Merkantilisme
Akar Historis, Prinsip-Prinsip, dan Warisannya dalam
Dunia Modern
Alihkan ke: Akar Pemikiran Modern Eropa dan Dampaknya terhadap
Dunia.
Abstrak
Artikel ini membahas Merkantilisme sebagai suatu
sistem ekonomi-politik yang dominan di Eropa antara abad ke-16 hingga ke-18
dalam konteks pertumbuhan negara-bangsa dan kekuasaan monarki absolut.
Merkantilisme dipahami tidak hanya sebagai teori ekonomi, melainkan sebagai
seperangkat kebijakan strategis yang digunakan oleh negara untuk meningkatkan
kekayaan nasional melalui pengendalian perdagangan, akumulasi logam mulia,
proteksionisme, dan ekspansi kolonial. Artikel ini menguraikan latar historis
munculnya Merkantilisme, prinsip-prinsip dasarnya, serta implementasinya di
berbagai negara Eropa seperti Prancis, Inggris, Spanyol, Portugal, dan Belanda.
Selain itu, dibahas pula dampak sosial-ekonomi Merkantilisme, termasuk
kemunculan kelas borjuis, eksploitasi kolonial, dan ketimpangan global awal.
Meskipun mengalami kemunduran akibat kritik dari para ekonom klasik dan
perubahan struktural ekonomi, warisan Merkantilisme tetap relevan dalam bentuk
neo-merkantilisme dan nasionalisme ekonomi kontemporer. Artikel ini
menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap Merkantilisme penting tidak hanya secara
historis, tetapi juga dalam menelaah dinamika ekonomi global modern yang
ditandai oleh rivalitas strategis antarnegara dan peran sentral negara dalam
perekonomian.
Kata Kunci: Merkantilisme, Absolutisme, Proteksionisme,
Kolonialisme, Ekonomi Politik, Neo-Merkantilisme, Adam Smith, Negara-Bangsa,
Surplus Perdagangan, Nasionalisme Ekonomi.
PEMBAHASAN
Merkantilisme dan Dinamika Ekonomi Politik Abad
Absolutisme
1.
Pendahuluan
Merkantilisme
merupakan suatu sistem ekonomi yang mendominasi Eropa Barat sejak abad ke-16
hingga awal abad ke-18. Sistem ini berkembang seiring dengan tumbuhnya
negara-bangsa modern, meluasnya eksplorasi geografis, serta bangkitnya
kekuatan-kekuatan monarki absolut yang menegaskan dominasi negara atas
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks tersebut, Merkantilisme
tidak sekadar sebuah doktrin ekonomi, melainkan juga suatu instrumen politik
negara untuk memperkuat otoritas dan kekuasaannya, terutama melalui penguasaan
atas sumber daya, perdagangan, dan kebijakan fiskal yang terpusat pada negara.
Akar historis
Merkantilisme dapat ditelusuri dari pergolakan transisi antara sistem ekonomi
feodal ke arah ekonomi kapitalis awal. Pada masa feodalisme, perekonomian
bersifat lokal dan subsisten, dengan tanah sebagai sumber utama kekayaan.
Namun, seiring dengan ekspansi maritim bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugal
dan Spanyol pada abad ke-15 dan 16, terjadi pergeseran orientasi kekayaan ke
arah akumulasi logam mulia, perdagangan internasional, dan penguasaan koloni.
Negara-negara Eropa mulai mengidentifikasi kekayaan nasional melalui jumlah
emas dan perak yang dikuasai, dan bukan semata-mata dari kekayaan agraria atau
produksi lokal semata.¹
Kebangkitan
Merkantilisme beriringan dengan munculnya monarki absolut, di mana raja menjadi
pusat dari seluruh struktur pemerintahan dan ekonomi. Para pemimpin absolutis
seperti Louis XIV di Prancis memanfaatkan kebijakan merkantilis untuk membiayai
proyek-proyek militer, memperluas pengaruh politik, dan menopang kekuasaan
dinasti. Dalam hal ini, negara berperan aktif dalam mengatur aktivitas ekonomi
rakyat, mendorong ekspor, membatasi impor, dan melindungi industri dalam negeri
melalui tarif dan subsidi.² Jean-Baptiste Colbert, menteri keuangan Louis XIV,
bahkan menjadikan Merkantilisme sebagai tulang punggung kebijakan ekonomi
nasional, dengan memperkenalkan sistem yang dikenal sebagai Colbertisme.³
Selain itu,
perkembangan Merkantilisme turut didorong oleh semangat nasionalisme ekonomi
yang menganggap bahwa kesejahteraan suatu bangsa bergantung pada kekuatan
ekonominya yang bersumber dari perdagangan luar negeri yang menguntungkan.
Dalam iklim ini, negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk memperoleh keunggulan
dalam neraca perdagangan dan menguasai jalur-jalur perdagangan global melalui kekuatan
militer dan ekspansi kolonial.⁴
Kajian terhadap
Merkantilisme penting dilakukan tidak hanya untuk memahami dinamika ekonomi
masa lampau, tetapi juga untuk menelaah bagaimana prinsip-prinsipnya tetap
memberi resonansi dalam ekonomi-politik modern. Banyak negara kontemporer masih
mempertahankan bentuk-bentuk proteksionisme, intervensi negara dalam industri
strategis, dan dominasi atas perdagangan luar negeri dalam konteks yang sering
disebut sebagai neo-merkantilisme.⁵ Oleh karena itu, studi tentang Merkantilisme
tidak sekadar retrospektif historis, melainkan juga membuka ruang refleksi
kritis terhadap konfigurasi ekonomi global masa kini.
Footnotes
[1]
Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New
York: Harper and Brothers, 1937), 6–9.
[2]
Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language
(London: Routledge, 1994), 25–27.
[3]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 61–64.
[4]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 38–41.
[5]
Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic
Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly
46, no. 3 (2002): 307–329.
2.
Konteks Historis Munculnya Merkantilisme
Merkantilisme muncul
dalam konteks sejarah Eropa yang ditandai oleh transformasi besar dalam bidang
politik, ekonomi, dan sosial, terutama sejak akhir Abad Pertengahan hingga awal
zaman modern. Terdapat beberapa faktor historis utama yang melatarbelakangi
kemunculan dan perkembangan Merkantilisme, di antaranya pergeseran struktur
ekonomi feodal ke arah ekonomi uang, ekspansi geografis Eropa, tumbuhnya
negara-bangsa modern, serta menguatnya sistem pemerintahan monarki absolut.
2.1. Transisi dari Feodalisme ke
Ekonomi Pasar
Pada abad
pertengahan, perekonomian Eropa didominasi oleh sistem feodal yang berbasis
pada pertanian subsisten, hubungan hierarkis antara tuan tanah dan petani,
serta keterbatasan mobilitas perdagangan. Namun, mulai abad ke-14 hingga ke-16,
terjadi perubahan signifikan akibat berbagai faktor seperti pertumbuhan kota,
berkembangnya kelas borjuis, serta meluasnya penggunaan uang sebagai alat
transaksi yang sah dan efisien. Proses komersialisasi ini memperkuat ekonomi
pasar dan mengikis dominasi struktur feodal.¹
2.2.
Revolusi Komersial dan Penjelajahan Samudra
Penjelajahan samudra
oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol dan Portugal sejak akhir abad ke-15
membuka babak baru dalam sejarah ekonomi dunia. Penemuan jalur laut baru,
terutama ke Asia, Afrika, dan benua Amerika, menciptakan arus perdagangan yang
masif dan global. Emas dan perak yang dibawa dari Dunia Baru memperkaya
negara-negara penjelajah dan mengubah persepsi tentang sumber kekayaan
nasional.² Fenomena ini, yang kemudian dikenal sebagai Revolusi
Komersial, memperkuat gagasan bahwa kekuatan ekonomi suatu negara
ditentukan oleh kemampuannya dalam mengendalikan perdagangan internasional dan
menimbun logam mulia.³
2.3.
Pembentukan Negara-Bangsa dan Sentralisasi
Kekuasaan
Masa setelah perang
seratus tahun dan krisis Abad Pertengahan menandai lahirnya entitas politik
baru yang dikenal sebagai negara-bangsa modern. Negara-negara seperti Inggris,
Prancis, dan Spanyol mulai memusatkan otoritas politik pada penguasa tunggal,
yakni raja atau monarki absolut. Dalam sistem ini, negara memiliki otoritas
untuk menetapkan kebijakan ekonomi demi mendukung kekuatan militer dan
kemegahan politiknya.⁴ Merkantilisme menjadi alat ideologis dan praktis dalam
membangun kemakmuran nasional yang terkonsentrasi pada negara sebagai aktor
utama.
2.4.
Hubungan Merkantilisme dan Absolutisme
Merkantilisme dan
absolutisme berkembang secara simbiotik: absolutisme menyediakan struktur
kekuasaan yang memungkinkan negara untuk mengontrol ekonomi secara langsung,
sementara Merkantilisme menyediakan dasar logika ekonomi bagi penguasa untuk
membenarkan intervensi mereka. Seperti yang dicontohkan oleh Prancis di bawah
pemerintahan Louis XIV, kekuasaan raja yang absolut berjalan beriringan dengan
pengaturan ekonomi yang ketat oleh negara, yang diformulasikan secara
sistematis oleh Jean-Baptiste Colbert melalui kebijakan yang dikenal sebagai Colbertisme.⁵
2.5.
Dampak Sosial dan Kultural
Perubahan ini tidak
hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial dan
budaya. Kelas borjuis dagang semakin kuat posisinya karena mereka menjadi mitra
strategis negara dalam memperkuat ekonomi nasional. Sementara itu, pola
konsumsi masyarakat berubah karena keterhubungan dengan pasar global dan
barang-barang dari koloni. Sistem pendidikan dan pengetahuan juga diarahkan
untuk mendukung administrasi negara yang kuat dan ekonomi yang efisien.⁶
Dengan demikian,
kemunculan Merkantilisme tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah Eropa pada
masa peralihan menuju modernitas. Ia lahir sebagai respons terhadap perubahan
ekonomi global yang disertai oleh konsolidasi kekuasaan negara dan berkembang
sebagai ideologi serta strategi pembangunan ekonomi nasional dalam kerangka
kekuasaan absolut.
Footnotes
[1]
Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the
World: From Paleolithic Times to the Present (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 121–125.
[2]
Janet Abu-Lughod, Before European Hegemony: The World System A.D.
1250–1350 (New York: Oxford University Press, 1989), 278–281.
[3]
Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth
Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade
(Chicago: University of Chicago Press, 1974), 35–38.
[4]
Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London:
Verso, 1974), 21–25.
[5]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 60–63.
[6]
Fernand Braudel, Civilization and Capitalism, 15th–18th Century,
Volume II: The Wheels of Commerce (Berkeley: University of California
Press, 1992), 45–49.
3.
Prinsip-Prinsip Dasar Merkantilisme
Merkantilisme
sebagai sistem ekonomi-politik tidak hadir dalam bentuk teori yang sistematis
seperti halnya ekonomi klasik atau neoliberalisme modern, melainkan sebagai
serangkaian kebijakan praktis dan prinsip-prinsip dasar yang diterapkan oleh
negara-negara Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Prinsip-prinsip ini
berakar pada keyakinan bahwa kekuatan dan kemakmuran negara bergantung pada
akumulasi kekayaan dalam bentuk logam mulia, dan bahwa negara
memiliki peran aktif dan dominan dalam mengatur serta mengarahkan aktivitas
ekonomi demi kepentingan nasional.
3.1.
Akumulasi Logam Mulia sebagai Ukuran Kekayaan
Salah satu prinsip
mendasar dalam Merkantilisme adalah gagasan bahwa kekayaan nasional diukur dari
jumlah
emas dan perak yang dimiliki negara. Logam mulia dianggap
sebagai bentuk kekayaan yang paling konkret dan stabil karena dapat digunakan
untuk membiayai perang, memperkuat kekuasaan negara, serta menunjukkan prestise
suatu bangsa. Oleh karena itu, kebijakan merkantilis berfokus pada peningkatan
cadangan logam mulia melalui surplus perdagangan, di mana
nilai ekspor harus melebihi nilai impor.¹ Kebijakan ini mencerminkan paradigma zero-sum
game, yakni pandangan bahwa kekayaan dunia bersifat tetap dan
terbatas, sehingga satu negara hanya bisa menjadi kaya dengan mengalahkan
negara lain dalam perdagangan.²
3.2.
Neraca Perdagangan Positif sebagai Tujuan Utama
Merkantilisme sangat
menekankan pentingnya neraca perdagangan positif.
Negara harus mendorong ekspor sebanyak mungkin dan membatasi impor untuk
mencegah aliran keluar logam mulia. Untuk mencapai hal ini, negara menerapkan
berbagai kebijakan proteksionis seperti pengenaan tarif tinggi terhadap barang impor,
kuota
impor, dan pelarangan atas barang-barang yang dianggap tidak
penting.³ Selain itu, negara juga memberikan insentif kepada produsen domestik
untuk meningkatkan produksi dan daya saing ekspor.
3.3.
Peran Sentral Negara dalam Ekonomi
Berbeda dengan
liberalisme ekonomi yang meminimalkan campur tangan negara, Merkantilisme
justru menekankan intervensi aktif negara dalam kehidupan ekonomi.
Negara dianggap sebagai agen utama dalam menciptakan kesejahteraan dan kekuatan
nasional. Intervensi ini meliputi regulasi perdagangan, pemberian monopoli
kepada perusahaan tertentu, subsidi industri strategis, serta investasi dalam
infrastruktur pelabuhan dan armada dagang.⁴ Negara juga dapat menetapkan harga,
mengontrol upah, serta mengatur distribusi barang agar sesuai dengan
kepentingan nasional.
3.4.
Dukungan terhadap Industri Manufaktur dan
Navigasi
Merkantilisme sangat
menekankan pengembangan industri manufaktur dalam negeri,
karena sektor ini dianggap mampu menambah nilai produk dan menciptakan surplus
perdagangan. Industri domestik harus dilindungi dari persaingan asing melalui
tarif dan larangan impor barang jadi.⁵ Selain itu, karena perdagangan laut
menjadi sarana utama pertukaran internasional, negara juga mendukung penguatan
sektor pelayaran dan navigasi. Inggris, misalnya, menerapkan Navigation
Acts yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Inggris dalam
perdagangan kolonial.⁶
3.5.
Kolonialisme dan Monopoli Dagang
Merkantilisme juga
berkaitan erat dengan ekspansi kolonial. Koloni
dipandang sebagai penyedia bahan mentah murah dan pasar bagi produk-produk
industri negara induk. Negara-negara merkantilis mendirikan perusahaan
dagang besar yang diberi hak monopoli oleh pemerintah, seperti British
East India Company dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).⁷
Perusahaan-perusahaan ini bukan hanya alat perdagangan, tetapi juga instrumen
politik negara dalam mengendalikan jalur perdagangan global dan menumpuk
kekayaan kolonial.
Footnotes
[1]
Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New
York: Harper and Brothers, 1937), 6–9.
[2]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 20–22.
[3]
Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language
(London: Routledge, 1994), 45–48.
[4]
Charles Wilson, The Economic Decline of Empires (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 53–55.
[5]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 82–85.
[6]
Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London:
Weidenfeld and Nicolson, 1973), 103–106.
[7]
Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth
Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade
(Chicago: University of Chicago Press, 1974), 101–104.
4.
Kebijakan dan Instrumen Merkantilisme
Dalam praktiknya, Merkantilisme
bukan sekadar ideologi ekonomi, tetapi juga diwujudkan dalam serangkaian kebijakan
konkret yang dijalankan oleh negara-negara Eropa sejak abad
ke-16 hingga ke-18. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan negara melalui kendali atas perdagangan, industri, dan kekayaan
nasional. Negara berperan sebagai aktor utama yang menetapkan arah dan strategi
ekonomi demi mencapai surplus perdagangan dan akumulasi
logam mulia. Berbagai instrumen merkantilis dirancang untuk mengarahkan ekonomi
nasional secara terpusat dan strategis.
4.1.
Proteksionisme: Tarif, Larangan, dan Regulasi
Impor
Salah satu instrumen
utama dalam sistem merkantilis adalah proteksionisme, yaitu kebijakan
yang melindungi industri dan produsen dalam negeri dari persaingan luar negeri.
Negara menetapkan tarif impor tinggi untuk
barang-barang asing, memberlakukan kuota, atau bahkan melarang
masuknya produk tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan
neraca perdagangan.¹ Dengan demikian, negara tidak hanya mengontrol apa yang
boleh masuk, tetapi juga membentuk pola konsumsi masyarakat sesuai dengan
kepentingan ekonomi nasional.
Contohnya adalah Navigation
Acts yang diterapkan oleh Inggris sejak 1651. Undang-undang ini
mensyaratkan bahwa semua perdagangan ke dan dari Inggris harus menggunakan
kapal Inggris atau kapal negara produsen barang. Tujuannya adalah memperkuat
sektor pelayaran nasional dan mengurangi ketergantungan pada negara asing.²
4.2.
Subsidi dan Insentif bagi Industri Dalam Negeri
Negara-negara
merkantilis memberikan subsidi dan insentif kepada
industri strategis sebagai cara untuk meningkatkan produksi dan daya saing
ekspor. Pemerintah mendanai pendirian pabrik, memberikan bantuan modal, serta
menciptakan pasar dalam negeri melalui kontrak pemerintah dan regulasi harga.³
Di Prancis, Jean-Baptiste Colbert mendirikan berbagai manufaktur
kerajaan yang dibiayai oleh negara untuk memproduksi barang-barang
mewah (seperti tekstil dan kaca) yang kemudian diekspor ke luar negeri.⁴
4.3.
Pengembangan Armada Dagang dan Infrastruktur
Ekonomi
Merkantilisme juga
mengharuskan pengembangan infrastruktur ekonomi, terutama
dalam sektor pelayaran dan pelabuhan. Negara membangun armada
dagang nasional untuk mendukung ekspor dan melindungi jalur
perdagangan dari ancaman bajak laut atau kekuatan asing. Armada ini bukan hanya
alat ekonomi, tetapi juga simbol kekuatan militer dan politik di laut lepas.
Selain itu, pemerintah memperbaiki jalan, kanal, dan pelabuhan untuk
memperlancar arus barang dan mendukung integrasi pasar domestik.⁵
4.4.
Pembentukan Koloni sebagai Sumber dan Pasar
Kebijakan
merkantilis sangat erat kaitannya dengan ekspansi kolonial. Koloni
dianggap sebagai perpanjangan tangan ekonomi negara induk—sebagai penyedia
bahan mentah murah dan pasar yang terkontrol bagi
produk manufaktur domestik. Negara kolonial memaksakan sistem perdagangan
eksklusif, di mana koloni hanya boleh berdagang dengan negara induknya.⁶
Sebagai contoh,
Spanyol mengeksploitasi kekayaan logam dari Amerika Latin, sementara Inggris
dan Belanda memanfaatkan koloni di Asia dan Karibia untuk menanam tanaman
komoditas seperti gula, kopi, dan rempah-rempah. Dalam banyak kasus,
kolonialisme merkantilis disertai dengan kerja paksa, perbudakan, dan eksklusi
ekonomi lokal.⁷
4.5.
Perusahaan Dagang Monopoli
Negara merkantilis mendirikan
perusahaan
dagang berskala besar yang diberi hak
monopoli perdagangan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini
seperti British East India Company, Dutch
East India Company (VOC), dan Compagnie des Indes Orientales
memainkan peran strategis dalam mengamankan jalur perdagangan, membangun
koloni, dan menghasilkan keuntungan besar bagi negara.⁸ Selain berdagang,
perusahaan-perusahaan ini juga memiliki kekuatan militer, administratif, dan
bahkan diplomatik, menjadikannya alat kebijakan luar negeri yang sangat
efektif.
Footnotes
[1]
Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language
(London: Routledge, 1994), 52–54.
[2]
Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London:
Weidenfeld and Nicolson, 1973), 103–106.
[3]
Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New
York: Harper and Brothers, 1937), 12–14.
[4]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 88–90.
[5]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 121–124.
[6]
Kenneth Pomeranz dan Steven Topik, The World That Trade Created:
Society, Culture, and the World Economy, 1400 to the Present (Armonk, NY:
M.E. Sharpe, 2006), 45–47.
[7]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth
Century (New York: Academic Press, 1974), 25–28.
[8]
Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth
Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade
(Chicago: University of Chicago Press, 1974), 95–98.
5.
Merkantilisme di Berbagai Negara Eropa
Meskipun
prinsip-prinsip umum Merkantilisme diadopsi secara luas di Eropa pada periode
abad ke-16 hingga ke-18, penerapannya menunjukkan variasi
yang signifikan antarnegara, tergantung pada struktur politik,
kondisi ekonomi, kekuatan kolonial, dan tujuan nasional masing-masing.
Negara-negara besar seperti Prancis, Inggris, Spanyol, Belanda, dan Portugal
mengembangkan bentuk-bentuk merkantilisme yang khas, dengan pendekatan
strategis yang mencerminkan prioritas domestik dan ambisi imperialis mereka.
5.1.
Prancis: Colbertisme dan Sentralisasi Ekonomi
Merkantilisme di
Prancis mencapai bentuk paling sistematis di bawah kebijakan Jean-Baptiste
Colbert, menteri keuangan Louis XIV. Colbert mengembangkan
suatu sistem yang kemudian dikenal sebagai Colbertisme, yang menekankan intervensi
negara yang luas, pembangunan industri manufaktur nasional, dan
regulasi ketat terhadap perdagangan.¹ Ia mendirikan manufaktur kerajaan untuk
memproduksi barang-barang mewah seperti tekstil, kaca, dan perhiasan, serta
menetapkan standar mutu dan inspeksi produksi demi meningkatkan daya saing
produk Prancis di pasar internasional.²
Colbert juga
memperkuat angkatan laut, membentuk perusahaan dagang seperti Compagnie
des Indes Orientales, dan mendorong pembangunan infrastruktur
seperti kanal dan pelabuhan. Kebijakan ini memperkuat posisi ekonomi Prancis
dan menjadi model merkantilisme Eropa kontinental.³
5.2.
Inggris: Navigational Acts dan Fondasi
Kapitalisme Dagang
Di Inggris,
merkantilisme memperoleh bentuk khas dalam bentuk kebijakan
maritim dan kolonial yang agresif. Sejak pertengahan abad
ke-17, pemerintah Inggris mengeluarkan serangkaian Navigation
Acts, yang menetapkan bahwa semua barang yang diimpor ke
Inggris atau koloni-koloninya harus diangkut menggunakan kapal berbendera
Inggris.⁴
Kebijakan ini
bertujuan untuk melindungi pelayaran nasional dan melemahkan kekuatan dagang
Belanda, sekaligus menjamin bahwa manfaat ekonomi dari perdagangan kolonial
tetap berada dalam lingkup Inggris. Pemerintah Inggris juga mendukung
berdirinya British East India Company,
yang berperan besar dalam dominasi Inggris di Asia dan membentuk cikal bakal
sistem kapitalisme imperialis.⁵ Pendekatan Inggris terhadap Merkantilisme lebih
pragmatis dan fleksibel, dan pada akhirnya mendorong munculnya kapitalisme
pasar bebas setelah era merkantilistik berakhir.
5.3.
Spanyol dan Portugal: Eksploitasi Kolonial dan
Logam Mulia
Spanyol dan Portugal
merupakan pelopor eksplorasi dunia dan kekuatan kolonial awal dalam sistem
merkantilisme. Kedua negara ini sangat bergantung pada eksploitasi
kekayaan alam kolonial, khususnya logam mulia dari Amerika
Latin (emas dan perak dari Meksiko dan Peru), yang menjadi sumber utama
pendapatan negara.⁶ Namun, ketergantungan pada ekspor logam mulia tanpa
penguatan industri dalam negeri menyebabkan stagnasi ekonomi jangka panjang.
Spanyol dan Portugal
menunjukkan model merkantilisme yang berbasis ekstraksi, dengan
orientasi ekonomi yang lebih berfokus pada transfer kekayaan daripada
pembangunan sektor produktif.⁷ Hal ini membuat kedua negara kehilangan momentum
industrialisasi dibandingkan Inggris dan Prancis di kemudian hari.
5.4.
Belanda: Komersialisme dan Liberalisme
Terkontrol
Belanda
mengembangkan bentuk merkantilisme yang lebih fleksibel dan berbasis pada kapasitas
dagang global, bukan kontrol langsung terhadap produksi atau
proteksionisme yang ketat. Didorong oleh kebebasan berusaha dan dominasi di
sektor keuangan serta pelayaran, Belanda menjadi kekuatan maritim dan dagang
terbesar pada abad ke-17.⁸
Belanda mendirikan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), yang merupakan perusahaan dagang
terbesar dan paling berpengaruh pada zamannya, dengan hak monopoli di Asia.⁹
Pemerintah Belanda memberikan otonomi luas kepada VOC untuk menjalankan
aktivitas militer, diplomasi, dan administrasi di wilayah kolonial. Meskipun
negara tidak mengontrol ekonomi secara langsung seperti di Prancis, ia tetap
menciptakan kerangka hukum dan infrastruktur yang menunjang kepentingan dagang
nasional.¹⁰
Footnotes
[1]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 56–59.
[2]
Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language
(London: Routledge, 1994), 66–68.
[3]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 137–140.
[4]
Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London:
Weidenfeld and Nicolson, 1973), 109–112.
[5]
Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth
Century (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 85–88.
[6]
Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the
World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 179–182.
[7]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (New York:
Academic Press, 1974), 51–54.
[8]
Jonathan I. Israel, Dutch Primacy in World Trade, 1585–1740
(Oxford: Oxford University Press, 1989), 103–106.
[9]
Femme S. Gaastra, The Dutch East India Company: Expansion and
Decline (Zutphen: Walburg Pers, 2003), 23–27.
[10]
Jan de Vries dan Ad van der Woude, The First Modern Economy:
Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 205–210.
6.
Dampak Sosial-Ekonomi Merkantilisme
Sistem Merkantilisme
yang mendominasi lanskap ekonomi-politik Eropa sejak abad ke-16 hingga abad
ke-18 memberikan pengaruh mendalam dan kompleks terhadap struktur sosial,
kehidupan ekonomi, serta tatanan global. Dampak ini tidak hanya dirasakan di
negara-negara Eropa, tetapi juga di wilayah kolonial yang menjadi bagian
integral dari sistem merkantilis. Kebijakan yang berorientasi pada ekspansi
kekayaan nasional dan intervensi negara secara aktif dalam perekonomian telah
menghasilkan berbagai konsekuensi, baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif.
6.1.
Kemunculan Kelas Borjuis dan Perubahan Struktur
Sosial
Salah satu dampak
sosial utama dari sistem merkantilis adalah menguatnya kelas borjuis dagang
(merchant bourgeoisie) yang sebelumnya memiliki posisi marginal dalam
masyarakat feodal. Dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, manufaktur, dan
jasa pelayaran, kelas ini memperoleh akumulasi modal yang besar dan mulai
memegang pengaruh dalam kebijakan ekonomi dan politik.¹ Borjuis tidak hanya
menjadi agen ekonomi utama, tetapi juga menjadi mitra strategis negara dalam
menjalankan proyek merkantilis, seperti pendirian perusahaan monopoli dan
pembiayaan ekspedisi dagang.
Transformasi ini
turut merombak struktur sosial tradisional yang sebelumnya didominasi oleh
aristokrasi dan tuan tanah. Di banyak negara Eropa, borjuis mulai mendesak
hak-hak istimewa kaum bangsawan, membuka jalan bagi munculnya masyarakat
kapitalis modern.²
6.2.
Eksploitasi Koloni dan Perbudakan
Merkantilisme secara
inheren terkait dengan ekspansi kolonial dan sistem
ekonomi eksploitatif. Koloni dianggap sebagai sumber bahan mentah yang murah
dan pasar yang tertutup bagi barang-barang dari negara induk. Sistem ini
mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya
alam dan tenaga kerja di wilayah koloni, seringkali dengan
kekerasan dan pemaksaan.³
Dampak yang paling
brutal dari sistem ini adalah praktik perbudakan trans-Atlantik,
yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial di Amerika dan Karibia. Jutaan
orang Afrika diculik dan diperjualbelikan sebagai budak untuk bekerja di
perkebunan gula, tembakau, dan kapas—komoditas utama dalam perdagangan
internasional pada masa itu.⁴ Perdagangan budak tidak hanya memperkaya
negara-negara Eropa, tetapi juga membentuk pola ketimpangan struktural antara
pusat (Eropa) dan pinggiran (koloni) yang berlangsung hingga era modern.
6.3.
Ketimpangan Ekonomi dan Regionalisme
Penerapan prinsip
neraca perdagangan positif secara ketat mendorong negara untuk mendominasi
pasar global, namun menciptakan ketimpangan ekonomi baik
antarnegara maupun antarkelompok sosial. Negara-negara dengan kekuatan maritim
dan kolonial—seperti Inggris dan Belanda—berhasil menumpuk surplus ekonomi yang
besar, sementara negara-negara yang tidak mampu mengembangkan armada atau
koloni tertinggal secara ekonomi.⁵
Di dalam negeri,
kebijakan proteksionisme dan subsidi industri juga menguntungkan daerah pusat
kekuasaan dan pelabuhan, sementara daerah pedalaman yang agraris sering
terabaikan. Hal ini menimbulkan bentuk baru regionalisme dan ketimpangan
pembangunan yang bersifat struktural.⁶
6.4.
Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota Dagang
Merkantilisme
mendorong urbanisasi yang pesat di
kota-kota pelabuhan dan pusat manufaktur. Kota-kota seperti Amsterdam, London,
Bordeaux, dan Lisbon tumbuh menjadi pusat ekonomi global dengan konsentrasi
kapital, buruh, dan infrastruktur niaga.⁷ Pertumbuhan kota ini juga menciptakan
lapangan kerja baru dan merangsang migrasi dari desa ke kota, mempercepat transisi
dari masyarakat feodal ke masyarakat industri.
Namun demikian,
urbanisasi ini sering kali disertai oleh masalah sosial baru seperti kepadatan,
kemiskinan kota, dan munculnya proletariat urban yang rentan terhadap
eksploitasi.⁸
6.5.
Penguatan Negara Absolut dan Birokrasi Ekonomi
Merkantilisme
memberikan legitimasi ekonomi bagi sistem pemerintahan
monarki absolut, karena negara memosisikan diri sebagai
pemegang otoritas tertinggi dalam mengatur ekonomi demi kepentingan nasional.
Hal ini menghasilkan pembentukan birokrasi ekonomi
yang kompleks—termasuk lembaga pengawasan dagang, sistem perpajakan terpusat,
dan otoritas penetapan harga serta kuota.⁹
Di satu sisi, ini
memperkuat kemampuan negara dalam mengontrol ekonomi dan memperluas
kekuasaannya. Di sisi lain, sistem ini menciptakan ketergantungan rakyat pada
keputusan negara dan mengekang kebebasan ekonomi individu. Dalam beberapa
kasus, kontrol negara yang berlebihan juga menimbulkan inefisiensi dan korupsi
administratif.¹⁰
Footnotes
[1]
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, vol. 2 of Civilization
and Capitalism, 15th–18th Century (Berkeley: University of California
Press, 1992), 242–245.
[2]
Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London:
Verso, 1974), 49–52.
[3]
Kenneth Pomeranz dan Steven Topik, The World That Trade Created:
Society, Culture, and the World Economy, 1400 to the Present (Armonk, NY:
M.E. Sharpe, 2006), 91–94.
[4]
Robin Blackburn, The Making of New World Slavery: From the Baroque
to the Modern, 1492–1800 (London: Verso, 1997), 5–8.
[5]
Jonathan I. Israel, Dutch Primacy in World Trade, 1585–1740
(Oxford: Oxford University Press, 1989), 119–121.
[6]
Jan de Vries dan Ad van der Woude, The First Modern Economy:
Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 173–175.
[7]
Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the
World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 160–163.
[8]
Peter Musgrave, The Early Modern European Economy, 1500–1700
(London: Macmillan, 1999), 132–135.
[9]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 142–145.
[10]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 189–192.
7.
Kritik terhadap Merkantilisme dan Kemunduran
Sistem
Pada akhir abad
ke-18, dominasi sistem Merkantilisme mulai mengalami kemunduran
yang ditandai oleh munculnya kritik-kritik tajam dari para pemikir ekonomi
klasik dan perubahan struktural dalam perekonomian global. Meskipun
Merkantilisme sempat menjadi paradigma ekonomi utama di Eropa selama lebih dari
dua abad, sistem ini secara bertahap kehilangan daya tariknya seiring dengan
munculnya gagasan tentang liberalisme ekonomi,
meningkatnya industrialisasi, serta tekanan sosial akibat kebijakan ekonomi
yang mengekang kebebasan individu dan dinamika pasar.
7.1.
Kritik dari Ekonom Klasik
Kritik terhadap
Merkantilisme pertama kali muncul secara sistematis dari para ekonom
klasik Inggris, terutama Adam Smith, yang menjadi tokoh
sentral dalam pembentukan paradigma ekonomi baru. Dalam karyanya yang
monumental The
Wealth of Nations (1776), Smith menolak konsep bahwa kekayaan
nasional diukur berdasarkan akumulasi logam mulia, dan
menganggap bahwa kekayaan sejati suatu bangsa terletak pada produktivitas kerja
dan kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa.¹
Smith mengkritik
kebijakan proteksionis merkantilis yang dianggapnya menghambat
efisiensi pasar, menciptakan monopoli yang merugikan konsumen,
dan mengorbankan kebebasan individu dalam ekonomi. Ia mempromosikan prinsip laissez-faire,
yaitu bahwa pasar akan mencapai keseimbangan optimal jika dibiarkan bekerja
secara bebas tanpa campur tangan negara yang berlebihan.² Dalam pandangan
Smith, perdagangan internasional seharusnya bersifat saling menguntungkan (mutual
gain), bukan permainan zero-sum seperti yang diyakini oleh para
pendukung Merkantilisme.
7.2.
Perubahan Struktural dan Kebutuhan Ekonomi Baru
Selain kritik
teoretis, kemunduran Merkantilisme juga dipicu oleh perubahan
struktural dalam dinamika ekonomi Eropa pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19. Munculnya Revolusi Industri di Inggris
menciptakan kebutuhan akan pasar yang lebih terbuka, bahan baku yang lebih
murah, dan distribusi barang yang lebih efisien.³ Sistem proteksionis dan
monopoli yang menjadi ciri khas Merkantilisme mulai dianggap tidak kompatibel
dengan tuntutan industrialisasi yang menekankan inovasi teknologi dan efisiensi
produksi.
Kebutuhan untuk
mendorong konsumsi massal dan integrasi pasar global juga mendorong
negara-negara untuk beralih ke model ekonomi liberal, di mana
perdagangan bebas dan mobilitas kapital menjadi prinsip utama.⁴ Akibatnya,
banyak kebijakan merkantilis—seperti tarif tinggi, pembatasan impor, dan
monopoli dagang—secara bertahap dicabut atau direformasi.
7.3.
Kelemahan Internal Merkantilisme
Merkantilisme juga
menghadapi kritik atas konsekuensi internalnya yang merugikan,
seperti birokrasi yang berlebihan, korupsi dalam pemberian monopoli, serta
ketergantungan ekonomi pada koloni dan jalur dagang luar negeri yang rentan
terhadap konflik militer.⁵ Di beberapa negara, sistem ini menciptakan ketimpangan
regional, memperkaya elit urban dan komersial sementara
mengabaikan sektor agraris dan pedesaan.⁶
Di Prancis,
misalnya, sistem manufaktur kerajaan dan proteksi industri tidak mampu bertahan
terhadap tekanan ekonomi dan persaingan global, terutama setelah terjadinya
Revolusi Prancis yang turut menggulingkan struktur ekonomi merkantilis yang
terpusat.⁷ Hal serupa terjadi di Spanyol dan Portugal, di mana ketergantungan
pada logam mulia dari koloni menyebabkan stagnasi inovasi industri domestik.
7.4.
Peralihan ke Liberalisme Ekonomi
Menjelang abad
ke-19, sistem Merkantilisme secara bertahap digantikan oleh paradigma baru
yaitu liberalisme
ekonomi, yang mengedepankan perdagangan bebas, kebebasan
berusaha, dan minimnya intervensi negara dalam urusan ekonomi. Tokoh-tokoh
seperti David Ricardo mengembangkan
lebih lanjut teori keuntungan komparatif yang mendukung perdagangan
internasional tanpa hambatan sebagai mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan
global.⁸
Penerimaan terhadap
liberalisme ekonomi ini menjadi dasar dari reformasi kebijakan perdagangan
di banyak negara Eropa, seperti pencabutan Navigation Acts di Inggris (1849)
dan pembentukan zona perdagangan bebas di antara negara-negara industri. Dengan
demikian, kemunduran Merkantilisme bukan hanya soal penolakan intelektual,
tetapi juga merupakan bagian dari evolusi sistem ekonomi global
yang lebih kompleks dan terintegrasi.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 408–415.
[2]
Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New
York: Harper and Brothers, 1937), 12–15.
[3]
Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the
World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 196–198.
[4]
Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language
(London: Routledge, 1994), 115–117.
[5]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 221–224.
[6]
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, vol. 2 of Civilization
and Capitalism, 15th–18th Century (Berkeley: University of California
Press, 1992), 318–320.
[7]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 172–175.
[8]
David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation
(London: John Murray, 1817), 77–85.
8.
Warisan Merkantilisme dalam Dunia Modern
Meskipun
Merkantilisme secara formal mengalami kemunduran pada akhir abad ke-18, warisan
ideologis dan kebijakannya tetap hidup dan bahkan mengalami reaktualisasi dalam
berbagai bentuk dalam konteks ekonomi-politik kontemporer. Dalam dunia yang
semakin saling terhubung oleh perdagangan, geopolitik, dan intervensi negara,
prinsip-prinsip merkantilis seringkali muncul kembali dengan kemasan baru.
Fenomena ini biasa disebut sebagai neo-merkantilisme, yang
mencerminkan adaptasi prinsip-prinsip klasik Merkantilisme ke dalam sistem
global modern.
8.1.
Neo-Merkantilisme: Reaktualisasi Prinsip Lama
Neo-merkantilisme
mengacu pada kebijakan negara yang tetap menekankan intervensi
aktif dalam perdagangan internasional dan perlindungan industri
domestik demi menjaga kepentingan nasional. Negara-negara seperti Tiongkok,
India, dan bahkan Amerika Serikat pada abad ke-21 menunjukkan gejala
neo-merkantilisme melalui strategi surplus perdagangan, manipulasi mata
uang, subsidi ekspor, dan hambatan non-tarif terhadap impor.¹
Seperti dalam
Merkantilisme klasik, negara dipandang sebagai aktor utama yang bertanggung
jawab atas kekuatan ekonomi nasional. Perbedaan utamanya adalah bahwa dalam
neo-merkantilisme, intervensi dilakukan dalam kerangka ekonomi pasar terbuka
dan persaingan global, bukan dalam sistem monopoli tertutup.²
8.2.
Proteksionisme Modern dan Nasionalisme Ekonomi
Kebangkitan nasionalisme
ekonomi di berbagai negara juga menandai kebangkitan
nilai-nilai merkantilis. Krisis ekonomi global, seperti krisis finansial 2008
dan pandemi COVID-19, memicu gelombang proteksionisme baru dalam
bentuk tarif
perdagangan, pembatasan ekspor-impor, dan prioritas produksi dalam negeri.³
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, misalnya, mengadopsi
kebijakan “America First” yang secara eksplisit mengedepankan proteksi
industri domestik dan renegosiasi perjanjian dagang yang dianggap merugikan.⁴
Kebijakan seperti
ini mencerminkan kembali prinsip dasar Merkantilisme: bahwa kekayaan dan
kekuatan negara harus dipertahankan melalui kendali atas perdagangan dan
kebijakan industri strategis.
8.3.
Strategi Ekonomi Negara Berkembang
Banyak negara
berkembang juga mengadopsi strategi yang serupa dengan Merkantilisme untuk membangun
kapasitas industri nasional. Mereka menerapkan kebijakan
substitusi impor, memberikan subsidi kepada sektor manufaktur,
dan melindungi pasar domestik dari dominasi produk asing. Strategi ini dianggap
penting dalam tahap awal pembangunan ekonomi
sebelum negara dapat bersaing di pasar global.⁵
Ekonom seperti
Ha-Joon Chang berargumen bahwa negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika
Serikat sendiri pernah menjalankan kebijakan merkantilis selama proses
industrialisasinya, dan bahwa liberalisme pasar baru diperkenalkan setelah
keunggulan struktural mereka sudah mapan.⁶ Oleh karena itu, warisan
Merkantilisme masih dianggap relevan, terutama dalam konteks pertumbuhan
ekonomi yang adil dan berdaulat.
8.4.
Institusi Global dan Ketimpangan Struktural
Warisan
Merkantilisme juga tampak dalam struktur ekonomi global yang
timpang. Negara-negara kaya masih mendominasi produksi barang bernilai tambah
tinggi, sementara negara berkembang tetap menjadi pemasok bahan mentah—suatu
pola yang mencerminkan logika kolonial merkantilis. Organisasi-organisasi
seperti WTO sering dikritik karena mereproduksi ketimpangan struktural
melalui aturan perdagangan yang lebih menguntungkan negara-negara maju.⁷
Dalam konteks ini,
Merkantilisme tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga kerangka
kerja ideologis yang masih hidup dalam kebijakan perdagangan
dan hubungan internasional kontemporer.
8.5.
Kritik Kontemporer terhadap Neo-Merkantilisme
Meski banyak negara
menerapkan pendekatan merkantilis secara tersirat, sistem ini tetap mendapatkan
kritik. Para pendukung globalisasi dan liberalisasi pasar menilai bahwa
proteksionisme hanya akan memperburuk ketegangan dagang, menurunkan efisiensi
ekonomi, dan merugikan konsumen melalui harga yang lebih tinggi dan pilihan
yang terbatas.⁸ Namun, di tengah ketidakpastian global dan ancaman terhadap
kedaulatan ekonomi, Merkantilisme tetap menjadi daya tarik politik yang kuat,
terutama dalam retorika populis dan strategi pembangunan nasional yang
berorientasi pada kemandirian.
Footnotes
[1]
Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic
Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly
46, no. 3 (2002): 307–329.
[2]
Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the
International Economic Order (Princeton: Princeton University Press,
2001), 172–174.
[3]
Dani Rodrik, Straight Talk on Trade: Ideas for a Sane World Economy
(Princeton: Princeton University Press, 2017), 113–116.
[4]
Douglas A. Irwin, Clashing over Commerce: A History of US Trade
Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2017), 624–628.
[5]
Alice Amsden, Asia’s Next Giant: South Korea and Late
Industrialization (New York: Oxford University Press, 1989), 44–47.
[6]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in
Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 19–23.
[7]
Kevin Gallagher, Ruling Capital: Emerging Markets and the
Reregulation of Cross-Border Finance (Ithaca: Cornell University Press,
2015), 88–90.
[8]
Jagdish Bhagwati, In Defense of Globalization (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 131–135.
9.
Penutup
Merkantilisme
sebagai suatu sistem ekonomi dan instrumen politik negara telah memainkan peran
krusial dalam membentuk fondasi ekonomi modern
serta mempengaruhi struktur global yang masih terasa hingga hari ini. Dalam
konteks Eropa abad ke-16 hingga ke-18, Merkantilisme bukan hanya mencerminkan
gagasan tentang kekayaan dan perdagangan, tetapi juga menjadi cerminan dari
logika kekuasaan yang diartikulasikan oleh negara absolutis. Sistem ini
memberikan landasan bagi pembentukan negara-bangsa modern, konsolidasi
birokrasi ekonomi, dan ekspansi kolonial yang meluas di seluruh dunia.¹
Sebagai sebuah
ideologi ekonomi, Merkantilisme menjelaskan bagaimana negara mengambil peran
sentral dalam mengatur dan mengendalikan aktivitas ekonomi demi
mencapai kepentingan nasional.² Meskipun sering dikritik karena sifatnya yang
eksploitatif, monopolis, dan mengekang kebebasan individu, Merkantilisme juga memberikan
kontribusi penting dalam mendorong industrialisasi awal, memperkuat kapasitas
fiskal negara, serta membentuk sistem perdagangan global yang lebih
terintegrasi.³
Kritik-kritik tajam
terhadap Merkantilisme, terutama oleh para pemikir ekonomi klasik seperti Adam
Smith, membuka jalan bagi transformasi menuju sistem ekonomi liberal yang lebih
menekankan kebebasan pasar, efisiensi, dan individualisme
ekonomi. Namun demikian, seperti yang terlihat dalam praktik
kebijakan kontemporer, warisan Merkantilisme tidak sepenuhnya menghilang.
Sebaliknya, ia mengalami transformasi dalam bentuk neo-merkantilisme,
nasionalisme ekonomi, dan kebijakan proteksionis yang masih menjadi bagian dari
strategi pembangunan di banyak negara saat ini.⁴
Oleh karena itu,
pemahaman terhadap Merkantilisme tidak hanya penting sebagai studi historis,
melainkan juga sebagai kerangka analitis untuk
menafsirkan dinamika ekonomi-politik global kontemporer. Dalam era ketegangan
geopolitik, ketimpangan global, dan krisis kepercayaan terhadap pasar bebas,
ide-ide merkantilis kembali memperoleh relevansi sebagai alternatif kebijakan
ekonomi yang menekankan kedaulatan nasional dan peran aktif negara.
Dengan demikian,
Merkantilisme tetap menjadi warisan intelektual dan praktis yang kompleks
dan ambivalen—di satu sisi membuka jalan bagi perkembangan
ekonomi modern, namun di sisi lain menanamkan struktur ketimpangan dan konflik
yang masih terus diperjuangkan hingga kini.⁵ Studi terhadap Merkantilisme bukan
hanya tentang masa lalu, tetapi juga refleksi kritis atas arah masa depan
ekonomi dunia yang semakin saling terkait namun tetap sarat dengan rivalitas
nasional dan kepentingan strategis.
Footnotes
[1]
Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the
World: From Paleolithic Times to the Present (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 139–141.
[2]
Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund
(London: George Allen & Unwin, 1935), 22–25.
[3]
Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism
(New York: Columbia University Press, 1939), 148–151.
[4]
Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic
Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly
46, no. 3 (2002): 307–329.
[5]
Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the
International Economic Order (Princeton: Princeton University Press,
2001), 173–177.
Daftar Pustaka
Abu-Lughod, J. (1989). Before
European hegemony: The world system A.D. 1250–1350. Oxford University
Press.
Amsden, A. H. (1989). Asia’s
next giant: South Korea and late industrialization. Oxford University
Press.
Anderson, P. (1974). Lineages
of the absolutist state. Verso.
Bhagwati, J. (2004). In
defense of globalization. Oxford University Press.
Blackburn, R. (1997). The
making of New World slavery: From the baroque to the modern, 1492–1800.
Verso.
Braudel, F. (1992). Civilization
and capitalism, 15th–18th century: Vol. II. The wheels of commerce (S.
Reynolds, Trans.). University of California Press.
Cameron, R., & Neal, L.
(2003). A concise economic history of the world: From Paleolithic times to
the present (4th ed.). Oxford University Press.
Chang, H.-J. (2002). Kicking
away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem
Press.
Cole, C. W. (1939). Colbert
and a century of French mercantilism. Columbia University Press.
Davis, R. (1973). The
rise of the Atlantic economies. Weidenfeld and Nicolson.
Gallagher, K. P. (2015). Ruling
capital: Emerging markets and the reregulation of cross-border finance.
Cornell University Press.
Gaastra, F. S. (2003). The
Dutch East India Company: Expansion and decline. Walburg Pers.
Gilpin, R. (2001). Global
political economy: Understanding the international economic order.
Princeton University Press.
Heckscher, E. F. (1935). Mercantilism
(E. F. Söderlund, Trans.). George Allen & Unwin.
Helleiner, E. (2002).
Economic nationalism as a challenge to economic liberalism? Lessons from the
19th century. International Studies Quarterly, 46(3), 307–329. https://doi.org/10.1111/1468-2478.00236
Irwin, D. A. (2017). Clashing
over commerce: A history of US trade policy. University of Chicago Press.
Israel, J. I. (1989). Dutch
primacy in world trade, 1585–1740. Oxford University Press.
Magnusson, L. (1994). Mercantilism:
The shaping of an economic language. Routledge.
Musgrave, P. (1999). The
early modern European economy, 1500–1700. Macmillan.
Pomeranz, K., & Topik,
S. (2006). The world that trade created: Society, culture, and the world economy,
1400 to the present (2nd ed.). M.E. Sharpe.
Ricardo, D. (1817). On
the principles of political economy and taxation. John Murray.
Rodrik, D. (2017). Straight
talk on trade: Ideas for a sane world economy. Princeton University Press.
Smith, A. (1776). An
inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. W. Strahan
and T. Cadell.
Steensgaard, N. (1974). The
Asian trade revolution of the seventeenth century: The East India companies and
the decline of the caravan trade. University of Chicago Press.
de Vries, J., & van der
Woude, A. (1997). The first modern economy: Success, failure, and
perseverance of the Dutch economy, 1500–1815. Cambridge University Press.
Viner, J. (1937). Studies
in the theory of international trade. Harper and Brothers.
Wallerstein, I. (1974). The
modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European
world-economy in the sixteenth century. Academic Press.
Wilson, C. (1983). The
economic decline of empires. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar