Selasa, 10 Juni 2025

Kritisisme dalam Epistemologi: Antara Rasionalisme dan Empirisme dalam Upaya Memahami Pengetahuan

Kritisisme dalam Epistemologi

Antara Rasionalisme dan Empirisme dalam Upaya Memahami Pengetahuan


Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Kritisisme dalam epistemologi sebagaimana diformulasikan oleh Immanuel Kant sebagai sintesis antara Rasionalisme dan Empirisme. Kritik Kant terhadap kedua pendekatan klasik tersebut berujung pada perumusan pendekatan transendental yang menekankan bahwa pengetahuan tidak sekadar hasil pasif dari pengalaman, melainkan terbentuk melalui struktur apriori dalam kesadaran manusia. Artikel ini menguraikan latar belakang historis lahirnya Kritisisme, konsep-konsep utama seperti intuisi apriori, kategori pemahaman, dan synthetic a priori, serta implikasinya terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu, artikel ini juga mengkaji pengaruh Kritisisme dalam perkembangan filsafat kontemporer, termasuk dalam Neo-Kantianisme, Fenomenologi, Konstruktivisme, dan Teori Kritis. Kritik terhadap Kritisisme—baik dari sisi metafisika, epistemologi, maupun etika—juga dibahas untuk menunjukkan batas-batas konseptual pendekatan ini. Melalui kajian ini, artikel menegaskan bahwa Kritisisme tetap relevan sebagai kerangka metodologis yang kritis dalam memahami syarat-syarat kemungkinan pengetahuan manusia di tengah kompleksitas zaman modern.

Kata Kunci: Kritisisme, Immanuel Kant, epistemologi transendental, synthetic a priori, Rasionalisme, Empirisme, filsafat modern, struktur pengetahuan, fenomena dan noumena, kategori apriori.


PEMBAHASAN

Kritisisme dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Epistemologi, sebagai cabang utama filsafat, membahas secara mendalam tentang hakikat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan. Dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat Barat, dua aliran besar epistemologi muncul sebagai kekuatan dominan: Rasionalisme, yang menekankan kemampuan akal budi dalam memperoleh pengetahuan, dan Empirisme, yang menempatkan pengalaman indrawi sebagai fondasi utama segala bentuk pengetahuan.1 Perdebatan antara kedua kubu ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, metode ilmiah, dan filsafat manusia secara umum.

Namun, pertentangan yang tajam antara Rasionalisme dan Empirisme pada abad ke-17 dan ke-18 memunculkan kebutuhan akan suatu pendekatan yang lebih integratif dan kritis. Dalam konteks inilah Immanuel Kant (1724–1804) tampil sebagai pemikir revolusioner dengan menawarkan pendekatan epistemologis baru yang disebut Kritisisme. Kant berupaya menyatukan keunggulan Rasionalisme dan Empirisme dengan menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh data pengalaman (a posteriori), tetapi juga dibentuk oleh struktur apriori dalam subjek yang mengetahui.2 Menurutnya, pikiran manusia tidak sekadar menerima pengalaman secara pasif, melainkan secara aktif membentuk pengalaman melalui kategori-kategori bawaan yang bersifat apriori.3

Kritisisme tidak hanya menjadi jembatan dialektis antara dua kutub ekstrem dalam epistemologi, tetapi juga menawarkan kerangka kerja filosofis baru dalam memahami bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Pendekatan ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan filsafat modern, baik dalam ranah teori pengetahuan, etika, estetika, hingga metafisika. Bahkan, pemikiran Kant dalam Critique of Pure Reason membuka jalan bagi munculnya aliran-aliran besar filsafat berikutnya seperti Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Kantianisme.4

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif pemikiran Kritisisme dalam epistemologi, mulai dari latar belakang historis kemunculannya, pokok-pokok ajarannya, kritik terhadap aliran sebelumnya, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Dengan demikian, pembaca diharapkan memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang bagaimana Kritisisme menjawab persoalan klasik epistemologi dan bagaimana relevansinya tetap bertahan dalam diskursus filsafat modern.


Footnotes

[1]                Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden: Blackwell Publishing, 2004), 205–206.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B1–B3.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 48–50.

[4]                Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 3–5.


2.           Konteks Historis dan Lahirnya Kritisisme

Munculnya Kritisisme sebagai pendekatan epistemologis tidak dapat dilepaskan dari dinamika intelektual Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, suatu periode yang sering disebut sebagai Zaman Pencerahan (Aufklärung). Pada masa ini, filsuf-filsuf besar terlibat dalam perdebatan mendalam tentang sumber dan batas pengetahuan manusia. Di satu sisi, Rasionalisme yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menegaskan bahwa pengetahuan sejati bersumber dari akal budi (reason) dan ide-ide apriori yang bersifat universal serta pasti.1 Rasionalis percaya bahwa melalui proses deduktif, manusia dapat meraih kepastian metafisik dan ilmiah tanpa harus bergantung pada pengalaman indrawi yang sering kali menipu.

Sebaliknya, Empirisme yang berkembang terutama di Inggris melalui pemikiran John Locke, George Berkeley, dan David Hume, menolak anggapan bahwa akal budi manusia membawa pengetahuan bawaan. Menurut mereka, segala pengetahuan berasal dari pengalaman (experience) melalui proses observasi indrawi dan refleksi internal.2 Puncak dari aliran Empirisme ini terlihat dalam skeptisisme radikal David Hume, yang mengguncang fondasi epistemologi dengan menyatakan bahwa hubungan kausalitas dan substansi tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan hanya berdasarkan kebiasaan psikologis.3

Dalam situasi inilah Immanuel Kant (1724–1804) melihat kebutuhan mendesak untuk mengatasi kebuntuan epistemologis antara Rasionalisme dan Empirisme. Kant mengaku “terbangun dari tidur dogmatisnya” oleh skeptisisme Hume, yang mempertanyakan validitas prinsip-prinsip kausalitas dan keharusan dalam ilmu pengetahuan.4 Bagi Kant, persoalan utama bukan hanya tentang sumber pengetahuan, tetapi juga tentang syarat-syarat kemungkinan pengetahuan itu sendiri. Ia mengajukan bahwa pikiran manusia secara aktif membentuk pengalaman melalui struktur-struktur apriori seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori pemahaman, bukan sekadar menerima data empiris secara pasif.

Kritisisme, sebagai buah pemikiran Kant, lahir dari usaha untuk merevolusi cara berpikir epistemologis: bukan dunia yang menyesuaikan diri dengan pikiran, melainkan pikiran yang secara aktif membentuk dunia pengalaman. Kant menyebut pendekatan ini sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat, karena memutarbalikkan orientasi pemahaman tradisional tentang hubungan antara subjek dan objek pengetahuan.5

Dengan demikian, Kritisisme lahir bukan sebagai kompromi lemah antara dua kutub epistemologi, melainkan sebagai sintesis filosofis yang mendalam dan radikal terhadap fondasi-fondasi pengetahuan manusia. Ia tidak hanya menanggapi problematika klasik antara akal dan pengalaman, tetapi juga membuka jalan baru bagi epistemologi modern dan pembentukan ilmu pengetahuan sebagai disiplin yang kritis dan reflektif.


Footnotes

[1]                Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 6–9.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), I.i.2.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV.

[4]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), §4.

[5]                Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 43–45.


3.           Pengertian dan Pokok-Pokok Ajaran Kritisisme

Kritisisme dalam epistemologi adalah suatu pendekatan filosofis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, yang berupaya menjembatani dan mensintesiskan dua kutub utama pemikiran modern: Rasionalisme dan Empirisme. Berbeda dengan kedua pendekatan sebelumnya yang bersifat oposisional, Kritisisme tidak memihak secara mutlak pada akal maupun pengalaman, melainkan menyatakan bahwa pengetahuan hanya mungkin terjadi melalui kerja sama aktif antara bentuk-bentuk apriori yang terdapat dalam subjek (rasio) dan data-data empiris yang diperoleh dari pengalaman.1

Secara terminologis, istilah “Kritisisme” berasal dari bahasa Yunani kritikē, yang berarti “seni menilai.” Dalam konteks Kantian, Kritisisme berarti proses reflektif untuk meneliti kemampuan dan batas-batas akal budi dalam menghasilkan pengetahuan. Kant menyebut pendekatan ini sebagai “transendental,” karena ia tidak hanya bertanya apa yang kita ketahui, melainkan bagaimana mungkin pengetahuan itu terjadi—yakni, dengan mengidentifikasi syarat-syarat apriori yang memungkinkan pengalaman menjadi mungkin.2

Salah satu pokok ajaran penting dalam Kritisisme adalah distingsi antara pengetahuan a priori dan a posteriori, serta antara pernyataan analitik dan sintetis. Kant berpendapat bahwa bentuk pengetahuan yang paling mendasar adalah synthetic a priori, yakni proposisi yang tidak hanya menambah informasi baru (sintetik), tetapi juga bersifat universal dan niscaya (a priori). Contohnya adalah prinsip kausalitas dan hukum-hukum matematika, yang tidak berasal dari pengalaman, tetapi juga tidak murni hasil logika formal.3

Selain itu, Kant mengembangkan konsep penting tentang struktur apriori kesadaran, yaitu bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu) dan kategori-kategori pemahaman seperti kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas. Ruang dan waktu, menurut Kant, bukanlah realitas eksternal, tetapi bentuk apriori dari intuisi inderawi, yang memungkinkan kita menangkap fenomena secara terstruktur.4 Dengan demikian, dunia seperti yang kita pahami bukanlah dunia “apa adanya” (noumenon), melainkan dunia sebagaimana ia muncul dalam kesadaran kita (phenomenon), setelah diproses melalui kerangka kognitif bawaan manusia.

Kritisisme juga menekankan keterbatasan akal manusia. Kita tidak dapat mengetahui realitas pada dirinya sendiri (das Ding an sich), karena pengetahuan kita selalu dibentuk oleh struktur subyektif kesadaran. Ini sekaligus menjadi perbedaan mendasar antara Kritisisme dengan Rasionalisme yang mengklaim kemungkinan pengetahuan metafisika secara pasti.5 Sikap ini membuat Kritisisme bersifat reflektif dan anti-dogmatis, karena tidak semata-mata menerima klaim kognitif tanpa meneliti validitas dan syarat-syaratnya.

Dengan demikian, pokok-pokok ajaran Kritisisme meliputi:

1)                  Pengetahuan adalah hasil sintesis antara unsur apriori dan data empiris.

2)                  Kategori-kategori apriori membentuk struktur kesadaran manusia dalam memahami dunia.

3)                  Realitas sejati (noumena) tidak dapat diakses secara langsung, hanya fenomena yang tampak dalam kesadaran.

4)                  Kemungkinan pengetahuan harus dianalisis secara transendental, bukan hanya deskriptif.

5)                  Sikap kritis terhadap metafisika dogmatis dan empirisme reduksionis.

Kritisisme dalam hal ini tidak hanya menjadi sebuah aliran epistemologi, tetapi juga sebuah metode filosofis untuk merefleksikan batas-batas kemampuan manusia dalam memahami dunia dan dirinya sendiri. Warisan intelektualnya tetap signifikan dalam diskursus filsafat hingga masa kini, karena mengajarkan pentingnya kesadaran epistemik, yakni sikap waspada terhadap klaim-klaim pengetahuan yang tidak disertai penyelidikan atas fondasi dan kemungkinannya.


Footnotes

[1]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 3–5.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.

[4]                Henry E. Allison, Kant's Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 81–87.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books, 1994), 357–359.


4.           Kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme

Immanuel Kant dalam pemikirannya yang dikenal sebagai Kritisisme secara eksplisit melontarkan kritik terhadap dua aliran utama epistemologi modern sebelumnya, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Kedua aliran ini, menurut Kant, gagal menjelaskan secara memadai bagaimana pengetahuan yang valid dan universal dapat dimungkinkan. Kritik Kant bukan ditujukan semata untuk menolak, tetapi lebih kepada merevisi secara radikal asumsi-asumsi dasar dari kedua pendekatan tersebut.

4.1.       Kritik terhadap Rasionalisme

Rasionalisme, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, menekankan bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi (reason), yang mampu menghasilkan pengetahuan universal melalui intuisi intelektual dan deduksi logis.1 Menurut para rasionalis, ide-ide tertentu bersifat bawaan (innate ideas) dan dapat diketahui secara pasti tanpa perlu pengalaman empiris.

Kant mengkritik pandangan ini dengan menyatakan bahwa akal tidak dapat bekerja dalam ruang hampa; ia memerlukan bahan mentah dari pengalaman untuk dapat mengaktifkan fungsi-fungsi kognitifnya. Pengetahuan tanpa data empiris hanyalah “kosong”, sebagaimana pernyataan terkenalnya: “Thoughts without content are empty, intuitions without concepts are blind.”2 Dengan demikian, Kant menganggap klaim Rasionalisme sebagai terlalu spekulatif dan berisiko terjebak dalam metafisika dogmatis, yakni pemikiran metafisis yang tidak memiliki dasar dalam pengalaman konkret.3

Lebih jauh, Kant menolak ide-ide bawaan dalam bentuk yang diajukan oleh Rasionalisme. Ia berpendapat bahwa yang bersifat a priori dalam pemikiran manusia bukanlah isi pengetahuan, melainkan struktur-formal kesadaran seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori intelek. Dengan ini, Kant memindahkan titik berat dari isi ide ke kondisi kemungkinan ide itu sendiri.

4.2.       Kritik terhadap Empirisme

Sementara itu, Empirisme, sebagaimana dikembangkan oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume, menyatakan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman, baik melalui kesan-kesan indrawi (sensation) maupun refleksi internal terhadap kesadaran.4 Hume bahkan menyimpulkan bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kausalitas, karena semua bentuk relasi kausal tidak dapat dibuktikan secara logis, melainkan hanya dipahami melalui kebiasaan psikologis semata.5

Kant melihat bahwa pandangan Empirisme ini berujung pada skeptisisme, yaitu keraguan terhadap kemungkinan pengetahuan universal dan niscaya. Ia menganggap bahwa jika semua pengetahuan bergantung sepenuhnya pada pengalaman, maka tidak ada dasar untuk menyatakan hukum-hukum ilmiah sebagai berlaku secara universal. Oleh karena itu, Kant menolak bahwa pengalaman semata cukup untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan ilmiah yang bersifat niscaya bisa terjadi.

Sebagai solusi, Kant memperkenalkan konsep “synthetic a priori”, yakni proposisi yang bersifat menambah informasi baru (sintetik) namun tidak bergantung pada pengalaman (a priori), seperti dalam matematika dan prinsip kausalitas. Baginya, kategori-kategori apriori dalam pikiran manusia secara aktif membentuk struktur pengalaman, sehingga menjadikan pengalaman memiliki bentuk yang dapat dipahami secara ilmiah dan universal.6

Dengan demikian, Kant menilai bahwa baik Rasionalisme maupun Empirisme gagal menangkap hubungan dinamis antara subjek dan objek pengetahuan. Rasionalisme mengabaikan peran pengalaman konkret, sedangkan Empirisme mengabaikan struktur-formal yang memungkinkan pengalaman menjadi bermakna. Kritisisme Kant hadir sebagai jawaban yang mencoba mengintegrasikan kedua sisi tersebut dengan pendekatan reflektif dan transendental.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 3–12.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[3]                Karl Ameriks, Kant’s Theory of Mind: An Analysis of the Paralogisms of Pure Reason, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–23.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §VII.

[6]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 80–84.


5.           Struktur Pengetahuan Menurut Kant

Dalam kerangka Kritisisme, Immanuel Kant mengajukan model struktur pengetahuan yang sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Baginya, pengetahuan bukanlah hasil pasif dari pengalaman semata, melainkan merupakan hasil sintesis aktif antara materi empiris yang diterima melalui indra dan bentuk-bentuk apriori yang dibawa oleh subjek pengenal. Dengan kata lain, Kant menyatakan bahwa pengetahuan dimungkinkan oleh perpaduan antara intuisi dan pengertian, yang masing-masing memiliki syarat-syarat apriori tersendiri.1

5.1.       Intuisi Apriori: Ruang dan Waktu

Kant memulai penjelasannya dengan membedakan antara materi dan bentuk dari pengalaman. Materi berasal dari sensasi, sedangkan bentuk berasal dari intuisi apriori, yaitu ruang dan waktu. Menurut Kant, ruang dan waktu bukanlah entitas objektif yang ada di luar kesadaran, melainkan kerangka apriori dalam diri subjek yang memungkinkan pengalaman indrawi tersusun secara teratur dan terstruktur.2

Ruang adalah bentuk intuisi eksternal yang membuat kita bisa memahami benda-benda sebagai terletak dalam hubungan spasial. Sementara waktu adalah bentuk intuisi internal, yang memungkinkan kita menangkap urutan peristiwa dan perubahan.3 Dengan ini, Kant membantah pandangan empiris bahwa ruang dan waktu berasal dari pengalaman; sebaliknya, justru pengalaman hanya mungkin terjadi karena ada prasyarat ruang dan waktu dalam pikiran.

5.2.       Kategori-Kategori Pemahaman

Setelah menyusun pengalaman secara indrawi melalui intuisi apriori, subjek lalu memprosesnya dengan kategori-kategori intelek (Verstand), yakni konsep-konsep murni apriori yang mengatur dan menyatukan data indrawi menjadi pengetahuan. Kant mengidentifikasi dua belas kategori, yang dikelompokkan ke dalam empat kelas utama: kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas.4

Kategori-kategori ini, menurut Kant, bukan hasil pengalaman, melainkan struktur kognitif yang aktif membentuk pengalaman itu sendiri. Misalnya, kategori kausalitas memungkinkan kita memahami satu peristiwa sebagai akibat dari yang lain, bukan sekadar dua peristiwa yang berdekatan secara temporal seperti dalam teori Hume.5 Tanpa kategori-kategori ini, pengalaman manusia akan menjadi kumpulan kesan acak tanpa koherensi atau makna.

5.3.       Synthesis dan Peran Imajinasi Transendental

Elemen penting dalam struktur pengetahuan Kant adalah proses sintesis yang dilakukan oleh imajinasi transendental, yaitu fakultas jiwa yang menjembatani antara intuisi dan kategori intelek. Imajinasi transendental melakukan “sintesis apersepsi”—proses kesadaran yang menyatukan berbagai representasi menjadi satu kesatuan pengalaman yang utuh.6 Melalui proses ini, subjek tidak hanya menerima informasi, tetapi juga membentuk struktur pengalaman dalam satu kesadaran diri yang konsisten, yang disebut Kant sebagai “transcendental unity of apperception.”

5.4.       Pengetahuan sebagai Synthetic A Priori

Ciri khas dari teori pengetahuan Kant adalah bahwa pengetahuan yang sejati memiliki bentuk synthetic a priori: yaitu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh melalui logika semata (tidak analitik), namun juga tidak berasal dari pengalaman (karena bersifat universal dan niscaya). Contoh utama dari proposisi ini adalah dalam matematika (“7 + 5 = 12”) dan prinsip kausalitas dalam ilmu alam. Kant berargumen bahwa bentuk pengetahuan semacam ini hanya dapat dijelaskan melalui struktur apriori subjek yang memungkinkan sintesis informasi empiris dengan kategori rasional.7


Dengan demikian, struktur pengetahuan menurut Kant terdiri atas:

1)                  Intuisi apriori (ruang dan waktu) sebagai bentuk dari sensibilitas (indera);

2)                  Kategori-kategori apriori sebagai bentuk dari intelek (pemahaman);

3)                  Sintesis melalui imajinasi transendental untuk mengkoordinasikan data empiris dengan bentuk-bentuk apriori;

4)                  Kesadaran transendental sebagai prinsip kesatuan pengalaman;

5)                  Synthetic a priori sebagai bentuk pengetahuan yang paling esensial.

Model ini memungkinkan Kant menjelaskan bagaimana pengetahuan yang bersifat objektif, universal, dan niscaya bisa dibangun tanpa jatuh pada spekulasi metafisis atau skeptisisme empiris. Dalam hal ini, subjek tidak sekadar pasif, tetapi menjadi pusat aktif dalam membentuk struktur realitas fenomenal.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–B76.

[2]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 116–120.

[3]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 105–110.

[4]                Robert Pippin, Kant’s Theory of Form: An Essay on the Critique of Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 82–85.

[5]                Karl Ameriks, Kant’s Theory of Mind: An Analysis of the Paralogisms of Pure Reason, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2000), 44–47.

[6]                Dieter Henrich, The Unity of Reason: Essays on Kant’s Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 53–56.

[7]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 55–57.


6.           Implikasi Kritisisme terhadap Ilmu Pengetahuan

Salah satu kontribusi paling signifikan dari Kritisisme Immanuel Kant terhadap pemikiran modern terletak pada landasannya yang kokoh bagi epistemologi ilmu pengetahuan. Kant mengajukan paradigma baru yang mampu menyatukan keabsahan prinsip-prinsip ilmiah dengan refleksi filosofis atas batas-batas rasionalitas manusia. Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan tidak lagi dianggap sebagai cermin pasif dari realitas objektif (sebagaimana dalam Empirisme), dan juga tidak bersifat apriori spekulatif semata (sebagaimana dalam Rasionalisme), melainkan sebagai hasil sintesis aktif antara pengalaman dan struktur kognitif subjek.1

6.1.       Pengetahuan Ilmiah sebagai Produk Synthetic A Priori

Kant berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah tidak mungkin bersifat murni empiris, karena pengalaman saja tidak bisa menjamin universalitas dan keniscayaan dari hukum-hukum ilmiah. Sebaliknya, ia juga menolak bentuk metafisika yang mendasarkan ilmu pada prinsip apriori tanpa dasar empiris. Oleh karena itu, proposisi-proposisi ilmiah yang valid harus bersifat synthetic a priori, yaitu bersumber dari struktur rasional apriori, namun tetap berkenaan dengan objek empiris.2

Contohnya adalah prinsip kausalitas, yang menurut Kant merupakan kategori apriori yang memungkinkan pengalaman tersusun secara ilmiah. Tanpa asumsi bahwa setiap peristiwa memiliki sebab, tidak mungkin ada hukum ilmiah yang bisa memprediksi fenomena alam secara konsisten. Dalam hal ini, Kant memberikan justifikasi filosofis bagi validitas hukum-hukum fisika Newtonian, bukan sebagai kebenaran objektif absolut, tetapi sebagai kerangka pengalaman manusia yang terstruktur oleh kategori-kategori apriori.3

6.2.       Sains dan Batas-Batas Pengetahuan

Konsekuensi langsung dari filsafat Kritisisme adalah penegasan batas epistemologis ilmu pengetahuan. Menurut Kant, kita hanya dapat mengetahui fenomena (phenomena), yaitu realitas sebagaimana ia tampak dalam kesadaran manusia yang telah dibentuk oleh intuisi ruang dan waktu serta kategori-kategori intelek. Adapun hakikat realitas pada dirinya sendiri (noumenon) tetap berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan.4

Pandangan ini menjadi dasar dari kerendahan hati epistemik dalam sains modern: bahwa meskipun ilmu dapat menjelaskan dan memprediksi dunia pengalaman dengan sangat efektif, ia tidak bisa menjangkau aspek-aspek metafisik yang transenden. Sebagai contoh, pertanyaan tentang “asal-usul mutlak” atau “realitas terakhir” bukan merupakan objek legitimasi sains, melainkan masalah spekulatif yang harus diperlakukan secara kritis dan hati-hati.5

6.3.       Metode Ilmiah dan Konstruksi Subjektif

Kritisisme juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk konstruksi subjek rasional, bukan sekadar akumulasi data objektif. Hal ini sejalan dengan pandangan kontemporer bahwa sains bukan bebas nilai, melainkan dibentuk oleh kerangka konseptual dan paradigma yang digunakan oleh komunitas ilmiah. Dalam hal ini, pemikiran Kant berpengaruh besar terhadap epistemologi Thomas Kuhn, yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu berjalan melalui pergeseran paradigma, bukan sekadar akumulasi penemuan faktual.6

Gagasan Kant tentang struktur apriori yang membentuk pengalaman juga menjadi inspirasi bagi pendekatan konstruktivisme epistemologis, baik dalam filsafat sains maupun dalam pendidikan. Ilmu pengetahuan dipahami bukan sebagai penemuan realitas objektif sebagaimana adanya, melainkan sebagai hasil interaksi aktif antara subjek dan dunia yang ditafsirkan.7

6.4.       Pengaruh terhadap Disiplin Ilmu Lain

Implikasi epistemologis Kritisisme melampaui fisika dan matematika. Dalam bidang etika, Kant menyusun teori moralnya berdasarkan prinsip apriori tentang rasionalitas praktis, yang berpuncak pada imperatif kategoris. Dalam estetika, ia menekankan bahwa pengalaman keindahan melibatkan sintesis antara subjek dan objek, dengan rasa harmoni antara imajinasi dan pengertian.8 Bahkan dalam metodologi ilmu sosial, pendekatan Kantian memberikan dasar untuk melihat manusia bukan sekadar objek empiris, tetapi sebagai subjek rasional yang memiliki struktur dan maksud.


Dengan demikian, Kritisisme Kant tidak hanya memberikan dasar epistemologis yang kokoh bagi sains modern, tetapi juga menyumbang paradigma filosofis yang menekankan hubungan dialektis antara subjek dan objek, serta pentingnya refleksi kritis atas fondasi dan batas pengetahuan manusia. Dalam era kontemporer yang diwarnai oleh pluralisme metodologis dan kompleksitas objek kajian, warisan Kritisisme tetap relevan sebagai kerangka filosofis yang mengintegrasikan rasionalitas, pengalaman, dan kesadaran akan batas.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B74–B78.

[2]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.

[3]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 141–147.

[4]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 85–92.

[5]                Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 19–21.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 4–5.

[7]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: RoutledgeFalmer, 1995), 7–10.

[8]                Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §9–10.


7.           Relevansi Kritisisme dalam Konteks Filsafat Kontemporer

Meskipun lahir pada akhir abad ke-18, Kritisisme Kant tetap memainkan peran sentral dalam lanskap filsafat kontemporer, terutama dalam diskursus epistemologi, filsafat ilmu, dan teori pengetahuan subjek. Relevansi pendekatan kritis-transendental Kant tidak hanya terletak pada jawaban filosofisnya terhadap pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme, tetapi juga pada kerangka metodologis yang ia tawarkan untuk memahami syarat-syarat kemungkinan pengetahuan manusia. Dalam berbagai perkembangan pemikiran abad ke-20 dan ke-21, pengaruh Kant dapat ditelusuri melalui transformasi dan reinterpretasi pemikirannya dalam berbagai aliran filsafat.

7.1.       Neo-Kantianisme dan Rasionalitas Ilmiah

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, muncul gerakan Neo-Kantianisme, khususnya dalam mazhab Marburg (dipelopori oleh Hermann Cohen dan Ernst Cassirer) dan mazhab Baden (dipimpin oleh Wilhelm Windelband dan Heinrich Rickert). Gerakan ini menekankan pentingnya struktur apriori dan fungsi rasional dalam membentuk pengetahuan ilmiah, namun dengan menyesuaikan kerangka Kantian terhadap kemajuan sains dan logika modern.1 Bagi Neo-Kantian, ilmu pengetahuan bukan sekadar refleksi empiris, tetapi hasil konstruksi berdasarkan prinsip-prinsip normatif yang bersifat ideal. Dalam hal ini, Kant menjadi acuan penting dalam menjelaskan validitas logis dan objektivitas ilmu, bukan dalam kerangka metafisik, melainkan dalam dimensi metodologis dan normatif.

7.2.       Fenomenologi dan Kesadaran Transendental

Pemikiran Kant juga memiliki pengaruh besar terhadap gerakan Fenomenologi, terutama dalam karya Edmund Husserl, yang mengembangkan konsep kesadaran transendental dan intensionalitas sebagai pusat pengalaman subjek.2 Husserl tidak menerima sepenuhnya sistem kategori Kant, namun ia mengadopsi orientasi transendental dalam bentuk baru yang berfokus pada struktur kesadaran dan cara dunia dimaknai oleh subjek. Kant membuka jalan bagi gagasan bahwa kesadaran bukan hanya penerima pasif dunia, tetapi merupakan aktor yang membentuk makna realitas melalui struktur apriori—sebuah prinsip yang menjadi fondasi utama dalam fenomenologi.

7.3.       Filsafat Bahasa dan Analitik

Dalam tradisi filsafat analitik, terutama pada pertengahan abad ke-20, gagasan Kant tentang synthetic a priori sempat dikritik dan dipertanyakan validitasnya, khususnya oleh tokoh-tokoh seperti A.J. Ayer dan W.V. Quine. Ayer, sebagai bagian dari positivisme logis, menyatakan bahwa hanya proposisi analitik atau empiris yang bermakna secara kognitif, sehingga menolak kemungkinan proposisi synthetic a priori sebagaimana dirumuskan oleh Kant.3 Namun demikian, diskusi tersebut justru memperlihatkan bahwa Kritisisme tetap menjadi batu ujian penting dalam menilai batas-batas dan jenis klaim pengetahuan, baik dalam metafisika, etika, maupun sains.

7.4.       Konstruktivisme dan Teori Pengetahuan Sosial

Kritisisme Kant juga memberikan pengaruh pada munculnya pendekatan konstruktivisme epistemologis di abad ke-20, terutama dalam konteks teori pengetahuan sosial dan pendidikan. Tokoh seperti Jean Piaget dalam psikologi perkembangan kognitif dan Ernst von Glasersfeld dalam epistemologi radikal, mengadopsi prinsip bahwa pengetahuan dibangun secara aktif oleh subjek, bukan diterima secara pasif dari lingkungan.4 Dalam filsafat sains, ide ini dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas S. Kuhn, yang menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui paradigma yang membentuk cara ilmuwan memandang dan mengorganisasi data empirik, selaras dengan cara kerja struktur apriori dalam pikiran manusia yang digambarkan oleh Kant.5

7.5.       Kritik Ideologi dan Filsafat Kritis

Dalam tradisi filsafat kritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt (misalnya Max Horkheimer dan Jürgen Habermas), semangat kritis-transendental Kant digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan kritik ideologi dan pembebasan manusia dari dominasi sistemik. Habermas secara khusus mengintegrasikan warisan Kant dalam konsep rasionalitas komunikatif, yang bertujuan menyusun prinsip normatif bagi interaksi sosial yang rasional dan bebas distorsi.6 Dalam hal ini, Kritisisme tetap menjadi referensi penting bagi upaya mengembangkan rasionalitas yang bukan hanya bersifat teknis-instrumental, tetapi juga etis dan intersubjektif.


Dengan demikian, relevansi Kritisisme dalam konteks filsafat kontemporer tetap kuat, tidak hanya sebagai sistem epistemologis, tetapi sebagai kerangka metodologis untuk menilai validitas, batas, dan struktur pengetahuan manusia dalam berbagai disiplin. Dari filsafat ilmu hingga teori sosial, dari epistemologi pendidikan hingga kritik budaya, warisan pemikiran Kant terus ditafsirkan ulang untuk merespons tantangan zaman, menandakan daya hidup filsafat Kritisisme yang transhistoris dan transdisipliner.


Footnotes

[1]                Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, vol. 1, trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1955), 3–5.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic, 1982), §27–30.

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 71–73; W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[4]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child, trans. Margaret Cook (New York: Basic Books, 1954), 2–3; Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: RoutledgeFalmer, 1995), 7–9.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 44–50.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 8–9.


8.           Kritik dan Batasan terhadap Kritisisme

Walaupun Kritisisme karya Immanuel Kant telah memberikan fondasi penting bagi perkembangan epistemologi modern, pendekatan ini tidak luput dari kritik dan pertanyaan filosofis yang serius. Sejak kemunculannya, berbagai filsuf baik sezaman maupun setelah Kant mengajukan sejumlah keberatan terhadap konsistensi internal, implikasi metafisik, dan batas-batas kognitif yang ditetapkan oleh Kritisisme. Kritik-kritik ini tidak sekadar menolak ajaran Kant, melainkan juga mendorong perumusan ulang epistemologi transendental dalam berbagai bentuk.

8.1.       Masalah “Noumenon” dan Ambiguitas Ontologis

Salah satu kritik paling signifikan terhadap Kritisisme adalah konsep noumenon atau das Ding an sich (“benda pada dirinya sendiri”), yaitu realitas yang menurut Kant tidak dapat diketahui oleh manusia karena tidak terjangkau oleh kategori dan intuisi apriori. Filsuf seperti G.W.F. Hegel menilai bahwa konsep ini kontradiktif secara logis, karena Kant mengklaim bahwa kita tidak dapat mengetahui thing-in-itself, tetapi tetap berbicara tentang keberadaannya dan dampaknya terhadap kesadaran kita.1 Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel mengkritik bahwa pemikiran tidak seharusnya berhenti pada batas pengetahuan, tetapi harus bergerak menuju penyatuan antara subjek dan objek melalui dialektika.2

Demikian pula, Arthur Schopenhauer mengadopsi struktur sistem Kant tetapi menggantikan noumenon dengan “kehendak” sebagai esensi realitas, yang menurutnya lebih dapat dipahami sebagai kekuatan metafisik daripada entitas yang sepenuhnya misterius.3 Bagi sebagian kritikus, pendekatan Kant terlalu agnostik terhadap realitas di luar pengalaman, sehingga membuka celah untuk skeptisisme metafisik.

8.2.       Ketegangan antara Empirisme dan Apriorisme

Kritisisme berupaya mensintesiskan rasionalisme dan empirisme, tetapi sebagian kalangan menilai bahwa Kant terlalu menekankan struktur apriori sehingga mengurangi fleksibilitas terhadap kompleksitas pengalaman empiris. Filsuf-filsuf positivis logis seperti Rudolf Carnap dan A.J. Ayer menolak keberadaan proposisi synthetic a priori, dan menyatakan bahwa pernyataan yang bermakna harus bersifat analitik atau diverifikasi secara empiris.4

Demikian pula, W.V.O. Quine dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism” menyerang distingsi antara analitik dan sintetik yang merupakan fondasi dari teori Kant, dan menyatakan bahwa seluruh pengetahuan, termasuk logika dan matematika, bergantung pada konfirmasi empiris dalam jaringan kepercayaan ilmiah.5 Kritik ini menunjukkan bahwa fondasi apriori dalam Kritisisme dianggap tidak memadai untuk menjelaskan dinamika pengetahuan kontemporer, khususnya dalam kerangka sains empiris yang berkembang pesat.

8.3.       Abstraksi Formal dan Minimnya Konteks Historis

Kritik lain terhadap Kant datang dari filsafat hermeneutik dan filsafat sejarah, yang menilai bahwa sistem Kritisisme terlalu abstrak dan formalistis, serta mengabaikan dimensi historis dan linguistik dari proses pengetahuan. Hans-Georg Gadamer, misalnya, menyatakan bahwa pengalaman memahami tidak hanya dibentuk oleh kategori apriori, tetapi juga oleh tradisi, bahasa, dan konteks historis yang selalu hadir dalam kesadaran subjek.6

Dalam hal ini, Kritisisme dianggap kurang sensitif terhadap faktor-faktor budaya, sosial, dan historis yang membentuk kerangka berpikir manusia. Meskipun Kant menyusun model pengetahuan yang rasional dan universal, pendekatan tersebut dinilai terlalu ideal dan kurang memperhitungkan situasionalitas pengetahuan dalam kehidupan nyata.

8.4.       Kritik Etis dan Praktis

Dalam ranah etika, meskipun imperatif kategoris Kant dianggap sebagai landasan rasional moralitas modern, sejumlah pemikir berkeberatan terhadap rigiditas dan formalitas sistem moral Kantian. Filsuf Friedrich Nietzsche mengecam etika Kant sebagai manifestasi moralitas budak, yang menindas kehendak individual dan kreativitas dengan dalih rasionalitas universal.7 Sementara itu, filsuf feminis dan postmodern seperti Michel Foucault dan Judith Butler mempertanyakan klaim-klaim universalisme dalam etika Kant sebagai bentuk kekuasaan epistemik yang menyingkirkan keberagaman pengalaman manusia.8


Dengan demikian, Kritisisme Kant memiliki batasan-batasan konseptual yang telah menjadi bahan refleksi dan kritik dalam berbagai cabang filsafat. Dari segi metafisika, ia menghadapi tuduhan inkonsistensi; dari segi epistemologi, ia digugat atas dasar ketidakmampuan menjelaskan dinamika historis dan empiris secara memadai; dan dari segi praktis, pendekatan normatifnya dinilai terlalu formal dan universalistik. Meski demikian, kritik-kritik ini tidak menghapus nilai historis dan metodologis Kritisisme, melainkan justru memperkaya warisannya dengan reinterpretasi baru yang lebih kontekstual dan inklusif.


Footnotes

[1]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), §44–§47.

[2]                Robert C. Solomon, In the Spirit of Hegel (New York: Oxford University Press, 1983), 97–100.

[3]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover, 1969), Vol. I, §1–2.

[4]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 71–75.

[5]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 267–269.

[7]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1969), Essay I.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28; Judith Butler, Gender Trouble (New York: Routledge, 1990), 2–4.


9.           Kesimpulan

Kritisisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant menandai tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, terutama dalam bidang epistemologi. Melalui pendekatan transendentalnya, Kant berhasil memformulasikan sintesis antara Rasionalisme yang mengandalkan akal budi dan Empirisme yang berlandaskan pengalaman inderawi. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan tidak mungkin sepenuhnya berasal dari pengalaman, namun juga tidak dapat sepenuhnya dibangun oleh rasio murni, melainkan merupakan hasil dari sintesis aktif antara keduanya melalui struktur apriori dalam kesadaran manusia.1

Kritisisme menawarkan sebuah kerangka filsafat yang revolusioner, dengan menekankan bahwa subjek mengetahui tidak bersifat pasif, melainkan secara aktif membentuk pengalaman melalui intuisi apriori (ruang dan waktu) dan kategori pemahaman (seperti kausalitas, kuantitas, dan modalitas). Pengetahuan ilmiah, menurut Kant, bukan sekadar cerminan dari dunia objektif, tetapi hasil konstruksi rasional yang tunduk pada syarat-syarat transendental dari kemungkinan pengalaman.2

Dalam kerangka ini, konsep synthetic a priori menjadi inovasi epistemologis Kant yang paling penting. Ia menjelaskan bagaimana proposisi-proposisi seperti dalam matematika dan fisika dapat bersifat universal dan niscaya, meskipun tidak bersifat analitik dan tidak semata-mata berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, Kritisisme memberikan landasan filosofis bagi validitas ilmu pengetahuan tanpa jatuh ke dalam spekulasi metafisik ataupun skeptisisme empiris.3

Di samping itu, pengaruh Kritisisme meluas ke berbagai aliran filsafat kontemporer, seperti Neo-Kantianisme, Fenomenologi, Konstruktivisme, dan Teori Kritis. Meskipun menghadapi kritik dari berbagai arah—mulai dari Hegel dan Schopenhauer, hingga Quine dan Foucault—semangat reflektif dan metodologis Kritisisme tetap relevan dalam diskusi filsafat hingga hari ini. Bahkan, banyak kritik tersebut justru memperkaya warisan Kant dengan pembacaan yang lebih kontekstual, historis, dan intersubjektif.4

Namun demikian, Kritisisme juga memiliki batas-batas konseptual, seperti ambiguitas mengenai status noumenon, kesulitan dalam menjelaskan dimensi historis dan sosial dari pengetahuan, serta kekakuan normatif dalam sistem etikanya. Meskipun begitu, kontribusi fundamental Kritisisme dalam membangun epistemologi modern tetap tak tergantikan: ia mengajarkan bahwa pertanyaan tentang pengetahuan tidak dapat dijawab tanpa terlebih dahulu menyelidiki kondisi yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, Kritisisme bukan sekadar posisi dalam sejarah pemikiran, melainkan juga sikap filosofis: bahwa segala bentuk klaim pengetahuan harus diuji berdasarkan syarat-syarat validitasnya, dan bahwa subjek mengetahui memiliki peran aktif, bukan netral, dalam membentuk dunia yang dimengerti. Dalam dunia kontemporer yang kompleks dan plural, semangat kritis-transendental ini tetap menjadi panduan penting bagi filsafat, sains, dan kemanusiaan secara lebih luas.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B74–B78.

[2]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 112–115.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 52–55.

[4]                Frederick C. Beiser, The Fate of Reason: German Philosophy from Kant to Fichte (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 33–37.


Daftar Pustaka

Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental idealism: An interpretation and defense (Rev. ed.). Yale University Press.

Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Beiser, F. C. (1987). The fate of reason: German philosophy from Kant to Fichte. Harvard University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble. Routledge.

Cassirer, E. (1955). The philosophy of symbolic forms (R. Manheim, Trans.; Vol. 1). Yale University Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Glasersfeld, E. von. (1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. RoutledgeFalmer.

Guyer, P. (1987). Kant and the claims of knowledge. Cambridge University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.; Vol. 1). Beacon Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Henrich, D. (1994). The unity of reason: Essays on Kant’s philosophy. Harvard University Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Kluwer Academic.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Kant, I. (2000). Critique of the power of judgment (P. Guyer & E. Matthews, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1790)

Kant, I. (2004). Prolegomena to any future metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1783)

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Nietzsche, F. (1969). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1887)

Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child (M. Cook, Trans.). Basic Books.

Pippin, R. (1982). Kant’s theory of form: An essay on the Critique of Pure Reason. Yale University Press.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Schopenhauer, A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.; Vol. 1). Dover. (Original work published 1819)

Scruton, R. (2001). Kant: A very short introduction. Oxford University Press.

Solomon, R. C. (1983). In the spirit of Hegel. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar