Bahan Ajar PPKn
Sistem Hukum dan Peradilan di Indonesia
Fondasi Konstitusional dan Implementasi dalam Negara
Hukum
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem
hukum dan kelembagaan peradilan di Indonesia berdasarkan kerangka
konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kajian
ini dimulai dari pemahaman tentang karakteristik sistem hukum nasional yang
pluralistik, asas-asas dasar hukum seperti legalitas dan persamaan di hadapan
hukum, serta sumber-sumber hukum formal dan material yang menopang sistem
peradilan. Selanjutnya, dibahas struktur kelembagaan peradilan yang meliputi
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan empat lingkungan
peradilan khusus. Artikel ini juga menguraikan proses penegakan hukum, peran
lembaga penegak hukum, dan prinsip-prinsip yang mendasari sistem peradilan yang
adil dan akuntabel.
Dalam bagian analitis, disajikan sejumlah tantangan
besar yang dihadapi, seperti korupsi di lembaga yudisial, ketimpangan akses
terhadap keadilan, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya budaya hukum
masyarakat. Studi kasus aktual tentang korupsi di Mahkamah Agung dan
kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi memberikan gambaran konkret mengenai
permasalahan integritas dan independensi peradilan. Refleksi kewarganegaraan
pada akhirnya menunjukkan pentingnya peran aktif warga negara dalam menegakkan
prinsip negara hukum melalui partisipasi, pengawasan publik, dan pendidikan
hukum yang berkelanjutan. Artikel ini merekomendasikan perlunya reformasi hukum
berkelanjutan dan internalisasi nilai-nilai konstitusional untuk membangun
sistem hukum yang adil, bersih, dan berorientasi pada keadaban publik.
Kata Kunci; Negara hukum, sistem peradilan, UUD 1945, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, penegakan hukum, reformasi yudisial, kesadaran
hukum, partisipasi warga negara, konstitusionalisme.
PEMBAHASAN
Fondasi Konstitusional dan Implementasi dalam Negara
Hukum
1.
Pendahuluan
Negara Indonesia
secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum berdasarkan Pasal
1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Rumusan tersebut menandakan bahwa seluruh tata kehidupan berbangsa dan
bernegara harus diselenggarakan berdasarkan hukum yang adil, dan bukan
berdasarkan kekuasaan semata. Hukum menjadi instrumen utama dalam mengatur
hubungan antara individu, masyarakat, dan negara, sekaligus menjamin
pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara secara seimbang dalam suatu sistem
yang tertib dan berkeadaban1.
Sistem hukum
Indonesia berkembang dari latar historis yang kompleks, mencakup warisan hukum
adat, hukum Islam, serta sistem hukum kontinental yang diperkenalkan oleh
penjajahan Belanda. Kombinasi ini membentuk karakteristik khas dari sistem
hukum nasional yang pluralistik namun berorientasi pada supremasi konstitusi
sebagai norma hukum tertinggi2. UUD 1945 menjadi sumber utama
legitimasi bagi segala bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan hukum
negara, sekaligus menjadi landasan bagi pembentukan lembaga-lembaga penegak
hukum dan peradilan.
Kekuasaan kehakiman
sebagai salah satu pilar penting dalam sistem hukum mendapatkan tempat
strategis dalam UUD 1945. Melalui Pasal 24, ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini menjadi
syarat mutlak dalam mewujudkan prinsip “equality before the law”,
yakni persamaan semua warga negara di hadapan hukum tanpa diskriminasi3.
Oleh karena itu, sistem peradilan yang efektif dan berintegritas merupakan
jantung dari keberlangsungan negara hukum di Indonesia.
Namun demikian,
dalam praktiknya, sistem hukum dan peradilan di Indonesia kerap menghadapi
berbagai tantangan serius. Praktik korupsi, lemahnya penegakan hukum, serta
rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga peradilan menjadi
hambatan struktural dalam mewujudkan cita-cita negara hukum yang ideal.
Evaluasi terhadap sistem hukum tidak hanya diperlukan untuk menilai
kepatuhannya terhadap kerangka konstitusional, tetapi juga untuk menakar sejauh
mana implementasinya memberikan keadilan substantif bagi rakyat4.
Oleh karena itu,
kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai sistem
hukum dan peradilan di Indonesia, mulai dari fondasi konstitusional, struktur
kelembagaan, hingga dinamika pelaksanaannya dalam konteks negara hukum modern.
Dengan pendekatan normatif dan empiris, pembahasan ini diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran hukum dan semangat konstitusionalisme di kalangan peserta didik
sebagai warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 102.
[2]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa,
1986), 15–17.
[3]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 82.
[4]
Bivitri Susanti, “Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia: Evaluasi
dan Rekomendasi,” Jurnal Hukum IUS, vol. 5, no. 2 (2017): 173–175.
2.
Landasan
Konstitusional Sistem Hukum di Indonesia
Landasan utama
sistem hukum Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), yang memuat prinsip-prinsip dasar negara
hukum. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum.” Frasa ini menandaskan bahwa segala bentuk
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus tunduk kepada hukum, bukan pada
kekuasaan yang sewenang-wenang1.
Prinsip negara hukum
dalam konteks Indonesia tidak sekadar mengacu pada formalisme hukum (rule of
law), tetapi juga mencakup unsur keadilan sosial (social justice) sebagai nilai
fundamental Pancasila. Dengan demikian, negara hukum Indonesia berupaya
mewujudkan hukum yang tidak hanya tertib secara prosedural, tetapi juga adil
secara substansial bagi seluruh rakyat2.
Landasan
konstitusional sistem hukum Indonesia juga terlihat dari pembagian
kekuasaan negara yang diatur secara sistematis dalam UUD 1945.
Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sejajar
dan saling mengontrol dalam kerangka checks and balances. Kekuasaan yudikatif
yang menjalankan fungsi peradilan memperoleh kedudukan yang merdeka,
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”3.
Lebih lanjut, Pasal
24 Ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara,
serta oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
ini memberikan dasar hukum bagi keberadaan dan fungsi lembaga-lembaga peradilan
dalam sistem hukum Indonesia4.
Di samping itu, hierarki
peraturan perundang-undangan juga mendapat penguatan dalam
sistem konstitusional Indonesia. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat
struktur hierarkis yang mencakup:
1)
UUD 1945,
2)
Ketetapan MPR,
3)
Undang-Undang/ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu),
4)
Peraturan Pemerintah,
5)
Peraturan Presiden, dan
6)
Peraturan Daerah5.
UUD 1945 diposisikan
sebagai sumber hukum tertinggi dalam
sistem hukum nasional. Artinya, seluruh produk hukum dan kebijakan pemerintahan
harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam hal terjadi
pertentangan, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian
(judicial review) terhadap undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C UUD 1945. Ini menjadi mekanisme konstitusional penting untuk
menjaga supremasi dan integritas hukum di Indonesia6.
Dengan demikian,
sistem hukum Indonesia tidak berdiri secara independen dari konstitusi,
melainkan berakar langsung dari nilai-nilai dasar yang tertuang dalam UUD 1945
dan Pancasila. Konstitusi menjadi dasar normatif dan institusional bagi segala
bentuk penegakan hukum, pembentukan peraturan, dan pelaksanaan keadilan di
negara Indonesia.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 44.
[2]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES,
2009), 31–33.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 Ayat
(1).
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1).
[6]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 104.
3.
Sistem
Hukum di Indonesia: Ciri, Asas, dan Sumber Hukum
3.1.
Ciri-Ciri Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum
Indonesia memiliki karakteristik yang unik karena dibentuk oleh dinamika
historis dan sosial-budaya yang kompleks. Secara umum, ciri utama sistem hukum
Indonesia adalah pluralistik dan inklusif.
Keberadaan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat (kontinental Eropa) menjadi
fondasi utama dalam pembentukan norma dan pranata hukum nasional1.
Hukum adat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Nusantara sebelum kedatangan penjajah
menjadi cerminan nilai-nilai lokal yang mengakar kuat dalam kehidupan
masyarakat. Sementara itu, pengaruh hukum Islam berkembang melalui peran
kerajaan-kerajaan Islam dan penyebaran agama Islam, terutama dalam bidang
perdata seperti waris, pernikahan, dan wakaf. Sedangkan hukum barat, khususnya
sistem hukum sipil (civil law), diperkenalkan secara sistematis oleh pemerintah
kolonial Belanda melalui kodifikasi hukum seperti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek
van Strafrecht (WvS)2.
Ciri lain dari
sistem hukum Indonesia adalah kodifikasi hukum secara tertulis,
yang terlihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibakukan.
Namun, di sisi lain, sistem ini juga memberikan tempat bagi hukum tidak
tertulis, seperti hukum adat dan yurisprudensi, untuk berperan dalam kehidupan
hukum masyarakat.
3.2.
Asas-Asas dalam Sistem Hukum
Indonesia
Sistem hukum
Indonesia menjunjung tinggi asas-asas universal dalam hukum modern, tetapi juga
berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis negara. Beberapa
asas penting dalam sistem hukum Indonesia antara lain:
1)
Asas legalitas (nullum
crimen sine lege, nullum poena sine lege)
Tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa
dasar hukum terlebih dahulu. Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum
pidana dan menjadi jaminan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang oleh
negara3.
2)
Asas persamaan di hadapan
hukum (equality before the law)
Semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata
hukum, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, maupun etnis4.
3)
Asas due process of law
Setiap individu berhak mendapatkan proses hukum
yang adil dan sesuai prosedur. Ini mencakup hak atas pembelaan, peradilan yang
independen, dan putusan yang obyektif.
4)
Asas kepastian hukum dan
keadilan
Hukum tidak hanya dituntut jelas dan dapat
diprediksi, tetapi juga harus mencerminkan keadilan substantif bagi seluruh
warga negara.
Penerapan asas-asas
ini tidak terlepas dari tantangan dalam pelaksanaan, seperti ketimpangan akses
terhadap keadilan dan penyalahgunaan kekuasaan, yang mengharuskan adanya
pengawasan yang ketat dan reformasi berkelanjutan.
3.3.
Sumber-Sumber Hukum Indonesia
Sumber hukum di
Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu sumber
hukum formal dan sumber hukum material. Sumber
hukum formal adalah bentuk-bentuk yang diakui secara sah sebagai dasar
berlakunya hukum, sedangkan sumber hukum material adalah latar belakang
historis, budaya, dan nilai sosial yang memengaruhi isi dari hukum tersebut5.
Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, urutan sumber hukum formal di Indonesia antara lain:
1)
Undang-Undang Dasar 1945
2)
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3)
Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
4)
Peraturan Pemerintah
5)
Peraturan Presiden
6)
Peraturan Daerah (provinsi
dan kabupaten/kota)6
Selain itu, terdapat
sumber hukum lain yang penting, yaitu:
·
Yurisprudensi:
Putusan-putusan pengadilan yang dijadikan rujukan untuk kasus serupa
berikutnya.
·
Traktat atau
perjanjian internasional: Mengikat jika telah diratifikasi.
·
Doktrin atau
pendapat ahli hukum: Meskipun tidak mengikat, sering menjadi rujukan
dalam interpretasi hukum oleh hakim.
Keseluruhan sumber
hukum ini bekerja secara sistemik dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Namun, supremasi UUD 1945 tetap menjadi tolok ukur
utama dalam menilai sah atau tidaknya suatu peraturan hukum, sehingga menjamin
keterpaduan dalam sistem hukum nasional.
Footnotes
[1]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa,
1986), 24–26.
[2]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI
Press, 1986), 45.
[3]
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), 16.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 109.
[5]
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Liberty, 2009), 33–35.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7.
4.
Struktur
Kelembagaan Peradilan di Indonesia
Struktur kelembagaan
peradilan di Indonesia diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan
diperkuat dalam berbagai undang-undang organik. Lembaga peradilan memainkan
peran krusial dalam menegakkan hukum, keadilan, dan menjaga supremasi
konstitusi. Konfigurasi lembaga peradilan di Indonesia dirancang dalam kerangka
kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”1.
Secara umum,
struktur peradilan Indonesia terbagi menjadi dua tingkatan utama:
1)
Lembaga peradilan umum dan
khusus di bawah Mahkamah Agung, dan
2)
Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang fungsi kehakiman dalam
sistem ketatanegaraan.
4.1.
Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung
merupakan puncak lembaga peradilan yang membawahi empat lingkungan peradilan: peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Kedudukan dan kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. MA berfungsi sebagai pengadilan kasasi, pengawas tertinggi terhadap
perilaku hakim, dan memiliki kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial
review terbatas)2.
MA juga memiliki
fungsi administratif terhadap lembaga-lembaga peradilan di bawahnya serta
memberikan pembinaan teknis dan organisasi peradilan. Untuk memastikan
keseragaman penerapan hukum, MA menerbitkan putusan yurisprudensi yang
menjadi acuan dalam penyelesaian perkara serupa.
4.2.
Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi
didirikan sebagai lembaga baru pasca-amendemen UUD 1945, dengan mandat khusus
dalam menegakkan konstitusionalitas hukum. MK memiliki empat kewenangan utama,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945, yaitu:
1)
Menguji undang-undang terhadap UUD
1945,
2)
Memutus sengketa kewenangan
antar-lembaga negara,
3)
Memutus pembubaran partai politik,
dan
4)
Memutus perselisihan hasil
pemilihan umum3.
Selain itu, MK
memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum berat oleh Presiden/Wakil Presiden. MK menjadi benteng
terakhir dalam menjaga supremasi konstitusi dan pelindung hak-hak
konstitusional warga negara.
4.3.
Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial
merupakan lembaga mandiri yang memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku
hakim dan kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung. Berdasarkan Pasal
24B UUD 1945, KY dibentuk untuk menjaga integritas dan kelayakan moral hakim,
terutama hakim agung di Mahkamah Agung4.
Meskipun memiliki
peran penting, kewenangan KY kerap menjadi polemik dalam sistem ketatanegaraan,
terutama terkait hubungan antarlembaga yudikatif dan independensi hakim. Namun,
keberadaannya tetap diperlukan sebagai mekanisme akuntabilitas internal dalam
tubuh kekuasaan kehakiman.
4.4.
Struktur Empat Lingkungan Peradilan
1)
Peradilan Umum
Mengadili perkara pidana dan perdata. Bertugas di
tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT).
2)
Peradilan Agama
Menangani perkara di bidang perkawinan, waris,
wakaf, zakat, dan ekonomi syariah bagi umat Islam. Diatur dalam UU No. 3 Tahun
20065.
3)
Peradilan Militer
Menangani pelanggaran hukum oleh anggota TNI.
Diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997.
4)
Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN)
Mengadili sengketa antara warga negara dengan
pejabat administrasi negara, seperti keputusan izin, pengangkatan, atau
pencabutan hak administratif.
Empat lingkungan
peradilan tersebut secara struktural berada di bawah koordinasi Mahkamah Agung,
kecuali Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang memiliki status independen
dalam sistem kelembagaan negara.
Kesimpulan
Sementara
Struktur kelembagaan
peradilan di Indonesia mencerminkan prinsip pemisahan kekuasaan dan
independensi kekuasaan kehakiman dalam sistem demokrasi konstitusional. Peran
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial yang saling melengkapi
menunjukkan komitmen negara untuk menegakkan hukum dan menjamin keadilan bagi
seluruh warga negara, meskipun implementasinya tetap menghadapi tantangan berupa
korupsi, ketidaksetaraan akses, dan kekurangan sumber daya.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 Ayat
(1).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C
Ayat (1).
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran
Negara RI Tahun 2006 No. 22.
5.
Mekanisme
dan Proses Penegakan Hukum
Penegakan hukum
merupakan suatu proses sistemik yang melibatkan berbagai institusi, perangkat
hukum, serta prosedur yang bertujuan untuk menjamin kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan hukum bagi seluruh warga negara. Dalam konteks negara hukum
Indonesia, penegakan hukum tidak hanya menjadi tugas lembaga peradilan, tetapi juga
melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan advokat,
yang berperan sejak tahap awal penanganan perkara hingga putusan akhir
pengadilan1.
5.1.
Tahapan Proses Penegakan Hukum
Penegakan hukum di
Indonesia pada umumnya mengikuti tiga tahapan utama, yaitu:
1)
Tahap Pra-Peradilan
Tahap ini mencakup proses penyelidikan
dan penyidikan oleh aparat kepolisian dan penyidik kejaksaan. Proses
ini bertujuan mengumpulkan bukti awal untuk memastikan apakah terdapat dugaan
tindak pidana yang dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan. Prinsip legalitas
dan prosedur hukum yang sah menjadi dasar agar tindakan
penyidik tidak melanggar hak-hak tersangka2.
2)
Tahap Penuntutan
Setelah penyidikan dinyatakan lengkap (P-21),
berkas perkara dilimpahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan. Jaksa penuntut umum akan menyusun dakwaan dan membawa perkara ke pengadilan.
Dalam tahap ini, jaksa bertindak sebagai wakil negara untuk menuntut
pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku tindak pidana3.
3)
Tahap Persidangan dan
Putusan
Proses peradilan dilakukan secara terbuka untuk
umum (kecuali dalam perkara tertentu seperti anak dan kesusilaan), dengan
menghadirkan terdakwa, jaksa, pembela, dan hakim. Sidang pengadilan menjadi
forum untuk menguji bukti dan fakta secara objektif. Putusan pengadilan dapat
berupa pemidanaan, pembebasan, atau lepas dari segala tuntutan hukum. Terhadap
putusan tersebut, tersedia mekanisme banding, kasasi, dan peninjauan
kembali sebagai bentuk jaminan atas keadilan prosedural4.
5.2.
Peran Lembaga Penegak Hukum
1)
Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri)
Bertugas sebagai penyidik utama dalam perkara
pidana, Polri juga berperan dalam menjaga keamanan, ketertiban masyarakat,
serta mencegah terjadinya tindak kejahatan. Dasar hukum kewenangan Polri diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian5.
2)
Kejaksaan Republik
Indonesia
Berwenang melakukan penuntutan dalam perkara
pidana, serta mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Kejaksaan juga terlibat dalam penanganan perkara perdata
dan tata usaha negara atas nama kepentingan negara6.
3)
Advokat dan Bantuan Hukum
Advokat berperan dalam memberikan bantuan hukum
kepada pihak yang terlibat perkara, baik sebagai pembela terdakwa dalam perkara
pidana maupun sebagai kuasa hukum dalam perkara perdata. Jaminan atas hak untuk
didampingi penasihat hukum merupakan bagian dari prinsip due process of
law yang dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat7.
5.3.
Prinsip-Prinsip dalam Penegakan
Hukum
Penegakan hukum di
Indonesia harus berpijak pada prinsip-prinsip fundamental berikut:
·
Prinsip keadilan
(justice): Hukum harus berpihak pada keadilan substansial, bukan
semata-mata formalitas hukum.
·
Prinsip kepastian
hukum (legal certainty): Masyarakat harus memperoleh perlindungan
hukum yang jelas dan dapat diprediksi.
·
Prinsip kemanfaatan
(utility): Penegakan hukum harus memberikan dampak positif bagi
masyarakat secara luas.
·
Prinsip
akuntabilitas dan transparansi: Seluruh proses hukum harus dapat
dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi pengawasan publik.
Namun, kenyataannya,
realisasi prinsip-prinsip tersebut tidak selalu ideal. Masih sering terjadi
kasus penegakan
hukum yang diskriminatif, penyalahgunaan kewenangan, hingga
korupsi dalam lembaga hukum itu sendiri. Oleh karena itu, reformasi struktural
dan kultural menjadi syarat penting untuk menjadikan hukum sebagai sarana
keadilan yang sejati8.
Footnotes
[1]
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), 12.
[2]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 21–22.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 67.
[4]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
(Yogyakarta: Liberty, 1993), 74–76.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 2.
[6]
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana (Jakarta: Kencana, 2011), 53.
[7]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 49.
[8]
Bivitri Susanti, “Reformasi Sistem Penegakan Hukum dan Tantangannya,” Jurnal
Hukum IUS 6, no. 2 (2018): 231–233.
6.
Tantangan
dan Problematika dalam Sistem Hukum dan Peradilan
Meskipun Indonesia
secara konstitusional telah menetapkan diri sebagai negara hukum, dalam
praktiknya sistem hukum dan peradilan nasional masih menghadapi berbagai
tantangan yang menghambat efektivitas dan integritas penegakan hukum.
Kompleksitas permasalahan ini bersifat multidimensional, mencakup aspek
kelembagaan, budaya hukum, sumber daya manusia, serta kendala struktural dan
politik.
6.1.
Korupsi di Sektor Penegakan Hukum
Salah satu
problematika paling serius adalah korupsi dalam lembaga penegak hukum,
baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Laporan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) 2023 oleh Transparency International
menunjukkan bahwa Indonesia mendapat skor 34 dari 100, menandakan tingkat
korupsi yang masih tinggi dan stagnan dalam beberapa tahun terakhir1.
Praktik suap, jual-beli perkara, dan intervensi kekuasaan dalam proses hukum merusak
prinsip keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Fenomena “judicial
corruption” telah menjadi perhatian serius, bahkan Mahkamah
Agung sebagai lembaga yudisial tertinggi tidak luput dari sorotan. Beberapa
hakim tinggi, termasuk hakim agung, pernah tersangkut kasus korupsi,
sebagaimana tercatat dalam data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)2.
6.2.
Ketimpangan Akses terhadap Keadilan
Akses terhadap
keadilan (access to justice) masih menjadi isu besar, terutama bagi masyarakat
miskin, kelompok marjinal, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Kendala
biaya perkara, ketidaktahuan hukum, serta keterbatasan layanan bantuan hukum
menyebabkan banyak warga tidak memperoleh hak hukumnya secara layak. Laporan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2022 mencatat bahwa mayoritas
pengaduan yang masuk berasal dari kalangan masyarakat tidak mampu, dengan
dominasi kasus perdata dan sengketa tanah3.
Selain itu,
diskriminasi hukum kerap terjadi terhadap kelompok rentan, seperti perempuan
dan anak. Kasus-kasus kekerasan berbasis gender seringkali tidak ditangani
secara serius, baik karena lemahnya pemahaman aparat penegak hukum maupun bias
budaya patriarkal dalam proses peradilan4.
6.3.
Ketidakpastian dan Tumpang Tindih
Regulasi
Tantangan lain
adalah ketidakpastian
hukum akibat banyaknya peraturan perundang-undangan yang
tumpang tindih, saling bertentangan, atau multitafsir. Hal ini melemahkan
fungsi hukum sebagai pedoman kehidupan berbangsa. Menurut Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), per akhir 2021 terdapat lebih dari 42.000 regulasi yang aktif,
namun sebagian besar belum terintegrasi secara sistemik5.
Kondisi ini
menyulitkan aparat hukum dalam menerapkan hukum secara konsisten dan membuka
peluang untuk penyalahgunaan kewenangan. Tumpang tindih antara undang-undang
sektoral dan peraturan daerah juga menyebabkan konflik yurisdiksi dan hambatan
koordinasi antarlembaga.
6.4.
Lemahnya Budaya Hukum di Masyarakat
Rendahnya kesadaran
hukum masyarakat menjadi faktor penghambat keberhasilan penegakan hukum. Banyak
warga yang masih mengandalkan pendekatan informal atau kekerasan dalam
menyelesaikan konflik, alih-alih menempuh jalur hukum. Fenomena main hakim
sendiri (vigilantisme), penyelesaian konflik melalui denda adat yang tidak
sejalan dengan prinsip keadilan, dan rendahnya partisipasi hukum warga negara
menunjukkan lemahnya budaya hukum6.
Sikap apatis dan
pesimis masyarakat terhadap keadilan formal juga diperkuat oleh persepsi bahwa
hukum sering berpihak kepada yang kuat dan berduit. Hal ini menunjukkan
perlunya pendidikan hukum masyarakat secara masif dan berkelanjutan.
6.5.
Intervensi Politik terhadap Lembaga
Hukum
Meskipun konstitusi
menjamin independensi kekuasaan kehakiman, dalam praktiknya tidak jarang
lembaga peradilan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan politik. Intervensi
elit terhadap proses hukum, terutama dalam perkara-perkara yang melibatkan
kepentingan ekonomi atau politik, mengancam independensi dan netralitas
pengadilan.
Penunjukan pejabat
dalam lembaga yudisial, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, seringkali
dipengaruhi pertimbangan politis yang tidak sepenuhnya berbasis integritas dan
kompetensi7. Kondisi ini memperlemah legitimasi sistem hukum dan
memperbesar risiko politisasi keadilan.
Kesimpulan
Sementara
Berbagai tantangan
di atas memperlihatkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi
hambatan struktural dan kultural yang kompleks. Untuk mewujudkan negara hukum
yang substantif, tidak cukup hanya dengan reformasi normatif, melainkan juga
dibutuhkan pembenahan kelembagaan, penguatan budaya hukum, dan peningkatan
akuntabilitas dalam sistem peradilan. Hukum harus menjadi instrumen yang
melayani keadilan sosial, bukan sekadar kekuasaan formal.
Footnotes
[1]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023,
accessed May 20, 2025, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Data Penindakan KPK: Kasus Suap
di Lembaga Peradilan 2015–2023, accessed May 20, 2025, https://www.kpk.go.id.
[3]
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Laporan Tahunan 2022: Potret Akses
Keadilan Masyarakat Marginal (Jakarta: LBH Jakarta, 2023), 12–13.
[4]
Komnas Perempuan, Catahu 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap
Perempuan, accessed May 20, 2025, https://komnasperempuan.go.id.
[5]
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Inventarisasi
Peraturan Perundang-Undangan Nasional Tahun 2021 (Jakarta: Kemenkumham,
2022), 6.
[6]
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Menegakkan Hukum Progresif
(Jakarta: Kompas, 2009), 34.
[7]
Bivitri Susanti, “Politik Hukum dalam Penunjukan Hakim Konstitusi:
Kecenderungan dan Risiko Demokrasi,” Jurnal Konstitusi 16, no. 2
(2019): 227–230.
7.
Studi
Kasus dan Analisis Kritis
Untuk memperoleh
pemahaman yang lebih konkret mengenai dinamika sistem hukum dan peradilan di
Indonesia, diperlukan kajian berbasis kasus nyata yang menunjukkan sejauh mana
prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai negara hukum dijalankan dalam
praktik. Studi kasus berikut ini dipilih karena merepresentasikan kompleksitas
penegakan hukum dan tantangan integritas peradilan di Indonesia.
7.1.
Studi Kasus: Skandal Korupsi Hakim
Agung Sudrajad Dimyati (2022)
Pada tahun 2022,
publik dikejutkan dengan ditangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati
oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap penanganan perkara
di Mahkamah Agung. Kasus ini mencoreng wajah lembaga peradilan tertinggi
Indonesia dan menjadi indikator kuat bahwa praktik jual-beli
perkara masih terjadi secara sistemik di tubuh peradilan1.
Dalam penjelasan
KPK, Sudrajad menerima suap melalui perantara staf dan pegawai MA untuk
mempengaruhi putusan sebuah sengketa kasasi yang melibatkan koperasi simpan
pinjam. Praktik ini menabrak prinsip imparsialitas peradilan, independensi
hakim, dan mengkhianati asas “audi et alteram partem”
(mendengar kedua belah pihak secara adil). Hal ini sekaligus memperlihatkan
lemahnya sistem pengawasan internal Mahkamah Agung dan kurangnya efektivitas
peran Komisi Yudisial dalam mencegah pelanggaran etik hakim2.
7.2.
Studi Kasus: Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 (Syarat Usia Capres-Cawapres)
Kasus lain yang
memicu perdebatan hukum dan etika konstitusional adalah putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah
ketentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden dengan menambahkan frasa
“pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu”. Putusan ini
menuai kritik luas karena dinilai memberikan keistimewaan hukum bagi tokoh
tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan hakim MK, sehingga
mengundang tuduhan konflik kepentingan dan intervensi politik3.
Banyak pakar hukum
tata negara menilai bahwa MK dalam perkara ini telah melampaui
kewenangannya dengan melakukan interpretasi yang cenderung
politis dan tidak objektif terhadap norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang
Pemilu. Keputusan tersebut, menurut kritik, menurunkan kepercayaan publik
terhadap MK sebagai pengawal konstitusi dan pelindung hak-hak dasar warga
negara4.
7.3.
Analisis Kritis
Dua kasus di atas
mencerminkan kegagalan institusi hukum dalam menjalankan fungsi
etik, normatif, dan konstitusionalnya secara ideal. Dalam kasus
MA, pelanggaran etika dan integritas menggambarkan lemahnya sistem pengawasan
dan keberlanjutan budaya koruptif di lembaga kehakiman. Sementara dalam kasus
MK, problemnya bukan pada pelanggaran pidana, tetapi pada keputusan
yang mengaburkan batas antara independensi yudisial dan kepentingan kekuasaan
politik.
Secara teoritis,
lembaga peradilan seharusnya menjunjung tinggi prinsip "rule
of law", yakni supremasi hukum yang menempatkan semua
orang setara di hadapan hukum dan menjamin pemisahan kekuasaan secara nyata5.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa independensi peradilan di Indonesia masih
terancam oleh infiltrasi kepentingan luar yang melemahkan keadilan substansial.
Ini berbahaya bagi demokrasi karena merusak kepercayaan masyarakat terhadap
hukum sebagai instrumen keadilan.
Tantangan ini
menunjukkan pentingnya penguatan mekanisme akuntabilitas horizontal dan vertikal,
mulai dari reformasi rekrutmen hakim, penguatan peran Komisi Yudisial, hingga
mendorong masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi jalannya kekuasaan
kehakiman. Tanpa kontrol dan koreksi kolektif, sistem peradilan akan terjebak
dalam stagnasi moral yang mengancam legitimasi hukum itu sendiri6.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, “KPK Tetapkan Hakim Agung Sudrajad
Dimyati Sebagai Tersangka Suap Penanganan Perkara di MA,” Siaran Pers KPK,
September 23, 2022, https://www.kpk.go.id.
[2]
Bivitri Susanti, “Skandal Hakim Agung: Wajah Retak Sistem Peradilan,” Jurnal
Hukum & Etika, vol. 4, no. 2 (2023): 112–114.
[3]
Zainal Arifin Mochtar, “Mengurai Putusan MK Soal Syarat Usia
Capres: Kritik Yuridis dan Politik,” Jurnal Konstitusi 21, no. 1
(2024): 45–48.
[4]
Refly Harun, “Hakim Konstitusi dalam Pusaran Politik: Kajian Etika
Yudisial dan Reformasi Konstitusi,” (Jakarta: Forum Konstitusi, 2024), 89.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Negara Hukum (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 59–61.
[6]
Saldi Isra, “Menjaga Marwah Lembaga Peradilan di Tengah Krisis
Kepercayaan,” Kompas, 17 Oktober 2023.
8.
Refleksi
Kewarganegaraan
Salah satu tujuan
utama pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang berwawasan
hukum, sadar konstitusi, dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Dalam konteks sistem hukum dan peradilan di Indonesia, refleksi kewarganegaraan
menjadi sangat penting sebagai upaya menyadarkan masyarakat—khususnya generasi
muda—akan perannya dalam mendukung tegaknya negara hukum yang demokratis dan
berkeadilan.
8.1.
Pentingnya Kesadaran Hukum dalam
Kehidupan Berbangsa
Kesadaran hukum
merupakan indikator penting kedewasaan demokrasi suatu bangsa. Masyarakat yang
sadar hukum bukan hanya mematuhi hukum karena takut pada sanksi, tetapi juga
karena memahami dan menerima hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan dan
ketertiban sosial. Kesadaran hukum yang tinggi
akan menumbuhkan budaya patuh terhadap norma, mendorong perilaku warga negara
yang bertanggung jawab, serta memperkuat legitimasi institusi hukum1.
Namun, dalam
kenyataan sosial, tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih bervariasi
dan sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, dan budaya lokal.
Oleh karena itu, pendidikan hukum bagi warga negara harus dimulai sejak dini,
termasuk melalui kurikulum di sekolah dan kampanye publik yang berkelanjutan2.
8.2.
Peran Aktif Warga Negara dalam
Menegakkan Hukum
Warga negara tidak
boleh hanya menjadi objek hukum, tetapi harus tampil sebagai subjek
yang kritis dan partisipatif. Dalam negara demokrasi, rakyat
memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya kekuasaan, termasuk dalam
sektor peradilan. Mekanisme partisipasi dapat dilakukan melalui:
·
Penggunaan hak untuk
melapor apabila terjadi penyimpangan hukum,
·
Partisipasi dalam pemilu
yang bebas dan adil untuk memilih pemimpin yang menjunjung supremasi hukum,
·
Keterlibatan dalam
organisasi masyarakat sipil, media, maupun forum-forum edukatif yang mendorong
reformasi hukum3.
Kontribusi semacam
ini menunjukkan bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas lembaga formal, tetapi
juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
8.3.
Internalisasi Nilai Konstitusi dalam
Praktik Kewarganegaraan
Konstitusi tidak
hanya memuat norma hukum, tetapi juga nilai-nilai luhur kebangsaan yang harus
diinternalisasi oleh setiap warga negara. Prinsip persamaan
di depan hukum (equality before the law), jaminan
hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap kelompok rentan
harus menjadi kesadaran moral dan sosial warga negara dalam kehidupan
sehari-hari4.
Dengan menjadikan
konstitusi sebagai acuan dalam bertindak, warga negara akan lebih peka terhadap
ketidakadilan, serta mampu menolak praktik-praktik yang bertentangan dengan
nilai-nilai hukum dan demokrasi, seperti korupsi, kekerasan, dan diskriminasi
hukum. Hal ini sejalan dengan misi Pancasila sebagai dasar ideologis yang
mengedepankan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab5.
8.4.
Menjadi Warga Negara Progresif dan
Transformatif
Dalam era modern dan
global yang sarat tantangan, warga negara Indonesia dituntut untuk menjadi subjek
aktif transformasi sosial yang berpijak pada hukum dan moralitas publik.
Hal ini meliputi keberanian menyuarakan kebenaran, menolak ketidakadilan, serta
berperan dalam mengawal reformasi sistem hukum melalui kanal-kanal demokratis.
Warga negara progresif adalah mereka yang tidak pasif terhadap kebobrokan
hukum, melainkan aktif menawarkan solusi dan membangun kesadaran kolektif untuk
perubahan6.
Kesimpulan
Reflektif
Refleksi
kewarganegaraan dalam konteks sistem hukum dan peradilan di Indonesia
menekankan bahwa tegaknya negara hukum bukan semata hasil kerja lembaga formal,
melainkan buah dari partisipasi aktif, kesadaran hukum, dan keteladanan warga
negara. Oleh karena itu, pembentukan karakter kewarganegaraan yang kritis,
sadar hukum, dan berbasis konstitusi harus menjadi agenda prioritas dalam
pendidikan dan kehidupan berbangsa.
Footnotes
[1]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), 24.
[2]
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 15–18.
[3]
Bivitri Susanti, “Partisipasi Publik dan Reformasi Peradilan: Evaluasi
Kritis atas Peran Masyarakat Sipil,” Jurnal Hukum IUS 7, no. 1 (2019):
142–144.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 102.
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 331.
[6]
Paulus Wirutomo, Sosiologi Kritis: Warga Negara dan Transformasi
Sosial (Jakarta: UI Press, 2010), 91.
9.
Penutup
Sistem hukum dan
peradilan di Indonesia merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara
hukum yang demokratis. Dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, struktur kelembagaan hukum dibentuk untuk menjamin
kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh warga negara. Dalam
kerangka tersebut, lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
dan Komisi Yudisial memiliki peran strategis dalam memastikan berjalannya
prinsip-prinsip konstitusional dan penegakan hukum yang adil1.
Namun, realitas
praktik hukum di Indonesia masih jauh dari harapan ideal. Tantangan serius
seperti korupsi dalam lembaga peradilan,
ketimpangan
akses keadilan, tumpang tindih regulasi, hingga
intervensi
politik terhadap lembaga yudisial mengindikasikan bahwa
reformasi hukum belum sepenuhnya berhasil menciptakan sistem hukum yang bersih,
efektif, dan responsif terhadap kebutuhan keadilan masyarakat2.
Studi kasus atas skandal hakim agung dan putusan kontroversial Mahkamah
Konstitusi menunjukkan bagaimana nilai-nilai hukum seringkali dikalahkan oleh
kepentingan kekuasaan dan ekonomi.
Dalam menghadapi
situasi tersebut, peran aktif warga negara menjadi sangat penting. Penegakan
hukum tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada institusi negara, tetapi harus
melibatkan partisipasi masyarakat sipil, media, akademisi,
dan generasi muda sebagai pengontrol, pengingat, sekaligus
motor penggerak reformasi hukum3. Pendidikan kewarganegaraan harus
diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran hukum, etika konstitusional, dan keberanian
moral dalam memperjuangkan keadilan sosial.
Konsekuensi dari
status Indonesia sebagai negara hukum adalah bahwa seluruh elemen bangsa—baik
pemerintah maupun rakyat—harus tunduk kepada hukum. Namun lebih dari itu, hukum
harus menjadi sarana emansipasi sosial, yaitu membebaskan manusia dari
ketidakadilan dan ketertindasan struktural. Dalam konteks ini, Pancasila
sebagai dasar negara harus menjadi jiwa dari sistem hukum nasional,
yang mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan4.
Oleh karena itu,
membangun sistem hukum yang kuat dan berintegritas memerlukan upaya
kolaboratif: pembaruan regulasi, perbaikan sistem rekrutmen dan pengawasan
hakim, penguatan lembaga peradilan, serta transformasi budaya hukum. Harapan
akan tegaknya negara hukum bukanlah utopia, selama seluruh komponen bangsa
menyadari tanggung jawabnya dalam mengawal hukum sebagai pilar keadaban bangsa
dan peradaban demokrasi.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Negara Hukum (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 47–49.
[2]
Bivitri Susanti, “Reformasi Sistem Hukum di Indonesia: Kemajuan,
Tantangan, dan Harapan,” Jurnal Hukum IUS 8, no. 1 (2020): 93–96.
[3]
Paulus Wirutomo, Sosiologi Kritis: Warga Negara dan Transformasi
Sosial (Jakarta: UI Press, 2010), 88–90.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 318–320.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2022). Laporan
inventarisasi peraturan perundang-undangan nasional tahun 2021. Jakarta:
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Bivitri, S. (2018). Reformasi sistem penegakan
hukum dan tantangannya. Jurnal Hukum IUS, 6(2), 231–233.
Bivitri, S. (2019). Partisipasi publik dan
reformasi peradilan: Evaluasi kritis atas peran masyarakat sipil. Jurnal
Hukum IUS, 7(1), 142–144.
Bivitri, S. (2023). Skandal Hakim Agung: Wajah
retak sistem peradilan. Jurnal Hukum & Etika, 4(2), 112–114.
Harun, R. (2024). Hakim konstitusi dalam pusaran
politik: Kajian etika yudisial dan reformasi konstitusi. Jakarta: Forum
Konstitusi.
Hamzah, A. (2005). Asas-asas hukum pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hamzah, A. (2008). Hukum acara pidana Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan:
Jenis, fungsi, dan materi muatan. Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022, September 23).
KPK tetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka suap penanganan
perkara di MA. https://www.kpk.go.id
Komnas Perempuan. (2023). Catahu 2023: Catatan
tahunan kekerasan terhadap perempuan. https://komnasperempuan.go.id
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. (2023). Laporan
tahunan 2022: Potret akses keadilan masyarakat marginal. Jakarta: LBH
Jakarta.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Mahfud MD, M. (2009). Politik hukum di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Mertokusumo, S. (1993). Hukum acara perdata
Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Mertokusumo, S. (2009). Penemuan hukum: Sebuah
pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Mochtar, Z. A. (2024). Mengurai putusan MK soal
syarat usia capres: Kritik yuridis dan politik. Jurnal Konstitusi, 21(1),
45–48.
Rahardjo, S. (1986). Hukum dan masyarakat.
Bandung: Angkasa.
Rahardjo, S. (2009). Membangun dan menegakkan
hukum progresif. Jakarta: Kompas.
Rahardjo, S. (2009). Penegakan hukum: Suatu
tinjauan sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lembaran Negara RI Tahun 1997 No.
84.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara
RI Tahun 2002 No. 2.
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat. Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 49.
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9.
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara RI
Tahun 2004 No. 67.
Republik Indonesia. (2006). Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Lembaran Negara RI Tahun 2006 No. 22.
Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran
Negara RI Tahun 2011 No. 82.
Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum.
Jakarta: UI Press.
Soekanto, S. (2006). Kesadaran hukum dan
kepatuhan hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Susanti, B. (2020). Reformasi sistem hukum di
Indonesia: Kemajuan, tantangan, dan harapan. Jurnal Hukum IUS, 8(1),
93–96.
Transparency International. (2023). Corruption
perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023
Wirutomo, P. (2010). Sosiologi kritis: Warga
negara dan transformasi sosial. Jakarta: UI Press.
Isra, S. (2023, Oktober 17). Menjaga marwah lembaga
peradilan di tengah krisis kepercayaan. Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar