Kamis, 12 Juni 2025

Nominalisme: Realitas Universal dan Identitas Entitas dalam Perspektif Filsafat

Nominalisme

Realitas Universal dan Identitas Entitas dalam Perspektif Filsafat


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam aliran nominalisme dalam cabang filsafat ontologi, khususnya terkait persoalan klasik mengenai status realitas universal. Nominalisme merupakan pandangan yang menolak eksistensi objektif dari universal dan menegaskan bahwa hanya entitas partikular yang sungguh-sungguh ada, sedangkan istilah umum hanyalah konstruksi linguistik yang berfungsi pragmatis. Artikel ini menguraikan pengertian ontologi dan problema universal, memetakan pokok ajaran nominalisme, serta menelusuri sejarah perkembangannya dari filsafat Yunani hingga era kontemporer. Selanjutnya, dianalisis pula kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Roscellinus, William of Ockham, John Locke, Nelson Goodman, dan W.V.O. Quine. Perbandingan antara nominalisme, realisme, dan konseptualisme menunjukkan kekhasan masing-masing dalam memahami keberadaan dan identitas entitas. Pembahasan kemudian diperluas ke ranah filsafat bahasa, logika, ilmu, etika, dan ontologi sosial untuk menunjukkan relevansi kontemporer nominalisme. Artikel ini juga menyajikan kritik filosofis terhadap nominalisme, terutama terkait kelemahannya dalam menjelaskan kemiripan, landasan nilai, dan status entitas matematika. Melalui pendekatan filosofis-analitis, artikel ini menegaskan posisi nominalisme sebagai pendekatan yang ekonomis namun terbatas, serta mengajak pada refleksi ulang terhadap dasar-dasar metafisika modern.

Kata Kunci: Nominalisme, Ontologi, Universal, Partikular, William of Ockham, Realisme, Konseptualisme, Filsafat Bahasa, Parsimoni Ontologis, Identitas Entitas.


PEMBAHASAN

Nominalisme dalam Konteks Ontologi


1.           Pendahuluan

Masalah tentang hakikat keberadaan merupakan salah satu persoalan tertua dan paling mendasar dalam sejarah filsafat. Dalam konteks ontologi, yakni cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan dan struktur realitas, timbul pertanyaan fundamental mengenai apakah entitas universal seperti "manusia", "keadilan", atau "warna merah" memiliki eksistensi yang nyata ataukah hanyalah konstruksi bahasa semata. Persoalan ini memunculkan perdebatan yang panjang antara tiga pendekatan besar dalam filsafat: realisme, konseptualisme, dan nominalisme.

Di antara ketiganya, nominalisme tampil sebagai posisi ontologis yang secara radikal menolak eksistensi realitas objektif dari universal. Menurut pandangan ini, hanya individu konkret yang benar-benar ada, sedangkan kategori-kategori umum tidak memiliki keberadaan mandiri, melainkan hanya merupakan nama (nomen) atau label linguistik yang digunakan manusia untuk mengelompokkan benda-benda yang serupa satu sama lain.1 Dengan kata lain, "kemerahan" tidak ada sebagai entitas terpisah dari benda-benda merah; ia hanyalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kesamaan di antara benda-benda tersebut.

Asal-usul gagasan nominalisme dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani Kuno, meskipun bentuknya yang sistematis baru berkembang pada Abad Pertengahan, terutama dalam karya Roscellinus dan kemudian diperkokoh oleh William of Ockham. Pandangan ini menjadi sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka berpikir modernitas, terutama dalam pendekatan ilmiah dan empiris yang menolak entitas metafisis yang tidak terobservasi secara langsung.2

Studi terhadap nominalisme bukan hanya penting secara historis, tetapi juga memiliki relevansi dalam berbagai bidang kontemporer seperti filsafat bahasa, logika, filsafat sains, bahkan etika dan filsafat agama. Perdebatan mengenai apakah kategori-kategori moral atau ilmiah merupakan entitas nyata atau hanya konstruksi linguistik memengaruhi cara kita memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.

Dengan demikian, pembahasan tentang nominalisme dalam konteks ontologi menjadi penting untuk memahami bagaimana manusia membangun konsepsi tentang realitas, serta bagaimana perbedaan pendekatan terhadap universalitas berdampak pada epistemologi dan praktik ilmiah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis ajaran nominalisme, perkembangan historisnya, kontribusi para tokohnya, serta implikasinya dalam diskursus filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 3–5.

[2]                Peter Abelard dan John Marenbon, The Philosophy of Peter Abelard (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 112–114; serta Armand Maurer, Medieval Philosophy (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1982), 199–202.


2.           Pengertian Ontologi dan Permasalahan Universal

Ontologi merupakan salah satu cabang utama dalam filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan, struktur realitas, dan kategori-kategori fundamental yang membentuk segala sesuatu yang ada. Dalam tradisi filsafat Barat, istilah ini berasal dari bahasa Yunani ontos (οντος, “yang ada”) dan logos (λόγος, “ilmu” atau “kajian”), sehingga secara harfiah ontologi adalah studi tentang "yang ada sebagai yang ada" (being qua being).1 Ontologi tidak hanya mempertanyakan apa yang ada, tetapi juga bagaimana sesuatu itu ada, serta hubungan antara berbagai jenis entitas, termasuk objek fisik, gagasan, nilai, dan kategori umum.

Salah satu persoalan klasik dalam ontologi adalah masalah universal (problem of universals). Permasalahan ini berakar pada pertanyaan apakah universal—seperti “merah”, “keberanian”, “manusia”, atau “segitiga”—memiliki eksistensi nyata (real) atau hanya merupakan abstraksi mental atau sekadar istilah bahasa yang kita gunakan untuk menyebut kesamaan antar objek individual. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa dua apel itu merah, apakah “merah” adalah sesuatu yang benar-benar ada di luar pikiran kita? Ataukah “merah” hanyalah nama yang kita gunakan untuk menunjuk pada kemiripan fenomenal antara kedua apel tersebut?

Dari persoalan ini, berkembang tiga tanggapan utama dalam sejarah filsafat:

1)                  Realisme berpendapat bahwa universal memiliki eksistensi nyata dan independen dari pikiran manusia. Dalam versi platonisnya, entitas universal bahkan dianggap berada di dunia ideal yang lebih tinggi dari dunia fisik. Misalnya, konsep “keadilan” eksis sebagai bentuk ideal yang sempurna di luar pengalaman empiris kita.2

2)                  Konseptualisme mengakui bahwa universal memang tidak ada secara objektif, tetapi ada dalam pikiran sebagai hasil abstraksi. Universal bukan entitas mandiri, melainkan hasil dari aktivitas kognitif manusia dalam menggeneralisasi pengalaman partikular.3

3)                  Nominalisme, yang menjadi fokus utama artikel ini, menolak keberadaan ontologis universal baik di luar maupun di dalam pikiran. Menurut nominalis, yang benar-benar ada hanyalah entitas partikular; universal hanyalah kata atau nama (nomen) yang digunakan untuk tujuan praktis dalam berbahasa dan berpikir.4

Masalah universal tidak hanya menjadi pusat perhatian para filsuf skolastik di Abad Pertengahan, tetapi juga terus memengaruhi perkembangan filsafat bahasa, logika, dan filsafat ilmu di era modern. Oleh karena itu, memahami struktur dasar persoalan ini sangat penting untuk menjelajahi akar-akar argumentasi dalam nominalisme dan posisi-posisi filosofis lainnya.


Footnotes

[1]                E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 7–9.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), Book VII.

[3]                William F. Vallicella, “Three Theories of Universals,” in The Cambridge Companion to Metaphysics, ed. Michael Loux and Dean Zimmerman (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–103.

[4]                Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 12–16.


3.           Hakikat dan Pokok Ajaran Nominalisme

Nominalisme merupakan salah satu posisi ontologis yang paling radikal dalam menanggapi persoalan universal. Inti dari ajaran nominalisme adalah penolakan terhadap eksistensi realitas objektif dari universal atau entitas umum. Menurut pandangan ini, hanya individu partikular yang benar-benar eksis, sedangkan universal hanyalah produk konvensi linguistik atau fungsi praktis bahasa dalam menunjuk kesamaan di antara objek-objek berbeda.1

Secara etimologis, istilah "nominalisme" berasal dari kata Latin nomen, yang berarti "nama". Hal ini menegaskan klaim dasar para nominalis bahwa entitas seperti "manusia", "kebajikan", atau "putih" tidak memiliki eksistensi tersendiri di luar objek-objek individual yang dinamai demikian. Ketika kita menyebut dua objek sebagai “merah”, menurut nominalisme, tidak ada sesuatu yang disebut “kemerahan” yang benar-benar ada secara mandiri; kata “merah” hanyalah label yang digunakan untuk menunjuk kesamaan dalam persepsi atau penggunaan.2

Salah satu pokok penting dalam doktrin nominalisme adalah klaim bahwa penggunaan universal tidak menambah ontologi dunia. Dalam istilah William of Ockham, kita tidak boleh “mengandaikan adanya entitas tanpa kebutuhan yang jelas”—sebuah prinsip yang dikenal luas sebagai Ockham’s Razor. Prinsip ini menyatakan bahwa entitas tidak boleh digandakan tanpa keperluan (entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem).3 Oleh karena itu, jika kita dapat menjelaskan sesuatu tanpa mengasumsikan keberadaan universal, maka kita harus menyingkirkan universal dari penjelasan kita.

Dalam versi yang lebih kuat, nominalisme menyatakan bahwa bahkan kesamaan antar objek hanyalah kebetulan perseptual atau hubungan eksternal, bukan karena adanya sifat atau bentuk umum yang dimiliki oleh objek-objek itu. Misalnya, dua kucing tidaklah serupa karena keduanya memiliki “kucingness”, tetapi karena kita mengamati pola-pola perilaku, bentuk, atau fungsi yang secara empiris tampak sama bagi kita.4

Terdapat dua bentuk utama dari nominalisme:

·                     Nominalisme Predikatif (Predicate Nominalism), yang menekankan bahwa universal hanyalah kata-kata atau istilah umum yang dipakai dalam bahasa.

·                     Nominalisme Kemiripan (Resemblance Nominalism), yang menganggap bahwa kemiripan di antara objek partikular cukup untuk menjelaskan mengapa kita mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang sama, tanpa perlu mengandaikan adanya entitas universal.5

Meskipun pandangan nominalisme memberikan solusi yang elegan dan ekonomis terhadap persoalan ontologis, ia juga menghadapi tantangan serius, terutama dalam menjelaskan dasar obyektivitas ilmu, logika, dan bahasa, yang sangat mengandalkan kategori dan abstraksi. Namun, sebagai pendekatan filsafat, nominalisme menawarkan cara pandang yang menekankan kesederhanaan ontologis, ekonomi metafisika, dan keutamaan partikularitas, yang selaras dengan arah berpikir empiris dan ilmiah dalam modernitas.


Footnotes

[1]                D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I: Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 4–5.

[2]                Richard Sorabji, Universals, Properties, and Qualities: The Works of Aristotle (London: Duckworth, 1980), 137.

[3]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 12–14.

[4]                Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 174–177.

[5]                Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 17–21.


4.           Sejarah Perkembangan Nominalisme

Perkembangan historis nominalisme dalam filsafat mencerminkan dinamika panjang perdebatan metafisik mengenai status entitas universal. Walaupun terminologi "nominalisme" baru diformulasikan secara sistematis pada Abad Pertengahan, akar-akar pemikirannya sudah dapat dilacak sejak masa filsafat Yunani Kuno.

Dalam dialog-dialog Plato, khususnya Parmenides dan Sophist, tampak bahwa Plato berpihak pada realisme bentuk: bahwa setiap entitas partikular memiliki kesamaan karena berpartisipasi dalam bentuk ideal atau eidos.1 Namun, murid-murid dan pengkritiknya—terutama Antisthenes, murid Socrates yang dikenal sebagai tokoh sinetisisme awal—menunjukkan sikap yang cenderung nominalistik. Antisthenes menolak universal, menyatakan bahwa hanya individu yang dapat disebut secara benar, sedangkan istilah umum seperti “kuda” tidak merujuk pada apa pun yang nyata kecuali pada masing-masing kuda itu sendiri.2 Ini dapat dipahami sebagai bentuk proto-nominalisme, meskipun belum dikembangkan secara sistematis.

Nominalisme sebagai sistem pemikiran filsafat mulai memperoleh bentuk yang lebih eksplisit pada Abad Pertengahan, terutama dalam konteks debat skolastik mengenai problema universalium. Tokoh pertama yang secara jelas memformulasikan posisi nominalis adalah Roscellinus dari Compiègne (c. 1050–1125). Ia menyatakan bahwa universal hanyalah flatus vocis (hembusan suara), bukan realitas objektif yang berdiri sendiri. Pandangannya ini menuai kritik keras dari para realis seperti Anselmus dan Pierre Abélard, yang menilainya sebagai bentuk ekstrem dari reduksionisme ontologis.3

Namun, puncak pematangan nominalisme terjadi melalui karya William of Ockham (c. 1287–1347), seorang filsuf dan teolog Fransiskan yang sangat berpengaruh. Dalam karyanya Summa Logicae, Ockham mengembangkan prinsip parsimoni ontologis (dikenal sebagai Ockham’s Razor), dan berpendapat bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengasumsikan entitas universal jika penjelasan tentang dunia dapat dicapai melalui entitas partikular dan istilah linguistik.4 Menurut Ockham, hanya individu yang eksis; semua universal hanyalah hasil penamaan konvensional dalam bahasa.

Pandangan Ockham membuka jalan bagi pergeseran epistemologis dan metodologis yang akan berkembang dalam Renaisans dan zaman modern, khususnya dalam pemikiran empiris dan sains modern. Tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan John Locke dalam filsafat modern awal menunjukkan kecenderungan nominalistik, terutama dalam menekankan bahwa ide-ide umum adalah hasil abstraksi dari pengalaman partikular, bukan entitas mandiri.5

Pada abad ke-20, nominalisme kembali menjadi pusat perdebatan dalam filsafat analitik, terutama oleh tokoh seperti Nelson Goodman dan W.V.O. Quine. Mereka mengembangkan versi nominalisme yang berkaitan erat dengan filsafat bahasa, logika, dan teori ilmu pengetahuan. Quine, misalnya, mempertanyakan pembagian ontologis tradisional antara entitas abstrak dan konkret, dan menyerukan revisi radikal terhadap komitmen ontologis melalui analisis bahasa ilmiah.6

Dengan demikian, sejarah nominalisme tidak hanya mencerminkan sebuah aliran pemikiran metafisik, tetapi juga pergeseran paradigma dalam memahami realitas, bahasa, dan pengetahuan. Dari akar skeptisisme Yunani hingga rasionalisme dan empirisme modern, nominalisme tetap relevan sebagai kritik terhadap reifikasi konsep dan sebagai upaya menyederhanakan struktur ontologis dunia.


Footnotes

[1]                Plato, Parmenides, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 1999), 130–135.

[2]                Gisela Striker, “Antisthenes on Language,” in Oxford Studies in Ancient Philosophy 6 (1988): 93–114.

[3]                Alain de Libera, La querelle des universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge (Paris: Seuil, 1996), 159–162.

[4]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 15–20.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book III, Chapter III.

[6]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.


5.           Tokoh-Tokoh Penting dan Gagasan Sentral

Sejarah dan perkembangan nominalisme tidak lepas dari kontribusi sejumlah tokoh penting yang membentuk dan mengembangkan fondasi teoritisnya. Para pemikir ini tidak hanya menyusun argumen ontologis terhadap realitas universal, tetapi juga memberikan dasar epistemologis dan linguistik yang memperkuat posisi nominalis.

5.1.       Roscellinus dari Compiègne (ca. 1050–1125)

Roscellinus sering disebut sebagai tokoh pertama dalam tradisi skolastik yang secara eksplisit mengemukakan posisi nominalis. Ia terkenal dengan pandangannya bahwa universal hanyalah “hembusan suara” (flatus vocis), yaitu suara kosong tanpa referensi ontologis.1 Dalam kerangka pemikirannya, kata-kata seperti “manusia” atau “keadilan” tidak menunjuk pada realitas objektif di luar individu yang dirujuk. Akibatnya, hanya individu partikular yang memiliki eksistensi nyata, sedangkan universal hanyalah hasil konvensi bahasa. Pandangan ini menuai kritik keras dari realis seperti Anselmus dan Abélard, yang menilai bahwa posisi Roscellinus dapat mengarah pada triadikisme dalam teologi Trinitas Kristen, karena ia menolak eksistensi satu esensi yang dimiliki bersama oleh tiga pribadi Ilahi.2

5.2.       William of Ockham (ca. 1287–1347)

William of Ockham adalah tokoh paling berpengaruh dalam tradisi nominalisme. Ia mengembangkan prinsip parsimoni ontologis yang kemudian dikenal sebagai Ockham’s Razor: “Entitas tidak boleh digandakan tanpa keperluan” (Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem).3 Bagi Ockham, penjelasan yang baik adalah penjelasan yang paling sederhana secara ontologis. Oleh karena itu, daripada mengasumsikan eksistensi entitas universal yang tidak dapat diamati secara empiris, cukup mengandalkan istilah bahasa untuk menjelaskan kategori umum.

Ockham berpendapat bahwa hanya individu yang eksis, dan bahwa klasifikasi seperti “manusia” atau “anjing” hanyalah hasil dari abstraksi intelektual, bukan entitas yang berdiri sendiri. Dalam karyanya Summa Logicae, ia menyatakan bahwa istilah umum tidak menunjukkan keberadaan universal apa pun, melainkan hanya merepresentasikan kesamaan konseptual yang digunakan untuk tujuan logis dan linguistik.4

5.3.       John Locke (1632–1704)

Meskipun bukan nominalis dalam pengertian skolastik, John Locke memberikan kontribusi penting dalam pengembangan nominalisme empiris. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke menyatakan bahwa ide umum (general ideas) tidak berasal dari eksistensi universal di luar pikiran, melainkan merupakan hasil abstraksi dari pengalaman-pengalaman partikular yang mirip.5 Misalnya, ide tentang “emas” adalah hasil penggabungan sifat-sifat seperti kuning, berat, dan dapat ditempa yang secara empiris ditemukan pada banyak objek, bukan karena ada “keemasan” sebagai substansi universal. Locke menguatkan kecenderungan nominalistik dalam filsafat modern yang menolak entitas abstrak yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.

5.4.       Nelson Goodman (1906–1998)

Dalam filsafat analitik abad ke-20, Nelson Goodman menghidupkan kembali debat tentang nominalisme dalam konteks filsafat bahasa dan simbolisme. Dalam Languages of Art, ia memperkenalkan teori bahwa semua representasi simbolik, termasuk bahasa, seni, dan logika, adalah hasil dari sistem klasifikasi yang dibangun secara konvensional, bukan berdasarkan realitas objektif dari universal.6 Goodman bahkan mengusulkan nominalisme ekstrim, menolak semua entitas abstrak dan menggantikannya dengan sistem tanda dan konvensi linguistik.

5.5.       W.V.O. Quine (1908–2000)

Willard Van Orman Quine adalah tokoh sentral dalam filsafat analitik yang mempertanyakan kembali fondasi ontologi Barat. Dalam esainya On What There Is, Quine mengkritik penggunaan entitas abstrak dalam filsafat dan ilmu, dan mengajukan pendekatan ontologi naturalistik yang hanya menerima entitas yang diperlukan dalam teori empiris yang berhasil.7 Ia menolak perbedaan ontologis antara objek konkret dan entitas abstrak, sehingga menantang dualisme klasik antara partikular dan universal.


Para tokoh ini, meskipun datang dari latar belakang sejarah dan orientasi metodologis yang berbeda, menyumbangkan gagasan kunci yang memperkuat nominalisme sebagai aliran filsafat yang berpengaruh. Dengan menolak eksistensi entitas universal dan menekankan partikularitas serta peran bahasa, mereka menantang asumsi dasar dalam metafisika tradisional dan menawarkan pendekatan baru dalam memahami realitas.


Footnotes

[1]                Roscelin of Compiègne, dalam John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 87–90.

[2]                Alain de Libera, La querelle des universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge (Paris: Seuil, 1996), 172–174.

[3]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 15–18.

[4]                Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 153–157.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book III, Chapter III.

[6]                Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 125–135.

[7]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.


6.           Analisis Perbandingan: Nominalisme vs Realisme dan Konseptualisme

Persoalan universal telah memecah para filsuf sejak zaman kuno menjadi tiga kubu utama: realisme, konseptualisme, dan nominalisme. Ketiga pandangan ini mengemukakan pendekatan yang berbeda-beda dalam menjawab pertanyaan ontologis tentang status entitas umum seperti "manusia", "warna merah", atau "keadilan". Analisis komparatif terhadap ketiganya menunjukkan perbedaan mendasar baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun implikasi logis dalam teori bahasa dan ilmu pengetahuan.

6.1.       Realisme: Eksistensi Objektif Universal

Realisme dalam konteks ontologi berpandangan bahwa universal benar-benar ada dan memiliki eksistensi independen dari pikiran manusia. Dalam versi klasiknya, yang diperkenalkan oleh Plato, universal eksis dalam dunia ideal (dunia bentuk), terpisah dari dunia inderawi. Universal seperti “keadilan” atau “keindahan” tidak tergantung pada eksistensi partikular, melainkan memiliki realitas yang sempurna dan abadi.1

Dalam versi moderat yang berkembang dalam filsafat skolastik, misalnya dalam pemikiran Thomas Aquinas, universal eksis dalam tiga cara: sebelum benda (ante rem, dalam pikiran Tuhan), dalam benda (in re, sebagai bentuk imanen), dan dalam pikiran (post rem, sebagai hasil abstraksi manusia).2 Posisi ini mempertahankan objektivitas universal, namun menyesuaikannya dengan realitas dunia empiris dan keilmuan.

6.2.       Konseptualisme: Universal sebagai Konstruksi Mental

Konseptualisme adalah posisi antara realisme dan nominalisme. Penganut pandangan ini meyakini bahwa universal tidak eksis di luar pikiran, tetapi tetap memiliki keberadaan mental yang sah. Artinya, universal adalah hasil dari abstraksi intelektual yang dibentuk oleh akal manusia berdasarkan pengamatan atas individu partikular yang serupa.3

Tokoh-tokoh seperti Pierre Abélard dan kemudian Immanuel Kant mendukung pendekatan ini. Kant secara khusus berpendapat bahwa konsep universal dibentuk melalui proses kategorisasi apriori yang memungkinkan pengalaman menjadi dapat dipahami.4 Meskipun universal tidak memiliki status ontologis yang independen, ia tetap penting dalam struktur pengetahuan dan logika.

6.3.       Nominalisme: Universal sebagai Nama atau Label

Sebaliknya, nominalisme menolak eksistensi ontologis universal, baik secara objektif maupun mental. Menurut kaum nominalis, hanya entitas partikular yang benar-benar ada, dan universal hanyalah kata-kata atau nama (nomina) yang digunakan untuk menunjuk pada kelompok objek berdasarkan kemiripan atau fungsi praktis dalam bahasa.5 William of Ockham adalah tokoh penting dalam pendekatan ini. Ia menekankan bahwa kita tidak perlu mengasumsikan entitas baru dalam metafisika jika hal tersebut tidak diperlukan untuk menjelaskan data empiris.

Ada dua varian nominalisme:

·                     Nominalisme predikatif, yang menganggap universal sebagai istilah semata dalam bahasa.

·                     Nominalisme kemiripan, yang menjelaskan klasifikasi berdasarkan kemiripan antar individu, tanpa mengandaikan entitas umum.6

6.4.       Perbandingan Filosofis dan Implikasi Ontologis

6.4.1.      Status Universal

·                     Realisme: Universal benar-benar eksis secara objektif, terlepas dari pengamatan atau pikiran manusia.

·                     Konseptualisme: Universal tidak eksis secara objektif, tetapi ada dalam pikiran sebagai hasil abstraksi dari pengalaman.

·                     Nominalisme: Universal tidak eksis sama sekali, melainkan hanya kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa.

6.4.2.      Keberadaan Utama

·                     Realisme: Baik entitas partikular maupun universal dianggap memiliki keberadaan yang nyata.

·                     Konseptualisme: Hanya entitas partikular yang nyata; universal hanyalah konsep mental.

·                     Nominalisme: Hanya entitas partikular yang memiliki keberadaan ontologis yang sah.

6.4.3.      Implikasi Ontologis

·                     Realisme: Menyebabkan multiplisitas entitas, karena mengakui realitas ganda: universal dan partikular.

·                     Konseptualisme: Menunjukkan struktur mentalisasi dalam penyusunan konsep dan pemahaman.

·                     Nominalisme: Menawarkan kesederhanaan ontologis (parsimonious ontology) dengan menolak entitas abstrak yang tidak diperlukan.

6.4.4.      Tokoh-Tokoh Utama

·                     Realisme: Plato, Aristoteles (dalam versi imanen), Thomas Aquinas.

·                     Konseptualisme: Pierre Abélard, Immanuel Kant.

·                     Nominalisme: Roscellinus, William of Ockham, W.V.O. Quine.

6.4.5.    Kritik Utama

·                     Realisme: Dianggap terlalu mereifikasi konsep, yaitu memperlakukan ide sebagai sesuatu yang nyata secara independen.

·                     Konseptualisme: Dianggap terlalu subjektif, karena universal bergantung pada pikiran individu.

·                     Nominalisme: Dianggap kesulitan menjelaskan kemiripan antar objek dan dasar objektif bagi ilmu dan logika.


Salah satu kritik utama terhadap realisme adalah kecenderungannya untuk mereifikasi entitas abstrak, yakni memperlakukan konsep-konsep sebagai entitas yang benar-benar ada. Ini dinilai sebagai bentuk inflasi ontologis yang tidak ekonomis. Konseptualisme menghadapi tantangan dalam menjelaskan objektivitas pengetahuan, karena universal hanya dipahami sebagai produk pikiran. Nominalisme, meskipun ekonomis secara ontologis, dikritik karena kesulitannya menjelaskan kemiripan antar entitas dan struktur logika dalam ilmu pengetahuan.7

Meski demikian, ketiga pandangan ini tetap memainkan peran penting dalam diskursus metafisika dan filsafat kontemporer. Pilihan terhadap salah satu posisi ini sering kali menentukan kerangka metafisika, struktur logika, bahkan etika dan teori ilmu seseorang.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I. q.85 a.2.

[3]                William F. Vallicella, “Three Theories of Universals,” in The Cambridge Companion to Metaphysics, ed. Michael Loux and Dean Zimmerman (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–104.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A58/B82.

[5]                Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 3–6.

[6]                D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I: Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 75–80.

[7]                Nelson Goodman, Fact, Fiction, and Forecast (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1955), 23–27.


7.           Implikasi Nominalisme dalam Diskursus Kontemporer

Nominalisme, meskipun berasal dari perdebatan skolastik mengenai universal pada Abad Pertengahan, tetap memainkan peran penting dalam berbagai wacana filsafat kontemporer. Penolakan terhadap realitas ontologis universal telah memberikan dampak besar terhadap filsafat bahasa, logika, ilmu pengetahuan, dan bahkan etika serta filsafat agama. Dalam konteks modern, nominalisme tidak hanya dipertahankan sebagai solusi terhadap problema metafisika, tetapi juga menjadi pendekatan metodologis dalam menyederhanakan komitmen ontologis dalam teori dan praktik ilmiah.

7.1.       Filsafat Bahasa dan Semiotika

Salah satu wilayah paling signifikan yang terpengaruh oleh nominalisme adalah filsafat bahasa. Dengan menolak realitas objektif universal, para nominalis memandang bahwa makna dalam bahasa tidak berasal dari hubungan antara kata dan entitas universal yang eksis secara independen, melainkan dari konvensi linguistik dan penggunaan sosial dalam komunitas bahasa tertentu.1 Dalam konteks ini, makna menjadi fenomena pragmatis, bukan entitas metafisik.

Pandangan ini mendapat penguatan dalam filsafat analitik abad ke-20 melalui tokoh seperti Nelson Goodman, yang menekankan bahwa semua bentuk klasifikasi (termasuk bahasa) adalah sistem buatan manusia, bukan pencerminan dari realitas objektif universal. Dalam Languages of Art, ia menunjukkan bahwa bahkan sistem estetika dan simbolik sekalipun merupakan produk pilihan sistemik daripada refleksi terhadap realitas metafisis.2

7.2.       Logika dan Matematika

Nominalisme juga memberikan kontribusi penting dalam bidang logika dan filsafat matematika, khususnya dalam nominalisme logis, yakni pendekatan yang mencoba membangun sistem logika atau matematika tanpa mengasumsikan keberadaan entitas abstrak seperti bilangan, himpunan, atau fungsi.

Tokoh seperti Hartry Field dalam bukunya Science Without Numbers mencoba menunjukkan bahwa teori-teori ilmiah dapat diformulasikan tanpa bergantung pada entitas matematika abstrak.3 Usaha ini mencerminkan semangat nominalistik yang berusaha mengurangi komitmen ontologis terhadap entitas non-empiris. Implikasi penting dari pendekatan ini adalah adanya kecenderungan untuk memisahkan antara instrumen matematis dan realitas fisik, serta mempertanyakan validitas ontologis dari entitas abstrak dalam teori-teori ilmiah.

7.3.       Filsafat Ilmu dan Metodologi Sains

Dalam ranah filsafat ilmu, nominalisme memperkuat pendekatan empiris dan instrumentalis, yang memandang teori ilmiah bukan sebagai representasi realitas metafisik, melainkan sebagai alat untuk meramalkan dan mengorganisasi pengalaman. Pendekatan ini sejalan dengan posisi W.V.O. Quine, yang menolak dikotomi antara analitik dan sintetis serta menyerukan revisi ontologi berdasarkan kebutuhan teoritis dan empiris.4

Implikasinya, pendekatan ilmiah yang nominalistik akan lebih fokus pada model kerja yang dapat diverifikasi secara empiris, daripada spekulasi tentang keberadaan entitas yang tidak terobservasi. Hal ini memperkuat preferensi terhadap parsimonious theories, yakni teori yang menjelaskan data dengan sesedikit mungkin asumsi ontologis.

7.4.       Etika dan Filsafat Nilai

Dalam bidang etika dan filsafat nilai, nominalisme menghadirkan tantangan penting terhadap pandangan objektivisme moral. Bila nilai-nilai moral dianggap sebagai universal yang tidak eksis secara objektif, maka moralitas menjadi produk konstruksi sosial, konvensi budaya, atau preferensi individual. Pendekatan ini menimbulkan persoalan terkait relativisme moral dan dasar normatif tindakan etis.

Namun, beberapa filsuf mencoba menggabungkan nominalisme dengan pendekatan naturalistik atau utilitarian, seperti yang dikembangkan oleh Richard Rorty, yang menyatakan bahwa nilai dan norma lebih baik dipahami sebagai hasil diskursus intersubjektif ketimbang pantulan dari entitas moral objektif.5

7.5.       Ontologi Sosial dan Identitas

Nominalisme juga memberi sumbangsih pada ontologi sosial, terutama dalam kritik terhadap esensialisme identitas. Dalam wacana kontemporer tentang ras, gender, dan kelas sosial, pendekatan nominalistik digunakan untuk menolak realitas esensial dari kategori-kategori tersebut, dan memandangnya sebagai konstruksi diskursif yang berubah tergantung konteks historis dan budaya.

Filsuf seperti Ian Hacking menggunakan istilah “konstruksi sosial” untuk menunjukkan bagaimana klasifikasi sosial dibentuk dan diubah oleh praktik ilmiah dan sosial, bukan sebagai kategori tetap dalam realitas.6 Hal ini menunjukkan peran nominalisme dalam membongkar klaim esensialisme dan memberikan ruang bagi pendekatan yang lebih kritis terhadap identitas dan norma sosial.


Dengan demikian, nominalisme terus memberikan kontribusi penting dalam berbagai bidang filsafat kontemporer, baik sebagai teori metafisika maupun sebagai pendekatan metodologis. Ia mengajarkan bahwa kesederhanaan ontologis bukan hanya soal efisiensi logis, tetapi juga sebagai dasar epistemik untuk membangun sistem pengetahuan yang lebih tangguh dan dapat diuji.


Footnotes

[1]                Paul Horwich, Meaning (Oxford: Clarendon Press, 1998), 2–5.

[2]                Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of Symbols (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 121–125.

[3]                Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism (Princeton: Princeton University Press, 1980), 1–3.

[4]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[5]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 73–75.

[6]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 33–40.


8.           Kritik dan Evaluasi terhadap Nominalisme

Meskipun nominalisme menawarkan pendekatan yang menarik dan ekonomis dalam menjelaskan realitas, ia juga menghadapi berbagai kritik filosofis yang serius dari berbagai kubu, terutama dari realis dan konseptualis. Kritik ini tidak hanya menyasar aspek ontologis, tetapi juga epistemologis, logis, dan etis, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kelengkapan, koherensi, dan kemampuan penjelas dari nominalisme.

8.1.       Kesulitan Menjelaskan Kemiripan

Salah satu kritik klasik terhadap nominalisme adalah kesulitannya dalam menjelaskan kemiripan antar individu tanpa mengasumsikan adanya entitas universal. Jika dua objek disebut “merah”, dan “merah” hanyalah sebuah istilah linguistik, maka muncul pertanyaan: mengapa kita bisa mengelompokkannya dalam satu kategori yang sama?.

Tokoh realis seperti D. M. Armstrong menekankan bahwa penjelasan tentang kemiripan memerlukan dasar ontologis yang lebih dari sekadar nama. Menurutnya, sifat-sifat umum (universals) diperlukan untuk menjelaskan pola regularitas di alam semesta.1 Tanpa universal, kemiripan menjadi fakta kebetulan yang tidak memiliki penjelasan mendalam, dan ini melemahkan kemampuan nominalisme untuk mendukung dasar ilmiah yang konsisten.

8.2.       Masalah dalam Filsafat Ilmu

Nominalisme juga dikritik dalam konteks filsafat ilmu, terutama dalam menjelaskan kekuatan prediktif teori ilmiah. Jika entitas matematika dan hukum alam hanyalah “istilah” tanpa keberadaan real, maka mengapa teori-teori tersebut mampu meramalkan fenomena dengan akurasi tinggi?

Hilary Putnam dalam kritiknya terhadap nominalisme matematis menyatakan bahwa “keberhasilan ilmu bukanlah mukjizat”, dan bahwa efektivitas matematika dalam ilmu alam menunjukkan adanya struktur ontologis yang objektif, bukan sekadar perangkat simbolik konvensional.2 Pandangan ini menunjukkan bahwa nominalisme cenderung mereduksi keabsahan teori ilmiah menjadi utilitas pragmatis, bukan representasi realitas.

8.3.       Tantangan terhadap Objek Abstrak dalam Logika dan Matematika

Pendekatan nominalistik juga menghadapi kesulitan serius dalam menjelaskan objek abstrak seperti bilangan, fungsi, dan relasi dalam logika dan matematika. Meskipun tokoh seperti Hartry Field mencoba membangun fisika tanpa angka, pendekatan ini dinilai terlalu radikal dan teknis, serta tidak praktis untuk kebutuhan ilmiah dan pendidikan.3

Banyak filsuf matematika, termasuk Kurt Gödel, mempertahankan posisi platonistik, yakni bahwa entitas matematika eksis secara independen dari pikiran manusia, dan memiliki peran penting dalam struktur dasar pengetahuan ilmiah.4 Kritik ini menunjukkan bahwa nominalisme sulit mempertahankan relevansinya jika ia menolak secara total eksistensi entitas non-empiris yang tetap diperlukan secara fungsional.

8.4.       Masalah Etika dan Objektivitas Nilai

Dalam bidang etika, nominalisme berpotensi mengarah pada relativisme moral. Jika nilai-nilai seperti “kebaikan” atau “keadilan” tidak memiliki eksistensi objektif, maka seluruh sistem moral menjadi berbasis konvensi atau preferensi subjektif. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai dasar normatif dari prinsip-prinsip etis universal seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, atau larangan terhadap kekerasan.

C. S. Lewis, dalam The Abolition of Man, mengkritik kecenderungan reduksionis semacam ini karena dianggap merusak fondasi moral yang dibutuhkan masyarakat untuk bertahan secara etis dan spiritual.5 Tanpa pengakuan terhadap kebenaran nilai-nilai moral objektif, nominalisme berisiko menurunkan etika menjadi perdebatan pragmatis belaka.

8.5.       Evaluasi: Antara Parsimoni dan Kekurangan Penjelas

Meskipun nominalisme memiliki keunggulan dalam kesederhanaan ontologis dan ketelitian logis, kelemahannya justru terletak pada kekurangan daya jelaskan (explanatory power) terhadap realitas konseptual yang kita temui dalam sains, matematika, dan etika. Sebagian filsuf, seperti Michael Loux, berargumen bahwa nominalisme gagal memberi justifikasi memadai terhadap pola sistematis dalam pengalaman tanpa mengandaikan entitas universal tertentu.6

Namun demikian, nominalisme tetap dihargai karena berhasil menantang asumsi metafisika tradisional, dan memaksa filsafat untuk mempertimbangkan kembali keperluan atas entitas abstrak yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.


Footnotes

[1]                D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I: Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 85–89.

[2]                Hilary Putnam, Mathematics, Matter and Method (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 73–75.

[3]                Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism (Princeton: Princeton University Press, 1980), 10–13.

[4]                Kurt Gödel, Collected Works: Volume III, ed. Solomon Feferman et al. (Oxford: Oxford University Press, 1995), 274–277.

[5]                C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperOne, 2001), 43–45.

[6]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2006), 57–59.


9.           Kesimpulan

Nominalisme, sebagai salah satu aliran utama dalam diskursus ontologis, menawarkan sebuah pendekatan yang radikal dan hemat ontologi terhadap masalah klasik mengenai status universal. Dengan menolak eksistensi entitas abstrak yang independen dari entitas partikular, nominalisme menegaskan bahwa hanya yang individual yang benar-benar ada, dan bahwa istilah-istilah umum hanyalah alat linguistik atau konvensi pragmatis yang digunakan manusia untuk menyederhanakan realitas.1

Sejak awal kemunculannya dalam pemikiran Roscellinus dan mencapai bentuk matang dalam karya William of Ockham, nominalisme telah memainkan peran penting dalam mereduksi struktur metafisika ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan lebih mudah diverifikasi secara empiris. Prinsip Ockham’s Razor, yang menjadi ciri khas pendekatan nominalistik, tidak hanya memengaruhi pemikiran teologis dan logis di Abad Pertengahan, tetapi juga membentuk arah baru dalam filsafat ilmu dan metodologi modern.2

Namun demikian, seperti yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya, nominalisme juga menghadapi tantangan serius. Kritik terhadap ketidakmampuannya menjelaskan kemiripan, dasar objektif dari nilai, serta efektivitas entitas matematika dalam sains menunjukkan keterbatasan dari pendekatan ini ketika harus menangani struktur yang kompleks dan relasi yang melampaui pengalaman partikular. Sejumlah filsuf, seperti D. M. Armstrong dan Hilary Putnam, berargumen bahwa penolakan total terhadap universal dapat melemahkan penjelasan filosofis terhadap pola dan regularitas yang terdapat di alam maupun dalam pemikiran manusia.3

Di sisi lain, nominalisme tetap memberikan kontribusi signifikan dalam mendorong penyederhanaan sistem metafisika, menguji validitas asumsi ontologis, serta memfokuskan perhatian pada bahasa dan praktik konseptual sebagai sarana utama dalam memahami dunia. Dalam konteks kontemporer, terutama dalam bidang filsafat bahasa, ontologi sosial, dan teori ilmu pengetahuan, nominalisme tidak hanya relevan, tetapi juga diperlukan sebagai koreksi terhadap kecenderungan metafisisme yang berlebihan.

Dengan demikian, nominalisme bukan hanya sekadar penolakan terhadap entitas universal, tetapi merupakan kerangka berpikir ontologis yang menyuguhkan orientasi epistemik baru: bahwa realitas harus dipahami melalui apa yang ada secara konkret, dan bahwa pemahaman terhadap konsep harus selalu tunduk pada prinsip parsimonious reasoning. Di tengah-tengah kompleksitas pemikiran filsafat kontemporer, nominalisme tetap menjadi suara kritis yang mengingatkan bahwa keberadaan bukanlah sesuatu yang bisa diproyeksikan secara bebas, tetapi harus dijustifikasi dengan kebutuhan dan fungsionalitas dalam pemikiran dan bahasa.


Footnotes

[1]                Gonzalo Rodriguez-Pereyra, Resemblance Nominalism: A Solution to the Problem of Universals (Oxford: Clarendon Press, 2002), 5–9.

[2]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), 17–20.

[3]                D. M. Armstrong, Universals and Scientific Realism, Volume I: Nominalism and Realism (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 85–89; Hilary Putnam, Mathematics, Matter and Method (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 73–75.


Daftar Pustaka

Adams, M. M. (1987). William Ockham. University of Notre Dame Press.

Armstrong, D. M. (1978). Universals and scientific realism: Volume I: Nominalism and realism. Cambridge University Press.

de Libera, A. (1996). La querelle des universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge. Éditions du Seuil.

Field, H. (1980). Science without numbers: A defence of nominalism. Princeton University Press.

Gödel, K. (1995). Collected works: Volume III. (S. Feferman et al., Eds.). Oxford University Press.

Goodman, N. (1955). Fact, fiction, and forecast. Harvard University Press.

Goodman, N. (1968). Languages of art: An approach to a theory of symbols. Bobbs-Merrill.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Horwich, P. (1998). Meaning. Clarendon Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Lewis, C. S. (2001). The abolition of man. HarperOne. (Original work published 1944)

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Loux, M. J. (2006). Metaphysics: A contemporary introduction (2nd ed.). Routledge.

Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An historical and philosophical introduction. Routledge.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans., C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Plato. (1999). Parmenides (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Putnam, H. (1975). Mathematics, matter and method. Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of view. Harvard University Press.

Rodriguez-Pereyra, G. (2002). Resemblance nominalism: A solution to the problem of universals. Clarendon Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Sorabji, R. (1980). Universals, properties, and qualities: The works of Aristotle. Duckworth.

Striker, G. (1988). Antisthenes on language. Oxford Studies in Ancient Philosophy, 6, 93–114.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Vallicella, W. F. (2005). Three theories of universals. In M. Loux & D. Zimmerman (Eds.), The Cambridge companion to metaphysics (pp. 101–120). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar