Kamis, 12 Juni 2025

Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan: Teori, Praktik, dan Tantangan Kontemporer

Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan

Teori, Praktik, dan Tantangan Kontemporer


Alihkan ke: Sistem PemerintahanKegagalan DemokrasiKritik Terhadap Demokrasi.


Abstrak

Artikel ini membahas demokrasi sebagai sistem pemerintahan modern dengan pendekatan teoritis dan praktis yang komprehensif. Berangkat dari pengertian dasar dan fondasi konseptual, artikel ini menyoroti dua dimensi utama demokrasi menurut Robert A. Dahl—yakni kontestasi dan partisipasi—yang menjadi pilar dalam pengembangan sistem demokrasi kontemporer. Penjabaran dilanjutkan dengan analisis penerapan demokrasi dalam berbagai sistem pemerintahan, hubungan antara demokrasi dan hak asasi manusia, serta dinamika demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi. Artikel ini juga mengulas krisis dan tantangan global terhadap demokrasi, seperti populisme, oligarki, disinformasi digital, dan regresi institusional. Melalui refleksi teoritis, artikel ini menawarkan arah reformasi yang mencakup penguatan institusi, pembaruan partai politik, literasi kewarganegaraan, dan perluasan demokrasi yang inklusif dan ekologis. Dengan pendekatan akademik yang mendalam dan didukung oleh referensi kredibel, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap wacana perbaikan demokrasi secara substantif dan berkelanjutan di era kontemporer.

Kata Kunci; Demokrasi, sistem pemerintahan, partisipasi, kontestasi, hak asasi manusia, regresi demokrasi, Indonesia, reformasi politik, oligarki, populisme.

 


PEMBAHASAN

Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah politik dunia, demokrasi telah berkembang menjadi sistem pemerintahan yang paling diidealkan dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, transparan, dan berpihak pada kedaulatan rakyat. Berakar dari praktik polis di Yunani Kuno, demokrasi—yang secara harfiah berarti "kekuasaan rakyat" (demos kratos)—mengalami metamorfosis signifikan dalam lintas waktu dan konteks sosial-politik, hingga mencapai bentuk modernnya yang kompleks dan institusional. Demokrasi kini tidak sekadar dipahami sebagai bentuk pemerintahan, tetapi juga sebagai sistem nilai, mekanisme politik, dan budaya partisipatif yang menyeluruh dalam masyarakat modern.

Dalam konteks pemerintahan modern, demokrasi dipahami sebagai suatu sistem yang menjamin partisipasi rakyat dalam proses politik, baik secara langsung maupun melalui representasi politik dalam lembaga-lembaga formal seperti parlemen dan partai politik. Robert A. Dahl, salah satu pemikir demokrasi paling berpengaruh abad ke-20, mengidentifikasi dua dimensi fundamental demokrasi: kontestasi (public contestation) dan partisipasi inklusif (inclusive participation)—dua pilar yang menentukan derajat poliariki dalam suatu negara. Kontestasi merujuk pada kompetisi yang bebas dan terbuka di antara elit politik untuk memperoleh kekuasaan, sedangkan partisipasi mencerminkan luasnya keterlibatan warga negara dalam menentukan kebijakan dan arah pemerintahan melalui mekanisme pemilu dan partisipasi sipil lainnya¹.

Dominasi demokrasi sebagai sistem pemerintahan tidak terlepas dari keberhasilannya dalam merespons tuntutan zaman: keadilan politik, hak asasi manusia, akuntabilitas, dan transparansi. Demokrasi menjadi wadah bagi artikulasi kehendak rakyat sekaligus arena bagi lahirnya konsensus publik secara damai. Namun, demokrasi juga bukan sistem yang steril dari tantangan. Fenomena seperti populisme, manipulasi digital, krisis kepercayaan terhadap institusi, serta kecenderungan oligarkis dalam partai politik menunjukkan bahwa demokrasi rentan terhadap distorsi internal maupun eksternal².

Secara empiris, penerapan demokrasi dalam sistem pemerintahan menunjukkan keragaman yang luas, tergantung pada konfigurasi institusional, budaya politik, serta kekuatan masyarakat sipil di masing-masing negara. Di Indonesia, demokrasi mengalami transformasi dramatis pasca-Reformasi 1998 dengan diberlakukannya pemilu langsung, kebebasan pers, dan desentralisasi pemerintahan. Meskipun demikian, pelaksanaan demokrasi tetap dihadapkan pada berbagai tantangan seperti korupsi politik, polarisasi sosial, dan lemahnya institusi pengawasan³.

Tulisan ini akan mengkaji secara komprehensif demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dimulai dari teori-teori dasar, prinsip-prinsip utama yang melandasinya, variasi implementasi dalam model presidensial dan parlementer, hingga refleksi atas tantangan kontemporer yang menguji daya tahan sistem demokrasi di era modern. Dengan pendekatan kritis dan reflektif, artikel ini berupaya memberikan kontribusi intelektual terhadap pemahaman mendalam mengenai demokrasi dalam lanskap pemerintahan abad ke-21.


Footnotes

[1]                Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–6.

[2]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 21–45.

[3]                Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast Asia’s Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,” Journal of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–118.


2.           Pengertian dan Landasan Konseptual Demokrasi

Demokrasi merupakan konsep politik yang memiliki akar historis panjang sekaligus memiliki fleksibilitas makna yang terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial-politik masyarakat. Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dēmos (rakyat) dan kratos (kekuasaan atau pemerintahan), yang secara harfiah berarti “pemerintahan oleh rakyat.” Dalam praktiknya, demokrasi mengandaikan adanya pengakuan atas kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan politik, serta menekankan pentingnya kesetaraan hak dalam pengambilan keputusan publik¹.

Di dunia klasik, demokrasi berkembang dalam konteks negara-kota (polis) Athena, di mana warga laki-laki dewasa secara langsung terlibat dalam proses legislasi dan pengambilan keputusan melalui forum publik seperti ecclesia. Namun, bentuk demokrasi langsung semacam ini mengalami transformasi mendasar seiring dengan berkembangnya masyarakat modern yang berskala besar, yang kemudian melahirkan model demokrasi perwakilan, di mana rakyat menyerahkan mandatnya kepada wakil-wakil yang dipilih secara periodik melalui pemilu².

Dalam teori politik kontemporer, demokrasi tidak hanya dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk memilih penguasa, tetapi juga sebagai sistem normatif yang menjamin kebebasan sipil, pluralisme politik, dan kontrol terhadap kekuasaan. Robert A. Dahl membedakan antara konsep demokrasi ideal dan bentuk nyata dari demokrasi yang disebutnya sebagai polyarchy—sebuah kondisi ketika terdapat kompetisi terbuka antara elit politik dan partisipasi luas dari warga negara³. Menurutnya, terdapat dua dimensi kunci dalam demokrasi: kontestasi (kemampuan warga untuk bersaing dan menentang penguasa melalui mekanisme institusional) dan partisipasi inklusif (kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk ikut menentukan kebijakan publik)⁴.

Sementara itu, Giovanni Sartori menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai metode seleksi pemimpin melalui pemilu yang bebas dan adil, tetapi sekaligus mencakup struktur institusional yang memungkinkan adanya sirkulasi kekuasaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hukum⁵. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi modern bersifat multidimensional—meliputi aspek legal-prosedural (seperti pemilu dan hukum) serta aspek substansial (seperti hak asasi manusia dan keadilan sosial).

Tipologi demokrasi juga berkembang dalam ranah akademik. Beberapa pemikir seperti Benjamin Barber dan Carole Pateman mengajukan konsep demokrasi partisipatoris, yang menekankan pada keterlibatan aktif dan langsung warga dalam proses pengambilan keputusan, sementara model demokrasi deliberatif yang dipopulerkan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya diskursus publik yang rasional dan inklusif sebagai syarat legitimasi kebijakan⁶. Di sisi lain, terdapat pula pemikiran kritis terhadap demokrasi liberal yang dianggap terlalu menekankan aspek formalitas prosedural, tanpa menjamin keadilan substantif bagi kelompok marginal⁷.

Dengan demikian, pengertian demokrasi tidak dapat direduksi hanya pada satu definisi tunggal. Ia merupakan konstruksi historis dan teoritis yang kaya, yang mencerminkan aspirasi kolektif terhadap tata kelola kekuasaan yang sah, partisipatif, dan adil. Pemahaman yang utuh tentang demokrasi memerlukan pengenalan terhadap prinsip-prinsip dasar, dinamika institusional, dan konteks sosiokultural tempat demokrasi itu dijalankan.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 7.

[2]                Bernard Manin, The Principles of Representative Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1–3.

[3]                Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale University Press, 1989), 220–228.

[4]                Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.

[5]                Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revisited (Chatham, NJ: Chatham House Publishers, 1987), 31–33.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 304–307.

[7]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 13–19.


3.           Dua Dimensi Demokrasi Menurut Robert A. Dahl

Dalam analisis klasiknya mengenai struktur demokrasi modern, Robert A. Dahl memperkenalkan konsep polyarchy sebagai bentuk institusional dari demokrasi yang dapat diwujudkan dalam masyarakat besar dan kompleks. Polyarki bukanlah demokrasi dalam arti ideal, tetapi merupakan bentuk praktis yang memungkinkan prinsip-prinsip demokrasi diterapkan melalui mekanisme institusional yang stabil. Dalam karyanya Polyarchy: Participation and Opposition, Dahl menyatakan bahwa terdapat dua dimensi fundamental yang menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan suatu sistem demokrasi: kontestasi (public contestation) dan artisipasi inklusif (inclusive participation).¹

3.1.       Kontestasi (Public Contestation)

Dimensi pertama, kontestasi, merujuk pada tingkat kompetisi politik yang terbuka dan bebas dalam suatu sistem. Kontestasi melibatkan kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, hak untuk membentuk partai politik, serta keberadaan pemilu yang jujur dan adil. Esensinya adalah tersedianya ruang institusional bagi berbagai kelompok untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, bersaing merebut kekuasaan, dan mengkritik kebijakan pemerintah tanpa takut akan represi².

Menurut Dahl, suatu negara tidak bisa dianggap demokratis apabila hanya memiliki partisipasi tanpa adanya kontestasi yang nyata. Demokrasi membutuhkan kompetisi yang sehat antar partai politik, pemimpin, dan ideologi sebagai sarana untuk menguji legitimasi kekuasaan di hadapan publik. Ini mencakup pluralisme politik dan akses yang merata terhadap media informasi serta jaminan kebebasan sipil sebagai dasar perdebatan politik yang rasional³.

Sebagai contoh, negara-negara seperti Rusia dan Venezuela, meskipun menyelenggarakan pemilu secara formal, sering kali dinilai minim dalam dimensi kontestasi karena adanya pembatasan serius terhadap oposisi dan media independen. Ini memperlihatkan bagaimana kontestasi menjadi parameter krusial untuk menilai kualitas demokrasi⁴.

3.2.       Partisipasi Inklusif (Inclusive Participation)

Dimensi kedua adalah partisipasi inklusif, yaitu sejauh mana warga negara secara luas diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses politik, khususnya dalam memilih dan dipilih. Dahl menekankan bahwa demokrasi menuntut hak universal atas suara (universal suffrage) serta jaminan akses yang merata terhadap proses-proses politik bagi semua individu tanpa diskriminasi⁵.

Partisipasi bukan hanya persoalan angka atau jumlah pemilih dalam pemilu, tetapi juga kualitas keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam lembaga legislatif, organisasi masyarakat sipil, dan ruang-ruang deliberatif. Dalam konteks ini, pendidikan politik dan pemberdayaan warga menjadi elemen penting dalam memperkuat demokrasi⁶.

Lebih lanjut, Dahl menggarisbawahi bahwa partisipasi yang luas tanpa kontestasi menghasilkan sistem otoriter populis, sementara kontestasi tanpa partisipasi hanya akan melahirkan oligarki. Oleh karena itu, keberadaan kedua dimensi ini secara simultan adalah syarat niscaya bagi terwujudnya sistem pemerintahan demokratis yang berfungsi dengan baik⁷.

3.3.       Implikasi Teoritis dan Praktis

Model dua dimensi yang dikembangkan oleh Dahl memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk mengukur dan membandingkan derajat demokratis suatu rezim politik. Berdasarkan matriks kontestasi dan partisipasi, ia menyusun tipologi rezim mulai dari hegemoni tertutup, otoritarianisme kompetitif, hingga polyarki. Model ini banyak digunakan dalam studi ilmu politik komparatif untuk mengevaluasi kualitas demokrasi secara empiris⁸.

Kontribusi Dahl sangat signifikan karena ia tidak hanya menawarkan definisi normatif demokrasi, tetapi juga indikator-indikator yang terukur untuk menilai sejauh mana prinsip demokrasi diwujudkan dalam praktik pemerintahan. Hal ini menjadikan kerangka dua dimensinya sebagai salah satu teori demokrasi paling berpengaruh dalam kajian politik modern.


Footnotes

[1]                Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971), 3–7.

[2]                Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale University Press, 1989), 221–224.

[3]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry Holt and Company, 2008), 35–36.

[4]                Steven Levitsky and Lucan A. Way, Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 5–9.

[5]                Dahl, Polyarchy, 8–10.

[6]                Carole Pateman, Participation and Democratic Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 42–45.

[7]                Dahl, Democracy and Its Critics, 228.

[8]                Andreas Schedler, The Menu of Manipulation in Journal of Democracy 13, no. 2 (2002): 36–50.


4.           Demokrasi sebagai Sistem Pemerintahan

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan mengacu pada seperangkat prinsip, institusi, dan mekanisme politik yang menjamin bahwa kekuasaan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat melalui partisipasi aktif, pemilihan umum yang bebas dan adil, serta penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia. Dalam pendekatan institusional, demokrasi tidak hanya bergantung pada keberadaan pemilu, tetapi juga pada kualitas struktur pemerintahan yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif¹.

4.1.       Prinsip-Prinsip Utama Demokrasi

Terdapat sejumlah prinsip fundamental yang mendasari sistem pemerintahan demokratis:

1)                  Kedaulatan Rakyat

Dalam sistem demokrasi, sumber legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat diartikulasikan melalui mekanisme elektoral, partisipasi publik, dan proses pembuatan kebijakan yang inklusif². Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan bahwa rakyat sebagai sovereign harus senantiasa menjadi subjek dan objek dari hukum yang berlaku, karena kedaulatan sejati tidak dapat diwakilkan secara mutlak³.

2)                  Supremasi Hukum (Rule of Law)

Sistem demokrasi mengharuskan semua warga negara, termasuk pemegang kekuasaan, tunduk pada hukum. Prinsip rule of law menjamin keadilan, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan menjamin bahwa hukum dibuat melalui proses yang demokratis dan transparan⁴.

3)                  Pemilu yang Bebas, Jujur, dan Berkala

Pemilihan umum menjadi instrumen utama dalam mengartikulasikan kehendak rakyat. Dalam demokrasi substantif, pemilu tidak hanya menjadi formalitas, tetapi harus memenuhi prinsip keadilan, akses setara, dan kompetisi yang terbuka antar kandidat dan partai⁵.

4)                  Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Sipil

Demokrasi mensyaratkan perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan kebebasan berkumpul. Tanpa jaminan ini, partisipasi rakyat tidak akan bermakna secara substantif⁶.

5)                  Akuntabilitas dan Transparansi

Pemerintah dalam sistem demokrasi harus bertanggung jawab kepada rakyat. Mekanisme pengawasan legislatif, audit publik, serta peran masyarakat sipil dan media menjadi bagian dari sistem pengimbangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan⁷.

4.2.       Relasi Demokrasi dengan Lembaga-Lembaga Negara

Dalam sistem pemerintahan demokratis, institusi politik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki peran dan fungsi yang saling melengkapi dan mengimbangi. Teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikembangkan oleh Montesquieu menjadi dasar untuk mencegah sentralisasi otoritas dalam satu tangan, yang berpotensi melahirkan tirani⁸.

·                     Lembaga Eksekutif bertugas melaksanakan hukum dan kebijakan yang ditetapkan. Dalam demokrasi, kekuasaan eksekutif dibatasi oleh hukum dan tunduk pada pengawasan legislatif dan yudisial.

·                     Lembaga Legislatif memiliki fungsi utama dalam pembuatan hukum, pengawasan terhadap eksekutif, dan perwakilan aspirasi rakyat. Efektivitas lembaga ini menjadi indikator penting dari kesehatan demokrasi.

·                     Lembaga Yudikatif menjamin tegaknya hukum dan konstitusi. Indepedensi peradilan merupakan syarat mutlak bagi perlindungan hak-hak warga negara dalam sistem demokratis⁹.

4.3.       Mekanisme Checks and Balances

Sistem demokrasi bekerja secara efektif bila terdapat mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar lembaga negara. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada satu institusi pun yang dapat memonopoli kekuasaan tanpa pengawasan, sekaligus menciptakan sistem pertanggungjawaban vertikal dan horizontal dalam tata kelola pemerintahan¹⁰. Model ini menjadi tulang punggung demokrasi konstitusional di banyak negara modern, termasuk dalam sistem presidensial dan parlementer.

4.4.       Evaluasi Praktik Demokrasi sebagai Pemerintahan

Kendati demokrasi memiliki kerangka normatif yang ideal, dalam praktiknya sering kali terdapat kesenjangan antara prinsip dan implementasi. Demokrasi prosedural dapat berfungsi secara formal namun tidak menyentuh substansi keadilan dan kesetaraan. Hal ini memunculkan kritik terhadap demokrasi liberal yang dianggap terlalu teknokratis dan mengabaikan keterlibatan warga secara substantif dalam proses pengambilan keputusan¹¹.

Dengan demikian, demokrasi sebagai sistem pemerintahan menuntut lebih dari sekadar penyelenggaraan pemilu. Ia menuntut institusi yang kuat, nilai-nilai politik yang partisipatif, serta warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya. Demokrasi bukan hanya bentuk pemerintahan, melainkan juga cara hidup politik yang berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia dan kebenaran sebagai dasar pengambilan keputusan kolektif.


Footnotes

[1]                Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, “What Democracy Is... and Is Not,” Journal of Democracy 2, no. 3 (1991): 75–88.

[2]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 10–13.

[3]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, terj. G.D.H. Cole (London: Everyman, 1993), 27–29.

[4]                Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010), 55–63.

[5]                Andreas Schedler, “The Menu of Manipulation,” Journal of Democracy 13, no. 2 (2002): 36–50.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 152–155.

[7]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–21.

[8]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, terj. Anne M. Cohler et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–161.

[9]                Charles F. Sabel dan William H. Simon, “Destabilization Rights: How Public Law Litigation Succeeds,” Harvard Law Review 117, no. 4 (2004): 1015–1101.

[10]             Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, Harvard Law Review 113, no. 3 (2000): 633–729.

[11]             Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 1–14.


5.           Implementasi Demokrasi dalam Berbagai Sistem Politik

Implementasi demokrasi tidak bersifat seragam. Meskipun didasarkan pada prinsip universal seperti kedaulatan rakyat, partisipasi politik, dan supremasi hukum, setiap negara merancang sistem demokrasi yang sesuai dengan sejarah, budaya politik, struktur sosial, dan kebutuhan konstitusional masing-masing. Perbedaan tersebut terlihat dalam berbagai bentuk sistem pemerintahan, seperti demokrasi presidensial, parlementer, dan semi-presidensial, serta dalam cara masing-masing negara mengatur hubungan antar lembaga negara, mekanisme pemilu, dan tingkat partisipasi masyarakat.

5.1.       Sistem Presidensial dan Parlementer: Dua Model Utama

Salah satu perbedaan utama dalam implementasi demokrasi terletak pada model hubungan antara cabang eksekutif dan legislatif.

1)                  Demokrasi Presidensial

Dalam sistem presidensial, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden memiliki masa jabatan tetap dan kewenangan eksekutif yang luas, sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia pasca-Reformasi¹. Sistem ini menjamin pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif, tetapi juga berisiko pada kebuntuan (deadlock) politik ketika dua cabang kekuasaan tersebut saling bersaing secara institusional².

2)                  Demokrasi Parlementer

Berbeda dengan sistem presidensial, sistem parlementer menempatkan eksekutif (perdana menteri dan kabinet) sebagai bagian dari parlemen dan bergantung pada kepercayaan mayoritas legislatif. Negara seperti Inggris, Kanada, dan India mengadopsi model ini. Sistem ini dinilai lebih fleksibel dalam merespons dinamika politik karena kepala pemerintahan dapat diganti sewaktu-waktu melalui mosi tidak percaya, namun juga rentan terhadap instabilitas pemerintahan jika mayoritas parlemen tidak stabil³.

3)                  Sistem Semi-Presidensial

Sistem ini menggabungkan unsur presidensial dan parlementer, di mana presiden dipilih secara langsung dan memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi terdapat perdana menteri yang memimpin pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab kepada parlemen. Prancis dan Rusia merupakan contoh negara dengan model ini. Efektivitas sistem ini bergantung pada distribusi kekuasaan antara presiden dan perdana menteri serta hubungan mereka dengan legislatif⁴.

5.2.       Variasi Praktik Demokrasi: Studi Kasus

1)                  Amerika Serikat: Presidensialisme Kuat dan Federalisme

Demokrasi di Amerika Serikat menekankan prinsip pemisahan kekuasaan dan federalisme. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan menjalankan mandat konstitusional dengan kontrol dari Kongres dan Mahkamah Agung. Sistem ini memungkinkan pengawasan kuat antarlembaga, tetapi juga rawan polarisasi tajam akibat sistem dua partai yang dominan⁵.

2)                  Inggris: Monarki Parlementer dan Tradisi Demokrasi

Inggris menerapkan sistem parlementer dengan monarki konstitusional. Raja atau ratu bertindak sebagai kepala negara simbolik, sementara perdana menteri menjalankan pemerintahan atas dasar mayoritas parlemen. Tradisi kuat parlemen dan partai politik yang terinstitusionalisasi menjadikan demokrasi di Inggris relatif stabil meskipun tidak memiliki konstitusi tertulis⁶.

3)                  Indonesia: Presidensialisme Demokratis dalam Konteks Transisi

Sejak Reformasi 1998, Indonesia bertransformasi dari rezim otoriter menuju demokrasi presidensial. Pemilu langsung, kebebasan pers, dan penguatan lembaga negara telah memperluas ruang demokrasi. Namun, tantangan seperti politik uang, korupsi partai, dan pelemahan oposisi masih menghambat konsolidasi demokrasi secara substansial⁷. Model presidensial Indonesia juga dimodifikasi dengan penguatan peran DPR, otonomi daerah, dan Mahkamah Konstitusi sebagai pengimbang kekuasaan.

Faktor Kontekstual dalam Implementasi Demokrasi

Keberhasilan demokrasi tidak hanya bergantung pada desain institusional, tetapi juga dipengaruhi oleh:

·                     Kualitas masyarakat sipil: Masyarakat sipil yang aktif menjadi katalisator dalam mengawasi kekuasaan dan menyalurkan aspirasi publik⁸.

·                     Budaya politik: Sikap politik warga negara terhadap otoritas, hukum, dan partisipasi memengaruhi efektivitas institusi demokratis⁹.

·                     Stabilitas ekonomi dan keamanan: Demokrasi lebih mudah tumbuh dalam kondisi stabil secara ekonomi dan aman secara sosial, karena konflik dan krisis sering kali dimanfaatkan untuk membenarkan otoritarianisme¹⁰.

Dengan demikian, meskipun demokrasi mengandung prinsip-prinsip universal, implementasinya sangat tergantung pada konteks lokal. Demokrasi yang berhasil adalah yang mampu mengadaptasi prinsip-prinsip tersebut ke dalam struktur institusi dan norma-norma masyarakat setempat tanpa kehilangan esensi partisipasi, kontestasi, dan akuntabilitas.


Footnotes

[1]                Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–19.

[2]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 96–103.

[4]                Maurice Duverger, “A New Political System Model: Semi-Presidential Government,” European Journal of Political Research 8, no. 2 (1980): 165–187.

[5]                Theodore J. Lowi, Benjamin Ginsberg, dan Kenneth A. Shepsle, American Government: Power and Purpose, 15th ed. (New York: W.W. Norton, 2017), 103–107.

[6]                Vernon Bogdanor, The New British Constitution (Oxford: Hart Publishing, 2009), 33–37.

[7]                Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Indonesia: Democracy and Its Discontents,” Journal of Democracy 21, no. 2 (2010): 100–114.

[8]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 176–185.

[9]                Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton University Press, 1963), 17–34.

[10]             Adam Przeworski et al., Democracy and Development: Political Institutions and Well-Being in the World, 1950–1990 (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 80–91.


6.           Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Hubungan antara demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) bersifat saling melandasi dan memperkuat. Demokrasi menyediakan kerangka politik yang memungkinkan penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM, sementara hak asasi manusia menjadi fondasi etis dan normatif yang membimbing praktik demokrasi agar tidak terjebak dalam tirani mayoritas. Keduanya berbagi prinsip-prinsip dasar seperti penghormatan terhadap martabat manusia, kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi aktif dalam kehidupan publik¹.

6.1.       Demokrasi sebagai Penjamin Hak-Hak Sipil dan Politik

Dalam kerangka demokrasi liberal, HAM terutama dipahami dalam dimensi hak sipil dan politik (civil and political rights), yang meliputi:

·                     Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang menjadi prasyarat bagi diskursus publik yang terbuka dan rasional.

·                     Hak untuk berkumpul dan berserikat, yang memungkinkan terbentuknya organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, dan partai politik.

·                     Hak untuk memilih dan dipilih, sebagai bentuk partisipasi langsung dalam pemerintahan dan proses pengambilan keputusan².

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), khususnya dalam Pasal 21, menegaskan bahwa kehendak rakyat merupakan dasar dari kekuasaan pemerintah yang sah, dan hal ini harus diwujudkan melalui pemilu yang berkala, jujur, dan bebas. Oleh karena itu, negara yang menyatakan diri demokratis dituntut untuk menciptakan kondisi institusional dan hukum yang menjamin terlaksananya hak-hak tersebut secara efektif³.

6.2.       Demokrasi Substantif dan Perlindungan Hak Minoritas

Demokrasi tidak hanya dinilai dari pelaksanaan pemilu, tetapi juga dari kemampuannya menjamin keadilan substantif, termasuk perlindungan terhadap kelompok minoritas. Demokrasi tanpa perlindungan HAM berpotensi berubah menjadi tirani mayoritas, di mana suara mayoritas digunakan untuk menindas hak-hak kelompok rentan⁴. Oleh karena itu, dalam demokrasi yang sehat, harus ada mekanisme konstitusional dan yudisial yang berfungsi melindungi hak-hak individu dan kelompok, termasuk melalui pengadilan konstitusi, ombudsman, dan lembaga HAM independen⁵.

Pemikiran ini dikuatkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menekankan pentingnya prinsip kesetaraan dan kebebasan dasar sebagai landasan keadilan dalam tatanan demokratis⁶. Dengan demikian, demokrasi sejati bukanlah sekadar sistem pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, tetapi sistem yang memastikan bahwa hak dasar setiap individu tidak dilanggar, apapun afiliasi politiknya.

6.3.       Peran Negara dan Masyarakat Sipil dalam Menjamin HAM

Implementasi HAM dalam demokrasi sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil. Negara memiliki kewajiban positif untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan warga menikmati hak-haknya, termasuk melalui pendidikan HAM, reformasi hukum, dan penguatan institusi⁷. Di sisi lain, masyarakat sipil berperan sebagai aktor pengawasan dan advokasi, mendorong akuntabilitas negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak-hak rakyat⁸.

Kekuatan masyarakat sipil, termasuk media independen, LSM, dan kelompok keagamaan, berperan besar dalam mendeteksi dan melawan pelanggaran HAM. Hal ini menjadi vital di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, seperti Indonesia, di mana tekanan dari masyarakat sipil telah mendorong lahirnya berbagai instrumen perlindungan HAM pasca-Orde Baru⁹.

6.4.       Ketegangan antara Keamanan dan Hak Asasi dalam Demokrasi

Dalam praktiknya, demokrasi modern sering dihadapkan pada ketegangan antara hak asasi dan isu keamanan nasional, terutama dalam konteks ancaman terorisme, separatisme, atau disinformasi digital. Negara demokratis menghadapi dilema dalam menyeimbangkan perlindungan HAM dengan kebutuhan menjaga ketertiban dan stabilitas. Beberapa negara telah menggunakan alasan keamanan untuk membatasi kebebasan sipil secara berlebihan, sehingga merusak fondasi demokrasi itu sendiri¹⁰.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya kontrol yudisial dan pengawasan legislatif terhadap kebijakan keamanan, serta perlunya masyarakat sipil yang kuat untuk mencegah otoritarianisme terselubung yang menggunakan instrumen demokrasi untuk menekan kebebasan.

6.5.       Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Global

Meskipun terdapat konsensus internasional mengenai pentingnya demokrasi dan HAM, implementasinya sangat bervariasi. Laporan Freedom in the World oleh Freedom House menunjukkan bahwa banyak negara yang mengalami kemunduran demokrasi juga memperlihatkan penurunan skor dalam perlindungan HAM¹¹. Di sisi lain, negara-negara dengan demokrasi mapan seperti Kanada, Jerman, dan Selandia Baru menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kualitas demokrasi dan perlindungan HAM.

Dengan demikian, demokrasi dan HAM merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa penghormatan HAM hanyalah prosedur kosong, sedangkan HAM tanpa institusi demokratis rentan diabaikan oleh kekuasaan yang tak terkendali. Keseimbangan antara keduanya menjadi inti dari sistem pemerintahan yang adil dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 30–34.

[2]                David Beetham, Democracy and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 1999), 18–22.

[3]                United Nations General Assembly, Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948, art. 21.

[4]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–19.

[5]                Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010), 78–81.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–54.

[7]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 148–152.

[8]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 176–181.

[9]                Ifdhal Kasim, “Human Rights in Indonesia: Historic Struggles and New Challenges,” Asian Journal of Social Science 34, no. 3 (2006): 402–417.

[10]             Benjamin Goold, Security and Human Rights (Oxford: Hart Publishing, 2007), 45–60.

[11]             Freedom House, Freedom in the World 2023: Marking 50 Years in the Struggle for Democracy (Washington, D.C.: Freedom House, 2023), 4–9.


7.           Tantangan dan Krisis Demokrasi Kontemporer

Meskipun demokrasi telah menjadi paradigma dominan dalam sistem pemerintahan global sejak akhir abad ke-20, kenyataan kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi sedang menghadapi serangkaian tantangan serius yang mengancam integritas, daya tahan, dan kredibilitasnya sebagai sistem politik. Gejala seperti populisme, erosi institusi, apatisme politik, disinformasi digital, serta dominasi oligarki ekonomi-politik telah memicu apa yang oleh banyak ilmuwan politik disebut sebagai resesi demokrasi (democratic recession)¹. Krisis ini bersifat global, tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara demokrasi maju.

7.1.       Kebangkitan Populisme dan Illiberalism

Salah satu tantangan utama demokrasi kontemporer adalah kebangkitan populisme, baik dari spektrum kiri maupun kanan. Pemimpin populis sering menggunakan retorika demokrasi untuk meraih kekuasaan, tetapi kemudian melemahkan institusi-institusi demokratis setelah berkuasa. Mereka mengklaim sebagai representasi langsung dari "kehendak rakyat" sambil melemahkan checks and balances, media independen, dan kebebasan sipil².

Yascha Mounk menyebut fenomena ini sebagai illiberal democracy—sebuah bentuk pemerintahan yang tetap menyelenggarakan pemilu tetapi mengabaikan prinsip-prinsip liberal seperti supremasi hukum dan perlindungan hak minoritas³. Kasus-kasus di Hungaria, Turki, dan India menunjukkan bahwa pemilu tidak selalu menjadi jaminan bagi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi.

7.2.       Erosi Institusi dan Polarisasi Politik

Krisis kepercayaan terhadap institusi politik—seperti partai politik, parlemen, dan sistem peradilan—telah memicu delegitimasi struktur demokrasi. Dalam banyak negara, partai politik tidak lagi dipandang sebagai wahana aspirasi publik, tetapi sebagai kendaraan kepentingan elite tertentu⁴. Ketidakpuasan ini diperparah oleh polarisasi politik, yaitu pembelahan masyarakat ke dalam kubu-kubu ideologis yang ekstrem dan saling menolak untuk berdialog secara rasional.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengamati bahwa demokrasi runtuh tidak lagi melalui kudeta militer, tetapi melalui pembusukan bertahap dari dalam, ketika aktor-aktor politik melemahkan norma demokratis, memanipulasi hukum, dan mempersempit ruang oposisi melalui cara yang tampak sah⁵.

7.3.       Disinformasi dan Manipulasi Digital

Perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah mengubah lanskap komunikasi politik, tetapi juga menghadirkan tantangan baru berupa disinformasi, berita palsu, dan manipulasi algoritmik. Kampanye digital yang tidak etis telah digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilu, memperkuat polarisasi, dan menyebarkan kebencian berbasis identitas⁶.

Hal ini menimbulkan dilema besar dalam demokrasi: bagaimana menjaga kebebasan berekspresi sambil mencegah penyebaran informasi yang merusak kualitas deliberasi publik? Beberapa negara mulai mengatur platform digital, tetapi pendekatan ini rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berbicara⁷.

7.4.       Dominasi Oligarki dan Ketimpangan Ekonomi

Demokrasi sejatinya meniscayakan kesetaraan politik, tetapi dalam praktiknya sering dikompromikan oleh ketimpangan ekonomi yang ekstrem. Kelompok elit dengan sumber daya ekonomi besar dapat membeli pengaruh politik melalui pembiayaan kampanye, lobi, dan media. Hal ini mengarah pada apa yang disebut plutokrasi terselubung, di mana kepentingan minoritas kaya mendominasi pembuatan kebijakan publik⁸.

Menurut Thomas Piketty, ketimpangan kapital dalam masyarakat modern telah melumpuhkan prinsip meritokrasi dan mobilitas sosial, sehingga menciptakan krisis legitimasi dalam demokrasi⁹. Demokrasi elektoral berubah menjadi arena kompetisi finansial, bukan ideologis.

7.5.       Apatisme Politik dan Kemunduran Partisipasi

Fenomena menurunnya tingkat partisipasi politik—baik dalam bentuk pemilu, aksi kolektif, maupun keterlibatan dalam organisasi masyarakat—menjadi indikator penting dari demokrasi yang kehilangan vitalitasnya. Apatisme ini seringkali lahir dari kekecewaan publik terhadap elit politik, korupsi, serta ketidakmampuan sistem demokrasi dalam menghasilkan perubahan nyata¹⁰.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, partisipasi politik masih bersifat transaksional dan elitis. Hal ini melemahkan kapasitas warga negara sebagai subjek politik yang aktif dan kritis.

7.6.       Konsekuensi Global: Rezim Hybrid dan Demokrasi yang Tertunda

Banyak negara kini mengadopsi rezim hibrida—yakni sistem yang memiliki institusi demokrasi formal tetapi dalam praktiknya otoriter. Pemilu tetap diselenggarakan, tetapi tidak adil atau tidak kompetitif. Kebebasan sipil dikekang dan oposisi direpresi secara sistematis. Ini menyebabkan demokrasi kehilangan maknanya sebagai sistem substantif, hanya menyisakan prosedur tanpa isi¹¹.

Globalisasi juga membawa pengaruh ganda terhadap demokrasi. Di satu sisi, ia memungkinkan pertukaran ide dan solidaritas transnasional. Di sisi lain, ia juga memperkuat dominasi pasar dan aktor global yang seringkali berada di luar jangkauan kontrol demokratis domestik.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, “Facing Up to the Democratic Recession,” Journal of Democracy 26, no. 1 (2015): 141–155.

[2]                Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–12.

[3]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 45–67.

[4]                Susan Stokes et al., Democratic Accountability in Latin America (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–6.

[5]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 3–19.

[6]                Kathleen Hall Jamieson, Cyberwar: How Russian Hackers and Trolls Helped Elect a President (Oxford: Oxford University Press, 2018), 112–121.

[7]                Rebecca MacKinnon, Consent of the Networked: The Worldwide Struggle for Internet Freedom (New York: Basic Books, 2012), 83–95.

[8]                Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), 19–34.

[9]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 336–339.

[10]             Pippa Norris, Democratic Deficit: Critical Citizens Revisited (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 43–48.

[11]             Andreas Schedler, The Politics of Uncertainty: Sustaining and Subverting Electoral Authoritarianism (Oxford: Oxford University Press, 2013), 10–18.


8.           Demokrasi di Indonesia: Capaian dan Permasalahan

Sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia telah menapaki jalan panjang dalam proses transisi menuju demokrasi. Periode Reformasi membuka ruang institusional dan legal bagi penguatan partisipasi politik rakyat, pemilu yang kompetitif, kebebasan pers, serta desentralisasi kekuasaan. Transformasi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sekaligus contoh penting dari demokratisasi di negara dengan populasi Muslim mayoritas. Namun, pencapaian tersebut tidak lepas dari berbagai persoalan serius yang terus menguji kualitas demokrasi substantif di Indonesia¹.

8.1.       Capaian Demokratisasi: Reformasi Institusional dan Partisipasi Politik

Salah satu keberhasilan terbesar Indonesia dalam era Reformasi adalah penyelenggaraan pemilu yang bebas, langsung, dan kompetitif. Sejak tahun 1999, Indonesia telah melangsungkan lima pemilu legislatif dan empat pemilu presiden secara damai dan relatif kredibel. Reformasi kelembagaan juga menghasilkan institusi-institusi demokratis yang lebih independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi, dan Ombudsman².

Selain itu, desentralisasi kekuasaan melalui penerapan otonomi daerah telah memberikan ruang yang lebih besar bagi pengambilan keputusan di tingkat lokal, memperluas basis partisipasi politik rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) memperkuat akuntabilitas dan keterhubungan antara pemerintah lokal dan konstituennya³.

Dari sisi kebebasan sipil, Indonesia mengalami ekspansi kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi, terutama pada dekade pertama pasca-Reformasi. Kemunculan berbagai organisasi masyarakat sipil, LSM, dan media independen menjadi kekuatan penting dalam mengawasi kekuasaan dan mendorong akuntabilitas pemerintah⁴.

8.2.       Permasalahan Demokrasi: Oligarki Politik dan Politik Uang

Di balik capaian demokratis tersebut, Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan serius yang mengancam kualitas demokrasi. Salah satu tantangan utama adalah dominasi oligarki politik, yaitu konsentrasi kekuasaan dan pengaruh pada segelintir elite ekonomi-politik yang mampu mengendalikan proses politik melalui jaringan finansial, media, dan partai politik⁵. Jeffrey A. Winters mencatat bahwa meskipun Indonesia telah berhasil mengubah institusi-institusi formalnya menjadi demokratis, struktur oligarkis lama tetap bertahan dalam bentuk baru yang lebih tersembunyi⁶.

Fenomena ini berkaitan erat dengan maraknya politik uang (money politics), yang telah merusak integritas pemilu di berbagai tingkatan. Politik uang tidak hanya terjadi dalam proses kampanye dan pemilihan, tetapi juga dalam mekanisme pengambilan keputusan di parlemen serta rekrutmen calon dalam partai politik. Studi oleh Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bahwa politik uang telah menjadi norma dalam politik elektoral Indonesia, yang menurunkan kualitas representasi politik dan memperkuat patronase⁷.

8.3.       Polarisasi dan Intoleransi dalam Politik Identitas

Demokrasi Indonesia dalam dekade terakhir juga semakin dibayangi oleh politik identitas berbasis agama dan etnis, yang memperdalam polarisasi sosial dan politik. Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi titik balik yang menunjukkan bagaimana mobilisasi identitas keagamaan dapat dimanfaatkan untuk tujuan politik, yang berujung pada polarisasi tajam dan mengancam kohesi sosial⁸.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi elektoral tidak selalu diiringi dengan penguatan demokrasi deliberatif. Ketika identitas primordial dimanipulasi demi kemenangan politik jangka pendek, maka demokrasi berubah menjadi arena konflik yang memperuncing perpecahan alih-alih memperkuat konsensus nasional.

8.4.       Pelemahan Institusi Demokrasi dan Supremasi Hukum

Dalam beberapa tahun terakhir, pengamat mencatat adanya regresi demokrasi di Indonesia, ditandai oleh pelemahan independensi lembaga demokrasi seperti KPK, pengesahan undang-undang kontroversial (seperti UU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK), serta pembatasan terhadap kebebasan sipil melalui pasal-pasal karet dalam KUHP baru dan UU ITE⁹. Banyak pengamat menilai bahwa praktik-praktik ini merupakan gejala dari illiberal democracy, di mana pemilu tetap berlangsung, tetapi nilai-nilai liberal seperti kebebasan sipil dan kontrol terhadap kekuasaan kian terkikis¹⁰.

8.5.       Apatisme Politik dan Krisis Representasi

Meskipun pemilu diselenggarakan secara rutin, kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR terus menurun. Survei nasional menunjukkan bahwa banyak warga yang merasa tidak terwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen, sementara partai politik lebih sibuk mengejar kekuasaan daripada merumuskan agenda kebijakan yang pro-rakyat. Hal ini menimbulkan apatisme politik, terutama di kalangan generasi muda, yang melihat politik sebagai wilayah kotor dan penuh transaksi pragmatis¹¹.

8.6.       Jalan ke Depan: Demokrasi yang Lebih Substantif

Masa depan demokrasi Indonesia menuntut lebih dari sekadar penyelenggaraan pemilu. Diperlukan upaya serius untuk mereformasi sistem partai politik, memperkuat pendidikan kewarganegaraan, serta memperluas ruang diskursus publik yang rasional dan inklusif. Demokrasi yang sehat memerlukan masyarakat sipil yang kuat, media yang bebas, lembaga yang akuntabel, dan elite politik yang memiliki komitmen terhadap etika demokratis.

Dengan demikian, capaian demokrasi Indonesia tidak boleh mengaburkan berbagai tantangan struktural yang tengah dihadapi. Demokrasi harus terus dipertahankan dan diperbaiki secara progresif, dengan menempatkan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar objek prosedur elektoral.


Footnotes

[1]                Edward Aspinall, “Indonesia: The Irony of Success,” Journal of Democracy 23, no. 2 (2012): 20–34.

[2]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 133–145.

[3]                Haryanto, “Decentralization and Local Democracy in Indonesia: The Case of Java and Bali,” Asian Journal of Political Science 25, no. 1 (2017): 1–23.

[4]                Vedi R. Hadiz, “Reorganizing Political Power in Indonesia: A Reconsideration of Soeharto’s Legacy,” Pacific Review 16, no. 4 (2003): 591–611.

[5]                Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” Indonesia, no. 96 (2013): 11–33.

[6]                Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), 192–207.

[7]                Burhanuddin Muhtadi, Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Strategies (Singapore: Springer, 2019), 102–125.

[8]                Sana Jaffrey, “The Politics of Sectarian Intolerance in Indonesia,” Carnegie Endowment for International Peace, December 2021.

[9]                Eve Warburton dan Edward Aspinall, “Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and the State,” Contemporary Southeast Asia 43, no. 2 (2021): 191–220.

[10]             Thomas Power, “Democratic Backsliding in Indonesia: The Role of Institutions and Elite Interests,” Democratization 26, no. 5 (2019): 951–969.

[11]             Saiful Mujani, Lembaga Survei Indonesia, Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga-Lembaga Negara, 2023.


9.           Refleksi Teoritis dan Arah Reformasi Demokrasi

Setelah menelaah dinamika dan tantangan yang dihadapi demokrasi, baik secara global maupun dalam konteks Indonesia, menjadi penting untuk merumuskan refleksi teoritis dan arah reformasi yang memungkinkan demokrasi berkembang lebih substansial dan resilien. Refleksi ini tidak hanya berangkat dari keprihatinan atas regresi demokrasi (democratic backsliding), tetapi juga dari komitmen terhadap rekonstruksi norma-norma dan praktik politik yang lebih etis, partisipatif, dan adil. Demokrasi, sebagaimana ditegaskan oleh David Held, adalah sebuah proyek terbuka yang harus senantiasa ditinjau ulang, diperbaiki, dan disesuaikan dengan tantangan zaman¹.

9.1.       Refleksi Teoritis: Menimbang Demokrasi Prosedural dan Substantif

Perdebatan klasik dalam teori politik membedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Demokrasi prosedural menekankan keberadaan institusi formal seperti pemilu yang bebas, partai politik, dan konstitusi. Model ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Joseph Schumpeter, yang melihat demokrasi sebagai “metode institusional” untuk menghasilkan pemimpin melalui kompetisi elektoral².

Namun, pendekatan ini dikritik karena mengabaikan substansi keadilan, partisipasi bermakna, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Demokrasi substantif, sebagaimana dipromosikan oleh Carole Pateman dan Benjamin Barber, menggarisbawahi pentingnya keterlibatan aktif warga dalam proses deliberatif, serta pengakuan terhadap dimensi sosial-ekonomi sebagai bagian dari keadilan demokratis³. Dalam konteks Indonesia, penekanan yang berlebihan pada demokrasi elektoral telah mengabaikan dimensi substansial seperti penguatan masyarakat sipil, keadilan distribusi, dan pemerataan partisipasi.

9.2.       Reformasi Partai Politik dan Sistem Pemilu

Partai politik merupakan pilar utama demokrasi, namun di banyak negara termasuk Indonesia, partai justru menjadi sumber krisis representasi dan korupsi. Oleh karena itu, reformasi partai politik menjadi agenda mendesak. Reformasi ini mencakup:

·                     Demokratisasi internal partai, agar rekrutmen kader dan pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan meritokratis⁴.

·                     Regulasi pembiayaan politik, termasuk transparansi dana kampanye dan pembatasan dominasi donatur besar yang mengarah pada plutokrasi terselubung⁵.

·                     Evaluasi sistem pemilu, termasuk kemungkinan penguatan sistem proporsional terbuka atau campuran untuk meningkatkan keterwakilan dan akuntabilitas anggota legislatif⁶.

Reformasi ini bertujuan agar partai kembali menjadi sarana pendidikan politik warga dan penjembatan aspirasi rakyat, bukan sekadar kendaraan elit untuk mengakses kekuasaan.

9.3.       Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan Budaya Demokrasi

Demokrasi yang berkelanjutan memerlukan budaya politik yang demokratis, yaitu mentalitas warga yang menghargai pluralisme, rasionalitas publik, dan penyelesaian konflik secara damai. Hal ini tidak akan tumbuh tanpa pendidikan kewarganegaraan kritis yang membekali generasi muda dengan pemahaman mendalam tentang hak, kewajiban, dan peran mereka dalam sistem demokrasi⁷.

Pippa Norris menekankan pentingnya civic culture sebagai prasyarat bagi institusi demokrasi yang efektif. Demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya dengan institusi formal; ia membutuhkan warga yang sadar politik dan bersedia terlibat aktif dalam kehidupan publik⁸.

9.4.       Penguatan Masyarakat Sipil dan Akses terhadap Informasi Publik

Masyarakat sipil yang kuat adalah benteng pertahanan demokrasi terhadap otoritarianisme. Reformasi demokrasi harus mencakup penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil, perlindungan terhadap aktivis HAM, serta perluasan ruang ekspresi publik. Undang-undang yang berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi seperti UU ITE perlu ditinjau ulang untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan⁹.

Di sisi lain, keterbukaan informasi publik melalui mekanisme digitalisasi data pemerintahan dan transparansi anggaran dapat memperluas ruang partisipasi warga serta memperkuat kontrol horizontal terhadap kekuasaan¹⁰.

9.5.       Teknologi Digital dan Demokrasi: Antara Peluang dan Ancaman

Teknologi digital memberikan peluang besar untuk memperluas partisipasi, menghubungkan aspirasi warga, dan mempercepat respons kebijakan. Namun, ia juga membuka ruang manipulasi melalui disinformasi, polarisasi algoritmik, dan pengawasan massal. Reformasi demokrasi digital harus mencakup:

·                     Regulasi platform media sosial agar tidak menjadi alat disinformasi atau polarisasi ekstrim.

·                     Literasi digital massal agar warga mampu memilah informasi secara kritis.

·                     Transparansi penggunaan data dan perlindungan privasi sebagai bagian dari HAM digital¹¹.

9.6.       Demokrasi Ekologis dan Inklusif: Agenda Masa Depan

Refleksi masa depan demokrasi juga harus mempertimbangkan dimensi ekologis dan interseksional. Demokrasi tidak bisa lagi bersikap netral terhadap krisis lingkungan, kesenjangan gender, dan marginalisasi sosial. Demokrasi ekologis sebagaimana dirumuskan oleh Dryzek dan Dobson, menyerukan penyatuan prinsip keberlanjutan dengan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap lingkungan dan generasi mendatang¹².

Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang inklusif—yang melibatkan suara kaum miskin, perempuan, disabilitas, dan komunitas adat dalam struktur kekuasaan. Tanpa keadilan ekologis dan sosial, demokrasi akan kehilangan relevansinya sebagai sistem yang menjanjikan keadilan bagi semua.


Footnotes

[1]                David Held, Models of Democracy, 3rd ed. (Stanford: Stanford University Press, 2006), 1–4.

[2]                Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (New York: Harper & Brothers, 1942), 250–268.

[3]                Carole Pateman, Participation and Democratic Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 42–67; Benjamin Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age (Berkeley: University of California Press, 1984), 117–140.

[4]                Dan Slater dan Sofia Fenner, “State Power and the Demise of Political Parties in Southeast Asia,” Comparative Politics 49, no. 3 (2017): 439–458.

[5]                Ingrid van Biezen dan Petr Kopecký, “The Cartel Party and the State: Party–State Linkages in European Democracies,” Party Politics 13, no. 2 (2007): 235–254.

[6]                Arend Lijphart, Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies (Oxford: Oxford University Press, 1994), 58–72.

[7]                Joel Westheimer dan Joseph Kahne, “What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy,” American Educational Research Journal 41, no. 2 (2004): 237–269.

[8]                Pippa Norris, Democratic Deficit: Critical Citizens Revisited (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 59–66.

[9]                Human Rights Watch, “Indonesia: Repeal Abusive Internet Law,” (New York: HRW, February 2021).

[10]             Archon Fung dan Erik Olin Wright, Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance (London: Verso, 2003), 14–21.

[11]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 96–102.

[12]             John S. Dryzek dan Andrew Dobson, “Democratic Reform and Environmental Sustainability,” dalam Political Theory and Global Climate Change, ed. Steve Vanderheiden (Cambridge: MIT Press, 2008), 65–86.


10.       Penutup

Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan, telah mengalami transformasi historis dan konseptual yang panjang dari akar-akar klasiknya di polis Yunani hingga menjadi prinsip dominan dalam tatanan politik global kontemporer. Sebagai sistem yang menjunjung tinggi partisipasi, kontestasi, akuntabilitas, dan kebebasan sipil, demokrasi terus menunjukkan fleksibilitas dan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman. Namun demikian, dalam praktik empirisnya, demokrasi bukanlah sistem yang imun terhadap krisis, manipulasi, atau distorsi internal. Sebaliknya, demokrasi adalah sistem yang sangat bergantung pada integritas institusi, partisipasi warga negara, dan komitmen etis dari para aktor politiknya¹.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, demokrasi tidak hanya merupakan suatu prosedur elektoral, tetapi juga sebuah ekosistem normatif yang menyatu dengan perlindungan hak asasi manusia, keberfungsian lembaga negara, dan penguatan masyarakat sipil. Pendekatan teoritis yang membedakan antara demokrasi prosedural dan substantif menjadi penting dalam membedah kualitas demokrasi dewasa ini. Demokrasi yang hanya memprioritaskan aspek prosedural, seperti pemilu rutin dan struktur formal kekuasaan, rentan terhadap penipisan makna substantif yang seharusnya menjamin keadilan sosial, inklusi politik, dan keseimbangan kekuasaan².

Tantangan kontemporer yang dihadapi demokrasi — mulai dari populisme dan politik identitas, hingga disinformasi digital dan dominasi oligarki — menunjukkan bahwa demokrasi tidak pernah selesai. Demokrasi memerlukan maintenance konstan dalam bentuk reformasi kelembagaan, pembaruan nilai-nilai politik, dan penyadaran etis di kalangan warga maupun elite. Tanpa itu semua, demokrasi dapat mengalami regresi atau bahkan menjadi illiberal democracy, yakni bentuk demokrasi yang kehilangan jiwanya³.

Dalam konteks Indonesia, pencapaian demokrasi pasca-Reformasi sangat signifikan dan patut diapresiasi. Namun, realitas politik yang diwarnai oleh kooptasi oligarki, polarisasi identitas, serta pelemahan lembaga pengawas kekuasaan, menandakan bahwa demokrasi Indonesia masih dalam proses konsolidasi yang belum tuntas⁴. Pemilu yang kompetitif belum cukup jika tidak disertai oleh partisipasi yang sadar dan bermakna, serta jika kebebasan sipil terus ditekan melalui legislasi represif.

Masa depan demokrasi menuntut re-imajinasi terhadap nilai-nilai dasarnya, dengan mempertimbangkan tantangan ekologis, teknologi, dan sosial yang makin kompleks. Model demokrasi yang partisipatoris, deliberatif, dan inklusif perlu didorong agar demokrasi tidak hanya hidup dalam institusi, tetapi juga dalam kesadaran kolektif masyarakat. Demokrasi bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab bersama — sebuah proyek politik dan moral yang menuntut komitmen terus-menerus dari seluruh elemen bangsa⁵.

Dengan demikian, pembaruan demokrasi harus diarahkan pada upaya memperkuat fondasi normatif dan institusionalnya, serta membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih etis, adil, dan berkelanjutan. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang paling menjanjikan untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif, akuntabel, dan menghormati martabat manusia.


Footnotes

[1]                David Held, Models of Democracy, 3rd ed. (Stanford: Stanford University Press, 2006), 274–281.

[2]                Carole Pateman, Participation and Democratic Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 73–78.

[3]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 87–94.

[4]                Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast Asia’s Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,” Journal of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–118.

[5]                John S. Dryzek, Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, Contestations (Oxford: Oxford University Press, 2000), 160–165.


Daftar Pustaka

Aspinall, E. (2012). Indonesia: The irony of success. Journal of Democracy, 23(2), 20–34.

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Indonesia: Democracy and its discontents. Journal of Democracy, 21(2), 100–114.

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Southeast Asia’s troubling elections: Nondemocratic pluralism in Indonesia. Journal of Democracy, 30(4), 104–118.

Barber, B. (1984). Strong democracy: Participatory politics for a new age. University of California Press.

Beetham, D. (1999). Democracy and human rights. Polity Press.

Bingham, T. (2010). The rule of law. Penguin Books.

Bogdanor, V. (2009). The new British constitution. Hart Publishing.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. Henry Holt.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Dryzek, J. S. (2000). Deliberative democracy and beyond: Liberals, critics, contestations. Oxford University Press.

Dryzek, J. S., & Dobson, A. (2008). Democratic reform and environmental sustainability. In S. Vanderheiden (Ed.), Political theory and global climate change (pp. 65–86). MIT Press.

Duverger, M. (1980). A new political system model: Semi-presidential government. European Journal of Political Research, 8(2), 165–187.

Fung, A., & Wright, E. O. (2003). Deepening democracy: Institutional innovations in empowered participatory governance. Verso.

Freedom House. (2023). Freedom in the world 2023: Marking 50 years in the struggle for democracy. https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2023

Hadiz, V. R. (2003). Reorganizing political power in Indonesia: A reconsideration of Soeharto’s legacy. The Pacific Review, 16(4), 591–611.

Hall Jamieson, K. (2018). Cyberwar: How Russian hackers and trolls helped elect a president. Oxford University Press.

Held, D. (2006). Models of democracy (3rd ed.). Stanford University Press.

Human Rights Watch. (2021). Indonesia: Repeal abusive internet law. https://www.hrw.org/news/2021/02/03/indonesia-repeal-abusive-internet-law

Jaffrey, S. (2021). The politics of sectarian intolerance in Indonesia. Carnegie Endowment for International Peace. https://carnegieendowment.org/2021/12/01/politics-of-sectarian-intolerance-in-indonesia-pub-85978

Kasım, I. (2006). Human rights in Indonesia: Historic struggles and new challenges. Asian Journal of Social Science, 34(3), 402–417.

Levitsky, S., & Way, L. A. (2010). Competitive authoritarianism: Hybrid regimes after the Cold War. Cambridge University Press.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.

Lijphart, A. (1994). Electoral systems and party systems: A study of twenty-seven democracies. Oxford University Press.

Lijphart, A. (1999). Patterns of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries. Yale University Press.

Lin, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69.

Lowi, T. J., Ginsberg, B., & Shepsle, K. A. (2017). American government: Power and purpose (15th ed.). W.W. Norton.

MacKinnon, R. (2012). Consent of the networked: The worldwide struggle for internet freedom. Basic Books.

Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (1997). Presidentialism and democracy in Latin America. Cambridge University Press.

Manin, B. (1997). The principles of representative government. Cambridge University Press.

Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia. ISEAS.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Muhtadi, B. (2019). Buying votes in Indonesia: Partisans, personal networks, and winning strategies. Springer.

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Norris, P. (2011). Democratic deficit: Critical citizens revisited. Cambridge University Press.

Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge University Press.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Power, T. (2019). Democratic backsliding in Indonesia: The role of institutions and elite interests. Democratization, 26(5), 951–969.

Przeworski, A., Alvarez, M. E., Cheibub, J. A., & Limongi, F. (2000). Democracy and development: Political institutions and well-being in the world, 1950–1990. Cambridge University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (1993). The social contract (G. D. H. Cole, Trans.). Everyman.

Schedler, A. (2002). The menu of manipulation. Journal of Democracy, 13(2), 36–50.

Schedler, A. (2013). The politics of uncertainty: Sustaining and subverting electoral authoritarianism. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Slater, D., & Fenner, S. (2017). State power and the demise of political parties in Southeast Asia. Comparative Politics, 49(3), 439–458.

Stokes, S. C., Dunning, T., Nazareno, M., & Brusco, V. (2005). Democratic accountability in Latin America. Oxford University Press.

van Biezen, I., & Kopecký, P. (2007). The cartel party and the state: Party–state linkages in European democracies. Party Politics, 13(2), 235–254.

Warburton, E., & Aspinall, E. (2021). Explaining Indonesia’s democratic regression: Structure, agency and the state. Contemporary Southeast Asia, 43(2), 191–220.

Westheimer, J., & Kahne, J. (2004). What kind of citizen? The politics of educating for democracy. American Educational Research Journal, 41(2), 237–269.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in Indonesia. Indonesia, (96), 11–33.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar