Minggu, 23 Maret 2025

Literasi Humanis: Fondasi Kritis-Etis dalam Pendidikan untuk Kemanusiaan

Literasi Humanis

Fondasi Kritis-Etis dalam Pendidikan untuk Kemanusiaan


Abstrak

Artikel ini membahas pentingnya literasi humanis sebagai pendekatan transformatif dalam pendidikan, khususnya dalam menghadapi tantangan global abad ke-21 dan era Society 5.0. Literasi humanis tidak hanya menekankan penguasaan keterampilan kognitif, tetapi juga mencakup pengembangan kesadaran kritis, kepekaan etis, serta tanggung jawab sosial. Melalui kajian literatur dari berbagai sumber kredibel, artikel ini mengelaborasi hakikat literasi humanis, dimensinya yang multidimensional, serta strategi implementasinya dalam praktik pendidikan. Literasi humanis diposisikan sebagai landasan untuk membentuk manusia yang utuh—yang mampu berpikir reflektif, berempati, dan terlibat aktif dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab. Di tengah tantangan seperti disinformasi, krisis moral, dan dehumanisasi digital, literasi humanis menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa pendidikan tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Artikel ini merekomendasikan perlunya sinergi antara kurikulum berbasis nilai, penguatan kapasitas guru, serta budaya sekolah yang demokratis guna memperkuat peran literasi humanis dalam pendidikan masa kini dan masa depan.

Kata Kunci: literasi humanis, pendidikan kritis, etika, Society 5.0, pedagogi transformatif, empati, nilai kemanusiaan.


PEMBAHASAN

Literasi Humanis secara Komprehensif dan Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam era yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi, kompleksitas sosial, dan tantangan global seperti ketimpangan sosial, disinformasi, serta krisis kemanusiaan, pemahaman terhadap konsep literasi tidak dapat lagi dibatasi hanya pada kemampuan membaca dan menulis secara mekanis. Literasi modern menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh, mencakup aspek kognitif, afektif, dan etis dalam proses pembelajaran. UNESCO mendefinisikan literasi sebagai seperangkat keterampilan yang tidak hanya melibatkan kemampuan dasar membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari secara reflektif dan bertanggung jawab.¹

Namun demikian, praktik pendidikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sering kali masih menempatkan literasi dalam kerangka yang bersifat teknokratis dan instrumentalis, yakni sekadar alat untuk meningkatkan kemampuan akademik atau keterampilan kerja, bukan sebagai sarana untuk membentuk kesadaran kritis dan nilai-nilai kemanusiaan.² Hal ini menimbulkan kesenjangan antara kemampuan intelektual peserta didik dan kedewasaan moralnya, yang tercermin dalam lemahnya empati sosial, meningkatnya intoleransi, serta rendahnya kepekaan terhadap isu-isu kemanusiaan global.³

Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, muncul pendekatan literasi yang disebut literasi humanis, yakni literasi yang tidak hanya berorientasi pada kecakapan teknis, tetapi juga pada pembentukan kesadaran kemanusiaan, refleksi diri, dan tanggung jawab etis. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire yang menganggap pendidikan sebagai tindakan pembebasan yang menempatkan manusia sebagai subjek aktif dalam realitas sosialnya.⁴ Dalam kerangka ini, literasi tidak semata kemampuan mengenal huruf, tetapi juga keberanian untuk membaca realitas dan mentransformasikannya demi terciptanya keadilan dan martabat manusia.⁵

Selain itu, literasi humanis menjadi semakin relevan dalam konteks perkembangan global seperti revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, yang menuntut tidak hanya penguasaan teknologi, tetapi juga kebijaksanaan dalam menggunakannya. Tanpa fondasi nilai-nilai humanistik, kemajuan teknologi dapat mengarah pada dehumanisasi, eksploitasi, dan hilangnya rasa kemanusiaan dalam interaksi sosial.⁶ Oleh karena itu, literasi humanis diperlukan sebagai pendekatan pendidikan yang holistik, yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menumbuhkan empati, integritas, dan tanggung jawab moral peserta didik sebagai warga dunia.

Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi konsep literasi humanis secara komprehensif dengan menelaah dimensi filosofis, praktis, dan aplikatifnya dalam dunia pendidikan. Dengan menekankan pentingnya literasi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, artikel ini ingin memberikan kontribusi bagi pengembangan praktik pendidikan yang lebih etis, adil, dan transformatif.


Footnotes

[1]                UNESCO, Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills for Indicator 4.4.2, (Paris: UNESCO, 2018), 12.

[2]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 8–12.

[3]                Darmaningtyas, “Pendidikan dan Tantangan Literasi Kemanusiaan di Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 19, no. 2 (2013): 124–126.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.

[5]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 45.

[6]                Fumio Kodama, “Society 5.0: Human-Centered Future Society,” Japan Spotlight (Japan Economic Foundation), March 2018, 27–30.


2.           Hakikat Literasi Humanis

Secara historis, konsep literasi berkembang dari pengertian dasar sebagai kemampuan membaca dan menulis menuju pemahaman yang lebih luas dan kompleks. Dalam laporan UNESCO, literasi diartikan sebagai seperangkat kompetensi yang memungkinkan seseorang untuk memahami, menafsirkan, menciptakan, dan berkomunikasi dalam berbagai konteks sosial, budaya, dan teknologi.¹ Literasi bukan lagi sekadar keterampilan teknis, melainkan proses sosial dan kultural yang berkaitan erat dengan kekuasaan, identitas, dan partisipasi dalam masyarakat.

Dalam konteks inilah, lahir gagasan tentang literasi humanis, yakni suatu pendekatan literasi yang tidak hanya menekankan kemampuan kognitif, tetapi juga kesadaran etis, refleksi diri, dan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.² Literasi humanis memandang manusia sebagai makhluk bermartabat yang mampu berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab terhadap realitas sosial di sekitarnya. Pendekatan ini berpijak pada prinsip bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkepribadian luhur dan peduli pada kemaslahatan bersama.

Secara filosofis, akar dari literasi humanis dapat ditelusuri dari pemikiran Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan progresif dari Brasil. Dalam karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed, Freire menolak pendekatan pendidikan yang disebutnya sebagai banking model, di mana peserta didik diposisikan sebagai objek pasif yang menerima informasi dari guru sebagai otoritas tunggal.³ Sebaliknya, Freire menawarkan pendidikan humanis dan dialogis, yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang berpartisipasi dalam proses pembebasan melalui kegiatan membaca realitas dan mentransformasikannya.⁴

Literasi menurut Freire adalah tindakan membaca dunia, bukan hanya membaca teks.⁵ Artinya, manusia harus mampu memahami struktur sosial, menelaah ketidakadilan, dan membangun kesadaran kritis terhadap kondisi-kondisi yang menindas. Di sinilah letak nilai humanistik dari literasi: ia tidak netral, tetapi berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan sosial. Hal ini juga selaras dengan gagasan Henry Giroux yang menyatakan bahwa literasi seharusnya menjadi alat untuk empowerment, bukan sekadar penguasaan informasi.⁶

Ciri utama dari literasi humanis meliputi beberapa aspek penting:

1)                  Kritis, yaitu kemampuan untuk menganalisis secara mendalam, mempertanyakan asumsi, dan mendekonstruksi narasi dominan.

2)                  Reflektif, yakni kemampuan untuk mengevaluasi diri, memahami perspektif lain, dan mengambil sikap berdasarkan nilai-nilai luhur.

3)                  Dialogis, menekankan komunikasi yang setara, terbuka, dan penuh hormat antarindividu.

4)                  Kontextual, yakni pemahaman bahwa literasi tidak terlepas dari latar sosial-budaya tertentu.

5)                  Etis, mengedepankan tanggung jawab moral dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.⁷

Dalam praktiknya, literasi humanis juga terkait erat dengan pandangan John Dewey tentang pendidikan demokratis. Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang baik harus mendukung partisipasi aktif, pengalaman langsung, dan pengembangan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bersama.⁸ Oleh karena itu, literasi humanis bukan sekadar instrumen pembelajaran, tetapi juga sarana untuk membentuk warga negara yang kritis, etis, dan berdaya dalam membangun masyarakat yang adil dan manusiawi.


Footnotes

[1]                UNESCO, Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills for Indicator 4.4.2 (Paris: UNESCO, 2018), 11.

[2]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 20.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.

[4]                Ibid., 75.

[5]                Paulo Freire dan Donaldo Macedo, Literacy: Reading the Word and the World (South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1987), 29.

[6]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 52.

[7]                Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love (Boulder, CO: Westview Press, 2002), 90–92.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87–89.


3.           Dimensi-Dimensi Literasi Humanis

Literasi humanis merupakan pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan kemampuan berpikir kritis dengan kepekaan etis dan sosial. Berbeda dengan pendekatan literasi yang semata-mata kognitif dan teknis, literasi humanis bertujuan membentuk individu yang tidak hanya mampu memahami dan menyampaikan informasi, tetapi juga mampu hidup secara sadar, reflektif, dan bertanggung jawab dalam masyarakatnya.¹ Untuk menggambarkan keluasan dan kedalaman pendekatan ini, literasi humanis dapat dipetakan ke dalam lima dimensi utama: kognitif, afektif, etis, sosial-kultural, dan transformatif.

3.1.       Dimensi Kognitif

Dimensi ini mencakup kemampuan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dalam berbagai bentuk—baik teks tulis, visual, maupun digital. Kemampuan berpikir kritis merupakan elemen sentral dari literasi kognitif, memungkinkan individu untuk tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga mengajukan pertanyaan, membandingkan perspektif, dan membuat keputusan yang beralasan.² Dalam kerangka literasi humanis, pemahaman kognitif tidak bersifat netral; ia diarahkan untuk membaca realitas sosial secara kritis dan sadar konteks.³ Sebagaimana dikemukakan Freire, “membaca dunia” sama pentingnya dengan “membaca kata.”⁴

3.2.       Dimensi Afektif

Dimensi ini merujuk pada pengembangan empati, rasa peduli, dan koneksi emosional terhadap sesama manusia. Literasi bukan sekadar urusan rasionalitas, tetapi juga menyentuh aspek batiniah yang membentuk kesadaran moral. Menurut Nussbaum, pendidikan yang humanistik harus melatih “imajinasi moral,” yaitu kemampuan untuk membayangkan penderitaan dan harapan orang lain, bahkan mereka yang berasal dari latar belakang yang sangat berbeda.⁵ Literasi afektif memungkinkan peserta didik untuk tidak hanya menjadi pembaca yang baik, tetapi juga manusia yang berbelas kasih.

3.3.       Dimensi Etis

Literasi humanis menekankan bahwa setiap tindakan membaca, menulis, dan berbicara mengandung konsekuensi moral. Dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi dan opini, tanggung jawab etis menjadi sangat penting—terutama dalam membedakan antara fakta dan hoaks, kebenaran dan manipulasi.⁶ Dimensi etis menuntut agar individu menggunakan pengetahuan bukan untuk kepentingan pribadi semata, melainkan demi kemaslahatan bersama. Seperti ditegaskan oleh Henry Giroux, pendidikan harus menjadi praktik etis yang mengajarkan nilai-nilai keadilan sosial dan keberanian moral dalam menghadapi ketidakadilan.⁷

3.4.       Dimensi Sosial-Kultural

Literasi humanis juga bersifat kontekstual dan pluralistik. Ia mengakui bahwa setiap individu hidup dalam masyarakat yang memiliki nilai, budaya, dan struktur sosial tertentu. Oleh karena itu, literasi tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, termasuk persoalan diskriminasi, ketimpangan, dan keragaman budaya.⁸ Menurut Gee, makna literasi selalu terbentuk dalam konteks “praktik diskursif” yang mencerminkan hubungan kuasa dan identitas.⁹ Literasi humanis mendorong keterbukaan terhadap keragaman, serta kemampuan untuk berdialog dan bekerja sama di tengah perbedaan.

3.5.       Dimensi Transformatif

Dimensi terakhir ini menunjukkan bahwa literasi bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi juga untuk mengubahnya.¹⁰ Literasi humanis memampukan individu untuk menjadi agen perubahan sosial, yang berani melawan ketidakadilan dan membangun kehidupan bersama yang lebih adil dan manusiawi. Hal ini sejalan dengan visi Freire tentang pendidikan sebagai “praktik kebebasan” (praxis), yakni keterlibatan aktif dalam mengubah struktur sosial melalui refleksi dan aksi.¹¹ Dengan demikian, literasi tidak berhenti pada kompetensi, melainkan berujung pada komitmen terhadap transformasi sosial.


Footnotes

[1]                Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love (Boulder, CO: Westview Press, 2002), 85.

[2]                OECD, PISA 2022 Assessment and Analytical Framework: Reading, Mathematics and Science (Paris: OECD Publishing, 2021), 37.

[3]                Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 75–78.

[4]                Paulo Freire dan Donaldo Macedo, Literacy: Reading the Word and the World (South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1987), 29.

[5]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 85.

[6]                Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 24.

[7]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 92.

[8]                James Paul Gee, Social Linguistics and Literacies: Ideology in Discourses, 5th ed. (New York: Routledge, 2015), 152.

[9]                Ibid., 150.

[10]             Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter Lang, 2004), 18.

[11]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 79–81.


4.           Literasi Humanis dalam Konteks Pendidikan

Pendidikan, dalam pengertian yang hakiki, adalah proses memanusiakan manusia. Oleh karena itu, konsep literasi humanis sejalan erat dengan misi pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang tumbuh dalam kesadaran, nilai, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks pendidikan formal, penerapan literasi humanis menjadi semakin mendesak di tengah sistem pembelajaran yang sering kali lebih menekankan pada capaian akademik dan prestasi kognitif semata.¹

Literasi humanis menuntut pergeseran paradigma pendidikan, dari model pendidikan yang bersifat mekanistik dan teknokratis menuju pendidikan yang bersifat holistik, reflektif, dan berbasis nilai.² Dalam kerangka ini, peserta didik tidak lagi diposisikan sebagai "wadah kosong" yang harus diisi dengan informasi, sebagaimana dikritik oleh Paulo Freire melalui metafora banking education, tetapi sebagai individu yang memiliki pengalaman, potensi, dan pandangan dunia yang patut dihargai.³

Penerapan literasi humanis dalam praktik pendidikan melibatkan sejumlah prinsip penting:

4.1.       Peran Guru sebagai Fasilitator Dialogis

Dalam pendekatan humanis, guru tidak lagi menjadi otoritas mutlak dalam proses pembelajaran, tetapi berperan sebagai fasilitator dialogis yang mendorong partisipasi aktif dan pemikiran kritis peserta didik. Freire menekankan pentingnya dialog, yaitu komunikasi dua arah yang setara antara pendidik dan peserta didik dalam proses memahami dan mentransformasikan dunia.⁴ Pembelajaran menjadi ruang dialogis yang membangun kesadaran kritis (conscientization) serta membuka peluang untuk refleksi atas pengalaman personal dan realitas sosial.⁵

4.2.       Integrasi Nilai-Nilai Humanistik dalam Kurikulum

Kurikulum yang menerapkan pendekatan literasi humanis harus memuat materi yang tidak hanya informatif, tetapi juga inspiratif dan reflektif. Hal ini dapat dilakukan melalui penyajian teks sastra, narasi kehidupan, biografi tokoh-tokoh inspiratif, dan studi kasus kemanusiaan yang mengundang empati dan perenungan moral.⁶ Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan yang memperkaya “kapasitas imajinasi moral,” yang memungkinkan peserta didik memahami sudut pandang orang lain dan mengembangkan solidaritas lintas batas identitas.⁷

4.3.       Pengembangan Budaya Sekolah yang Demokratis dan Inklusif

Literasi humanis juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sekolah secara menyeluruh, tidak terbatas pada isi pelajaran. Hal ini mencakup terciptanya budaya sekolah yang demokratis, menghargai keberagaman, serta membina hubungan yang saling menghormati antara seluruh warga sekolah.⁸ Sekolah tidak hanya menjadi tempat transmisi ilmu, tetapi juga ruang etika tempat peserta didik belajar hidup bersama dalam semangat tanggung jawab sosial dan keadilan.⁹

4.4.       Penilaian yang Memperhatikan Proses dan Pertumbuhan Kepribadian

Dalam sistem pendidikan berbasis literasi humanis, penilaian tidak hanya berfokus pada hasil akhir (output), tetapi juga menghargai proses pembelajaran dan pertumbuhan kepribadian peserta didik. Model evaluasi yang bersifat naratif, deskriptif, atau berbasis portofolio lebih cocok digunakan untuk menangkap dimensi reflektif, empatik, dan etis dari proses belajar.¹⁰ Dengan demikian, penilaian menjadi sarana pemberdayaan, bukan alat seleksi yang menekan.

4.5.       Perbandingan dengan Pendekatan Literasi Teknis

Jika literasi teknis hanya mengajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung, maka literasi humanis mengajarkan mengapa dan untuk siapa keterampilan itu digunakan. Literasi teknis bersifat netral dan adaptif terhadap sistem yang ada, sedangkan literasi humanis bersifat kritis dan transformatif.¹¹ Dalam konteks ini, perbedaan mendasarnya terletak pada orientasi nilai: apakah literasi digunakan untuk mempertahankan status quo, atau untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.


Footnotes

[1]           Darmaningtyas, “Pendidikan dan Tantangan Literasi Kemanusiaan di Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 19, no. 2 (2013): 125.

[2]           Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love (Boulder, CO: Westview Press, 2002), 86–88.

[3]           Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.

[4]           Ibid., 77.

[5]           Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 101.

[6]           Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 77.

[7]           Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 22–24.

[8]           James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations, Curriculum, and Teaching, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 134.

[9]           Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2013), 171.

[10]        Ken Robinson, Creative Schools: The Grassroots Revolution That's Transforming Education (New York: Viking, 2015), 163–165.

[11]        Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter Lang, 2004), 22.


5.           Literasi Humanis dan Tantangan Global

Di tengah derasnya arus globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi sosial-ekonomi, dunia menghadapi berbagai tantangan besar yang berdampak langsung terhadap kehidupan umat manusia. Perubahan iklim, kemiskinan ekstrem, konflik bersenjata, migrasi besar-besaran, hingga krisis kesehatan global telah menimbulkan keresahan dan memperluas kesenjangan sosial.¹ Dalam konteks ini, pendekatan pendidikan yang sekadar menekankan keterampilan teknis dan kompetensi kerja tidak lagi memadai. Diperlukan pendekatan literasi humanis yang mampu membekali peserta didik dengan kesadaran kritis, empati sosial, serta tanggung jawab moral dalam menghadapi berbagai tantangan global tersebut.

5.1.       Disinformasi dan Polarisasi Sosial

Salah satu tantangan utama di era digital saat ini adalah meluasnya disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian yang menyebar dengan cepat melalui media sosial.² Informasi yang bias dan manipulatif dapat membentuk opini publik secara destruktif, menimbulkan polarisasi, dan memicu konflik identitas. Dalam situasi ini, literasi humanis menjadi penting karena tidak hanya mengajarkan kemampuan menyeleksi informasi, tetapi juga menanamkan sikap etis dan tanggung jawab sosial dalam penggunaan media.³ Literasi ini menuntut pengguna media untuk berpikir kritis, memahami konteks, serta menyaring informasi berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan.

5.2.       Krisis Kemanusiaan dan Kehilangan Sensitivitas Moral

Tantangan lain yang dihadapi dunia adalah krisis kemanusiaan yang terjadi akibat perang, kelaparan, eksploitasi tenaga kerja, serta pelanggaran hak asasi manusia.⁴ Di tengah situasi ini, pendidikan yang berbasis literasi humanis bertujuan menumbuhkan kepekaan moral, solidaritas lintas budaya, dan semangat kemanusiaan universal. Seperti ditegaskan oleh Martha Nussbaum, pendidikan harus membentuk individu yang tidak hanya menjadi warga negara suatu bangsa, tetapi juga “citizens of the world” yang memiliki tanggung jawab moral terhadap penderitaan orang lain.⁵

5.3.       Dehumanisasi dalam Era Digital dan Teknokrasi

Meskipun kemajuan teknologi membawa manfaat besar, ia juga berisiko melahirkan dehumanisasi, yaitu reduksi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses kehidupan. Revolusi industri 4.0 dan transformasi digital telah memunculkan budaya kecepatan, efisiensi, dan otomasi yang sering kali mengabaikan dimensi etika dan relasi antarmanusia.⁶ Dalam konteks ini, literasi humanis berfungsi sebagai penyeimbang antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan tidak boleh sekadar mencetak tenaga kerja yang adaptif, tetapi juga manusia utuh yang mampu memaknai hidup, berelasi secara empatik, dan menjaga martabat orang lain.⁷

5.4.       Radikalisme dan Intoleransi

Tumbuhnya radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan intoleransi terhadap perbedaan merupakan tantangan serius bagi pendidikan abad ke-21. Literasi humanis dapat menjadi alat kultural untuk membongkar narasi-narasi sempit yang mereduksi kemanusiaan ke dalam dikotomi “kami dan mereka.”⁸ Dengan mengembangkan kemampuan berpikir reflektif dan dialog antarbudaya, literasi ini mendorong peserta didik untuk memahami kompleksitas identitas manusia dan menolak logika kekerasan.⁹

5.5.       Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab Antar-generasi

Krisis lingkungan global akibat eksploitasi alam secara masif dan tidak berkelanjutan menuntut munculnya kesadaran ekologis yang lebih mendalam. Literasi humanis berkontribusi dengan cara menanamkan nilai tanggung jawab antar-generasi, kepedulian terhadap kelestarian bumi, dan etika hidup berkelanjutan.¹⁰ Dalam konteks ini, literasi tidak hanya menjadi soal hak, tetapi juga soal kewajiban moral terhadap kehidupan bersama di planet ini.


Footnotes

[1]                United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 2021/2022: Uncertain Times, Unsettled Lives (New York: UNDP, 2022), 11–13.

[2]                Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 9–14.

[3]                Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 33.

[4]                Amnesty International, Annual Report 2022/23: The State of the World’s Human Rights (London: Amnesty International, 2023), 5–10.

[5]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 7–10.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 27–30.

[7]                John Naughton, “We Need a Human-Centred Approach to the Future of Technology,” The Guardian, May 15, 2022.

[8]                Henry A. Giroux, Education and the Crisis of Public Values: Challenging the Assault on Teachers, Students, and Public Education (New York: Peter Lang, 2012), 114–117.

[9]                James A. Banks, Diversity and Citizenship Education: Global Perspectives (San Francisco: Jossey-Bass, 2007), 135.

[10]             David Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 2004), 21–22.


6.           Strategi Penguatan Literasi Humanis

Menghadapi kompleksitas tantangan abad ke-21, strategi penguatan literasi humanis menjadi semakin penting untuk membangun generasi yang cakap berpikir kritis, memiliki kesadaran sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Literasi humanis tidak tumbuh secara instan, melainkan memerlukan pendekatan yang terstruktur, kontekstual, dan berkelanjutan dalam proses pendidikan.¹ Untuk itu, beberapa strategi berikut dapat diterapkan di berbagai jenjang dan lingkungan pendidikan guna memperkuat literasi humanis.

6.1.       Model Pembelajaran Partisipatif dan Dialogis

Strategi pertama adalah menerapkan model pembelajaran partisipatif, di mana peserta didik terlibat aktif dalam proses belajar dan diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, bertanya, serta berdiskusi secara terbuka. Pendekatan ini sejalan dengan konsep pedagogi kritis yang digagas oleh Paulo Freire, di mana pembelajaran bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan proses pembebasan yang melibatkan dialog, refleksi, dan aksi.² Dalam ruang kelas yang dialogis, literasi tidak lagi dipandang sebagai hafalan teks, melainkan sebagai keterlibatan aktif dalam memahami dan mentransformasi realitas.³

6.2.       Pemanfaatan Teks dan Media yang Memuat Nilai Humanistik

Penguatan literasi humanis juga dapat dilakukan melalui seleksi bahan ajar dan media pembelajaran yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, seperti kisah perjuangan, puisi sosial, artikel tentang keadilan, serta film dokumenter tentang kemiskinan atau perubahan iklim.⁴ Menurut Martha Nussbaum, karya sastra dan narasi personal mampu merangsang imajinasi moral peserta didik dan memperluas wawasan empatik mereka terhadap keberagaman kondisi manusia.⁵ Dengan membaca dan menganalisis teks-teks semacam ini, siswa diajak tidak hanya memahami isi bacaan, tetapi juga merenungkan nilai, makna hidup, dan tanggung jawab sosial.

6.3.       Proyek Sosial Berbasis Literasi

Kegiatan proyek berbasis literasi dapat menjadi wahana konkret untuk menghubungkan pembelajaran di kelas dengan kehidupan nyata. Proyek-proyek seperti menulis narasi warga marginal, membuat kampanye media tentang isu sosial, atau menyelenggarakan forum reflektif lintas sekolah dapat menjadi sarana untuk membentuk kesadaran kritis dan keterlibatan sosial siswa.⁶ Shirley Steinberg dan Joe Kincheloe menyebut pendekatan ini sebagai critical literacy in action, di mana pembelajaran menjadi alat transformasi sosial yang nyata.⁷

6.4.       Kolaborasi Antarbidang dan Antarbudaya

Literasi humanis menuntut integrasi pengetahuan lintas disiplin, seperti penggabungan nilai etika dalam pelajaran sains, isu lingkungan dalam pelajaran ekonomi, atau kesetaraan gender dalam sejarah. Pendekatan interdisipliner ini membantu peserta didik melihat keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan realitas sosial.⁸ Selain itu, kolaborasi antarbudaya—baik melalui pertukaran pelajar, forum global, maupun dialog virtual—mendorong peserta didik untuk belajar menghargai perbedaan, membangun solidaritas, dan memperluas perspektif kemanusiaan.⁹

6.5.       Pelatihan Guru dan Penguatan Kapasitas Pendidik

Keberhasilan penguatan literasi humanis sangat bergantung pada kapasitas dan kesiapan guru sebagai fasilitator nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, pelatihan guru tidak hanya difokuskan pada aspek metodologis, tetapi juga pada pendalaman reflektif, penguatan nilai-nilai moral, dan kesadaran akan peran strategis mereka dalam membentuk karakter peserta didik.¹⁰ Guru perlu diperlengkapi dengan pemahaman filosofis dan keterampilan pedagogis yang memungkinkan mereka menciptakan ruang belajar yang demokratis, etis, dan transformatif.¹¹


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 97.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 74–75.

[3]                Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love (Boulder, CO: Westview Press, 2002), 105.

[4]                Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 75–78.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 32.

[6]                Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 89–92.

[7]                Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter Lang, 2004), 25.

[8]                James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations, Curriculum, and Teaching, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 140.

[9]                UNESCO, Intercultural Competences: Conceptual and Operational Framework (Paris: UNESCO, 2013), 14–16.

[10]             Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005), 172.

[11]             Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 258.


7.           Relevansi Literasi Humanis di Era 5.0

Memasuki era Society 5.0, dunia menghadapi realitas baru di mana kecerdasan buatan, big data, Internet of Things (IoT), dan teknologi digital lainnya menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Konsep Society 5.0 yang pertama kali dikembangkan oleh pemerintah Jepang bertujuan menciptakan masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan mampu mengintegrasikan kemajuan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas hidup.¹ Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak akan jenis literasi yang bukan hanya teknologis dan digital, melainkan juga humanistik, yaitu literasi yang mempertimbangkan nilai, makna, dan tujuan kemanusiaan dalam pemanfaatan teknologi.

7.1.       Menyeimbangkan Kecerdasan Artifisial dengan Kecerdasan Moral

Era 5.0 ditandai oleh dominasi kecerdasan artifisial (AI) dalam berbagai bidang kehidupan—dari pendidikan, ekonomi, hingga layanan kesehatan. Namun, AI tidak memiliki nilai, emosi, atau etika; ia hanya beroperasi berdasarkan logika sistem.² Oleh karena itu, literasi humanis menjadi penting sebagai penyeimbang antara kecerdasan mesin dan kecerdasan moral manusia, yang mampu membedakan antara yang benar dan salah, adil dan tidak adil, serta manusiawi dan tidak manusiawi.³ Dalam hal ini, pendidikan tidak hanya bertugas menyiapkan peserta didik untuk menghadapi otomatisasi, tetapi juga untuk menjadi manusia yang utuh—berakal sehat, berperasaan, dan bermoral.

7.2.       Menghindari Reduksi Manusia Menjadi Objek Data

Salah satu risiko besar dalam era digital adalah reduksi manusia menjadi sekadar data. Dalam sistem yang didorong oleh algoritma, keberadaan manusia sering kali dinilai berdasarkan produktivitas, statistik, dan preferensi digital.⁴ Literasi humanis membantu membentuk kesadaran kritis bahwa manusia tidak boleh direduksi menjadi angka atau profil pengguna semata.⁵ Nilai-nilai seperti martabat, keunikan individu, dan hak asasi manusia harus tetap menjadi pusat dari semua inovasi teknologi yang dikembangkan.

7.3.       Mendorong Pendidikan yang Human-Centered

Society 5.0 menekankan pentingnya pendidikan yang menempatkan manusia sebagai tujuan utama pembangunan teknologi. Oleh karena itu, literasi humanis sangat relevan untuk membentuk pendidikan berbasis nilai, bukan sekadar berbasis keterampilan teknis.⁶ Pendidikan di era ini harus mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam dunia yang kompleks, saling terhubung, dan cepat berubah, dengan membekali mereka kemampuan refleksi, kolaborasi, serta sensitivitas sosial.⁷ Dengan demikian, literasi tidak lagi bersifat mekanistik, melainkan menjadi bagian dari proses pembentukan karakter dan peradaban.

7.4.       Menjawab Tantangan Etika Teknologi

Kemajuan teknologi membawa serta sejumlah dilema etika baru: seperti privasi data, bias algoritmik, deepfake, hingga rekayasa genetika. Dalam menghadapi isu-isu ini, literasi digital saja tidak cukup. Peserta didik perlu memiliki kemampuan untuk mempertanyakan nilai-nilai di balik inovasi teknologi dan memahami implikasi sosial dari penggunaannya. Literasi humanis memberikan kerangka etis dan filosofis untuk berpikir kritis terhadap teknologi dan menyikapinya secara bijak.⁸

7.5.       Membentuk Generasi yang Humanis dan Adaptif

Akhirnya, literasi humanis dibutuhkan untuk membentuk generasi masa depan yang adaptif terhadap perubahan, namun tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Dunia yang terus berubah memerlukan manusia yang tidak hanya mampu “berkompetisi” secara profesional, tetapi juga mampu “berempati” dalam kehidupan sosial. Literasi humanis memungkinkan peserta didik untuk berkembang menjadi warga dunia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan kepedulian sosial.⁹


Footnotes

[1]                Keidanren (Japan Business Federation), Society 5.0: Co-Creating the Future (Tokyo: Keidanren, 2018), 3–4.

[2]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 112.

[3]                Henry A. Giroux, The Terror of the Unforeseen (Los Angeles: Los Angeles Review of Books, 2019), 58.

[4]                Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 71.

[5]                Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 364–365.

[6]                Fumio Kodama, “Society 5.0: Human-Centered Future Society,” Japan Spotlight, March 2018, 27.

[7]                OECD, Future of Education and Skills 2030: Conceptual Learning Framework (Paris: OECD Publishing, 2019), 10.

[8]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 89–90.

[9]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 142.


8.           Penutup

Di tengah arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan tantangan sosial yang semakin kompleks, literasi tidak lagi dapat dipahami sebagai sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi sebagai bentuk kesadaran utuh yang mencakup pemahaman kritis, kepekaan etis, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks inilah, literasi humanis menjadi suatu pendekatan yang sangat relevan dan mendesak untuk diintegrasikan dalam sistem pendidikan, baik secara filosofis, pedagogis, maupun praktis.

Literasi humanis mengajak dunia pendidikan untuk mengembalikan manusia sebagai pusat utama dari seluruh proses pembelajaran—bukan sebagai objek sistem atau data statistik, melainkan sebagai subjek aktif yang memiliki akal, hati nurani, dan potensi transformatif.¹ Literasi ini melampaui dimensi kognitif, dengan memberi tempat pada nilai-nilai seperti empati, solidaritas, dialog, dan keadilan sosial.² Dengan cara ini, pendidikan dapat berkontribusi bukan hanya pada kecerdasan individual, tetapi juga pada pembentukan warga masyarakat yang demokratis, reflektif, dan bermartabat.

Berbagai tantangan global seperti disinformasi, intoleransi, krisis ekologi, dan dehumanisasi digital telah memperlihatkan betapa rapuhnya struktur sosial tanpa fondasi nilai kemanusiaan yang kuat.³ Dalam situasi seperti ini, literasi humanis berperan penting sebagai strategi kebudayaan yang dapat membangun ketangguhan moral dan spiritual generasi muda. Pendidikan yang berbasis literasi humanis tidak hanya membentuk kompetensi, tetapi juga karakter dan kesadaran akan tanggung jawab antar-manusia dan antar-generasi. ⁴

Agar literasi humanis dapat diimplementasikan secara nyata, dibutuhkan sinergi antara kurikulum yang berbasis nilai, guru yang reflektif dan kritis, serta ekosistem sekolah yang mendukung ruang dialog dan pembentukan karakter.⁵ Selain itu, diperlukan dukungan kebijakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada capaian akademik, tetapi juga pada dimensi kemanusiaan dalam arti yang utuh dan inklusif.

Sebagaimana ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, tanpa pendidikan yang menumbuhkan pemikiran kritis, empati, dan nilai-nilai humanistik, masyarakat demokratis akan mengalami kemunduran moral dan kehilangan arah.⁶ Maka dari itu, literasi humanis bukan hanya pilihan alternatif, melainkan kebutuhan mendasar dalam merancang masa depan pendidikan dan peradaban.


Footnotes

[1]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.

[2]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 45–47.

[3]                Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14–16.

[4]                David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 2004), 47.

[5]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2013), 198.

[6]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 143.


Daftar Pustaka

Amnesty International. (2023). Annual report 2022/23: The state of the world’s human rights. Amnesty International. https://www.amnesty.org

Banks, J. A. (2007). Diversity and citizenship education: Global perspectives. Jossey-Bass.

Banks, J. A. (2016). Cultural diversity and education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.). Routledge.

Comber, B. (2010). Critical literacy and social justice. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 54(2), 75–78. https://doi.org/10.1598/JAAL.54.2.6

Darder, A. (2002). Reinventing Paulo Freire: A pedagogy of love. Westview Press.

Darling-Hammond, L. (2010). The flat world and education: How America’s commitment to equity will determine our future. Teachers College Press.

Darmaningtyas. (2013). Pendidikan dan tantangan literasi kemanusiaan di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 19(2), 124–129.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Freire, P., & Macedo, D. (1987). Literacy: Reading the word and the world. Bergin & Garvey.

Gee, J. P. (2015). Social linguistics and literacies: Ideology in discourses (5th ed.). Routledge.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. Bloomsbury.

Giroux, H. A. (2012). Education and the crisis of public values: Challenging the assault on teachers, students, and public education. Peter Lang.

Giroux, H. A. (2019). The terror of the unforeseen. Los Angeles Review of Books.

Greene, M. (1995). Releasing the imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.

Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.

Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy: Connecting culture and classroom. Corwin.

Keidanren. (2018). Society 5.0: Co-creating the future. Japan Business Federation. https://www.keidanren.or.jp/en/policy/2018/095_outline.pdf

Kodama, F. (2018). Society 5.0: Human-centered future society. Japan Spotlight, March, 27–30.

Morozov, E. (2013). To save everything, click here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.

Naughton, J. (2022, May 15). We need a human-centred approach to the future of technology. The Guardian. https://www.theguardian.com

Noddings, N. (2005). The challenge to care in schools: An alternative approach to education (2nd ed.). Teachers College Press.

Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Belknap Press.

OECD. (2019). Future of education and skills 2030: Conceptual learning framework. OECD Publishing. https://www.oecd.org

OECD. (2021). PISA 2022 assessment and analytical framework: Reading, mathematics and science. OECD Publishing. https://www.oecd.org

Orr, D. W. (2004). Earth in mind: On education, environment, and the human prospect (2nd ed.). Island Press.

Robinson, K. (2015). Creative schools: The grassroots revolution that’s transforming education. Viking.

Steinberg, S. R., & Kincheloe, J. L. (Eds.). (2004). Critical literacy: Politics, praxis, and the postmodern. Peter Lang.

UNDP. (2022). Human development report 2021/2022: Uncertain times, unsettled lives. United Nations Development Programme. https://hdr.undp.org

UNESCO. (2013). Intercultural competences: Conceptual and operational framework. UNESCO. https://unesdoc.unesco.org

UNESCO. (2018). Global framework of reference on digital literacy skills for Indicator 4.4.2. UNESCO. https://unesdoc.unesco.org

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar