Selasa, 10 Juni 2025

Kapitalisme: Asal-Usul, Prinsip-Prinsip, Kritik, dan Relevansi Global

Kapitalisme

Asal-Usul, Prinsip-Prinsip, Kritik, dan Relevansi Global


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai kapitalisme dalam kerangka filsafat sosial-politik, dengan menelaah asal-usul historis, fondasi konseptual, perkembangan ideologis, praktik sosial-politik, kritik multidisipliner, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Dimulai dari proto-kapitalisme di Eropa pra-modern hingga kapitalisme digital dan neoliberal, artikel ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak sekadar sistem ekonomi, tetapi juga formasi nilai, kekuasaan, dan budaya. Kapitalisme dibangun di atas asas kepemilikan pribadi, kebebasan pasar, dan rasionalitas ekonomi yang berakar pada filsafat liberal klasik dan etika Protestan. Melalui pembacaan terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Adam Smith, Karl Marx, Max Weber, hingga Thomas Piketty, artikel ini mengidentifikasi dinamika internal serta pertentangan eksternal yang melekat pada kapitalisme. Kritik-kritik yang berasal dari tradisi Marxis, ekologis, feminis, postmodern, dan postkolonial membongkar dampak sistemik kapitalisme terhadap ketimpangan, alienasi, krisis lingkungan, dan dominasi global. Artikel ini juga mengulas berbagai bentuk alternatif dan reformasi kapitalisme, seperti sosialisme demokratik, ekonomi solidaritas, kapitalisme berbasis nilai, degrowth, serta ekonomi Islam. Pada akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa filsafat sosial-politik memiliki peran sentral dalam mengevaluasi masa depan kapitalisme, dan mendorong perumusan sistem ekonomi yang lebih etis, adil, dan berkelanjutan bagi umat manusia.

Kata Kunci: Kapitalisme, filsafat sosial-politik, liberalisme, Marx, ketimpangan, neoliberalisme, kapitalisme digital, kritik ekologis, sosialisme demokratik, ekonomi alternatif.


PEMBAHASAN

Kapitalisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Kapitalisme merupakan salah satu sistem sosial-ekonomi yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, dan ia telah menjadi landasan utama dalam struktur politik, ekonomi, dan budaya masyarakat modern. Sebagai sistem yang menekankan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, orientasi pada akumulasi laba, serta kebebasan pasar, kapitalisme telah mengalami transformasi signifikan sejak kelahirannya pada era pasca-feodalisme hingga kini dalam wujud neoliberalisme global yang semakin kompleks dan digital. Perkembangannya tidak hanya mempengaruhi praktik ekonomi, tetapi juga mendasari cara berpikir dan struktur sosial-politik yang mewarnai peradaban kontemporer.

Dalam ranah filsafat sosial-politik, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai sistem ekonomi, melainkan sebagai formasi ideologis dan historis yang menyimpan dinamika relasi kuasa, etika, kebebasan, dan ketimpangan. Para pemikir seperti Adam Smith meletakkan fondasi normatif bagi pasar bebas melalui konsep invisible hand, yang diyakini dapat mengatur distribusi sumber daya secara efisien tanpa intervensi negara berlebihan.1 Namun, tokoh-tokoh kritis seperti Karl Marx melihat kapitalisme sebagai sistem yang secara inheren eksploitatif, menyuburkan alienasi pekerja, dan mendorong krisis ekonomi periodik sebagai akibat dari kontradiksi internalnya.2

Ketegangan antara kebebasan individu yang dijanjikan kapitalisme dan kenyataan struktur ketimpangan yang dihasilkannya telah menjadi pokok perdebatan yang terus hidup dalam filsafat sosial-politik. Dalam kajian filsafat politik kontemporer, kapitalisme tidak hanya menjadi objek ekonomi, tetapi juga menjadi ruang kontestasi antara ide-ide keadilan distributif, hak-hak sosial, dan kendali terhadap kekuasaan korporat. Di sinilah pentingnya memahami kapitalisme tidak sekadar sebagai sistem produksi, melainkan sebagai kerangka ideologis yang mengatur kehidupan sosial dalam skala global.

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam asal-usul historis kapitalisme, prinsip-prinsip ideologis dan filsafat yang menopangnya, kritik-kritik tajam dari berbagai perspektif pemikiran, serta relevansinya dalam menghadapi tantangan global saat ini seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan disrupsi digital. Dengan pendekatan filsafat sosial-politik, kajian ini berusaha menempatkan kapitalisme dalam kerangka analitis yang lebih luas, melampaui reduksi teknokratis dan menawarkan pemahaman yang lebih utuh terhadap kompleksitas sistem ini dalam kehidupan manusia modern.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book IV, Chapter II.

[2]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 163–178.


2.           Landasan Konseptual Kapitalisme

Kapitalisme, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada kepemilikan privat atas alat-alat produksi dan pertukaran barang melalui mekanisme pasar yang relatif bebas. Dalam sistem ini, kegiatan ekonomi didorong oleh motif pencarian laba (profit motive) dan diorganisasi oleh kekuatan penawaran dan permintaan tanpa campur tangan langsung dari negara secara berlebihan. Akar kata “kapitalisme” berasal dari kata Latin capitalis, yang merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan kepala atau sumber utama, dan dalam konteks ekonomi modern merujuk pada akumulasi modal sebagai unsur inti produksi.1

Secara filosofis dan historis, kapitalisme berkembang dari perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi pasca-feodalisme di Eropa Barat, terutama setelah munculnya Revolusi Industri dan pemikiran ekonomi liberal pada abad ke-18. Adam Smith, tokoh utama ekonomi klasik, mendefinisikan kapitalisme melalui konsep pasar bebas, pembagian kerja, dan laissez-faire yang diyakini mampu mengatur ekonomi secara efisien melalui invisible hand atau mekanisme alami pasar.2 Menurut Smith, apabila individu mengejar kepentingan pribadi mereka dalam pasar bebas, maka secara tidak langsung mereka juga berkontribusi pada kemakmuran masyarakat secara keseluruhan.

Kapitalisme memiliki sejumlah prinsip dasar yang membentuk kerangka konseptualnya, yaitu:

1)                  Kepemilikan Pribadi atas Alat Produksi, yang berarti bahwa individu atau entitas swasta memiliki hak hukum atas tanah, pabrik, dan modal lainnya.

2)                  Akumulasi Modal, sebagai tujuan utama kegiatan ekonomi, yakni meningkatkan nilai investasi melalui laba dan pertumbuhan berkelanjutan.

3)                  Kebebasan Pasar, di mana harga dan distribusi barang ditentukan oleh kekuatan pasar, bukan perintah negara.

4)                  Kompetisi Bebas, yang mendorong efisiensi, inovasi, dan produktivitas dalam sistem ekonomi.3

Namun, kapitalisme bukanlah sistem yang bersifat monolitik. Para ekonom dan filsuf membedakan berbagai varian kapitalisme, seperti kapitalisme liberal (sebagaimana berkembang di Amerika Serikat), kapitalisme sosial-demokratik (seperti di Skandinavia), serta kapitalisme negara (yang terlihat dalam model ekonomi Tiongkok). Varian-varian ini memperlihatkan bahwa kapitalisme dapat beroperasi dalam kerangka politik dan budaya yang sangat berbeda, tetapi tetap mempertahankan prinsip dasar kepemilikan privat dan orientasi pasar.4

Selain itu, penting untuk dicatat bahwa kapitalisme tidak sekadar struktur ekonomi, tetapi juga membentuk struktur nilai dalam masyarakat, termasuk pandangan tentang kerja, waktu, efisiensi, dan pertumbuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber, kapitalisme modern dipengaruhi oleh etika Protestan yang mengaitkan kesuksesan ekonomi dengan tanda keselamatan spiritual, sehingga kerja keras dan akumulasi kekayaan dianggap sebagai manifestasi moralitas dan kesalehan.5

Dengan demikian, landasan konseptual kapitalisme mencakup dimensi ekonomi, politik, dan kultural yang saling terjalin dalam struktur kehidupan masyarakat modern. Pemahaman yang mendalam terhadap dimensi-dimensi ini menjadi penting dalam rangka menganalisis dan mengevaluasi dampak kapitalisme dalam konteks sosial-politik global saat ini.


Footnotes

[1]                Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, trans. Siân Reynolds (Berkeley: University of California Press, 1992), 232.

[2]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I, Chapter I.

[3]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 2002), 13–32.

[4]                Peter A. Hall and David Soskice, eds., Varieties of Capitalism: The Institutional Foundations of Comparative Advantage (Oxford: Oxford University Press, 2001), 1–36.

[5]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 39–72.


3.           Sejarah Perkembangan Kapitalisme

Perkembangan kapitalisme sebagai sistem sosial-ekonomi tidak terjadi secara instan, melainkan merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan kompleks. Kapitalisme lahir dari transformasi mendalam dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi Eropa pasca-Abad Pertengahan, lalu berkembang dan menyebar secara global melalui ekspansi kolonial, revolusi industri, dan globalisasi. Setidaknya terdapat empat fase historis utama dalam perkembangan kapitalisme: proto-kapitalisme, kapitalisme klasik, kapitalisme industri-modern, dan kapitalisme global-kontemporer.

3.1.       Proto-Kapitalisme: Cikal Bakal Kapitalisme (abad ke-13 s.d. ke-16)

Akar kapitalisme dapat ditelusuri ke zaman akhir feodalisme di Eropa, ketika sistem ekonomi mulai bergerak dari pertanian subsisten ke ekonomi pasar uang. Dalam masa ini, kegiatan perdagangan lintas wilayah, terutama oleh kota-kota pelabuhan seperti Venesia dan Genoa, berkembang pesat, didukung oleh munculnya lembaga keuangan awal seperti bank dan asuransi.1 Kemunculan kelas borjuasi—kelompok pedagang dan pemilik modal perkotaan—juga menjadi faktor penting dalam melemahkan dominasi ekonomi kaum feodal dan gereja.

Konsep awal akumulasi kapital telah tampak pada praktik merchant capitalism, yaitu bentuk awal kapitalisme di mana keuntungan diperoleh dari perdagangan barang antarwilayah, bukan dari produksi langsung. Praktik ini diperkuat oleh ekspansi maritim dan kolonialisme bangsa Eropa ke Asia, Afrika, dan Amerika, yang membuka akses pada sumber daya dan pasar baru serta memperkuat logika eksploitasi dan komersialisasi global.2

3.2.       Kapitalisme Klasik: Liberalisme Ekonomi dan Revolusi Industri (abad ke-18 s.d. ke-19)

Kapitalisme klasik muncul seiring dengan Revolusi Industri di Inggris yang dimulai sekitar tahun 1760. Revolusi ini menandai pergeseran besar dari produksi berbasis tenaga kerja manual ke mesin dan pabrik yang dikelola secara terpusat. Hal ini mengubah struktur sosial dan ekonomi secara radikal, menciptakan kelas pekerja industrial (proletariat) dan memperbesar kekuatan kelas kapitalis (bourgeoisie).[^^3] Dalam periode ini, pemikiran ekonomi liberal yang diusung oleh Adam Smith dan tokoh-tokoh sejenis menjadi ideologi dominan. Smith menekankan pentingnya kebebasan pasar, pembagian kerja, dan persaingan bebas sebagai pendorong efisiensi dan kemakmuran umum.3

Kapitalisme klasik juga didukung oleh perkembangan institusi modern seperti perbankan sentral, hukum kontrak, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi. Negara-negara mulai membentuk kerangka hukum yang mendukung mobilitas kapital, perdagangan bebas, dan perlindungan investasi.

3.3.       Kapitalisme Industri-Modern: Korporasi, Intervensi Negara, dan Konsumerisme (abad ke-20)

Memasuki abad ke-20, kapitalisme memasuki fase baru yang ditandai oleh pertumbuhan korporasi besar, meningkatnya intervensi negara dalam ekonomi, dan berkembangnya budaya konsumsi massal. Krisis ekonomi besar seperti Great Depression tahun 1929 memunculkan kritik terhadap kapitalisme pasar bebas dan mendorong negara untuk mengambil peran lebih aktif dalam mengatur ekonomi. Model welfare capitalism di Eropa dan New Deal di Amerika Serikat adalah contoh upaya penyeimbangan antara pasar dan negara dalam rangka menjaga stabilitas sosial-ekonomi.4

Dalam fase ini pula, kapitalisme menunjukkan kemampuannya beradaptasi melalui inovasi teknologi, ekspansi industri, serta integrasi pasar internasional. Konsumerisme menjadi gaya hidup dominan dalam masyarakat kapitalis modern, terutama pasca-Perang Dunia II, ditopang oleh media massa dan sistem produksi yang efisien.5

3.4.       Kapitalisme Global dan Neoliberalisme (akhir abad ke-20 s.d. kini)

Sejak tahun 1970-an, dunia menyaksikan gelombang baru liberalisasi ekonomi yang dikenal sebagai neoliberalisme—yakni kebijakan yang menekankan deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara dalam ekonomi. Didorong oleh tokoh seperti Milton Friedman dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia, neoliberalisme menjadi ideologi dominan dalam ekonomi global pasca-Perang Dingin.6

Kapitalisme dalam era global ini ditandai oleh integrasi ekonomi lintas negara melalui perdagangan bebas, mobilitas modal, dan revolusi teknologi informasi. Namun, hal ini juga memunculkan ketimpangan global yang tajam, eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang, serta krisis ekologis akibat tekanan pertumbuhan ekonomi tak terbatas.7 Dalam dekade terakhir, muncul pula bentuk kapitalisme baru seperti platform capitalism dan surveillance capitalism, yang berfokus pada data, algoritma, dan dominasi korporasi teknologi raksasa.8


Footnotes

[1]                Fernand Braudel, The Wheels of Commerce, trans. Siân Reynolds (Berkeley: University of California Press, 1992), 41–85.

[2]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1974), 15–34.

[3]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I, Chapter IV.

[4]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 378–390.

[5]                Raymond Williams, Culture and Materialism (London: Verso, 2005), 89–101.

[6]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 1–38.

[7]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 234–278.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–12.


4.           Fondasi Filsafat Kapitalisme

Kapitalisme bukan semata-mata sistem ekonomi yang berkutat pada produksi dan distribusi barang, melainkan juga berdiri di atas fondasi filosofis yang mendalam. Fondasi ini mencakup gagasan tentang hak milik pribadi, kebebasan individu, rasionalitas ekonomi, dan hubungan antara negara dan pasar. Sebagai sistem nilai, kapitalisme berkembang seiring munculnya filsafat liberalisme, rasionalisme modern, serta etika kerja yang diasosiasikan dengan budaya Protestan.

4.1.       Kapitalisme dan Liberalisme Klasik

Filsafat kapitalisme sangat erat kaitannya dengan liberalisme klasik, yang menekankan kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan pembatasan kekuasaan negara. Pemikir seperti John Locke mengartikulasikan bahwa hak milik adalah hak alamiah manusia, sejajar dengan hak atas hidup dan kebebasan. Menurut Locke, hak milik muncul dari kerja: “Apa pun yang seseorang keluarkan dari keadaan alam melalui kerja jasmaninya adalah miliknya.”1 Pandangan ini menjadi dasar normatif dari legalitas kepemilikan pribadi dalam sistem kapitalis.

Selain Locke, Adam Smith juga memainkan peran kunci dalam membentuk fondasi filsafat kapitalisme melalui karyanya The Wealth of Nations (1776). Smith menekankan bahwa kebebasan individu dalam mengejar kepentingan pribadinya akan menghasilkan kesejahteraan kolektif melalui mekanisme pasar yang disebut invisible hand.2 Ia berargumen bahwa keteraturan ekonomi dapat tercipta bukan melalui perencanaan negara, tetapi dari hasil interaksi bebas antar pelaku pasar. Dalam kerangka ini, kebebasan ekonomi dianggap sebagai perwujudan dari kebebasan moral dan politik.

4.2.       Rasionalitas Ekonomi dan Individualisme Metodologis

Fondasi lain dari kapitalisme adalah asumsi tentang rasionalitas ekonomi, yaitu keyakinan bahwa individu bertindak secara rasional untuk memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Model homo economicus—manusia sebagai agen kalkulatif dan efisien—menjadi subjek utama dalam teori-teori ekonomi kapitalis. Gagasan ini merupakan lanjutan dari individualisme metodologis, yakni bahwa semua fenomena sosial dapat dijelaskan melalui tindakan individu yang rasional.3

Konsep ini berakar pada pencerahan Eropa, di mana akal (reason) menjadi pusat dalam pengambilan keputusan moral dan ekonomi. Pemikiran seperti ini memperkuat posisi subjek individu dalam kehidupan ekonomi, sekaligus membatasi peran komunitas atau negara dalam menentukan arah produksi dan distribusi kekayaan.

4.3.       Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme

Salah satu analisis klasik yang mengaitkan kapitalisme dengan kerangka nilai spiritual adalah pemikiran Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber berargumen bahwa etika kerja Protestan, khususnya kalvinisme, mendorong pola hidup asketik, kerja keras, dan penundaan konsumsi. Nilai-nilai ini secara tidak langsung membentuk “jiwa kapitalisme”—etos yang menjadikan akumulasi kapital sebagai bentuk moralitas duniawi dan tanda anugerah spiritual.4

Weber menekankan bahwa rasionalisasi dan disiplin diri yang melekat dalam etika Protestan sangat kompatibel dengan semangat kapitalis, yaitu efisiensi, perencanaan, dan kalkulasi rasional. Kapitalisme modern menurutnya tidak mungkin berkembang tanpa transformasi nilai-nilai budaya yang menginternalisasi logika produksi dan akumulasi secara sistemik.5

4.4.       Konsepsi Negara dan Pasar

Filsafat kapitalisme juga menyertakan pemahaman tertentu tentang hubungan antara negara dan pasar. Dalam pandangan liberal klasik, negara idealnya hanya berfungsi menjaga hukum, keamanan, dan hak milik. Friedrich Hayek, misalnya, berpendapat bahwa intervensi negara yang terlalu jauh dalam pasar akan mengarah pada road to serfdom, yakni jalan menuju tirani karena menghilangkan kebebasan individu dan spontanitas pasar.6

Pandangan ini berpijak pada filsafat sosial-politik yang memprioritaskan spontaneous order—yakni keteraturan sosial yang muncul dari interaksi bebas tanpa perencanaan terpusat. Dalam kerangka ini, pasar dianggap sebagai lembaga sosial yang paling efisien dan adil karena mengandalkan prinsip meritokrasi dan kebebasan bertindak.


Dengan demikian, fondasi filsafat kapitalisme merupakan sintesis antara hak-hak alamiah manusia, kebebasan individu, rasionalitas modern, dan nilai-nilai moral tertentu yang berfungsi mengukuhkan struktur ekonomi pasar. Tanpa memahami basis filosofis ini, analisis terhadap kapitalisme akan tereduksi menjadi teknis belaka, tanpa menggali kedalaman nilai dan ideologi yang menyertainya.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.

[2]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book IV, Chapter II.

[3]                Jon Elster, Explaining Social Behavior: More Nuts and Bolts for the Social Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 13–29.

[4]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 35–58.

[5]                Ibid., 91–102.

[6]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 67–85.


5.           Pemikiran Tokoh-Tokoh Terkait Kapitalisme

Sejarah dan perkembangan kapitalisme tidak dapat dipisahkan dari kontribusi teoretis sejumlah tokoh besar dalam filsafat sosial-politik dan ekonomi. Para pemikir ini telah membentuk fondasi konseptual, merumuskan pembelaan normatif, serta menawarkan kritik tajam terhadap kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan sosial. Bagian ini mengulas lima tokoh kunci: Adam Smith, Karl Marx, Max Weber, Friedrich Hayek dan Milton Friedman, serta David Harvey dan Thomas Piketty, sebagai representasi dari spektrum pemikiran tentang kapitalisme.

5.1.       Adam Smith: Kebebasan Pasar dan Moralitas Ekonomi

Adam Smith (1723–1790), dikenal sebagai “bapak ekonomi modern”, adalah pelopor utama dalam merumuskan dasar-dasar kapitalisme klasik. Dalam The Wealth of Nations (1776), ia berargumen bahwa pasar yang bebas dari intervensi negara memungkinkan individu untuk mengejar kepentingan pribadinya secara rasional, dan secara tidak langsung berkontribusi pada kesejahteraan umum melalui mekanisme invisible hand.1 Menurut Smith, produktivitas meningkat melalui pembagian kerja, dan kompetisi pasar akan menyeimbangkan harga dan kualitas barang.

Namun, Smith tidak menganjurkan kapitalisme yang sepenuhnya bebas dari etika. Dalam The Theory of Moral Sentiments (1759), ia menekankan pentingnya simpati, keadilan, dan norma sosial dalam menjaga stabilitas masyarakat kapitalis.2 Bagi Smith, kebebasan ekonomi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab moral.

5.2.       Karl Marx: Kritik Radikal terhadap Kapitalisme

Karl Marx (1818–1883) adalah kritikus paling berpengaruh terhadap kapitalisme. Dalam Das Kapital dan berbagai tulisan lainnya, Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah sistem eksploitasi, di mana kelas borjuasi menguasai alat produksi dan mengambil surplus value dari kerja proletariat.3 Ia memperkenalkan konsep alienasi, yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya sendiri, dari proses kerja, dari sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaannya.

Bagi Marx, kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang akan membawa pada krisis berkala, akumulasi kekayaan pada segelintir orang, dan akhirnya kehancuran sistem itu sendiri. Ia memandang kapitalisme sebagai tahap sejarah menuju sosialisme, di mana alat produksi akan dimiliki secara kolektif dan pembagian kerja akan dihapuskan demi pembebasan manusia.4

5.3.       Max Weber: Rasionalisasi dan Etika Kapitalisme

Max Weber (1864–1920) tidak hanya melihat kapitalisme sebagai struktur ekonomi, tetapi juga sebagai konstruksi kultural dan etis. Dalam karya klasiknya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menelusuri akar budaya kapitalisme modern ke dalam etika kerja Protestan, khususnya kalvinisme, yang menekankan disiplin diri, kerja keras, dan hidup hemat sebagai tanda pemilihan ilahi.5

Weber menekankan bahwa kapitalisme modern bersifat rasional, terorganisir, dan dijalankan melalui sistem birokrasi dan kalkulasi efisien. Namun, ia juga memperingatkan bahwa rasionalisasi yang ekstrem bisa menyebabkan “kandungan besi birokrasi” (iron cage), yaitu keterjebakan manusia dalam sistem yang tak manusiawi dan impersonal.6

5.4.       Friedrich Hayek dan Milton Friedman: Pembela Neoliberalisme

Friedrich Hayek (1899–1992) dan Milton Friedman (1912–2006) adalah tokoh utama dalam pembelaan terhadap kapitalisme neoliberal. Dalam The Road to Serfdom, Hayek memperingatkan bahwa perencanaan ekonomi oleh negara akan mengarah pada totalitarianisme. Ia mengajukan argumen bahwa pasar bebas memungkinkan tatanan sosial yang spontan dan efisien tanpa perlu intervensi negara berlebihan.7

Milton Friedman, dalam Capitalism and Freedom, berpendapat bahwa kebebasan ekonomi adalah syarat bagi kebebasan politik. Ia menekankan bahwa hanya dalam sistem pasar bebaslah individu memiliki pilihan dan otonomi yang nyata.8 Keduanya menentang Keynesianisme dan memperjuangkan deregulasi, privatisasi, serta tanggung jawab individu dalam sistem kapitalis.

5.5.       David Harvey dan Thomas Piketty: Kritik Kontemporer terhadap Kapitalisme Global

David Harvey (lahir 1935), seorang geograf Marxis, mengembangkan teori akumulasi melalui dislokasi spasial (spatial fix) dalam kapitalisme global. Dalam A Brief History of Neoliberalism, ia menunjukkan bagaimana kapitalisme modern bergantung pada krisis dan penciptaan pasar baru untuk mempertahankan sirkulasi kapital, serta memperlihatkan bagaimana neoliberalisme meningkatkan ketimpangan kelas dan melemahkan kekuatan kolektif masyarakat.9

Sementara itu, Thomas Piketty (lahir 1971), melalui karyanya Capital in the Twenty-First Century, menganalisis secara empiris bahwa akumulasi kekayaan dalam kapitalisme global bergerak lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi, sehingga memperparah ketimpangan. Rumus terkenalnya r > g (rate of return > economic growth) menunjukkan bahwa tanpa intervensi, kapitalisme akan selalu menciptakan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit.10


Tokoh-tokoh di atas menunjukkan spektrum luas pemikiran tentang kapitalisme, mulai dari pembelaan moral dan efisiensi pasar hingga kritik struktural terhadap eksploitasi, ketimpangan, dan dehumanisasi. Pemikiran mereka membentuk kerangka teoretis utama dalam memahami dinamika kapitalisme dari sudut pandang filsafat sosial-politik.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I, Chapter II.

[2]                Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, ed. Knud Haakonssen (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 13–19.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–359.

[4]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: Penguin Classics, 2002), 14–23.

[5]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 47–63.

[6]                Ibid., 181–185.

[7]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 87–100.

[8]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 2002), 7–21.

[9]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–25.

[10]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 25–27.


6.           Kapitalisme dalam Praktik Sosial dan Politik

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi tidak pernah hadir dalam ruang hampa; ia senantiasa berkelindan dengan struktur sosial dan dinamika politik. Dalam praktiknya, kapitalisme mempengaruhi hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat—dari pola relasi kerja, distribusi kekuasaan, hingga pembentukan institusi politik dan budaya. Oleh karena itu, memahami kapitalisme dalam konteks sosial-politik berarti menelaah bagaimana prinsip-prinsip pasar, kepemilikan privat, dan akumulasi kapital diterapkan, dipertahankan, atau dipertentangkan dalam realitas konkret kehidupan publik.

6.1.       Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Salah satu narasi dominan yang mengiringi penyebaran kapitalisme adalah klaim kompatibilitasnya dengan sistem demokrasi liberal. Dalam pandangan ini, pasar bebas dan sistem politik representatif dianggap saling menopang: kebebasan ekonomi memperkuat otonomi individu, sedangkan kebebasan politik menjamin hak-hak sipil dalam masyarakat kapitalis.1 Pemikiran ini didukung oleh tokoh seperti Milton Friedman, yang menyatakan bahwa kapitalisme memberi landasan material bagi kebebasan individu, termasuk kebebasan berbicara dan memilih.2

Namun, sejumlah kritik menggarisbawahi bahwa relasi antara kapitalisme dan demokrasi bersifat ambivalen. Sementara kapitalisme dapat menciptakan kelas menengah yang stabil, ia juga berpotensi menumpuk kekuatan ekonomi pada segelintir elite, yang kemudian mengganggu keseimbangan politik melalui pengaruh terhadap kebijakan publik dan lembaga demokrasi.3 Dalam kenyataannya, kapitalisme sering kali menghasilkan oligarki terselubung yang mengendalikan media, pendanaan politik, dan akses terhadap informasi.

6.2.       Kapitalisme dan Ketimpangan Sosial

Dalam tataran sosial, kapitalisme memproduksi stratifikasi yang tajam melalui mekanisme pasar yang pada dasarnya tidak mengenal prinsip kesetaraan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan kepemilikan aset ditentukan oleh daya beli dan posisi dalam struktur produksi. Thomas Piketty menunjukkan bahwa dalam sistem kapitalis, tingkat pengembalian terhadap modal (r) lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ekonomi (g), yang secara struktural memperbesar ketimpangan kekayaan dari waktu ke waktu.4

Ketimpangan ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga kultural dan simbolik. Dalam masyarakat kapitalis, status sosial cenderung diukur melalui konsumsi dan gaya hidup, menciptakan tekanan sosial terhadap kelas bawah untuk meniru pola hidup yang tidak terjangkau. Kapitalisme modern memperluas jurang antara “yang punya” dan “yang tidak” melalui privatisasi layanan publik, liberalisasi pasar tenaga kerja, dan dominasi korporasi global atas sumber daya strategis.

6.3.       Kapitalisme dan Kekuasaan Politik

Kapitalisme juga membentuk hubungan kekuasaan dalam ranah politik. Pemilik modal besar, seperti perusahaan multinasional dan elite finansial, memiliki pengaruh yang luas terhadap kebijakan ekonomi, perpajakan, dan perundang-undangan melalui lobi politik, kontribusi kampanye, dan kontrol atas media.5 Dalam banyak negara, proses legislatif menjadi cerminan kepentingan ekonomi tertentu, bukan lagi representasi kepentingan rakyat secara luas.

Fenomena ini melahirkan apa yang disebut oleh C. Wright Mills sebagai power elite—kelompok kecil yang memusatkan kekuasaan ekonomi, politik, dan militer dalam satu jaringan sosial tertutup.6 Akibatnya, kebijakan publik sering kali berpihak pada kepentingan pemodal, bukan pada kebutuhan mayoritas warga negara, terutama kelas pekerja dan masyarakat rentan.

6.4.       Kapitalisme dan Krisis Ekologi

Salah satu konsekuensi paling serius dari praktik kapitalisme dalam masyarakat kontemporer adalah krisis ekologis. Sistem kapitalis sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan eksploitasi sumber daya alam secara masif. Logika akumulasi kapital mendorong eksploitasi lingkungan tanpa memperhitungkan daya dukung ekologis jangka panjang. Produksi massal, konsumsi berlebihan, dan eksternalisasi biaya lingkungan menjadi karakteristik utama ekonomi kapitalis.7

Naomi Klein, dalam karyanya This Changes Everything, menegaskan bahwa perubahan iklim bukan semata akibat teknologi, tetapi hasil langsung dari sistem ekonomi kapitalis yang mendorong ekspansi tanpa batas di planet yang terbatas.8 Dalam konteks ini, kapitalisme tidak hanya menjadi ancaman bagi kesetaraan sosial, tetapi juga bagi kelangsungan hidup ekologis umat manusia.

6.5.       Kapitalisme, Teknologi, dan Budaya Konsumen

Kapitalisme kontemporer semakin terkoneksi dengan teknologi digital dan budaya konsumsi. Dengan kehadiran media sosial, algoritma, dan e-commerce, nilai dan identitas manusia makin diproduksi melalui logika pasar. Konsep surveillance capitalism, yang dikembangkan oleh Shoshana Zuboff, menggambarkan bagaimana kapitalisme memanfaatkan data pribadi sebagai komoditas baru untuk memengaruhi perilaku dan preferensi konsumen secara sistematis.9

Budaya populer dalam masyarakat kapitalis juga membentuk identitas melalui konsumsi simbolik. Iklan, merek, dan lifestyle menjadi sarana pembentukan subjektivitas manusia modern. Proses ini tidak hanya menciptakan kebutuhan semu, tetapi juga memperkuat sistem nilai kapitalis yang menempatkan konsumsi sebagai bentuk utama dari makna hidup.


Dengan demikian, kapitalisme dalam praktik sosial dan politik bukanlah sekadar sistem distribusi barang dan jasa, melainkan suatu formasi kekuasaan dan budaya yang mengatur kehidupan manusia dalam banyak aspek. Dinamika antara pasar, negara, masyarakat, dan lingkungan dalam sistem kapitalis menuntut kajian filosofis yang tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga kritis terhadap konsekuensi moral dan struktural yang ditimbulkannya.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 12–15.

[2]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 2002), 7–21.

[3]                Robert Reich, Saving Capitalism: For the Many, Not the Few (New York: Knopf, 2015), 61–73.

[4]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 20–27.

[5]                Jane Mayer, Dark Money: The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right (New York: Doubleday, 2016), 101–119.

[6]                C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University Press, 2000), 3–28.

[7]                James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability (New Haven: Yale University Press, 2008), 32–45.

[8]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 27–43.

[9]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–24.


7.           Kritik terhadap Kapitalisme

Sejak kemunculannya sebagai sistem dominan dalam ekonomi global, kapitalisme telah menghadapi berbagai kritik tajam dari filsuf, ekonom, teoretikus sosial, dan aktivis. Kritik terhadap kapitalisme tidak hanya menyasar ketimpangan ekonomi atau eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mencakup persoalan etika, ekologi, alienasi manusia, dan krisis eksistensial masyarakat modern. Dalam bagian ini, kritik terhadap kapitalisme diklasifikasikan dalam empat pendekatan utama: Marxis, ekologis, postmodern dan postkolonial, serta feminis.

7.1.       Kritik Marxis: Eksploitasi, Alienasi, dan Krisis Internal

Kritik paling sistematis terhadap kapitalisme datang dari Karl Marx, yang melihat kapitalisme sebagai sistem eksploitatif yang secara inheren menghasilkan ketimpangan dan penderitaan. Dalam Capital, Marx menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan surplus value (nilai lebih) dengan membayar tenaga kerja lebih rendah dari nilai produk yang dihasilkan, sehingga pemilik modal memperoleh laba melalui eksploitasi tenaga kerja.1 Proses ini bukan hanya menciptakan ketimpangan, tetapi juga mendorong siklus krisis berkala akibat overproduksi dan kontradiksi internal dalam akumulasi modal.

Selain itu, Marx juga mengembangkan konsep alienasi, yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari aktivitas produktifnya, dari sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaannya. Dalam masyarakat kapitalis, manusia dipandang sebagai komoditas dan alat produksi semata, sehingga martabat eksistensialnya terdegradasi oleh logika pasar.2 Kapitalisme, bagi Marx, bukan hanya sistem ekonomi, tetapi struktur ideologis yang mengaburkan relasi kuasa antara kelas penindas dan tertindas.

7.2.       Kritik Ekologis: Pertumbuhan Tak Terbatas dan Krisis Planet

Kapitalisme sering dianggap sebagai penyebab utama krisis ekologis global. Logika pertumbuhan tak terbatas yang menjadi inti sistem kapitalis bertentangan dengan kenyataan bahwa bumi memiliki sumber daya yang terbatas. Kapitalisme mengandalkan eksploitasi alam sebagai komoditas dan memperlakukan kerusakan lingkungan sebagai eksternalitas yang tidak perlu dihitung dalam akuntansi ekonomi.3

Dalam This Changes Everything, Naomi Klein berargumen bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah teknologi atau kebijakan, tetapi akibat langsung dari logika destruktif kapitalisme yang mengedepankan deregulasi, ekspansi industri, dan pengabaian terhadap keseimbangan ekologis.4 Kritik ekologis juga menekankan bahwa sistem kapitalis tidak mampu mereformasi dirinya untuk menjadi berkelanjutan karena insentif dasarnya bertumpu pada laba jangka pendek, bukan kelangsungan jangka panjang.

7.3.       Kritik Postmodern dan Postkolonial: Hegemoni, Konsumsi, dan Globalisasi

Dari perspektif postmodern dan postkolonial, kapitalisme dikritik sebagai sistem yang memproduksi dominasi kultural dan ideologis secara global. Kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga mekanisme produksi makna dan identitas melalui konsumsi massal, media, dan gaya hidup. Jean Baudrillard, misalnya, menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalis lanjut, manusia tidak lagi mengonsumsi barang karena kebutuhan, melainkan karena simbol yang melekat padanya—munculnya simulacra dan hyperreality sebagai bagian dari logika kapitalisme representasi.5

Sementara itu, pemikir postkolonial seperti Edward Said dan Gayatri Spivak menyoroti bagaimana kapitalisme global melanggengkan ketimpangan kolonial dalam bentuk baru. Globalisasi ekonomi yang digerakkan oleh kapitalisme telah memperluas ketimpangan antara pusat dan pinggiran, serta memaksakan model pembangunan Barat kepada negara-negara berkembang melalui lembaga seperti IMF dan WTO.6

7.4.       Kritik Feminis: Kapitalisme, Patriarki, dan Reproduksi Sosial

Kritik feminis terhadap kapitalisme berfokus pada bagaimana sistem ini mengeksploitasi kerja perempuan dan menopang relasi patriarkal. Para teoretikus feminis seperti Silvia Federici dan Nancy Fraser menunjukkan bahwa kapitalisme tidak mungkin berfungsi tanpa kerja reproduktif yang dilakukan secara tidak dibayar oleh perempuan, seperti mengasuh anak, merawat keluarga, dan menjaga rumah tangga.7

Dalam kerangka ini, kapitalisme tidak netral gender, melainkan bergantung pada subordinasi perempuan dalam ruang domestik dan fleksibilitas mereka dalam pasar kerja. Feminis Marxis juga mengkritik bahwa kapitalisme cenderung memfasilitasi komodifikasi tubuh dan seksualitas perempuan, baik melalui industri iklan maupun industri jasa seks global, yang memperkuat ketimpangan gender atas nama profit.8


Kritik-kritik ini membongkar mitos bahwa kapitalisme adalah sistem netral atau rasional semata. Sebaliknya, kapitalisme muncul sebagai formasi ideologis yang mengatur relasi sosial secara hierarkis dan seringkali menindas. Kendati kapitalisme menunjukkan kapasitas adaptasi yang tinggi, kritik dari berbagai arah mengungkapkan bahwa sistem ini tetap mengandung problem mendasar yang menuntut transformasi struktural, bukan sekadar reformasi kosmetik.


Footnotes

[1]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 320–329.

[2]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Mineola, NY: Dover Publications, 2007), 71–87.

[3]                James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability (New Haven: Yale University Press, 2008), 47–59.

[4]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 43–68.

[5]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–42.

[6]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.

[7]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 71–101.

[8]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 164–189.


8.           Alternatif dan Reformasi terhadap Kapitalisme

Setelah berbagai kritik filosofis, moral, ekologis, dan struktural terhadap kapitalisme dikemukakan, muncul kebutuhan mendesak untuk menggali kemungkinan alternatif dan bentuk-bentuk reformasi terhadap sistem ini. Meskipun kapitalisme menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi, kenyataan mengenai ketimpangan struktural, krisis lingkungan, dan dominasi oligarkis dalam politik ekonomi global mengindikasikan bahwa reformasi parsial tidaklah cukup. Oleh karena itu, berbagai pemikir dan gerakan sosial mengusulkan bentuk-bentuk sistem ekonomi-politik yang berbeda atau diperbarui, yang secara prinsipil bertujuan menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.

8.1.       Sosialisme Demokratik

Salah satu alternatif paling terkenal terhadap kapitalisme adalah sosialisme demokratik, yakni sistem yang menggabungkan prinsip kepemilikan kolektif atas alat produksi dengan institusi demokrasi representatif. Berbeda dari sosialisme otoriter atau komunisme terpusat, sosialisme demokratik menekankan partisipasi politik, pemilu bebas, dan perlindungan hak-hak sipil. Model ini diterapkan dalam berbagai derajat di negara-negara Skandinavia, yang dikenal dengan welfare states atau negara kesejahteraan.1

Bernie Sanders dan Jeremy Corbyn, sebagai tokoh kontemporer, menghidupkan kembali wacana ini dengan menekankan pentingnya pendidikan dan kesehatan publik, pajak progresif, dan perlindungan buruh dalam kerangka demokrasi.2 Sosialisme demokratik menawarkan sistem distribusi kekayaan yang lebih adil, sambil tetap mempertahankan dinamika pasar dalam batas tertentu.

8.2.       Ekonomi Solidaritas dan Koperasi

Ekonomi solidaritas adalah pendekatan alternatif yang menekankan kerja sama, demokrasi ekonomi, dan orientasi sosial dalam aktivitas ekonomi. Dalam kerangka ini, koperasi, komunitas lokal, dan usaha milik pekerja menjadi instrumen utama produksi dan distribusi. Tidak seperti perusahaan kapitalis yang bertujuan memaksimalkan laba bagi pemegang saham, unit-unit ekonomi solidaritas bertujuan memenuhi kebutuhan anggotanya dan komunitas secara luas.3

Gerakan koperasi—baik koperasi konsumsi, produksi, maupun kredit—telah berkembang luas di berbagai negara sebagai praktik nyata dari demokratisasi ekonomi. Contoh konkret seperti Mondragon Corporation di Spanyol menunjukkan bahwa koperasi besar dapat bersaing secara global sembari mempertahankan prinsip partisipasi demokratis dan keadilan sosial.4

8.3.       Kapitalisme Berbasis Nilai (Stakeholder Capitalism)

Sebagai upaya reformasi dari dalam, konsep stakeholder capitalism dikembangkan oleh ekonom dan pemimpin bisnis yang mengakui bahwa kapitalisme berbasis pemegang saham (shareholder capitalism) menciptakan ketimpangan dan ketidakstabilan. Dalam stakeholder capitalism, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan bagi pemilik saham, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan pekerja, pelanggan, komunitas, dan lingkungan.5

Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, mendorong paradigma ini dengan menyatakan bahwa sistem kapitalisme harus diubah menjadi lebih inklusif dan berorientasi jangka panjang untuk menghindari keruntuhan moral dan sosial.6 Meski ide ini banyak dikritik sebagai bentuk kapitalisme “berwajah ramah,” ia tetap menunjukkan adanya kesadaran internal bahwa sistem pasar membutuhkan legitimasi etis.

8.4.       Ekonomi Degrowth dan Transisi Ekologis

Alternatif radikal lainnya muncul dari gerakan degrowth, yakni pendekatan yang menolak asumsi dasar kapitalisme tentang pertumbuhan ekonomi tak terbatas. Para pendukung degrowth menyatakan bahwa pencapaian kesejahteraan tidak identik dengan peningkatan GDP, melainkan dengan keberlanjutan ekologis, keseimbangan sosial, dan kesederhanaan hidup.7

Tokoh seperti Serge Latouche mengusulkan transisi menuju masyarakat pasca-pertumbuhan yang menekankan lokalitas, relasi sosial, dan sistem produksi rendah karbon. Degrowth bukan hanya proyek teknis atau kebijakan ekonomi, melainkan transformasi nilai dan cara hidup yang bertolak belakang dengan logika konsumtif kapitalisme modern.8

8.5.       Ekonomi Islam dan Prinsip Keadilan Sosial

Dalam konteks dunia Muslim, ekonomi Islam sering dikemukakan sebagai alternatif normatif terhadap kapitalisme sekuler. Prinsip dasar ekonomi Islam mencakup larangan riba (bunga), keadilan distribusi, zakat, serta partisipasi sosial dalam kepemilikan dan produksi. Model ini menekankan nilai-nilai etika dan spiritual dalam kegiatan ekonomi, serta mendorong solidaritas antarumat melalui wakaf, infak, dan kebijakan redistributif lainnya.9

Walaupun implementasi ekonomi Islam berbeda-beda di berbagai negara, pendekatan ini menandai adanya upaya untuk menciptakan sistem ekonomi yang seimbang antara materialitas dan moralitas, dengan tujuan mewujudkan maqāṣid al-sharīʿah (tujuan-tujuan syariat) dalam kehidupan sosial-ekonomi.10


Alternatif dan reformasi terhadap kapitalisme, baik yang berasal dari gerakan sosial maupun dari lembaga formal, mencerminkan kesadaran global bahwa sistem dominan saat ini perlu ditinjau kembali secara mendasar. Entah melalui transisi bertahap atau revolusi nilai, gagasan-gagasan ini berkontribusi pada wacana tentang masa depan ekonomi global yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–58.

[2]                Bernie Sanders, Our Revolution: A Future to Believe In (New York: Thomas Dunne Books, 2016), 54–71.

[3]                Jean-Louis Laville, The Solidarity Economy: Alternative Modes of Organization, trans. Matthew Richmond (London: Zed Books, 2015), 14–29.

[4]                George Cheney, Values at Work: Employee Participation Meets Market Pressure at Mondragón (Ithaca: Cornell University Press, 2002), 33–45.

[5]                Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 39–62.

[6]                Klaus Schwab, Stakeholder Capitalism: A Global Economy that Works for Progress, People and Planet (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 17–33.

[7]                Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (New York: Routledge, 2015), 3–15.

[8]                Serge Latouche, Farewell to Growth, trans. David Macey (Cambridge: Polity Press, 2009), 89–105.

[9]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 155–175.

[10]             M. A. Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (Cambridge: Hodder & Stoughton, 1986), 112–124.


9.           Relevansi Kapitalisme dalam Dunia Kontemporer

Kapitalisme terus menjadi sistem ekonomi global dominan pada abad ke-21, meskipun dihadapkan pada berbagai krisis struktural, tantangan moral, dan tekanan ekologis. Dalam konteks dunia kontemporer, relevansi kapitalisme tidak hanya dilihat dari keberlanjutannya sebagai mekanisme produksi dan distribusi, tetapi juga dari kemampuannya menjawab persoalan global seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, disrupsi digital, dan pelemahan institusi demokrasi. Kapitalisme kini bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan kerangka budaya dan politik yang membentuk cara manusia bekerja, berinteraksi, dan memaknai hidupnya.

9.1.       Kapitalisme Digital dan Revolusi Teknologi

Kapitalisme kontemporer mengalami transformasi signifikan dengan munculnya teknologi digital, kecerdasan buatan (AI), dan platform ekonomi. Era ini disebut oleh Shoshana Zuboff sebagai surveillance capitalism, yaitu bentuk kapitalisme yang mengeksploitasi data perilaku manusia sebagai komoditas utama.1 Perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google, Facebook, dan Amazon tidak hanya mendominasi pasar, tetapi juga mengendalikan informasi, memengaruhi opini publik, dan membentuk preferensi politik melalui algoritma yang tidak transparan.

Model bisnis digital yang bergantung pada akumulasi data ini menimbulkan persoalan serius terkait privasi, monopoli, serta ketimpangan akses dan kendali atas teknologi. Di satu sisi, teknologi memungkinkan efisiensi dan konektivitas global; namun di sisi lain, ia memperkuat kekuasaan segelintir korporasi dan menciptakan ketergantungan sosial yang luas terhadap platform digital.2

9.2.       Ketimpangan Ekonomi Global dan Krisis Kesejahteraan

Kapitalisme global menghasilkan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun tidak disertai dengan distribusi kesejahteraan yang adil. Thomas Piketty menunjukkan bahwa konsentrasi kekayaan semakin tajam dalam beberapa dekade terakhir, bahkan di negara-negara maju, dengan 10% populasi terkaya menguasai lebih dari separuh total kekayaan dunia.3

Krisis pandemi COVID-19 memperlihatkan ketidaksetaraan ini secara gamblang: sementara para miliarder menambah kekayaannya selama lockdown global, jutaan pekerja informal kehilangan penghasilan dan akses terhadap layanan kesehatan dasar.4 Realitas ini menantang klaim bahwa pasar bebas dapat menciptakan kesejahteraan bagi semua, dan mendorong desakan terhadap sistem perlindungan sosial yang lebih kuat dan adil.

9.3.       Kapitalisme dan Krisis Iklim Global

Masalah iklim menjadi salah satu isu krusial dalam debat kontemporer tentang masa depan kapitalisme. Model pertumbuhan ekonomi kapitalistik, yang bergantung pada konsumsi energi fosil dan ekspansi industri, bertanggung jawab terhadap meningkatnya emisi karbon, deforestasi, dan kepunahan ekosistem. Naomi Klein menyatakan bahwa sistem kapitalisme “tidak dirancang untuk memecahkan krisis iklim” karena prinsip dasarnya bertentangan dengan keberlanjutan lingkungan hidup.5

Meskipun muncul inisiatif seperti green capitalism atau sustainable development, banyak kritik yang menilai bahwa pendekatan tersebut bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah: yakni logika pertumbuhan tak terbatas dalam sistem pasar bebas. Sebagai akibatnya, banyak aktivis dan akademisi menyerukan transformasi struktural yang melampaui kapitalisme untuk menyelamatkan planet ini.

9.4.       Populisme dan Erosi Demokrasi

Ketimpangan yang ditimbulkan oleh kapitalisme neoliberal juga berdampak serius pada stabilitas politik. Ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi yang dirasa eksklusif mendorong munculnya gelombang populisme di berbagai negara, baik dalam bentuk sayap kanan maupun kiri. Populisme sering memanfaatkan narasi anti-globalisasi dan anti-elit untuk merebut simpati publik yang merasa tertinggal oleh kemajuan ekonomi.6

Chantal Mouffe berargumen bahwa kapitalisme neoliberal telah menggerus ruang deliberasi demokratis dengan menjadikan kebijakan ekonomi sebagai ranah teknokratis yang tidak dapat diperdebatkan secara politik.7 Akibatnya, banyak warga merasa kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri, dan menjadi sasaran empuk politik identitas, xenofobia, dan otoritarianisme baru.

9.5.       Kapitalisme dan Moralitas Sosial

Dalam ranah budaya, kapitalisme membentuk cara pandang manusia terhadap nilai, kerja, dan kesuksesan. Etika kapitalisme mendorong individualisme, meritokrasi, dan persaingan, namun juga menumbuhkan alienasi sosial dan krisis makna. Manusia diukur dari produktivitas, daya beli, dan pencapaian material, sementara solidaritas sosial dan nilai-nilai komunal semakin tergerus.8

Relevansi kapitalisme saat ini harus ditinjau bukan hanya dari kemampuan sistem ini bertahan secara struktural, tetapi juga dari kapasitasnya untuk mengartikulasikan bentuk kehidupan yang bermakna, adil, dan berkelanjutan di tengah tantangan global. Tanpa transformasi nilai dan arah moral, kapitalisme berisiko menjauh dari kemanusiaan yang hendak dilayaninya.


Dengan demikian, kapitalisme dalam dunia kontemporer menghadapi ujian yang berat: apakah ia mampu mereformasi dirinya secara substansial atau akan tergantikan oleh sistem alternatif yang lebih adaptif terhadap tantangan abad ke-21. Perdebatan ini masih berlangsung dan menunjukkan pentingnya keterlibatan filsafat sosial-politik dalam membentuk arah masa depan umat manusia.


Footnotes

[1]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–24.

[2]                Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2016), 27–41.

[3]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 237–272.

[4]                Oxfam International, The Inequality Virus (Oxford: Oxfam Briefing Paper, 2021), 5–12.

[5]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 112–136.

[6]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 65–82.

[7]                Chantal Mouffe, For a Left Populism (London: Verso, 2018), 11–29.

[8]                Erich Fromm, To Have or to Be? (New York: Harper & Row, 1976), 67–89.


10.       Penutup

Kapitalisme, sebagai sistem sosial-ekonomi yang dominan dalam sejarah modern, telah membentuk lanskap global dari segi ekonomi, politik, budaya, hingga relasi ekologis. Melalui pembahasan yang mencakup asal-usul historisnya, fondasi filosofis, ekspresi praktis dalam masyarakat, kritik multidisipliner, hingga relevansi kontemporernya, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme bukan sekadar mekanisme pasar bebas, melainkan sebuah formasi sosial-politik yang kompleks dan multidimensional.

Sebagai sistem, kapitalisme telah menunjukkan kapasitas besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, inovasi teknologi, dan ekspansi global. Dalam berbagai konteks, kapitalisme menjadi kekuatan pendorong transformasi sosial yang signifikan, mulai dari industrialisasi hingga digitalisasi. Tokoh-tokoh seperti Adam Smith dan Friedrich Hayek menggarisbawahi peran vital kebebasan individu dan pasar dalam mendukung kreativitas dan efisiensi dalam produksi serta distribusi barang dan jasa.1

Namun, sebagaimana dikemukakan oleh para kritikus dari berbagai aliran pemikiran—Marxisme, feminisme, ekologi radikal, dan postkolonialisme—kapitalisme juga menyisakan warisan problematik. Ketimpangan ekonomi yang semakin menganga, alienasi manusia dari kerja dan komunitasnya, kerusakan lingkungan global, dan pelemahan demokrasi substantif adalah sebagian dari dampak sistemik kapitalisme kontemporer.2 Dalam pandangan David Harvey, kapitalisme tidak sekadar mengalami krisis, tetapi secara inheren tergantung pada penciptaan krisis sebagai bagian dari logika ekspansi akumulatifnya.3

Berbagai upaya reformasi dan alternatif telah diusulkan: dari sosialisme demokratik, ekonomi solidaritas, hingga degrowth dan ekonomi Islam. Meskipun masing-masing menawarkan pendekatan berbeda, benang merah dari semua gagasan ini adalah pencarian terhadap model ekonomi yang lebih etis, inklusif, dan berkelanjutan—suatu sistem yang menempatkan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan keseimbangan ekologis sebagai prioritas utama, bukan hanya akumulasi laba semata.4

Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, revolusi teknologi, dan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi, pertanyaan fundamental yang diajukan oleh filsafat sosial-politik menjadi semakin relevan: Sistem ekonomi macam apa yang mampu menopang kehidupan manusia secara bermartabat dalam jangka panjang? Kapitalisme mungkin masih menjadi kerangka dominan, tetapi kesinambungannya bergantung pada kemampuannya untuk mentransformasikan prinsip-prinsip dasarnya secara radikal, atau pada kesiapan masyarakat global untuk membayangkan dan membangun sistem alternatif yang lebih manusiawi.

Dengan demikian, kajian kapitalisme dalam perspektif filsafat sosial-politik tidak hanya bertujuan memahami struktur dan dinamika sistem tersebut, tetapi juga membuka ruang reflektif dan kritis untuk merumuskan arah masa depan yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book I, Chapter II; Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 91–108.

[2]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 329–345; Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 71–93.

[3]                David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 42–63.

[4]                Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (New York: Routledge, 2015), 83–99; M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 158–169.


Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press. (Original work published 1981)

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. International Institute of Islamic Thought.

Cheney, G. (2002). Values at work: Employee participation meets market pressure at Mondragón. Cornell University Press.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Elster, J. (2007). Explaining social behavior: More nuts and bolts for the social sciences. Cambridge University Press.

Esping-Andersen, G. (1990). The three worlds of welfare capitalism. Princeton University Press.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Freeman, E. (1984). Strategic management: A stakeholder approach. Pitman.

Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper & Row.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Harvey, D. (2010). The enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (2007). The road to serfdom. University of Chicago Press. (Original work published 1944)

Hobsbawm, E. (1999). Industry and empire: The birth of the industrial revolution. The New Press.

Kallis, G., Kerschner, C., & Martinez-Alier, J. (Eds.). (2015). Degrowth: A vocabulary for a new era. Routledge.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Latouche, S. (2009). Farewell to growth (D. Macey, Trans.). Polity Press.

Laville, J.-L. (2015). The solidarity economy: Alternative modes of organization (M. Richmond, Trans.). Zed Books.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Mannan, M. A. (1986). Islamic economics: Theory and practice. Hodder & Stoughton.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1867)

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto. Penguin Classics. (Original work published 1848)

Marx, K. (2007). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1932)

Mayer, J. (2016). Dark money: The hidden history of the billionaires behind the rise of the radical right. Doubleday.

Mills, C. W. (2000). The power elite. Oxford University Press. (Original work published 1956)

Mouffe, C. (2018). For a left populism. Verso.

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Oxfam International. (2021). The inequality virus. https://www.oxfam.org/en/research/inequality-virus

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Reich, R. B. (2015). Saving capitalism: For the many, not the few. Knopf.

Sanders, B. (2016). Our revolution: A future to believe in. Thomas Dunne Books.

Schwab, K. (2021). Stakeholder capitalism: A global economy that works for progress, people and planet. Wiley.

Smith, A. (1904). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations (E. Cannan, Ed.). Methuen & Co., Ltd. (Original work published 1776)

Smith, A. (2002). The theory of moral sentiments (K. Haakonssen, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1759)

Speth, J. G. (2008). The bridge at the edge of the world: Capitalism, the environment, and crossing from crisis to sustainability. Yale University Press.

Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia University Press.

Srnicek, N. (2016). Platform capitalism. Polity Press.

Weber, M. (2005). The protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Routledge. (Original work published 1905)

Wallerstein, I. (1974). The modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European world-economy in the sixteenth century. Academic Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar