Feminisme
Sejarah, Gagasan Utama, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji feminisme sebagai salah satu
arus penting dalam filsafat sosial-politik, yang secara historis dan konseptual
memainkan peran signifikan dalam menantang dominasi patriarkal serta memajukan
keadilan sosial berbasis gender. Kajian ini diawali dengan penelusuran akar
historis dan genealogis feminisme dari proto-feminis hingga munculnya berbagai
gelombang feminisme modern. Dibahas pula konsep-konsep kunci seperti patriarki,
konstruksi gender, otonomi tubuh, dan interseksionalitas yang menjadi fondasi
teori feminis.
Melalui analisis terhadap ragam aliran
feminisme—liberal, radikal, Marxis, poskolonial, interseksional, dan
ekologis—artikel ini menunjukkan bagaimana kompleksitas pengalaman perempuan
menuntut pendekatan yang beragam dan kontekstual. Disoroti pula kontribusi
tokoh-tokoh utama seperti Mary Wollstonecraft, Simone de Beauvoir, bell hooks,
dan Judith Butler dalam membentuk wacana feminis lintas zaman. Selain itu,
artikel ini mengulas kritik feminis terhadap sistem sosial-politik patriarkal,
serta keterlibatannya dalam transformasi sosial melalui reformasi hukum,
pendidikan, representasi media, dan aksi kolektif global.
Lebih lanjut, artikel ini menelaah interseksi
feminisme dengan wacana sosial-politik lain seperti Marxisme, anarkisme,
postkolonialisme, teori kritis, dan gerakan lingkungan, yang memperluas cakupan
perjuangan feminis dalam konteks global. Di abad ke-21, feminisme tetap relevan
dalam menghadapi tantangan neoliberal, krisis iklim, digitalisasi, dan
kompleksitas identitas, serta terus menjadi kekuatan etis dan politis dalam
membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Kata Kunci: Feminisme, patriarki, keadilan gender,
interseksionalitas, filsafat sosial-politik, transformasi sosial,
postkolonialisme, Marxisme, digital feminism, tokoh feminis.
PEMBAHASAN
Feminisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Feminisme sebagai
aliran pemikiran dan gerakan sosial memiliki posisi sentral dalam filsafat
sosial-politik kontemporer. Pada hakikatnya, feminisme merupakan suatu kerangka
teoritis dan praksis yang bertujuan untuk memahami, mengkritisi, dan mengubah
struktur sosial yang dianggap menindas atau mendiskriminasi perempuan serta
kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi berbasis gender. Ia menyoroti
bagaimana relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan terwujud dalam berbagai
institusi sosial, ekonomi, politik, dan budaya—baik secara historis maupun
dalam kehidupan sehari-hari.1
Secara etimologis,
istilah "feminisme" berasal dari bahasa Latin femina
yang berarti perempuan. Istilah ini mulai mendapatkan artikulasi politik yang lebih
luas pada akhir abad ke-19, terutama dalam konteks perjuangan hak-hak sipil dan
hak pilih perempuan di Barat.2 Namun, gagasan dasar feminisme yang
menuntut pengakuan atas martabat dan kesetaraan perempuan sebenarnya sudah
muncul jauh sebelumnya, sebagaimana terlihat dalam karya A
Vindication of the Rights of Woman (1792) oleh Mary Wollstonecraft
yang kerap dianggap sebagai teks proto-feminis modern.3
Sebagai bagian dari
filsafat sosial-politik, feminisme tidak hanya membicarakan perempuan sebagai
entitas biologis atau kelompok identitas tertentu, tetapi juga menyajikan
analisis kritis terhadap struktur kekuasaan yang mendefinisikan dan membatasi
peran gender. Dalam hal ini, feminisme sering bersinggungan dengan
persoalan-persoalan etika, epistemologi, keadilan sosial, dan teori negara.
Pemikiran feminis telah mendorong dekonstruksi terhadap paradigma maskulin yang
dominan dalam tradisi filsafat Barat—sebuah tradisi yang kerap mengabaikan atau
merendahkan pengalaman dan perspektif perempuan.4
Di abad ke-21,
feminisme berkembang menjadi wacana multidimensional yang mencakup isu-isu
kompleks seperti interseksionalitas, hak reproduksi, keadilan ekonomi, serta
keterlibatan perempuan dalam ranah teknologi dan digital. Ia tidak lagi dapat
dipahami hanya sebagai satu gerakan homogen, melainkan sebagai jaringan ide-ide
dan praktik yang beragam, tergantung pada konteks sejarah, sosial, ekonomi, dan
budaya tempatnya tumbuh.5 Dalam dunia yang terus mengalami perubahan
sosial dan krisis multidimensi, feminisme hadir sebagai alat analisis yang
kritis dan transformatif dalam membaca ketimpangan struktural dan menawarkan
kemungkinan-kemungkinan baru bagi pencapaian keadilan sosial.
Dengan latar
belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemetaan menyeluruh terhadap
feminisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik. Pembahasan akan
mencakup akar historis, gagasan-gagasan kunci, ragam aliran, kontribusi
tokoh-tokoh penting, kritik internal maupun eksternal, serta relevansi
kontemporer feminisme dalam masyarakat global saat ini.
Footnotes
[1]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 122–124.
[2]
Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A Political History
(Stanford: Stanford University Press, 2000), 19–21.
[3]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed.
Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.
[4]
Genevieve Lloyd, The Man of Reason: “Male” and “Female” in Western
Philosophy (London: Routledge, 1984), 1–5.
[5]
bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics
(New York: Routledge, 2000), 1–6.
2.
Akar Historis dan Genealogi Pemikiran Feminis
Pemikiran feminis
memiliki akar yang sangat panjang dalam sejarah sosial dan intelektual manusia,
meskipun sebagai gerakan politik yang terorganisir feminisme baru mendapatkan
artikulasi eksplisitnya pada abad ke-19. Genealogi feminisme menunjukkan bahwa
ia bukanlah suatu entitas monolitik yang muncul secara tiba-tiba, melainkan
hasil dari proses historis yang kompleks, yang mencerminkan perlawanan terhadap
berbagai bentuk subordinasi dan penghapusan peran perempuan dalam struktur
sosial, politik, dan epistemologis masyarakat.
2.1.
Proto-Feminisme dan
Kritik Awal terhadap Ketimpangan Gender
Bentuk awal dari
pemikiran feminis sering disebut sebagai proto-feminisme, yakni ide-ide
kesetaraan yang muncul jauh sebelum istilah "feminisme"
dikodifikasi secara politis. Pemikir seperti Christine de Pizan dalam The Book
of the City of Ladies (1405) menantang stereotip negatif terhadap perempuan
yang umum dalam teks-teks filsafat dan agama abad pertengahan, serta
mengadvokasi intelektualitas dan moralitas perempuan sebagai setara dengan
laki-laki.1
Perkembangan penting
lainnya datang dari Mary Wollstonecraft, yang dalam
A
Vindication of the Rights of Woman (1792) menyatakan bahwa
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan bukanlah hasil dari kodrat alamiah,
melainkan akibat dari pendidikan yang timpang dan struktur masyarakat yang
tidak adil.2 Wollstonecraft menyerukan
pentingnya pendidikan rasional bagi perempuan agar mereka dapat menjadi warga
negara yang setara dalam kehidupan publik—gagasan yang dianggap sebagai fondasi
intelektual feminisme modern.
2.2.
Gelombang Pertama
Feminisme (Akhir Abad ke-19 – Awal Abad ke-20)
Gelombang pertama
feminisme, atau first-wave feminism, berfokus pada
perjuangan hukum dan sipil, khususnya hak suara (suffrage), hak atas properti,
dan akses pendidikan. Gerakan ini muncul kuat di Eropa dan Amerika Utara pada
akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tokoh seperti Elizabeth
Cady Stanton, Susan B. Anthony, dan Emmeline
Pankhurst menjadi simbol perjuangan hak pilih bagi perempuan.3
Filosofi politik
dalam gelombang ini sangat dipengaruhi oleh liberalisme klasik, dengan asumsi
bahwa perempuan berhak atas kebebasan individual dan kesetaraan hukum
sebagaimana halnya laki-laki. Namun demikian, gerakan ini juga mendapat kritik
karena cenderung berfokus pada pengalaman perempuan kulit putih kelas menengah
dan mengabaikan pengalaman perempuan dari kelompok etnis dan kelas sosial lain.
2.3.
Gelombang Kedua
Feminisme (1950-an–1980-an)
Gelombang kedua
feminisme menandai pergeseran fokus dari hak-hak formal menuju dimensi personal
dan struktural penindasan. Dimulai pada 1950-an dan mencapai puncaknya pada
1970-an, feminisme gelombang kedua menyuarakan gagasan bahwa “yang personal
adalah politis”—menunjukkan bahwa pengalaman perempuan dalam ruang privat,
seperti rumah tangga, merupakan refleksi dari sistem patriarki yang lebih luas.4
Tokoh-tokoh seperti Simone
de Beauvoir, Betty Friedan, dan Kate
Millett menyumbang secara signifikan terhadap perkembangan
teori feminis dalam bentuk kritik terhadap peran gender tradisional,
objektifikasi seksual, serta relasi kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat. The
Feminine Mystique (1963) karya Friedan menggugah kesadaran
perempuan Amerika tentang keterasingan mereka di balik peran domestik yang
diidealkan pasca Perang Dunia II.5
Gelombang ini
menghasilkan pembentukan berbagai aliran feminisme seperti feminisme radikal,
feminisme sosialis, dan feminisme liberal, yang masing-masing menawarkan
analisis dan strategi yang berbeda dalam menghadapi penindasan berbasis gender.
2.4.
Gelombang Ketiga dan
Keempat Feminisme (1990-an–kini)
Gelombang ketiga muncul
sebagai kritik terhadap homogenisasi identitas perempuan dalam feminisme
sebelumnya. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional, feminisme
gelombang ketiga menekankan pentingnya mempertimbangkan bagaimana ras, kelas,
orientasi seksual, disabilitas, dan faktor sosial lainnya saling berinteraksi
dalam membentuk pengalaman perempuan.6 Tokoh
seperti bell hooks dan Kimberlé
Crenshaw memberikan kontribusi teoritis utama dalam memperluas
batas-batas feminisme tradisional.
Adapun gelombang
keempat feminisme, yang muncul sejak awal abad ke-21, sangat dipengaruhi oleh
teknologi digital dan media sosial. Gerakan seperti #MeToo
dan kampanye feminisme digital menjadi ekspresi kontemporer dari perlawanan
terhadap kekerasan seksual dan ketimpangan gender di berbagai sektor kehidupan.
Gelombang ini juga sangat terbuka terhadap inklusi gender non-biner dan
komunitas LGBTQ+, sehingga feminisme masa kini menjadi medan perjuangan yang
lebih plural dan lintas identitas.7
Footnotes
[1]
Christine de Pizan, The Book of the City of Ladies, trans.
Rosalind Brown-Grant (London: Penguin Books, 1999), 3–5.
[2]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed.
Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.
[3]
Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A Political History
(Stanford: Stanford University Press, 2000), 123–135.
[4]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 35–40.
[5]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton,
1963), 15–28.
[6]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[7]
Alison Phipps, Me, Not You: The Trouble with Mainstream Feminism
(Manchester: Manchester University Press, 2020), 10–15.
3.
Konsep-Konsep Kunci dalam Feminisme
Feminisme sebagai
aliran filsafat sosial-politik menawarkan seperangkat konsep teoretis yang
mendalam untuk menganalisis ketimpangan gender dan struktur patriarki. Konsep-konsep
ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kritik, tetapi juga sebagai fondasi
untuk membangun tatanan sosial yang lebih adil dan setara. Berikut adalah
sejumlah konsep kunci yang menjadi pilar dalam diskursus feminis.
3.1.
Patriarki
Konsep patriarki merujuk
pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas dominan dalam
institusi politik, ekonomi, keluarga, dan budaya. Patriarki dalam analisis
feminis dipahami sebagai struktur kekuasaan yang bersifat sistemik dan
historis, bukan semata hasil pilihan individu.1
Feminisme radikal, seperti yang dikemukakan oleh Kate Millett, menegaskan bahwa
patriarki merupakan “politik kekuasaan” yang mereproduksi dominasi laki-laki
melalui norma-norma budaya, agama, hukum, dan pendidikan.2
3.2.
Gender vs. Seks
Distingsi antara gender
dan seks
merupakan landasan penting dalam teori feminis. Seks merujuk pada perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah konstruksi sosial dan
kultural atas peran, perilaku, serta identitas yang dilekatkan pada jenis
kelamin.3 Simone de Beauvoir secara tegas menyatakan, “One
is not born, but rather becomes, a woman” – menekankan bahwa perempuan dibentuk
secara sosial melalui norma-norma gender yang represif.4
3.3.
Otonomi Tubuh dan
Seksualitas
Feminisme juga menggarisbawahi
pentingnya bodily
autonomy, yaitu hak perempuan untuk memiliki kendali atas tubuh dan
seksualitasnya sendiri. Isu-isu seperti hak reproduksi, akses terhadap
kontrasepsi dan aborsi, serta penolakan terhadap kekerasan seksual menjadi
bagian integral dari perjuangan feminis.5
Pemikiran ini menantang kontrol sosial atas tubuh perempuan, yang sering kali
dilegitimasi oleh moralitas patriarkal maupun kebijakan negara.
3.4.
Subjektivitas dan
Pengalaman Perempuan
Salah satu
kontribusi penting feminisme adalah penekanan terhadap validitas pengalaman
subjektif perempuan sebagai sumber pengetahuan. Feminisme menolak klaim
objektivitas universal dalam ilmu pengetahuan yang mengabaikan atau menghapus
suara perempuan.6 Dalam epistemologi
feminis, seperti yang dikembangkan oleh Sandra Harding dan Donna Haraway,
pengalaman perempuan dilihat sebagai basis epistemik yang sah dan produktif
untuk memahami relasi sosial secara kritis.7
3.5.
Interseksionalitas
Interseksionalitas
merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw untuk menunjukkan
bagaimana berbagai bentuk penindasan—berbasis ras, kelas, gender, orientasi
seksual, disabilitas, dan lainnya—saling berkelindan dan tidak bisa dipahami
secara terpisah.8 Pendekatan ini menghindari
simplifikasi terhadap identitas perempuan dan menekankan perlunya analisis yang
lebih kompleks dalam memahami ketidakadilan sosial. Feminisme interseksional
melampaui fokus tunggal pada gender, dan menjadi alat analitis penting dalam
konteks global yang pluralistik.
3.6.
Representasi dan Wacana
Feminisme juga
menganalisis bagaimana perempuan direpresentasikan dalam bahasa, media, dan
budaya populer. Teori wacana feminis—dipengaruhi oleh
post-strukturalisme—menyatakan bahwa konstruksi perempuan dalam narasi-narasi
dominan sering kali memuat penggambaran yang merendahkan, menyeksualkan, atau
menormatifkan tubuh dan peran sosial perempuan.9 Pemikir
seperti Judith Butler mengeksplorasi bagaimana identitas gender dihasilkan dan
distabilkan melalui performativitas sosial.10
Dengan demikian,
konsep-konsep kunci dalam feminisme tidak hanya menjelaskan pengalaman
perempuan dalam sistem sosial-politik yang timpang, tetapi juga membuka ruang
bagi pemikiran ulang terhadap norma-norma dasar yang selama ini mendominasi
wacana filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy (Oxford: Blackwell, 1990),
20–25.
[2]
Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970),
23–25.
[3]
Anne Fausto-Sterling, Sexing the Body: Gender Politics and the Construction
of Sexuality (New York: Basic Books, 2000), 3–4.
[4]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.
[5]
Judith Lorber, Gender Inequality: Feminist Theories and Politics,
5th ed. (New York: Oxford University Press, 2012), 185–189.
[6]
Nancy Hartsock, “The Feminist Standpoint,” in The Feminist
Standpoint Theory Reader: Intellectual and Political Controversies, ed.
Sandra Harding (New York: Routledge, 2004), 35–54.
[7]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism
and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3
(1988): 575–599.
[8]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[9]
Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen
16, no. 3 (1975): 6–18.
[10]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.
4.
Aliran dan Ragam Pemikiran dalam Feminisme
Feminisme sebagai
gerakan intelektual dan sosial-politik tidak bersifat tunggal, melainkan plural
dan beragam. Setiap aliran dalam feminisme merefleksikan perspektif teoritis
dan strategi perjuangan yang berbeda dalam merespons berbagai bentuk penindasan
berbasis gender. Keberagaman ini memperkaya khazanah filsafat feminis sekaligus
memungkinkan pendekatan yang lebih kontekstual terhadap realitas sosial.
4.1.
Feminisme Liberal
Feminisme liberal
merupakan salah satu aliran tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah
feminisme modern. Ia menekankan pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam kerangka hukum dan institusi negara. Berakar pada
prinsip-prinsip liberalisme klasik seperti kebebasan individu dan rasionalitas,
aliran ini menuntut reformasi institusional agar perempuan memperoleh akses
yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik.1
Tokoh-tokoh penting
dalam feminisme liberal antara lain Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, dan
Betty Friedan. Dalam The Feminine Mystique, Friedan
mengkritik "masalah yang tidak disebutkan" yang dialami perempuan
rumah tangga Amerika pada 1950-an, dan mendorong mereka untuk menuntut
eksistensi di ruang publik.2
4.2.
Feminisme Radikal
Feminisme radikal memandang
patriarki sebagai bentuk dominasi utama dalam masyarakat yang merasuki seluruh
aspek kehidupan—termasuk relasi personal, seksualitas, dan struktur psikologis.
Tidak seperti feminisme liberal yang lebih menekankan reformasi, feminisme
radikal menuntut transformasi mendalam terhadap tatanan sosial.3
Kate Millett dalam Sexual
Politics menegaskan bahwa politik bukan hanya berada di wilayah
negara, tetapi juga dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam ranah
privat, seperti keluarga dan seksualitas.4 Gerakan
ini juga mempelopori advokasi terhadap hak atas tubuh (bodily autonomy),
pemenuhan hak seksual, dan penolakan terhadap kekerasan berbasis gender.
4.3.
Feminisme Marxis dan
Sosialis
Feminisme Marxis dan
Sosialis mengaitkan penindasan perempuan dengan sistem kapitalisme. Aliran ini
berargumen bahwa ketidaksetaraan gender bersifat struktural karena didasarkan
pada relasi produksi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat—baik
sebagai tenaga kerja domestik tak dibayar maupun buruh murah dalam industri.5
Friedrich Engels
dalam The
Origin of the Family, Private Property, and the State menyatakan
bahwa munculnya kepemilikan pribadi dan keluarga patriarkal menjadi dasar
historis ketertindasan perempuan.6
Feminisme sosialis kemudian memperluas analisis ini dengan menekankan
keterkaitan antara patriarki dan kapitalisme, serta perlunya pembebasan
kolektif melalui transformasi sistemik.
4.4.
Feminisme
Poskolonial
Feminisme
poskolonial mengkritik dominasi wacana feminis Barat yang sering mengklaim
universalitas, namun gagal menangkap kompleksitas pengalaman perempuan di Dunia
Ketiga. Tokoh seperti Chandra Talpade Mohanty menegaskan bahwa perempuan di
negara-negara bekas jajahan mengalami penindasan yang bersifat ganda: oleh
patriarki lokal dan warisan kolonialisme global.7
Aliran ini
menekankan pentingnya memperhatikan konteks historis, budaya, dan ekonomi dalam
analisis feminis serta menolak homogenisasi perempuan sebagai "korban
global" yang perlu diselamatkan oleh feminisme Barat.8
Dengan demikian, feminisme poskolonial mendorong lahirnya wacana feminis yang
lebih beragam dan kontekstual.
4.5.
Feminisme
Interseksional
Interseksionalitas
adalah pendekatan yang mengakui bahwa identitas sosial tidak dapat dipisahkan
menjadi kategori tunggal seperti gender, ras, atau kelas, karena setiap
individu berada di persimpangan dari berbagai sistem kekuasaan yang saling
berinteraksi. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw untuk
menggambarkan pengalaman perempuan kulit hitam Amerika yang tak terwakili oleh
feminisme arus utama maupun gerakan antirasisme.9
Feminisme
interseksional menawarkan pendekatan analisis yang lebih inklusif terhadap
ketidakadilan sosial, terutama dengan mengangkat suara perempuan dari latar
belakang minoritas, LGBTQ+, disabilitas, dan kelompok terpinggirkan lainnya.
4.6.
Feminisme Ekologis
dan Spiritual
Feminisme ekologis
(ecofeminism) menghubungkan eksploitasi terhadap alam dengan penindasan
terhadap perempuan. Aliran ini berpandangan bahwa paradigma dominasi dalam
relasi manusia-alam dan laki-laki-perempuan bersumber dari cara berpikir
dualistik dan hierarkis dalam budaya patriarkal.10
Tokoh seperti
Vandana Shiva dan Carolyn Merchant menunjukkan bahwa kapitalisme patriarkal
telah membentuk sistem ekonomi dan pengetahuan yang menindas perempuan dan
merusak lingkungan. Feminisme spiritual, sebagai bagian dari ecofeminism, juga
menyoroti nilai-nilai kesatuan, relasi, dan penghormatan terhadap siklus
kehidupan sebagai alternatif dari rasionalitas patriarkal-modern.
Dengan keragaman
perspektif ini, feminisme tampil bukan sebagai doktrin tunggal, melainkan
sebagai medan wacana dinamis yang merefleksikan perjuangan lintas kelas, ras,
budaya, dan sistem pengetahuan. Perbedaan antara aliran-aliran ini tidak
berarti kontradiksi mutlak, melainkan memperlihatkan luasnya medan perjuangan
feminis yang terus bertransformasi sesuai dengan tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York:
Basic Books, 1989), 5–10.
[2]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton,
1963), 14–32.
[3]
Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist
Revolution (New York: Morrow, 1970), 1–3.
[4]
Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970),
23–45.
[5]
Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary
Theory (Leiden: Brill, 2013), 4–12.
[6]
Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and
the State, trans. Ernest Untermann (New York: Pathfinder Press, 1972),
43–52.
[7]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.
[8]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[9]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University
of Chicago Legal Forum 1989, no. 1 (1989): 139–167.
[10]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), xv–xviii.
5.
Tokoh-Tokoh Sentral dalam Sejarah Feminisme
Perkembangan
feminisme sebagai gerakan sosial dan aliran filsafat sosial-politik tidak dapat
dilepaskan dari kontribusi para tokoh pemikir yang meletakkan fondasi teoritis
dan praksis perjuangan perempuan. Para tokoh ini tidak hanya menandai titik
balik dalam sejarah emansipasi perempuan, tetapi juga memperkaya filsafat
sosial dengan kritik radikal terhadap patriarki, ketimpangan struktural, dan
eksklusi epistemik. Berikut adalah sejumlah figur penting yang membentuk arah
dan dinamika pemikiran feminis sepanjang sejarah.
5.1.
Mary Wollstonecraft
(1759–1797)
Sebagai pelopor
feminisme modern, Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Woman
(1792), sebuah teks klasik yang menyerukan kesetaraan rasional antara laki-laki
dan perempuan serta pentingnya pendidikan bagi perempuan agar menjadi warga
negara yang mandiri secara moral dan intelektual.1 Ia
mengkritik pandangan dominan pada masanya yang memandang perempuan sebagai
makhluk emosional yang inferior secara alami, dan sebaliknya mengajukan argumen
bahwa subordinasi perempuan bersumber dari sistem pendidikan dan struktur
sosial yang menindas.
5.2.
John Stuart Mill
(1806–1873)
Filsuf utilitarian
dan liberal ini berkontribusi besar terhadap wacana feminisme awal melalui
karya The
Subjection of Women (1869), di mana ia mengadvokasi kesetaraan
hukum dan sosial antara laki-laki dan perempuan sebagai prasyarat masyarakat
yang adil.2 Mill berpandangan bahwa
ketimpangan gender tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat
perkembangan moral dan intelektual seluruh umat manusia.
5.3.
Simone de Beauvoir
(1908–1986)
Simone de Beauvoir
adalah tokoh sentral dalam filsafat eksistensial dan feminisme gelombang kedua.
Dalam The
Second Sex (1949), ia menegaskan bahwa “perempuan tidak
dilahirkan, melainkan menjadi perempuan”—sebuah pernyataan monumental yang
menekankan bahwa identitas perempuan dibentuk oleh konstruksi sosial, bukan
kodrat biologis.3 De Beauvoir mengkritik
sistem patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai subjek universal dan
perempuan sebagai “yang lain” (the Other), dan mendorong perempuan
untuk membebaskan diri dari ketergantungan simbolik tersebut.
5.4.
Betty Friedan
(1921–2006)
Sebagai figur
penting dalam feminisme liberal Amerika, Friedan menulis The
Feminine Mystique (1963), sebuah buku yang menggambarkan "masalah
yang tidak disebutkan"—perasaan keterasingan dan ketidakpuasan di
kalangan perempuan kelas menengah pasca Perang Dunia II, yang dikurung dalam
peran domestik.4 Karya ini memicu gelombang
kedua feminisme di Amerika Serikat dan berperan dalam mendirikan National
Organization for Women (NOW) pada 1966.
5.5.
Kate Millett
(1934–2017)
Dalam Sexual
Politics (1970), Millett mengembangkan analisis feminis radikal
dengan memperluas pemahaman politik ke dalam ranah privat dan relasi seksual.
Ia menegaskan bahwa patriarki merupakan sistem kekuasaan yang tidak hanya
mewujud dalam institusi negara, tetapi juga dalam norma-norma budaya, sastra,
dan seksualitas.5 Millett menjadi pionir
dalam memperkenalkan ide bahwa seksualitas merupakan medan kekuasaan yang harus
dikaji secara kritis.
5.6.
bell hooks
(1952–2021)
Dengan gaya
penulisan yang interdisipliner dan inklusif, bell hooks memperkenalkan
pendekatan feminisme interseksional yang menggabungkan gender, ras, dan kelas
sebagai medan penindasan yang saling terjalin. Dalam Ain’t I
a Woman: Black Women and Feminism (1981), ia mengkritik feminisme
arus utama yang cenderung mengabaikan pengalaman perempuan kulit hitam dan
perempuan miskin.6 hooks menekankan bahwa
feminisme harus bersifat transformatif dan berakar dalam cinta, solidaritas,
dan keadilan sosial.
5.7.
Judith Butler (1956–
)
Sebagai tokoh utama
dalam feminisme post-struktural dan teori queer, Butler terkenal lewat karya Gender
Trouble (1990), di mana ia memperkenalkan konsep gender
performativity. Menurut Butler, identitas gender bukan sesuatu yang
esensial, melainkan terbentuk melalui tindakan berulang dan konstruksi sosial
yang dipaksakan secara kultural.7 Pendekatan ini membuka
ruang bagi kritik terhadap biner gender dan membela hak identitas bagi kelompok
LGBTQ+ dalam wacana feminis kontemporer.
5.8.
Kimberlé Crenshaw
(1959– )
Crenshaw adalah ahli
hukum dan akademisi yang mengembangkan konsep interseksionalitas sebagai
kerangka untuk memahami bagaimana identitas ganda (seperti ras dan gender)
berinteraksi dalam sistem hukum dan sosial. Karya pentingnya Demarginalizing
the Intersection of Race and Sex (1989) menunjukkan bagaimana
perempuan kulit hitam seringkali tidak terwakili dalam kebijakan antirasis
maupun antifeminis karena analisis yang terlalu sempit terhadap identitas.8
Tokoh-tokoh ini
bukan hanya menyumbang teori, tetapi juga menginspirasi gerakan sosial global
yang memperjuangkan keadilan gender. Melalui pendekatan yang beragam—dari
liberal hingga radikal, dari poskolonial hingga queer—mereka menunjukkan bahwa
feminisme adalah medan intelektual yang hidup dan terus berkembang untuk
merespons dinamika ketimpangan yang kompleks dalam masyarakat kontemporer.
Footnotes
[1]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed.
Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), xxiv–xxvii.
[2]
John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longmans,
Green, Reader, and Dyer, 1869), 1–15.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.
[4]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W. W. Norton,
1963), 15–32.
[5]
Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970),
23–46.
[6]
bell hooks, Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism (Boston:
South End Press, 1981), 1–20.
[7]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.
[8]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University
of Chicago Legal Forum 1989, no. 1 (1989): 139–167.
6.
Kritik Terhadap Sistem Sosial dan Politik
Patriarkal
Salah satu
kontribusi paling penting dari feminisme dalam filsafat sosial-politik adalah
kritiknya terhadap sistem patriarki sebagai struktur dominasi yang membentuk
seluruh aspek kehidupan sosial. Patriarki, dalam analisis feminis, bukan
sekadar relasi interpersonal antara laki-laki dan perempuan, melainkan suatu
sistem sosial-politik yang terlembagakan dan beroperasi melalui hukum, budaya,
agama, ekonomi, dan bahkan epistemologi. Kritik feminis terhadap patriarki
mengungkap bagaimana ketimpangan gender bukanlah kodrat alami, melainkan hasil
konstruksi sosial yang dipertahankan oleh institusi dan norma-norma hegemonik.
6.1.
Keluarga dan Relasi
Domestik
Dalam wacana
feminis, institusi keluarga tradisional dipandang sebagai salah satu pusat
reproduksi patriarki. Feminis radikal seperti Shulamith Firestone menyoroti
bagaimana struktur keluarga nuklir menempatkan perempuan dalam posisi
subordinat sebagai istri dan ibu, yang tugasnya direduksi menjadi pengasuh dan
pelayan domestik tanpa pengakuan sosial atau kompensasi ekonomi.1
Dalam The
Dialectic of Sex, Firestone berargumen bahwa pembebasan perempuan
tidak mungkin tercapai tanpa transformasi mendasar terhadap sistem reproduksi
dan peran gender dalam keluarga.
6.2.
Negara, Hukum, dan
Kekuasaan Politik
Feminisme juga
mengkritik institusi negara dan hukum sebagai instrumen kekuasaan patriarkal.
Catharine MacKinnon menegaskan bahwa hukum modern, yang mengklaim netralitas
gender, sebenarnya mencerminkan standar maskulin dan mengabaikan pengalaman
serta kebutuhan perempuan.2 Dalam konteks politik,
perempuan secara historis dikecualikan dari partisipasi aktif dalam proses
pengambilan keputusan, dan ketika terlibat pun sering kali menghadapi
diskriminasi struktural, termasuk pelecehan dan kekerasan berbasis gender dalam
ruang publik.
6.3.
Ekonomi dan
Pembagian Kerja Gender
Sistem ekonomi
kapitalis tidak luput dari kritik feminis, terutama dari aliran feminisme
Marxis dan sosialis. Dalam sistem ini, perempuan sering ditempatkan dalam
posisi kerja yang tidak dibayar (pekerjaan rumah tangga) atau dibayar rendah
(sektor informal dan layanan), yang secara sistemik mendukung akumulasi kapital
dan menjaga tenaga kerja laki-laki tetap produktif.3 Silvia
Federici dalam Caliban and the Witch menggambarkan
bagaimana proses kapitalisme awal diiringi dengan kontrol terhadap tubuh
perempuan, kriminalisasi dukun perempuan, dan domestikasi paksa perempuan
sebagai bagian dari pembentukan buruh modern.4
6.4.
Budaya Populer dan
Representasi Perempuan
Analisis feminis
terhadap budaya populer menunjukkan bahwa media massa dan industri hiburan
memainkan peran penting dalam mereproduksi citra-citra perempuan yang
merendahkan. Laura Mulvey, melalui konsep male gaze, menjelaskan bagaimana
perempuan dalam sinema dikonstruksi sebagai objek visual yang dinikmati
laki-laki—sebuah mekanisme simbolik dari dominasi patriarki dalam estetika
modern.5 Representasi stereotipis perempuan sebagai
emosional, seksual, atau subordinat dalam narasi film, iklan, dan berita
memperkuat norma gender yang membatasi ruang gerak perempuan.
6.5.
Kekerasan Berbasis
Gender
Salah satu fokus utama
feminisme adalah kekerasan terhadap perempuan, baik dalam bentuk fisik,
psikologis, seksual, maupun simbolik. Kekerasan berbasis gender dipandang bukan
sebagai insiden individual, tetapi sebagai manifestasi struktural dari
kekuasaan patriarkal yang dilegitimasi secara sosial dan kultural.6
Feminis seperti Andrea Dworkin dan Susan Brownmiller menggarisbawahi bahwa
pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan rumah tangga merupakan bagian
dari “politik ketakutan” yang digunakan untuk mengontrol tubuh dan
perilaku perempuan di ruang publik dan privat.7
6.6.
Agama dan Legitimasi
Kultural
Banyak feminis juga
mengkritik peran agama dalam mempertahankan sistem patriarki, terutama dalam
hal doktrin yang menjustifikasi subordinasi perempuan dan menegaskan peran gender
yang kaku. Namun demikian, aliran feminisme teologis juga tumbuh, dengan upaya
mereinterpretasi teks-teks suci untuk mengangkat suara dan agensi perempuan
dalam tradisi keagamaan masing-masing.8 Kritik
feminis terhadap agama tidak selalu bersifat antireligius, melainkan bersifat
hermeneutik dan emansipatoris.
Secara keseluruhan,
kritik feminis terhadap sistem sosial dan politik patriarkal merupakan upaya
untuk mendekonstruksi tatanan yang tidak adil dan menegakkan prinsip
kesetaraan, keadilan, serta pengakuan terhadap keragaman pengalaman manusia.
Kritik ini tidak hanya bersifat destruktif terhadap status quo, tetapi juga
produktif dalam menawarkan alternatif bentuk kehidupan sosial yang lebih etis
dan inklusif.
Footnotes
[1]
Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist
Revolution (New York: Morrow, 1970), 31–49.
[2]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 161–176.
[3]
Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards
a More Progressive Union,” in Women and Revolution, ed. Lydia Sargent
(Boston: South End Press, 1981), 1–42.
[4]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 100–126.
[5]
Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen
16, no. 3 (1975): 6–18.
[6]
Elizabeth Arveda Kissling, “Feminist Perspectives on Rape,” in Encyclopedia
of Rape, ed. Merril D. Smith (Westport: Greenwood Press, 2004), 85–88.
[7]
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women, and Rape (New
York: Simon & Schuster, 1975), 15–18; Andrea Dworkin, Intercourse
(New York: Free Press, 1987), 111–129.
[8]
Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist
Theology (Boston: Beacon Press, 1983), 11–27.
7.
Feminisme dan Transformasi Sosial
Feminisme, lebih
dari sekadar kritik terhadap ketimpangan gender, merupakan kekuatan
transformatif yang telah mendorong perubahan sosial yang signifikan dalam
berbagai bidang kehidupan. Berbekal teori, aktivisme, dan praksis politik,
feminisme telah menjadi gerakan global yang memperjuangkan keadilan sosial
lintas kelas, ras, orientasi seksual, dan identitas gender. Pengaruhnya meluas
ke ranah hukum, pendidikan, kebijakan publik, budaya populer, dan bahkan cara
masyarakat memahami relasi kekuasaan dan identitas.
7.1.
Reformasi Hukum dan
Kebijakan Publik
Salah satu
kontribusi nyata feminisme terhadap transformasi sosial adalah dalam bidang
hukum dan kebijakan. Berkat perjuangan feminis, banyak negara mulai mengadopsi
kebijakan kesetaraan gender, melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin,
dan mengkriminalisasi kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga dan pelecehan seksual di tempat kerja.1
Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh gerakan feminisme liberal dan feminisme
hukum, yang menuntut negara untuk mengakui hak-hak perempuan sebagai bagian
dari hak asasi manusia universal.
Contoh penting
adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW),
yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1979, dan kini menjadi dasar hukum
internasional untuk penghapusan diskriminasi gender.2
7.2.
Pendidikan dan
Pemberdayaan Perempuan
Feminisme juga telah
mengubah cara pendidikan dipahami dan diakses oleh perempuan. Gerakan feminis
mendorong terbukanya akses yang lebih luas bagi perempuan dalam pendidikan
formal, sekaligus merevisi kurikulum agar lebih inklusif terhadap sejarah,
kontribusi, dan pengalaman perempuan yang sebelumnya diabaikan.3
Lebih jauh,
pendidikan feminis mempromosikan metode pedagogi kritis yang mendorong peserta
didik untuk mempertanyakan norma gender dan struktur kekuasaan. Tokoh seperti
bell hooks menekankan pentingnya pendidikan sebagai ruang emansipasi dan
pembebasan, bukan sekadar reproduksi ideologi dominan.4
7.3.
Budaya Populer dan
Representasi Sosial
Di bidang budaya dan
media, feminisme telah memainkan peran kunci dalam mendorong representasi
perempuan yang lebih beragam, kuat, dan autentik. Perempuan tidak lagi hanya
ditampilkan sebagai objek pasif atau simbol seksualitas, tetapi juga sebagai
subjek aktif dalam narasi sosial—sebagai pemimpin, pekerja, seniman, ilmuwan,
dan pengambil keputusan.5
Kritik feminis
terhadap budaya populer telah menghasilkan gerakan dan karya seni yang
menantang stereotip gender serta membuka ruang ekspresi bagi komunitas yang
terpinggirkan, termasuk perempuan kulit berwarna, penyintas kekerasan, dan
individu non-biner.
7.4.
Pengaruh Terhadap
Teori Sosial dan Ilmu Pengetahuan
Feminisme juga telah
mendorong revolusi epistemologis dalam ilmu sosial dan humaniora. Para pemikir
feminis seperti Donna Haraway dan Sandra Harding memperkenalkan epistemologi
feminis, yang mengkritik klaim objektivitas ilmiah yang maskulin dan
mendekonstruksi relasi kuasa dalam produksi pengetahuan.6
Dalam kerangka ini,
pengetahuan tidak dianggap netral, tetapi selalu dibentuk oleh posisi sosial
dan relasi kekuasaan. Pendekatan ini membuka ruang bagi pluralisme epistemik
dan validasi terhadap pengalaman perempuan serta kelompok-kelompok marjinal
lainnya sebagai sumber pengetahuan yang sah.
7.5.
Gerakan Sosial dan
Keadilan Global
Feminisme
kontemporer berperan penting dalam mengembangkan wacana dan praktik gerakan
sosial lintas isu. Feminisme interseksional, misalnya, telah membangun jembatan
antara gerakan keadilan rasial, keadilan iklim, dan gerakan queer dengan agenda
kesetaraan gender, sehingga memperluas cakupan dan kedalaman perjuangan feminis
di tingkat global.7
Gerakan #MeToo,
sebagai contoh, tidak hanya mengungkap kasus kekerasan seksual di tempat kerja,
tetapi juga membuka diskusi tentang kekuasaan, ketakutan, dan budaya impunitas
yang menindas perempuan di berbagai belahan dunia.8
Dengan demikian,
feminisme bukan hanya teori kritik, tetapi juga proyek etis dan politik yang
aktif membentuk masa depan sosial yang lebih setara. Melalui intervensi di
bidang hukum, pendidikan, budaya, dan ilmu pengetahuan, feminisme telah dan
terus menjadi kekuatan pendorong bagi transformasi sosial yang mendalam,
berkelanjutan, dan multidimensional.
Footnotes
[1]
Catharine A. MacKinnon, Sexual Harassment of Working Women: A Case
of Sex Discrimination (New Haven: Yale University Press, 1979), 3–12.
[2]
United Nations, Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (New York: UN General Assembly, 1979), https://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/.
[3]
Jane Roland Martin, Reclaiming a Conversation: The Ideal of the
Educated Woman (New Haven: Yale University Press, 1985), 27–45.
[4]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of
Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–25.
[5]
Susan J. Douglas, Where the Girls Are: Growing Up Female with the
Mass Media (New York: Times Books, 1994), 29–41.
[6]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism
and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3
(1988): 575–599.
[7]
Angela Davis, Freedom Is a Constant Struggle: Ferguson, Palestine,
and the Foundations of a Movement (Chicago: Haymarket Books, 2016), 52–63.
[8]
Tarana Burke and Brené Brown, “You Are Your Best Thing,” in You Are
Your Best Thing: Vulnerability, Shame Resilience, and the Black Experience,
ed. Tarana Burke and Brené Brown (New York: Random House, 2021), 3–15.
8.
Kritik terhadap Feminisme dari Dalam dan Luar
Seiring dengan
perkembangan dan pengaruhnya yang semakin meluas dalam wacana sosial-politik
global, feminisme tidak luput dari berbagai kritik—baik yang berasal dari dalam
tubuh gerakan itu sendiri (internal), maupun dari pihak-pihak yang menolak
asumsi-asumsi dasar feminisme (eksternal). Kritik ini bersifat penting, karena
tidak hanya merefleksikan ketegangan teoritis dan praksis di dalam feminisme,
tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan pendekatan yang lebih inklusif,
interseksional, dan kontekstual.
8.1.
Kritik Internal:
Fragmentasi dan Keterbatasan Representasi
Kritik dari dalam
feminisme sendiri sebagian besar berangkat dari kesadaran bahwa feminisme arus
utama (mainstream feminism), terutama yang berkembang di Barat, cenderung
mewakili suara perempuan kulit putih, kelas menengah, heteroseksual, dan
berpendidikan tinggi. Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Chandra
Talpade Mohanty mengecam homogenisasi perempuan sebagai subjek
universal yang diasumsikan memiliki pengalaman dan kepentingan yang sama,
padahal kenyataannya terdapat keragaman identitas dan struktur penindasan yang
saling bersilangan.1
Mohanty, dalam
esainya Under
Western Eyes, mengkritik feminisme Barat yang sering mereduksi
perempuan Dunia Ketiga sebagai pasif, terbelakang, dan menunggu diselamatkan,
alih-alih melihat mereka sebagai agen perubahan dengan konteks dan strategi
yang khas.2 Kritik ini menjadi titik
awal berkembangnya feminisme poskolonial dan interseksional
yang menuntut perluasan kerangka analisis untuk mengakomodasi pengalaman
perempuan yang termarjinalkan oleh sistem ganda: patriarki lokal dan
imperialisme global.
8.2.
Kritik terhadap
Esensialisme Gender
Feminisme juga
dikritik dari dalam karena cenderung bersandar pada pandangan esensialis
mengenai "perempuan", yang mengandaikan keberadaan identitas
tetap dan seragam bagi semua perempuan. Judith Butler, dalam Gender Trouble,
menolak esensialisme gender dan memperkenalkan konsep gender
performativity, yaitu bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial
yang diproduksi dan direproduksi melalui praktik dan wacana.3
Pendekatan ini
memicu debat serius dalam komunitas feminis, karena mempertanyakan kategori “perempuan”
itu sendiri sebagai basis politik kolektif. Meskipun menuai kritik dari feminis
yang khawatir akan kehilangan landasan politis untuk gerakan perempuan, teori
ini juga membuka ruang bagi inklusi identitas gender non-biner dan memperluas
cakupan perjuangan feminisme.
8.3.
Kritik Eksternal:
Pandangan Konservatif dan Anti-Feminis
Dari luar gerakan,
feminisme sering menjadi sasaran kritik dari kelompok konservatif, religius,
atau ideologis yang menilai feminisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai
tradisional, stabilitas keluarga, atau tatanan sosial. Dalam pandangan ini,
feminisme dianggap mendorong dekadensi moral, memperburuk relasi antara
laki-laki dan perempuan, dan mengganggu struktur peran gender yang “alami.”4
Beberapa kritik
bahkan menyebut feminisme sebagai bentuk radikalisme ideologis yang memusuhi
laki-laki (misandri)
dan memaksakan kesetaraan secara tidak realistis. Dalam konteks ini, muncul
pula gerakan men’s rights activism (MRA)
yang mengeklaim bahwa laki-laki kini menjadi korban dari “feminisme ekstrem,”
terutama dalam isu-isu seperti hak asuh anak, hukum kekerasan dalam rumah
tangga, dan representasi media.5 Meskipun banyak kritik ini
bersifat reaktif dan cenderung mempertahankan status quo patriarkal, mereka
tetap menunjukkan tantangan sosial terhadap penerimaan nilai-nilai feminisme di
berbagai masyarakat.
8.4.
Kritik terhadap
Kooptasi Neoliberal
Kritik kontemporer
juga datang dari feminis progresif yang menentang kooptasi nilai-nilai
feminisme oleh sistem neoliberalisme. Dalam konteks ini, feminisme dilihat
telah direduksi menjadi retorika empowerment individu (terutama dalam dunia
kerja dan konsumsi), yang justru mengabaikan struktur ketimpangan sistemik. Nancy
Fraser memperingatkan bahwa feminisme liberal telah
terintegrasi secara problematik ke dalam agenda neoliberal, di mana emansipasi
perempuan disamakan dengan keberhasilan individu dalam pasar bebas, bukan
transformasi kolektif yang mendasar.6
Feminisme jenis ini,
yang disebut “femokrasi” atau feminisme
korporat, dinilai hanya menciptakan elit perempuan baru tanpa
menyentuh akar ketidakadilan sosial-ekonomi yang lebih luas.
8.5.
Ketegangan antara
Identitas dan Solidaritas Politik
Kritik lain berfokus
pada kesulitan membangun solidaritas politik dalam konteks feminisme yang
semakin terfragmentasi oleh identitas. Pendekatan interseksional memang
memperluas basis perjuangan, namun juga menimbulkan tantangan dalam membangun
agenda bersama. Ketegangan antara kebutuhan untuk mengakui perbedaan dan
kebutuhan untuk menyatukan kekuatan dalam proyek politik bersama menjadi dilema
strategis yang dihadapi feminisme kontemporer.7
Dengan demikian,
kritik terhadap feminisme—baik dari dalam maupun luar—mencerminkan dinamika
dialektis dalam perkembangan teori dan praksis feminis. Kritik ini bukan semata
pelemahan, melainkan juga peluang untuk merefleksi, merumuskan ulang, dan
memperluas agenda feminisme agar tetap relevan, inklusif, dan responsif
terhadap kompleksitas sosial di dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center, 2nd ed.
(New York: Routledge, 2000), 1–6.
[2]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 3–5.
[4]
Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism? How Women Have Betrayed
Women (New York: Simon & Schuster, 1994), 14–29.
[5]
Michael Kimmel, Angry White Men: American Masculinity at the End of
an Era (New York: Nation Books, 2013), 139–148.
[6]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism
to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 209–224.
[7]
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 56–63.
9.
Interseksi Feminisme dengan Wacana
Sosial-Politik Lain
Feminisme, sebagai
gerakan intelektual dan sosial, tidak berkembang dalam ruang hampa. Sejak awal
kemunculannya, feminisme telah berinteraksi, berbenturan, dan berdialog dengan
berbagai wacana sosial-politik lain seperti Marxisme, anarkisme,
postkolonialisme, teori kritis, hingga gerakan lingkungan dan queer theory.
Interseksi ini tidak hanya memperkaya analisis feminis, tetapi juga mendorong
pembentukan strategi perjuangan yang lebih holistik dan responsif terhadap
kompleksitas penindasan struktural.
9.1.
Feminisme dan
Marxisme
Feminisme dan
Marxisme memiliki sejarah panjang dalam saling mempengaruhi dan mengkritik.
Keduanya sama-sama mengkritik sistem ketimpangan struktural, namun memiliki
titik tekan yang berbeda. Marxisme melihat eksploitasi ekonomi sebagai akar
utama penindasan, sedangkan feminisme menekankan dimensi gender sebagai
struktur kuasa yang berdiri sendiri. Dalam karya The Origin of the Family, Private Property and
the State, Engels menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan
bermula dari munculnya hak milik pribadi dan keluarga patriarkal yang
mengukuhkan subordinasi perempuan.1
Namun, feminis
seperti Heidi Hartmann mengkritik
pendekatan Marxis yang sering menempatkan isu gender sebagai “tambahan”
dalam perjuangan kelas. Hartmann menyebut hubungan antara Marxisme dan
feminisme sebagai “pernikahan yang tidak bahagia,” dan menyerukan
pendekatan teori yang menyatukan kritik terhadap kapitalisme dan patriarki
secara setara.2
9.2.
Feminisme dan
Anarkisme
Feminisme dan
anarkisme sama-sama menentang struktur hierarkis dan otoritarianisme, serta
mempromosikan kebebasan individu dan solidaritas sosial. Anarkis feminis
seperti Emma Goldman menolak baik
negara maupun institusi patriarki sebagai alat dominasi terhadap perempuan.
Goldman dalam tulisannya menyoroti bahwa pembebasan perempuan tidak dapat
dicapai melalui reformasi hukum semata, melainkan melalui perubahan radikal
dalam relasi sosial dan kebebasan atas tubuh sendiri.3
Feminisme anarkis
kontemporer juga berkontribusi dalam gerakan akar rumput yang non-hirarkis,
seperti dalam praktik kolektif komunitas queer, ekofeminisme, dan aktivisme
digital.
9.3.
Feminisme dan
Postkolonialisme
Feminisme
postkolonial muncul sebagai respons terhadap dominasi wacana feminis Barat yang
dianggap gagal menangkap pengalaman perempuan di Dunia Ketiga. Tokoh seperti Gayatri
Chakravorty Spivak dan Chandra Talpade Mohanty
menyoroti bagaimana feminisme Barat sering mereproduksi pola kolonial dalam
mendefinisikan perempuan non-Barat sebagai “lain” yang perlu diselamatkan.4
Dalam perspektif
ini, feminisme postkolonial mengkritik relasi kuasa dalam wacana global dan
menyerukan perlunya mengakui agensi perempuan dari dunia pascakolonial, serta
mempertimbangkan faktor lokal seperti budaya, agama, dan sejarah kolonial dalam
analisis gender. Pendekatan ini memperluas cakupan feminisme agar tidak
bersifat universalistik, melainkan lebih kontekstual dan pluralistik.
9.4.
Feminisme dan Teori
Kritis
Feminisme juga
menjalin hubungan erat dengan teori kritis—khususnya yang
berkembang dalam tradisi Sekolah Frankfurt. Teori kritis berupaya mengungkap
bentuk-bentuk dominasi ideologis dalam masyarakat modern kapitalistik, termasuk
dalam dimensi budaya, bahasa, dan struktur kepribadian. Feminis seperti Nancy
Fraser memperkaya teori kritis dengan memasukkan analisis
gender secara sistematis, dan mengkritik teori kritis klasik karena abai
terhadap pengalaman perempuan dan relasi gender.5
Fraser mengembangkan
kerangka “keadilan dua dimensi” yang menggabungkan redistribusi ekonomi
(ekuitas kelas) dan pengakuan kultural (identitas gender dan ras) sebagai pilar
keadilan sosial kontemporer.6
9.5.
Feminisme dan
Gerakan Lingkungan (Ekofeminisme)
Ekofeminisme
menyatukan perhatian terhadap ketimpangan gender dan degradasi lingkungan,
dengan berargumen bahwa logika dominasi patriarkal terhadap perempuan berkaitan
erat dengan dominasi terhadap alam. Vandana Shiva menekankan bahwa
praktik kolonialisme dan kapitalisme global tidak hanya merusak lingkungan,
tetapi juga menghancurkan sistem pengetahuan lokal dan peran perempuan sebagai
penjaga keberlanjutan ekologis.7
Ekofeminisme
berkontribusi dalam pengembangan etika lingkungan yang berakar pada nilai-nilai
relasional, komunitas, dan keberlanjutan, sebagai alternatif dari logika
eksploitatif dan maskulin dalam modernitas industri.
9.6.
Feminisme dan Teori
Queer
Feminisme
kontemporer semakin memperkuat interseksi dengan teori
queer, yang mengkritik norma-norma gender dan seksualitas
heteronormatif. Pemikiran Judith Butler mengenai gender performativity membuka ruang
bagi dekonstruksi identitas gender sebagai kategori tetap dan esensial, dan
menunjukkan bahwa struktur sosial menciptakan batas-batas terhadap ekspresi
tubuh dan seksualitas.8
Aliansi antara
feminisme dan teori queer telah memperluas gerakan keadilan sosial menjadi
lebih inklusif terhadap identitas non-biner, transgender, dan bentuk ekspresi
gender lainnya yang selama ini dimarginalkan dalam sistem patriarkal maupun
dalam feminisme arus utama.
Secara keseluruhan,
interseksi feminisme dengan wacana-wacana sosial-politik lain menunjukkan
fleksibilitas dan daya kritis feminisme sebagai alat analisis sosial. Alih-alih
menjadi gerakan tertutup dan dogmatis, feminisme kontemporer justru tumbuh
melalui dialog lintas wacana—memperkuat kapasitasnya dalam memahami dan
menantang struktur ketimpangan yang kompleks dan saling berkelindan dalam
masyarakat global.
Footnotes
[1]
Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and
the State, trans. Ernest Untermann (New York: Pathfinder Press, 1972),
43–58.
[2]
Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards
a More Progressive Union,” in Women and Revolution, ed. Lydia Sargent
(Boston: South End Press, 1981), 1–42.
[3]
Emma Goldman, Anarchism and Other Essays (New York: Mother
Earth Publishing Association, 1910), 151–168.
[4]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[5]
Nancy Fraser, Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in
Contemporary Social Theory (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1989), 1–5.
[6]
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 7–13.
[7]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1989), 2–10.
[8]
Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of
“Sex” (New York: Routledge, 1993), 1–10.
10.
Relevansi Feminisme di Abad ke-21
Memasuki abad ke-21,
feminisme tetap menjadi kekuatan intelektual dan politik yang relevan dalam
merespons dinamika sosial global. Meski sering dinyatakan telah “usang”
atau “usai” dalam beberapa narasi pascafeminisme, kenyataannya berbagai
ketimpangan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan, eksklusi politik,
dan krisis multidimensi justru menegaskan pentingnya keberadaan feminisme
sebagai gerakan transformatif yang progresif dan lintas isu.
10.1.
Respons terhadap
Ketimpangan Global dan Kapitalisme Neoliberal
Feminisme abad ke-21
semakin terlibat dalam kritik terhadap kapitalisme global yang memperdalam
ketimpangan gender dan kelas. Nancy Fraser mengkritik kooptasi
nilai-nilai feminis oleh neoliberalisme yang memanfaatkan retorika “pemberdayaan
perempuan” untuk melanggengkan logika pasar bebas dan individualisme
kompetitif, sementara mengabaikan keadilan struktural yang sebenarnya menjadi
inti feminisme.1
Di tengah dominasi
kapitalisme digital dan ekonomi gig, banyak perempuan menghadapi eksploitasi
baru dalam bentuk ketidakamanan kerja, upah rendah, dan beban kerja domestik
yang tetap tidak dibayar. Feminisme kontemporer mendorong pendekatan interseksi
antara ekonomi politik dan keadilan gender sebagai bentuk kritik terhadap
struktur ekonomi global yang eksploitatif.
10.2.
Gerakan Global dan
Solidaritas Transnasional
Gerakan feminis kini
tidak lagi bersifat lokal atau nasional semata, melainkan menjelma menjadi gerakan
transnasional
yang menghubungkan perjuangan perempuan dari berbagai wilayah dunia. Kampanye
seperti #MeToo, Ni Una
Menos (Argentina), Women’s March (Amerika
Serikat), hingga perlawanan perempuan Palestina dan Iran menunjukkan bagaimana
feminisme mampu menjadi platform solidaritas lintas budaya, ras, dan agama
dalam menghadapi kekerasan struktural.2
Solidaritas global
ini memperlihatkan bahwa meskipun konteks lokal berbeda, terdapat benang merah
berupa penolakan terhadap penindasan gender, militerisme, rasisme, dan
kolonialisme budaya yang dapat disuarakan secara kolektif.
10.3.
Perkembangan
Feminisme Digital dan Media Sosial
Era digital turut
memengaruhi cara feminisme dijalankan, disebarkan, dan dimobilisasi. Feminisme
digital memanfaatkan media sosial sebagai ruang publik alternatif untuk
menyuarakan pengalaman perempuan, membongkar kekerasan gender, serta
menyebarluaskan pendidikan kritis tentang gender dan seksualitas.3
Gerakan seperti #MeToo
dan #WhyIStayed
memperlihatkan bagaimana narasi pribadi dapat menjadi kekuatan politik kolektif
dalam menantang budaya patriarkal dan impunitas terhadap pelaku kekerasan.
Namun, feminisme digital juga menghadapi tantangan seperti cyberbullying,
misogini daring, dan kontrol platform teknologi oleh korporasi besar.
10.4.
Isu Identitas,
Gender Non-Biner, dan Inklusi LGBTQ+
Feminisme abad ke-21
semakin terbuka terhadap isu-isu identitas non-biner dan inklusi komunitas
LGBTQ+. Pemikiran seperti Judith Butler yang menekankan gender
performativity telah memengaruhi pemahaman feminisme untuk
melampaui kategori “perempuan” secara esensial, dan bergerak ke arah pengakuan
identitas yang cair dan plural.4
Perdebatan seputar
ruang aman (safe spaces), hak identitas transgender, dan bahasa inklusif
memperluas cakupan perjuangan feminis ke arah lebih inklusif, meskipun masih
memicu ketegangan internal antara feminis radikal gender-critical dan feminis
queer.
10.5.
Feminisme dan Krisis
Iklim Global
Feminisme juga
terlibat dalam aktivisme iklim dan ekologi, khususnya melalui ekofeminisme,
yang menghubungkan ketimpangan gender dengan krisis ekologis. Tokoh seperti Vandana
Shiva menekankan bahwa perempuan, terutama di wilayah global
selatan, berada di garis depan dalam menghadapi dampak kerusakan lingkungan
seperti perubahan iklim, degradasi tanah, dan kelangkaan air.5
Feminisme ekologis
mendorong paradigma pembangunan yang berkelanjutan, berbasis komunitas, dan
adil gender sebagai alternatif dari model pembangunan eksploitatif yang
didorong oleh kapitalisme patriarkal.
10.6.
Peran Strategis dalam
Kebijakan dan Ruang Publik
Di banyak negara,
feminisme telah berkontribusi pada penyusunan kebijakan publik yang lebih
sensitif gender, baik melalui kuota politik, anggaran responsif gender,
perlindungan hukum terhadap kekerasan berbasis gender, maupun program
pemberdayaan perempuan. Meski masih menghadapi resistensi, keterlibatan feminis
dalam birokrasi, parlemen, dan sektor swasta menunjukkan bahwa perubahan sosial
juga dapat dijalankan melalui jalur institusional.6
Dengan demikian,
feminisme di abad ke-21 bukanlah gerakan yang stagnan, melainkan sebuah proyek
sosial yang terus berkembang secara teoritis dan praksis. Relevansinya tidak
hanya terlihat dalam perjuangan perempuan, tetapi juga dalam agenda-agenda
besar kemanusiaan seperti keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, kebebasan
identitas, dan demokrasi radikal. Di tengah berbagai tantangan global—mulai
dari fundamentalisme, neoliberalisme, hingga krisis iklim—feminisme tetap
menjadi pilar etis dan politis dalam membangun masyarakat yang lebih adil,
setara, dan inklusif.
Footnotes
[1]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism
to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 210–225.
[2]
Cecilia Menjívar, “Violence Against Women and the Limitations of the
Law: Gender, Immigration, and Structural Violence,” Sociology Compass
10, no. 4 (2016): 373–383.
[3]
Kaitlynn Mendes, Jessica Ringrose, and Jessalynn Keller, Digital
Feminist Activism: Girls and Women Fight Back Against Rape Culture
(Oxford: Oxford University Press, 2019), 1–20.
[4]
Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004),
1–15.
[5]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1989), 38–44.
[6]
Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Clarendon
Press, 1995), 57–72.
11.
Penutup
Feminisme telah
membuktikan dirinya sebagai salah satu aliran paling dinamis dan berpengaruh
dalam wacana filsafat sosial-politik modern. Dari akar-akar historisnya yang
menantang subordinasi perempuan dalam masyarakat patriarkal hingga transformasi
kontemporernya sebagai gerakan lintas identitas dan isu, feminisme tidak pernah
berhenti beradaptasi, merefleksi, dan mengartikulasikan ulang misinya demi
menjawab tantangan zaman.
Sebagaimana
ditunjukkan dalam berbagai aliran dan tokoh kunci feminisme, perjuangan ini
tidak hanya bertujuan membebaskan perempuan dari diskriminasi, tetapi juga
mengusulkan paradigma baru mengenai relasi sosial, kekuasaan, tubuh, dan
identitas. Feminisme mengkritisi tidak hanya norma gender, tetapi juga struktur
sosial-ekonomi, sistem hukum, wacana ilmu pengetahuan, dan ideologi budaya yang
menopang ketimpangan.1 Oleh karena itu, feminisme bukan sekadar
gerakan perempuan, melainkan gerakan untuk keadilan sosial yang bersifat
universal, inklusif, dan transformatif.
Di abad ke-21,
feminisme semakin menunjukkan relevansinya dalam merespons krisis global
seperti kapitalisme neoliberal, krisis iklim, kekerasan berbasis gender,
fundamentalisme agama, dan eksklusi digital. Gerakan ini tidak hanya muncul
dalam bentuk teori akademik, tetapi juga melalui aksi kolektif dan digital,
gerakan akar rumput, serta advokasi hukum dan kebijakan publik. Feminisme
digital, feminisme transnasional, dan interseksionalitas menjadi wajah baru
perjuangan feminis di era global yang kompleks dan penuh tantangan.2
Namun demikian,
feminisme juga tidak luput dari kritik, baik dari luar maupun dalam. Ketegangan
antara universalitas dan partikularitas, antara teori dan praksis, serta antara
kategori politik “perempuan” dengan identitas gender yang cair, terus mendorong
feminisme untuk memperluas cakrawala intelektual dan basis perjuangannya.
Kritik internal ini bukan pelemahan, tetapi justru menjadi sumber vitalisasi
dan penyempurnaan teori dan strategi feminis agar tetap relevan, adil, dan
adaptif.3
Dalam konteks inilah
feminisme mesti dipahami sebagai suatu proses yang terus bergerak—a work
in progress—yang memerlukan pembaruan, dialog, dan keterbukaan
terhadap perbedaan. Ia bukan ideologi kaku, melainkan praksis kritis yang
mendorong dunia yang lebih inklusif dan etis. Sebagaimana dinyatakan oleh bell
hooks, feminisme bukan hanya tentang perempuan mencapai posisi
laki-laki dalam sistem yang ada, tetapi tentang membongkar sistem tersebut dan
membangun dunia baru berdasarkan cinta, kebebasan, dan keadilan.4
Dengan refleksi ini,
feminisme tetap menjadi pilar penting dalam pemikiran sosial-politik
kontemporer dan masa depan. Ia menawarkan tidak hanya kritik terhadap tatanan
yang ada, tetapi juga visi alternatif tentang dunia yang lebih setara dan
manusiawi—suatu impian radikal yang terus diperjuangkan, direfleksikan, dan
diwujudkan dalam tindakan kolektif lintas generasi, wilayah, dan pengalaman.
Footnotes
[1]
Nancy Fraser, Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in
Contemporary Social Theory (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1989), 13–26.
[2]
Kaitlynn Mendes, Jessica Ringrose, and Jessalynn Keller, Digital
Feminist Activism: Girls and Women Fight Back Against Rape Culture
(Oxford: Oxford University Press, 2019), 85–102.
[3]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 151–163.
[4]
bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics
(New York: Routledge, 2000), 1–7.
Daftar Pustaka
Beauvoir, S. de. (2011). The
second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1949)
Brownmiller, S. (1975). Against
our will: Men, women, and rape. Simon & Schuster.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (1993). Bodies
that matter: On the discursive limits of “sex”. Routledge.
Butler, J. (2004). Undoing
gender. Routledge.
Crenshaw, K. (1989).
Demarginalizing the intersection of race and sex. University of Chicago
Legal Forum, 1989(1), 139–167.
Crenshaw, K. (1991).
Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against
women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299.
Davis, A. (2016). Freedom
is a constant struggle: Ferguson, Palestine, and the foundations of a movement.
Haymarket Books.
Douglas, S. J. (1994). Where
the girls are: Growing up female with the mass media. Times Books.
Dworkin, A. (1987). Intercourse.
Free Press.
Engels, F. (1972). The
origin of the family, private property and the state (E. Untermann, Trans.).
Pathfinder Press. (Original work published 1884)
Federici, S. (2004). Caliban
and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Firestone, S. (1970). The
dialectic of sex: The case for feminist revolution. Morrow.
Fraser, N. (1989). Unruly
practices: Power, discourse and gender in contemporary social theory.
University of Minnesota Press.
Fraser, N. (2013). Fortunes
of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.
Fraser, N., & Honneth,
A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical
exchange. Verso.
Friedan, B. (1963). The
feminine mystique. W. W. Norton.
Goldman, E. (1910). Anarchism
and other essays. Mother Earth Publishing Association.
Haraway, D. (1988).
Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of
partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.
Hartmann, H. (1981). The
unhappy marriage of Marxism and feminism: Towards a more progressive union. In
L. Sargent (Ed.), Women and revolution (pp. 1–42). South End Press.
hooks, b. (1981). Ain’t
I a woman: Black women and feminism. South End Press.
hooks, b. (2000). Feminist
theory: From margin to center (2nd ed.). Routledge.
hooks, b. (2000). Feminism
is for everybody: Passionate politics. Routledge.
hooks, b. (1994). Teaching
to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.
Kimmel, M. (2013). Angry
white men: American masculinity at the end of an era. Nation Books.
Kissling, E. A. (2004).
Feminist perspectives on rape. In M. D. Smith (Ed.), Encyclopedia of rape
(pp. 85–88). Greenwood Press.
MacKinnon, C. A. (1979). Sexual
harassment of working women: A case of sex discrimination. Yale University
Press.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward
a feminist theory of the state. Harvard University Press.
Martin, J. R. (1985). Reclaiming
a conversation: The ideal of the educated woman. Yale University Press.
Mendes, K., Ringrose, J.,
& Keller, J. (2019). Digital feminist activism: Girls and women fight
back against rape culture. Oxford University Press.
Millett, K. (1970). Sexual
politics. Doubleday.
Mohanty, C. T. (1984).
Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary
2, 12(3), 333–358.
Mulvey, L. (1975). Visual
pleasure and narrative cinema. Screen, 16(3), 6–18.
Offen, K. (2000). European
feminisms, 1700–1950: A political history. Stanford University Press.
Phillips, A. (1995). The
politics of presence. Clarendon Press.
Shiva, V. (1989). Staying
alive: Women, ecology and development. Zed Books.
Sommers, C. H. (1994). Who
stole feminism? How women have betrayed women. Simon & Schuster.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
United Nations. (1979). Convention
on the elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW). https://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/
Vogel, L. (2013). Marxism
and the oppression of women: Toward a unitary theory. Brill.
Walby, S. (1990). Theorizing
patriarchy. Blackwell.
Wollstonecraft, M. (1992). A
vindication of the rights of woman (M. Brody, Ed.). Penguin Books.
(Original work published 1792)
Young, I. M. (1990). Justice
and the politics of difference. Princeton University Press.
Young, I. M. (2000). Inclusion
and democracy. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar