Senin, 09 Juni 2025

Merkantilisme: Akar Historis, Prinsip-Prinsip, dan Warisannya dalam Dunia Modern

Merkantilisme

Akar Historis, Prinsip-Prinsip, dan Warisannya dalam Dunia Modern


Alihkan ke: Akar Pemikiran Modern Eropa dan Dampaknya terhadap Dunia.


Abstrak

Artikel ini membahas Merkantilisme sebagai suatu sistem ekonomi-politik yang dominan di Eropa antara abad ke-16 hingga ke-18 dalam konteks pertumbuhan negara-bangsa dan kekuasaan monarki absolut. Merkantilisme dipahami tidak hanya sebagai teori ekonomi, melainkan sebagai seperangkat kebijakan strategis yang digunakan oleh negara untuk meningkatkan kekayaan nasional melalui pengendalian perdagangan, akumulasi logam mulia, proteksionisme, dan ekspansi kolonial. Artikel ini menguraikan latar historis munculnya Merkantilisme, prinsip-prinsip dasarnya, serta implementasinya di berbagai negara Eropa seperti Prancis, Inggris, Spanyol, Portugal, dan Belanda. Selain itu, dibahas pula dampak sosial-ekonomi Merkantilisme, termasuk kemunculan kelas borjuis, eksploitasi kolonial, dan ketimpangan global awal. Meskipun mengalami kemunduran akibat kritik dari para ekonom klasik dan perubahan struktural ekonomi, warisan Merkantilisme tetap relevan dalam bentuk neo-merkantilisme dan nasionalisme ekonomi kontemporer. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap Merkantilisme penting tidak hanya secara historis, tetapi juga dalam menelaah dinamika ekonomi global modern yang ditandai oleh rivalitas strategis antarnegara dan peran sentral negara dalam perekonomian.

Kata Kunci: Merkantilisme, Absolutisme, Proteksionisme, Kolonialisme, Ekonomi Politik, Neo-Merkantilisme, Adam Smith, Negara-Bangsa, Surplus Perdagangan, Nasionalisme Ekonomi.


PEMBAHASAN

Merkantilisme dan Dinamika Ekonomi Politik Abad Absolutisme


1.           Pendahuluan

Merkantilisme merupakan suatu sistem ekonomi yang mendominasi Eropa Barat sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-18. Sistem ini berkembang seiring dengan tumbuhnya negara-bangsa modern, meluasnya eksplorasi geografis, serta bangkitnya kekuatan-kekuatan monarki absolut yang menegaskan dominasi negara atas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks tersebut, Merkantilisme tidak sekadar sebuah doktrin ekonomi, melainkan juga suatu instrumen politik negara untuk memperkuat otoritas dan kekuasaannya, terutama melalui penguasaan atas sumber daya, perdagangan, dan kebijakan fiskal yang terpusat pada negara.

Akar historis Merkantilisme dapat ditelusuri dari pergolakan transisi antara sistem ekonomi feodal ke arah ekonomi kapitalis awal. Pada masa feodalisme, perekonomian bersifat lokal dan subsisten, dengan tanah sebagai sumber utama kekayaan. Namun, seiring dengan ekspansi maritim bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugal dan Spanyol pada abad ke-15 dan 16, terjadi pergeseran orientasi kekayaan ke arah akumulasi logam mulia, perdagangan internasional, dan penguasaan koloni. Negara-negara Eropa mulai mengidentifikasi kekayaan nasional melalui jumlah emas dan perak yang dikuasai, dan bukan semata-mata dari kekayaan agraria atau produksi lokal semata.¹

Kebangkitan Merkantilisme beriringan dengan munculnya monarki absolut, di mana raja menjadi pusat dari seluruh struktur pemerintahan dan ekonomi. Para pemimpin absolutis seperti Louis XIV di Prancis memanfaatkan kebijakan merkantilis untuk membiayai proyek-proyek militer, memperluas pengaruh politik, dan menopang kekuasaan dinasti. Dalam hal ini, negara berperan aktif dalam mengatur aktivitas ekonomi rakyat, mendorong ekspor, membatasi impor, dan melindungi industri dalam negeri melalui tarif dan subsidi.² Jean-Baptiste Colbert, menteri keuangan Louis XIV, bahkan menjadikan Merkantilisme sebagai tulang punggung kebijakan ekonomi nasional, dengan memperkenalkan sistem yang dikenal sebagai Colbertisme.³

Selain itu, perkembangan Merkantilisme turut didorong oleh semangat nasionalisme ekonomi yang menganggap bahwa kesejahteraan suatu bangsa bergantung pada kekuatan ekonominya yang bersumber dari perdagangan luar negeri yang menguntungkan. Dalam iklim ini, negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk memperoleh keunggulan dalam neraca perdagangan dan menguasai jalur-jalur perdagangan global melalui kekuatan militer dan ekspansi kolonial.⁴

Kajian terhadap Merkantilisme penting dilakukan tidak hanya untuk memahami dinamika ekonomi masa lampau, tetapi juga untuk menelaah bagaimana prinsip-prinsipnya tetap memberi resonansi dalam ekonomi-politik modern. Banyak negara kontemporer masih mempertahankan bentuk-bentuk proteksionisme, intervensi negara dalam industri strategis, dan dominasi atas perdagangan luar negeri dalam konteks yang sering disebut sebagai neo-merkantilisme.⁵ Oleh karena itu, studi tentang Merkantilisme tidak sekadar retrospektif historis, melainkan juga membuka ruang refleksi kritis terhadap konfigurasi ekonomi global masa kini.


Footnotes

[1]                Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New York: Harper and Brothers, 1937), 6–9.

[2]                Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language (London: Routledge, 1994), 25–27.

[3]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 61–64.

[4]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 38–41.

[5]                Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly 46, no. 3 (2002): 307–329.


2.           Konteks Historis Munculnya Merkantilisme

Merkantilisme muncul dalam konteks sejarah Eropa yang ditandai oleh transformasi besar dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, terutama sejak akhir Abad Pertengahan hingga awal zaman modern. Terdapat beberapa faktor historis utama yang melatarbelakangi kemunculan dan perkembangan Merkantilisme, di antaranya pergeseran struktur ekonomi feodal ke arah ekonomi uang, ekspansi geografis Eropa, tumbuhnya negara-bangsa modern, serta menguatnya sistem pemerintahan monarki absolut.

2.1.       Transisi dari Feodalisme ke Ekonomi Pasar

Pada abad pertengahan, perekonomian Eropa didominasi oleh sistem feodal yang berbasis pada pertanian subsisten, hubungan hierarkis antara tuan tanah dan petani, serta keterbatasan mobilitas perdagangan. Namun, mulai abad ke-14 hingga ke-16, terjadi perubahan signifikan akibat berbagai faktor seperti pertumbuhan kota, berkembangnya kelas borjuis, serta meluasnya penggunaan uang sebagai alat transaksi yang sah dan efisien. Proses komersialisasi ini memperkuat ekonomi pasar dan mengikis dominasi struktur feodal.¹

2.2.       Revolusi Komersial dan Penjelajahan Samudra

Penjelajahan samudra oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol dan Portugal sejak akhir abad ke-15 membuka babak baru dalam sejarah ekonomi dunia. Penemuan jalur laut baru, terutama ke Asia, Afrika, dan benua Amerika, menciptakan arus perdagangan yang masif dan global. Emas dan perak yang dibawa dari Dunia Baru memperkaya negara-negara penjelajah dan mengubah persepsi tentang sumber kekayaan nasional.² Fenomena ini, yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Komersial, memperkuat gagasan bahwa kekuatan ekonomi suatu negara ditentukan oleh kemampuannya dalam mengendalikan perdagangan internasional dan menimbun logam mulia.³

2.3.       Pembentukan Negara-Bangsa dan Sentralisasi Kekuasaan

Masa setelah perang seratus tahun dan krisis Abad Pertengahan menandai lahirnya entitas politik baru yang dikenal sebagai negara-bangsa modern. Negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol mulai memusatkan otoritas politik pada penguasa tunggal, yakni raja atau monarki absolut. Dalam sistem ini, negara memiliki otoritas untuk menetapkan kebijakan ekonomi demi mendukung kekuatan militer dan kemegahan politiknya.⁴ Merkantilisme menjadi alat ideologis dan praktis dalam membangun kemakmuran nasional yang terkonsentrasi pada negara sebagai aktor utama.

2.4.       Hubungan Merkantilisme dan Absolutisme

Merkantilisme dan absolutisme berkembang secara simbiotik: absolutisme menyediakan struktur kekuasaan yang memungkinkan negara untuk mengontrol ekonomi secara langsung, sementara Merkantilisme menyediakan dasar logika ekonomi bagi penguasa untuk membenarkan intervensi mereka. Seperti yang dicontohkan oleh Prancis di bawah pemerintahan Louis XIV, kekuasaan raja yang absolut berjalan beriringan dengan pengaturan ekonomi yang ketat oleh negara, yang diformulasikan secara sistematis oleh Jean-Baptiste Colbert melalui kebijakan yang dikenal sebagai Colbertisme.⁵

2.5.       Dampak Sosial dan Kultural

Perubahan ini tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial dan budaya. Kelas borjuis dagang semakin kuat posisinya karena mereka menjadi mitra strategis negara dalam memperkuat ekonomi nasional. Sementara itu, pola konsumsi masyarakat berubah karena keterhubungan dengan pasar global dan barang-barang dari koloni. Sistem pendidikan dan pengetahuan juga diarahkan untuk mendukung administrasi negara yang kuat dan ekonomi yang efisien.⁶

Dengan demikian, kemunculan Merkantilisme tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah Eropa pada masa peralihan menuju modernitas. Ia lahir sebagai respons terhadap perubahan ekonomi global yang disertai oleh konsolidasi kekuasaan negara dan berkembang sebagai ideologi serta strategi pembangunan ekonomi nasional dalam kerangka kekuasaan absolut.


Footnotes

[1]                Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the World: From Paleolithic Times to the Present (Oxford: Oxford University Press, 2003), 121–125.

[2]                Janet Abu-Lughod, Before European Hegemony: The World System A.D. 1250–1350 (New York: Oxford University Press, 1989), 278–281.

[3]                Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 35–38.

[4]                Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London: Verso, 1974), 21–25.

[5]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 60–63.

[6]                Fernand Braudel, Civilization and Capitalism, 15th–18th Century, Volume II: The Wheels of Commerce (Berkeley: University of California Press, 1992), 45–49.


3.           Prinsip-Prinsip Dasar Merkantilisme

Merkantilisme sebagai sistem ekonomi-politik tidak hadir dalam bentuk teori yang sistematis seperti halnya ekonomi klasik atau neoliberalisme modern, melainkan sebagai serangkaian kebijakan praktis dan prinsip-prinsip dasar yang diterapkan oleh negara-negara Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Prinsip-prinsip ini berakar pada keyakinan bahwa kekuatan dan kemakmuran negara bergantung pada akumulasi kekayaan dalam bentuk logam mulia, dan bahwa negara memiliki peran aktif dan dominan dalam mengatur serta mengarahkan aktivitas ekonomi demi kepentingan nasional.

3.1.       Akumulasi Logam Mulia sebagai Ukuran Kekayaan

Salah satu prinsip mendasar dalam Merkantilisme adalah gagasan bahwa kekayaan nasional diukur dari jumlah emas dan perak yang dimiliki negara. Logam mulia dianggap sebagai bentuk kekayaan yang paling konkret dan stabil karena dapat digunakan untuk membiayai perang, memperkuat kekuasaan negara, serta menunjukkan prestise suatu bangsa. Oleh karena itu, kebijakan merkantilis berfokus pada peningkatan cadangan logam mulia melalui surplus perdagangan, di mana nilai ekspor harus melebihi nilai impor.¹ Kebijakan ini mencerminkan paradigma zero-sum game, yakni pandangan bahwa kekayaan dunia bersifat tetap dan terbatas, sehingga satu negara hanya bisa menjadi kaya dengan mengalahkan negara lain dalam perdagangan.²

3.2.       Neraca Perdagangan Positif sebagai Tujuan Utama

Merkantilisme sangat menekankan pentingnya neraca perdagangan positif. Negara harus mendorong ekspor sebanyak mungkin dan membatasi impor untuk mencegah aliran keluar logam mulia. Untuk mencapai hal ini, negara menerapkan berbagai kebijakan proteksionis seperti pengenaan tarif tinggi terhadap barang impor, kuota impor, dan pelarangan atas barang-barang yang dianggap tidak penting.³ Selain itu, negara juga memberikan insentif kepada produsen domestik untuk meningkatkan produksi dan daya saing ekspor.

3.3.       Peran Sentral Negara dalam Ekonomi

Berbeda dengan liberalisme ekonomi yang meminimalkan campur tangan negara, Merkantilisme justru menekankan intervensi aktif negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dianggap sebagai agen utama dalam menciptakan kesejahteraan dan kekuatan nasional. Intervensi ini meliputi regulasi perdagangan, pemberian monopoli kepada perusahaan tertentu, subsidi industri strategis, serta investasi dalam infrastruktur pelabuhan dan armada dagang.⁴ Negara juga dapat menetapkan harga, mengontrol upah, serta mengatur distribusi barang agar sesuai dengan kepentingan nasional.

3.4.       Dukungan terhadap Industri Manufaktur dan Navigasi

Merkantilisme sangat menekankan pengembangan industri manufaktur dalam negeri, karena sektor ini dianggap mampu menambah nilai produk dan menciptakan surplus perdagangan. Industri domestik harus dilindungi dari persaingan asing melalui tarif dan larangan impor barang jadi.⁵ Selain itu, karena perdagangan laut menjadi sarana utama pertukaran internasional, negara juga mendukung penguatan sektor pelayaran dan navigasi. Inggris, misalnya, menerapkan Navigation Acts yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Inggris dalam perdagangan kolonial.⁶

3.5.       Kolonialisme dan Monopoli Dagang

Merkantilisme juga berkaitan erat dengan ekspansi kolonial. Koloni dipandang sebagai penyedia bahan mentah murah dan pasar bagi produk-produk industri negara induk. Negara-negara merkantilis mendirikan perusahaan dagang besar yang diberi hak monopoli oleh pemerintah, seperti British East India Company dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).⁷ Perusahaan-perusahaan ini bukan hanya alat perdagangan, tetapi juga instrumen politik negara dalam mengendalikan jalur perdagangan global dan menumpuk kekayaan kolonial.


Footnotes

[1]                Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New York: Harper and Brothers, 1937), 6–9.

[2]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 20–22.

[3]                Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language (London: Routledge, 1994), 45–48.

[4]                Charles Wilson, The Economic Decline of Empires (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 53–55.

[5]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 82–85.

[6]                Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London: Weidenfeld and Nicolson, 1973), 103–106.

[7]                Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 101–104.


4.           Kebijakan dan Instrumen Merkantilisme

Dalam praktiknya, Merkantilisme bukan sekadar ideologi ekonomi, tetapi juga diwujudkan dalam serangkaian kebijakan konkret yang dijalankan oleh negara-negara Eropa sejak abad ke-16 hingga ke-18. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan negara melalui kendali atas perdagangan, industri, dan kekayaan nasional. Negara berperan sebagai aktor utama yang menetapkan arah dan strategi ekonomi demi mencapai surplus perdagangan dan akumulasi logam mulia. Berbagai instrumen merkantilis dirancang untuk mengarahkan ekonomi nasional secara terpusat dan strategis.

4.1.       Proteksionisme: Tarif, Larangan, dan Regulasi Impor

Salah satu instrumen utama dalam sistem merkantilis adalah proteksionisme, yaitu kebijakan yang melindungi industri dan produsen dalam negeri dari persaingan luar negeri. Negara menetapkan tarif impor tinggi untuk barang-barang asing, memberlakukan kuota, atau bahkan melarang masuknya produk tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan neraca perdagangan.¹ Dengan demikian, negara tidak hanya mengontrol apa yang boleh masuk, tetapi juga membentuk pola konsumsi masyarakat sesuai dengan kepentingan ekonomi nasional.

Contohnya adalah Navigation Acts yang diterapkan oleh Inggris sejak 1651. Undang-undang ini mensyaratkan bahwa semua perdagangan ke dan dari Inggris harus menggunakan kapal Inggris atau kapal negara produsen barang. Tujuannya adalah memperkuat sektor pelayaran nasional dan mengurangi ketergantungan pada negara asing.²

4.2.       Subsidi dan Insentif bagi Industri Dalam Negeri

Negara-negara merkantilis memberikan subsidi dan insentif kepada industri strategis sebagai cara untuk meningkatkan produksi dan daya saing ekspor. Pemerintah mendanai pendirian pabrik, memberikan bantuan modal, serta menciptakan pasar dalam negeri melalui kontrak pemerintah dan regulasi harga.³ Di Prancis, Jean-Baptiste Colbert mendirikan berbagai manufaktur kerajaan yang dibiayai oleh negara untuk memproduksi barang-barang mewah (seperti tekstil dan kaca) yang kemudian diekspor ke luar negeri.⁴

4.3.       Pengembangan Armada Dagang dan Infrastruktur Ekonomi

Merkantilisme juga mengharuskan pengembangan infrastruktur ekonomi, terutama dalam sektor pelayaran dan pelabuhan. Negara membangun armada dagang nasional untuk mendukung ekspor dan melindungi jalur perdagangan dari ancaman bajak laut atau kekuatan asing. Armada ini bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga simbol kekuatan militer dan politik di laut lepas. Selain itu, pemerintah memperbaiki jalan, kanal, dan pelabuhan untuk memperlancar arus barang dan mendukung integrasi pasar domestik.⁵

4.4.       Pembentukan Koloni sebagai Sumber dan Pasar

Kebijakan merkantilis sangat erat kaitannya dengan ekspansi kolonial. Koloni dianggap sebagai perpanjangan tangan ekonomi negara induk—sebagai penyedia bahan mentah murah dan pasar yang terkontrol bagi produk manufaktur domestik. Negara kolonial memaksakan sistem perdagangan eksklusif, di mana koloni hanya boleh berdagang dengan negara induknya.⁶

Sebagai contoh, Spanyol mengeksploitasi kekayaan logam dari Amerika Latin, sementara Inggris dan Belanda memanfaatkan koloni di Asia dan Karibia untuk menanam tanaman komoditas seperti gula, kopi, dan rempah-rempah. Dalam banyak kasus, kolonialisme merkantilis disertai dengan kerja paksa, perbudakan, dan eksklusi ekonomi lokal.⁷

4.5.       Perusahaan Dagang Monopoli

Negara merkantilis mendirikan perusahaan dagang berskala besar yang diberi hak monopoli perdagangan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini seperti British East India Company, Dutch East India Company (VOC), dan Compagnie des Indes Orientales memainkan peran strategis dalam mengamankan jalur perdagangan, membangun koloni, dan menghasilkan keuntungan besar bagi negara.⁸ Selain berdagang, perusahaan-perusahaan ini juga memiliki kekuatan militer, administratif, dan bahkan diplomatik, menjadikannya alat kebijakan luar negeri yang sangat efektif.


Footnotes

[1]                Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language (London: Routledge, 1994), 52–54.

[2]                Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London: Weidenfeld and Nicolson, 1973), 103–106.

[3]                Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New York: Harper and Brothers, 1937), 12–14.

[4]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 88–90.

[5]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 121–124.

[6]                Kenneth Pomeranz dan Steven Topik, The World That Trade Created: Society, Culture, and the World Economy, 1400 to the Present (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 45–47.

[7]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1974), 25–28.

[8]                Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth Century: The East India Companies and the Decline of the Caravan Trade (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 95–98.


5.           Merkantilisme di Berbagai Negara Eropa

Meskipun prinsip-prinsip umum Merkantilisme diadopsi secara luas di Eropa pada periode abad ke-16 hingga ke-18, penerapannya menunjukkan variasi yang signifikan antarnegara, tergantung pada struktur politik, kondisi ekonomi, kekuatan kolonial, dan tujuan nasional masing-masing. Negara-negara besar seperti Prancis, Inggris, Spanyol, Belanda, dan Portugal mengembangkan bentuk-bentuk merkantilisme yang khas, dengan pendekatan strategis yang mencerminkan prioritas domestik dan ambisi imperialis mereka.

5.1.       Prancis: Colbertisme dan Sentralisasi Ekonomi

Merkantilisme di Prancis mencapai bentuk paling sistematis di bawah kebijakan Jean-Baptiste Colbert, menteri keuangan Louis XIV. Colbert mengembangkan suatu sistem yang kemudian dikenal sebagai Colbertisme, yang menekankan intervensi negara yang luas, pembangunan industri manufaktur nasional, dan regulasi ketat terhadap perdagangan.¹ Ia mendirikan manufaktur kerajaan untuk memproduksi barang-barang mewah seperti tekstil, kaca, dan perhiasan, serta menetapkan standar mutu dan inspeksi produksi demi meningkatkan daya saing produk Prancis di pasar internasional.²

Colbert juga memperkuat angkatan laut, membentuk perusahaan dagang seperti Compagnie des Indes Orientales, dan mendorong pembangunan infrastruktur seperti kanal dan pelabuhan. Kebijakan ini memperkuat posisi ekonomi Prancis dan menjadi model merkantilisme Eropa kontinental.³

5.2.       Inggris: Navigational Acts dan Fondasi Kapitalisme Dagang

Di Inggris, merkantilisme memperoleh bentuk khas dalam bentuk kebijakan maritim dan kolonial yang agresif. Sejak pertengahan abad ke-17, pemerintah Inggris mengeluarkan serangkaian Navigation Acts, yang menetapkan bahwa semua barang yang diimpor ke Inggris atau koloni-koloninya harus diangkut menggunakan kapal berbendera Inggris.⁴

Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi pelayaran nasional dan melemahkan kekuatan dagang Belanda, sekaligus menjamin bahwa manfaat ekonomi dari perdagangan kolonial tetap berada dalam lingkup Inggris. Pemerintah Inggris juga mendukung berdirinya British East India Company, yang berperan besar dalam dominasi Inggris di Asia dan membentuk cikal bakal sistem kapitalisme imperialis.⁵ Pendekatan Inggris terhadap Merkantilisme lebih pragmatis dan fleksibel, dan pada akhirnya mendorong munculnya kapitalisme pasar bebas setelah era merkantilistik berakhir.

5.3.       Spanyol dan Portugal: Eksploitasi Kolonial dan Logam Mulia

Spanyol dan Portugal merupakan pelopor eksplorasi dunia dan kekuatan kolonial awal dalam sistem merkantilisme. Kedua negara ini sangat bergantung pada eksploitasi kekayaan alam kolonial, khususnya logam mulia dari Amerika Latin (emas dan perak dari Meksiko dan Peru), yang menjadi sumber utama pendapatan negara.⁶ Namun, ketergantungan pada ekspor logam mulia tanpa penguatan industri dalam negeri menyebabkan stagnasi ekonomi jangka panjang.

Spanyol dan Portugal menunjukkan model merkantilisme yang berbasis ekstraksi, dengan orientasi ekonomi yang lebih berfokus pada transfer kekayaan daripada pembangunan sektor produktif.⁷ Hal ini membuat kedua negara kehilangan momentum industrialisasi dibandingkan Inggris dan Prancis di kemudian hari.

5.4.       Belanda: Komersialisme dan Liberalisme Terkontrol

Belanda mengembangkan bentuk merkantilisme yang lebih fleksibel dan berbasis pada kapasitas dagang global, bukan kontrol langsung terhadap produksi atau proteksionisme yang ketat. Didorong oleh kebebasan berusaha dan dominasi di sektor keuangan serta pelayaran, Belanda menjadi kekuatan maritim dan dagang terbesar pada abad ke-17.⁸

Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang merupakan perusahaan dagang terbesar dan paling berpengaruh pada zamannya, dengan hak monopoli di Asia.⁹ Pemerintah Belanda memberikan otonomi luas kepada VOC untuk menjalankan aktivitas militer, diplomasi, dan administrasi di wilayah kolonial. Meskipun negara tidak mengontrol ekonomi secara langsung seperti di Prancis, ia tetap menciptakan kerangka hukum dan infrastruktur yang menunjang kepentingan dagang nasional.¹⁰


Footnotes

[1]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 56–59.

[2]                Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language (London: Routledge, 1994), 66–68.

[3]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 137–140.

[4]                Ralph Davis, The Rise of the Atlantic Economies (London: Weidenfeld and Nicolson, 1973), 109–112.

[5]                Niels Steensgaard, The Asian Trade Revolution of the Seventeenth Century (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 85–88.

[6]                Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 179–182.

[7]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (New York: Academic Press, 1974), 51–54.

[8]                Jonathan I. Israel, Dutch Primacy in World Trade, 1585–1740 (Oxford: Oxford University Press, 1989), 103–106.

[9]                Femme S. Gaastra, The Dutch East India Company: Expansion and Decline (Zutphen: Walburg Pers, 2003), 23–27.

[10]             Jan de Vries dan Ad van der Woude, The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 205–210.


6.           Dampak Sosial-Ekonomi Merkantilisme

Sistem Merkantilisme yang mendominasi lanskap ekonomi-politik Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18 memberikan pengaruh mendalam dan kompleks terhadap struktur sosial, kehidupan ekonomi, serta tatanan global. Dampak ini tidak hanya dirasakan di negara-negara Eropa, tetapi juga di wilayah kolonial yang menjadi bagian integral dari sistem merkantilis. Kebijakan yang berorientasi pada ekspansi kekayaan nasional dan intervensi negara secara aktif dalam perekonomian telah menghasilkan berbagai konsekuensi, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif.

6.1.       Kemunculan Kelas Borjuis dan Perubahan Struktur Sosial

Salah satu dampak sosial utama dari sistem merkantilis adalah menguatnya kelas borjuis dagang (merchant bourgeoisie) yang sebelumnya memiliki posisi marginal dalam masyarakat feodal. Dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, manufaktur, dan jasa pelayaran, kelas ini memperoleh akumulasi modal yang besar dan mulai memegang pengaruh dalam kebijakan ekonomi dan politik.¹ Borjuis tidak hanya menjadi agen ekonomi utama, tetapi juga menjadi mitra strategis negara dalam menjalankan proyek merkantilis, seperti pendirian perusahaan monopoli dan pembiayaan ekspedisi dagang.

Transformasi ini turut merombak struktur sosial tradisional yang sebelumnya didominasi oleh aristokrasi dan tuan tanah. Di banyak negara Eropa, borjuis mulai mendesak hak-hak istimewa kaum bangsawan, membuka jalan bagi munculnya masyarakat kapitalis modern.²

6.2.       Eksploitasi Koloni dan Perbudakan

Merkantilisme secara inheren terkait dengan ekspansi kolonial dan sistem ekonomi eksploitatif. Koloni dianggap sebagai sumber bahan mentah yang murah dan pasar yang tertutup bagi barang-barang dari negara induk. Sistem ini mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja di wilayah koloni, seringkali dengan kekerasan dan pemaksaan.³

Dampak yang paling brutal dari sistem ini adalah praktik perbudakan trans-Atlantik, yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial di Amerika dan Karibia. Jutaan orang Afrika diculik dan diperjualbelikan sebagai budak untuk bekerja di perkebunan gula, tembakau, dan kapas—komoditas utama dalam perdagangan internasional pada masa itu.⁴ Perdagangan budak tidak hanya memperkaya negara-negara Eropa, tetapi juga membentuk pola ketimpangan struktural antara pusat (Eropa) dan pinggiran (koloni) yang berlangsung hingga era modern.

6.3.       Ketimpangan Ekonomi dan Regionalisme

Penerapan prinsip neraca perdagangan positif secara ketat mendorong negara untuk mendominasi pasar global, namun menciptakan ketimpangan ekonomi baik antarnegara maupun antarkelompok sosial. Negara-negara dengan kekuatan maritim dan kolonial—seperti Inggris dan Belanda—berhasil menumpuk surplus ekonomi yang besar, sementara negara-negara yang tidak mampu mengembangkan armada atau koloni tertinggal secara ekonomi.⁵

Di dalam negeri, kebijakan proteksionisme dan subsidi industri juga menguntungkan daerah pusat kekuasaan dan pelabuhan, sementara daerah pedalaman yang agraris sering terabaikan. Hal ini menimbulkan bentuk baru regionalisme dan ketimpangan pembangunan yang bersifat struktural.⁶

6.4.       Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota Dagang

Merkantilisme mendorong urbanisasi yang pesat di kota-kota pelabuhan dan pusat manufaktur. Kota-kota seperti Amsterdam, London, Bordeaux, dan Lisbon tumbuh menjadi pusat ekonomi global dengan konsentrasi kapital, buruh, dan infrastruktur niaga.⁷ Pertumbuhan kota ini juga menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang migrasi dari desa ke kota, mempercepat transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri.

Namun demikian, urbanisasi ini sering kali disertai oleh masalah sosial baru seperti kepadatan, kemiskinan kota, dan munculnya proletariat urban yang rentan terhadap eksploitasi.⁸

6.5.       Penguatan Negara Absolut dan Birokrasi Ekonomi

Merkantilisme memberikan legitimasi ekonomi bagi sistem pemerintahan monarki absolut, karena negara memosisikan diri sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam mengatur ekonomi demi kepentingan nasional. Hal ini menghasilkan pembentukan birokrasi ekonomi yang kompleks—termasuk lembaga pengawasan dagang, sistem perpajakan terpusat, dan otoritas penetapan harga serta kuota.⁹

Di satu sisi, ini memperkuat kemampuan negara dalam mengontrol ekonomi dan memperluas kekuasaannya. Di sisi lain, sistem ini menciptakan ketergantungan rakyat pada keputusan negara dan mengekang kebebasan ekonomi individu. Dalam beberapa kasus, kontrol negara yang berlebihan juga menimbulkan inefisiensi dan korupsi administratif.¹⁰


Footnotes

[1]                Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, vol. 2 of Civilization and Capitalism, 15th–18th Century (Berkeley: University of California Press, 1992), 242–245.

[2]                Perry Anderson, Lineages of the Absolutist State (London: Verso, 1974), 49–52.

[3]                Kenneth Pomeranz dan Steven Topik, The World That Trade Created: Society, Culture, and the World Economy, 1400 to the Present (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 91–94.

[4]                Robin Blackburn, The Making of New World Slavery: From the Baroque to the Modern, 1492–1800 (London: Verso, 1997), 5–8.

[5]                Jonathan I. Israel, Dutch Primacy in World Trade, 1585–1740 (Oxford: Oxford University Press, 1989), 119–121.

[6]                Jan de Vries dan Ad van der Woude, The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 173–175.

[7]                Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 160–163.

[8]                Peter Musgrave, The Early Modern European Economy, 1500–1700 (London: Macmillan, 1999), 132–135.

[9]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 142–145.

[10]             Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 189–192.


7.           Kritik terhadap Merkantilisme dan Kemunduran Sistem

Pada akhir abad ke-18, dominasi sistem Merkantilisme mulai mengalami kemunduran yang ditandai oleh munculnya kritik-kritik tajam dari para pemikir ekonomi klasik dan perubahan struktural dalam perekonomian global. Meskipun Merkantilisme sempat menjadi paradigma ekonomi utama di Eropa selama lebih dari dua abad, sistem ini secara bertahap kehilangan daya tariknya seiring dengan munculnya gagasan tentang liberalisme ekonomi, meningkatnya industrialisasi, serta tekanan sosial akibat kebijakan ekonomi yang mengekang kebebasan individu dan dinamika pasar.

7.1.       Kritik dari Ekonom Klasik

Kritik terhadap Merkantilisme pertama kali muncul secara sistematis dari para ekonom klasik Inggris, terutama Adam Smith, yang menjadi tokoh sentral dalam pembentukan paradigma ekonomi baru. Dalam karyanya yang monumental The Wealth of Nations (1776), Smith menolak konsep bahwa kekayaan nasional diukur berdasarkan akumulasi logam mulia, dan menganggap bahwa kekayaan sejati suatu bangsa terletak pada produktivitas kerja dan kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa.¹

Smith mengkritik kebijakan proteksionis merkantilis yang dianggapnya menghambat efisiensi pasar, menciptakan monopoli yang merugikan konsumen, dan mengorbankan kebebasan individu dalam ekonomi. Ia mempromosikan prinsip laissez-faire, yaitu bahwa pasar akan mencapai keseimbangan optimal jika dibiarkan bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara yang berlebihan.² Dalam pandangan Smith, perdagangan internasional seharusnya bersifat saling menguntungkan (mutual gain), bukan permainan zero-sum seperti yang diyakini oleh para pendukung Merkantilisme.

7.2.       Perubahan Struktural dan Kebutuhan Ekonomi Baru

Selain kritik teoretis, kemunduran Merkantilisme juga dipicu oleh perubahan struktural dalam dinamika ekonomi Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Munculnya Revolusi Industri di Inggris menciptakan kebutuhan akan pasar yang lebih terbuka, bahan baku yang lebih murah, dan distribusi barang yang lebih efisien.³ Sistem proteksionis dan monopoli yang menjadi ciri khas Merkantilisme mulai dianggap tidak kompatibel dengan tuntutan industrialisasi yang menekankan inovasi teknologi dan efisiensi produksi.

Kebutuhan untuk mendorong konsumsi massal dan integrasi pasar global juga mendorong negara-negara untuk beralih ke model ekonomi liberal, di mana perdagangan bebas dan mobilitas kapital menjadi prinsip utama.⁴ Akibatnya, banyak kebijakan merkantilis—seperti tarif tinggi, pembatasan impor, dan monopoli dagang—secara bertahap dicabut atau direformasi.

7.3.       Kelemahan Internal Merkantilisme

Merkantilisme juga menghadapi kritik atas konsekuensi internalnya yang merugikan, seperti birokrasi yang berlebihan, korupsi dalam pemberian monopoli, serta ketergantungan ekonomi pada koloni dan jalur dagang luar negeri yang rentan terhadap konflik militer.⁵ Di beberapa negara, sistem ini menciptakan ketimpangan regional, memperkaya elit urban dan komersial sementara mengabaikan sektor agraris dan pedesaan.⁶

Di Prancis, misalnya, sistem manufaktur kerajaan dan proteksi industri tidak mampu bertahan terhadap tekanan ekonomi dan persaingan global, terutama setelah terjadinya Revolusi Prancis yang turut menggulingkan struktur ekonomi merkantilis yang terpusat.⁷ Hal serupa terjadi di Spanyol dan Portugal, di mana ketergantungan pada logam mulia dari koloni menyebabkan stagnasi inovasi industri domestik.

7.4.       Peralihan ke Liberalisme Ekonomi

Menjelang abad ke-19, sistem Merkantilisme secara bertahap digantikan oleh paradigma baru yaitu liberalisme ekonomi, yang mengedepankan perdagangan bebas, kebebasan berusaha, dan minimnya intervensi negara dalam urusan ekonomi. Tokoh-tokoh seperti David Ricardo mengembangkan lebih lanjut teori keuntungan komparatif yang mendukung perdagangan internasional tanpa hambatan sebagai mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan global.⁸

Penerimaan terhadap liberalisme ekonomi ini menjadi dasar dari reformasi kebijakan perdagangan di banyak negara Eropa, seperti pencabutan Navigation Acts di Inggris (1849) dan pembentukan zona perdagangan bebas di antara negara-negara industri. Dengan demikian, kemunduran Merkantilisme bukan hanya soal penolakan intelektual, tetapi juga merupakan bagian dari evolusi sistem ekonomi global yang lebih kompleks dan terintegrasi.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 408–415.

[2]                Jacob Viner, Studies in the Theory of International Trade (New York: Harper and Brothers, 1937), 12–15.

[3]                Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the World (Oxford: Oxford University Press, 2003), 196–198.

[4]                Lars Magnusson, Mercantilism: The Shaping of an Economic Language (London: Routledge, 1994), 115–117.

[5]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 221–224.

[6]                Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, vol. 2 of Civilization and Capitalism, 15th–18th Century (Berkeley: University of California Press, 1992), 318–320.

[7]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 172–175.

[8]                David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation (London: John Murray, 1817), 77–85.


8.           Warisan Merkantilisme dalam Dunia Modern

Meskipun Merkantilisme secara formal mengalami kemunduran pada akhir abad ke-18, warisan ideologis dan kebijakannya tetap hidup dan bahkan mengalami reaktualisasi dalam berbagai bentuk dalam konteks ekonomi-politik kontemporer. Dalam dunia yang semakin saling terhubung oleh perdagangan, geopolitik, dan intervensi negara, prinsip-prinsip merkantilis seringkali muncul kembali dengan kemasan baru. Fenomena ini biasa disebut sebagai neo-merkantilisme, yang mencerminkan adaptasi prinsip-prinsip klasik Merkantilisme ke dalam sistem global modern.

8.1.       Neo-Merkantilisme: Reaktualisasi Prinsip Lama

Neo-merkantilisme mengacu pada kebijakan negara yang tetap menekankan intervensi aktif dalam perdagangan internasional dan perlindungan industri domestik demi menjaga kepentingan nasional. Negara-negara seperti Tiongkok, India, dan bahkan Amerika Serikat pada abad ke-21 menunjukkan gejala neo-merkantilisme melalui strategi surplus perdagangan, manipulasi mata uang, subsidi ekspor, dan hambatan non-tarif terhadap impor

Seperti dalam Merkantilisme klasik, negara dipandang sebagai aktor utama yang bertanggung jawab atas kekuatan ekonomi nasional. Perbedaan utamanya adalah bahwa dalam neo-merkantilisme, intervensi dilakukan dalam kerangka ekonomi pasar terbuka dan persaingan global, bukan dalam sistem monopoli tertutup.²

8.2.       Proteksionisme Modern dan Nasionalisme Ekonomi

Kebangkitan nasionalisme ekonomi di berbagai negara juga menandai kebangkitan nilai-nilai merkantilis. Krisis ekonomi global, seperti krisis finansial 2008 dan pandemi COVID-19, memicu gelombang proteksionisme baru dalam bentuk tarif perdagangan, pembatasan ekspor-impor, dan prioritas produksi dalam negeri.³ Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, misalnya, mengadopsi kebijakan “America First” yang secara eksplisit mengedepankan proteksi industri domestik dan renegosiasi perjanjian dagang yang dianggap merugikan.⁴

Kebijakan seperti ini mencerminkan kembali prinsip dasar Merkantilisme: bahwa kekayaan dan kekuatan negara harus dipertahankan melalui kendali atas perdagangan dan kebijakan industri strategis.

8.3.       Strategi Ekonomi Negara Berkembang

Banyak negara berkembang juga mengadopsi strategi yang serupa dengan Merkantilisme untuk membangun kapasitas industri nasional. Mereka menerapkan kebijakan substitusi impor, memberikan subsidi kepada sektor manufaktur, dan melindungi pasar domestik dari dominasi produk asing. Strategi ini dianggap penting dalam tahap awal pembangunan ekonomi sebelum negara dapat bersaing di pasar global.⁵

Ekonom seperti Ha-Joon Chang berargumen bahwa negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat sendiri pernah menjalankan kebijakan merkantilis selama proses industrialisasinya, dan bahwa liberalisme pasar baru diperkenalkan setelah keunggulan struktural mereka sudah mapan.⁶ Oleh karena itu, warisan Merkantilisme masih dianggap relevan, terutama dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang adil dan berdaulat.

8.4.       Institusi Global dan Ketimpangan Struktural

Warisan Merkantilisme juga tampak dalam struktur ekonomi global yang timpang. Negara-negara kaya masih mendominasi produksi barang bernilai tambah tinggi, sementara negara berkembang tetap menjadi pemasok bahan mentah—suatu pola yang mencerminkan logika kolonial merkantilis. Organisasi-organisasi seperti WTO sering dikritik karena mereproduksi ketimpangan struktural melalui aturan perdagangan yang lebih menguntungkan negara-negara maju.⁷

Dalam konteks ini, Merkantilisme tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga kerangka kerja ideologis yang masih hidup dalam kebijakan perdagangan dan hubungan internasional kontemporer.

8.5.       Kritik Kontemporer terhadap Neo-Merkantilisme

Meski banyak negara menerapkan pendekatan merkantilis secara tersirat, sistem ini tetap mendapatkan kritik. Para pendukung globalisasi dan liberalisasi pasar menilai bahwa proteksionisme hanya akan memperburuk ketegangan dagang, menurunkan efisiensi ekonomi, dan merugikan konsumen melalui harga yang lebih tinggi dan pilihan yang terbatas.⁸ Namun, di tengah ketidakpastian global dan ancaman terhadap kedaulatan ekonomi, Merkantilisme tetap menjadi daya tarik politik yang kuat, terutama dalam retorika populis dan strategi pembangunan nasional yang berorientasi pada kemandirian.


Footnotes

[1]                Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly 46, no. 3 (2002): 307–329.

[2]                Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001), 172–174.

[3]                Dani Rodrik, Straight Talk on Trade: Ideas for a Sane World Economy (Princeton: Princeton University Press, 2017), 113–116.

[4]                Douglas A. Irwin, Clashing over Commerce: A History of US Trade Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2017), 624–628.

[5]                Alice Amsden, Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization (New York: Oxford University Press, 1989), 44–47.

[6]                Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 19–23.

[7]                Kevin Gallagher, Ruling Capital: Emerging Markets and the Reregulation of Cross-Border Finance (Ithaca: Cornell University Press, 2015), 88–90.

[8]                Jagdish Bhagwati, In Defense of Globalization (Oxford: Oxford University Press, 2004), 131–135.


9.           Penutup

Merkantilisme sebagai suatu sistem ekonomi dan instrumen politik negara telah memainkan peran krusial dalam membentuk fondasi ekonomi modern serta mempengaruhi struktur global yang masih terasa hingga hari ini. Dalam konteks Eropa abad ke-16 hingga ke-18, Merkantilisme bukan hanya mencerminkan gagasan tentang kekayaan dan perdagangan, tetapi juga menjadi cerminan dari logika kekuasaan yang diartikulasikan oleh negara absolutis. Sistem ini memberikan landasan bagi pembentukan negara-bangsa modern, konsolidasi birokrasi ekonomi, dan ekspansi kolonial yang meluas di seluruh dunia.¹

Sebagai sebuah ideologi ekonomi, Merkantilisme menjelaskan bagaimana negara mengambil peran sentral dalam mengatur dan mengendalikan aktivitas ekonomi demi mencapai kepentingan nasional.² Meskipun sering dikritik karena sifatnya yang eksploitatif, monopolis, dan mengekang kebebasan individu, Merkantilisme juga memberikan kontribusi penting dalam mendorong industrialisasi awal, memperkuat kapasitas fiskal negara, serta membentuk sistem perdagangan global yang lebih terintegrasi.³

Kritik-kritik tajam terhadap Merkantilisme, terutama oleh para pemikir ekonomi klasik seperti Adam Smith, membuka jalan bagi transformasi menuju sistem ekonomi liberal yang lebih menekankan kebebasan pasar, efisiensi, dan individualisme ekonomi. Namun demikian, seperti yang terlihat dalam praktik kebijakan kontemporer, warisan Merkantilisme tidak sepenuhnya menghilang. Sebaliknya, ia mengalami transformasi dalam bentuk neo-merkantilisme, nasionalisme ekonomi, dan kebijakan proteksionis yang masih menjadi bagian dari strategi pembangunan di banyak negara saat ini.⁴

Oleh karena itu, pemahaman terhadap Merkantilisme tidak hanya penting sebagai studi historis, melainkan juga sebagai kerangka analitis untuk menafsirkan dinamika ekonomi-politik global kontemporer. Dalam era ketegangan geopolitik, ketimpangan global, dan krisis kepercayaan terhadap pasar bebas, ide-ide merkantilis kembali memperoleh relevansi sebagai alternatif kebijakan ekonomi yang menekankan kedaulatan nasional dan peran aktif negara.

Dengan demikian, Merkantilisme tetap menjadi warisan intelektual dan praktis yang kompleks dan ambivalen—di satu sisi membuka jalan bagi perkembangan ekonomi modern, namun di sisi lain menanamkan struktur ketimpangan dan konflik yang masih terus diperjuangkan hingga kini.⁵ Studi terhadap Merkantilisme bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga refleksi kritis atas arah masa depan ekonomi dunia yang semakin saling terkait namun tetap sarat dengan rivalitas nasional dan kepentingan strategis.


Footnotes

[1]                Rondo Cameron dan Larry Neal, A Concise Economic History of the World: From Paleolithic Times to the Present (Oxford: Oxford University Press, 2003), 139–141.

[2]                Eli F. Heckscher, Mercantilism, trans. E. F. Soderlund (London: George Allen & Unwin, 1935), 22–25.

[3]                Charles Woolsey Cole, Colbert and a Century of French Mercantilism (New York: Columbia University Press, 1939), 148–151.

[4]                Eric Helleiner, “Economic Nationalism as a Challenge to Economic Liberalism? Lessons from the 19th Century,” International Studies Quarterly 46, no. 3 (2002): 307–329.

[5]                Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001), 173–177.


Daftar Pustaka

Abu-Lughod, J. (1989). Before European hegemony: The world system A.D. 1250–1350. Oxford University Press.

Amsden, A. H. (1989). Asia’s next giant: South Korea and late industrialization. Oxford University Press.

Anderson, P. (1974). Lineages of the absolutist state. Verso.

Bhagwati, J. (2004). In defense of globalization. Oxford University Press.

Blackburn, R. (1997). The making of New World slavery: From the baroque to the modern, 1492–1800. Verso.

Braudel, F. (1992). Civilization and capitalism, 15th–18th century: Vol. II. The wheels of commerce (S. Reynolds, Trans.). University of California Press.

Cameron, R., & Neal, L. (2003). A concise economic history of the world: From Paleolithic times to the present (4th ed.). Oxford University Press.

Chang, H.-J. (2002). Kicking away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem Press.

Cole, C. W. (1939). Colbert and a century of French mercantilism. Columbia University Press.

Davis, R. (1973). The rise of the Atlantic economies. Weidenfeld and Nicolson.

Gallagher, K. P. (2015). Ruling capital: Emerging markets and the reregulation of cross-border finance. Cornell University Press.

Gaastra, F. S. (2003). The Dutch East India Company: Expansion and decline. Walburg Pers.

Gilpin, R. (2001). Global political economy: Understanding the international economic order. Princeton University Press.

Heckscher, E. F. (1935). Mercantilism (E. F. Söderlund, Trans.). George Allen & Unwin.

Helleiner, E. (2002). Economic nationalism as a challenge to economic liberalism? Lessons from the 19th century. International Studies Quarterly, 46(3), 307–329. https://doi.org/10.1111/1468-2478.00236

Irwin, D. A. (2017). Clashing over commerce: A history of US trade policy. University of Chicago Press.

Israel, J. I. (1989). Dutch primacy in world trade, 1585–1740. Oxford University Press.

Magnusson, L. (1994). Mercantilism: The shaping of an economic language. Routledge.

Musgrave, P. (1999). The early modern European economy, 1500–1700. Macmillan.

Pomeranz, K., & Topik, S. (2006). The world that trade created: Society, culture, and the world economy, 1400 to the present (2nd ed.). M.E. Sharpe.

Ricardo, D. (1817). On the principles of political economy and taxation. John Murray.

Rodrik, D. (2017). Straight talk on trade: Ideas for a sane world economy. Princeton University Press.

Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.

Steensgaard, N. (1974). The Asian trade revolution of the seventeenth century: The East India companies and the decline of the caravan trade. University of Chicago Press.

de Vries, J., & van der Woude, A. (1997). The first modern economy: Success, failure, and perseverance of the Dutch economy, 1500–1815. Cambridge University Press.

Viner, J. (1937). Studies in the theory of international trade. Harper and Brothers.

Wallerstein, I. (1974). The modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European world-economy in the sixteenth century. Academic Press.

Wilson, C. (1983). The economic decline of empires. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar