Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-3: Sistem Hukum dan Peradilan di Indonesia

Bahan Ajar PPKn

Sistem Hukum dan Peradilan di Indonesia

Fondasi Konstitusional dan Implementasi dalam Negara Hukum


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem hukum dan kelembagaan peradilan di Indonesia berdasarkan kerangka konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kajian ini dimulai dari pemahaman tentang karakteristik sistem hukum nasional yang pluralistik, asas-asas dasar hukum seperti legalitas dan persamaan di hadapan hukum, serta sumber-sumber hukum formal dan material yang menopang sistem peradilan. Selanjutnya, dibahas struktur kelembagaan peradilan yang meliputi Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan empat lingkungan peradilan khusus. Artikel ini juga menguraikan proses penegakan hukum, peran lembaga penegak hukum, dan prinsip-prinsip yang mendasari sistem peradilan yang adil dan akuntabel.

Dalam bagian analitis, disajikan sejumlah tantangan besar yang dihadapi, seperti korupsi di lembaga yudisial, ketimpangan akses terhadap keadilan, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya budaya hukum masyarakat. Studi kasus aktual tentang korupsi di Mahkamah Agung dan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi memberikan gambaran konkret mengenai permasalahan integritas dan independensi peradilan. Refleksi kewarganegaraan pada akhirnya menunjukkan pentingnya peran aktif warga negara dalam menegakkan prinsip negara hukum melalui partisipasi, pengawasan publik, dan pendidikan hukum yang berkelanjutan. Artikel ini merekomendasikan perlunya reformasi hukum berkelanjutan dan internalisasi nilai-nilai konstitusional untuk membangun sistem hukum yang adil, bersih, dan berorientasi pada keadaban publik.

Kata Kunci; Negara hukum, sistem peradilan, UUD 1945, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, penegakan hukum, reformasi yudisial, kesadaran hukum, partisipasi warga negara, konstitusionalisme.


PEMBAHASAN

Fondasi Konstitusional dan Implementasi dalam Negara Hukum


1.           Pendahuluan

Negara Indonesia secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Rumusan tersebut menandakan bahwa seluruh tata kehidupan berbangsa dan bernegara harus diselenggarakan berdasarkan hukum yang adil, dan bukan berdasarkan kekuasaan semata. Hukum menjadi instrumen utama dalam mengatur hubungan antara individu, masyarakat, dan negara, sekaligus menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara secara seimbang dalam suatu sistem yang tertib dan berkeadaban1.

Sistem hukum Indonesia berkembang dari latar historis yang kompleks, mencakup warisan hukum adat, hukum Islam, serta sistem hukum kontinental yang diperkenalkan oleh penjajahan Belanda. Kombinasi ini membentuk karakteristik khas dari sistem hukum nasional yang pluralistik namun berorientasi pada supremasi konstitusi sebagai norma hukum tertinggi2. UUD 1945 menjadi sumber utama legitimasi bagi segala bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan hukum negara, sekaligus menjadi landasan bagi pembentukan lembaga-lembaga penegak hukum dan peradilan.

Kekuasaan kehakiman sebagai salah satu pilar penting dalam sistem hukum mendapatkan tempat strategis dalam UUD 1945. Melalui Pasal 24, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini menjadi syarat mutlak dalam mewujudkan prinsip “equality before the law”, yakni persamaan semua warga negara di hadapan hukum tanpa diskriminasi3. Oleh karena itu, sistem peradilan yang efektif dan berintegritas merupakan jantung dari keberlangsungan negara hukum di Indonesia.

Namun demikian, dalam praktiknya, sistem hukum dan peradilan di Indonesia kerap menghadapi berbagai tantangan serius. Praktik korupsi, lemahnya penegakan hukum, serta rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga peradilan menjadi hambatan struktural dalam mewujudkan cita-cita negara hukum yang ideal. Evaluasi terhadap sistem hukum tidak hanya diperlukan untuk menilai kepatuhannya terhadap kerangka konstitusional, tetapi juga untuk menakar sejauh mana implementasinya memberikan keadilan substantif bagi rakyat4.

Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai sistem hukum dan peradilan di Indonesia, mulai dari fondasi konstitusional, struktur kelembagaan, hingga dinamika pelaksanaannya dalam konteks negara hukum modern. Dengan pendekatan normatif dan empiris, pembahasan ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran hukum dan semangat konstitusionalisme di kalangan peserta didik sebagai warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 102.

[2]                Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1986), 15–17.

[3]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 82.

[4]                Bivitri Susanti, “Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia: Evaluasi dan Rekomendasi,” Jurnal Hukum IUS, vol. 5, no. 2 (2017): 173–175.


2.           Landasan Konstitusional Sistem Hukum di Indonesia

Landasan utama sistem hukum Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang memuat prinsip-prinsip dasar negara hukum. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Frasa ini menandaskan bahwa segala bentuk penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus tunduk kepada hukum, bukan pada kekuasaan yang sewenang-wenang1.

Prinsip negara hukum dalam konteks Indonesia tidak sekadar mengacu pada formalisme hukum (rule of law), tetapi juga mencakup unsur keadilan sosial (social justice) sebagai nilai fundamental Pancasila. Dengan demikian, negara hukum Indonesia berupaya mewujudkan hukum yang tidak hanya tertib secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial bagi seluruh rakyat2.

Landasan konstitusional sistem hukum Indonesia juga terlihat dari pembagian kekuasaan negara yang diatur secara sistematis dalam UUD 1945. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sejajar dan saling mengontrol dalam kerangka checks and balances. Kekuasaan yudikatif yang menjalankan fungsi peradilan memperoleh kedudukan yang merdeka, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”3.

Lebih lanjut, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara, serta oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini memberikan dasar hukum bagi keberadaan dan fungsi lembaga-lembaga peradilan dalam sistem hukum Indonesia4.

Di samping itu, hierarki peraturan perundang-undangan juga mendapat penguatan dalam sistem konstitusional Indonesia. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat struktur hierarkis yang mencakup:

1)                  UUD 1945,

2)                  Ketetapan MPR,

3)                  Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu),

4)                  Peraturan Pemerintah,

5)                  Peraturan Presiden, dan

6)                  Peraturan Daerah5.

UUD 1945 diposisikan sebagai sumber hukum tertinggi dalam sistem hukum nasional. Artinya, seluruh produk hukum dan kebijakan pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam hal terjadi pertentangan, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial review) terhadap undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Ini menjadi mekanisme konstitusional penting untuk menjaga supremasi dan integritas hukum di Indonesia6.

Dengan demikian, sistem hukum Indonesia tidak berdiri secara independen dari konstitusi, melainkan berakar langsung dari nilai-nilai dasar yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Konstitusi menjadi dasar normatif dan institusional bagi segala bentuk penegakan hukum, pembentukan peraturan, dan pelaksanaan keadilan di negara Indonesia.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 44.

[2]                Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2009), 31–33.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 Ayat (1).

[4]                Ibid., Pasal 24 Ayat (2).

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1).

[6]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 104.


3.           Sistem Hukum di Indonesia: Ciri, Asas, dan Sumber Hukum

3.1.       Ciri-Ciri Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia memiliki karakteristik yang unik karena dibentuk oleh dinamika historis dan sosial-budaya yang kompleks. Secara umum, ciri utama sistem hukum Indonesia adalah pluralistik dan inklusif. Keberadaan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat (kontinental Eropa) menjadi fondasi utama dalam pembentukan norma dan pranata hukum nasional1.

Hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Nusantara sebelum kedatangan penjajah menjadi cerminan nilai-nilai lokal yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, pengaruh hukum Islam berkembang melalui peran kerajaan-kerajaan Islam dan penyebaran agama Islam, terutama dalam bidang perdata seperti waris, pernikahan, dan wakaf. Sedangkan hukum barat, khususnya sistem hukum sipil (civil law), diperkenalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda melalui kodifikasi hukum seperti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Strafrecht (WvS)2.

Ciri lain dari sistem hukum Indonesia adalah kodifikasi hukum secara tertulis, yang terlihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibakukan. Namun, di sisi lain, sistem ini juga memberikan tempat bagi hukum tidak tertulis, seperti hukum adat dan yurisprudensi, untuk berperan dalam kehidupan hukum masyarakat.

3.2.       Asas-Asas dalam Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia menjunjung tinggi asas-asas universal dalam hukum modern, tetapi juga berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis negara. Beberapa asas penting dalam sistem hukum Indonesia antara lain:

1)                  Asas legalitas (nullum crimen sine lege, nullum poena sine lege)

Tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa dasar hukum terlebih dahulu. Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana dan menjadi jaminan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang oleh negara3.

2)                  Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law)

Semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, maupun etnis4.

3)                  Asas due process of law

Setiap individu berhak mendapatkan proses hukum yang adil dan sesuai prosedur. Ini mencakup hak atas pembelaan, peradilan yang independen, dan putusan yang obyektif.

4)                  Asas kepastian hukum dan keadilan

Hukum tidak hanya dituntut jelas dan dapat diprediksi, tetapi juga harus mencerminkan keadilan substantif bagi seluruh warga negara.

Penerapan asas-asas ini tidak terlepas dari tantangan dalam pelaksanaan, seperti ketimpangan akses terhadap keadilan dan penyalahgunaan kekuasaan, yang mengharuskan adanya pengawasan yang ketat dan reformasi berkelanjutan.

3.3.       Sumber-Sumber Hukum Indonesia

Sumber hukum di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah bentuk-bentuk yang diakui secara sah sebagai dasar berlakunya hukum, sedangkan sumber hukum material adalah latar belakang historis, budaya, dan nilai sosial yang memengaruhi isi dari hukum tersebut5.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, urutan sumber hukum formal di Indonesia antara lain:

1)                  Undang-Undang Dasar 1945

2)                  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

3)                  Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

4)                  Peraturan Pemerintah

5)                  Peraturan Presiden

6)                  Peraturan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota)6

Selain itu, terdapat sumber hukum lain yang penting, yaitu:

·                     Yurisprudensi: Putusan-putusan pengadilan yang dijadikan rujukan untuk kasus serupa berikutnya.

·                     Traktat atau perjanjian internasional: Mengikat jika telah diratifikasi.

·                     Doktrin atau pendapat ahli hukum: Meskipun tidak mengikat, sering menjadi rujukan dalam interpretasi hukum oleh hakim.

Keseluruhan sumber hukum ini bekerja secara sistemik dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, supremasi UUD 1945 tetap menjadi tolok ukur utama dalam menilai sah atau tidaknya suatu peraturan hukum, sehingga menjamin keterpaduan dalam sistem hukum nasional.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1986), 24–26.

[2]                Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 45.

[3]                Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 16.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 109.

[5]                Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2009), 33–35.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7.


4.           Struktur Kelembagaan Peradilan di Indonesia

Struktur kelembagaan peradilan di Indonesia diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan diperkuat dalam berbagai undang-undang organik. Lembaga peradilan memainkan peran krusial dalam menegakkan hukum, keadilan, dan menjaga supremasi konstitusi. Konfigurasi lembaga peradilan di Indonesia dirancang dalam kerangka kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”1.

Secara umum, struktur peradilan Indonesia terbagi menjadi dua tingkatan utama:

1)                  Lembaga peradilan umum dan khusus di bawah Mahkamah Agung, dan

2)                  Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang fungsi kehakiman dalam sistem ketatanegaraan.

4.1.       Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung merupakan puncak lembaga peradilan yang membawahi empat lingkungan peradilan: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kedudukan dan kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. MA berfungsi sebagai pengadilan kasasi, pengawas tertinggi terhadap perilaku hakim, dan memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial review terbatas)2.

MA juga memiliki fungsi administratif terhadap lembaga-lembaga peradilan di bawahnya serta memberikan pembinaan teknis dan organisasi peradilan. Untuk memastikan keseragaman penerapan hukum, MA menerbitkan putusan yurisprudensi yang menjadi acuan dalam penyelesaian perkara serupa.

4.2.       Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi didirikan sebagai lembaga baru pasca-amendemen UUD 1945, dengan mandat khusus dalam menegakkan konstitusionalitas hukum. MK memiliki empat kewenangan utama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945, yaitu:

1)                  Menguji undang-undang terhadap UUD 1945,

2)                  Memutus sengketa kewenangan antar-lembaga negara,

3)                  Memutus pembubaran partai politik, dan

4)                  Memutus perselisihan hasil pemilihan umum3.

Selain itu, MK memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum berat oleh Presiden/Wakil Presiden. MK menjadi benteng terakhir dalam menjaga supremasi konstitusi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara.

4.3.       Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial merupakan lembaga mandiri yang memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim dan kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung. Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945, KY dibentuk untuk menjaga integritas dan kelayakan moral hakim, terutama hakim agung di Mahkamah Agung4.

Meskipun memiliki peran penting, kewenangan KY kerap menjadi polemik dalam sistem ketatanegaraan, terutama terkait hubungan antarlembaga yudikatif dan independensi hakim. Namun, keberadaannya tetap diperlukan sebagai mekanisme akuntabilitas internal dalam tubuh kekuasaan kehakiman.

4.4.       Struktur Empat Lingkungan Peradilan

1)                  Peradilan Umum

Mengadili perkara pidana dan perdata. Bertugas di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT).

2)                  Peradilan Agama

Menangani perkara di bidang perkawinan, waris, wakaf, zakat, dan ekonomi syariah bagi umat Islam. Diatur dalam UU No. 3 Tahun 20065.

3)                  Peradilan Militer

Menangani pelanggaran hukum oleh anggota TNI. Diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997.

4)                  Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Mengadili sengketa antara warga negara dengan pejabat administrasi negara, seperti keputusan izin, pengangkatan, atau pencabutan hak administratif.

Empat lingkungan peradilan tersebut secara struktural berada di bawah koordinasi Mahkamah Agung, kecuali Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang memiliki status independen dalam sistem kelembagaan negara.


Kesimpulan Sementara

Struktur kelembagaan peradilan di Indonesia mencerminkan prinsip pemisahan kekuasaan dan independensi kekuasaan kehakiman dalam sistem demokrasi konstitusional. Peran Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial yang saling melengkapi menunjukkan komitmen negara untuk menegakkan hukum dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara, meskipun implementasinya tetap menghadapi tantangan berupa korupsi, ketidaksetaraan akses, dan kekurangan sumber daya.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 Ayat (1).

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C Ayat (1).

[4]                Ibid., Pasal 24B.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara RI Tahun 2006 No. 22.


5.           Mekanisme dan Proses Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu proses sistemik yang melibatkan berbagai institusi, perangkat hukum, serta prosedur yang bertujuan untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh warga negara. Dalam konteks negara hukum Indonesia, penegakan hukum tidak hanya menjadi tugas lembaga peradilan, tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan advokat, yang berperan sejak tahap awal penanganan perkara hingga putusan akhir pengadilan1.

5.1.       Tahapan Proses Penegakan Hukum

Penegakan hukum di Indonesia pada umumnya mengikuti tiga tahapan utama, yaitu:

1)                  Tahap Pra-Peradilan

Tahap ini mencakup proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat kepolisian dan penyidik kejaksaan. Proses ini bertujuan mengumpulkan bukti awal untuk memastikan apakah terdapat dugaan tindak pidana yang dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan. Prinsip legalitas dan prosedur hukum yang sah menjadi dasar agar tindakan penyidik tidak melanggar hak-hak tersangka2.

2)                  Tahap Penuntutan

Setelah penyidikan dinyatakan lengkap (P-21), berkas perkara dilimpahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Jaksa penuntut umum akan menyusun dakwaan dan membawa perkara ke pengadilan. Dalam tahap ini, jaksa bertindak sebagai wakil negara untuk menuntut pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku tindak pidana3.

3)                  Tahap Persidangan dan Putusan

Proses peradilan dilakukan secara terbuka untuk umum (kecuali dalam perkara tertentu seperti anak dan kesusilaan), dengan menghadirkan terdakwa, jaksa, pembela, dan hakim. Sidang pengadilan menjadi forum untuk menguji bukti dan fakta secara objektif. Putusan pengadilan dapat berupa pemidanaan, pembebasan, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Terhadap putusan tersebut, tersedia mekanisme banding, kasasi, dan peninjauan kembali sebagai bentuk jaminan atas keadilan prosedural4.

5.2.       Peran Lembaga Penegak Hukum

1)                  Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Bertugas sebagai penyidik utama dalam perkara pidana, Polri juga berperan dalam menjaga keamanan, ketertiban masyarakat, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan. Dasar hukum kewenangan Polri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian5.

2)                  Kejaksaan Republik Indonesia

Berwenang melakukan penuntutan dalam perkara pidana, serta mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kejaksaan juga terlibat dalam penanganan perkara perdata dan tata usaha negara atas nama kepentingan negara6.

3)                  Advokat dan Bantuan Hukum

Advokat berperan dalam memberikan bantuan hukum kepada pihak yang terlibat perkara, baik sebagai pembela terdakwa dalam perkara pidana maupun sebagai kuasa hukum dalam perkara perdata. Jaminan atas hak untuk didampingi penasihat hukum merupakan bagian dari prinsip due process of law yang dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat7.

5.3.       Prinsip-Prinsip dalam Penegakan Hukum

Penegakan hukum di Indonesia harus berpijak pada prinsip-prinsip fundamental berikut:

·                     Prinsip keadilan (justice): Hukum harus berpihak pada keadilan substansial, bukan semata-mata formalitas hukum.

·                     Prinsip kepastian hukum (legal certainty): Masyarakat harus memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan dapat diprediksi.

·                     Prinsip kemanfaatan (utility): Penegakan hukum harus memberikan dampak positif bagi masyarakat secara luas.

·                     Prinsip akuntabilitas dan transparansi: Seluruh proses hukum harus dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi pengawasan publik.

Namun, kenyataannya, realisasi prinsip-prinsip tersebut tidak selalu ideal. Masih sering terjadi kasus penegakan hukum yang diskriminatif, penyalahgunaan kewenangan, hingga korupsi dalam lembaga hukum itu sendiri. Oleh karena itu, reformasi struktural dan kultural menjadi syarat penting untuk menjadikan hukum sebagai sarana keadilan yang sejati8.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), 12.

[2]                Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 21–22.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 67.

[4]                Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), 74–76.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 2.

[6]                Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta: Kencana, 2011), 53.

[7]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 49.

[8]                Bivitri Susanti, “Reformasi Sistem Penegakan Hukum dan Tantangannya,” Jurnal Hukum IUS 6, no. 2 (2018): 231–233.


6.           Tantangan dan Problematika dalam Sistem Hukum dan Peradilan

Meskipun Indonesia secara konstitusional telah menetapkan diri sebagai negara hukum, dalam praktiknya sistem hukum dan peradilan nasional masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat efektivitas dan integritas penegakan hukum. Kompleksitas permasalahan ini bersifat multidimensional, mencakup aspek kelembagaan, budaya hukum, sumber daya manusia, serta kendala struktural dan politik.

6.1.       Korupsi di Sektor Penegakan Hukum

Salah satu problematika paling serius adalah korupsi dalam lembaga penegak hukum, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 oleh Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia mendapat skor 34 dari 100, menandakan tingkat korupsi yang masih tinggi dan stagnan dalam beberapa tahun terakhir1. Praktik suap, jual-beli perkara, dan intervensi kekuasaan dalam proses hukum merusak prinsip keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Fenomena “judicial corruption” telah menjadi perhatian serius, bahkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tertinggi tidak luput dari sorotan. Beberapa hakim tinggi, termasuk hakim agung, pernah tersangkut kasus korupsi, sebagaimana tercatat dalam data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)2.

6.2.       Ketimpangan Akses terhadap Keadilan

Akses terhadap keadilan (access to justice) masih menjadi isu besar, terutama bagi masyarakat miskin, kelompok marjinal, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Kendala biaya perkara, ketidaktahuan hukum, serta keterbatasan layanan bantuan hukum menyebabkan banyak warga tidak memperoleh hak hukumnya secara layak. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2022 mencatat bahwa mayoritas pengaduan yang masuk berasal dari kalangan masyarakat tidak mampu, dengan dominasi kasus perdata dan sengketa tanah3.

Selain itu, diskriminasi hukum kerap terjadi terhadap kelompok rentan, seperti perempuan dan anak. Kasus-kasus kekerasan berbasis gender seringkali tidak ditangani secara serius, baik karena lemahnya pemahaman aparat penegak hukum maupun bias budaya patriarkal dalam proses peradilan4.

6.3.       Ketidakpastian dan Tumpang Tindih Regulasi

Tantangan lain adalah ketidakpastian hukum akibat banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, saling bertentangan, atau multitafsir. Hal ini melemahkan fungsi hukum sebagai pedoman kehidupan berbangsa. Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), per akhir 2021 terdapat lebih dari 42.000 regulasi yang aktif, namun sebagian besar belum terintegrasi secara sistemik5.

Kondisi ini menyulitkan aparat hukum dalam menerapkan hukum secara konsisten dan membuka peluang untuk penyalahgunaan kewenangan. Tumpang tindih antara undang-undang sektoral dan peraturan daerah juga menyebabkan konflik yurisdiksi dan hambatan koordinasi antarlembaga.

6.4.       Lemahnya Budaya Hukum di Masyarakat

Rendahnya kesadaran hukum masyarakat menjadi faktor penghambat keberhasilan penegakan hukum. Banyak warga yang masih mengandalkan pendekatan informal atau kekerasan dalam menyelesaikan konflik, alih-alih menempuh jalur hukum. Fenomena main hakim sendiri (vigilantisme), penyelesaian konflik melalui denda adat yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan, dan rendahnya partisipasi hukum warga negara menunjukkan lemahnya budaya hukum6.

Sikap apatis dan pesimis masyarakat terhadap keadilan formal juga diperkuat oleh persepsi bahwa hukum sering berpihak kepada yang kuat dan berduit. Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan hukum masyarakat secara masif dan berkelanjutan.

6.5.       Intervensi Politik terhadap Lembaga Hukum

Meskipun konstitusi menjamin independensi kekuasaan kehakiman, dalam praktiknya tidak jarang lembaga peradilan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan politik. Intervensi elit terhadap proses hukum, terutama dalam perkara-perkara yang melibatkan kepentingan ekonomi atau politik, mengancam independensi dan netralitas pengadilan.

Penunjukan pejabat dalam lembaga yudisial, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, seringkali dipengaruhi pertimbangan politis yang tidak sepenuhnya berbasis integritas dan kompetensi7. Kondisi ini memperlemah legitimasi sistem hukum dan memperbesar risiko politisasi keadilan.


Kesimpulan Sementara

Berbagai tantangan di atas memperlihatkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural dan kultural yang kompleks. Untuk mewujudkan negara hukum yang substantif, tidak cukup hanya dengan reformasi normatif, melainkan juga dibutuhkan pembenahan kelembagaan, penguatan budaya hukum, dan peningkatan akuntabilitas dalam sistem peradilan. Hukum harus menjadi instrumen yang melayani keadilan sosial, bukan sekadar kekuasaan formal.


Footnotes

[1]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, accessed May 20, 2025, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.

[2]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Data Penindakan KPK: Kasus Suap di Lembaga Peradilan 2015–2023, accessed May 20, 2025, https://www.kpk.go.id.

[3]                Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Laporan Tahunan 2022: Potret Akses Keadilan Masyarakat Marginal (Jakarta: LBH Jakarta, 2023), 12–13.

[4]                Komnas Perempuan, Catahu 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan, accessed May 20, 2025, https://komnasperempuan.go.id.

[5]                Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Inventarisasi Peraturan Perundang-Undangan Nasional Tahun 2021 (Jakarta: Kemenkumham, 2022), 6.

[6]                Satjipto Rahardjo, Membangun dan Menegakkan Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2009), 34.

[7]                Bivitri Susanti, “Politik Hukum dalam Penunjukan Hakim Konstitusi: Kecenderungan dan Risiko Demokrasi,” Jurnal Konstitusi 16, no. 2 (2019): 227–230.


7.           Studi Kasus dan Analisis Kritis

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih konkret mengenai dinamika sistem hukum dan peradilan di Indonesia, diperlukan kajian berbasis kasus nyata yang menunjukkan sejauh mana prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai negara hukum dijalankan dalam praktik. Studi kasus berikut ini dipilih karena merepresentasikan kompleksitas penegakan hukum dan tantangan integritas peradilan di Indonesia.

7.1.       Studi Kasus: Skandal Korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati (2022)

Pada tahun 2022, publik dikejutkan dengan ditangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap penanganan perkara di Mahkamah Agung. Kasus ini mencoreng wajah lembaga peradilan tertinggi Indonesia dan menjadi indikator kuat bahwa praktik jual-beli perkara masih terjadi secara sistemik di tubuh peradilan1.

Dalam penjelasan KPK, Sudrajad menerima suap melalui perantara staf dan pegawai MA untuk mempengaruhi putusan sebuah sengketa kasasi yang melibatkan koperasi simpan pinjam. Praktik ini menabrak prinsip imparsialitas peradilan, independensi hakim, dan mengkhianati asas “audi et alteram partem” (mendengar kedua belah pihak secara adil). Hal ini sekaligus memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal Mahkamah Agung dan kurangnya efektivitas peran Komisi Yudisial dalam mencegah pelanggaran etik hakim2.

7.2.       Studi Kasus: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 (Syarat Usia Capres-Cawapres)

Kasus lain yang memicu perdebatan hukum dan etika konstitusional adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah ketentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden dengan menambahkan frasa “pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu”. Putusan ini menuai kritik luas karena dinilai memberikan keistimewaan hukum bagi tokoh tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan hakim MK, sehingga mengundang tuduhan konflik kepentingan dan intervensi politik3.

Banyak pakar hukum tata negara menilai bahwa MK dalam perkara ini telah melampaui kewenangannya dengan melakukan interpretasi yang cenderung politis dan tidak objektif terhadap norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Keputusan tersebut, menurut kritik, menurunkan kepercayaan publik terhadap MK sebagai pengawal konstitusi dan pelindung hak-hak dasar warga negara4.

7.3.       Analisis Kritis

Dua kasus di atas mencerminkan kegagalan institusi hukum dalam menjalankan fungsi etik, normatif, dan konstitusionalnya secara ideal. Dalam kasus MA, pelanggaran etika dan integritas menggambarkan lemahnya sistem pengawasan dan keberlanjutan budaya koruptif di lembaga kehakiman. Sementara dalam kasus MK, problemnya bukan pada pelanggaran pidana, tetapi pada keputusan yang mengaburkan batas antara independensi yudisial dan kepentingan kekuasaan politik.

Secara teoritis, lembaga peradilan seharusnya menjunjung tinggi prinsip "rule of law", yakni supremasi hukum yang menempatkan semua orang setara di hadapan hukum dan menjamin pemisahan kekuasaan secara nyata5. Namun kenyataan menunjukkan bahwa independensi peradilan di Indonesia masih terancam oleh infiltrasi kepentingan luar yang melemahkan keadilan substansial. Ini berbahaya bagi demokrasi karena merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai instrumen keadilan.

Tantangan ini menunjukkan pentingnya penguatan mekanisme akuntabilitas horizontal dan vertikal, mulai dari reformasi rekrutmen hakim, penguatan peran Komisi Yudisial, hingga mendorong masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi jalannya kekuasaan kehakiman. Tanpa kontrol dan koreksi kolektif, sistem peradilan akan terjebak dalam stagnasi moral yang mengancam legitimasi hukum itu sendiri6.


Footnotes

[1]                Komisi Pemberantasan Korupsi, “KPK Tetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati Sebagai Tersangka Suap Penanganan Perkara di MA,” Siaran Pers KPK, September 23, 2022, https://www.kpk.go.id.

[2]                Bivitri Susanti, “Skandal Hakim Agung: Wajah Retak Sistem Peradilan,” Jurnal Hukum & Etika, vol. 4, no. 2 (2023): 112–114.

[3]                Zainal Arifin Mochtar, “Mengurai Putusan MK Soal Syarat Usia Capres: Kritik Yuridis dan Politik,” Jurnal Konstitusi 21, no. 1 (2024): 45–48.

[4]                Refly Harun, “Hakim Konstitusi dalam Pusaran Politik: Kajian Etika Yudisial dan Reformasi Konstitusi,” (Jakarta: Forum Konstitusi, 2024), 89.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Negara Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 59–61.

[6]                Saldi Isra, “Menjaga Marwah Lembaga Peradilan di Tengah Krisis Kepercayaan,” Kompas, 17 Oktober 2023.


8.           Refleksi Kewarganegaraan

Salah satu tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang berwawasan hukum, sadar konstitusi, dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks sistem hukum dan peradilan di Indonesia, refleksi kewarganegaraan menjadi sangat penting sebagai upaya menyadarkan masyarakat—khususnya generasi muda—akan perannya dalam mendukung tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.

8.1.       Pentingnya Kesadaran Hukum dalam Kehidupan Berbangsa

Kesadaran hukum merupakan indikator penting kedewasaan demokrasi suatu bangsa. Masyarakat yang sadar hukum bukan hanya mematuhi hukum karena takut pada sanksi, tetapi juga karena memahami dan menerima hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan dan ketertiban sosial. Kesadaran hukum yang tinggi akan menumbuhkan budaya patuh terhadap norma, mendorong perilaku warga negara yang bertanggung jawab, serta memperkuat legitimasi institusi hukum1.

Namun, dalam kenyataan sosial, tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih bervariasi dan sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, dan budaya lokal. Oleh karena itu, pendidikan hukum bagi warga negara harus dimulai sejak dini, termasuk melalui kurikulum di sekolah dan kampanye publik yang berkelanjutan2.

8.2.       Peran Aktif Warga Negara dalam Menegakkan Hukum

Warga negara tidak boleh hanya menjadi objek hukum, tetapi harus tampil sebagai subjek yang kritis dan partisipatif. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya kekuasaan, termasuk dalam sektor peradilan. Mekanisme partisipasi dapat dilakukan melalui:

·                     Penggunaan hak untuk melapor apabila terjadi penyimpangan hukum,

·                     Partisipasi dalam pemilu yang bebas dan adil untuk memilih pemimpin yang menjunjung supremasi hukum,

·                     Keterlibatan dalam organisasi masyarakat sipil, media, maupun forum-forum edukatif yang mendorong reformasi hukum3.

Kontribusi semacam ini menunjukkan bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas lembaga formal, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.

8.3.       Internalisasi Nilai Konstitusi dalam Praktik Kewarganegaraan

Konstitusi tidak hanya memuat norma hukum, tetapi juga nilai-nilai luhur kebangsaan yang harus diinternalisasi oleh setiap warga negara. Prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), jaminan hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi kesadaran moral dan sosial warga negara dalam kehidupan sehari-hari4.

Dengan menjadikan konstitusi sebagai acuan dalam bertindak, warga negara akan lebih peka terhadap ketidakadilan, serta mampu menolak praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan demokrasi, seperti korupsi, kekerasan, dan diskriminasi hukum. Hal ini sejalan dengan misi Pancasila sebagai dasar ideologis yang mengedepankan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab5.

8.4.       Menjadi Warga Negara Progresif dan Transformatif

Dalam era modern dan global yang sarat tantangan, warga negara Indonesia dituntut untuk menjadi subjek aktif transformasi sosial yang berpijak pada hukum dan moralitas publik. Hal ini meliputi keberanian menyuarakan kebenaran, menolak ketidakadilan, serta berperan dalam mengawal reformasi sistem hukum melalui kanal-kanal demokratis. Warga negara progresif adalah mereka yang tidak pasif terhadap kebobrokan hukum, melainkan aktif menawarkan solusi dan membangun kesadaran kolektif untuk perubahan6.


Kesimpulan Reflektif

Refleksi kewarganegaraan dalam konteks sistem hukum dan peradilan di Indonesia menekankan bahwa tegaknya negara hukum bukan semata hasil kerja lembaga formal, melainkan buah dari partisipasi aktif, kesadaran hukum, dan keteladanan warga negara. Oleh karena itu, pembentukan karakter kewarganegaraan yang kritis, sadar hukum, dan berbasis konstitusi harus menjadi agenda prioritas dalam pendidikan dan kehidupan berbangsa.


Footnotes

[1]                Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), 24.

[2]                Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 15–18.

[3]                Bivitri Susanti, “Partisipasi Publik dan Reformasi Peradilan: Evaluasi Kritis atas Peran Masyarakat Sipil,” Jurnal Hukum IUS 7, no. 1 (2019): 142–144.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 102.

[5]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 331.

[6]                Paulus Wirutomo, Sosiologi Kritis: Warga Negara dan Transformasi Sosial (Jakarta: UI Press, 2010), 91.


9.           Penutup

Sistem hukum dan peradilan di Indonesia merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara hukum yang demokratis. Dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, struktur kelembagaan hukum dibentuk untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh warga negara. Dalam kerangka tersebut, lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial memiliki peran strategis dalam memastikan berjalannya prinsip-prinsip konstitusional dan penegakan hukum yang adil1.

Namun, realitas praktik hukum di Indonesia masih jauh dari harapan ideal. Tantangan serius seperti korupsi dalam lembaga peradilan, ketimpangan akses keadilan, tumpang tindih regulasi, hingga intervensi politik terhadap lembaga yudisial mengindikasikan bahwa reformasi hukum belum sepenuhnya berhasil menciptakan sistem hukum yang bersih, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat2. Studi kasus atas skandal hakim agung dan putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi menunjukkan bagaimana nilai-nilai hukum seringkali dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi.

Dalam menghadapi situasi tersebut, peran aktif warga negara menjadi sangat penting. Penegakan hukum tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada institusi negara, tetapi harus melibatkan partisipasi masyarakat sipil, media, akademisi, dan generasi muda sebagai pengontrol, pengingat, sekaligus motor penggerak reformasi hukum3. Pendidikan kewarganegaraan harus diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran hukum, etika konstitusional, dan keberanian moral dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Konsekuensi dari status Indonesia sebagai negara hukum adalah bahwa seluruh elemen bangsa—baik pemerintah maupun rakyat—harus tunduk kepada hukum. Namun lebih dari itu, hukum harus menjadi sarana emansipasi sosial, yaitu membebaskan manusia dari ketidakadilan dan ketertindasan struktural. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi jiwa dari sistem hukum nasional, yang mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan4.

Oleh karena itu, membangun sistem hukum yang kuat dan berintegritas memerlukan upaya kolaboratif: pembaruan regulasi, perbaikan sistem rekrutmen dan pengawasan hakim, penguatan lembaga peradilan, serta transformasi budaya hukum. Harapan akan tegaknya negara hukum bukanlah utopia, selama seluruh komponen bangsa menyadari tanggung jawabnya dalam mengawal hukum sebagai pilar keadaban bangsa dan peradaban demokrasi.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Negara Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 47–49.

[2]                Bivitri Susanti, “Reformasi Sistem Hukum di Indonesia: Kemajuan, Tantangan, dan Harapan,” Jurnal Hukum IUS 8, no. 1 (2020): 93–96.

[3]                Paulus Wirutomo, Sosiologi Kritis: Warga Negara dan Transformasi Sosial (Jakarta: UI Press, 2010), 88–90.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 318–320.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2022). Laporan inventarisasi peraturan perundang-undangan nasional tahun 2021. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Bivitri, S. (2018). Reformasi sistem penegakan hukum dan tantangannya. Jurnal Hukum IUS, 6(2), 231–233.

Bivitri, S. (2019). Partisipasi publik dan reformasi peradilan: Evaluasi kritis atas peran masyarakat sipil. Jurnal Hukum IUS, 7(1), 142–144.

Bivitri, S. (2023). Skandal Hakim Agung: Wajah retak sistem peradilan. Jurnal Hukum & Etika, 4(2), 112–114.

Harun, R. (2024). Hakim konstitusi dalam pusaran politik: Kajian etika yudisial dan reformasi konstitusi. Jakarta: Forum Konstitusi.

Hamzah, A. (2005). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamzah, A. (2008). Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, dan materi muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022, September 23). KPK tetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka suap penanganan perkara di MA. https://www.kpk.go.id

Komnas Perempuan. (2023). Catahu 2023: Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan. https://komnasperempuan.go.id

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. (2023). Laporan tahunan 2022: Potret akses keadilan masyarakat marginal. Jakarta: LBH Jakarta.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahfud MD, M. (2009). Politik hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Mertokusumo, S. (1993). Hukum acara perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Mertokusumo, S. (2009). Penemuan hukum: Sebuah pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Mochtar, Z. A. (2024). Mengurai putusan MK soal syarat usia capres: Kritik yuridis dan politik. Jurnal Konstitusi, 21(1), 45–48.

Rahardjo, S. (1986). Hukum dan masyarakat. Bandung: Angkasa.

Rahardjo, S. (2009). Membangun dan menegakkan hukum progresif. Jakarta: Kompas.

Rahardjo, S. (2009). Penegakan hukum: Suatu tinjauan sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 84.

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 2.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 49.

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9.

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 67.

Republik Indonesia. (2006). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Lembaran Negara RI Tahun 2006 No. 22.

Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2011 No. 82.

Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: UI Press.

Soekanto, S. (2006). Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Susanti, B. (2020). Reformasi sistem hukum di Indonesia: Kemajuan, tantangan, dan harapan. Jurnal Hukum IUS, 8(1), 93–96.

Transparency International. (2023). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023

Wirutomo, P. (2010). Sosiologi kritis: Warga negara dan transformasi sosial. Jakarta: UI Press.

Isra, S. (2023, Oktober 17). Menjaga marwah lembaga peradilan di tengah krisis kepercayaan. Kompas.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar