Selasa, 10 Juni 2025

Fasisme: Ideologi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer

Fasisme

Ideologi, Sejarah, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas fasisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat sosial-politik secara komprehensif, dengan menelusuri dimensi historis, ideologis, dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Dimulai dari definisi dan karakteristik dasar fasisme, pembahasan dilanjutkan dengan eksplorasi akar filosofis yang mempengaruhi konstruksi ideologisnya, termasuk pengaruh Nietzsche, Sorel, dan Gentile. Artikel ini juga mengulas perkembangan historis fasisme di Italia, Jerman, dan negara-negara lain, serta menganalisis posisi fasisme dalam spektrum filsafat politik melalui perbandingan dengan liberalisme, sosialisme, dan anarkisme. Lebih jauh, kajian ini mengevaluasi kebangkitan neofasisme dalam dunia kontemporer, menyoroti peran media sosial, populisme, dan wacana identitarian dalam membentuk bentuk-bentuk baru dari otoritarianisme. Dalam bagian akhir, artikel menegaskan urgensi kajian fasisme dalam pendidikan dan wacana kritis sebagai bentuk perlindungan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Melalui pendekatan interdisipliner dan analisis filosofis yang mendalam, artikel ini berupaya membangun pemahaman reflektif terhadap fasisme sebagai ancaman yang terus berevolusi dalam sejarah dan kehidupan modern.

Kata Kunci: Fasisme, ideologi politik, filsafat sosial-politik, neofasisme, totalitarianisme, liberalisme, sosialisme, pendidikan kritis, negara otoriter, demokrasi.


PEMBAHASAN

Fasisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Fasisme merupakan salah satu fenomena ideologis paling kontroversial dan destruktif dalam sejarah politik modern. Muncul pada awal abad ke-20, fasisme tidak hanya menawarkan model pemerintahan otoriter, tetapi juga mengusung suatu paradigma filosofis tentang kekuasaan, kebangsaan, dan identitas kolektif yang sangat berbeda dari aliran-aliran besar lainnya seperti liberalisme, sosialisme, atau anarkisme. Ideologi ini sering kali dipahami secara sempit hanya sebagai sistem politik represif, padahal secara lebih dalam, fasisme juga mengandung dimensi metafisika dan ontologi sosial tertentu yang memengaruhi cara pandang terhadap negara, individu, dan masyarakat.

Kemunculan fasisme tidak dapat dipisahkan dari konteks krisis modernitas yang melanda Eropa pasca-Perang Dunia I, terutama menyangkut ketidakpuasan terhadap tatanan liberal-parlementer dan ketakutan terhadap revolusi sosialis. Dalam konteks ini, fasisme tampil sebagai respons radikal yang menjanjikan “persatuan nasional” dan “kebangkitan moral”, tetapi dengan menolak pluralisme politik dan rasionalitas demokratis. Seperti dikemukakan oleh Emilio Gentile, seorang sejarawan terkemuka dalam studi fasisme, ideologi ini sebaiknya dipahami bukan hanya sebagai bentuk kekuasaan politik ekstrem, melainkan sebagai “agama sipil” yang mengupayakan pembentukan manusia baru dalam kerangka negara totalistik dan mistik kebangsaan.1

Dalam ranah filsafat sosial-politik, fasisme menawarkan sudut pandang yang secara fundamental berbeda dari warisan Pencerahan yang menekankan otonomi individu, rasionalitas universal, dan hak asasi manusia. Sebaliknya, fasisme menekankan supremasi negara atas individu, kehendak kolektif di atas kebebasan personal, serta legitimasi kekerasan sebagai alat pembaruan sosial. Perspektif ini menjadi penting untuk dikaji secara filosofis, bukan untuk membenarkan praktik-praktik otoritarian, melainkan untuk memahami bagaimana suatu ideologi bisa mengakar melalui narasi-narasi ideologis, simbolik, dan historis yang kompleks.

Urgensi kajian terhadap fasisme kembali meningkat pada abad ke-21 seiring merebaknya gerakan populisme otoriter, nasionalisme eksklusif, dan kecenderungan regresif terhadap prinsip-prinsip demokrasi liberal di berbagai belahan dunia. Fenomena seperti “alt-right” di Amerika Serikat, neofasisme di Eropa Timur, hingga gerakan identitarianisme digital menunjukkan bahwa fasisme bukanlah doktrin mati yang terkubur bersama sejarah abad ke-20, melainkan tetap hidup dalam bentuk-bentuk mutasi baru.2

Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk membedah fasisme dari perspektif filsafat sosial-politik dengan menelusuri akar ideologis, fondasi teoritis, sejarah perkembangan, kritik filosofis, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan sejarah intelektual, analisis ideologi, dan refleksi kritis, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh dan mendalam tentang fasisme—bukan semata sebagai fakta historis, melainkan sebagai tantangan filosofis yang terus menguji kesadaran politik umat manusia.


Footnotes

[1]                Emilio Gentile, The Sacralization of Politics in Fascist Italy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 9–10.

[2]                Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them (New York: Random House, 2018), 19–23.


2.           Pengertian dan Karakteristik Umum Fasisme

Fasisme merupakan ideologi politik yang secara eksplisit menolak prinsip-prinsip dasar modernitas liberal, seperti kebebasan individu, demokrasi parlementer, dan kesetaraan hak. Kata “fasisme” berasal dari bahasa Latin fasces, yaitu sekumpulan batang kayu yang diikat mengelilingi kapak, simbol otoritas magistrat Romawi yang kemudian diadopsi oleh Benito Mussolini sebagai lambang kekuatan negara yang menyatukan rakyat di bawah satu kepemimpinan mutlak.1

Tidak mudah memberikan definisi tunggal terhadap fasisme karena ia merupakan fenomena yang bersifat historis, ideologis, dan praksis sekaligus. Seperti dikemukakan oleh Robert O. Paxton, fasisme harus dipahami sebagai suatu “praktek politik yang mendewakan bangsa (atau ras) di atas individu” dan yang menuntut kesetiaan total kepada negara yang dipimpin oleh pemimpin karismatik, disertai penolakan terhadap nilai-nilai pluralisme dan deliberasi rasional.2 Fasisme cenderung muncul dalam bentuk gerakan massa yang menggalang dukungan dari masyarakat yang mengalami keterasingan sosial, krisis identitas nasional, dan ketidakpuasan terhadap sistem politik mapan.

Secara umum, terdapat beberapa karakteristik utama yang kerap ditemukan dalam ideologi dan praktik fasis:

1)                  Ultranasionalisme Ekspansif

Fasisme menempatkan identitas nasional sebagai nilai tertinggi dan sakral, bahkan melebihi kepentingan individu. Nasionalisme fasis sering kali disertai dengan glorifikasi masa lalu, mitos kebesaran bangsa, serta pandangan bahwa hanya melalui penyatuan total di bawah negara, bangsa dapat direstorasi ke kejayaan semula.3

2)                  Otoritarianisme dan Kultus Kepemimpinan

Kekuasaan dalam sistem fasis bersifat hierarkis dan terpusat. Kepemimpinan dianggap bukan hasil dari kesepakatan sosial-demokratis, melainkan lahir dari kekuatan karismatik yang mewakili kehendak historis bangsa. Mussolini dan Hitler, misalnya, menempatkan diri sebagai “penjelmaan takdir nasional.”4

3)                  Penolakan terhadap Demokrasi, Marxisme, dan Liberalisme

Fasisme menolak pluralitas ideologi, sistem pemilu, kebebasan pers, dan hak-hak sipil yang merupakan fondasi demokrasi liberal. Ia juga menentang komunisme karena dianggap memecah belah bangsa melalui konflik kelas. Dalam wacana fasis, semua bentuk oposisi politik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kesatuan nasional.5

4)                  Militerisme dan Kekerasan sebagai Alat Legitimasi Politik

Kekerasan tidak hanya ditoleransi, tetapi juga dianggap suci dan produktif. Fasisme meyakini bahwa konflik dan perang adalah jalan alami dan perlu dalam memurnikan bangsa dan membentuk tatanan baru. Georges Sorel, yang pemikirannya mengilhami fasisme, bahkan berbicara tentang “mitos kekerasan” sebagai pembangkit semangat revolusi nasional.6

5)                  Korporatisme Negara dan Penolakan Kapitalisme Laissez-Faire

Fasisme tidak menganjurkan kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi seperti komunisme, tetapi juga tidak membebaskan pasar sepenuhnya seperti liberalisme. Sebaliknya, negara menjadi pengatur utama dalam kehidupan ekonomi melalui sistem korporatisme, di mana serikat buruh dan pelaku usaha disatukan dalam kerangka nasional tanpa konflik kelas.7

6)                  Penggunaan Simbolisme, Propaganda, dan Mitos

Fasisme sangat bergantung pada estetika politik: simbol-simbol visual, retorika heroik, ritual massa, dan konstruksi mitos nasional. Tujuan dari hal ini adalah membangkitkan emosi kolektif dan menghapuskan daya kritis individu. Emilio Gentile menyebut ini sebagai bentuk “sakralisasi politik.”8

Dengan karakteristik-karakteristik tersebut, fasisme menjadi lebih dari sekadar rezim otoriter; ia adalah sebuah worldview totalistik yang mengatur tidak hanya tindakan publik, tetapi juga aspirasi, moralitas, dan identitas warganya. Pemahaman terhadap ciri-ciri umum ini menjadi dasar penting untuk mengidentifikasi kemunculan varian baru fasisme dalam konteks kontemporer, meskipun sering kali hadir dalam bentuk yang lebih tersamar dan kultural.


Footnotes

[1]                Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison: University of Wisconsin Press, 1995), 5–6.

[2]                Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 218.

[3]                Zeev Sternhell, The Birth of Fascist Ideology (Princeton: Princeton University Press, 1994), 24–29.

[4]                Emilio Gentile, Fascism: A Political Religion (Princeton: Princeton University Press, 2006), 41–42.

[5]                Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge, 1991), 39–40.

[6]                Georges Sorel, Reflections on Violence (New York: Cambridge University Press, 1999), 57.

[7]                Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 73–75.

[8]                Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton University Press, 2006), 134–136.


3.           Akar Filosofis dan Teoritis Fasisme

Fasisme tidak hanya lahir sebagai reaksi politik atas krisis sosial dan ekonomi Eropa pasca-Perang Dunia I, tetapi juga memiliki fondasi intelektual yang kompleks, meskipun eklektik dan tidak sistematis. Sebagai sebuah ideologi, fasisme menggabungkan unsur-unsur dari berbagai aliran pemikiran yang mendahuluinya—dari romantisisme anti-modern, voluntarisme eksistensial, hingga idealisme spiritualistik. Akar filosofis fasisme dapat ditelusuri melalui kontribusi beberapa pemikir dan doktrin yang secara tidak langsung menyediakan kerangka normatif dan etis bagi munculnya pandangan dunia fasis.

3.1.       Nietzsche dan Kehendak untuk Berkuasa

Salah satu pengaruh penting terhadap mentalitas fasisme adalah filsafat Friedrich Nietzsche, khususnya gagasan tentang der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa). Meskipun Nietzsche sendiri tidak pernah mendukung sistem otoriter, banyak elemen dalam filsafatnya—seperti penolakannya terhadap moralitas Kristen, kritik terhadap kesetaraan, dan glorifikasi tokoh Übermensch—telah diadaptasi secara selektif oleh para ideolog fasis untuk membenarkan supremasi bangsa dan kepemimpinan karismatik.1 Gagasan Nietzsche tentang dekonstruksi nilai-nilai universal juga digunakan untuk menyerang rasionalisme dan humanisme liberal yang dianggap lemah dan dekaden.

3.2.       Georges Sorel dan Mitos Kekerasan

Georges Sorel, seorang pemikir revolusioner Prancis, memberi kontribusi penting bagi fasisme melalui konsep “mitos politik.” Dalam karyanya Reflections on Violence, Sorel menyatakan bahwa kekerasan bukan hanya dapat dibenarkan, tetapi juga dapat membangkitkan energi kolektif melalui mitos-mitos heroik seperti pemogokan umum atau kebangkitan nasional.2 Walau Sorel sendiri seorang sosialis, pemikiran ini kemudian diadopsi oleh ideolog fasis yang percaya bahwa tindakan kekerasan yang direkayasa secara simbolik mampu menciptakan solidaritas nasional dan regenerasi sosial.

3.3.       Giovanni Gentile dan Idealisme Aktualistik

Kontribusi filosofis paling langsung dan eksplisit terhadap fasisme datang dari Giovanni Gentile, yang dikenal sebagai “filsuf resmi” rezim Mussolini. Gentile mengembangkan Aktualisme, sebuah bentuk idealisme Hegelian yang menggabungkan negara dan roh kolektif dalam satu entitas spiritual yang tak terpisahkan. Dalam kerangka ini, negara bukanlah instrumen netral, melainkan ekspresi tertinggi dari kehendak moral masyarakat. Bagi Gentile, kebebasan sejati hanya dapat terwujud dalam kesatuan dengan negara fasis, dan individu tidak memiliki makna di luar perannya dalam keseluruhan organis negara.3 Doktrin Gentile memberikan legitimasi filosofis terhadap statolatri (kultus negara) dan supremasi pemimpin.

3.4.       Penolakan terhadap Rasionalisme dan Individualisme Modern

Fasisme juga berakar pada penolakan terhadap warisan rasionalisme dan individualisme yang diwariskan oleh Pencerahan. Dalam pandangan fasis, manusia bukanlah subjek otonom yang bebas membuat pilihan moral secara independen, melainkan bagian dari suatu kolektivitas historis dan biologis yang lebih besar. Oleh karena itu, kebebasan individu dianggap sebagai ilusi liberal yang justru melemahkan kekuatan bangsa. Fasisme, dalam hal ini, bersifat anti-modern, meskipun secara paradoksia menggunakan teknologi modern untuk menyebarkan propaganda dan memperkuat kontrol sosial.4

3.5.       Sintesis antara Romantisisme dan Voluntarisme Politik

Selain filsafat idealis dan kekerasan revolusioner, fasisme juga mengambil inspirasi dari romantisisme Eropa abad ke-19 yang menekankan emosi, intuisi, dan mitos kolektif. Romantisisme memberikan landasan estetis dan spiritual bagi kebangkitan nasionalisme fasis. Di sisi lain, fasisme juga menganut voluntarisme politik yang menekankan tindakan dan kemauan sebagai dasar realitas sosial. Seperti ditunjukkan oleh Roger Griffin, inti dari fasisme adalah mitos tentang “regenerasi nasional”—keyakinan bahwa bangsa harus dilahirkan kembali melalui revolusi yang bersifat purgatif dan otoriter.5

Dengan demikian, akar filosofis fasisme bukanlah monolitik atau tunggal, tetapi merupakan hasil sintesis yang ambigu dari berbagai tradisi pemikiran yang memiliki kesamaan dalam kritik terhadap modernitas liberal, universalisme rasional, dan atomisme individual. Justru dalam keragaman inilah fasisme menemukan fleksibilitasnya untuk menyatu dengan narasi lokal dan aspirasi politik yang berbeda-beda dalam konteks historis yang spesifik.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 90–91; lihat juga Zeev Sternhell, The Birth of Fascist Ideology (Princeton: Princeton University Press, 1994), 17–19.

[2]                Georges Sorel, Reflections on Violence, trans. Thomas E. Hulme (New York: Cambridge University Press, 1999), 38–41.

[3]                Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H. S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 20–23.

[4]                Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 10–12.

[5]                Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge, 1991), 32–35.


4.           Sejarah dan Perkembangan Fasisme

Fasisme sebagai gerakan dan ideologi politik muncul secara signifikan pada awal abad ke-20, khususnya di tengah krisis multidimensional yang melanda Eropa pasca-Perang Dunia I. Munculnya fasisme ditandai dengan pergeseran radikal dari tatanan liberal-parlementer yang dianggap gagal mengatasi ketimpangan sosial, inflasi, dan kekacauan politik. Dalam konteks ini, fasisme menawarkan alternatif otoritarian yang menjanjikan keteraturan, identitas nasional, dan kejayaan bangsa melalui persatuan total di bawah satu negara kuat.

4.1.       Fasisme Italia: Awal Mula Ideologi

Fasisme pertama kali muncul secara eksplisit sebagai gerakan politik di Italia melalui pendirian Partito Nazionale Fascista (Partai Fasis Nasional) oleh Benito Mussolini pada tahun 1921. Mussolini, mantan sosialis revolusioner yang kecewa terhadap gerakan kiri, menyusun narasi baru yang menggabungkan nasionalisme, militerisme, dan voluntarisme politik. Pada 1922, melalui Marcia su Roma (Pawai ke Roma), Mussolini berhasil merebut kekuasaan secara semi-legal dan membentuk negara fasis pertama di dunia modern.1

Fasisme Italia bercorak korporatis, di mana negara memediasi antara buruh dan pengusaha melalui lembaga-lembaga yang dikendalikan pusat. Kebebasan pers, hak politik oposisi, dan institusi demokrasi dihapuskan secara sistematis. Mussolini menciptakan kultus kepemimpinan dan menyusun struktur negara totaliter yang menembus hingga ruang privat warganya. Meskipun demikian, fasisme Italia tidak mengandung unsur antisemitisme sistemik seperti yang terjadi di Jerman, meskipun kemudian Mussolini mengadopsi kebijakan rasial pada akhir 1930-an karena pengaruh aliansinya dengan Nazi.2

4.2.       Nazisme di Jerman: Fasisme Rasial dan Totalitarianisme Ekstrem

Variasi paling radikal dari fasisme terwujud dalam bentuk Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Meskipun Hitler menyebut gerakannya sebagai "nasional-sosialis", ideologi yang ia bangun sejatinya merupakan bentuk ekstrem dari fasisme yang menyatukan ultranasionalisme, totalitarianisme, dan rasialisme biologis. Setelah kegagalan Putsch tahun 1923, Hitler mereorganisasi partainya dan akhirnya diangkat sebagai Kanselir Jerman pada tahun 1933 melalui jalur konstitusional. Namun dalam waktu singkat, ia menghapuskan sistem parlementer dan membangun kediktatoran total.3

Nazisme memiliki dimensi ideologis yang lebih sistematik dalam hal rasialisme. Konsep Volksgemeinschaft (komunitas rakyat) dan Lebensraum (ruang hidup) digunakan untuk membenarkan pengusiran dan pemusnahan kelompok-kelompok non-Aria, terutama Yahudi. Holocaust sebagai puncak kekejaman negara Nazi menjadi titik kulminasi dari logika fasis yang menjadikan kekerasan, pemurnian identitas, dan supremasi bangsa sebagai proyek kenegaraan.4

4.3.       Fasisme di Negara-Negara Lain

Selain Italia dan Jerman, berbagai gerakan fasis muncul di negara lain, meskipun dengan intensitas dan bentuk yang berbeda. Di Spanyol, Francisco Franco memimpin gerakan nasionalis yang mendapatkan dukungan dari elemen-elemen fasis, meski rejim Franco lebih bercorak otoriter-militeristik daripada ideologis. Di Portugal, António de Oliveira Salazar membentuk negara otoriter konservatif yang disebut Estado Novo.

Jepang era Showa (1926–1989), terutama di bawah pengaruh militerisme dan Shintoisme negara, memperlihatkan karakteristik fasis dalam bentuk ekspansionisme, nasionalisme spiritual, dan ketaatan mutlak terhadap Kaisar sebagai simbol sakral bangsa. Sementara di Brasil, Plínio Salgado mendirikan Ação Integralista Brasileira yang mengadopsi simbol dan retorika fasis Eropa.5

4.4.       Penyebab dan Konteks Sosial-Kultural

Fasisme muncul dalam konteks kehancuran sosial dan psikologis pasca-perang, krisis ekonomi, ketidakpercayaan terhadap elite liberal, serta ketakutan akan komunisme. Fasisme memanfaatkan nostalgia terhadap masa lalu, trauma kolektif, dan mitos kebangkitan nasional untuk menggalang dukungan massa. Ia menggunakan estetika simbolik, propaganda, dan mobilisasi emosional sebagai alat politisasi ruang publik.6

Sebagaimana dicatat oleh sejarawan Roger Griffin, fasisme adalah “mitos tentang regenerasi nasional dalam menghadapi dekadensi,” dan dalam kapasitas tersebut, ia menjanjikan bukan hanya stabilitas, tetapi juga transformasi radikal masyarakat ke arah utopia otoritarian yang dibayangkan.7


Footnotes

[1]                Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison: University of Wisconsin Press, 1995), 85–88.

[2]                Emilio Gentile, Fascism: A Political Religion (Princeton: Princeton University Press, 2006), 72–76.

[3]                Ian Kershaw, Hitler: A Biography (New York: W.W. Norton, 2008), 223–229.

[4]                Richard J. Evans, The Third Reich in Power, 1933–1939 (New York: Penguin, 2005), 84–97.

[5]                Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 91–95.

[6]                Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 54–61.

[7]                Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge, 1991), 26.


5.           Fasisme dalam Perspektif Filsafat Politik

Dalam kerangka filsafat politik, fasisme muncul sebagai antitesis dari gagasan-gagasan dasar yang diwariskan oleh tradisi Pencerahan dan liberalisme modern. Jika liberalisme menekankan kebebasan individu, supremasi hukum, dan kedaulatan rakyat, maka fasisme justru mendekonstruksi prinsip-prinsip tersebut dengan mengedepankan kehendak kolektif, supremasi negara, dan otoritas tanpa oposisi. Oleh karena itu, memahami fasisme dalam perspektif filsafat politik memerlukan eksplorasi terhadap posisi ideologisnya dalam isu-isu mendasar seperti negara, individu, kekuasaan, kebebasan, hukum, dan masyarakat.

5.1.       Pandangan Fasis terhadap Negara dan Individu

Fasisme memandang negara sebagai entitas organik dan transendental yang berada di atas individu. Dalam kerangka ini, negara bukan sekadar kontrak sosial atau institusi politik, tetapi merupakan ekspresi spiritual dari identitas nasional dan moral kolektif. Giovanni Gentile, filsuf utama fasisme Italia, menyatakan bahwa “individu tidak memiliki realitas di luar negara, karena kesadaran moralnya hanya dapat diwujudkan melalui pengabdian pada negara.”1 Dengan demikian, dalam logika fasis, individu tidak memiliki nilai atau hak asasi yang independen dari negara.

Negara dalam sistem fasis juga berfungsi sebagai medium supremasi kehendak kolektif. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat: ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan ekspresi estetis. Dalam model ini, negara bukanlah pelayan masyarakat, tetapi pelaku utama dalam menciptakan tatanan moral dan politik yang absolut.

5.2.       Kekuasaan dan Kepemimpinan Karismatik

Kekuasaan dalam sistem fasis tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip konstitusional atau hukum normatif. Ia bersifat personalistik, terpusat, dan dijustifikasi melalui kultus pemimpin (leader cult). Pemimpin fasis tidak hanya berperan sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai figur simbolik yang dianggap mewujudkan kehendak historis bangsa. Konsep ini paralel dengan gagasan Führerprinzip dalam Nazisme, yaitu prinsip kepemimpinan mutlak yang menolak prinsip deliberatif dalam pengambilan keputusan politik.2

Kepemimpinan fasis menuntut loyalitas total dan meniadakan ruang kritik. Sebagai konsekuensinya, institusi demokratis seperti parlemen, pengadilan independen, dan media bebas dianggap sebagai penghambat tercapainya kehendak nasional. Fasisme dengan demikian mengidentifikasi legitimasi kekuasaan bukan dari persetujuan rakyat, melainkan dari performa simbolik dan kekuatan mobilisasi massa.

5.3.       Penolakan terhadap Pluralisme dan Rasionalitas Politik

Dalam filsafat politik modern, pluralisme dan deliberasi merupakan fondasi dari sistem demokrasi liberal. Fasisme secara eksplisit menolak keduanya. Ia menolak pluralisme karena dianggap melemahkan kesatuan bangsa, dan menolak rasionalitas politik karena meyakini bahwa kebenaran politik bukan hasil argumen, tetapi manifestasi dari kekuatan dan tindakan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Paxton, fasisme lebih memihak pada aksi, insting, dan emosionalitas daripada refleksi rasional. Ideologi ini menganggap perdebatan politik sebagai bentuk dekadensi dan kelemahan. Oleh sebab itu, pengetahuan politik dalam sistem fasis bersifat dogmatis dan satu arah: berasal dari negara kepada warga, bukan sebaliknya.3

5.4.       Konsepsi Kebebasan, Hukum, dan Masyarakat

Fasisme memiliki definisi yang sangat terbatas tentang kebebasan. Dalam sistem liberal, kebebasan dipahami sebagai hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri dalam batas hukum yang adil. Namun dalam sistem fasis, kebebasan adalah “kebebasan untuk taat”, yakni kebebasan yang hanya sah bila digunakan dalam kerangka kepentingan negara. Mussolini secara eksplisit menyatakan bahwa “segala sesuatu dalam negara, tidak ada yang di luar negara, tidak ada yang melawan negara.”4

Hukum dalam sistem fasis bukan merupakan produk deliberasi demokratis, tetapi alat untuk mewujudkan tujuan negara. Maka hukum bersifat fleksibel dan subordinatif terhadap kekuasaan eksekutif. Kehidupan sosial masyarakat diatur sedemikian rupa agar selaras dengan mitos nasional dan identitas kolektif yang dikonstruksi secara ideologis.

5.5.       Fasisme sebagai Politik Total

Fasisme dapat dikategorikan sebagai bentuk politik total karena ambisinya tidak hanya membatasi diri pada penguasaan kekuasaan negara, tetapi juga meresap ke dalam kesadaran kolektif, ritual budaya, dan struktur moral masyarakat. Dalam hal ini, fasisme memiliki kesamaan dengan agama politik. Emilio Gentile bahkan menyebut fasisme sebagai bentuk sakralisasi politik, yaitu transformasi ideologi politik menjadi sistem kepercayaan total yang menuntut kepatuhan mutlak dan pengorbanan pribadi atas nama bangsa dan negara.5


Footnotes

[1]                Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H. S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 26.

[2]                Ian Kershaw, Hitler: A Biography (New York: W. W. Norton, 2008), 276–278.

[3]                Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 220–224.

[4]                Benito Mussolini, The Doctrine of Fascism (Florence: Vallecchi Editore, 1932), 13.

[5]                Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton University Press, 2006), 134–138.


6.           Kritik Terhadap Fasisme

Sebagai sebuah ideologi dan sistem politik, fasisme telah menjadi objek kritik yang luas dan tajam dari berbagai perspektif filsafat sosial-politik. Kritik terhadap fasisme tidak hanya berfokus pada praktik represif dan brutalitas sejarahnya, tetapi juga pada fondasi filosofis dan etika yang menopangnya. Fasisme dituduh tidak hanya sebagai bentuk ekstrem otoritarianisme, tetapi juga sebagai distorsi terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan, akal budi, dan keadilan sosial. Kritik ini datang dari berbagai aliran pemikiran, termasuk liberalisme, Marxisme, eksistensialisme, dan humanisme.

6.1.       Kritik dari Perspektif Liberalisme Klasik

Dari sudut pandang liberal, fasisme dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip kebebasan individu, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Para pemikir liberal seperti Isaiah Berlin dan Karl Popper menegaskan bahwa fasisme mempromosikan kolektivisme yang menindas serta menolak pluralitas opini yang esensial dalam masyarakat bebas.1 Popper secara khusus mengkritik fondasi totalitarian dari fasisme dalam The Open Society and Its Enemies, dengan menekankan bahwa pemerintahan otoriter fasis menutup ruang bagi kritik rasional, eksperimen politik, dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.

Liberal kritis terhadap dogmatisme ideologis fasis yang menolak debat dan deliberasi publik. Dalam sistem fasis, kebebasan berbicara dan oposisi dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional, sehingga individu dilucuti dari peran mereka sebagai warga negara otonom. Dengan kata lain, fasisme menolak elemen-elemen dasar dari proyek pencerahan yang menempatkan akal budi sebagai instrumen kemajuan politik dan moral.

6.2.       Kritik dari Perspektif Marxisme dan Sosialisme

Para pemikir Marxis seperti Antonio Gramsci dan Georg Lukács melihat fasisme sebagai bentuk reaksi kelas borjuis terhadap ancaman revolusi proletar. Dalam perspektif ini, fasisme bukanlah ideologi independen, melainkan alat kelas kapitalis untuk mempertahankan status quo melalui aliansi dengan militerisme dan nasionalisme ekstrem.2 Gramsci, yang dipenjara oleh rezim Mussolini, menyatakan bahwa fasisme muncul karena ketidakmampuan borjuasi untuk mempertahankan hegemoni melalui cara-cara demokratis.

Marxisme juga mengkritik fasisme karena menolak solidaritas kelas dan menggantikannya dengan solidaritas nasional, yang dianggap sebagai ilusi untuk membelokkan perhatian kaum tertindas dari perjuangan sosial yang sejati. Lebih jauh, dalam kerangka Marxis ortodoks, fasisme adalah bentuk “bonapartisme” baru yang menindas kelas pekerja dan menumpas gerakan kiri demi stabilitas kapitalisme monopolistik.3

6.3.       Kritik dari Perspektif Eksistensialisme dan Humanisme

Eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre mengecam fasisme sebagai bentuk nihilisme terorganisasi yang menyangkal kebebasan dan tanggung jawab moral individu. Dalam fasisme, eksistensi manusia direduksi menjadi instrumen negara, dan identitas pribadi digantikan oleh fungsi sosial-politik yang ditentukan dari atas.4

Humanisme secara umum menolak ideologi fasis karena mendiskreditkan nilai-nilai universal seperti martabat manusia, kasih sayang, dan empati. Dalam sistem fasis, manusia tidak dinilai berdasarkan kualitas moral atau intelektualnya, tetapi berdasarkan afiliasi rasial, etnik, atau ideologis. Hal ini membuka jalan bagi diskriminasi sistemik dan bahkan genosida, sebagaimana dibuktikan oleh Holocaust dan pembersihan etnis lainnya di bawah rezim fasis.5

6.4.       Kritik Etis dan Teologis

Dari perspektif etika normatif, fasisme dianggap sebagai pelanggaran mendasar terhadap prinsip keadilan, kebenaran, dan otonomi moral. Pandangan deontologis seperti yang dikemukakan Immanuel Kant akan menolak fasisme karena memperlakukan manusia hanya sebagai alat bagi tujuan negara, bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.6 Dalam etika utilitarian pun, penderitaan massal yang dihasilkan oleh sistem fasis tidak dapat dibenarkan oleh argumen efisiensi atau stabilitas.

Sementara itu, banyak tokoh agama—baik dari Kristen, Yahudi, maupun Islam—mengecam fasisme karena memperbudak jiwa manusia kepada berhala negara dan menyingkirkan nilai-nilai spiritual yang luhur. Paus Pius XI dalam ensiklik Mit Brennender Sorge (1937) secara tegas menolak Nazisme karena menyamakan ras dan negara sebagai objek pemujaan.7

6.5.       Fasisme sebagai Patologi Sosial dan Politik

Selain kritik dari aliran pemikiran tertentu, fasisme juga dipandang sebagai gejala patologi sosial. Sejarawan Robert Paxton dan sosiolog Theodor W. Adorno menekankan bahwa fasisme bukan hanya produk ideologis, melainkan juga hasil dari ketakutan kolektif, trauma sejarah, dan kebutuhan psikologis akan kepastian dan identitas absolut dalam masyarakat yang mengalami disorientasi.8

Dalam The Authoritarian Personality, Adorno menunjukkan bahwa kepribadian otoriter cenderung berkembang dalam lingkungan yang menindas dan hierarkis, dan bahwa fasisme tumbuh subur ketika masyarakat gagal menumbuhkan kesadaran kritis dan empati sosial. Oleh sebab itu, pencegahan terhadap kembalinya fasisme tidak hanya memerlukan reformasi politik, tetapi juga pendidikan karakter dan pembudayaan nilai-nilai demokratis.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 117–120.

[2]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 236–239.

[3]                Georg Lukács, The Destruction of Reason, trans. Peter Palmer (London: Merlin Press, 1981), 465–467.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, trans. Philip Mairet (London: Methuen, 1948), 28–32.

[5]                Richard J. Evans, The Third Reich at War, 1939–1945 (New York: Penguin, 2008), 242–249.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.

[7]                Pope Pius XI, Mit Brennender Sorge, 1937. In The Papal Encyclicals 1903–1939, ed. Claudia Carlen (Raleigh: McGrath, 1981), 418–425.

[8]                Theodor W. Adorno et al., The Authoritarian Personality (New York: Harper & Row, 1950), 471–478; Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 170–174.


7.           Fasisme dalam Wacana Kontemporer

Meskipun secara historis fasisme mengalami kejatuhan setelah kekalahan Blok Poros dalam Perang Dunia II, wacana dan semangat ideologisnya tidak benar-benar hilang. Justru dalam dekade-dekade terakhir, banyak pengamat dan akademisi mencatat kebangkitan varian baru dari fasisme dalam bentuk yang lebih terselubung namun tidak kalah berbahaya—sebuah fenomena yang sering disebut sebagai neofasisme atau fasisme pascamodern. Konteks globalisasi, krisis identitas, ketimpangan ekonomi, dan disrupsi digital telah menjadi lahan subur bagi munculnya kembali retorika fasis dengan wajah baru.

7.1.       Neofasisme dan Mutasi Ideologis

Neofasisme bukanlah salinan literal dari fasisme klasik (seperti Nazisme atau Fasisme Italia), melainkan bentuk baru yang menyerap elemen lama—seperti ultranasionalisme, anti-imigrasi, dan sentimen anti-demokrasi—ke dalam konfigurasi sosial-politik yang lebih mutakhir. Gerakan neofasis kontemporer sering memanfaatkan simbol budaya populer, wacana internet, dan bahkan teori konspirasi untuk menggalang dukungan.1

Menurut Roger Griffin, ciri utama neofasisme adalah palingenetic ultranationalism, yaitu keyakinan bahwa bangsa tertentu sedang mengalami dekadensi dan membutuhkan kelahiran kembali melalui pembersihan identitas dan pemusatan kekuasaan.2 Meskipun tidak selalu menampilkan diri secara terang-terangan sebagai “fasis,” banyak gerakan politik saat ini menggunakan narasi serupa: glorifikasi masa lalu, demonisasi “yang lain,” dan penolakan terhadap pluralisme liberal.

7.2.       Populisme Sayap Kanan dan Politik Identitas

Kebangkitan populisme sayap kanan di berbagai belahan dunia telah membangkitkan kembali elemen-elemen diskursif fasisme klasik. Pemimpin-pemimpin seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orbán di Hungaria, dan Marine Le Pen di Prancis telah menggunakan retorika identitas nasional, kecurigaan terhadap minoritas, dan seruan untuk “mengembalikan kejayaan bangsa” sebagai bagian dari strategi politik mereka.3

Dalam konteks ini, istilah “fasisme” sering kali digunakan secara longgar dalam debat publik. Namun, sebagaimana diperingatkan oleh Jason Stanley dalam bukunya How Fascism Works, yang perlu diperhatikan bukanlah label formal, melainkan pola retoris dan kebijakan: kebohongan sistematis, penyerangan terhadap media bebas, glorifikasi kekerasan, dan pelemahan institusi demokrasi.4

7.3.       Peran Media Sosial dan Disinformasi Digital

Salah satu faktor pembeda utama antara fasisme klasik dan fasisme kontemporer adalah peran teknologi komunikasi. Di era digital, media sosial telah menjadi alat efektif dalam menyebarkan ideologi fasisme baru. Platform seperti Facebook, Twitter (X), dan Telegram digunakan oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan untuk menyebarkan propaganda, menyebarkan hoaks, dan membangun komunitas tertutup yang radikal.

Riset dari The Institute for Strategic Dialogue menunjukkan bahwa algoritma media sosial sering kali mendorong pengguna menuju konten ekstrem melalui mekanisme keterlibatan (engagement-based algorithms), sehingga mempercepat proses radikalisasi.5 Fenomena ini menunjukkan bahwa fasisme tidak lagi membutuhkan negara totaliter untuk menyebar—ia cukup membutuhkan jaringan, simbol, dan narasi yang bersifat viral.

7.4.       Identitarianisme dan Revivalisme Kultural

Di Eropa dan Amerika Utara, muncul gerakan identitarianisme yang mengklaim membela “warisan budaya Eropa” dari ancaman imigrasi dan multikulturalisme. Kelompok seperti Generation Identity di Prancis dan The Proud Boys di AS menunjukkan bagaimana simbol-simbol lama (salib, bendera, mitos keagungan ras) dihidupkan kembali dalam konteks pasca-sekular yang penuh kegelisahan.6

Meski gerakan ini sering menyangkal keterkaitannya dengan fasisme, ideologi mereka menunjukkan kemiripan dengan logika eksklusivisme etnis dan politik “darah dan tanah” (Blut und Boden) yang menjadi ciri khas fasisme klasik. Alih-alih menyerukan perang fisik, mereka menyuarakan “perang budaya” untuk mempertahankan identitas Barat dari kontaminasi “asing”.

7.5.       Wacana Akademik dan Perdebatan Semantik

Di kalangan akademik, diskusi tentang fasisme kontemporer masih terus berkembang. Sebagian sarjana, seperti Stanley dan Griffin, menyarankan perlunya memahami fasisme sebagai ideologi elastis yang bisa muncul dalam berbagai bentuk dan konteks. Yang lain, seperti Ruth Ben-Ghiat, menyoroti kesinambungan antara rezim otoriter modern dan estetika serta retorika fasis lama.7

Namun, ada pula kritik terhadap penggunaan istilah “fasisme” secara berlebihan dalam wacana publik, yang dianggap berpotensi menurunkan maknanya dan menjadikannya sebagai istilah retoris belaka. Oleh karena itu, tantangan kontemporer adalah mengidentifikasi elemen-elemen inti fasisme secara kritis dan kontekstual, tanpa mengabaikan perbedaannya dengan bentuk historis.


Kesimpulan Sementara

Fasisme tidak lagi hadir dalam seragam militer atau pidato bombastis dari balkon istana. Ia bergerak melalui algoritma, meme, slogan, dan retorika nasionalistik yang mengakar pada kecemasan dan disorientasi publik. Meskipun transformasi bentuknya kompleks, esensi fasisme tetap bertumpu pada ide-ide tentang kemurnian, kepatuhan mutlak, kekuasaan tanpa oposisi, dan penciptaan “musuh bersama.” Memahami fasisme dalam konteks kontemporer adalah langkah penting untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan di tengah pusaran informasi dan ketegangan global.


Footnotes

[1]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 33–36.

[2]                Roger Griffin, The Nature of Fascism (London: Routledge, 1991), 38.

[3]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 92–97.

[4]                Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them (New York: Random House, 2018), 35–41.

[5]                Institute for Strategic Dialogue, Hate in the Machine: Anti-Black Racism and Algorithmic Amplification on YouTube (London: ISD, 2020), 11–17.

[6]                Jean-Yves Camus and Nicolas Lebourg, Far-Right Politics in Europe (Cambridge: Harvard University Press, 2017), 64–70.

[7]                Ruth Ben-Ghiat, Strongmen: Mussolini to the Present (New York: W. W. Norton, 2020), 147–151.


8.           Analisis Perbandingan: Fasisme dan Aliran Lain dalam Filsafat Sosial-Politik

Fasisme sebagai ideologi sosial-politik sering diposisikan sebagai lawan dari aliran-aliran besar lain dalam spektrum filsafat politik modern. Meskipun memiliki titik temu tertentu dengan ideologi lain dalam hal kritik terhadap liberalisme atau modernitas, fasisme tetap menampilkan wajah yang khas—terutama dalam hal pemujaan terhadap negara, penolakan terhadap pluralisme, dan legitimasi kekerasan. Untuk memperjelas karakteristiknya, bagian ini menyajikan perbandingan kritis antara fasisme dan tiga aliran besar lainnya: liberalisme, sosialisme, dan anarkisme.

8.1.       Fasisme vs. Liberalisme: Otonomi Individu dan Kekuasaan Negara

Dalam tradisi liberalisme, terutama sebagaimana dikembangkan oleh John Locke dan John Stuart Mill, negara dibatasi oleh hukum dan dipandang sebagai penjaga hak-hak individu yang bersifat kodrati, seperti kebebasan berpendapat, kepemilikan, dan kebebasan beragama. Liberalisme menekankan bahwa kekuasaan negara harus bersifat kontraktual dan dapat dikoreksi melalui institusi demokratis dan sistem hukum yang adil.1

Sebaliknya, fasisme menolak ide tentang kebebasan individu yang terpisah dari kehendak negara. Dalam pandangan fasis, individu hanya memiliki makna sejauh ia menjadi bagian dari tubuh kolektif nasional. Negara tidak dilihat sebagai hasil perjanjian sosial, melainkan sebagai entitas hidup yang memiliki kehendak dan misi historis tersendiri.2 Maka, di mana liberalisme mengutamakan negara minimal dan kebebasan sipil, fasisme justru menegaskan negara total dan subordinasi individu.

8.2.       Fasisme vs. Sosialisme: Kelas vs. Bangsa

Sosialisme, terutama dalam versi Marxisnya, menempatkan konflik kelas sebagai motor utama perubahan sosial. Negara dalam sosialisme ideal adalah alat sementara untuk menghapus ketimpangan kelas dan menuju masyarakat tanpa eksploitasi. Solidaritas kelas pekerja dan perjuangan melawan kapitalisme menjadi agenda utama sosialisme.3

Fasisme menolak pendekatan kelas sebagai dasar masyarakat dan menggantinya dengan kesatuan nasional yang anti-klasistis. Fasisme menganggap konflik kelas sebagai elemen destruktif yang mengancam integritas bangsa. Oleh karena itu, dalam sistem fasis, hubungan antara buruh dan kapital difasilitasi negara dalam kerangka korporatis yang mengutamakan kolaborasi dan subordinasi terhadap tujuan nasional.4

Secara filosofis, sosialisme cenderung bersandar pada cita-cita keadilan distributif dan emansipasi kolektif, sedangkan fasisme berpijak pada mitos regenerasi bangsa dan supremasi kekuasaan yang terpusat. Meskipun keduanya kritis terhadap liberalisme, sosialisme bersifat egalitarian, sementara fasisme bersifat hierarkis dan eksklusivistik.

8.3.       Fasisme vs. Anarkisme: Otoritas vs. Anti-Otoritas

Anarkisme, sebagaimana dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin, berangkat dari keyakinan bahwa semua bentuk kekuasaan koersif—baik negara, militer, maupun agama—adalah sumber penindasan dan harus dihapuskan. Anarkisme menekankan kebebasan individual dan solidaritas sukarela dalam komunitas otonom yang anti-hierarkis.5

Fasisme, sebaliknya, mendewakan kekuasaan dan otoritas. Kekuasaan politik dalam sistem fasis dianggap sebagai manifestasi kehendak kolektif yang harus dipatuhi secara total. Jika anarkisme membayangkan tatanan sosial tanpa paksaan, fasisme menegaskan pentingnya paksaan demi ketertiban dan regenerasi nasional.

Anarkisme menolak simbolisme nasionalisme dan konsep negara-bangsa, sedangkan fasisme justru menjadikannya pusat ideologi. Kedua aliran ini mungkin sama-sama anti-liberal dalam kritiknya terhadap kapitalisme atau demokrasi parlementer, namun mereka bertolak belakang secara ontologis dalam memandang peran negara dan kekuasaan.

8.4.       Letak Fasisme dalam Spektrum Ideologis

Penempatan fasisme dalam spektrum kiri–kanan politik kerap menjadi perdebatan. Sementara banyak yang mengklasifikasikan fasisme sebagai ideologi sayap kanan ekstrem karena kedekatannya dengan nasionalisme, militerisme, dan konservatisme kultural, beberapa elemen fasisme—seperti retorika anti-kapitalis atau sistem korporatis—juga menunjukkan nuansa kiri.6

Namun, seperti dijelaskan oleh Zeev Sternhell, fasisme pada hakikatnya adalah sintesis eksklusif dari elemen-elemen kanan dan kiri yang disusun bukan atas dasar prinsip rasional, melainkan atas narasi regenerasi emosional bangsa melalui otoritarianisme dan kekerasan kreatif.7 Dengan demikian, fasisme lebih tepat dipahami sebagai ideologi hibrida dan adaptif ketimbang sekadar kanan atau kiri.


Kesimpulan Sementara

Dari perbandingan ini, tampak bahwa fasisme memiliki posisi unik dalam lanskap filsafat sosial-politik: ia menolak kebebasan liberal, keadilan sosialisme, dan anarkisme anti-otoritas, sembari menawarkan suatu bentuk kolektivitas yang agresif, eksklusif, dan estetis. Fasisme menjanjikan keteraturan dan kejayaan, tetapi dengan harga penyerahan total terhadap negara. Dalam konteks ini, pemahaman filosofis terhadap perbedaan fundamental antara fasisme dan aliran lain menjadi penting untuk mencegah penyusupan ide-ide totaliter dalam bentuk-bentuk retoris yang lebih halus pada zaman kontemporer.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Penguin Classics, 1982), 13–18; John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.

[2]                Giovanni Gentile, Origins and Doctrine of Fascism, trans. H. S. Harris (New Brunswick: Transaction Publishers, 2004), 22.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (New York: International Publishers, 1948), 16–22.

[4]                Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945 (Madison: University of Wisconsin Press, 1995), 158–163.

[5]                Peter Kropotkin, The Conquest of Bread (New York: New York University Press, 1972), 78–82; Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 48.

[6]                Kevin Passmore, Fascism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 110–113.

[7]                Zeev Sternhell, The Birth of Fascist Ideology (Princeton: Princeton University Press, 1994), 5–9.


9.           Relevansi Kajian Fasisme dalam Pendidikan dan Wacana Kritis

Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh krisis demokrasi, disinformasi digital, dan bangkitnya populisme otoriter, kajian tentang fasisme menjadi sangat mendesak untuk dikembangkan dalam ruang-ruang pendidikan dan wacana kritis. Fasisme tidak lagi hanya menjadi topik sejarah masa lalu, tetapi telah menjelma menjadi fenomena politik-kultural kontemporer yang mengancam nilai-nilai kebebasan, keberagaman, dan rasionalitas publik. Oleh karena itu, pendidikan kritis yang mengulas secara mendalam akar, bentuk, dan dinamika ideologi fasis menjadi bagian penting dari pembentukan kesadaran kewargaan yang tangguh dan reflektif.

9.1.       Pendidikan Politik dan Literasi Ideologis

Salah satu tugas utama pendidikan dalam masyarakat demokratis adalah membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengkritisi berbagai ideologi politik yang pernah dan masih eksis. Dalam hal ini, pemahaman yang mendalam tentang fasisme berfungsi sebagai peringatan historis dan pelajaran moral. Sebagaimana diungkapkan oleh George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”1

Kajian tentang fasisme dapat membantu peserta didik mengidentifikasi ciri-ciri utama dari kecenderungan otoriter dan manipulasi massal, seperti kultus kepemimpinan, penggunaan musuh imajiner, glorifikasi kekerasan, dan pembungkaman kritik. Pengetahuan ini tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif—mengajak siswa untuk menjadi warga negara yang waspada, empatik, dan rasional dalam menghadapi retorika ekstrem.

9.2.       Pembentukan Kesadaran Historis dan Moral

Sejarah fasisme adalah sejarah pelanggaran besar terhadap kemanusiaan—Holocaust, genosida, perang agresif, dan penindasan sistematis terhadap kebebasan dasar. Oleh karena itu, pengajaran tentang fasisme tidak cukup hanya menyampaikan fakta-fakta sejarah, tetapi harus disertai dengan refleksi etis mengenai nilai-nilai dasar seperti martabat manusia, tanggung jawab sosial, dan solidaritas.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan harus membangkitkan kesadaran kritis (conscientização) yang memungkinkan peserta didik memahami hubungan antara kekuasaan, ideologi, dan penindasan.2 Dalam konteks ini, kajian fasisme menjadi sarana penting untuk mengembangkan pendidikan sebagai praksis pembebasan, bukan sekadar transmisi informasi.

9.3.       Penangkal terhadap Disinformasi dan Politik Kebencian

Era digital telah melahirkan tantangan baru dalam bentuk penyebaran hoaks, teori konspirasi, dan polarisasi ideologis yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem kanan. Dalam kondisi ini, pendidikan memiliki tanggung jawab ganda: membangun kemampuan berpikir kritis dan media literacy yang kuat, serta menanamkan nilai-nilai kebebasan berpikir, toleransi, dan keberagaman.

Studi oleh Henry Giroux menunjukkan bahwa kebangkitan fasisme pascamodern sering kali dimediasi oleh budaya populer dan internet, di mana narasi-narasi eksklusif dan simplistik mudah viral dalam bentuk meme, video, atau slogan emosional yang dangkal.3 Pendidikan yang tidak kritis akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya sikap intoleran, chauvinistik, dan otoriter yang dibalut dalam kemasan “nasionalisme” semu.

9.4.       Integrasi dalam Kurikulum dan Pendekatan Interdisipliner

Untuk menjawab tantangan ini, studi tentang fasisme perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan formal—khususnya pada mata pelajaran sejarah, filsafat, kewarganegaraan, dan pendidikan agama—dengan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan perspektif historis, filosofis, etis, dan sosiologis. Materi ini dapat dikaitkan dengan isu-isu aktual seperti intoleransi agama, rasisme, penindasan minoritas, serta krisis ekologi dan migrasi global yang sering dijadikan alat retorika oleh kelompok-kelompok ekstremis.

Lebih lanjut, pendidikan juga harus mendorong diskusi reflektif dan dialog terbuka antar pelajar agar mereka tidak hanya memahami konsep, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial mereka. Hal ini penting untuk mencegah pengulangan sejarah dalam bentuk baru dan untuk membangun daya tahan kolektif terhadap godaan totalitarianisme.

9.5.       Pendidikan sebagai Tindakan Resistensi Kultural

Pendidikan bukan hanya soal penyampaian konten, tetapi juga merupakan medan perjuangan budaya (cultural struggle) melawan dominasi wacana hegemonik yang menormalisasi ketakutan, kebencian, dan eksklusi. Sebagaimana ditegaskan oleh bell hooks, pendidikan harus menjadi “praktik kebebasan” yang mendorong pelajar untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi.4

Dalam kaitannya dengan fasisme, pendidikan berfungsi sebagai benteng pertahanan kultural—yang mencegah banalitas kejahatan (banality of evil) sebagaimana dikritik oleh Hannah Arendt—dengan memupuk pemikiran kritis, keberanian moral, dan kepekaan terhadap ketidakadilan struktural.5


Kesimpulan Sementara

Kajian fasisme dalam dunia pendidikan bukanlah semata pelajaran sejarah atau ideologi, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab intelektual dan etis dalam membentuk warga negara yang demokratis, kritis, dan humanis. Di tengah arus regresif yang membahayakan nilai-nilai pluralisme dan rasionalitas publik, pendidikan menjadi medan utama untuk menjaga api kesadaran dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk otoritarianisme yang terus bermutasi. Oleh sebab itu, memasukkan studi fasisme ke dalam agenda pendidikan adalah investasi moral dan politik jangka panjang bagi masa depan peradaban yang lebih bebas dan adil.


Footnotes

[1]                George Santayana, The Life of Reason: Reason in Common Sense (New York: Scribner's, 1905), 284.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 27–28.

[3]                Henry A. Giroux, American Nightmare: Facing the Challenge of Fascism (San Francisco: City Lights Books, 2018), 103–107.

[4]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.

[5]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Penguin Books, 2006), 287–289.


10.       Penutup

Kajian mengenai fasisme dalam konteks filsafat sosial-politik merupakan upaya reflektif yang tidak hanya berorientasi pada pemahaman historis, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen etis dan politis untuk mencegah berulangnya tragedi yang ditimbulkan oleh ideologi totalitarian tersebut. Sebagai ideologi yang lahir dari situasi krisis, fasisme telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk kekuasaan yang ekstrem, penuh kontrol, dan represif, dengan menolak prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan individu, rasionalitas politik, dan pluralisme sosial.

Fasisme bukan sekadar gejala sejarah masa lalu, tetapi juga merupakan tantangan yang terus menghantui masyarakat modern melalui transformasi ideologis dalam bentuk neofasisme, populisme sayap kanan, dan otoritarianisme digital. Pemikir seperti Robert Paxton dan Jason Stanley telah menunjukkan bahwa unsur-unsur fundamental fasisme—seperti politik identitas eksklusif, anti-intelektualisme, dan kultus kepemimpinan—dapat bermutasi dalam lanskap politik kontemporer, sering kali dalam bentuk yang lebih terselubung namun tidak kalah berbahaya.1

Dalam kerangka filsafat politik, fasisme memperlihatkan paradigma yang secara radikal berlawanan dengan tradisi Pencerahan, terutama dalam pandangannya terhadap negara, kekuasaan, hukum, dan individu. Di tengah-tengah krisis demokrasi liberal dan keterpecahan sosial akibat polarisasi informasi, mempelajari kembali fasisme menjadi bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral dalam menjaga kehidupan bersama yang adil dan manusiawi.

Kajian ini menunjukkan bahwa fasisme tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sekadar praktik kediktatoran, tetapi harus dilihat sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh—yang menggabungkan elemen filosofis, mitologis, estetis, dan politik ke dalam satu konstruksi ideologis yang total. Seperti yang ditekankan oleh Emilio Gentile, fasisme adalah bentuk politik sebagai agama, di mana negara tidak hanya mengatur kehidupan publik, tetapi juga membentuk iman kolektif dan tata moral warga.2

Kesadaran akan bahaya fasisme, baik yang laten maupun yang eksplisit, perlu terus dipelihara melalui pendidikan, dialog publik, serta praktik politik yang demokratis dan inklusif. Pendidikan filsafat sosial-politik, dalam hal ini, tidak hanya menjadi sarana pemahaman intelektual, tetapi juga sebagai benteng perlawanan terhadap bangkitnya kembali kekuasaan yang anti-kebebasan dan anti-kemanusiaan.

Akhirnya, dalam menghadapi era yang penuh ketidakpastian ini, penting bagi masyarakat global untuk membangun ketahanan demokratis yang berpijak pada nilai-nilai kebebasan, keadilan, solidaritas, dan keberagaman. Fasisme, dengan segala daya tariknya yang semu, harus dikenali dan dihadapi bukan hanya sebagai ideologi, tetapi sebagai ancaman filosofis terhadap martabat manusia dan masa depan peradaban.


Footnotes

[1]                Robert O. Paxton, The Anatomy of Fascism (New York: Alfred A. Knopf, 2004), 204–209; Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them (New York: Random House, 2018), 211–216.

[2]                Emilio Gentile, Politics as Religion (Princeton: Princeton University Press, 2006), 134–138.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. N. (1950). The authoritarian personality. Harper & Row.

Arendt, H. (2006). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. Penguin Books.

Bakunin, M. (1990). Statism and anarchy (M. Shatz, Trans.). Cambridge University Press.

Ben-Ghiat, R. (2020). Strongmen: Mussolini to the present. W. W. Norton.

Berlin, I. (2002). Liberty (H. Hardy, Ed.). Oxford University Press.

Camus, J.-Y., & Lebourg, N. (2017). Far-right politics in Europe. Harvard University Press.

Evans, R. J. (2005). The Third Reich in power, 1933–1939. Penguin Books.

Evans, R. J. (2008). The Third Reich at war, 1939–1945. Penguin Books.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Gentile, E. (2004). Origins and doctrine of fascism (H. S. Harris, Trans.). Transaction Publishers.

Gentile, E. (2006). Fascism: A political religion. Princeton University Press.

Gentile, E. (2006). Politics as religion. Princeton University Press.

Giroux, H. A. (2018). American nightmare: Facing the challenge of fascism. City Lights Books.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Griffin, R. (1991). The nature of fascism. Routledge.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.

Institute for Strategic Dialogue. (2020). Hate in the machine: Anti-Black racism and algorithmic amplification on YouTube. https://www.isdglobal.org

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kershaw, I. (2008). Hitler: A biography. W. W. Norton.

Kropotkin, P. (1972). The conquest of bread. New York University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

Lukács, G. (1981). The destruction of reason (P. Palmer, Trans.). Merlin Press.

Marx, K., & Engels, F. (1948). The communist manifesto. International Publishers.

Mill, J. S. (1982). On liberty. Penguin Classics.

Mudde, C. (2019). The far right today. Polity Press.

Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Paxton, R. O. (2004). The anatomy of fascism. Alfred A. Knopf.

Payne, S. G. (1995). A history of fascism, 1914–1945. University of Wisconsin Press.

Pope Pius XI. (1981). Mit brennender Sorge (1937). In C. Carlen (Ed.), The papal encyclicals, 1903–1939 (pp. 418–425). McGrath Publishing Company.

Popper, K. R. (1966). The open society and its enemies (Vol. 1). Princeton University Press.

Santayana, G. (1905). The life of reason: Reason in common sense. Scribner's.

Sartre, J.-P. (1948). Existentialism and humanism (P. Mairet, Trans.). Methuen.

Sorel, G. (1999). Reflections on violence (T. E. Hulme, Trans.). Cambridge University Press.

Stanley, J. (2018). How fascism works: The politics of us and them. Random House.

Sternhell, Z. (1994). The birth of fascist ideology. Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar