Selasa, 10 Juni 2025

Feminisme: Sejarah, Gagasan Utama, dan Relevansi Kontemporer

Feminisme

Sejarah, Gagasan Utama, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji feminisme sebagai salah satu arus penting dalam filsafat sosial-politik, yang secara historis dan konseptual memainkan peran signifikan dalam menantang dominasi patriarkal serta memajukan keadilan sosial berbasis gender. Kajian ini diawali dengan penelusuran akar historis dan genealogis feminisme dari proto-feminis hingga munculnya berbagai gelombang feminisme modern. Dibahas pula konsep-konsep kunci seperti patriarki, konstruksi gender, otonomi tubuh, dan interseksionalitas yang menjadi fondasi teori feminis.

Melalui analisis terhadap ragam aliran feminisme—liberal, radikal, Marxis, poskolonial, interseksional, dan ekologis—artikel ini menunjukkan bagaimana kompleksitas pengalaman perempuan menuntut pendekatan yang beragam dan kontekstual. Disoroti pula kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Mary Wollstonecraft, Simone de Beauvoir, bell hooks, dan Judith Butler dalam membentuk wacana feminis lintas zaman. Selain itu, artikel ini mengulas kritik feminis terhadap sistem sosial-politik patriarkal, serta keterlibatannya dalam transformasi sosial melalui reformasi hukum, pendidikan, representasi media, dan aksi kolektif global.

Lebih lanjut, artikel ini menelaah interseksi feminisme dengan wacana sosial-politik lain seperti Marxisme, anarkisme, postkolonialisme, teori kritis, dan gerakan lingkungan, yang memperluas cakupan perjuangan feminis dalam konteks global. Di abad ke-21, feminisme tetap relevan dalam menghadapi tantangan neoliberal, krisis iklim, digitalisasi, dan kompleksitas identitas, serta terus menjadi kekuatan etis dan politis dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Kata Kunci: Feminisme, patriarki, keadilan gender, interseksionalitas, filsafat sosial-politik, transformasi sosial, postkolonialisme, Marxisme, digital feminism, tokoh feminis.


PEMBAHASAN

Feminisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Feminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial memiliki posisi sentral dalam filsafat sosial-politik kontemporer. Pada hakikatnya, feminisme merupakan suatu kerangka teoritis dan praksis yang bertujuan untuk memahami, mengkritisi, dan mengubah struktur sosial yang dianggap menindas atau mendiskriminasi perempuan serta kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi berbasis gender. Ia menyoroti bagaimana relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan terwujud dalam berbagai institusi sosial, ekonomi, politik, dan budaya—baik secara historis maupun dalam kehidupan sehari-hari.1

Secara etimologis, istilah "feminisme" berasal dari bahasa Latin femina yang berarti perempuan. Istilah ini mulai mendapatkan artikulasi politik yang lebih luas pada akhir abad ke-19, terutama dalam konteks perjuangan hak-hak sipil dan hak pilih perempuan di Barat.2 Namun, gagasan dasar feminisme yang menuntut pengakuan atas martabat dan kesetaraan perempuan sebenarnya sudah muncul jauh sebelumnya, sebagaimana terlihat dalam karya A Vindication of the Rights of Woman (1792) oleh Mary Wollstonecraft yang kerap dianggap sebagai teks proto-feminis modern.3

Sebagai bagian dari filsafat sosial-politik, feminisme tidak hanya membicarakan perempuan sebagai entitas biologis atau kelompok identitas tertentu, tetapi juga menyajikan analisis kritis terhadap struktur kekuasaan yang mendefinisikan dan membatasi peran gender. Dalam hal ini, feminisme sering bersinggungan dengan persoalan-persoalan etika, epistemologi, keadilan sosial, dan teori negara. Pemikiran feminis telah mendorong dekonstruksi terhadap paradigma maskulin yang dominan dalam tradisi filsafat Barat—sebuah tradisi yang kerap mengabaikan atau merendahkan pengalaman dan perspektif perempuan.4

Di abad ke-21, feminisme berkembang menjadi wacana multidimensional yang mencakup isu-isu kompleks seperti interseksionalitas, hak reproduksi, keadilan ekonomi, serta keterlibatan perempuan dalam ranah teknologi dan digital. Ia tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai satu gerakan homogen, melainkan sebagai jaringan ide-ide dan praktik yang beragam, tergantung pada konteks sejarah, sosial, ekonomi, dan budaya tempatnya tumbuh.5 Dalam dunia yang terus mengalami perubahan sosial dan krisis multidimensi, feminisme hadir sebagai alat analisis yang kritis dan transformatif dalam membaca ketimpangan struktural dan menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi pencapaian keadilan sosial.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemetaan menyeluruh terhadap feminisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik. Pembahasan akan mencakup akar historis, gagasan-gagasan kunci, ragam aliran, kontribusi tokoh-tokoh penting, kritik internal maupun eksternal, serta relevansi kontemporer feminisme dalam masyarakat global saat ini.


Footnotes

[1]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 122–124.

[2]                Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A Political History (Stanford: Stanford University Press, 2000), 19–21.

[3]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed. Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.

[4]                Genevieve Lloyd, The Man of Reason: “Male” and “Female” in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 1–5.

[5]                bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics (New York: Routledge, 2000), 1–6.


2.           Akar Historis dan Genealogi Pemikiran Feminis

Pemikiran feminis memiliki akar yang sangat panjang dalam sejarah sosial dan intelektual manusia, meskipun sebagai gerakan politik yang terorganisir feminisme baru mendapatkan artikulasi eksplisitnya pada abad ke-19. Genealogi feminisme menunjukkan bahwa ia bukanlah suatu entitas monolitik yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses historis yang kompleks, yang mencerminkan perlawanan terhadap berbagai bentuk subordinasi dan penghapusan peran perempuan dalam struktur sosial, politik, dan epistemologis masyarakat.

2.1.       Proto-Feminisme dan Kritik Awal terhadap Ketimpangan Gender

Bentuk awal dari pemikiran feminis sering disebut sebagai proto-feminisme, yakni ide-ide kesetaraan yang muncul jauh sebelum istilah "feminisme" dikodifikasi secara politis. Pemikir seperti Christine de Pizan dalam The Book of the City of Ladies (1405) menantang stereotip negatif terhadap perempuan yang umum dalam teks-teks filsafat dan agama abad pertengahan, serta mengadvokasi intelektualitas dan moralitas perempuan sebagai setara dengan laki-laki.1

Perkembangan penting lainnya datang dari Mary Wollstonecraft, yang dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792) menyatakan bahwa ketimpangan antara laki-laki dan perempuan bukanlah hasil dari kodrat alamiah, melainkan akibat dari pendidikan yang timpang dan struktur masyarakat yang tidak adil.2 Wollstonecraft menyerukan pentingnya pendidikan rasional bagi perempuan agar mereka dapat menjadi warga negara yang setara dalam kehidupan publik—gagasan yang dianggap sebagai fondasi intelektual feminisme modern.

2.2.       Gelombang Pertama Feminisme (Akhir Abad ke-19 – Awal Abad ke-20)

Gelombang pertama feminisme, atau first-wave feminism, berfokus pada perjuangan hukum dan sipil, khususnya hak suara (suffrage), hak atas properti, dan akses pendidikan. Gerakan ini muncul kuat di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tokoh seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony, dan Emmeline Pankhurst menjadi simbol perjuangan hak pilih bagi perempuan.3

Filosofi politik dalam gelombang ini sangat dipengaruhi oleh liberalisme klasik, dengan asumsi bahwa perempuan berhak atas kebebasan individual dan kesetaraan hukum sebagaimana halnya laki-laki. Namun demikian, gerakan ini juga mendapat kritik karena cenderung berfokus pada pengalaman perempuan kulit putih kelas menengah dan mengabaikan pengalaman perempuan dari kelompok etnis dan kelas sosial lain.

2.3.       Gelombang Kedua Feminisme (1950-an–1980-an)

Gelombang kedua feminisme menandai pergeseran fokus dari hak-hak formal menuju dimensi personal dan struktural penindasan. Dimulai pada 1950-an dan mencapai puncaknya pada 1970-an, feminisme gelombang kedua menyuarakan gagasan bahwa “yang personal adalah politis”—menunjukkan bahwa pengalaman perempuan dalam ruang privat, seperti rumah tangga, merupakan refleksi dari sistem patriarki yang lebih luas.4

Tokoh-tokoh seperti Simone de Beauvoir, Betty Friedan, dan Kate Millett menyumbang secara signifikan terhadap perkembangan teori feminis dalam bentuk kritik terhadap peran gender tradisional, objektifikasi seksual, serta relasi kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat. The Feminine Mystique (1963) karya Friedan menggugah kesadaran perempuan Amerika tentang keterasingan mereka di balik peran domestik yang diidealkan pasca Perang Dunia II.5

Gelombang ini menghasilkan pembentukan berbagai aliran feminisme seperti feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme liberal, yang masing-masing menawarkan analisis dan strategi yang berbeda dalam menghadapi penindasan berbasis gender.

2.4.       Gelombang Ketiga dan Keempat Feminisme (1990-an–kini)

Gelombang ketiga muncul sebagai kritik terhadap homogenisasi identitas perempuan dalam feminisme sebelumnya. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional, feminisme gelombang ketiga menekankan pentingnya mempertimbangkan bagaimana ras, kelas, orientasi seksual, disabilitas, dan faktor sosial lainnya saling berinteraksi dalam membentuk pengalaman perempuan.6 Tokoh seperti bell hooks dan Kimberlé Crenshaw memberikan kontribusi teoritis utama dalam memperluas batas-batas feminisme tradisional.

Adapun gelombang keempat feminisme, yang muncul sejak awal abad ke-21, sangat dipengaruhi oleh teknologi digital dan media sosial. Gerakan seperti #MeToo dan kampanye feminisme digital menjadi ekspresi kontemporer dari perlawanan terhadap kekerasan seksual dan ketimpangan gender di berbagai sektor kehidupan. Gelombang ini juga sangat terbuka terhadap inklusi gender non-biner dan komunitas LGBTQ+, sehingga feminisme masa kini menjadi medan perjuangan yang lebih plural dan lintas identitas.7


Footnotes

[1]                Christine de Pizan, The Book of the City of Ladies, trans. Rosalind Brown-Grant (London: Penguin Books, 1999), 3–5.

[2]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed. Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.

[3]                Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A Political History (Stanford: Stanford University Press, 2000), 123–135.

[4]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 35–40.

[5]                Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton, 1963), 15–28.

[6]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[7]                Alison Phipps, Me, Not You: The Trouble with Mainstream Feminism (Manchester: Manchester University Press, 2020), 10–15.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Feminisme

Feminisme sebagai aliran filsafat sosial-politik menawarkan seperangkat konsep teoretis yang mendalam untuk menganalisis ketimpangan gender dan struktur patriarki. Konsep-konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik, tetapi juga sebagai fondasi untuk membangun tatanan sosial yang lebih adil dan setara. Berikut adalah sejumlah konsep kunci yang menjadi pilar dalam diskursus feminis.

3.1.       Patriarki

Konsep patriarki merujuk pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas dominan dalam institusi politik, ekonomi, keluarga, dan budaya. Patriarki dalam analisis feminis dipahami sebagai struktur kekuasaan yang bersifat sistemik dan historis, bukan semata hasil pilihan individu.1 Feminisme radikal, seperti yang dikemukakan oleh Kate Millett, menegaskan bahwa patriarki merupakan “politik kekuasaan” yang mereproduksi dominasi laki-laki melalui norma-norma budaya, agama, hukum, dan pendidikan.2

3.2.       Gender vs. Seks

Distingsi antara gender dan seks merupakan landasan penting dalam teori feminis. Seks merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah konstruksi sosial dan kultural atas peran, perilaku, serta identitas yang dilekatkan pada jenis kelamin.3 Simone de Beauvoir secara tegas menyatakan, “One is not born, but rather becomes, a woman” – menekankan bahwa perempuan dibentuk secara sosial melalui norma-norma gender yang represif.4

3.3.       Otonomi Tubuh dan Seksualitas

Feminisme juga menggarisbawahi pentingnya bodily autonomy, yaitu hak perempuan untuk memiliki kendali atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Isu-isu seperti hak reproduksi, akses terhadap kontrasepsi dan aborsi, serta penolakan terhadap kekerasan seksual menjadi bagian integral dari perjuangan feminis.5 Pemikiran ini menantang kontrol sosial atas tubuh perempuan, yang sering kali dilegitimasi oleh moralitas patriarkal maupun kebijakan negara.

3.4.       Subjektivitas dan Pengalaman Perempuan

Salah satu kontribusi penting feminisme adalah penekanan terhadap validitas pengalaman subjektif perempuan sebagai sumber pengetahuan. Feminisme menolak klaim objektivitas universal dalam ilmu pengetahuan yang mengabaikan atau menghapus suara perempuan.6 Dalam epistemologi feminis, seperti yang dikembangkan oleh Sandra Harding dan Donna Haraway, pengalaman perempuan dilihat sebagai basis epistemik yang sah dan produktif untuk memahami relasi sosial secara kritis.7

3.5.       Interseksionalitas

Interseksionalitas merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw untuk menunjukkan bagaimana berbagai bentuk penindasan—berbasis ras, kelas, gender, orientasi seksual, disabilitas, dan lainnya—saling berkelindan dan tidak bisa dipahami secara terpisah.8 Pendekatan ini menghindari simplifikasi terhadap identitas perempuan dan menekankan perlunya analisis yang lebih kompleks dalam memahami ketidakadilan sosial. Feminisme interseksional melampaui fokus tunggal pada gender, dan menjadi alat analitis penting dalam konteks global yang pluralistik.

3.6.       Representasi dan Wacana

Feminisme juga menganalisis bagaimana perempuan direpresentasikan dalam bahasa, media, dan budaya populer. Teori wacana feminis—dipengaruhi oleh post-strukturalisme—menyatakan bahwa konstruksi perempuan dalam narasi-narasi dominan sering kali memuat penggambaran yang merendahkan, menyeksualkan, atau menormatifkan tubuh dan peran sosial perempuan.9 Pemikir seperti Judith Butler mengeksplorasi bagaimana identitas gender dihasilkan dan distabilkan melalui performativitas sosial.10


Dengan demikian, konsep-konsep kunci dalam feminisme tidak hanya menjelaskan pengalaman perempuan dalam sistem sosial-politik yang timpang, tetapi juga membuka ruang bagi pemikiran ulang terhadap norma-norma dasar yang selama ini mendominasi wacana filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebijakan publik.


Footnotes

[1]                Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy (Oxford: Blackwell, 1990), 20–25.

[2]                Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970), 23–25.

[3]                Anne Fausto-Sterling, Sexing the Body: Gender Politics and the Construction of Sexuality (New York: Basic Books, 2000), 3–4.

[4]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[5]                Judith Lorber, Gender Inequality: Feminist Theories and Politics, 5th ed. (New York: Oxford University Press, 2012), 185–189.

[6]                Nancy Hartsock, “The Feminist Standpoint,” in The Feminist Standpoint Theory Reader: Intellectual and Political Controversies, ed. Sandra Harding (New York: Routledge, 2004), 35–54.

[7]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[8]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[9]                Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen 16, no. 3 (1975): 6–18.

[10]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.


4.           Aliran dan Ragam Pemikiran dalam Feminisme

Feminisme sebagai gerakan intelektual dan sosial-politik tidak bersifat tunggal, melainkan plural dan beragam. Setiap aliran dalam feminisme merefleksikan perspektif teoritis dan strategi perjuangan yang berbeda dalam merespons berbagai bentuk penindasan berbasis gender. Keberagaman ini memperkaya khazanah filsafat feminis sekaligus memungkinkan pendekatan yang lebih kontekstual terhadap realitas sosial.

4.1.       Feminisme Liberal

Feminisme liberal merupakan salah satu aliran tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah feminisme modern. Ia menekankan pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka hukum dan institusi negara. Berakar pada prinsip-prinsip liberalisme klasik seperti kebebasan individu dan rasionalitas, aliran ini menuntut reformasi institusional agar perempuan memperoleh akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik.1

Tokoh-tokoh penting dalam feminisme liberal antara lain Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, dan Betty Friedan. Dalam The Feminine Mystique, Friedan mengkritik "masalah yang tidak disebutkan" yang dialami perempuan rumah tangga Amerika pada 1950-an, dan mendorong mereka untuk menuntut eksistensi di ruang publik.2

4.2.       Feminisme Radikal

Feminisme radikal memandang patriarki sebagai bentuk dominasi utama dalam masyarakat yang merasuki seluruh aspek kehidupan—termasuk relasi personal, seksualitas, dan struktur psikologis. Tidak seperti feminisme liberal yang lebih menekankan reformasi, feminisme radikal menuntut transformasi mendalam terhadap tatanan sosial.3

Kate Millett dalam Sexual Politics menegaskan bahwa politik bukan hanya berada di wilayah negara, tetapi juga dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam ranah privat, seperti keluarga dan seksualitas.4 Gerakan ini juga mempelopori advokasi terhadap hak atas tubuh (bodily autonomy), pemenuhan hak seksual, dan penolakan terhadap kekerasan berbasis gender.

4.3.       Feminisme Marxis dan Sosialis

Feminisme Marxis dan Sosialis mengaitkan penindasan perempuan dengan sistem kapitalisme. Aliran ini berargumen bahwa ketidaksetaraan gender bersifat struktural karena didasarkan pada relasi produksi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat—baik sebagai tenaga kerja domestik tak dibayar maupun buruh murah dalam industri.5

Friedrich Engels dalam The Origin of the Family, Private Property, and the State menyatakan bahwa munculnya kepemilikan pribadi dan keluarga patriarkal menjadi dasar historis ketertindasan perempuan.6 Feminisme sosialis kemudian memperluas analisis ini dengan menekankan keterkaitan antara patriarki dan kapitalisme, serta perlunya pembebasan kolektif melalui transformasi sistemik.

4.4.       Feminisme Poskolonial

Feminisme poskolonial mengkritik dominasi wacana feminis Barat yang sering mengklaim universalitas, namun gagal menangkap kompleksitas pengalaman perempuan di Dunia Ketiga. Tokoh seperti Chandra Talpade Mohanty menegaskan bahwa perempuan di negara-negara bekas jajahan mengalami penindasan yang bersifat ganda: oleh patriarki lokal dan warisan kolonialisme global.7

Aliran ini menekankan pentingnya memperhatikan konteks historis, budaya, dan ekonomi dalam analisis feminis serta menolak homogenisasi perempuan sebagai "korban global" yang perlu diselamatkan oleh feminisme Barat.8 Dengan demikian, feminisme poskolonial mendorong lahirnya wacana feminis yang lebih beragam dan kontekstual.

4.5.       Feminisme Interseksional

Interseksionalitas adalah pendekatan yang mengakui bahwa identitas sosial tidak dapat dipisahkan menjadi kategori tunggal seperti gender, ras, atau kelas, karena setiap individu berada di persimpangan dari berbagai sistem kekuasaan yang saling berinteraksi. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw untuk menggambarkan pengalaman perempuan kulit hitam Amerika yang tak terwakili oleh feminisme arus utama maupun gerakan antirasisme.9

Feminisme interseksional menawarkan pendekatan analisis yang lebih inklusif terhadap ketidakadilan sosial, terutama dengan mengangkat suara perempuan dari latar belakang minoritas, LGBTQ+, disabilitas, dan kelompok terpinggirkan lainnya.

4.6.       Feminisme Ekologis dan Spiritual

Feminisme ekologis (ecofeminism) menghubungkan eksploitasi terhadap alam dengan penindasan terhadap perempuan. Aliran ini berpandangan bahwa paradigma dominasi dalam relasi manusia-alam dan laki-laki-perempuan bersumber dari cara berpikir dualistik dan hierarkis dalam budaya patriarkal.10

Tokoh seperti Vandana Shiva dan Carolyn Merchant menunjukkan bahwa kapitalisme patriarkal telah membentuk sistem ekonomi dan pengetahuan yang menindas perempuan dan merusak lingkungan. Feminisme spiritual, sebagai bagian dari ecofeminism, juga menyoroti nilai-nilai kesatuan, relasi, dan penghormatan terhadap siklus kehidupan sebagai alternatif dari rasionalitas patriarkal-modern.


Dengan keragaman perspektif ini, feminisme tampil bukan sebagai doktrin tunggal, melainkan sebagai medan wacana dinamis yang merefleksikan perjuangan lintas kelas, ras, budaya, dan sistem pengetahuan. Perbedaan antara aliran-aliran ini tidak berarti kontradiksi mutlak, melainkan memperlihatkan luasnya medan perjuangan feminis yang terus bertransformasi sesuai dengan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989), 5–10.

[2]                Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton, 1963), 14–32.

[3]                Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution (New York: Morrow, 1970), 1–3.

[4]                Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970), 23–45.

[5]                Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory (Leiden: Brill, 2013), 4–12.

[6]                Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State, trans. Ernest Untermann (New York: Pathfinder Press, 1972), 43–52.

[7]                Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.

[8]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[9]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1 (1989): 139–167.

[10]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), xv–xviii.


5.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Sejarah Feminisme

Perkembangan feminisme sebagai gerakan sosial dan aliran filsafat sosial-politik tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para tokoh pemikir yang meletakkan fondasi teoritis dan praksis perjuangan perempuan. Para tokoh ini tidak hanya menandai titik balik dalam sejarah emansipasi perempuan, tetapi juga memperkaya filsafat sosial dengan kritik radikal terhadap patriarki, ketimpangan struktural, dan eksklusi epistemik. Berikut adalah sejumlah figur penting yang membentuk arah dan dinamika pemikiran feminis sepanjang sejarah.

5.1.       Mary Wollstonecraft (1759–1797)

Sebagai pelopor feminisme modern, Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Woman (1792), sebuah teks klasik yang menyerukan kesetaraan rasional antara laki-laki dan perempuan serta pentingnya pendidikan bagi perempuan agar menjadi warga negara yang mandiri secara moral dan intelektual.1 Ia mengkritik pandangan dominan pada masanya yang memandang perempuan sebagai makhluk emosional yang inferior secara alami, dan sebaliknya mengajukan argumen bahwa subordinasi perempuan bersumber dari sistem pendidikan dan struktur sosial yang menindas.

5.2.       John Stuart Mill (1806–1873)

Filsuf utilitarian dan liberal ini berkontribusi besar terhadap wacana feminisme awal melalui karya The Subjection of Women (1869), di mana ia mengadvokasi kesetaraan hukum dan sosial antara laki-laki dan perempuan sebagai prasyarat masyarakat yang adil.2 Mill berpandangan bahwa ketimpangan gender tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat perkembangan moral dan intelektual seluruh umat manusia.

5.3.       Simone de Beauvoir (1908–1986)

Simone de Beauvoir adalah tokoh sentral dalam filsafat eksistensial dan feminisme gelombang kedua. Dalam The Second Sex (1949), ia menegaskan bahwa “perempuan tidak dilahirkan, melainkan menjadi perempuan”—sebuah pernyataan monumental yang menekankan bahwa identitas perempuan dibentuk oleh konstruksi sosial, bukan kodrat biologis.3 De Beauvoir mengkritik sistem patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai subjek universal dan perempuan sebagai “yang lain” (the Other), dan mendorong perempuan untuk membebaskan diri dari ketergantungan simbolik tersebut.

5.4.       Betty Friedan (1921–2006)

Sebagai figur penting dalam feminisme liberal Amerika, Friedan menulis The Feminine Mystique (1963), sebuah buku yang menggambarkan "masalah yang tidak disebutkan"—perasaan keterasingan dan ketidakpuasan di kalangan perempuan kelas menengah pasca Perang Dunia II, yang dikurung dalam peran domestik.4 Karya ini memicu gelombang kedua feminisme di Amerika Serikat dan berperan dalam mendirikan National Organization for Women (NOW) pada 1966.

5.5.       Kate Millett (1934–2017)

Dalam Sexual Politics (1970), Millett mengembangkan analisis feminis radikal dengan memperluas pemahaman politik ke dalam ranah privat dan relasi seksual. Ia menegaskan bahwa patriarki merupakan sistem kekuasaan yang tidak hanya mewujud dalam institusi negara, tetapi juga dalam norma-norma budaya, sastra, dan seksualitas.5 Millett menjadi pionir dalam memperkenalkan ide bahwa seksualitas merupakan medan kekuasaan yang harus dikaji secara kritis.

5.6.       bell hooks (1952–2021)

Dengan gaya penulisan yang interdisipliner dan inklusif, bell hooks memperkenalkan pendekatan feminisme interseksional yang menggabungkan gender, ras, dan kelas sebagai medan penindasan yang saling terjalin. Dalam Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism (1981), ia mengkritik feminisme arus utama yang cenderung mengabaikan pengalaman perempuan kulit hitam dan perempuan miskin.6 hooks menekankan bahwa feminisme harus bersifat transformatif dan berakar dalam cinta, solidaritas, dan keadilan sosial.

5.7.       Judith Butler (1956– )

Sebagai tokoh utama dalam feminisme post-struktural dan teori queer, Butler terkenal lewat karya Gender Trouble (1990), di mana ia memperkenalkan konsep gender performativity. Menurut Butler, identitas gender bukan sesuatu yang esensial, melainkan terbentuk melalui tindakan berulang dan konstruksi sosial yang dipaksakan secara kultural.7 Pendekatan ini membuka ruang bagi kritik terhadap biner gender dan membela hak identitas bagi kelompok LGBTQ+ dalam wacana feminis kontemporer.

5.8.       Kimberlé Crenshaw (1959– )

Crenshaw adalah ahli hukum dan akademisi yang mengembangkan konsep interseksionalitas sebagai kerangka untuk memahami bagaimana identitas ganda (seperti ras dan gender) berinteraksi dalam sistem hukum dan sosial. Karya pentingnya Demarginalizing the Intersection of Race and Sex (1989) menunjukkan bagaimana perempuan kulit hitam seringkali tidak terwakili dalam kebijakan antirasis maupun antifeminis karena analisis yang terlalu sempit terhadap identitas.8


Tokoh-tokoh ini bukan hanya menyumbang teori, tetapi juga menginspirasi gerakan sosial global yang memperjuangkan keadilan gender. Melalui pendekatan yang beragam—dari liberal hingga radikal, dari poskolonial hingga queer—mereka menunjukkan bahwa feminisme adalah medan intelektual yang hidup dan terus berkembang untuk merespons dinamika ketimpangan yang kompleks dalam masyarakat kontemporer.


Footnotes

[1]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed. Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.

[2]                John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1869), 1–15.

[3]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[4]                Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton, 1963), 15–32.

[5]                Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970), 23–46.

[6]                bell hooks, Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism (Boston: South End Press, 1981), 1–20.

[7]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.

[8]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1 (1989): 139–167.


6.           Kritik Terhadap Sistem Sosial dan Politik Patriarkal

Salah satu kontribusi paling penting dari feminisme dalam filsafat sosial-politik adalah kritiknya terhadap sistem patriarki sebagai struktur dominasi yang membentuk seluruh aspek kehidupan sosial. Patriarki, dalam analisis feminis, bukan sekadar relasi interpersonal antara laki-laki dan perempuan, melainkan suatu sistem sosial-politik yang terlembagakan dan beroperasi melalui hukum, budaya, agama, ekonomi, dan bahkan epistemologi. Kritik feminis terhadap patriarki mengungkap bagaimana ketimpangan gender bukanlah kodrat alami, melainkan hasil konstruksi sosial yang dipertahankan oleh institusi dan norma-norma hegemonik.

6.1.       Keluarga dan Relasi Domestik

Dalam wacana feminis, institusi keluarga tradisional dipandang sebagai salah satu pusat reproduksi patriarki. Feminis radikal seperti Shulamith Firestone menyoroti bagaimana struktur keluarga nuklir menempatkan perempuan dalam posisi subordinat sebagai istri dan ibu, yang tugasnya direduksi menjadi pengasuh dan pelayan domestik tanpa pengakuan sosial atau kompensasi ekonomi.1 Dalam The Dialectic of Sex, Firestone berargumen bahwa pembebasan perempuan tidak mungkin tercapai tanpa transformasi mendasar terhadap sistem reproduksi dan peran gender dalam keluarga.

6.2.       Negara, Hukum, dan Kekuasaan Politik

Feminisme juga mengkritik institusi negara dan hukum sebagai instrumen kekuasaan patriarkal. Catharine MacKinnon menegaskan bahwa hukum modern, yang mengklaim netralitas gender, sebenarnya mencerminkan standar maskulin dan mengabaikan pengalaman serta kebutuhan perempuan.2 Dalam konteks politik, perempuan secara historis dikecualikan dari partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan, dan ketika terlibat pun sering kali menghadapi diskriminasi struktural, termasuk pelecehan dan kekerasan berbasis gender dalam ruang publik.

6.3.       Ekonomi dan Pembagian Kerja Gender

Sistem ekonomi kapitalis tidak luput dari kritik feminis, terutama dari aliran feminisme Marxis dan sosialis. Dalam sistem ini, perempuan sering ditempatkan dalam posisi kerja yang tidak dibayar (pekerjaan rumah tangga) atau dibayar rendah (sektor informal dan layanan), yang secara sistemik mendukung akumulasi kapital dan menjaga tenaga kerja laki-laki tetap produktif.3 Silvia Federici dalam Caliban and the Witch menggambarkan bagaimana proses kapitalisme awal diiringi dengan kontrol terhadap tubuh perempuan, kriminalisasi dukun perempuan, dan domestikasi paksa perempuan sebagai bagian dari pembentukan buruh modern.4

6.4.       Budaya Populer dan Representasi Perempuan

Analisis feminis terhadap budaya populer menunjukkan bahwa media massa dan industri hiburan memainkan peran penting dalam mereproduksi citra-citra perempuan yang merendahkan. Laura Mulvey, melalui konsep male gaze, menjelaskan bagaimana perempuan dalam sinema dikonstruksi sebagai objek visual yang dinikmati laki-laki—sebuah mekanisme simbolik dari dominasi patriarki dalam estetika modern.5 Representasi stereotipis perempuan sebagai emosional, seksual, atau subordinat dalam narasi film, iklan, dan berita memperkuat norma gender yang membatasi ruang gerak perempuan.

6.5.       Kekerasan Berbasis Gender

Salah satu fokus utama feminisme adalah kekerasan terhadap perempuan, baik dalam bentuk fisik, psikologis, seksual, maupun simbolik. Kekerasan berbasis gender dipandang bukan sebagai insiden individual, tetapi sebagai manifestasi struktural dari kekuasaan patriarkal yang dilegitimasi secara sosial dan kultural.6 Feminis seperti Andrea Dworkin dan Susan Brownmiller menggarisbawahi bahwa pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan rumah tangga merupakan bagian dari “politik ketakutan” yang digunakan untuk mengontrol tubuh dan perilaku perempuan di ruang publik dan privat.7

6.6.       Agama dan Legitimasi Kultural

Banyak feminis juga mengkritik peran agama dalam mempertahankan sistem patriarki, terutama dalam hal doktrin yang menjustifikasi subordinasi perempuan dan menegaskan peran gender yang kaku. Namun demikian, aliran feminisme teologis juga tumbuh, dengan upaya mereinterpretasi teks-teks suci untuk mengangkat suara dan agensi perempuan dalam tradisi keagamaan masing-masing.8 Kritik feminis terhadap agama tidak selalu bersifat antireligius, melainkan bersifat hermeneutik dan emansipatoris.


Secara keseluruhan, kritik feminis terhadap sistem sosial dan politik patriarkal merupakan upaya untuk mendekonstruksi tatanan yang tidak adil dan menegakkan prinsip kesetaraan, keadilan, serta pengakuan terhadap keragaman pengalaman manusia. Kritik ini tidak hanya bersifat destruktif terhadap status quo, tetapi juga produktif dalam menawarkan alternatif bentuk kehidupan sosial yang lebih etis dan inklusif.


Footnotes

[1]                Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution (New York: Morrow, 1970), 31–49.

[2]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 161–176.

[3]                Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union,” in Women and Revolution, ed. Lydia Sargent (Boston: South End Press, 1981), 1–42.

[4]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 100–126.

[5]                Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen 16, no. 3 (1975): 6–18.

[6]                Elizabeth Arveda Kissling, “Feminist Perspectives on Rape,” in Encyclopedia of Rape, ed. Merril D. Smith (Westport: Greenwood Press, 2004), 85–88.

[7]                Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women, and Rape (New York: Simon & Schuster, 1975), 15–18; Andrea Dworkin, Intercourse (New York: Free Press, 1987), 111–129.

[8]                Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology (Boston: Beacon Press, 1983), 11–27.


7.           Feminisme dan Transformasi Sosial

Feminisme, lebih dari sekadar kritik terhadap ketimpangan gender, merupakan kekuatan transformatif yang telah mendorong perubahan sosial yang signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Berbekal teori, aktivisme, dan praksis politik, feminisme telah menjadi gerakan global yang memperjuangkan keadilan sosial lintas kelas, ras, orientasi seksual, dan identitas gender. Pengaruhnya meluas ke ranah hukum, pendidikan, kebijakan publik, budaya populer, dan bahkan cara masyarakat memahami relasi kekuasaan dan identitas.

7.1.       Reformasi Hukum dan Kebijakan Publik

Salah satu kontribusi nyata feminisme terhadap transformasi sosial adalah dalam bidang hukum dan kebijakan. Berkat perjuangan feminis, banyak negara mulai mengadopsi kebijakan kesetaraan gender, melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dan mengkriminalisasi kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual di tempat kerja.1 Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh gerakan feminisme liberal dan feminisme hukum, yang menuntut negara untuk mengakui hak-hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia universal.

Contoh penting adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1979, dan kini menjadi dasar hukum internasional untuk penghapusan diskriminasi gender.2

7.2.       Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan

Feminisme juga telah mengubah cara pendidikan dipahami dan diakses oleh perempuan. Gerakan feminis mendorong terbukanya akses yang lebih luas bagi perempuan dalam pendidikan formal, sekaligus merevisi kurikulum agar lebih inklusif terhadap sejarah, kontribusi, dan pengalaman perempuan yang sebelumnya diabaikan.3

Lebih jauh, pendidikan feminis mempromosikan metode pedagogi kritis yang mendorong peserta didik untuk mempertanyakan norma gender dan struktur kekuasaan. Tokoh seperti bell hooks menekankan pentingnya pendidikan sebagai ruang emansipasi dan pembebasan, bukan sekadar reproduksi ideologi dominan.4

7.3.       Budaya Populer dan Representasi Sosial

Di bidang budaya dan media, feminisme telah memainkan peran kunci dalam mendorong representasi perempuan yang lebih beragam, kuat, dan autentik. Perempuan tidak lagi hanya ditampilkan sebagai objek pasif atau simbol seksualitas, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam narasi sosial—sebagai pemimpin, pekerja, seniman, ilmuwan, dan pengambil keputusan.5

Kritik feminis terhadap budaya populer telah menghasilkan gerakan dan karya seni yang menantang stereotip gender serta membuka ruang ekspresi bagi komunitas yang terpinggirkan, termasuk perempuan kulit berwarna, penyintas kekerasan, dan individu non-biner.

7.4.       Pengaruh Terhadap Teori Sosial dan Ilmu Pengetahuan

Feminisme juga telah mendorong revolusi epistemologis dalam ilmu sosial dan humaniora. Para pemikir feminis seperti Donna Haraway dan Sandra Harding memperkenalkan epistemologi feminis, yang mengkritik klaim objektivitas ilmiah yang maskulin dan mendekonstruksi relasi kuasa dalam produksi pengetahuan.6

Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak dianggap netral, tetapi selalu dibentuk oleh posisi sosial dan relasi kekuasaan. Pendekatan ini membuka ruang bagi pluralisme epistemik dan validasi terhadap pengalaman perempuan serta kelompok-kelompok marjinal lainnya sebagai sumber pengetahuan yang sah.

7.5.       Gerakan Sosial dan Keadilan Global

Feminisme kontemporer berperan penting dalam mengembangkan wacana dan praktik gerakan sosial lintas isu. Feminisme interseksional, misalnya, telah membangun jembatan antara gerakan keadilan rasial, keadilan iklim, dan gerakan queer dengan agenda kesetaraan gender, sehingga memperluas cakupan dan kedalaman perjuangan feminis di tingkat global.7

Gerakan #MeToo, sebagai contoh, tidak hanya mengungkap kasus kekerasan seksual di tempat kerja, tetapi juga membuka diskusi tentang kekuasaan, ketakutan, dan budaya impunitas yang menindas perempuan di berbagai belahan dunia.8


Dengan demikian, feminisme bukan hanya teori kritik, tetapi juga proyek etis dan politik yang aktif membentuk masa depan sosial yang lebih setara. Melalui intervensi di bidang hukum, pendidikan, budaya, dan ilmu pengetahuan, feminisme telah dan terus menjadi kekuatan pendorong bagi transformasi sosial yang mendalam, berkelanjutan, dan multidimensional.


Footnotes

[1]                Catharine A. MacKinnon, Sexual Harassment of Working Women: A Case of Sex Discrimination (New Haven: Yale University Press, 1979), 3–12.

[2]                United Nations, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (New York: UN General Assembly, 1979), https://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/.

[3]                Jane Roland Martin, Reclaiming a Conversation: The Ideal of the Educated Woman (New Haven: Yale University Press, 1985), 27–45.

[4]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–25.

[5]                Susan J. Douglas, Where the Girls Are: Growing Up Female with the Mass Media (New York: Times Books, 1994), 29–41.

[6]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[7]                Angela Davis, Freedom Is a Constant Struggle: Ferguson, Palestine, and the Foundations of a Movement (Chicago: Haymarket Books, 2016), 52–63.

[8]                Tarana Burke and Brené Brown, “You Are Your Best Thing,” in You Are Your Best Thing: Vulnerability, Shame Resilience, and the Black Experience, ed. Tarana Burke and Brené Brown (New York: Random House, 2021), 3–15.


8.           Kritik terhadap Feminisme dari Dalam dan Luar

Seiring dengan perkembangan dan pengaruhnya yang semakin meluas dalam wacana sosial-politik global, feminisme tidak luput dari berbagai kritik—baik yang berasal dari dalam tubuh gerakan itu sendiri (internal), maupun dari pihak-pihak yang menolak asumsi-asumsi dasar feminisme (eksternal). Kritik ini bersifat penting, karena tidak hanya merefleksikan ketegangan teoritis dan praksis di dalam feminisme, tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan pendekatan yang lebih inklusif, interseksional, dan kontekstual.

8.1.       Kritik Internal: Fragmentasi dan Keterbatasan Representasi

Kritik dari dalam feminisme sendiri sebagian besar berangkat dari kesadaran bahwa feminisme arus utama (mainstream feminism), terutama yang berkembang di Barat, cenderung mewakili suara perempuan kulit putih, kelas menengah, heteroseksual, dan berpendidikan tinggi. Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Chandra Talpade Mohanty mengecam homogenisasi perempuan sebagai subjek universal yang diasumsikan memiliki pengalaman dan kepentingan yang sama, padahal kenyataannya terdapat keragaman identitas dan struktur penindasan yang saling bersilangan.1

Mohanty, dalam esainya Under Western Eyes, mengkritik feminisme Barat yang sering mereduksi perempuan Dunia Ketiga sebagai pasif, terbelakang, dan menunggu diselamatkan, alih-alih melihat mereka sebagai agen perubahan dengan konteks dan strategi yang khas.2 Kritik ini menjadi titik awal berkembangnya feminisme poskolonial dan interseksional yang menuntut perluasan kerangka analisis untuk mengakomodasi pengalaman perempuan yang termarjinalkan oleh sistem ganda: patriarki lokal dan imperialisme global.

8.2.       Kritik terhadap Esensialisme Gender

Feminisme juga dikritik dari dalam karena cenderung bersandar pada pandangan esensialis mengenai "perempuan", yang mengandaikan keberadaan identitas tetap dan seragam bagi semua perempuan. Judith Butler, dalam Gender Trouble, menolak esensialisme gender dan memperkenalkan konsep gender performativity, yaitu bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial yang diproduksi dan direproduksi melalui praktik dan wacana.3

Pendekatan ini memicu debat serius dalam komunitas feminis, karena mempertanyakan kategori “perempuan” itu sendiri sebagai basis politik kolektif. Meskipun menuai kritik dari feminis yang khawatir akan kehilangan landasan politis untuk gerakan perempuan, teori ini juga membuka ruang bagi inklusi identitas gender non-biner dan memperluas cakupan perjuangan feminisme.

8.3.       Kritik Eksternal: Pandangan Konservatif dan Anti-Feminis

Dari luar gerakan, feminisme sering menjadi sasaran kritik dari kelompok konservatif, religius, atau ideologis yang menilai feminisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional, stabilitas keluarga, atau tatanan sosial. Dalam pandangan ini, feminisme dianggap mendorong dekadensi moral, memperburuk relasi antara laki-laki dan perempuan, dan mengganggu struktur peran gender yang “alami.”4

Beberapa kritik bahkan menyebut feminisme sebagai bentuk radikalisme ideologis yang memusuhi laki-laki (misandri) dan memaksakan kesetaraan secara tidak realistis. Dalam konteks ini, muncul pula gerakan men’s rights activism (MRA) yang mengeklaim bahwa laki-laki kini menjadi korban dari “feminisme ekstrem,” terutama dalam isu-isu seperti hak asuh anak, hukum kekerasan dalam rumah tangga, dan representasi media.5 Meskipun banyak kritik ini bersifat reaktif dan cenderung mempertahankan status quo patriarkal, mereka tetap menunjukkan tantangan sosial terhadap penerimaan nilai-nilai feminisme di berbagai masyarakat.

8.4.       Kritik terhadap Kooptasi Neoliberal

Kritik kontemporer juga datang dari feminis progresif yang menentang kooptasi nilai-nilai feminisme oleh sistem neoliberalisme. Dalam konteks ini, feminisme dilihat telah direduksi menjadi retorika empowerment individu (terutama dalam dunia kerja dan konsumsi), yang justru mengabaikan struktur ketimpangan sistemik. Nancy Fraser memperingatkan bahwa feminisme liberal telah terintegrasi secara problematik ke dalam agenda neoliberal, di mana emansipasi perempuan disamakan dengan keberhasilan individu dalam pasar bebas, bukan transformasi kolektif yang mendasar.6

Feminisme jenis ini, yang disebut “femokrasi” atau feminisme korporat, dinilai hanya menciptakan elit perempuan baru tanpa menyentuh akar ketidakadilan sosial-ekonomi yang lebih luas.

8.5.       Ketegangan antara Identitas dan Solidaritas Politik

Kritik lain berfokus pada kesulitan membangun solidaritas politik dalam konteks feminisme yang semakin terfragmentasi oleh identitas. Pendekatan interseksional memang memperluas basis perjuangan, namun juga menimbulkan tantangan dalam membangun agenda bersama. Ketegangan antara kebutuhan untuk mengakui perbedaan dan kebutuhan untuk menyatukan kekuatan dalam proyek politik bersama menjadi dilema strategis yang dihadapi feminisme kontemporer.7


Dengan demikian, kritik terhadap feminisme—baik dari dalam maupun luar—mencerminkan dinamika dialektis dalam perkembangan teori dan praksis feminis. Kritik ini bukan semata pelemahan, melainkan juga peluang untuk merefleksi, merumuskan ulang, dan memperluas agenda feminisme agar tetap relevan, inklusif, dan responsif terhadap kompleksitas sosial di dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed. (New York: Routledge, 2000), 1–6.

[2]                Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.

[3]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 3–5.

[4]                Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism? How Women Have Betrayed Women (New York: Simon & Schuster, 1994), 14–29.

[5]                Michael Kimmel, Angry White Men: American Masculinity at the End of an Era (New York: Nation Books, 2013), 139–148.

[6]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 209–224.

[7]                Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 56–63.


9.           Interseksi Feminisme dengan Wacana Sosial-Politik Lain

Feminisme, sebagai gerakan intelektual dan sosial, tidak berkembang dalam ruang hampa. Sejak awal kemunculannya, feminisme telah berinteraksi, berbenturan, dan berdialog dengan berbagai wacana sosial-politik lain seperti Marxisme, anarkisme, postkolonialisme, teori kritis, hingga gerakan lingkungan dan queer theory. Interseksi ini tidak hanya memperkaya analisis feminis, tetapi juga mendorong pembentukan strategi perjuangan yang lebih holistik dan responsif terhadap kompleksitas penindasan struktural.

9.1.       Feminisme dan Marxisme

Feminisme dan Marxisme memiliki sejarah panjang dalam saling mempengaruhi dan mengkritik. Keduanya sama-sama mengkritik sistem ketimpangan struktural, namun memiliki titik tekan yang berbeda. Marxisme melihat eksploitasi ekonomi sebagai akar utama penindasan, sedangkan feminisme menekankan dimensi gender sebagai struktur kuasa yang berdiri sendiri. Dalam karya The Origin of the Family, Private Property and the State, Engels menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan bermula dari munculnya hak milik pribadi dan keluarga patriarkal yang mengukuhkan subordinasi perempuan.1

Namun, feminis seperti Heidi Hartmann mengkritik pendekatan Marxis yang sering menempatkan isu gender sebagai “tambahan” dalam perjuangan kelas. Hartmann menyebut hubungan antara Marxisme dan feminisme sebagai “pernikahan yang tidak bahagia,” dan menyerukan pendekatan teori yang menyatukan kritik terhadap kapitalisme dan patriarki secara setara.2

9.2.       Feminisme dan Anarkisme

Feminisme dan anarkisme sama-sama menentang struktur hierarkis dan otoritarianisme, serta mempromosikan kebebasan individu dan solidaritas sosial. Anarkis feminis seperti Emma Goldman menolak baik negara maupun institusi patriarki sebagai alat dominasi terhadap perempuan. Goldman dalam tulisannya menyoroti bahwa pembebasan perempuan tidak dapat dicapai melalui reformasi hukum semata, melainkan melalui perubahan radikal dalam relasi sosial dan kebebasan atas tubuh sendiri.3

Feminisme anarkis kontemporer juga berkontribusi dalam gerakan akar rumput yang non-hirarkis, seperti dalam praktik kolektif komunitas queer, ekofeminisme, dan aktivisme digital.

9.3.       Feminisme dan Postkolonialisme

Feminisme postkolonial muncul sebagai respons terhadap dominasi wacana feminis Barat yang dianggap gagal menangkap pengalaman perempuan di Dunia Ketiga. Tokoh seperti Gayatri Chakravorty Spivak dan Chandra Talpade Mohanty menyoroti bagaimana feminisme Barat sering mereproduksi pola kolonial dalam mendefinisikan perempuan non-Barat sebagai “lain” yang perlu diselamatkan.4

Dalam perspektif ini, feminisme postkolonial mengkritik relasi kuasa dalam wacana global dan menyerukan perlunya mengakui agensi perempuan dari dunia pascakolonial, serta mempertimbangkan faktor lokal seperti budaya, agama, dan sejarah kolonial dalam analisis gender. Pendekatan ini memperluas cakupan feminisme agar tidak bersifat universalistik, melainkan lebih kontekstual dan pluralistik.

9.4.       Feminisme dan Teori Kritis

Feminisme juga menjalin hubungan erat dengan teori kritis—khususnya yang berkembang dalam tradisi Sekolah Frankfurt. Teori kritis berupaya mengungkap bentuk-bentuk dominasi ideologis dalam masyarakat modern kapitalistik, termasuk dalam dimensi budaya, bahasa, dan struktur kepribadian. Feminis seperti Nancy Fraser memperkaya teori kritis dengan memasukkan analisis gender secara sistematis, dan mengkritik teori kritis klasik karena abai terhadap pengalaman perempuan dan relasi gender.5

Fraser mengembangkan kerangka “keadilan dua dimensi” yang menggabungkan redistribusi ekonomi (ekuitas kelas) dan pengakuan kultural (identitas gender dan ras) sebagai pilar keadilan sosial kontemporer.6

9.5.       Feminisme dan Gerakan Lingkungan (Ekofeminisme)

Ekofeminisme menyatukan perhatian terhadap ketimpangan gender dan degradasi lingkungan, dengan berargumen bahwa logika dominasi patriarkal terhadap perempuan berkaitan erat dengan dominasi terhadap alam. Vandana Shiva menekankan bahwa praktik kolonialisme dan kapitalisme global tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan sistem pengetahuan lokal dan peran perempuan sebagai penjaga keberlanjutan ekologis.7

Ekofeminisme berkontribusi dalam pengembangan etika lingkungan yang berakar pada nilai-nilai relasional, komunitas, dan keberlanjutan, sebagai alternatif dari logika eksploitatif dan maskulin dalam modernitas industri.

9.6.       Feminisme dan Teori Queer

Feminisme kontemporer semakin memperkuat interseksi dengan teori queer, yang mengkritik norma-norma gender dan seksualitas heteronormatif. Pemikiran Judith Butler mengenai gender performativity membuka ruang bagi dekonstruksi identitas gender sebagai kategori tetap dan esensial, dan menunjukkan bahwa struktur sosial menciptakan batas-batas terhadap ekspresi tubuh dan seksualitas.8

Aliansi antara feminisme dan teori queer telah memperluas gerakan keadilan sosial menjadi lebih inklusif terhadap identitas non-biner, transgender, dan bentuk ekspresi gender lainnya yang selama ini dimarginalkan dalam sistem patriarkal maupun dalam feminisme arus utama.


Secara keseluruhan, interseksi feminisme dengan wacana-wacana sosial-politik lain menunjukkan fleksibilitas dan daya kritis feminisme sebagai alat analisis sosial. Alih-alih menjadi gerakan tertutup dan dogmatis, feminisme kontemporer justru tumbuh melalui dialog lintas wacana—memperkuat kapasitasnya dalam memahami dan menantang struktur ketimpangan yang kompleks dan saling berkelindan dalam masyarakat global.


Footnotes

[1]                Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State, trans. Ernest Untermann (New York: Pathfinder Press, 1972), 43–58.

[2]                Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union,” in Women and Revolution, ed. Lydia Sargent (Boston: South End Press, 1981), 1–42.

[3]                Emma Goldman, Anarchism and Other Essays (New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 151–168.

[4]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[5]                Nancy Fraser, Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in Contemporary Social Theory (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 1–5.

[6]                Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 7–13.

[7]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1989), 2–10.

[8]                Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex” (New York: Routledge, 1993), 1–10.


10.       Relevansi Feminisme di Abad ke-21

Memasuki abad ke-21, feminisme tetap menjadi kekuatan intelektual dan politik yang relevan dalam merespons dinamika sosial global. Meski sering dinyatakan telah “usang” atau “usai” dalam beberapa narasi pascafeminisme, kenyataannya berbagai ketimpangan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan, eksklusi politik, dan krisis multidimensi justru menegaskan pentingnya keberadaan feminisme sebagai gerakan transformatif yang progresif dan lintas isu.

10.1.    Respons terhadap Ketimpangan Global dan Kapitalisme Neoliberal

Feminisme abad ke-21 semakin terlibat dalam kritik terhadap kapitalisme global yang memperdalam ketimpangan gender dan kelas. Nancy Fraser mengkritik kooptasi nilai-nilai feminis oleh neoliberalisme yang memanfaatkan retorika “pemberdayaan perempuan” untuk melanggengkan logika pasar bebas dan individualisme kompetitif, sementara mengabaikan keadilan struktural yang sebenarnya menjadi inti feminisme.1

Di tengah dominasi kapitalisme digital dan ekonomi gig, banyak perempuan menghadapi eksploitasi baru dalam bentuk ketidakamanan kerja, upah rendah, dan beban kerja domestik yang tetap tidak dibayar. Feminisme kontemporer mendorong pendekatan interseksi antara ekonomi politik dan keadilan gender sebagai bentuk kritik terhadap struktur ekonomi global yang eksploitatif.

10.2.    Gerakan Global dan Solidaritas Transnasional

Gerakan feminis kini tidak lagi bersifat lokal atau nasional semata, melainkan menjelma menjadi gerakan transnasional yang menghubungkan perjuangan perempuan dari berbagai wilayah dunia. Kampanye seperti #MeToo, Ni Una Menos (Argentina), Women’s March (Amerika Serikat), hingga perlawanan perempuan Palestina dan Iran menunjukkan bagaimana feminisme mampu menjadi platform solidaritas lintas budaya, ras, dan agama dalam menghadapi kekerasan struktural.2

Solidaritas global ini memperlihatkan bahwa meskipun konteks lokal berbeda, terdapat benang merah berupa penolakan terhadap penindasan gender, militerisme, rasisme, dan kolonialisme budaya yang dapat disuarakan secara kolektif.

10.3.    Perkembangan Feminisme Digital dan Media Sosial

Era digital turut memengaruhi cara feminisme dijalankan, disebarkan, dan dimobilisasi. Feminisme digital memanfaatkan media sosial sebagai ruang publik alternatif untuk menyuarakan pengalaman perempuan, membongkar kekerasan gender, serta menyebarluaskan pendidikan kritis tentang gender dan seksualitas.3

Gerakan seperti #MeToo dan #WhyIStayed memperlihatkan bagaimana narasi pribadi dapat menjadi kekuatan politik kolektif dalam menantang budaya patriarkal dan impunitas terhadap pelaku kekerasan. Namun, feminisme digital juga menghadapi tantangan seperti cyberbullying, misogini daring, dan kontrol platform teknologi oleh korporasi besar.

10.4.    Isu Identitas, Gender Non-Biner, dan Inklusi LGBTQ+

Feminisme abad ke-21 semakin terbuka terhadap isu-isu identitas non-biner dan inklusi komunitas LGBTQ+. Pemikiran seperti Judith Butler yang menekankan gender performativity telah memengaruhi pemahaman feminisme untuk melampaui kategori “perempuan” secara esensial, dan bergerak ke arah pengakuan identitas yang cair dan plural.4

Perdebatan seputar ruang aman (safe spaces), hak identitas transgender, dan bahasa inklusif memperluas cakupan perjuangan feminis ke arah lebih inklusif, meskipun masih memicu ketegangan internal antara feminis radikal gender-critical dan feminis queer.

10.5.    Feminisme dan Krisis Iklim Global

Feminisme juga terlibat dalam aktivisme iklim dan ekologi, khususnya melalui ekofeminisme, yang menghubungkan ketimpangan gender dengan krisis ekologis. Tokoh seperti Vandana Shiva menekankan bahwa perempuan, terutama di wilayah global selatan, berada di garis depan dalam menghadapi dampak kerusakan lingkungan seperti perubahan iklim, degradasi tanah, dan kelangkaan air.5

Feminisme ekologis mendorong paradigma pembangunan yang berkelanjutan, berbasis komunitas, dan adil gender sebagai alternatif dari model pembangunan eksploitatif yang didorong oleh kapitalisme patriarkal.

10.6.    Peran Strategis dalam Kebijakan dan Ruang Publik

Di banyak negara, feminisme telah berkontribusi pada penyusunan kebijakan publik yang lebih sensitif gender, baik melalui kuota politik, anggaran responsif gender, perlindungan hukum terhadap kekerasan berbasis gender, maupun program pemberdayaan perempuan. Meski masih menghadapi resistensi, keterlibatan feminis dalam birokrasi, parlemen, dan sektor swasta menunjukkan bahwa perubahan sosial juga dapat dijalankan melalui jalur institusional.6


Dengan demikian, feminisme di abad ke-21 bukanlah gerakan yang stagnan, melainkan sebuah proyek sosial yang terus berkembang secara teoritis dan praksis. Relevansinya tidak hanya terlihat dalam perjuangan perempuan, tetapi juga dalam agenda-agenda besar kemanusiaan seperti keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, kebebasan identitas, dan demokrasi radikal. Di tengah berbagai tantangan global—mulai dari fundamentalisme, neoliberalisme, hingga krisis iklim—feminisme tetap menjadi pilar etis dan politis dalam membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan inklusif.


Footnotes

[1]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 210–225.

[2]                Cecilia Menjívar, “Violence Against Women and the Limitations of the Law: Gender, Immigration, and Structural Violence,” Sociology Compass 10, no. 4 (2016): 373–383.

[3]                Kaitlynn Mendes, Jessica Ringrose, and Jessalynn Keller, Digital Feminist Activism: Girls and Women Fight Back Against Rape Culture (Oxford: Oxford University Press, 2019), 1–20.

[4]                Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004), 1–15.

[5]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1989), 38–44.

[6]                Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Clarendon Press, 1995), 57–72.


11.       Penutup

Feminisme telah membuktikan dirinya sebagai salah satu aliran paling dinamis dan berpengaruh dalam wacana filsafat sosial-politik modern. Dari akar-akar historisnya yang menantang subordinasi perempuan dalam masyarakat patriarkal hingga transformasi kontemporernya sebagai gerakan lintas identitas dan isu, feminisme tidak pernah berhenti beradaptasi, merefleksi, dan mengartikulasikan ulang misinya demi menjawab tantangan zaman.

Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai aliran dan tokoh kunci feminisme, perjuangan ini tidak hanya bertujuan membebaskan perempuan dari diskriminasi, tetapi juga mengusulkan paradigma baru mengenai relasi sosial, kekuasaan, tubuh, dan identitas. Feminisme mengkritisi tidak hanya norma gender, tetapi juga struktur sosial-ekonomi, sistem hukum, wacana ilmu pengetahuan, dan ideologi budaya yang menopang ketimpangan.1 Oleh karena itu, feminisme bukan sekadar gerakan perempuan, melainkan gerakan untuk keadilan sosial yang bersifat universal, inklusif, dan transformatif.

Di abad ke-21, feminisme semakin menunjukkan relevansinya dalam merespons krisis global seperti kapitalisme neoliberal, krisis iklim, kekerasan berbasis gender, fundamentalisme agama, dan eksklusi digital. Gerakan ini tidak hanya muncul dalam bentuk teori akademik, tetapi juga melalui aksi kolektif dan digital, gerakan akar rumput, serta advokasi hukum dan kebijakan publik. Feminisme digital, feminisme transnasional, dan interseksionalitas menjadi wajah baru perjuangan feminis di era global yang kompleks dan penuh tantangan.2

Namun demikian, feminisme juga tidak luput dari kritik, baik dari luar maupun dalam. Ketegangan antara universalitas dan partikularitas, antara teori dan praksis, serta antara kategori politik “perempuan” dengan identitas gender yang cair, terus mendorong feminisme untuk memperluas cakrawala intelektual dan basis perjuangannya. Kritik internal ini bukan pelemahan, tetapi justru menjadi sumber vitalisasi dan penyempurnaan teori dan strategi feminis agar tetap relevan, adil, dan adaptif.3

Dalam konteks inilah feminisme mesti dipahami sebagai suatu proses yang terus bergerak—a work in progress—yang memerlukan pembaruan, dialog, dan keterbukaan terhadap perbedaan. Ia bukan ideologi kaku, melainkan praksis kritis yang mendorong dunia yang lebih inklusif dan etis. Sebagaimana dinyatakan oleh bell hooks, feminisme bukan hanya tentang perempuan mencapai posisi laki-laki dalam sistem yang ada, tetapi tentang membongkar sistem tersebut dan membangun dunia baru berdasarkan cinta, kebebasan, dan keadilan.4

Dengan refleksi ini, feminisme tetap menjadi pilar penting dalam pemikiran sosial-politik kontemporer dan masa depan. Ia menawarkan tidak hanya kritik terhadap tatanan yang ada, tetapi juga visi alternatif tentang dunia yang lebih setara dan manusiawi—suatu impian radikal yang terus diperjuangkan, direfleksikan, dan diwujudkan dalam tindakan kolektif lintas generasi, wilayah, dan pengalaman.


Footnotes

[1]                Nancy Fraser, Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in Contemporary Social Theory (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 13–26.

[2]                Kaitlynn Mendes, Jessica Ringrose, and Jessalynn Keller, Digital Feminist Activism: Girls and Women Fight Back Against Rape Culture (Oxford: Oxford University Press, 2019), 85–102.

[3]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 151–163.

[4]                bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics (New York: Routledge, 2000), 1–7.


Daftar Pustaka

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Brownmiller, S. (1975). Against our will: Men, women, and rape. Simon & Schuster.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the discursive limits of “sex”. Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing gender. Routledge.

Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the intersection of race and sex. University of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.

Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299.

Davis, A. (2016). Freedom is a constant struggle: Ferguson, Palestine, and the foundations of a movement. Haymarket Books.

Douglas, S. J. (1994). Where the girls are: Growing up female with the mass media. Times Books.

Dworkin, A. (1987). Intercourse. Free Press.

Engels, F. (1972). The origin of the family, private property and the state (E. Untermann, Trans.). Pathfinder Press. (Original work published 1884)

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Firestone, S. (1970). The dialectic of sex: The case for feminist revolution. Morrow.

Fraser, N. (1989). Unruly practices: Power, discourse and gender in contemporary social theory. University of Minnesota Press.

Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.

Friedan, B. (1963). The feminine mystique. W. W. Norton.

Goldman, E. (1910). Anarchism and other essays. Mother Earth Publishing Association.

Haraway, D. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Hartmann, H. (1981). The unhappy marriage of Marxism and feminism: Towards a more progressive union. In L. Sargent (Ed.), Women and revolution (pp. 1–42). South End Press.

hooks, b. (1981). Ain’t I a woman: Black women and feminism. South End Press.

hooks, b. (2000). Feminist theory: From margin to center (2nd ed.). Routledge.

hooks, b. (2000). Feminism is for everybody: Passionate politics. Routledge.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.

Kimmel, M. (2013). Angry white men: American masculinity at the end of an era. Nation Books.

Kissling, E. A. (2004). Feminist perspectives on rape. In M. D. Smith (Ed.), Encyclopedia of rape (pp. 85–88). Greenwood Press.

MacKinnon, C. A. (1979). Sexual harassment of working women: A case of sex discrimination. Yale University Press.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

Martin, J. R. (1985). Reclaiming a conversation: The ideal of the educated woman. Yale University Press.

Mendes, K., Ringrose, J., & Keller, J. (2019). Digital feminist activism: Girls and women fight back against rape culture. Oxford University Press.

Millett, K. (1970). Sexual politics. Doubleday.

Mohanty, C. T. (1984). Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary 2, 12(3), 333–358.

Mulvey, L. (1975). Visual pleasure and narrative cinema. Screen, 16(3), 6–18.

Offen, K. (2000). European feminisms, 1700–1950: A political history. Stanford University Press.

Phillips, A. (1995). The politics of presence. Clarendon Press.

Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology and development. Zed Books.

Sommers, C. H. (1994). Who stole feminism? How women have betrayed women. Simon & Schuster.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

United Nations. (1979). Convention on the elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW). https://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/

Vogel, L. (2013). Marxism and the oppression of women: Toward a unitary theory. Brill.

Walby, S. (1990). Theorizing patriarchy. Blackwell.

Wollstonecraft, M. (1992). A vindication of the rights of woman (M. Brody, Ed.). Penguin Books. (Original work published 1792)

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar