Senin, 24 Maret 2025

Genealogi: Memahami Akar Identitas dan Sejarah Manusia

Genealogi

Memahami Akar Identitas dan Sejarah Manusia


Abstrak

Artikel ini membahas genealogi secara komprehensif sebagai suatu kajian interdisipliner yang melintasi batas-batas ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, filsafat, hingga genetika modern. Genealogi tidak hanya dimaknai sebagai pelacakan garis keturunan biologis, tetapi juga sebagai konstruksi sosial dan kultural yang membentuk identitas individu dan kolektif. Melalui pendekatan historis dan kritis, artikel ini mengkaji perkembangan genealogi dari masa klasik hingga kontemporer, termasuk peranannya dalam tradisi keagamaan, penggunaan teknologi digital dan tes DNA, serta manfaat dan kontroversi yang menyertainya. Studi-studi kasus dari berbagai latar budaya—seperti keturunan Nabi Muhammad Saw (habaib), silsilah kerajaan Inggris, sistem marga Batak, hingga genealogi digital—dihadirkan untuk menunjukkan ragam aplikasi genealogi dalam praktik nyata. Dengan pendekatan yang berbasis pada sumber-sumber ilmiah kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa genealogi merupakan instrumen penting dalam memahami hubungan manusia dengan sejarah, identitas, dan warisan nilai lintas generasi.

Kata Kunci: Genealogi, identitas, silsilah, sejarah, antropologi, teknologi DNA, tradisi keagamaan, konstruksi sosial, warisan budaya, Foucault.


PEMBAHASAN

Kajian Genealogi Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Genealogi, dalam pengertian paling dasar, adalah ilmu atau praktik yang mempelajari asal-usul dan garis keturunan seseorang atau suatu kelompok. Di tengah dinamika kehidupan modern yang serba cepat, perhatian terhadap akar identitas sering kali terpinggirkan. Padahal, kesadaran terhadap asal-usul dan sejarah keluarga atau kelompok memainkan peran penting dalam membentuk identitas kultural, sosial, bahkan spiritual seseorang. Genealogi tidak hanya berkaitan dengan susunan nama dalam pohon keluarga, melainkan juga merekam ingatan kolektif, hubungan sosial, peran historis, dan makna simbolik dari keberadaan suatu komunitas manusia.

Kajian tentang genealogi memiliki posisi penting dalam berbagai bidang keilmuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, bahkan filsafat. Dalam sejarah, genealogi digunakan untuk menelusuri hubungan antarkeluarga bangsawan, dinasti politik, atau figur-figur penting dalam suatu peradaban.¹ Dalam antropologi, konsep genealogi menjadi kunci dalam memahami sistem kekerabatan (kinship), struktur sosial, dan transmisi budaya antar generasi.² Sementara itu, dalam filsafat kontemporer, Michel Foucault menggunakan pendekatan genealogis sebagai alat kritik terhadap narasi-narasi kekuasaan yang tersembunyi dalam sejarah dan pengetahuan.³

Kebutuhan manusia untuk mengetahui asal-usulnya telah menjadi fenomena universal yang melintasi ruang dan waktu. Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, pencatatan silsilah atau nasab menjadi bagian penting dari pemeliharaan identitas dan otoritas sosial. Dalam Islam, misalnya, genealogi memiliki peran penting dalam validasi nasab Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, serta dalam memastikan keabsahan sanad hadis.⁴ Dalam tradisi Kristen dan Yahudi, silsilah tokoh-tokoh dalam Kitab Kejadian dan Injil menjadi bagian dari legitimasi teologis atas klaim keilahian atau kenabian.⁵ Di masyarakat tradisional Nusantara, genealogi dipelihara dalam bentuk cerita rakyat, trah keluarga, atau naskah kuno seperti Babad dan silsilah kerajaan.⁶

Dalam konteks modern, studi genealogi mengalami revitalisasi melalui bantuan teknologi digital dan bioteknologi, seperti tes DNA dan basis data genealogi daring. Namun, perkembangan ini juga memunculkan pertanyaan etis terkait privasi, otentisitas data, dan potensi penyalahgunaan informasi genetika.⁷ Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya memahami genealogi sebagai struktur data semata, tetapi juga sebagai konstruksi sosial, budaya, dan historis yang kompleks.

Melalui artikel ini, pembaca diajak untuk menggali secara mendalam makna dan peran genealogi dari berbagai perspektif keilmuan dan tradisi. Dengan pendekatan interdisipliner, diharapkan pemahaman terhadap akar identitas dan sejarah manusia dapat lebih utuh dan reflektif.


Footnotes

[1]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 5–6.

[2]                Robert H. Lowie, Primitive Society (New York: Boni and Liveright, 1920), 65–87.

[3]                Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language, Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[4]                Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 14–20.

[5]                Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 113–116.

[6]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.

[7]                Deborah L. McGuire and Theresa M. Glover, “Ethical Issues in Genetic Genealogy,” The Journal of Law, Medicine & Ethics 48, no. 1 (2020): 157–166.


2.           Definisi dan Asal Usul Konsep Genealogi

Secara etimologis, kata genealogi berasal dari bahasa Yunani genea (γενεά) yang berarti “keluarga” atau “generasi”, dan logos (λόγος) yang berarti “ilmu” atau “kajian”. Secara harfiah, genealogi berarti “kajian tentang keturunan” atau “ilmu tentang asal-usul”.¹ Dalam perkembangan bahasa Latin, istilah ini menjadi genealogia, dan kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya sebagai genealogy

Menurut Oxford English Dictionary, genealogy didefinisikan sebagai “an account of the descent of a person, family, or group from an ancestor or ancestors.”³ Dalam konteks ini, genealogi dimaknai sebagai catatan atau kajian tentang hubungan darah atau keturunan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), genealogi diartikan sebagai "asal usul atau silsilah keturunan."_⁴

Namun, dalam perkembangan akademik kontemporer, terutama sejak pengaruh pemikiran Michel Foucault, istilah genealogi mengalami perluasan makna yang signifikan. Foucault tidak membatasi genealogi sebagai studi silsilah biologis atau keluarga, melainkan sebagai metode kritik sejarah terhadap pembentukan wacana, praktik, dan institusi sosial.⁵ Bagi Foucault, pendekatan genealogis digunakan untuk mengungkap asal-usul tersembunyi dan relasi kekuasaan dalam konstruksi kebenaran historis, yang sering kali tidak bersifat linear atau tunggal.⁶ Dalam artikelnya “Nietzsche, Genealogy, History”, Foucault menekankan bahwa genealogi bukanlah pencarian asal-usul murni (origin), melainkan pelacakan transformasi, pergolakan, dan kontingensi sejarah dari ide-ide dan praktik.⁷

Perlu dibedakan pula antara istilah genealogi, historiografi, dan silsilah. Historiografi adalah penulisan atau penafsiran sejarah berdasarkan metode dan sumber tertentu, sedangkan silsilah biasanya merujuk pada bagan atau daftar runtut nama dalam satu garis keturunan. Genealogi, dalam pengertian luasnya, tidak hanya mencatat nama-nama, melainkan juga mengkaji konteks sosial, politik, dan budaya dari relasi-relasi tersebut.⁸

Dalam disiplin antropologi, kajian genealogi memiliki kedudukan penting dalam memahami struktur kekerabatan dan relasi sosial. Antropolog seperti Bronisław Malinowski dan Claude Lévi-Strauss mengembangkan teori kekerabatan yang menunjukkan bagaimana hubungan genealogis membentuk sistem sosial dan budaya suatu masyarakat.⁹ Selain itu, dalam studi sejarah dan sosiologi, genealogi juga digunakan untuk melacak mekanisme pewarisan kekuasaan, legitimasi, dan identitas kolektif dalam konteks kerajaan, suku, atau masyarakat adat.¹⁰

Dengan demikian, konsep genealogi bukan sekadar pelacakan garis keturunan biologis, tetapi juga merupakan instrumen penting dalam memahami bagaimana identitas, kekuasaan, nilai, dan pengetahuan diwariskan, dikonstruksi, dan dipertahankan sepanjang sejarah.


Footnotes

[1]                John M. Merriman, A History of Modern Europe: From the Renaissance to the Present, 3rd ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2009), 7.

[2]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 2–3.

[3]                Oxford English Dictionary, s.v. “genealogy,” accessed March 25, 2025, https://www.oed.com.

[4]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. V (Jakarta: Kemdikbud, 2016), s.v. “genealogi.”

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 78–80.

[6]                Clare O’Farrell, Michel Foucault (London: Sage Publications, 2005), 50–52.

[7]                Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language, Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 142.

[8]                Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 15–16.

[9]                Claude Lévi-Strauss, The Elementary Structures of Kinship, trans. James Harle Bell and John Richard von Sturmer (Boston: Beacon Press, 1969), 41–45.

[10]             Patrick H. Hutton, “Foucault, Freud, and the Technologies of the Self: A Genealogical Perspective,” The Journal of European Studies 12, no. 1 (1990): 121–131.


3.           Genealogi dalam Kajian Ilmiah

Genealogi tidak hanya relevan dalam praktik sosial atau budaya, tetapi juga memiliki peran penting dalam berbagai disiplin ilmu. Kajian genealogis berkembang secara interdisipliner dalam sejarah, antropologi, sosiologi, filsafat, hingga studi-studi kritis kontemporer. Masing-masing bidang memberikan kontribusi konseptual dan metodologis dalam memahami fungsi genealogi sebagai alat untuk menelusuri asal-usul, struktur kekuasaan, relasi sosial, dan identitas kolektif manusia.

3.1.       Genealogi dalam Ilmu Sejarah

Dalam historiografi klasik, genealogi digunakan sebagai sarana pelacakan garis keturunan tokoh-tokoh penting dalam sejarah, terutama keluarga kerajaan, bangsawan, dan pemimpin politik. Penulisan silsilah sering kali bertujuan untuk melegitimasi klaim kekuasaan, menetapkan hak waris, atau mengabadikan martabat sosial suatu keluarga atau kelompok elite.¹ Genealogi dalam konteks ini menjadi instrumen historis sekaligus politis yang mengaitkan identitas masa kini dengan kejayaan masa lalu.

Para sejarawan seperti François Weil dan David Cannadine menekankan bahwa genealogi pada masa pra-modern erat kaitannya dengan upaya pelestarian memori sosial dalam bentuk kronik keluarga atau dinasti.² Dalam konteks Islam, sejarah Islam klasik mencatat berbagai kitab nasab (buku silsilah), seperti Jamharah Ansab al-‘Arab karya Ibn Hazm, yang mendokumentasikan dengan teliti hubungan garis keturunan Arab, khususnya nasab Nabi Muhammad Saw.³

Namun dalam sejarah modern, pendekatan terhadap genealogi mengalami perubahan. Sejarawan mulai mempertanyakan keabsahan dan objektivitas klaim-klaim genealogis, serta menelaahnya sebagai konstruksi sosial yang dibentuk oleh kebutuhan naratif atau ideologis tertentu._⁴

3.2.       Genealogi dalam Antropologi dan Sosiologi

Dalam ilmu antropologi, genealogi sangat penting untuk memahami sistem kekerabatan (kinship) dan struktur sosial dalam masyarakat. Penelitian antropologis awal oleh Bronisław Malinowski, Alfred Radcliffe-Brown, dan Claude Lévi-Strauss menunjukkan bahwa hubungan genealogis tidak hanya mengatur hubungan darah, tetapi juga mengatur hak-hak sosial, aturan pernikahan, dan distribusi sumber daya dalam suatu kelompok._⁵

Claude Lévi-Strauss mengembangkan teori strukturalisme kekerabatan yang menekankan bahwa relasi genealogis bersifat simbolik dan terstruktur, serta merefleksikan cara suatu masyarakat mengorganisasi identitas dan kekuasaan.⁶ Dalam pendekatan sosiologis, genealogi sering digunakan untuk menganalisis warisan status sosial, mobilitas antargenerasi, serta pola pewarisan nilai dan norma dalam keluarga._⁷

Kajian-kajian semacam ini penting untuk memahami bahwa genealogi bukan hanya data biologis, tetapi juga representasi ideologis dan institusional dari sistem sosial._⁸

3.3.       Genealogi dalam Filsafat dan Pemikiran Kritis

Pemikiran filsafat kontemporer, terutama sejak Nietzsche dan Foucault, memperluas makna genealogi menjadi metode kritik sejarah. Friedrich Nietzsche dalam Zur Genealogie der Moral (Genealogi Moral) mengkritik nilai-nilai moral Barat sebagai hasil konstruksi historis yang lahir dari konflik kekuasaan, bukan dari kebenaran universal.⁹

Michel Foucault kemudian mengembangkan pendekatan ini lebih jauh, dengan menggunakan genealogi sebagai cara untuk mengungkap proses historis di balik formasi wacana, institusi, dan kebenaran._ⁱ⁰ Foucault menolak narasi sejarah yang bersifat linear dan teleologis, dan justru melihat sejarah sebagai ruang pertarungan antarpraktik sosial yang saling memproduksi makna dan kekuasaan. Baginya, genealogi bertujuan untuk “membuka kemungkinan lain dari masa kini dengan membongkar asal-usulnya yang tak stabil.”_¹¹

Dalam pendekatan ini, genealogi menjadi alat refleksi kritis terhadap asal-usul pemikiran, ideologi, hukum, agama, dan bahkan identitas diri.


Kesimpulan Sementara

Dari sudut pandang keilmuan, genealogi adalah konsep yang lentur dan multidimensi. Ia dapat berfungsi sebagai alat pelacakan historis yang faktual, kerangka analisis sosial-budaya, maupun metode dekonstruktif terhadap narasi kekuasaan dan kebenaran. Pendekatan yang beragam ini memperkaya pemahaman kita terhadap bagaimana manusia menyusun, mewarisi, dan menafsirkan asal-usulnya dalam konteks yang terus berubah.


Footnotes

[1]                David Cannadine, The Decline and Fall of the British Aristocracy (New Haven: Yale University Press, 1990), 52–55.

[2]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 15–20.

[3]                Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 14–36.

[4]                Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 18–21.

[5]                Bronisław Malinowski, The Family Among the Australian Aborigines: A Sociological Study (London: University of London Press, 1913), 67–70.

[6]                Claude Lévi-Strauss, The Elementary Structures of Kinship, trans. James Harle Bell and John Richard von Sturmer (Boston: Beacon Press, 1969), 41–45.

[7]                Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G. Richardson (New York: Greenwood, 1986), 241–258.

[8]                Jack Goody, The Development of the Family and Marriage in Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 99–102.

[9]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 24–27.

[10]             Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language, Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[11]             Clare O’Farrell, Michel Foucault (London: Sage Publications, 2005), 54–56.


4.           Genealogi dalam Tradisi Keagamaan

Genealogi memegang peranan penting dalam banyak tradisi keagamaan di dunia, bukan hanya sebagai catatan historis tentang keturunan, tetapi juga sebagai legitimasi spiritual, sosial, dan teologis. Di dalam agama-agama samawi seperti Islam, Kristen, dan Yudaisme, silsilah tokoh-tokoh suci sering kali dijadikan dasar penguatan otoritas keagamaan dan sebagai penjaga keaslian ajaran. Dalam tradisi-tradisi lokal, genealogi juga hadir sebagai penopang kekuatan budaya dan kesakralan suatu komunitas atau kepemimpinan.

4.1.       Genealogi dalam Tradisi Islam

Dalam Islam, kajian tentang nasab (silsilah atau keturunan) mendapat perhatian sangat besar, terutama terkait dengan nasab Nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan ulama-ulama penting dalam sejarah Islam. Kejelasan nasab tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga spiritual. Salah satu dasar keutamaannya adalah sabda Nabi Muhammad Saw: “Pelajarilah nasab-nasab kalian agar kalian bisa menyambung silaturahmi.”_¹

Para ulama klasik seperti Ibn Hazm dalam karyanya Jamharah Ansab al-‘Arab menyusun silsilah berbagai kabilah Arab, termasuk nasab Nabi hingga Nabi Ibrahim AS.² Dalam tradisi Sunni, pengetahuan tentang nasab juga penting dalam kajian sanad hadis. Seorang perawi hadis tidak hanya dinilai dari keadilannya, tetapi juga dari ketelusuran dan kredibilitas jalur transmisi pengetahuan, yang bersifat genealogis.³

Genealogi juga menjadi dasar eksistensi keluarga ahlul bait dan para habaib, yakni keturunan Nabi melalui jalur Sayyidina Hasan dan Husein. Di berbagai wilayah Islam, termasuk di Indonesia, keberadaan habaib masih dihormati dan diakui berdasarkan dokumentasi nasab yang terjaga.⁴ Organisasi seperti Rabithah Alawiyah di Indonesia bahkan memiliki Lajnah Tashhih an-Nasab yang bertugas memverifikasi silsilah keturunan Nabi berdasarkan bukti historis dan dokumen nasab resmi.⁵

4.2.       Genealogi dalam Tradisi Yahudi dan Kristen

Dalam tradisi Yudaisme dan Kekristenan, silsilah merupakan bagian integral dari teks-teks suci. Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama memuat daftar silsilah tokoh-tokoh utama sejak Adam hingga Nuh, Abraham, dan seterusnya, sebagai upaya untuk menyusun kronologi ilahi dan memvalidasi janji ketuhanan terhadap Bani Israel.⁶

Dalam Injil Matius dan Injil Lukas, silsilah Yesus Kristus disusun dengan cermat untuk menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Nabi Daud dan Abraham, sebagai bentuk legitimasi mesianik dan teologis.⁷ Silsilah ini penting dalam kerangka keyakinan bahwa Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama akan lahir dari keturunan Daud, dan oleh karena itu, silsilah berfungsi sebagai landasan keabsahan nubuat.⁸

Tradisi Yahudi Ortodoks juga memiliki sistem pencatatan genealogis untuk keperluan keagamaan, seperti pengakuan garis keturunan kohanim (imam keturunan Harun) dan leviim (keturunan Lewi), yang berpengaruh dalam ritual ibadah di sinagoga.⁹

4.3.       Genealogi dalam Tradisi Lokal dan Kepercayaan Tradisional

Di luar agama-agama samawi, banyak tradisi lokal dan kepercayaan tradisional juga menempatkan genealogi sebagai sumber otoritas spiritual dan identitas komunitas. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, silsilah raja-raja Mataram Islam hingga keraton Yogyakarta dan Surakarta dilacak ke garis keturunan tokoh-tokoh legendaris seperti Sultan Agung dan bahkan ke tokoh mitologis seperti Nabi Adam atau Iskandar Zulkarnain.¹⁰

Teks-teks tradisional seperti Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah silsilah keraton merupakan bentuk dokumentasi genealogi yang berfungsi memperkuat legitimasi politik dan kesakralan dinasti.¹¹ Di Minangkabau, sistem matrilineal menjadikan garis keturunan ibu sebagai penentu identitas klan (suku), dan hal ini berdampak pada warisan tanah, kepemimpinan adat, dan relasi sosial.¹²

Demikian pula dalam tradisi suku-suku di Afrika, Polinesia, atau masyarakat adat Amerika, genealogi dijaga secara lisan maupun tertulis sebagai bagian dari narrative memory, yakni memori kolektif yang menghubungkan leluhur dengan generasi kini, serta dengan tanah dan alam semesta.¹³


Kesimpulan Sementara

Tradisi keagamaan dan budaya di seluruh dunia memperlihatkan bahwa genealogi lebih dari sekadar urusan biologis. Ia adalah instrumen sakral yang memelihara nilai-nilai identitas, otoritas, dan kesetiaan kepada ajaran leluhur. Dalam konteks ini, genealogi berperan sebagai penghubung antara masa lalu yang dihormati dan masa kini yang diwarisi, sekaligus sebagai panduan spiritual untuk masa depan.


Footnotes

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, Hadis no. 5102.

[2]                Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 15–40.

[3]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 68–71.

[4]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2019), 150–152.

[5]                Rabithah Alawiyah, Panduan Pendaftaran Nasab dan Sertifikasi Habaib (Jakarta: Lajnah Tashhih An-Nasab, 2018), 7–10.

[6]                Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 113–116.

[7]                Raymond E. Brown, The Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in Matthew and Luke (New York: Doubleday, 1993), 93–102.

[8]                James D. G. Dunn, Jesus Remembered (Grand Rapids: Eerdmans, 2003), 236–239.

[9]                Shaye J. D. Cohen, The Beginnings of Jewishness: Boundaries, Varieties, Uncertainties (Berkeley: University of California Press, 1999), 132–134.

[10]             M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 45–47.

[11]             H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Jakarta: Grafiti Press, 2001), 122–126.

[12]             Taufik Abdullah, Adat dan Islam: Minangkabau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1971), 33–36.

[13]             Jan Vansina, Oral Tradition as History (Madison: University of Wisconsin Press, 1985), 101–105.


5.           Perkembangan Genealogi di Era Modern

Memasuki era modern dan kontemporer, studi genealogi mengalami transformasi besar, baik dari segi pendekatan metodologis maupun fungsi sosialnya. Jika pada masa lampau genealogi erat kaitannya dengan pelestarian silsilah bangsawan, ulama, atau tokoh penting, maka kini genealogi berkembang menjadi sebuah fenomena global yang mencakup kepentingan identitas personal, warisan budaya, bahkan penelitian ilmiah berbasis genetika. Kemajuan teknologi informasi dan bioteknologi menjadi katalis utama dalam pembaharuan praktik dan pemahaman genealogi.

5.1.       Genealogi dan Teknologi Digital

Salah satu perkembangan paling menonjol dalam studi genealogi modern adalah digitalisasi data dan munculnya platform daring (online) yang menyediakan layanan pelacakan silsilah keluarga. Situs seperti Ancestry.com, MyHeritage, dan FamilySearch.org memungkinkan pengguna dari berbagai negara menelusuri leluhur mereka berdasarkan arsip sipil, dokumen imigrasi, data sensus, dan bahkan koleksi manuskrip lama.¹

Digitalisasi ini merevolusi cara masyarakat mengakses informasi genealogis yang sebelumnya hanya tersedia dalam dokumen fisik yang sulit dijangkau. Lebih jauh, teknologi pemetaan data juga memungkinkan pengguna membangun “pohon keluarga” interaktif yang bersifat kolaboratif dan dapat diperbarui secara real-time.² Hal ini membuka ruang partisipasi masyarakat luas, tak hanya akademisi atau sejarawan, dalam praktik genealogis.

Namun demikian, perkembangan ini juga menimbulkan kritik. Arlette Farge, dalam The Allure of the Archives, memperingatkan bahwa digitalisasi tidak serta-merta menjamin akurasi historis, dan ada bahaya reduksi kompleksitas konteks sosial-historis menjadi sekadar data visual.³

5.2.       Genealogi Genetik dan Tes DNA

Selain digitalisasi, era modern juga menghadirkan praktik genealogi berbasis tes DNA komersial, yang memungkinkan individu mengetahui asal-usul etnis, potensi hubungan kekerabatan, dan risiko penyakit genetik melalui analisis biologis. Tes seperti 23andMe dan AncestryDNA menganalisis mitokondria, kromosom Y, dan autosom untuk melacak jejak leluhur ribuan tahun ke belakang.⁴

Genealogi genetik ini telah digunakan dalam penelitian antropologi molekuler, studi migrasi manusia, dan pengungkapan sejarah diaspora, termasuk jejak keturunan Afrika dalam populasi Amerika dan Eropa.⁵ Dalam beberapa kasus, tes DNA membantu orang-orang yang teradopsi menemukan kerabat biologis mereka, bahkan menyatukan kembali keluarga yang telah lama terpisah.⁶

Namun, muncul pula isu etis dan privasi. Banyak akademisi menyoroti risiko penyalahgunaan data genetika, terutama dalam konteks komersialisasi, pengawasan negara, atau diskriminasi rasial dan biologis.⁷ Selain itu, terdapat dilema identitas ketika hasil tes DNA berbenturan dengan keyakinan atau narasi turun-temurun dalam keluarga, yang selama ini dipegang kuat sebagai bagian dari warisan budaya.⁸

5.3.       Genealogi, Identitas, dan Isu Sosial Kontemporer

Perkembangan genealogi di era modern juga berkaitan erat dengan pencarian identitas dalam masyarakat global yang semakin kompleks. Bagi sebagian orang, praktik genealogi menjadi bentuk rekonstruksi identitas personal dan kolektif dalam menghadapi krisis identitas, urbanisasi, atau trauma sejarah. Di komunitas kulit hitam Amerika Serikat, misalnya, genealogi digunakan untuk mengungkap akar keluarga yang terputus akibat perbudakan.⁹

Di negara-negara dengan sejarah kolonialisme, seperti Indonesia, terdapat kecenderungan untuk menelusuri kembali silsilah leluhur sebagai bagian dari revitalisasi identitas lokal dan etnis, baik untuk kepentingan budaya, politik, maupun spiritual.¹⁰ Dalam konteks ini, genealogi menjadi sarana reflektif untuk memahami posisi individu dalam sejarah yang lebih besar.

Namun demikian, para sosiolog memperingatkan bahwa genealogi juga bisa menjadi alat eksklusi identitas, ketika garis keturunan dijadikan dasar pembatasan hak atau pengakuan sosial tertentu.¹¹ Oleh karena itu, perlu ada kehati-hatian dalam menggunakan genealogi secara sosial dan politik.


Kesimpulan Sementara

Genealogi di era modern tidak lagi bersifat elitis atau terbatas pada kalangan tertentu, melainkan telah menjadi praktik yang masif, lintas kelas, dan lintas budaya. Dengan bantuan teknologi digital dan bioteknologi, genealogi menawarkan akses yang lebih luas terhadap sejarah personal dan kolektif, sekaligus mengundang refleksi kritis atas isu-isu identitas, etika, dan kekuasaan. Di tengah era globalisasi yang sering mencabut akar identitas, genealogi hadir sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tubuh dan cerita, antara data dan makna.


Footnotes

[1]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 155–159.

[2]                Elizabeth Shown Mills, Evidence Explained: Citing History Sources from Artifacts to Cyberspace, 3rd ed. (Baltimore: Genealogical Publishing Company, 2015), 22–23.

[3]                Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 20–22.

[4]                Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 31–36.

[5]                David Reich, Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the New Science of the Human Past (New York: Pantheon, 2018), 51–53.

[6]                Brianne Kirkpatrick, “Genealogy and Genetic Testing in the Adoption Community,” Journal of Genetic Counseling 27, no. 5 (2018): 975–983.

[7]                Erin Murphy, Inside the Cell: The Dark Side of Forensic DNA (New York: Nation Books, 2015), 92–97.

[8]                Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 112–115.

[9]                Deborah A. Thomas, “Genealogy, the Archive, and the Problem of Postcolonial History,” Social Text 28, no. 1 (2010): 45–63.

[10]             Ayu Sutarto, “Revival of Ethnic Identity and the Dynamics of Local Traditions in Indonesia,” Antropologi Indonesia 29, no. 1 (2005): 17–28.

[11]             Patrick H. Hutton, “Foucault, Freud, and the Technologies of the Self: A Genealogical Perspective,” The Journal of European Studies 12, no. 1 (1990): 127.


6.           Manfaat dan Kontroversi Genealogi

Genealogi sebagai praktik dan kajian keilmuan telah memberikan berbagai kontribusi penting dalam kehidupan sosial, budaya, ilmiah, dan spiritual manusia. Namun, di balik manfaatnya yang luas, terdapat pula sejumlah kontroversi dan persoalan etis yang perlu dicermati secara kritis. Pemahaman komprehensif terhadap kedua sisi ini menjadi penting untuk menempatkan genealogi secara proporsional dalam konteks keilmuan dan praktik sosial kontemporer.

6.1.       Manfaat Genealogi

6.1.1.    Pelestarian Warisan Budaya dan Identitas

Salah satu manfaat utama genealogi adalah menjaga kesinambungan identitas personal dan kolektif, khususnya dalam masyarakat yang menghargai silsilah sebagai warisan budaya. Genealogi memungkinkan individu dan komunitas untuk melacak asal-usul, mempertahankan narasi leluhur, dan mengikat diri dengan sejarah yang lebih besar dari sekadar pengalaman individual.¹ Dalam banyak kebudayaan, kesadaran akan nasab atau trah menjadi bagian penting dalam struktur adat, sistem kepemimpinan, dan pengaturan hak waris.²

Genealogi juga berperan sebagai alat pemersatu kultural, terutama di tengah ancaman globalisasi yang cenderung mengikis identitas lokal.³ Dalam masyarakat diaspora, seperti keturunan Afrika-Amerika atau komunitas Yahudi di berbagai negara, praktik genealogi telah menjadi sarana untuk menyambung kembali “akar” yang tercerabut akibat sejarah kolonialisme, perbudakan, atau pengasingan.⁴

6.1.2.    Sumber Data Sejarah dan Penelitian Akademik

Dalam kajian sejarah dan antropologi, informasi genealogis sangat penting dalam merekonstruksi dinamika sosial dan menganalisis struktur masyarakat di masa lampau. Data silsilah menjadi dasar dalam menelusuri hubungan antarkelompok, jalur penyebaran budaya, serta pola pewarisan kekuasaan dan otoritas sosial.⁵

Bahkan dalam arkeologi dan genetika, data genealogis telah membantu mengungkap pola migrasi manusia purba, rekonstruksi silsilah kerajaan kuno, dan hubungan antarperadaban.⁶ Dengan pendekatan interdisipliner, genealogi menjadi bagian dari upaya ilmiah untuk memahami evolusi sosial dan biologis umat manusia.

6.1.3.    Kesehatan dan Penelusuran Genetik

Dalam konteks medis modern, genealogi genetik digunakan untuk mengidentifikasi risiko penyakit turunan, seperti kanker, diabetes, atau kelainan mitokondria, yang dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga.⁷ Tes DNA dan pemetaan silsilah medis memungkinkan para profesional kesehatan melakukan pencegahan dan intervensi lebih awal pada pasien dengan riwayat genetik tertentu.

Bahkan, pendekatan genealogi dalam genetika kini digunakan dalam bidang forensik, migrasi populasi, dan pengembangan pengobatan personal (personalized medicine).⁸

6.2.       Kontroversi Genealogi

6.2.1.    Manipulasi Sejarah dan Konstruksi Identitas

Di satu sisi, genealogi dapat berfungsi sebagai peneguhan identitas; namun di sisi lain, ia juga rentan menjadi alat manipulasi sejarah atau konstruksi identitas politis yang semu. Dalam beberapa kasus, klaim genealogis digunakan untuk melegitimasi kekuasaan, mengklaim hak istimewa, atau mengeksklusi kelompok lain.⁹ Misalnya, klaim keturunan dari nabi, raja, atau tokoh spiritual sering kali digunakan tanpa verifikasi ilmiah yang kuat, bahkan dijadikan alat politik atau komersialisasi.

Sejarawan memperingatkan bahwa dalam masyarakat yang sangat menekankan garis keturunan, genealogi bisa menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial dan stratifikasi kelas._¹⁰

6.2.2.    Isu Privasi dan Penyalahgunaan Data

Perkembangan genealogi digital dan tes DNA komersial menimbulkan kekhawatiran serius tentang privasi dan keamanan data genetika. Informasi yang bersifat sangat personal ini berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan, institusi pemerintah, atau pihak tidak bertanggung jawab untuk tujuan diskriminatif, pengawasan, bahkan penipuan.¹¹

Beberapa kasus menunjukkan bahwa data DNA yang dikumpulkan dari layanan genealogi digunakan oleh aparat hukum tanpa persetujuan pengguna, yang memunculkan dilema etis antara keamanan dan kebebasan individu._¹²

6.2.3.    Ketidakpastian Ilmiah dan Konflik Identitas

Meskipun genealogi genetik menawarkan pendekatan berbasis sains, hasilnya tidak selalu konsisten atau mudah diinterpretasikan. Distribusi etnis dalam hasil tes DNA, misalnya, sering kali didasarkan pada model statistik yang tidak selalu merepresentasikan realitas historis secara akurat.¹³

Hal ini dapat memicu konflik identitas, terutama ketika hasil yang diterima bertentangan dengan narasi budaya atau keyakinan keluarga yang telah lama diyakini. Dalam banyak kasus, genealogi malah menciptakan kegamangan baru tentang “siapa saya sebenarnya” daripada menjawabnya.¹⁴


Kesimpulan Sementara

Manfaat genealogi sangat luas—dari penguatan identitas hingga aplikasi medis—namun praktik ini tidak lepas dari problem etis, politis, dan epistemologis. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pendekatan genealogi yang kritis, reflektif, dan etis, dengan tetap menghargai nilai-nilai historis dan sensitivitas sosial. Genealogi bukan hanya perkara data dan garis keturunan, tetapi juga menyangkut makna, kekuasaan, dan hak manusia atas narasi dirinya.


Footnotes

[1]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 18–21.

[2]                M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 47–49.

[3]                Ayu Sutarto, “Revival of Ethnic Identity and the Dynamics of Local Traditions in Indonesia,” Antropologi Indonesia 29, no. 1 (2005): 23.

[4]                Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 35–37.

[5]                Elizabeth Shown Mills, Evidence Explained: Citing History Sources from Artifacts to Cyberspace, 3rd ed. (Baltimore: Genealogical Publishing Company, 2015), 51–52.

[6]                David Reich, Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the New Science of the Human Past (New York: Pantheon, 2018), 64–67.

[7]                Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 141–143.

[8]                Erin Murphy, Inside the Cell: The Dark Side of Forensic DNA (New York: Nation Books, 2015), 81.

[9]                Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 25–27.

[10]             Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 134–136.

[11]             Jessica L. Roberts, “The Genetic Information Nondiscrimination Act as an Antidiscrimination Law,” Vanderbilt Law Review 91, no. 3 (2011): 54–57.

[12]             Natalie Ram, “Genetic Privacy After Carpenter,” Harvard Law Review Forum 132 (2019): 126–135.

[13]             Catherine Bliss, Race Decoded: The Genomic Fight for Social Justice (Stanford: Stanford University Press, 2012), 89–90.

[14]             Deborah A. Thomas, “Genealogy, the Archive, and the Problem of Postcolonial History,” Social Text 28, no. 1 (2010): 51–53.


7.           Studi Kasus dan Contoh Aplikatif

Untuk memperjelas bagaimana genealogi bekerja dalam praktik dan pengaruhnya dalam berbagai konteks, bagian ini menyajikan sejumlah studi kasus dan contoh aplikatif dari lintas tradisi, wilayah, dan pendekatan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa genealogi bukan hanya ranah akademik atau ritual, tetapi juga menyentuh berbagai aspek kehidupan nyata — mulai dari spiritualitas, budaya, hingga teknologi modern.

7.1.       Genealogi Keluarga Nabi Muhammad Saw dan Para Habaib

Salah satu contoh genealogi yang sangat berpengaruh dalam sejarah dan masyarakat Islam adalah silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw, yang secara umum ditelusuri hingga Nabi Ismail bin Ibrahim AS. Penelusuran nasab ini tidak hanya menjadi praktik historis, tetapi juga berperan dalam menjaga keaslian identitas spiritual dan sosial dari kalangan ahlul bait (keluarga Nabi) dan para habaib (keturunan Nabi melalui jalur Sayyid/ Syarif).¹

Di Indonesia, keluarga habaib seperti Alatas, Assegaf, Al-Habsyi, dan lainnya memiliki dokumen nasab yang terekam dalam kitab nasab dan diverifikasi oleh lembaga seperti Lajnah Tashhih an-Nasab di bawah organisasi Rabithah Alawiyah.² Keberadaan dokumen ini tidak hanya digunakan dalam konteks penghormatan sosial, tetapi juga sebagai pedoman dalam tanggung jawab moral dan dakwah keagamaan.³ Genealogi dalam kasus ini menjadi fondasi identitas religius dan simbol otoritas yang dijaga lintas generasi.

7.2.       Genealogi Raja-Raja Inggris

Di Eropa, praktik genealogi memiliki sejarah panjang dalam pelestarian garis keturunan kerajaan. Salah satu yang paling terkenal adalah silsilah kerajaan Inggris, yang ditelusuri secara resmi melalui Royal Lineage hingga masa Anglo-Saxon.⁴ Genealogi dalam konteks ini digunakan untuk menentukan suksesi tahta, serta memvalidasi klaim kekuasaan berdasarkan hukum waris monarki. Bahkan hingga hari ini, silsilah resmi keluarga kerajaan dipublikasikan secara berkala oleh lembaga seperti College of Arms.

Penelusuran silsilah kerajaan juga digunakan dalam hubungan diplomatik, misalnya untuk menunjukkan keterkaitan dinasti Eropa yang satu dengan lainnya. Silsilah yang rapi dan terdokumentasi menjadi bagian dari legitimasi simbolik, sekaligus bukti kontinuitas sejarah nasional.⁵

7.3.       Genealogi Suku Batak dan Sistem Marga

Dalam masyarakat Batak di Sumatra Utara, genealogi termanifestasi dalam sistem marga yang sangat terstruktur. Setiap individu Batak diasosiasikan dengan satu marga yang diturunkan secara patrilineal, dan marga ini memiliki silsilah yang dapat ditelusuri hingga leluhur mitologis atau tokoh adat._⁶

Genealogi dalam budaya Batak memainkan peran penting dalam pernikahan adat, upacara kematian, pembentukan komunitas, dan pengambilan keputusan adat. Misalnya, larangan menikah dengan marga yang sama (eksogami marga) didasarkan pada pemahaman genealogis yang menghindari incest.⁷ Dalam masyarakat ini, identitas sosial, hukum adat, dan hubungan antar-kelompok sangat ditentukan oleh struktur genealogis.

7.4.       Genealogi Digital dan Pencarian Identitas di Era Modern

Contoh aplikatif lain datang dari dunia modern, di mana platform daring seperti Ancestry.com dan 23andMe memungkinkan orang untuk menelusuri silsilah keluarga mereka melalui arsip digital dan tes DNA. Seorang pengguna yang mengira dirinya berasal dari keturunan Eropa murni, misalnya, bisa menemukan bahwa ia memiliki nenek moyang dari Afrika atau Asia melalui analisis genetika.⁸

Dalam banyak kasus, temuan ini memicu proses reflektif dan bahkan rekonstruksi ulang identitas diri, baik secara emosional maupun sosial. Salah satu studi menunjukkan bahwa banyak individu keturunan Afrika-Amerika menggunakan hasil DNA untuk menemukan akar leluhur mereka yang tercerabut oleh sejarah perbudakan, dan dari situ membangun kembali rasa memiliki yang sebelumnya hilang.⁹

Namun, studi-studi ini juga menyoroti tantangan interpretasi, karena hasil tes tidak selalu koheren dengan sejarah keluarga yang diceritakan secara lisan. Dalam konteks ini, genealogi menjadi arena negosiasi antara data ilmiah, narasi keluarga, dan konstruksi identitas._¹⁰


Kesimpulan Sementara

Beragam studi kasus di atas memperlihatkan bahwa genealogi memiliki aplikasi luas dan fungsional dalam kehidupan masyarakat. Ia dapat menjadi alat afirmasi identitas, struktur sosial, validasi historis, atau bahkan refleksi eksistensial. Genealogi tidak hanya menghubungkan manusia dengan masa lalu, tetapi juga membuka ruang untuk memahami diri dalam jejaring sosial, budaya, dan spiritual yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 15–36.

[2]                Rabithah Alawiyah, Panduan Pendaftaran Nasab dan Sertifikasi Habaib (Jakarta: Lajnah Tashhih an-Nasab, 2018), 7–10.

[3]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2019), 152–154.

[4]                Alison Weir, Britain’s Royal Families: The Complete Genealogy (London: Pimlico, 2002), 3–5.

[5]                David Cannadine, The Invention of Tradition, ed. Eric Hobsbawm and Terence Ranger (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 117–119.

[6]                Parsudi Suparlan, “Marga dalam Sistem Sosial Batak,” Antropologi Indonesia 20, no. 54 (1999): 15–18.

[7]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 189–190.

[8]                Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 102–104.

[9]                Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 113–120.

[10]             Catherine Bliss, Race Decoded: The Genomic Fight for Social Justice (Stanford: Stanford University Press, 2012), 89–92.


8.           Kesimpulan

Genealogi merupakan bidang kajian dan praktik sosial yang telah menempuh perjalanan panjang dari masa pramodern hingga era digital dan genetika. Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat pelacakan garis keturunan, tetapi juga sebagai penjaga memori kolektif, penguat identitas, dan instrumen refleksi historis maupun spiritual. Dalam berbagai peradaban dan tradisi, genealogi memainkan peran penting sebagai penanda legitimasi sosial, politik, dan teologis—baik dalam konteks kerajaan, agama, adat, maupun keluarga.¹

Secara konseptual, genealogi berkembang dari pengertian klasik sebagai ilmu tentang asal-usul keluarga menuju pendekatan kritis yang dikembangkan oleh tokoh seperti Michel Foucault, yang memandang genealogi sebagai metode untuk membongkar asal-usul wacana, institusi, dan relasi kekuasaan yang membentuk struktur masyarakat kontemporer.² Perspektif ini menempatkan genealogi bukan hanya sebagai pelacakan historis, tetapi juga sebagai alat dekonstruksi terhadap konstruksi sosial yang tampak “alami” atau “niscaya”.

Dalam praktiknya, genealogi memiliki banyak manfaat: mulai dari pelestarian budaya dan nasab, rekonstruksi sejarah, pencegahan penyakit turunan melalui analisis genetik, hingga pemulihan identitas komunitas-komunitas diaspora.³ Dengan kemajuan teknologi digital dan bioteknologi, akses terhadap informasi genealogis semakin terbuka, menjadikan genealogi bukan hanya domain akademisi, melainkan juga praktik populer yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat.⁴

Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula berbagai kontroversi. Genealogi dapat digunakan sebagai alat eksklusi sosial, memperkuat hierarki keturunan, atau bahkan memicu konflik identitas ketika hasil-hasil genetika bertentangan dengan narasi keluarga atau budaya.⁵ Isu privasi data dalam penggunaan tes DNA komersial dan digitalisasi arsip juga menjadi tantangan baru dalam praktik genealogis modern.⁶ Karena itu, diperlukan kerangka etis, reflektif, dan interdisipliner dalam mengembangkan dan menggunakan kajian genealogi, agar ia tidak sekadar menjadi alat identifikasi biologis, tetapi juga wahana pemaknaan historis yang inklusif dan kritis.

Akhirnya, memahami genealogi berarti juga memahami relasi manusia dengan masa lalu, baik yang diwariskan melalui darah maupun yang dituturkan melalui cerita. Di tengah arus globalisasi dan modernitas yang sering memutus akar sejarah personal maupun kolektif, genealogi menawarkan jalan untuk menautkan kembali diri dengan asal-usul, bukan dalam semangat eksklusivisme, melainkan sebagai upaya untuk membangun masa depan yang berakar pada kesadaran sejarah dan identitas yang reflektif.


Footnotes

[1]                François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 7–12.

[2]                Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language, Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F. Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[3]                Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 42–46.

[4]                Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 21–23.

[5]                Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 18–21.

[6]                Jessica L. Roberts, “The Genetic Information Nondiscrimination Act as an Antidiscrimination Law,” Vanderbilt Law Review 91, no. 3 (2011): 54–57.


Daftar Pustaka

Alondra, N. (2016). The social life of DNA: Race, reparations, and reconciliation after the genome. Boston, MA: Beacon Press.

Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Jaringan global dan lokal. Bandung, Indonesia: Mizan.

Bettinger, B. T. (2016). The family tree guide to DNA testing and genetic genealogy. Cincinnati, OH: Family Tree Books.

Bliss, C. (2012). Race decoded: The genomic fight for social justice. Stanford, CA: Stanford University Press.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). New York, NY: Greenwood.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s legacy in the medieval and modern world. Oxford, UK: Oneworld Publications.

Brown, R. E. (1993). The birth of the Messiah: A commentary on the infancy narratives in Matthew and Luke (Rev. ed.). New York, NY: Doubleday.

Cannadine, D. (1990). The decline and fall of the British aristocracy. New Haven, CT: Yale University Press.

Cannadine, D. (1983). The context, performance, and meaning of ritual: The British monarchy and the “invention of tradition.” In E. Hobsbawm & T. Ranger (Eds.), The invention of tradition (pp. 101–164). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Cohen, S. J. D. (1999). The beginnings of Jewishness: Boundaries, varieties, uncertainties. Berkeley, CA: University of California Press.

de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (2001). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Alih bahasa: Grafiti Press). Jakarta, Indonesia: Grafiti Pers.

Dunn, J. D. G. (2003). Jesus remembered. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Farge, A. (2013). The allure of the archives (T. Scott-Railton, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.

Foucault, M. (1977). Nietzsche, genealogy, history. In D. F. Bouchard (Ed.), Language, counter-memory, practice: Selected essays and interviews (pp. 139–164). Ithaca, NY: Cornell University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York, NY: Pantheon Books.

Hess, R. S. (2007). Israelite religions: An archaeological and biblical survey. Grand Rapids, MI: Baker Academic.

Hutton, P. H. (1990). Foucault, Freud, and the technologies of the self: A genealogical perspective. The Journal of European Studies, 12(1), 121–131.

Ibn Hazm. (1983). Jamharah ansab al-‘Arab. Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘arif.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi (Edisi Revisi). Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta.

Lévi-Strauss, C. (1969). The elementary structures of kinship (J. H. Bell & J. R. von Sturmer, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.

Malinowski, B. (1913). The family among the Australian Aborigines: A sociological study. London, UK: University of London Press.

McGuire, D. L., & Glover, T. M. (2020). Ethical issues in genetic genealogy. The Journal of Law, Medicine & Ethics, 48(1), 157–166.

Merriman, J. M. (2009). A history of modern Europe: From the Renaissance to the present (3rd ed.). New York, NY: W. W. Norton & Company.

Mills, E. S. (2015). Evidence explained: Citing history sources from artifacts to cyberspace (3rd ed.). Baltimore, MD: Genealogical Publishing Company.

Murphy, E. (2015). Inside the cell: The dark side of forensic DNA. New York, NY: Nation Books.

Nelson, A. (2016). The social life of DNA: Race, reparations, and reconciliation after the genome. Boston, MA: Beacon Press.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York, NY: Vintage Books.

O’Farrell, C. (2005). Michel Foucault. London, UK: Sage Publications.

Rabithah Alawiyah. (2018). Panduan pendaftaran nasab dan sertifikasi habaib. Jakarta, Indonesia: Lajnah Tashhih an-Nasab.

Reich, D. (2018). Who we are and how we got here: Ancient DNA and the new science of the human past. New York, NY: Pantheon Books.

Rick­lefs, M. C. (2008). A history of modern Indonesia since c.1200 (4th ed.). Stanford, CA: Stanford University Press.

Roberts, J. L. (2011). The Genetic Information Nondiscrimination Act as an antidiscrimination law. Vanderbilt Law Review, 91(3), 54–57.

Royle, T. (2008). Family secrets: The shameful truth behind the royal family. London, UK: Century (Jika digunakan sebagai tambahan untuk silsilah raja).

Sutarto, A. (2005). Revival of ethnic identity and the dynamics of local traditions in Indonesia. Antropologi Indonesia, 29(1), 17–28.

Suparlan, P. (1999). Marga dalam sistem sosial Batak. Antropologi Indonesia, 20(54), 15–18.

Thomas, D. A. (2010). Genealogy, the archive, and the problem of postcolonial history. Social Text, 28(1), 45–63.

Weil, F. (2013). Family trees: A history of genealogy in America. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Weir, A. (2002). Britain’s royal families: The complete genealogy. London, UK: Pimlico.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar