Apa Tujuan Akhir Kehidupan Manusia? – Sebuah Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Pertanyaan mengenai tujuan akhir
kehidupan manusia telah menjadi inti dari berbagai tradisi filsafat, agama, dan
ilmu pengetahuan sepanjang sejarah. Ini adalah salah satu pertanyaan mendasar
yang memotivasi pencarian manusia untuk memahami eksistensinya di dunia. Apakah
manusia hidup untuk mencapai kebahagiaan, kebijaksanaan, kebajikan moral, atau
bahkan melampaui semua itu menuju realitas transendental? Pertanyaan ini tidak
hanya melibatkan refleksi mendalam, tetapi juga memandu manusia dalam membuat
keputusan sehari-hari dan membentuk peradaban.
Dalam filsafat, Aristoteles
menyatakan bahwa semua tindakan manusia diarahkan pada suatu telos
(tujuan akhir), yang ia identifikasi sebagai kebahagiaan atau eudaimonia—keadaan
kebajikan dan pemenuhan tertinggi. Sementara itu, Immanuel Kant menekankan
pentingnya moralitas sebagai tujuan akhir kehidupan, yang memungkinkan manusia
menjadi anggota "kerajaan tujuan" (kingdom of ends). Filsuf
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, di sisi lain,
berpendapat bahwa kehidupan tidak memiliki tujuan yang inheren, sehingga
manusia sendiri yang harus menciptakan makna melalui kebebasan dan keberanian
eksistensial.
Dalam agama, terutama tradisi
monoteistik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, tujuan akhir kehidupan sering
kali dikaitkan dengan kehendak Tuhan dan kehidupan setelah mati. Islam,
misalnya, menempatkan kebahagiaan abadi di akhirat (sa'adah ukhrawiyah)
sebagai tujuan utama, dicapai melalui kepatuhan kepada Allah dan amal saleh.
Tradisi Timur seperti Hinduisme dan Buddhisme, sebaliknya, melihat tujuan akhir
kehidupan sebagai pembebasan dari siklus kelahiran kembali (samsara) dan
pencapaian kondisi pencerahan (moksha atau nirvana).
Sains, meskipun tidak secara
eksplisit menangani pertanyaan metafisik ini, menawarkan perspektif yang
melengkapi pandangan-pandangan filosofis dan religius. Para ilmuwan seperti
Richard Dawkins menjelaskan bahwa secara biologis, tujuan hidup manusia dapat
dipahami sebagai kelangsungan genetik. Namun, humanisme sekuler melihat tujuan
hidup tidak hanya terbatas pada aspek biologis, tetapi juga pada pencapaian
potensi penuh manusia dan kontribusi terhadap masyarakat.
Pendahuluan ini menegaskan bahwa
pertanyaan tentang tujuan akhir kehidupan tidak hanya bersifat teoretis tetapi
juga praktis. Ini melibatkan refleksi tentang nilai, moralitas, makna, dan
keberlanjutan eksistensi manusia di dunia yang terus berubah. Artikel ini akan
mengeksplorasi berbagai pendekatan —filsafat, agama, dan sains— untuk
memberikan pandangan yang mendalam dan holistik tentang pertanyaan ini.
---
Daftar Referensi
-
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W. D. Ross, Oxford University Press, 1925.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
-
Dawkins, Richard. The Selfish
Gene. Oxford University Press, 1976.
-
Nasr, Seyyed Hossein. The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne, 2002.
-
Radhakrishnan, Sarvepalli. Indian
Philosophy Volume 1. Oxford University Press, 1923.
-
Harvey, Peter. Introduction to
Buddhism. Cambridge University Press, 1990.
---
2.
Definisi dan Ruang Lingkup
2.1.
Definisi
"Tujuan Akhir"
"Tujuan akhir"
dalam konteks filsafat dan refleksi manusia merujuk pada telos, yaitu
arah, maksud, atau hasil tertinggi yang diupayakan oleh individu atau kolektif
dalam kehidupan. Konsep ini tidak hanya berkaitan dengan tujuan sementara atau
praktis, tetapi dengan pencarian akan makna eksistensial yang mencakup seluruh
dimensi kehidupan manusia, baik secara fisik, intelektual, moral, maupun
spiritual.
Dalam tradisi filsafat,
Aristoteles menyebut tujuan akhir sebagai kebahagiaan (eudaimonia),
yaitu kondisi aktualisasi penuh dari potensi manusia melalui kebajikan moral
dan intelektual. Immanuel Kant mendefinisikannya sebagai keselarasan antara
kebahagiaan dan moralitas, yang hanya dapat tercapai dalam "kerajaan
tujuan" (kingdom of ends) melalui penggunaan rasio murni praktis.
Filsuf modern seperti Martin Heidegger mengarahkan diskusi ini pada pertanyaan
tentang keberadaan itu sendiri (Sein) sebagai inti dari tujuan akhir.
Dalam agama, tujuan akhir
biasanya bersifat transendental. Islam, misalnya, menggambarkan tujuan akhir
sebagai kembali kepada Allah (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un),
dengan kebahagiaan abadi di akhirat sebagai puncaknya. Dalam tradisi Hindu dan
Buddha, tujuan akhir adalah pembebasan dari siklus kelahiran kembali (moksha
atau nirvana), di mana individu mencapai pencerahan yang melampaui dualitas
keberadaan dan non-keberadaan.
2.2.
Ruang
Lingkup Bahasan
Tujuan akhir kehidupan manusia
melibatkan dimensi multidisiplin yang mencakup filsafat, agama, psikologi, dan
sains. Ruang lingkup bahasan ini meliputi:
1)
Dimensi
Ontologis
o
Apakah tujuan akhir kehidupan
bersifat imanen (terletak dalam kehidupan duniawi) atau transenden
(terletak di luar kehidupan duniawi)?
o
Bagaimana keberadaan manusia
menentukan tujuan akhirnya?
2)
Dimensi
Epistemologis
o
Bagaimana manusia mengetahui atau
memahami tujuan akhir hidupnya? Apakah melalui wahyu, rasio, pengalaman, atau
intuisi?
3)
Dimensi
Etis dan Moral
o
Apa peran kebajikan dan moralitas
dalam mencapai tujuan akhir? Apakah moralitas bersifat instrumental atau
inheren dalam pencapaian tujuan tersebut?
4)
Dimensi
Eksistensial
o
Dalam konteks eksistensialisme,
bagaimana individu yang hidup dalam dunia tanpa makna objektif menemukan atau
menciptakan tujuan akhir?
5)
Dimensi
Sosial dan Humanistik
o
Apakah tujuan akhir individu
sejalan dengan tujuan kolektif masyarakat? Bagaimana kontribusi manusia
terhadap kesejahteraan sosial menjadi bagian dari pencapaian tujuan akhir?
6)
Dimensi
Teologis dan Spiritual
o
Bagaimana agama dan spiritualitas
memberikan kerangka kerja yang koheren untuk memahami tujuan akhir?
o
Apa hubungan antara tujuan akhir
dan kepercayaan akan kehidupan setelah mati?
2.3.
Tantangan
dalam Memahami Ruang Lingkup
Ruang lingkup bahasan ini
menghadapi beberapa tantangan, antara lain:
·
Relativisme Tujuan:
Apakah tujuan akhir bersifat universal atau kontekstual, bergantung pada
budaya, agama, atau keyakinan individu?
·
Keterbatasan Pemahaman Manusia:
Apakah manusia dapat sepenuhnya memahami tujuan akhir atau hanya memiliki
gambaran parsial?
·
Konflik antara Pendekatan Sekuler
dan Religius: Bagaimana pendekatan ini dapat diintegrasikan
atau justru bertentangan dalam memahami tujuan akhir?
2.4.
Penutup
untuk Bagian Ini
Pemahaman tentang definisi dan
ruang lingkup tujuan akhir kehidupan manusia menggarisbawahi pentingnya
refleksi mendalam dalam menjawab pertanyaan ini. Tujuan akhir tidak hanya
mencakup pencapaian personal tetapi juga berkontribusi pada tatanan sosial dan
spiritual manusia, sehingga memiliki implikasi yang luas pada cara manusia
menjalani kehidupannya.
---
Daftar Referensi
-
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W. D. Ross, Oxford University Press, 1925.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Heidegger, Martin. Being and
Time. Translated by John Macquarrie & Edward Robinson, Harper &
Row, 1962.
-
Nasr, Seyyed Hossein. The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne, 2002.
-
Radhakrishnan, Sarvepalli. Indian
Philosophy Volume 1. Oxford University Press, 1923.
-
Harvey, Peter. Introduction to
Buddhism. Cambridge University Press, 1990.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
---
3.
Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis terhadap
pertanyaan tentang tujuan akhir kehidupan manusia menawarkan berbagai perspektif
yang mencerminkan keragaman pemikiran sepanjang sejarah. Setiap filsuf, dalam
tradisi mereka masing-masing, telah memberikan penjelasan yang memperkaya
diskusi tentang makna, moralitas, dan tujuan keberadaan manusia. Berikut adalah
pendekatan utama dalam filsafat yang membahas tujuan akhir kehidupan manusia:
3.1.
Pendekatan
Aristotelian: Kebahagiaan sebagai Eudaimonia
Aristoteles, dalam Nicomachean
Ethics, menegaskan bahwa semua tindakan manusia diarahkan pada tujuan
akhir, yaitu kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan dalam pandangan
Aristoteles bukanlah sekadar kenikmatan fisik, tetapi kehidupan yang sesuai
dengan kebajikan (areté) dan akal budi. Menurutnya, manusia mencapai
tujuan akhirnya melalui aktualisasi potensi mereka, terutama kemampuan intelektual
dan moral. Kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai melalui kehidupan yang selaras
dengan rasio dan kebajikan, bukan melalui kepuasan material semata.
3.2.
Pendekatan
Kantian: Moralitas dan Kerajaan Tujuan
Immanuel Kant menawarkan
pendekatan berbeda dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals. Ia
berpendapat bahwa tujuan akhir kehidupan manusia terletak pada keselarasan
antara kebahagiaan dan moralitas. Manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki
kewajiban moral untuk bertindak berdasarkan prinsip universal yang dapat
diterima oleh semua makhluk rasional. Tujuan akhir ini hanya dapat tercapai di
"kerajaan tujuan" (kingdom of ends), suatu tatanan
ideal di mana setiap individu diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri, bukan
sekadar alat untuk mencapai tujuan lain.
3.3.
Pendekatan
Eksistensialis: Kebebasan dan Makna Hidup
Filsuf eksistensialis seperti
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menolak gagasan bahwa kehidupan memiliki
tujuan yang telah ditentukan. Sartre, dalam Existentialism is a Humanism,
menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," artinya
manusia lahir tanpa tujuan yang telah ditentukan dan bertanggung jawab untuk
menciptakan makna hidup mereka sendiri melalui kebebasan dan pilihan. Camus,
dalam The Myth of Sisyphus, menggambarkan perjuangan manusia untuk
menemukan makna dalam kehidupan yang tampak absurd sebagai bentuk pemberontakan
yang memberi makna itu sendiri.
3.4.
Pendekatan
Teleologis: Kesempurnaan sebagai Tujuan
Dalam tradisi skolastik, seperti
yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas, tujuan akhir manusia adalah pencapaian
kesempurnaan yang tertinggi melalui hubungan dengan Tuhan. Dalam Summa
Theologica, Aquinas menyatakan bahwa kebahagiaan sejati manusia hanya dapat
ditemukan dalam penglihatan langsung akan Tuhan (beatific vision).
Perspektif ini menempatkan Tuhan sebagai sumber dan tujuan akhir keberadaan
manusia, menggabungkan unsur filsafat Aristoteles dengan doktrin Kristen.
3.5.
Pendekatan
Heideggerian: Keterlemparan dan Autentisitas
Martin Heidegger, dalam Being
and Time, menyoroti pentingnya memahami keberadaan manusia (Dasein)
dalam konteks keterlemparannya ke dunia. Menurut Heidegger, manusia dapat
mencapai tujuan akhir kehidupannya melalui keberadaan yang autentik, yaitu
dengan menerima kefanaan mereka dan hidup sesuai dengan makna yang mereka
temukan sendiri. Pendekatan ini menekankan individualitas manusia dalam
menghadapi ketidakpastian dan kefanaan.
3.6.
Kritik
terhadap Pendekatan Filosofis Tradisional
Filsuf seperti Friedrich
Nietzsche mengkritik pendekatan tradisional terhadap tujuan akhir kehidupan
sebagai bentuk dogma yang membatasi kebebasan manusia. Dalam Thus Spoke
Zarathustra, Nietzsche memperkenalkan konsep "Übermensch"
(manusia super), yang menyerukan manusia untuk melampaui nilai-nilai moral
tradisional dan menciptakan tujuan mereka sendiri. Nietzsche menolak gagasan
tujuan akhir yang bersifat universal atau transendental, menekankan bahwa
setiap individu harus menciptakan makna dan nilai mereka sendiri dalam
kehidupan.
---
Kesimpulan Bagian Ini
Pendekatan filosofis terhadap tujuan
akhir kehidupan manusia menawarkan spektrum pemikiran yang luas, dari
kebahagiaan (eudaimonia) hingga moralitas, kebebasan, dan autentisitas.
Setiap pendekatan mencerminkan perbedaan pandangan tentang hakikat manusia,
moralitas, dan keberadaan, memberikan wawasan yang berharga untuk memahami
pertanyaan ini secara mendalam.
---
Daftar Referensi
-
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W. D. Ross, Oxford University Press, 1925.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
-
Heidegger, Martin. Being and
Time. Translated by John Macquarrie & Edward Robinson, Harper &
Row, 1962.
-
Aquinas, Thomas. Summa
Theologica. Translated by the Fathers of the English Dominican Province,
Benziger Bros, 1947.
-
Nietzsche, Friedrich. Thus
Spoke Zarathustra. Translated by Walter Kaufmann, Penguin Books, 1978.
---
4.
Pendekatan Agama dan Spiritualitas
Agama dan spiritualitas
memberikan kerangka kerja yang mendalam dalam menjawab pertanyaan tentang
tujuan akhir kehidupan manusia. Berbeda dengan pendekatan filosofis yang sering
bersifat rasional dan spekulatif, agama dan spiritualitas mendasarkan
pemahamannya pada wahyu, tradisi, serta pengalaman transendental. Dalam
kerangka ini, tujuan akhir kehidupan manusia sering kali dikaitkan dengan
hubungan manusia dengan Yang Ilahi, kebahagiaan abadi, dan pencapaian kedamaian
batin.
4.1.
Pendekatan
dalam Agama Monoteistik
Dalam tradisi monoteistik,
seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, tujuan akhir kehidupan manusia difokuskan
pada hubungan dengan Tuhan serta kehidupan setelah kematian.
4.1.1. Islam:
Islam mengajarkan bahwa tujuan
akhir kehidupan adalah untuk beribadah kepada Allah (QS Az-Zariyat [51] ayat
56) dan mencapai kebahagiaan abadi di akhirat (sa'adah ukhrawiyah).
Pencapaian ini tergantung pada kepatuhan kepada perintah Allah, amal saleh, dan
ketulusan hati dalam beribadah. Dalam Islam, kehidupan dunia dipandang sebagai
ujian (imtihan), sementara akhirat adalah tujuan sejati (QS Al-Mulk [67]
ayat 2). Konsep kembali kepada Allah (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un)
menegaskan bahwa keberadaan manusia bermuara pada keabadian di sisi Tuhan.
4.1.2. Kristen:
Dalam Kekristenan, tujuan akhir
kehidupan adalah persatuan dengan Allah dalam kasih abadi. Tradisi Kristen
menekankan keselamatan melalui iman kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat,
sebagaimana dijelaskan dalam Injil Yohanes (3:16). Kehidupan kekal bersama
Tuhan di surga adalah esensi dari tujuan akhir kehidupan manusia, yang dicapai
melalui iman, amal kasih, dan penebusan dosa.
4.1.3. Yahudi:
Yahudi melihat tujuan hidup
sebagai pemenuhan kehendak Tuhan melalui kepatuhan kepada Torah. Kebahagiaan di
dunia ini dan di dunia mendatang bergantung pada hubungan harmonis antara
manusia dan Tuhan, serta antara manusia dengan sesama.
4.2.
Pendekatan
dalam Agama Timur
Agama-agama Timur seperti Hindu,
Buddha, dan Taoisme menawarkan pendekatan yang lebih fokus pada pembebasan
individu dari penderitaan dan siklus kelahiran kembali.
4.2.1. Hindu:
Dalam Hindu, tujuan akhir
kehidupan disebut moksha, yaitu pembebasan dari siklus kelahiran dan
kematian (samsara). Moksha dicapai melalui kesadaran akan identitas
sejati manusia sebagai Atman (jiwa individu) yang tidak terpisah dari Brahman
(jiwa universal). Jalan menuju moksha mencakup berbagai praktik seperti karma
yoga (jalan perbuatan), jnana yoga (jalan pengetahuan), dan bhakti
yoga (jalan pengabdian).
4.2.2. Buddha:
Buddha mengajarkan bahwa tujuan
akhir kehidupan adalah mencapai pencerahan (nirvana), yaitu keadaan
bebas dari penderitaan, nafsu keinginan, dan kebodohan. Nirvana dicapai melalui
Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang mencakup dimensi etis, meditatif, dan
kebijaksanaan. Bagi Buddhisme, penderitaan manusia berasal dari ketidaktahuan
akan sifat sejati realitas (anicca, ketidakkekalan).
4.2.3. Taoisme:
Taoisme memandang tujuan hidup
sebagai pencapaian keselarasan dengan Tao (Jalan), prinsip universal
yang mengatur alam semesta. Dalam Taoisme, kehidupan yang selaras dengan Tao
menghasilkan kedamaian batin dan kebijaksanaan. Tujuan ini dicapai melalui
kehidupan sederhana, meditasi, dan pemahaman akan harmoni alam.
4.3.
Spiritualitas
Non-Religius
Dalam konteks modern, banyak
individu mengadopsi pendekatan spiritualitas non-religius yang tidak terikat
pada agama formal. Pendekatan ini menekankan pencarian makna hidup melalui
refleksi batin, meditasi, dan hubungan dengan alam semesta. Spiritualitas ini sering
kali menempatkan tujuan akhir dalam kerangka peningkatan kualitas diri,
kesejahteraan emosional, dan kebahagiaan batin.
4.4.
Persamaan
dan Perbedaan Pendekatan
Meskipun terdapat perbedaan dalam
detail doktrin dan praktik, pendekatan agama dan spiritualitas memiliki
kesamaan dalam beberapa hal:
·
Menekankan pentingnya kebajikan
dan moralitas dalam mencapai tujuan akhir.
·
Mengajarkan bahwa kebahagiaan
sejati melampaui aspek material.
·
Memberikan harapan akan
keberlanjutan eksistensi setelah kematian.
Namun, terdapat perbedaan penting
dalam orientasi tujuan akhir:
·
Agama monoteistik cenderung
bersifat teosentris (berpusat pada Tuhan).
·
Agama Timur lebih fokus pada
kesadaran batin dan kebebasan individu dari penderitaan.
·
Spiritualitas non-religius
mengutamakan pencapaian makna dan keseimbangan dalam kehidupan duniawi.
---
Kesimpulan Bagian Ini
Pendekatan agama dan
spiritualitas memberikan dimensi transendental terhadap pertanyaan tentang
tujuan akhir kehidupan. Dengan menawarkan panduan moral, hubungan dengan Yang
Ilahi, dan jalan menuju kebahagiaan sejati, agama dan spiritualitas menjadi
alat yang kuat bagi manusia untuk memahami dan menjalani hidup mereka dengan
makna dan arah yang jelas.
---
Daftar Referensi
-
Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad
SAW (terjemahan Departemen Agama RI).
-
Bhagavad Gita. Translated by
Eknath Easwaran, Nilgiri Press, 2007.
-
Harvey, Peter. Introduction to
Buddhism. Cambridge University Press, 1990.
-
Armstrong, Karen. The Case for
God: What Religion Really Means. Knopf, 2009.
-
Coogan, Michael D. The Old
Testament: A Historical and Literary Introduction to the Hebrew Scriptures.
Oxford University Press, 2011.
-
Hanh, Thich Nhat. The Heart of
the Buddha’s Teaching. Broadway Books, 1998.
-
Laozi. Tao Te Ching.
Translated by Stephen Mitchell, Harper Perennial Modern Classics, 1988.
---
5.
Pendekatan Sains dan Humanisme
Pendekatan sains dan humanisme
menawarkan perspektif unik dalam menjawab pertanyaan tentang tujuan akhir
kehidupan manusia. Berbeda dengan filsafat atau agama yang cenderung metafisik
dan normatif, sains berfokus pada penjelasan empiris dan naturalistik,
sementara humanisme menekankan nilai-nilai kemanusiaan dalam pencarian makna
dan tujuan hidup.
5.1.
Pendekatan
Sains: Kehidupan sebagai Fenomena Biologis
Sains, khususnya biologi evolusioner,
melihat kehidupan manusia sebagai hasil dari proses evolusi yang panjang.
Tujuan biologis kehidupan dapat dipahami melalui tiga sudut pandang utama:
·
Kelangsungan Hidup dan Reproduksi
Richard Dawkins, dalam The
Selfish Gene, menjelaskan bahwa tujuan biologis semua makhluk hidup adalah
untuk memastikan kelangsungan gen mereka. Dengan demikian, kehidupan manusia
dapat dilihat sebagai alat untuk melestarikan informasi genetik melalui
reproduksi dan adaptasi.
·
Kognisi dan Adaptasi
Ilmu saraf dan psikologi
evolusioner menambahkan bahwa otak manusia yang kompleks memungkinkan kita
untuk mencari tujuan hidup yang lebih dari sekadar reproduksi. Kemampuan untuk
merasakan emosi, berpikir kritis, dan menciptakan seni adalah ciri khas manusia
yang memberikan dimensi tambahan terhadap pencarian tujuan hidup.
·
Kehidupan sebagai Sistem Kompleks
Pendekatan fisika dan kimia
memandang kehidupan sebagai sistem termodinamika yang bertujuan mempertahankan
struktur kompleks dalam menghadapi entropi. Perspektif ini mengarahkan kita
untuk memahami bahwa keberadaan manusia adalah bagian dari dinamika alam
semesta yang lebih besar.
Namun, pendekatan sains sering
kali dikritik karena bersifat reduksionis, tidak dapat menjawab pertanyaan
tentang makna dan tujuan hidup di luar kerangka biologis dan material.
5.2.
Pendekatan
Humanisme: Makna dan Kebahagiaan
Humanisme berfokus pada kemampuan
manusia untuk menciptakan makna hidup melalui hubungan sosial, kreativitas, dan
kontribusi terhadap masyarakat. Pendekatan ini mengedepankan beberapa prinsip:
·
Pencapaian Potensi Diri
Dalam humanisme sekuler, seperti
yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam Hierarchy of Needs, tujuan
akhir kehidupan adalah aktualisasi diri, yaitu pencapaian potensi penuh
seseorang. Hal ini melibatkan realisasi bakat, kreativitas, dan keinginan untuk
memberikan dampak positif pada dunia.
·
Kebahagiaan sebagai Tujuan
Filsuf utilitarian seperti Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah
mencapai kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Pendekatan ini
sering diintegrasikan dengan nilai-nilai humanis untuk menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur.
·
Tanggung Jawab terhadap Sesama
Humanisme modern menekankan
pentingnya tanggung jawab sosial dan etika terhadap sesama manusia. Ini
mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, toleransi, dan upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup orang lain.
5.3.
Integrasi
antara Sains dan Humanisme
Pendekatan sains dan humanisme
tidak harus saling bertentangan. Sebaliknya, keduanya dapat saling melengkapi:
·
Sains Memberikan Pengetahuan,
Humanisme Memberikan Makna
Sains membantu manusia memahami
dunia dan tempatnya dalam alam semesta, sementara humanisme memberikan panduan
tentang bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut untuk mencapai tujuan moral
dan sosial.
·
Teknologi untuk Kesejahteraan
Ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai humanistik dapat digunakan untuk
mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan
kesehatan masyarakat.
·
Kesadaran Kosmik
Carl Sagan, dalam Pale Blue
Dot, menyatakan bahwa kesadaran akan skala alam semesta yang luas
seharusnya menginspirasi manusia untuk hidup dengan rendah hati dan penuh rasa
syukur. Ini memberikan perspektif tentang pentingnya kehidupan manusia sebagai
bagian dari ekosistem kosmik yang lebih besar.
5.4.
Kritik
terhadap Pendekatan Ini
Meskipun menarik, pendekatan
sains dan humanisme menghadapi beberapa kritik:
·
Reduksionisme Sains
Pandangan bahwa tujuan hidup
hanya terbatas pada kelangsungan gen dianggap mengabaikan dimensi moral,
estetika, dan spiritual manusia.
·
Humanisme sebagai Relativisme
Moral
Kritikus berpendapat bahwa
humanisme sekuler sering kali tidak memberikan fondasi absolut untuk
nilai-nilai moral, sehingga rentan terhadap relativisme dan inkonsistensi.
·
Keterbatasan Teknologi
Meskipun teknologi telah membawa
banyak kemajuan, orientasi yang terlalu materialistik dapat menyebabkan
hilangnya makna transendental dalam kehidupan.
---
Kesimpulan Bagian Ini
Pendekatan sains dan humanisme
memberikan pemahaman penting tentang tujuan hidup manusia dalam kerangka
biologis dan sosial. Dengan mengintegrasikan wawasan sains tentang keberadaan
manusia dengan nilai-nilai humanis, pendekatan ini menawarkan visi yang realistis
namun tetap bermakna untuk memahami tujuan akhir kehidupan.
---
Daftar Referensi
-
Dawkins, Richard. The Selfish
Gene. Oxford University Press, 1976.
-
Sagan, Carl. Pale Blue Dot: A
Vision of the Human Future in Space. Random House, 1994.
-
Maslow, Abraham H. Motivation
and Personality. Harper & Row, 1954.
-
Bentham, Jeremy. An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Clarendon Press,
1789.
-
Mill, John Stuart. Utilitarianism.
Parker, Son, and Bourn, 1863.
-
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A
Brief History of Humankind. Harper, 2014.
-
Pinker, Steven. Enlightenment
Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. Viking, 2018.
---
6.
Isu dan Tantangan dalam Menjawab
Pertanyaan
Pertanyaan tentang tujuan akhir
kehidupan manusia bukan hanya refleksi filosofis, tetapi juga melibatkan isu
dan tantangan yang kompleks. Berbagai pendekatan filosofis, religius, dan
ilmiah sering kali bertemu pada simpang jalan yang membutuhkan perenungan
mendalam. Berikut ini adalah beberapa isu utama dan tantangan yang muncul dalam
menjawab pertanyaan ini.
6.1.
Relativisme
vs. Universalisme: Apakah Tujuan Hidup Bersifat Relatif atau Universal?
·
Relativisme:
Pendekatan ini menganggap bahwa
tujuan akhir kehidupan bersifat subjektif, tergantung pada individu, budaya,
atau konteks sejarah. Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre
berpendapat bahwa manusia harus menciptakan tujuan hidup mereka sendiri, karena
tidak ada makna objektif yang inheren dalam kehidupan. Relativisme ini sering
dipandang fleksibel tetapi dapat menimbulkan nihilisme jika tidak ada kerangka
nilai yang jelas.
·
Universalisme:
Di sisi lain, tradisi religius
dan beberapa aliran filsafat, seperti Aristotelianisme dan Kantiansime,
menekankan bahwa ada tujuan akhir universal yang berlaku untuk semua manusia,
seperti kebahagiaan atau moralitas. Tantangannya adalah membuktikan keberadaan
tujuan universal ini dalam dunia yang penuh keragaman.
6.2.
Konflik
antara Pendekatan Sekuler dan Religius
Pendekatan
sekuler dan religius sering kali memiliki pandangan yang saling bertentangan
tentang tujuan hidup:
·
Pendekatan Sekuler:
Sains dan humanisme berfokus pada
pencapaian tujuan yang berbasis duniawi, seperti kesejahteraan individu dan
kolektif. Pendekatan ini cenderung mengabaikan dimensi transendental kehidupan.
·
Pendekatan Religius:
Sebagian besar agama melihat
tujuan hidup manusia dalam konteks hubungan dengan Tuhan dan kehidupan setelah
mati. Tantangan muncul ketika nilai-nilai sekuler dan religius bertabrakan,
seperti dalam isu-isu etika, teknologi, dan lingkungan.
6.3.
Problem
Reduksionisme: Kompleksitas Kehidupan yang Tidak Dapat Disederhanakan
·
Dalam Sains:
Pendekatan biologis sering kali
mereduksi tujuan hidup menjadi kelangsungan genetik atau adaptasi evolusioner.
Hal ini dikritik oleh humanis dan religius karena mengabaikan dimensi moral,
estetis, dan spiritual manusia.
·
Dalam Filsafat dan Agama:
Ada juga kecenderungan untuk
menyederhanakan tujuan hidup menjadi satu konsep tunggal, seperti kebahagiaan
atau kesalehan. Pendekatan semacam ini sering mengabaikan keberagaman
pengalaman manusia dan konteks sosial.
6.4.
Ketidakpastian
Metafisik: Apakah Kehidupan Memiliki Tujuan yang Ditetapkan?
Pertanyaan tentang apakah
kehidupan memiliki tujuan akhir yang ditentukan oleh kekuatan eksternal atau
merupakan hasil kebebasan manusia menjadi pusat perdebatan. Misalnya:
·
Determinisme:
Dalam tradisi religius, kehidupan
sering dipandang memiliki tujuan yang ditentukan oleh Tuhan. Namun, pendekatan
ini menghadapi tantangan dalam membuktikan keberadaan Tuhan dan sifat rencana
Ilahi.
·
Indeterminisme:
Pendekatan eksistensialis,
seperti yang dikemukakan Sartre, menganggap bahwa manusia sepenuhnya bebas
menentukan tujuannya sendiri. Ini sering dianggap membebaskan, tetapi juga
membawa beban tanggung jawab moral yang besar.
6.5.
Absurditas
dan Nihilisme: Apakah Hidup Tidak Memiliki Makna?
Albert Camus, dalam The Myth
of Sisyphus, mengungkapkan bahwa manusia sering menghadapi
absurditas—konflik antara hasrat untuk menemukan makna dan dunia yang tampaknya
acak dan tanpa tujuan. Jika hidup tidak memiliki tujuan yang melekat, bagaimana
manusia dapat menciptakan makna tanpa jatuh ke dalam nihilisme? Camus
berargumen bahwa pemberontakan terhadap absurditas itu sendiri dapat menjadi
makna.
6.6.
Kompleksitas
Dunia Modern: Tantangan Zaman Sekarang
·
Materialisme dan Konsumerisme:
Dunia modern sering kali
menggiring manusia untuk mengasosiasikan tujuan hidup dengan akumulasi kekayaan
atau prestasi material, yang justru dapat menjauhkan dari makna mendalam.
·
Kemajuan Teknologi:
Teknologi menawarkan potensi
besar untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga menimbulkan tantangan
etis. Apakah kehidupan artifisial (AI, cloning) memiliki tujuan yang sama
seperti manusia?
·
Krisis Lingkungan:
Kerusakan lingkungan memunculkan
pertanyaan tentang bagaimana tujuan hidup individu sejalan dengan tanggung
jawab kolektif terhadap planet ini.
6.7.
Pluralitas
Perspektif: Tantangan Integrasi
Dengan begitu banyak pandangan
tentang tujuan akhir kehidupan, tantangan utama adalah bagaimana
mengintegrasikan berbagai perspektif ini. Misalnya, apakah mungkin
menggabungkan pendekatan sains, agama, dan filsafat untuk menciptakan pemahaman
yang holistik? Atau apakah perbedaan ini harus tetap dihormati sebagai bagian
dari pluralitas manusia?
---
Kesimpulan Bagian Ini
Menjawab pertanyaan tentang tujuan
akhir kehidupan manusia melibatkan navigasi melalui berbagai isu dan tantangan,
termasuk konflik nilai, ketidakpastian metafisik, dan absurditas eksistensi.
Pendekatan yang bijaksana membutuhkan penghormatan terhadap keragaman
perspektif sambil tetap mencari titik temu yang dapat memberi makna bagi
kehidupan manusia dalam konteks individu dan kolektif.
---
Daftar Referensi
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
-
Dawkins, Richard. The Selfish
Gene. Oxford University Press, 1976.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Heidegger, Martin. Being and
Time. Translated by John Macquarrie & Edward Robinson, Harper &
Row, 1962.
-
Nietzsche, Friedrich. Thus
Spoke Zarathustra. Translated by Walter Kaufmann, Penguin Books, 1978.
-
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A
Brief History of Humankind. Harper, 2014.
-
Pinker, Steven. Enlightenment
Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. Viking, 2018.
---
7.
Sintesis dan Pendekatan Integratif
Mengingat kompleksitas pertanyaan
tentang tujuan akhir kehidupan manusia, pendekatan yang terisolasi dari sains,
filsafat, agama, atau spiritualitas saja sering kali tidak memadai untuk
memberikan jawaban yang utuh. Bagian ini akan mengajukan sintesis dan
pendekatan integratif yang menggabungkan berbagai perspektif guna menjawab
pertanyaan ini secara komprehensif.
7.1.
Mengapa
Dibutuhkan Pendekatan Integratif?
Pendekatan integratif diperlukan
untuk menjembatani kesenjangan antara berbagai pandangan:
·
Sains
menawarkan penjelasan empiris tentang keberadaan manusia, tetapi sering kali
tidak memberikan jawaban tentang makna atau nilai.
·
Filsafat
menyediakan refleksi rasional dan kritis tentang tujuan, tetapi kurang
menjangkau dimensi transendental yang sering kali menjadi kebutuhan manusia.
·
Agama dan Spiritualitas
memberikan jawaban yang mendalam tentang makna dan transendensi, tetapi sering
kali menghadapi kritik dari pendekatan rasional atau sekuler.
Pendekatan integratif
memungkinkan penggabungan kekuatan dari masing-masing pandangan untuk
memberikan jawaban yang lebih menyeluruh.
7.2.
Prinsip-Prinsip
Pendekatan Integratif
Pendekatan
integratif terhadap tujuan akhir kehidupan manusia melibatkan prinsip-prinsip
berikut:
·
Pengakuan atas Keberagaman
Perspektif:
Tidak
ada satu jawaban yang memadai untuk semua orang; jawaban tentang tujuan hidup
dapat bervariasi berdasarkan konteks budaya, agama, dan individu.
·
Harmoni antara Immanen dan
Transenden:
Kehidupan
harus dipahami sebagai gabungan antara tujuan yang dapat dicapai di dunia (immanen)
dan harapan akan sesuatu yang lebih tinggi (transenden).
·
Fokus pada Nilai-Nilai Universal:
Integrasi
harus mencakup nilai-nilai universal seperti kebahagiaan, kebajikan, kedamaian,
dan kontribusi terhadap kesejahteraan bersama.
7.3.
Pilar-Pilar
Sintesis
Pendekatan integratif dapat
dibangun di atas tiga pilar utama berikut:
·
Dimensi Biologis dan Sosial dari
Sains:
Pemahaman evolusi manusia
memberikan wawasan tentang motivasi dasar manusia, seperti kelangsungan hidup,
hubungan sosial, dan pencarian makna melalui kerja dan kontribusi. Dalam
konteks ini, sains mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan sebagai bagian
dari ekosistem yang lebih besar.
·
Refleksi Filosofis tentang Makna:
Filosofi eksistensialisme,
misalnya, memberikan kebebasan kepada individu untuk menciptakan makna hidup
mereka sendiri, sementara etika Kantian menekankan kewajiban moral sebagai
landasan tujuan. Pandangan ini dapat dipadukan untuk menawarkan kerangka moral
yang fleksibel tetapi bertanggung jawab.
·
Spiritualitas dan Transendensi:
Tradisi agama seperti Islam,
Hindu, dan Buddhisme memberikan peta jalan untuk menjelajahi dimensi spiritual
kehidupan, menawarkan wawasan tentang tujuan akhir yang melampaui kehidupan
duniawi. Integrasi dimensi spiritual membantu manusia menemukan harmoni batin
dan pandangan hidup yang holistik.
7.4.
Implementasi
Pendekatan Integratif
Pendekatan ini dapat diterapkan
dalam beberapa konteks kehidupan:
·
Dalam Kehidupan Individu:
Mencapai keseimbangan antara
pencapaian duniawi (misalnya, pekerjaan, keluarga, dan hobi) dan refleksi
spiritual atau moral untuk mencari kedamaian batin.
·
Dalam Masyarakat:
Mengintegrasikan sains,
humanisme, dan nilai-nilai spiritual untuk menciptakan kebijakan sosial yang
etis dan inklusif.
·
Dalam Pendidikan:
Mengajarkan kepada generasi muda
bahwa kehidupan memiliki berbagai dimensi, sehingga mendorong mereka untuk
mengembangkan diri secara intelektual, moral, dan spiritual.
7.5.
Tantangan
Pendekatan Integratif
Meskipun menjanjikan, pendekatan
ini menghadapi tantangan signifikan:
·
Ketegangan antara Perspektif:
Konflik antara pandangan sekuler
dan religius dapat menghambat upaya sintesis.
·
Relativisme Tujuan:
Ketika berbagai pandangan diakui,
risiko relativisme dapat mengaburkan pedoman moral dan etika.
·
Kompleksitas Realisasi:
Integrasi penuh dari semua
perspektif memerlukan dialog yang mendalam dan keterbukaan, yang sulit dicapai
di dunia yang pluralistik.
---
Kesimpulan
Pendekatan integratif terhadap
tujuan akhir kehidupan manusia memungkinkan perpaduan antara pengetahuan
ilmiah, refleksi filosofis, dan wawasan spiritual. Ini memberikan jawaban yang
tidak hanya mencerminkan keragaman pengalaman manusia, tetapi juga menawarkan
kerangka kerja holistik untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Dengan
mengakui kekuatan dan keterbatasan setiap pendekatan, manusia dapat menemukan harmoni
antara tujuan individu, sosial, dan transendental.
---
Daftar Referensi
-
Dawkins, Richard. The Selfish
Gene. Oxford University Press, 1976.
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Armstrong, Karen. The Case for
God: What Religion Really Means. Knopf, 2009.
-
Nasr, Seyyed Hossein. The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne, 2002.
-
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A
Brief History of Humankind. Harper, 2014.
-
Hanh, Thich Nhat. The Heart of
the Buddha’s Teaching. Broadway Books, 1998.
---
8.
Kesimpulan
Pertanyaan “Apa tujuan
akhir kehidupan manusia?” adalah salah satu pertanyaan paling mendalam
yang telah memengaruhi filsafat, agama, sains, dan humanisme sepanjang sejarah.
Pertanyaan ini menyentuh inti keberadaan manusia, menawarkan peluang untuk
mengeksplorasi makna hidup, nilai-nilai moral, dan hubungan dengan alam
semesta. Kesimpulan ini merangkum wawasan dari berbagai perspektif yang telah
dibahas.
8.1.
Keragaman
Pendekatan: Sumber Kekayaan dan Tantangan
Berbagai pendekatan, baik dari filsafat,
agama, maupun sains, menunjukkan bahwa tidak ada jawaban tunggal atau universal
yang dapat memuaskan semua orang. Perspektif filosofis menawarkan kebebasan
intelektual untuk mendefinisikan tujuan hidup berdasarkan akal dan moralitas.
Agama menyediakan dimensi transendental yang memberikan harapan akan makna di
luar kehidupan duniawi. Sains dan humanisme membantu manusia memahami tempatnya
dalam alam semesta dan menawarkan pedoman praktis untuk hidup harmonis di
dunia.
Namun, keragaman ini juga menimbulkan
tantangan: bagaimana mengintegrasikan pandangan-pandangan ini tanpa mengabaikan
keunikan masing-masing? Konflik antara perspektif religius dan sekuler,
determinisme biologis dan kebebasan eksistensial, menunjukkan perlunya dialog
yang terbuka dan inklusif.
8.2.
Integrasi
Makna Immanen dan Transenden
Tujuan akhir kehidupan manusia
mencakup dua dimensi utama:
·
Dimensi Immanen:
Pencarian kebahagiaan, kebajikan,
dan kontribusi kepada masyarakat di dunia ini adalah manifestasi dari makna
yang dapat dikejar dalam kehidupan sehari-hari. Humanisme, utilitarianisme, dan
psikologi positif berperan penting dalam memberikan pedoman untuk tujuan
duniawi ini.
·
Dimensi Transenden:
Kehidupan dunia sering kali
dianggap sebagai persiapan menuju tujuan akhir yang melampaui waktu dan ruang,
sebagaimana ditekankan oleh agama-agama besar dunia. Dimensi ini menyoroti
pentingnya refleksi spiritual, hubungan dengan Yang Ilahi, dan pencapaian
pencerahan.
Integrasi keduanya dapat membawa
manusia pada pemahaman yang lebih holistik tentang tujuan hidup, yang tidak
hanya berbasis pada kebutuhan material tetapi juga pada pemenuhan spiritual.
8.3.
Kesadaran
sebagai Landasan Pencarian Tujuan
Kesadaran manusia menjadi fondasi
untuk merenungkan tujuan akhir kehidupan. Sebagaimana dijelaskan oleh filsuf
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, keberadaan
manusia yang sadar memberikan kemampuan untuk bertanya tentang makna hidup dan
membuat pilihan yang signifikan. Kesadaran ini, yang diperluas oleh wawasan
sains dan spiritualitas, memungkinkan manusia untuk hidup secara autentik dan
bertanggung jawab, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia.
8.4.
Implikasi
Praktis dari Pencarian Tujuan
Pencarian tujuan akhir tidak
hanya bersifat filosofis atau metafisik tetapi juga memiliki implikasi praktis
dalam kehidupan:
·
Etika dan Moralitas:
Pencarian tujuan akhir membentuk
pandangan tentang baik dan buruk, serta mendorong manusia untuk menjalani
kehidupan yang berbudi pekerti dan bertanggung jawab.
·
Kesejahteraan Individu dan
Kolektif:
Pemahaman yang jelas tentang
tujuan hidup membantu manusia mencapai keseimbangan antara kebahagiaan pribadi
dan kontribusi kepada masyarakat.
·
Hubungan dengan Alam Semesta:
Perspektif transendental dan
ilmiah memperkuat kesadaran akan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan dan
generasi mendatang.
8.5.
Tujuan
Akhir: Perjalanan yang Berkelanjutan
Meskipun manusia mungkin tidak
pernah mencapai jawaban definitif tentang tujuan akhir kehidupan, pencarian itu
sendiri adalah inti dari pengalaman manusia. Refleksi yang terus-menerus,
dialog antara berbagai perspektif, dan penerimaan terhadap keragaman jawaban
menjadi bagian dari perjalanan ini. Seperti yang dikatakan Albert Camus dalam The
Myth of Sisyphus, nilai kehidupan terletak pada keberanian untuk terus
mencari makna, meskipun dunia tampak absurd.
---
Penutup
Kesimpulan ini menegaskan bahwa
tujuan akhir kehidupan manusia tidak dapat disederhanakan menjadi satu jawaban
universal. Sebaliknya, ia adalah perpaduan dari berbagai dimensi —biologis,
intelektual, moral, dan spiritual— yang saling melengkapi. Pendekatan yang
holistik, terbuka terhadap pluralitas, dan berakar pada nilai-nilai universal
dapat membantu manusia menjalani kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab,
baik di dunia ini maupun dalam harapan akan sesuatu yang lebih besar.
---
Daftar Referensi
-
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W. D. Ross, Oxford University Press, 1925.
-
Camus, Albert. The Myth of
Sisyphus. Translated by Justin O'Brien, Penguin Books, 2005.
-
Kant, Immanuel. Groundwork of
the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor, Cambridge University
Press, 1997.
-
Sartre, Jean-Paul. Existentialism
is a Humanism. Yale University Press, 2007.
-
Nasr, Seyyed Hossein. The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne, 2002.
-
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A
Brief History of Humankind. Harper, 2014.
-
Armstrong, Karen. The Case for
God: What Religion Really Means. Knopf, 2009.
-
Hanh, Thich Nhat. The Heart of
the Buddha’s Teaching. Broadway Books, 1998.
---
Daftar
Pustaka
---
Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W. D. Ross. Oxford
University Press, 1925.
Armstrong, Karen. The Case for God: What Religion Really Means.
Knopf, 2009.
Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation. Clarendon Press, 1789.
Camus, Albert. The Myth of Sisyphus. Translated by Justin
O'Brien. Penguin Books, 2005.
Dawkins, Richard. The Selfish Gene. Oxford University Press,
1976.
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A Brief History of Humankind.
Harper, 2014.
Hanh, Thich Nhat. The Heart of the Buddha’s Teaching. Broadway
Books, 1998.
Heidegger, Martin. Being and Time. Translated by John Macquarrie
and Edward Robinson. Harper & Row, 1962.
Kant, Immanuel. Groundwork of the Metaphysics of Morals.
Translated by Mary Gregor. Cambridge University Press, 1997.
Laozi. Tao Te Ching. Translated by Stephen Mitchell. Harper
Perennial Modern Classics, 1988.
Maslow, Abraham H. Motivation and Personality. Harper & Row,
1954.
Mill, John Stuart. Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn, 1863.
Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity. HarperOne, 2002.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spoke Zarathustra. Translated by
Walter Kaufmann. Penguin Books, 1978.
Pinker, Steven. Enlightenment Now: The Case for Reason, Science,
Humanism, and Progress. Viking, 2018.
Radhakrishnan, Sarvepalli. Indian Philosophy Volume 1. Oxford
University Press, 1923.
Sagan, Carl. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space.
Random House, 1994.
Sartre, Jean-Paul. Existentialism is a Humanism. Yale University
Press, 2007.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar