Fasisme
Ideologi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas fasisme sebagai sebuah aliran
dalam filsafat sosial-politik secara komprehensif, dengan menelusuri dimensi
historis, ideologis, dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Dimulai dari
definisi dan karakteristik dasar fasisme, pembahasan dilanjutkan dengan
eksplorasi akar filosofis yang mempengaruhi konstruksi ideologisnya, termasuk
pengaruh Nietzsche, Sorel, dan Gentile. Artikel ini juga mengulas perkembangan
historis fasisme di Italia, Jerman, dan negara-negara lain, serta menganalisis
posisi fasisme dalam spektrum filsafat politik melalui perbandingan dengan
liberalisme, sosialisme, dan anarkisme. Lebih jauh, kajian ini mengevaluasi
kebangkitan neofasisme dalam dunia kontemporer, menyoroti peran media sosial,
populisme, dan wacana identitarian dalam membentuk bentuk-bentuk baru dari
otoritarianisme. Dalam bagian akhir, artikel menegaskan urgensi kajian fasisme
dalam pendidikan dan wacana kritis sebagai bentuk perlindungan nilai-nilai
demokrasi dan kemanusiaan. Melalui pendekatan interdisipliner dan analisis
filosofis yang mendalam, artikel ini berupaya membangun pemahaman reflektif
terhadap fasisme sebagai ancaman yang terus berevolusi dalam sejarah dan
kehidupan modern.
Kata Kunci: Fasisme, ideologi politik, filsafat sosial-politik,
neofasisme, totalitarianisme, liberalisme, sosialisme, pendidikan kritis,
negara otoriter, demokrasi.
PEMBAHASAN
Fasisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Fasisme merupakan
salah satu fenomena ideologis paling kontroversial dan destruktif dalam sejarah
politik modern. Muncul pada awal abad ke-20, fasisme tidak hanya menawarkan
model pemerintahan otoriter, tetapi juga mengusung suatu paradigma filosofis
tentang kekuasaan, kebangsaan, dan identitas kolektif yang sangat berbeda dari
aliran-aliran besar lainnya seperti liberalisme, sosialisme, atau anarkisme.
Ideologi ini sering kali dipahami secara sempit hanya sebagai sistem politik
represif, padahal secara lebih dalam, fasisme juga mengandung dimensi
metafisika dan ontologi sosial tertentu yang memengaruhi cara pandang terhadap
negara, individu, dan masyarakat.
Kemunculan fasisme
tidak dapat dipisahkan dari konteks krisis modernitas yang melanda Eropa
pasca-Perang Dunia I, terutama menyangkut ketidakpuasan terhadap tatanan
liberal-parlementer dan ketakutan terhadap revolusi sosialis. Dalam konteks
ini, fasisme tampil sebagai respons radikal yang menjanjikan “persatuan
nasional” dan “kebangkitan moral”, tetapi dengan menolak pluralisme
politik dan rasionalitas demokratis. Seperti dikemukakan oleh Emilio Gentile,
seorang sejarawan terkemuka dalam studi fasisme, ideologi ini sebaiknya
dipahami bukan hanya sebagai bentuk kekuasaan politik ekstrem, melainkan
sebagai “agama sipil” yang mengupayakan pembentukan manusia baru dalam
kerangka negara totalistik dan mistik kebangsaan.1
Dalam ranah filsafat
sosial-politik, fasisme menawarkan sudut pandang yang secara fundamental
berbeda dari warisan Pencerahan yang menekankan otonomi individu, rasionalitas
universal, dan hak asasi manusia. Sebaliknya, fasisme menekankan supremasi
negara atas individu, kehendak kolektif di atas kebebasan personal, serta
legitimasi kekerasan sebagai alat pembaruan sosial. Perspektif ini menjadi
penting untuk dikaji secara filosofis, bukan untuk membenarkan praktik-praktik
otoritarian, melainkan untuk memahami bagaimana suatu ideologi bisa mengakar
melalui narasi-narasi ideologis, simbolik, dan historis yang kompleks.
Urgensi kajian
terhadap fasisme kembali meningkat pada abad ke-21 seiring merebaknya gerakan
populisme otoriter, nasionalisme eksklusif, dan kecenderungan regresif terhadap
prinsip-prinsip demokrasi liberal di berbagai belahan dunia. Fenomena seperti “alt-right”
di Amerika Serikat, neofasisme di Eropa Timur, hingga gerakan identitarianisme
digital menunjukkan bahwa fasisme bukanlah doktrin mati yang terkubur bersama
sejarah abad ke-20, melainkan tetap hidup dalam bentuk-bentuk mutasi baru.2
Oleh karena itu,
kajian ini bertujuan untuk membedah fasisme dari perspektif filsafat
sosial-politik dengan menelusuri akar ideologis, fondasi teoritis, sejarah
perkembangan, kritik filosofis, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.
Dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan sejarah intelektual, analisis
ideologi, dan refleksi kritis, artikel ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang utuh dan mendalam tentang fasisme—bukan semata sebagai fakta historis,
melainkan sebagai tantangan filosofis yang terus menguji kesadaran politik umat
manusia.
Footnotes
[1]
Emilio Gentile, The Sacralization of Politics in Fascist Italy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 9–10.
[2]
Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them
(New York: Random House, 2018), 19–23.
2.
Pengertian dan Karakteristik Umum Fasisme
Fasisme merupakan
ideologi politik yang secara eksplisit menolak prinsip-prinsip dasar modernitas
liberal, seperti kebebasan individu, demokrasi parlementer, dan kesetaraan hak.
Kata “fasisme” berasal dari bahasa Latin fasces, yaitu sekumpulan batang
kayu yang diikat mengelilingi kapak, simbol otoritas magistrat Romawi yang
kemudian diadopsi oleh Benito Mussolini sebagai lambang kekuatan negara yang
menyatukan rakyat di bawah satu kepemimpinan mutlak.1
Tidak mudah
memberikan definisi tunggal terhadap fasisme karena ia merupakan fenomena yang
bersifat historis, ideologis, dan praksis sekaligus. Seperti dikemukakan oleh
Robert O. Paxton, fasisme harus dipahami sebagai suatu “praktek politik yang
mendewakan bangsa (atau ras) di atas individu” dan yang menuntut
kesetiaan total kepada negara yang dipimpin oleh pemimpin karismatik, disertai
penolakan terhadap nilai-nilai pluralisme dan deliberasi rasional.2
Fasisme cenderung muncul dalam bentuk gerakan massa yang menggalang dukungan
dari masyarakat yang mengalami keterasingan sosial, krisis identitas nasional,
dan ketidakpuasan terhadap sistem politik mapan.
Secara umum,
terdapat beberapa karakteristik utama yang kerap
ditemukan dalam ideologi dan praktik fasis:
1)
Ultranasionalisme
Ekspansif
Fasisme menempatkan identitas nasional sebagai
nilai tertinggi dan sakral, bahkan melebihi kepentingan individu. Nasionalisme
fasis sering kali disertai dengan glorifikasi masa lalu, mitos kebesaran
bangsa, serta pandangan bahwa hanya melalui penyatuan total di bawah negara,
bangsa dapat direstorasi ke kejayaan semula.3
2)
Otoritarianisme dan Kultus
Kepemimpinan
Kekuasaan dalam sistem fasis bersifat hierarkis
dan terpusat. Kepemimpinan dianggap bukan hasil dari kesepakatan
sosial-demokratis, melainkan lahir dari kekuatan karismatik yang mewakili
kehendak historis bangsa. Mussolini dan Hitler, misalnya, menempatkan diri
sebagai “penjelmaan takdir nasional.”4
3)
Penolakan terhadap
Demokrasi, Marxisme, dan Liberalisme
Fasisme menolak pluralitas ideologi, sistem
pemilu, kebebasan pers, dan hak-hak sipil yang merupakan fondasi demokrasi
liberal. Ia juga menentang komunisme karena dianggap memecah belah bangsa
melalui konflik kelas. Dalam wacana fasis, semua bentuk oposisi politik
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kesatuan nasional.5
4)
Militerisme dan Kekerasan
sebagai Alat Legitimasi Politik
Kekerasan tidak hanya ditoleransi, tetapi juga
dianggap suci dan produktif. Fasisme meyakini bahwa konflik dan perang adalah
jalan alami dan perlu dalam memurnikan bangsa dan membentuk tatanan baru.
Georges Sorel, yang pemikirannya mengilhami fasisme, bahkan berbicara tentang “mitos
kekerasan” sebagai pembangkit semangat revolusi nasional.6
5)
Korporatisme Negara dan Penolakan
Kapitalisme Laissez-Faire
Fasisme tidak menganjurkan kepemilikan kolektif
atas alat-alat produksi seperti komunisme, tetapi juga tidak membebaskan pasar
sepenuhnya seperti liberalisme. Sebaliknya, negara menjadi pengatur utama dalam
kehidupan ekonomi melalui sistem korporatisme, di mana serikat buruh dan pelaku
usaha disatukan dalam kerangka nasional tanpa konflik kelas.7
6)
Penggunaan Simbolisme,
Propaganda, dan Mitos
Fasisme sangat bergantung pada estetika politik:
simbol-simbol visual, retorika heroik, ritual massa, dan konstruksi mitos
nasional. Tujuan dari hal ini adalah membangkitkan emosi kolektif dan
menghapuskan daya kritis individu. Emilio Gentile menyebut ini sebagai bentuk “sakralisasi
politik.”8
Dengan
karakteristik-karakteristik tersebut, fasisme menjadi lebih dari sekadar rezim
otoriter; ia adalah sebuah worldview totalistik yang mengatur tidak hanya
tindakan publik, tetapi juga aspirasi, moralitas, dan identitas warganya.
Pemahaman terhadap ciri-ciri umum ini menjadi dasar penting untuk
mengidentifikasi kemunculan varian baru fasisme dalam konteks kontemporer,
meskipun sering kali hadir dalam bentuk yang lebih tersamar dan kultural.
Footnotes
[1]
Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison:
University of Wisconsin Press, 1995), 5–6.
[2]
Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A.
Knopf, 2004), 218.
[3]
Zeev Sternhell, The Birth of Fascist Ideology (Princeton:
Princeton University Press, 1994), 24–29.
[4]
Emilio Gentile, Fascism: A Political Religion (Princeton:
Princeton University Press, 2006), 41–42.
[5]
Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge,
1991), 39–40.
[6]
Georges Sorel, Reflections on Violence (New York: Cambridge
University Press, 1999), 57.
[7]
Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 73–75.
[8]
Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton
University Press, 2006), 134–136.
3.
Akar Filosofis dan Teoritis Fasisme
Fasisme tidak hanya
lahir sebagai reaksi politik atas krisis sosial dan ekonomi Eropa pasca-Perang
Dunia I, tetapi juga memiliki fondasi intelektual yang kompleks, meskipun
eklektik dan tidak sistematis. Sebagai sebuah ideologi, fasisme menggabungkan
unsur-unsur dari berbagai aliran pemikiran yang mendahuluinya—dari romantisisme
anti-modern, voluntarisme eksistensial, hingga idealisme spiritualistik. Akar
filosofis fasisme dapat ditelusuri melalui kontribusi beberapa pemikir dan
doktrin yang secara tidak langsung menyediakan kerangka normatif dan etis bagi
munculnya pandangan dunia fasis.
3.1.
Nietzsche dan Kehendak untuk
Berkuasa
Salah satu pengaruh
penting terhadap mentalitas fasisme adalah filsafat Friedrich Nietzsche,
khususnya gagasan tentang der Wille zur Macht (kehendak untuk
berkuasa). Meskipun Nietzsche sendiri tidak pernah mendukung sistem otoriter,
banyak elemen dalam filsafatnya—seperti penolakannya terhadap moralitas
Kristen, kritik terhadap kesetaraan, dan glorifikasi tokoh Übermensch—telah
diadaptasi secara selektif oleh para ideolog fasis untuk membenarkan supremasi
bangsa dan kepemimpinan karismatik.1 Gagasan
Nietzsche tentang dekonstruksi nilai-nilai universal juga digunakan untuk
menyerang rasionalisme dan humanisme liberal yang dianggap lemah dan dekaden.
3.2.
Georges Sorel dan Mitos Kekerasan
Georges Sorel,
seorang pemikir revolusioner Prancis, memberi kontribusi penting bagi fasisme
melalui konsep “mitos politik.” Dalam karyanya Reflections on Violence, Sorel
menyatakan bahwa kekerasan bukan hanya dapat dibenarkan, tetapi juga dapat
membangkitkan energi kolektif melalui mitos-mitos heroik seperti pemogokan umum
atau kebangkitan nasional.2 Walau Sorel sendiri
seorang sosialis, pemikiran ini kemudian diadopsi oleh ideolog fasis yang
percaya bahwa tindakan kekerasan yang direkayasa secara simbolik mampu
menciptakan solidaritas nasional dan regenerasi sosial.
3.3.
Giovanni Gentile dan Idealisme
Aktualistik
Kontribusi filosofis
paling langsung dan eksplisit terhadap fasisme datang dari Giovanni Gentile,
yang dikenal sebagai “filsuf resmi” rezim Mussolini. Gentile
mengembangkan Aktualisme, sebuah bentuk idealisme
Hegelian yang menggabungkan negara dan roh kolektif dalam satu entitas
spiritual yang tak terpisahkan. Dalam kerangka ini, negara bukanlah instrumen
netral, melainkan ekspresi tertinggi dari kehendak moral masyarakat. Bagi
Gentile, kebebasan sejati hanya dapat terwujud dalam kesatuan dengan negara
fasis, dan individu tidak memiliki makna di luar perannya dalam keseluruhan
organis negara.3 Doktrin Gentile memberikan
legitimasi filosofis terhadap statolatri (kultus negara) dan supremasi
pemimpin.
3.4.
Penolakan terhadap Rasionalisme dan
Individualisme Modern
Fasisme juga berakar
pada penolakan terhadap warisan rasionalisme dan individualisme yang diwariskan
oleh Pencerahan. Dalam pandangan fasis, manusia bukanlah subjek otonom yang
bebas membuat pilihan moral secara independen, melainkan bagian dari suatu
kolektivitas historis dan biologis yang lebih besar. Oleh karena itu, kebebasan
individu dianggap sebagai ilusi liberal yang justru melemahkan kekuatan bangsa.
Fasisme, dalam hal ini, bersifat anti-modern, meskipun secara paradoksia
menggunakan teknologi modern untuk menyebarkan propaganda dan memperkuat
kontrol sosial.4
3.5.
Sintesis antara Romantisisme dan
Voluntarisme Politik
Selain filsafat
idealis dan kekerasan revolusioner, fasisme juga mengambil inspirasi dari
romantisisme Eropa abad ke-19 yang menekankan emosi, intuisi, dan mitos
kolektif. Romantisisme memberikan landasan estetis dan spiritual bagi
kebangkitan nasionalisme fasis. Di sisi lain, fasisme juga menganut voluntarisme
politik yang menekankan tindakan dan kemauan sebagai dasar realitas
sosial. Seperti ditunjukkan oleh Roger Griffin, inti dari fasisme adalah mitos
tentang “regenerasi nasional”—keyakinan bahwa bangsa harus dilahirkan
kembali melalui revolusi yang bersifat purgatif dan otoriter.5
Dengan demikian,
akar filosofis fasisme bukanlah monolitik atau tunggal, tetapi merupakan hasil
sintesis yang ambigu dari berbagai tradisi pemikiran yang memiliki kesamaan
dalam kritik terhadap modernitas liberal, universalisme rasional, dan atomisme
individual. Justru dalam keragaman inilah fasisme menemukan fleksibilitasnya
untuk menyatu dengan narasi lokal dan aspirasi politik yang berbeda-beda dalam
konteks historis yang spesifik.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 90–91; lihat juga Zeev Sternhell, The
Birth of Fascist Ideology (Princeton: Princeton University Press, 1994),
17–19.
[2]
Georges Sorel, Reflections on Violence, trans. Thomas E. Hulme
(New York: Cambridge University Press, 1999), 38–41.
[3]
Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H.
S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 20–23.
[4]
Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A.
Knopf, 2004), 10–12.
[5]
Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge,
1991), 32–35.
4.
Sejarah dan Perkembangan Fasisme
Fasisme sebagai
gerakan dan ideologi politik muncul secara signifikan pada awal abad ke-20,
khususnya di tengah krisis multidimensional yang melanda Eropa pasca-Perang
Dunia I. Munculnya fasisme ditandai dengan pergeseran radikal dari tatanan
liberal-parlementer yang dianggap gagal mengatasi ketimpangan sosial, inflasi,
dan kekacauan politik. Dalam konteks ini, fasisme menawarkan alternatif
otoritarian yang menjanjikan keteraturan, identitas nasional, dan kejayaan
bangsa melalui persatuan total di bawah satu negara kuat.
4.1.
Fasisme Italia: Awal Mula Ideologi
Fasisme pertama kali
muncul secara eksplisit sebagai gerakan politik di Italia melalui pendirian Partito
Nazionale Fascista (Partai Fasis Nasional) oleh Benito Mussolini
pada tahun 1921. Mussolini, mantan sosialis revolusioner yang kecewa terhadap
gerakan kiri, menyusun narasi baru yang menggabungkan nasionalisme,
militerisme, dan voluntarisme politik. Pada 1922, melalui Marcia
su Roma (Pawai ke Roma), Mussolini berhasil merebut kekuasaan
secara semi-legal dan membentuk negara fasis pertama di dunia modern.1
Fasisme Italia
bercorak korporatis, di mana negara memediasi antara buruh dan pengusaha
melalui lembaga-lembaga yang dikendalikan pusat. Kebebasan pers, hak politik
oposisi, dan institusi demokrasi dihapuskan secara sistematis. Mussolini
menciptakan kultus kepemimpinan dan menyusun struktur negara totaliter yang
menembus hingga ruang privat warganya. Meskipun demikian, fasisme Italia tidak
mengandung unsur antisemitisme sistemik seperti yang terjadi di Jerman, meskipun
kemudian Mussolini mengadopsi kebijakan rasial pada akhir 1930-an karena
pengaruh aliansinya dengan Nazi.2
4.2.
Nazisme di Jerman: Fasisme Rasial
dan Totalitarianisme Ekstrem
Variasi paling
radikal dari fasisme terwujud dalam bentuk Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei
(NSDAP) di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Meskipun Hitler menyebut gerakannya
sebagai "nasional-sosialis", ideologi yang ia bangun sejatinya
merupakan bentuk ekstrem dari fasisme yang menyatukan ultranasionalisme,
totalitarianisme, dan rasialisme biologis. Setelah kegagalan Putsch
tahun 1923, Hitler mereorganisasi partainya dan akhirnya diangkat sebagai
Kanselir Jerman pada tahun 1933 melalui jalur konstitusional. Namun dalam waktu
singkat, ia menghapuskan sistem parlementer dan membangun kediktatoran total.3
Nazisme memiliki
dimensi ideologis yang lebih sistematik dalam hal rasialisme. Konsep Volksgemeinschaft
(komunitas rakyat) dan Lebensraum (ruang hidup) digunakan
untuk membenarkan pengusiran dan pemusnahan kelompok-kelompok non-Aria,
terutama Yahudi. Holocaust sebagai puncak kekejaman negara Nazi menjadi titik
kulminasi dari logika fasis yang menjadikan kekerasan, pemurnian identitas, dan
supremasi bangsa sebagai proyek kenegaraan.4
4.3.
Fasisme di Negara-Negara Lain
Selain Italia dan Jerman,
berbagai gerakan fasis muncul di negara lain, meskipun dengan intensitas dan
bentuk yang berbeda. Di Spanyol, Francisco Franco memimpin gerakan nasionalis
yang mendapatkan dukungan dari elemen-elemen fasis, meski rejim Franco lebih
bercorak otoriter-militeristik daripada ideologis. Di Portugal, António de
Oliveira Salazar membentuk negara otoriter konservatif yang disebut Estado
Novo.
Jepang era Showa
(1926–1989), terutama di bawah pengaruh militerisme dan Shintoisme negara, memperlihatkan
karakteristik fasis dalam bentuk ekspansionisme, nasionalisme spiritual, dan
ketaatan mutlak terhadap Kaisar sebagai simbol sakral bangsa. Sementara di
Brasil, Plínio Salgado mendirikan Ação Integralista Brasileira yang
mengadopsi simbol dan retorika fasis Eropa.5
4.4.
Penyebab dan Konteks Sosial-Kultural
Fasisme muncul dalam
konteks kehancuran sosial dan psikologis pasca-perang, krisis ekonomi,
ketidakpercayaan terhadap elite liberal, serta ketakutan akan komunisme.
Fasisme memanfaatkan nostalgia terhadap masa lalu, trauma kolektif, dan mitos
kebangkitan nasional untuk menggalang dukungan massa. Ia menggunakan estetika
simbolik, propaganda, dan mobilisasi emosional sebagai alat politisasi ruang
publik.6
Sebagaimana dicatat
oleh sejarawan Roger Griffin, fasisme adalah “mitos tentang regenerasi
nasional dalam menghadapi dekadensi,” dan dalam kapasitas tersebut, ia
menjanjikan bukan hanya stabilitas, tetapi juga transformasi radikal masyarakat
ke arah utopia otoritarian yang dibayangkan.7
Footnotes
[1]
Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison:
University of Wisconsin Press, 1995), 85–88.
[2]
Emilio Gentile, Fascism: A Political Religion (Princeton:
Princeton University Press, 2006), 72–76.
[3]
Ian Kershaw, Hitler: A Biography (New York: W.W. Norton,
2008), 223–229.
[4]
Richard J. Evans, The Third Reich in Power, 1933–1939 (New
York: Penguin, 2005), 84–97.
[5]
Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 91–95.
[6]
Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A.
Knopf, 2004), 54–61.
[7]
Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge,
1991), 26.
5.
Fasisme dalam Perspektif Filsafat Politik
Dalam kerangka
filsafat politik, fasisme muncul sebagai antitesis dari gagasan-gagasan dasar
yang diwariskan oleh tradisi Pencerahan dan liberalisme modern. Jika
liberalisme menekankan kebebasan individu, supremasi hukum, dan kedaulatan
rakyat, maka fasisme justru mendekonstruksi prinsip-prinsip tersebut dengan
mengedepankan kehendak kolektif, supremasi negara, dan otoritas tanpa oposisi.
Oleh karena itu, memahami fasisme dalam perspektif filsafat politik memerlukan
eksplorasi terhadap posisi ideologisnya dalam isu-isu mendasar seperti negara,
individu, kekuasaan, kebebasan, hukum, dan masyarakat.
5.1.
Pandangan Fasis terhadap Negara dan
Individu
Fasisme memandang
negara sebagai entitas organik dan transendental yang berada di atas individu.
Dalam kerangka ini, negara bukan sekadar kontrak sosial atau institusi politik,
tetapi merupakan ekspresi spiritual dari identitas nasional dan moral kolektif.
Giovanni Gentile, filsuf utama fasisme Italia, menyatakan bahwa “individu
tidak memiliki realitas di luar negara, karena kesadaran moralnya hanya dapat
diwujudkan melalui pengabdian pada negara.”1 Dengan
demikian, dalam logika fasis, individu tidak memiliki nilai atau hak asasi yang
independen dari negara.
Negara dalam sistem
fasis juga berfungsi sebagai medium supremasi kehendak kolektif. Ia mengatur
seluruh aspek kehidupan masyarakat: ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan
ekspresi estetis. Dalam model ini, negara bukanlah pelayan masyarakat, tetapi
pelaku utama dalam menciptakan tatanan moral dan politik yang absolut.
5.2.
Kekuasaan dan Kepemimpinan
Karismatik
Kekuasaan dalam
sistem fasis tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip konstitusional atau hukum
normatif. Ia bersifat personalistik, terpusat, dan dijustifikasi melalui kultus
pemimpin (leader
cult). Pemimpin fasis tidak hanya berperan sebagai kepala
pemerintahan, tetapi juga sebagai figur simbolik yang dianggap mewujudkan
kehendak historis bangsa. Konsep ini paralel dengan gagasan Führerprinzip
dalam Nazisme, yaitu prinsip kepemimpinan mutlak yang menolak prinsip
deliberatif dalam pengambilan keputusan politik.2
Kepemimpinan fasis
menuntut loyalitas total dan meniadakan ruang kritik. Sebagai konsekuensinya,
institusi demokratis seperti parlemen, pengadilan independen, dan media bebas
dianggap sebagai penghambat tercapainya kehendak nasional. Fasisme dengan
demikian mengidentifikasi legitimasi kekuasaan bukan dari persetujuan rakyat,
melainkan dari performa simbolik dan kekuatan mobilisasi massa.
5.3.
Penolakan terhadap Pluralisme dan
Rasionalitas Politik
Dalam filsafat
politik modern, pluralisme dan deliberasi merupakan fondasi dari sistem
demokrasi liberal. Fasisme secara eksplisit menolak keduanya. Ia menolak pluralisme
karena dianggap melemahkan kesatuan bangsa, dan menolak rasionalitas politik
karena meyakini bahwa kebenaran politik bukan hasil argumen, tetapi manifestasi
dari kekuatan dan tindakan.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Robert Paxton, fasisme lebih memihak pada aksi, insting, dan
emosionalitas daripada refleksi rasional. Ideologi ini menganggap perdebatan
politik sebagai bentuk dekadensi dan kelemahan. Oleh sebab itu, pengetahuan
politik dalam sistem fasis bersifat dogmatis dan satu arah: berasal dari negara
kepada warga, bukan sebaliknya.3
5.4.
Konsepsi Kebebasan, Hukum, dan
Masyarakat
Fasisme memiliki
definisi yang sangat terbatas tentang kebebasan. Dalam sistem liberal,
kebebasan dipahami sebagai hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri dalam
batas hukum yang adil. Namun dalam sistem fasis, kebebasan adalah “kebebasan
untuk taat”, yakni kebebasan yang hanya sah bila digunakan dalam kerangka
kepentingan negara. Mussolini secara eksplisit menyatakan bahwa “segala
sesuatu dalam negara, tidak ada yang di luar negara, tidak ada yang melawan
negara.”4
Hukum dalam sistem
fasis bukan merupakan produk deliberasi demokratis, tetapi alat untuk
mewujudkan tujuan negara. Maka hukum bersifat fleksibel dan subordinatif
terhadap kekuasaan eksekutif. Kehidupan sosial masyarakat diatur sedemikian
rupa agar selaras dengan mitos nasional dan identitas kolektif yang
dikonstruksi secara ideologis.
5.5.
Fasisme sebagai Politik Total
Fasisme dapat
dikategorikan sebagai bentuk politik total karena ambisinya
tidak hanya membatasi diri pada penguasaan kekuasaan negara, tetapi juga
meresap ke dalam kesadaran kolektif, ritual budaya, dan struktur moral
masyarakat. Dalam hal ini, fasisme memiliki kesamaan dengan agama politik.
Emilio Gentile bahkan menyebut fasisme sebagai bentuk sakralisasi
politik, yaitu transformasi ideologi politik menjadi sistem
kepercayaan total yang menuntut kepatuhan mutlak dan pengorbanan pribadi atas
nama bangsa dan negara.5
Footnotes
[1]
Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H.
S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 26.
[2]
Ian Kershaw, Hitler: A Biography (New York: W. W. Norton,
2008), 276–278.
[3]
Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A.
Knopf, 2004), 220–224.
[4]
Benito Mussolini, The Doctrine of Fascism (Florence: Vallecchi
Editore, 1932), 13.
[5]
Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton
University Press, 2006), 134–138.
6.
Kritik Terhadap Fasisme
Sebagai sebuah
ideologi dan sistem politik, fasisme telah menjadi objek kritik yang luas dan
tajam dari berbagai perspektif filsafat sosial-politik. Kritik terhadap fasisme
tidak hanya berfokus pada praktik represif dan brutalitas sejarahnya, tetapi
juga pada fondasi filosofis dan etika yang menopangnya. Fasisme dituduh tidak
hanya sebagai bentuk ekstrem otoritarianisme, tetapi juga sebagai distorsi
terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan, akal budi, dan keadilan sosial. Kritik
ini datang dari berbagai aliran pemikiran, termasuk liberalisme, Marxisme,
eksistensialisme, dan humanisme.
6.1.
Kritik dari Perspektif Liberalisme
Klasik
Dari sudut pandang
liberal, fasisme dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip kebebasan
individu, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Para pemikir liberal seperti
Isaiah Berlin dan Karl Popper menegaskan bahwa fasisme mempromosikan
kolektivisme yang menindas serta menolak pluralitas opini yang esensial dalam
masyarakat bebas.1 Popper secara khusus
mengkritik fondasi totalitarian dari fasisme dalam The Open Society and Its Enemies,
dengan menekankan bahwa pemerintahan otoriter fasis menutup ruang bagi kritik
rasional, eksperimen politik, dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Liberal kritis
terhadap dogmatisme ideologis fasis yang menolak debat dan deliberasi publik.
Dalam sistem fasis, kebebasan berbicara dan oposisi dianggap sebagai ancaman
terhadap kesatuan nasional, sehingga individu dilucuti dari peran mereka
sebagai warga negara otonom. Dengan kata lain, fasisme menolak elemen-elemen
dasar dari proyek pencerahan yang menempatkan akal budi sebagai instrumen
kemajuan politik dan moral.
6.2.
Kritik dari Perspektif Marxisme dan
Sosialisme
Para pemikir Marxis
seperti Antonio Gramsci dan Georg Lukács melihat fasisme sebagai bentuk reaksi
kelas borjuis terhadap ancaman revolusi proletar. Dalam perspektif ini, fasisme
bukanlah ideologi independen, melainkan alat kelas kapitalis untuk
mempertahankan status quo melalui aliansi dengan militerisme dan nasionalisme
ekstrem.2 Gramsci, yang dipenjara oleh rezim Mussolini,
menyatakan bahwa fasisme muncul karena ketidakmampuan borjuasi untuk
mempertahankan hegemoni melalui cara-cara demokratis.
Marxisme juga
mengkritik fasisme karena menolak solidaritas kelas dan menggantikannya dengan
solidaritas nasional, yang dianggap sebagai ilusi untuk membelokkan perhatian
kaum tertindas dari perjuangan sosial yang sejati. Lebih jauh, dalam kerangka
Marxis ortodoks, fasisme adalah bentuk “bonapartisme” baru yang menindas
kelas pekerja dan menumpas gerakan kiri demi stabilitas kapitalisme
monopolistik.3
6.3.
Kritik dari Perspektif
Eksistensialisme dan Humanisme
Eksistensialis
seperti Jean-Paul Sartre mengecam fasisme sebagai bentuk nihilisme
terorganisasi yang menyangkal kebebasan dan tanggung jawab moral individu.
Dalam fasisme, eksistensi manusia direduksi menjadi instrumen negara, dan
identitas pribadi digantikan oleh fungsi sosial-politik yang ditentukan dari
atas.4
Humanisme secara
umum menolak ideologi fasis karena mendiskreditkan nilai-nilai universal
seperti martabat manusia, kasih sayang, dan empati. Dalam sistem fasis, manusia
tidak dinilai berdasarkan kualitas moral atau intelektualnya, tetapi
berdasarkan afiliasi rasial, etnik, atau ideologis. Hal ini membuka jalan bagi
diskriminasi sistemik dan bahkan genosida, sebagaimana dibuktikan oleh
Holocaust dan pembersihan etnis lainnya di bawah rezim fasis.5
6.4.
Kritik Etis dan Teologis
Dari perspektif
etika normatif, fasisme dianggap sebagai pelanggaran mendasar terhadap prinsip
keadilan, kebenaran, dan otonomi moral. Pandangan deontologis seperti yang
dikemukakan Immanuel Kant akan menolak fasisme karena memperlakukan manusia
hanya sebagai alat bagi tujuan negara, bukan sebagai tujuan pada dirinya
sendiri.6 Dalam etika utilitarian pun, penderitaan massal
yang dihasilkan oleh sistem fasis tidak dapat dibenarkan oleh argumen efisiensi
atau stabilitas.
Sementara itu,
banyak tokoh agama—baik dari Kristen, Yahudi, maupun Islam—mengecam fasisme
karena memperbudak jiwa manusia kepada berhala negara dan menyingkirkan
nilai-nilai spiritual yang luhur. Paus Pius XI dalam ensiklik Mit
Brennender Sorge (1937) secara tegas menolak Nazisme karena
menyamakan ras dan negara sebagai objek pemujaan.7
6.5.
Fasisme sebagai Patologi Sosial dan
Politik
Selain kritik dari
aliran pemikiran tertentu, fasisme juga dipandang sebagai gejala patologi
sosial. Sejarawan Robert Paxton dan sosiolog Theodor W. Adorno menekankan bahwa
fasisme bukan hanya produk ideologis, melainkan juga hasil dari ketakutan
kolektif, trauma sejarah, dan kebutuhan psikologis akan kepastian dan identitas
absolut dalam masyarakat yang mengalami disorientasi.8
Dalam The
Authoritarian Personality, Adorno menunjukkan bahwa kepribadian
otoriter cenderung berkembang dalam lingkungan yang menindas dan hierarkis, dan
bahwa fasisme tumbuh subur ketika masyarakat gagal menumbuhkan kesadaran kritis
dan empati sosial. Oleh sebab itu, pencegahan terhadap kembalinya fasisme tidak
hanya memerlukan reformasi politik, tetapi juga pendidikan karakter dan
pembudayaan nilai-nilai demokratis.
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1
(Princeton: Princeton University Press, 1966), 117–120.
[2]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 236–239.
[3]
Georg Lukács, The Destruction of Reason, trans. Peter Palmer
(London: Merlin Press, 1981), 465–467.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, trans. Philip
Mairet (London: Methuen, 1948), 28–32.
[5]
Richard J. Evans, The Third Reich at War, 1939–1945 (New York:
Penguin, 2008), 242–249.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.
[7]
Pope Pius XI, Mit Brennender Sorge, 1937. In The Papal
Encyclicals 1903–1939, ed. Claudia Carlen (Raleigh: McGrath, 1981),
418–425.
[8]
Theodor W. Adorno et al., The Authoritarian Personality (New
York: Harper & Row, 1950), 471–478; Robert O. Paxton, The Anatomy of
Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 170–174.
7.
Fasisme dalam Wacana Kontemporer
Meskipun secara
historis fasisme mengalami kejatuhan setelah kekalahan Blok Poros dalam Perang
Dunia II, wacana dan semangat ideologisnya tidak benar-benar hilang. Justru
dalam dekade-dekade terakhir, banyak pengamat dan akademisi mencatat
kebangkitan varian baru dari fasisme dalam bentuk yang lebih terselubung namun
tidak kalah berbahaya—sebuah fenomena yang sering disebut sebagai neofasisme
atau fasisme
pascamodern. Konteks globalisasi, krisis identitas, ketimpangan
ekonomi, dan disrupsi digital telah menjadi lahan subur bagi munculnya kembali
retorika fasis dengan wajah baru.
7.1.
Neofasisme dan Mutasi Ideologis
Neofasisme bukanlah
salinan literal dari fasisme klasik (seperti Nazisme atau Fasisme Italia),
melainkan bentuk baru yang menyerap elemen lama—seperti ultranasionalisme,
anti-imigrasi, dan sentimen anti-demokrasi—ke dalam konfigurasi sosial-politik
yang lebih mutakhir. Gerakan neofasis kontemporer sering memanfaatkan simbol
budaya populer, wacana internet, dan bahkan teori konspirasi untuk menggalang
dukungan.1
Menurut Roger
Griffin, ciri utama neofasisme adalah palingenetic ultranationalism,
yaitu keyakinan bahwa bangsa tertentu sedang mengalami dekadensi dan
membutuhkan kelahiran kembali melalui pembersihan identitas dan pemusatan
kekuasaan.2 Meskipun tidak selalu
menampilkan diri secara terang-terangan sebagai “fasis,” banyak gerakan
politik saat ini menggunakan narasi serupa: glorifikasi masa lalu, demonisasi “yang
lain,” dan penolakan terhadap pluralisme liberal.
7.2.
Populisme Sayap Kanan dan Politik
Identitas
Kebangkitan
populisme sayap kanan di berbagai belahan dunia telah membangkitkan kembali
elemen-elemen diskursif fasisme klasik. Pemimpin-pemimpin seperti Donald Trump
di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orbán di Hungaria, dan
Marine Le Pen di Prancis telah menggunakan retorika identitas nasional,
kecurigaan terhadap minoritas, dan seruan untuk “mengembalikan kejayaan
bangsa” sebagai bagian dari strategi politik mereka.3
Dalam konteks ini,
istilah “fasisme” sering kali digunakan secara longgar dalam debat
publik. Namun, sebagaimana diperingatkan oleh Jason Stanley dalam bukunya How
Fascism Works, yang perlu diperhatikan bukanlah label formal,
melainkan pola retoris dan kebijakan: kebohongan sistematis, penyerangan
terhadap media bebas, glorifikasi kekerasan, dan pelemahan institusi demokrasi.4
7.3.
Peran Media Sosial dan Disinformasi
Digital
Salah satu faktor
pembeda utama antara fasisme klasik dan fasisme kontemporer adalah peran
teknologi komunikasi. Di era digital, media sosial telah menjadi alat efektif
dalam menyebarkan ideologi fasisme baru. Platform seperti Facebook, Twitter
(X), dan Telegram digunakan oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan untuk
menyebarkan propaganda, menyebarkan hoaks, dan membangun komunitas tertutup
yang radikal.
Riset dari The
Institute for Strategic Dialogue menunjukkan bahwa algoritma media sosial
sering kali mendorong pengguna menuju konten ekstrem melalui mekanisme
keterlibatan (engagement-based algorithms),
sehingga mempercepat proses radikalisasi.5 Fenomena
ini menunjukkan bahwa fasisme tidak lagi membutuhkan negara totaliter untuk
menyebar—ia cukup membutuhkan jaringan, simbol, dan narasi yang bersifat viral.
7.4.
Identitarianisme dan Revivalisme
Kultural
Di Eropa dan Amerika
Utara, muncul gerakan identitarianisme yang mengklaim membela “warisan
budaya Eropa” dari ancaman imigrasi dan multikulturalisme. Kelompok seperti
Generation
Identity di Prancis dan The Proud Boys di AS menunjukkan
bagaimana simbol-simbol lama (salib, bendera, mitos keagungan ras) dihidupkan
kembali dalam konteks pasca-sekular yang penuh kegelisahan.6
Meski gerakan ini
sering menyangkal keterkaitannya dengan fasisme, ideologi mereka menunjukkan
kemiripan dengan logika eksklusivisme etnis dan politik “darah dan tanah”
(Blut und Boden) yang menjadi ciri khas fasisme klasik. Alih-alih
menyerukan perang fisik, mereka menyuarakan “perang budaya” untuk
mempertahankan identitas Barat dari kontaminasi “asing”.
7.5.
Wacana Akademik dan Perdebatan
Semantik
Di kalangan
akademik, diskusi tentang fasisme kontemporer masih terus berkembang. Sebagian
sarjana, seperti Stanley dan Griffin, menyarankan perlunya memahami fasisme
sebagai ideologi
elastis yang bisa muncul dalam berbagai bentuk dan konteks. Yang
lain, seperti Ruth Ben-Ghiat, menyoroti kesinambungan antara rezim otoriter
modern dan estetika serta retorika fasis lama.7
Namun, ada pula
kritik terhadap penggunaan istilah “fasisme” secara berlebihan dalam
wacana publik, yang dianggap berpotensi menurunkan maknanya dan menjadikannya
sebagai istilah retoris belaka. Oleh karena itu, tantangan kontemporer adalah
mengidentifikasi elemen-elemen inti fasisme secara kritis dan kontekstual,
tanpa mengabaikan perbedaannya dengan bentuk historis.
Kesimpulan
Sementara
Fasisme tidak lagi
hadir dalam seragam militer atau pidato bombastis dari balkon istana. Ia
bergerak melalui algoritma, meme, slogan, dan retorika nasionalistik yang
mengakar pada kecemasan dan disorientasi publik. Meskipun transformasi
bentuknya kompleks, esensi fasisme tetap bertumpu pada ide-ide tentang
kemurnian, kepatuhan mutlak, kekuasaan tanpa oposisi, dan penciptaan “musuh
bersama.” Memahami fasisme dalam konteks kontemporer adalah langkah penting
untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan di tengah pusaran
informasi dan ketegangan global.
Footnotes
[1]
Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press,
2019), 33–36.
[2]
Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge,
1991), 38.
[3]
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump,
Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press,
2019), 92–97.
[4]
Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them
(New York: Random House, 2018), 35–41.
[5]
Institute for Strategic Dialogue, Hate in the Machine: Anti-Black
Racism and Algorithmic Amplification on YouTube (London: ISD, 2020),
11–17.
[6]
Jean-Yves Camus and Nicolas Lebourg, Far-Right Politics in Europe
(Cambridge: Harvard University Press, 2017), 64–70.
[7]
Ruth Ben-Ghiat, Strongmen: Mussolini to the Present (New York:
W. W. Norton, 2020), 147–151.
8.
Analisis Perbandingan: Fasisme dan Aliran Lain
dalam Filsafat Sosial-Politik
Fasisme sebagai
ideologi sosial-politik sering diposisikan sebagai lawan dari aliran-aliran
besar lain dalam spektrum filsafat politik modern. Meskipun memiliki titik temu
tertentu dengan ideologi lain dalam hal kritik terhadap liberalisme atau
modernitas, fasisme tetap menampilkan wajah yang khas—terutama dalam hal
pemujaan terhadap negara, penolakan terhadap pluralisme, dan legitimasi
kekerasan. Untuk memperjelas karakteristiknya, bagian ini menyajikan
perbandingan kritis antara fasisme dan tiga aliran besar lainnya: liberalisme,
sosialisme,
dan anarkisme.
8.1.
Fasisme vs. Liberalisme: Otonomi
Individu dan Kekuasaan Negara
Dalam tradisi
liberalisme, terutama sebagaimana dikembangkan oleh John Locke dan John Stuart
Mill, negara dibatasi oleh hukum dan dipandang sebagai penjaga hak-hak individu
yang bersifat kodrati, seperti kebebasan berpendapat, kepemilikan, dan
kebebasan beragama. Liberalisme menekankan bahwa kekuasaan negara harus
bersifat kontraktual dan dapat dikoreksi melalui institusi demokratis dan
sistem hukum yang adil.1
Sebaliknya, fasisme
menolak ide tentang kebebasan individu yang terpisah dari kehendak negara.
Dalam pandangan fasis, individu hanya memiliki makna sejauh ia menjadi bagian
dari tubuh kolektif nasional. Negara tidak dilihat sebagai hasil perjanjian
sosial, melainkan sebagai entitas hidup yang memiliki kehendak dan misi
historis tersendiri.2 Maka, di mana liberalisme
mengutamakan negara minimal dan kebebasan sipil,
fasisme justru menegaskan negara total dan subordinasi
individu.
8.2.
Fasisme vs. Sosialisme: Kelas vs. Bangsa
Sosialisme, terutama
dalam versi Marxisnya, menempatkan konflik kelas sebagai motor utama perubahan
sosial. Negara dalam sosialisme ideal adalah alat sementara untuk menghapus
ketimpangan kelas dan menuju masyarakat tanpa eksploitasi. Solidaritas kelas
pekerja dan perjuangan melawan kapitalisme menjadi agenda utama sosialisme.3
Fasisme menolak
pendekatan kelas sebagai dasar masyarakat dan menggantinya dengan kesatuan
nasional yang anti-klasistis. Fasisme menganggap konflik kelas sebagai elemen
destruktif yang mengancam integritas bangsa. Oleh karena itu, dalam sistem
fasis, hubungan antara buruh dan kapital difasilitasi negara dalam kerangka
korporatis yang mengutamakan kolaborasi dan subordinasi terhadap tujuan
nasional.4
Secara filosofis,
sosialisme cenderung bersandar pada cita-cita keadilan distributif dan
emansipasi kolektif, sedangkan fasisme berpijak pada mitos regenerasi bangsa
dan supremasi kekuasaan yang terpusat. Meskipun keduanya kritis terhadap
liberalisme, sosialisme bersifat egalitarian, sementara fasisme bersifat
hierarkis dan eksklusivistik.
8.3.
Fasisme vs. Anarkisme: Otoritas vs.
Anti-Otoritas
Anarkisme,
sebagaimana dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Peter
Kropotkin, berangkat dari keyakinan bahwa semua bentuk kekuasaan koersif—baik
negara, militer, maupun agama—adalah sumber penindasan dan harus dihapuskan.
Anarkisme menekankan kebebasan individual dan solidaritas sukarela dalam
komunitas otonom yang anti-hierarkis.5
Fasisme, sebaliknya,
mendewakan kekuasaan dan otoritas. Kekuasaan politik dalam sistem fasis
dianggap sebagai manifestasi kehendak kolektif yang harus dipatuhi secara
total. Jika anarkisme membayangkan tatanan sosial tanpa paksaan, fasisme
menegaskan pentingnya paksaan demi ketertiban dan regenerasi nasional.
Anarkisme menolak
simbolisme nasionalisme dan konsep negara-bangsa, sedangkan fasisme justru
menjadikannya pusat ideologi. Kedua aliran ini mungkin sama-sama anti-liberal
dalam kritiknya terhadap kapitalisme atau demokrasi parlementer, namun mereka
bertolak belakang secara ontologis dalam memandang peran negara dan kekuasaan.
8.4.
Letak Fasisme dalam Spektrum
Ideologis
Penempatan fasisme
dalam spektrum kiri–kanan politik kerap menjadi perdebatan. Sementara banyak
yang mengklasifikasikan fasisme sebagai ideologi sayap kanan ekstrem karena
kedekatannya dengan nasionalisme, militerisme, dan konservatisme kultural,
beberapa elemen fasisme—seperti retorika anti-kapitalis atau sistem
korporatis—juga menunjukkan nuansa kiri.6
Namun, seperti
dijelaskan oleh Zeev Sternhell, fasisme pada hakikatnya adalah sintesis
eksklusif dari elemen-elemen kanan dan kiri yang disusun bukan atas
dasar prinsip rasional, melainkan atas narasi regenerasi emosional bangsa
melalui otoritarianisme dan kekerasan kreatif.7 Dengan
demikian, fasisme lebih tepat dipahami sebagai ideologi hibrida dan adaptif
ketimbang sekadar kanan atau kiri.
Kesimpulan
Sementara
Dari perbandingan
ini, tampak bahwa fasisme memiliki posisi unik dalam lanskap filsafat
sosial-politik: ia menolak kebebasan liberal, keadilan sosialisme, dan
anarkisme anti-otoritas, sembari menawarkan suatu bentuk kolektivitas yang
agresif, eksklusif, dan estetis. Fasisme menjanjikan keteraturan dan kejayaan,
tetapi dengan harga penyerahan total terhadap negara. Dalam konteks ini,
pemahaman filosofis terhadap perbedaan fundamental antara fasisme dan aliran
lain menjadi penting untuk mencegah penyusupan ide-ide totaliter dalam
bentuk-bentuk retoris yang lebih halus pada zaman kontemporer.
Footnotes
[1]
John Stuart Mill, On Liberty (London: Penguin Classics, 1982),
13–18; John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.
[2]
Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H.
S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 22.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (New
York: International Publishers, 1948), 16–22.
[4]
Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison:
University of Wisconsin Press, 1995), 158–163.
[5]
Peter Kropotkin, The Conquest of Bread (New York: New York
University Press, 1972), 78–82; Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 48.
[6]
Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 110–113.
[7]
Zeev Sternhell, The Birth of Fascist Ideology (Princeton:
Princeton University Press, 1994), 5–9.
9.
Relevansi Kajian Fasisme dalam Pendidikan dan
Wacana Kritis
Dalam konteks abad
ke-21 yang ditandai oleh krisis demokrasi, disinformasi digital, dan bangkitnya
populisme otoriter, kajian tentang fasisme menjadi sangat mendesak untuk
dikembangkan dalam ruang-ruang pendidikan dan wacana kritis. Fasisme tidak lagi
hanya menjadi topik sejarah masa lalu, tetapi telah menjelma menjadi fenomena
politik-kultural kontemporer yang mengancam nilai-nilai kebebasan, keberagaman,
dan rasionalitas publik. Oleh karena itu, pendidikan kritis yang mengulas
secara mendalam akar, bentuk, dan dinamika ideologi fasis menjadi bagian
penting dari pembentukan kesadaran kewargaan yang tangguh dan reflektif.
9.1.
Pendidikan Politik dan Literasi
Ideologis
Salah satu tugas
utama pendidikan dalam masyarakat demokratis adalah membekali peserta didik
dengan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengkritisi berbagai ideologi
politik yang pernah dan masih eksis. Dalam hal ini, pemahaman yang mendalam
tentang fasisme berfungsi sebagai peringatan historis dan pelajaran moral.
Sebagaimana diungkapkan oleh George Santayana, “Those who cannot remember
the past are condemned to repeat it.”1
Kajian tentang
fasisme dapat membantu peserta didik mengidentifikasi ciri-ciri utama dari
kecenderungan otoriter dan manipulasi massal, seperti kultus kepemimpinan,
penggunaan musuh imajiner, glorifikasi kekerasan, dan pembungkaman kritik.
Pengetahuan ini tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga
transformatif—mengajak siswa untuk menjadi warga negara yang waspada, empatik,
dan rasional dalam menghadapi retorika ekstrem.
9.2.
Pembentukan Kesadaran Historis dan
Moral
Sejarah fasisme
adalah sejarah pelanggaran besar terhadap kemanusiaan—Holocaust, genosida,
perang agresif, dan penindasan sistematis terhadap kebebasan dasar. Oleh karena
itu, pengajaran tentang fasisme tidak cukup hanya menyampaikan fakta-fakta
sejarah, tetapi harus disertai dengan refleksi etis mengenai nilai-nilai dasar
seperti martabat manusia, tanggung jawab sosial, dan solidaritas.
Paulo Freire dalam Pedagogy
of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan harus membangkitkan
kesadaran kritis (conscientização) yang memungkinkan
peserta didik memahami hubungan antara kekuasaan, ideologi, dan penindasan.2
Dalam konteks ini, kajian fasisme menjadi sarana penting untuk mengembangkan
pendidikan sebagai praksis pembebasan, bukan sekadar transmisi informasi.
9.3.
Penangkal terhadap Disinformasi dan
Politik Kebencian
Era digital telah
melahirkan tantangan baru dalam bentuk penyebaran hoaks, teori konspirasi, dan
polarisasi ideologis yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem kanan.
Dalam kondisi ini, pendidikan memiliki tanggung jawab ganda: membangun
kemampuan berpikir kritis dan media literacy yang kuat, serta menanamkan
nilai-nilai kebebasan berpikir, toleransi, dan keberagaman.
Studi oleh Henry
Giroux menunjukkan bahwa kebangkitan fasisme pascamodern sering kali dimediasi
oleh budaya populer dan internet, di mana narasi-narasi eksklusif dan
simplistik mudah viral dalam bentuk meme, video, atau slogan emosional yang
dangkal.3 Pendidikan yang tidak kritis akan menjadi lahan
subur bagi berkembangnya sikap intoleran, chauvinistik, dan otoriter yang
dibalut dalam kemasan “nasionalisme” semu.
9.4.
Integrasi dalam Kurikulum dan
Pendekatan Interdisipliner
Untuk menjawab
tantangan ini, studi tentang fasisme perlu diintegrasikan dalam kurikulum
pendidikan formal—khususnya pada mata pelajaran sejarah, filsafat,
kewarganegaraan, dan pendidikan agama—dengan pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan perspektif historis, filosofis, etis, dan sosiologis. Materi ini
dapat dikaitkan dengan isu-isu aktual seperti intoleransi agama, rasisme,
penindasan minoritas, serta krisis ekologi dan migrasi global yang sering
dijadikan alat retorika oleh kelompok-kelompok ekstremis.
Lebih lanjut,
pendidikan juga harus mendorong diskusi reflektif dan dialog terbuka antar
pelajar agar mereka tidak hanya memahami konsep, tetapi juga menginternalisasi
nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial mereka. Hal ini
penting untuk mencegah pengulangan sejarah dalam bentuk baru dan untuk membangun
daya tahan kolektif terhadap godaan totalitarianisme.
9.5.
Pendidikan sebagai Tindakan
Resistensi Kultural
Pendidikan bukan
hanya soal penyampaian konten, tetapi juga merupakan medan perjuangan budaya (cultural
struggle) melawan dominasi wacana hegemonik yang menormalisasi
ketakutan, kebencian, dan eksklusi. Sebagaimana ditegaskan oleh bell hooks,
pendidikan harus menjadi “praktik kebebasan” yang mendorong pelajar
untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi.4
Dalam kaitannya
dengan fasisme, pendidikan berfungsi sebagai benteng pertahanan kultural—yang
mencegah banalitas kejahatan (banality of evil) sebagaimana dikritik oleh
Hannah Arendt—dengan memupuk pemikiran kritis, keberanian moral, dan kepekaan
terhadap ketidakadilan struktural.5
Kesimpulan
Sementara
Kajian fasisme dalam
dunia pendidikan bukanlah semata pelajaran sejarah atau ideologi, tetapi
merupakan bentuk tanggung jawab intelektual dan etis dalam membentuk warga
negara yang demokratis, kritis, dan humanis. Di tengah arus regresif yang
membahayakan nilai-nilai pluralisme dan rasionalitas publik, pendidikan menjadi
medan utama untuk menjaga api kesadaran dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk
otoritarianisme yang terus bermutasi. Oleh sebab itu, memasukkan studi fasisme
ke dalam agenda pendidikan adalah investasi moral dan politik jangka panjang
bagi masa depan peradaban yang lebih bebas dan adil.
Footnotes
[1]
George Santayana, The Life of Reason: Reason in Common Sense
(New York: Scribner's, 1905), 284.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 27–28.
[3]
Henry A. Giroux, American Nightmare: Facing the Challenge of
Fascism (San Francisco: City Lights Books, 2018), 103–107.
[4]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of
Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.
[5]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Penguin Books, 2006), 287–289.
10.
Penutup
Kajian mengenai
fasisme dalam konteks filsafat sosial-politik merupakan upaya reflektif yang
tidak hanya berorientasi pada pemahaman historis, tetapi juga berfungsi sebagai
instrumen etis dan politis untuk mencegah berulangnya tragedi yang ditimbulkan
oleh ideologi totalitarian tersebut. Sebagai ideologi yang lahir dari situasi
krisis, fasisme telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk kekuasaan
yang ekstrem, penuh kontrol, dan represif, dengan menolak prinsip-prinsip dasar
seperti kebebasan individu, rasionalitas politik, dan pluralisme sosial.
Fasisme bukan
sekadar gejala sejarah masa lalu, tetapi juga merupakan tantangan yang terus
menghantui masyarakat modern melalui transformasi ideologis dalam bentuk
neofasisme, populisme sayap kanan, dan otoritarianisme digital. Pemikir seperti
Robert Paxton dan Jason Stanley telah menunjukkan bahwa unsur-unsur fundamental
fasisme—seperti politik identitas eksklusif, anti-intelektualisme, dan kultus
kepemimpinan—dapat bermutasi dalam lanskap politik kontemporer, sering kali
dalam bentuk yang lebih terselubung namun tidak kalah berbahaya.1
Dalam kerangka
filsafat politik, fasisme memperlihatkan paradigma yang secara radikal
berlawanan dengan tradisi Pencerahan, terutama dalam pandangannya terhadap
negara, kekuasaan, hukum, dan individu. Di tengah-tengah krisis demokrasi
liberal dan keterpecahan sosial akibat polarisasi informasi, mempelajari
kembali fasisme menjadi bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral dalam
menjaga kehidupan bersama yang adil dan manusiawi.
Kajian ini
menunjukkan bahwa fasisme tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sekadar
praktik kediktatoran, tetapi harus dilihat sebagai suatu pandangan dunia (worldview)
yang menyeluruh—yang menggabungkan elemen filosofis, mitologis, estetis, dan
politik ke dalam satu konstruksi ideologis yang total. Seperti yang ditekankan
oleh Emilio Gentile, fasisme adalah bentuk politik sebagai agama, di mana
negara tidak hanya mengatur kehidupan publik, tetapi juga membentuk iman
kolektif dan tata moral warga.2
Kesadaran akan
bahaya fasisme, baik yang laten maupun yang eksplisit, perlu terus dipelihara
melalui pendidikan, dialog publik, serta praktik politik yang demokratis dan
inklusif. Pendidikan filsafat sosial-politik, dalam hal ini, tidak hanya
menjadi sarana pemahaman intelektual, tetapi juga sebagai benteng perlawanan
terhadap bangkitnya kembali kekuasaan yang anti-kebebasan dan anti-kemanusiaan.
Akhirnya, dalam
menghadapi era yang penuh ketidakpastian ini, penting bagi masyarakat global
untuk membangun ketahanan demokratis yang berpijak pada nilai-nilai kebebasan,
keadilan, solidaritas, dan keberagaman. Fasisme, dengan segala daya tariknya
yang semu, harus dikenali dan dihadapi bukan hanya sebagai ideologi, tetapi
sebagai ancaman filosofis terhadap martabat manusia dan masa depan peradaban.
Footnotes
[1]
Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A.
Knopf, 2004), 204–209; Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us
and Them (New York: Random House, 2018), 211–216.
[2]
Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton
University Press, 2006), 134–138.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W.,
Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. N. (1950). The
authoritarian personality. Harper & Row.
Arendt, H. (2006). Eichmann
in Jerusalem: A report on the banality of evil. Penguin Books.
Bakunin, M. (1990). Statism
and anarchy (M. Shatz, Trans.). Cambridge University Press.
Ben-Ghiat, R. (2020). Strongmen:
Mussolini to the present. W. W. Norton.
Berlin, I. (2002). Liberty
(H. Hardy, Ed.). Oxford University Press.
Camus, J.-Y., &
Lebourg, N. (2017). Far-right politics in Europe. Harvard University
Press.
Evans, R. J. (2005). The
Third Reich in power, 1933–1939. Penguin Books.
Evans, R. J. (2008). The
Third Reich at war, 1939–1945. Penguin Books.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Gentile, E. (2004). Origins
and doctrine of fascism (H. S. Harris, Trans.). Transaction Publishers.
Gentile, E. (2006). Fascism:
A political religion. Princeton University Press.
Gentile, E. (2006). Politics
as religion. Princeton University Press.
Giroux, H. A. (2018). American
nightmare: Facing the challenge of fascism. City Lights Books.
Gramsci, A. (1971). Selections
from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. &
Trans.). International Publishers.
Griffin, R. (1991). The
nature of fascism. Routledge.
hooks, b. (1994). Teaching
to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.
Institute for Strategic
Dialogue. (2020). Hate in the machine: Anti-Black racism and algorithmic
amplification on YouTube. https://www.isdglobal.org
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kershaw, I. (2008). Hitler:
A biography. W. W. Norton.
Kropotkin, P. (1972). The
conquest of bread. New York University Press.
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Lukács, G. (1981). The
destruction of reason (P. Palmer, Trans.). Merlin Press.
Marx, K., & Engels, F.
(1948). The communist manifesto. International Publishers.
Mill, J. S. (1982). On
liberty. Penguin Classics.
Mudde, C. (2019). The
far right today. Polity Press.
Norris, P., &
Inglehart, R. (2019). Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian
populism. Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus
spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Paxton, R. O. (2004). The
anatomy of fascism. Alfred A. Knopf.
Payne, S. G. (1995). A
history of fascism, 1914–1945. University of Wisconsin Press.
Pope Pius XI. (1981). Mit
brennender Sorge (1937). In C. Carlen (Ed.), The papal encyclicals,
1903–1939 (pp. 418–425). McGrath Publishing Company.
Popper, K. R. (1966). The
open society and its enemies (Vol. 1). Princeton University Press.
Santayana, G. (1905). The
life of reason: Reason in common sense. Scribner's.
Sartre, J.-P. (1948). Existentialism
and humanism (P. Mairet, Trans.). Methuen.
Sorel, G. (1999). Reflections
on violence (T. E. Hulme, Trans.). Cambridge University Press.
Stanley, J. (2018). How
fascism works: The politics of us and them. Random House.
Sternhell, Z. (1994). The
birth of fascist ideology. Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar