Genealogi
Memahami Akar Identitas dan Sejarah Manusia
Abstrak
Artikel ini membahas genealogi secara komprehensif
sebagai suatu kajian interdisipliner yang melintasi batas-batas ilmu sejarah,
antropologi, sosiologi, filsafat, hingga genetika modern. Genealogi tidak hanya
dimaknai sebagai pelacakan garis keturunan biologis, tetapi juga sebagai
konstruksi sosial dan kultural yang membentuk identitas individu dan kolektif.
Melalui pendekatan historis dan kritis, artikel ini mengkaji perkembangan
genealogi dari masa klasik hingga kontemporer, termasuk peranannya dalam
tradisi keagamaan, penggunaan teknologi digital dan tes DNA, serta manfaat dan
kontroversi yang menyertainya. Studi-studi kasus dari berbagai latar
budaya—seperti keturunan Nabi Muhammad Saw (habaib), silsilah kerajaan Inggris,
sistem marga Batak, hingga genealogi digital—dihadirkan untuk menunjukkan ragam
aplikasi genealogi dalam praktik nyata. Dengan pendekatan yang berbasis pada
sumber-sumber ilmiah kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa genealogi
merupakan instrumen penting dalam memahami hubungan manusia dengan sejarah,
identitas, dan warisan nilai lintas generasi.
Kata Kunci: Genealogi, identitas, silsilah, sejarah,
antropologi, teknologi DNA, tradisi keagamaan, konstruksi sosial, warisan
budaya, Foucault.
PEMBAHASAN
Kajian Genealogi Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Genealogi, dalam pengertian
paling dasar, adalah ilmu atau praktik yang mempelajari asal-usul dan garis
keturunan seseorang atau suatu kelompok. Di tengah dinamika kehidupan modern
yang serba cepat, perhatian terhadap akar identitas sering kali terpinggirkan.
Padahal, kesadaran terhadap asal-usul dan sejarah keluarga atau kelompok
memainkan peran penting dalam membentuk identitas kultural, sosial, bahkan
spiritual seseorang. Genealogi tidak hanya berkaitan dengan susunan nama dalam
pohon keluarga, melainkan juga merekam ingatan kolektif, hubungan sosial, peran
historis, dan makna simbolik dari keberadaan suatu komunitas manusia.
Kajian tentang genealogi
memiliki posisi penting dalam berbagai bidang keilmuan, seperti sejarah,
antropologi, sosiologi, bahkan filsafat. Dalam sejarah, genealogi digunakan
untuk menelusuri hubungan antarkeluarga bangsawan, dinasti politik, atau
figur-figur penting dalam suatu peradaban.¹ Dalam antropologi, konsep genealogi
menjadi kunci dalam memahami sistem kekerabatan (kinship), struktur sosial, dan
transmisi budaya antar generasi.² Sementara itu, dalam filsafat kontemporer,
Michel Foucault menggunakan pendekatan genealogis sebagai alat kritik terhadap
narasi-narasi kekuasaan yang tersembunyi dalam sejarah dan pengetahuan.³
Kebutuhan manusia untuk
mengetahui asal-usulnya telah menjadi fenomena universal yang melintasi ruang
dan waktu. Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, pencatatan silsilah
atau nasab menjadi bagian penting dari pemeliharaan identitas dan otoritas
sosial. Dalam Islam, misalnya, genealogi memiliki peran penting dalam validasi
nasab Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, serta dalam memastikan keabsahan
sanad hadis.⁴ Dalam tradisi Kristen dan Yahudi, silsilah tokoh-tokoh dalam
Kitab Kejadian dan Injil menjadi bagian dari legitimasi teologis atas klaim
keilahian atau kenabian.⁵ Di masyarakat tradisional Nusantara, genealogi
dipelihara dalam bentuk cerita rakyat, trah keluarga, atau naskah kuno seperti
Babad dan silsilah kerajaan.⁶
Dalam konteks modern, studi
genealogi mengalami revitalisasi melalui bantuan teknologi digital dan
bioteknologi, seperti tes DNA dan basis data genealogi daring. Namun,
perkembangan ini juga memunculkan pertanyaan etis terkait privasi, otentisitas
data, dan potensi penyalahgunaan informasi genetika.⁷ Oleh karena itu, penting
bagi kita untuk tidak hanya memahami genealogi sebagai struktur data semata,
tetapi juga sebagai konstruksi sosial, budaya, dan historis yang kompleks.
Melalui artikel ini, pembaca
diajak untuk menggali secara mendalam makna dan peran genealogi dari berbagai
perspektif keilmuan dan tradisi. Dengan pendekatan interdisipliner, diharapkan
pemahaman terhadap akar identitas dan sejarah manusia dapat lebih utuh dan
reflektif.
Footnotes
[1]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 5–6.
[2]
Robert H. Lowie, Primitive Society (New York: Boni and
Liveright, 1920), 65–87.
[3]
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language,
Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F.
Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.
[4]
Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif,
1983), 14–20.
[5]
Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and
Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 113–116.
[6]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200, 4th
ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.
[7]
Deborah L. McGuire and Theresa M. Glover, “Ethical Issues in Genetic
Genealogy,” The Journal of Law, Medicine & Ethics 48, no. 1
(2020): 157–166.
2.
Definisi dan Asal Usul Konsep Genealogi
Secara etimologis, kata genealogi
berasal dari bahasa Yunani genea (γενεά) yang berarti “keluarga”
atau “generasi”, dan logos (λόγος) yang berarti “ilmu”
atau “kajian”. Secara harfiah, genealogi berarti “kajian
tentang keturunan” atau “ilmu tentang asal-usul”.¹ Dalam perkembangan
bahasa Latin, istilah ini menjadi genealogia, dan kemudian masuk ke
dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya sebagai genealogy.²
Menurut Oxford
English Dictionary, genealogy didefinisikan sebagai “an
account of the descent of a person, family, or group from an ancestor or
ancestors.”³ Dalam konteks ini, genealogi dimaknai sebagai catatan atau
kajian tentang hubungan darah atau keturunan yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
genealogi diartikan sebagai "asal usul atau silsilah keturunan."_⁴
Namun, dalam perkembangan
akademik kontemporer, terutama sejak pengaruh pemikiran Michel Foucault,
istilah genealogi mengalami perluasan makna yang signifikan. Foucault
tidak membatasi genealogi sebagai studi silsilah biologis atau keluarga,
melainkan sebagai metode kritik sejarah terhadap pembentukan wacana,
praktik, dan institusi sosial.⁵ Bagi Foucault, pendekatan genealogis
digunakan untuk mengungkap asal-usul tersembunyi dan relasi kekuasaan dalam
konstruksi kebenaran historis, yang sering kali tidak bersifat linear
atau tunggal.⁶ Dalam artikelnya “Nietzsche, Genealogy, History”,
Foucault menekankan bahwa genealogi bukanlah pencarian asal-usul murni (origin),
melainkan pelacakan transformasi, pergolakan, dan kontingensi sejarah dari
ide-ide dan praktik.⁷
Perlu dibedakan pula antara
istilah genealogi, historiografi, dan silsilah.
Historiografi adalah penulisan atau penafsiran sejarah berdasarkan metode dan
sumber tertentu, sedangkan silsilah biasanya merujuk pada bagan atau daftar
runtut nama dalam satu garis keturunan. Genealogi, dalam pengertian luasnya,
tidak hanya mencatat nama-nama, melainkan juga mengkaji konteks sosial,
politik, dan budaya dari relasi-relasi tersebut.⁸
Dalam disiplin antropologi,
kajian genealogi memiliki kedudukan penting dalam memahami struktur
kekerabatan dan relasi sosial. Antropolog seperti Bronisław Malinowski
dan Claude Lévi-Strauss mengembangkan teori kekerabatan yang menunjukkan
bagaimana hubungan genealogis membentuk sistem sosial dan budaya suatu
masyarakat.⁹ Selain itu, dalam studi sejarah dan sosiologi, genealogi juga
digunakan untuk melacak mekanisme pewarisan kekuasaan, legitimasi, dan
identitas kolektif dalam konteks kerajaan, suku, atau masyarakat
adat.¹⁰
Dengan demikian, konsep
genealogi bukan sekadar pelacakan garis keturunan biologis, tetapi juga
merupakan instrumen penting dalam memahami bagaimana identitas, kekuasaan,
nilai, dan pengetahuan diwariskan, dikonstruksi, dan dipertahankan sepanjang
sejarah.
Footnotes
[1]
John M. Merriman, A History of Modern Europe: From the Renaissance
to the Present, 3rd ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2009), 7.
[2]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 2–3.
[3]
Oxford English Dictionary,
s.v. “genealogy,” accessed March 25, 2025, https://www.oed.com.
[4]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ed. V (Jakarta: Kemdikbud, 2016), s.v. “genealogi.”
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
78–80.
[6]
Clare O’Farrell, Michel Foucault (London: Sage Publications,
2005), 50–52.
[7]
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language,
Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F.
Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 142.
[8]
Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas
Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 15–16.
[9]
Claude Lévi-Strauss, The Elementary Structures of Kinship,
trans. James Harle Bell and John Richard von Sturmer (Boston: Beacon Press,
1969), 41–45.
[10]
Patrick H. Hutton, “Foucault, Freud, and the Technologies of the Self:
A Genealogical Perspective,” The Journal of European Studies 12, no. 1
(1990): 121–131.
3.
Genealogi dalam Kajian Ilmiah
Genealogi tidak hanya relevan
dalam praktik sosial atau budaya, tetapi juga memiliki peran penting dalam
berbagai disiplin ilmu. Kajian genealogis berkembang secara interdisipliner
dalam sejarah, antropologi, sosiologi, filsafat, hingga studi-studi kritis
kontemporer. Masing-masing bidang memberikan kontribusi konseptual dan
metodologis dalam memahami fungsi genealogi sebagai alat untuk menelusuri
asal-usul, struktur kekuasaan, relasi sosial, dan identitas kolektif manusia.
3.1.
Genealogi dalam Ilmu Sejarah
Dalam historiografi klasik,
genealogi digunakan sebagai sarana pelacakan garis keturunan tokoh-tokoh
penting dalam sejarah, terutama keluarga kerajaan, bangsawan, dan pemimpin
politik. Penulisan silsilah sering kali bertujuan untuk melegitimasi
klaim kekuasaan, menetapkan hak waris, atau mengabadikan
martabat sosial suatu keluarga atau kelompok elite.¹ Genealogi dalam
konteks ini menjadi instrumen historis sekaligus politis yang mengaitkan
identitas masa kini dengan kejayaan masa lalu.
Para sejarawan seperti
François Weil dan David Cannadine menekankan bahwa genealogi pada masa
pra-modern erat kaitannya dengan upaya pelestarian memori sosial
dalam bentuk kronik keluarga atau dinasti.² Dalam konteks Islam, sejarah Islam
klasik mencatat berbagai kitab nasab (buku silsilah), seperti Jamharah
Ansab al-‘Arab karya Ibn Hazm, yang mendokumentasikan dengan teliti
hubungan garis keturunan Arab, khususnya nasab Nabi Muhammad Saw.³
Namun dalam sejarah modern,
pendekatan terhadap genealogi mengalami perubahan. Sejarawan mulai
mempertanyakan keabsahan dan objektivitas klaim-klaim genealogis, serta
menelaahnya sebagai konstruksi sosial yang dibentuk oleh kebutuhan naratif
atau ideologis tertentu._⁴
3.2.
Genealogi dalam Antropologi dan Sosiologi
Dalam ilmu antropologi,
genealogi sangat penting untuk memahami sistem kekerabatan (kinship)
dan struktur sosial dalam masyarakat. Penelitian antropologis
awal oleh Bronisław Malinowski, Alfred Radcliffe-Brown, dan Claude Lévi-Strauss
menunjukkan bahwa hubungan genealogis tidak hanya mengatur hubungan darah,
tetapi juga mengatur hak-hak sosial, aturan pernikahan, dan distribusi
sumber daya dalam suatu kelompok._⁵
Claude Lévi-Strauss
mengembangkan teori strukturalisme kekerabatan yang menekankan bahwa
relasi genealogis bersifat simbolik dan terstruktur, serta merefleksikan cara
suatu masyarakat mengorganisasi identitas dan kekuasaan.⁶ Dalam pendekatan
sosiologis, genealogi sering digunakan untuk menganalisis warisan status
sosial, mobilitas antargenerasi, serta pola pewarisan nilai dan norma dalam
keluarga._⁷
Kajian-kajian semacam ini
penting untuk memahami bahwa genealogi bukan hanya data biologis, tetapi juga representasi
ideologis dan institusional dari sistem sosial._⁸
3.3.
Genealogi dalam Filsafat dan Pemikiran Kritis
Pemikiran filsafat
kontemporer, terutama sejak Nietzsche dan Foucault, memperluas makna genealogi
menjadi metode kritik sejarah. Friedrich Nietzsche dalam Zur
Genealogie der Moral (Genealogi Moral) mengkritik nilai-nilai moral Barat
sebagai hasil konstruksi historis yang lahir dari konflik kekuasaan, bukan dari
kebenaran universal.⁹
Michel Foucault kemudian
mengembangkan pendekatan ini lebih jauh, dengan menggunakan genealogi sebagai
cara untuk mengungkap proses historis di balik formasi wacana, institusi,
dan kebenaran._ⁱ⁰ Foucault menolak narasi sejarah yang bersifat linear dan
teleologis, dan justru melihat sejarah sebagai ruang pertarungan antarpraktik
sosial yang saling memproduksi makna dan kekuasaan. Baginya, genealogi
bertujuan untuk “membuka kemungkinan lain dari masa kini dengan membongkar
asal-usulnya yang tak stabil.”_¹¹
Dalam pendekatan ini,
genealogi menjadi alat refleksi kritis terhadap asal-usul pemikiran,
ideologi, hukum, agama, dan bahkan identitas diri.
Kesimpulan Sementara
Dari sudut pandang keilmuan,
genealogi adalah konsep yang lentur dan multidimensi. Ia dapat berfungsi
sebagai alat pelacakan historis yang faktual, kerangka analisis sosial-budaya,
maupun metode dekonstruktif terhadap narasi kekuasaan dan kebenaran. Pendekatan
yang beragam ini memperkaya pemahaman kita terhadap bagaimana manusia menyusun,
mewarisi, dan menafsirkan asal-usulnya dalam konteks yang terus berubah.
Footnotes
[1]
David Cannadine, The Decline and Fall of the British Aristocracy
(New Haven: Yale University Press, 1990), 52–55.
[2]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 15–20.
[3]
Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif,
1983), 14–36.
[4]
Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas
Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 18–21.
[5]
Bronisław Malinowski, The Family Among the Australian Aborigines: A
Sociological Study (London: University of London Press, 1913), 67–70.
[6]
Claude Lévi-Strauss, The Elementary Structures of Kinship,
trans. James Harle Bell and John Richard von Sturmer (Boston: Beacon Press,
1969), 41–45.
[7]
Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook of
Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G. Richardson
(New York: Greenwood, 1986), 241–258.
[8]
Jack Goody, The Development of the Family and Marriage in Europe
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 99–102.
[9]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 24–27.
[10]
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language,
Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F.
Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.
[11]
Clare O’Farrell, Michel Foucault (London: Sage Publications,
2005), 54–56.
4.
Genealogi dalam Tradisi Keagamaan
Genealogi memegang peranan
penting dalam banyak tradisi keagamaan di dunia, bukan hanya sebagai catatan
historis tentang keturunan, tetapi juga sebagai legitimasi spiritual,
sosial, dan teologis. Di dalam agama-agama samawi seperti Islam,
Kristen, dan Yudaisme, silsilah tokoh-tokoh suci sering kali dijadikan dasar
penguatan otoritas keagamaan dan sebagai penjaga keaslian ajaran. Dalam
tradisi-tradisi lokal, genealogi juga hadir sebagai penopang kekuatan budaya
dan kesakralan suatu komunitas atau kepemimpinan.
4.1.
Genealogi dalam Tradisi Islam
Dalam Islam, kajian tentang
nasab (silsilah atau keturunan) mendapat perhatian sangat besar, terutama
terkait dengan nasab Nabi Muhammad Saw,
para sahabat, dan ulama-ulama penting dalam sejarah Islam. Kejelasan nasab
tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga spiritual. Salah satu dasar
keutamaannya adalah sabda Nabi Muhammad Saw: “Pelajarilah nasab-nasab kalian
agar kalian bisa menyambung silaturahmi.”_¹
Para ulama klasik seperti Ibn
Hazm dalam karyanya Jamharah Ansab al-‘Arab menyusun silsilah
berbagai kabilah Arab, termasuk nasab Nabi hingga Nabi Ibrahim AS.² Dalam
tradisi Sunni, pengetahuan tentang nasab juga penting dalam kajian sanad hadis.
Seorang perawi hadis tidak hanya dinilai dari keadilannya, tetapi juga dari ketelusuran
dan kredibilitas jalur transmisi pengetahuan, yang bersifat
genealogis.³
Genealogi juga menjadi dasar
eksistensi keluarga ahlul bait dan para habaib,
yakni keturunan Nabi melalui jalur Sayyidina Hasan dan Husein. Di berbagai
wilayah Islam, termasuk di Indonesia, keberadaan habaib masih dihormati dan
diakui berdasarkan dokumentasi nasab yang terjaga.⁴ Organisasi seperti Rabithah
Alawiyah di Indonesia bahkan memiliki Lajnah Tashhih an-Nasab
yang bertugas memverifikasi silsilah keturunan Nabi berdasarkan bukti historis
dan dokumen nasab resmi.⁵
4.2.
Genealogi dalam Tradisi Yahudi dan Kristen
Dalam tradisi
Yudaisme dan Kekristenan, silsilah merupakan bagian integral dari
teks-teks suci. Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama memuat daftar silsilah
tokoh-tokoh utama sejak Adam hingga Nuh, Abraham, dan seterusnya, sebagai upaya
untuk menyusun kronologi ilahi dan memvalidasi janji ketuhanan
terhadap Bani Israel.⁶
Dalam Injil Matius
dan Injil Lukas, silsilah Yesus Kristus disusun dengan cermat
untuk menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Nabi Daud dan Abraham, sebagai
bentuk legitimasi mesianik dan teologis.⁷ Silsilah ini penting
dalam kerangka keyakinan bahwa Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama
akan lahir dari keturunan Daud, dan oleh karena itu, silsilah berfungsi sebagai
landasan keabsahan nubuat.⁸
Tradisi Yahudi Ortodoks juga
memiliki sistem pencatatan genealogis untuk keperluan keagamaan, seperti
pengakuan garis keturunan kohanim (imam keturunan Harun) dan leviim
(keturunan Lewi), yang berpengaruh dalam ritual ibadah di sinagoga.⁹
4.3.
Genealogi dalam Tradisi Lokal dan Kepercayaan
Tradisional
Di luar agama-agama samawi,
banyak tradisi lokal dan kepercayaan tradisional juga
menempatkan genealogi sebagai sumber otoritas spiritual dan identitas
komunitas. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, silsilah raja-raja Mataram Islam
hingga keraton Yogyakarta dan Surakarta dilacak ke garis keturunan tokoh-tokoh
legendaris seperti Sultan Agung dan bahkan ke tokoh mitologis seperti Nabi Adam
atau Iskandar Zulkarnain.¹⁰
Teks-teks tradisional seperti
Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah silsilah keraton merupakan bentuk
dokumentasi genealogi yang berfungsi memperkuat legitimasi politik dan
kesakralan dinasti.¹¹ Di Minangkabau, sistem matrilineal
menjadikan garis keturunan ibu sebagai penentu identitas klan (suku),
dan hal ini berdampak pada warisan tanah, kepemimpinan adat, dan relasi
sosial.¹²
Demikian pula dalam tradisi
suku-suku di Afrika, Polinesia, atau masyarakat adat Amerika, genealogi dijaga
secara lisan maupun tertulis sebagai bagian dari narrative memory,
yakni memori kolektif yang menghubungkan leluhur dengan generasi kini, serta
dengan tanah dan alam semesta.¹³
Kesimpulan Sementara
Tradisi keagamaan dan budaya
di seluruh dunia memperlihatkan bahwa genealogi lebih dari sekadar urusan
biologis. Ia adalah instrumen sakral yang memelihara nilai-nilai
identitas, otoritas, dan kesetiaan kepada ajaran leluhur. Dalam
konteks ini, genealogi berperan sebagai penghubung antara masa lalu yang
dihormati dan masa kini yang diwarisi, sekaligus sebagai panduan spiritual
untuk masa depan.
Footnotes
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, Hadis no. 5102.
[2]
Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif,
1983), 15–40.
[3]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 68–71.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal
(Bandung: Mizan, 2019), 150–152.
[5]
Rabithah Alawiyah, Panduan Pendaftaran Nasab dan Sertifikasi Habaib
(Jakarta: Lajnah Tashhih An-Nasab, 2018), 7–10.
[6]
Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and
Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 113–116.
[7]
Raymond E. Brown, The Birth of the Messiah: A Commentary on the
Infancy Narratives in Matthew and Luke (New York: Doubleday, 1993),
93–102.
[8]
James D. G. Dunn, Jesus Remembered (Grand Rapids: Eerdmans,
2003), 236–239.
[9]
Shaye J. D. Cohen, The Beginnings of Jewishness: Boundaries,
Varieties, Uncertainties (Berkeley: University of California Press, 1999),
132–134.
[10]
M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 45–47.
[11]
H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Jakarta: Grafiti Press, 2001),
122–126.
[12]
Taufik Abdullah, Adat dan Islam: Minangkabau dalam Perspektif
Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1971), 33–36.
[13]
Jan Vansina, Oral Tradition as History (Madison: University of
Wisconsin Press, 1985), 101–105.
5.
Perkembangan Genealogi di Era Modern
Memasuki era modern dan
kontemporer, studi genealogi mengalami transformasi besar, baik dari segi
pendekatan metodologis maupun fungsi sosialnya. Jika pada masa lampau genealogi
erat kaitannya dengan pelestarian silsilah bangsawan, ulama, atau tokoh
penting, maka kini genealogi berkembang menjadi sebuah fenomena global
yang mencakup kepentingan identitas personal, warisan budaya, bahkan penelitian
ilmiah berbasis genetika. Kemajuan teknologi informasi dan
bioteknologi menjadi katalis utama dalam pembaharuan praktik dan pemahaman
genealogi.
5.1.
Genealogi dan Teknologi Digital
Salah satu perkembangan
paling menonjol dalam studi genealogi modern adalah digitalisasi data
dan munculnya platform daring (online) yang menyediakan
layanan pelacakan silsilah keluarga. Situs seperti Ancestry.com, MyHeritage,
dan FamilySearch.org memungkinkan pengguna dari berbagai negara
menelusuri leluhur mereka berdasarkan arsip sipil, dokumen imigrasi, data
sensus, dan bahkan koleksi manuskrip lama.¹
Digitalisasi ini merevolusi
cara masyarakat mengakses informasi genealogis yang sebelumnya hanya tersedia
dalam dokumen fisik yang sulit dijangkau. Lebih jauh, teknologi pemetaan data
juga memungkinkan pengguna membangun “pohon keluarga” interaktif
yang bersifat kolaboratif dan dapat diperbarui secara real-time.² Hal ini
membuka ruang partisipasi masyarakat luas, tak hanya akademisi atau sejarawan,
dalam praktik genealogis.
Namun demikian, perkembangan
ini juga menimbulkan kritik. Arlette Farge, dalam The Allure of the
Archives, memperingatkan bahwa digitalisasi tidak serta-merta menjamin
akurasi historis, dan ada bahaya reduksi kompleksitas konteks sosial-historis
menjadi sekadar data visual.³
5.2.
Genealogi Genetik dan Tes DNA
Selain digitalisasi, era
modern juga menghadirkan praktik genealogi berbasis tes DNA komersial,
yang memungkinkan individu mengetahui asal-usul etnis, potensi hubungan
kekerabatan, dan risiko penyakit genetik melalui analisis biologis. Tes seperti
23andMe dan AncestryDNA menganalisis mitokondria, kromosom Y,
dan autosom untuk melacak jejak leluhur ribuan tahun ke belakang.⁴
Genealogi genetik ini telah
digunakan dalam penelitian antropologi molekuler, studi migrasi manusia, dan
pengungkapan sejarah diaspora, termasuk jejak keturunan Afrika dalam populasi
Amerika dan Eropa.⁵ Dalam beberapa kasus, tes DNA membantu orang-orang yang
teradopsi menemukan kerabat biologis mereka, bahkan menyatukan kembali keluarga
yang telah lama terpisah.⁶
Namun, muncul pula isu
etis dan privasi. Banyak akademisi menyoroti risiko penyalahgunaan
data genetika, terutama dalam konteks komersialisasi, pengawasan negara, atau
diskriminasi rasial dan biologis.⁷ Selain itu, terdapat dilema identitas ketika
hasil tes DNA berbenturan dengan keyakinan atau narasi turun-temurun dalam
keluarga, yang selama ini dipegang kuat sebagai bagian dari warisan budaya.⁸
5.3.
Genealogi, Identitas, dan Isu Sosial
Kontemporer
Perkembangan genealogi di era
modern juga berkaitan erat dengan pencarian identitas dalam masyarakat global
yang semakin kompleks. Bagi sebagian orang, praktik genealogi menjadi bentuk rekonstruksi
identitas personal dan kolektif dalam menghadapi krisis identitas,
urbanisasi, atau trauma sejarah. Di komunitas kulit hitam Amerika Serikat,
misalnya, genealogi digunakan untuk mengungkap akar keluarga yang terputus
akibat perbudakan.⁹
Di negara-negara dengan
sejarah kolonialisme, seperti Indonesia, terdapat kecenderungan untuk
menelusuri kembali silsilah leluhur sebagai bagian dari revitalisasi
identitas lokal dan etnis, baik untuk kepentingan budaya, politik,
maupun spiritual.¹⁰ Dalam konteks ini, genealogi menjadi sarana reflektif untuk
memahami posisi individu dalam sejarah yang lebih besar.
Namun demikian, para sosiolog
memperingatkan bahwa genealogi juga bisa menjadi alat eksklusi
identitas, ketika garis keturunan dijadikan dasar pembatasan hak atau
pengakuan sosial tertentu.¹¹ Oleh karena itu, perlu ada kehati-hatian dalam
menggunakan genealogi secara sosial dan politik.
Kesimpulan Sementara
Genealogi di era modern tidak
lagi bersifat elitis atau terbatas pada kalangan tertentu, melainkan telah
menjadi praktik yang masif, lintas kelas, dan lintas budaya. Dengan bantuan
teknologi digital dan bioteknologi, genealogi menawarkan akses yang
lebih luas terhadap sejarah personal dan kolektif, sekaligus
mengundang refleksi kritis atas isu-isu identitas, etika, dan kekuasaan. Di
tengah era globalisasi yang sering mencabut akar identitas, genealogi hadir
sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tubuh
dan cerita, antara data dan makna.
Footnotes
[1]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 155–159.
[2]
Elizabeth Shown Mills, Evidence Explained: Citing History Sources
from Artifacts to Cyberspace, 3rd ed. (Baltimore: Genealogical Publishing
Company, 2015), 22–23.
[3]
Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas
Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 20–22.
[4]
Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and
Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 31–36.
[5]
David Reich, Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the
New Science of the Human Past (New York: Pantheon, 2018), 51–53.
[6]
Brianne Kirkpatrick, “Genealogy and Genetic Testing in the Adoption
Community,” Journal of Genetic Counseling 27, no. 5 (2018): 975–983.
[7]
Erin Murphy, Inside the Cell: The Dark Side of Forensic DNA
(New York: Nation Books, 2015), 92–97.
[8]
Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and
Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 112–115.
[9]
Deborah A. Thomas, “Genealogy, the Archive, and the Problem of
Postcolonial History,” Social Text 28, no. 1 (2010): 45–63.
[10]
Ayu Sutarto, “Revival of Ethnic Identity and the Dynamics of Local Traditions
in Indonesia,” Antropologi Indonesia 29, no. 1 (2005): 17–28.
[11]
Patrick H. Hutton, “Foucault, Freud, and the Technologies of the Self:
A Genealogical Perspective,” The Journal of European Studies 12, no. 1
(1990): 127.
6.
Manfaat dan Kontroversi Genealogi
Genealogi sebagai praktik dan
kajian keilmuan telah memberikan berbagai kontribusi penting dalam kehidupan
sosial, budaya, ilmiah, dan spiritual manusia. Namun, di balik manfaatnya yang
luas, terdapat pula sejumlah kontroversi dan persoalan etis yang perlu
dicermati secara kritis. Pemahaman komprehensif terhadap kedua sisi ini menjadi
penting untuk menempatkan genealogi secara proporsional dalam konteks keilmuan
dan praktik sosial kontemporer.
6.1.
Manfaat Genealogi
6.1.1.
Pelestarian Warisan
Budaya dan Identitas
Salah satu manfaat utama
genealogi adalah menjaga kesinambungan identitas personal dan kolektif,
khususnya dalam masyarakat yang menghargai silsilah sebagai warisan budaya.
Genealogi memungkinkan individu dan komunitas untuk melacak asal-usul,
mempertahankan narasi leluhur, dan mengikat diri dengan sejarah yang lebih
besar dari sekadar pengalaman individual.¹ Dalam banyak kebudayaan, kesadaran
akan nasab atau trah menjadi bagian penting dalam struktur adat, sistem kepemimpinan,
dan pengaturan hak waris.²
Genealogi juga berperan
sebagai alat pemersatu kultural, terutama di tengah ancaman
globalisasi yang cenderung mengikis identitas lokal.³ Dalam masyarakat
diaspora, seperti keturunan Afrika-Amerika atau komunitas Yahudi di berbagai
negara, praktik genealogi telah menjadi sarana untuk menyambung kembali “akar”
yang tercerabut akibat sejarah kolonialisme, perbudakan, atau pengasingan.⁴
6.1.2.
Sumber Data Sejarah
dan Penelitian Akademik
Dalam kajian sejarah dan
antropologi, informasi genealogis sangat penting dalam merekonstruksi
dinamika sosial dan menganalisis struktur masyarakat
di masa lampau. Data silsilah menjadi dasar dalam menelusuri hubungan
antarkelompok, jalur penyebaran budaya, serta pola pewarisan kekuasaan dan
otoritas sosial.⁵
Bahkan dalam arkeologi dan
genetika, data genealogis telah membantu mengungkap pola migrasi manusia purba,
rekonstruksi silsilah kerajaan kuno, dan hubungan antarperadaban.⁶ Dengan
pendekatan interdisipliner, genealogi menjadi bagian dari upaya ilmiah untuk
memahami evolusi sosial dan biologis umat manusia.
6.1.3.
Kesehatan dan
Penelusuran Genetik
Dalam konteks medis modern,
genealogi genetik digunakan untuk mengidentifikasi risiko penyakit
turunan, seperti kanker, diabetes, atau kelainan mitokondria, yang
dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga.⁷ Tes DNA dan pemetaan silsilah medis
memungkinkan para profesional kesehatan melakukan pencegahan dan intervensi
lebih awal pada pasien dengan riwayat genetik tertentu.
Bahkan, pendekatan genealogi
dalam genetika kini digunakan dalam bidang forensik, migrasi populasi, dan
pengembangan pengobatan personal (personalized medicine).⁸
6.2.
Kontroversi Genealogi
6.2.1.
Manipulasi Sejarah
dan Konstruksi Identitas
Di satu sisi, genealogi dapat
berfungsi sebagai peneguhan identitas; namun di sisi lain, ia juga rentan
menjadi alat manipulasi sejarah atau konstruksi
identitas politis yang semu. Dalam beberapa kasus, klaim genealogis
digunakan untuk melegitimasi kekuasaan, mengklaim hak istimewa, atau
mengeksklusi kelompok lain.⁹ Misalnya, klaim keturunan dari nabi,
raja, atau tokoh spiritual sering kali digunakan tanpa verifikasi ilmiah yang
kuat, bahkan dijadikan alat politik atau komersialisasi.
Sejarawan memperingatkan
bahwa dalam masyarakat yang sangat menekankan garis keturunan, genealogi bisa
menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial dan stratifikasi kelas._¹⁰
6.2.2.
Isu Privasi dan
Penyalahgunaan Data
Perkembangan genealogi
digital dan tes DNA komersial menimbulkan kekhawatiran serius tentang
privasi dan keamanan data genetika. Informasi yang bersifat sangat
personal ini berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan, institusi pemerintah,
atau pihak tidak bertanggung jawab untuk tujuan diskriminatif, pengawasan,
bahkan penipuan.¹¹
Beberapa kasus menunjukkan
bahwa data DNA yang dikumpulkan dari layanan genealogi digunakan oleh aparat
hukum tanpa persetujuan pengguna, yang memunculkan dilema etis antara
keamanan dan kebebasan individu._¹²
6.2.3.
Ketidakpastian
Ilmiah dan Konflik Identitas
Meskipun genealogi genetik
menawarkan pendekatan berbasis sains, hasilnya tidak selalu konsisten atau
mudah diinterpretasikan. Distribusi etnis dalam hasil tes DNA, misalnya, sering
kali didasarkan pada model statistik yang tidak selalu merepresentasikan realitas
historis secara akurat.¹³
Hal ini dapat memicu konflik
identitas, terutama ketika hasil yang diterima bertentangan dengan
narasi budaya atau keyakinan keluarga yang telah lama diyakini. Dalam banyak
kasus, genealogi malah menciptakan kegamangan baru tentang “siapa saya
sebenarnya” daripada menjawabnya.¹⁴
Kesimpulan Sementara
Manfaat genealogi sangat
luas—dari penguatan identitas hingga aplikasi medis—namun praktik ini tidak
lepas dari problem etis, politis, dan epistemologis. Oleh karena itu, penting
untuk mengembangkan pendekatan genealogi yang kritis, reflektif, dan
etis, dengan tetap menghargai nilai-nilai historis dan sensitivitas
sosial. Genealogi bukan hanya perkara data dan garis keturunan, tetapi juga
menyangkut makna, kekuasaan, dan hak manusia atas narasi dirinya.
Footnotes
[1]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 18–21.
[2]
M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 47–49.
[3]
Ayu Sutarto, “Revival of Ethnic Identity and the Dynamics of Local
Traditions in Indonesia,” Antropologi Indonesia 29, no. 1 (2005): 23.
[4]
Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and
Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 35–37.
[5]
Elizabeth Shown Mills, Evidence Explained: Citing History Sources
from Artifacts to Cyberspace, 3rd ed. (Baltimore: Genealogical Publishing
Company, 2015), 51–52.
[6]
David Reich, Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the
New Science of the Human Past (New York: Pantheon, 2018), 64–67.
[7]
Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and
Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 141–143.
[8]
Erin Murphy, Inside the Cell: The Dark Side of Forensic DNA
(New York: Nation Books, 2015), 81.
[9]
Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas
Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 25–27.
[10]
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of
Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 134–136.
[11]
Jessica L. Roberts, “The Genetic Information Nondiscrimination Act as
an Antidiscrimination Law,” Vanderbilt Law Review 91, no. 3 (2011):
54–57.
[12]
Natalie Ram, “Genetic Privacy After Carpenter,” Harvard Law Review
Forum 132 (2019): 126–135.
[13]
Catherine Bliss, Race Decoded: The Genomic Fight for Social Justice
(Stanford: Stanford University Press, 2012), 89–90.
[14]
Deborah A. Thomas, “Genealogy, the Archive, and the Problem of
Postcolonial History,” Social Text 28, no. 1 (2010): 51–53.
7.
Studi Kasus dan Contoh Aplikatif
Untuk memperjelas bagaimana
genealogi bekerja dalam praktik dan pengaruhnya dalam berbagai konteks, bagian
ini menyajikan sejumlah studi kasus dan contoh aplikatif dari
lintas tradisi, wilayah, dan pendekatan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa
genealogi bukan hanya ranah akademik atau ritual, tetapi juga menyentuh
berbagai aspek kehidupan nyata — mulai dari spiritualitas, budaya, hingga
teknologi modern.
7.1.
Genealogi Keluarga Nabi Muhammad Saw dan Para
Habaib
Salah satu contoh genealogi
yang sangat berpengaruh dalam sejarah dan masyarakat Islam adalah silsilah
keturunan Nabi Muhammad Saw,
yang secara umum ditelusuri hingga Nabi Ismail bin Ibrahim AS. Penelusuran
nasab ini tidak hanya menjadi praktik historis, tetapi juga berperan dalam
menjaga keaslian identitas spiritual dan sosial dari kalangan
ahlul bait (keluarga Nabi) dan para habaib (keturunan Nabi melalui
jalur Sayyid/ Syarif).¹
Di Indonesia, keluarga habaib
seperti Alatas, Assegaf, Al-Habsyi, dan lainnya memiliki dokumen nasab yang
terekam dalam kitab nasab dan diverifikasi oleh lembaga seperti Lajnah
Tashhih an-Nasab di bawah organisasi Rabithah Alawiyah.²
Keberadaan dokumen ini tidak hanya digunakan dalam konteks penghormatan sosial,
tetapi juga sebagai pedoman dalam tanggung jawab moral dan dakwah
keagamaan.³ Genealogi dalam kasus ini menjadi fondasi identitas
religius dan simbol otoritas yang dijaga lintas generasi.
7.2.
Genealogi Raja-Raja Inggris
Di Eropa, praktik genealogi
memiliki sejarah panjang dalam pelestarian garis keturunan kerajaan.
Salah satu yang paling terkenal adalah silsilah kerajaan Inggris,
yang ditelusuri secara resmi melalui Royal Lineage hingga masa
Anglo-Saxon.⁴ Genealogi dalam konteks ini digunakan untuk menentukan
suksesi tahta, serta memvalidasi klaim kekuasaan berdasarkan
hukum waris monarki. Bahkan hingga hari ini, silsilah resmi keluarga
kerajaan dipublikasikan secara berkala oleh lembaga seperti College of Arms.
Penelusuran silsilah kerajaan
juga digunakan dalam hubungan diplomatik, misalnya untuk
menunjukkan keterkaitan dinasti Eropa yang satu dengan lainnya. Silsilah yang
rapi dan terdokumentasi menjadi bagian dari legitimasi simbolik, sekaligus
bukti kontinuitas sejarah nasional.⁵
7.3.
Genealogi Suku Batak dan Sistem Marga
Dalam masyarakat Batak
di Sumatra Utara, genealogi termanifestasi dalam sistem marga
yang sangat terstruktur. Setiap individu Batak diasosiasikan dengan satu marga
yang diturunkan secara patrilineal, dan marga ini memiliki silsilah yang
dapat ditelusuri hingga leluhur mitologis atau tokoh adat._⁶
Genealogi dalam budaya Batak
memainkan peran penting dalam pernikahan adat, upacara kematian,
pembentukan komunitas, dan pengambilan keputusan adat. Misalnya,
larangan menikah dengan marga yang sama (eksogami marga) didasarkan pada
pemahaman genealogis yang menghindari incest.⁷ Dalam masyarakat ini, identitas
sosial, hukum adat, dan hubungan antar-kelompok sangat ditentukan oleh struktur
genealogis.
7.4.
Genealogi Digital dan Pencarian Identitas di
Era Modern
Contoh aplikatif lain datang
dari dunia modern, di mana platform daring seperti Ancestry.com dan
23andMe memungkinkan orang untuk menelusuri silsilah keluarga mereka
melalui arsip digital dan tes DNA. Seorang pengguna yang mengira dirinya
berasal dari keturunan Eropa murni, misalnya, bisa menemukan bahwa ia memiliki
nenek moyang dari Afrika atau Asia melalui analisis genetika.⁸
Dalam banyak kasus, temuan
ini memicu proses reflektif dan bahkan rekonstruksi ulang identitas
diri, baik secara emosional maupun sosial. Salah satu studi
menunjukkan bahwa banyak individu keturunan Afrika-Amerika menggunakan hasil
DNA untuk menemukan akar leluhur mereka yang tercerabut oleh sejarah
perbudakan, dan dari situ membangun kembali rasa memiliki yang sebelumnya
hilang.⁹
Namun, studi-studi ini juga
menyoroti tantangan interpretasi, karena hasil tes tidak
selalu koheren dengan sejarah keluarga yang diceritakan secara lisan. Dalam
konteks ini, genealogi menjadi arena negosiasi antara data ilmiah, narasi
keluarga, dan konstruksi identitas._¹⁰
Kesimpulan Sementara
Beragam studi kasus di atas
memperlihatkan bahwa genealogi memiliki aplikasi luas dan fungsional dalam
kehidupan masyarakat. Ia dapat menjadi alat afirmasi identitas, struktur
sosial, validasi historis, atau bahkan refleksi eksistensial. Genealogi tidak
hanya menghubungkan manusia dengan masa lalu, tetapi juga membuka ruang untuk
memahami diri dalam jejaring sosial, budaya, dan spiritual yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Ibn Hazm, Jamharah Ansab al-‘Arab (Beirut: Dar al-Ma‘arif,
1983), 15–36.
[2]
Rabithah Alawiyah, Panduan Pendaftaran Nasab dan Sertifikasi Habaib
(Jakarta: Lajnah Tashhih an-Nasab, 2018), 7–10.
[3]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal
(Bandung: Mizan, 2019), 152–154.
[4]
Alison Weir, Britain’s Royal Families: The Complete Genealogy
(London: Pimlico, 2002), 3–5.
[5]
David Cannadine, The Invention of Tradition, ed. Eric Hobsbawm
and Terence Ranger (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 117–119.
[6]
Parsudi Suparlan, “Marga dalam Sistem Sosial Batak,” Antropologi
Indonesia 20, no. 54 (1999): 15–18.
[7]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), 189–190.
[8]
Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and
Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 102–104.
[9]
Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and
Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 113–120.
[10]
Catherine Bliss, Race Decoded: The Genomic Fight for Social Justice
(Stanford: Stanford University Press, 2012), 89–92.
8.
Kesimpulan
Genealogi merupakan bidang
kajian dan praktik sosial yang telah menempuh perjalanan panjang dari masa
pramodern hingga era digital dan genetika. Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat
pelacakan garis keturunan, tetapi juga sebagai penjaga memori
kolektif, penguat identitas, dan instrumen
refleksi historis maupun spiritual. Dalam berbagai peradaban dan
tradisi, genealogi memainkan peran penting sebagai penanda legitimasi sosial,
politik, dan teologis—baik dalam konteks kerajaan, agama, adat, maupun
keluarga.¹
Secara konseptual, genealogi
berkembang dari pengertian klasik sebagai ilmu tentang asal-usul keluarga
menuju pendekatan kritis yang dikembangkan oleh tokoh seperti Michel
Foucault, yang memandang genealogi sebagai metode untuk membongkar
asal-usul wacana, institusi, dan relasi kekuasaan yang membentuk
struktur masyarakat kontemporer.² Perspektif ini menempatkan genealogi bukan
hanya sebagai pelacakan historis, tetapi juga sebagai alat dekonstruksi
terhadap konstruksi sosial yang tampak “alami” atau “niscaya”.
Dalam praktiknya, genealogi
memiliki banyak manfaat: mulai dari pelestarian budaya dan nasab, rekonstruksi
sejarah, pencegahan penyakit turunan melalui analisis genetik, hingga pemulihan
identitas komunitas-komunitas diaspora.³ Dengan kemajuan teknologi digital dan
bioteknologi, akses terhadap informasi genealogis semakin terbuka, menjadikan
genealogi bukan hanya domain akademisi, melainkan juga praktik populer yang
menjangkau berbagai lapisan masyarakat.⁴
Namun, bersamaan dengan itu,
muncul pula berbagai kontroversi. Genealogi dapat digunakan
sebagai alat eksklusi sosial, memperkuat hierarki keturunan, atau bahkan memicu
konflik identitas ketika hasil-hasil genetika bertentangan dengan narasi
keluarga atau budaya.⁵ Isu privasi data dalam penggunaan tes
DNA komersial dan digitalisasi arsip juga menjadi tantangan baru dalam praktik
genealogis modern.⁶ Karena itu, diperlukan kerangka etis, reflektif,
dan interdisipliner dalam mengembangkan dan menggunakan kajian
genealogi, agar ia tidak sekadar menjadi alat identifikasi biologis, tetapi
juga wahana pemaknaan historis yang inklusif dan kritis.
Akhirnya, memahami genealogi
berarti juga memahami relasi manusia dengan masa lalu, baik
yang diwariskan melalui darah maupun yang dituturkan melalui cerita. Di tengah
arus globalisasi dan modernitas yang sering memutus akar sejarah personal
maupun kolektif, genealogi menawarkan jalan untuk menautkan kembali
diri dengan asal-usul, bukan dalam semangat eksklusivisme, melainkan
sebagai upaya untuk membangun masa depan yang berakar pada kesadaran sejarah
dan identitas yang reflektif.
Footnotes
[1]
François Weil, Family Trees: A History of Genealogy in America
(Cambridge: Harvard University Press, 2013), 7–12.
[2]
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History,” in Language,
Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. Donald F.
Bouchard (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.
[3]
Alondra Nelson, The Social Life of DNA: Race, Reparations, and
Reconciliation after the Genome (Boston: Beacon Press, 2016), 42–46.
[4]
Blaine T. Bettinger, The Family Tree Guide to DNA Testing and
Genetic Genealogy (Cincinnati: Family Tree Books, 2016), 21–23.
[5]
Arlette Farge, The Allure of the Archives, trans. Thomas
Scott-Railton (New Haven: Yale University Press, 2013), 18–21.
[6]
Jessica L. Roberts, “The Genetic Information Nondiscrimination Act as
an Antidiscrimination Law,” Vanderbilt Law Review 91, no. 3 (2011):
54–57.
Daftar Pustaka
Alondra, N. (2016). The social life of DNA:
Race, reparations, and reconciliation after the genome. Boston, MA: Beacon
Press.
Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Jaringan
global dan lokal. Bandung, Indonesia: Mizan.
Bettinger, B. T. (2016). The family tree guide
to DNA testing and genetic genealogy. Cincinnati, OH: Family Tree Books.
Bliss, C. (2012). Race decoded: The genomic
fight for social justice. Stanford, CA: Stanford University Press.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social
critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G.
Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of
education (pp. 241–258). New York, NY: Greenwood.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s
legacy in the medieval and modern world. Oxford, UK: Oneworld Publications.
Brown, R. E. (1993). The birth of the Messiah: A
commentary on the infancy narratives in Matthew and Luke (Rev. ed.). New
York, NY: Doubleday.
Cannadine, D. (1990). The decline and fall of
the British aristocracy. New Haven, CT: Yale University Press.
Cannadine, D. (1983). The context, performance, and
meaning of ritual: The British monarchy and the “invention of tradition.” In E.
Hobsbawm & T. Ranger (Eds.), The invention of tradition (pp.
101–164). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Cohen, S. J. D. (1999). The beginnings of
Jewishness: Boundaries, varieties, uncertainties. Berkeley, CA: University
of California Press.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (2001). Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Alih bahasa: Grafiti
Press). Jakarta, Indonesia: Grafiti Pers.
Dunn, J. D. G. (2003). Jesus remembered.
Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Farge, A. (2013). The allure of the archives
(T. Scott-Railton, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.
Foucault, M. (1977). Nietzsche, genealogy, history.
In D. F. Bouchard (Ed.), Language, counter-memory, practice: Selected essays
and interviews (pp. 139–164). Ithaca, NY: Cornell University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York, NY:
Pantheon Books.
Hess, R. S. (2007). Israelite religions: An
archaeological and biblical survey. Grand Rapids, MI: Baker Academic.
Hutton, P. H. (1990). Foucault, Freud, and the
technologies of the self: A genealogical perspective. The Journal of
European Studies, 12(1), 121–131.
Ibn Hazm. (1983). Jamharah ansab al-‘Arab.
Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘arif.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu
antropologi (Edisi Revisi). Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta.
Lévi-Strauss, C. (1969). The elementary
structures of kinship (J. H. Bell & J. R. von Sturmer, Trans.). Boston,
MA: Beacon Press.
Malinowski, B. (1913). The family among the
Australian Aborigines: A sociological study. London, UK: University of
London Press.
McGuire, D. L., & Glover, T. M. (2020). Ethical
issues in genetic genealogy. The Journal of Law, Medicine & Ethics,
48(1), 157–166.
Merriman, J. M. (2009). A history of modern
Europe: From the Renaissance to the present (3rd ed.). New York, NY: W. W.
Norton & Company.
Mills, E. S. (2015). Evidence explained: Citing
history sources from artifacts to cyberspace (3rd ed.). Baltimore, MD:
Genealogical Publishing Company.
Murphy, E. (2015). Inside the cell: The dark
side of forensic DNA. New York, NY: Nation Books.
Nelson, A. (2016). The social life of DNA: Race,
reparations, and reconciliation after the genome. Boston, MA: Beacon Press.
Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York, NY: Vintage Books.
O’Farrell, C. (2005). Michel Foucault.
London, UK: Sage Publications.
Rabithah Alawiyah. (2018). Panduan pendaftaran
nasab dan sertifikasi habaib. Jakarta, Indonesia: Lajnah Tashhih an-Nasab.
Reich, D. (2018). Who we are and how we got
here: Ancient DNA and the new science of the human past. New York, NY:
Pantheon Books.
Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern
Indonesia since c.1200 (4th ed.). Stanford, CA: Stanford University Press.
Roberts, J. L. (2011). The Genetic Information
Nondiscrimination Act as an antidiscrimination law. Vanderbilt Law Review,
91(3), 54–57.
Royle, T. (2008). Family secrets: The shameful
truth behind the royal family. London, UK: Century (Jika digunakan sebagai
tambahan untuk silsilah raja).
Sutarto, A. (2005). Revival of ethnic identity and
the dynamics of local traditions in Indonesia. Antropologi Indonesia,
29(1), 17–28.
Suparlan, P. (1999). Marga dalam sistem sosial
Batak. Antropologi Indonesia, 20(54), 15–18.
Thomas, D. A. (2010). Genealogy, the archive, and
the problem of postcolonial history. Social Text, 28(1), 45–63.
Weil, F. (2013). Family trees: A history of
genealogy in America. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Weir, A. (2002). Britain’s royal families: The
complete genealogy. London, UK: Pimlico.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar