Bahan Ajar PPKn
Pancasila sebagai Landasan Etis
Menyikapi Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban
Warga Negara
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
Pancasila sebagai landasan etis dalam merespons berbagai kasus pelanggaran hak
dan pengingkaran kewajiban warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam kerangka negara demokrasi konstitusional, keseimbangan antara
hak dan kewajiban merupakan fondasi utama bagi stabilitas dan keadilan sosial.
Namun, berbagai realitas di Indonesia menunjukkan masih terjadinya pelanggaran
terhadap hak konstitusional warga—seperti diskriminasi, pembatasan kebebasan
beragama, dan ketidaksetaraan hukum—serta pengingkaran kewajiban—seperti
apatisme politik, ketidakpatuhan hukum, dan pengabaian tanggung jawab sosial.
Melalui pendekatan normatif-filosofis, artikel ini menelaah nilai-nilai setiap
sila Pancasila sebagai acuan etika publik dan moral kewarganegaraan. Studi
kasus konkret seperti penutupan rumah ibadah dan fenomena golput dianalisis
untuk memperlihatkan bagaimana absennya internalisasi Pancasila berdampak pada
kemunduran demokrasi dan integrasi sosial. Artikel ini menegaskan bahwa
revitalisasi Pancasila sebagai etika publik dan pedoman moral kolektif sangat
diperlukan untuk membentuk warga negara yang sadar hak dan bertanggung jawab
terhadap kewajiban, serta menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan
berkeadaban.
Kata Kunci: Pancasila, hak warga negara, kewajiban warga
negara, etika publik, demokrasi Pancasila, pelanggaran hak, pendidikan
kewarganegaraan.
PEMBAHASAN
Menyikapi Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban
Warga Negara
1.
Pendahuluan
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan
antara warga negara dan negara tidak dapat dipisahkan dari prinsip timbal balik
antara hak dan kewajiban. Negara berkewajiban menjamin dan melindungi
hak-hak warga negaranya, sementara warga negara juga diharapkan menjalankan
kewajiban-kewajiban konstitusionalnya secara bertanggung jawab. Namun demikian,
realitas sosial-politik di Indonesia masih menunjukkan adanya berbagai bentuk pelanggaran
hak warga negara—seperti diskriminasi, kekerasan, pelanggaran kebebasan
berekspresi—serta pengingkaran kewajiban, seperti apatisme politik,
penghindaran pajak, dan ketidakpedulian terhadap norma sosial. Fenomena ini
menjadi tantangan serius bagi tegaknya keadilan sosial dan tertib demokrasi di
Indonesia.
Dalam konteks tersebut, Pancasila hadir
bukan sekadar sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai sistem nilai yang
mendasari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila memuat prinsip-prinsip etis yang bersifat universal dan kontekstual,
yang dapat menjadi rujukan moral dalam merespons berbagai bentuk penyimpangan
dari nilai-nilai kewarganegaraan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan
etis, masyarakat Indonesia dapat memiliki pedoman yang kokoh dalam menilai,
mengkritisi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara.
Pentingnya penguatan pemahaman terhadap nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan kewarganegaraan ditegaskan dalam berbagai kebijakan
pendidikan nasional, terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) di tingkat sekolah menengah. PPKn tidak hanya
bertujuan untuk menanamkan wawasan konstitusional, tetapi juga untuk membentuk
sikap partisipatif, kritis, dan bertanggung jawab sebagai warga negara yang
beradab dan demokratis. Pendidikan kewarganegaraan yang berlandaskan Pancasila
diyakini dapat memperkuat daya tahan moral bangsa terhadap berbagai bentuk
pelanggaran nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang adil dan beradab.¹
Sebagai sistem filsafat hidup bangsa Indonesia,
Pancasila tidak hanya merumuskan tujuan normatif negara, tetapi juga menjelma
menjadi tolok ukur etika sosial-politik. Dalam situasi ketika hak-hak
warga negara dilanggar oleh negara maupun sesama warga, atau ketika warga
negara lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap negara, nilai-nilai seperti keadilan
sosial, persatuan, dan musyawarah menjadi pedoman untuk
mengevaluasi dan memperbaiki keadaan.² Dengan demikian, pembahasan mengenai
pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara haruslah dilakukan
dalam kerangka pemikiran Pancasila, agar solusi yang ditawarkan tidak bersifat
pragmatis semata, melainkan juga berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.
Melalui kajian ini, diharapkan peserta didik dan
masyarakat luas mampu memahami bahwa perlindungan hak dan pelaksanaan
kewajiban warga negara merupakan manifestasi konkret dari pengamalan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini menjadi fondasi penting
dalam membangun negara hukum yang demokratis, adil, dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013, (Jakarta: Kemendikbud,
2016), lampiran II.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 53–55.
2.
Konsep
Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Negara Demokrasi
Dalam sistem negara demokratis seperti Indonesia,
hubungan antara negara dan warga negara diatur secara timbal balik melalui
pengakuan atas hak-hak asasi dan pelaksanaan kewajiban konstitusional.
Dalam kerangka ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan
melindungi hak-hak dasar setiap warga negara, sementara warga negara dituntut
untuk melaksanakan kewajiban mereka guna menopang keberlangsungan negara hukum
yang demokratis.
2.1.
Pengertian Hak dan Kewajiban Warga
Negara
Secara normatif, hak warga negara adalah
segala sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap individu dalam kapasitasnya
sebagai anggota negara dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi. Sementara
itu, kewajiban warga negara mencerminkan tanggung jawab hukum dan moral
untuk berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.¹ Dalam sistem
hukum Indonesia, hak dan kewajiban ini ditegaskan dalam UUD NRI 1945, khususnya
dalam Pasal 27 sampai Pasal 34, yang secara eksplisit mengatur hak atas
pekerjaan, pendidikan, keadilan sosial, serta kewajiban untuk tunduk kepada
hukum dan membela negara.²
Penting untuk dicatat bahwa dalam konsep
kewarganegaraan yang modern, hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan,
melainkan saling terkait dalam sistem nilai yang berimbang. Hak tidak boleh
dijadikan dalih untuk mengabaikan kewajiban, dan kewajiban tidak dapat
dijadikan alasan untuk menindas hak.³ Gagasan ini sejalan dengan prinsip
keadilan distributif dan keadilan legal sebagaimana dikembangkan oleh para
filsuf politik seperti John Rawls dan Aristoteles.
2.2.
Hak dan Kewajiban dalam Perspektif
Demokrasi Pancasila
Dalam kerangka demokrasi Pancasila, hak dan
kewajiban tidak dipahami secara individualistis, melainkan bersifat kolektif
dan berbasis pada nilai kebersamaan. Demokrasi Indonesia tidak sekadar
menekankan pada kebebasan, tetapi juga pada tanggung jawab sosial. Sehingga,
penggunaan hak tidak boleh melanggar hak orang lain atau merusak harmoni
sosial.⁴
Misalnya, hak untuk menyampaikan pendapat
(Pasal 28E UUD 1945) harus dijalankan dengan menghormati hukum dan nilai
kesopanan publik. Sebaliknya, kewajiban untuk membayar pajak (Pasal 23A
UUD 1945) tidak boleh diabaikan karena merupakan wujud partisipasi dalam
pembangunan negara.
Pancasila menempatkan nilai keseimbangan
antara kepentingan individu dan kolektif sebagai asas utama. Nilai kemanusiaan
dan keadilan sosial dalam sila kedua dan kelima, serta nilai persatuan dan
musyawarah dalam sila ketiga dan keempat, menjadi rujukan untuk memahami bahwa
pemenuhan hak harus selaras dengan pelaksanaan kewajiban.⁵ Dengan demikian,
warga negara ideal dalam sistem demokrasi Pancasila adalah mereka yang sadar
akan haknya namun juga berkomitmen terhadap tanggung jawab sosialnya.
2.3.
Konsekuensi Pelanggaran Prinsip Hak
dan Kewajiban
Ketika prinsip keseimbangan ini dilanggar—baik
karena negara gagal melindungi hak-hak warganya, atau karena warga negara
mengabaikan kewajibannya—maka stabilitas negara dapat terganggu. Pelanggaran
hak menghasilkan ketidakadilan, alienasi sosial, dan potensi konflik, sementara
pengingkaran terhadap kewajiban berdampak pada lemahnya partisipasi sipil,
kemunduran demokrasi, dan melemahnya legitimasi negara.⁶ Oleh karena itu,
pendidikan kewarganegaraan dan penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi
instrumen penting dalam membangun warga negara yang cerdas, kritis, dan
bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 90–92.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara,
2002), Pasal 27–34.
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 150–152.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 85–88.
[5]
Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem
Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 103.
[6]
Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A
Contextual Analysis, (Oxford: Hart Publishing, 2008), 211–213.
3.
Nilai-Nilai
Pancasila sebagai Fondasi Etika Politik dan Hukum
3.1.
Pancasila sebagai Sistem Etika
Berbangsa dan Bernegara
Pancasila bukan hanya dasar negara
(staatsfundamentalnorm), tetapi juga merupakan sumber nilai dan norma dalam
pembentukan sistem politik dan hukum nasional. Sebagai sistem filsafat bangsa,
Pancasila berfungsi sebagai landasan etis yang mengarahkan cara pandang, sikap,
dan perilaku warga negara dalam kehidupan politik dan kenegaraan.¹ Nilai-nilai
dalam Pancasila mengandung prinsip-prinsip moral yang bersifat
universal—seperti keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan—yang dapat menjadi
pedoman dalam menilai baik-buruknya suatu tindakan politik atau kebijakan
hukum.
Etika politik dalam konteks Pancasila menuntut
bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan hikmat, keadilan, dan untuk
kesejahteraan rakyat, bukan sekadar berdasarkan kehendak mayoritas atau
kepentingan elit.² Dengan demikian, Pancasila menjadi norma dasar yang
mengoreksi penyimpangan perilaku politik dan memberikan legitimasi moral
terhadap struktur dan praktik hukum.
3.2.
Nilai Tiap Sila Pancasila dalam
Perspektif Hak dan Kewajiban
Setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai
etis yang relevan dalam mengatur hubungan antara negara dan warga negara,
terutama dalam konteks perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban:
·
Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa
Menekankan
pentingnya pengakuan terhadap hak-hak spiritual dan kebebasan beragama sebagai
hak dasar manusia. Negara wajib menjamin kebebasan beragama tanpa diskriminasi
dan warga negara berkewajiban menghormati pluralitas kepercayaan.³
·
Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Menjadi
landasan moral untuk menjunjung hak asasi manusia, mencegah kekerasan,
diskriminasi, dan segala bentuk ketidakadilan. Sila ini memperkuat prinsip bahwa
setiap warga negara memiliki martabat dan hak yang sama dalam hukum.⁴
·
Sila Ketiga – Persatuan Indonesia
Menekankan
pentingnya menjaga integrasi nasional di tengah keragaman. Dalam konteks
kewarganegaraan, sila ini menuntut kesetiaan pada negara dan larangan atas
tindakan yang merusak persatuan seperti separatisme atau ujaran kebencian
berbasis SARA.⁵
·
Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Mendorong
proses pengambilan keputusan yang demokratis dan inklusif. Dalam hubungan warga
dan negara, sila ini menegaskan pentingnya partisipasi warga negara dalam
proses politik, seperti pemilu, musyawarah publik, atau advokasi kebijakan.⁶
·
Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Menjadi tolok
ukur evaluatif terhadap distribusi kekayaan, pelayanan publik, dan perlakuan
hukum. Hak untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan keadilan
hukum adalah ekspresi konkret dari sila ini, dan pelanggarannya merupakan
bentuk pengkhianatan terhadap amanat Pancasila.⁷
3.3.
Pancasila sebagai Norma Evaluatif
terhadap Pelanggaran Hak dan Kewajiban
Ketika terjadi pelanggaran hak warga
negara—misalnya perampasan tanah adat, pembungkaman kebebasan pers, atau
diskriminasi gender—Pancasila menyediakan kerangka nilai untuk mengevaluasi
tindakan tersebut. Demikian pula, ketika warga negara mengabaikan
kewajibannya—seperti tidak ikut serta dalam pemilu, tidak membayar pajak, atau
merusak fasilitas umum—maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penyimpangan
dari nilai-nilai dasar Pancasila.
Menurut Yudi Latif, Pancasila harus difungsikan
sebagai “cermin akhlak politik”, bukan sekadar simbol formal negara.⁸ Artinya,
nilai-nilai Pancasila tidak boleh dibiarkan menjadi slogan kosong, tetapi harus
diinternalisasikan ke dalam perilaku politik, hukum, dan kewarganegaraan secara
nyata. Penegakan etika publik yang berbasis Pancasila akan melahirkan budaya
demokrasi yang sehat, negara hukum yang berkeadilan, dan masyarakat sipil yang
aktif serta bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 27–30.
[2]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara,
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 55–57.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 231.
[4]
Mochtar Mas’oed, Ilmu Politik: Teori dan Praktik,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 94.
[5]
Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem
Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 112.
[6]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 164.
[7]
Kementerian Hukum dan HAM RI, Naskah Akademik
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kemenkumham, 1999), 18–20.
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 389.
4.
Pelanggaran
Hak Warga Negara: Bentuk, Penyebab, dan Dampaknya
4.1.
Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak Warga
Negara
Pelanggaran hak warga negara merupakan tindakan
atau kebijakan yang mengabaikan, membatasi, atau meniadakan hak-hak
konstitusional individu sebagai anggota masyarakat dan negara. Dalam konteks
Indonesia, berbagai bentuk pelanggaran hak masih terjadi dalam berbagai sektor
kehidupan, antara lain:
·
Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti pembatasan terhadap kelompok minoritas
agama atau penutupan rumah ibadah secara sepihak.¹
·
Pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi, termasuk pembatasan terhadap jurnalis, aktivis,
atau warganet yang mengkritik pemerintah secara damai.²
·
Pelanggaran hak atas keadilan hukum, seperti kriminalisasi, ketidaksetaraan di hadapan hukum, dan praktik
kekerasan oleh aparat penegak hukum.³
·
Pelanggaran hak ekonomi dan sosial, seperti penggusuran paksa tanpa ganti rugi, diskriminasi dalam akses
pekerjaan atau pendidikan, dan eksploitasi tenaga kerja.⁴
Bentuk-bentuk ini bertentangan langsung dengan
nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
4.2.
Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran
Hak
Pelanggaran hak tidak terjadi dalam ruang hampa,
melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural, kultural, dan politis,
antara lain:
·
Lemahnya penegakan hukum dan supremasi konstitusi, yang menyebabkan pelaku pelanggaran hak tidak
ditindak secara adil atau bahkan dilindungi oleh kekuasaan.⁵
·
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat negara atau pejabat publik yang
bertindak di luar batas wewenangnya.⁶
·
Rendahnya literasi hukum dan kesadaran konstitusional masyarakat, sehingga banyak warga tidak menyadari hak-haknya
atau tidak mampu memperjuangkannya.⁷
·
Bias budaya dan diskriminasi sistemik, misalnya terhadap kelompok agama, etnis, gender, atau disabilitas,
yang menyebabkan hak-hak kelompok rentan kerap diabaikan.⁸
·
Dominasi kepentingan ekonomi dan politik atas hak individu, misalnya dalam kasus perampasan tanah adat atau
eksploitasi sumber daya tanpa melibatkan masyarakat lokal.⁹
Penyebab-penyebab tersebut menunjukkan bahwa
pelanggaran hak warga negara bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga
mencerminkan krisis moral dan etika dalam bernegara.
4.3.
Dampak Pelanggaran Hak terhadap
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pelanggaran hak warga negara menimbulkan berbagai
konsekuensi negatif yang dapat mengancam integritas bangsa dan stabilitas
demokrasi. Dampak-dampak tersebut antara lain:
·
Menurunnya kepercayaan publik terhadap negara dan lembaga hukum, yang dapat berujung pada apatisme politik atau
bahkan perlawanan sipil.¹⁰
·
Meningkatnya ketimpangan sosial dan marjinalisasi kelompok rentan, yang melemahkan kohesi sosial dan memperkuat
potensi konflik horizontal.
·
Terciptanya budaya impunitas, di mana pelanggaran dianggap sebagai hal biasa dan tidak dihukum,
sehingga keadilan menjadi ilusi semata.
·
Pelemahan demokrasi substansial, karena hak warga negara yang seharusnya dijamin dalam sistem
demokratis justru ditekan atau dikooptasi oleh kekuatan dominan.
·
Pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, karena sistem hukum dan politik yang
melanggengkan pelanggaran hak bertentangan dengan prinsip keadilan,
kemanusiaan, dan persatuan.¹¹
Dalam jangka panjang, dampak tersebut bukan hanya
merusak martabat warga negara, tetapi juga menciderai legitimasi negara sebagai
pelindung hak-hak dasar rakyatnya.
Footnotes
[1]
Setara Institute, Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia: Laporan Tahunan 2022, (Jakarta: Setara
Institute, 2023), 12–18.
[2]
Human Rights Watch, Indonesia: Repressive Laws
Used Against Critics, 2021, https://www.hrw.org.
[3]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan
Tahunan 2022, (Jakarta: Komnas HAM, 2023), 45–53.
[4]
Konfederasi Serikat Buruh Indonesia, Laporan
Kondisi Pekerja dan Hak-Haknya 2021–2022, (Jakarta: KSBI, 2022), 8–15.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 175.
[6]
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia:
Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), 116.
[7]
Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A
Contextual Analysis, (Oxford: Hart Publishing, 2008), 205.
[8]
Saparinah Sadli, “Perempuan dan HAM di Indonesia,”
dalam Jurnal Perempuan, No. 40 (2004): 4–7.
[9]
Walhi, Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup
Indonesia 2022, (Jakarta: Walhi Nasional, 2023), 24–29.
[10]
Hadenius, Axel. Democracy and Development,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 102–104.
[11]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 142–144.
5.
Pengingkaran
Kewajiban Warga Negara: Fenomena dan Tantangan
5.1.
Pengertian dan Signifikansi
Kewajiban Warga Negara
Dalam sistem demokrasi konstitusional, kewajiban
warga negara memiliki posisi yang tak kalah penting dari hak-hak warga negara.
Kewajiban dimaknai sebagai tanggung jawab moral, sosial, dan hukum yang
harus dilakukan oleh setiap warga negara demi keberlangsungan negara, tertib
sosial, dan keadilan bersama.¹ Konstitusi Indonesia secara eksplisit mengatur
kewajiban ini, seperti dalam Pasal 27 ayat (3) tentang kewajiban membela
negara, Pasal 23A tentang kewajiban membayar pajak, dan Pasal 30 ayat (1)
tentang ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara.²
Keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan
prinsip utama dalam membangun kehidupan bernegara yang sehat. Jika hak adalah
ekspresi kebebasan, maka kewajiban adalah bentuk solidaritas dan kontribusi
terhadap kehidupan bersama.³ Pengingkaran terhadap kewajiban mengarah pada
egoisme sipil dan berisiko melemahkan fondasi negara hukum dan demokrasi.
5.2.
Bentuk-Bentuk Pengingkaran Kewajiban
di Indonesia
Pengingkaran kewajiban warga negara di Indonesia
dapat dilihat dalam berbagai bentuk tindakan maupun sikap, baik yang bersifat
pasif maupun aktif. Di antaranya:
·
Ketidakpatuhan terhadap hukum, seperti pelanggaran lalu lintas, tidak membayar pajak, atau melakukan
korupsi kecil (petty corruption).⁴
·
Abstain atau golput dalam pemilu, sebagai bentuk apatisme politik atau ketidakpercayaan terhadap
sistem.⁵
·
Vandalisme dan perusakan fasilitas umum, yang mencerminkan minimnya kesadaran terhadap
kepemilikan bersama.
·
Pengabaian terhadap tanggung jawab sosial, seperti menolak partisipasi dalam kerja bakti,
tidak menolong sesama warga dalam keadaan darurat, atau menolak gotong royong.
·
Ketidakpedulian terhadap isu kebangsaan, seperti radikalisme, separatisme, atau sikap antinasional
yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.⁶
Fenomena-fenomena ini menjadi indikator bahwa
internalisasi nilai-nilai kewarganegaraan masih belum menyeluruh di berbagai
lapisan masyarakat.
5.3.
Faktor Penyebab Pengingkaran
Kewajiban
Pengingkaran terhadap kewajiban warga negara
disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. Beberapa di
antaranya adalah:
·
Rendahnya kesadaran berbangsa dan bernegara, yang dipengaruhi oleh lemahnya pendidikan
karakter dan pemahaman konstitusi.⁷
·
Ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, terutama karena korupsi, nepotisme, dan tidak
transparannya penyelenggara pemerintahan.⁸
·
Kekecewaan terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi, yang memicu sikap skeptis terhadap kontribusi
individu kepada negara.
·
Kurangnya keteladanan dari elite politik, yang membuat masyarakat enggan menjalankan
kewajiban jika para pemimpinnya sendiri melanggarnya.
·
Dominasi budaya individualisme, terutama di kalangan perkotaan atau kelompok ekonomi menengah ke atas,
yang cenderung mengabaikan nilai kolektivitas.⁹
Faktor-faktor tersebut memperlihatkan bahwa
pengingkaran kewajiban bukan semata kesalahan individu, tetapi juga
mencerminkan kegagalan sistem dalam membangun iklim kewarganegaraan yang sehat.
5.4.
Tantangan dalam Menumbuhkan
Kesadaran Kewajiban
Tantangan utama dalam menghadapi pengingkaran
kewajiban warga negara adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai etis,
moral, dan spiritual yang terkandung dalam Pancasila ke dalam kesadaran
publik. Pancasila sebagai ideologi dan sistem nilai mengajarkan bahwa hak dan
kewajiban harus dijalankan secara seimbang untuk menciptakan keadilan sosial
dan harmoni nasional.¹⁰
Upaya untuk mengatasi pengingkaran kewajiban harus
ditempuh melalui:
·
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang lebih kontekstual dan berbasis nilai.
·
Peningkatan keteladanan pemimpin publik sebagai model perilaku warga negara yang baik.
·
Perbaikan tata kelola pemerintahan, agar warga melihat bahwa pajak dan partisipasi mereka berdampak nyata.
·
Pemberdayaan masyarakat sipil, agar warga memiliki ruang aktual untuk menjalankan kewajiban dalam
kehidupan bersama.
·
Revitalisasi budaya gotong royong dan solidaritas sosial, sesuai dengan nilai-nilai asli bangsa
Indonesia.¹¹
Tantangan ini bersifat lintas sektor dan memerlukan
kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan
organisasi masyarakat.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 91.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara,
2002), Pasal 23A, 27(3), 30(1).
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 154–156.
[4]
Transparency International Indonesia, Global
Corruption Barometer Indonesia 2021, (Jakarta: TII, 2021), 6–7.
[5]
Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang
dalam Pemilu Pasca-Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2019), 171.
[6]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan
Tahunan 2022: Radikalisme dan Intoleransi, (Jakarta: BNPT, 2023), 12–14.
[7]
Daryono, Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pembentukan Karakter Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 48–49.
[8]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan
Tahunan 2022, (Jakarta: KPK, 2023), 22.
[9]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2009), 136–139.
[10]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara,
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 78–80.
[11]
Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem
Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 128–130.
6.
Studi
Kasus Terpilih
Untuk memperdalam pemahaman mengenai hubungan
antara pelanggaran hak, pengingkaran kewajiban, dan nilai-nilai Pancasila,
berikut disajikan dua studi kasus nyata yang merefleksikan dinamika tersebut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Setiap kasus dianalisis
melalui lensa etika Pancasila untuk menunjukkan relevansi ideologis dalam
penyelesaiannya.
6.1.
Studi Kasus 1: Pelanggaran Hak atas
Kebebasan Beragama – Kasus Penutupan Rumah Ibadah
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik
adalah penutupan paksa rumah ibadah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat,
yang telah berlangsung sejak 2008. Meski Mahkamah Agung telah memenangkan pihak
gereja melalui putusan hukum tetap, pemerintah kota menolak untuk mengeksekusi
putusan tersebut dengan alasan tekanan dari kelompok masyarakat tertentu.¹
Kasus ini mencerminkan pelanggaran terhadap hak
konstitusional atas kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin dalam
Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.² Selain itu, tindakan
pembiaran oleh pemerintah lokal bertentangan dengan prinsip negara hukum, di
mana hukum seharusnya berlaku setara bagi semua warga negara tanpa
diskriminasi.
Analisis
Etis Berdasarkan Pancasila:
·
Sila I (Ketuhanan Yang Maha Esa): Pelanggaran terjadi karena tidak adanya jaminan kesetaraan umat
beragama dalam menjalankan keyakinannya.
·
Sila II (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab): Tindakan diskriminatif tidak mencerminkan keadilan
dan martabat kemanusiaan.
·
Sila V (Keadilan Sosial): Hak kelompok minoritas untuk mendapatkan perlakuan adil diabaikan,
memperlihatkan ketimpangan perlindungan hukum.
Studi ini menunjukkan pentingnya menegakkan
supremasi hukum dan nilai Pancasila dalam menjamin kebebasan beragama yang
bermartabat dan beradab.
6.2.
Studi Kasus 2: Pengingkaran
Kewajiban sebagai Warga Negara – Golput dalam Pemilu 2019
Fenomena “golput” (golongan putih) atau
tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2019 mencapai sekitar 19% dari
total pemilih, atau setara dengan lebih dari 27 juta warga negara.³ Beberapa di
antaranya bersikap apatis, kecewa terhadap kandidat, atau merasa tidak ada
perubahan signifikan dalam sistem politik.
Meskipun memilih adalah hak, dalam sistem demokrasi
Pancasila, berpartisipasi dalam pemilu juga merupakan kewajiban moral dan
politik yang mencerminkan partisipasi aktif warga negara dalam menentukan
arah kebijakan negara.⁴ Ketika jutaan orang memilih untuk absen, legitimasi
proses demokrasi dapat terganggu, dan sistem politik menjadi tidak
representatif.
Analisis
Etis Berdasarkan Pancasila:
·
Sila IV (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan): Golput merupakan bentuk pengingkaran terhadap
prinsip partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan melalui mekanisme
perwakilan.
·
Sila III (Persatuan Indonesia): Ketidakikutsertaan dalam pemilu dapat mencerminkan pelemahan ikatan
kolektif dalam membangun kebangsaan.
·
Sila V (Keadilan Sosial): Golput pasif mengabaikan tanggung jawab kolektif dalam memperjuangkan
keadilan melalui kanal demokratis.
Fenomena ini menggarisbawahi perlunya pendidikan
politik yang berorientasi pada nilai-nilai Pancasila agar warga memahami bahwa
partisipasi bukan hanya hak, melainkan tanggung jawab sosial.
6.3.
Implikasi dari Kedua Studi Kasus
Dua kasus di atas memperlihatkan bagaimana ketidakhadiran
nilai-nilai Pancasila—baik dalam sikap penguasa maupun warga negara—dapat
menimbulkan disfungsi dalam praktik bernegara. Dalam kasus GKI Yasmin, hukum
dikalahkan oleh tekanan mayoritarianisme. Dalam kasus golput, warga negara
memilih menarik diri dari sistem. Keduanya menunjukkan perlunya revitalisasi
etika kewarganegaraan berdasarkan Pancasila dalam praktik politik dan
sosial.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Yudi Latif bahwa
Pancasila seharusnya menjadi “etika publik yang hidup dan menggerakkan,” bukan
sekadar semboyan konstitusional.⁵ Maka, pendidikan Pancasila harus diarahkan
untuk membentuk kesadaran kritis dan integritas moral dalam menyikapi realitas
sosial secara aktif.
Footnotes
[1]
Setara Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia 2018, (Jakarta: Setara Institute, 2019), 20–23.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV (Jakarta: Sekretariat Negara,
2002), Pasal 28E dan 29.
[3]
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Laporan Statistik
Partisipasi Pemilu 2019, (Jakarta: KPU RI, 2020), 4.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 106–107.
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 368.
7.
Pancasila
sebagai Solusi dan Pedoman Moral Bangsa
7.1.
Pancasila sebagai Ideologi Etis dan
Emansipatoris
Sebagai ideologi nasional, Pancasila bukanlah
dogma statis, melainkan sistem nilai yang hidup (living ideology) dan terus
relevan dalam membimbing kehidupan kebangsaan Indonesia. Ia tidak hanya
berfungsi sebagai dasar negara (staatsfundamentalnorm), tetapi juga sebagai
pedoman moral dalam menentukan arah tindakan warga negara dan negara secara
kolektif.¹ Di tengah berbagai pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban,
Pancasila menyediakan kerangka etik yang inklusif, menjunjung tinggi martabat
manusia, serta mendorong terciptanya tatanan sosial yang adil dan beradab.
Pancasila tidak memisahkan antara kebebasan
individu dan tanggung jawab sosial. Setiap sila dalam Pancasila mengandung
prinsip normatif dan praksis yang berperan sebagai filter moral dalam
pengambilan kebijakan dan perilaku kewarganegaraan.² Dengan demikian, Pancasila
menjadi sumber rujukan utama dalam menyikapi krisis nilai dalam praktik sosial,
hukum, dan politik.
7.2.
Fungsi Transformasional Pancasila
dalam Mengatasi Pelanggaran Hak dan Kewajiban
Pancasila memiliki fungsi transformasional,
yakni mengarahkan perubahan sosial ke arah yang lebih bermoral dan
berkeadilan.³ Dalam konteks pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban,
nilai-nilai Pancasila dapat menjadi alat koreksi terhadap penyimpangan yang
terjadi, baik oleh warga negara maupun oleh negara itu sendiri. Misalnya:
·
Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) mengoreksi kekerasan negara terhadap warga,
diskriminasi etnis, dan pelanggaran HAM.
·
Sila Keempat (Kerakyatan dengan Hikmat Kebijaksanaan) menuntut penyelenggaraan demokrasi partisipatif
dan antikorupsi.
·
Sila Kelima (Keadilan Sosial) mendesak negara untuk menutup kesenjangan sosial dan memastikan akses
terhadap hak-hak dasar secara adil.
Pengarusutamaan nilai-nilai ini secara konsisten
dalam sistem pendidikan, hukum, pemerintahan, dan budaya akan menghidupkan
kembali kesadaran etis masyarakat serta meningkatkan integritas
kewarganegaraan.
7.3.
Strategi Penguatan Pancasila sebagai
Etika Publik
Untuk menjadikan Pancasila sebagai solusi konkret
atas berbagai persoalan kewarganegaraan, dibutuhkan strategi yang sistematis
dan berkelanjutan, antara lain:
·
Revitalisasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, baik di institusi formal maupun dalam ruang
publik, agar tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga afektif dan aplikatif.⁴
·
Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum dan kebijakan
publik, agar hukum
tidak sekadar represif tetapi juga humanis dan berkeadilan.⁵
·
Keteladanan etis dari elite dan pemimpin bangsa, karena nilai Pancasila tidak akan efektif bila
tidak dicontohkan dalam praksis kepemimpinan.⁶
·
Pemberdayaan masyarakat sipil, agar warga negara aktif menjadi subjek perubahan, bukan sekadar objek
regulasi negara.
·
Penguatan budaya lokal dan nilai gotong royong, sebagai ekspresi otentik dari sila ketiga dan
kelima yang mendukung integrasi sosial dan kohesi kebangsaan.⁷
Dengan strategi-strategi ini, Pancasila akan
kembali menjadi etos bangsa yang menuntun perilaku warga negara dalam
menyikapi pelanggaran dan pengingkaran secara adil dan bermartabat.
7.4.
Pancasila sebagai Penjaga Moralitas
Publik
Sebagaimana ditegaskan oleh Yudi Latif, Pancasila
adalah “etika publik yang menghidupkan moralitas sosial” dalam konteks
kebangsaan.⁸ Artinya, ketika institusi hukum melemah dan otoritas moral goyah,
Pancasila hadir sebagai penjaga nurani kolektif yang membimbing warga
dalam mempertahankan kebaikan bersama (common good). Fungsi moral Pancasila
menuntut bahwa hak tidak bisa ditegakkan tanpa kewajiban, dan kebebasan tidak
bisa ditegakkan tanpa tanggung jawab sosial.
Dalam kehidupan bernegara, moralitas bukan hanya
menjadi urusan privat, tetapi juga dimensi publik yang melandasi hukum, kebijakan,
dan interaksi sosial. Oleh karena itu, menjadikan Pancasila sebagai pedoman
moral berarti menyelaraskan antara norma hukum, norma sosial, dan nilai-nilai
spiritual bangsa.
7.5.
Relevansi Kontemporer dan Harapan
Masa Depan
Di tengah era globalisasi, individualisme, dan
polarisasi politik yang kian menguat, Pancasila tetap relevan sebagai kontrak
sosial dan moral kolektif bangsa Indonesia. Ia menyediakan ruang integrasi
di atas keberagaman, dan mengajarkan bahwa persatuan tidak boleh mengorbankan
keadilan, sebagaimana keadilan tidak boleh menghilangkan hak atas kebebasan.⁹
Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman etis,
bangsa Indonesia dapat membangun kembali kesadaran kewarganegaraan yang
berimbang, menghindari ekstremitas, dan menciptakan tatanan masyarakat yang
demokratis, humanis, dan adil. Harapan masa depan bangsa tidak terletak pada
sekadar kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi, melainkan pada kematangan
moral warga negaranya.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 32–34.
[2]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara,
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 45–47.
[3]
Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem
Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 89.
[4]
Daryono, Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pembentukan Karakter Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 53–55.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 207.
[6]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
ed. revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 141.
[7]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2009), 92.
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 367.
[9]
Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Eksplorasi
Konsep Wawasan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2015), 101.
8.
Penutup
Pancasila sebagai dasar negara sekaligus falsafah
hidup bangsa Indonesia memiliki peran sentral dalam membimbing kehidupan
berbangsa dan bernegara, tidak hanya dalam tataran normatif tetapi juga dalam
praksis sosial-politik. Dalam menghadapi fenomena pelanggaran hak dan
pengingkaran kewajiban warga negara, Pancasila menawarkan kerangka etik yang
menyeluruh—yang tidak sekadar legalistik, tetapi juga berakar pada nilai
kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab kolektif.
Pelanggaran hak warga negara—seperti diskriminasi,
pelanggaran kebebasan beragama, dan ketidakadilan hukum—serta pengingkaran
kewajiban—seperti ketidakpedulian politik, penghindaran pajak, atau perilaku
antisosial—bukan hanya persoalan hukum positif, melainkan juga krisis
kesadaran etis dan tanggung jawab moral warga dan penyelenggara negara.¹
Ketika hak dipraktikkan tanpa memperhatikan kewajiban, maka tatanan sosial
menjadi timpang. Sebaliknya, kewajiban yang ditegakkan tanpa perlindungan hak
justru menghasilkan otoritarianisme.
Dalam konteks ini, Pancasila hadir sebagai
solusi moral yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan
dan tanggung jawab. Ia mengajarkan bahwa negara yang adil adalah negara yang
menghormati martabat manusia (sila kedua), menjamin partisipasi rakyat (sila
keempat), dan menciptakan pemerataan keadilan (sila kelima).² Dalam demokrasi
Pancasila, warga negara ideal adalah mereka yang tidak hanya sadar akan haknya,
tetapi juga aktif memenuhi kewajibannya demi kepentingan bersama.
Sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro, Pancasila
bukan sekadar dasar hukum, tetapi juga norma etik dan moral tertinggi
yang harus menjiwai setiap peraturan, kebijakan, dan tindakan warga negara.³
Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi bagian
integral dari pendidikan, hukum, media, dan sistem pemerintahan, agar mampu
membentuk warga negara yang beradab, bertanggung jawab, dan solutif terhadap
tantangan kebangsaan.
Harapan ke depan, generasi muda sebagai penerus
bangsa perlu dibekali dengan kesadaran kritis dan sikap etik yang
berlandaskan Pancasila. Pendidikan PPKn di sekolah tidak hanya harus
menanamkan pengetahuan kognitif tentang hak dan kewajiban, tetapi juga
menumbuhkan kepekaan moral terhadap realitas sosial yang terjadi. Hanya dengan
demikian, Pancasila benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa, bukan
sekadar simbol konstitusional yang kehilangan makna.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dan
tolok ukur etis, bangsa Indonesia akan mampu membangun tatanan masyarakat yang
demokratis, adil, dan bermartabat di tengah arus globalisasi, pluralisme, dan
tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 92–94.
[2]
Ahmad Sanusi, Demokrasi Pancasila sebagai Sistem
Politik Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1996), 133.
[3]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara,
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975), 68–70.
Daftar Pustaka
Ahmad Sanusi. (1996). Demokrasi Pancasila sebagai
sistem politik Indonesia. Bandung: CV Armico.
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Peradilan konstitusi
dalam lintasan sejarah. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2015). Etika konstitusi:
Eksplorasi konsep wawasan kebangsaan. Jakarta: Kompas.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(ed. revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
(2023). Laporan tahunan 2022: Radikalisme dan intoleransi. Jakarta:
BNPT.
Daryono. (2012). Pendidikan kewarganegaraan dan
pembentukan karakter bangsa. Jakarta: Rajawali Pers.
Hadenius, A. (1992). Democracy and development.
Cambridge: Cambridge University Press.
Human Rights Watch. (2021). Indonesia:
Repressive laws used against critics. Retrieved from https://www.hrw.org
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan,
mentalitas, dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (2023). Laporan
tahunan 2022. Jakarta: Komnas HAM.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. (2020). Laporan
statistik partisipasi Pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan
tahunan 2022. Jakarta: KPK.
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
(1999). Naskah akademik Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Kemenkumham.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti
dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Lev, D. S. (1990). Hukum dan politik di
Indonesia: Kesinambungan dan perubahan. Jakarta: LP3ES.
Mas’oed, M. (2003). Ilmu politik: Teori dan
praktik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhtadi, B. (2019). Kuasa uang: Politik uang
dalam Pemilu pasca-Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Notonagoro. (1975). Pancasila: Dasar falsafah
negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV). Jakarta: Sekretariat
Negara.
Sadli, S. (2004). Perempuan dan HAM di Indonesia. Jurnal
Perempuan, (40), 4–7.
Setara Institute. (2019). Laporan kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2018. Jakarta: Setara Institute.
Setara Institute. (2023). Kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia: Laporan tahunan 2022. Jakarta: Setara Institute.
Transparency International Indonesia. (2021). Global
corruption barometer Indonesia 2021. Jakarta: TII.
Walhi. (2023). Catatan akhir tahun lingkungan
hidup Indonesia 2022. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar