Kritisisme dalam Epistemologi
Antara Rasionalisme dan Empirisme dalam Upaya Memahami
Pengetahuan
Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Kritisisme
dalam epistemologi sebagaimana diformulasikan oleh Immanuel Kant sebagai
sintesis antara Rasionalisme dan Empirisme. Kritik Kant terhadap kedua
pendekatan klasik tersebut berujung pada perumusan pendekatan transendental
yang menekankan bahwa pengetahuan tidak sekadar hasil pasif dari pengalaman,
melainkan terbentuk melalui struktur apriori dalam kesadaran manusia. Artikel
ini menguraikan latar belakang historis lahirnya Kritisisme, konsep-konsep
utama seperti intuisi apriori, kategori pemahaman, dan synthetic a priori,
serta implikasinya terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu, artikel ini juga
mengkaji pengaruh Kritisisme dalam perkembangan filsafat kontemporer, termasuk
dalam Neo-Kantianisme, Fenomenologi, Konstruktivisme, dan Teori Kritis. Kritik
terhadap Kritisisme—baik dari sisi metafisika, epistemologi, maupun etika—juga
dibahas untuk menunjukkan batas-batas konseptual pendekatan ini. Melalui kajian
ini, artikel menegaskan bahwa Kritisisme tetap relevan sebagai kerangka
metodologis yang kritis dalam memahami syarat-syarat kemungkinan pengetahuan
manusia di tengah kompleksitas zaman modern.
Kata Kunci: Kritisisme, Immanuel Kant, epistemologi
transendental, synthetic a priori, Rasionalisme, Empirisme, filsafat modern,
struktur pengetahuan, fenomena dan noumena, kategori apriori.
PEMBAHASAN
Kritisisme dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Epistemologi,
sebagai cabang utama filsafat, membahas secara mendalam tentang hakikat,
sumber, batas, dan validitas pengetahuan. Dalam sejarah perkembangan pemikiran
filsafat Barat, dua aliran besar epistemologi muncul sebagai kekuatan dominan: Rasionalisme,
yang menekankan kemampuan akal budi dalam memperoleh pengetahuan, dan Empirisme,
yang menempatkan pengalaman indrawi sebagai fondasi utama segala bentuk
pengetahuan.1 Perdebatan antara kedua kubu ini tidak hanya bersifat
teoretis, tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, metode ilmiah, dan filsafat manusia secara umum.
Namun, pertentangan
yang tajam antara Rasionalisme dan Empirisme pada abad ke-17 dan ke-18
memunculkan kebutuhan akan suatu pendekatan yang lebih integratif dan kritis.
Dalam konteks inilah Immanuel Kant (1724–1804)
tampil sebagai pemikir revolusioner dengan menawarkan pendekatan epistemologis
baru yang disebut Kritisisme. Kant berupaya
menyatukan keunggulan Rasionalisme dan Empirisme dengan menyatakan bahwa
pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh data pengalaman (a
posteriori), tetapi juga dibentuk oleh struktur apriori dalam
subjek yang mengetahui.2 Menurutnya, pikiran manusia tidak sekadar
menerima pengalaman secara pasif, melainkan secara aktif membentuk pengalaman
melalui kategori-kategori bawaan yang bersifat apriori.3
Kritisisme tidak
hanya menjadi jembatan dialektis antara dua kutub ekstrem dalam epistemologi,
tetapi juga menawarkan kerangka kerja filosofis baru dalam memahami bagaimana
pengetahuan itu dimungkinkan. Pendekatan ini menjadi fondasi penting bagi
perkembangan filsafat modern, baik dalam ranah teori pengetahuan, etika,
estetika, hingga metafisika. Bahkan, pemikiran Kant dalam Critique
of Pure Reason membuka jalan bagi munculnya aliran-aliran besar
filsafat berikutnya seperti Fenomenologi, Eksistensialisme,
dan Neo-Kantianisme.4
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas secara komprehensif pemikiran Kritisisme dalam
epistemologi, mulai dari latar belakang historis kemunculannya, pokok-pokok
ajarannya, kritik terhadap aliran sebelumnya, hingga relevansinya dalam konteks
kontemporer. Dengan demikian, pembaca diharapkan memperoleh pemahaman yang
lebih utuh tentang bagaimana Kritisisme menjawab persoalan klasik epistemologi
dan bagaimana relevansinya tetap bertahan dalam diskursus filsafat modern.
Footnotes
[1]
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western
Philosophy (Malden: Blackwell Publishing, 2004), 205–206.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B1–B3.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 48–50.
[4]
Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from
Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 3–5.
2.
Konteks
Historis dan Lahirnya Kritisisme
Munculnya Kritisisme
sebagai pendekatan epistemologis tidak dapat dilepaskan dari dinamika
intelektual Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, suatu periode yang sering disebut
sebagai Zaman Pencerahan (Aufklärung). Pada masa ini,
filsuf-filsuf besar terlibat dalam perdebatan mendalam tentang sumber dan batas
pengetahuan manusia. Di satu sisi, Rasionalisme yang dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz,
menegaskan bahwa pengetahuan sejati bersumber dari akal budi (reason)
dan ide-ide apriori yang bersifat universal serta pasti.1 Rasionalis
percaya bahwa melalui proses deduktif, manusia dapat meraih kepastian metafisik
dan ilmiah tanpa harus bergantung pada pengalaman indrawi yang sering kali
menipu.
Sebaliknya, Empirisme
yang berkembang terutama di Inggris melalui pemikiran John
Locke, George Berkeley, dan David
Hume, menolak anggapan bahwa akal budi manusia membawa
pengetahuan bawaan. Menurut mereka, segala pengetahuan berasal dari pengalaman
(experience)
melalui proses observasi indrawi dan refleksi internal.2 Puncak dari
aliran Empirisme ini terlihat dalam skeptisisme radikal David Hume, yang
mengguncang fondasi epistemologi dengan menyatakan bahwa hubungan kausalitas
dan substansi tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan hanya
berdasarkan kebiasaan psikologis.3
Dalam situasi inilah
Immanuel
Kant (1724–1804) melihat kebutuhan mendesak untuk mengatasi
kebuntuan epistemologis antara Rasionalisme dan Empirisme. Kant mengaku “terbangun
dari tidur dogmatisnya” oleh skeptisisme Hume, yang mempertanyakan
validitas prinsip-prinsip kausalitas dan keharusan dalam ilmu pengetahuan.4
Bagi Kant, persoalan utama bukan hanya tentang sumber pengetahuan, tetapi juga
tentang syarat-syarat kemungkinan pengetahuan itu
sendiri. Ia mengajukan bahwa pikiran manusia secara aktif
membentuk pengalaman melalui struktur-struktur apriori seperti ruang, waktu,
dan kategori-kategori pemahaman, bukan sekadar menerima data empiris secara
pasif.
Kritisisme, sebagai
buah pemikiran Kant, lahir dari usaha untuk merevolusi cara berpikir
epistemologis: bukan dunia yang menyesuaikan diri dengan pikiran, melainkan
pikiran yang secara aktif membentuk dunia pengalaman. Kant menyebut pendekatan
ini sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat, karena memutarbalikkan
orientasi pemahaman tradisional tentang hubungan antara subjek dan objek
pengetahuan.5
Dengan demikian, Kritisisme
lahir bukan sebagai kompromi lemah antara dua kutub epistemologi, melainkan
sebagai sintesis filosofis yang mendalam dan radikal terhadap fondasi-fondasi
pengetahuan manusia. Ia tidak hanya menanggapi problematika klasik antara akal
dan pengalaman, tetapi juga membuka jalan baru bagi epistemologi modern dan
pembentukan ilmu pengetahuan sebagai disiplin yang kritis dan reflektif.
Footnotes
[1]
Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 6–9.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), I.i.2.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV.
[4]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), §4.
[5]
Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 43–45.
3.
Pengertian
dan Pokok-Pokok Ajaran Kritisisme
Kritisisme
dalam epistemologi adalah suatu pendekatan filosofis yang dikembangkan oleh Immanuel
Kant, yang berupaya menjembatani dan mensintesiskan dua kutub
utama pemikiran modern: Rasionalisme dan Empirisme. Berbeda dengan kedua
pendekatan sebelumnya yang bersifat oposisional, Kritisisme tidak memihak
secara mutlak pada akal maupun pengalaman, melainkan menyatakan bahwa
pengetahuan hanya mungkin terjadi melalui kerja sama aktif antara bentuk-bentuk
apriori yang terdapat dalam subjek (rasio) dan data-data
empiris yang diperoleh dari pengalaman.1
Secara terminologis,
istilah “Kritisisme” berasal dari bahasa Yunani kritikē,
yang berarti “seni menilai.” Dalam konteks Kantian, Kritisisme berarti
proses reflektif untuk meneliti kemampuan dan batas-batas akal budi dalam
menghasilkan pengetahuan. Kant menyebut pendekatan ini sebagai
“transendental,” karena ia tidak hanya bertanya apa yang
kita ketahui, melainkan bagaimana mungkin pengetahuan itu terjadi—yakni,
dengan mengidentifikasi syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengalaman
menjadi mungkin.2
Salah satu pokok
ajaran penting dalam Kritisisme adalah distingsi antara pengetahuan a priori dan a
posteriori, serta antara pernyataan analitik dan sintetis. Kant
berpendapat bahwa bentuk pengetahuan yang paling mendasar adalah synthetic
a priori, yakni proposisi yang tidak hanya menambah informasi
baru (sintetik), tetapi juga bersifat universal dan niscaya (a priori).
Contohnya adalah prinsip kausalitas dan hukum-hukum matematika, yang tidak
berasal dari pengalaman, tetapi juga tidak murni hasil logika formal.3
Selain itu, Kant
mengembangkan konsep penting tentang struktur apriori kesadaran,
yaitu bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu) dan kategori-kategori pemahaman
seperti kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas. Ruang dan waktu, menurut
Kant, bukanlah realitas eksternal, tetapi bentuk apriori dari intuisi inderawi,
yang memungkinkan kita menangkap fenomena secara terstruktur.4
Dengan demikian, dunia seperti yang kita pahami bukanlah dunia “apa adanya” (noumenon),
melainkan dunia sebagaimana ia muncul dalam kesadaran kita (phenomenon),
setelah diproses melalui kerangka kognitif bawaan manusia.
Kritisisme juga
menekankan keterbatasan akal manusia. Kita tidak dapat mengetahui realitas pada
dirinya sendiri (das Ding an sich), karena
pengetahuan kita selalu dibentuk oleh struktur subyektif kesadaran. Ini
sekaligus menjadi perbedaan mendasar antara Kritisisme dengan Rasionalisme yang
mengklaim kemungkinan pengetahuan metafisika secara pasti.5 Sikap
ini membuat Kritisisme bersifat reflektif dan anti-dogmatis,
karena tidak semata-mata menerima klaim kognitif tanpa meneliti validitas dan
syarat-syaratnya.
Dengan demikian,
pokok-pokok ajaran Kritisisme meliputi:
1)
Pengetahuan adalah hasil sintesis
antara unsur apriori dan data empiris.
2)
Kategori-kategori apriori
membentuk struktur kesadaran manusia dalam memahami dunia.
3)
Realitas sejati (noumena)
tidak dapat diakses secara langsung, hanya fenomena yang tampak dalam
kesadaran.
4)
Kemungkinan pengetahuan harus
dianalisis secara transendental, bukan hanya deskriptif.
5)
Sikap kritis terhadap metafisika
dogmatis dan empirisme reduksionis.
Kritisisme dalam hal
ini tidak hanya menjadi sebuah aliran epistemologi, tetapi juga sebuah
metode filosofis untuk merefleksikan batas-batas kemampuan
manusia dalam memahami dunia dan dirinya sendiri. Warisan intelektualnya tetap
signifikan dalam diskursus filsafat hingga masa kini, karena mengajarkan
pentingnya kesadaran epistemik, yakni
sikap waspada terhadap klaim-klaim pengetahuan yang tidak disertai penyelidikan
atas fondasi dan kemungkinannya.
Footnotes
[1]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 3–5.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.
[4]
Henry E. Allison, Kant's Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 81–87.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern
Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books,
1994), 357–359.
4.
Kritik
terhadap Rasionalisme dan Empirisme
Immanuel Kant dalam
pemikirannya yang dikenal sebagai Kritisisme secara eksplisit
melontarkan kritik terhadap dua aliran utama epistemologi modern sebelumnya,
yakni Rasionalisme
dan Empirisme.
Kedua aliran ini, menurut Kant, gagal menjelaskan secara memadai bagaimana
pengetahuan yang valid dan universal dapat dimungkinkan. Kritik
Kant bukan ditujukan semata untuk menolak, tetapi lebih kepada merevisi secara
radikal asumsi-asumsi dasar dari kedua pendekatan tersebut.
4.1.
Kritik terhadap
Rasionalisme
Rasionalisme, yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menekankan
bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi (reason), yang mampu menghasilkan
pengetahuan universal melalui intuisi intelektual dan deduksi logis.1
Menurut para rasionalis, ide-ide tertentu bersifat bawaan (innate
ideas) dan dapat diketahui secara pasti tanpa perlu pengalaman
empiris.
Kant mengkritik
pandangan ini dengan menyatakan bahwa akal tidak dapat bekerja dalam ruang hampa;
ia memerlukan bahan mentah dari pengalaman untuk dapat mengaktifkan
fungsi-fungsi kognitifnya. Pengetahuan tanpa data empiris hanyalah “kosong”,
sebagaimana pernyataan terkenalnya: “Thoughts without content are empty, intuitions
without concepts are blind.”2 Dengan
demikian, Kant menganggap klaim Rasionalisme sebagai terlalu spekulatif dan
berisiko terjebak dalam metafisika dogmatis, yakni
pemikiran metafisis yang tidak memiliki dasar dalam pengalaman konkret.3
Lebih jauh, Kant
menolak ide-ide bawaan dalam bentuk yang diajukan oleh Rasionalisme. Ia
berpendapat bahwa yang bersifat a priori dalam pemikiran manusia
bukanlah isi pengetahuan, melainkan struktur-formal kesadaran
seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori intelek. Dengan ini, Kant
memindahkan titik berat dari isi ide ke kondisi kemungkinan ide itu sendiri.
4.2.
Kritik terhadap
Empirisme
Sementara itu, Empirisme,
sebagaimana dikembangkan oleh John Locke, George
Berkeley, dan David Hume, menyatakan bahwa
seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman, baik melalui kesan-kesan indrawi (sensation)
maupun refleksi internal terhadap kesadaran.4 Hume
bahkan menyimpulkan bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kausalitas, karena
semua bentuk relasi kausal tidak dapat dibuktikan secara logis, melainkan hanya
dipahami melalui kebiasaan psikologis semata.5
Kant melihat bahwa
pandangan Empirisme ini berujung pada skeptisisme, yaitu keraguan
terhadap kemungkinan pengetahuan universal dan niscaya. Ia menganggap bahwa
jika semua pengetahuan bergantung sepenuhnya pada pengalaman, maka tidak ada
dasar untuk menyatakan hukum-hukum ilmiah sebagai berlaku secara universal.
Oleh karena itu, Kant menolak bahwa pengalaman semata cukup untuk menjelaskan
bagaimana pengetahuan ilmiah yang bersifat niscaya bisa terjadi.
Sebagai solusi, Kant
memperkenalkan konsep “synthetic a priori”, yakni
proposisi yang bersifat menambah informasi baru (sintetik) namun tidak
bergantung pada pengalaman (a priori), seperti dalam matematika dan prinsip
kausalitas. Baginya, kategori-kategori apriori dalam pikiran manusia
secara aktif membentuk struktur pengalaman, sehingga menjadikan
pengalaman memiliki bentuk yang dapat dipahami secara ilmiah dan universal.6
Dengan demikian,
Kant menilai bahwa baik Rasionalisme maupun Empirisme gagal
menangkap hubungan dinamis antara subjek dan objek pengetahuan.
Rasionalisme mengabaikan peran pengalaman konkret, sedangkan Empirisme
mengabaikan struktur-formal yang memungkinkan pengalaman menjadi bermakna.
Kritisisme Kant hadir sebagai jawaban yang mencoba mengintegrasikan kedua sisi
tersebut dengan pendekatan reflektif dan transendental.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Modern
Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 3–12.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[3]
Karl Ameriks, Kant’s Theory of Mind: An Analysis of the Paralogisms
of Pure Reason, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–23.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §VII.
[6]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 80–84.
5.
Struktur
Pengetahuan Menurut Kant
Dalam kerangka Kritisisme,
Immanuel Kant mengajukan model struktur pengetahuan yang sangat berpengaruh
dalam sejarah filsafat modern. Baginya, pengetahuan bukanlah hasil pasif dari
pengalaman semata, melainkan merupakan hasil sintesis aktif antara materi empiris yang
diterima melalui indra dan bentuk-bentuk apriori yang dibawa oleh subjek
pengenal. Dengan kata lain, Kant menyatakan bahwa pengetahuan
dimungkinkan oleh perpaduan antara intuisi dan pengertian, yang masing-masing
memiliki syarat-syarat apriori tersendiri.1
5.1.
Intuisi Apriori:
Ruang dan Waktu
Kant memulai
penjelasannya dengan membedakan antara materi dan bentuk
dari pengalaman. Materi berasal dari sensasi, sedangkan bentuk berasal dari
intuisi apriori, yaitu ruang dan waktu.
Menurut Kant, ruang dan waktu bukanlah entitas objektif yang ada di luar
kesadaran, melainkan kerangka apriori dalam diri subjek
yang memungkinkan pengalaman indrawi tersusun secara teratur dan terstruktur.2
Ruang adalah bentuk
intuisi eksternal yang membuat kita bisa memahami benda-benda sebagai terletak
dalam hubungan spasial. Sementara waktu adalah bentuk intuisi internal, yang
memungkinkan kita menangkap urutan peristiwa dan perubahan.3 Dengan
ini, Kant membantah pandangan empiris bahwa ruang dan waktu berasal dari
pengalaman; sebaliknya, justru pengalaman hanya mungkin terjadi karena
ada prasyarat ruang dan waktu dalam pikiran.
5.2.
Kategori-Kategori
Pemahaman
Setelah menyusun
pengalaman secara indrawi melalui intuisi apriori, subjek lalu memprosesnya
dengan kategori-kategori
intelek (Verstand), yakni konsep-konsep murni apriori yang
mengatur dan menyatukan data indrawi menjadi pengetahuan. Kant mengidentifikasi
dua
belas kategori, yang dikelompokkan ke dalam empat kelas utama:
kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas.4
Kategori-kategori
ini, menurut Kant, bukan hasil pengalaman, melainkan struktur kognitif yang
aktif membentuk pengalaman itu sendiri. Misalnya, kategori
kausalitas memungkinkan kita memahami satu peristiwa sebagai
akibat dari yang lain, bukan sekadar dua peristiwa yang berdekatan secara
temporal seperti dalam teori Hume.5 Tanpa kategori-kategori ini,
pengalaman manusia akan menjadi kumpulan kesan acak tanpa koherensi atau makna.
5.3.
Synthesis dan Peran
Imajinasi Transendental
Elemen penting dalam
struktur pengetahuan Kant adalah proses sintesis yang dilakukan oleh imajinasi
transendental, yaitu fakultas jiwa yang menjembatani antara
intuisi dan kategori intelek. Imajinasi transendental melakukan “sintesis
apersepsi”—proses kesadaran yang menyatukan berbagai representasi menjadi
satu kesatuan pengalaman yang utuh.6 Melalui proses ini, subjek
tidak hanya menerima informasi, tetapi juga membentuk struktur pengalaman
dalam satu kesadaran diri yang konsisten, yang disebut Kant sebagai “transcendental
unity of apperception.”
5.4.
Pengetahuan sebagai
Synthetic A Priori
Ciri khas dari teori
pengetahuan Kant adalah bahwa pengetahuan yang sejati memiliki bentuk synthetic
a priori: yaitu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh melalui
logika semata (tidak analitik), namun juga tidak berasal dari pengalaman
(karena bersifat universal dan niscaya). Contoh utama dari proposisi ini adalah
dalam matematika (“7 + 5 = 12”) dan prinsip kausalitas dalam ilmu alam.
Kant berargumen bahwa bentuk pengetahuan semacam ini hanya dapat dijelaskan
melalui struktur apriori subjek yang memungkinkan sintesis informasi empiris
dengan kategori rasional.7
Dengan demikian, struktur
pengetahuan menurut Kant terdiri atas:
1)
Intuisi apriori
(ruang dan waktu) sebagai bentuk dari sensibilitas (indera);
2)
Kategori-kategori
apriori sebagai bentuk dari intelek (pemahaman);
3)
Sintesis melalui
imajinasi transendental untuk mengkoordinasikan data empiris
dengan bentuk-bentuk apriori;
4)
Kesadaran transendental
sebagai prinsip kesatuan pengalaman;
5)
Synthetic a priori
sebagai bentuk pengetahuan yang paling esensial.
Model ini memungkinkan
Kant menjelaskan bagaimana pengetahuan yang bersifat objektif, universal, dan
niscaya bisa dibangun tanpa jatuh pada spekulasi metafisis atau skeptisisme
empiris. Dalam hal ini, subjek tidak sekadar pasif, tetapi menjadi
pusat aktif dalam membentuk struktur realitas fenomenal.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–B76.
[2]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 116–120.
[3]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 105–110.
[4]
Robert Pippin, Kant’s Theory of Form: An Essay on the Critique of
Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 82–85.
[5]
Karl Ameriks, Kant’s Theory of Mind: An Analysis of the Paralogisms
of Pure Reason, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2000), 44–47.
[6]
Dieter Henrich, The Unity of Reason: Essays on Kant’s Philosophy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 53–56.
[7]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 55–57.
6.
Implikasi
Kritisisme terhadap Ilmu Pengetahuan
Salah satu
kontribusi paling signifikan dari Kritisisme Immanuel Kant
terhadap pemikiran modern terletak pada landasannya yang kokoh bagi epistemologi ilmu
pengetahuan. Kant mengajukan paradigma baru yang mampu
menyatukan keabsahan prinsip-prinsip ilmiah dengan refleksi filosofis atas
batas-batas rasionalitas manusia. Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan tidak
lagi dianggap sebagai cermin pasif dari realitas objektif (sebagaimana dalam
Empirisme), dan juga tidak bersifat apriori spekulatif semata (sebagaimana
dalam Rasionalisme), melainkan sebagai hasil sintesis aktif antara pengalaman dan struktur
kognitif subjek.1
6.1.
Pengetahuan Ilmiah
sebagai Produk Synthetic A Priori
Kant berpendapat
bahwa pengetahuan ilmiah tidak mungkin bersifat murni empiris, karena
pengalaman saja tidak bisa menjamin universalitas dan keniscayaan
dari hukum-hukum ilmiah. Sebaliknya, ia juga menolak bentuk metafisika yang
mendasarkan ilmu pada prinsip apriori tanpa dasar empiris. Oleh karena itu, proposisi-proposisi
ilmiah yang valid harus bersifat synthetic a priori, yaitu
bersumber dari struktur rasional apriori, namun tetap berkenaan dengan objek
empiris.2
Contohnya adalah
prinsip kausalitas, yang menurut Kant
merupakan kategori apriori yang memungkinkan pengalaman tersusun secara ilmiah.
Tanpa asumsi bahwa setiap peristiwa memiliki sebab, tidak mungkin ada hukum
ilmiah yang bisa memprediksi fenomena alam secara konsisten. Dalam hal ini,
Kant memberikan justifikasi filosofis bagi validitas hukum-hukum
fisika Newtonian, bukan sebagai kebenaran objektif absolut,
tetapi sebagai kerangka pengalaman manusia yang terstruktur
oleh kategori-kategori apriori.3
6.2.
Sains dan
Batas-Batas Pengetahuan
Konsekuensi langsung
dari filsafat Kritisisme adalah penegasan batas epistemologis ilmu pengetahuan.
Menurut Kant, kita hanya dapat mengetahui fenomena (phenomena), yaitu realitas
sebagaimana ia tampak dalam kesadaran manusia yang telah dibentuk oleh intuisi
ruang dan waktu serta kategori-kategori intelek. Adapun hakikat realitas pada
dirinya sendiri (noumenon) tetap berada di luar
jangkauan ilmu pengetahuan.4
Pandangan ini
menjadi dasar dari kerendahan hati epistemik dalam
sains modern: bahwa meskipun ilmu dapat menjelaskan dan memprediksi dunia
pengalaman dengan sangat efektif, ia tidak bisa menjangkau aspek-aspek
metafisik yang transenden. Sebagai contoh, pertanyaan tentang “asal-usul
mutlak” atau “realitas terakhir” bukan merupakan objek legitimasi
sains, melainkan masalah spekulatif yang harus diperlakukan secara kritis dan
hati-hati.5
6.3.
Metode Ilmiah dan
Konstruksi Subjektif
Kritisisme juga
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk konstruksi subjek rasional,
bukan sekadar akumulasi data objektif. Hal ini sejalan dengan pandangan
kontemporer bahwa sains bukan bebas nilai, melainkan dibentuk oleh kerangka
konseptual dan paradigma yang digunakan oleh komunitas ilmiah.
Dalam hal ini, pemikiran Kant berpengaruh besar terhadap epistemologi
Thomas Kuhn, yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu berjalan
melalui pergeseran paradigma, bukan
sekadar akumulasi penemuan faktual.6
Gagasan Kant tentang
struktur
apriori yang membentuk pengalaman juga menjadi inspirasi bagi
pendekatan konstruktivisme epistemologis,
baik dalam filsafat sains maupun dalam pendidikan. Ilmu pengetahuan dipahami
bukan sebagai penemuan realitas objektif sebagaimana adanya, melainkan sebagai
hasil interaksi aktif antara subjek dan dunia yang ditafsirkan.7
6.4.
Pengaruh terhadap
Disiplin Ilmu Lain
Implikasi epistemologis
Kritisisme melampaui fisika dan matematika. Dalam bidang etika,
Kant menyusun teori moralnya berdasarkan prinsip apriori tentang rasionalitas
praktis, yang berpuncak pada imperatif kategoris. Dalam estetika,
ia menekankan bahwa pengalaman keindahan melibatkan sintesis antara subjek dan
objek, dengan rasa harmoni antara imajinasi dan pengertian.8 Bahkan
dalam metodologi
ilmu sosial, pendekatan Kantian memberikan dasar untuk melihat
manusia bukan sekadar objek empiris, tetapi sebagai subjek rasional yang
memiliki struktur dan maksud.
Dengan demikian, Kritisisme
Kant tidak hanya memberikan dasar epistemologis yang kokoh bagi sains modern,
tetapi juga menyumbang paradigma filosofis yang menekankan hubungan dialektis
antara subjek dan objek, serta pentingnya refleksi kritis atas fondasi dan
batas pengetahuan manusia. Dalam era kontemporer yang diwarnai oleh pluralisme
metodologis dan kompleksitas objek kajian, warisan Kritisisme tetap relevan
sebagai kerangka filosofis yang mengintegrasikan
rasionalitas, pengalaman, dan kesadaran akan batas.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B74–B78.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.
[3]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 141–147.
[4]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 85–92.
[5]
Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from
Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 19–21.
[6]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 4–5.
[7]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: RoutledgeFalmer, 1995), 7–10.
[8]
Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul
Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §9–10.
7.
Relevansi
Kritisisme dalam Konteks Filsafat Kontemporer
Meskipun lahir pada
akhir abad ke-18, Kritisisme Kant tetap memainkan
peran sentral dalam lanskap filsafat kontemporer, terutama dalam diskursus
epistemologi, filsafat ilmu, dan teori pengetahuan subjek. Relevansi pendekatan
kritis-transendental Kant tidak hanya terletak pada jawaban filosofisnya
terhadap pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme, tetapi juga pada kerangka
metodologis yang ia tawarkan untuk memahami syarat-syarat kemungkinan
pengetahuan manusia. Dalam berbagai perkembangan pemikiran abad
ke-20 dan ke-21, pengaruh Kant dapat ditelusuri melalui transformasi dan
reinterpretasi pemikirannya dalam berbagai aliran filsafat.
7.1.
Neo-Kantianisme dan
Rasionalitas Ilmiah
Pada akhir abad
ke-19 hingga awal abad ke-20, muncul gerakan Neo-Kantianisme, khususnya
dalam mazhab Marburg (dipelopori oleh Hermann Cohen dan Ernst Cassirer) dan
mazhab Baden (dipimpin oleh Wilhelm Windelband dan Heinrich Rickert). Gerakan
ini menekankan pentingnya struktur apriori dan fungsi rasional dalam
membentuk pengetahuan ilmiah, namun dengan menyesuaikan
kerangka Kantian terhadap kemajuan sains dan logika modern.1
Bagi Neo-Kantian, ilmu pengetahuan bukan sekadar refleksi empiris, tetapi hasil
konstruksi berdasarkan prinsip-prinsip normatif yang bersifat ideal. Dalam hal
ini, Kant menjadi acuan penting dalam menjelaskan validitas
logis dan objektivitas ilmu, bukan dalam kerangka metafisik,
melainkan dalam dimensi metodologis dan normatif.
7.2.
Fenomenologi dan
Kesadaran Transendental
Pemikiran Kant juga
memiliki pengaruh besar terhadap gerakan Fenomenologi, terutama dalam
karya Edmund
Husserl, yang mengembangkan konsep kesadaran
transendental dan intensionalitas sebagai pusat pengalaman
subjek.2 Husserl tidak menerima sepenuhnya sistem kategori
Kant, namun ia mengadopsi orientasi transendental dalam bentuk baru yang
berfokus pada struktur kesadaran dan cara dunia dimaknai oleh subjek. Kant
membuka jalan bagi gagasan bahwa kesadaran bukan hanya penerima pasif dunia,
tetapi merupakan aktor yang membentuk makna realitas melalui struktur apriori—sebuah
prinsip yang menjadi fondasi utama dalam fenomenologi.
7.3.
Filsafat Bahasa dan
Analitik
Dalam tradisi
filsafat analitik, terutama pada pertengahan abad ke-20, gagasan Kant tentang synthetic
a priori sempat dikritik dan dipertanyakan validitasnya,
khususnya oleh tokoh-tokoh seperti A.J. Ayer dan W.V.
Quine. Ayer, sebagai bagian dari positivisme logis, menyatakan
bahwa hanya
proposisi analitik atau empiris yang bermakna secara kognitif,
sehingga menolak kemungkinan proposisi synthetic a priori sebagaimana
dirumuskan oleh Kant.3 Namun demikian, diskusi
tersebut justru memperlihatkan bahwa Kritisisme tetap menjadi batu ujian penting
dalam menilai batas-batas dan jenis klaim pengetahuan, baik
dalam metafisika, etika, maupun sains.
7.4.
Konstruktivisme dan
Teori Pengetahuan Sosial
Kritisisme Kant juga
memberikan pengaruh pada munculnya pendekatan konstruktivisme epistemologis
di abad ke-20, terutama dalam konteks teori pengetahuan sosial dan pendidikan.
Tokoh seperti Jean Piaget dalam psikologi
perkembangan kognitif dan Ernst von Glasersfeld dalam
epistemologi radikal, mengadopsi prinsip bahwa pengetahuan dibangun secara aktif oleh subjek,
bukan diterima secara pasif dari lingkungan.4
Dalam filsafat sains, ide ini dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas
S. Kuhn, yang menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui paradigma
yang membentuk cara ilmuwan memandang dan mengorganisasi data empirik, selaras
dengan cara kerja struktur apriori dalam pikiran manusia yang digambarkan oleh
Kant.5
7.5.
Kritik Ideologi dan
Filsafat Kritis
Dalam tradisi filsafat
kritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt (misalnya Max
Horkheimer dan Jürgen Habermas), semangat kritis-transendental Kant digunakan
sebagai dasar untuk mengembangkan kritik ideologi dan pembebasan manusia dari
dominasi sistemik. Habermas secara khusus mengintegrasikan
warisan Kant dalam konsep rasionalitas komunikatif, yang
bertujuan menyusun prinsip normatif bagi interaksi sosial yang rasional dan
bebas distorsi.6 Dalam hal ini, Kritisisme
tetap menjadi referensi penting bagi upaya mengembangkan rasionalitas yang
bukan hanya bersifat teknis-instrumental, tetapi juga etis dan intersubjektif.
Dengan demikian, relevansi
Kritisisme dalam konteks filsafat kontemporer tetap kuat, tidak
hanya sebagai sistem epistemologis, tetapi sebagai kerangka
metodologis untuk menilai validitas, batas, dan struktur pengetahuan manusia
dalam berbagai disiplin. Dari filsafat ilmu hingga teori sosial, dari
epistemologi pendidikan hingga kritik budaya, warisan pemikiran Kant terus
ditafsirkan ulang untuk merespons tantangan zaman, menandakan daya hidup
filsafat Kritisisme yang transhistoris dan transdisipliner.
Footnotes
[1]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, vol. 1,
trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1955), 3–5.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer
Academic, 1982), §27–30.
[3]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 71–73; W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical
Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[4]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child, trans.
Margaret Cook (New York: Basic Books, 1954), 2–3; Ernst von Glasersfeld, Radical
Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: RoutledgeFalmer,
1995), 7–9.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 44–50.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 8–9.
8.
Kritik
dan Batasan terhadap Kritisisme
Walaupun Kritisisme
karya Immanuel
Kant telah memberikan fondasi penting bagi perkembangan
epistemologi modern, pendekatan ini tidak luput dari kritik dan pertanyaan
filosofis yang serius. Sejak kemunculannya, berbagai filsuf baik sezaman maupun
setelah Kant mengajukan sejumlah keberatan terhadap konsistensi
internal, implikasi metafisik, dan batas-batas kognitif yang
ditetapkan oleh Kritisisme. Kritik-kritik ini tidak sekadar menolak ajaran
Kant, melainkan juga mendorong perumusan ulang epistemologi transendental dalam
berbagai bentuk.
8.1.
Masalah “Noumenon”
dan Ambiguitas Ontologis
Salah satu kritik
paling signifikan terhadap Kritisisme adalah konsep noumenon atau das Ding
an sich (“benda pada dirinya sendiri”), yaitu realitas yang menurut
Kant tidak dapat diketahui oleh manusia karena tidak terjangkau oleh kategori
dan intuisi apriori. Filsuf seperti G.W.F. Hegel menilai bahwa
konsep ini kontradiktif secara logis,
karena Kant mengklaim bahwa kita tidak dapat mengetahui thing-in-itself,
tetapi tetap berbicara tentang keberadaannya dan dampaknya terhadap kesadaran
kita.1 Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel
mengkritik bahwa pemikiran tidak seharusnya berhenti pada batas
pengetahuan, tetapi harus bergerak menuju penyatuan antara
subjek dan objek melalui dialektika.2
Demikian pula, Arthur
Schopenhauer mengadopsi struktur sistem Kant tetapi
menggantikan noumenon dengan “kehendak” sebagai esensi realitas, yang
menurutnya lebih dapat dipahami sebagai kekuatan metafisik daripada entitas
yang sepenuhnya misterius.3 Bagi sebagian kritikus,
pendekatan Kant terlalu agnostik terhadap realitas di luar pengalaman, sehingga
membuka celah untuk skeptisisme metafisik.
8.2.
Ketegangan antara
Empirisme dan Apriorisme
Kritisisme berupaya
mensintesiskan rasionalisme dan empirisme, tetapi sebagian kalangan menilai
bahwa Kant terlalu menekankan struktur apriori
sehingga mengurangi fleksibilitas terhadap kompleksitas pengalaman empiris.
Filsuf-filsuf positivis logis seperti Rudolf
Carnap dan A.J. Ayer menolak keberadaan
proposisi synthetic
a priori, dan menyatakan bahwa pernyataan yang bermakna harus
bersifat analitik atau diverifikasi secara empiris.4
Demikian pula, W.V.O.
Quine dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism” menyerang
distingsi antara analitik dan sintetik yang merupakan fondasi dari teori Kant,
dan menyatakan bahwa seluruh pengetahuan, termasuk logika dan
matematika, bergantung pada konfirmasi empiris dalam jaringan kepercayaan
ilmiah.5 Kritik ini menunjukkan bahwa
fondasi
apriori dalam Kritisisme dianggap tidak memadai untuk menjelaskan dinamika
pengetahuan kontemporer, khususnya dalam kerangka sains empiris
yang berkembang pesat.
8.3.
Abstraksi Formal dan
Minimnya Konteks Historis
Kritik lain terhadap
Kant datang dari filsafat hermeneutik dan filsafat
sejarah, yang menilai bahwa sistem Kritisisme terlalu
abstrak dan formalistis, serta mengabaikan dimensi historis dan
linguistik dari proses pengetahuan. Hans-Georg Gadamer, misalnya,
menyatakan bahwa pengalaman memahami tidak hanya dibentuk oleh
kategori apriori, tetapi juga oleh tradisi,
bahasa, dan konteks historis yang selalu hadir dalam kesadaran
subjek.6
Dalam hal ini,
Kritisisme dianggap kurang sensitif terhadap faktor-faktor budaya,
sosial, dan historis yang membentuk kerangka berpikir manusia.
Meskipun Kant menyusun model pengetahuan yang rasional dan universal,
pendekatan tersebut dinilai terlalu ideal dan kurang memperhitungkan situasionalitas
pengetahuan dalam kehidupan nyata.
8.4.
Kritik Etis dan
Praktis
Dalam ranah etika,
meskipun imperatif kategoris Kant dianggap sebagai landasan rasional moralitas
modern, sejumlah pemikir berkeberatan terhadap rigiditas dan formalitas sistem moral Kantian.
Filsuf Friedrich
Nietzsche mengecam etika Kant sebagai manifestasi
moralitas budak, yang menindas kehendak individual dan
kreativitas dengan dalih rasionalitas universal.7
Sementara itu, filsuf feminis dan postmodern seperti Michel
Foucault dan Judith Butler mempertanyakan
klaim-klaim universalisme dalam etika Kant sebagai bentuk kekuasaan
epistemik yang menyingkirkan keberagaman pengalaman manusia.8
Dengan demikian, Kritisisme
Kant memiliki batasan-batasan konseptual yang telah menjadi
bahan refleksi dan kritik dalam berbagai cabang filsafat. Dari segi metafisika,
ia menghadapi tuduhan inkonsistensi; dari segi epistemologi, ia digugat atas
dasar ketidakmampuan menjelaskan dinamika historis dan empiris secara memadai;
dan dari segi praktis, pendekatan normatifnya dinilai terlalu formal dan
universalistik. Meski demikian, kritik-kritik ini tidak menghapus nilai
historis dan metodologis Kritisisme, melainkan justru
memperkaya warisannya dengan reinterpretasi baru yang lebih kontekstual dan
inklusif.
Footnotes
[1]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), §44–§47.
[2]
Robert C. Solomon, In the Spirit of Hegel (New York: Oxford
University Press, 1983), 97–100.
[3]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
trans. E. F. J. Payne (New York: Dover, 1969), Vol. I, §1–2.
[4]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 71–75.
[5]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical
Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 267–269.
[7]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1969), Essay I.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28; Judith Butler, Gender
Trouble (New York: Routledge, 1990), 2–4.
9.
Kesimpulan
Kritisisme
yang dikembangkan oleh Immanuel Kant menandai tonggak
penting dalam sejarah filsafat modern, terutama dalam bidang epistemologi.
Melalui pendekatan transendentalnya, Kant berhasil memformulasikan sintesis
antara Rasionalisme
yang mengandalkan akal budi dan Empirisme yang berlandaskan
pengalaman inderawi. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan tidak mungkin sepenuhnya berasal
dari pengalaman, namun juga tidak dapat sepenuhnya dibangun oleh rasio murni,
melainkan merupakan hasil dari sintesis aktif antara keduanya melalui struktur
apriori dalam kesadaran manusia.1
Kritisisme
menawarkan sebuah kerangka filsafat yang revolusioner, dengan menekankan
bahwa subjek mengetahui tidak bersifat pasif, melainkan secara aktif membentuk
pengalaman melalui intuisi apriori (ruang dan waktu) dan kategori pemahaman
(seperti kausalitas, kuantitas, dan modalitas). Pengetahuan ilmiah, menurut
Kant, bukan sekadar cerminan dari dunia objektif, tetapi hasil
konstruksi rasional yang tunduk pada syarat-syarat transendental dari
kemungkinan pengalaman.2
Dalam kerangka ini, konsep
synthetic a priori menjadi inovasi epistemologis Kant yang
paling penting. Ia menjelaskan bagaimana proposisi-proposisi seperti dalam
matematika dan fisika dapat bersifat universal dan niscaya, meskipun tidak
bersifat analitik dan tidak semata-mata berdasarkan pengalaman. Dengan
demikian, Kritisisme memberikan landasan filosofis bagi validitas ilmu
pengetahuan tanpa jatuh ke dalam spekulasi metafisik ataupun skeptisisme
empiris.3
Di samping itu, pengaruh
Kritisisme meluas ke berbagai aliran filsafat kontemporer,
seperti Neo-Kantianisme, Fenomenologi, Konstruktivisme, dan Teori Kritis.
Meskipun menghadapi kritik dari berbagai arah—mulai dari Hegel dan
Schopenhauer, hingga Quine dan Foucault—semangat reflektif dan metodologis
Kritisisme tetap relevan dalam diskusi filsafat hingga hari ini. Bahkan, banyak
kritik tersebut justru memperkaya warisan Kant dengan pembacaan yang lebih
kontekstual, historis, dan intersubjektif.4
Namun demikian,
Kritisisme juga memiliki batas-batas konseptual, seperti
ambiguitas mengenai status noumenon, kesulitan dalam
menjelaskan dimensi historis dan sosial dari pengetahuan, serta kekakuan
normatif dalam sistem etikanya. Meskipun begitu, kontribusi
fundamental Kritisisme dalam membangun epistemologi modern tetap tak
tergantikan: ia mengajarkan bahwa pertanyaan tentang
pengetahuan tidak dapat dijawab tanpa terlebih dahulu menyelidiki kondisi yang
memungkinkan pengetahuan itu sendiri.
Oleh karena itu, Kritisisme
bukan sekadar posisi dalam sejarah pemikiran, melainkan juga sikap
filosofis: bahwa segala bentuk klaim pengetahuan harus diuji
berdasarkan syarat-syarat validitasnya, dan bahwa subjek mengetahui memiliki
peran aktif, bukan netral, dalam membentuk dunia yang dimengerti. Dalam dunia
kontemporer yang kompleks dan plural, semangat kritis-transendental ini tetap
menjadi panduan penting bagi filsafat, sains, dan
kemanusiaan secara lebih luas.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B74–B78.
[2]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 112–115.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.
[4]
Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from
Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 33–37.
Daftar Pustaka
Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental
idealism: An interpretation and defense (Rev. ed.). Yale University Press.
Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary
introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Beiser, F. C. (1987). The fate of reason: German
philosophy from Kant to Fichte. Harvard University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble.
Routledge.
Cassirer, E. (1955). The philosophy of symbolic
forms (R. Manheim, Trans.; Vol. 1). Yale University Press.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Glasersfeld, E. von. (1995). Radical
constructivism: A way of knowing and learning. RoutledgeFalmer.
Guyer, P. (1987). Kant and the claims of
knowledge. Cambridge University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (T. McCarthy, Trans.; Vol. 1). Beacon Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Henrich, D. (1994). The unity of reason: Essays
on Kant’s philosophy. Harvard University Press.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1748)
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Kluwer Academic.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781/1787)
Kant, I. (2000). Critique of the power of
judgment (P. Guyer & E. Matthews, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1790)
Kant, I. (2004). Prolegomena to any future
metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press. (Original
work published 1783)
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1690)
Nietzsche, F. (1969). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1887)
Piaget, J. (1954). The construction of reality
in the child (M. Cook, Trans.). Basic Books.
Pippin, R. (1982). Kant’s theory of form: An
essay on the Critique of Pure Reason. Yale University Press.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Schopenhauer, A. (1969). The world as will and
representation (E. F. J. Payne, Trans.; Vol. 1). Dover. (Original work
published 1819)
Scruton, R. (2001). Kant: A very short
introduction. Oxford University Press.
Solomon, R. C. (1983). In the spirit of Hegel.
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar