Jumat, 06 Juni 2025

Kekuatan (Force): Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Koersi dan Kekerasan dalam Relasi Sosial dan Politik

Kekuatan (Force)

Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Koersi dan Kekerasan dalam Relasi Sosial dan Politik


Alihkan ke: Konsep-Konsep Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara multidisipliner konsep kekuatan (force) dalam konteks filsafat dan sosiologi sebagai bentuk dominasi yang bekerja melalui koersi, kekerasan, dan pengendalian sosial dalam berbagai skala. Melalui telaah historis dan konseptual, dibahas bagaimana para pemikir klasik seperti Plato, Hobbes, dan Nietzsche hingga tokoh kontemporer seperti Hannah Arendt dan Michel Foucault memahami peran kekuatan dalam kehidupan politik dan sosial. Di sisi sosiologis, artikel ini menelaah bagaimana kekuatan bekerja dalam struktur sosial melalui legitimasi (Weber), dominasi kelas (Marx), kekerasan simbolik (Bourdieu), dan monopoli kekerasan negara (Elias).

Pembahasan meluas ke kritik terhadap kekuatan dan kekerasan, termasuk perspektif etis, pasifisme, dan teori kritis yang menunjukkan bahwa kekerasan dapat bersifat struktural dan simbolik. Dalam konteks kontemporer, artikel ini mengkaji transisi kekuatan dalam era globalisasi, digitalisasi, dan biopolitik—menunjukkan bahwa kekuatan tidak lagi bersifat kasatmata, melainkan bekerja melalui algoritma, ekonomi global, dan kontrol atas kehidupan. Penutup artikel menegaskan pentingnya kesadaran etis dan refleksi kritis terhadap berbagai bentuk kekuasaan, serta perlunya memperjuangkan bentuk kekuatan yang sah, adil, dan partisipatif dalam kehidupan sosial dan politik.

Kata Kunci: Kekuatan; Kekerasan; Koersi; Kekuasaan; Negara; Kekuasaan Simbolik; Kekerasan Struktural; Filsafat Politik; Sosiologi Kritis; Digitalisasi; Biopolitik; Legitimasi.


PEMBAHASAN

Kekuatan (Force) dalam Perspektif Filsafat dan Sosiologi


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran filsafat dan sosiologi, konsep kekuatan (force) senantiasa menjadi topik krusial dalam memahami dinamika relasi sosial dan struktur politik. Kekuatan, yang dalam konteks ini merujuk pada bentuk koersi langsung, tekanan fisik, atau bahkan kekerasan terlembaga, merupakan salah satu instrumen paling purba dan mendasar dalam praktik kekuasaan. Meskipun tidak seluruh kekuasaan bersumber pada kekuatan, namun kekuatan selalu menjadi kemungkinan inheren dalam setiap relasi kuasa yang tidak berbasis pada legitimasi atau konsensus. Seperti yang ditunjukkan Hannah Arendt, kekuatan bukan hanya berbeda dari kekuasaan (power), tetapi bahkan dapat menjadi antitesisnya ketika kekuasaan kehilangan dukungan dan harus bergantung pada kekuatan sebagai pengganti legitimasi yang hilang.¹

Dalam filsafat politik klasik, pemikiran mengenai kekuatan banyak diasosiasikan dengan negara dan hukum sebagai alat penjamin ketertiban sosial. Thomas Hobbes, misalnya, menyatakan bahwa dalam keadaan alami, manusia hidup dalam kondisi “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes), sehingga negara dibutuhkan untuk menundukkan hasrat individual dengan kekuatan yang absolut.² Di sisi lain, pemikir seperti Spinoza dan Nietzsche mengaitkan kekuatan dengan kehendak untuk hidup dan kehendak untuk berkuasa (will to power) sebagai dorongan eksistensial yang melekat dalam kehidupan manusia.³ Pemahaman ini memberi warna berbeda dalam membedakan kekuatan sebagai fenomena biologis, psikologis, maupun politis.

Sementara itu, dalam tradisi sosiologi klasik, Max Weber membedakan kekuatan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang, bahkan terhadap perlawanan, dari otoritas yang ditandai oleh penerimaan legitimasi oleh pihak yang dikuasai.⁴ Kekuatan dalam hal ini bersifat koersif dan tidak selalu memerlukan persetujuan dari mereka yang dikenai. Pemikiran ini membuka jalan bagi analisis yang lebih tajam mengenai praktik-praktik dominasi yang tidak mendapatkan legitimasi sosial, termasuk bentuk-bentuk kekerasan struktural maupun simbolik yang dikembangkan lebih lanjut oleh Pierre Bourdieu.⁵

Kajian kontemporer terhadap kekuatan semakin kompleks, terlebih dalam masyarakat modern yang semakin berlapis. Kekerasan tidak lagi hadir hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga secara institusional, kultural, dan digital. Negara modern, melalui aparat hukumnya, misalnya, tetap mempertahankan klaim atas monopoli kekerasan yang sah sebagaimana dikemukakan Weber.⁶ Namun pada saat yang sama, praktik kekerasan juga bisa dilakukan oleh aktor non-negara seperti kelompok milisi, korporasi global, dan bahkan platform digital, yang seringkali beroperasi dalam ruang abu-abu antara hukum dan kekuasaan.

Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep kekuatan secara historis dan teoritis dalam wacana filsafat dan sosiologi. Fokus kajian mencakup distingsi antara kekuatan, kekuasaan, dan otoritas, serta analisis kritis terhadap berbagai bentuk kekerasan yang muncul dalam hubungan sosial-politik. Dengan pendekatan multidisipliner, tulisan ini juga akan mengurai perkembangan konseptual dari para pemikir kunci, meninjau relevansi kekuatan dalam konteks kontemporer, serta menggugat batas-batas etis dari penggunaan kekerasan dalam masyarakat modern. Kajian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis bagi pemahaman lebih utuh tentang bagaimana kekuatan bekerja—baik secara eksplisit maupun implisit—dalam konstelasi relasi kuasa manusia.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 44–45.

[2]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1998), 86–88.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 137–139.

[4]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 53–54.

[5]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170.

[6]                Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 78.


2.           Pengertian dan Cakupan Konseptual Kekuatan

Konsep kekuatan (force) dalam kajian filsafat dan sosiologi merujuk pada kapasitas atau kemampuan untuk memaksakan kehendak melalui cara-cara koersif, sering kali dalam bentuk tekanan fisik atau kekerasan langsung. Kekuatan merupakan dimensi paling nyata dan kasatmata dari relasi kuasa, yang bekerja melalui paksaan daripada persuasi, dan melalui dominasi daripada konsensus. Dalam pengertian dasarnya, kekuatan adalah bentuk kontrol yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak yang dikenai, dan dengan demikian menjadi instrumen kekuasaan yang paling bersifat represif.¹

Secara etimologis, istilah force berasal dari bahasa Latin fortis yang berarti “kuat” atau “bertenaga”, dan dalam perkembangan selanjutnya merujuk pada kekuatan yang dapat dikenali dalam tindakan nyata yang menghasilkan dampak, baik secara fisik, politik, maupun sosial.² Dalam tradisi pemikiran Barat, terutama dalam filsafat politik, kekuatan seringkali diidentikkan dengan aspek fisik dari kekuasaan, yaitu kapasitas untuk menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan guna menundukkan pihak lain.³ Akan tetapi, dalam analisis kontemporer, cakupan konseptual kekuatan meluas hingga mencakup bentuk-bentuk tekanan simbolik, struktural, dan bahkan psikologis.

Max Weber memberikan penjelasan penting dengan membedakan kekuasaan (Macht) dari otoritas (Autorität). Menurutnya, kekuasaan adalah “kemungkinan bahwa seorang aktor dalam suatu relasi sosial mampu memaksakan kehendaknya sendiri sekalipun menghadapi perlawanan, tidak peduli dasar dari kemungkinan itu.”⁴ Dalam konteks ini, kekuatan merupakan sarana utama dalam praktik kekuasaan yang tidak berbasis pada legitimasi, karena yang menjadi ukuran bukanlah penerimaan, melainkan efektivitas pemaksaan. Filsuf politik kontemporer seperti John R. Searle menegaskan bahwa kekuatan fisik merupakan “dasar biologis dari semua bentuk kekuasaan manusia,” namun seiring perkembangan peradaban, bentuk-bentuk non-fisik dari kekuasaan menjadi lebih dominan dan tersembunyi.⁵

Kekuatan dapat pula dibedakan dari kekuasaan yang bersifat normatif, yaitu kekuasaan yang memperoleh justifikasi moral, hukum, atau sosial. Dalam pengertian ini, kekuatan sering dikaitkan dengan tindakan koersif yang bersifat ilegal, tidak sah, atau menyimpang, meskipun dalam praktiknya banyak negara dan institusi menggunakan kekuatan dalam kerangka hukum tertentu. Michel Foucault menyoroti bahwa kekuatan tidak hanya bekerja melalui represivitas, tetapi juga melalui “produksi kebenaran”, norma, dan wacana yang membuat bentuk-bentuk koersi menjadi tidak terlihat.⁶

Cakupan konseptual kekuatan dalam masyarakat modern meluas tidak hanya pada relasi antara negara dan warga, tetapi juga dalam hubungan antarkelompok sosial, relasi gender, struktur kelas, hingga kontrol digital di era informasi. Bentuk kekuatan yang paling kasatmata ialah kekerasan fisik, seperti penindasan oleh aparat negara atau konflik bersenjata, namun kekuatan juga hadir dalam bentuk kekerasan simbolik seperti pengucilan budaya, subordinasi bahasa, atau normalisasi ideologi dominan.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan dapat beroperasi secara langsung dan terbuka, maupun secara halus dan terselubung.

Dengan demikian, pemahaman tentang kekuatan tidak dapat dibatasi hanya pada koersi fisik, tetapi harus mencakup dimensi struktural, ideologis, dan epistemologis. Di sinilah pentingnya analisis multidisipliner yang melibatkan filsafat politik, teori sosiologi kritis, dan studi budaya dalam mendekonstruksi cara kerja kekuatan dalam dunia sosial yang kompleks.


Footnotes

[1]                Steven Lukes, Power: A Radical View, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2005), 109.

[2]                Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1983), 120.

[3]                Quentin Skinner, “The Sovereign State: A Genealogy,” in States and Citizens: History, Theory, Prospects, ed. Quentin Skinner and Bo Stråth (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 9–10.

[4]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 53.

[5]                John R. Searle, Making the Social World: The Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010), 94.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.

[7]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 164.


3.           Perspektif Filsafat tentang Kekuatan

Gagasan tentang kekuatan telah menjadi tema sentral dalam filsafat politik sejak zaman kuno, terutama dalam rangka menjelaskan bagaimana manusia membentuk dan mempertahankan ketertiban sosial, serta bagaimana kekuasaan dijalankan dalam kehidupan bersama. Berbagai pemikir dalam sejarah filsafat mengembangkan pandangan yang beragam, mulai dari yang memaknai kekuatan sebagai alat untuk menjamin stabilitas sosial, hingga yang melihatnya sebagai ekspresi dari kehendak eksistensial manusia yang tidak dapat ditekan.

3.1.       Pemikiran Klasik: Kekuasaan dan Kekuatan dalam Negara Ideal

Dalam karya-karya Plato, terutama Republic, kekuatan dianggap subordinat terhadap keadilan dan kebaikan. Bagi Plato, kekuasaan yang sejati bukanlah yang bergantung pada kekuatan fisik atau paksaan, melainkan pada pengetahuan dan keutamaan (aretê). Dalam negara yang ideal, para philosopher-kings memerintah bukan dengan kekuatan koersif, tetapi melalui kebijaksanaan dan tatanan moral yang benar.¹ Namun demikian, Plato juga tidak menutup mata terhadap fakta bahwa kekuatan dapat digunakan untuk menegakkan ketertiban dalam masyarakat yang belum sempurna secara filosofis.²

Aristoteles, dalam Politics, membedakan antara kekuasaan yang dijalankan secara sah dalam kerangka polis (politik) dan kekuatan koersif yang menandai bentuk pemerintahan tiranik.³ Ia menilai bahwa penggunaan kekuatan yang tidak disertai legitimasi moral akan merusak kehidupan bersama, karena bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk rasional dan politis.

3.2.       Pemikiran Modern Awal: Kekuatan sebagai Dasar Keamanan dan Ketertiban

Pada masa modern awal, pemikiran tentang kekuatan mengalami pergeseran radikal. Thomas Hobbes, dalam Leviathan, berargumen bahwa dalam kondisi alamiah, manusia hidup dalam keadaan perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes), di mana kekuatan digunakan secara bebas dan tanpa hukum.⁴ Untuk keluar dari kondisi brutal ini, manusia menciptakan negara sebagai otoritas tertinggi yang memonopoli kekuatan demi menjamin perdamaian. Hobbes dengan tegas menyatakan bahwa negara sah menggunakan kekuatan demi mempertahankan ketertiban, dan legitimasi negara justru muncul dari kemampuannya menggunakan kekuatan secara efektif.⁵

Sebaliknya, John Locke menolak pandangan Hobbes yang terlalu menekankan kekuatan absolut. Dalam Two Treatises of Government, Locke menyatakan bahwa legitimasi negara bukan berasal dari kemampuannya menggunakan kekuatan, melainkan dari persetujuan rakyat dan penghormatan terhadap hak-hak alamiah.⁶ Bagi Locke, kekuatan hanya sah sejauh digunakan untuk melindungi kehidupan, kebebasan, dan hak milik warga negara.

3.3.       Nietzsche: Kekuatan sebagai Kehendak Eksistensial

Friedrich Nietzsche menawarkan pendekatan yang sangat berbeda dengan para pendahulunya. Ia tidak memandang kekuatan sebagai instrumen negara atau alat dominasi semata, tetapi sebagai ekspresi fundamental dari kehidupan itu sendiri. Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra dan Beyond Good and Evil, Nietzsche mengembangkan konsep will to power, yaitu dorongan mendasar yang mendorong semua makhluk hidup untuk menegaskan eksistensinya.⁷

Dalam kerangka ini, kekuatan bukanlah sesuatu yang netral atau semata-mata negatif, melainkan dapat menjadi sumber kreativitas, pertumbuhan, dan pembebasan. Namun, Nietzsche juga mengkritik peradaban Barat yang menundukkan kekuatan kreatif ini di bawah moralitas budak yang menindas kehendak hidup.⁸ Perspektif Nietzsche membuka jalan bagi pemikiran post-strukturalis tentang kekuasaan yang tidak bersifat represif semata, tetapi juga produktif.

3.4.       Hannah Arendt: Perbedaan Antara Kekuatan, Kekuasaan, dan Kekerasan

Hannah Arendt, dalam On Violence, membuat distingsi tajam antara power (kekuasaan), force (kekuatan), dan violence (kekerasan). Bagi Arendt, kekuasaan muncul dari tindakan kolektif dan konsensus antarindividu, sedangkan kekuatan merupakan potensi fisik yang dapat digunakan untuk memaksakan kehendak, dan kekerasan adalah ekspresi ekstrem dari kekuatan ketika kekuasaan tidak lagi hadir.⁹ Arendt menegaskan bahwa ketergantungan pada kekuatan atau kekerasan menandakan kemunduran kekuasaan yang sejati, karena kekuasaan tidak membutuhkan kekerasan untuk eksis.¹⁰


Pemikiran para filsuf di atas menunjukkan bahwa kekuatan memiliki peran ambivalen dalam kehidupan politik dan sosial. Ia bisa menjadi instrumen ketertiban atau alat penindasan, bisa menjadi ekspresi vitalitas atau simbol kehancuran. Dengan demikian, pemahaman filosofis atas kekuatan tidak hanya mempersoalkan bagaimana ia digunakan, tetapi juga bagaimana ia dimaknai dalam kehidupan manusia yang penuh ambiguitas dan kompleksitas.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473–480.

[2]                Ibid., 520–521.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253b.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86–88.

[5]                Ibid., 114.

[6]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 137–138.

[8]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 260–265.

[9]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 35–38.

[10]             Ibid., 52–56.


4.           Perspektif Sosiologi tentang Kekuatan

Dalam sosiologi, kekuatan tidak hanya dipahami sebagai tindakan koersif langsung, melainkan sebagai fenomena sosial yang beroperasi melalui struktur, norma, simbol, dan institusi. Para sosiolog mengembangkan pendekatan yang menempatkan kekuatan sebagai elemen konstitutif dari relasi sosial, bukan hanya sebagai alat represif yang digunakan oleh aktor tertentu. Oleh karena itu, kekuatan dilihat tidak sekadar sebagai instrumen individual, tetapi sebagai mekanisme sistemik yang membentuk dan mengatur interaksi sosial dalam berbagai skala, dari mikro hingga makro.

4.1.       Max Weber: Kekuatan dan Legitimasi dalam Relasi Sosial

Max Weber memberikan fondasi penting dalam memahami kekuatan melalui distingsinya antara Macht (kekuasaan) dan Herrschaft (otoritas). Dalam pandangannya, kekuasaan adalah “kemungkinan bahwa seseorang dalam suatu hubungan sosial dapat menjalankan kehendaknya sendiri, sekalipun menghadapi perlawanan.”¹ Kekuatan, dalam pengertian ini, tidak harus memperoleh persetujuan dari yang dikendalikan, melainkan cukup efektif dalam memaksakan kehendak.

Namun, Weber juga menekankan pentingnya legitimasi dalam mempertahankan stabilitas sosial jangka panjang. Ia mengidentifikasi tiga bentuk otoritas legitim: tradisional, karismatik, dan rasional-legal.² Ketika kekuatan dijalankan tanpa legitimasi, ia cenderung bersifat instabil dan rawan konflik. Oleh karena itu, Weber membuka ruang bagi analisis yang membedakan antara kekuatan yang bersifat koersif dan kekuasaan yang sah secara normatif.

4.2.       Karl Marx dan C. Wright Mills: Kekuatan sebagai Dominasi Kelas dan Struktur

Karl Marx mengajukan pandangan yang lebih struktural mengenai kekuatan, dengan menekankan bahwa relasi sosial dalam masyarakat kapitalis didasarkan pada konflik antara kelas-kelas yang tidak setara.³ Bagi Marx, kekuatan merupakan instrumen kelas dominan (borjuis) untuk mempertahankan kepemilikan atas alat-alat produksi dan menundukkan kelas proletariat. Kekerasan negara dan hukum bukanlah entitas netral, melainkan alat represif yang mewakili kepentingan kelas penguasa.⁴

C. Wright Mills melanjutkan kritik ini dalam karyanya The Power Elite, dengan menunjukkan bagaimana kekuatan dalam masyarakat modern terpusat pada segelintir elit yang menguasai sektor militer, ekonomi, dan politik.⁵ Ia menegaskan bahwa kekuatan dalam masyarakat industri tidak tersebar secara demokratis, melainkan terkonsentrasi secara hierarkis sehingga memungkinkan terjadinya dominasi terselubung terhadap mayoritas penduduk.

4.3.       Pierre Bourdieu: Kekerasan Simbolik dan Reproduksi Sosial

Pierre Bourdieu memperluas konsep kekuatan melalui gagasan kekerasan simbolik, yaitu bentuk dominasi yang bekerja secara implisit melalui sistem makna, kebiasaan, dan simbol-simbol budaya.⁶ Dalam pandangan Bourdieu, kekuatan tidak hanya diwujudkan dalam kekerasan fisik atau hukum, tetapi juga melalui cara-cara halus yang membuat ketimpangan sosial tampak “alami” dan tak terhindarkan.

Misalnya, sistem pendidikan mereproduksi hierarki sosial dengan menyamarkan ketidaksetaraan sebagai hasil dari “kemampuan individu” padahal ia mencerminkan habitus dan modal kultural yang diwariskan secara tidak setara.⁷ Dengan demikian, kekuatan dalam masyarakat modern sering kali beroperasi tanpa paksaan eksplisit, tetapi justru melalui internalisasi struktur oleh individu.

4.4.       Norbert Elias dan Monopoli Kekerasan Negara

Norbert Elias, dalam karya monumentalnya The Civilizing Process, menjelaskan bagaimana monopoli kekerasan secara bertahap dipusatkan oleh negara sebagai bagian dari proses pembentukan peradaban.⁸ Menurut Elias, negara modern tidak menghapus kekerasan, tetapi mengorganisasikannya dalam bentuk-bentuk yang lebih terkendali, rasional, dan simbolik.

Dengan demikian, kekuatan menjadi bagian dari sistem pengaturan sosial yang menjamin stabilitas melalui mekanisme birokrasi, hukum, dan kontrol perilaku. Negara tidak sekadar meniadakan kekerasan, tetapi mentransformasikannya dari bentuk primitif yang brutal menjadi sistematis dan tersembunyi.


Dalam perspektif sosiologis, kekuatan dipahami sebagai jaringan relasi yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, tertanam dalam struktur institusi, dan bekerja secara simultan melalui paksaan dan persetujuan. Pendekatan ini menghindari penyederhanaan kekuatan sebagai sekadar tindakan represif, dan justru mengungkap bagaimana kekuatan mewujud dalam mekanisme-mekanisme sosial yang tampak netral, bahkan rasional. Pemahaman ini sangat penting dalam membaca kekerasan kontemporer yang sering kali hadir dalam bentuk-bentuk simbolik, struktural, dan sistemik.


Footnotes

[1]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 53.

[2]                Ibid., 215–216.

[3]                Karl Marx, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 1948), 10–13.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 929–930.

[5]                C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University Press, 1956), 3–6.

[6]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170.

[7]                Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage Publications, 1990), 72–75.

[8]                Norbert Elias, The Civilizing Process, trans. Edmund Jephcott (Oxford: Blackwell Publishing, 2000), 440–442.


5.           Kekuatan dan Negara

Relasi antara kekuatan dan negara telah lama menjadi fokus utama dalam pemikiran politik dan sosiologis. Negara modern dipahami tidak hanya sebagai institusi birokratis dan legal, melainkan sebagai entitas yang secara sah mengklaim hak untuk menggunakan kekuatan fisik dalam batas-batas teritorialnya. Pemahaman ini terutama dipengaruhi oleh pemikiran klasik Max Weber yang mendefinisikan negara sebagai “sebuah komunitas manusia yang berhasil memonopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah dalam suatu wilayah tertentu.”¹ Dalam pengertian ini, kekuatan tidak sekadar menjadi alat fungsional negara, tetapi juga elemen pembentuk identitas dan eksistensi negara itu sendiri.

5.1.       Monopoli Kekerasan: Legitimasi dan Represi

Konsep monopoli kekerasan yang sah (legitimate use of physical force) menandai distingsi penting antara negara dan bentuk organisasi sosial lainnya. Kekuatan negara memperoleh legitimasinya melalui kerangka hukum, otoritas politik, dan kesepakatan sosial yang dihasilkan oleh kontrak sosial atau konsensus historis.² Namun, monopolinya atas kekerasan juga menyimpan potensi represi, terutama ketika digunakan tanpa kontrol institusional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan substantif.

Michel Foucault dalam Society Must Be Defended mengkritik anggapan bahwa negara selalu menjadi pelindung ketertiban dan penjamin perdamaian. Ia menyoroti bagaimana negara modern sebenarnya mengelola kekuatan tidak hanya melalui represi, tetapi juga melalui normalisasi, disiplin, dan produksi pengetahuan.³ Kekuasaan negara, dalam perspektif ini, bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang tersembunyi dan menyebar, bukan hanya melalui aparat kekerasan seperti militer dan polisi, tetapi juga melalui institusi pendidikan, rumah sakit, dan media.

5.2.       Aparat Kekuasaan dan Kekuatan Institusional

Institusi-institusi seperti militer, kepolisian, dan badan intelijen merupakan perwujudan nyata dari kekuatan koersif negara. Fungsinya tidak hanya menjaga ketertiban dan mempertahankan kedaulatan, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis dengan mereproduksi legitimasi negara. Antonio Gramsci mengemukakan bahwa negara terdiri atas hegemoni dan coercion, yakni kombinasi antara persuasi ideologis dan kekuatan koersif.⁴ Kekuatan digunakan bukan hanya untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga untuk mengendalikan atau menundukkan oposisi dari dalam melalui represi atau manipulasi simbolik.

Dalam konteks ini, Gramsci memperkenalkan konsep aparatus hegemonik, yaitu jaringan institusi (sekolah, media, agama) yang bekerja untuk membentuk kesadaran kolektif agar sejalan dengan kepentingan kelas dominan.⁵ Ketika kekuatan tidak cukup efektif, negara akan berpaling pada represi fisik melalui aparat koersif, mencerminkan wajah “negara minimal” yang menyisakan kekuatan sebagai satu-satunya sarana dominasi.

5.3.       Negara Demokratis vs Negara Totaliter dalam Penggunaan Kekuatan

Perbedaan penggunaan kekuatan antara negara demokratis dan negara totaliter terletak pada kadar legitimasi, transparansi, dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Negara demokratis, idealnya, menerapkan prinsip akuntabilitas dan pembatasan kekuasaan melalui sistem hukum dan checks and balances, sehingga penggunaan kekuatan negara dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan politik.⁶ Dalam hal ini, kekuatan bersifat residual, hanya digunakan ketika semua mekanisme deliberatif gagal.

Sebaliknya, negara totaliter menjadikan kekuatan sebagai instrumen utama dalam mempertahankan kekuasaan. Kekuatan dijalankan melalui sistem pengawasan menyeluruh, militerisasi kehidupan sipil, pembungkaman oposisi, dan kultus individu. Hannah Arendt menyoroti bahwa dalam rezim totaliter, kekuatan tidak lagi bersifat instrumental, tetapi menjadi tujuan itu sendiri yang melumpuhkan ruang publik dan menghancurkan pluralitas sosial.⁷

5.4.       Kritik Kontemporer: Kekuatan Negara di Era Neoliberal dan Digital

Dalam konteks global kontemporer, kekuatan negara menghadapi tantangan dari berbagai arah. Di satu sisi, negara menghadapi tekanan dari kapitalisme global yang mendorong privatisasi fungsi-fungsi kekuasaan seperti keamanan (misalnya melalui perusahaan militer swasta). Di sisi lain, muncul bentuk-bentuk baru kekuatan digital yang memunculkan “sovereignty without borders” melalui pengawasan massal, algoritma, dan kecerdasan buatan.⁸

Para pemikir seperti Zygmunt Bauman dan David Lyon menyatakan bahwa negara kini bersaing dengan kekuatan korporasi digital dalam mengontrol informasi dan perilaku sosial.⁹ Sementara kekuatan negara masih eksis dalam bentuk konvensional, kekuasaan digital mulai mengambil alih fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh negara, dari pengawasan populasi hingga regulasi wacana publik.


Dengan demikian, negara merupakan institusi yang tidak hanya menyimpan kekuatan, tetapi juga menciptakan dan mendistribusikan kekuatan dalam kerangka legal, ideologis, dan simbolik. Studi tentang kekuatan negara tidak dapat dipisahkan dari dinamika legitimasi, kontrol sosial, serta transformasi historis yang mengubah wajah kekerasan menjadi lebih tersembunyi namun tetap efektif. Pemahaman ini penting untuk menelaah bagaimana kekuatan terus memainkan peran sentral dalam kehidupan politik kontemporer, baik dalam bentuk nyata maupun dalam dimensi simboliknya.


Footnotes

[1]                Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 78.

[2]                Quentin Skinner, “The Sovereign State: A Genealogy,” in States and Citizens: History, Theory, Prospects, ed. Quentin Skinner and Bo Stråth (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 9–11.

[3]                Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976, trans. David Macey (New York: Picador, 2003), 27–29.

[4]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 244–246.

[5]                Ibid., 12–13.

[6]                Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998), 37–39.

[7]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, 1973), 389–392.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 85–88.

[9]                David Lyon, Surveillance Society: Monitoring Everyday Life (Buckingham: Open University Press, 2001), 3–5.


6.           Kekuatan dalam Relasi Sosial dan Budaya

Kekuatan tidak hanya mewujud dalam bentuk institusional seperti negara atau aparat represif formal, tetapi juga beroperasi dalam dimensi relasi sosial dan budaya yang lebih subtil dan terinternalisasi. Dalam konteks ini, kekuatan tampil dalam bentuk kekerasan simbolik, normalisasi dominasi, serta pengukuhan hierarki sosial yang tampak wajar dan diterima. Relasi sosial yang terlihat sebagai praktik sehari-hari ternyata sering menyimpan struktur dominasi yang kompleks, di mana kekuatan tidak bekerja secara frontal, tetapi melalui produksi makna, identitas, dan norma sosial.

6.1.       Kekuasaan dalam Relasi Interpersonal: Kekerasan Domestik dan Patriarki

Dalam ruang privat sekalipun, kekuatan dapat menjadi alat dominasi yang sistemik, seperti terlihat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau relasi gender yang patriarkal. Filsuf dan sosiolog feminis menyoroti bagaimana kekuatan digunakan untuk mengontrol tubuh, pilihan, dan ekspresi perempuan, seringkali melalui legitimasi budaya dan norma moral.¹ Judith Butler menekankan bahwa kekuasaan bekerja dalam tubuh melalui pengulangan performatif atas norma-norma gender, sehingga kekuatan patriarki menjadi bagian dari identitas itu sendiri.²

Kekerasan domestik sering kali disangkal keberadaannya karena berlangsung dalam ruang privat dan dibungkus oleh narasi kasih sayang atau “tanggung jawab keluarga.” Namun secara sosiologis, hal ini merupakan bentuk kekuasaan koersif yang menundukkan individu atas nama struktur moral yang dibakukan.³ Kekuatan dalam konteks ini menjadi lebih berbahaya karena terselubung dan jarang mendapat intervensi struktural yang memadai.

6.2.       Kekuatan dalam Struktur Ras dan Etnisitas

Kekuatan juga beroperasi melalui struktur rasial dan etnis yang menormalisasi diskriminasi, eksklusi, dan subordinasi. Michel Foucault dalam kuliahnya di Collège de France mengungkap bahwa kekuasaan modern tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengatur kehidupan melalui praktik biopolitik, yakni pengelolaan populasi berdasarkan kategori biologis seperti ras.⁴ Dalam konteks ini, kekuatan tidak hanya mengambil bentuk kekerasan fisik, tetapi juga melalui pengklasifikasian, pengawasan, dan penilaian sosial yang melanggengkan ketimpangan rasial.

Studi Edward Said tentang Orientalisme menunjukkan bagaimana kekuatan budaya Barat membentuk representasi dunia Timur sebagai inferior, eksotis, dan terbelakang.⁵ Representasi ini menjadi instrumen dominasi kultural yang mendahului dan melegitimasi kolonialisme. Dalam relasi antarbudaya, kekuatan bekerja melalui produksi wacana dan struktur pengetahuan yang menetapkan siapa yang berhak berbicara dan siapa yang dibungkam.

6.3.       Bahasa dan Media sebagai Sarana Kekuasaan Simbolik

Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana dominasi simbolik.⁶ Dalam relasi sosial, penggunaan bahasa yang “dianggap sah” atau “berotoritas” menjadi instrumen untuk membentuk persepsi, mengendalikan makna, dan menundukkan kelompok-kelompok subordinat. Bahasa standar, misalnya, bukan sekadar norma linguistik, tetapi juga representasi kekuasaan kelas dominan atas praktik komunikasi masyarakat.

Media massa memainkan peran serupa dalam mengonstruksi realitas sosial dan mendistribusikan kekuatan simbolik. Melalui seleksi wacana, representasi visual, dan pengemasan informasi, media mampu menciptakan narasi hegemonik yang membingkai persepsi publik terhadap isu sosial dan politik.⁷ Dalam masyarakat kontemporer, kontrol atas media seringkali menjadi bentuk kekuasaan yang lebih efektif daripada kekuatan koersif langsung.

6.4.       Budaya Populer dan Normalisasi Kekuatan

Kekuatan dalam budaya populer seringkali terselubung dalam bentuk hiburan, gaya hidup, dan citra ideal yang dikonsumsi secara massal. Teoretikus seperti Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment menyatakan bahwa industri budaya menciptakan kesadaran semu (false consciousness) yang membuat masyarakat menerima status quo sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan.⁸ Konsumsi massal atas simbol-simbol budaya yang diciptakan industri menjadi cara efektif untuk mempertahankan hegemoni ideologis.

Dalam sistem kapitalisme lanjut, individu dikonstruksi sebagai subjek yang “bebas memilih,” padahal pilihan mereka sudah sangat dikondisikan oleh logika pasar dan tekanan sosial yang tidak disadari.⁹ Dengan demikian, kekuatan dalam budaya tidak beroperasi melalui larangan eksplisit, melainkan melalui internalisasi nilai-nilai yang membentuk identitas dan keinginan.


Kekuatan dalam relasi sosial dan budaya bersifat kompleks, halus, dan sering kali tak terlihat. Ia tidak selalu berwujud represi terbuka, melainkan juga reproduksi nilai dan norma yang membuat ketimpangan tampak normal. Oleh karena itu, kajian atas kekuatan dalam konteks ini tidak bisa dilepaskan dari analisis kritis atas bahasa, simbol, institusi sosial, dan produksi budaya yang membentuk kesadaran sosial kolektif.


Footnotes

[1]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed. (Boston: South End Press, 2000), 39–41.

[2]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–34.

[3]                Elizabeth Stanko, Intimate Intrusions: Women’s Experience of Male Violence (London: Routledge, 1985), 11–13.

[4]                Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976, trans. David Macey (New York: Picador, 2003), 243–245.

[5]                Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 1–3.

[6]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 37–39.

[7]                Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London: Sage, 1997), 15–19.

[8]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–96.

[9]                Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press, 2007), 28–30.


7.           Kritik Terhadap Kekuatan dan Kekerasan

Meskipun kekuatan sering dianggap sebagai elemen esensial dalam menjaga ketertiban sosial dan mempertahankan struktur politik, tidak sedikit pemikir dan gerakan sosial yang memberikan kritik mendalam terhadap penggunaan kekuatan, khususnya dalam bentuk kekerasan. Kritik-kritik ini lahir dari keprihatinan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, dehumanisasi yang ditimbulkan oleh kekerasan sistemik, serta dari komitmen terhadap nilai-nilai etis seperti martabat manusia, non-koersi, dan keadilan sosial. Kritik terhadap kekuatan dan kekerasan mencakup berbagai pendekatan, mulai dari filsafat etika, teori kritis, hingga gerakan pasifisme radikal.

7.1.       Kritik Etis dan Filosofis: Kekuatan sebagai Dehumanisasi

Banyak filsuf moral memandang kekerasan sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia dan prinsip moral yang paling dasar. Emmanuel Levinas, misalnya, menekankan bahwa hubungan etis pertama antara manusia terletak pada tanggung jawab terhadap wajah orang lain, yang justru dilanggar ketika kekuatan digunakan untuk menundukkan subjek lain.¹ Bagi Levinas, kekerasan mereduksi subjek menjadi objek, menanggalkan kemanusiaannya, dan memutus relasi etis.

Dalam tradisi Kristen, teologi etis seperti yang dikembangkan oleh Reinhold Niebuhr membedakan antara “kekuatan” yang sah untuk menahan kejahatan dan “kekerasan” yang destruktif dan tidak bermoral.² Sementara Niebuhr mengakui perlunya kekuatan dalam konteks keadilan sosial, ia memperingatkan bahwa kekerasan sering kali mencerminkan kesombongan moral dan memperburuk konflik.

7.2.       Pasifisme dan Perlawanan Non-Kekerasan

Gerakan pasifis seperti yang diperjuangkan oleh Leo Tolstoy, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King Jr. menolak segala bentuk kekerasan dalam perjuangan sosial. Gandhi memformulasikan prinsip satyagraha, yaitu kekuatan dari kebenaran dan cinta, yang digunakan untuk melawan ketidakadilan tanpa harus meniru kekerasan yang dilakukan oleh penindas.³ Menurut Gandhi, kekuatan sejati berasal dari pengendalian diri dan keberanian moral, bukan dari dominasi fisik.

Martin Luther King Jr., dalam semangat yang serupa, menekankan pentingnya “perlawanan tanpa kebencian.”⁴ Ia percaya bahwa kekerasan hanya menghasilkan kebencian yang lebih besar, sementara non-kekerasan memiliki kekuatan moral untuk mengubah hati dan struktur sosial secara bersamaan. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat menjadi bukti bahwa kekuatan moral dapat menjadi alat transformasi sosial yang efektif tanpa kekerasan fisik.

7.3.       Kritik Teori Kritis: Kekerasan Struktural dan Hegemoni

Teori kritis dari tradisi Frankfurt School memperluas kritik terhadap kekerasan dengan menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya hadir secara langsung, tetapi juga dalam bentuk struktural dan ideologis. Johan Galtung memperkenalkan konsep kekerasan struktural untuk menggambarkan situasi sosial di mana sistem menghalangi individu untuk memenuhi kebutuhan dasar atau berkembang secara manusiawi.⁵ Kekerasan semacam ini tidak dilakukan oleh pelaku tertentu, tetapi terlembaga dalam tatanan sosial dan ekonomi.

Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man juga mengkritik bagaimana masyarakat industri maju menekan kebebasan manusia melalui konformitas, teknologi, dan kontrol budaya yang menghapus kapasitas kritis.⁶ Bagi Marcuse, dominasi yang “lembut” ini justru lebih berbahaya karena tidak dikenali sebagai kekerasan, padahal ia menghancurkan potensi emansipasi manusia.

7.4.       Dekonstruksi Kekuasaan: Kekuatan sebagai Wacana

Michel Foucault memberikan sumbangan penting dalam mendekonstruksi asumsi tentang kekuatan. Ia menolak pandangan bahwa kekuatan hanya bersifat represif dan berada di tangan institusi pusat, dan justru melihat kekuatan sebagai relasi produktif yang tersebar dalam praktik, bahasa, dan pengetahuan.⁷ Bagi Foucault, kritik terhadap kekuasaan harus dilakukan melalui analisis genealogis terhadap bagaimana kebenaran, norma, dan subjektivitas dibentuk oleh jaringan kekuasaan yang kompleks.

Foucault tidak secara eksplisit menganjurkan perlawanan kekerasan terhadap kekuasaan, tetapi ia menegaskan pentingnya “praktik kebebasan” melalui resistensi dalam ranah mikro—dalam wacana, praktik tubuh, dan relasi sosial.⁸ Dalam pengertian ini, kritik terhadap kekuatan tidak selalu berarti penolakan terhadap segala bentuk kekuasaan, tetapi terhadap kekuasaan yang mengklaim netralitas dan menutupi mekanisme dominasi di baliknya.


Kritik terhadap kekuatan dan kekerasan telah memperluas horizon pemikiran politik dan sosial dari sekadar legitimasi institusional menjadi soal etik, eksistensial, dan kultural. Kritik-kritik ini mengajak kita untuk tidak hanya mempertanyakan cara kekuatan dijalankan, tetapi juga nilai-nilai apa yang mendasari penggunaannya, bentuk apa yang disahkan, dan dalam konteks apa kekerasan menjadi tak terlihat. Dalam dunia yang terus diliputi konflik dan represi simbolik, kritik ini menjadi fondasi moral dan intelektual dalam merumuskan kembali cara hidup bersama yang lebih adil, manusiawi, dan bebas dari penindasan.


Footnotes

[1]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–200.

[2]                Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society: A Study in Ethics and Politics (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), 12–14.

[3]                Mahatma Gandhi, Non-Violent Resistance (Satyagraha), ed. Bharatan Kumarappa (New York: Schocken Books, 1961), 3–5.

[4]                Martin Luther King Jr., Stride Toward Freedom: The Montgomery Story (New York: Harper & Row, 1958), 85–87.

[5]                Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191.

[6]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 17–19.

[7]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 94–96.

[8]                Michel Foucault, The Use of Pleasure: The History of Sexuality, Volume 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 6–12.


8.           Relevansi Konseptual Kekuatan dalam Konteks Kontemporer

Di tengah transformasi sosial, teknologi, dan geopolitik abad ke-21, konsep kekuatan mengalami perkembangan signifikan. Ia tidak lagi terbatas pada kekuatan koersif negara atau dominasi militer, melainkan meluas ke ranah-ranah simbolik, digital, dan bio-politik. Kekuatan di era kontemporer menjadi lebih tersembunyi, kompleks, dan terdistribusi, tetapi tetap mempertahankan karakter dasarnya sebagai relasi sosial yang melibatkan dominasi, resistensi, dan produksi makna. Pemahaman tentang kekuatan kini memerlukan pendekatan lintas disiplin untuk menangkap dinamika baru yang ditimbulkannya dalam berbagai ranah kehidupan.

8.1.       Kekuatan dan Globalisasi: Transnasionalisasi Kekuasaan

Globalisasi telah mengubah wajah kekuatan secara mendasar. Di satu sisi, negara masih memegang monopoli kekuatan legal, tetapi di sisi lain kekuasaan ekonomi dan informasi kini juga dijalankan oleh aktor non-negara seperti korporasi multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan global. Saskia Sassen menyebut fenomena ini sebagai “disasembodied power,” yaitu bentuk kekuasaan yang melampaui batas-batas teritorial dan tidak selalu tunduk pada mekanisme kontrol demokratis.¹

Kekuatan global sering kali beroperasi melalui mekanisme ekonomi seperti hutang internasional, investasi asing, atau sistem perdagangan yang tidak setara.² Dalam konteks ini, kekuatan bekerja bukan melalui paksaan langsung, tetapi melalui ketergantungan struktural yang menyulitkan negara-negara berkembang untuk menolak dominasi. Kekuatan ekonomi global juga memiliki efek politik yang signifikan, seperti pelemahan kedaulatan nasional dan delegitimasi kebijakan domestik.

8.2.       Kekuatan Digital: Pengawasan, Algoritma, dan Manipulasi Informasi

Era digital membawa bentuk kekuatan baru yang bersifat non-fisik namun sangat efektif dalam mengendalikan perilaku dan opini publik. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism, yaitu praktik pemanfaatan data pribadi oleh korporasi digital untuk memprediksi dan memengaruhi perilaku individu demi keuntungan ekonomi.³ Kekuatan dalam konteks ini dijalankan melalui algoritma yang tidak transparan, yang secara perlahan membentuk preferensi, keputusan, bahkan ideologi individu tanpa disadari.

Michel Foucault dalam kerangka panoptikon telah mengantisipasi bentuk kekuasaan seperti ini, di mana kontrol sosial tidak memerlukan kekuatan koersif karena individu secara sukarela mendisiplinkan diri di bawah bayangan pengawasan.⁴ Dalam versi digital, pengawasan tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh entitas privat seperti platform media sosial, perusahaan teknologi, dan penyedia jasa daring.

8.3.       Kekuatan dan Krisis Demokrasi

Kekuatan juga memainkan peran penting dalam krisis demokrasi kontemporer. Meningkatnya populisme otoriter, pembatasan kebebasan sipil, serta manipulasi pemilu melalui disinformasi menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu digunakan untuk memperkuat demokrasi, melainkan juga untuk mengikisnya.⁵ Dalam sistem demokrasi liberal, kekuatan yang seharusnya dikontrol oleh hukum dan institusi publik kerap dibajak oleh elite politik melalui kooptasi lembaga, politisasi hukum, dan pengendalian informasi publik.

Chantal Mouffe mengingatkan bahwa demokrasi tanpa antagonisme yang sehat cenderung menjadi teknik manajemen konsensus yang menindas perbedaan dan resistensi.⁶ Kekuatan yang tidak disalurkan melalui ruang publik yang plural dan terbuka justru memunculkan bentuk-bentuk perlawanan radikal, yang dapat berujung pada kekerasan atau delegitimasi institusi.

8.4.       Ekologi Politik dan Bio-Kekuatan

Dalam konteks krisis iklim dan ekologi global, bentuk kekuatan baru juga muncul dalam ranah yang sebelumnya jarang diperhatikan: pengelolaan kehidupan, alam, dan spesies non-manusia. Konsep biopower yang dikembangkan oleh Foucault menjadi relevan kembali ketika negara dan korporasi berusaha mengatur kehidupan melalui intervensi medis, bioteknologi, dan ekologi.⁷

Pascapandemi COVID-19, kekuatan negara atas tubuh warganya meningkat drastis dalam bentuk lockdown, vaksinasi wajib, dan kontrol mobilitas, menunjukkan bahwa kekuasaan kini menyentuh wilayah kehidupan yang paling mendasar. Giorgio Agamben mengkritik kecenderungan ini sebagai bentuk state of exception permanen, di mana hak asasi dikorbankan atas nama keselamatan kolektif.⁸ Relevansi kekuatan dalam konteks ini terletak pada ketegangan antara keamanan dan kebebasan, serta antara kehidupan dan kekuasaan atas kehidupan.


Dengan demikian, kekuatan dalam konteks kontemporer tampil dalam bentuk yang lebih rumit dan menyebar, melibatkan teknologi, informasi, ekonomi, dan biopolitik. Pemahaman klasik tentang kekuatan sebagai dominasi koersif tetap penting, tetapi kini harus dilengkapi dengan analisis atas bagaimana kekuasaan bekerja melalui kontrol simbolik, algoritmik, dan struktural dalam skala global. Hanya dengan pendekatan interdisipliner dan kesadaran kritis yang tinggi, masyarakat dapat membaca dan menanggapi bentuk-bentuk kekuatan baru ini secara etis dan politis.


Footnotes

[1]                Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 5–6.

[2]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 59–62.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–201.

[5]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 22–25.

[6]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 103–106.

[7]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 135–136.

[8]                Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 2–4.


9.           Penutup

Kajian tentang kekuatan dalam perspektif filsafat dan sosiologi mengungkap bahwa kekuatan bukan sekadar alat untuk menundukkan atau mengendalikan, tetapi merupakan dimensi mendasar dari kehidupan sosial dan politik. Sejak filsafat klasik hingga pemikiran kontemporer, kekuatan telah dipahami sebagai elemen konstitutif dari relasi kuasa, struktur negara, dan proses dominasi. Namun, kekuatan juga telah ditelaah secara kritis sebagai potensi destruktif, terutama ketika mewujud dalam bentuk kekerasan yang mereduksi martabat manusia, menghancurkan institusi demokratis, atau memanipulasi kesadaran sosial.

Filsafat politik dari Hobbes hingga Arendt menawarkan kerangka normatif yang memperlihatkan ambivalensi kekuatan: di satu sisi, ia diperlukan untuk menjamin ketertiban dan keberlanjutan institusi sosial; di sisi lain, kekuatan yang kehilangan legitimasi akan tergelincir menjadi represi dan teror.¹ Sementara itu, sosiologi kritis dari Weber, Marx, Bourdieu hingga Foucault memperluas pemahaman bahwa kekuatan tidak hanya hadir secara fisik atau legal, tetapi juga dalam wacana, norma, dan praktik simbolik yang mengatur kehidupan sehari-hari secara halus namun efektif.²

Dalam konteks kontemporer, relevansi kekuatan menjadi semakin kompleks. Globalisasi, digitalisasi, dan biopolitik telah melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan baru yang tersebar, tidak kasatmata, dan sulit dipertanggungjawabkan. Kekuatan kini beroperasi melalui algoritma, sistem keuangan global, pengawasan digital, serta praktik representasi kultural yang mereproduksi ketimpangan sosial secara sistematis.³ Ini menantang kita untuk memperluas horizon teoritis sekaligus mempertajam kesadaran etis dalam membaca dinamika kekuasaan di era modern.

Kritik-kritik terhadap kekuatan, baik dari perspektif etika humanistik, pasifisme, maupun teori kritis, menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab moral.⁴ Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdiferensiasi secara sosial, tantangannya bukan hanya bagaimana membatasi kekuatan yang eksesif, tetapi juga bagaimana mendesain ulang struktur sosial agar kekuatan dapat disalurkan secara adil, terbuka, dan partisipatif.

Oleh karena itu, studi tentang kekuatan tidak boleh berhenti pada analisis teoritis semata, tetapi harus menjadi bagian dari refleksi praksis untuk membangun tatanan sosial-politik yang lebih etis dan manusiawi. Seperti yang ditunjukkan Hannah Arendt, kekuasaan yang sejati bukanlah yang menggantungkan diri pada kekerasan, melainkan yang tumbuh dari kebersamaan, kesepahaman, dan tindakan kolektif yang didasarkan pada kebebasan.⁵ Dengan kesadaran ini, kita dapat menghadapi masa depan yang penuh tantangan dengan komitmen pada prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan sejati.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt, 1970), 52–56.

[2]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170; Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–201.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 85–88; Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 5–6.

[4]                Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” Journal of Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191; Martin Luther King Jr., Stride Toward Freedom: The Montgomery Story (New York: Harper & Row, 1958), 85–87.

[5]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 198–199.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)

Agamben, G. (2005). State of exception (K. Attell, Trans.). University of Chicago Press.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Arendt, H. (1970). On violence. Harcourt.

Bauman, Z. (2007). Consuming life. Polity Press.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (J. B. Thompson, Ed., G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Harvard University Press.

Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture (R. Nice, Trans.). Sage Publications. (Original work published 1970)

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Elias, N. (2000). The civilizing process (E. Jephcott, Trans.). Blackwell Publishing. (Original work published 1939)

Foucault, M. (1990). The history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (2003). Society must be defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976 (D. Macey, Trans.). Picador.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191. https://doi.org/10.1177/002234336900600301

Gandhi, M. (1961). Non-violent resistance (Satyagraha) (B. Kumarappa, Ed.). Schocken Books.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Hall, S. (1997). The work of representation. In S. Hall (Ed.), Representation: Cultural representations and signifying practices (pp. 13–74). Sage Publications.

hooks, b. (2000). Feminist theory: From margin to center (2nd ed.). South End Press.

King Jr., M. L. (1958). Stride toward freedom: The Montgomery story. Harper & Row.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Marx, K. (1948). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). International Publishers. (Original work published 1848)

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1867)

Mills, C. W. (1956). The power elite. Oxford University Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin.

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage Books.

Sassen, S. (1996). Losing control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University Press.

Searle, J. R. (2010). Making the social world: The structure of human civilization. Oxford University Press.

Skinner, Q. (2003). The sovereign state: A genealogy. In Q. Skinner & B. Stråth (Eds.), States and citizens: History, theory, prospects (pp. 9–28). Cambridge University Press.

Stanko, E. A. (1985). Intimate intrusions: Women’s experience of male violence. Routledge.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W. W. Norton & Company.

Weber, M. (1965). Politics as a vocation (H. H. Gerth & C. W. Mills, Trans.). Fortress Press. (Original work delivered 1919)

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.

Williams, R. (1983). Keywords: A vocabulary of culture and society. Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar