Jumat, 06 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 12-1: Pancasila sebagai Landasan Etis

Bahan Ajar PPKn

Pancasila sebagai Landasan Etis

Menyikapi Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban Warga Negara


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran Pancasila sebagai landasan etis dalam merespons berbagai kasus pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka negara demokrasi konstitusional, keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan fondasi utama bagi stabilitas dan keadilan sosial. Namun, berbagai realitas di Indonesia menunjukkan masih terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional warga—seperti diskriminasi, pembatasan kebebasan beragama, dan ketidaksetaraan hukum—serta pengingkaran kewajiban—seperti apatisme politik, ketidakpatuhan hukum, dan pengabaian tanggung jawab sosial. Melalui pendekatan normatif-filosofis, artikel ini menelaah nilai-nilai setiap sila Pancasila sebagai acuan etika publik dan moral kewarganegaraan. Studi kasus konkret seperti penutupan rumah ibadah dan fenomena golput dianalisis untuk memperlihatkan bagaimana absennya internalisasi Pancasila berdampak pada kemunduran demokrasi dan integrasi sosial. Artikel ini menegaskan bahwa revitalisasi Pancasila sebagai etika publik dan pedoman moral kolektif sangat diperlukan untuk membentuk warga negara yang sadar hak dan bertanggung jawab terhadap kewajiban, serta menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan berkeadaban.

Kata Kunci: Pancasila, hak warga negara, kewajiban warga negara, etika publik, demokrasi Pancasila, pelanggaran hak, pendidikan kewarganegaraan.


PEMBAHASAN

Menyikapi Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban Warga Negara


1.           Pendahuluan

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan antara warga negara dan negara tidak dapat dipisahkan dari prinsip timbal balik antara hak dan kewajiban. Negara berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak warga negaranya, sementara warga negara juga diharapkan menjalankan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya secara bertanggung jawab. Namun demikian, realitas sosial-politik di Indonesia masih menunjukkan adanya berbagai bentuk pelanggaran hak warga negara—seperti diskriminasi, kekerasan, pelanggaran kebebasan berekspresi—serta pengingkaran kewajiban, seperti apatisme politik, penghindaran pajak, dan ketidakpedulian terhadap norma sosial. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi tegaknya keadilan sosial dan tertib demokrasi di Indonesia.

Dalam konteks tersebut, Pancasila hadir bukan sekadar sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai sistem nilai yang mendasari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila memuat prinsip-prinsip etis yang bersifat universal dan kontekstual, yang dapat menjadi rujukan moral dalam merespons berbagai bentuk penyimpangan dari nilai-nilai kewarganegaraan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan etis, masyarakat Indonesia dapat memiliki pedoman yang kokoh dalam menilai, mengkritisi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara.

Pentingnya penguatan pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kewarganegaraan ditegaskan dalam berbagai kebijakan pendidikan nasional, terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di tingkat sekolah menengah. PPKn tidak hanya bertujuan untuk menanamkan wawasan konstitusional, tetapi juga untuk membentuk sikap partisipatif, kritis, dan bertanggung jawab sebagai warga negara yang beradab dan demokratis. Pendidikan kewarganegaraan yang berlandaskan Pancasila diyakini dapat memperkuat daya tahan moral bangsa terhadap berbagai bentuk pelanggaran nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang adil dan beradab.¹

Sebagai sistem filsafat hidup bangsa Indonesia, Pancasila tidak hanya merumuskan tujuan normatif negara, tetapi juga menjelma menjadi tolok ukur etika sosial-politik. Dalam situasi ketika hak-hak warga negara dilanggar oleh negara maupun sesama warga, atau ketika warga negara lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap negara, nilai-nilai seperti keadilan sosial, persatuan, dan musyawarah menjadi pedoman untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan.² Dengan demikian, pembahasan mengenai pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara haruslah dilakukan dalam kerangka pemikiran Pancasila, agar solusi yang ditawarkan tidak bersifat pragmatis semata, melainkan juga berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

Melalui kajian ini, diharapkan peserta didik dan masyarakat luas mampu memahami bahwa perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban warga negara merupakan manifestasi konkret dari pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini menjadi fondasi penting dalam membangun negara hukum yang demokratis, adil, dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013, (Jakarta: Kemendikbud, 2016), lampiran II.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 53–55.


2.           Konsep Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Negara Demokrasi

Dalam sistem negara demokratis seperti Indonesia, hubungan antara negara dan warga negara diatur secara timbal balik melalui pengakuan atas hak-hak asasi dan pelaksanaan kewajiban konstitusional. Dalam kerangka ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan melindungi hak-hak dasar setiap warga negara, sementara warga negara dituntut untuk melaksanakan kewajiban mereka guna menopang keberlangsungan negara hukum yang demokratis.

2.1.       Pengertian Hak dan Kewajiban Warga Negara

Secara normatif, hak warga negara adalah segala sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap individu dalam kapasitasnya sebagai anggota negara dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi. Sementara itu, kewajiban warga negara mencerminkan tanggung jawab hukum dan moral untuk berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.¹ Dalam sistem hukum Indonesia, hak dan kewajiban ini ditegaskan dalam UUD NRI 1945, khususnya dalam Pasal 27 sampai Pasal 34, yang secara eksplisit mengatur hak atas pekerjaan, pendidikan, keadilan sosial, serta kewajiban untuk tunduk kepada hukum dan membela negara.²

Penting untuk dicatat bahwa dalam konsep kewarganegaraan yang modern, hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan, melainkan saling terkait dalam sistem nilai yang berimbang. Hak tidak boleh dijadikan dalih untuk mengabaikan kewajiban, dan kewajiban tidak dapat dijadikan alasan untuk menindas hak.³ Gagasan ini sejalan dengan prinsip keadilan distributif dan keadilan legal sebagaimana dikembangkan oleh para filsuf politik seperti John Rawls dan Aristoteles.

2.2.       Hak dan Kewajiban dalam Perspektif Demokrasi Pancasila

Dalam kerangka demokrasi Pancasila, hak dan kewajiban tidak dipahami secara individualistis, melainkan bersifat kolektif dan berbasis pada nilai kebersamaan. Demokrasi Indonesia tidak sekadar menekankan pada kebebasan, tetapi juga pada tanggung jawab sosial. Sehingga, penggunaan hak tidak boleh melanggar hak orang lain atau merusak harmoni sosial.⁴

Misalnya, hak untuk menyampaikan pendapat (Pasal 28E UUD 1945) harus dijalankan dengan menghormati hukum dan nilai kesopanan publik. Sebaliknya, kewajiban untuk membayar pajak (Pasal 23A UUD 1945) tidak boleh diabaikan karena merupakan wujud partisipasi dalam pembangunan negara.

Pancasila menempatkan nilai keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif sebagai asas utama. Nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam sila kedua dan kelima, serta nilai persatuan dan musyawarah dalam sila ketiga dan keempat, menjadi rujukan untuk memahami bahwa pemenuhan hak harus selaras dengan pelaksanaan kewajiban.⁵ Dengan demikian, warga negara ideal dalam sistem demokrasi Pancasila adalah mereka yang sadar akan haknya namun juga berkomitmen terhadap tanggung jawab sosialnya.

2.3.       Konsekuensi Pelanggaran Prinsip Hak dan Kewajiban

Ketika prinsip keseimbangan ini dilanggar—baik karena negara gagal melindungi hak-hak warganya, atau karena warga negara mengabaikan kewajibannya—maka stabilitas negara dapat terganggu. Pelanggaran hak menghasilkan ketidakadilan, alienasi sosial, dan potensi konflik, sementara pengingkaran terhadap kewajiban berdampak pada lemahnya partisipasi sipil, kemunduran demokrasi, dan melemahnya legitimasi negara.⁶ Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan dan penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi instrumen penting dalam membangun warga negara yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 90–92.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara, 2002), Pasal 27–34.

[3]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 150–152.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 85–88.

[5]                Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 103.

[6]                Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Contextual Analysis, (Oxford: Hart Publishing, 2008), 211–213.


3.           Nilai-Nilai Pancasila sebagai Fondasi Etika Politik dan Hukum

3.1.       Pancasila sebagai Sistem Etika Berbangsa dan Bernegara

Pancasila bukan hanya dasar negara (staatsfundamentalnorm), tetapi juga merupakan sumber nilai dan norma dalam pembentukan sistem politik dan hukum nasional. Sebagai sistem filsafat bangsa, Pancasila berfungsi sebagai landasan etis yang mengarahkan cara pandang, sikap, dan perilaku warga negara dalam kehidupan politik dan kenegaraan.¹ Nilai-nilai dalam Pancasila mengandung prinsip-prinsip moral yang bersifat universal—seperti keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan—yang dapat menjadi pedoman dalam menilai baik-buruknya suatu tindakan politik atau kebijakan hukum.

Etika politik dalam konteks Pancasila menuntut bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan hikmat, keadilan, dan untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar berdasarkan kehendak mayoritas atau kepentingan elit.² Dengan demikian, Pancasila menjadi norma dasar yang mengoreksi penyimpangan perilaku politik dan memberikan legitimasi moral terhadap struktur dan praktik hukum.

3.2.       Nilai Tiap Sila Pancasila dalam Perspektif Hak dan Kewajiban

Setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai etis yang relevan dalam mengatur hubungan antara negara dan warga negara, terutama dalam konteks perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban:

·                     Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa

Menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak spiritual dan kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia. Negara wajib menjamin kebebasan beragama tanpa diskriminasi dan warga negara berkewajiban menghormati pluralitas kepercayaan.³

·                     Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Menjadi landasan moral untuk menjunjung hak asasi manusia, mencegah kekerasan, diskriminasi, dan segala bentuk ketidakadilan. Sila ini memperkuat prinsip bahwa setiap warga negara memiliki martabat dan hak yang sama dalam hukum.⁴

·                     Sila Ketiga – Persatuan Indonesia

Menekankan pentingnya menjaga integrasi nasional di tengah keragaman. Dalam konteks kewarganegaraan, sila ini menuntut kesetiaan pada negara dan larangan atas tindakan yang merusak persatuan seperti separatisme atau ujaran kebencian berbasis SARA.⁵

·                     Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Mendorong proses pengambilan keputusan yang demokratis dan inklusif. Dalam hubungan warga dan negara, sila ini menegaskan pentingnya partisipasi warga negara dalam proses politik, seperti pemilu, musyawarah publik, atau advokasi kebijakan.⁶

·                     Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Menjadi tolok ukur evaluatif terhadap distribusi kekayaan, pelayanan publik, dan perlakuan hukum. Hak untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan keadilan hukum adalah ekspresi konkret dari sila ini, dan pelanggarannya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat Pancasila.⁷

3.3.       Pancasila sebagai Norma Evaluatif terhadap Pelanggaran Hak dan Kewajiban

Ketika terjadi pelanggaran hak warga negara—misalnya perampasan tanah adat, pembungkaman kebebasan pers, atau diskriminasi gender—Pancasila menyediakan kerangka nilai untuk mengevaluasi tindakan tersebut. Demikian pula, ketika warga negara mengabaikan kewajibannya—seperti tidak ikut serta dalam pemilu, tidak membayar pajak, atau merusak fasilitas umum—maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penyimpangan dari nilai-nilai dasar Pancasila.

Menurut Yudi Latif, Pancasila harus difungsikan sebagai “cermin akhlak politik”, bukan sekadar simbol formal negara.⁸ Artinya, nilai-nilai Pancasila tidak boleh dibiarkan menjadi slogan kosong, tetapi harus diinternalisasikan ke dalam perilaku politik, hukum, dan kewarganegaraan secara nyata. Penegakan etika publik yang berbasis Pancasila akan melahirkan budaya demokrasi yang sehat, negara hukum yang berkeadilan, dan masyarakat sipil yang aktif serta bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 27–30.

[2]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 55–57.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 231.

[4]                Mochtar Mas’oed, Ilmu Politik: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 94.

[5]                Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 112.

[6]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 164.

[7]                Kementerian Hukum dan HAM RI, Naskah Akademik Undang-Undang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kemenkumham, 1999), 18–20.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 389.


4.           Pelanggaran Hak Warga Negara: Bentuk, Penyebab, dan Dampaknya

4.1.       Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak Warga Negara

Pelanggaran hak warga negara merupakan tindakan atau kebijakan yang mengabaikan, membatasi, atau meniadakan hak-hak konstitusional individu sebagai anggota masyarakat dan negara. Dalam konteks Indonesia, berbagai bentuk pelanggaran hak masih terjadi dalam berbagai sektor kehidupan, antara lain:

·                     Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti pembatasan terhadap kelompok minoritas agama atau penutupan rumah ibadah secara sepihak.¹

·                     Pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi, termasuk pembatasan terhadap jurnalis, aktivis, atau warganet yang mengkritik pemerintah secara damai.²

·                     Pelanggaran hak atas keadilan hukum, seperti kriminalisasi, ketidaksetaraan di hadapan hukum, dan praktik kekerasan oleh aparat penegak hukum.³

·                     Pelanggaran hak ekonomi dan sosial, seperti penggusuran paksa tanpa ganti rugi, diskriminasi dalam akses pekerjaan atau pendidikan, dan eksploitasi tenaga kerja.⁴

Bentuk-bentuk ini bertentangan langsung dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

4.2.       Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran Hak

Pelanggaran hak tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural, kultural, dan politis, antara lain:

·                     Lemahnya penegakan hukum dan supremasi konstitusi, yang menyebabkan pelaku pelanggaran hak tidak ditindak secara adil atau bahkan dilindungi oleh kekuasaan.⁵

·                     Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat negara atau pejabat publik yang bertindak di luar batas wewenangnya.⁶

·                     Rendahnya literasi hukum dan kesadaran konstitusional masyarakat, sehingga banyak warga tidak menyadari hak-haknya atau tidak mampu memperjuangkannya.⁷

·                     Bias budaya dan diskriminasi sistemik, misalnya terhadap kelompok agama, etnis, gender, atau disabilitas, yang menyebabkan hak-hak kelompok rentan kerap diabaikan.⁸

·                     Dominasi kepentingan ekonomi dan politik atas hak individu, misalnya dalam kasus perampasan tanah adat atau eksploitasi sumber daya tanpa melibatkan masyarakat lokal.⁹

Penyebab-penyebab tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran hak warga negara bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencerminkan krisis moral dan etika dalam bernegara.

4.3.       Dampak Pelanggaran Hak terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Pelanggaran hak warga negara menimbulkan berbagai konsekuensi negatif yang dapat mengancam integritas bangsa dan stabilitas demokrasi. Dampak-dampak tersebut antara lain:

·                     Menurunnya kepercayaan publik terhadap negara dan lembaga hukum, yang dapat berujung pada apatisme politik atau bahkan perlawanan sipil.¹⁰

·                     Meningkatnya ketimpangan sosial dan marjinalisasi kelompok rentan, yang melemahkan kohesi sosial dan memperkuat potensi konflik horizontal.

·                     Terciptanya budaya impunitas, di mana pelanggaran dianggap sebagai hal biasa dan tidak dihukum, sehingga keadilan menjadi ilusi semata.

·                     Pelemahan demokrasi substansial, karena hak warga negara yang seharusnya dijamin dalam sistem demokratis justru ditekan atau dikooptasi oleh kekuatan dominan.

·                     Pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, karena sistem hukum dan politik yang melanggengkan pelanggaran hak bertentangan dengan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan persatuan.¹¹

Dalam jangka panjang, dampak tersebut bukan hanya merusak martabat warga negara, tetapi juga menciderai legitimasi negara sebagai pelindung hak-hak dasar rakyatnya.


Footnotes

[1]                Setara Institute, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia: Laporan Tahunan 2022, (Jakarta: Setara Institute, 2023), 12–18.

[2]                Human Rights Watch, Indonesia: Repressive Laws Used Against Critics, 2021, https://www.hrw.org.

[3]                Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Tahunan 2022, (Jakarta: Komnas HAM, 2023), 45–53.

[4]                Konfederasi Serikat Buruh Indonesia, Laporan Kondisi Pekerja dan Hak-Haknya 2021–2022, (Jakarta: KSBI, 2022), 8–15.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 175.

[6]                Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), 116.

[7]                Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Contextual Analysis, (Oxford: Hart Publishing, 2008), 205.

[8]                Saparinah Sadli, “Perempuan dan HAM di Indonesia,” dalam Jurnal Perempuan, No. 40 (2004): 4–7.

[9]                Walhi, Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Indonesia 2022, (Jakarta: Walhi Nasional, 2023), 24–29.

[10]             Hadenius, Axel. Democracy and Development, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 102–104.

[11]             Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 142–144.


5.           Pengingkaran Kewajiban Warga Negara: Fenomena dan Tantangan

5.1.       Pengertian dan Signifikansi Kewajiban Warga Negara

Dalam sistem demokrasi konstitusional, kewajiban warga negara memiliki posisi yang tak kalah penting dari hak-hak warga negara. Kewajiban dimaknai sebagai tanggung jawab moral, sosial, dan hukum yang harus dilakukan oleh setiap warga negara demi keberlangsungan negara, tertib sosial, dan keadilan bersama.¹ Konstitusi Indonesia secara eksplisit mengatur kewajiban ini, seperti dalam Pasal 27 ayat (3) tentang kewajiban membela negara, Pasal 23A tentang kewajiban membayar pajak, dan Pasal 30 ayat (1) tentang ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara.²

Keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan prinsip utama dalam membangun kehidupan bernegara yang sehat. Jika hak adalah ekspresi kebebasan, maka kewajiban adalah bentuk solidaritas dan kontribusi terhadap kehidupan bersama.³ Pengingkaran terhadap kewajiban mengarah pada egoisme sipil dan berisiko melemahkan fondasi negara hukum dan demokrasi.

5.2.       Bentuk-Bentuk Pengingkaran Kewajiban di Indonesia

Pengingkaran kewajiban warga negara di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai bentuk tindakan maupun sikap, baik yang bersifat pasif maupun aktif. Di antaranya:

·                     Ketidakpatuhan terhadap hukum, seperti pelanggaran lalu lintas, tidak membayar pajak, atau melakukan korupsi kecil (petty corruption).⁴

·                     Abstain atau golput dalam pemilu, sebagai bentuk apatisme politik atau ketidakpercayaan terhadap sistem.⁵

·                     Vandalisme dan perusakan fasilitas umum, yang mencerminkan minimnya kesadaran terhadap kepemilikan bersama.

·                     Pengabaian terhadap tanggung jawab sosial, seperti menolak partisipasi dalam kerja bakti, tidak menolong sesama warga dalam keadaan darurat, atau menolak gotong royong.

·                     Ketidakpedulian terhadap isu kebangsaan, seperti radikalisme, separatisme, atau sikap antinasional yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.⁶

Fenomena-fenomena ini menjadi indikator bahwa internalisasi nilai-nilai kewarganegaraan masih belum menyeluruh di berbagai lapisan masyarakat.

5.3.       Faktor Penyebab Pengingkaran Kewajiban

Pengingkaran terhadap kewajiban warga negara disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. Beberapa di antaranya adalah:

·                     Rendahnya kesadaran berbangsa dan bernegara, yang dipengaruhi oleh lemahnya pendidikan karakter dan pemahaman konstitusi.⁷

·                     Ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, terutama karena korupsi, nepotisme, dan tidak transparannya penyelenggara pemerintahan.⁸

·                     Kekecewaan terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi, yang memicu sikap skeptis terhadap kontribusi individu kepada negara.

·                     Kurangnya keteladanan dari elite politik, yang membuat masyarakat enggan menjalankan kewajiban jika para pemimpinnya sendiri melanggarnya.

·                     Dominasi budaya individualisme, terutama di kalangan perkotaan atau kelompok ekonomi menengah ke atas, yang cenderung mengabaikan nilai kolektivitas.⁹

Faktor-faktor tersebut memperlihatkan bahwa pengingkaran kewajiban bukan semata kesalahan individu, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem dalam membangun iklim kewarganegaraan yang sehat.

5.4.       Tantangan dalam Menumbuhkan Kesadaran Kewajiban

Tantangan utama dalam menghadapi pengingkaran kewajiban warga negara adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai etis, moral, dan spiritual yang terkandung dalam Pancasila ke dalam kesadaran publik. Pancasila sebagai ideologi dan sistem nilai mengajarkan bahwa hak dan kewajiban harus dijalankan secara seimbang untuk menciptakan keadilan sosial dan harmoni nasional.¹⁰

Upaya untuk mengatasi pengingkaran kewajiban harus ditempuh melalui:

·                     Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang lebih kontekstual dan berbasis nilai.

·                     Peningkatan keteladanan pemimpin publik sebagai model perilaku warga negara yang baik.

·                     Perbaikan tata kelola pemerintahan, agar warga melihat bahwa pajak dan partisipasi mereka berdampak nyata.

·                     Pemberdayaan masyarakat sipil, agar warga memiliki ruang aktual untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan bersama.

·                     Revitalisasi budaya gotong royong dan solidaritas sosial, sesuai dengan nilai-nilai asli bangsa Indonesia.¹¹

Tantangan ini bersifat lintas sektor dan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan organisasi masyarakat.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 91.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara, 2002), Pasal 23A, 27(3), 30(1).

[3]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 154–156.

[4]                Transparency International Indonesia, Global Corruption Barometer Indonesia 2021, (Jakarta: TII, 2021), 6–7.

[5]                Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2019), 171.

[6]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan 2022: Radikalisme dan Intoleransi, (Jakarta: BNPT, 2023), 12–14.

[7]                Daryono, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 48–49.

[8]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2022, (Jakarta: KPK, 2023), 22.

[9]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2009), 136–139.

[10]             Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 78–80.

[11]             Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 128–130.


6.           Studi Kasus Terpilih

Untuk memperdalam pemahaman mengenai hubungan antara pelanggaran hak, pengingkaran kewajiban, dan nilai-nilai Pancasila, berikut disajikan dua studi kasus nyata yang merefleksikan dinamika tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Setiap kasus dianalisis melalui lensa etika Pancasila untuk menunjukkan relevansi ideologis dalam penyelesaiannya.

6.1.       Studi Kasus 1: Pelanggaran Hak atas Kebebasan Beragama – Kasus Penutupan Rumah Ibadah

Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah penutupan paksa rumah ibadah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat, yang telah berlangsung sejak 2008. Meski Mahkamah Agung telah memenangkan pihak gereja melalui putusan hukum tetap, pemerintah kota menolak untuk mengeksekusi putusan tersebut dengan alasan tekanan dari kelompok masyarakat tertentu.¹

Kasus ini mencerminkan pelanggaran terhadap hak konstitusional atas kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.² Selain itu, tindakan pembiaran oleh pemerintah lokal bertentangan dengan prinsip negara hukum, di mana hukum seharusnya berlaku setara bagi semua warga negara tanpa diskriminasi.

Analisis Etis Berdasarkan Pancasila:

·                     Sila I (Ketuhanan Yang Maha Esa): Pelanggaran terjadi karena tidak adanya jaminan kesetaraan umat beragama dalam menjalankan keyakinannya.

·                     Sila II (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab): Tindakan diskriminatif tidak mencerminkan keadilan dan martabat kemanusiaan.

·                     Sila V (Keadilan Sosial): Hak kelompok minoritas untuk mendapatkan perlakuan adil diabaikan, memperlihatkan ketimpangan perlindungan hukum.

Studi ini menunjukkan pentingnya menegakkan supremasi hukum dan nilai Pancasila dalam menjamin kebebasan beragama yang bermartabat dan beradab.

6.2.       Studi Kasus 2: Pengingkaran Kewajiban sebagai Warga Negara – Golput dalam Pemilu 2019

Fenomena “golput” (golongan putih) atau tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2019 mencapai sekitar 19% dari total pemilih, atau setara dengan lebih dari 27 juta warga negara.³ Beberapa di antaranya bersikap apatis, kecewa terhadap kandidat, atau merasa tidak ada perubahan signifikan dalam sistem politik.

Meskipun memilih adalah hak, dalam sistem demokrasi Pancasila, berpartisipasi dalam pemilu juga merupakan kewajiban moral dan politik yang mencerminkan partisipasi aktif warga negara dalam menentukan arah kebijakan negara.⁴ Ketika jutaan orang memilih untuk absen, legitimasi proses demokrasi dapat terganggu, dan sistem politik menjadi tidak representatif.

Analisis Etis Berdasarkan Pancasila:

·                     Sila IV (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan): Golput merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan melalui mekanisme perwakilan.

·                     Sila III (Persatuan Indonesia): Ketidakikutsertaan dalam pemilu dapat mencerminkan pelemahan ikatan kolektif dalam membangun kebangsaan.

·                     Sila V (Keadilan Sosial): Golput pasif mengabaikan tanggung jawab kolektif dalam memperjuangkan keadilan melalui kanal demokratis.

Fenomena ini menggarisbawahi perlunya pendidikan politik yang berorientasi pada nilai-nilai Pancasila agar warga memahami bahwa partisipasi bukan hanya hak, melainkan tanggung jawab sosial.

6.3.       Implikasi dari Kedua Studi Kasus

Dua kasus di atas memperlihatkan bagaimana ketidakhadiran nilai-nilai Pancasila—baik dalam sikap penguasa maupun warga negara—dapat menimbulkan disfungsi dalam praktik bernegara. Dalam kasus GKI Yasmin, hukum dikalahkan oleh tekanan mayoritarianisme. Dalam kasus golput, warga negara memilih menarik diri dari sistem. Keduanya menunjukkan perlunya revitalisasi etika kewarganegaraan berdasarkan Pancasila dalam praktik politik dan sosial.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Yudi Latif bahwa Pancasila seharusnya menjadi “etika publik yang hidup dan menggerakkan,” bukan sekadar semboyan konstitusional.⁵ Maka, pendidikan Pancasila harus diarahkan untuk membentuk kesadaran kritis dan integritas moral dalam menyikapi realitas sosial secara aktif.


Footnotes

[1]                Setara Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2018, (Jakarta: Setara Institute, 2019), 20–23.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara, 2002), Pasal 28E dan 29.

[3]                Komisi Pemilihan Umum (KPU), Laporan Statistik Partisipasi Pemilu 2019, (Jakarta: KPU RI, 2020), 4.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 106–107.

[5]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 368.


7.           Pancasila sebagai Solusi dan Pedoman Moral Bangsa

7.1.       Pancasila sebagai Ideologi Etis dan Emansipatoris

Sebagai ideologi nasional, Pancasila bukanlah dogma statis, melainkan sistem nilai yang hidup (living ideology) dan terus relevan dalam membimbing kehidupan kebangsaan Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara (staatsfundamentalnorm), tetapi juga sebagai pedoman moral dalam menentukan arah tindakan warga negara dan negara secara kolektif.¹ Di tengah berbagai pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban, Pancasila menyediakan kerangka etik yang inklusif, menjunjung tinggi martabat manusia, serta mendorong terciptanya tatanan sosial yang adil dan beradab.

Pancasila tidak memisahkan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Setiap sila dalam Pancasila mengandung prinsip normatif dan praksis yang berperan sebagai filter moral dalam pengambilan kebijakan dan perilaku kewarganegaraan.² Dengan demikian, Pancasila menjadi sumber rujukan utama dalam menyikapi krisis nilai dalam praktik sosial, hukum, dan politik.

7.2.       Fungsi Transformasional Pancasila dalam Mengatasi Pelanggaran Hak dan Kewajiban

Pancasila memiliki fungsi transformasional, yakni mengarahkan perubahan sosial ke arah yang lebih bermoral dan berkeadilan.³ Dalam konteks pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi alat koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi, baik oleh warga negara maupun oleh negara itu sendiri. Misalnya:

·                     Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) mengoreksi kekerasan negara terhadap warga, diskriminasi etnis, dan pelanggaran HAM.

·                     Sila Keempat (Kerakyatan dengan Hikmat Kebijaksanaan) menuntut penyelenggaraan demokrasi partisipatif dan antikorupsi.

·                     Sila Kelima (Keadilan Sosial) mendesak negara untuk menutup kesenjangan sosial dan memastikan akses terhadap hak-hak dasar secara adil.

Pengarusutamaan nilai-nilai ini secara konsisten dalam sistem pendidikan, hukum, pemerintahan, dan budaya akan menghidupkan kembali kesadaran etis masyarakat serta meningkatkan integritas kewarganegaraan.

7.3.       Strategi Penguatan Pancasila sebagai Etika Publik

Untuk menjadikan Pancasila sebagai solusi konkret atas berbagai persoalan kewarganegaraan, dibutuhkan strategi yang sistematis dan berkelanjutan, antara lain:

·                     Revitalisasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, baik di institusi formal maupun dalam ruang publik, agar tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga afektif dan aplikatif.⁴

·                     Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum dan kebijakan publik, agar hukum tidak sekadar represif tetapi juga humanis dan berkeadilan.⁵

·                     Keteladanan etis dari elite dan pemimpin bangsa, karena nilai Pancasila tidak akan efektif bila tidak dicontohkan dalam praksis kepemimpinan.⁶

·                     Pemberdayaan masyarakat sipil, agar warga negara aktif menjadi subjek perubahan, bukan sekadar objek regulasi negara.

·                     Penguatan budaya lokal dan nilai gotong royong, sebagai ekspresi otentik dari sila ketiga dan kelima yang mendukung integrasi sosial dan kohesi kebangsaan.⁷

Dengan strategi-strategi ini, Pancasila akan kembali menjadi etos bangsa yang menuntun perilaku warga negara dalam menyikapi pelanggaran dan pengingkaran secara adil dan bermartabat.

7.4.       Pancasila sebagai Penjaga Moralitas Publik

Sebagaimana ditegaskan oleh Yudi Latif, Pancasila adalah “etika publik yang menghidupkan moralitas sosial” dalam konteks kebangsaan.⁸ Artinya, ketika institusi hukum melemah dan otoritas moral goyah, Pancasila hadir sebagai penjaga nurani kolektif yang membimbing warga dalam mempertahankan kebaikan bersama (common good). Fungsi moral Pancasila menuntut bahwa hak tidak bisa ditegakkan tanpa kewajiban, dan kebebasan tidak bisa ditegakkan tanpa tanggung jawab sosial.

Dalam kehidupan bernegara, moralitas bukan hanya menjadi urusan privat, tetapi juga dimensi publik yang melandasi hukum, kebijakan, dan interaksi sosial. Oleh karena itu, menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral berarti menyelaraskan antara norma hukum, norma sosial, dan nilai-nilai spiritual bangsa.

7.5.       Relevansi Kontemporer dan Harapan Masa Depan

Di tengah era globalisasi, individualisme, dan polarisasi politik yang kian menguat, Pancasila tetap relevan sebagai kontrak sosial dan moral kolektif bangsa Indonesia. Ia menyediakan ruang integrasi di atas keberagaman, dan mengajarkan bahwa persatuan tidak boleh mengorbankan keadilan, sebagaimana keadilan tidak boleh menghilangkan hak atas kebebasan.⁹

Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman etis, bangsa Indonesia dapat membangun kembali kesadaran kewarganegaraan yang berimbang, menghindari ekstremitas, dan menciptakan tatanan masyarakat yang demokratis, humanis, dan adil. Harapan masa depan bangsa tidak terletak pada sekadar kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi, melainkan pada kematangan moral warga negaranya.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 32–34.

[2]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 45–47.

[3]                Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 89.

[4]                Daryono, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 53–55.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 207.

[6]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 141.

[7]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2009), 92.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 367.

[9]                Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Eksplorasi Konsep Wawasan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2015), 101.


8.           Penutup

Pancasila sebagai dasar negara sekaligus falsafah hidup bangsa Indonesia memiliki peran sentral dalam membimbing kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya dalam tataran normatif tetapi juga dalam praksis sosial-politik. Dalam menghadapi fenomena pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara, Pancasila menawarkan kerangka etik yang menyeluruh—yang tidak sekadar legalistik, tetapi juga berakar pada nilai kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab kolektif.

Pelanggaran hak warga negara—seperti diskriminasi, pelanggaran kebebasan beragama, dan ketidakadilan hukum—serta pengingkaran kewajiban—seperti ketidakpedulian politik, penghindaran pajak, atau perilaku antisosial—bukan hanya persoalan hukum positif, melainkan juga krisis kesadaran etis dan tanggung jawab moral warga dan penyelenggara negara.¹ Ketika hak dipraktikkan tanpa memperhatikan kewajiban, maka tatanan sosial menjadi timpang. Sebaliknya, kewajiban yang ditegakkan tanpa perlindungan hak justru menghasilkan otoritarianisme.

Dalam konteks ini, Pancasila hadir sebagai solusi moral yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Ia mengajarkan bahwa negara yang adil adalah negara yang menghormati martabat manusia (sila kedua), menjamin partisipasi rakyat (sila keempat), dan menciptakan pemerataan keadilan (sila kelima).² Dalam demokrasi Pancasila, warga negara ideal adalah mereka yang tidak hanya sadar akan haknya, tetapi juga aktif memenuhi kewajibannya demi kepentingan bersama.

Sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro, Pancasila bukan sekadar dasar hukum, tetapi juga norma etik dan moral tertinggi yang harus menjiwai setiap peraturan, kebijakan, dan tindakan warga negara.³ Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi bagian integral dari pendidikan, hukum, media, dan sistem pemerintahan, agar mampu membentuk warga negara yang beradab, bertanggung jawab, dan solutif terhadap tantangan kebangsaan.

Harapan ke depan, generasi muda sebagai penerus bangsa perlu dibekali dengan kesadaran kritis dan sikap etik yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan PPKn di sekolah tidak hanya harus menanamkan pengetahuan kognitif tentang hak dan kewajiban, tetapi juga menumbuhkan kepekaan moral terhadap realitas sosial yang terjadi. Hanya dengan demikian, Pancasila benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa, bukan sekadar simbol konstitusional yang kehilangan makna.

Dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dan tolok ukur etis, bangsa Indonesia akan mampu membangun tatanan masyarakat yang demokratis, adil, dan bermartabat di tengah arus globalisasi, pluralisme, dan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 92–94.

[2]                Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 133.

[3]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 68–70.


Daftar Pustaka

Ahmad Sanusi. (1996). Demokrasi Pancasila sebagai sistem politik Indonesia. Bandung: CV Armico.

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Peradilan konstitusi dalam lintasan sejarah. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2015). Etika konstitusi: Eksplorasi konsep wawasan kebangsaan. Jakarta: Kompas.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (ed. revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). (2023). Laporan tahunan 2022: Radikalisme dan intoleransi. Jakarta: BNPT.

Daryono. (2012). Pendidikan kewarganegaraan dan pembentukan karakter bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.

Hadenius, A. (1992). Democracy and development. Cambridge: Cambridge University Press.

Human Rights Watch. (2021). Indonesia: Repressive laws used against critics. Retrieved from https://www.hrw.org

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (2023). Laporan tahunan 2022. Jakarta: Komnas HAM.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. (2020). Laporan statistik partisipasi Pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan tahunan 2022. Jakarta: KPK.

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (1999). Naskah akademik Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Kemenkumham.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Lev, D. S. (1990). Hukum dan politik di Indonesia: Kesinambungan dan perubahan. Jakarta: LP3ES.

Mas’oed, M. (2003). Ilmu politik: Teori dan praktik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muhtadi, B. (2019). Kuasa uang: Politik uang dalam Pemilu pasca-Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

Notonagoro. (1975). Pancasila: Dasar falsafah negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh.

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV). Jakarta: Sekretariat Negara.

Sadli, S. (2004). Perempuan dan HAM di Indonesia. Jurnal Perempuan, (40), 4–7.

Setara Institute. (2019). Laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2018. Jakarta: Setara Institute.

Setara Institute. (2023). Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia: Laporan tahunan 2022. Jakarta: Setara Institute.

Transparency International Indonesia. (2021). Global corruption barometer Indonesia 2021. Jakarta: TII.

Walhi. (2023). Catatan akhir tahun lingkungan hidup Indonesia 2022. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar