Bahan Ajar PPKn
Menangkal Ancaman terhadap Keutuhan Negara dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Kajian Kritis Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi,
Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menghadapi berbagai bentuk ancaman yang bersifat multidimensional, mulai dari
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan
keamanan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dinamika
ancaman-ancaman tersebut serta merumuskan pendekatan strategis dalam
menghadapinya melalui kerangka nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar
integrasi nasional. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis berbasis
literatur akademik dan data aktual, pembahasan artikel mencakup bentuk dan
sumber ancaman, dampak terhadap stabilitas negara, serta upaya penyelesaian
berbasis nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan. Kajian ini menunjukkan bahwa
setiap bidang memiliki tantangan tersendiri yang saling berkelindan dan
memerlukan respon terpadu, baik dari sisi kebijakan negara maupun partisipasi
aktif warga negara. Bhinneka Tunggal Ika terbukti menjadi paradigma solutif
dalam merawat harmoni dalam perbedaan, membangun kohesi sosial, serta
memperkuat identitas nasional. Refleksi kewarganegaraan menjadi bagian penting
dalam membentuk kesadaran kolektif untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah
kompleksitas globalisasi dan transformasi sosial.
Kata Kunci: Keutuhan Negara, Ancaman Multidimensional,
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Kewarganegaraan Aktif, Integrasi Nasional,
Ketahanan Nasional.
PEMBAHASAN
Menangkal Ancaman terhadap Keutuhan Negara dalam
Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
1.
Pendahuluan
Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan aset fundamental yang harus
senantiasa dijaga dan diperkuat oleh seluruh elemen bangsa. Sebagai negara yang
dibangun di atas fondasi keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA), Indonesia memiliki potensi kekayaan sosial-budaya yang luar biasa,
namun pada saat yang sama juga rentan terhadap berbagai bentuk ancaman yang
dapat mengganggu stabilitas dan persatuan nasional. Dalam konteks ini, Bhinneka
Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan prinsip filosofis
yang menjadi landasan kohesi sosial di tengah pluralitas bangsa.
Ancaman terhadap
negara dapat muncul dalam berbagai bentuk dan dari berbagai dimensi kehidupan
nasional. Dalam bidang ideologi, misalnya, munculnya
paham radikalisme keagamaan maupun sekularisme ekstrem dapat merongrong nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara. Di bidang politik, praktik politik
identitas, disinformasi, dan fragmentasi elit politik berpotensi memicu
polarisasi yang mengganggu harmoni kehidupan berbangsa. Sementara itu, di
sektor ekonomi,
kesenjangan sosial, ketergantungan ekonomi terhadap negara asing, serta praktik
ekonomi eksploitatif menjadi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia1.
Dalam bidang sosial
dan budaya, penyebaran gaya hidup konsumtif dan individualistik
yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya lokal turut mempercepat degradasi
moral dan lunturnya identitas nasional2. Tidak kalah penting, di
bidang pertahanan
dan keamanan, ancaman dari luar seperti infiltrasi jaringan
terorisme transnasional, kejahatan siber, serta gangguan kedaulatan wilayah
menunjukkan bahwa Indonesia tidak boleh lengah dalam menjaga integritas
teritorialnya3.
Berbagai dinamika
tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap negara bersifat multidimensional
dan saling terkait. Oleh karena itu, upaya untuk menangkalnya harus dilakukan
secara komprehensif dan sistematis dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peran strategis dalam
membangun kesadaran kolektif, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, serta memupuk
tanggung jawab warga negara untuk berkontribusi aktif dalam menjaga keutuhan
NKRI.
Sebagai bagian dari
upaya tersebut, analisis terhadap berbagai ancaman dan strategi penyelesaiannya
dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika menjadi sangat penting untuk dikaji secara
kritis dan konstruktif. Dengan pemahaman yang utuh terhadap konteks ancaman dan
pendekatan penyelesaiannya, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan sikap
kewarganegaraan yang cerdas, tangguh, dan berorientasi pada kepentingan
nasional dalam kerangka negara yang demokratis dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta:
Gramedia, 1985), 22–23.
[2]
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Kebudayaan (Jakarta:
Kompas, 2007), 34.
[3]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 45–48.
2.
Ancaman terhadap Ideologi Negara
Ideologi negara
merupakan fondasi dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Di Indonesia, Pancasila telah ditegaskan
sebagai ideologi negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, nilai,
dan moral kebangsaan. Sebagai sistem nilai, Pancasila tidak hanya berfungsi
sebagai panduan normatif, tetapi juga sebagai sarana pemersatu dalam menghadapi
kompleksitas keberagaman bangsa1. Namun, dalam praktiknya, Pancasila
tidak luput dari berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri,
yang dapat melemahkan daya ikat ideologis warga negara terhadap prinsip-prinsip
dasar kenegaraan.
2.1.
Radikalisme dan Ekstremisme
Ideologis
Salah satu bentuk
ancaman ideologis yang nyata adalah radikalisme, yaitu paham yang
mengingkari prinsip-prinsip kebangsaan dan berupaya mengganti ideologi negara
dengan sistem lain, baik yang berbasis keagamaan secara sempit maupun ideologi
transnasional yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai lokal2.
Radikalisme ini kerap diekspresikan dalam bentuk intoleransi, ujaran kebencian,
hingga tindakan kekerasan yang mengancam kehidupan beragama dan bernegara yang
damai. Kelompok-kelompok radikal juga memanfaatkan teknologi dan media sosial
untuk menyebarkan paham-paham mereka secara masif, terutama kepada generasi muda3.
2.2.
Sekularisme dan Erosinya
terhadap Spiritualitas Pancasila
Di sisi lain,
terdapat pula ancaman dari ideologi sekularisme ekstrem, yang
mendorong pemisahan mutlak antara agama dan negara, serta menafikan dimensi
religiusitas dalam kehidupan publik. Hal ini bertentangan dengan sila pertama
Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama.
Ketika semangat spiritual yang menjadi jiwa bangsa mulai terkikis oleh
relativisme nilai dan pragmatisme modern, maka Pancasila kehilangan ruhnya
sebagai ideologi yang mengintegrasikan dimensi etis dan transenden dalam
kehidupan nasional4.
2.3.
Liberalisme dan
Individualisme yang Berlebihan
Ideologi liberalisme
yang menekankan kebebasan individu secara mutlak, apabila tidak dibatasi oleh
nilai-nilai kebangsaan dan kepentingan kolektif, dapat menumbuhkan individualisme
ekstrem dan melemahkan solidaritas sosial. Dalam masyarakat
yang menjunjung tinggi asas gotong royong seperti Indonesia, orientasi hidup
yang terlalu individualistis dapat menciptakan keterasingan sosial dan
keterbelahan ideologis antarwarga negara5. Hal ini terlihat dari
menurunnya semangat kolektivitas, rendahnya partisipasi sosial-politik, serta
meningkatnya sikap apatis terhadap masalah kebangsaan.
2.4.
Upaya Penanggulangan dan
Penguatan Ideologi Negara
Menghadapi berbagai
tantangan ideologis tersebut, negara dan seluruh komponen masyarakat perlu
mengambil langkah strategis untuk memperkuat posisi Pancasila. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain melalui revitalisasi pendidikan Pancasila yang berwawasan
kritis dan kontekstual, pembinaan ideologi di lingkungan pendidikan, keluarga,
dan masyarakat, serta penguatan lembaga-lembaga seperti Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam merumuskan arah
kebijakan ideologis nasional secara konsisten6.
Lebih lanjut, perlu
ditekankan bahwa penguatan ideologi Pancasila bukan semata-mata tugas
pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
Keterlibatan aktif warga negara dalam menginternalisasi dan mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk nyata bela
negara dalam dimensi ideologis.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
17–18.
[2]
Zuly Qodir, “Radikalisme Agama dan Politik Identitas di Indonesia,” Jurnal
Review Politik 5, no. 2 (2015): 235–249.
[3]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan
Pencegahan Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 24.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Fondasi Nilai bagi Indonesia
(Jakarta: Mizan, 2004), 65–67.
[5]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), 112.
[6]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Grand Design Pembinaan
Ideologi Pancasila 2020–2024 (Jakarta: BPIP, 2020), 39–40.
3.
Ancaman di Bidang Politik
Stabilitas politik
merupakan salah satu pilar utama dalam menjamin keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di dalam sistem demokrasi Pancasila, politik
seharusnya menjadi ruang partisipasi warga untuk mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan umum, dan persatuan nasional. Namun demikian, dalam realitas
kontemporer, arena politik Indonesia kerap kali mengalami dinamika yang tidak
selaras dengan semangat kebangsaan, bahkan berpotensi menjadi ancaman terhadap
keutuhan negara.
3.1.
Politik Identitas dan
Polarisasi Sosial
Salah satu bentuk
ancaman politik yang signifikan adalah maraknya politik identitas, yakni
penggunaan aspek primordial seperti agama, suku, dan ras untuk meraih dukungan
politik. Politik identitas cenderung memecah belah masyarakat karena
mengedepankan eksklusivisme kelompok dibandingkan kepentingan nasional1.
Fenomena ini semakin diperparah oleh penyebaran hoaks dan ujaran kebencian
melalui media sosial, yang berkontribusi besar terhadap polarisasi sosial dan
melemahnya kohesi nasional2.
Dalam konteks pemilu
dan pilkada, politik identitas sering dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik
untuk memobilisasi massa melalui sentimen keagamaan atau kesukuan. Hal ini
tidak hanya merusak substansi demokrasi, tetapi juga menimbulkan konflik
horizontal antarwarga yang berbeda pilihan politik, bahkan dalam lingkup
keluarga dan komunitas lokal3.
3.2.
Fragmentasi Elit dan
Lemahnya Keteladanan Politik
Ancaman lain yang
mengemuka dalam bidang politik adalah fragmentasi elit, yakni
kecenderungan elit politik untuk mementingkan kepentingan kelompok atau partai
dibandingkan kepentingan nasional. Ketika kepemimpinan politik tidak
menunjukkan keteladanan moral dan integritas, maka kepercayaan masyarakat
terhadap institusi negara akan menurun drastis4. Fenomena ini
tercermin dalam rendahnya tingkat partisipasi publik yang bermakna dan
meningkatnya sikap apatis terhadap politik.
Krisis kepercayaan
ini diperparah oleh praktik politik transaksional, politik uang, serta kooptasi
lembaga negara oleh kepentingan partisan. Akibatnya, tata kelola pemerintahan menjadi
tidak efektif dan cenderung koruptif, yang secara langsung mengancam semangat
demokrasi konstitusional yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 19455.
3.3.
Disinformasi dan Manipulasi
Opini Publik
Perkembangan
teknologi informasi yang pesat membuka peluang besar bagi munculnya disinformasi
dan manipulasi opini publik melalui media digital. Konten-konten politis yang
tidak berdasar fakta namun dikemas secara provokatif telah menjadi alat untuk
membentuk persepsi publik yang keliru, merusak reputasi tokoh, atau memecah
belah masyarakat. Kampanye hitam dan berita palsu menjadi senjata politik yang
merusak kualitas demokrasi dan mencederai hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang objektif dan bertanggung jawab6.
3.4.
Upaya Penanggulangan
Ancaman Politik
Menghadapi berbagai
bentuk ancaman di bidang politik, diperlukan langkah-langkah sistematis untuk
memperkuat demokrasi Pancasila sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi
etika, kebhinekaan, dan musyawarah. Pendidikan politik yang kritis dan
berorientasi pada kepentingan nasional harus dikembangkan sejak dini, baik di
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Selain itu,
diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik identitas,
ujaran kebencian, dan politik uang. Media massa juga perlu menjalankan fungsi
edukatif dan kontrol sosial secara bertanggung jawab. Pada saat yang sama,
pembenahan institusi politik agar lebih transparan, akuntabel, dan inklusif
harus menjadi agenda utama reformasi politik ke depan7.
Footnotes
[1]
Syamsuddin Haris, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di
Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
[2]
Wasisto Raharjo Jati, “Politik Identitas dalam Demokrasi Elektoral di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 21, no. 3 (2017):
229–242.
[3]
Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu
Pasca-Orde Baru (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), 102–103.
[4]
Budi Setiyono, “Krisis Keteladanan Politik dan Tantangan Demokrasi,” Jurnal
Politik 6, no. 1 (2015): 45.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2022
(Jakarta: KPK RI, 2023), 32–35.
[6]
Heru Susetyo, “Disinformasi dan Ancaman Demokrasi di Era Digital,” Jurnal
Hukum dan Pembangunan 50, no. 2 (2020): 213–218.
[7]
Komnas HAM, Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Kewarganegaraan
(Jakarta: Komnas HAM, 2021), 78.
4.
Ancaman di Bidang Ekonomi
Ekonomi merupakan
tulang punggung bagi ketahanan nasional. Ketika sistem ekonomi suatu negara
rapuh, maka rentetan persoalan sosial, politik, dan keamanan akan muncul, yang
pada akhirnya dapat mengancam keutuhan negara. Dalam konteks Indonesia, ancaman
di bidang ekonomi tidak hanya bersumber dari faktor eksternal seperti
globalisasi dan ketimpangan struktur ekonomi dunia, tetapi juga dari faktor
internal seperti ketimpangan distribusi kekayaan, penguasaan aset oleh
segelintir elite, serta lemahnya kemandirian ekonomi nasional.
4.1.
Ketimpangan Ekonomi dan
Kesenjangan Sosial
Salah satu ancaman
utama di bidang ekonomi adalah ketimpangan pendapatan dan distribusi kekayaan.
Berdasarkan laporan World Inequality Database,
Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi
yang tinggi, di mana 10% kelompok masyarakat terkaya menguasai lebih dari
separuh kekayaan nasional1. Ketimpangan ini menciptakan
ketidakpuasan sosial, menimbulkan kecemburuan antarwilayah, serta memicu
potensi konflik horisontal.
Kondisi tersebut
mencerminkan lemahnya realisasi sila kelima Pancasila, yakni Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketika kelompok miskin dan
terpinggirkan merasa tidak mendapatkan hak ekonomi yang layak, mereka cenderung
menjadi lebih rentan terhadap provokasi, radikalisasi, dan ketidakpercayaan
terhadap sistem negara.
4.2.
Ketergantungan terhadap
Asing dan Ancaman Kedaulatan Ekonomi
Ancaman lain adalah ketergantungan
ekonomi terhadap negara dan korporasi asing, baik dalam bidang
investasi, utang luar negeri, hingga kontrol terhadap sektor-sektor strategis
seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur. Ketergantungan ini membuat
ekonomi nasional rentan terhadap tekanan global, termasuk perubahan kebijakan
ekonomi internasional, krisis keuangan global, dan dinamika geopolitik2.
Sebagai contoh,
dominasi perusahaan multinasional dalam sektor tambang dan energi nasional
telah menggerus kontrol negara atas sumber daya alam strategis. Jika tidak
ditangani dengan bijak, hal ini dapat menjadi bentuk baru dari kolonialisme
ekonomi (neo-kolonialisme) yang mengancam kedaulatan ekonomi bangsa3.
4.3.
Praktik Ekonomi Tidak Adil
dan Korupsi Struktural
Praktik-praktik
ekonomi yang tidak adil seperti monopoli, oligopoli, kartel, serta penyalahgunaan
kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri juga menjadi ancaman serius. Fenomena korupsi
struktural di sektor keuangan, proyek-proyek pembangunan, serta
sistem pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih
dibayang-bayangi oleh elitisme dan penyimpangan kekuasaan4.
Korupsi bukan hanya
menggerogoti sumber daya negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik
terhadap pemerintah, menghambat pembangunan, dan memperluas jurang kemiskinan.
Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita demokrasi ekonomi sebagaimana
digariskan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
4.4.
Strategi Penguatan Ekonomi
Nasional
Untuk menangkal
berbagai bentuk ancaman ekonomi, Indonesia perlu membangun sistem ekonomi
kerakyatan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada
kemandirian. Penguatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), reformasi
agraria, peningkatan kapasitas industri nasional, serta pembangunan ekonomi
berbasis potensi lokal merupakan langkah konkret untuk memperkuat daya tahan
ekonomi nasional5.
Pemerintah juga
harus menegakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan
terhadap masyarakat lemah dalam kebijakan ekonomi. Dalam kerangka Bhinneka
Tunggal Ika, pembangunan ekonomi harus mampu menjamin inklusivitas dan
pemerataan, sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa memiliki tanggung jawab
bersama dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.
Footnotes
[1]
Thomas Piketty dan Lucas Chancel, World Inequality Report 2022
(Paris: World Inequality Lab, 2022), 55.
[2]
Faisal Basri, “Kemandirian Ekonomi Nasional dalam Pusaran Globalisasi,”
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 13, no. 1 (2013): 1–12.
[3]
George J. Aditjondro, Korupsi Kepentingan Asing: Neo-kolonialisme
di Era Globalisasi (Yogyakarta: Galang Press, 2006), 78–81.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2022
(Jakarta: KPK RI, 2023), 15–18.
[5]
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Realisasi
(Yogyakarta: BPFE, 1997), 24–26.
5.
Ancaman di Bidang Sosial dan Budaya
Bangsa Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang memiliki keberagaman sosial dan budaya yang sangat
kaya. Keberagaman ini merupakan kekuatan strategis dalam membangun integrasi
nasional, namun sekaligus menyimpan potensi konflik apabila tidak dikelola
secara bijak dan berkeadilan. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah,
ancaman terhadap keutuhan sosial dan warisan budaya bangsa semakin kompleks,
seiring dengan derasnya arus globalisasi, modernisasi, serta transformasi
sosial yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
5.1.
Degradasi Moral dan Krisis
Nilai
Salah satu ancaman
nyata dalam ranah sosial adalah degradasi moral, yang tercermin
dari menurunnya kesadaran etis, lemahnya budaya malu, serta meningkatnya
perilaku menyimpang seperti kekerasan, penyalahgunaan narkoba, perundungan,
hingga pornografi. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis
nilai, di mana norma-norma sosial yang selama ini menjadi
penyangga ketertiban masyarakat mulai terkikis1.
Pergeseran nilai ini
banyak dipengaruhi oleh gaya hidup instan dan hedonistik, yang seringkali
dipromosikan oleh media massa dan media sosial tanpa filter budaya. Ketika
generasi muda lebih mengenal budaya pop luar dibandingkan budaya bangsanya
sendiri, maka akan timbul krisis identitas nasional yang pada gilirannya
melemahkan loyalitas terhadap negara dan bangsa2.
5.2.
Konflik Sosial dan
Disintegrasi Komunitas
Ancaman sosial juga
tampak dalam bentuk konflik horizontal yang dipicu
oleh ketidakadilan, kesenjangan sosial, diskriminasi, serta provokasi berbasis
SARA. Kasus-kasus konflik antarwarga, bentrokan antarkelompok, dan intoleransi
antarumat beragama menunjukkan bahwa tatanan sosial kita belum sepenuhnya
kokoh. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa konflik sosial
cenderung meningkat di wilayah dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran
tinggi, yang menjadi indikator kuat hubungan antara aspek ekonomi dan
kestabilan sosial3.
Disintegrasi
komunitas juga diperparah oleh melemahnya solidaritas sosial, rendahnya
partisipasi warga dalam kegiatan gotong royong, dan meningkatnya sikap
individualistik. Ini menjadi tantangan serius bagi semangat kebhinekaan yang
seharusnya tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia.
5.3.
Westernisasi dan Erosi
Budaya Lokal
Dalam bidang budaya,
ancaman terbesar datang dari proses westernisasi yang tidak kritis,
di mana budaya asing diadopsi secara mentah tanpa seleksi nilai. Hal ini
menyebabkan erosi budaya lokal, seperti
hilangnya tradisi lisan, melemahnya penggunaan bahasa daerah, dan menurunnya
praktik-praktik budaya adat yang selama ini menjadi sarana perekat sosial4.
Globalisasi yang
tidak dibarengi dengan penguatan identitas kebudayaan nasional berisiko
menghilangkan ciri khas Indonesia sebagai bangsa yang memiliki warisan budaya
adiluhung. Ketika nilai-nilai budaya bangsa dikalahkan oleh budaya konsumerisme
global, maka Indonesia berisiko kehilangan fondasi identitas kolektifnya5.
5.4.
Strategi Penguatan Sosial
dan Pelestarian Budaya
Untuk menangkal
berbagai ancaman sosial dan budaya tersebut, diperlukan strategi yang menyentuh
akar permasalahan. Dalam aspek sosial, penguatan pendidikan karakter yang
berbasis Pancasila, peningkatan kesejahteraan sosial, serta pembangunan
inklusif yang menekankan keadilan sosial harus menjadi prioritas. Revitalisasi
nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi perlu
ditanamkan sejak usia dini melalui pendidikan formal maupun nonformal.
Sementara itu, dalam
bidang budaya, negara perlu memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian
kebudayaan lokal melalui kebijakan afirmatif, dukungan terhadap komunitas
budaya, serta digitalisasi arsip budaya dan bahasa daerah. Peran masyarakat,
terutama generasi muda, juga harus diaktifkan melalui kampanye kreatif dan
inovatif yang menjadikan budaya lokal sebagai identitas kebanggaan nasional6.
Footnotes
[1]
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kesehatan Sosial dan Moralitas Publik
(Jakarta: Kompas, 2009), 58–60.
[2]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 115–117.
[3]
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Laporan Nasional
Konflik Sosial Tahun 2022 (Jakarta: Pusat Litbang Kemendagri, 2023), 22.
[4]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2002), 94–96.
[5]
Edi Sedyawati, “Globalisasi dan Tantangan Pelestarian Budaya,” dalam Globalisasi
dan Identitas Budaya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 45.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Strategi
Nasional Pemajuan Kebudayaan (Jakarta: Kemdikbud, 2020), 33–36.
6.
Ancaman di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Pertahanan dan
keamanan merupakan unsur vital dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan suatu
negara. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dengan
posisi strategis di kawasan Asia-Pasifik, tantangan dalam bidang pertahanan dan
keamanan menjadi semakin kompleks. Ancaman tidak lagi bersifat konvensional
semata (ancaman militer), tetapi telah bergeser ke bentuk nonkonvensional,
seperti terorisme, kejahatan siber, separatisme, hingga infiltrasi ideologis.
Apabila tidak diantisipasi secara menyeluruh, ancaman-ancaman ini dapat
menggoyahkan pilar-pilar kesatuan nasional.
6.1.
Ancaman Militer dan
Kedaulatan Teritorial
Ancaman militer
meskipun tidak lagi menjadi yang paling dominan, tetap relevan dalam konteks
pengamanan wilayah perbatasan dan kedaulatan wilayah laut dan udara. Beberapa
kasus pelanggaran wilayah oleh kapal asing, terutama di Laut Natuna Utara,
menunjukkan bahwa kedaulatan Indonesia masih sering diuji oleh kepentingan
geopolitik negara lain1. Pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah perairan Indonesia merupakan bentuk
ancaman langsung terhadap kedaulatan negara.
Tantangan ini
memerlukan penguatan sistem pertahanan negara yang berbasis pada Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang
mengedepankan kolaborasi antara TNI, Polri, dan masyarakat dalam menjaga
integritas wilayah NKRI2.
6.2.
Terorisme dan Radikalisme
Kekerasan
Ancaman yang lebih
laten dan bersifat disruptif adalah terorisme dan radikalisme
kekerasan. Gerakan ini sering kali berakar pada ideologi
transnasional yang menolak sistem kenegaraan yang sah dan berupaya menggantinya
dengan bentuk negara yang tidak sesuai dengan konstitusi. Aksi terorisme yang
menargetkan aparat keamanan dan fasilitas publik menciptakan rasa takut dan
ketidakpastian, serta mengganggu stabilitas sosial dan politik nasional3.
Menurut data Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), rekrutmen kelompok teror kini semakin
masif dilakukan melalui dunia maya, terutama dengan menyasar generasi muda
melalui propaganda digital4. Hal ini menandakan bahwa pendekatan
keamanan harus bersifat multidimensional, termasuk penggunaan teknologi,
kontra-narasi ideologis, serta rehabilitasi mantan pelaku teror.
6.3.
Kejahatan Siber dan Perang
Informasi
Era digital telah
membawa dampak besar terhadap bentuk-bentuk ancaman keamanan. Kejahatan
siber (cybercrime) seperti peretasan data strategis, pencurian
identitas, penipuan digital, dan propaganda melalui media sosial telah menjadi
instrumen perang informasi yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi
negara5. Serangan siber terhadap lembaga pemerintahan dan
infrastruktur vital dapat mengakibatkan lumpuhnya pelayanan publik dan
instabilitas ekonomi.
Kesiapsiagaan siber
nasional Indonesia dinilai masih memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi
regulasi, sumber daya manusia, maupun teknologi pendukung. Oleh karena itu,
pembangunan kedaulatan digital dan penguatan literasi keamanan siber menjadi
kebutuhan mendesak dalam menjaga pertahanan negara di abad ke-216.
6.4.
Separatisme dan Konflik
Bersenjata
Ancaman dalam bentuk
separatisme
masih menjadi isu krusial, khususnya di beberapa wilayah seperti Papua.
Tuntutan pemisahan diri, disertai aksi kekerasan bersenjata, merupakan
tantangan serius terhadap integrasi nasional. Meskipun penyelesaian konflik
Papua telah dilakukan melalui pendekatan otonomi khusus dan pembangunan
infrastruktur, pendekatan keamanan yang berbasis hak asasi manusia dan dialog
partisipatif tetap harus dikedepankan untuk meredam konflik secara berkelanjutan7.
6.5.
Strategi Penguatan
Pertahanan dan Keamanan Nasional
Menanggapi
kompleksitas ancaman tersebut, Indonesia harus memperkuat ketahanan nasional
secara menyeluruh, tidak hanya dalam aspek militer tetapi juga dalam aspek
sosial, ekonomi, teknologi, dan budaya. Pendekatan komprehensif
dan kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam
sistem Sishankamrata merupakan strategi terbaik untuk membentengi negara dari
berbagai bentuk gangguan.
Penguatan kapasitas
TNI dan Polri, pemutakhiran teknologi pertahanan, pembentukan regulasi keamanan
siber, serta pengembangan pendidikan bela negara menjadi langkah-langkah
strategis dalam mewujudkan pertahanan negara yang responsif terhadap tantangan
zaman. Dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, seluruh
kebijakan keamanan harus berlandaskan pada penghormatan terhadap pluralisme,
keadilan, dan perlindungan terhadap seluruh warga negara.
Footnotes
[1]
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan
Indonesia 2022 (Jakarta: Kemenhan RI, 2022), 47–49.
[2]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 34–36.
[3]
Solahudin, NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), 98–102.
[4]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan Pencegahan
Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 29–31.
[5]
Heru Susetyo, “Keamanan Siber dan Tantangan Hukum di Indonesia,” Jurnal
Hukum dan Pembangunan 50, no. 2 (2020): 210–215.
[6]
Rudiantara, “Membangun Ketahanan Siber Nasional,” Pidato dalam
Forum Nasional Keamanan Informasi, Badan Siber dan Sandi Negara (Jakarta:
BSSN, 2021).
[7]
Adriana Elisabeth, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving
the Present and Securing the Future (Jakarta: LIPI Press, 2010), 88–91.
7.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Kerangka
Penyelesaian
Dalam menghadapi
berbagai bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa—baik dalam bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, maupun keamanan—Indonesia
memiliki satu kekuatan filosofis dan kultural yang fundamental, yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Semboyan ini, yang secara harfiah berarti
"Berbeda-beda tetapi tetap satu," tidak hanya menjadi lambang formal
negara, tetapi juga mencerminkan paradigma hidup bersama dalam kemajemukan yang
harmonis.
7.1.
Nilai-Nilai Universal dalam
Bhinneka Tunggal Ika
Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika pertama kali dicetuskan oleh Mpu Tantular dalam karya sastra Kakawin
Sutasoma pada abad ke-14. Ia merupakan cerminan falsafah hidup
masyarakat Nusantara yang telah lama menghayati pluralitas agama dan budaya
dalam suasana toleransi1. Diangkat sebagai semboyan negara pada masa
awal kemerdekaan, Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai-nilai inklusivitas,
kebersamaan, saling menghargai perbedaan, dan solidaritas nasional yang menjadi
fondasi kehidupan berbangsa.
Dalam konteks
kekinian, nilai-nilai tersebut menjadi kerangka penyelesaian multidimensi
terhadap berbagai potensi konflik dan ancaman disintegrasi. Prinsip ini
mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk
saling melengkapi dalam membangun bangsa.
7.2.
Bhinneka Tunggal Ika
sebagai Filter terhadap Ancaman Disintegratif
Bhinneka Tunggal Ika
berfungsi sebagai filter ideologis dan kultural
dalam merespons berbagai ancaman, seperti radikalisme ideologi, politik
identitas, konflik sosial, serta fragmentasi budaya. Ketika dijadikan landasan
kebijakan publik dan perilaku sosial, prinsip ini mampu menetralkan sentimen
eksklusif dan memperkuat rasa kebersamaan antarwarga negara2.
Misalnya, dalam
menghadapi politik identitas yang membelah masyarakat secara SARA, pendekatan
Bhinneka Tunggal Ika dapat digunakan sebagai instrumen edukasi politik yang
menekankan pada kepentingan bersama di atas kepentingan golongan. Demikian
pula, dalam menghadapi konflik budaya, pendekatan inklusif berbasis prinsip ini
akan mendorong dialog lintas budaya yang produktif dan saling menghargai.
7.3.
Implementasi Bhinneka
Tunggal Ika dalam Kebijakan dan Pendidikan
Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika memerlukan langkah konkret dalam berbagai sektor. Di
bidang pendidikan,
integrasi nilai-nilai toleransi, empati sosial, dan penghargaan terhadap
perbedaan harus dimasukkan dalam kurikulum dan praktik pembelajaran. Pendidikan
kewarganegaraan harus menjadi wahana untuk menanamkan kesadaran bahwa
keberagaman merupakan kodrat bangsa Indonesia yang harus dijaga bersama3.
Di tingkat kebijakan
publik, pemerintah harus menghindari pendekatan diskriminatif
dalam pelayanan sosial, alokasi anggaran, dan pengelolaan sumber daya.
Kebijakan yang adil dan akomodatif terhadap kelompok minoritas dan masyarakat
adat menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya integrasi nasional yang
berkeadilan4.
7.4.
Peran Masyarakat dalam
Menginternalisasi Nilai Kebhinekaan
Bhinneka Tunggal Ika
tidak dapat hanya menjadi slogan; ia harus diinternalisasi dan dihidupi oleh
seluruh elemen masyarakat. Organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, media
massa, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam menyebarluaskan
narasi kebangsaan yang mengedepankan dialog, toleransi, dan kerja sama
antarwarga. Dalam masyarakat multikultural, modal sosial berupa kepercayaan (trust), norma
bersama, dan jejaring sosial menjadi fondasi bagi perwujudan
persatuan dalam keberagaman5.
Dalam menghadapi era
digital dan globalisasi, prinsip Bhinneka Tunggal Ika juga harus menjadi basis
dalam merespons dinamika komunikasi virtual, terutama dalam membendung ujaran
kebencian, disinformasi, dan polarisasi yang kerap muncul di media sosial.
Literasi digital dan etika bermedia yang berorientasi pada kebhinekaan harus
terus ditanamkan, khususnya kepada generasi muda.
Footnotes
[1]
Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma, transl. I Gusti Bagus Sugriwa
(Denpasar: Balai Bahasa Bali, 1959), 32.
[2]
Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a
Global Context (Jakarta: The Asia Foundation, 2006), 54–55.
[3]
Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71–73.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 281.
[5]
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of
American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 19–21.
8.
Studi Kasus Aktual
Untuk memahami
secara konkret bagaimana berbagai ancaman terhadap keutuhan negara muncul dan
direspons, penting untuk menelaah sejumlah studi kasus aktual yang mencerminkan
dinamika kontemporer di Indonesia. Kasus-kasus berikut menunjukkan bahwa
ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan
dan keamanan bersifat nyata dan memerlukan pendekatan yang sistematis dalam
bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
8.1.
Radikalisme Ideologis di
Lingkungan Pendidikan: Kasus Eks HTI
Pasca pembubaran Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017, sejumlah aktivitas penyebaran
paham khilafah masih ditemukan di lingkungan kampus dan sekolah. Laporan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa terdapat indikasi
penyebaran paham radikal di beberapa perguruan tinggi melalui forum kajian
keagamaan yang eksklusif dan tidak transparan1. Paham ini menolak
Pancasila sebagai dasar negara dan mendorong terbentuknya sistem khilafah
transnasional, yang jelas bertentangan dengan semangat kebhinekaan.
Respon pemerintah
dan masyarakat dilakukan melalui penguatan moderasi beragama, integrasi
nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum, dan pembinaan ideologi oleh Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kasus ini menunjukkan bahwa penguatan
ideologi negara harus dilakukan secara konsisten, utamanya di lingkungan
pendidikan yang menjadi basis kaderisasi generasi penerus bangsa2.
8.2.
Polarisasi Politik dalam
Pemilu 2019
Pemilu Presiden 2019
menjadi salah satu momen penting yang memperlihatkan keretakan
sosial akibat politik identitas. Polarisasi tajam antara
pendukung dua kubu calon presiden menyebabkan fragmentasi sosial yang merambah
hingga ke lingkungan keluarga dan komunitas. Media sosial dipenuhi hoaks,
ujaran kebencian, dan narasi sektarian yang memperuncing perbedaan3.
Studi dari Centre
for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa dampak negatif
polarisasi ini tetap terasa bahkan setelah pemilu usai, termasuk dalam bentuk
meningkatnya ketegangan antarormas dan potensi konflik horizontal4.
Upaya pemulihan dilakukan melalui kampanye literasi digital, dialog
antarpendukung, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran informasi.
8.3.
Krisis Sosial dan
Ketimpangan di Papua
Isu separatisme di
Papua tidak dapat dilepaskan dari akar masalah ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan
sosial-ekonomi. Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi
pada Agustus 2019 di berbagai kota di Papua dipicu oleh insiden rasisme
terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, namun berkembang menjadi protes terhadap
marginalisasi struktural5.
Pemerintah menempuh
pendekatan pembangunan infrastruktur, afirmasi pendidikan,
dan otonomi khusus, namun pendekatan keamanan yang masih
dominan mengundang kritik dari berbagai kalangan. Studi LIPI menunjukkan bahwa
solusi jangka panjang harus melibatkan pendekatan kultural dan dialog
konstruktif yang menempatkan warga Papua sebagai subjek, bukan objek pembangunan6.
8.4.
Kejahatan Siber dan
Serangan terhadap Lembaga Negara
Serangan siber
terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS)
dan sejumlah situs lembaga negara pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kedaulatan
digital Indonesia masih rentan. Peretasan ini mengganggu layanan publik dan
menimbulkan kekhawatiran atas keamanan data pribadi warga negara7.
Pemerintah
menanggapi kasus ini dengan meningkatkan kolaborasi antara Badan Siber dan
Sandi Negara (BSSN), TNI, Polri, dan lembaga internasional di bidang keamanan
siber. Strategi jangka panjangnya meliputi pengembangan sumber daya manusia
bidang teknologi informasi, pembangunan pusat data nasional yang aman, serta
peningkatan literasi digital masyarakat luas8.
Footnotes
[1]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Tahunan
Pencegahan Terorisme 2022 (Jakarta: BNPT, 2022), 31.
[2]
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Grand Design Pembinaan
Ideologi Pancasila 2020–2024 (Jakarta: BPIP, 2020), 42–44.
[3]
Kominfo RI, Laporan Pemantauan Hoaks Pemilu 2019 (Jakarta:
Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019), 5–9.
[4]
Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Laporan
Survei Persepsi Publik Pasca Pemilu 2019 (Jakarta: CSIS, 2019), 17–18.
[5]
Amnesty International Indonesia, Papua: Menagih Keadilan dan
Kesetaraan (Jakarta: Amnesty International, 2020), 8–11.
[6]
Adriana Elisabeth, “Papua dan Tantangan Integrasi Nasional,” dalam Papua
Road Map, ed. LIPI (Jakarta: LIPI Press, 2010), 84–86.
[7]
CNN Indonesia, “PDNS Diserang Ransomware, Data Pemerintah Terancam,” CNNIndonesia.com,
28 Juni 2023, https://www.cnnindonesia.com.
[8]
Rudiantara, “Kedaulatan Digital dan Pembangunan Infrastruktur Siber,” Pidato
Forum Nasional Keamanan Siber, BSSN (Jakarta: 2023).
9.
Refleksi Kewarganegaraan
Dalam menghadapi
berbagai ancaman multidimensi terhadap keutuhan bangsa, refleksi
kewarganegaraan menjadi suatu keniscayaan. Refleksi ini tidak hanya berfungsi
sebagai evaluasi atas posisi dan peran warga negara dalam dinamika kebangsaan,
tetapi juga sebagai upaya membangun kesadaran kritis, tanggung
jawab sosial, dan komitmen kolektif dalam menjaga integrasi nasional
berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
9.1.
Kewarganegaraan Aktif dan
Partisipatif
Konsep
kewarganegaraan dalam negara demokrasi tidak cukup dipahami hanya sebagai
status hukum, tetapi lebih jauh sebagai peran aktif warga dalam kehidupan publik.
Warga negara dituntut tidak bersikap pasif terhadap permasalahan bangsa, tetapi
harus terlibat secara konstruktif dalam memelihara nilai-nilai kebangsaan,
mengawasi jalannya pemerintahan, serta mendorong keadilan sosial1.
Partisipasi aktif
ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara: ikut serta dalam proses demokrasi,
menolak praktik politik identitas yang memecah belah, melawan disinformasi dan
ujaran kebencian, serta membangun ruang-ruang dialog antarwarga. Dalam masyarakat
plural seperti Indonesia, keterlibatan warga negara dalam merawat keberagaman
menjadi prasyarat mutlak bagi terciptanya harmoni sosial2.
9.2.
Penguatan Literasi
Ideologis dan Digital
Refleksi
kewarganegaraan juga menuntut peningkatan literasi ideologis,
yakni pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan
sejarah perjuangan bangsa. Lemahnya pemahaman terhadap ideologi negara membuat
sebagian warga mudah terpengaruh oleh narasi-narasi radikal dan ideologi
transnasional yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa3.
Selain itu, dalam
era digital, warga negara perlu memiliki kecakapan literasi digital,
termasuk kemampuan memverifikasi informasi, memahami etika bermedia sosial, dan
menghindari jebakan hoaks yang dapat memperkeruh suasana kebangsaan.
Kewarganegaraan digital (digital citizenship) menjadi dimensi baru dalam
membangun integritas publik yang sehat dan bertanggung jawab4.
9.3.
Internalitas Nilai
Pancasila dan Tanggung Jawab Sosial
Sebagai dasar
negara, Pancasila harus menjadi pedoman hidup seluruh
warga, bukan sekadar simbol formal. Proses internalisasi nilai
Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan, dan persatuan harus dimulai dari
lingkup terkecil—keluarga, sekolah, dan komunitas. Pendidikan karakter berbasis
Pancasila merupakan strategi jangka panjang untuk membangun kewarganegaraan
yang berakar pada etika dan spiritualitas bangsa5.
Di sisi lain, setiap
warga negara harus menumbuhkan tanggung jawab sosial, terutama
dalam menjawab ketimpangan sosial, diskriminasi, dan marginalisasi kelompok
rentan. Kewarganegaraan tidak boleh berhenti pada kepentingan individual,
tetapi harus diwujudkan dalam solidaritas sosial untuk memperkuat integrasi
bangsa.
9.4.
Spirit Kebangsaan dalam
Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika menjadi refleksi kultural atas bagaimana warga
negara seharusnya bersikap terhadap perbedaan. Menghargai keberagaman,
menjunjung tinggi toleransi, serta menjalin kerja sama lintas identitas adalah
bentuk implementasi kewarganegaraan yang berakar pada kearifan lokal bangsa.
Dalam kerangka ini, ancaman terhadap keutuhan negara dapat ditepis melalui
pemeliharaan semangat inklusivitas dan kebersamaan6.
Refleksi ini
memperkuat pemahaman bahwa keberlangsungan Indonesia bukan hanya bergantung
pada kekuatan militer atau hukum, tetapi pada kesadaran moral dan partisipasi aktif seluruh
warga negara dalam memelihara fondasi persatuan dan keadilan.
Seorang warga negara yang baik bukan hanya mereka yang patuh terhadap aturan,
tetapi yang peduli, kritis, dan bertindak untuk kemaslahatan bangsa.
Footnotes
[1]
Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 91.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 274.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
55–56.
[4]
Rheingold, Howard, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge:
MIT Press, 2012), 3–5.
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 137–139.
[6]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2002), 102.
10.
Penutup
Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipandang sebagai suatu
keniscayaan yang bersifat statis, melainkan sebagai proses
dinamis yang harus terus diperjuangkan dan dijaga melalui kolaborasi
seluruh elemen bangsa. Artikel ini telah mengkaji secara kritis berbagai bentuk
ancaman yang mengintai dari berbagai bidang kehidupan—ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan—yang masing-masing memiliki
potensi besar untuk mengganggu stabilitas dan integrasi nasional jika tidak
ditangani secara sistematis dan terpadu.
Ancaman di bidang ideologi,
seperti radikalisme dan sekularisme ekstrem, menuntut penguatan kembali
nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi berpikir dan bertindak warga negara1.
Ancaman politik, termasuk politik
identitas dan disinformasi, menunjukkan perlunya etika demokrasi yang sehat dan
partisipasi warga yang cerdas2. Ketimpangan dan ketergantungan
ekonomi menjadi ancaman struktural yang hanya
bisa diatasi melalui pengembangan ekonomi kerakyatan dan pemerataan pembangunan3.
Sementara itu, krisis moral, konflik sosial, dan lunturnya budaya lokal
menandakan bahwa ancaman sosial dan budaya harus dijawab
dengan penguatan karakter dan pelestarian jati diri bangsa4.
Dalam ranah pertahanan
dan keamanan, transformasi ancaman ke bentuk nonkonvensional
seperti terorisme, separatisme, dan kejahatan siber memerlukan pendekatan
komprehensif berbasis Sishankamrata dan penguatan kedaulatan digital5.
Semua itu berpuncak pada pentingnya menjadikan Bhinneka Tunggal Ika bukan
sekadar semboyan, tetapi sebagai kerangka konseptual dalam menyusun kebijakan,
membangun dialog, dan merajut harmoni di tengah keberagaman6.
Refleksi
kewarganegaraan menegaskan bahwa setiap warga memiliki peran vital dalam
menjaga NKRI. Kewarganegaraan bukan hanya tentang status, tetapi tentang keterlibatan
aktif, literasi ideologis, dan tanggung jawab sosial yang
dilandasi semangat kebhinekaan. Negara yang kuat tidak dibangun oleh pasifnya
rakyat, tetapi oleh kehadiran warga negara yang sadar, peduli, dan berdaya7.
Dengan demikian,
menghadapi ancaman terhadap keutuhan negara tidak cukup dengan kebijakan
struktural semata, melainkan harus dibarengi dengan revitalisasi nilai, budaya,
dan identitas kebangsaan. Dalam konteks itu, sinergi antara negara dan warga
menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bertahan,
tetapi maju
sebagai bangsa besar yang kokoh dalam perbedaan dan adil dalam persatuan.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
59–61.
[2]
Syamsuddin Haris, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di
Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2014), 23–25.
[3]
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Realisasi
(Yogyakarta: BPFE, 1997), 27.
[4]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2002), 108.
[5]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2014), 41–42.
[6]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 289.
[7]
Darmaningtyas, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 94.
Daftar Pustaka
Amnesty International
Indonesia. (2020). Papua: Menagih keadilan dan kesetaraan. Jakarta:
Amnesty International.
Azra, A. (1999). Pendidikan
Islam: Tradisi dan modernisasi menuju milenium baru. Jakarta: Logos.
Azra, A. (2006). Indonesia,
Islam, and democracy: Dynamics in a global context. Jakarta: The Asia
Foundation.
Aditjondro, G. J. (2006). Korupsi
kepentingan asing: Neo-kolonialisme di era globalisasi. Yogyakarta: Galang
Press.
Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme. (2022). Laporan tahunan pencegahan terorisme 2022.
Jakarta: BNPT.
Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila. (2020). Grand design pembinaan ideologi Pancasila 2020–2024.
Jakarta: BPIP.
Basri, F. (2013).
Kemandirian ekonomi nasional dalam pusaran globalisasi. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia, 13(1), 1–12.
Centre for Strategic and
International Studies. (2019). Laporan survei persepsi publik pasca Pemilu
2019. Jakarta: CSIS.
CNN Indonesia. (2023, Juni
28). PDNS diserang ransomware, data pemerintah terancam. CNNIndonesia.com.
https://www.cnnindonesia.com
Darmaningtyas. (2012). Pendidikan
kewarganegaraan dalam perspektif multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Elisabeth, A. (2010). Papua
dan tantangan integrasi nasional. Dalam LIPI (Ed.), Papua road map:
Negotiating the past, improving the present and securing the future (hlm.
84–86). Jakarta: LIPI Press.
Haris, S. (2014). Politik
identitas dan masa depan demokrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hidayat, K. (2009). Psikologi
kesehatan sosial dan moralitas publik. Jakarta: Kompas.
Kaelan. (2013). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan,
mentalitas, dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kominfo RI. (2019). Laporan
pemantauan hoaks Pemilu 2019. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2023). Laporan tahunan 2022. Jakarta: KPK RI.
Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia. (2023). Laporan nasional konflik sosial tahun 2022.
Jakarta: Pusat Litbang Kemendagri.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Strategi nasional pemajuan
kebudayaan. Jakarta: Kemdikbud.
Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia. (2022). Buku putih pertahanan Indonesia 2022.
Jakarta: Kemenhan RI.
Latif, Y. (2011). Negara
paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Mubyarto. (1997). Ekonomi
Pancasila: Gagasan dan realisasi. Yogyakarta: BPFE.
Piketty, T., & Chancel,
L. (2022). World inequality report 2022. Paris: World Inequality Lab.
Putnam, R. D. (2000). Bowling
alone: The collapse and revival of American community. New York: Simon
& Schuster.
Rheingold, H. (2012). Net
smart: How to thrive online. Cambridge: MIT Press.
Rudiantara. (2021). Membangun
ketahanan siber nasional. Pidato dalam Forum Nasional Keamanan Informasi.
Jakarta: BSSN.
Rudiantara. (2023).
Kedaulatan digital dan pembangunan infrastruktur siber. Pidato dalam Forum
Nasional Keamanan Siber. Jakarta: BSSN.
Sedyawati, E. (2003). Globalisasi
dan tantangan pelestarian budaya. Dalam Globalisasi dan identitas budaya
(hlm. 40–49). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Setiyono, B. (2015). Krisis
keteladanan politik dan tantangan demokrasi. Jurnal Politik, 6(1),
43–52.
Solahudin. (2011). NII
sampai JI: Salafy jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sugriwa, I. G. B. (Trans.).
(1959). Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Denpasar: Balai Bahasa
Bali.
Susetyo, H. (2020).
Keamanan siber dan tantangan hukum di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan,
50(2), 210–215.
Wasisto, R. J. (2017).
Politik identitas dalam demokrasi elektoral di Indonesia. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 21(3), 229–242.
Widjajanto, A. (2014). Strategi
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Zuly Qodir. (2015).
Radikalisme agama dan politik identitas di Indonesia. Jurnal Review Politik,
5(2), 235–249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar