Literasi Humanis
Fondasi Kritis-Etis dalam Pendidikan untuk Kemanusiaan
Abstrak
Artikel ini membahas pentingnya literasi humanis
sebagai pendekatan transformatif dalam pendidikan, khususnya dalam menghadapi
tantangan global abad ke-21 dan era Society 5.0. Literasi humanis tidak hanya
menekankan penguasaan keterampilan kognitif, tetapi juga mencakup pengembangan
kesadaran kritis, kepekaan etis, serta tanggung jawab sosial. Melalui kajian
literatur dari berbagai sumber kredibel, artikel ini mengelaborasi hakikat
literasi humanis, dimensinya yang multidimensional, serta strategi
implementasinya dalam praktik pendidikan. Literasi humanis diposisikan sebagai
landasan untuk membentuk manusia yang utuh—yang mampu berpikir reflektif,
berempati, dan terlibat aktif dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.
Di tengah tantangan seperti disinformasi, krisis moral, dan dehumanisasi
digital, literasi humanis menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa
pendidikan tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Artikel ini
merekomendasikan perlunya sinergi antara kurikulum berbasis nilai, penguatan
kapasitas guru, serta budaya sekolah yang demokratis guna memperkuat peran
literasi humanis dalam pendidikan masa kini dan masa depan.
Kata Kunci: literasi humanis, pendidikan kritis, etika, Society
5.0, pedagogi transformatif, empati, nilai kemanusiaan.
PEMBAHASAN
Literasi Humanis secara Komprehensif dan Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam era yang
ditandai oleh kemajuan teknologi informasi, kompleksitas sosial, dan tantangan
global seperti ketimpangan sosial, disinformasi, serta krisis kemanusiaan,
pemahaman terhadap konsep literasi tidak dapat lagi dibatasi hanya pada
kemampuan membaca dan menulis secara mekanis. Literasi modern menuntut
pendekatan yang lebih menyeluruh, mencakup aspek kognitif, afektif, dan etis
dalam proses pembelajaran. UNESCO mendefinisikan literasi sebagai seperangkat
keterampilan yang tidak hanya melibatkan kemampuan dasar membaca dan menulis,
tetapi juga kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi
dalam kehidupan sehari-hari secara reflektif dan bertanggung jawab.¹
Namun demikian,
praktik pendidikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sering kali masih
menempatkan literasi dalam kerangka yang bersifat teknokratis dan
instrumentalis, yakni sekadar alat untuk meningkatkan kemampuan akademik atau
keterampilan kerja, bukan sebagai sarana untuk membentuk kesadaran kritis dan
nilai-nilai kemanusiaan.² Hal ini menimbulkan kesenjangan antara kemampuan
intelektual peserta didik dan kedewasaan moralnya, yang tercermin dalam
lemahnya empati sosial, meningkatnya intoleransi, serta rendahnya kepekaan
terhadap isu-isu kemanusiaan global.³
Untuk menjembatani
kesenjangan tersebut, muncul pendekatan literasi yang disebut literasi
humanis, yakni literasi yang tidak hanya berorientasi pada
kecakapan teknis, tetapi juga pada pembentukan kesadaran kemanusiaan, refleksi
diri, dan tanggung jawab etis. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire
yang menganggap pendidikan sebagai tindakan pembebasan yang menempatkan manusia
sebagai subjek aktif dalam realitas sosialnya.⁴ Dalam kerangka ini, literasi
tidak semata kemampuan mengenal huruf, tetapi juga keberanian untuk membaca realitas
dan mentransformasikannya demi terciptanya keadilan dan martabat manusia.⁵
Selain itu, literasi
humanis menjadi semakin relevan dalam konteks perkembangan global seperti
revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, yang menuntut tidak hanya penguasaan
teknologi, tetapi juga kebijaksanaan dalam menggunakannya. Tanpa fondasi
nilai-nilai humanistik, kemajuan teknologi dapat mengarah pada dehumanisasi,
eksploitasi, dan hilangnya rasa kemanusiaan dalam interaksi sosial.⁶ Oleh
karena itu, literasi humanis diperlukan sebagai pendekatan pendidikan yang
holistik, yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menumbuhkan empati,
integritas, dan tanggung jawab moral peserta didik sebagai warga dunia.
Artikel ini
bertujuan untuk mengelaborasi konsep literasi humanis secara komprehensif
dengan menelaah dimensi filosofis, praktis, dan aplikatifnya dalam dunia
pendidikan. Dengan menekankan pentingnya literasi yang berpijak pada
nilai-nilai kemanusiaan, artikel ini ingin memberikan kontribusi bagi
pengembangan praktik pendidikan yang lebih etis, adil, dan transformatif.
Footnotes
[1]
UNESCO, Global Framework of Reference on Digital
Literacy Skills for Indicator 4.4.2, (Paris: UNESCO, 2018), 12.
[2]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 8–12.
[3]
Darmaningtyas, “Pendidikan dan Tantangan Literasi Kemanusiaan di
Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
vol. 19, no. 2 (2013): 124–126.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.
[5]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 45.
[6]
Fumio Kodama, “Society 5.0: Human-Centered Future Society,” Japan
Spotlight (Japan Economic Foundation), March 2018, 27–30.
2.
Hakikat
Literasi Humanis
Secara historis,
konsep literasi berkembang dari pengertian dasar sebagai kemampuan membaca dan
menulis menuju pemahaman yang lebih luas dan kompleks. Dalam laporan UNESCO,
literasi diartikan sebagai seperangkat kompetensi yang memungkinkan seseorang
untuk memahami, menafsirkan, menciptakan, dan berkomunikasi dalam berbagai
konteks sosial, budaya, dan teknologi.¹ Literasi bukan lagi sekadar
keterampilan teknis, melainkan proses sosial dan kultural yang berkaitan erat
dengan kekuasaan, identitas, dan partisipasi dalam masyarakat.
Dalam konteks
inilah, lahir gagasan tentang literasi humanis, yakni suatu
pendekatan literasi yang tidak hanya menekankan kemampuan kognitif, tetapi juga
kesadaran etis, refleksi diri, dan kepedulian terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.² Literasi humanis memandang manusia sebagai makhluk bermartabat
yang mampu berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab terhadap realitas
sosial di sekitarnya. Pendekatan ini berpijak pada prinsip bahwa pendidikan
seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara akademik,
tetapi juga berkepribadian luhur dan peduli pada kemaslahatan bersama.
Secara filosofis,
akar dari literasi humanis dapat ditelusuri dari pemikiran Paulo
Freire, seorang tokoh pendidikan progresif dari Brasil. Dalam
karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed, Freire
menolak pendekatan pendidikan yang disebutnya sebagai banking
model, di mana peserta didik diposisikan sebagai objek pasif yang
menerima informasi dari guru sebagai otoritas tunggal.³ Sebaliknya, Freire
menawarkan pendidikan
humanis dan dialogis, yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif
yang berpartisipasi dalam proses pembebasan melalui kegiatan membaca realitas
dan mentransformasikannya.⁴
Literasi menurut
Freire adalah tindakan membaca dunia, bukan
hanya membaca teks.⁵ Artinya, manusia harus mampu memahami struktur sosial,
menelaah ketidakadilan, dan membangun kesadaran kritis terhadap kondisi-kondisi
yang menindas. Di sinilah letak nilai humanistik dari literasi: ia tidak
netral, tetapi berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan sosial. Hal ini juga
selaras dengan gagasan Henry Giroux yang menyatakan bahwa literasi seharusnya
menjadi alat untuk empowerment, bukan sekadar
penguasaan informasi.⁶
Ciri utama dari
literasi humanis meliputi beberapa aspek penting:
1)
Kritis,
yaitu kemampuan untuk menganalisis secara mendalam, mempertanyakan asumsi, dan
mendekonstruksi narasi dominan.
2)
Reflektif,
yakni kemampuan untuk mengevaluasi diri, memahami perspektif lain, dan
mengambil sikap berdasarkan nilai-nilai luhur.
3)
Dialogis,
menekankan komunikasi yang setara, terbuka, dan penuh hormat antarindividu.
4)
Kontextual,
yakni pemahaman bahwa literasi tidak terlepas dari latar sosial-budaya
tertentu.
5)
Etis,
mengedepankan tanggung jawab moral dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.⁷
Dalam praktiknya,
literasi humanis juga terkait erat dengan pandangan John
Dewey tentang pendidikan demokratis. Dewey berpendapat bahwa
pendidikan yang baik harus mendukung partisipasi aktif, pengalaman langsung,
dan pengembangan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bersama.⁸ Oleh karena itu,
literasi humanis bukan sekadar instrumen pembelajaran, tetapi juga sarana untuk
membentuk warga negara yang kritis, etis, dan berdaya dalam membangun
masyarakat yang adil dan manusiawi.
Footnotes
[1]
UNESCO, Global Framework of Reference on Digital
Literacy Skills for Indicator 4.4.2 (Paris: UNESCO, 2018), 11.
[2]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 20.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.
[4]
Ibid., 75.
[5]
Paulo Freire dan Donaldo Macedo, Literacy: Reading the Word and the World
(South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1987), 29.
[6]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 52.
[7]
Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love
(Boulder, CO: Westview Press, 2002), 90–92.
[8]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87–89.
3.
Dimensi-Dimensi
Literasi Humanis
Literasi humanis
merupakan pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan kemampuan berpikir
kritis dengan kepekaan etis dan sosial. Berbeda dengan pendekatan literasi yang
semata-mata kognitif dan teknis, literasi humanis bertujuan membentuk individu
yang tidak hanya mampu memahami dan menyampaikan informasi, tetapi juga mampu
hidup secara sadar, reflektif, dan bertanggung jawab dalam masyarakatnya.¹
Untuk menggambarkan keluasan dan kedalaman pendekatan ini, literasi humanis dapat
dipetakan ke dalam lima dimensi utama: kognitif, afektif,
etis,
sosial-kultural,
dan transformatif.
3.1.
Dimensi Kognitif
Dimensi ini mencakup
kemampuan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dalam berbagai
bentuk—baik teks tulis, visual, maupun digital. Kemampuan berpikir kritis
merupakan elemen sentral dari literasi kognitif, memungkinkan individu untuk
tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga mengajukan pertanyaan,
membandingkan perspektif, dan membuat keputusan yang beralasan.² Dalam kerangka
literasi humanis, pemahaman kognitif tidak bersifat netral; ia diarahkan untuk
membaca realitas sosial secara kritis dan sadar konteks.³ Sebagaimana
dikemukakan Freire, “membaca dunia” sama pentingnya dengan “membaca
kata.”⁴
3.2.
Dimensi Afektif
Dimensi ini merujuk
pada pengembangan empati, rasa peduli, dan koneksi emosional terhadap sesama
manusia. Literasi bukan sekadar urusan rasionalitas, tetapi juga menyentuh
aspek batiniah yang membentuk kesadaran moral. Menurut Nussbaum, pendidikan
yang humanistik harus melatih “imajinasi moral,” yaitu kemampuan untuk
membayangkan penderitaan dan harapan orang lain, bahkan mereka yang berasal
dari latar belakang yang sangat berbeda.⁵ Literasi afektif memungkinkan peserta
didik untuk tidak hanya menjadi pembaca yang baik, tetapi juga manusia yang
berbelas kasih.
3.3.
Dimensi Etis
Literasi humanis
menekankan bahwa setiap tindakan membaca, menulis, dan berbicara mengandung
konsekuensi moral. Dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi dan opini,
tanggung jawab etis menjadi sangat penting—terutama dalam membedakan antara
fakta dan hoaks, kebenaran dan manipulasi.⁶ Dimensi etis menuntut agar individu
menggunakan pengetahuan bukan untuk kepentingan pribadi semata, melainkan demi
kemaslahatan bersama. Seperti ditegaskan oleh Henry Giroux, pendidikan harus
menjadi praktik etis yang mengajarkan nilai-nilai keadilan sosial dan
keberanian moral dalam menghadapi ketidakadilan.⁷
3.4.
Dimensi Sosial-Kultural
Literasi humanis
juga bersifat kontekstual dan pluralistik. Ia mengakui bahwa setiap individu
hidup dalam masyarakat yang memiliki nilai, budaya, dan struktur sosial
tertentu. Oleh karena itu, literasi tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial,
termasuk persoalan diskriminasi, ketimpangan, dan keragaman budaya.⁸ Menurut
Gee, makna literasi selalu terbentuk dalam konteks “praktik diskursif” yang
mencerminkan hubungan kuasa dan identitas.⁹ Literasi humanis mendorong
keterbukaan terhadap keragaman, serta kemampuan untuk berdialog dan bekerja
sama di tengah perbedaan.
3.5.
Dimensi Transformatif
Dimensi terakhir ini
menunjukkan bahwa literasi bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi juga
untuk mengubahnya.¹⁰
Literasi humanis memampukan individu untuk menjadi agen perubahan sosial, yang
berani melawan ketidakadilan dan membangun kehidupan bersama yang lebih adil
dan manusiawi. Hal ini sejalan dengan visi Freire tentang pendidikan sebagai
“praktik kebebasan” (praxis), yakni keterlibatan aktif
dalam mengubah struktur sosial melalui refleksi dan aksi.¹¹ Dengan demikian,
literasi tidak berhenti pada kompetensi, melainkan berujung pada komitmen
terhadap transformasi sosial.
Footnotes
[1]
Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love
(Boulder, CO: Westview Press, 2002), 85.
[2]
OECD, PISA 2022 Assessment and Analytical Framework:
Reading, Mathematics and Science (Paris: OECD Publishing, 2021), 37.
[3]
Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal
of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 75–78.
[4]
Paulo Freire dan Donaldo Macedo, Literacy: Reading the Word and the World
(South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1987), 29.
[5]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1997), 85.
[6]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture
and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 24.
[7]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 92.
[8]
James Paul Gee, Social Linguistics and Literacies: Ideology in
Discourses, 5th ed. (New York: Routledge, 2015), 152.
[9]
Ibid., 150.
[10]
Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical
Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter
Lang, 2004), 18.
[11]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 79–81.
4.
Literasi
Humanis dalam Konteks Pendidikan
Pendidikan, dalam
pengertian yang hakiki, adalah proses memanusiakan manusia. Oleh karena itu,
konsep literasi
humanis sejalan erat dengan misi pendidikan yang menempatkan
peserta didik sebagai subjek aktif yang tumbuh dalam kesadaran, nilai, dan
tanggung jawab sosial. Dalam konteks pendidikan formal, penerapan literasi
humanis menjadi semakin mendesak di tengah sistem pembelajaran yang sering kali
lebih menekankan pada capaian akademik dan prestasi kognitif semata.¹
Literasi humanis
menuntut pergeseran paradigma pendidikan,
dari model pendidikan yang bersifat mekanistik dan teknokratis menuju
pendidikan yang bersifat holistik, reflektif, dan berbasis nilai.² Dalam
kerangka ini, peserta didik tidak lagi diposisikan sebagai "wadah
kosong" yang harus diisi dengan informasi, sebagaimana dikritik oleh Paulo
Freire melalui metafora banking education, tetapi sebagai
individu yang memiliki pengalaman, potensi, dan pandangan dunia yang patut
dihargai.³
Penerapan literasi
humanis dalam praktik pendidikan melibatkan sejumlah prinsip penting:
4.1.
Peran Guru sebagai Fasilitator Dialogis
Dalam pendekatan
humanis, guru tidak lagi menjadi otoritas mutlak dalam proses pembelajaran,
tetapi berperan sebagai fasilitator dialogis yang
mendorong partisipasi aktif dan pemikiran kritis peserta didik. Freire
menekankan pentingnya dialog, yaitu komunikasi dua arah
yang setara antara pendidik dan peserta didik dalam proses memahami dan
mentransformasikan dunia.⁴ Pembelajaran menjadi ruang dialogis yang membangun
kesadaran kritis (conscientization) serta membuka
peluang untuk refleksi atas pengalaman personal dan realitas sosial.⁵
4.2.
Integrasi Nilai-Nilai Humanistik dalam
Kurikulum
Kurikulum yang
menerapkan pendekatan literasi humanis harus memuat materi yang tidak hanya
informatif, tetapi juga inspiratif dan reflektif. Hal
ini dapat dilakukan melalui penyajian teks sastra, narasi kehidupan, biografi
tokoh-tokoh inspiratif, dan studi kasus kemanusiaan yang mengundang empati dan
perenungan moral.⁶ Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan yang
memperkaya “kapasitas imajinasi moral,” yang memungkinkan peserta didik
memahami sudut pandang orang lain dan mengembangkan solidaritas lintas batas
identitas.⁷
4.3.
Pengembangan Budaya Sekolah yang Demokratis dan
Inklusif
Literasi humanis
juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sekolah secara menyeluruh, tidak
terbatas pada isi pelajaran. Hal ini mencakup terciptanya budaya
sekolah yang demokratis, menghargai keberagaman, serta membina hubungan
yang saling menghormati antara seluruh warga sekolah.⁸ Sekolah tidak hanya
menjadi tempat transmisi ilmu, tetapi juga ruang etika tempat peserta
didik belajar hidup bersama dalam semangat tanggung jawab sosial dan keadilan.⁹
4.4.
Penilaian yang Memperhatikan Proses dan
Pertumbuhan Kepribadian
Dalam sistem
pendidikan berbasis literasi humanis, penilaian tidak hanya berfokus pada hasil
akhir (output),
tetapi juga menghargai proses pembelajaran dan
pertumbuhan kepribadian peserta didik. Model evaluasi yang bersifat naratif,
deskriptif, atau berbasis portofolio lebih cocok digunakan untuk menangkap
dimensi reflektif, empatik, dan etis dari proses belajar.¹⁰ Dengan demikian,
penilaian menjadi sarana pemberdayaan, bukan alat seleksi yang menekan.
4.5.
Perbandingan dengan Pendekatan Literasi Teknis
Jika literasi teknis
hanya mengajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung, maka literasi humanis
mengajarkan mengapa dan untuk siapa keterampilan itu digunakan.
Literasi teknis bersifat netral dan adaptif terhadap sistem yang ada, sedangkan
literasi humanis bersifat kritis dan transformatif.¹¹ Dalam konteks ini,
perbedaan mendasarnya terletak pada orientasi nilai: apakah literasi digunakan
untuk mempertahankan status quo, atau untuk membangun masyarakat yang lebih
adil dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Darmaningtyas, “Pendidikan dan Tantangan Literasi Kemanusiaan di
Indonesia,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
19, no. 2 (2013): 125.
[2]
Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love
(Boulder, CO: Westview Press, 2002), 86–88.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.
[4]
Ibid., 77.
[5]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 101.
[6]
Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal
of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 77.
[7]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 22–24.
[8]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 134.
[9]
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and
Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2013),
171.
[10]
Ken Robinson, Creative Schools: The Grassroots Revolution
That's Transforming Education (New York: Viking, 2015), 163–165.
[11]
Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical
Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter
Lang, 2004), 22.
5.
Literasi
Humanis dan Tantangan Global
Di tengah derasnya
arus globalisasi, digitalisasi, dan disrupsi sosial-ekonomi, dunia menghadapi
berbagai tantangan besar yang berdampak langsung terhadap kehidupan umat
manusia. Perubahan iklim, kemiskinan ekstrem, konflik bersenjata, migrasi
besar-besaran, hingga krisis kesehatan global telah menimbulkan keresahan dan
memperluas kesenjangan sosial.¹ Dalam konteks ini, pendekatan pendidikan yang
sekadar menekankan keterampilan teknis dan kompetensi kerja tidak lagi memadai.
Diperlukan pendekatan literasi humanis yang mampu
membekali peserta didik dengan kesadaran kritis, empati sosial, serta tanggung
jawab moral dalam menghadapi berbagai tantangan global tersebut.
5.1.
Disinformasi dan Polarisasi Sosial
Salah satu tantangan
utama di era digital saat ini adalah meluasnya disinformasi, hoaks, dan ujaran
kebencian yang menyebar dengan cepat melalui media sosial.² Informasi yang bias
dan manipulatif dapat membentuk opini publik secara destruktif, menimbulkan
polarisasi, dan memicu konflik identitas. Dalam situasi ini, literasi humanis
menjadi penting karena tidak hanya mengajarkan kemampuan menyeleksi informasi,
tetapi juga menanamkan sikap etis dan tanggung jawab sosial dalam penggunaan
media.³ Literasi ini menuntut pengguna media untuk berpikir kritis, memahami
konteks, serta menyaring informasi berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan.
5.2.
Krisis Kemanusiaan dan Kehilangan Sensitivitas
Moral
Tantangan lain yang
dihadapi dunia adalah krisis kemanusiaan yang terjadi
akibat perang, kelaparan, eksploitasi tenaga kerja, serta pelanggaran hak asasi
manusia.⁴ Di tengah situasi ini, pendidikan yang berbasis literasi humanis
bertujuan menumbuhkan kepekaan moral, solidaritas
lintas budaya, dan semangat kemanusiaan universal. Seperti ditegaskan oleh
Martha Nussbaum, pendidikan harus membentuk individu yang tidak hanya menjadi
warga negara suatu bangsa, tetapi juga “citizens of the world” yang
memiliki tanggung jawab moral terhadap penderitaan orang lain.⁵
5.3.
Dehumanisasi dalam Era Digital dan Teknokrasi
Meskipun kemajuan
teknologi membawa manfaat besar, ia juga berisiko melahirkan dehumanisasi,
yaitu reduksi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses kehidupan. Revolusi industri
4.0 dan transformasi digital telah memunculkan budaya kecepatan, efisiensi, dan
otomasi yang sering kali mengabaikan dimensi etika dan relasi antarmanusia.⁶
Dalam konteks ini, literasi humanis berfungsi sebagai penyeimbang antara
perkembangan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan tidak boleh
sekadar mencetak tenaga kerja yang adaptif, tetapi juga manusia
utuh yang mampu memaknai hidup, berelasi secara empatik, dan
menjaga martabat orang lain.⁷
5.4.
Radikalisme dan Intoleransi
Tumbuhnya
radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan intoleransi terhadap perbedaan
merupakan tantangan serius bagi pendidikan abad ke-21. Literasi humanis dapat
menjadi alat kultural untuk membongkar narasi-narasi sempit yang mereduksi
kemanusiaan ke dalam dikotomi “kami dan mereka.”⁸ Dengan mengembangkan
kemampuan berpikir reflektif dan dialog antarbudaya, literasi ini mendorong
peserta didik untuk memahami kompleksitas identitas manusia dan menolak logika
kekerasan.⁹
5.5.
Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab
Antar-generasi
Krisis lingkungan
global akibat eksploitasi alam secara masif dan tidak berkelanjutan menuntut
munculnya kesadaran ekologis yang lebih mendalam. Literasi humanis
berkontribusi dengan cara menanamkan nilai tanggung jawab antar-generasi,
kepedulian terhadap kelestarian bumi, dan etika hidup berkelanjutan.¹⁰ Dalam
konteks ini, literasi tidak hanya menjadi soal hak, tetapi juga soal kewajiban
moral terhadap kehidupan bersama di planet ini.
Footnotes
[1]
United Nations Development Programme (UNDP), Human
Development Report 2021/2022: Uncertain Times, Unsettled Lives (New
York: UNDP, 2022), 11–13.
[2]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 9–14.
[3]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture
and Classroom (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2011), 33.
[4]
Amnesty International, Annual Report 2022/23: The State of the World’s
Human Rights (London: Amnesty International, 2023), 5–10.
[5]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1997), 7–10.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 27–30.
[7]
John Naughton, “We Need a Human-Centred Approach to the Future of
Technology,” The Guardian, May 15, 2022.
[8]
Henry A. Giroux, Education and the Crisis of Public Values:
Challenging the Assault on Teachers, Students, and Public Education
(New York: Peter Lang, 2012), 114–117.
[9]
James A. Banks, Diversity and Citizenship Education: Global
Perspectives (San Francisco: Jossey-Bass, 2007), 135.
[10]
David Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and
the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 2004), 21–22.
6.
Strategi
Penguatan Literasi Humanis
Menghadapi
kompleksitas tantangan abad ke-21, strategi penguatan literasi
humanis menjadi semakin penting untuk membangun generasi yang
cakap berpikir kritis, memiliki kesadaran sosial, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Literasi humanis tidak tumbuh secara instan, melainkan
memerlukan pendekatan yang terstruktur, kontekstual, dan berkelanjutan dalam
proses pendidikan.¹ Untuk itu, beberapa strategi berikut dapat diterapkan di
berbagai jenjang dan lingkungan pendidikan guna memperkuat literasi humanis.
6.1.
Model Pembelajaran Partisipatif dan Dialogis
Strategi pertama
adalah menerapkan model pembelajaran partisipatif,
di mana peserta didik terlibat aktif dalam proses belajar dan diberi ruang untuk
menyampaikan pendapat, bertanya, serta berdiskusi secara terbuka. Pendekatan
ini sejalan dengan konsep pedagogi kritis yang digagas oleh
Paulo Freire, di mana pembelajaran bukan sekadar proses transfer pengetahuan,
melainkan proses pembebasan yang melibatkan dialog, refleksi, dan aksi.² Dalam
ruang kelas yang dialogis, literasi tidak lagi dipandang sebagai hafalan teks,
melainkan sebagai keterlibatan aktif dalam memahami dan mentransformasi
realitas.³
6.2.
Pemanfaatan Teks dan Media yang Memuat Nilai
Humanistik
Penguatan literasi
humanis juga dapat dilakukan melalui seleksi bahan ajar dan media pembelajaran
yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, seperti kisah perjuangan, puisi sosial,
artikel tentang keadilan, serta film dokumenter tentang kemiskinan atau perubahan
iklim.⁴ Menurut Martha Nussbaum, karya sastra dan narasi personal mampu
merangsang imajinasi moral peserta didik dan memperluas wawasan empatik mereka
terhadap keberagaman kondisi manusia.⁵ Dengan membaca dan menganalisis
teks-teks semacam ini, siswa diajak tidak hanya memahami isi bacaan, tetapi
juga merenungkan nilai, makna hidup, dan tanggung jawab sosial.
6.3.
Proyek Sosial Berbasis Literasi
Kegiatan proyek
berbasis literasi dapat menjadi wahana konkret untuk menghubungkan pembelajaran
di kelas dengan kehidupan nyata. Proyek-proyek seperti menulis narasi warga
marginal, membuat kampanye media tentang isu sosial, atau menyelenggarakan
forum reflektif lintas sekolah dapat menjadi sarana untuk membentuk kesadaran
kritis dan keterlibatan sosial siswa.⁶ Shirley Steinberg dan
Joe Kincheloe menyebut pendekatan ini sebagai critical literacy in action, di
mana pembelajaran menjadi alat transformasi sosial yang nyata.⁷
6.4.
Kolaborasi Antarbidang dan Antarbudaya
Literasi humanis
menuntut integrasi pengetahuan lintas disiplin,
seperti penggabungan nilai etika dalam pelajaran sains, isu lingkungan dalam
pelajaran ekonomi, atau kesetaraan gender dalam sejarah. Pendekatan
interdisipliner ini membantu peserta didik melihat keterkaitan antara ilmu
pengetahuan dan realitas sosial.⁸ Selain itu, kolaborasi antarbudaya—baik
melalui pertukaran pelajar, forum global, maupun dialog virtual—mendorong
peserta didik untuk belajar menghargai perbedaan, membangun solidaritas, dan
memperluas perspektif kemanusiaan.⁹
6.5.
Pelatihan Guru dan Penguatan Kapasitas Pendidik
Keberhasilan
penguatan literasi humanis sangat bergantung pada kapasitas dan kesiapan guru
sebagai fasilitator nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, pelatihan guru tidak
hanya difokuskan pada aspek metodologis, tetapi juga pada pendalaman
reflektif, penguatan nilai-nilai moral, dan kesadaran akan
peran strategis mereka dalam membentuk karakter peserta didik.¹⁰ Guru perlu
diperlengkapi dengan pemahaman filosofis dan keterampilan pedagogis yang
memungkinkan mereka menciptakan ruang belajar yang demokratis, etis, dan
transformatif.¹¹
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 97.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 74–75.
[3]
Antonia Darder, Reinventing Paulo Freire: A Pedagogy of Love
(Boulder, CO: Westview Press, 2002), 105.
[4]
Barbara Comber, “Critical Literacy and Social Justice,” Journal
of Adolescent & Adult Literacy 54, no. 2 (2010): 75–78.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 32.
[6]
Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education,
the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995),
89–92.
[7]
Shirley R. Steinberg dan Joe L. Kincheloe, eds., Critical
Literacy: Politics, Praxis, and the Postmodern (New York: Peter
Lang, 2004), 25.
[8]
James A. Banks, Cultural Diversity and Education: Foundations,
Curriculum, and Teaching, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 140.
[9]
UNESCO, Intercultural Competences: Conceptual and
Operational Framework (Paris: UNESCO, 2013), 14–16.
[10]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An
Alternative Approach to Education (New York: Teachers College
Press, 2005), 172.
[11]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 258.
7.
Relevansi
Literasi Humanis di Era 5.0
Memasuki era Society
5.0, dunia menghadapi realitas baru di mana kecerdasan buatan,
big data, Internet of Things (IoT), dan teknologi digital lainnya menjadi
bagian integral dari kehidupan manusia. Konsep Society 5.0 yang pertama kali
dikembangkan oleh pemerintah Jepang bertujuan menciptakan masyarakat yang berpusat
pada manusia (human-centered) dan mampu mengintegrasikan
kemajuan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas hidup.¹ Dalam konteks
ini, muncul kebutuhan mendesak akan jenis literasi yang bukan hanya teknologis
dan digital, melainkan juga humanistik, yaitu literasi yang
mempertimbangkan nilai, makna, dan tujuan kemanusiaan dalam pemanfaatan
teknologi.
7.1.
Menyeimbangkan Kecerdasan Artifisial dengan
Kecerdasan Moral
Era 5.0 ditandai
oleh dominasi kecerdasan artifisial (AI)
dalam berbagai bidang kehidupan—dari pendidikan, ekonomi, hingga layanan
kesehatan. Namun, AI tidak memiliki nilai, emosi, atau etika; ia hanya
beroperasi berdasarkan logika sistem.² Oleh karena itu, literasi humanis
menjadi penting sebagai penyeimbang antara kecerdasan mesin dan kecerdasan
moral manusia, yang mampu membedakan antara yang benar dan
salah, adil dan tidak adil, serta manusiawi dan tidak manusiawi.³ Dalam hal
ini, pendidikan tidak hanya bertugas menyiapkan peserta didik untuk menghadapi
otomatisasi, tetapi juga untuk menjadi manusia yang utuh—berakal
sehat, berperasaan, dan bermoral.
7.2.
Menghindari Reduksi Manusia Menjadi Objek Data
Salah satu risiko
besar dalam era digital adalah reduksi manusia menjadi sekadar data.
Dalam sistem yang didorong oleh algoritma, keberadaan manusia sering kali
dinilai berdasarkan produktivitas, statistik, dan preferensi digital.⁴ Literasi
humanis membantu membentuk kesadaran kritis bahwa manusia tidak boleh direduksi
menjadi angka atau profil pengguna semata.⁵ Nilai-nilai seperti martabat, keunikan
individu, dan hak asasi manusia harus tetap menjadi pusat dari semua inovasi
teknologi yang dikembangkan.
7.3.
Mendorong Pendidikan yang Human-Centered
Society 5.0
menekankan pentingnya pendidikan yang menempatkan manusia sebagai tujuan
utama pembangunan teknologi. Oleh karena itu, literasi humanis
sangat relevan untuk membentuk pendidikan berbasis nilai,
bukan sekadar berbasis keterampilan teknis.⁶ Pendidikan di era ini harus
mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam dunia yang kompleks, saling
terhubung, dan cepat berubah, dengan membekali mereka kemampuan refleksi,
kolaborasi, serta sensitivitas sosial.⁷ Dengan demikian, literasi tidak lagi
bersifat mekanistik, melainkan menjadi bagian dari proses pembentukan
karakter dan peradaban.
7.4.
Menjawab Tantangan Etika Teknologi
Kemajuan teknologi
membawa serta sejumlah dilema etika baru: seperti privasi data, bias
algoritmik, deepfake, hingga rekayasa genetika. Dalam menghadapi isu-isu ini, literasi
digital saja tidak cukup. Peserta didik perlu memiliki
kemampuan untuk mempertanyakan nilai-nilai di balik inovasi teknologi dan
memahami implikasi sosial dari penggunaannya. Literasi humanis memberikan
kerangka etis dan filosofis untuk berpikir kritis terhadap teknologi dan
menyikapinya secara bijak.⁸
7.5.
Membentuk Generasi yang Humanis dan Adaptif
Akhirnya, literasi
humanis dibutuhkan untuk membentuk generasi masa depan yang adaptif
terhadap perubahan, namun tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.
Dunia yang terus berubah memerlukan manusia yang tidak hanya mampu “berkompetisi”
secara profesional, tetapi juga mampu “berempati” dalam kehidupan
sosial. Literasi humanis memungkinkan peserta didik untuk berkembang menjadi
warga dunia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki
integritas, empati, dan kepedulian sosial.⁹
Footnotes
[1]
Keidanren (Japan Business Federation), Society 5.0: Co-Creating the Future
(Tokyo: Keidanren, 2018), 3–4.
[2]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 112.
[3]
Henry A. Giroux, The Terror of the Unforeseen (Los
Angeles: Los Angeles Review of Books, 2019), 58.
[4]
Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of
Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 71.
[5]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow
(London: Harvill Secker, 2016), 364–365.
[6]
Fumio Kodama, “Society 5.0: Human-Centered Future Society,” Japan
Spotlight, March 2018, 27.
[7]
OECD, Future of Education and Skills 2030: Conceptual
Learning Framework (Paris: OECD Publishing, 2019), 10.
[8]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 89–90.
[9]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 142.
8.
Penutup
Di tengah arus
globalisasi, kemajuan teknologi, dan tantangan sosial yang semakin kompleks, literasi
tidak lagi dapat dipahami sebagai sekadar kemampuan membaca dan menulis,
tetapi sebagai bentuk kesadaran utuh yang mencakup pemahaman kritis, kepekaan
etis, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks inilah, literasi
humanis menjadi suatu pendekatan yang sangat relevan dan
mendesak untuk diintegrasikan dalam sistem pendidikan, baik secara filosofis,
pedagogis, maupun praktis.
Literasi humanis
mengajak dunia pendidikan untuk mengembalikan manusia sebagai pusat utama dari
seluruh proses pembelajaran—bukan sebagai objek sistem atau
data statistik, melainkan sebagai subjek aktif yang memiliki akal, hati nurani,
dan potensi transformatif.¹ Literasi ini melampaui dimensi kognitif, dengan
memberi tempat pada nilai-nilai seperti empati, solidaritas, dialog, dan
keadilan sosial.² Dengan cara ini, pendidikan dapat berkontribusi bukan hanya
pada kecerdasan individual, tetapi juga pada pembentukan warga masyarakat yang
demokratis, reflektif, dan bermartabat.
Berbagai tantangan
global seperti disinformasi, intoleransi, krisis ekologi, dan dehumanisasi
digital telah memperlihatkan betapa rapuhnya struktur sosial tanpa fondasi
nilai kemanusiaan yang kuat.³ Dalam situasi seperti ini, literasi humanis
berperan penting sebagai strategi kebudayaan yang dapat membangun ketangguhan
moral dan spiritual generasi muda. Pendidikan yang berbasis literasi humanis
tidak hanya membentuk kompetensi, tetapi juga karakter dan kesadaran akan
tanggung jawab antar-manusia dan antar-generasi. ⁴
Agar literasi
humanis dapat diimplementasikan secara nyata, dibutuhkan sinergi antara
kurikulum yang berbasis nilai, guru yang reflektif dan kritis, serta ekosistem
sekolah yang mendukung ruang dialog dan pembentukan karakter.⁵ Selain itu,
diperlukan dukungan kebijakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada
capaian akademik, tetapi juga pada dimensi kemanusiaan dalam arti yang utuh dan
inklusif.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Martha C. Nussbaum, tanpa pendidikan yang menumbuhkan pemikiran
kritis, empati, dan nilai-nilai humanistik, masyarakat demokratis akan
mengalami kemunduran moral dan kehilangan arah.⁶ Maka dari itu, literasi
humanis bukan hanya pilihan alternatif, melainkan kebutuhan
mendasar dalam merancang masa depan pendidikan dan peradaban.
Footnotes
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72.
[2]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York:
Bloomsbury, 2011), 45–47.
[3]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14–16.
[4]
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and
the Human Prospect (Washington, DC: Island Press, 2004), 47.
[5]
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and
Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2013),
198.
[6]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 143.
Daftar Pustaka
Amnesty International. (2023). Annual report
2022/23: The state of the world’s human rights. Amnesty International. https://www.amnesty.org
Banks, J. A. (2007). Diversity and citizenship
education: Global perspectives. Jossey-Bass.
Banks, J. A. (2016). Cultural diversity and
education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.). Routledge.
Comber, B. (2010). Critical literacy and social
justice. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 54(2), 75–78. https://doi.org/10.1598/JAAL.54.2.6
Darder, A. (2002). Reinventing Paulo Freire: A
pedagogy of love. Westview Press.
Darling-Hammond, L. (2010). The flat world and
education: How America’s commitment to equity will determine our future.
Teachers College Press.
Darmaningtyas. (2013). Pendidikan dan tantangan
literasi kemanusiaan di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 19(2),
124–129.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Freire, P., & Macedo, D. (1987). Literacy:
Reading the word and the world. Bergin & Garvey.
Gee, J. P. (2015). Social linguistics and
literacies: Ideology in discourses (5th ed.). Routledge.
Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy.
Bloomsbury.
Giroux, H. A. (2012). Education and the crisis
of public values: Challenging the assault on teachers, students, and public
education. Peter Lang.
Giroux, H. A. (2019). The terror of the
unforeseen. Los Angeles Review of Books.
Greene, M. (1995). Releasing the imagination:
Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.
Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history
of tomorrow. Harvill Secker.
Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy:
Connecting culture and classroom. Corwin.
Keidanren. (2018). Society 5.0: Co-creating the
future. Japan Business Federation. https://www.keidanren.or.jp/en/policy/2018/095_outline.pdf
Kodama, F. (2018). Society 5.0: Human-centered
future society. Japan Spotlight, March, 27–30.
Morozov, E. (2013). To save everything, click
here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.
Naughton, J. (2022, May 15). We need a
human-centred approach to the future of technology. The Guardian. https://www.theguardian.com
Noddings, N. (2005). The challenge to care in
schools: An alternative approach to education (2nd ed.). Teachers College
Press.
Noddings, N. (2013). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California
Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Belknap Press.
OECD. (2019). Future of education and skills
2030: Conceptual learning framework. OECD Publishing. https://www.oecd.org
OECD. (2021). PISA 2022 assessment and
analytical framework: Reading, mathematics and science. OECD Publishing. https://www.oecd.org
Orr, D. W. (2004). Earth in mind: On education,
environment, and the human prospect (2nd ed.). Island Press.
Robinson, K. (2015). Creative schools: The
grassroots revolution that’s transforming education. Viking.
Steinberg, S. R., & Kincheloe, J. L. (Eds.).
(2004). Critical literacy: Politics, praxis, and the postmodern. Peter
Lang.
UNDP. (2022). Human development report
2021/2022: Uncertain times, unsettled lives. United Nations Development
Programme. https://hdr.undp.org
UNESCO. (2013). Intercultural competences:
Conceptual and operational framework. UNESCO. https://unesdoc.unesco.org
UNESCO. (2018). Global framework of reference on
digital literacy skills for Indicator 4.4.2. UNESCO. https://unesdoc.unesco.org
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making.
Council of Europe.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar