Kamis, 12 Juni 2025

Naturalisme: Hakikat Realitas dalam Perspektif Alamiah

Naturalisme

Hakikat Realitas dalam Perspektif Alamiah


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran filsafat naturalisme dalam konteks ontologi, yakni sebagai pandangan yang menegaskan bahwa realitas semata-mata terdiri dari entitas dan proses yang bersifat alamiah, tanpa melibatkan dimensi transendental atau supranatural. Dimulai dari penelusuran historis terhadap akar-akar naturalisme dalam filsafat Yunani Kuno hingga perkembangannya dalam tradisi filsafat modern dan kontemporer, artikel ini mengeksplorasi pengertian, posisi, ragam varian, serta tokoh-tokoh sentral yang membentuk dan mengembangkan naturalisme sebagai kerangka pemikiran ontologis. Selain itu, artikel ini juga mengkaji kritik-kritik filosofis yang diajukan terhadap naturalisme dari berbagai perspektif, termasuk filsafat agama, idealisme, eksistensialisme, dan fenomenologi. Di bagian akhir, artikel menyoroti relevansi naturalisme dalam berbagai wacana kontemporer seperti filsafat sains, etika sekuler, ekologi, dan ilmu kognitif. Dengan pendekatan historis-kritis, artikel ini menunjukkan bahwa naturalisme bukan hanya pandangan metafisik, tetapi juga merupakan fondasi filosofis yang terus berkontribusi dalam menjawab tantangan intelektual modern.

Kata Kunci: Naturalisme, Ontologi, Realitas, Filsafat Alam, Sains dan Filsafat, Etika Sekuler, Evolusi, Epistemologi Naturalistik.


PEMBAHASAN

Naturalism sebagai Aliran dalam Filsafat Ontologi


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai usaha manusia dalam memahami hakikat kenyataan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran ontologis. Salah satu di antaranya yang memiliki pengaruh besar, baik dalam tradisi Barat maupun dalam epistemologi ilmiah modern, adalah naturalisme. Aliran ini menyatakan bahwa segala bentuk eksistensi pada dasarnya dapat dijelaskan dalam kerangka hukum-hukum alam, tanpa memerlukan asumsi akan keberadaan entitas supranatural atau transendental. Dalam perspektif ini, realitas dipahami sebagai rangkaian fenomena yang berlangsung secara kausal dan dapat diketahui melalui pengamatan empiris dan analisis rasional.

Naturalisme dalam konteks ontologi menekankan bahwa nature (alam) merupakan satu-satunya tatanan realitas yang ada, dan semua hal yang eksis merupakan bagian darinya. Oleh karena itu, segala bentuk pengetahuan tentang keberadaan harus didasarkan pada pengamatan terhadap dunia alamiah itu sendiri. Aliran ini memiliki akar yang dalam dalam filsafat Yunani Kuno, terutama melalui pemikiran para filsuf pra-Sokratik seperti Thales dan Anaximandros yang mencoba menjelaskan asal-usul alam semesta secara rasional tanpa merujuk pada mitos atau intervensi ilahi¹.

Perkembangan naturalisme secara historis sangat terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern sejak masa pencerahan. Pandangan bahwa alam semesta dapat dijelaskan secara logis dan sistematis melalui hukum-hukum fisika, biologi, dan kimia mendorong para filsuf dan ilmuwan seperti Spinoza, Darwin, dan Quine untuk merumuskan ulang pemahaman kita tentang realitas dengan basis alamiah². Dalam hal ini, naturalisme tidak hanya menjadi pandangan metafisik, tetapi juga menjadi kerangka kerja epistemologis dan metodologis yang digunakan dalam ilmu-ilmu empiris³.

Namun, naturalisme tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir menilai bahwa naturalisme terlalu menyederhanakan realitas dengan menolak aspek-aspek non-material seperti nilai, makna, dan kesadaran subjektif⁴. Walaupun demikian, naturalisme tetap memainkan peran penting dalam perdebatan filosofis kontemporer, terutama dalam diskusi-diskusi tentang hubungan antara sains dan agama, filsafat pikiran, dan etika lingkungan.

Dengan demikian, pembahasan tentang naturalisme dalam cabang ontologi bukan hanya penting untuk memahami akar-akar konseptual dari pandangan realitas modern, tetapi juga berguna dalam membingkai ulang bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam tatanan kosmik yang alamiah dan bersifat imanen. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam hakikat realitas menurut naturalisme, dengan menelusuri sejarah, tokoh-tokoh sentral, varian aliran, kritik, dan relevansi kontemporernya dalam wacana filsafat dan kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 41–44.

[2]                Richard Dawkins, The Blind Watchmaker (London: Penguin Books, 2006), 4–6.

[3]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[4]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 5–7.


2.           Pengertian dan Asal-Usul Naturalisme

Naturalisme, dalam pengertian filosofisnya, merujuk pada pandangan bahwa alam (nature) merupakan satu-satunya realitas yang eksis dan seluruh fenomena, termasuk manusia dan kesadarannya, dapat dijelaskan secara ilmiah tanpa melibatkan kekuatan supranatural. Pandangan ini menempatkan dunia alamiah sebagai dasar ontologis dari segala bentuk keberadaan, di mana seluruh eksistensi tunduk pada hukum kausalitas yang tetap dan dapat diketahui melalui observasi serta penalaran rasional¹.

Secara etimologis, istilah “naturalisme” berasal dari kata Latin natura, yang berarti “alam” atau “segala yang lahir.” Dalam sejarah pemikiran filsafat, naturalisme muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan supranatural atau mitologis yang sebelumnya mendominasi penjelasan tentang eksistensi. Dalam konteks ini, naturalisme lebih merupakan pendekatan filosofis yang menolak intervensi adikodrati dan menekankan bahwa realitas bersifat imanen, bukan transenden².

Asal-usul historis naturalisme dapat ditelusuri hingga filsuf-filsuf pra-Sokratik di Yunani Kuno, khususnya Thales dari Miletos (sekitar abad ke-6 SM) yang dianggap sebagai tokoh awal yang mencari prinsip pertama (arche) dalam elemen-elemen alam, seperti air, tanpa merujuk pada mitos³. Anaximenes dan Herakleitos juga mengembangkan pandangan serupa dengan mengusulkan udara dan api sebagai unsur utama realitas. Mereka berupaya memahami dunia sebagai proses yang teratur dan rasional, bukan sebagai hasil tindakan dewa-dewa mitologis⁴.

Tradisi ini berkembang lebih jauh dalam filsafat Hellenistik dan Romawi, terutama melalui epikureanisme dan stoisisme yang menekankan hukum-hukum alam dan penalaran manusia sebagai dasar hidup etis dan pemahaman dunia. Dalam periode modern, naturalisme mengalami revitalisasi melalui pemikiran Baruch Spinoza, yang secara radikal mengidentifikasi Tuhan dengan alam semesta itu sendiri (Deus sive Natura)⁵. Spinoza menolak pandangan dualistik antara alam dan ilahi, dan memandang bahwa segala yang ada merupakan manifestasi dari satu substansi yang sama, yaitu alam.

Naturalisme sebagai aliran filsafat ontologis mulai mendapatkan bentuk yang lebih sistematis pada masa pencerahan, ketika filsuf dan ilmuwan seperti David Hume dan Pierre-Simon Laplace mulai menolak intervensi Tuhan dalam penjelasan ilmiah dan menggantikannya dengan penalaran empiris dan deduktif. Dalam era kontemporer, naturalisme diteruskan dan diperluas oleh pemikir seperti W.V.O. Quine, John Dewey, dan Richard Dawkins, yang menjadikan naturalisme sebagai landasan metodologis sekaligus metafisik dalam memahami dunia⁶.

Dengan demikian, naturalisme tidak hanya merupakan pandangan ontologis semata, melainkan juga merupakan landasan filosofis yang menginformasikan perkembangan ilmu pengetahuan modern, etika sekuler, dan humanisme kontemporer. Pemahaman terhadap asal-usul dan evolusi konsep naturalisme sangat penting untuk melihat bagaimana filsafat Barat secara bertahap bergeser dari paradigma transendental ke arah pemikiran yang berbasis pada alam dan pengalaman empiris.


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Scientific Materialism (Dordrecht: Reidel Publishing Company, 1975), 121–122.

[2]                John Lachs, Mind and Philosophical Inquiry (Lewisburg: Bucknell University Press, 1987), 33.

[3]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 38–40.

[4]                W.K.C. Guthrie, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 65–78.

[5]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), I:14.

[6]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 75–79.


3.           Posisi Naturalisme dalam Ontologi

Dalam cabang filsafat ontologi, naturalisme menempati posisi yang tegas dan eksklusif sebagai pendekatan yang meyakini bahwa hanya realitas alamiah yang benar-benar eksis. Segala sesuatu yang ada, termasuk keberadaan manusia, kesadaran, nilai, dan struktur realitas, diyakini tunduk sepenuhnya pada hukum-hukum alam. Ontologi naturalistik, dengan demikian, menolak pandangan metafisik yang mengakui adanya entitas non-material atau realitas transenden yang berada di luar jangkauan dunia empiris¹.

Naturalisme mengasumsikan monisme ontologis, yakni pandangan bahwa seluruh kenyataan bersumber dari satu substansi dasar: alam itu sendiri. Tidak ada dualitas antara materi dan roh, tubuh dan jiwa, atau dunia dan Tuhan yang terpisah. Segala bentuk dualisme dianggap ilusi atau hasil konstruksi konseptual yang tidak memiliki dasar realitas². Dalam kerangka ini, naturalisme berseberangan dengan idealisme dan teisme yang mengakui eksistensi entitas non-fisik sebagai aspek realitas yang otonom dan esensial.

Salah satu prinsip utama dalam naturalisme ontologis adalah kausalitas alamiah. Setiap peristiwa atau entitas dianggap memiliki sebab alamiah yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Tidak ada ruang untuk intervensi adikodrati, mukjizat, atau fenomena yang melampaui hukum alam. Ini berarti bahwa bahkan aspek-aspek seperti pikiran, kesadaran, dan moralitas dipahami sebagai produk dari proses biologis, neurologis, atau evolusioner³. Oleh karena itu, dalam pandangan naturalistik, filsafat harus bekerja sejajar dengan ilmu pengetahuan, bukan menentangnya⁴.

Naturalisme ontologis juga menuntut bahwa realitas bersifat imanen, yakni bahwa segala sesuatu hadir dalam ranah pengalaman manusia dan tidak bergantung pada kekuatan eksternal yang tidak dapat diverifikasi. Dalam arti ini, naturalisme menolak bentuk realitas yang bersifat “di luar” atau “melampaui” alam, seperti dunia ideal Plato atau Tuhan sebagai entitas transendental dalam tradisi teistik. Alih-alih mengandalkan intuisi atau wahyu sebagai dasar ontologis, naturalisme memprioritaskan observasi empiris dan metode induktif⁵.

Tokoh-tokoh seperti Baruch Spinoza telah menegaskan posisi ini dengan memandang bahwa Tuhan dan alam bukanlah dua entitas yang berbeda, melainkan satu dan sama—sebuah pandangan yang dikenal dengan istilah Deus sive Natura. Artinya, segala sesuatu yang eksis adalah manifestasi dari satu substansi yang sama, yakni alam itu sendiri⁶. Pandangan ini di kemudian hari menjadi inspirasi bagi naturalisme modern, yang berpijak pada pemahaman bahwa struktur realitas tidak memerlukan landasan metafisik di luar hukum-hukum alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, posisi naturalisme dalam ontologi diperkuat oleh pendekatan naturalism ilmiah (scientific naturalism), yang mengklaim bahwa semua entitas dan peristiwa yang benar-benar ada dapat dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Tokoh seperti W.V.O. Quine secara eksplisit mengusulkan bahwa epistemologi harus direvisi menjadi bagian dari psikologi empiris, yang sekaligus menyiratkan bahwa kajian tentang “ada” pun harus tunduk pada prinsip-prinsip ilmiah yang sama⁷.

Dengan demikian, posisi naturalisme dalam ontologi sangat jelas: ia menolak semua bentuk realitas yang tidak bisa ditangkap secara empiris, mendukung monisme substansial berbasis alam, dan menempatkan sains sebagai alat utama dalam memahami eksistensi. Posisi ini bukan hanya mencerminkan suatu sikap filosofis, tetapi juga membentuk fondasi ideologis bagi pandangan dunia modern, khususnya dalam ranah sains, pendidikan, dan humanisme sekuler.


Footnotes

[1]                David Papineau, “Naturalism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/naturalism/.

[2]                Mario Bunge, Scientific Materialism (Dordrecht: Reidel, 1975), 142.

[3]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 33–38.

[4]                Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 73–76.

[5]                Paul Kurtz, The Transcendental Temptation (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 21.

[6]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), Part I, Proposition 14.

[7]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 75–90.


4.           Ragam dan Varian Naturalisme

Naturalisme sebagai aliran filsafat tidak bersifat monolitik. Ia memiliki beberapa varian konseptual yang berkembang dalam spektrum metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu. Ragam naturalisme ini menunjukkan adanya pluralitas pendekatan dalam menafsirkan apa yang disebut sebagai “realitas alamiah.” Secara umum, varian utama dari naturalisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk pokok: naturalisme metafisik, naturalisme ilmiah, dan naturalisme evolusioner/biologis.

4.1.       Naturalisme Metafisik

Naturalisme metafisik (metaphysical naturalism) adalah bentuk paling fundamental dari aliran ini. Ia menyatakan bahwa realitas yang eksis hanyalah alam dan segala yang terkandung di dalamnya, tanpa menyisakan ruang bagi entitas supernatural, spiritual, atau adikodrati. Dalam pandangan ini, tidak ada entitas yang eksistensinya berada di luar ruang, waktu, dan hukum kausalitas alamiah¹.

Naturalisme metafisik bersifat ontologis murni: ia berbicara tentang apa yang ada dan menetapkan bahwa semua bentuk eksistensi pada akhirnya harus dapat direduksi ke dalam komponen-komponen fisik atau material. Salah satu tokoh yang sering diasosiasikan dengan pendekatan ini adalah Paul Kurtz, yang menyatakan bahwa dunia ini bersifat sepenuhnya tertutup secara ontologis, dan tidak membutuhkan “intervensi” dari luar².

4.2.       Naturalisme Ilmiah

Naturalisme ilmiah (scientific naturalism) menekankan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sah untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Dengan demikian, bentuk naturalisme ini tidak hanya menetapkan bahwa realitas bersifat alamiah, tetapi juga bahwa pemahaman kita tentang realitas harus diperoleh melalui metode empiris dan rasional³.

W.V.O. Quine, dalam esainya yang berpengaruh “Epistemology Naturalized,” menyatakan bahwa bahkan filsafat seharusnya menjadi bagian dari ilmu alam, khususnya psikologi empiris⁴. Artinya, tidak ada perbedaan mendasar antara metode filosofis dan metode ilmiah; keduanya harus tunduk pada pengujian terhadap data dan observasi dunia nyata.

Naturalisme ilmiah sering digunakan untuk menentang posisi filsafat tradisional yang terlalu spekulatif atau teologis, serta sebagai dasar ideologis untuk penolakan terhadap pseudoscience, mistisisme, dan dogma keagamaan dalam pengetahuan⁵.

4.3.       Naturalisme Evolusioner dan Biologis

Ragam ini menjelaskan realitas, khususnya manusia dan kesadarannya, dalam kerangka teori evolusi biologis. Kesadaran, akal budi, dan moralitas dipandang bukan sebagai entitas terpisah atau ilahi, melainkan sebagai produk dari proses seleksi alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Pendekatan ini didukung oleh ilmuwan dan filsuf seperti Richard Dawkins, Daniel Dennett, dan Edward O. Wilson⁶.

Dalam konteks ini, naturalisme menyatakan bahwa pikiran dan kesadaran adalah hasil dari evolusi sistem saraf, bukan roh atau jiwa. Implikasi ontologis dari pendekatan ini sangat besar, karena ia menegaskan bahwa bahkan dimensi terdalam dari subjektivitas manusia pun memiliki asal-usul biologis yang dapat dijelaskan secara ilmiah⁷.

4.4.       Perbandingan dengan Materialisme dan Fisikalisme

Meskipun seringkali disamakan, naturalisme tidak identik dengan materialisme atau fisikalisme. Materialisme berpegang bahwa realitas terdiri dari materi sebagai substansi utama, sementara fisikalisme memperluas cakupan ini kepada semua entitas yang dijelaskan oleh fisika fundamental, termasuk energi dan medan⁸. Naturalisme, meskipun sering mengadopsi prinsip materialistik, cenderung lebih metodologis dan terbuka terhadap perluasan model ilmiah, asalkan tetap dalam batas penjelasan natural.

Dengan demikian, naturalisme dapat dilihat sebagai suatu spektrum: mulai dari posisi metafisik yang ketat hingga pendekatan ilmiah dan evolusioner yang dinamis. Ragam inilah yang menjadikan naturalisme tetap relevan dan adaptif terhadap perkembangan pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Scientific Materialism (Dordrecht: Reidel, 1975), 129–131.

[2]                Paul Kurtz, Exuberant Skepticism (Buffalo: Prometheus Books, 2010), 88.

[3]                Michael Rea, “Naturalism and the Nature of Philosophy,” Faith and Philosophy 18, no. 1 (2001): 52–74.

[4]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 75–90.

[5]                Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science Without Legend, Objectivity Without Illusions (Oxford: Oxford University Press, 1993), 89–92.

[6]                Richard Dawkins, The Selfish Gene, 30th Anniversary ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), 14–17.

[7]                Daniel Dennett, Darwin's Dangerous Idea: Evolution and the Meanings of Life (New York: Simon & Schuster, 1995), 373–374.

[8]                Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton: Princeton University Press, 2005), 6–7.


5.           Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikiran Sentral

Naturalisme sebagai aliran dalam ontologi telah dikembangkan oleh berbagai pemikir lintas zaman yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan, penguatan, dan penyebaran gagasan bahwa realitas hanya dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip alamiah. Para tokoh ini bukan hanya memberikan argumen filosofis, tetapi juga menegaskan dasar ontologis naturalisme melalui kerangka ilmiah, etika, dan epistemologi. Lima tokoh penting berikut ini dipilih karena mewakili spektrum historis dan substansial dari perkembangan naturalisme.

5.1.       Baruch Spinoza (1632–1677): Identifikasi Tuhan dengan Alam

Spinoza merupakan figur kunci dalam sejarah naturalisme metafisik. Dalam karya monumentalnya Ethics, ia menolak dualisme Cartesian dan mengajukan pandangan bahwa Tuhan dan alam (Deus sive Natura) adalah satu dan sama¹. Baginya, segala yang eksis merupakan manifestasi dari satu substansi tunggal yang abadi, yang ia sebut sebagai Tuhan-Alam. Tidak ada eksistensi di luar hukum kausalitas alamiah, dan segala fenomena bersifat deterministik.

Spinoza menolak gagasan kehendak bebas dalam arti metafisik, dan berpendapat bahwa kebebasan manusia hanyalah pemahaman terhadap keharusan alam². Dengan pemikiran ini, ia menjadi pelopor bagi ontologi imanen yang mengidentikkan struktur realitas dengan hukum alam tanpa intervensi transendental.

5.2.       Julien Offray de La Mettrie (1709–1751): Manusia sebagai Mesin

Dalam bukunya yang kontroversial L’Homme Machine (Manusia Mesin), La Mettrie menyatakan bahwa manusia tidak lebih dari organisme biologis yang tunduk pada hukum fisika dan fisiologi, serupa dengan mesin mekanis³. Dengan menyatukan filsafat materialisme dan pendekatan empiris terhadap tubuh dan pikiran, La Mettrie memberikan dasar fisiologis bagi naturalisme dalam memahami eksistensi manusia.

Ia meyakini bahwa pikiran dan kesadaran bukan berasal dari jiwa immaterial, tetapi dari interaksi kompleks organ tubuh, terutama otak. Pemikirannya merupakan cikal bakal naturalisme biologis yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam ilmu saraf modern.

5.3.       John Dewey (1859–1952): Naturalisme dalam Kerangka Pragmatisme

John Dewey merupakan tokoh kunci dalam menggabungkan naturalisme dan pragmatisme dalam filsafat Amerika. Ia mengembangkan suatu bentuk naturalisme humanistik, di mana realitas dipahami sebagai proses dinamis dan terus berubah yang dapat dijelajahi melalui pengalaman manusia⁴.

Bagi Dewey, filsafat tidak bertugas untuk menemukan struktur mutlak dari dunia, melainkan untuk mengarahkan tindakan manusia dalam menghadapi lingkungan alam dan sosial. Dalam karyanya Experience and Nature, ia menyatakan bahwa segala realitas yang bermakna harus berakar dalam pengalaman dan interaksi organisme dengan lingkungan⁵.

5.4.       W.V.O. Quine (1908–2000): Epistemologi yang Dinasionalisasi

Quine adalah salah satu pendukung paling radikal dari naturalisme ilmiah. Dalam esainya yang terkenal, Epistemology Naturalized, ia menolak dikotomi antara filsafat dan sains, dan mengusulkan bahwa epistemologi harus direduksi menjadi bagian dari ilmu empiris, khususnya psikologi kognitif⁶.

Dengan pendekatan ini, Quine menegaskan bahwa ontologi tidak boleh lebih luas daripada yang dibutuhkan oleh teori ilmiah terbaik yang tersedia. Ia menghubungkan filsafat dengan program sains alamiah, sehingga memperkuat posisi bahwa seluruh eksistensi harus bisa dijelaskan secara ilmiah.

5.5.       Richard Dawkins (1941–): Evolusi dan Alam sebagai Sumber Eksistensi

Sebagai ahli biologi evolusioner dan popularis sains, Richard Dawkins memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan naturalisme kepada publik luas. Dalam The Selfish Gene dan The God Delusion, ia menyatakan bahwa evolusi adalah mekanisme utama yang menjelaskan kompleksitas makhluk hidup, termasuk kesadaran dan moralitas⁷.

Dawkins menolak gagasan bahwa keberadaan atau nilai-nilai moral harus bergantung pada entitas adikodrati, dan menegaskan bahwa keindahan serta makna dapat ditemukan dalam pemahaman ilmiah terhadap alam. Ia membela naturalisme sebagai dasar ontologis sekaligus eksistensial dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar manusia.


Kesimpulan Subbab

Kelima tokoh ini memperlihatkan spektrum perkembangan naturalisme dari metafisika klasik hingga sains kontemporer. Masing-masing membawa kontribusi yang khas—dari determinisme Spinoza, mekanisme biologis La Mettrie, interaksi pengalaman Dewey, naturalisasi epistemologi oleh Quine, hingga evolusionisme Dawkins. Keberagaman ini menegaskan bahwa naturalisme bukan doktrin kaku, tetapi suatu kerangka dinamis yang terus berkembang seiring kemajuan pemikiran dan ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), I:14–15.

[2]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 226–228.

[3]                Julien Offray de La Mettrie, Man a Machine, trans. Gertrude Carman Bussey (La Salle, IL: Open Court Publishing, 1912), 9–11.

[4]                John Dewey, The Quest for Certainty (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 20.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court Publishing, 1925), 3–4.

[6]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 78–80.

[7]                Richard Dawkins, The Selfish Gene, 30th Anniversary ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), x–xi; Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 188–190.


6.           Kritik terhadap Naturalisme

Meskipun naturalisme memainkan peran penting dalam filsafat modern dan menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan kontemporer, aliran ini tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai sudut pandang, termasuk filsafat agama, idealisme, eksistensialisme, dan bahkan dari dalam tradisi ilmiah itu sendiri. Kritik-kritik ini tidak hanya mempertanyakan validitas ontologis naturalisme, tetapi juga menggarisbawahi keterbatasannya dalam menjelaskan aspek-aspek fundamental dari pengalaman manusia, seperti kesadaran, nilai moral, dan makna hidup.

6.1.       Kritik dari Filsafat Agama: Kekosongan Transendensi

Salah satu kritik paling klasik terhadap naturalisme datang dari filsafat agama, yang menolak asumsi dasar bahwa realitas sepenuhnya imanen dan tertutup dalam tatanan alam. Bagi pemikir religius seperti Alvin Plantinga, naturalisme adalah sistem kepercayaan yang secara internal kontradiktif karena tidak mampu menjelaskan keandalan kapasitas kognitif manusia jika kesadaran hanyalah hasil dari proses evolusi buta tanpa arah atau maksud⁽¹⁾.

Plantinga dalam argumennya yang terkenal—evolutionary argument against naturalism—menunjukkan bahwa jika naturalisme dan evolusi keduanya benar, maka tidak ada jaminan bahwa keyakinan manusia, termasuk kepercayaan terhadap naturalisme itu sendiri, adalah rasional atau dapat dipercaya⁽²⁾. Hal ini menimbulkan paradoks epistemologis yang menggoyahkan fondasi naturalisme sebagai sistem pengetahuan yang sahih.

6.2.       Kritik dari Idealisme: Reduksionisme Materialistik

Dari perspektif idealisme, naturalisme dikritik karena mereduksi seluruh realitas ke dalam bentuk fisik atau material. Filsuf idealis seperti George Berkeley menolak bahwa benda material memiliki eksistensi independen dari persepsi, dan berpendapat bahwa semua eksistensi bersifat mental atau spiritual⁽³⁾. Bagi para idealis, pengalaman subjektif tidak dapat dijelaskan secara utuh melalui mekanisme fisiologis atau hukum alam saja.

Dalam konteks ini, naturalisme dituduh mengabaikan peran kesadaran dan subyektivitas sebagai dimensi ontologis yang penting. Bahkan, beberapa pemikir kontemporer menyatakan bahwa upaya menjelaskan fenomena mental melalui neurosains atau biologi semata-mata adalah bentuk category mistake—yakni kesalahan dalam mengklasifikasikan jenis realitas yang sedang dibahas⁽⁴⁾.

6.3.       Kritik dari Eksistensialisme dan Fenomenologi: Kehampaan Makna

Aliran eksistensialisme, seperti yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, juga menyuarakan kritik terhadap naturalisme yang dianggap mengesampingkan makna eksistensial manusia. Dalam pandangan eksistensialis, manusia adalah makhluk yang tidak hanya hidup secara biologis, tetapi juga mencari makna, autentisitas, dan tujuan dalam hidupnya. Naturalisme yang terlalu berfokus pada hukum alam dianggap tidak mampu menangkap kompleksitas eksistensi manusia dalam keutuhannya⁽⁵⁾.

Demikian pula, pendekatan fenomenologis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl menolak pandangan naturalistik yang objektivistik terhadap dunia. Husserl menyatakan bahwa kita tidak bisa memahami dunia semata-mata sebagai objek material tanpa terlebih dahulu memahami bagaimana dunia tersebut diintensionalisasi dalam kesadaran manusia⁽⁶⁾. Bagi fenomenologi, dunia hadir dalam dan melalui pengalaman subyektif yang tidak bisa sepenuhnya direduksi ke dalam hukum kausalitas alamiah.

6.4.       Kritik Internal: Reduksionisme dan Kehilangan Kompleksitas

Bahkan dari kalangan ilmiah dan filsafat sains sendiri, naturalisme dikritik karena berpotensi menjebak diri dalam reduksionisme ekstrem. Thomas Nagel, seorang filsuf kontemporer yang kritis terhadap naturalisme materialistik, berpendapat bahwa pendekatan tersebut gagal menjelaskan kesadaran subjektif (qualia) secara memadai. Dalam bukunya Mind and Cosmos, ia menyatakan bahwa “naturalist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false”⁽⁷⁾.

Nagel berargumen bahwa kesadaran bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan hanya melalui interaksi neuron atau seleksi alam, melainkan merupakan aspek fundamental dari realitas yang menuntut jenis penjelasan ontologis yang berbeda. Kritik ini menunjukkan bahwa naturalisme perlu direvisi atau diperluas agar mampu menampung kompleksitas pengalaman manusia secara utuh.


Kesimpulan Subbab

Kritik-kritik terhadap naturalisme mengungkapkan bahwa meskipun ia memiliki kekuatan dalam menjelaskan realitas fisik dan empiris, ia menghadapi keterbatasan serius dalam menjelaskan aspek non-material dari eksistensi manusia. Respons terhadap kritik ini memunculkan diskusi-diskusi baru dalam filsafat kontemporer, seperti naturalism reflektif, emergentisme, dan pendekatan interdisipliner yang mencoba menjembatani sains dan humaniora.


Footnotes

[1]                Alvin Plantinga, “Naturalism Defeated?” in Naturalism Defeated? Essays on Plantinga’s Evolutionary Argument against Naturalism, ed. James Beilby (Ithaca: Cornell University Press, 2002), 1–2.

[2]                Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (New York: Oxford University Press, 1993), 216–218.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3–§5.

[4]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 195–198.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.

[6]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 70–74.

[7]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 5–7.


7.           Naturalisme dan Relevansinya dalam Wacana Kontemporer

Naturalisme bukan sekadar warisan intelektual dari masa pencerahan atau paradigma ontologis dalam filsafat klasik, melainkan suatu pendekatan yang terus berpengaruh secara aktif dalam berbagai bidang pemikiran dan kehidupan kontemporer. Dalam era di mana kemajuan sains, teknologi, dan rasionalitas empiris sangat mendominasi wacana global, naturalisme memperoleh tempat istimewa sebagai kerangka konseptual untuk menjawab persoalan-persoalan besar umat manusia — dari metafisika hingga bioetika, dari pendidikan hingga relasi antara sains dan agama.

7.1.       Naturalisme dalam Filsafat Sains dan Metodologi Ilmiah

Di bidang filsafat sains, naturalisme telah menjadi fondasi epistemologis yang memengaruhi cara kita memahami validitas pengetahuan ilmiah. Pandangan ini menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah tidak berdiri di atas fondasi metafisika yang netral, melainkan dipandu oleh komitmen ontologis terhadap keberadaan entitas alamiah¹. Pendekatan ini mendorong filsuf seperti W.V.O. Quine dan Philip Kitcher untuk menolak dikotomi tajam antara fakta dan nilai, serta antara sains dan filsafat, dan menyerukan integrasi epistemologi ke dalam kerangka ilmiah².

Quine secara radikal menegaskan bahwa tidak ada “titik mula” non-empiris untuk membangun pengetahuan, karena semua bentuk pemahaman, bahkan logika dan matematika, pada akhirnya berada dalam jaringan keyakinan empiris yang saling mendukung³. Relevansi gagasan ini sangat besar di tengah berkembangnya interdisiplinaritas antara filsafat, neurosains, dan kognisi buatan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ontologis mutakhir.

7.2.       Naturalisme dan Etika Sekuler

Dalam konteks etika kontemporer, naturalisme menjadi dasar bagi munculnya apa yang dikenal sebagai etika sekuler atau etika humanistik, yang menolak sumber moralitas dari wahyu atau otoritas adikodrati. Naturalis seperti Paul Kurtz menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral dapat dan harus dikembangkan berdasarkan pengalaman manusia, empati, dan pemikiran rasional, bukan dogma⁴.

Etika berbasis naturalisme memandang nilai moral sebagai hasil dari interaksi sosial dan kebutuhan manusia untuk hidup berdampingan secara harmonis, bukan sebagai entitas objektif metafisik. Ini menjadi relevan dalam perdebatan tentang hak asasi manusia, bioetika, dan keadilan sosial, di mana pendekatan naturalistik berperan dalam menyusun dasar rasional bagi kebijakan publik dan norma hukum⁵.

7.3.       Naturalisme dalam Dialog Sains dan Agama

Relevansi naturalisme juga muncul dalam dialog antara sains dan agama, terutama dalam wacana publik yang mempertentangkan antara penciptaan (creationism) dan evolusi. Tokoh seperti Richard Dawkins secara terbuka membela naturalisme sebagai satu-satunya pendekatan yang koheren dalam menjelaskan realitas biologis dan kosmologis tanpa harus merujuk pada campur tangan ilahi⁶.

Pandangan ini memunculkan perdebatan luas, terutama dalam dunia pendidikan, mengenai kurikulum sains dan batas antara kepercayaan pribadi dan sains publik. Meski mendapat kritik keras dari kalangan teistik, pendekatan ini berhasil memperkuat posisi sains dalam menjelaskan asal-usul dan perkembangan kehidupan di bumi secara alamiah.

7.4.       Naturalisme dan Lingkungan Hidup

Dalam isu lingkungan hidup, naturalisme memiliki kontribusi penting dalam mendorong pemahaman ekologis yang bersifat non-anthropocentris. Dengan menekankan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam dan tunduk pada hukum ekologis, naturalisme menjadi dasar filosofis bagi gerakan ekofilsafat, deep ecology, dan etika lingkungan⁷.

Filsuf seperti Holmes Rolston III dan Arne Naess mengembangkan naturalisme ke arah yang lebih etis dan spiritual, yakni dengan menyatakan bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tidak bergantung pada kepentingan manusia. Pandangan ini mengubah orientasi hubungan manusia dengan alam dari yang eksploitatif menjadi partisipatif dan ekologis.

7.5.       Naturalisme dan Ilmu Kognitif

Relevansi naturalisme juga terlihat dalam kemajuan ilmu kognitif dan neurosains, yang mencoba menjelaskan kesadaran, akal budi, dan emosi melalui mekanisme otak dan proses evolusi. Proyek ambisius seperti neurofilosofi, yang dikembangkan oleh Patricia Churchland, menunjukkan bahwa ontologi tentang “diri” dan “kesadaran” dapat dijelaskan dalam kerangka neurobiologis yang naturalistik⁸.

Penelitian dalam bidang ini memperkuat posisi naturalisme dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis kuno, seperti “apa itu pikiran?” dan “apa makna eksistensi?”, dengan pendekatan ilmiah berbasis data dan pengamatan.


Kesimpulan Subbab

Naturalisme terbukti tidak hanya bertahan sebagai aliran ontologis dalam filsafat klasik, tetapi juga terus berkembang sebagai kerangka berpikir interdisipliner dalam menjawab tantangan kontemporer. Dari etika hingga ekologi, dari filsafat pikiran hingga kebijakan publik, naturalisme memberikan dasar konseptual untuk memahami dunia tanpa mengandalkan entitas metafisik. Di tengah meningkatnya minat terhadap pendekatan ilmiah dan sekuler dalam banyak bidang kehidupan, naturalisme semakin menunjukkan urgensinya dalam merumuskan cara berpikir yang rasional, humanistik, dan terbuka terhadap kompleksitas realitas alamiah.


Footnotes

[1]                Michael Rea, “Naturalism and the Nature of Philosophy,” Faith and Philosophy 18, no. 1 (2001): 52–74.

[2]                Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 67–70.

[3]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 75–90.

[4]                Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Secularism (Buffalo: Prometheus Books, 1988), 13–15.

[5]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 7–10.

[6]                Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 117–124.

[7]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 13–14.

[8]                Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 7–9.


8.           Kesimpulan

Naturalisme sebagai aliran dalam filsafat ontologi telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam membentuk pemahaman manusia modern tentang realitas. Dengan menegaskan bahwa alam adalah satu-satunya realitas yang eksis secara ontologis, naturalisme membangun fondasi bagi berbagai pendekatan ilmiah, etika sekuler, dan pandangan dunia yang rasional-empiris. Posisi ini menolak kebergantungan pada entitas transendental dan metafisik, dan sebaliknya menekankan pentingnya observasi, hukum alam, serta penalaran logis sebagai cara untuk memahami eksistensi¹.

Pembahasan historis menunjukkan bahwa naturalisme bukanlah konstruksi pemikiran yang statis, melainkan kerangka filosofis yang terus berkembang, mulai dari metafisika imanen Spinoza, mekanisme biologis La Mettrie, pragmatisme Dewey, hingga epistemologi naturalistik Quine dan evolusionisme Dawkins². Gagasan-gagasan tersebut menggambarkan spektrum pemikiran yang saling melengkapi dalam memperkuat keyakinan bahwa dunia dapat dipahami secara utuh melalui pendekatan alamiah.

Namun demikian, sebagaimana telah diulas dalam bagian sebelumnya, naturalisme tidak lepas dari kritik. Dari filsafat agama hingga eksistensialisme, naturalisme dinilai tidak mampu menjelaskan sepenuhnya aspek kesadaran, nilai moral, dan makna eksistensial manusia yang dianggap melampaui penjelasan empiris³. Kritik-kritik ini membuka ruang refleksi penting bahwa realitas mungkin memiliki dimensi yang tidak bisa sepenuhnya direduksi ke dalam kerangka ilmiah atau materialistik.

Meskipun demikian, relevansi naturalisme dalam wacana kontemporer tetap kuat dan signifikan. Dalam filsafat sains, naturalisme menyediakan landasan ontologis dan metodologis yang kokoh. Dalam etika, ia menawarkan alternatif terhadap moralitas berbasis dogma religius, sedangkan dalam ekologi dan pendidikan, naturalisme mengajak manusia untuk memandang dirinya sebagai bagian dari alam, bukan penguasa atasnya⁴.

Dengan demikian, naturalisme dalam ranah ontologi bukan hanya sebuah teori tentang “apa yang ada”, tetapi juga menyiratkan sikap intelektual dan eksistensial terhadap dunia. Ia mengarahkan manusia untuk memahami keberadaannya secara rasional, bertanggung jawab terhadap alam, dan terbuka terhadap temuan-temuan ilmiah yang terus berkembang. Dalam dunia yang semakin kompleks, naturalisme tetap menjadi orientasi filosofis yang relevan untuk merespons tantangan pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Scientific Materialism (Dordrecht: Reidel, 1975), 123–127.

[2]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 78–80; Richard Dawkins, The Selfish Gene, 30th Anniversary ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), x–xi.

[3]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 5–7.

[4]                Paul Kurtz, The Transcendental Temptation (Buffalo: Prometheus Books, 1986), 45–47; Holmes Rolston III, Environmental Ethics (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 19.


Daftar Pustaka

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge. Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1710)

Bunge, M. (1975). Scientific materialism. Reidel Publishing Company.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Dawkins, R. (2006). The selfish gene (30th anniversary ed.). Oxford University Press.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Houghton Mifflin.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Company.

Dennett, D. C. (1995). Darwin’s dangerous idea: Evolution and the meanings of life. Simon & Schuster.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court Publishing.

Dewey, J. (1929). The quest for certainty. Minton, Balch & Company.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press. (Karya asli diterbitkan 1936)

Kim, J. (2005). Physicalism, or something near enough. Princeton University Press.

Kitcher, P. (1993). The advancement of science: Science without legend, objectivity without illusions. Oxford University Press.

Kitcher, P. (2001). Science, truth, and democracy. Oxford University Press.

Kurtz, P. (1986). The transcendental temptation: A critique of religion and the paranormal. Prometheus Books.

Kurtz, P. (1988). Forbidden fruit: The ethics of secularism. Prometheus Books.

Kurtz, P. (2010). Exuberant skepticism. Prometheus Books.

La Mettrie, J. O. (1912). Man a machine (G. C. Bussey, Trans.). Open Court Publishing. (Karya asli diterbitkan 1747)

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false. Oxford University Press.

Papineau, D. (2021). Naturalism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/naturalism/

Plantinga, A. (1993). Warrant and proper function. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2002). Naturalism defeated? In J. Beilby (Ed.), Naturalism defeated? Essays on Plantinga’s evolutionary argument against naturalism (pp. 1–12). Cornell University Press.

Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia University Press.

Rea, M. C. (2001). Naturalism and the nature of philosophy. Faith and Philosophy, 18(1), 52–74.

Rolston III, H. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Russell, B. (2004). History of western philosophy. Routledge.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Karya asli diterbitkan 1946)

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics. (Karya asli diterbitkan 1677)

Guthrie, W. K. C. (1962). The Presocratic philosophers. Cambridge University Press.

Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar