Kapitalisme
Asal-Usul, Prinsip-Prinsip, Kritik, dan Relevansi
Global
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai
kapitalisme dalam kerangka filsafat sosial-politik, dengan menelaah asal-usul
historis, fondasi konseptual, perkembangan ideologis, praktik sosial-politik,
kritik multidisipliner, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Dimulai
dari proto-kapitalisme di Eropa pra-modern hingga kapitalisme digital dan
neoliberal, artikel ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak sekadar sistem
ekonomi, tetapi juga formasi nilai, kekuasaan, dan budaya. Kapitalisme dibangun
di atas asas kepemilikan pribadi, kebebasan pasar, dan rasionalitas ekonomi
yang berakar pada filsafat liberal klasik dan etika Protestan. Melalui
pembacaan terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Adam Smith, Karl Marx,
Max Weber, hingga Thomas Piketty, artikel ini mengidentifikasi dinamika
internal serta pertentangan eksternal yang melekat pada kapitalisme.
Kritik-kritik yang berasal dari tradisi Marxis, ekologis, feminis, postmodern,
dan postkolonial membongkar dampak sistemik kapitalisme terhadap ketimpangan,
alienasi, krisis lingkungan, dan dominasi global. Artikel ini juga mengulas
berbagai bentuk alternatif dan reformasi kapitalisme, seperti sosialisme
demokratik, ekonomi solidaritas, kapitalisme berbasis nilai, degrowth, serta
ekonomi Islam. Pada akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa filsafat
sosial-politik memiliki peran sentral dalam mengevaluasi masa depan
kapitalisme, dan mendorong perumusan sistem ekonomi yang lebih etis, adil, dan
berkelanjutan bagi umat manusia.
Kata Kunci: Kapitalisme, filsafat sosial-politik, liberalisme,
Marx, ketimpangan, neoliberalisme, kapitalisme digital, kritik ekologis,
sosialisme demokratik, ekonomi alternatif.
PEMBAHASAN
Kapitalisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Kapitalisme
merupakan salah satu sistem sosial-ekonomi yang paling berpengaruh dalam
sejarah umat manusia, dan ia telah menjadi landasan utama dalam struktur
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat modern. Sebagai sistem yang menekankan
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, orientasi pada akumulasi laba,
serta kebebasan pasar, kapitalisme telah mengalami transformasi signifikan
sejak kelahirannya pada era pasca-feodalisme hingga kini dalam wujud
neoliberalisme global yang semakin kompleks dan digital. Perkembangannya tidak
hanya mempengaruhi praktik ekonomi, tetapi juga mendasari cara berpikir dan
struktur sosial-politik yang mewarnai peradaban kontemporer.
Dalam ranah filsafat
sosial-politik, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai sistem ekonomi,
melainkan sebagai formasi ideologis dan historis yang menyimpan dinamika relasi
kuasa, etika, kebebasan, dan ketimpangan. Para pemikir seperti Adam
Smith meletakkan fondasi normatif bagi pasar bebas melalui
konsep invisible
hand, yang diyakini dapat mengatur distribusi sumber daya secara
efisien tanpa intervensi negara berlebihan.1 Namun, tokoh-tokoh
kritis seperti Karl Marx melihat kapitalisme
sebagai sistem yang secara inheren eksploitatif, menyuburkan alienasi pekerja,
dan mendorong krisis ekonomi periodik sebagai akibat dari kontradiksi
internalnya.2
Ketegangan antara
kebebasan individu yang dijanjikan kapitalisme dan kenyataan struktur
ketimpangan yang dihasilkannya telah menjadi pokok perdebatan yang terus hidup
dalam filsafat sosial-politik. Dalam kajian filsafat politik kontemporer,
kapitalisme tidak hanya menjadi objek ekonomi, tetapi juga menjadi ruang kontestasi
antara ide-ide keadilan distributif, hak-hak sosial, dan kendali terhadap
kekuasaan korporat. Di sinilah pentingnya memahami kapitalisme tidak sekadar
sebagai sistem produksi, melainkan sebagai kerangka ideologis yang mengatur
kehidupan sosial dalam skala global.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengupas secara mendalam asal-usul historis kapitalisme,
prinsip-prinsip ideologis dan filsafat yang menopangnya, kritik-kritik tajam
dari berbagai perspektif pemikiran, serta relevansinya dalam menghadapi
tantangan global saat ini seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan
disrupsi digital. Dengan pendekatan filsafat sosial-politik, kajian ini
berusaha menempatkan kapitalisme dalam kerangka analitis yang lebih luas,
melampaui reduksi teknokratis dan menawarkan pemahaman yang lebih utuh terhadap
kompleksitas sistem ini dalam kehidupan manusia modern.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book
IV, Chapter II.
[2]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 163–178.
2.
Landasan Konseptual Kapitalisme
Kapitalisme, dalam
pengertian yang paling mendasar, adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan
pada kepemilikan privat atas alat-alat produksi dan pertukaran barang melalui
mekanisme pasar yang relatif bebas. Dalam sistem ini, kegiatan ekonomi didorong
oleh motif pencarian laba (profit motive) dan diorganisasi oleh kekuatan
penawaran dan permintaan tanpa campur tangan langsung dari negara secara
berlebihan. Akar kata “kapitalisme” berasal dari kata Latin capitalis,
yang merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan kepala atau sumber utama, dan
dalam konteks ekonomi modern merujuk pada akumulasi modal sebagai unsur inti
produksi.1
Secara filosofis dan
historis, kapitalisme berkembang dari perubahan besar dalam struktur sosial dan
ekonomi pasca-feodalisme di Eropa Barat, terutama setelah munculnya Revolusi
Industri dan pemikiran ekonomi liberal pada abad ke-18. Adam
Smith, tokoh utama ekonomi klasik, mendefinisikan kapitalisme
melalui konsep pasar bebas, pembagian kerja, dan laissez-faire yang diyakini mampu
mengatur ekonomi secara efisien melalui invisible hand atau mekanisme alami
pasar.2 Menurut Smith, apabila individu mengejar kepentingan pribadi
mereka dalam pasar bebas, maka secara tidak langsung mereka juga berkontribusi
pada kemakmuran masyarakat secara keseluruhan.
Kapitalisme memiliki
sejumlah prinsip dasar yang membentuk kerangka konseptualnya, yaitu:
1)
Kepemilikan Pribadi
atas Alat Produksi, yang berarti bahwa individu atau entitas
swasta memiliki hak hukum atas tanah, pabrik, dan modal lainnya.
2)
Akumulasi Modal,
sebagai tujuan utama kegiatan ekonomi, yakni meningkatkan nilai investasi
melalui laba dan pertumbuhan berkelanjutan.
3)
Kebebasan Pasar,
di mana harga dan distribusi barang ditentukan oleh kekuatan pasar, bukan
perintah negara.
4)
Kompetisi Bebas,
yang mendorong efisiensi, inovasi, dan produktivitas dalam sistem ekonomi.3
Namun, kapitalisme
bukanlah sistem yang bersifat monolitik. Para ekonom dan filsuf membedakan
berbagai varian kapitalisme, seperti kapitalisme liberal
(sebagaimana berkembang di Amerika Serikat), kapitalisme sosial-demokratik
(seperti di Skandinavia), serta kapitalisme negara (yang terlihat
dalam model ekonomi Tiongkok). Varian-varian ini memperlihatkan bahwa
kapitalisme dapat beroperasi dalam kerangka politik dan budaya yang sangat
berbeda, tetapi tetap mempertahankan prinsip dasar kepemilikan privat dan
orientasi pasar.4
Selain itu, penting
untuk dicatat bahwa kapitalisme tidak sekadar struktur ekonomi, tetapi juga
membentuk struktur nilai dalam masyarakat, termasuk pandangan tentang kerja,
waktu, efisiensi, dan pertumbuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Max
Weber, kapitalisme modern dipengaruhi oleh etika Protestan yang
mengaitkan kesuksesan ekonomi dengan tanda keselamatan spiritual, sehingga
kerja keras dan akumulasi kekayaan dianggap sebagai manifestasi moralitas dan
kesalehan.5
Dengan demikian,
landasan konseptual kapitalisme mencakup dimensi ekonomi, politik, dan kultural
yang saling terjalin dalam struktur kehidupan masyarakat modern. Pemahaman yang
mendalam terhadap dimensi-dimensi ini menjadi penting dalam rangka menganalisis
dan mengevaluasi dampak kapitalisme dalam konteks sosial-politik global saat
ini.
Footnotes
[1]
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, trans. Siân Reynolds
(Berkeley: University of California Press, 1992), 232.
[2]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I,
Chapter I.
[3]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University
of Chicago Press, 2002), 13–32.
[4]
Peter A. Hall and David Soskice, eds., Varieties of Capitalism: The
Institutional Foundations of Comparative Advantage (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 1–36.
[5]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 39–72.
3.
Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Perkembangan
kapitalisme sebagai sistem sosial-ekonomi tidak terjadi secara instan,
melainkan merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan kompleks.
Kapitalisme lahir dari transformasi mendalam dalam struktur sosial, politik,
dan ekonomi Eropa pasca-Abad Pertengahan, lalu berkembang dan menyebar secara
global melalui ekspansi kolonial, revolusi industri, dan globalisasi.
Setidaknya terdapat empat fase historis utama dalam perkembangan kapitalisme:
proto-kapitalisme, kapitalisme klasik, kapitalisme industri-modern, dan
kapitalisme global-kontemporer.
3.1.
Proto-Kapitalisme:
Cikal Bakal Kapitalisme (abad ke-13 s.d. ke-16)
Akar kapitalisme
dapat ditelusuri ke zaman akhir feodalisme di Eropa, ketika sistem ekonomi
mulai bergerak dari pertanian subsisten ke ekonomi pasar uang. Dalam masa ini,
kegiatan perdagangan lintas wilayah, terutama oleh kota-kota pelabuhan seperti
Venesia dan Genoa, berkembang pesat, didukung oleh munculnya lembaga keuangan
awal seperti bank dan asuransi.1 Kemunculan kelas
borjuasi—kelompok pedagang dan pemilik modal perkotaan—juga menjadi faktor
penting dalam melemahkan dominasi ekonomi kaum feodal dan gereja.
Konsep awal
akumulasi kapital telah tampak pada praktik merchant capitalism, yaitu bentuk
awal kapitalisme di mana keuntungan diperoleh dari perdagangan barang
antarwilayah, bukan dari produksi langsung. Praktik ini diperkuat oleh ekspansi
maritim dan kolonialisme bangsa Eropa ke Asia, Afrika, dan Amerika, yang
membuka akses pada sumber daya dan pasar baru serta memperkuat logika
eksploitasi dan komersialisasi global.2
3.2.
Kapitalisme Klasik:
Liberalisme Ekonomi dan Revolusi Industri (abad ke-18 s.d. ke-19)
Kapitalisme klasik
muncul seiring dengan Revolusi Industri di Inggris yang dimulai sekitar tahun
1760. Revolusi ini menandai pergeseran besar dari produksi berbasis tenaga kerja
manual ke mesin dan pabrik yang dikelola secara terpusat. Hal ini mengubah
struktur sosial dan ekonomi secara radikal, menciptakan kelas pekerja
industrial (proletariat) dan memperbesar kekuatan kelas kapitalis
(bourgeoisie).[^^3] Dalam periode ini, pemikiran ekonomi liberal yang diusung
oleh Adam
Smith dan tokoh-tokoh sejenis menjadi ideologi dominan. Smith
menekankan pentingnya kebebasan pasar, pembagian kerja, dan persaingan bebas
sebagai pendorong efisiensi dan kemakmuran umum.3
Kapitalisme klasik
juga didukung oleh perkembangan institusi modern seperti perbankan sentral,
hukum kontrak, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi. Negara-negara
mulai membentuk kerangka hukum yang mendukung mobilitas kapital, perdagangan
bebas, dan perlindungan investasi.
3.3.
Kapitalisme
Industri-Modern: Korporasi, Intervensi Negara, dan Konsumerisme (abad ke-20)
Memasuki abad ke-20,
kapitalisme memasuki fase baru yang ditandai oleh pertumbuhan korporasi besar,
meningkatnya intervensi negara dalam ekonomi, dan berkembangnya budaya konsumsi
massal. Krisis ekonomi besar seperti Great Depression tahun 1929
memunculkan kritik terhadap kapitalisme pasar bebas dan mendorong negara untuk
mengambil peran lebih aktif dalam mengatur ekonomi. Model welfare
capitalism di Eropa dan New Deal di Amerika Serikat adalah
contoh upaya penyeimbangan antara pasar dan negara dalam rangka menjaga
stabilitas sosial-ekonomi.4
Dalam fase ini pula,
kapitalisme menunjukkan kemampuannya beradaptasi melalui inovasi teknologi,
ekspansi industri, serta integrasi pasar internasional. Konsumerisme menjadi
gaya hidup dominan dalam masyarakat kapitalis modern, terutama pasca-Perang
Dunia II, ditopang oleh media massa dan sistem produksi yang efisien.5
3.4.
Kapitalisme Global
dan Neoliberalisme (akhir abad ke-20 s.d. kini)
Sejak tahun 1970-an,
dunia menyaksikan gelombang baru liberalisasi ekonomi yang dikenal sebagai neoliberalisme—yakni
kebijakan yang menekankan deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara
dalam ekonomi. Didorong oleh tokoh seperti Milton Friedman dan lembaga
seperti IMF dan Bank Dunia, neoliberalisme menjadi ideologi dominan dalam
ekonomi global pasca-Perang Dingin.6
Kapitalisme dalam
era global ini ditandai oleh integrasi ekonomi lintas negara melalui perdagangan
bebas, mobilitas modal, dan revolusi teknologi informasi. Namun, hal ini juga
memunculkan ketimpangan global yang tajam, eksploitasi tenaga kerja di negara
berkembang, serta krisis ekologis akibat tekanan pertumbuhan ekonomi tak
terbatas.7 Dalam dekade terakhir,
muncul pula bentuk kapitalisme baru seperti platform capitalism dan surveillance
capitalism, yang berfokus pada data, algoritma, dan dominasi
korporasi teknologi raksasa.8
Footnotes
[1]
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, trans. Siân Reynolds
(Berkeley: University of California Press, 1992), 41–85.
[2]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth
Century (New York: Academic Press, 1974), 15–34.
[3]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I,
Chapter IV.
[4]
John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest,
and Money (London: Macmillan, 1936), 378–390.
[5]
Raymond Williams, Culture and Materialism (London: Verso,
2005), 89–101.
[6]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 1–38.
[7]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 234–278.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–12.
4.
Fondasi Filsafat Kapitalisme
Kapitalisme bukan
semata-mata sistem ekonomi yang berkutat pada produksi dan distribusi barang,
melainkan juga berdiri di atas fondasi filosofis yang mendalam. Fondasi ini
mencakup gagasan tentang hak milik pribadi, kebebasan individu, rasionalitas
ekonomi, dan hubungan antara negara dan pasar. Sebagai sistem nilai,
kapitalisme berkembang seiring munculnya filsafat liberalisme, rasionalisme
modern, serta etika kerja yang diasosiasikan dengan budaya Protestan.
4.1.
Kapitalisme dan
Liberalisme Klasik
Filsafat kapitalisme
sangat erat kaitannya dengan liberalisme klasik, yang
menekankan kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan pembatasan kekuasaan
negara. Pemikir seperti John Locke mengartikulasikan
bahwa hak milik adalah hak alamiah manusia, sejajar dengan hak atas hidup dan
kebebasan. Menurut Locke, hak milik muncul dari kerja: “Apa pun yang
seseorang keluarkan dari keadaan alam melalui kerja jasmaninya adalah miliknya.”1
Pandangan ini menjadi dasar normatif dari legalitas kepemilikan pribadi dalam
sistem kapitalis.
Selain Locke, Adam
Smith juga memainkan peran kunci dalam membentuk fondasi
filsafat kapitalisme melalui karyanya The Wealth of Nations (1776). Smith
menekankan bahwa kebebasan individu dalam mengejar kepentingan pribadinya akan
menghasilkan kesejahteraan kolektif melalui mekanisme pasar yang disebut invisible
hand.2 Ia berargumen bahwa
keteraturan ekonomi dapat tercipta bukan melalui perencanaan negara, tetapi
dari hasil interaksi bebas antar pelaku pasar. Dalam kerangka ini, kebebasan
ekonomi dianggap sebagai perwujudan dari kebebasan moral dan politik.
4.2.
Rasionalitas Ekonomi
dan Individualisme Metodologis
Fondasi lain dari
kapitalisme adalah asumsi tentang rasionalitas ekonomi, yaitu
keyakinan bahwa individu bertindak secara rasional untuk memaksimalkan
kepentingan mereka sendiri. Model homo economicus—manusia sebagai agen
kalkulatif dan efisien—menjadi subjek utama dalam teori-teori ekonomi
kapitalis. Gagasan ini merupakan lanjutan dari individualisme metodologis,
yakni bahwa semua fenomena sosial dapat dijelaskan melalui tindakan individu
yang rasional.3
Konsep ini berakar
pada pencerahan Eropa, di mana akal (reason) menjadi pusat dalam pengambilan
keputusan moral dan ekonomi. Pemikiran seperti ini memperkuat posisi subjek
individu dalam kehidupan ekonomi, sekaligus membatasi peran komunitas atau
negara dalam menentukan arah produksi dan distribusi kekayaan.
4.3.
Etika Protestan dan
Spirit Kapitalisme
Salah satu analisis
klasik yang mengaitkan kapitalisme dengan kerangka nilai spiritual adalah
pemikiran Max Weber dalam The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber berargumen
bahwa etika kerja Protestan, khususnya kalvinisme, mendorong pola hidup
asketik, kerja keras, dan penundaan konsumsi. Nilai-nilai ini secara tidak
langsung membentuk “jiwa kapitalisme”—etos yang menjadikan akumulasi
kapital sebagai bentuk moralitas duniawi dan tanda anugerah spiritual.4
Weber menekankan
bahwa rasionalisasi dan disiplin diri yang melekat dalam etika Protestan sangat
kompatibel dengan semangat kapitalis, yaitu efisiensi, perencanaan, dan
kalkulasi rasional. Kapitalisme modern menurutnya tidak mungkin berkembang
tanpa transformasi nilai-nilai budaya yang menginternalisasi logika produksi
dan akumulasi secara sistemik.5
4.4.
Konsepsi Negara dan
Pasar
Filsafat kapitalisme
juga menyertakan pemahaman tertentu tentang hubungan antara negara dan pasar.
Dalam pandangan liberal klasik, negara idealnya hanya berfungsi menjaga hukum,
keamanan, dan hak milik. Friedrich Hayek, misalnya,
berpendapat bahwa intervensi negara yang terlalu jauh dalam pasar akan mengarah
pada road to
serfdom, yakni jalan menuju tirani karena menghilangkan kebebasan
individu dan spontanitas pasar.6
Pandangan ini
berpijak pada filsafat sosial-politik yang memprioritaskan spontaneous
order—yakni keteraturan sosial yang muncul dari interaksi bebas
tanpa perencanaan terpusat. Dalam kerangka ini, pasar dianggap sebagai lembaga
sosial yang paling efisien dan adil karena mengandalkan prinsip meritokrasi dan
kebebasan bertindak.
Dengan demikian,
fondasi filsafat kapitalisme merupakan sintesis antara hak-hak alamiah manusia,
kebebasan individu, rasionalitas modern, dan nilai-nilai moral tertentu yang
berfungsi mengukuhkan struktur ekonomi pasar. Tanpa memahami basis filosofis
ini, analisis terhadap kapitalisme akan tereduksi menjadi teknis belaka, tanpa
menggali kedalaman nilai dan ideologi yang menyertainya.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.
[2]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book
IV, Chapter II.
[3]
Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the
Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 13–29.
[4]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 35–58.
[5]
Ibid., 91–102.
[6]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 2007), 67–85.
5.
Pemikiran Tokoh-Tokoh Terkait Kapitalisme
Sejarah dan
perkembangan kapitalisme tidak dapat dipisahkan dari kontribusi teoretis
sejumlah tokoh besar dalam filsafat sosial-politik dan ekonomi. Para pemikir
ini telah membentuk fondasi konseptual, merumuskan pembelaan normatif, serta
menawarkan kritik tajam terhadap kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan sosial.
Bagian ini mengulas lima tokoh kunci: Adam Smith, Karl
Marx, Max Weber, Friedrich
Hayek dan Milton Friedman, serta David
Harvey dan Thomas Piketty, sebagai representasi dari spektrum
pemikiran tentang kapitalisme.
5.1.
Adam Smith:
Kebebasan Pasar dan Moralitas Ekonomi
Adam Smith
(1723–1790), dikenal sebagai “bapak ekonomi modern”, adalah pelopor utama dalam
merumuskan dasar-dasar kapitalisme klasik. Dalam The Wealth of Nations (1776), ia berargumen
bahwa pasar yang bebas dari intervensi negara memungkinkan individu untuk
mengejar kepentingan pribadinya secara rasional, dan secara tidak langsung
berkontribusi pada kesejahteraan umum melalui mekanisme invisible
hand.1 Menurut Smith, produktivitas
meningkat melalui pembagian kerja, dan kompetisi pasar akan menyeimbangkan
harga dan kualitas barang.
Namun, Smith tidak
menganjurkan kapitalisme yang sepenuhnya bebas dari etika. Dalam The
Theory of Moral Sentiments (1759), ia menekankan pentingnya simpati,
keadilan, dan norma sosial dalam menjaga stabilitas masyarakat kapitalis.2
Bagi Smith, kebebasan ekonomi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab
moral.
5.2.
Karl Marx: Kritik
Radikal terhadap Kapitalisme
Karl Marx
(1818–1883) adalah kritikus paling berpengaruh terhadap kapitalisme. Dalam Das
Kapital dan berbagai tulisan lainnya, Marx menyatakan bahwa
kapitalisme adalah sistem eksploitasi, di mana kelas borjuasi menguasai alat
produksi dan mengambil surplus value dari kerja
proletariat.3 Ia memperkenalkan konsep alienasi,
yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya sendiri, dari proses kerja, dari
sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaannya.
Bagi Marx,
kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang akan membawa pada krisis
berkala, akumulasi kekayaan pada segelintir orang, dan akhirnya kehancuran
sistem itu sendiri. Ia memandang kapitalisme sebagai tahap sejarah menuju
sosialisme, di mana alat produksi akan dimiliki secara kolektif dan pembagian
kerja akan dihapuskan demi pembebasan manusia.4
5.3.
Max Weber:
Rasionalisasi dan Etika Kapitalisme
Max Weber
(1864–1920) tidak hanya melihat kapitalisme sebagai struktur ekonomi, tetapi
juga sebagai konstruksi kultural dan etis. Dalam karya klasiknya The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menelusuri
akar budaya kapitalisme modern ke dalam etika kerja Protestan, khususnya
kalvinisme, yang menekankan disiplin diri, kerja keras, dan hidup hemat sebagai
tanda pemilihan ilahi.5
Weber menekankan
bahwa kapitalisme modern bersifat rasional, terorganisir, dan
dijalankan melalui sistem birokrasi dan kalkulasi efisien. Namun, ia juga
memperingatkan bahwa rasionalisasi yang ekstrem bisa menyebabkan “kandungan
besi birokrasi” (iron cage), yaitu keterjebakan
manusia dalam sistem yang tak manusiawi dan impersonal.6
5.4.
Friedrich Hayek dan
Milton Friedman: Pembela Neoliberalisme
Friedrich
Hayek (1899–1992) dan Milton Friedman (1912–2006)
adalah tokoh utama dalam pembelaan terhadap kapitalisme neoliberal. Dalam The Road
to Serfdom, Hayek memperingatkan bahwa perencanaan ekonomi oleh
negara akan mengarah pada totalitarianisme. Ia mengajukan argumen bahwa pasar
bebas memungkinkan tatanan sosial yang spontan dan efisien tanpa perlu
intervensi negara berlebihan.7
Milton Friedman,
dalam Capitalism
and Freedom, berpendapat bahwa kebebasan ekonomi adalah syarat bagi
kebebasan politik. Ia menekankan bahwa hanya dalam sistem pasar bebaslah
individu memiliki pilihan dan otonomi yang nyata.8 Keduanya
menentang Keynesianisme dan memperjuangkan deregulasi, privatisasi, serta tanggung
jawab individu dalam sistem kapitalis.
5.5.
David Harvey dan
Thomas Piketty: Kritik Kontemporer terhadap Kapitalisme Global
David
Harvey (lahir 1935), seorang geograf Marxis, mengembangkan
teori akumulasi melalui dislokasi spasial (spatial fix) dalam kapitalisme
global. Dalam A Brief History of Neoliberalism,
ia menunjukkan bagaimana kapitalisme modern bergantung pada krisis dan
penciptaan pasar baru untuk mempertahankan sirkulasi kapital, serta
memperlihatkan bagaimana neoliberalisme meningkatkan ketimpangan kelas dan
melemahkan kekuatan kolektif masyarakat.9
Sementara itu, Thomas
Piketty (lahir 1971), melalui karyanya Capital
in the Twenty-First Century, menganalisis secara empiris bahwa
akumulasi kekayaan dalam kapitalisme global bergerak lebih cepat daripada
pertumbuhan ekonomi, sehingga memperparah ketimpangan. Rumus terkenalnya r > g
(rate of return > economic growth) menunjukkan bahwa tanpa intervensi,
kapitalisme akan selalu menciptakan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir
elit.10
Tokoh-tokoh di atas
menunjukkan spektrum luas pemikiran tentang kapitalisme, mulai dari pembelaan
moral dan efisiensi pasar hingga kritik struktural terhadap eksploitasi,
ketimpangan, dan dehumanisasi. Pemikiran mereka membentuk kerangka teoretis
utama dalam memahami dinamika kapitalisme dari sudut pandang filsafat
sosial-politik.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I,
Chapter II.
[2]
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, ed. Knud
Haakonssen (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 13–19.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–359.
[4]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Penguin Classics, 2002), 14–23.
[5]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 47–63.
[6]
Ibid., 181–185.
[7]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 2007), 87–100.
[8]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University
of Chicago Press, 2002), 7–21.
[9]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 3–25.
[10]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 25–27.
6.
Kapitalisme dalam Praktik Sosial dan Politik
Kapitalisme sebagai
sistem ekonomi tidak pernah hadir dalam ruang hampa; ia senantiasa berkelindan
dengan struktur sosial dan dinamika politik. Dalam praktiknya, kapitalisme
mempengaruhi hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat—dari pola relasi
kerja, distribusi kekuasaan, hingga pembentukan institusi politik dan budaya.
Oleh karena itu, memahami kapitalisme dalam konteks sosial-politik berarti
menelaah bagaimana prinsip-prinsip pasar, kepemilikan privat, dan akumulasi
kapital diterapkan, dipertahankan, atau dipertentangkan dalam realitas konkret
kehidupan publik.
6.1.
Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal
Salah satu narasi
dominan yang mengiringi penyebaran kapitalisme adalah klaim kompatibilitasnya
dengan sistem demokrasi liberal. Dalam pandangan ini, pasar bebas dan sistem
politik representatif dianggap saling menopang: kebebasan ekonomi memperkuat
otonomi individu, sedangkan kebebasan politik menjamin hak-hak sipil dalam
masyarakat kapitalis.1 Pemikiran ini didukung
oleh tokoh seperti Milton Friedman, yang
menyatakan bahwa kapitalisme memberi landasan material bagi kebebasan individu,
termasuk kebebasan berbicara dan memilih.2
Namun, sejumlah
kritik menggarisbawahi bahwa relasi antara kapitalisme dan demokrasi bersifat
ambivalen. Sementara kapitalisme dapat menciptakan kelas menengah yang stabil,
ia juga berpotensi menumpuk kekuatan ekonomi pada segelintir elite, yang
kemudian mengganggu keseimbangan politik melalui pengaruh terhadap kebijakan
publik dan lembaga demokrasi.3 Dalam kenyataannya,
kapitalisme sering kali menghasilkan oligarki terselubung yang mengendalikan
media, pendanaan politik, dan akses terhadap informasi.
6.2.
Kapitalisme dan
Ketimpangan Sosial
Dalam tataran
sosial, kapitalisme memproduksi stratifikasi yang tajam melalui mekanisme pasar
yang pada dasarnya tidak mengenal prinsip kesetaraan. Akses terhadap
pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan kepemilikan aset ditentukan oleh
daya beli dan posisi dalam struktur produksi. Thomas Piketty menunjukkan
bahwa dalam sistem kapitalis, tingkat pengembalian terhadap modal (r) lebih tinggi
daripada tingkat pertumbuhan ekonomi (g), yang secara struktural memperbesar
ketimpangan kekayaan dari waktu ke waktu.4
Ketimpangan ini
tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga kultural dan simbolik. Dalam
masyarakat kapitalis, status sosial cenderung diukur melalui konsumsi dan gaya
hidup, menciptakan tekanan sosial terhadap kelas bawah untuk meniru pola hidup
yang tidak terjangkau. Kapitalisme modern memperluas jurang antara “yang punya”
dan “yang tidak” melalui privatisasi layanan publik, liberalisasi pasar
tenaga kerja, dan dominasi korporasi global atas sumber daya strategis.
6.3.
Kapitalisme dan
Kekuasaan Politik
Kapitalisme juga
membentuk hubungan kekuasaan dalam ranah politik. Pemilik modal besar, seperti
perusahaan multinasional dan elite finansial, memiliki pengaruh yang luas
terhadap kebijakan ekonomi, perpajakan, dan perundang-undangan melalui lobi
politik, kontribusi kampanye, dan kontrol atas media.5
Dalam banyak negara, proses legislatif menjadi cerminan kepentingan ekonomi
tertentu, bukan lagi representasi kepentingan rakyat secara luas.
Fenomena ini
melahirkan apa yang disebut oleh C. Wright Mills sebagai power
elite—kelompok kecil yang memusatkan kekuasaan ekonomi, politik,
dan militer dalam satu jaringan sosial tertutup.6 Akibatnya,
kebijakan publik sering kali berpihak pada kepentingan pemodal, bukan pada
kebutuhan mayoritas warga negara, terutama kelas pekerja dan masyarakat rentan.
6.4.
Kapitalisme dan
Krisis Ekologi
Salah satu
konsekuensi paling serius dari praktik kapitalisme dalam masyarakat kontemporer
adalah krisis ekologis. Sistem kapitalis sangat bergantung pada pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan dan eksploitasi sumber daya alam secara masif. Logika
akumulasi kapital mendorong eksploitasi lingkungan tanpa memperhitungkan daya
dukung ekologis jangka panjang. Produksi massal, konsumsi berlebihan, dan
eksternalisasi biaya lingkungan menjadi karakteristik utama ekonomi kapitalis.7
Naomi
Klein, dalam karyanya This Changes Everything, menegaskan
bahwa perubahan iklim bukan semata akibat teknologi, tetapi hasil langsung dari
sistem ekonomi kapitalis yang mendorong ekspansi tanpa batas di planet yang
terbatas.8 Dalam konteks ini,
kapitalisme tidak hanya menjadi ancaman bagi kesetaraan sosial, tetapi juga
bagi kelangsungan hidup ekologis umat manusia.
6.5.
Kapitalisme,
Teknologi, dan Budaya Konsumen
Kapitalisme
kontemporer semakin terkoneksi dengan teknologi digital dan budaya konsumsi.
Dengan kehadiran media sosial, algoritma, dan e-commerce, nilai dan identitas
manusia makin diproduksi melalui logika pasar. Konsep surveillance
capitalism, yang dikembangkan oleh Shoshana
Zuboff, menggambarkan bagaimana kapitalisme memanfaatkan data
pribadi sebagai komoditas baru untuk memengaruhi perilaku dan preferensi
konsumen secara sistematis.9
Budaya populer dalam
masyarakat kapitalis juga membentuk identitas melalui konsumsi simbolik. Iklan,
merek, dan lifestyle menjadi sarana pembentukan subjektivitas manusia modern.
Proses ini tidak hanya menciptakan kebutuhan semu, tetapi juga memperkuat
sistem nilai kapitalis yang menempatkan konsumsi sebagai bentuk utama dari
makna hidup.
Dengan demikian,
kapitalisme dalam praktik sosial dan politik bukanlah sekadar sistem distribusi
barang dan jasa, melainkan suatu formasi kekuasaan dan budaya yang mengatur kehidupan
manusia dalam banyak aspek. Dinamika antara pasar, negara, masyarakat, dan
lingkungan dalam sistem kapitalis menuntut kajian filosofis yang tidak hanya
bersifat deskriptif, tetapi juga kritis terhadap konsekuensi moral dan
struktural yang ditimbulkannya.
Footnotes
[1]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 12–15.
[2]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University
of Chicago Press, 2002), 7–21.
[3]
Robert Reich, Saving Capitalism: For the Many, Not the Few
(New York: Knopf, 2015), 61–73.
[4]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 20–27.
[5]
Jane Mayer, Dark Money: The Hidden History of the Billionaires
Behind the Rise of the Radical Right (New York: Doubleday, 2016), 101–119.
[6]
C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University
Press, 2000), 3–28.
[7]
James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World:
Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability
(New Haven: Yale University Press, 2008), 32–45.
[8]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 27–43.
[9]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–24.
7.
Kritik terhadap Kapitalisme
Sejak kemunculannya
sebagai sistem dominan dalam ekonomi global, kapitalisme telah menghadapi
berbagai kritik tajam dari filsuf, ekonom, teoretikus sosial, dan aktivis.
Kritik terhadap kapitalisme tidak hanya menyasar ketimpangan ekonomi atau
eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mencakup persoalan etika, ekologi,
alienasi manusia, dan krisis eksistensial masyarakat modern. Dalam bagian ini,
kritik terhadap kapitalisme diklasifikasikan dalam empat pendekatan utama:
Marxis, ekologis, postmodern dan postkolonial, serta feminis.
7.1.
Kritik Marxis:
Eksploitasi, Alienasi, dan Krisis Internal
Kritik paling
sistematis terhadap kapitalisme datang dari Karl Marx, yang melihat
kapitalisme sebagai sistem eksploitatif yang secara inheren menghasilkan
ketimpangan dan penderitaan. Dalam Capital, Marx menjelaskan bahwa
kapitalisme menciptakan surplus value (nilai lebih) dengan membayar tenaga
kerja lebih rendah dari nilai produk yang dihasilkan, sehingga pemilik modal
memperoleh laba melalui eksploitasi tenaga kerja.1 Proses
ini bukan hanya menciptakan ketimpangan, tetapi juga mendorong siklus krisis
berkala akibat overproduksi dan kontradiksi internal dalam akumulasi modal.
Selain itu, Marx
juga mengembangkan konsep alienasi, yaitu keterasingan
manusia dari hasil kerjanya, dari aktivitas produktifnya, dari sesama manusia,
dan dari potensi kemanusiaannya. Dalam masyarakat kapitalis, manusia dipandang
sebagai komoditas dan alat produksi semata, sehingga martabat eksistensialnya
terdegradasi oleh logika pasar.2 Kapitalisme, bagi Marx,
bukan hanya sistem ekonomi, tetapi struktur ideologis yang mengaburkan relasi
kuasa antara kelas penindas dan tertindas.
7.2.
Kritik Ekologis:
Pertumbuhan Tak Terbatas dan Krisis Planet
Kapitalisme sering
dianggap sebagai penyebab utama krisis ekologis global. Logika pertumbuhan tak
terbatas yang menjadi inti sistem kapitalis bertentangan dengan kenyataan bahwa
bumi memiliki sumber daya yang terbatas. Kapitalisme mengandalkan eksploitasi
alam sebagai komoditas dan memperlakukan kerusakan lingkungan sebagai
eksternalitas yang tidak perlu dihitung dalam akuntansi ekonomi.3
Dalam This
Changes Everything, Naomi Klein berargumen bahwa
perubahan iklim bukan hanya masalah teknologi atau kebijakan, tetapi akibat
langsung dari logika destruktif kapitalisme yang mengedepankan deregulasi,
ekspansi industri, dan pengabaian terhadap keseimbangan ekologis.4
Kritik ekologis juga menekankan bahwa sistem kapitalis tidak mampu mereformasi
dirinya untuk menjadi berkelanjutan karena insentif dasarnya bertumpu pada laba
jangka pendek, bukan kelangsungan jangka panjang.
7.3.
Kritik Postmodern
dan Postkolonial: Hegemoni, Konsumsi, dan Globalisasi
Dari perspektif
postmodern dan postkolonial, kapitalisme dikritik sebagai sistem yang
memproduksi dominasi kultural dan ideologis secara global. Kapitalisme bukan
hanya sistem ekonomi, tetapi juga mekanisme produksi makna dan identitas
melalui konsumsi massal, media, dan gaya hidup. Jean Baudrillard, misalnya,
menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalis lanjut, manusia tidak lagi
mengonsumsi barang karena kebutuhan, melainkan karena simbol yang melekat
padanya—munculnya simulacra dan hyperreality
sebagai bagian dari logika kapitalisme representasi.5
Sementara itu,
pemikir postkolonial seperti Edward Said dan Gayatri
Spivak menyoroti bagaimana kapitalisme global melanggengkan
ketimpangan kolonial dalam bentuk baru. Globalisasi ekonomi yang digerakkan
oleh kapitalisme telah memperluas ketimpangan antara pusat dan pinggiran, serta
memaksakan model pembangunan Barat kepada negara-negara berkembang melalui
lembaga seperti IMF dan WTO.6
7.4.
Kritik Feminis:
Kapitalisme, Patriarki, dan Reproduksi Sosial
Kritik feminis
terhadap kapitalisme berfokus pada bagaimana sistem ini mengeksploitasi kerja
perempuan dan menopang relasi patriarkal. Para teoretikus feminis seperti Silvia
Federici dan Nancy Fraser menunjukkan bahwa
kapitalisme tidak mungkin berfungsi tanpa kerja reproduktif yang dilakukan
secara tidak dibayar oleh perempuan, seperti mengasuh anak, merawat keluarga,
dan menjaga rumah tangga.7
Dalam kerangka ini,
kapitalisme tidak netral gender, melainkan bergantung pada subordinasi
perempuan dalam ruang domestik dan fleksibilitas mereka dalam pasar kerja.
Feminis Marxis juga mengkritik bahwa kapitalisme cenderung memfasilitasi
komodifikasi tubuh dan seksualitas perempuan, baik melalui industri iklan
maupun industri jasa seks global, yang memperkuat ketimpangan gender atas nama
profit.8
Kritik-kritik ini
membongkar mitos bahwa kapitalisme adalah sistem netral atau rasional semata.
Sebaliknya, kapitalisme muncul sebagai formasi ideologis yang mengatur relasi
sosial secara hierarkis dan seringkali menindas. Kendati kapitalisme
menunjukkan kapasitas adaptasi yang tinggi, kritik dari berbagai arah
mengungkapkan bahwa sistem ini tetap mengandung problem mendasar yang menuntut
transformasi struktural, bukan sekadar reformasi kosmetik.
Footnotes
[1]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–329.
[2]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Mineola, NY: Dover Publications, 2007), 71–87.
[3]
James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World:
Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability
(New Haven: Yale University Press, 2008), 47–59.
[4]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 43–68.
[5]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–42.
[6]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and
Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.
[7]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 71–101.
[8]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism
to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 164–189.
8.
Alternatif dan Reformasi terhadap Kapitalisme
Setelah berbagai
kritik filosofis, moral, ekologis, dan struktural terhadap kapitalisme
dikemukakan, muncul kebutuhan mendesak untuk menggali kemungkinan alternatif
dan bentuk-bentuk reformasi terhadap sistem ini. Meskipun kapitalisme
menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi, kenyataan mengenai ketimpangan
struktural, krisis lingkungan, dan dominasi oligarkis dalam politik ekonomi
global mengindikasikan bahwa reformasi parsial tidaklah cukup. Oleh karena itu,
berbagai pemikir dan gerakan sosial mengusulkan bentuk-bentuk sistem
ekonomi-politik yang berbeda atau diperbarui, yang secara prinsipil bertujuan
menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial dan keberlanjutan
ekologis.
8.1.
Sosialisme
Demokratik
Salah satu
alternatif paling terkenal terhadap kapitalisme adalah sosialisme
demokratik, yakni sistem yang menggabungkan prinsip kepemilikan
kolektif atas alat produksi dengan institusi demokrasi representatif. Berbeda
dari sosialisme otoriter atau komunisme terpusat, sosialisme demokratik
menekankan partisipasi politik, pemilu bebas, dan perlindungan hak-hak sipil.
Model ini diterapkan dalam berbagai derajat di negara-negara Skandinavia, yang
dikenal dengan welfare states atau negara
kesejahteraan.1
Bernie
Sanders dan Jeremy Corbyn, sebagai tokoh
kontemporer, menghidupkan kembali wacana ini dengan menekankan pentingnya
pendidikan dan kesehatan publik, pajak progresif, dan perlindungan buruh dalam
kerangka demokrasi.2 Sosialisme demokratik
menawarkan sistem distribusi kekayaan yang lebih adil, sambil tetap
mempertahankan dinamika pasar dalam batas tertentu.
8.2.
Ekonomi Solidaritas
dan Koperasi
Ekonomi
solidaritas adalah pendekatan alternatif yang menekankan kerja
sama, demokrasi ekonomi, dan orientasi sosial dalam aktivitas ekonomi. Dalam
kerangka ini, koperasi, komunitas lokal, dan usaha milik pekerja menjadi
instrumen utama produksi dan distribusi. Tidak seperti perusahaan kapitalis
yang bertujuan memaksimalkan laba bagi pemegang saham, unit-unit ekonomi
solidaritas bertujuan memenuhi kebutuhan anggotanya dan komunitas secara luas.3
Gerakan
koperasi—baik koperasi konsumsi, produksi, maupun kredit—telah berkembang luas
di berbagai negara sebagai praktik nyata dari demokratisasi ekonomi. Contoh
konkret seperti Mondragon Corporation di
Spanyol menunjukkan bahwa koperasi besar dapat bersaing secara global sembari
mempertahankan prinsip partisipasi demokratis dan keadilan sosial.4
8.3.
Kapitalisme Berbasis
Nilai (Stakeholder Capitalism)
Sebagai upaya
reformasi dari dalam, konsep stakeholder capitalism
dikembangkan oleh ekonom dan pemimpin bisnis yang mengakui bahwa kapitalisme
berbasis pemegang saham (shareholder capitalism) menciptakan ketimpangan dan
ketidakstabilan. Dalam stakeholder capitalism, perusahaan diharapkan tidak
hanya mengejar keuntungan bagi pemilik saham, tetapi juga memperhatikan
kesejahteraan pekerja, pelanggan, komunitas, dan lingkungan.5
Klaus
Schwab, pendiri World Economic Forum, mendorong paradigma ini
dengan menyatakan bahwa sistem kapitalisme harus diubah menjadi lebih inklusif
dan berorientasi jangka panjang untuk menghindari keruntuhan moral dan sosial.6
Meski ide ini banyak dikritik sebagai bentuk kapitalisme “berwajah ramah,”
ia tetap menunjukkan adanya kesadaran internal bahwa sistem pasar membutuhkan
legitimasi etis.
8.4.
Ekonomi Degrowth dan
Transisi Ekologis
Alternatif radikal
lainnya muncul dari gerakan degrowth, yakni pendekatan yang
menolak asumsi dasar kapitalisme tentang pertumbuhan ekonomi tak terbatas. Para
pendukung degrowth menyatakan bahwa pencapaian kesejahteraan tidak identik
dengan peningkatan GDP, melainkan dengan keberlanjutan ekologis, keseimbangan
sosial, dan kesederhanaan hidup.7
Tokoh seperti Serge
Latouche mengusulkan transisi menuju masyarakat
pasca-pertumbuhan yang menekankan lokalitas, relasi sosial, dan sistem produksi
rendah karbon. Degrowth bukan hanya proyek teknis atau kebijakan ekonomi,
melainkan transformasi nilai dan cara hidup yang bertolak belakang dengan
logika konsumtif kapitalisme modern.8
8.5.
Ekonomi Islam dan
Prinsip Keadilan Sosial
Dalam konteks dunia
Muslim, ekonomi Islam sering
dikemukakan sebagai alternatif normatif terhadap kapitalisme sekuler. Prinsip
dasar ekonomi Islam mencakup larangan riba (bunga), keadilan distribusi, zakat,
serta partisipasi sosial dalam kepemilikan dan produksi. Model ini menekankan
nilai-nilai etika dan spiritual dalam kegiatan ekonomi, serta mendorong
solidaritas antarumat melalui wakaf, infak, dan kebijakan redistributif
lainnya.9
Walaupun
implementasi ekonomi Islam berbeda-beda di berbagai negara, pendekatan ini
menandai adanya upaya untuk menciptakan sistem ekonomi yang seimbang antara
materialitas dan moralitas, dengan tujuan mewujudkan maqāṣid
al-sharīʿah (tujuan-tujuan syariat) dalam kehidupan sosial-ekonomi.10
Alternatif dan
reformasi terhadap kapitalisme, baik yang berasal dari gerakan sosial maupun
dari lembaga formal, mencerminkan kesadaran global bahwa sistem dominan saat
ini perlu ditinjau kembali secara mendasar. Entah melalui transisi bertahap
atau revolusi nilai, gagasan-gagasan ini berkontribusi pada wacana tentang masa
depan ekonomi global yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–58.
[2]
Bernie Sanders, Our Revolution: A Future to Believe In (New
York: Thomas Dunne Books, 2016), 54–71.
[3]
Jean-Louis Laville, The Solidarity Economy: Alternative Modes of
Organization, trans. Matthew Richmond (London: Zed Books, 2015), 14–29.
[4]
George Cheney, Values at Work: Employee Participation Meets Market
Pressure at Mondragón (Ithaca: Cornell University Press, 2002), 33–45.
[5]
Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach
(Boston: Pitman, 1984), 39–62.
[6]
Klaus Schwab, Stakeholder Capitalism: A Global Economy that Works
for Progress, People and Planet (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 17–33.
[7]
Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era
(New York: Routledge, 2015), 3–15.
[8]
Serge Latouche, Farewell to Growth, trans. David Macey
(Cambridge: Polity Press, 2009), 89–105.
[9]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Herndon, VA:
International Institute of Islamic Thought, 1992), 155–175.
[10]
M. A. Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice
(Cambridge: Hodder & Stoughton, 1986), 112–124.
9.
Relevansi Kapitalisme dalam Dunia Kontemporer
Kapitalisme terus
menjadi sistem ekonomi global dominan pada abad ke-21, meskipun dihadapkan pada
berbagai krisis struktural, tantangan moral, dan tekanan ekologis. Dalam konteks
dunia kontemporer, relevansi kapitalisme tidak hanya dilihat dari
keberlanjutannya sebagai mekanisme produksi dan distribusi, tetapi juga dari
kemampuannya menjawab persoalan global seperti krisis iklim, ketimpangan
ekonomi, disrupsi digital, dan pelemahan institusi demokrasi. Kapitalisme kini
bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan kerangka budaya dan politik yang
membentuk cara manusia bekerja, berinteraksi, dan memaknai hidupnya.
9.1.
Kapitalisme Digital
dan Revolusi Teknologi
Kapitalisme
kontemporer mengalami transformasi signifikan dengan munculnya teknologi
digital, kecerdasan buatan (AI), dan platform ekonomi. Era ini disebut oleh Shoshana
Zuboff sebagai surveillance capitalism, yaitu
bentuk kapitalisme yang mengeksploitasi data perilaku manusia sebagai komoditas
utama.1 Perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti
Google, Facebook, dan Amazon tidak hanya mendominasi pasar, tetapi juga
mengendalikan informasi, memengaruhi opini publik, dan membentuk preferensi
politik melalui algoritma yang tidak transparan.
Model bisnis digital
yang bergantung pada akumulasi data ini menimbulkan persoalan serius terkait
privasi, monopoli, serta ketimpangan akses dan kendali atas teknologi. Di satu
sisi, teknologi memungkinkan efisiensi dan konektivitas global; namun di sisi
lain, ia memperkuat kekuasaan segelintir korporasi dan menciptakan
ketergantungan sosial yang luas terhadap platform digital.2
9.2.
Ketimpangan Ekonomi
Global dan Krisis Kesejahteraan
Kapitalisme global
menghasilkan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun tidak
disertai dengan distribusi kesejahteraan yang adil. Thomas
Piketty menunjukkan bahwa konsentrasi kekayaan semakin tajam
dalam beberapa dekade terakhir, bahkan di negara-negara maju, dengan 10%
populasi terkaya menguasai lebih dari separuh total kekayaan dunia.3
Krisis pandemi
COVID-19 memperlihatkan ketidaksetaraan ini secara gamblang: sementara para
miliarder menambah kekayaannya selama lockdown global, jutaan pekerja informal
kehilangan penghasilan dan akses terhadap layanan kesehatan dasar.4
Realitas ini menantang klaim bahwa pasar bebas dapat menciptakan kesejahteraan
bagi semua, dan mendorong desakan terhadap sistem perlindungan sosial yang
lebih kuat dan adil.
9.3.
Kapitalisme dan
Krisis Iklim Global
Masalah iklim
menjadi salah satu isu krusial dalam debat kontemporer tentang masa depan
kapitalisme. Model pertumbuhan ekonomi kapitalistik, yang bergantung pada
konsumsi energi fosil dan ekspansi industri, bertanggung jawab terhadap
meningkatnya emisi karbon, deforestasi, dan kepunahan ekosistem. Naomi
Klein menyatakan bahwa sistem kapitalisme “tidak dirancang
untuk memecahkan krisis iklim” karena prinsip dasarnya bertentangan dengan
keberlanjutan lingkungan hidup.5
Meskipun muncul
inisiatif seperti green capitalism atau sustainable
development, banyak kritik yang menilai bahwa pendekatan tersebut
bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah: yakni logika pertumbuhan
tak terbatas dalam sistem pasar bebas. Sebagai akibatnya, banyak aktivis dan
akademisi menyerukan transformasi struktural yang melampaui kapitalisme untuk
menyelamatkan planet ini.
9.4.
Populisme dan Erosi
Demokrasi
Ketimpangan yang
ditimbulkan oleh kapitalisme neoliberal juga berdampak serius pada stabilitas
politik. Ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi yang dirasa eksklusif mendorong
munculnya gelombang populisme di berbagai negara, baik dalam bentuk sayap kanan
maupun kiri. Populisme sering memanfaatkan narasi anti-globalisasi dan
anti-elit untuk merebut simpati publik yang merasa tertinggal oleh kemajuan
ekonomi.6
Chantal
Mouffe berargumen bahwa kapitalisme neoliberal telah menggerus
ruang deliberasi demokratis dengan menjadikan kebijakan ekonomi sebagai ranah
teknokratis yang tidak dapat diperdebatkan secara politik.7
Akibatnya, banyak warga merasa kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri,
dan menjadi sasaran empuk politik identitas, xenofobia, dan otoritarianisme
baru.
9.5.
Kapitalisme dan
Moralitas Sosial
Dalam ranah budaya,
kapitalisme membentuk cara pandang manusia terhadap nilai, kerja, dan
kesuksesan. Etika kapitalisme mendorong individualisme, meritokrasi, dan
persaingan, namun juga menumbuhkan alienasi sosial dan krisis makna. Manusia
diukur dari produktivitas, daya beli, dan pencapaian material, sementara
solidaritas sosial dan nilai-nilai komunal semakin tergerus.8
Relevansi
kapitalisme saat ini harus ditinjau bukan hanya dari kemampuan sistem ini
bertahan secara struktural, tetapi juga dari kapasitasnya untuk
mengartikulasikan bentuk kehidupan yang bermakna, adil, dan berkelanjutan di
tengah tantangan global. Tanpa transformasi nilai dan arah moral, kapitalisme
berisiko menjauh dari kemanusiaan yang hendak dilayaninya.
Dengan demikian,
kapitalisme dalam dunia kontemporer menghadapi ujian yang berat: apakah ia
mampu mereformasi dirinya secara substansial atau akan tergantikan oleh sistem
alternatif yang lebih adaptif terhadap tantangan abad ke-21. Perdebatan ini
masih berlangsung dan menunjukkan pentingnya keterlibatan filsafat
sosial-politik dalam membentuk arah masa depan umat manusia.
Footnotes
[1]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–24.
[2]
Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press,
2016), 27–41.
[3]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 237–272.
[4]
Oxfam International, The Inequality Virus (Oxford: Oxfam
Briefing Paper, 2021), 5–12.
[5]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 112–136.
[6]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 65–82.
[7]
Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018),
11–29.
[8]
Erich Fromm, To Have or to Be? (New York: Harper & Row,
1976), 67–89.
10.
Penutup
Kapitalisme, sebagai
sistem sosial-ekonomi yang dominan dalam sejarah modern, telah membentuk
lanskap global dari segi ekonomi, politik, budaya, hingga relasi ekologis.
Melalui pembahasan yang mencakup asal-usul historisnya, fondasi filosofis,
ekspresi praktis dalam masyarakat, kritik multidisipliner, hingga relevansi
kontemporernya, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme bukan sekadar mekanisme
pasar bebas, melainkan sebuah formasi sosial-politik yang kompleks dan
multidimensional.
Sebagai sistem,
kapitalisme telah menunjukkan kapasitas besar dalam menciptakan pertumbuhan
ekonomi, inovasi teknologi, dan ekspansi global. Dalam berbagai konteks,
kapitalisme menjadi kekuatan pendorong transformasi sosial yang signifikan,
mulai dari industrialisasi hingga digitalisasi. Tokoh-tokoh seperti Adam Smith
dan Friedrich Hayek menggarisbawahi peran vital kebebasan individu dan pasar
dalam mendukung kreativitas dan efisiensi dalam produksi serta distribusi
barang dan jasa.1
Namun, sebagaimana
dikemukakan oleh para kritikus dari berbagai aliran pemikiran—Marxisme,
feminisme, ekologi radikal, dan postkolonialisme—kapitalisme juga menyisakan
warisan problematik. Ketimpangan ekonomi yang semakin menganga, alienasi
manusia dari kerja dan komunitasnya, kerusakan lingkungan global, dan pelemahan
demokrasi substantif adalah sebagian dari dampak sistemik kapitalisme
kontemporer.2 Dalam pandangan David Harvey, kapitalisme tidak
sekadar mengalami krisis, tetapi secara inheren tergantung pada penciptaan
krisis sebagai bagian dari logika ekspansi akumulatifnya.3
Berbagai upaya
reformasi dan alternatif telah diusulkan: dari sosialisme demokratik, ekonomi
solidaritas, hingga degrowth dan ekonomi Islam. Meskipun masing-masing
menawarkan pendekatan berbeda, benang merah dari semua gagasan ini adalah
pencarian terhadap model ekonomi yang lebih etis, inklusif, dan
berkelanjutan—suatu sistem yang menempatkan nilai kemanusiaan, keadilan sosial,
dan keseimbangan ekologis sebagai prioritas utama, bukan hanya akumulasi laba
semata.4
Di tengah tantangan
global seperti perubahan iklim, revolusi teknologi, dan krisis kepercayaan
terhadap lembaga-lembaga demokrasi, pertanyaan fundamental yang diajukan oleh
filsafat sosial-politik menjadi semakin relevan: Sistem
ekonomi macam apa yang mampu menopang kehidupan manusia secara bermartabat
dalam jangka panjang? Kapitalisme mungkin masih menjadi
kerangka dominan, tetapi kesinambungannya bergantung pada kemampuannya untuk
mentransformasikan prinsip-prinsip dasarnya secara radikal, atau pada kesiapan
masyarakat global untuk membayangkan dan membangun sistem alternatif yang lebih
manusiawi.
Dengan demikian,
kajian kapitalisme dalam perspektif filsafat sosial-politik tidak hanya bertujuan
memahami struktur dan dinamika sistem tersebut, tetapi juga membuka ruang
reflektif dan kritis untuk merumuskan arah masa depan yang lebih adil, beradab,
dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I,
Chapter II; Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago:
University of Chicago Press, 2007), 91–108.
[2]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 329–345; Silvia Federici, Caliban
and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York:
Autonomedia, 2004), 71–93.
[3]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 42–63.
[4]
Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era
(New York: Routledge, 2015), 83–99; M. Umer Chapra, Islam and the Economic
Challenge (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992),
158–169.
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
(Original work published 1981)
Chapra, M. U. (1992). Islam
and the economic challenge. International Institute of Islamic Thought.
Cheney, G. (2002). Values
at work: Employee participation meets market pressure at Mondragón. Cornell
University Press.
Diamond, L. (1999). Developing
democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.
Elster, J. (2007). Explaining
social behavior: More nuts and bolts for the social sciences. Cambridge
University Press.
Esping-Andersen, G. (1990).
The three worlds of welfare capitalism. Princeton University Press.
Federici, S. (2004). Caliban
and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Freeman, E. (1984). Strategic
management: A stakeholder approach. Pitman.
Fromm, E. (1976). To
have or to be? Harper & Row.
Harvey, D. (2005). A
brief history of neoliberalism. Oxford University Press.
Harvey, D. (2010). The
enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.
Hayek, F. A. (2007). The
road to serfdom. University of Chicago Press. (Original work published
1944)
Hobsbawm, E. (1999). Industry
and empire: The birth of the industrial revolution. The New Press.
Kallis, G., Kerschner, C.,
& Martinez-Alier, J. (Eds.). (2015). Degrowth: A vocabulary for a new
era. Routledge.
Klein, N. (2014). This
changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Latouche, S. (2009). Farewell
to growth (D. Macey, Trans.). Polity Press.
Laville, J.-L. (2015). The
solidarity economy: Alternative modes of organization (M. Richmond,
Trans.). Zed Books.
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
(Original work published 1689)
Mannan, M. A. (1986). Islamic
economics: Theory and practice. Hodder & Stoughton.
Marx, K. (1990). Capital:
A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin
Books. (Original work published 1867)
Marx, K., & Engels, F.
(2002). The communist manifesto. Penguin Classics. (Original work
published 1848)
Marx, K. (2007). Economic
and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Dover
Publications. (Original work published 1932)
Mayer, J. (2016). Dark
money: The hidden history of the billionaires behind the rise of the radical
right. Doubleday.
Mills, C. W. (2000). The
power elite. Oxford University Press. (Original work published 1956)
Mouffe, C. (2018). For
a left populism. Verso.
Mudde, C., & Rovira
Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford
University Press.
Oxfam International.
(2021). The inequality virus. https://www.oxfam.org/en/research/inequality-virus
Piketty, T. (2014). Capital
in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University
Press.
Reich, R. B. (2015). Saving
capitalism: For the many, not the few. Knopf.
Sanders, B. (2016). Our
revolution: A future to believe in. Thomas Dunne Books.
Schwab, K. (2021). Stakeholder
capitalism: A global economy that works for progress, people and planet.
Wiley.
Smith, A. (1904). An
inquiry into the nature and causes of the wealth of nations (E. Cannan,
Ed.). Methuen & Co., Ltd. (Original work published 1776)
Smith, A. (2002). The
theory of moral sentiments (K. Haakonssen, Ed.). Cambridge University
Press. (Original work published 1759)
Speth, J. G. (2008). The
bridge at the edge of the world: Capitalism, the environment, and crossing from
crisis to sustainability. Yale University Press.
Spivak, G. C. (1994). Can
the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial
discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia
University Press.
Srnicek, N. (2016). Platform
capitalism. Polity Press.
Weber, M. (2005). The
protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.).
Routledge. (Original work published 1905)
Wallerstein, I. (1974). The
modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European
world-economy in the sixteenth century. Academic Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar