalitas berdampak pada epistemologi dan
praktik ilmiah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis ajaran
nominalisme, perkembangan historisnya, kontribusi para tokohnya, serta
implikasinya dalam diskursus filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to
the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 3–5.
[2]
Peter Abelard dan John Marenbon, The Philosophy of Peter Abelard
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 112–114; serta Armand Maurer, Medieval
Philosophy (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1982),
199–202.
2.
Pengertian Ontologi
dan Permasalahan Universal
Ontologi
merupakan salah satu cabang utama dalam filsafat yang membahas tentang hakikat
keberadaan, struktur realitas, dan kategori-kategori
fundamental yang membentuk segala sesuatu yang ada. Dalam
tradisi filsafat Barat, istilah ini berasal dari bahasa Yunani ontos
(οντος, “yang ada”) dan logos (λόγος, “ilmu” atau “kajian”),
sehingga secara harfiah ontologi adalah studi tentang "yang ada sebagai
yang ada" (being qua being).1
Ontologi tidak hanya mempertanyakan apa yang ada, tetapi juga bagaimana
sesuatu itu ada, serta hubungan antara berbagai jenis entitas,
termasuk objek fisik, gagasan, nilai, dan kategori umum.
Salah satu persoalan
klasik dalam ontologi adalah masalah universal (problem
of universals). Permasalahan ini berakar pada pertanyaan apakah universal—seperti
“merah”, “keberanian”, “manusia”, atau “segitiga”—memiliki
eksistensi nyata (real) atau hanya
merupakan abstraksi mental atau sekadar
istilah bahasa yang kita gunakan untuk menyebut kesamaan antar
objek individual. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa dua apel itu merah,
apakah “merah” adalah sesuatu yang benar-benar ada di luar pikiran kita?
Ataukah “merah” hanyalah nama yang kita gunakan untuk menunjuk pada
kemiripan fenomenal antara kedua apel tersebut?
Dari persoalan ini,
berkembang tiga tanggapan utama dalam sejarah filsafat:
1)
Realisme
berpendapat bahwa universal memiliki eksistensi nyata dan
independen dari pikiran manusia. Dalam versi platonisnya,
entitas universal bahkan dianggap berada di dunia ideal yang lebih tinggi dari
dunia fisik. Misalnya, konsep “keadilan” eksis sebagai bentuk ideal yang
sempurna di luar pengalaman empiris kita.2
2)
Konseptualisme
mengakui bahwa universal memang tidak ada secara
objektif, tetapi ada dalam pikiran
sebagai hasil abstraksi. Universal bukan entitas mandiri, melainkan hasil dari
aktivitas kognitif manusia dalam menggeneralisasi pengalaman partikular.3
3)
Nominalisme,
yang menjadi fokus utama artikel ini, menolak keberadaan ontologis universal
baik di luar maupun di dalam pikiran. Menurut nominalis, yang benar-benar ada
hanyalah entitas partikular; universal hanyalah kata atau nama
(nomen) yang digunakan untuk tujuan praktis dalam berbahasa dan
berpikir.4
Masalah universal
tidak hanya menjadi pusat perhatian para filsuf skolastik di Abad Pertengahan,
tetapi juga terus memengaruhi perkembangan filsafat bahasa, logika,
dan filsafat
ilmu di era modern. Oleh karena itu, memahami struktur dasar
persoalan ini sangat penting untuk menjelajahi akar-akar argumentasi dalam
nominalisme dan posisi-posisi filosofis lainnya.
Footnotes
[1]
E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University
Press, 2002), 7–9.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), Book VII.
[3]
William F. Vallicella, “Three Theories of Universals,” in The
Cambridge Companion to Metaphysics, ed. Michael Loux and Dean Zimmerman
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–103.
[4]
Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to
the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 12–16.
3.
Hakikat dan Pokok
Ajaran Nominalisme
Nominalisme
merupakan salah satu posisi ontologis yang paling radikal dalam menanggapi
persoalan universal. Inti dari ajaran nominalisme adalah penolakan terhadap
eksistensi realitas objektif dari universal atau entitas
umum. Menurut pandangan ini, hanya individu
partikular yang benar-benar eksis, sedangkan universal hanyalah
produk konvensi
linguistik atau fungsi praktis bahasa dalam
menunjuk kesamaan di antara objek-objek berbeda.1
Secara etimologis,
istilah "nominalisme" berasal dari kata Latin nomen,
yang berarti "nama". Hal ini menegaskan klaim dasar para
nominalis bahwa entitas seperti "manusia", "kebajikan",
atau "putih" tidak memiliki eksistensi tersendiri
di luar objek-objek individual yang dinamai demikian. Ketika kita menyebut dua
objek sebagai “merah”, menurut nominalisme, tidak ada sesuatu yang
disebut “kemerahan” yang benar-benar ada secara mandiri; kata “merah”
hanyalah label yang digunakan untuk menunjuk kesamaan dalam persepsi atau
penggunaan.2
Salah satu pokok
penting dalam doktrin nominalisme adalah klaim bahwa penggunaan universal tidak
menambah ontologi dunia. Dalam istilah William of Ockham, kita
tidak boleh “mengandaikan adanya entitas tanpa kebutuhan yang jelas”—sebuah
prinsip yang dikenal luas sebagai Ockham’s Razor. Prinsip ini
menyatakan bahwa entitas tidak boleh digandakan tanpa keperluan (entia
non sunt multiplicanda praeter necessitatem).3 Oleh
karena itu, jika kita dapat menjelaskan sesuatu tanpa mengasumsikan keberadaan
universal, maka kita harus menyingkirkan universal dari penjelasan kita.
Dalam versi yang
lebih kuat, nominalisme menyatakan bahwa bahkan kesamaan antar objek hanyalah kebetulan
perseptual atau hubungan eksternal, bukan
karena adanya sifat atau bentuk umum yang dimiliki oleh objek-objek itu.
Misalnya, dua kucing tidaklah serupa karena keduanya memiliki “kucingness”,
tetapi karena kita mengamati pola-pola perilaku, bentuk, atau fungsi yang
secara empiris tampak sama bagi kita.4
Terdapat dua bentuk
utama dari nominalisme:
·
Nominalisme
Predikatif (Predicate Nominalism), yang menekankan bahwa
universal hanyalah kata-kata atau istilah umum yang dipakai dalam bahasa.
·
Nominalisme
Kemiripan (Resemblance Nominalism), yang menganggap bahwa
kemiripan di antara objek partikular cukup untuk menjelaskan mengapa kita
mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang sama, tanpa perlu mengandaikan
adanya entitas universal.5
Meskipun pandangan
nominalisme memberikan solusi yang elegan dan ekonomis terhadap persoalan
ontologis, ia juga menghadapi tantangan serius, terutama dalam menjelaskan dasar
obyektivitas ilmu, logika, dan bahasa,
yang sangat mengandalkan kategori dan abstraksi. Namun, sebagai pendekatan
filsafat, nominalisme menawarkan cara pandang yang menekankan kesederhanaan
ontologis, ekonomi metafisika, dan keutamaan
partikularitas, yang selaras dengan arah berpikir empiris
dan ilmiah
dalam modernitas.
Footnotes
[1]
D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I:
Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 4–5.
[2]
Richard Sorabji, Universals, Properties, and Qualities: The Works
of Aristotle (London: Duckworth, 1980), 137.
[3]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 12–14.
[4]
Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of
Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 174–177.
[5]
Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to
the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 17–21.
4.
Sejarah Perkembangan
Nominalisme
Perkembangan
historis nominalisme dalam filsafat
mencerminkan dinamika panjang perdebatan metafisik mengenai status entitas
universal. Walaupun terminologi "nominalisme" baru
diformulasikan secara sistematis pada Abad Pertengahan, akar-akar pemikirannya
sudah dapat dilacak sejak masa filsafat Yunani Kuno.
Dalam dialog-dialog
Plato, khususnya Parmenides dan Sophist,
tampak bahwa Plato berpihak pada realisme bentuk: bahwa setiap
entitas partikular memiliki kesamaan karena berpartisipasi dalam bentuk ideal
atau eidos.1
Namun, murid-murid dan pengkritiknya—terutama Antisthenes, murid Socrates
yang dikenal sebagai tokoh sinetisisme awal—menunjukkan
sikap yang cenderung nominalistik. Antisthenes
menolak universal, menyatakan bahwa hanya individu yang dapat disebut secara
benar, sedangkan istilah umum seperti “kuda” tidak merujuk pada apa pun
yang nyata kecuali pada masing-masing kuda itu sendiri.2 Ini dapat
dipahami sebagai bentuk proto-nominalisme, meskipun belum
dikembangkan secara sistematis.
Nominalisme sebagai sistem
pemikiran filsafat mulai memperoleh bentuk yang lebih eksplisit
pada Abad
Pertengahan, terutama dalam konteks debat skolastik mengenai problema
universalium. Tokoh pertama yang secara jelas memformulasikan
posisi nominalis adalah Roscellinus dari Compiègne (c.
1050–1125). Ia menyatakan bahwa universal hanyalah flatus vocis (hembusan suara),
bukan realitas objektif yang berdiri sendiri. Pandangannya ini menuai kritik
keras dari para realis seperti Anselmus dan Pierre Abélard, yang menilainya
sebagai bentuk ekstrem dari reduksionisme ontologis.3
Namun, puncak
pematangan nominalisme terjadi melalui karya William
of Ockham (c. 1287–1347), seorang filsuf dan teolog Fransiskan
yang sangat berpengaruh. Dalam karyanya Summa Logicae, Ockham mengembangkan
prinsip parsimoni ontologis (dikenal
sebagai Ockham’s Razor), dan berpendapat bahwa tidak ada kebutuhan untuk
mengasumsikan entitas universal jika penjelasan tentang dunia dapat dicapai
melalui entitas partikular dan istilah linguistik.4 Menurut Ockham,
hanya individu yang eksis; semua universal hanyalah hasil penamaan
konvensional dalam bahasa.
Pandangan Ockham
membuka jalan bagi pergeseran epistemologis dan
metodologis yang akan berkembang dalam Renaisans dan zaman
modern, khususnya dalam pemikiran empiris
dan sains
modern. Tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan John
Locke dalam filsafat modern awal menunjukkan kecenderungan
nominalistik, terutama dalam menekankan bahwa ide-ide umum adalah hasil
abstraksi dari pengalaman partikular, bukan entitas mandiri.5
Pada abad ke-20,
nominalisme kembali menjadi pusat perdebatan dalam filsafat analitik, terutama
oleh tokoh seperti Nelson Goodman dan W.V.O.
Quine. Mereka mengembangkan versi nominalisme yang berkaitan
erat dengan filsafat bahasa, logika,
dan teori
ilmu pengetahuan. Quine, misalnya, mempertanyakan pembagian
ontologis tradisional antara entitas abstrak dan konkret, dan menyerukan revisi
radikal terhadap komitmen ontologis melalui analisis bahasa ilmiah.6
Dengan demikian,
sejarah nominalisme tidak hanya mencerminkan sebuah aliran pemikiran metafisik,
tetapi juga pergeseran paradigma dalam
memahami realitas, bahasa, dan pengetahuan. Dari akar skeptisisme Yunani hingga
rasionalisme dan empirisme modern, nominalisme tetap relevan sebagai kritik
terhadap reifikasi konsep dan sebagai upaya menyederhanakan struktur ontologis
dunia.
Footnotes
[1]
Plato, Parmenides, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 1999), 130–135.
[2]
Gisela Striker, “Antisthenes on Language,” in Oxford Studies in
Ancient Philosophy 6 (1988): 93–114.
[3]
Alain de Libera, La querelle des universaux: De Platon à la fin du
Moyen Âge (Paris: Seuil, 1996), 159–162.
[4]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 15–20.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book III, Chapter III.
[6]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
5.
Tokoh-Tokoh Penting
dan Gagasan Sentral
Sejarah dan
perkembangan nominalisme tidak lepas dari kontribusi sejumlah tokoh penting
yang membentuk dan mengembangkan fondasi teoritisnya. Para pemikir ini tidak
hanya menyusun argumen ontologis terhadap realitas universal, tetapi juga memberikan
dasar epistemologis dan linguistik yang memperkuat posisi nominalis.
5.1.
Roscellinus dari
Compiègne (ca. 1050–1125)
Roscellinus sering
disebut sebagai tokoh pertama dalam tradisi skolastik yang secara eksplisit
mengemukakan posisi nominalis. Ia terkenal dengan pandangannya bahwa universal
hanyalah “hembusan suara” (flatus vocis), yaitu suara kosong
tanpa referensi ontologis.1 Dalam kerangka pemikirannya, kata-kata
seperti “manusia” atau “keadilan” tidak menunjuk pada realitas
objektif di luar individu yang dirujuk. Akibatnya, hanya individu partikular
yang memiliki eksistensi nyata, sedangkan universal hanyalah hasil konvensi
bahasa. Pandangan ini menuai kritik keras dari realis seperti Anselmus dan
Abélard, yang menilai bahwa posisi Roscellinus dapat mengarah pada triadikisme
dalam teologi Trinitas Kristen, karena ia menolak eksistensi satu esensi yang
dimiliki bersama oleh tiga pribadi Ilahi.2
5.2.
William of Ockham
(ca. 1287–1347)
William of Ockham
adalah tokoh paling berpengaruh dalam tradisi nominalisme. Ia mengembangkan
prinsip parsimoni ontologis yang
kemudian dikenal sebagai Ockham’s Razor: “Entitas
tidak boleh digandakan tanpa keperluan” (Entia non sunt multiplicanda praeter
necessitatem).3 Bagi Ockham, penjelasan yang baik adalah
penjelasan yang paling sederhana secara ontologis. Oleh karena itu, daripada
mengasumsikan eksistensi entitas universal yang tidak dapat diamati secara
empiris, cukup mengandalkan istilah bahasa untuk menjelaskan kategori umum.
Ockham berpendapat
bahwa hanya
individu yang eksis, dan bahwa klasifikasi seperti “manusia”
atau “anjing” hanyalah hasil dari abstraksi intelektual, bukan
entitas yang berdiri sendiri. Dalam karyanya Summa Logicae, ia menyatakan bahwa
istilah umum tidak menunjukkan keberadaan universal apa pun, melainkan hanya
merepresentasikan kesamaan konseptual yang digunakan untuk tujuan logis dan
linguistik.4
5.3.
John Locke
(1632–1704)
Meskipun bukan
nominalis dalam pengertian skolastik, John Locke memberikan kontribusi penting
dalam pengembangan nominalisme empiris. Dalam An Essay
Concerning Human Understanding, Locke menyatakan bahwa ide umum
(general ideas) tidak berasal dari eksistensi universal di luar pikiran,
melainkan merupakan hasil abstraksi dari
pengalaman-pengalaman partikular yang mirip.5 Misalnya, ide tentang
“emas” adalah hasil penggabungan sifat-sifat seperti kuning, berat, dan
dapat ditempa yang secara empiris ditemukan pada banyak objek, bukan karena ada
“keemasan” sebagai substansi universal. Locke menguatkan kecenderungan
nominalistik dalam filsafat modern yang menolak entitas abstrak yang tidak
dapat diverifikasi secara empiris.
5.4.
Nelson Goodman
(1906–1998)
Dalam filsafat
analitik abad ke-20, Nelson Goodman menghidupkan
kembali debat tentang nominalisme dalam konteks filsafat
bahasa dan simbolisme. Dalam Languages of Art, ia memperkenalkan
teori bahwa semua representasi simbolik, termasuk bahasa, seni, dan logika,
adalah hasil dari sistem klasifikasi yang dibangun secara konvensional,
bukan berdasarkan realitas objektif dari universal.6 Goodman bahkan
mengusulkan nominalisme ekstrim, menolak
semua entitas abstrak dan menggantikannya dengan sistem tanda dan konvensi
linguistik.
5.5.
W.V.O. Quine
(1908–2000)
Willard
Van Orman Quine adalah tokoh sentral dalam filsafat analitik
yang mempertanyakan kembali fondasi ontologi Barat. Dalam esainya On What
There Is, Quine mengkritik penggunaan entitas abstrak dalam
filsafat dan ilmu, dan mengajukan pendekatan ontologi naturalistik yang hanya
menerima entitas yang diperlukan dalam teori empiris yang berhasil.7
Ia menolak perbedaan ontologis antara objek konkret dan entitas abstrak,
sehingga menantang dualisme klasik antara partikular dan universal.
Para tokoh ini,
meskipun datang dari latar belakang sejarah dan orientasi metodologis yang
berbeda, menyumbangkan gagasan kunci yang memperkuat nominalisme sebagai aliran
filsafat yang berpengaruh. Dengan menolak eksistensi entitas universal dan
menekankan partikularitas serta peran bahasa, mereka menantang asumsi dasar
dalam metafisika tradisional dan menawarkan pendekatan baru dalam memahami
realitas.
Footnotes
[1]
Roscelin of Compiègne, dalam John Marenbon, Medieval Philosophy: An
Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007),
87–90.
[2]
Alain de Libera, La querelle des universaux: De Platon à la fin du
Moyen Âge (Paris: Seuil, 1996), 172–174.
[3]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 15–18.
[4]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1987), 153–157.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book III, Chapter III.
[6]
Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of
Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 125–135.
[7]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
6.
Analisis
Perbandingan: Nominalisme vs Realisme dan Konseptualisme
Persoalan universal
telah memecah para filsuf sejak zaman kuno menjadi tiga kubu utama: realisme,
konseptualisme,
dan nominalisme.
Ketiga pandangan ini mengemukakan pendekatan yang berbeda-beda dalam menjawab
pertanyaan ontologis tentang status entitas umum seperti "manusia",
"warna merah", atau "keadilan". Analisis
komparatif terhadap ketiganya menunjukkan perbedaan mendasar baik dari segi ontologi,
epistemologi,
maupun implikasi
logis dalam teori bahasa dan ilmu pengetahuan.
6.1.
Realisme: Eksistensi
Objektif Universal
Realisme
dalam konteks ontologi berpandangan bahwa universal benar-benar
ada dan memiliki eksistensi independen dari
pikiran manusia. Dalam versi klasiknya, yang diperkenalkan oleh Plato,
universal eksis dalam dunia ideal (dunia bentuk), terpisah dari dunia inderawi.
Universal seperti “keadilan” atau “keindahan” tidak tergantung
pada eksistensi partikular, melainkan memiliki realitas yang sempurna dan
abadi.1
Dalam versi moderat
yang berkembang dalam filsafat skolastik, misalnya
dalam pemikiran Thomas Aquinas, universal eksis
dalam tiga cara: sebelum benda (ante rem,
dalam pikiran Tuhan), dalam benda (in re,
sebagai bentuk imanen), dan dalam pikiran (post rem,
sebagai hasil abstraksi manusia).2 Posisi ini mempertahankan
objektivitas universal, namun menyesuaikannya dengan realitas dunia empiris dan
keilmuan.
6.2.
Konseptualisme:
Universal sebagai Konstruksi Mental
Konseptualisme
adalah posisi antara realisme dan nominalisme. Penganut pandangan ini meyakini
bahwa universal tidak eksis di luar pikiran,
tetapi tetap memiliki keberadaan mental yang sah.
Artinya, universal adalah hasil dari abstraksi intelektual yang
dibentuk oleh akal manusia berdasarkan pengamatan atas individu partikular yang
serupa.3
Tokoh-tokoh seperti Pierre
Abélard dan kemudian Immanuel Kant mendukung
pendekatan ini. Kant secara khusus berpendapat bahwa konsep universal dibentuk
melalui proses kategorisasi apriori yang
memungkinkan pengalaman menjadi dapat dipahami.4 Meskipun universal
tidak memiliki status ontologis yang independen, ia tetap penting dalam
struktur pengetahuan dan logika.
6.3.
Nominalisme:
Universal sebagai Nama atau Label
Sebaliknya, nominalisme
menolak eksistensi ontologis universal, baik secara objektif maupun mental.
Menurut kaum nominalis, hanya entitas partikular yang
benar-benar ada, dan universal hanyalah kata-kata atau nama (nomina)
yang digunakan untuk menunjuk pada kelompok objek berdasarkan kemiripan atau
fungsi praktis dalam bahasa.5 William of Ockham adalah tokoh penting
dalam pendekatan ini. Ia menekankan bahwa kita tidak perlu mengasumsikan
entitas baru dalam metafisika jika hal tersebut tidak diperlukan untuk
menjelaskan data empiris.
Ada dua varian
nominalisme:
·
Nominalisme
predikatif, yang menganggap universal sebagai istilah semata
dalam bahasa.
·
Nominalisme
kemiripan, yang menjelaskan klasifikasi berdasarkan kemiripan
antar individu, tanpa mengandaikan entitas umum.6
6.4.
Perbandingan
Filosofis dan Implikasi Ontologis
6.4.1.
Status
Universal
·
Realisme:
Universal benar-benar eksis secara objektif,
terlepas dari pengamatan atau pikiran manusia.
·
Konseptualisme:
Universal tidak eksis secara objektif,
tetapi ada dalam pikiran sebagai
hasil abstraksi dari pengalaman.
·
Nominalisme:
Universal tidak eksis sama sekali,
melainkan hanya kata atau istilah yang
digunakan dalam bahasa.
6.4.2.
Keberadaan
Utama
·
Realisme:
Baik entitas partikular maupun universal dianggap
memiliki keberadaan yang nyata.
·
Konseptualisme:
Hanya entitas partikular yang nyata; universal hanyalah konsep
mental.
·
Nominalisme:
Hanya entitas partikular yang memiliki keberadaan ontologis
yang sah.
6.4.3.
Implikasi
Ontologis
·
Realisme:
Menyebabkan multiplisitas entitas,
karena mengakui realitas ganda: universal dan partikular.
·
Konseptualisme:
Menunjukkan struktur mentalisasi
dalam penyusunan konsep dan pemahaman.
·
Nominalisme:
Menawarkan kesederhanaan ontologis
(parsimonious ontology) dengan menolak entitas abstrak yang tidak diperlukan.
6.4.4.
Tokoh-Tokoh
Utama
·
Realisme:
Plato, Aristoteles (dalam versi imanen), Thomas Aquinas.
·
Konseptualisme:
Pierre Abélard, Immanuel Kant.
·
Nominalisme:
Roscellinus, William of Ockham, W.V.O. Quine.
6.4.5.
Kritik
Utama
·
Realisme:
Dianggap terlalu mereifikasi konsep, yaitu
memperlakukan ide sebagai sesuatu yang nyata secara independen.
·
Konseptualisme:
Dianggap terlalu subjektif, karena
universal bergantung pada pikiran individu.
·
Nominalisme:
Dianggap kesulitan menjelaskan kemiripan
antar objek dan dasar objektif bagi ilmu dan logika.
Salah satu kritik
utama terhadap realisme adalah
kecenderungannya untuk mereifikasi entitas abstrak,
yakni memperlakukan konsep-konsep sebagai entitas yang benar-benar ada. Ini
dinilai sebagai bentuk inflasi ontologis yang tidak ekonomis. Konseptualisme
menghadapi tantangan dalam menjelaskan objektivitas pengetahuan,
karena universal hanya dipahami sebagai produk pikiran. Nominalisme,
meskipun ekonomis secara ontologis, dikritik karena kesulitannya
menjelaskan kemiripan antar entitas dan struktur
logika dalam ilmu pengetahuan.7
Meski demikian, ketiga
pandangan ini tetap memainkan peran penting dalam diskursus metafisika dan
filsafat kontemporer. Pilihan terhadap salah satu posisi ini sering kali
menentukan kerangka metafisika, struktur
logika, bahkan etika dan teori ilmu seseorang.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I. q.85 a.2.
[3]
William F. Vallicella, “Three Theories of Universals,” in The
Cambridge Companion to Metaphysics, ed. Michael Loux and Dean Zimmerman
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–104.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A58/B82.
[5]
Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to
the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 3–6.
[6]
D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I:
Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
75–80.
[7]
Nelson Goodman, Fact, Fiction, and Forecast (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1955), 23–27.
7.
Implikasi
Nominalisme dalam Diskursus Kontemporer
Nominalisme, meskipun
berasal dari perdebatan skolastik mengenai universal pada Abad Pertengahan,
tetap memainkan peran penting dalam berbagai wacana filsafat kontemporer.
Penolakan terhadap realitas ontologis universal telah memberikan dampak besar
terhadap filsafat bahasa, logika,
ilmu
pengetahuan, dan bahkan etika serta filsafat agama.
Dalam konteks modern, nominalisme tidak hanya dipertahankan sebagai solusi
terhadap problema metafisika, tetapi juga menjadi pendekatan metodologis dalam
menyederhanakan komitmen ontologis dalam teori dan praktik ilmiah.
7.1.
Filsafat Bahasa dan
Semiotika
Salah satu wilayah
paling signifikan yang terpengaruh oleh nominalisme adalah filsafat
bahasa. Dengan menolak realitas objektif universal, para
nominalis memandang bahwa makna dalam bahasa tidak berasal dari hubungan antara
kata dan entitas universal yang eksis secara independen, melainkan dari konvensi
linguistik dan penggunaan sosial dalam
komunitas bahasa tertentu.1 Dalam konteks ini, makna menjadi fenomena
pragmatis, bukan entitas metafisik.
Pandangan ini
mendapat penguatan dalam filsafat analitik abad ke-20 melalui tokoh seperti Nelson
Goodman, yang menekankan bahwa semua bentuk klasifikasi
(termasuk bahasa) adalah sistem buatan manusia, bukan pencerminan dari realitas
objektif universal. Dalam Languages of Art, ia menunjukkan
bahwa bahkan sistem estetika dan simbolik sekalipun merupakan produk pilihan
sistemik daripada refleksi terhadap realitas metafisis.2
7.2.
Logika dan
Matematika
Nominalisme juga
memberikan kontribusi penting dalam bidang logika dan filsafat matematika,
khususnya dalam nominalisme logis, yakni
pendekatan yang mencoba membangun sistem logika atau matematika tanpa
mengasumsikan keberadaan entitas abstrak seperti bilangan, himpunan, atau
fungsi.
Tokoh seperti Hartry
Field dalam bukunya Science Without Numbers mencoba
menunjukkan bahwa teori-teori ilmiah dapat diformulasikan tanpa bergantung pada
entitas matematika abstrak.3 Usaha ini mencerminkan semangat
nominalistik yang berusaha mengurangi komitmen ontologis terhadap entitas
non-empiris. Implikasi penting dari pendekatan ini adalah adanya kecenderungan
untuk memisahkan antara instrumen matematis dan realitas
fisik, serta mempertanyakan validitas ontologis dari entitas
abstrak dalam teori-teori ilmiah.
7.3.
Filsafat Ilmu dan Metodologi
Sains
Dalam ranah filsafat
ilmu, nominalisme memperkuat pendekatan empiris
dan instrumentalis,
yang memandang teori ilmiah bukan sebagai representasi realitas metafisik,
melainkan sebagai alat untuk meramalkan dan mengorganisasi
pengalaman. Pendekatan ini sejalan dengan posisi W.V.O.
Quine, yang menolak dikotomi antara analitik dan sintetis serta
menyerukan revisi ontologi berdasarkan
kebutuhan teoritis dan empiris.4
Implikasinya,
pendekatan ilmiah yang nominalistik akan lebih fokus pada model
kerja yang dapat diverifikasi secara empiris, daripada
spekulasi tentang keberadaan entitas yang tidak terobservasi. Hal ini
memperkuat preferensi terhadap parsimonious theories, yakni
teori yang menjelaskan data dengan sesedikit mungkin asumsi ontologis.
7.4.
Etika dan Filsafat
Nilai
Dalam bidang etika
dan filsafat nilai, nominalisme menghadirkan tantangan penting
terhadap pandangan objektivisme moral. Bila
nilai-nilai moral dianggap sebagai universal yang tidak eksis secara objektif,
maka moralitas menjadi produk konstruksi sosial, konvensi
budaya, atau preferensi individual.
Pendekatan ini menimbulkan persoalan terkait relativisme moral dan dasar
normatif tindakan etis.
Namun, beberapa
filsuf mencoba menggabungkan nominalisme dengan pendekatan naturalistik
atau utilitarian, seperti yang dikembangkan oleh Richard
Rorty, yang menyatakan bahwa nilai dan norma lebih baik
dipahami sebagai hasil diskursus intersubjektif
ketimbang pantulan dari entitas moral objektif.5
7.5.
Ontologi Sosial dan
Identitas
Nominalisme juga
memberi sumbangsih pada ontologi sosial, terutama dalam
kritik terhadap esensialisme identitas. Dalam wacana kontemporer tentang ras,
gender, dan kelas sosial, pendekatan nominalistik digunakan untuk menolak realitas
esensial dari kategori-kategori tersebut, dan memandangnya
sebagai konstruksi diskursif yang
berubah tergantung konteks historis dan budaya.
Filsuf seperti Ian
Hacking menggunakan istilah “konstruksi sosial” untuk
menunjukkan bagaimana klasifikasi sosial dibentuk dan diubah oleh praktik
ilmiah dan sosial, bukan sebagai kategori tetap dalam realitas.6 Hal
ini menunjukkan peran nominalisme dalam membongkar klaim esensialisme dan
memberikan ruang bagi pendekatan yang lebih kritis terhadap identitas dan norma
sosial.
Dengan demikian,
nominalisme terus memberikan kontribusi penting dalam berbagai bidang filsafat
kontemporer, baik sebagai teori metafisika maupun sebagai pendekatan
metodologis. Ia mengajarkan bahwa kesederhanaan ontologis bukan hanya soal
efisiensi logis, tetapi juga sebagai dasar epistemik untuk membangun sistem
pengetahuan yang lebih tangguh dan dapat diuji.
Footnotes
[1]
Paul Horwich, Meaning (Oxford: Clarendon Press, 1998), 2–5.
[2]
Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of
Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 121–125.
[3]
Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism
(Princeton: Princeton University Press, 1980), 1–3.
[4]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point
of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[5]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 73–75.
[6]
Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 33–40.
8.
Kritik dan Evaluasi
terhadap Nominalisme
Meskipun nominalisme
menawarkan pendekatan yang menarik dan ekonomis dalam menjelaskan realitas, ia
juga menghadapi berbagai kritik filosofis yang serius
dari berbagai kubu, terutama dari realis dan konseptualis. Kritik ini tidak
hanya menyasar aspek ontologis, tetapi juga epistemologis,
logis,
dan etis,
sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kelengkapan, koherensi,
dan kemampuan
penjelas dari nominalisme.
8.1.
Kesulitan
Menjelaskan Kemiripan
Salah satu kritik
klasik terhadap nominalisme adalah kesulitannya dalam menjelaskan kemiripan antar
individu tanpa mengasumsikan adanya entitas universal. Jika dua
objek disebut “merah”, dan “merah” hanyalah sebuah istilah linguistik, maka
muncul pertanyaan: mengapa kita bisa mengelompokkannya dalam satu
kategori yang sama?.
Tokoh realis seperti
D. M.
Armstrong menekankan bahwa penjelasan tentang kemiripan
memerlukan dasar ontologis yang lebih dari
sekadar nama. Menurutnya, sifat-sifat umum (universals)
diperlukan untuk menjelaskan pola regularitas di alam semesta.1
Tanpa universal, kemiripan menjadi fakta kebetulan yang tidak memiliki
penjelasan mendalam, dan ini melemahkan kemampuan nominalisme untuk mendukung
dasar ilmiah yang konsisten.
8.2.
Masalah dalam
Filsafat Ilmu
Nominalisme juga
dikritik dalam konteks filsafat ilmu, terutama dalam
menjelaskan kekuatan prediktif teori ilmiah.
Jika entitas matematika dan hukum alam hanyalah “istilah” tanpa keberadaan
real, maka mengapa teori-teori tersebut mampu meramalkan fenomena dengan
akurasi tinggi?
Hilary
Putnam dalam kritiknya terhadap nominalisme matematis
menyatakan bahwa “keberhasilan ilmu bukanlah mukjizat”,
dan bahwa efektivitas matematika dalam ilmu alam menunjukkan adanya struktur
ontologis yang objektif, bukan sekadar perangkat simbolik
konvensional.2 Pandangan ini menunjukkan bahwa nominalisme cenderung
mereduksi keabsahan teori ilmiah menjadi utilitas pragmatis, bukan representasi
realitas.
8.3.
Tantangan terhadap
Objek Abstrak dalam Logika dan Matematika
Pendekatan
nominalistik juga menghadapi kesulitan serius dalam menjelaskan objek
abstrak seperti bilangan, fungsi, dan relasi dalam logika dan
matematika. Meskipun tokoh seperti Hartry Field mencoba membangun
fisika tanpa angka, pendekatan ini dinilai terlalu radikal
dan teknis, serta tidak praktis untuk kebutuhan ilmiah dan
pendidikan.3
Banyak filsuf
matematika, termasuk Kurt Gödel, mempertahankan
posisi platonistik,
yakni bahwa entitas matematika eksis secara independen dari pikiran manusia,
dan memiliki peran penting dalam struktur dasar pengetahuan ilmiah.4
Kritik ini menunjukkan bahwa nominalisme sulit mempertahankan relevansinya jika
ia menolak secara total eksistensi entitas non-empiris yang tetap diperlukan
secara fungsional.
8.4.
Masalah Etika dan
Objektivitas Nilai
Dalam bidang etika,
nominalisme berpotensi mengarah pada relativisme moral. Jika
nilai-nilai seperti “kebaikan” atau “keadilan” tidak memiliki eksistensi
objektif, maka seluruh sistem moral menjadi berbasis konvensi atau
preferensi subjektif. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai dasar
normatif dari prinsip-prinsip etis universal seperti hak asasi
manusia, keadilan sosial, atau larangan terhadap kekerasan.
C. S.
Lewis, dalam The Abolition of Man, mengkritik
kecenderungan reduksionis semacam ini karena dianggap merusak fondasi moral
yang dibutuhkan masyarakat untuk bertahan secara etis dan spiritual.5
Tanpa pengakuan terhadap kebenaran nilai-nilai moral objektif, nominalisme
berisiko menurunkan etika menjadi perdebatan pragmatis belaka.
8.5.
Evaluasi: Antara
Parsimoni dan Kekurangan Penjelas
Meskipun nominalisme
memiliki keunggulan dalam kesederhanaan ontologis dan ketelitian
logis, kelemahannya justru terletak pada kekurangan
daya jelaskan (explanatory power) terhadap realitas konseptual
yang kita temui dalam sains, matematika, dan etika. Sebagian filsuf, seperti Michael
Loux, berargumen bahwa nominalisme gagal memberi justifikasi
memadai terhadap pola sistematis dalam pengalaman tanpa mengandaikan entitas
universal tertentu.6
Namun demikian,
nominalisme tetap dihargai karena berhasil menantang asumsi metafisika tradisional,
dan memaksa filsafat untuk mempertimbangkan kembali keperluan atas entitas
abstrak yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Footnotes
[1]
D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I:
Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
85–89.
[2]
Hilary Putnam, Mathematics, Matter and Method (Cambridge:
Cambridge University Press, 1975), 73–75.
[3]
Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism
(Princeton: Princeton University Press, 1980), 10–13.
[4]
Kurt Gödel, Collected Works: Volume III, ed. Solomon Feferman
et al. (Oxford: Oxford University Press, 1995), 274–277.
[5]
C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperOne, 2001),
43–45.
[6]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New
York: Routledge, 2006), 57–59.
9.
Kesimpulan
Nominalisme, sebagai
salah satu aliran utama dalam diskursus ontologis, menawarkan sebuah pendekatan
yang radikal dan hemat ontologi terhadap masalah klasik mengenai status universal.
Dengan menolak eksistensi entitas abstrak yang independen dari entitas
partikular, nominalisme menegaskan bahwa hanya yang individual yang
benar-benar ada, dan bahwa istilah-istilah umum hanyalah alat
linguistik atau konvensi pragmatis yang
digunakan manusia untuk menyederhanakan realitas.1
Sejak awal
kemunculannya dalam pemikiran Roscellinus dan mencapai bentuk
matang dalam karya William of Ockham, nominalisme
telah memainkan peran penting dalam mereduksi struktur metafisika ke dalam
bentuk yang lebih sederhana dan lebih mudah diverifikasi secara empiris.
Prinsip Ockham’s Razor, yang menjadi
ciri khas pendekatan nominalistik, tidak hanya memengaruhi pemikiran teologis
dan logis di Abad Pertengahan, tetapi juga membentuk arah baru dalam filsafat
ilmu dan metodologi modern.2
Namun demikian,
seperti yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya, nominalisme juga menghadapi
tantangan
serius. Kritik terhadap ketidakmampuannya menjelaskan kemiripan,
dasar
objektif dari nilai, serta efektivitas entitas matematika dalam sains
menunjukkan keterbatasan dari pendekatan ini ketika harus menangani struktur
yang kompleks dan relasi yang melampaui pengalaman partikular. Sejumlah filsuf,
seperti D. M. Armstrong dan Hilary
Putnam, berargumen bahwa penolakan total terhadap universal
dapat melemahkan penjelasan filosofis terhadap pola dan regularitas yang
terdapat di alam maupun dalam pemikiran manusia.3
Di sisi lain,
nominalisme tetap memberikan kontribusi signifikan dalam mendorong
penyederhanaan sistem metafisika, menguji
validitas asumsi ontologis, serta memfokuskan
perhatian pada bahasa dan praktik konseptual sebagai sarana
utama dalam memahami dunia. Dalam konteks kontemporer, terutama dalam bidang filsafat
bahasa, ontologi sosial, dan teori
ilmu pengetahuan, nominalisme tidak hanya relevan, tetapi juga
diperlukan sebagai koreksi terhadap kecenderungan metafisisme yang berlebihan.
Dengan demikian,
nominalisme bukan hanya sekadar penolakan terhadap entitas universal, tetapi
merupakan kerangka berpikir ontologis
yang menyuguhkan orientasi epistemik baru: bahwa realitas harus dipahami
melalui apa yang ada secara konkret,
dan bahwa pemahaman terhadap konsep harus selalu tunduk pada prinsip parsimonious
reasoning. Di tengah-tengah kompleksitas pemikiran filsafat
kontemporer, nominalisme tetap menjadi suara kritis yang mengingatkan bahwa
keberadaan bukanlah sesuatu yang bisa diproyeksikan secara bebas, tetapi harus
dijustifikasi dengan kebutuhan dan fungsionalitas dalam pemikiran
dan bahasa.
Footnotes
[1]
Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to
the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 5–9.
[2]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 17–20.
[3]
D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I:
Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
85–89; Hilary Putnam, Mathematics, Matter and Method (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 73–75.
Daftar Pustaka
Adams, M. M. (1987). William Ockham.
University of Notre Dame Press.
Armstrong, D. M. (1978). Universals and
scientific realism: Volume I: Nominalism and realism. Cambridge University
Press.
de Libera, A. (1996). La querelle des
universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge. Éditions du Seuil.
Field, H. (1980). Science without numbers: A
defence of nominalism. Princeton University Press.
Gödel, K. (1995). Collected works: Volume III.
(S. Feferman et al., Eds.). Oxford University Press.
Goodman, N. (1955). Fact, fiction, and forecast.
Harvard University Press.
Goodman, N. (1968). Languages of art: An
approach to a theory of symbols. Bobbs-Merrill.
Hacking, I. (1999). The social construction of
what? Harvard University Press.
Horwich, P. (1998). Meaning. Clarendon
Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781/1787)
Lewis, C. S. (2001). The abolition of man.
HarperOne. (Original work published 1944)
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1690)
Loux, M. J. (2006). Metaphysics: A contemporary
introduction (2nd ed.). Routledge.
Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An
historical and philosophical introduction. Routledge.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans., C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Plato. (1999). Parmenides (B. Jowett,
Trans.). Dover Publications.
Putnam, H. (1975). Mathematics, matter and
method. Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of
view. Harvard University Press.
Rodriguez-Pereyra, G. (2002). Resemblance
nominalism: A solution to the problem of universals. Clarendon Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Sorabji, R. (1980). Universals, properties, and
qualities: The works of Aristotle. Duckworth.
Striker, G. (1988). Antisthenes on language. Oxford
Studies in Ancient Philosophy, 6, 93–114.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Vallicella, W. F. (2005). Three theories of
universals. In M. Loux & D. Zimmerman (Eds.), The Cambridge companion to
metaphysics (pp. 101–120). Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar