Kekuatan (Force)
Kajian Historis, Konseptual, dan Kritis atas Koersi dan
Kekerasan dalam Relasi Sosial dan Politik
Alihkan ke: Konsep-Konsep Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara multidisipliner konsep kekuatan
(force) dalam konteks filsafat dan sosiologi sebagai bentuk dominasi yang
bekerja melalui koersi, kekerasan, dan pengendalian sosial dalam berbagai
skala. Melalui telaah historis dan konseptual, dibahas bagaimana para pemikir
klasik seperti Plato, Hobbes, dan Nietzsche hingga tokoh kontemporer seperti
Hannah Arendt dan Michel Foucault memahami peran kekuatan dalam kehidupan
politik dan sosial. Di sisi sosiologis, artikel ini menelaah bagaimana kekuatan
bekerja dalam struktur sosial melalui legitimasi (Weber), dominasi kelas
(Marx), kekerasan simbolik (Bourdieu), dan monopoli kekerasan negara (Elias).
Pembahasan meluas ke kritik terhadap kekuatan dan
kekerasan, termasuk perspektif etis, pasifisme, dan teori kritis yang
menunjukkan bahwa kekerasan dapat bersifat struktural dan simbolik. Dalam
konteks kontemporer, artikel ini mengkaji transisi kekuatan dalam era
globalisasi, digitalisasi, dan biopolitik—menunjukkan bahwa kekuatan tidak lagi
bersifat kasatmata, melainkan bekerja melalui algoritma, ekonomi global, dan
kontrol atas kehidupan. Penutup artikel menegaskan pentingnya kesadaran etis
dan refleksi kritis terhadap berbagai bentuk kekuasaan, serta perlunya
memperjuangkan bentuk kekuatan yang sah, adil, dan partisipatif dalam kehidupan
sosial dan politik.
Kata Kunci: Kekuatan; Kekerasan; Koersi; Kekuasaan; Negara;
Kekuasaan Simbolik; Kekerasan Struktural; Filsafat Politik; Sosiologi Kritis;
Digitalisasi; Biopolitik; Legitimasi.
PEMBAHASAN
Kekuatan (Force) dalam Perspektif Filsafat dan
Sosiologi
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran filsafat dan sosiologi,
konsep kekuatan (force) senantiasa menjadi topik krusial dalam memahami
dinamika relasi sosial dan struktur politik. Kekuatan, yang dalam konteks ini
merujuk pada bentuk koersi langsung, tekanan fisik, atau bahkan kekerasan
terlembaga, merupakan salah satu instrumen paling purba dan mendasar dalam
praktik kekuasaan. Meskipun tidak seluruh kekuasaan bersumber pada kekuatan,
namun kekuatan selalu menjadi kemungkinan inheren dalam setiap relasi kuasa
yang tidak berbasis pada legitimasi atau konsensus. Seperti yang ditunjukkan
Hannah Arendt, kekuatan bukan hanya berbeda dari kekuasaan (power),
tetapi bahkan dapat menjadi antitesisnya ketika kekuasaan kehilangan dukungan
dan harus bergantung pada kekuatan sebagai pengganti legitimasi yang hilang.¹
Dalam filsafat politik klasik, pemikiran mengenai
kekuatan banyak diasosiasikan dengan negara dan hukum sebagai alat penjamin
ketertiban sosial. Thomas Hobbes, misalnya, menyatakan bahwa dalam keadaan
alami, manusia hidup dalam kondisi “perang semua melawan semua” (bellum
omnium contra omnes), sehingga negara dibutuhkan untuk menundukkan hasrat
individual dengan kekuatan yang absolut.² Di sisi lain, pemikir seperti Spinoza
dan Nietzsche mengaitkan kekuatan dengan kehendak untuk hidup dan kehendak
untuk berkuasa (will to power) sebagai dorongan eksistensial yang
melekat dalam kehidupan manusia.³ Pemahaman ini memberi warna berbeda dalam
membedakan kekuatan sebagai fenomena biologis, psikologis, maupun politis.
Sementara itu, dalam tradisi sosiologi klasik, Max
Weber membedakan kekuatan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak
seseorang, bahkan terhadap perlawanan, dari otoritas yang ditandai oleh
penerimaan legitimasi oleh pihak yang dikuasai.⁴ Kekuatan dalam hal ini
bersifat koersif dan tidak selalu memerlukan persetujuan dari mereka yang
dikenai. Pemikiran ini membuka jalan bagi analisis yang lebih tajam mengenai
praktik-praktik dominasi yang tidak mendapatkan legitimasi sosial, termasuk
bentuk-bentuk kekerasan struktural maupun simbolik yang dikembangkan lebih
lanjut oleh Pierre Bourdieu.⁵
Kajian kontemporer terhadap kekuatan semakin
kompleks, terlebih dalam masyarakat modern yang semakin berlapis. Kekerasan
tidak lagi hadir hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga secara institusional,
kultural, dan digital. Negara modern, melalui aparat hukumnya, misalnya, tetap
mempertahankan klaim atas monopoli kekerasan yang sah sebagaimana dikemukakan
Weber.⁶ Namun pada saat yang sama, praktik kekerasan juga bisa dilakukan oleh
aktor non-negara seperti kelompok milisi, korporasi global, dan bahkan platform
digital, yang seringkali beroperasi dalam ruang abu-abu antara hukum dan
kekuasaan.
Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan untuk
mengeksplorasi konsep kekuatan secara historis dan teoritis dalam wacana
filsafat dan sosiologi. Fokus kajian mencakup distingsi antara kekuatan,
kekuasaan, dan otoritas, serta analisis kritis terhadap berbagai bentuk
kekerasan yang muncul dalam hubungan sosial-politik. Dengan pendekatan
multidisipliner, tulisan ini juga akan mengurai perkembangan konseptual dari para
pemikir kunci, meninjau relevansi kekuatan dalam konteks kontemporer, serta
menggugat batas-batas etis dari penggunaan kekerasan dalam masyarakat modern.
Kajian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis bagi pemahaman lebih
utuh tentang bagaimana kekuatan bekerja—baik secara eksplisit maupun
implisit—dalam konstelasi relasi kuasa manusia.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, On Violence (New York:
Harcourt, 1970), 44–45.
[2]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 86–88.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 137–139.
[4]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of
Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley:
University of California Press, 1978), 53–54.
[5]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170.
[6]
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H.
H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 78.
2.
Pengertian
dan Cakupan Konseptual Kekuatan
Konsep kekuatan (force) dalam kajian
filsafat dan sosiologi merujuk pada kapasitas atau kemampuan untuk memaksakan
kehendak melalui cara-cara koersif, sering kali dalam bentuk tekanan fisik atau
kekerasan langsung. Kekuatan merupakan dimensi paling nyata dan kasatmata dari
relasi kuasa, yang bekerja melalui paksaan daripada persuasi, dan melalui
dominasi daripada konsensus. Dalam pengertian dasarnya, kekuatan adalah bentuk
kontrol yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak yang dikenai, dan dengan
demikian menjadi instrumen kekuasaan yang paling bersifat represif.¹
Secara etimologis, istilah force berasal
dari bahasa Latin fortis yang berarti “kuat” atau “bertenaga”,
dan dalam perkembangan selanjutnya merujuk pada kekuatan yang dapat dikenali
dalam tindakan nyata yang menghasilkan dampak, baik secara fisik, politik,
maupun sosial.² Dalam tradisi pemikiran Barat, terutama dalam filsafat politik,
kekuatan seringkali diidentikkan dengan aspek fisik dari kekuasaan, yaitu
kapasitas untuk menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan guna menundukkan
pihak lain.³ Akan tetapi, dalam analisis kontemporer, cakupan konseptual
kekuatan meluas hingga mencakup bentuk-bentuk tekanan simbolik, struktural, dan
bahkan psikologis.
Max Weber memberikan penjelasan penting dengan
membedakan kekuasaan (Macht) dari otoritas (Autorität).
Menurutnya, kekuasaan adalah “kemungkinan bahwa seorang aktor dalam suatu
relasi sosial mampu memaksakan kehendaknya sendiri sekalipun menghadapi
perlawanan, tidak peduli dasar dari kemungkinan itu.”⁴ Dalam konteks ini,
kekuatan merupakan sarana utama dalam praktik kekuasaan yang tidak berbasis
pada legitimasi, karena yang menjadi ukuran bukanlah penerimaan, melainkan
efektivitas pemaksaan. Filsuf politik kontemporer seperti John R. Searle
menegaskan bahwa kekuatan fisik merupakan “dasar biologis dari semua bentuk
kekuasaan manusia,” namun seiring perkembangan peradaban, bentuk-bentuk
non-fisik dari kekuasaan menjadi lebih dominan dan tersembunyi.⁵
Kekuatan dapat pula dibedakan dari kekuasaan yang
bersifat normatif, yaitu kekuasaan yang memperoleh justifikasi moral,
hukum, atau sosial. Dalam pengertian ini, kekuatan sering dikaitkan dengan
tindakan koersif yang bersifat ilegal, tidak sah, atau menyimpang, meskipun
dalam praktiknya banyak negara dan institusi menggunakan kekuatan dalam
kerangka hukum tertentu. Michel Foucault menyoroti bahwa kekuatan tidak hanya
bekerja melalui represivitas, tetapi juga melalui “produksi kebenaran”,
norma, dan wacana yang membuat bentuk-bentuk koersi menjadi tidak terlihat.⁶
Cakupan konseptual kekuatan dalam masyarakat modern
meluas tidak hanya pada relasi antara negara dan warga, tetapi juga dalam
hubungan antarkelompok sosial, relasi gender, struktur kelas, hingga kontrol
digital di era informasi. Bentuk kekuatan yang paling kasatmata ialah kekerasan
fisik, seperti penindasan oleh aparat negara atau konflik bersenjata, namun
kekuatan juga hadir dalam bentuk kekerasan simbolik seperti pengucilan budaya,
subordinasi bahasa, atau normalisasi ideologi dominan.⁷ Hal ini menunjukkan
bahwa kekuatan dapat beroperasi secara langsung dan terbuka, maupun secara
halus dan terselubung.
Dengan demikian, pemahaman tentang kekuatan tidak
dapat dibatasi hanya pada koersi fisik, tetapi harus mencakup dimensi
struktural, ideologis, dan epistemologis. Di sinilah pentingnya analisis
multidisipliner yang melibatkan filsafat politik, teori sosiologi kritis, dan
studi budaya dalam mendekonstruksi cara kerja kekuatan dalam dunia sosial yang
kompleks.
Footnotes
[1]
Steven Lukes, Power: A Radical View, 2nd ed.
(London: Palgrave Macmillan, 2005), 109.
[2]
Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of
Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1983), 120.
[3]
Quentin Skinner, “The Sovereign State: A
Genealogy,” in States and Citizens: History, Theory, Prospects, ed.
Quentin Skinner and Bo Stråth (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
9–10.
[4]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of
Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley:
University of California Press, 1978), 53.
[5]
John R. Searle, Making the Social World: The
Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010),
94.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
27–28.
[7]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 164.
3.
Perspektif
Filsafat tentang Kekuatan
Gagasan tentang kekuatan telah menjadi tema
sentral dalam filsafat politik sejak zaman kuno, terutama dalam rangka
menjelaskan bagaimana manusia membentuk dan mempertahankan ketertiban sosial,
serta bagaimana kekuasaan dijalankan dalam kehidupan bersama. Berbagai pemikir
dalam sejarah filsafat mengembangkan pandangan yang beragam, mulai dari yang
memaknai kekuatan sebagai alat untuk menjamin stabilitas sosial, hingga yang
melihatnya sebagai ekspresi dari kehendak eksistensial manusia yang tidak dapat
ditekan.
3.1.
Pemikiran Klasik: Kekuasaan dan
Kekuatan dalam Negara Ideal
Dalam karya-karya Plato, terutama Republic,
kekuatan dianggap subordinat terhadap keadilan dan kebaikan. Bagi Plato,
kekuasaan yang sejati bukanlah yang bergantung pada kekuatan fisik atau
paksaan, melainkan pada pengetahuan dan keutamaan (aretê). Dalam negara
yang ideal, para philosopher-kings memerintah bukan dengan kekuatan
koersif, tetapi melalui kebijaksanaan dan tatanan moral yang benar.¹ Namun
demikian, Plato juga tidak menutup mata terhadap fakta bahwa kekuatan dapat
digunakan untuk menegakkan ketertiban dalam masyarakat yang belum sempurna
secara filosofis.²
Aristoteles, dalam Politics, membedakan
antara kekuasaan yang dijalankan secara sah dalam kerangka polis (politik) dan
kekuatan koersif yang menandai bentuk pemerintahan tiranik.³ Ia menilai bahwa
penggunaan kekuatan yang tidak disertai legitimasi moral akan merusak kehidupan
bersama, karena bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk rasional
dan politis.
3.2.
Pemikiran Modern Awal: Kekuatan
sebagai Dasar Keamanan dan Ketertiban
Pada masa modern awal, pemikiran tentang kekuatan
mengalami pergeseran radikal. Thomas Hobbes, dalam Leviathan, berargumen
bahwa dalam kondisi alamiah, manusia hidup dalam keadaan perang semua melawan
semua (bellum omnium contra omnes), di mana kekuatan digunakan secara
bebas dan tanpa hukum.⁴ Untuk keluar dari kondisi brutal ini, manusia
menciptakan negara sebagai otoritas tertinggi yang memonopoli kekuatan demi
menjamin perdamaian. Hobbes dengan tegas menyatakan bahwa negara sah
menggunakan kekuatan demi mempertahankan ketertiban, dan legitimasi negara
justru muncul dari kemampuannya menggunakan kekuatan secara efektif.⁵
Sebaliknya, John Locke menolak pandangan Hobbes
yang terlalu menekankan kekuatan absolut. Dalam Two Treatises of Government,
Locke menyatakan bahwa legitimasi negara bukan berasal dari kemampuannya
menggunakan kekuatan, melainkan dari persetujuan rakyat dan penghormatan
terhadap hak-hak alamiah.⁶ Bagi Locke, kekuatan hanya sah sejauh digunakan
untuk melindungi kehidupan, kebebasan, dan hak milik warga negara.
3.3.
Nietzsche: Kekuatan sebagai Kehendak
Eksistensial
Friedrich Nietzsche menawarkan pendekatan yang
sangat berbeda dengan para pendahulunya. Ia tidak memandang kekuatan sebagai
instrumen negara atau alat dominasi semata, tetapi sebagai ekspresi fundamental
dari kehidupan itu sendiri. Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra dan Beyond
Good and Evil, Nietzsche mengembangkan konsep will to power, yaitu
dorongan mendasar yang mendorong semua makhluk hidup untuk menegaskan
eksistensinya.⁷
Dalam kerangka ini, kekuatan bukanlah sesuatu yang
netral atau semata-mata negatif, melainkan dapat menjadi sumber kreativitas,
pertumbuhan, dan pembebasan. Namun, Nietzsche juga mengkritik peradaban Barat
yang menundukkan kekuatan kreatif ini di bawah moralitas budak yang menindas
kehendak hidup.⁸ Perspektif Nietzsche membuka jalan bagi pemikiran
post-strukturalis tentang kekuasaan yang tidak bersifat represif semata, tetapi
juga produktif.
3.4.
Hannah Arendt: Perbedaan Antara
Kekuatan, Kekuasaan, dan Kekerasan
Hannah Arendt, dalam On Violence, membuat
distingsi tajam antara power (kekuasaan), force (kekuatan), dan violence
(kekerasan). Bagi Arendt, kekuasaan muncul dari tindakan kolektif dan konsensus
antarindividu, sedangkan kekuatan merupakan potensi fisik yang dapat digunakan
untuk memaksakan kehendak, dan kekerasan adalah ekspresi ekstrem dari kekuatan
ketika kekuasaan tidak lagi hadir.⁹ Arendt menegaskan bahwa ketergantungan pada
kekuatan atau kekerasan menandakan kemunduran kekuasaan yang sejati, karena
kekuasaan tidak membutuhkan kekerasan untuk eksis.¹⁰
Pemikiran para filsuf di atas menunjukkan bahwa
kekuatan memiliki peran ambivalen dalam kehidupan politik dan sosial. Ia bisa
menjadi instrumen ketertiban atau alat penindasan, bisa menjadi ekspresi
vitalitas atau simbol kehancuran. Dengan demikian, pemahaman filosofis atas
kekuatan tidak hanya mempersoalkan bagaimana ia digunakan, tetapi juga
bagaimana ia dimaknai dalam kehidupan manusia yang penuh ambiguitas dan
kompleksitas.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube,
rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 473–480.
[2]
Ibid., 520–521.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago:
University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253b.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86–88.
[5]
Ibid., 114.
[6]
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.
[7]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 137–138.
[8]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 260–265.
[9]
Hannah Arendt, On Violence (New York:
Harcourt, 1970), 35–38.
[10]
Ibid., 52–56.
4.
Perspektif
Sosiologi tentang Kekuatan
Dalam sosiologi, kekuatan tidak hanya
dipahami sebagai tindakan koersif langsung, melainkan sebagai fenomena sosial
yang beroperasi melalui struktur, norma, simbol, dan institusi. Para sosiolog
mengembangkan pendekatan yang menempatkan kekuatan sebagai elemen konstitutif
dari relasi sosial, bukan hanya sebagai alat represif yang digunakan oleh aktor
tertentu. Oleh karena itu, kekuatan dilihat tidak sekadar sebagai instrumen
individual, tetapi sebagai mekanisme sistemik yang membentuk dan mengatur
interaksi sosial dalam berbagai skala, dari mikro hingga makro.
4.1.
Max Weber: Kekuatan dan Legitimasi
dalam Relasi Sosial
Max Weber memberikan fondasi penting dalam memahami
kekuatan melalui distingsinya antara Macht (kekuasaan) dan Herrschaft
(otoritas). Dalam pandangannya, kekuasaan adalah “kemungkinan bahwa
seseorang dalam suatu hubungan sosial dapat menjalankan kehendaknya sendiri, sekalipun
menghadapi perlawanan.”¹ Kekuatan, dalam pengertian ini, tidak harus
memperoleh persetujuan dari yang dikendalikan, melainkan cukup efektif dalam
memaksakan kehendak.
Namun, Weber juga menekankan pentingnya legitimasi
dalam mempertahankan stabilitas sosial jangka panjang. Ia mengidentifikasi tiga
bentuk otoritas legitim: tradisional, karismatik, dan rasional-legal.² Ketika
kekuatan dijalankan tanpa legitimasi, ia cenderung bersifat instabil dan rawan
konflik. Oleh karena itu, Weber membuka ruang bagi analisis yang membedakan
antara kekuatan yang bersifat koersif dan kekuasaan yang sah secara normatif.
4.2.
Karl Marx dan C. Wright Mills:
Kekuatan sebagai Dominasi Kelas dan Struktur
Karl Marx mengajukan pandangan yang lebih
struktural mengenai kekuatan, dengan menekankan bahwa relasi sosial dalam
masyarakat kapitalis didasarkan pada konflik antara kelas-kelas yang tidak
setara.³ Bagi Marx, kekuatan merupakan instrumen kelas dominan (borjuis) untuk
mempertahankan kepemilikan atas alat-alat produksi dan menundukkan kelas
proletariat. Kekerasan negara dan hukum bukanlah entitas netral, melainkan alat
represif yang mewakili kepentingan kelas penguasa.⁴
C. Wright Mills melanjutkan kritik ini dalam
karyanya The Power Elite, dengan menunjukkan bagaimana kekuatan dalam
masyarakat modern terpusat pada segelintir elit yang menguasai sektor militer,
ekonomi, dan politik.⁵ Ia menegaskan bahwa kekuatan dalam masyarakat industri
tidak tersebar secara demokratis, melainkan terkonsentrasi secara hierarkis
sehingga memungkinkan terjadinya dominasi terselubung terhadap mayoritas
penduduk.
4.3.
Pierre Bourdieu: Kekerasan Simbolik
dan Reproduksi Sosial
Pierre Bourdieu memperluas konsep kekuatan melalui
gagasan kekerasan simbolik, yaitu bentuk dominasi yang bekerja secara implisit
melalui sistem makna, kebiasaan, dan simbol-simbol budaya.⁶ Dalam pandangan
Bourdieu, kekuatan tidak hanya diwujudkan dalam kekerasan fisik atau hukum,
tetapi juga melalui cara-cara halus yang membuat ketimpangan sosial tampak “alami”
dan tak terhindarkan.
Misalnya, sistem pendidikan mereproduksi hierarki
sosial dengan menyamarkan ketidaksetaraan sebagai hasil dari “kemampuan
individu” padahal ia mencerminkan habitus dan modal kultural yang
diwariskan secara tidak setara.⁷ Dengan demikian, kekuatan dalam masyarakat
modern sering kali beroperasi tanpa paksaan eksplisit, tetapi justru melalui
internalisasi struktur oleh individu.
4.4.
Norbert Elias dan Monopoli Kekerasan
Negara
Norbert Elias, dalam karya monumentalnya The
Civilizing Process, menjelaskan bagaimana monopoli kekerasan secara
bertahap dipusatkan oleh negara sebagai bagian dari proses pembentukan
peradaban.⁸ Menurut Elias, negara modern tidak menghapus kekerasan, tetapi
mengorganisasikannya dalam bentuk-bentuk yang lebih terkendali, rasional, dan
simbolik.
Dengan demikian, kekuatan menjadi bagian dari
sistem pengaturan sosial yang menjamin stabilitas melalui mekanisme birokrasi,
hukum, dan kontrol perilaku. Negara tidak sekadar meniadakan kekerasan, tetapi
mentransformasikannya dari bentuk primitif yang brutal menjadi sistematis dan
tersembunyi.
Dalam perspektif sosiologis, kekuatan dipahami
sebagai jaringan relasi yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari,
tertanam dalam struktur institusi, dan bekerja secara simultan melalui paksaan
dan persetujuan. Pendekatan ini menghindari penyederhanaan kekuatan sebagai
sekadar tindakan represif, dan justru mengungkap bagaimana kekuatan mewujud
dalam mekanisme-mekanisme sosial yang tampak netral, bahkan rasional. Pemahaman
ini sangat penting dalam membaca kekerasan kontemporer yang sering kali hadir
dalam bentuk-bentuk simbolik, struktural, dan sistemik.
Footnotes
[1]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of
Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley:
University of California Press, 1978), 53.
[2]
Ibid., 215–216.
[3]
Karl Marx, The Communist Manifesto, trans.
Samuel Moore (New York: International Publishers, 1948), 10–13.
[4]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 929–930.
[5]
C. Wright Mills, The Power Elite (New York:
Oxford University Press, 1956), 3–6.
[6]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170.
[7]
Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction
in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage
Publications, 1990), 72–75.
[8]
Norbert Elias, The Civilizing Process,
trans. Edmund Jephcott (Oxford: Blackwell Publishing, 2000), 440–442.
5.
Kekuatan
dan Negara
Relasi antara kekuatan dan negara telah lama
menjadi fokus utama dalam pemikiran politik dan sosiologis. Negara modern
dipahami tidak hanya sebagai institusi birokratis dan legal, melainkan sebagai
entitas yang secara sah mengklaim hak untuk menggunakan kekuatan fisik dalam
batas-batas teritorialnya. Pemahaman ini terutama dipengaruhi oleh pemikiran
klasik Max Weber yang mendefinisikan negara sebagai “sebuah komunitas
manusia yang berhasil memonopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah dalam
suatu wilayah tertentu.”¹ Dalam pengertian ini, kekuatan tidak sekadar
menjadi alat fungsional negara, tetapi juga elemen pembentuk identitas dan
eksistensi negara itu sendiri.
5.1.
Monopoli Kekerasan: Legitimasi dan
Represi
Konsep monopoli kekerasan yang sah
(legitimate use of physical force) menandai distingsi penting antara negara dan
bentuk organisasi sosial lainnya. Kekuatan negara memperoleh legitimasinya
melalui kerangka hukum, otoritas politik, dan kesepakatan sosial yang
dihasilkan oleh kontrak sosial atau konsensus historis.² Namun, monopolinya
atas kekerasan juga menyimpan potensi represi, terutama ketika digunakan tanpa
kontrol institusional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan
substantif.
Michel Foucault dalam Society Must Be Defended
mengkritik anggapan bahwa negara selalu menjadi pelindung ketertiban dan
penjamin perdamaian. Ia menyoroti bagaimana negara modern sebenarnya mengelola
kekuatan tidak hanya melalui represi, tetapi juga melalui normalisasi,
disiplin, dan produksi pengetahuan.³ Kekuasaan negara, dalam perspektif ini,
bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang tersembunyi dan menyebar, bukan hanya
melalui aparat kekerasan seperti militer dan polisi, tetapi juga melalui
institusi pendidikan, rumah sakit, dan media.
5.2.
Aparat Kekuasaan dan Kekuatan
Institusional
Institusi-institusi seperti militer, kepolisian,
dan badan intelijen merupakan perwujudan nyata dari kekuatan koersif negara.
Fungsinya tidak hanya menjaga ketertiban dan mempertahankan kedaulatan, tetapi
juga menjalankan fungsi ideologis dengan mereproduksi legitimasi negara.
Antonio Gramsci mengemukakan bahwa negara terdiri atas hegemoni dan coercion,
yakni kombinasi antara persuasi ideologis dan kekuatan koersif.⁴ Kekuatan
digunakan bukan hanya untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga untuk
mengendalikan atau menundukkan oposisi dari dalam melalui represi atau
manipulasi simbolik.
Dalam konteks ini, Gramsci memperkenalkan konsep aparatus
hegemonik, yaitu jaringan institusi (sekolah, media, agama) yang bekerja
untuk membentuk kesadaran kolektif agar sejalan dengan kepentingan kelas
dominan.⁵ Ketika kekuatan tidak cukup efektif, negara akan berpaling pada
represi fisik melalui aparat koersif, mencerminkan wajah “negara minimal”
yang menyisakan kekuatan sebagai satu-satunya sarana dominasi.
5.3.
Negara Demokratis vs Negara
Totaliter dalam Penggunaan Kekuatan
Perbedaan penggunaan kekuatan antara negara
demokratis dan negara totaliter terletak pada kadar legitimasi, transparansi,
dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Negara demokratis, idealnya,
menerapkan prinsip akuntabilitas dan pembatasan kekuasaan melalui sistem hukum
dan checks and balances, sehingga penggunaan kekuatan negara dapat
dipertanggungjawabkan secara etis dan politik.⁶ Dalam hal ini, kekuatan bersifat
residual, hanya digunakan ketika semua mekanisme deliberatif gagal.
Sebaliknya, negara totaliter menjadikan kekuatan
sebagai instrumen utama dalam mempertahankan kekuasaan. Kekuatan dijalankan
melalui sistem pengawasan menyeluruh, militerisasi kehidupan sipil,
pembungkaman oposisi, dan kultus individu. Hannah Arendt menyoroti bahwa dalam
rezim totaliter, kekuatan tidak lagi bersifat instrumental, tetapi menjadi
tujuan itu sendiri yang melumpuhkan ruang publik dan menghancurkan pluralitas
sosial.⁷
5.4.
Kritik Kontemporer: Kekuatan Negara
di Era Neoliberal dan Digital
Dalam konteks global kontemporer, kekuatan negara
menghadapi tantangan dari berbagai arah. Di satu sisi, negara menghadapi
tekanan dari kapitalisme global yang mendorong privatisasi fungsi-fungsi kekuasaan
seperti keamanan (misalnya melalui perusahaan militer swasta). Di sisi lain,
muncul bentuk-bentuk baru kekuatan digital yang memunculkan “sovereignty
without borders” melalui pengawasan massal, algoritma, dan kecerdasan
buatan.⁸
Para pemikir seperti Zygmunt Bauman dan David Lyon
menyatakan bahwa negara kini bersaing dengan kekuatan korporasi digital dalam
mengontrol informasi dan perilaku sosial.⁹ Sementara kekuatan negara masih
eksis dalam bentuk konvensional, kekuasaan digital mulai mengambil alih
fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh negara, dari pengawasan populasi
hingga regulasi wacana publik.
Dengan demikian, negara merupakan institusi yang
tidak hanya menyimpan kekuatan, tetapi juga menciptakan dan mendistribusikan
kekuatan dalam kerangka legal, ideologis, dan simbolik. Studi tentang kekuatan
negara tidak dapat dipisahkan dari dinamika legitimasi, kontrol sosial, serta
transformasi historis yang mengubah wajah kekerasan menjadi lebih tersembunyi
namun tetap efektif. Pemahaman ini penting untuk menelaah bagaimana kekuatan
terus memainkan peran sentral dalam kehidupan politik kontemporer, baik dalam
bentuk nyata maupun dalam dimensi simboliknya.
Footnotes
[1]
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H.
H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 78.
[2]
Quentin Skinner, “The Sovereign State: A
Genealogy,” in States and Citizens: History, Theory, Prospects, ed.
Quentin Skinner and Bo Stråth (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
9–11.
[3]
Michel Foucault, Society Must Be Defended:
Lectures at the Collège de France, 1975–1976, trans. David Macey (New York:
Picador, 2003), 27–29.
[4]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison
Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York:
International Publishers, 1971), 244–246.
[5]
Ibid., 12–13.
[6]
Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven:
Yale University Press, 1998), 37–39.
[7]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism
(New York: Harcourt, 1973), 389–392.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New
York: PublicAffairs, 2019), 85–88.
[9]
David Lyon, Surveillance Society: Monitoring
Everyday Life (Buckingham: Open University Press, 2001), 3–5.
6.
Kekuatan
dalam Relasi Sosial dan Budaya
Kekuatan tidak hanya mewujud dalam bentuk
institusional seperti negara atau aparat represif formal, tetapi juga
beroperasi dalam dimensi relasi sosial dan budaya yang lebih subtil dan
terinternalisasi. Dalam konteks ini, kekuatan tampil dalam bentuk kekerasan
simbolik, normalisasi dominasi, serta pengukuhan hierarki sosial yang tampak
wajar dan diterima. Relasi sosial yang terlihat sebagai praktik sehari-hari
ternyata sering menyimpan struktur dominasi yang kompleks, di mana kekuatan
tidak bekerja secara frontal, tetapi melalui produksi makna, identitas, dan
norma sosial.
6.1.
Kekuasaan dalam Relasi
Interpersonal: Kekerasan Domestik dan Patriarki
Dalam ruang privat sekalipun, kekuatan dapat
menjadi alat dominasi yang sistemik, seperti terlihat dalam kasus kekerasan
dalam rumah tangga atau relasi gender yang patriarkal. Filsuf dan sosiolog
feminis menyoroti bagaimana kekuatan digunakan untuk mengontrol tubuh, pilihan,
dan ekspresi perempuan, seringkali melalui legitimasi budaya dan norma moral.¹ Judith
Butler menekankan bahwa kekuasaan bekerja dalam tubuh melalui pengulangan
performatif atas norma-norma gender, sehingga kekuatan patriarki menjadi bagian
dari identitas itu sendiri.²
Kekerasan domestik sering kali disangkal
keberadaannya karena berlangsung dalam ruang privat dan dibungkus oleh narasi
kasih sayang atau “tanggung jawab keluarga.” Namun secara sosiologis,
hal ini merupakan bentuk kekuasaan koersif yang menundukkan individu atas nama
struktur moral yang dibakukan.³ Kekuatan dalam konteks ini menjadi lebih
berbahaya karena terselubung dan jarang mendapat intervensi struktural yang
memadai.
6.2.
Kekuatan dalam Struktur Ras dan
Etnisitas
Kekuatan juga beroperasi melalui struktur rasial
dan etnis yang menormalisasi diskriminasi, eksklusi, dan subordinasi. Michel
Foucault dalam kuliahnya di Collège de France mengungkap bahwa kekuasaan modern
tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengatur kehidupan melalui praktik biopolitik,
yakni pengelolaan populasi berdasarkan kategori biologis seperti ras.⁴ Dalam
konteks ini, kekuatan tidak hanya mengambil bentuk kekerasan fisik, tetapi juga
melalui pengklasifikasian, pengawasan, dan penilaian sosial yang melanggengkan
ketimpangan rasial.
Studi Edward Said tentang Orientalisme
menunjukkan bagaimana kekuatan budaya Barat membentuk representasi dunia Timur
sebagai inferior, eksotis, dan terbelakang.⁵ Representasi ini menjadi instrumen
dominasi kultural yang mendahului dan melegitimasi kolonialisme. Dalam relasi
antarbudaya, kekuatan bekerja melalui produksi wacana dan struktur pengetahuan
yang menetapkan siapa yang berhak berbicara dan siapa yang dibungkam.
6.3.
Bahasa dan Media sebagai Sarana
Kekuasaan Simbolik
Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa bahasa bukan
hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana dominasi simbolik.⁶ Dalam relasi
sosial, penggunaan bahasa yang “dianggap sah” atau “berotoritas”
menjadi instrumen untuk membentuk persepsi, mengendalikan makna, dan
menundukkan kelompok-kelompok subordinat. Bahasa standar, misalnya, bukan
sekadar norma linguistik, tetapi juga representasi kekuasaan kelas dominan atas
praktik komunikasi masyarakat.
Media massa memainkan peran serupa dalam
mengonstruksi realitas sosial dan mendistribusikan kekuatan simbolik. Melalui
seleksi wacana, representasi visual, dan pengemasan informasi, media mampu
menciptakan narasi hegemonik yang membingkai persepsi publik terhadap isu
sosial dan politik.⁷ Dalam masyarakat kontemporer, kontrol atas media
seringkali menjadi bentuk kekuasaan yang lebih efektif daripada kekuatan
koersif langsung.
6.4.
Budaya Populer dan Normalisasi
Kekuatan
Kekuatan dalam budaya populer seringkali
terselubung dalam bentuk hiburan, gaya hidup, dan citra ideal yang dikonsumsi
secara massal. Teoretikus seperti Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic
of Enlightenment menyatakan bahwa industri budaya menciptakan kesadaran
semu (false consciousness) yang membuat masyarakat menerima status quo
sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan.⁸ Konsumsi massal atas
simbol-simbol budaya yang diciptakan industri menjadi cara efektif untuk
mempertahankan hegemoni ideologis.
Dalam sistem kapitalisme lanjut, individu
dikonstruksi sebagai subjek yang “bebas memilih,” padahal pilihan mereka
sudah sangat dikondisikan oleh logika pasar dan tekanan sosial yang tidak disadari.⁹
Dengan demikian, kekuatan dalam budaya tidak beroperasi melalui larangan
eksplisit, melainkan melalui internalisasi nilai-nilai yang membentuk identitas
dan keinginan.
Kekuatan dalam relasi sosial dan budaya bersifat
kompleks, halus, dan sering kali tak terlihat. Ia tidak selalu berwujud represi
terbuka, melainkan juga reproduksi nilai dan norma yang membuat ketimpangan
tampak normal. Oleh karena itu, kajian atas kekuatan dalam konteks ini tidak
bisa dilepaskan dari analisis kritis atas bahasa, simbol, institusi sosial, dan
produksi budaya yang membentuk kesadaran sosial kolektif.
Footnotes
[1]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to
Center, 2nd ed. (Boston: South End Press, 2000), 39–41.
[2]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion
of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–34.
[3]
Elizabeth Stanko, Intimate Intrusions: Women’s
Experience of Male Violence (London: Routledge, 1985), 11–13.
[4]
Michel Foucault, Society Must Be Defended:
Lectures at the Collège de France, 1975–1976, trans. David Macey (New York:
Picador, 2003), 243–245.
[5]
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage
Books, 1979), 1–3.
[6]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 37–39.
[7]
Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London:
Sage, 1997), 15–19.
[8]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic
of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University
Press, 2002), 94–96.
[9]
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge:
Polity Press, 2007), 28–30.
7.
Kritik
Terhadap Kekuatan dan Kekerasan
Meskipun kekuatan sering dianggap sebagai elemen
esensial dalam menjaga ketertiban sosial dan mempertahankan struktur politik,
tidak sedikit pemikir dan gerakan sosial yang memberikan kritik mendalam
terhadap penggunaan kekuatan, khususnya dalam bentuk kekerasan. Kritik-kritik
ini lahir dari keprihatinan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, dehumanisasi
yang ditimbulkan oleh kekerasan sistemik, serta dari komitmen terhadap
nilai-nilai etis seperti martabat manusia, non-koersi, dan keadilan sosial.
Kritik terhadap kekuatan dan kekerasan mencakup berbagai pendekatan, mulai dari
filsafat etika, teori kritis, hingga gerakan pasifisme radikal.
7.1.
Kritik Etis dan Filosofis: Kekuatan
sebagai Dehumanisasi
Banyak filsuf moral memandang kekerasan sebagai
pelanggaran terhadap martabat manusia dan prinsip moral yang paling dasar.
Emmanuel Levinas, misalnya, menekankan bahwa hubungan etis pertama antara
manusia terletak pada tanggung jawab terhadap wajah orang lain, yang justru
dilanggar ketika kekuatan digunakan untuk menundukkan subjek lain.¹ Bagi
Levinas, kekerasan mereduksi subjek menjadi objek, menanggalkan kemanusiaannya,
dan memutus relasi etis.
Dalam tradisi Kristen, teologi etis seperti yang
dikembangkan oleh Reinhold Niebuhr membedakan antara “kekuatan” yang sah
untuk menahan kejahatan dan “kekerasan” yang destruktif dan tidak
bermoral.² Sementara Niebuhr mengakui perlunya kekuatan dalam konteks keadilan
sosial, ia memperingatkan bahwa kekerasan sering kali mencerminkan kesombongan
moral dan memperburuk konflik.
7.2.
Pasifisme dan Perlawanan
Non-Kekerasan
Gerakan pasifis seperti yang diperjuangkan oleh Leo
Tolstoy, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King Jr. menolak segala bentuk
kekerasan dalam perjuangan sosial. Gandhi memformulasikan prinsip satyagraha,
yaitu kekuatan dari kebenaran dan cinta, yang digunakan untuk melawan ketidakadilan
tanpa harus meniru kekerasan yang dilakukan oleh penindas.³ Menurut Gandhi,
kekuatan sejati berasal dari pengendalian diri dan keberanian moral, bukan dari
dominasi fisik.
Martin Luther King Jr., dalam semangat yang serupa,
menekankan pentingnya “perlawanan tanpa kebencian.”⁴ Ia percaya bahwa
kekerasan hanya menghasilkan kebencian yang lebih besar, sementara
non-kekerasan memiliki kekuatan moral untuk mengubah hati dan struktur sosial
secara bersamaan. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat menjadi bukti bahwa
kekuatan moral dapat menjadi alat transformasi sosial yang efektif tanpa
kekerasan fisik.
7.3.
Kritik Teori Kritis: Kekerasan
Struktural dan Hegemoni
Teori kritis dari tradisi Frankfurt School
memperluas kritik terhadap kekerasan dengan menunjukkan bahwa kekerasan tidak
hanya hadir secara langsung, tetapi juga dalam bentuk struktural dan ideologis.
Johan Galtung memperkenalkan konsep kekerasan struktural untuk
menggambarkan situasi sosial di mana sistem menghalangi individu untuk memenuhi
kebutuhan dasar atau berkembang secara manusiawi.⁵ Kekerasan semacam ini tidak
dilakukan oleh pelaku tertentu, tetapi terlembaga dalam tatanan sosial dan
ekonomi.
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man
juga mengkritik bagaimana masyarakat industri maju menekan kebebasan manusia
melalui konformitas, teknologi, dan kontrol budaya yang menghapus kapasitas
kritis.⁶ Bagi Marcuse, dominasi yang “lembut” ini justru lebih berbahaya
karena tidak dikenali sebagai kekerasan, padahal ia menghancurkan potensi
emansipasi manusia.
7.4.
Dekonstruksi Kekuasaan: Kekuatan
sebagai Wacana
Michel Foucault memberikan sumbangan penting dalam
mendekonstruksi asumsi tentang kekuatan. Ia menolak pandangan bahwa kekuatan
hanya bersifat represif dan berada di tangan institusi pusat, dan justru melihat
kekuatan sebagai relasi produktif yang tersebar dalam praktik, bahasa, dan
pengetahuan.⁷ Bagi Foucault, kritik terhadap kekuasaan harus dilakukan melalui
analisis genealogis terhadap bagaimana kebenaran, norma, dan subjektivitas
dibentuk oleh jaringan kekuasaan yang kompleks.
Foucault tidak secara eksplisit menganjurkan
perlawanan kekerasan terhadap kekuasaan, tetapi ia menegaskan pentingnya “praktik
kebebasan” melalui resistensi dalam ranah mikro—dalam wacana, praktik
tubuh, dan relasi sosial.⁸ Dalam pengertian ini, kritik terhadap kekuatan tidak
selalu berarti penolakan terhadap segala bentuk kekuasaan, tetapi terhadap
kekuasaan yang mengklaim netralitas dan menutupi mekanisme dominasi di
baliknya.
Kritik terhadap kekuatan dan kekerasan telah memperluas
horizon pemikiran politik dan sosial dari sekadar legitimasi institusional
menjadi soal etik, eksistensial, dan kultural. Kritik-kritik ini mengajak kita
untuk tidak hanya mempertanyakan cara kekuatan dijalankan, tetapi juga
nilai-nilai apa yang mendasari penggunaannya, bentuk apa yang disahkan, dan
dalam konteks apa kekerasan menjadi tak terlihat. Dalam dunia yang terus
diliputi konflik dan represi simbolik, kritik ini menjadi fondasi moral dan
intelektual dalam merumuskan kembali cara hidup bersama yang lebih adil,
manusiawi, dan bebas dari penindasan.
Footnotes
[1]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 198–200.
[2]
Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society:
A Study in Ethics and Politics (Louisville: Westminster John Knox Press,
2001), 12–14.
[3]
Mahatma Gandhi, Non-Violent Resistance
(Satyagraha), ed. Bharatan Kumarappa (New York: Schocken Books, 1961), 3–5.
[4]
Martin Luther King Jr., Stride Toward Freedom:
The Montgomery Story (New York: Harper & Row, 1958), 85–87.
[5]
Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace
Research,” Journal of Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191.
[6]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in
the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964),
17–19.
[7]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon,
1980), 94–96.
[8]
Michel Foucault, The Use of Pleasure: The
History of Sexuality, Volume 2, trans. Robert Hurley (New York: Vintage
Books, 1990), 6–12.
8.
Relevansi
Konseptual Kekuatan dalam Konteks Kontemporer
Di tengah transformasi sosial, teknologi, dan
geopolitik abad ke-21, konsep kekuatan mengalami perkembangan signifikan. Ia
tidak lagi terbatas pada kekuatan koersif negara atau dominasi militer,
melainkan meluas ke ranah-ranah simbolik, digital, dan bio-politik. Kekuatan di
era kontemporer menjadi lebih tersembunyi, kompleks, dan terdistribusi, tetapi
tetap mempertahankan karakter dasarnya sebagai relasi sosial yang melibatkan
dominasi, resistensi, dan produksi makna. Pemahaman tentang kekuatan kini
memerlukan pendekatan lintas disiplin untuk menangkap dinamika baru yang
ditimbulkannya dalam berbagai ranah kehidupan.
8.1.
Kekuatan dan Globalisasi:
Transnasionalisasi Kekuasaan
Globalisasi telah mengubah wajah kekuatan secara
mendasar. Di satu sisi, negara masih memegang monopoli kekuatan legal, tetapi
di sisi lain kekuasaan ekonomi dan informasi kini juga dijalankan oleh aktor
non-negara seperti korporasi multinasional, organisasi internasional, dan
lembaga keuangan global. Saskia Sassen menyebut fenomena ini sebagai “disasembodied
power,” yaitu bentuk kekuasaan yang melampaui batas-batas teritorial dan
tidak selalu tunduk pada mekanisme kontrol demokratis.¹
Kekuatan global sering kali beroperasi melalui
mekanisme ekonomi seperti hutang internasional, investasi asing, atau sistem
perdagangan yang tidak setara.² Dalam konteks ini, kekuatan bekerja bukan
melalui paksaan langsung, tetapi melalui ketergantungan struktural yang
menyulitkan negara-negara berkembang untuk menolak dominasi. Kekuatan ekonomi
global juga memiliki efek politik yang signifikan, seperti pelemahan kedaulatan
nasional dan delegitimasi kebijakan domestik.
8.2.
Kekuatan Digital: Pengawasan,
Algoritma, dan Manipulasi Informasi
Era digital membawa bentuk kekuatan baru yang
bersifat non-fisik namun sangat efektif dalam mengendalikan perilaku dan opini
publik. Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance
capitalism, yaitu praktik pemanfaatan data pribadi oleh korporasi digital
untuk memprediksi dan memengaruhi perilaku individu demi keuntungan ekonomi.³
Kekuatan dalam konteks ini dijalankan melalui algoritma yang tidak transparan,
yang secara perlahan membentuk preferensi, keputusan, bahkan ideologi individu
tanpa disadari.
Michel Foucault dalam kerangka panoptikon
telah mengantisipasi bentuk kekuasaan seperti ini, di mana kontrol sosial tidak
memerlukan kekuatan koersif karena individu secara sukarela mendisiplinkan diri
di bawah bayangan pengawasan.⁴ Dalam versi digital, pengawasan tidak hanya
dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh entitas privat seperti platform media
sosial, perusahaan teknologi, dan penyedia jasa daring.
8.3.
Kekuatan dan Krisis Demokrasi
Kekuatan juga memainkan peran penting dalam krisis
demokrasi kontemporer. Meningkatnya populisme otoriter, pembatasan kebebasan
sipil, serta manipulasi pemilu melalui disinformasi menunjukkan bahwa kekuasaan
tidak selalu digunakan untuk memperkuat demokrasi, melainkan juga untuk
mengikisnya.⁵ Dalam sistem demokrasi liberal, kekuatan yang seharusnya
dikontrol oleh hukum dan institusi publik kerap dibajak oleh elite politik
melalui kooptasi lembaga, politisasi hukum, dan pengendalian informasi publik.
Chantal Mouffe mengingatkan bahwa demokrasi tanpa
antagonisme yang sehat cenderung menjadi teknik manajemen konsensus yang
menindas perbedaan dan resistensi.⁶ Kekuatan yang tidak disalurkan melalui
ruang publik yang plural dan terbuka justru memunculkan bentuk-bentuk
perlawanan radikal, yang dapat berujung pada kekerasan atau delegitimasi
institusi.
8.4.
Ekologi Politik dan Bio-Kekuatan
Dalam konteks krisis iklim dan ekologi global,
bentuk kekuatan baru juga muncul dalam ranah yang sebelumnya jarang
diperhatikan: pengelolaan kehidupan, alam, dan spesies non-manusia. Konsep biopower
yang dikembangkan oleh Foucault menjadi relevan kembali ketika negara dan
korporasi berusaha mengatur kehidupan melalui intervensi medis, bioteknologi,
dan ekologi.⁷
Pascapandemi COVID-19, kekuatan negara atas tubuh
warganya meningkat drastis dalam bentuk lockdown, vaksinasi wajib, dan kontrol
mobilitas, menunjukkan bahwa kekuasaan kini menyentuh wilayah kehidupan yang
paling mendasar. Giorgio Agamben mengkritik kecenderungan ini sebagai bentuk state
of exception permanen, di mana hak asasi dikorbankan atas nama keselamatan
kolektif.⁸ Relevansi kekuatan dalam konteks ini terletak pada ketegangan antara
keamanan dan kebebasan, serta antara kehidupan dan kekuasaan atas kehidupan.
Dengan demikian, kekuatan dalam konteks kontemporer
tampil dalam bentuk yang lebih rumit dan menyebar, melibatkan teknologi,
informasi, ekonomi, dan biopolitik. Pemahaman klasik tentang kekuatan sebagai
dominasi koersif tetap penting, tetapi kini harus dilengkapi dengan analisis
atas bagaimana kekuasaan bekerja melalui kontrol simbolik, algoritmik, dan
struktural dalam skala global. Hanya dengan pendekatan interdisipliner dan
kesadaran kritis yang tinggi, masyarakat dapat membaca dan menanggapi
bentuk-bentuk kekuatan baru ini secara etis dan politis.
Footnotes
[1]
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an
Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 5–6.
[2]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 59–62.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New
York: PublicAffairs, 2019), 8–10.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
200–201.
[5]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How
Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 22–25.
[6]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox
(London: Verso, 2000), 103–106.
[7]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol.
1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990),
135–136.
[8]
Giorgio Agamben, State of Exception, trans.
Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 2–4.
9.
Penutup
Kajian tentang kekuatan dalam perspektif
filsafat dan sosiologi mengungkap bahwa kekuatan bukan sekadar alat untuk
menundukkan atau mengendalikan, tetapi merupakan dimensi mendasar dari
kehidupan sosial dan politik. Sejak filsafat klasik hingga pemikiran
kontemporer, kekuatan telah dipahami sebagai elemen konstitutif dari relasi
kuasa, struktur negara, dan proses dominasi. Namun, kekuatan juga telah
ditelaah secara kritis sebagai potensi destruktif, terutama ketika mewujud
dalam bentuk kekerasan yang mereduksi martabat manusia, menghancurkan institusi
demokratis, atau memanipulasi kesadaran sosial.
Filsafat politik dari Hobbes hingga Arendt
menawarkan kerangka normatif yang memperlihatkan ambivalensi kekuatan: di satu
sisi, ia diperlukan untuk menjamin ketertiban dan keberlanjutan institusi
sosial; di sisi lain, kekuatan yang kehilangan legitimasi akan tergelincir
menjadi represi dan teror.¹ Sementara itu, sosiologi kritis dari Weber, Marx,
Bourdieu hingga Foucault memperluas pemahaman bahwa kekuatan tidak hanya hadir
secara fisik atau legal, tetapi juga dalam wacana, norma, dan praktik simbolik
yang mengatur kehidupan sehari-hari secara halus namun efektif.²
Dalam konteks kontemporer, relevansi kekuatan
menjadi semakin kompleks. Globalisasi, digitalisasi, dan biopolitik telah
melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan baru yang tersebar, tidak kasatmata, dan
sulit dipertanggungjawabkan. Kekuatan kini beroperasi melalui algoritma, sistem
keuangan global, pengawasan digital, serta praktik representasi kultural yang
mereproduksi ketimpangan sosial secara sistematis.³ Ini menantang kita untuk
memperluas horizon teoritis sekaligus mempertajam kesadaran etis dalam membaca
dinamika kekuasaan di era modern.
Kritik-kritik terhadap kekuatan, baik dari
perspektif etika humanistik, pasifisme, maupun teori kritis, menggarisbawahi
pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab moral.⁴
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdiferensiasi secara sosial,
tantangannya bukan hanya bagaimana membatasi kekuatan yang eksesif, tetapi juga
bagaimana mendesain ulang struktur sosial agar kekuatan dapat disalurkan secara
adil, terbuka, dan partisipatif.
Oleh karena itu, studi tentang kekuatan tidak boleh
berhenti pada analisis teoritis semata, tetapi harus menjadi bagian dari
refleksi praksis untuk membangun tatanan sosial-politik yang lebih etis dan
manusiawi. Seperti yang ditunjukkan Hannah Arendt, kekuasaan yang sejati
bukanlah yang menggantungkan diri pada kekerasan, melainkan yang tumbuh dari
kebersamaan, kesepahaman, dan tindakan kolektif yang didasarkan pada
kebebasan.⁵ Dengan kesadaran ini, kita dapat menghadapi masa depan yang penuh
tantangan dengan komitmen pada prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan
kebebasan sejati.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, On Violence (New York:
Harcourt, 1970), 52–56.
[2]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
ed. John B. Thompson (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 163–170;
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans.
Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 200–201.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New
York: PublicAffairs, 2019), 85–88; Saskia Sassen, Losing Control?
Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University
Press, 1996), 5–6.
[4]
Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace
Research,” Journal of Peace Research 6, no. 3 (1969): 167–191; Martin
Luther King Jr., Stride Toward Freedom: The Montgomery Story (New York:
Harper & Row, 1958), 85–87.
[5]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 198–199.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., &
Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)
Agamben, G. (2005). State
of exception (K. Attell, Trans.). University of Chicago Press.
Arendt, H. (1958). The
human condition. University of Chicago Press.
Arendt, H. (1970). On
violence. Harcourt.
Bauman, Z. (2007). Consuming
life. Polity Press.
Bourdieu, P. (1991). Language
and symbolic power (J. B. Thompson, Ed., G. Raymond & M. Adamson,
Trans.). Harvard University Press.
Bourdieu, P., &
Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture
(R. Nice, Trans.). Sage Publications. (Original work published 1970)
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Elias, N. (2000). The
civilizing process (E. Jephcott, Trans.). Blackwell Publishing. (Original
work published 1939)
Foucault, M. (1990). The
history of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage
Books.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (2003). Society
must be defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976 (D. Macey,
Trans.). Picador.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon.
Galtung, J. (1969).
Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3),
167–191. https://doi.org/10.1177/002234336900600301
Gandhi, M. (1961). Non-violent
resistance (Satyagraha) (B. Kumarappa, Ed.). Schocken Books.
Gramsci, A. (1971). Selections
from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. &
Trans.). International Publishers.
Hall, S. (1997). The work
of representation. In S. Hall (Ed.), Representation: Cultural
representations and signifying practices (pp. 13–74). Sage Publications.
hooks, b. (2000). Feminist
theory: From margin to center (2nd ed.). South End Press.
King Jr., M. L. (1958). Stride
toward freedom: The Montgomery story. Harper & Row.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
(Original work published 1689)
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Marx, K. (1948). The
communist manifesto (S. Moore, Trans.). International Publishers.
(Original work published 1848)
Marx, K. (1990). Capital:
A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin
Books. (Original work published 1867)
Mills, C. W. (1956). The
power elite. Oxford University Press.
Mouffe, C. (2000). The
democratic paradox. Verso.
Nietzsche, F. (1978). Thus
spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin.
Nietzsche, F. (1989). Beyond
good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Said, E. W. (1979). Orientalism.
Vintage Books.
Sassen, S. (1996). Losing
control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University
Press.
Searle, J. R. (2010). Making
the social world: The structure of human civilization. Oxford University
Press.
Skinner, Q. (2003). The
sovereign state: A genealogy. In Q. Skinner & B. Stråth (Eds.), States
and citizens: History, theory, prospects (pp. 9–28). Cambridge University
Press.
Stanko, E. A. (1985). Intimate
intrusions: Women’s experience of male violence. Routledge.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization
and its discontents. W. W. Norton & Company.
Weber, M. (1965). Politics
as a vocation (H. H. Gerth & C. W. Mills, Trans.). Fortress Press.
(Original work delivered 1919)
Weber, M. (1978). Economy
and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C.
Wittich, Eds.). University of California Press.
Williams, R. (1983). Keywords:
A vocabulary of culture and society. Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar