Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan
Teori, Praktik, dan Tantangan Kontemporer
Alihkan ke: Sistem Pemerintahan, Kegagalan Demokrasi, Kritik Terhadap Demokrasi.
Abstrak
Artikel ini membahas demokrasi sebagai sistem
pemerintahan modern dengan pendekatan teoritis dan praktis yang komprehensif.
Berangkat dari pengertian dasar dan fondasi konseptual, artikel ini menyoroti
dua dimensi utama demokrasi menurut Robert A. Dahl—yakni kontestasi dan
partisipasi—yang menjadi pilar dalam pengembangan sistem demokrasi kontemporer.
Penjabaran dilanjutkan dengan analisis penerapan demokrasi dalam berbagai
sistem pemerintahan, hubungan antara demokrasi dan hak asasi manusia, serta
dinamika demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi. Artikel ini juga mengulas
krisis dan tantangan global terhadap demokrasi, seperti populisme, oligarki,
disinformasi digital, dan regresi institusional. Melalui refleksi teoritis,
artikel ini menawarkan arah reformasi yang mencakup penguatan institusi,
pembaruan partai politik, literasi kewarganegaraan, dan perluasan demokrasi
yang inklusif dan ekologis. Dengan pendekatan akademik yang mendalam dan
didukung oleh referensi kredibel, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi
terhadap wacana perbaikan demokrasi secara substantif dan berkelanjutan di era
kontemporer.
Kata Kunci; Demokrasi, sistem pemerintahan, partisipasi,
kontestasi, hak asasi manusia, regresi demokrasi, Indonesia, reformasi politik,
oligarki, populisme.
PEMBAHASAN
Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah politik dunia, demokrasi
telah berkembang menjadi sistem pemerintahan yang paling diidealkan dalam
mewujudkan pemerintahan yang adil, transparan, dan berpihak pada kedaulatan
rakyat. Berakar dari praktik polis di Yunani Kuno, demokrasi—yang secara
harfiah berarti "kekuasaan rakyat" (demos kratos)—mengalami
metamorfosis signifikan dalam lintas waktu dan konteks sosial-politik, hingga
mencapai bentuk modernnya yang kompleks dan institusional. Demokrasi kini tidak
sekadar dipahami sebagai bentuk pemerintahan, tetapi juga sebagai sistem nilai,
mekanisme politik, dan budaya partisipatif yang menyeluruh dalam masyarakat
modern.
Dalam konteks pemerintahan modern, demokrasi
dipahami sebagai suatu sistem yang menjamin partisipasi rakyat dalam proses
politik, baik secara langsung maupun melalui representasi politik dalam
lembaga-lembaga formal seperti parlemen dan partai politik. Robert A. Dahl,
salah satu pemikir demokrasi paling berpengaruh abad ke-20, mengidentifikasi
dua dimensi fundamental demokrasi: kontestasi (public contestation)
dan partisipasi inklusif (inclusive participation)—dua pilar yang
menentukan derajat poliariki dalam suatu negara. Kontestasi merujuk pada
kompetisi yang bebas dan terbuka di antara elit politik untuk memperoleh
kekuasaan, sedangkan partisipasi mencerminkan luasnya keterlibatan warga negara
dalam menentukan kebijakan dan arah pemerintahan melalui mekanisme pemilu dan
partisipasi sipil lainnya¹.
Dominasi demokrasi sebagai sistem pemerintahan
tidak terlepas dari keberhasilannya dalam merespons tuntutan zaman: keadilan
politik, hak asasi manusia, akuntabilitas, dan transparansi. Demokrasi menjadi
wadah bagi artikulasi kehendak rakyat sekaligus arena bagi lahirnya konsensus
publik secara damai. Namun, demokrasi juga bukan sistem yang steril dari
tantangan. Fenomena seperti populisme, manipulasi digital, krisis kepercayaan
terhadap institusi, serta kecenderungan oligarkis dalam partai politik
menunjukkan bahwa demokrasi rentan terhadap distorsi internal maupun
eksternal².
Secara empiris, penerapan demokrasi dalam sistem
pemerintahan menunjukkan keragaman yang luas, tergantung pada konfigurasi
institusional, budaya politik, serta kekuatan masyarakat sipil di masing-masing
negara. Di Indonesia, demokrasi mengalami transformasi dramatis pasca-Reformasi
1998 dengan diberlakukannya pemilu langsung, kebebasan pers, dan desentralisasi
pemerintahan. Meskipun demikian, pelaksanaan demokrasi tetap dihadapkan pada
berbagai tantangan seperti korupsi politik, polarisasi sosial, dan lemahnya
institusi pengawasan³.
Tulisan ini akan mengkaji secara komprehensif
demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dimulai dari teori-teori dasar,
prinsip-prinsip utama yang melandasinya, variasi implementasi dalam model
presidensial dan parlementer, hingga refleksi atas tantangan kontemporer yang
menguji daya tahan sistem demokrasi di era modern. Dengan pendekatan kritis dan
reflektif, artikel ini berupaya memberikan kontribusi intelektual terhadap
pemahaman mendalam mengenai demokrasi dalam lanskap pemerintahan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and
Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–6.
[2]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our
Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2018), 21–45.
[3]
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast
Asia’s Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,” Journal
of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–118.
2.
Pengertian
dan Landasan Konseptual Demokrasi
Demokrasi merupakan konsep politik yang memiliki
akar historis panjang sekaligus memiliki fleksibilitas makna yang terus
berkembang sesuai dengan dinamika sosial-politik masyarakat. Secara etimologis,
istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dēmos
(rakyat) dan kratos (kekuasaan atau pemerintahan), yang secara harfiah
berarti “pemerintahan oleh rakyat.” Dalam praktiknya, demokrasi mengandaikan
adanya pengakuan atas kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan
politik, serta menekankan pentingnya kesetaraan hak dalam pengambilan keputusan
publik¹.
Di dunia klasik, demokrasi berkembang dalam konteks
negara-kota (polis) Athena, di mana warga laki-laki dewasa secara
langsung terlibat dalam proses legislasi dan pengambilan keputusan melalui
forum publik seperti ecclesia. Namun, bentuk demokrasi langsung semacam
ini mengalami transformasi mendasar seiring dengan berkembangnya masyarakat
modern yang berskala besar, yang kemudian melahirkan model demokrasi
perwakilan, di mana rakyat menyerahkan mandatnya kepada wakil-wakil yang
dipilih secara periodik melalui pemilu².
Dalam teori politik kontemporer, demokrasi tidak
hanya dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk memilih penguasa, tetapi juga
sebagai sistem normatif yang menjamin kebebasan sipil, pluralisme politik, dan
kontrol terhadap kekuasaan. Robert A. Dahl membedakan antara konsep demokrasi
ideal dan bentuk nyata dari demokrasi yang disebutnya sebagai polyarchy—sebuah
kondisi ketika terdapat kompetisi terbuka antara elit politik dan partisipasi
luas dari warga negara³. Menurutnya, terdapat dua dimensi kunci dalam
demokrasi: kontestasi (kemampuan warga untuk bersaing dan menentang
penguasa melalui mekanisme institusional) dan partisipasi inklusif
(kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk ikut menentukan kebijakan
publik)⁴.
Sementara itu, Giovanni Sartori menekankan bahwa
demokrasi harus dipahami sebagai metode seleksi pemimpin melalui pemilu
yang bebas dan adil, tetapi sekaligus mencakup struktur institusional
yang memungkinkan adanya sirkulasi kekuasaan, akuntabilitas, dan penghormatan
terhadap hukum⁵. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi modern bersifat
multidimensional—meliputi aspek legal-prosedural (seperti pemilu dan hukum)
serta aspek substansial (seperti hak asasi manusia dan keadilan sosial).
Tipologi demokrasi juga berkembang dalam ranah
akademik. Beberapa pemikir seperti Benjamin Barber dan Carole Pateman
mengajukan konsep demokrasi partisipatoris, yang menekankan pada
keterlibatan aktif dan langsung warga dalam proses pengambilan keputusan,
sementara model demokrasi deliberatif yang dipopulerkan oleh Jürgen
Habermas menekankan pentingnya diskursus publik yang rasional dan inklusif
sebagai syarat legitimasi kebijakan⁶. Di sisi lain, terdapat pula pemikiran
kritis terhadap demokrasi liberal yang dianggap terlalu menekankan aspek
formalitas prosedural, tanpa menjamin keadilan substantif bagi kelompok
marginal⁷.
Dengan demikian, pengertian demokrasi tidak dapat
direduksi hanya pada satu definisi tunggal. Ia merupakan konstruksi historis
dan teoritis yang kaya, yang mencerminkan aspirasi kolektif terhadap tata
kelola kekuasaan yang sah, partisipatif, dan adil. Pemahaman yang utuh tentang
demokrasi memerlukan pengenalan terhadap prinsip-prinsip dasar, dinamika institusional,
dan konteks sosiokultural tempat demokrasi itu dijalankan.
Footnotes
[1]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 7.
[2]
Bernard Manin, The Principles of Representative
Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1–3.
[3]
Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics
(New Haven: Yale University Press, 1989), 220–228.
[4]
Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and
Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.
[5]
Giovanni Sartori, The Theory of Democracy
Revisited (Chatham, NJ: Chatham House Publishers, 1987), 31–33.
[6]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions
to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press,
1996), 304–307.
[7]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox
(London: Verso, 2000), 13–19.
3.
Dua
Dimensi Demokrasi Menurut Robert A. Dahl
Dalam analisis
klasiknya mengenai struktur demokrasi modern, Robert A. Dahl memperkenalkan
konsep polyarchy
sebagai bentuk institusional dari demokrasi yang dapat diwujudkan dalam
masyarakat besar dan kompleks. Polyarki bukanlah demokrasi dalam arti ideal,
tetapi merupakan bentuk praktis yang memungkinkan prinsip-prinsip demokrasi diterapkan
melalui mekanisme institusional yang stabil. Dalam karyanya Polyarchy:
Participation and Opposition, Dahl menyatakan bahwa terdapat dua
dimensi fundamental yang menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan suatu
sistem demokrasi: kontestasi (public contestation)
dan artisipasi inklusif (inclusive participation).¹
3.1. Kontestasi (Public Contestation)
Dimensi pertama,
kontestasi, merujuk pada tingkat kompetisi politik yang terbuka dan bebas dalam
suatu sistem. Kontestasi melibatkan kebebasan berpendapat, kebebasan
berserikat, hak untuk membentuk partai politik, serta keberadaan pemilu yang
jujur dan adil. Esensinya adalah tersedianya ruang institusional bagi berbagai
kelompok untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, bersaing merebut
kekuasaan, dan mengkritik kebijakan pemerintah tanpa takut akan represi².
Menurut Dahl, suatu
negara tidak bisa dianggap demokratis apabila hanya memiliki partisipasi tanpa
adanya kontestasi yang nyata. Demokrasi membutuhkan kompetisi yang sehat antar
partai politik, pemimpin, dan ideologi sebagai sarana untuk menguji legitimasi
kekuasaan di hadapan publik. Ini mencakup pluralisme politik dan akses yang
merata terhadap media informasi serta jaminan kebebasan sipil sebagai dasar
perdebatan politik yang rasional³.
Sebagai contoh,
negara-negara seperti Rusia dan Venezuela, meskipun menyelenggarakan pemilu
secara formal, sering kali dinilai minim dalam dimensi kontestasi karena adanya
pembatasan serius terhadap oposisi dan media independen. Ini memperlihatkan
bagaimana kontestasi menjadi parameter krusial untuk menilai kualitas
demokrasi⁴.
3.2. Partisipasi Inklusif (Inclusive Participation)
Dimensi kedua adalah
partisipasi inklusif, yaitu sejauh mana warga negara secara luas diberi
kesempatan untuk terlibat dalam proses politik, khususnya dalam memilih dan
dipilih. Dahl menekankan bahwa demokrasi menuntut hak universal atas suara
(universal suffrage) serta jaminan akses yang merata terhadap proses-proses
politik bagi semua individu tanpa diskriminasi⁵.
Partisipasi bukan
hanya persoalan angka atau jumlah pemilih dalam pemilu, tetapi juga kualitas
keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam lembaga
legislatif, organisasi masyarakat sipil, dan ruang-ruang deliberatif. Dalam
konteks ini, pendidikan politik dan pemberdayaan warga menjadi elemen penting
dalam memperkuat demokrasi⁶.
Lebih lanjut, Dahl
menggarisbawahi bahwa partisipasi yang luas tanpa kontestasi menghasilkan
sistem otoriter populis, sementara kontestasi tanpa partisipasi hanya akan
melahirkan oligarki. Oleh karena itu, keberadaan kedua dimensi ini secara
simultan adalah syarat niscaya bagi terwujudnya sistem pemerintahan demokratis
yang berfungsi dengan baik⁷.
3.3. Implikasi Teoritis dan Praktis
Model dua dimensi
yang dikembangkan oleh Dahl memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk
mengukur dan membandingkan derajat demokratis suatu rezim politik. Berdasarkan
matriks kontestasi dan partisipasi, ia menyusun tipologi rezim mulai dari
hegemoni tertutup, otoritarianisme kompetitif, hingga polyarki. Model ini
banyak digunakan dalam studi ilmu politik komparatif untuk mengevaluasi
kualitas demokrasi secara empiris⁸.
Kontribusi Dahl
sangat signifikan karena ia tidak hanya menawarkan definisi normatif demokrasi,
tetapi juga indikator-indikator yang terukur untuk menilai sejauh mana prinsip
demokrasi diwujudkan dalam praktik pemerintahan. Hal ini menjadikan kerangka
dua dimensinya sebagai salah satu teori demokrasi paling berpengaruh dalam
kajian politik modern.
Footnotes
[1]
Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New
Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.
[2]
Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale
University Press, 1989), 221–224.
[3]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free
Societies Throughout the World (New York: Henry Holt and Company, 2008),
35–36.
[4]
Steven Levitsky and Lucan A. Way, Competitive Authoritarianism:
Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge University Press,
2010), 5–9.
[5]
Dahl, Polyarchy, 8–10.
[6]
Carole Pateman, Participation and Democratic Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 42–45.
[7]
Dahl, Democracy and Its Critics, 228.
[8]
Andreas Schedler, The Menu of Manipulation in Journal of
Democracy 13, no. 2 (2002): 36–50.
4.
Demokrasi
sebagai Sistem Pemerintahan
Demokrasi sebagai
sistem pemerintahan mengacu pada seperangkat prinsip, institusi, dan mekanisme
politik yang menjamin bahwa kekuasaan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat
melalui partisipasi aktif, pemilihan umum yang bebas dan adil, serta
penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia. Dalam pendekatan
institusional, demokrasi tidak hanya bergantung pada keberadaan pemilu, tetapi
juga pada kualitas struktur pemerintahan yang menjamin akuntabilitas, transparansi,
dan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif¹.
4.1. Prinsip-Prinsip Utama Demokrasi
Terdapat sejumlah
prinsip fundamental yang mendasari sistem pemerintahan demokratis:
1)
Kedaulatan Rakyat
Dalam sistem demokrasi, sumber legitimasi
kekuasaan berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat diartikulasikan melalui
mekanisme elektoral, partisipasi publik, dan proses pembuatan kebijakan yang
inklusif². Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan
bahwa rakyat sebagai sovereign harus senantiasa menjadi subjek dan
objek dari hukum yang berlaku, karena kedaulatan sejati tidak dapat diwakilkan
secara mutlak³.
2)
Supremasi Hukum (Rule of
Law)
Sistem demokrasi mengharuskan semua warga negara,
termasuk pemegang kekuasaan, tunduk pada hukum. Prinsip rule of law menjamin
keadilan, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan menjamin bahwa hukum dibuat
melalui proses yang demokratis dan transparan⁴.
3)
Pemilu yang Bebas, Jujur,
dan Berkala
Pemilihan umum menjadi instrumen utama dalam
mengartikulasikan kehendak rakyat. Dalam demokrasi substantif, pemilu tidak
hanya menjadi formalitas, tetapi harus memenuhi prinsip keadilan, akses setara,
dan kompetisi yang terbuka antar kandidat dan partai⁵.
4)
Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Sipil
Demokrasi mensyaratkan perlindungan terhadap hak-hak
dasar seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan
kebebasan berkumpul. Tanpa jaminan ini, partisipasi rakyat tidak akan bermakna
secara substantif⁶.
5)
Akuntabilitas dan
Transparansi
Pemerintah dalam sistem demokrasi harus bertanggung
jawab kepada rakyat. Mekanisme pengawasan legislatif, audit publik, serta peran
masyarakat sipil dan media menjadi bagian dari sistem pengimbangan untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan⁷.
4.2. Relasi Demokrasi dengan Lembaga-Lembaga Negara
Dalam sistem
pemerintahan demokratis, institusi politik seperti eksekutif, legislatif, dan
yudikatif memiliki peran dan fungsi yang saling melengkapi dan mengimbangi.
Teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang
dikembangkan oleh Montesquieu menjadi dasar untuk mencegah sentralisasi
otoritas dalam satu tangan, yang berpotensi melahirkan tirani⁸.
·
Lembaga Eksekutif
bertugas melaksanakan hukum dan kebijakan yang ditetapkan. Dalam demokrasi,
kekuasaan eksekutif dibatasi oleh hukum dan tunduk pada pengawasan legislatif
dan yudisial.
·
Lembaga Legislatif
memiliki fungsi utama dalam pembuatan hukum, pengawasan terhadap eksekutif, dan
perwakilan aspirasi rakyat. Efektivitas lembaga ini menjadi indikator penting
dari kesehatan demokrasi.
·
Lembaga Yudikatif
menjamin tegaknya hukum dan konstitusi. Indepedensi peradilan merupakan syarat
mutlak bagi perlindungan hak-hak warga negara dalam sistem demokratis⁹.
4.3. Mekanisme Checks and Balances
Sistem demokrasi
bekerja secara efektif bila terdapat mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi
(checks
and balances) antar lembaga negara. Prinsip ini memastikan bahwa
tidak ada satu institusi pun yang dapat memonopoli kekuasaan tanpa pengawasan,
sekaligus menciptakan sistem pertanggungjawaban vertikal dan horizontal dalam
tata kelola pemerintahan¹⁰. Model ini menjadi tulang punggung demokrasi
konstitusional di banyak negara modern, termasuk dalam sistem presidensial dan
parlementer.
4.4. Evaluasi Praktik Demokrasi sebagai Pemerintahan
Kendati demokrasi
memiliki kerangka normatif yang ideal, dalam praktiknya sering kali terdapat
kesenjangan antara prinsip dan implementasi. Demokrasi prosedural dapat
berfungsi secara formal namun tidak menyentuh substansi keadilan dan
kesetaraan. Hal ini memunculkan kritik terhadap demokrasi liberal yang dianggap
terlalu teknokratis dan mengabaikan keterlibatan warga secara substantif dalam
proses pengambilan keputusan¹¹.
Dengan demikian,
demokrasi sebagai sistem pemerintahan menuntut lebih dari sekadar
penyelenggaraan pemilu. Ia menuntut institusi yang kuat, nilai-nilai politik
yang partisipatif, serta warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya.
Demokrasi bukan hanya bentuk pemerintahan, melainkan juga cara
hidup politik yang berakar pada penghormatan terhadap martabat
manusia dan kebenaran sebagai dasar pengambilan keputusan kolektif.
Footnotes
[1]
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, “What Democracy Is... and Is
Not,” Journal of Democracy 2, no. 3 (1991): 75–88.
[2]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 10–13.
[3]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, terj. G.D.H. Cole
(London: Everyman, 1993), 27–29.
[4]
Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010),
55–63.
[5]
Andreas Schedler, “The Menu of Manipulation,” Journal of Democracy
13, no. 2 (2002): 36–50.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999),
152–155.
[7]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–21.
[8]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, terj. Anne M. Cohler et
al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–161.
[9]
Charles F. Sabel dan William H. Simon, “Destabilization Rights: How
Public Law Litigation Succeeds,” Harvard Law Review 117, no. 4 (2004):
1015–1101.
[10]
Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, Harvard Law
Review 113, no. 3 (2000): 633–729.
[11]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
1–14.
5.
Implementasi
Demokrasi dalam Berbagai Sistem Politik
Implementasi
demokrasi tidak bersifat seragam. Meskipun didasarkan pada prinsip universal
seperti kedaulatan rakyat, partisipasi politik, dan supremasi hukum, setiap
negara merancang sistem demokrasi yang sesuai dengan sejarah, budaya politik,
struktur sosial, dan kebutuhan konstitusional masing-masing. Perbedaan tersebut
terlihat dalam berbagai bentuk sistem pemerintahan, seperti demokrasi
presidensial, parlementer, dan semi-presidensial,
serta dalam cara masing-masing negara mengatur hubungan antar lembaga negara,
mekanisme pemilu, dan tingkat partisipasi masyarakat.
5.1. Sistem Presidensial dan Parlementer: Dua Model
Utama
Salah satu perbedaan
utama dalam implementasi demokrasi terletak pada model hubungan antara cabang
eksekutif dan legislatif.
1)
Demokrasi Presidensial
Dalam sistem
presidensial, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipilih langsung oleh
rakyat dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden memiliki masa
jabatan tetap dan kewenangan eksekutif yang luas, sebagaimana diterapkan di
Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia pasca-Reformasi¹. Sistem ini menjamin
pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif, tetapi juga
berisiko pada kebuntuan (deadlock) politik ketika dua cabang kekuasaan tersebut
saling bersaing secara institusional².
2)
Demokrasi
Parlementer
Berbeda dengan
sistem presidensial, sistem parlementer menempatkan eksekutif (perdana menteri
dan kabinet) sebagai bagian dari parlemen dan bergantung pada kepercayaan
mayoritas legislatif. Negara seperti Inggris, Kanada, dan India mengadopsi
model ini. Sistem ini dinilai lebih fleksibel dalam merespons dinamika politik
karena kepala pemerintahan dapat diganti sewaktu-waktu melalui mosi tidak
percaya, namun juga rentan terhadap instabilitas pemerintahan jika mayoritas
parlemen tidak stabil³.
3)
Sistem
Semi-Presidensial
Sistem ini
menggabungkan unsur presidensial dan parlementer, di mana presiden dipilih
secara langsung dan memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi terdapat perdana
menteri yang memimpin pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Prancis dan Rusia merupakan contoh negara dengan model ini.
Efektivitas sistem ini bergantung pada distribusi kekuasaan antara presiden dan
perdana menteri serta hubungan mereka dengan legislatif⁴.
5.2. Variasi Praktik Demokrasi: Studi Kasus
1)
Amerika Serikat:
Presidensialisme Kuat dan Federalisme
Demokrasi di Amerika
Serikat menekankan prinsip pemisahan kekuasaan dan federalisme. Presiden
sebagai kepala negara dan pemerintahan menjalankan mandat konstitusional dengan
kontrol dari Kongres dan Mahkamah Agung. Sistem ini memungkinkan pengawasan
kuat antarlembaga, tetapi juga rawan polarisasi tajam akibat sistem dua partai
yang dominan⁵.
2)
Inggris: Monarki
Parlementer dan Tradisi Demokrasi
Inggris menerapkan
sistem parlementer dengan monarki konstitusional. Raja atau ratu bertindak
sebagai kepala negara simbolik, sementara perdana menteri menjalankan
pemerintahan atas dasar mayoritas parlemen. Tradisi kuat parlemen dan partai
politik yang terinstitusionalisasi menjadikan demokrasi di Inggris relatif
stabil meskipun tidak memiliki konstitusi tertulis⁶.
3)
Indonesia:
Presidensialisme Demokratis dalam Konteks Transisi
Sejak Reformasi
1998, Indonesia bertransformasi dari rezim otoriter menuju demokrasi
presidensial. Pemilu langsung, kebebasan pers, dan penguatan lembaga negara
telah memperluas ruang demokrasi. Namun, tantangan seperti politik uang,
korupsi partai, dan pelemahan oposisi masih menghambat konsolidasi demokrasi
secara substansial⁷. Model presidensial Indonesia juga dimodifikasi dengan penguatan
peran DPR, otonomi daerah, dan Mahkamah Konstitusi sebagai pengimbang
kekuasaan.
Faktor Kontekstual dalam Implementasi Demokrasi
Keberhasilan
demokrasi tidak hanya bergantung pada desain institusional, tetapi juga
dipengaruhi oleh:
·
Kualitas masyarakat
sipil: Masyarakat sipil yang aktif menjadi katalisator dalam mengawasi
kekuasaan dan menyalurkan aspirasi publik⁸.
·
Budaya politik:
Sikap politik warga negara terhadap otoritas, hukum, dan partisipasi
memengaruhi efektivitas institusi demokratis⁹.
·
Stabilitas ekonomi
dan keamanan: Demokrasi lebih mudah tumbuh dalam kondisi stabil secara
ekonomi dan aman secara sosial, karena konflik dan krisis sering kali
dimanfaatkan untuk membenarkan otoritarianisme¹⁰.
Dengan demikian,
meskipun demokrasi mengandung prinsip-prinsip universal, implementasinya sangat
tergantung pada konteks lokal. Demokrasi yang berhasil adalah yang mampu
mengadaptasi prinsip-prinsip tersebut ke dalam struktur institusi dan
norma-norma masyarakat setempat tanpa kehilangan esensi partisipasi,
kontestasi, dan akuntabilitas.
Footnotes
[1]
Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and
Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
12–19.
[2]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy
1, no. 1 (1990): 51–69.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 96–103.
[4]
Maurice Duverger, “A New Political System Model: Semi-Presidential
Government,” European Journal of Political Research 8, no. 2 (1980):
165–187.
[5]
Theodore J. Lowi, Benjamin Ginsberg, dan Kenneth A. Shepsle, American
Government: Power and Purpose, 15th ed. (New York: W.W. Norton, 2017),
103–107.
[6]
Vernon Bogdanor, The New British Constitution (Oxford: Hart
Publishing, 2009), 33–37.
[7]
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Indonesia: Democracy and Its
Discontents,” Journal of Democracy 21, no. 2 (2010): 100–114.
[8]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free
Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 176–185.
[9]
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton University
Press, 1963), 17–34.
[10]
Adam Przeworski et al., Democracy and Development: Political
Institutions and Well-Being in the World, 1950–1990 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 80–91.
6.
Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia
Hubungan antara
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) bersifat saling melandasi dan memperkuat.
Demokrasi menyediakan kerangka politik yang memungkinkan penghormatan,
perlindungan, dan pemajuan HAM, sementara hak asasi manusia menjadi fondasi
etis dan normatif yang membimbing praktik demokrasi agar tidak terjebak dalam
tirani mayoritas. Keduanya berbagi prinsip-prinsip dasar seperti penghormatan
terhadap martabat manusia, kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi aktif dalam
kehidupan publik¹.
6.1. Demokrasi sebagai Penjamin Hak-Hak Sipil dan Politik
Dalam kerangka
demokrasi liberal, HAM terutama dipahami dalam dimensi hak
sipil dan politik (civil and political rights), yang meliputi:
·
Hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi, yang menjadi prasyarat bagi diskursus
publik yang terbuka dan rasional.
·
Hak untuk berkumpul
dan berserikat, yang memungkinkan terbentuknya organisasi masyarakat
sipil, serikat pekerja, dan partai politik.
·
Hak untuk memilih
dan dipilih, sebagai bentuk partisipasi langsung dalam pemerintahan
dan proses pengambilan keputusan².
Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (1948), khususnya dalam Pasal 21, menegaskan bahwa kehendak
rakyat merupakan dasar dari kekuasaan pemerintah yang sah, dan hal ini harus
diwujudkan melalui pemilu yang berkala, jujur, dan bebas. Oleh karena itu, negara
yang menyatakan diri demokratis dituntut untuk menciptakan kondisi
institusional dan hukum yang menjamin terlaksananya hak-hak tersebut secara
efektif³.
6.2. Demokrasi Substantif dan Perlindungan Hak Minoritas
Demokrasi tidak
hanya dinilai dari pelaksanaan pemilu, tetapi juga dari kemampuannya menjamin keadilan
substantif, termasuk perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Demokrasi tanpa perlindungan HAM berpotensi berubah menjadi tirani mayoritas,
di mana suara mayoritas digunakan untuk menindas hak-hak kelompok rentan⁴. Oleh
karena itu, dalam demokrasi yang sehat, harus ada mekanisme
konstitusional dan yudisial yang berfungsi melindungi hak-hak
individu dan kelompok, termasuk melalui pengadilan konstitusi, ombudsman, dan
lembaga HAM independen⁵.
Pemikiran ini
dikuatkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menekankan
pentingnya prinsip kesetaraan dan kebebasan dasar sebagai landasan keadilan
dalam tatanan demokratis⁶. Dengan demikian, demokrasi sejati bukanlah sekadar
sistem pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, tetapi sistem yang
memastikan bahwa hak dasar setiap individu tidak dilanggar, apapun afiliasi
politiknya.
6.3. Peran Negara dan Masyarakat Sipil dalam Menjamin
HAM
Implementasi HAM
dalam demokrasi sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dan kekuatan
masyarakat sipil. Negara memiliki kewajiban positif untuk
menciptakan kondisi yang memungkinkan warga menikmati hak-haknya, termasuk
melalui pendidikan HAM, reformasi hukum, dan penguatan institusi⁷. Di sisi
lain, masyarakat sipil berperan sebagai aktor pengawasan dan advokasi,
mendorong akuntabilitas negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak-hak
rakyat⁸.
Kekuatan masyarakat
sipil, termasuk media independen, LSM, dan kelompok keagamaan, berperan besar
dalam mendeteksi dan melawan pelanggaran HAM. Hal ini menjadi vital di
negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, seperti Indonesia, di
mana tekanan dari masyarakat sipil telah mendorong lahirnya berbagai instrumen
perlindungan HAM pasca-Orde Baru⁹.
6.4. Ketegangan antara Keamanan dan Hak Asasi dalam
Demokrasi
Dalam praktiknya,
demokrasi modern sering dihadapkan pada ketegangan antara hak asasi dan isu keamanan
nasional, terutama dalam konteks ancaman terorisme,
separatisme, atau disinformasi digital. Negara demokratis menghadapi dilema
dalam menyeimbangkan perlindungan HAM dengan kebutuhan menjaga ketertiban dan
stabilitas. Beberapa negara telah menggunakan alasan keamanan untuk membatasi
kebebasan sipil secara berlebihan, sehingga merusak fondasi demokrasi itu
sendiri¹⁰.
Fenomena ini
menunjukkan pentingnya kontrol yudisial dan pengawasan legislatif
terhadap kebijakan keamanan, serta perlunya masyarakat sipil yang kuat untuk
mencegah otoritarianisme terselubung yang menggunakan instrumen demokrasi untuk
menekan kebebasan.
6.5. Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Global
Meskipun terdapat
konsensus internasional mengenai pentingnya demokrasi dan HAM, implementasinya
sangat bervariasi. Laporan Freedom in the World oleh Freedom
House menunjukkan bahwa banyak negara yang mengalami kemunduran demokrasi juga
memperlihatkan penurunan skor dalam perlindungan HAM¹¹. Di sisi lain,
negara-negara dengan demokrasi mapan seperti Kanada, Jerman, dan Selandia Baru
menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kualitas demokrasi dan
perlindungan HAM.
Dengan demikian,
demokrasi dan HAM merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi
tanpa penghormatan HAM hanyalah prosedur kosong, sedangkan HAM tanpa institusi
demokratis rentan diabaikan oleh kekuasaan yang tak terkendali. Keseimbangan
antara keduanya menjadi inti dari sistem pemerintahan yang adil dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 30–34.
[2]
David Beetham, Democracy and Human Rights (Cambridge: Polity
Press, 1999), 18–22.
[3]
United Nations General Assembly, Universal Declaration of Human
Rights, 10 Desember 1948, art. 21.
[4]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–19.
[5]
Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010),
78–81.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 53–54.
[7]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 148–152.
[8]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free
Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 176–181.
[9]
Ifdhal Kasim, “Human Rights in Indonesia: Historic Struggles and New
Challenges,” Asian Journal of Social Science 34, no. 3 (2006):
402–417.
[10]
Benjamin Goold, Security and Human Rights (Oxford: Hart
Publishing, 2007), 45–60.
[11]
Freedom House, Freedom in the World 2023: Marking 50 Years in the
Struggle for Democracy (Washington, D.C.: Freedom House, 2023), 4–9.
7.
Tantangan
dan Krisis Demokrasi Kontemporer
Meskipun demokrasi
telah menjadi paradigma dominan dalam sistem pemerintahan global sejak akhir
abad ke-20, kenyataan kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi sedang menghadapi
serangkaian tantangan serius yang mengancam integritas, daya tahan, dan
kredibilitasnya sebagai sistem politik. Gejala seperti populisme, erosi
institusi, apatisme politik, disinformasi digital, serta dominasi oligarki
ekonomi-politik telah memicu apa yang oleh banyak ilmuwan politik disebut
sebagai resesi demokrasi (democratic
recession)¹. Krisis ini bersifat global, tidak hanya terjadi di
negara berkembang, tetapi juga di negara demokrasi maju.
7.1. Kebangkitan Populisme dan Illiberalism
Salah satu tantangan
utama demokrasi kontemporer adalah kebangkitan populisme, baik dari spektrum
kiri maupun kanan. Pemimpin populis sering menggunakan retorika demokrasi untuk
meraih kekuasaan, tetapi kemudian melemahkan institusi-institusi demokratis
setelah berkuasa. Mereka mengklaim sebagai representasi langsung dari "kehendak rakyat" sambil melemahkan
checks and balances, media independen, dan kebebasan sipil².
Yascha Mounk
menyebut fenomena ini sebagai illiberal democracy—sebuah bentuk
pemerintahan yang tetap menyelenggarakan pemilu tetapi mengabaikan
prinsip-prinsip liberal seperti supremasi hukum dan perlindungan hak
minoritas³. Kasus-kasus di Hungaria, Turki, dan India menunjukkan bahwa pemilu
tidak selalu menjadi jaminan bagi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi.
7.2. Erosi Institusi dan Polarisasi Politik
Krisis kepercayaan
terhadap institusi politik—seperti partai politik, parlemen, dan sistem
peradilan—telah memicu delegitimasi struktur demokrasi. Dalam banyak negara,
partai politik tidak lagi dipandang sebagai wahana aspirasi publik, tetapi
sebagai kendaraan kepentingan elite tertentu⁴. Ketidakpuasan ini diperparah
oleh polarisasi
politik, yaitu pembelahan masyarakat ke dalam kubu-kubu
ideologis yang ekstrem dan saling menolak untuk berdialog secara rasional.
Steven Levitsky dan
Daniel Ziblatt mengamati bahwa demokrasi runtuh tidak lagi melalui kudeta
militer, tetapi melalui pembusukan bertahap dari dalam, ketika aktor-aktor
politik melemahkan norma demokratis, memanipulasi hukum, dan mempersempit ruang
oposisi melalui cara yang tampak sah⁵.
7.3. Disinformasi dan Manipulasi Digital
Perkembangan
teknologi informasi dan media sosial telah mengubah lanskap komunikasi politik,
tetapi juga menghadirkan tantangan baru berupa disinformasi, berita
palsu, dan manipulasi algoritmik. Kampanye
digital yang tidak etis telah digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilu,
memperkuat polarisasi, dan menyebarkan kebencian berbasis identitas⁶.
Hal ini menimbulkan
dilema besar dalam demokrasi: bagaimana menjaga kebebasan berekspresi sambil
mencegah penyebaran informasi yang merusak kualitas deliberasi publik? Beberapa
negara mulai mengatur platform digital, tetapi pendekatan ini rentan
disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berbicara⁷.
7.4. Dominasi Oligarki dan Ketimpangan Ekonomi
Demokrasi sejatinya
meniscayakan kesetaraan politik, tetapi dalam praktiknya sering dikompromikan
oleh ketimpangan ekonomi yang ekstrem. Kelompok elit dengan sumber daya ekonomi
besar dapat membeli pengaruh politik melalui pembiayaan kampanye, lobi, dan
media. Hal ini mengarah pada apa yang disebut plutokrasi terselubung, di mana
kepentingan minoritas kaya mendominasi pembuatan kebijakan publik⁸.
Menurut Thomas
Piketty, ketimpangan kapital dalam masyarakat modern telah melumpuhkan prinsip
meritokrasi dan mobilitas sosial, sehingga menciptakan krisis legitimasi dalam
demokrasi⁹. Demokrasi elektoral berubah menjadi arena kompetisi finansial,
bukan ideologis.
7.5. Apatisme Politik dan Kemunduran Partisipasi
Fenomena menurunnya
tingkat partisipasi politik—baik dalam bentuk pemilu, aksi kolektif, maupun
keterlibatan dalam organisasi masyarakat—menjadi indikator penting dari demokrasi
yang kehilangan vitalitasnya. Apatisme ini seringkali lahir
dari kekecewaan publik terhadap elit politik, korupsi, serta ketidakmampuan sistem
demokrasi dalam menghasilkan perubahan nyata¹⁰.
Di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, partisipasi politik masih bersifat
transaksional dan elitis. Hal ini melemahkan kapasitas warga negara sebagai
subjek politik yang aktif dan kritis.
7.6. Konsekuensi Global: Rezim Hybrid dan Demokrasi yang
Tertunda
Banyak negara kini
mengadopsi rezim hibrida—yakni sistem yang
memiliki institusi demokrasi formal tetapi dalam praktiknya otoriter. Pemilu
tetap diselenggarakan, tetapi tidak adil atau tidak kompetitif. Kebebasan sipil
dikekang dan oposisi direpresi secara sistematis. Ini menyebabkan demokrasi
kehilangan maknanya sebagai sistem substantif, hanya menyisakan prosedur tanpa
isi¹¹.
Globalisasi juga
membawa pengaruh ganda terhadap demokrasi. Di satu sisi, ia memungkinkan
pertukaran ide dan solidaritas transnasional. Di sisi lain, ia juga memperkuat
dominasi pasar dan aktor global yang seringkali berada di luar jangkauan
kontrol demokratis domestik.
Footnotes
[1]
Larry Diamond, “Facing Up to the Democratic Recession,” Journal of
Democracy 26, no. 1 (2015): 141–155.
[2]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–12.
[3]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018),
45–67.
[4]
Susan Stokes et al., Democratic Accountability in Latin America
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–6.
[5]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 3–19.
[6]
Kathleen Hall Jamieson, Cyberwar: How Russian Hackers and Trolls
Helped Elect a President (Oxford: Oxford University Press, 2018), 112–121.
[7]
Rebecca MacKinnon, Consent of the Networked: The Worldwide Struggle
for Internet Freedom (New York: Basic Books, 2012), 83–95.
[8]
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University
Press, 2011), 19–34.
[9]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 336–339.
[10]
Pippa Norris, Democratic Deficit: Critical Citizens Revisited
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 43–48.
[11]
Andreas Schedler, The Politics of Uncertainty: Sustaining and
Subverting Electoral Authoritarianism (Oxford: Oxford University Press,
2013), 10–18.
8.
Demokrasi
di Indonesia: Capaian dan Permasalahan
Sejak runtuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia telah menapaki jalan panjang dalam
proses transisi menuju demokrasi. Periode Reformasi membuka ruang institusional
dan legal bagi penguatan partisipasi politik rakyat, pemilu yang kompetitif,
kebebasan pers, serta desentralisasi kekuasaan. Transformasi ini menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sekaligus
contoh penting dari demokratisasi di negara dengan populasi Muslim mayoritas.
Namun, pencapaian tersebut tidak lepas dari berbagai persoalan serius yang
terus menguji kualitas demokrasi substantif di Indonesia¹.
8.1. Capaian Demokratisasi: Reformasi Institusional dan
Partisipasi Politik
Salah satu
keberhasilan terbesar Indonesia dalam era Reformasi adalah penyelenggaraan
pemilu yang bebas, langsung, dan kompetitif. Sejak tahun 1999,
Indonesia telah melangsungkan lima pemilu legislatif dan empat pemilu presiden
secara damai dan relatif kredibel. Reformasi kelembagaan juga menghasilkan
institusi-institusi demokratis yang lebih independen, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi,
dan Ombudsman².
Selain itu, desentralisasi
kekuasaan melalui penerapan otonomi daerah telah memberikan
ruang yang lebih besar bagi pengambilan keputusan di tingkat lokal, memperluas
basis partisipasi politik rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung
(pilkada) memperkuat akuntabilitas dan keterhubungan antara pemerintah lokal
dan konstituennya³.
Dari sisi kebebasan
sipil, Indonesia mengalami ekspansi kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan berekspresi, terutama pada dekade pertama pasca-Reformasi. Kemunculan
berbagai organisasi masyarakat sipil, LSM, dan media independen menjadi
kekuatan penting dalam mengawasi kekuasaan dan mendorong akuntabilitas
pemerintah⁴.
8.2. Permasalahan Demokrasi: Oligarki Politik dan
Politik Uang
Di balik capaian demokratis
tersebut, Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan serius yang mengancam
kualitas demokrasi. Salah satu tantangan utama adalah dominasi
oligarki politik, yaitu konsentrasi kekuasaan dan pengaruh pada
segelintir elite ekonomi-politik yang mampu mengendalikan proses politik
melalui jaringan finansial, media, dan partai politik⁵. Jeffrey A. Winters
mencatat bahwa meskipun Indonesia telah berhasil mengubah institusi-institusi
formalnya menjadi demokratis, struktur oligarkis lama tetap bertahan dalam
bentuk baru yang lebih tersembunyi⁶.
Fenomena ini
berkaitan erat dengan maraknya politik uang (money politics),
yang telah merusak integritas pemilu di berbagai tingkatan. Politik uang tidak
hanya terjadi dalam proses kampanye dan pemilihan, tetapi juga dalam mekanisme
pengambilan keputusan di parlemen serta rekrutmen calon dalam partai politik.
Studi oleh Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bahwa politik uang telah menjadi
norma dalam politik elektoral Indonesia, yang menurunkan kualitas representasi
politik dan memperkuat patronase⁷.
8.3. Polarisasi dan Intoleransi dalam Politik Identitas
Demokrasi Indonesia
dalam dekade terakhir juga semakin dibayangi oleh politik
identitas berbasis agama dan etnis, yang memperdalam polarisasi
sosial dan politik. Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi titik balik yang
menunjukkan bagaimana mobilisasi identitas keagamaan dapat dimanfaatkan untuk
tujuan politik, yang berujung pada polarisasi tajam dan mengancam kohesi
sosial⁸.
Fenomena ini memperlihatkan
bahwa demokrasi elektoral tidak selalu diiringi dengan penguatan demokrasi
deliberatif. Ketika identitas primordial dimanipulasi demi kemenangan politik
jangka pendek, maka demokrasi berubah menjadi arena konflik yang memperuncing
perpecahan alih-alih memperkuat konsensus nasional.
8.4. Pelemahan Institusi Demokrasi dan Supremasi Hukum
Dalam beberapa tahun
terakhir, pengamat mencatat adanya regresi demokrasi di Indonesia,
ditandai oleh pelemahan independensi lembaga demokrasi seperti KPK, pengesahan
undang-undang kontroversial (seperti UU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK), serta
pembatasan terhadap kebebasan sipil melalui pasal-pasal karet dalam KUHP baru
dan UU ITE⁹. Banyak pengamat menilai bahwa praktik-praktik ini merupakan gejala
dari illiberal
democracy, di mana pemilu tetap berlangsung, tetapi nilai-nilai
liberal seperti kebebasan sipil dan kontrol terhadap kekuasaan kian terkikis¹⁰.
8.5. Apatisme Politik dan Krisis Representasi
Meskipun pemilu
diselenggarakan secara rutin, kepercayaan publik terhadap partai politik dan
DPR terus menurun. Survei nasional menunjukkan bahwa banyak
warga yang merasa tidak terwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen, sementara
partai politik lebih sibuk mengejar kekuasaan daripada merumuskan agenda
kebijakan yang pro-rakyat. Hal ini menimbulkan apatisme politik, terutama di
kalangan generasi muda, yang melihat politik sebagai wilayah kotor dan penuh
transaksi pragmatis¹¹.
8.6. Jalan ke Depan: Demokrasi yang Lebih Substantif
Masa depan demokrasi
Indonesia menuntut lebih dari sekadar penyelenggaraan pemilu. Diperlukan upaya
serius untuk mereformasi sistem partai politik,
memperkuat pendidikan kewarganegaraan,
serta memperluas ruang diskursus publik yang rasional dan inklusif.
Demokrasi yang sehat memerlukan masyarakat sipil yang kuat, media yang bebas,
lembaga yang akuntabel, dan elite politik yang memiliki komitmen terhadap etika
demokratis.
Dengan demikian,
capaian demokrasi Indonesia tidak boleh mengaburkan berbagai tantangan
struktural yang tengah dihadapi. Demokrasi harus terus dipertahankan dan
diperbaiki secara progresif, dengan menempatkan rakyat sebagai aktor utama,
bukan sekadar objek prosedur elektoral.
Footnotes
[1]
Edward Aspinall, “Indonesia: The Irony of Success,” Journal of
Democracy 23, no. 2 (2012): 20–34.
[2]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 133–145.
[3]
Haryanto, “Decentralization and Local Democracy in Indonesia: The Case
of Java and Bali,” Asian Journal of Political Science 25, no. 1
(2017): 1–23.
[4]
Vedi R. Hadiz, “Reorganizing Political Power in Indonesia: A
Reconsideration of Soeharto’s Legacy,” Pacific Review 16, no. 4
(2003): 591–611.
[5]
Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” Indonesia,
no. 96 (2013): 11–33.
[6]
Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press,
2011), 192–207.
[7]
Burhanuddin Muhtadi, Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal
Networks, and Winning Strategies (Singapore: Springer, 2019), 102–125.
[8]
Sana Jaffrey, “The Politics of Sectarian Intolerance in Indonesia,” Carnegie
Endowment for International Peace, December 2021.
[9]
Eve Warburton dan Edward Aspinall, “Explaining Indonesia’s Democratic
Regression: Structure, Agency and the State,” Contemporary Southeast Asia
43, no. 2 (2021): 191–220.
[10]
Thomas Power, “Democratic Backsliding in Indonesia: The Role of
Institutions and Elite Interests,” Democratization 26, no. 5 (2019):
951–969.
[11]
Saiful Mujani, Lembaga Survei Indonesia, Tingkat Kepercayaan Publik
terhadap Lembaga-Lembaga Negara, 2023.
9.
Refleksi
Teoritis dan Arah Reformasi Demokrasi
Setelah menelaah
dinamika dan tantangan yang dihadapi demokrasi, baik secara global maupun dalam
konteks Indonesia, menjadi penting untuk merumuskan refleksi teoritis dan arah
reformasi yang memungkinkan demokrasi berkembang lebih substansial dan resilien.
Refleksi ini tidak hanya berangkat dari keprihatinan atas regresi demokrasi (democratic
backsliding), tetapi juga dari komitmen terhadap rekonstruksi
norma-norma dan praktik politik yang lebih etis, partisipatif, dan adil.
Demokrasi, sebagaimana ditegaskan oleh David Held, adalah sebuah proyek terbuka
yang harus senantiasa ditinjau ulang, diperbaiki, dan disesuaikan dengan
tantangan zaman¹.
9.1. Refleksi Teoritis: Menimbang Demokrasi Prosedural
dan Substantif
Perdebatan klasik
dalam teori politik membedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi
substantif. Demokrasi prosedural menekankan keberadaan
institusi formal seperti pemilu yang bebas, partai politik, dan konstitusi.
Model ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Joseph Schumpeter, yang melihat
demokrasi sebagai “metode institusional” untuk menghasilkan pemimpin melalui
kompetisi elektoral².
Namun, pendekatan
ini dikritik karena mengabaikan substansi keadilan, partisipasi bermakna, dan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Demokrasi substantif, sebagaimana
dipromosikan oleh Carole Pateman dan Benjamin Barber, menggarisbawahi
pentingnya keterlibatan aktif warga dalam proses deliberatif, serta pengakuan
terhadap dimensi sosial-ekonomi sebagai bagian dari keadilan demokratis³. Dalam
konteks Indonesia, penekanan yang berlebihan pada demokrasi elektoral telah
mengabaikan dimensi substansial seperti penguatan masyarakat sipil, keadilan
distribusi, dan pemerataan partisipasi.
9.2. Reformasi Partai Politik dan Sistem Pemilu
Partai politik
merupakan pilar utama demokrasi, namun di banyak negara termasuk Indonesia,
partai justru menjadi sumber krisis representasi dan korupsi. Oleh karena itu,
reformasi partai politik menjadi agenda mendesak. Reformasi ini mencakup:
·
Demokratisasi
internal partai, agar rekrutmen kader dan pengambilan keputusan
dilakukan secara transparan dan meritokratis⁴.
·
Regulasi pembiayaan
politik, termasuk transparansi dana kampanye dan pembatasan dominasi
donatur besar yang mengarah pada plutokrasi terselubung⁵.
·
Evaluasi sistem
pemilu, termasuk kemungkinan penguatan sistem proporsional terbuka
atau campuran untuk meningkatkan keterwakilan dan akuntabilitas anggota
legislatif⁶.
Reformasi ini
bertujuan agar partai kembali menjadi sarana pendidikan politik warga dan
penjembatan aspirasi rakyat, bukan sekadar kendaraan elit untuk mengakses
kekuasaan.
9.3. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan Budaya
Demokrasi
Demokrasi yang
berkelanjutan memerlukan budaya politik yang demokratis,
yaitu mentalitas warga yang menghargai pluralisme, rasionalitas publik, dan
penyelesaian konflik secara damai. Hal ini tidak akan tumbuh tanpa pendidikan
kewarganegaraan kritis yang membekali generasi muda dengan
pemahaman mendalam tentang hak, kewajiban, dan peran mereka dalam sistem
demokrasi⁷.
Pippa Norris
menekankan pentingnya civic culture sebagai prasyarat
bagi institusi demokrasi yang efektif. Demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya
dengan institusi formal; ia membutuhkan warga yang sadar politik dan bersedia
terlibat aktif dalam kehidupan publik⁸.
9.4. Penguatan Masyarakat Sipil dan Akses terhadap
Informasi Publik
Masyarakat sipil
yang kuat adalah benteng pertahanan demokrasi terhadap otoritarianisme.
Reformasi demokrasi harus mencakup penguatan kapasitas organisasi masyarakat
sipil, perlindungan terhadap aktivis HAM, serta perluasan ruang ekspresi
publik. Undang-undang yang berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi
seperti UU ITE perlu ditinjau ulang untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan⁹.
Di sisi lain,
keterbukaan informasi publik melalui mekanisme digitalisasi data pemerintahan
dan transparansi anggaran dapat memperluas ruang partisipasi warga serta
memperkuat kontrol horizontal terhadap kekuasaan¹⁰.
9.5. Teknologi Digital dan Demokrasi: Antara Peluang dan
Ancaman
Teknologi digital
memberikan peluang besar untuk memperluas partisipasi, menghubungkan aspirasi
warga, dan mempercepat respons kebijakan. Namun, ia juga membuka ruang
manipulasi melalui disinformasi, polarisasi algoritmik, dan pengawasan massal.
Reformasi demokrasi digital harus mencakup:
·
Regulasi platform media
sosial agar tidak menjadi alat disinformasi atau polarisasi ekstrim.
·
Literasi digital massal
agar warga mampu memilah informasi secara kritis.
·
Transparansi penggunaan
data dan perlindungan privasi sebagai bagian dari HAM digital¹¹.
9.6. Demokrasi Ekologis dan Inklusif: Agenda Masa Depan
Refleksi masa depan
demokrasi juga harus mempertimbangkan dimensi ekologis dan interseksional.
Demokrasi tidak bisa lagi bersikap netral terhadap krisis lingkungan,
kesenjangan gender, dan marginalisasi sosial. Demokrasi ekologis sebagaimana
dirumuskan oleh Dryzek dan Dobson, menyerukan penyatuan prinsip keberlanjutan
dengan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap
lingkungan dan generasi mendatang¹².
Demokrasi yang
sejati adalah demokrasi yang inklusif—yang melibatkan suara kaum miskin,
perempuan, disabilitas, dan komunitas adat dalam struktur kekuasaan. Tanpa
keadilan ekologis dan sosial, demokrasi akan kehilangan relevansinya sebagai
sistem yang menjanjikan keadilan bagi semua.
Footnotes
[1]
David Held, Models of Democracy, 3rd ed. (Stanford: Stanford
University Press, 2006), 1–4.
[2]
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (New
York: Harper & Brothers, 1942), 250–268.
[3]
Carole Pateman, Participation and Democratic Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 42–67; Benjamin Barber, Strong
Democracy: Participatory Politics for a New Age (Berkeley: University of
California Press, 1984), 117–140.
[4]
Dan Slater dan Sofia Fenner, “State Power and the Demise of Political
Parties in Southeast Asia,” Comparative Politics 49, no. 3 (2017):
439–458.
[5]
Ingrid van Biezen dan Petr Kopecký, “The Cartel Party and the State:
Party–State Linkages in European Democracies,” Party Politics 13, no.
2 (2007): 235–254.
[6]
Arend Lijphart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of
Twenty-Seven Democracies (Oxford: Oxford University Press, 1994), 58–72.
[7]
Joel Westheimer dan Joseph Kahne, “What Kind of Citizen? The Politics
of Educating for Democracy,” American Educational Research Journal 41,
no. 2 (2004): 237–269.
[8]
Pippa Norris, Democratic Deficit: Critical Citizens Revisited
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 59–66.
[9]
Human Rights Watch, “Indonesia: Repeal Abusive Internet Law,”
(New York: HRW, February 2021).
[10]
Archon Fung dan Erik Olin Wright, Deepening Democracy:
Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance (London:
Verso, 2003), 14–21.
[11]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 96–102.
[12]
John S. Dryzek dan Andrew Dobson, “Democratic Reform and Environmental
Sustainability,” dalam Political Theory and Global Climate Change, ed.
Steve Vanderheiden (Cambridge: MIT Press, 2008), 65–86.
10. Penutup
Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan, telah
mengalami transformasi historis dan konseptual yang panjang dari akar-akar
klasiknya di polis Yunani hingga menjadi prinsip dominan dalam tatanan politik
global kontemporer. Sebagai sistem yang menjunjung tinggi partisipasi,
kontestasi, akuntabilitas, dan kebebasan sipil, demokrasi terus menunjukkan
fleksibilitas dan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Namun demikian,
dalam praktik empirisnya, demokrasi bukanlah sistem yang imun terhadap krisis,
manipulasi, atau distorsi internal. Sebaliknya, demokrasi adalah sistem yang
sangat bergantung pada integritas institusi, partisipasi warga negara, dan
komitmen etis dari para aktor politiknya¹.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian
sebelumnya, demokrasi tidak hanya merupakan suatu prosedur elektoral, tetapi
juga sebuah ekosistem normatif yang menyatu dengan perlindungan hak asasi
manusia, keberfungsian lembaga negara, dan penguatan masyarakat sipil.
Pendekatan teoritis yang membedakan antara demokrasi prosedural dan substantif menjadi penting dalam membedah
kualitas demokrasi dewasa ini. Demokrasi yang hanya memprioritaskan aspek
prosedural, seperti pemilu rutin dan struktur formal kekuasaan, rentan terhadap
penipisan makna substantif yang seharusnya menjamin keadilan sosial, inklusi
politik, dan keseimbangan kekuasaan².
Tantangan kontemporer yang dihadapi demokrasi —
mulai dari populisme dan politik identitas, hingga disinformasi digital dan
dominasi oligarki — menunjukkan bahwa demokrasi tidak pernah selesai. Demokrasi
memerlukan maintenance konstan dalam bentuk reformasi kelembagaan,
pembaruan nilai-nilai politik, dan penyadaran etis di kalangan warga maupun
elite. Tanpa itu semua, demokrasi dapat mengalami regresi atau bahkan menjadi illiberal
democracy, yakni bentuk demokrasi yang kehilangan jiwanya³.
Dalam konteks Indonesia, pencapaian demokrasi
pasca-Reformasi sangat signifikan dan patut diapresiasi. Namun, realitas
politik yang diwarnai oleh kooptasi oligarki, polarisasi identitas, serta
pelemahan lembaga pengawas kekuasaan, menandakan bahwa demokrasi Indonesia
masih dalam proses konsolidasi yang belum tuntas⁴. Pemilu yang kompetitif belum
cukup jika tidak disertai oleh partisipasi yang sadar dan bermakna, serta jika
kebebasan sipil terus ditekan melalui legislasi represif.
Masa depan demokrasi menuntut re-imajinasi
terhadap nilai-nilai dasarnya, dengan mempertimbangkan tantangan ekologis,
teknologi, dan sosial yang makin kompleks. Model demokrasi yang partisipatoris,
deliberatif, dan inklusif perlu didorong agar demokrasi tidak hanya hidup dalam
institusi, tetapi juga dalam kesadaran kolektif masyarakat. Demokrasi bukan
hanya hak, tetapi juga tanggung jawab bersama — sebuah proyek politik dan moral
yang menuntut komitmen terus-menerus dari seluruh elemen bangsa⁵.
Dengan demikian, pembaruan demokrasi harus
diarahkan pada upaya memperkuat fondasi normatif dan institusionalnya, serta
membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih etis, adil, dan
berkelanjutan. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, demokrasi tetap
menjadi sistem pemerintahan yang paling menjanjikan untuk mewujudkan
pemerintahan yang inklusif, akuntabel, dan menghormati martabat manusia.
Footnotes
[1]
David Held, Models of Democracy, 3rd ed.
(Stanford: Stanford University Press, 2006), 274–281.
[2]
Carole Pateman, Participation and Democratic
Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 73–78.
[3]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our
Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2018), 87–94.
[4]
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast
Asia’s Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,” Journal
of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–118.
[5]
John S. Dryzek, Deliberative Democracy and Beyond:
Liberals, Critics, Contestations (Oxford: Oxford University Press, 2000),
160–165.
Daftar Pustaka
Aspinall, E. (2012). Indonesia: The irony of
success. Journal of Democracy, 23(2), 20–34.
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Indonesia:
Democracy and its discontents. Journal of Democracy, 21(2), 100–114.
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Southeast
Asia’s troubling elections: Nondemocratic pluralism in Indonesia. Journal
of Democracy, 30(4), 104–118.
Barber, B. (1984). Strong democracy:
Participatory politics for a new age. University of California Press.
Beetham, D. (1999). Democracy and human rights.
Polity Press.
Bingham, T. (2010). The rule of law. Penguin
Books.
Bogdanor, V. (2009). The new British
constitution. Hart Publishing.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward
consolidation. Johns Hopkins University Press.
Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The
struggle to build free societies throughout the world. Henry Holt.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in
theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Dryzek, J. S. (2000). Deliberative democracy and
beyond: Liberals, critics, contestations. Oxford University Press.
Dryzek, J. S., & Dobson, A. (2008). Democratic
reform and environmental sustainability. In S. Vanderheiden (Ed.), Political
theory and global climate change (pp. 65–86). MIT Press.
Duverger, M. (1980). A new political system model:
Semi-presidential government. European Journal of Political Research, 8(2),
165–187.
Fung, A., & Wright, E. O. (2003). Deepening
democracy: Institutional innovations in empowered participatory governance.
Verso.
Freedom House. (2023). Freedom in the world
2023: Marking 50 years in the struggle for democracy. https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2023
Hadiz, V. R. (2003). Reorganizing political power
in Indonesia: A reconsideration of Soeharto’s legacy. The Pacific Review, 16(4),
591–611.
Hall Jamieson, K. (2018). Cyberwar: How Russian
hackers and trolls helped elect a president. Oxford University Press.
Held, D. (2006). Models of democracy (3rd
ed.). Stanford University Press.
Human Rights Watch. (2021). Indonesia: Repeal
abusive internet law. https://www.hrw.org/news/2021/02/03/indonesia-repeal-abusive-internet-law
Jaffrey, S. (2021). The politics of sectarian
intolerance in Indonesia. Carnegie Endowment for International Peace. https://carnegieendowment.org/2021/12/01/politics-of-sectarian-intolerance-in-indonesia-pub-85978
Kasım, I. (2006). Human rights in Indonesia:
Historic struggles and new challenges. Asian Journal of Social Science, 34(3),
402–417.
Levitsky, S., & Way, L. A. (2010). Competitive
authoritarianism: Hybrid regimes after the Cold War. Cambridge University
Press.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How
democracies die. Crown Publishing.
Lijphart, A. (1994). Electoral systems and party
systems: A study of twenty-seven democracies. Oxford University Press.
Lijphart, A. (1999). Patterns of democracy:
Government forms and performance in thirty-six countries. Yale University
Press.
Lin, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal
of Democracy, 1(1), 51–69.
Lowi, T. J., Ginsberg, B., & Shepsle, K. A.
(2017). American government: Power and purpose (15th ed.). W.W. Norton.
MacKinnon, R. (2012). Consent of the networked:
The worldwide struggle for internet freedom. Basic Books.
Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (1997). Presidentialism
and democracy in Latin America. Cambridge University Press.
Manin, B. (1997). The principles of
representative government. Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam,
and the state in Indonesia. ISEAS.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1748)
Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why
our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.
Muhtadi, B. (2019). Buying votes in Indonesia:
Partisans, personal networks, and winning strategies. Springer.
Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism:
A very short introduction. Oxford University Press.
Norris, P. (2011). Democratic deficit: Critical
citizens revisited. Cambridge University Press.
Pateman, C. (1970). Participation and democratic
theory. Cambridge University Press.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Power, T. (2019). Democratic backsliding in
Indonesia: The role of institutions and elite interests. Democratization, 26(5),
951–969.
Przeworski, A., Alvarez, M. E., Cheibub, J. A.,
& Limongi, F. (2000). Democracy and development: Political institutions
and well-being in the world, 1950–1990. Cambridge University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1993). The social contract
(G. D. H. Cole, Trans.). Everyman.
Schedler, A. (2002). The menu of manipulation. Journal
of Democracy, 13(2), 36–50.
Schedler, A. (2013). The politics of
uncertainty: Sustaining and subverting electoral authoritarianism. Oxford
University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Slater, D., & Fenner, S. (2017). State power
and the demise of political parties in Southeast Asia. Comparative Politics,
49(3), 439–458.
Stokes, S. C., Dunning, T., Nazareno, M., &
Brusco, V. (2005). Democratic accountability in Latin America. Oxford
University Press.
van Biezen, I., & Kopecký, P. (2007). The cartel
party and the state: Party–state linkages in European democracies. Party
Politics, 13(2), 235–254.
Warburton, E., & Aspinall, E. (2021).
Explaining Indonesia’s democratic regression: Structure, agency and the state. Contemporary
Southeast Asia, 43(2), 191–220.
Westheimer, J., & Kahne, J. (2004). What kind
of citizen? The politics of educating for democracy. American Educational
Research Journal, 41(2), 237–269.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge
University Press.
Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in
Indonesia. Indonesia, (96), 11–33.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar