Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-6: Menangkal Ancaman terhadap Keutuhan Negara dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Bahan Ajar PPKn

Menangkal Ancaman terhadap Keutuhan Negara dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Kajian Kritis Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi berbagai bentuk ancaman yang bersifat multidimensional, mulai dari bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dinamika ancaman-ancaman tersebut serta merumuskan pendekatan strategis dalam menghadapinya melalui kerangka nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar integrasi nasional. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis berbasis literatur akademik dan data aktual, pembahasan artikel mencakup bentuk dan sumber ancaman, dampak terhadap stabilitas negara, serta upaya penyelesaian berbasis nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan. Kajian ini menunjukkan bahwa setiap bidang memiliki tantangan tersendiri yang saling berkelindan dan memerlukan respon terpadu, baik dari sisi kebijakan negara maupun partisipasi aktif warga negara. Bhinneka Tunggal Ika terbukti menjadi paradigma solutif dalam merawat harmoni dalam perbedaan, membangun kohesi sosial, serta memperkuat identitas nasional. Refleksi kewarganegaraan menjadi bagian penting dalam membentuk kesadaran kolektif untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah kompleksitas globalisasi dan transformasi sosial.

Kata Kunci: Keutuhan Negara, Ancaman Multidimensional, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Kewarganegaraan Aktif, Integrasi Nasional, Ketahanan Nasional.


PEMBAHASAN

Menangkal Ancaman terhadap Keutuhan Negara dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika


1.           Pendahuluan

Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan aset fundamental yang harus senantiasa dijaga dan diperkuat oleh seluruh elemen bangsa. Sebagai negara yang dibangun di atas fondasi keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Indonesia memiliki potensi kekayaan sosial-budaya yang luar biasa, namun pada saat yang sama juga rentan terhadap berbagai bentuk ancaman yang dapat mengganggu stabilitas dan persatuan nasional. Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan prinsip filosofis yang menjadi landasan kohesi sosial di tengah pluralitas bangsa.

Ancaman terhadap negara dapat muncul dalam berbagai bentuk dan dari berbagai dimensi kehidupan nasional. Dalam bidang ideologi, misalnya, munculnya paham radikalisme keagamaan maupun sekularisme ekstrem dapat merongrong nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Di bidang politik, praktik politik identitas, disinformasi, dan fragmentasi elit politik berpotensi memicu polarisasi yang mengganggu harmoni kehidupan berbangsa. Sementara itu, di sektor ekonomi, kesenjangan sosial, ketergantungan ekonomi terhadap negara asing, serta praktik ekonomi eksploitatif menjadi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia1.

Dalam bidang sosial dan budaya, penyebaran gaya hidup konsumtif dan individualistik yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya lokal turut mempercepat degradasi moral dan lunturnya identitas nasional2. Tidak kalah penting, di bidang pertahanan dan keamanan, ancaman dari luar seperti infiltrasi jaringan terorisme transnasional, kejahatan siber, serta gangguan kedaulatan wilayah menunjukkan bahwa Indonesia tidak boleh lengah dalam menjaga integritas teritorialnya3.

Berbagai dinamika tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap negara bersifat multidimensional dan saling terkait. Oleh karena itu, upaya untuk menangkalnya harus dilakukan secara komprehensif dan sistematis dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kolektif, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, serta memupuk tanggung jawab warga negara untuk berkontribusi aktif dalam menjaga keutuhan NKRI.

Sebagai bagian dari upaya tersebut, analisis terhadap berbagai ancaman dan strategi penyelesaiannya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika menjadi sangat penting untuk dikaji secara kritis dan konstruktif. Dengan pemahaman yang utuh terhadap konteks ancaman dan pendekatan penyelesaiannya, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan sikap kewarganegaraan yang cerdas, tangguh, dan berorientasi pada kepentingan nasional dalam kerangka negara yang demokratis dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), 22–23.

[2]                Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Kebudayaan (Jakarta: Kompas, 2007), 34.

[3]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 45–48.


2.           Ancaman terhadap Ideologi Negara

Ideologi negara merupakan fondasi dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, Pancasila telah ditegaskan sebagai ideologi negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, nilai, dan moral kebangsaan. Sebagai sistem nilai, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai panduan normatif, tetapi juga sebagai sarana pemersatu dalam menghadapi kompleksitas keberagaman bangsa1. Namun, dalam praktiknya, Pancasila tidak luput dari berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, yang dapat melemahkan daya ikat ideologis warga negara terhadap prinsip-prinsip dasar kenegaraan.

2.1.       Radikalisme dan Ekstremisme Ideologis

Salah satu bentuk ancaman ideologis yang nyata adalah radikalisme, yaitu paham yang mengingkari prinsip-prinsip kebangsaan dan berupaya mengganti ideologi negara dengan sistem lain, baik yang berbasis keagamaan secara sempit maupun ideologi transnasional yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai lokal2. Radikalisme ini kerap diekspresikan dalam bentuk intoleransi, ujaran kebencian, hingga tindakan kekerasan yang mengancam kehidupan beragama dan bernegara yang damai. Kelompok-kelompok radikal juga memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menyebarkan paham-paham mereka secara masif, terutama kepada generasi muda3.

2.2.       Sekularisme dan Erosinya terhadap Spiritualitas Pancasila

Di sisi lain, terdapat pula ancaman dari ideologi sekularisme ekstrem, yang mendorong pemisahan mutlak antara agama dan negara, serta menafikan dimensi religiusitas dalam kehidupan publik. Hal ini bertentangan dengan sila pertama Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama. Ketika semangat spiritual yang menjadi jiwa bangsa mulai terkikis oleh relativisme nilai dan pragmatisme modern, maka Pancasila kehilangan ruhnya sebagai ideologi yang mengintegrasikan dimensi etis dan transenden dalam kehidupan nasional4.

2.3.       Liberalisme dan Individualisme yang Berlebihan

Ideologi liberalisme yang menekankan kebebasan individu secara mutlak, apabila tidak dibatasi oleh nilai-nilai kebangsaan dan kepentingan kolektif, dapat menumbuhkan individualisme ekstrem dan melemahkan solidaritas sosial. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi asas gotong royong seperti Indonesia, orientasi hidup yang terlalu individualistis dapat menciptakan keterasingan sosial dan keterbelahan ideologis antarwarga negara5. Hal ini terlihat dari menurunnya semangat kolektivitas, rendahnya partisipasi sosial-politik, serta meningkatnya sikap apatis terhadap masalah kebangsaan.

2.4.       Upaya Penanggulangan dan Penguatan Ideologi Negara

Menghadapi berbagai tantangan ideologis tersebut, negara dan seluruh komponen masyarakat perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat posisi Pancasila. Upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui revitalisasi pendidikan Pancasila yang berwawasan kritis dan kontekstual, pembinaan ideologi di lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat, serta penguatan lembaga-lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam merumuskan arah kebijakan ideologis nasional secara konsisten6.

Lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa penguatan ideologi Pancasila bukan semata-mata tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Keterlibatan aktif warga negara dalam menginternalisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk nyata bela negara dalam dimensi ideologis.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 17–18.

[2]                Zuly Qodir, “Radikalisme Agama dan Politik Identitas di Indonesia,” Jurnal Review Politik 5, no. 2 (2015): 235–249.

[3]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan Pencegahan Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 24.

[4]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Fondasi Nilai bagi Indonesia (Jakarta: Mizan, 2004), 65–67.

[5]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), 112.

[6]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Grand Design Pembinaan Ideologi Pancasila 2020–2024 (Jakarta: BPIP, 2020), 39–40.


3.           Ancaman di Bidang Politik

Stabilitas politik merupakan salah satu pilar utama dalam menjamin keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam sistem demokrasi Pancasila, politik seharusnya menjadi ruang partisipasi warga untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan persatuan nasional. Namun demikian, dalam realitas kontemporer, arena politik Indonesia kerap kali mengalami dinamika yang tidak selaras dengan semangat kebangsaan, bahkan berpotensi menjadi ancaman terhadap keutuhan negara.

3.1.       Politik Identitas dan Polarisasi Sosial

Salah satu bentuk ancaman politik yang signifikan adalah maraknya politik identitas, yakni penggunaan aspek primordial seperti agama, suku, dan ras untuk meraih dukungan politik. Politik identitas cenderung memecah belah masyarakat karena mengedepankan eksklusivisme kelompok dibandingkan kepentingan nasional1. Fenomena ini semakin diperparah oleh penyebaran hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial, yang berkontribusi besar terhadap polarisasi sosial dan melemahnya kohesi nasional2.

Dalam konteks pemilu dan pilkada, politik identitas sering dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk memobilisasi massa melalui sentimen keagamaan atau kesukuan. Hal ini tidak hanya merusak substansi demokrasi, tetapi juga menimbulkan konflik horizontal antarwarga yang berbeda pilihan politik, bahkan dalam lingkup keluarga dan komunitas lokal3.

3.2.       Fragmentasi Elit dan Lemahnya Keteladanan Politik

Ancaman lain yang mengemuka dalam bidang politik adalah fragmentasi elit, yakni kecenderungan elit politik untuk mementingkan kepentingan kelompok atau partai dibandingkan kepentingan nasional. Ketika kepemimpinan politik tidak menunjukkan keteladanan moral dan integritas, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan menurun drastis4. Fenomena ini tercermin dalam rendahnya tingkat partisipasi publik yang bermakna dan meningkatnya sikap apatis terhadap politik.

Krisis kepercayaan ini diperparah oleh praktik politik transaksional, politik uang, serta kooptasi lembaga negara oleh kepentingan partisan. Akibatnya, tata kelola pemerintahan menjadi tidak efektif dan cenderung koruptif, yang secara langsung mengancam semangat demokrasi konstitusional yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 19455.

3.3.       Disinformasi dan Manipulasi Opini Publik

Perkembangan teknologi informasi yang pesat membuka peluang besar bagi munculnya disinformasi dan manipulasi opini publik melalui media digital. Konten-konten politis yang tidak berdasar fakta namun dikemas secara provokatif telah menjadi alat untuk membentuk persepsi publik yang keliru, merusak reputasi tokoh, atau memecah belah masyarakat. Kampanye hitam dan berita palsu menjadi senjata politik yang merusak kualitas demokrasi dan mencederai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang objektif dan bertanggung jawab6.

3.4.       Upaya Penanggulangan Ancaman Politik

Menghadapi berbagai bentuk ancaman di bidang politik, diperlukan langkah-langkah sistematis untuk memperkuat demokrasi Pancasila sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi etika, kebhinekaan, dan musyawarah. Pendidikan politik yang kritis dan berorientasi pada kepentingan nasional harus dikembangkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Selain itu, diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik identitas, ujaran kebencian, dan politik uang. Media massa juga perlu menjalankan fungsi edukatif dan kontrol sosial secara bertanggung jawab. Pada saat yang sama, pembenahan institusi politik agar lebih transparan, akuntabel, dan inklusif harus menjadi agenda utama reformasi politik ke depan7.


Footnotes

[1]                Syamsuddin Haris, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2014), 15.

[2]                Wasisto Raharjo Jati, “Politik Identitas dalam Demokrasi Elektoral di Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 21, no. 3 (2017): 229–242.

[3]                Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), 102–103.

[4]                Budi Setiyono, “Krisis Keteladanan Politik dan Tantangan Demokrasi,” Jurnal Politik 6, no. 1 (2015): 45.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: KPK RI, 2023), 32–35.

[6]                Heru Susetyo, “Disinformasi dan Ancaman Demokrasi di Era Digital,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 50, no. 2 (2020): 213–218.

[7]                Komnas HAM, Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Kewarganegaraan (Jakarta: Komnas HAM, 2021), 78.


4.           Ancaman di Bidang Ekonomi

Ekonomi merupakan tulang punggung bagi ketahanan nasional. Ketika sistem ekonomi suatu negara rapuh, maka rentetan persoalan sosial, politik, dan keamanan akan muncul, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan negara. Dalam konteks Indonesia, ancaman di bidang ekonomi tidak hanya bersumber dari faktor eksternal seperti globalisasi dan ketimpangan struktur ekonomi dunia, tetapi juga dari faktor internal seperti ketimpangan distribusi kekayaan, penguasaan aset oleh segelintir elite, serta lemahnya kemandirian ekonomi nasional.

4.1.       Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial

Salah satu ancaman utama di bidang ekonomi adalah ketimpangan pendapatan dan distribusi kekayaan. Berdasarkan laporan World Inequality Database, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi, di mana 10% kelompok masyarakat terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional1. Ketimpangan ini menciptakan ketidakpuasan sosial, menimbulkan kecemburuan antarwilayah, serta memicu potensi konflik horisontal.

Kondisi tersebut mencerminkan lemahnya realisasi sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketika kelompok miskin dan terpinggirkan merasa tidak mendapatkan hak ekonomi yang layak, mereka cenderung menjadi lebih rentan terhadap provokasi, radikalisasi, dan ketidakpercayaan terhadap sistem negara.

4.2.       Ketergantungan terhadap Asing dan Ancaman Kedaulatan Ekonomi

Ancaman lain adalah ketergantungan ekonomi terhadap negara dan korporasi asing, baik dalam bidang investasi, utang luar negeri, hingga kontrol terhadap sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur. Ketergantungan ini membuat ekonomi nasional rentan terhadap tekanan global, termasuk perubahan kebijakan ekonomi internasional, krisis keuangan global, dan dinamika geopolitik2.

Sebagai contoh, dominasi perusahaan multinasional dalam sektor tambang dan energi nasional telah menggerus kontrol negara atas sumber daya alam strategis. Jika tidak ditangani dengan bijak, hal ini dapat menjadi bentuk baru dari kolonialisme ekonomi (neo-kolonialisme) yang mengancam kedaulatan ekonomi bangsa3.

4.3.       Praktik Ekonomi Tidak Adil dan Korupsi Struktural

Praktik-praktik ekonomi yang tidak adil seperti monopoli, oligopoli, kartel, serta penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri juga menjadi ancaman serius. Fenomena korupsi struktural di sektor keuangan, proyek-proyek pembangunan, serta sistem pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi oleh elitisme dan penyimpangan kekuasaan4.

Korupsi bukan hanya menggerogoti sumber daya negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, menghambat pembangunan, dan memperluas jurang kemiskinan. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita demokrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.

4.4.       Strategi Penguatan Ekonomi Nasional

Untuk menangkal berbagai bentuk ancaman ekonomi, Indonesia perlu membangun sistem ekonomi kerakyatan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kemandirian. Penguatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), reformasi agraria, peningkatan kapasitas industri nasional, serta pembangunan ekonomi berbasis potensi lokal merupakan langkah konkret untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional5.

Pemerintah juga harus menegakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan terhadap masyarakat lemah dalam kebijakan ekonomi. Dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, pembangunan ekonomi harus mampu menjamin inklusivitas dan pemerataan, sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.


Footnotes

[1]                Thomas Piketty dan Lucas Chancel, World Inequality Report 2022 (Paris: World Inequality Lab, 2022), 55.

[2]                Faisal Basri, “Kemandirian Ekonomi Nasional dalam Pusaran Globalisasi,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 13, no. 1 (2013): 1–12.

[3]                George J. Aditjondro, Korupsi Kepentingan Asing: Neo-kolonialisme di Era Globalisasi (Yogyakarta: Galang Press, 2006), 78–81.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: KPK RI, 2023), 15–18.

[5]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Realisasi (Yogyakarta: BPFE, 1997), 24–26.


5.           Ancaman di Bidang Sosial dan Budaya

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keberagaman sosial dan budaya yang sangat kaya. Keberagaman ini merupakan kekuatan strategis dalam membangun integrasi nasional, namun sekaligus menyimpan potensi konflik apabila tidak dikelola secara bijak dan berkeadilan. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah, ancaman terhadap keutuhan sosial dan warisan budaya bangsa semakin kompleks, seiring dengan derasnya arus globalisasi, modernisasi, serta transformasi sosial yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa.

5.1.       Degradasi Moral dan Krisis Nilai

Salah satu ancaman nyata dalam ranah sosial adalah degradasi moral, yang tercermin dari menurunnya kesadaran etis, lemahnya budaya malu, serta meningkatnya perilaku menyimpang seperti kekerasan, penyalahgunaan narkoba, perundungan, hingga pornografi. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis nilai, di mana norma-norma sosial yang selama ini menjadi penyangga ketertiban masyarakat mulai terkikis1.

Pergeseran nilai ini banyak dipengaruhi oleh gaya hidup instan dan hedonistik, yang seringkali dipromosikan oleh media massa dan media sosial tanpa filter budaya. Ketika generasi muda lebih mengenal budaya pop luar dibandingkan budaya bangsanya sendiri, maka akan timbul krisis identitas nasional yang pada gilirannya melemahkan loyalitas terhadap negara dan bangsa2.

5.2.       Konflik Sosial dan Disintegrasi Komunitas

Ancaman sosial juga tampak dalam bentuk konflik horizontal yang dipicu oleh ketidakadilan, kesenjangan sosial, diskriminasi, serta provokasi berbasis SARA. Kasus-kasus konflik antarwarga, bentrokan antarkelompok, dan intoleransi antarumat beragama menunjukkan bahwa tatanan sosial kita belum sepenuhnya kokoh. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa konflik sosial cenderung meningkat di wilayah dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi, yang menjadi indikator kuat hubungan antara aspek ekonomi dan kestabilan sosial3.

Disintegrasi komunitas juga diperparah oleh melemahnya solidaritas sosial, rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan gotong royong, dan meningkatnya sikap individualistik. Ini menjadi tantangan serius bagi semangat kebhinekaan yang seharusnya tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia.

5.3.       Westernisasi dan Erosi Budaya Lokal

Dalam bidang budaya, ancaman terbesar datang dari proses westernisasi yang tidak kritis, di mana budaya asing diadopsi secara mentah tanpa seleksi nilai. Hal ini menyebabkan erosi budaya lokal, seperti hilangnya tradisi lisan, melemahnya penggunaan bahasa daerah, dan menurunnya praktik-praktik budaya adat yang selama ini menjadi sarana perekat sosial4.

Globalisasi yang tidak dibarengi dengan penguatan identitas kebudayaan nasional berisiko menghilangkan ciri khas Indonesia sebagai bangsa yang memiliki warisan budaya adiluhung. Ketika nilai-nilai budaya bangsa dikalahkan oleh budaya konsumerisme global, maka Indonesia berisiko kehilangan fondasi identitas kolektifnya5.

5.4.       Strategi Penguatan Sosial dan Pelestarian Budaya

Untuk menangkal berbagai ancaman sosial dan budaya tersebut, diperlukan strategi yang menyentuh akar permasalahan. Dalam aspek sosial, penguatan pendidikan karakter yang berbasis Pancasila, peningkatan kesejahteraan sosial, serta pembangunan inklusif yang menekankan keadilan sosial harus menjadi prioritas. Revitalisasi nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi perlu ditanamkan sejak usia dini melalui pendidikan formal maupun nonformal.

Sementara itu, dalam bidang budaya, negara perlu memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian kebudayaan lokal melalui kebijakan afirmatif, dukungan terhadap komunitas budaya, serta digitalisasi arsip budaya dan bahasa daerah. Peran masyarakat, terutama generasi muda, juga harus diaktifkan melalui kampanye kreatif dan inovatif yang menjadikan budaya lokal sebagai identitas kebanggaan nasional6.


Footnotes

[1]                Komaruddin Hidayat, Psikologi Kesehatan Sosial dan Moralitas Publik (Jakarta: Kompas, 2009), 58–60.

[2]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 115–117.

[3]                Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Laporan Nasional Konflik Sosial Tahun 2022 (Jakarta: Pusat Litbang Kemendagri, 2023), 22.

[4]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 94–96.

[5]                Edi Sedyawati, “Globalisasi dan Tantangan Pelestarian Budaya,” dalam Globalisasi dan Identitas Budaya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 45.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Strategi Nasional Pemajuan Kebudayaan (Jakarta: Kemdikbud, 2020), 33–36.


6.           Ancaman di Bidang Pertahanan dan Keamanan

Pertahanan dan keamanan merupakan unsur vital dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan suatu negara. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dengan posisi strategis di kawasan Asia-Pasifik, tantangan dalam bidang pertahanan dan keamanan menjadi semakin kompleks. Ancaman tidak lagi bersifat konvensional semata (ancaman militer), tetapi telah bergeser ke bentuk nonkonvensional, seperti terorisme, kejahatan siber, separatisme, hingga infiltrasi ideologis. Apabila tidak diantisipasi secara menyeluruh, ancaman-ancaman ini dapat menggoyahkan pilar-pilar kesatuan nasional.

6.1.       Ancaman Militer dan Kedaulatan Teritorial

Ancaman militer meskipun tidak lagi menjadi yang paling dominan, tetap relevan dalam konteks pengamanan wilayah perbatasan dan kedaulatan wilayah laut dan udara. Beberapa kasus pelanggaran wilayah oleh kapal asing, terutama di Laut Natuna Utara, menunjukkan bahwa kedaulatan Indonesia masih sering diuji oleh kepentingan geopolitik negara lain1. Pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah perairan Indonesia merupakan bentuk ancaman langsung terhadap kedaulatan negara.

Tantangan ini memerlukan penguatan sistem pertahanan negara yang berbasis pada Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang mengedepankan kolaborasi antara TNI, Polri, dan masyarakat dalam menjaga integritas wilayah NKRI2.

6.2.       Terorisme dan Radikalisme Kekerasan

Ancaman yang lebih laten dan bersifat disruptif adalah terorisme dan radikalisme kekerasan. Gerakan ini sering kali berakar pada ideologi transnasional yang menolak sistem kenegaraan yang sah dan berupaya menggantinya dengan bentuk negara yang tidak sesuai dengan konstitusi. Aksi terorisme yang menargetkan aparat keamanan dan fasilitas publik menciptakan rasa takut dan ketidakpastian, serta mengganggu stabilitas sosial dan politik nasional3.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), rekrutmen kelompok teror kini semakin masif dilakukan melalui dunia maya, terutama dengan menyasar generasi muda melalui propaganda digital4. Hal ini menandakan bahwa pendekatan keamanan harus bersifat multidimensional, termasuk penggunaan teknologi, kontra-narasi ideologis, serta rehabilitasi mantan pelaku teror.

6.3.       Kejahatan Siber dan Perang Informasi

Era digital telah membawa dampak besar terhadap bentuk-bentuk ancaman keamanan. Kejahatan siber (cybercrime) seperti peretasan data strategis, pencurian identitas, penipuan digital, dan propaganda melalui media sosial telah menjadi instrumen perang informasi yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara5. Serangan siber terhadap lembaga pemerintahan dan infrastruktur vital dapat mengakibatkan lumpuhnya pelayanan publik dan instabilitas ekonomi.

Kesiapsiagaan siber nasional Indonesia dinilai masih memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi regulasi, sumber daya manusia, maupun teknologi pendukung. Oleh karena itu, pembangunan kedaulatan digital dan penguatan literasi keamanan siber menjadi kebutuhan mendesak dalam menjaga pertahanan negara di abad ke-216.

6.4.       Separatisme dan Konflik Bersenjata

Ancaman dalam bentuk separatisme masih menjadi isu krusial, khususnya di beberapa wilayah seperti Papua. Tuntutan pemisahan diri, disertai aksi kekerasan bersenjata, merupakan tantangan serius terhadap integrasi nasional. Meskipun penyelesaian konflik Papua telah dilakukan melalui pendekatan otonomi khusus dan pembangunan infrastruktur, pendekatan keamanan yang berbasis hak asasi manusia dan dialog partisipatif tetap harus dikedepankan untuk meredam konflik secara berkelanjutan7.

6.5.       Strategi Penguatan Pertahanan dan Keamanan Nasional

Menanggapi kompleksitas ancaman tersebut, Indonesia harus memperkuat ketahanan nasional secara menyeluruh, tidak hanya dalam aspek militer tetapi juga dalam aspek sosial, ekonomi, teknologi, dan budaya. Pendekatan komprehensif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam sistem Sishankamrata merupakan strategi terbaik untuk membentengi negara dari berbagai bentuk gangguan.

Penguatan kapasitas TNI dan Polri, pemutakhiran teknologi pertahanan, pembentukan regulasi keamanan siber, serta pengembangan pendidikan bela negara menjadi langkah-langkah strategis dalam mewujudkan pertahanan negara yang responsif terhadap tantangan zaman. Dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, seluruh kebijakan keamanan harus berlandaskan pada penghormatan terhadap pluralisme, keadilan, dan perlindungan terhadap seluruh warga negara.


Footnotes

[1]                Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2022 (Jakarta: Kemenhan RI, 2022), 47–49.

[2]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 34–36.

[3]                Solahudin, NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), 98–102.

[4]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan Pencegahan Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 29–31.

[5]                Heru Susetyo, “Keamanan Siber dan Tantangan Hukum di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 50, no. 2 (2020): 210–215.

[6]                Rudiantara, “Membangun Ketahanan Siber Nasional,” Pidato dalam Forum Nasional Keamanan Informasi, Badan Siber dan Sandi Negara (Jakarta: BSSN, 2021).

[7]                Adriana Elisabeth, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (Jakarta: LIPI Press, 2010), 88–91.


7.           Bhinneka Tunggal Ika sebagai Kerangka Penyelesaian

Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa—baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, maupun keamanan—Indonesia memiliki satu kekuatan filosofis dan kultural yang fundamental, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini, yang secara harfiah berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu," tidak hanya menjadi lambang formal negara, tetapi juga mencerminkan paradigma hidup bersama dalam kemajemukan yang harmonis.

7.1.       Nilai-Nilai Universal dalam Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali dicetuskan oleh Mpu Tantular dalam karya sastra Kakawin Sutasoma pada abad ke-14. Ia merupakan cerminan falsafah hidup masyarakat Nusantara yang telah lama menghayati pluralitas agama dan budaya dalam suasana toleransi1. Diangkat sebagai semboyan negara pada masa awal kemerdekaan, Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai-nilai inklusivitas, kebersamaan, saling menghargai perbedaan, dan solidaritas nasional yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.

Dalam konteks kekinian, nilai-nilai tersebut menjadi kerangka penyelesaian multidimensi terhadap berbagai potensi konflik dan ancaman disintegrasi. Prinsip ini mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk saling melengkapi dalam membangun bangsa.

7.2.       Bhinneka Tunggal Ika sebagai Filter terhadap Ancaman Disintegratif

Bhinneka Tunggal Ika berfungsi sebagai filter ideologis dan kultural dalam merespons berbagai ancaman, seperti radikalisme ideologi, politik identitas, konflik sosial, serta fragmentasi budaya. Ketika dijadikan landasan kebijakan publik dan perilaku sosial, prinsip ini mampu menetralkan sentimen eksklusif dan memperkuat rasa kebersamaan antarwarga negara2.

Misalnya, dalam menghadapi politik identitas yang membelah masyarakat secara SARA, pendekatan Bhinneka Tunggal Ika dapat digunakan sebagai instrumen edukasi politik yang menekankan pada kepentingan bersama di atas kepentingan golongan. Demikian pula, dalam menghadapi konflik budaya, pendekatan inklusif berbasis prinsip ini akan mendorong dialog lintas budaya yang produktif dan saling menghargai.

7.3.       Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kebijakan dan Pendidikan

Implementasi Bhinneka Tunggal Ika memerlukan langkah konkret dalam berbagai sektor. Di bidang pendidikan, integrasi nilai-nilai toleransi, empati sosial, dan penghargaan terhadap perbedaan harus dimasukkan dalam kurikulum dan praktik pembelajaran. Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi wahana untuk menanamkan kesadaran bahwa keberagaman merupakan kodrat bangsa Indonesia yang harus dijaga bersama3.

Di tingkat kebijakan publik, pemerintah harus menghindari pendekatan diskriminatif dalam pelayanan sosial, alokasi anggaran, dan pengelolaan sumber daya. Kebijakan yang adil dan akomodatif terhadap kelompok minoritas dan masyarakat adat menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya integrasi nasional yang berkeadilan4.

7.4.       Peran Masyarakat dalam Menginternalisasi Nilai Kebhinekaan

Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat hanya menjadi slogan; ia harus diinternalisasi dan dihidupi oleh seluruh elemen masyarakat. Organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, media massa, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam menyebarluaskan narasi kebangsaan yang mengedepankan dialog, toleransi, dan kerja sama antarwarga. Dalam masyarakat multikultural, modal sosial berupa kepercayaan (trust), norma bersama, dan jejaring sosial menjadi fondasi bagi perwujudan persatuan dalam keberagaman5.

Dalam menghadapi era digital dan globalisasi, prinsip Bhinneka Tunggal Ika juga harus menjadi basis dalam merespons dinamika komunikasi virtual, terutama dalam membendung ujaran kebencian, disinformasi, dan polarisasi yang kerap muncul di media sosial. Literasi digital dan etika bermedia yang berorientasi pada kebhinekaan harus terus ditanamkan, khususnya kepada generasi muda.


Footnotes

[1]                Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma, transl. I Gusti Bagus Sugriwa (Denpasar: Balai Bahasa Bali, 1959), 32.

[2]                Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta: The Asia Foundation, 2006), 54–55.

[3]                Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71–73.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 281.

[5]                Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 19–21.


8.           Studi Kasus Aktual

Untuk memahami secara konkret bagaimana berbagai ancaman terhadap keutuhan negara muncul dan direspons, penting untuk menelaah sejumlah studi kasus aktual yang mencerminkan dinamika kontemporer di Indonesia. Kasus-kasus berikut menunjukkan bahwa ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan bersifat nyata dan memerlukan pendekatan yang sistematis dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

8.1.       Radikalisme Ideologis di Lingkungan Pendidikan: Kasus Eks HTI

Pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017, sejumlah aktivitas penyebaran paham khilafah masih ditemukan di lingkungan kampus dan sekolah. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa terdapat indikasi penyebaran paham radikal di beberapa perguruan tinggi melalui forum kajian keagamaan yang eksklusif dan tidak transparan1. Paham ini menolak Pancasila sebagai dasar negara dan mendorong terbentuknya sistem khilafah transnasional, yang jelas bertentangan dengan semangat kebhinekaan.

Respon pemerintah dan masyarakat dilakukan melalui penguatan moderasi beragama, integrasi nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum, dan pembinaan ideologi oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kasus ini menunjukkan bahwa penguatan ideologi negara harus dilakukan secara konsisten, utamanya di lingkungan pendidikan yang menjadi basis kaderisasi generasi penerus bangsa2.

8.2.       Polarisasi Politik dalam Pemilu 2019

Pemilu Presiden 2019 menjadi salah satu momen penting yang memperlihatkan keretakan sosial akibat politik identitas. Polarisasi tajam antara pendukung dua kubu calon presiden menyebabkan fragmentasi sosial yang merambah hingga ke lingkungan keluarga dan komunitas. Media sosial dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan narasi sektarian yang memperuncing perbedaan3.

Studi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa dampak negatif polarisasi ini tetap terasa bahkan setelah pemilu usai, termasuk dalam bentuk meningkatnya ketegangan antarormas dan potensi konflik horizontal4. Upaya pemulihan dilakukan melalui kampanye literasi digital, dialog antarpendukung, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran informasi.

8.3.       Krisis Sosial dan Ketimpangan di Papua

Isu separatisme di Papua tidak dapat dilepaskan dari akar masalah ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus 2019 di berbagai kota di Papua dipicu oleh insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, namun berkembang menjadi protes terhadap marginalisasi struktural5.

Pemerintah menempuh pendekatan pembangunan infrastruktur, afirmasi pendidikan, dan otonomi khusus, namun pendekatan keamanan yang masih dominan mengundang kritik dari berbagai kalangan. Studi LIPI menunjukkan bahwa solusi jangka panjang harus melibatkan pendekatan kultural dan dialog konstruktif yang menempatkan warga Papua sebagai subjek, bukan objek pembangunan6.

8.4.       Kejahatan Siber dan Serangan terhadap Lembaga Negara

Serangan siber terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) dan sejumlah situs lembaga negara pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kedaulatan digital Indonesia masih rentan. Peretasan ini mengganggu layanan publik dan menimbulkan kekhawatiran atas keamanan data pribadi warga negara7.

Pemerintah menanggapi kasus ini dengan meningkatkan kolaborasi antara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), TNI, Polri, dan lembaga internasional di bidang keamanan siber. Strategi jangka panjangnya meliputi pengembangan sumber daya manusia bidang teknologi informasi, pembangunan pusat data nasional yang aman, serta peningkatan literasi digital masyarakat luas8.


Footnotes

[1]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan Pencegahan Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 31.

[2]                Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Grand Design Pembinaan Ideologi Pancasila 2020–2024 (Jakarta: BPIP, 2020), 42–44.

[3]                Kominfo RI, Laporan Pemantauan Hoaks Pemilu 2019 (Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019), 5–9.

[4]                Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Laporan Survei Persepsi Publik Pasca Pemilu 2019 (Jakarta: CSIS, 2019), 17–18.

[5]                Amnesty International Indonesia, Papua: Menagih Keadilan dan Kesetaraan (Jakarta: Amnesty International, 2020), 8–11.

[6]                Adriana Elisabeth, “Papua dan Tantangan Integrasi Nasional,” dalam Papua Road Map, ed. LIPI (Jakarta: LIPI Press, 2010), 84–86.

[7]                CNN Indonesia, “PDNS Diserang Ransomware, Data Pemerintah Terancam,” CNNIndonesia.com, 28 Juni 2023, https://www.cnnindonesia.com.

[8]                Rudiantara, “Kedaulatan Digital dan Pembangunan Infrastruktur Siber,” Pidato Forum Nasional Keamanan Siber, BSSN (Jakarta: 2023).


9.           Refleksi Kewarganegaraan

Dalam menghadapi berbagai ancaman multidimensi terhadap keutuhan bangsa, refleksi kewarganegaraan menjadi suatu keniscayaan. Refleksi ini tidak hanya berfungsi sebagai evaluasi atas posisi dan peran warga negara dalam dinamika kebangsaan, tetapi juga sebagai upaya membangun kesadaran kritis, tanggung jawab sosial, dan komitmen kolektif dalam menjaga integrasi nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

9.1.       Kewarganegaraan Aktif dan Partisipatif

Konsep kewarganegaraan dalam negara demokrasi tidak cukup dipahami hanya sebagai status hukum, tetapi lebih jauh sebagai peran aktif warga dalam kehidupan publik. Warga negara dituntut tidak bersikap pasif terhadap permasalahan bangsa, tetapi harus terlibat secara konstruktif dalam memelihara nilai-nilai kebangsaan, mengawasi jalannya pemerintahan, serta mendorong keadilan sosial1.

Partisipasi aktif ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara: ikut serta dalam proses demokrasi, menolak praktik politik identitas yang memecah belah, melawan disinformasi dan ujaran kebencian, serta membangun ruang-ruang dialog antarwarga. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, keterlibatan warga negara dalam merawat keberagaman menjadi prasyarat mutlak bagi terciptanya harmoni sosial2.

9.2.       Penguatan Literasi Ideologis dan Digital

Refleksi kewarganegaraan juga menuntut peningkatan literasi ideologis, yakni pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan sejarah perjuangan bangsa. Lemahnya pemahaman terhadap ideologi negara membuat sebagian warga mudah terpengaruh oleh narasi-narasi radikal dan ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa3.

Selain itu, dalam era digital, warga negara perlu memiliki kecakapan literasi digital, termasuk kemampuan memverifikasi informasi, memahami etika bermedia sosial, dan menghindari jebakan hoaks yang dapat memperkeruh suasana kebangsaan. Kewarganegaraan digital (digital citizenship) menjadi dimensi baru dalam membangun integritas publik yang sehat dan bertanggung jawab4.

9.3.       Internalitas Nilai Pancasila dan Tanggung Jawab Sosial

Sebagai dasar negara, Pancasila harus menjadi pedoman hidup seluruh warga, bukan sekadar simbol formal. Proses internalisasi nilai Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan, dan persatuan harus dimulai dari lingkup terkecil—keluarga, sekolah, dan komunitas. Pendidikan karakter berbasis Pancasila merupakan strategi jangka panjang untuk membangun kewarganegaraan yang berakar pada etika dan spiritualitas bangsa5.

Di sisi lain, setiap warga negara harus menumbuhkan tanggung jawab sosial, terutama dalam menjawab ketimpangan sosial, diskriminasi, dan marginalisasi kelompok rentan. Kewarganegaraan tidak boleh berhenti pada kepentingan individual, tetapi harus diwujudkan dalam solidaritas sosial untuk memperkuat integrasi bangsa.

9.4.       Spirit Kebangsaan dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika menjadi refleksi kultural atas bagaimana warga negara seharusnya bersikap terhadap perbedaan. Menghargai keberagaman, menjunjung tinggi toleransi, serta menjalin kerja sama lintas identitas adalah bentuk implementasi kewarganegaraan yang berakar pada kearifan lokal bangsa. Dalam kerangka ini, ancaman terhadap keutuhan negara dapat ditepis melalui pemeliharaan semangat inklusivitas dan kebersamaan6.

Refleksi ini memperkuat pemahaman bahwa keberlangsungan Indonesia bukan hanya bergantung pada kekuatan militer atau hukum, tetapi pada kesadaran moral dan partisipasi aktif seluruh warga negara dalam memelihara fondasi persatuan dan keadilan. Seorang warga negara yang baik bukan hanya mereka yang patuh terhadap aturan, tetapi yang peduli, kritis, dan bertindak untuk kemaslahatan bangsa.


Footnotes

[1]                Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 91.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 274.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 55–56.

[4]                Rheingold, Howard, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge: MIT Press, 2012), 3–5.

[5]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 137–139.

[6]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 102.


10.       Penutup

Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipandang sebagai suatu keniscayaan yang bersifat statis, melainkan sebagai proses dinamis yang harus terus diperjuangkan dan dijaga melalui kolaborasi seluruh elemen bangsa. Artikel ini telah mengkaji secara kritis berbagai bentuk ancaman yang mengintai dari berbagai bidang kehidupan—ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan—yang masing-masing memiliki potensi besar untuk mengganggu stabilitas dan integrasi nasional jika tidak ditangani secara sistematis dan terpadu.

Ancaman di bidang ideologi, seperti radikalisme dan sekularisme ekstrem, menuntut penguatan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi berpikir dan bertindak warga negara1. Ancaman politik, termasuk politik identitas dan disinformasi, menunjukkan perlunya etika demokrasi yang sehat dan partisipasi warga yang cerdas2. Ketimpangan dan ketergantungan ekonomi menjadi ancaman struktural yang hanya bisa diatasi melalui pengembangan ekonomi kerakyatan dan pemerataan pembangunan3. Sementara itu, krisis moral, konflik sosial, dan lunturnya budaya lokal menandakan bahwa ancaman sosial dan budaya harus dijawab dengan penguatan karakter dan pelestarian jati diri bangsa4.

Dalam ranah pertahanan dan keamanan, transformasi ancaman ke bentuk nonkonvensional seperti terorisme, separatisme, dan kejahatan siber memerlukan pendekatan komprehensif berbasis Sishankamrata dan penguatan kedaulatan digital5. Semua itu berpuncak pada pentingnya menjadikan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi sebagai kerangka konseptual dalam menyusun kebijakan, membangun dialog, dan merajut harmoni di tengah keberagaman6.

Refleksi kewarganegaraan menegaskan bahwa setiap warga memiliki peran vital dalam menjaga NKRI. Kewarganegaraan bukan hanya tentang status, tetapi tentang keterlibatan aktif, literasi ideologis, dan tanggung jawab sosial yang dilandasi semangat kebhinekaan. Negara yang kuat tidak dibangun oleh pasifnya rakyat, tetapi oleh kehadiran warga negara yang sadar, peduli, dan berdaya7.

Dengan demikian, menghadapi ancaman terhadap keutuhan negara tidak cukup dengan kebijakan struktural semata, melainkan harus dibarengi dengan revitalisasi nilai, budaya, dan identitas kebangsaan. Dalam konteks itu, sinergi antara negara dan warga menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi maju sebagai bangsa besar yang kokoh dalam perbedaan dan adil dalam persatuan.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 59–61.

[2]                Syamsuddin Haris, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2014), 23–25.

[3]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Realisasi (Yogyakarta: BPFE, 1997), 27.

[4]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 108.

[5]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 41–42.

[6]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 289.

[7]                Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 94.


Daftar Pustaka

Amnesty International Indonesia. (2020). Papua: Menagih keadilan dan kesetaraan. Jakarta: Amnesty International.

Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan modernisasi menuju milenium baru. Jakarta: Logos.

Azra, A. (2006). Indonesia, Islam, and democracy: Dynamics in a global context. Jakarta: The Asia Foundation.

Aditjondro, G. J. (2006). Korupsi kepentingan asing: Neo-kolonialisme di era globalisasi. Yogyakarta: Galang Press.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (2022). Laporan tahunan pencegahan terorisme 2022. Jakarta: BNPT.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (2020). Grand design pembinaan ideologi Pancasila 2020–2024. Jakarta: BPIP.

Basri, F. (2013). Kemandirian ekonomi nasional dalam pusaran globalisasi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 13(1), 1–12.

Centre for Strategic and International Studies. (2019). Laporan survei persepsi publik pasca Pemilu 2019. Jakarta: CSIS.

CNN Indonesia. (2023, Juni 28). PDNS diserang ransomware, data pemerintah terancam. CNNIndonesia.com. https://www.cnnindonesia.com

Darmaningtyas. (2012). Pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Elisabeth, A. (2010). Papua dan tantangan integrasi nasional. Dalam LIPI (Ed.), Papua road map: Negotiating the past, improving the present and securing the future (hlm. 84–86). Jakarta: LIPI Press.

Haris, S. (2014). Politik identitas dan masa depan demokrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Hidayat, K. (2009). Psikologi kesehatan sosial dan moralitas publik. Jakarta: Kompas.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kominfo RI. (2019). Laporan pemantauan hoaks Pemilu 2019. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan tahunan 2022. Jakarta: KPK RI.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Laporan nasional konflik sosial tahun 2022. Jakarta: Pusat Litbang Kemendagri.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Strategi nasional pemajuan kebudayaan. Jakarta: Kemdikbud.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2022). Buku putih pertahanan Indonesia 2022. Jakarta: Kemenhan RI.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mubyarto. (1997). Ekonomi Pancasila: Gagasan dan realisasi. Yogyakarta: BPFE.

Piketty, T., & Chancel, L. (2022). World inequality report 2022. Paris: World Inequality Lab.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. New York: Simon & Schuster.

Rheingold, H. (2012). Net smart: How to thrive online. Cambridge: MIT Press.

Rudiantara. (2021). Membangun ketahanan siber nasional. Pidato dalam Forum Nasional Keamanan Informasi. Jakarta: BSSN.

Rudiantara. (2023). Kedaulatan digital dan pembangunan infrastruktur siber. Pidato dalam Forum Nasional Keamanan Siber. Jakarta: BSSN.

Sedyawati, E. (2003). Globalisasi dan tantangan pelestarian budaya. Dalam Globalisasi dan identitas budaya (hlm. 40–49). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Setiyono, B. (2015). Krisis keteladanan politik dan tantangan demokrasi. Jurnal Politik, 6(1), 43–52.

Solahudin. (2011). NII sampai JI: Salafy jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sugriwa, I. G. B. (Trans.). (1959). Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Denpasar: Balai Bahasa Bali.

Susetyo, H. (2020). Keamanan siber dan tantangan hukum di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 50(2), 210–215.

Wasisto, R. J. (2017). Politik identitas dalam demokrasi elektoral di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 21(3), 229–242.

Widjajanto, A. (2014). Strategi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Zuly Qodir. (2015). Radikalisme agama dan politik identitas di Indonesia. Jurnal Review Politik, 5(2), 235–249.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar