Keberadaan Manusia (Dasein)
Memahami Konsep Dasein dalam Pemikiran Martin Heidegger
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Dasein
dalam fenomenologi eksistensial Martin Heidegger, khususnya sebagaimana
dirumuskan dalam karya monumentalnya Being and Time (1927). Dengan
mengacu pada pendekatan ontologi fundamental, Heidegger berusaha membongkar
struktur keberadaan manusia sebagai makhluk yang mampu mempertanyakan makna
eksistensinya. Melalui analisis struktur eksistensial seperti in-der-Welt-sein
(ada-di-dalam-dunia), Befindlichkeit (keterlemparan afektif), Verstehen
(pemahaman), Rede (wacana), serta Sein-zum-Tode
(menuju-kematian), artikel ini mengungkap dinamika keberadaan manusia sebagai
entitas yang terbuka terhadap waktu, makna, dan kemungkinan. Artikel ini juga
menyoroti peran hermeneutika eksistensial dalam pemahaman Dasein, serta
relevansi konsep tersebut dalam menjawab tantangan kontemporer seperti krisis
makna, dehumanisasi teknologi, dan praktik terapeutik dan pendidikan. Melalui
telaah ini, disimpulkan bahwa Dasein bukan hanya konsep teoretis, tetapi
sebuah horizon reflektif yang memungkinkan manusia hidup secara lebih otentik,
sadar akan keterbatasannya, dan terbuka terhadap pengungkapan makna hidup.
Kata Kunci: Dasein, Martin Heidegger, fenomenologi
eksistensial, ontologi fundamental, hermeneutika, Sein-zum-Tode, keberadaan,
otentisitas, temporalitas, makna hidup.
PEMBAHASAN
Mengungkap Keberadaan (Dasein) dalam Fenomenologi
Martin Heidegger
1.
Pendahuluan
Sejak awal sejarah
filsafat Barat, pertanyaan tentang ada (being) telah menjadi tema
sentral yang terus diperbincangkan oleh para filsuf besar, mulai dari
Parmenides, Plato, Aristoteles, hingga para pemikir modern seperti Descartes
dan Kant. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan dominasi pendekatan
positivistik, pertanyaan tersebut mengalami penyempitan menjadi sekadar kajian
tentang entitas (being as presence), bukan makna keberadaan itu sendiri. Dalam
konteks inilah, Martin Heidegger (1889–1976) muncul dengan proyek filosofisnya
yang radikal: menghidupkan kembali pertanyaan fundamental tentang makna
keberadaan melalui pendekatan fenomenologi hermeneutik yang berpusat pada
analisis eksistensial manusia sebagai Dasein1.
Heidegger
berpendapat bahwa selama ini filsafat telah melupakan pertanyaan paling
mendasar, yakni “Apa makna dari keberadaan itu sendiri?”
(die Frage nach dem Sinn von Sein). Pertanyaan ini tidak hanya bersifat
ontologis, tetapi juga eksistensial karena menyangkut bagaimana manusia,
sebagai makhluk yang sadar akan keberadaannya, menanggapi dunia, dirinya, dan
batas-batas eksistensinya2. Dalam karya monumentalnya Sein und
Zeit (1927), Heidegger mengusulkan bahwa untuk memahami makna
keberadaan secara lebih mendalam, kita perlu terlebih dahulu memahami modus
keberadaan manusia, yakni Dasein—sebuah istilah Jerman yang
secara harfiah berarti “ada-di-sana”, namun dalam terminologi Heidegger merujuk
pada eksistensi manusia yang terbuka, reflektif, dan memiliki potensi untuk
memahami keberadaannya sendiri3.
Tujuan utama dari
artikel ini adalah untuk menyajikan kajian komprehensif mengenai konsep Dasein
dalam filsafat Heidegger, dengan menjelajahi struktur-struktur eksistensial
yang menyusun keberadaan manusia sebagaimana ia hadir di dunia. Penelitian ini
tidak hanya bertujuan untuk memahami pemikiran Heidegger secara tekstual,
tetapi juga untuk mengkaji relevansi gagasannya dalam merespons krisis makna,
alienasi eksistensial, dan disorientasi spiritual yang banyak dialami manusia
kontemporer. Dengan demikian, diskursus tentang Dasein bukanlah semata kajian
abstrak, melainkan memiliki implikasi nyata dalam memahami hidup manusia secara
lebih otentik.
Melalui pendekatan
fenomenologi hermeneutik, Heidegger tidak hanya mengkritik cara berpikir
objektivistik yang memisahkan subjek dan objek, tetapi juga mengajukan
alternatif radikal dengan menempatkan manusia sebagai pusat keterbukaan
terhadap dunia. Dengan demikian, pemahaman tentang keberadaan menjadi mungkin
hanya karena Dasein adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk bertanya tentang keberadaannya sendiri4. Oleh karena
itu, kajian ini akan memandu pembaca melalui pemetaan konseptual tentang Dasein,
mulai dari strukturnya yang paling dasar hingga peranannya dalam pengungkapan
makna keberadaan.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.
[2]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 2–4.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 29–34.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 248–250.
2.
Konteks Historis dan
Filosofis Pemikiran Heidegger
Pemikiran Martin
Heidegger tidak lahir dalam kevakuman, melainkan merupakan hasil dari
pergulatan intensif dengan tradisi filsafat Barat, khususnya metafisika klasik
dan fenomenologi modern. Ia berdiri di persimpangan antara warisan filsafat
Yunani, pengaruh skolastik Kristen, dan revolusi epistemologis modern yang
mencapai puncaknya dalam filsafat Immanuel Kant. Namun, secara khusus, proyek
filsafat Heidegger tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan pengaruh
langsung dari Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, yang merupakan gurunya di
Universitas Freiburg1.
Heidegger memulai
karier intelektualnya sebagai komentator kritis terhadap Husserl. Meskipun ia
menerima kerangka fenomenologi sebagai metode filosofis yang berfokus pada
pengembalian pemikiran kepada “hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst), Heidegger
menilai bahwa fenomenologi Husserl masih terjebak dalam pendekatan yang terlalu
epistemologis dan kartesian. Bagi Heidegger, kesadaran bukanlah titik awal
untuk memahami realitas, melainkan eksistensi manusia konkret dalam dunia yang
telah terlempar ke dalam sejarah, waktu, dan relasi dengan sesama2.
Ia menggeser fokus fenomenologi dari analisis kesadaran transendental ke
ontologi eksistensial melalui studi tentang Dasein sebagai cara keberadaan
manusia.
Secara historis,
proyek filsafat Heidegger muncul sebagai bentuk reaksi terhadap krisis
metafisika Barat yang dianggap telah melupakan pertanyaan tentang Sein
(keberadaan). Dalam Sein und Zeit, Heidegger menyebut
bahwa sejak Plato dan Aristoteles, filsafat terlalu berfokus pada pengertian
keberadaan dalam arti yang paling umum (sebagai substansi, aktus, atau esensi),
sehingga melupakan apa yang membuat keberadaan sebagai keberadaan—yang oleh
Heidegger disebut sebagai Seinsvergessenheit (kelupaan
terhadap keberadaan itu sendiri)3. Dengan demikian, Heidegger
berupaya merintis apa yang ia sebut sebagai “ontologi fundamental” (fundamentale
Ontologie), yakni upaya untuk membongkar struktur-struktur dasar
dari keberadaan melalui analisis terhadap Dasein, sebagai satu-satunya entitas
yang mampu mempertanyakan makna dari keberadaan4.
Selain itu, filsafat
Heidegger sangat dipengaruhi oleh hermeneutika eksistensial dan pemahaman baru
tentang bahasa, terutama dalam karya-karya lanjutannya. Di sinilah terlihat
pergeseran pemikiran dari fase awal (fokus pada Sein und Zeit) menuju fase
pertengahan dan akhir, yang lebih menekankan pada hubungan antara keberadaan
dan bahasa, serta dimensi historis-poetik dari eksistensi. Namun demikian,
gagasan tentang Dasein tetap menjadi pusat dalam keseluruhan proyeknya karena
ia adalah medan di mana makna keberadaan dapat diungkapkan.
Secara sosial dan intelektual,
Heidegger hidup pada masa yang ditandai oleh gejolak besar dalam sejarah Eropa:
Perang Dunia I, jatuhnya Kekaisaran Jerman, krisis identitas modern, dan
munculnya totalitarianisme. Situasi ini memberikan konteks eksistensial yang
memperkuat urgensi bagi Heidegger untuk merumuskan ulang pemahaman tentang
manusia, bukan sebagai subjek rasional sebagaimana dalam tradisi Cartesian,
melainkan sebagai makhluk yang penuh kecemasan, keterlemparan, dan keterbukaan
terhadap kemungkinan-kemungkinan keberadaannya5.
Dengan demikian,
pemikiran Heidegger merupakan bentuk kritik mendalam terhadap fondasi
metafisika dan epistemologi modern, sekaligus upaya pembaruan radikal terhadap
cara manusia memahami dirinya sendiri dan dunianya. Konsep Dasein
menjadi pintu masuk bagi upaya ontologis tersebut karena ia merepresentasikan
eksistensi manusia sebagai medan keterbukaan terhadap pengungkapan makna.
Footnotes
[1]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 183–187.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–64.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 6–8.
[4]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 22–25.
[5]
Julian Young, Heidegger’s Philosophy of Art (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 12–15.
3.
Pengantar Konsep
Dasein: Apa Itu “Keberadaan Manusia”?
Salah satu
kontribusi paling orisinal Martin Heidegger dalam Sein und Zeit (1927) adalah
pengenalan istilah Dasein sebagai pusat analisis
ontologis. Berasal dari bahasa Jerman, Dasein secara harfiah berarti “ada-di-sana”
(Da
= di sana, Sein
= ada), namun dalam terminologi Heidegger, istilah ini tidak merujuk pada
manusia dalam arti biologis atau psikologis, melainkan pada cara khusus manusia
“ada” di dunia: yakni sebagai makhluk yang menyadari keberadaannya dan
secara aktif mempertanyakannya1.
Heidegger menolak
pendekatan antropologis atau humanistik yang memahami manusia sebagai objek
studi empiris. Sebaliknya, ia mendefinisikan Dasein sebagai satu-satunya entitas
yang memiliki kemampuan untuk mempertanyakan makna keberadaan (Seinsverständnis)
dan menjadikan dirinya sebagai persoalan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Dasein
bukanlah sekadar makhluk hidup, melainkan “ada yang eksistensial,” yakni
makhluk yang keberadaannya ditentukan oleh kemampuannya untuk memilih,
menafsirkan, dan menanggapi dunia sekitarnya secara sadar dan otentik2.
Sebagai makhluk yang
“ada-di-dalam-dunia” (in-der-Welt-sein), Dasein tidak
dapat dipisahkan dari konteks dan relasi eksistensialnya. Dunia bukanlah
sesuatu yang “ada di luar” dan terpisah dari subjek, melainkan struktur
makna yang telah dibentuk melalui keterlibatan Dasein secara praksis dan
historis. Oleh sebab itu, manusia tidak pernah berada dalam posisi netral atau
mengamati dunia secara pasif; ia selalu sudah terlibat, sudah berada “di
tengah” dunia, dengan kecenderungan, minat, dan pemahaman yang mengarahkan
eksistensinya3.
Ciri penting lain
dari Dasein
adalah keberadaannya yang terbuka terhadap kemungkinan. Heidegger menyebut
bahwa Dasein
“ada secara belum selesai” (unvollendet) dan selalu dalam proses
menjadi. Ia tidak statis, melainkan terbentang antara masa lalu yang telah
melemparkannya (Geworfenheit), masa kini tempat ia
berada, dan masa depan yang mengarahkannya kepada kemungkinan-kemungkinan
eksistensial (Entwurf)4. Dalam
kerangka ini, eksistensi manusia bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu
dinamika eksistensial yang terbuka terhadap perubahan dan pengambilan sikap.
Dengan memposisikan
Dasein sebagai dasar dari pengungkapan makna keberadaan, Heidegger menggeser
pusat filsafat dari pemikiran metafisis tentang entitas universal ke pengalaman
eksistensial manusia konkret. Pertanyaan “apa itu manusia?” tidak lagi
dijawab dengan karakteristik substansial (misalnya: makhluk rasional, makhluk
sosial), melainkan dengan cara manusia mengada—yakni sebagai entitas yang
menanyakan, memahami, dan menafsirkan keberadaannya sendiri dalam dunia yang
telah mengandaikannya5.
Dengan demikian,
pengantar konsep Dasein membuka jalan bagi pemahaman
yang lebih radikal dan eksistensial tentang manusia. Ia bukan hanya ada,
tetapi mengetahui
bahwa ia ada, dan keberadaannya penuh dengan kemungkinan,
keterbukaan, dan juga kecemasan ontologis. Di sinilah letak kekhasan Heidegger:
memulihkan kembali pertanyaan ontologis yang telah lama dilupakan filsafat
Barat, namun melalui pintu masuk eksistensial manusia.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 41–44.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 35–38.
[4]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 53–56.
[5]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 60–65.
4.
Dunia Kehidupan (Lebenswelt)
dan Struktur Eksistensial Dasein
Dalam Being
and Time, Martin Heidegger menyajikan konsep Dasein
bukan sebagai entitas terisolasi, melainkan sebagai makhluk yang selalu sudah
berada "di dalam dunia" (in-der-Welt-sein)—suatu struktur
eksistensial fundamental yang mencerminkan keterlibatan manusia dalam konteks
kehidupannya. Dunia yang dimaksud di sini bukanlah dunia objektif sebagaimana
dalam pemahaman ilmiah atau geografis, melainkan dunia kehidupan (Lebenswelt),
yakni medan makna dan keterlibatan tempat manusia hidup, berelasi, dan
bertindak secara praksis1.
Heidegger meminjam
konsep Lebenswelt
dari Edmund Husserl, namun memberinya penekanan ontologis. Jika bagi Husserl Lebenswelt
adalah dunia yang hadir sebelum refleksi ilmiah dan menjadi basis semua makna,
maka bagi Heidegger, dunia kehidupan adalah struktur eksistensial yang tidak
netral, melainkan penuh keterarahan, pemahaman, dan keterlibatan praktis.
Manusia sebagai Dasein tidak hadir sebagai pengamat
netral, melainkan sebagai pelaku yang selalu sudah "terlempar"
ke dalam dunia dengan kepedulian eksistensial terhadap makna dan arah hidupnya2.
Heidegger membedakan
tiga struktur utama yang menyusun eksistensi Dasein dalam keterlibatannya dengan
dunia: Befindlichkeit
(keterlemparan atau suasana-afektif), Verstehen (pemahaman), dan Rede
(wacana atau penyingkapan makna). Ketiganya saling terjalin dan membentuk
landasan eksistensial bagi cara manusia berada.
Pertama, Befindlichkeit
mencerminkan fakta bahwa manusia selalu menemukan dirinya "sudah berada"
dalam situasi tertentu tanpa memilihnya. Konsep ini menunjukkan keterlemparan (Geworfenheit)—kondisi
dasar bahwa manusia hadir ke dunia tanpa meminta untuk hadir, dan dalam kondisi
tertentu yang tidak ia tentukan sendiri. Namun, keterlemparan ini tidak pasif;
ia menyiratkan bahwa manusia merespons dunia melalui nuansa suasana hati (Stimmung),
seperti kecemasan, kegembiraan, atau ketakutan, yang membentuk keterbukaan
eksistensialnya3.
Kedua, Verstehen
(pemahaman) adalah cara Dasein menafsirkan dirinya dan
dunianya. Pemahaman bukanlah tindakan teoritis, melainkan kemampuan
eksistensial untuk “menjadi” dalam arti merancang
kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Dasein selalu berada dalam situasi
"menuju"—ia menafsirkan masa lalunya, beroperasi di masa kini,
dan memproyeksikan dirinya ke masa depan. Oleh karena itu, keberadaan manusia
bersifat temporal dan penuh kemungkinan4.
Ketiga, Rede
(wacana) adalah struktur yang memungkinkan makna menjadi eksplisit. Melalui
bahasa dan komunikasi, manusia mengartikulasikan dan mengungkapkan pemahamannya
terhadap dunia. Namun, bagi Heidegger, wacana bukan sekadar transmisi
informasi, melainkan cara dunia "terbuka" atau “tersingkap”
(Erschlossenheit).
Oleh sebab itu, bahasa memiliki dimensi ontologis, bukan hanya semantis5.
Selain tiga struktur
tersebut, Heidegger juga membahas relasionalitas Dasein dalam bentuk Mitsein—yakni
bahwa keberadaan manusia selalu berada bersama yang lain. Dasein
tidak soliter, melainkan eksistensial-sosial. Namun, dalam kebersamaan ini
terdapat ancaman ketidakauthentikan ketika individu tenggelam dalam arus
impersonal masyarakat, yang oleh Heidegger disebut sebagai das Man—yakni
hidup sebagai "seseorang pada umumnya", tanpa refleksi dan
keunikan pribadi6.
Dengan demikian,
struktur eksistensial Dasein menunjukkan bahwa manusia
selalu hadir dalam dunia yang penuh makna, keterlibatan, dan kemungkinan. Ia
bukan objek yang diamati, melainkan subjek yang secara aktif mengada dan
mengungkapkan dunia. Inilah dasar dari ontologi fundamental Heidegger:
keberadaan tidak dipahami dari luar, tetapi dari dalam eksistensi manusia yang
hidup, mengalami, dan menafsirkan dunianya sendiri.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–84.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 233–236.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 168–172.
[4]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 85–90.
[5]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 111–115.
[6]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 59–62.
5.
Otentisitas dan
Ketidakotentikan: Antara Seseorang dan Diri Sendiri
Salah satu tema
sentral dalam pemikiran Martin Heidegger adalah ketegangan antara keberadaan
yang otentik (eigentliches Dasein) dan keberadaan
yang tidak otentik (uneigentliches Dasein). Dalam Being
and Time, Heidegger menjelaskan bahwa manusia, sebagai Dasein,
selalu berada dalam kemungkinan untuk hidup secara otentik, yaitu dengan
menghayati eksistensinya secara sadar, reflektif, dan jujur terhadap
keterbatasannya sendiri. Namun, ia juga kerap tergelincir ke dalam kehidupan
yang tidak otentik, yakni ketika ia membiarkan dirinya ditentukan oleh arus
umum masyarakat atau oleh yang disebut Heidegger sebagai das Man—“seseorang” atau “orang-orang
pada umumnya”1.
Konsep das Man
merupakan bentuk kritik Heidegger terhadap kehidupan sosial yang cenderung
menenggelamkan individu dalam ketidakpribadian. Dalam mode ini, manusia
menjalani hidup bukan sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai bagian dari
massa anonim yang ditentukan oleh norma, kebiasaan, dan ekspektasi sosial.
Misalnya, seseorang bekerja, berbicara, atau bahkan berduka sebagaimana “orang
lain” melakukannya, tanpa bertanya mengapa atau apakah hal itu sungguh
berarti baginya. Dengan demikian, dalam keberadaan yang tidak otentik, Dasein
menyerahkan eksistensinya kepada yang lain dan kehilangan potensi
eksistensialnya untuk memilih dan menjadi dirinya sendiri2.
Namun, Heidegger
menekankan bahwa ketidakotentikan bukanlah kondisi yang selalu buruk atau
negatif. Justru, ia adalah kondisi dasar yang tidak dapat dihindari karena
manusia secara faktual hidup dalam dunia bersama (Mitsein) yang ditandai oleh
intersubjektivitas. Akan tetapi, bahaya dari ketidakotentikan adalah bahwa
manusia bisa lupa terhadap kemungkinan untuk hidup secara otentik, dan terjebak
dalam kehidupan yang dangkal, teralihkan, dan penuh penundaan eksistensial3.
Keberadaan yang
otentik, menurut Heidegger, ditandai oleh kesadaran terhadap “kemungkinan-kemungkinan
terjauh” dari Dasein, khususnya dalam hubungannya
dengan kematian. Manusia menjadi otentik ketika ia secara sadar merangkul
kefanaannya dan hidup dengan kesadaran akan “kemungkinan yang paling mungkin
namun tak terlampaui”—yakni kematian. Ini bukan berarti sikap pesimis atau
morbid, melainkan sebuah dorongan untuk mengambil kepemilikan atas hidup
sendiri (Eigentlichkeit)
dengan merancang eksistensinya secara sadar dan penuh tanggung jawab4.
Proses menuju
keotentikan sering kali dimulai dari apa yang disebut Heidegger sebagai “panggilan
suara hati” (Ruf des Gewissens). Panggilan ini
bersifat diam, tidak memaksa, namun mendesak; ia menyadarkan Dasein
akan ketertinggalannya dari dirinya sendiri dan mengajak kembali ke arah
kemungkinan eksistensial yang lebih sejati. Suara hati ini, bukan berupa norma
moral eksternal, tetapi merupakan bentuk interpelasi eksistensial dari Dasein
kepada dirinya sendiri5.
Dalam kerangka ini,
otentisitas bukanlah kondisi permanen, melainkan suatu modus eksistensial yang
harus terus diperjuangkan. Manusia dapat menjadi otentik hanya jika ia
mengambil sikap terhadap keberadaannya sendiri, terhadap dunia, terhadap
sesama, dan terutama terhadap waktu dan kematian. Artinya, keotentikan bukan
tentang menjadi sesuatu yang khusus atau unik secara sosial, melainkan tentang
hidup secara penuh kesadaran, dalam kejujuran terhadap kondisi eksistensial
yang tak dapat dielakkan.
Dengan demikian,
antara seseorang
(das Man)
dan diri
sendiri, terbentang medan eksistensial yang dinamis dan menuntut
refleksi mendalam. Di sanalah pertaruhan keberadaan manusia berlangsung: apakah
ia akan hidup sesuai dengan suara mayoritas dan menghindar dari keterbatasannya
sendiri, ataukah ia akan dengan jujur menanggapi panggilan eksistensial untuk
menjadi otentik sebagai Dasein.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 149–168.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 97–100.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 235–238.
[4]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 84–89.
[5]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 153–157.
6.
Keberadaan dan
Waktu: Temporalitas sebagai Hakikat Dasein
Dalam proyek ontologi
fundamental-nya, Martin Heidegger menyatakan bahwa pemahaman
tentang keberadaan (Sein) hanya mungkin melalui
pemahaman terhadap waktu (Zeit). Hal ini menjadi fondasi bagi
Being
and Time, yang secara eksplisit menyatukan dua tema besar tersebut.
Menurut Heidegger, hakikat terdalam dari Dasein sebagai makhluk yang
mempertanyakan keberadaan adalah temporalitas, yaitu keberadaan yang terbentang
dalam waktu sebagai struktur eksistensialnya yang paling dasar1.
Temporalitas (Zeitlichkeit)
bukan sekadar pengertian waktu kronologis (seperti detik, menit, dan jam),
melainkan waktu dalam arti eksistensial: bagaimana manusia hidup, memahami, dan
mengarahkan dirinya dalam horizon waktu. Dasein tidak berada dalam waktu
sebagai wadah kosong; sebaliknya, waktu adalah cara bagaimana Dasein
mengada. Dalam kerangka ini, keberadaan bukanlah suatu titik statis, melainkan
suatu gerakan keterbukaan terhadap masa lalu (Gewesenheit), masa kini (Gegenwart),
dan masa depan (Zukunft) dalam kesatuan yang saling
menentukan2.
Bagi Heidegger, masa
depan memainkan peranan sentral dalam struktur temporal Dasein.
Masa depan bukan sekadar waktu yang akan datang, melainkan horizon kemungkinan.
Dasein
mengada dalam mode proyeksi (Entwurf) menuju
kemungkinan-kemungkinan eksistensialnya, dan karenanya ia selalu berada “sebelum”
dirinya sendiri. Manusia mengantisipasi hidupnya dalam arah yang belum terjadi,
dan dalam arti inilah, masa depan menjadi dimensi utama dari keberadaannya yang
otentik3.
Namun, masa depan
ini selalu bersinggungan dengan masa lalu dan masa kini. Heidegger menggunakan
istilah ekstasis
temporal untuk menunjukkan bahwa Dasein "melampaui"
(ex-statik) dirinya ke dalam tiga dimensi waktu tersebut secara bersamaan. Ia
bukan entitas yang “berada dalam waktu”, melainkan “memungkinkan
waktu” dengan caranya mengada. Masa lalu hadir dalam bentuk keterlemparan (Geworfenheit)—Dasein
selalu sudah berada dalam dunia dan sejarah tertentu yang tidak ia pilih. Masa
kini (Gegenwart)
dihidupi melalui keterlibatan praktis dalam dunia sehari-hari, sedangkan masa
depan adalah tempat penarikan proyek eksistensialnya yang penuh kemungkinan4.
Temporalitas menjadi
dasar bagi pemahaman eksistensial yang sejati karena melalui waktu, Dasein
mampu menyusun makna hidupnya. Kesadaran akan waktu mengantar manusia kepada
kesadaran akan keterbatasannya, terutama dalam hubungannya dengan kematian.
Dalam konsep Sein-zum-Tode
(being-toward-death), Heidegger menegaskan bahwa kesadaran akan kematian
sebagai kemungkinan yang paling personal dan tak terelakkan mengkondisikan
struktur waktu eksistensial. Menghadapi kematian bukan dalam bentuk pengetahuan
abstrak, tetapi sebagai proyek keberadaan yang tak dapat digantikan, membuat
manusia sadar akan kefanaan dan urgensi untuk hidup secara otentik5.
Dengan demikian, waktu
bukan hanya sarana untuk mengukur perubahan atau rentang kejadian; ia adalah
struktur dasar dari eksistensi itu sendiri. Dasein adalah makhluk temporal
karena keberadaannya hanya mungkin dipahami melalui dinamika masa lalu, kini,
dan masa depan. Dalam kerangka inilah Heidegger menyimpulkan bahwa waktu adalah
horizon di mana keberadaan menjadi dapat dimengerti (Zeit ist
der Horizont für das Verstehen von Sein)6.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 274–276.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 141–144.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 102–104.
[4]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 247–250.
[5]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 162–167.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, 39.
7.
Keterlemparan dan Ke
Menuju-Kematian: Eksistensi yang Terbatas
Salah satu aspek
paling mendalam dari analisis eksistensial Martin Heidegger terhadap Dasein
adalah pemahamannya tentang keterbatasan eksistensi manusia, yang diekspresikan
melalui dua struktur eksistensial utama: keterlemparan (Geworfenheit)
dan ke
menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Kedua konsep ini
menandai kesadaran akan kondisi faktis dan batas eksistensial manusia, serta
membuka ruang bagi keotentikan dalam cara manusia menjalani keberadaannya di
dunia.
Pertama, Geworfenheit
merujuk pada fakta bahwa Dasein selalu sudah berada dalam
dunia yang tidak ia pilih. Ia “dilempar” ke dalam eksistensi, dalam
situasi historis, sosial, dan faktual tertentu—misalnya, lahir di waktu,
tempat, dan keluarga tertentu, dalam kondisi tubuh dan lingkungan tertentu.
Keterlemparan ini bukan hanya kondisi pasif, tetapi juga dasar dari
keterlibatan aktif Dasein dengan dunia: manusia tidak
menentukan asal-usulnya, namun ia harus menanggapi keadaan faktis itu dengan
pengambilan sikap dan proyek hidupnya sendiri1.
Heidegger menekankan
bahwa keterlemparan tidak berarti determinisme, melainkan kondisi pembukaan
terhadap kemungkinan. Keterlemparan adalah bentuk faktisitas (Facticity)
yang menyiratkan bahwa Dasein tidak dimulai dari nol,
tetapi dari situasi yang telah ada. Dalam situasi itu, ia “muncul” dan “mengada”
dengan proyek yang dapat ia pilih atau abaikan. Artinya, meski manusia tidak
bebas menentukan dari mana ia berasal, ia tetap bertanggung jawab terhadap
bagaimana ia akan "menjadi"2.
Dimensi eksistensial
yang paling radikal dari keterbatasan manusia, menurut Heidegger, adalah
kematian. Ia merumuskan konsep Sein-zum-Tode sebagai bentuk paling
otentik dari kesadaran akan keberadaan. Kematian bukan sekadar fakta biologis
yang akan terjadi kelak, melainkan kemungkinan eksistensial yang paling pasti
namun tak dapat dialami oleh siapa pun selain diri sendiri. Artinya, kematian
adalah kemungkinan
paling mungkin (die äußerste Möglichkeit), dan
sekaligus kemungkinan yang tak bisa dilewati oleh siapa
pun selain saya sendiri3.
Dalam mode otentik, Dasein
menghadapi kematian bukan sebagai hal yang menakutkan atau yang harus
dihindari, tetapi sebagai sesuatu yang membentuk horizon hidupnya. Kesadaran
akan kematian membuat manusia menyadari keterbatasan waktunya dan menghidupkan
urgensi untuk “mengada secara otentik”. Dengan memahami dirinya sebagai
makhluk yang menuju kematian, manusia tidak lagi menunda, tidak lagi hidup
dalam ketidaksadaran sehari-hari, tetapi justru menata hidupnya dalam kejujuran
terhadap kenyataan bahwa eksistensi itu terbatas dan harus dihayati secara
penuh4.
Sebaliknya, dalam
mode tidak otentik, Dasein menyangkal kenyataan
kematian. Ia menyibukkan diri dengan distraksi, rutinitas, dan harapan-harapan
yang mengaburkan kesadaran akan kefanaannya. Heidegger menyebut bentuk pelarian
ini sebagai bagian dari struktur das Man, di mana kematian direduksi
menjadi sekadar "kejadian alamiah" yang menimpa “seseorang”,
bukan saya secara personal5.
Konsekuensi dari
pemahaman eksistensial terhadap kematian adalah bahwa hidup manusia menjadi
proyek yang harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Dasein tidak bisa menyerahkan
eksistensinya pada pihak lain; ia dipanggil untuk menghayati hidupnya sebagai
miliknya sendiri. Oleh karena itu, Sein-zum-Tode bukanlah pesimisme,
melainkan bentuk keberanian eksistensial untuk menjadi otentik di tengah
keterbatasan.
Dengan demikian,
konsep Geworfenheit
dan Sein-zum-Tode
menegaskan bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu kepastian yang mapan,
melainkan medan pergulatan antara fakta dan kemungkinan, antara kenyataan yang
tak dapat dihindari dan tanggapan yang dapat dipilih. Dalam ketegangan inilah Dasein
membentuk makna eksistensinya yang sejati.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 92–95.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 91–95.
[4]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 171–175.
[5]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 258–262.
8.
Dasein dan
Pertanyaan tentang Makna Keberadaan (Seinsfrage)
Inti dari proyek
filsafat Martin Heidegger adalah pemulihan pertanyaan tentang makna keberadaan,
yang dalam bahasa Jermannya disebut die Seinsfrage. Pertanyaan
ini—"Apa makna dari keberadaan itu sendiri?"—menjadi tema
fundamental dalam Being and Time dan menjadi dasar
seluruh eksplorasi ontologis Heidegger. Ia meyakini bahwa tradisi filsafat
Barat, sejak Plato hingga Descartes dan seterusnya, telah melupakan pertanyaan
ini, dan sebagai gantinya hanya memusatkan perhatian pada makhluk-makhluk yang
ada (Seiendes),
bukan pada Sein
(keberadaan) itu sendiri1.
Menurut Heidegger, Seinsfrage
bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab dengan definisi konseptual yang statis,
karena keberadaan bukanlah objek atau entitas, melainkan “cara hadir”
dari segala yang ada. Keberadaan adalah kondisi yang memungkinkan semua yang
ada bisa tampil dan dipahami, namun anehnya ia sendiri luput dari perhatian.
Inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Seinsvergessenheit—kelupaan
terhadap keberadaan. Filsafat, dalam sejarahnya, terlalu berfokus pada “apa
yang ada” dan lupa menanyakan “apa itu ‘ada’”2.
Dalam upaya menjawab
Seinsfrage,
Heidegger tidak mencari jawaban abstrak-metafisis, tetapi memulai dengan
analisis konkret terhadap eksistensi manusia sebagai Dasein,
karena Dasein
adalah satu-satunya entitas yang mampu mempertanyakan makna keberadaannya.
Dengan kata lain, keberadaan tidak dapat dimengerti tanpa perantara Dasein—makhluk
yang dapat menyingkap dan memahami makna “ada”. Oleh karena itu, memahami
keberadaan berarti memahami bagaimana Dasein mengalami dan menafsirkan
dunia3.
Dasein
memiliki kapasitas Seinsverständnis—pemahaman implisit
tentang keberadaan—yang membuatnya mampu berinteraksi, menafsirkan, dan memberi
makna pada segala sesuatu di sekitarnya. Pemahaman ini bukanlah hasil refleksi
teoritis, melainkan hadir dalam tindakan dan keterlibatan praksis sehari-hari.
Sebagai contoh, ketika seseorang menggunakan sebuah alat, ia tidak memikirkan
alat itu sebagai “benda”, tetapi sebagai “sesuatu untuk digunakan”—dan
dalam cara penggunaan itu, makna keberadaan alat tersebut tersingkap. Ini
menunjukkan bahwa makna keberadaan bersifat kontekstual, temporal, dan terkait
erat dengan eksistensi manusia konkret4.
Namun, kemampuan Dasein
untuk memahami keberadaan bukanlah sesuatu yang selalu sadar dan eksplisit.
Sebagian besar waktu, manusia hidup dalam pemahaman yang terselubung, teralihkan
oleh rutinitas dan distraksi sosial. Oleh sebab itu, agar Dasein
benar-benar mampu membuka diri terhadap makna Sein, ia harus hidup secara
otentik—menghadapi dirinya, keterbatasannya, dan dunia dengan jujur serta
reflektif. Dalam hidup yang otentik inilah Seinsfrage menjadi mungkin diajukan
secara eksistensial, bukan sekadar spekulatif5.
Heidegger menyatakan
bahwa keberadaan tidak dapat dipahami melalui cara berpikir objektivistik yang
memisahkan subjek dan objek, seperti dalam paradigma Cartesian. Sebaliknya, ia
harus dipahami sebagai sesuatu yang terbuka melalui pengalaman, waktu, dan
keterlibatan. Dalam pengertian ini, Sein adalah fenomena yang “tersingkap”
melalui sejarah, bahasa, dan eksistensi Dasein. Oleh karena itu, dalam
karya-karya lanjutannya, Heidegger menekankan bahwa Sein bukan hanya perihal apa yang “ada”,
tetapi adalah “ketersembunyian dan penyingkapan” (aletheia)
yang berlangsung terus-menerus dalam proses kehidupan manusia6.
Dengan demikian, Dasein
bukan hanya pusat dari eksistensi individual, tetapi juga kunci menuju
pemahaman yang lebih dalam mengenai keberadaan secara umum. Tanpa Dasein,
keberadaan tidak dapat dipertanyakan dan tidak dapat dimaknai. Maka, untuk
menjawab Seinsfrage,
filsafat harus kembali kepada eksistensi manusia yang konkret, yang hidup, dan
yang terbuka terhadap dunia sebagai medan pengungkapan makna.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.
[2]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 6–10.
[3]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 51–53.
[4]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 65–70.
[5]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 135–138.
[6]
Martin Heidegger, On the Essence of Truth, trans. John Sallis
(Bloomington: Indiana University Press, 1978), 10–13.
9.
Interpretasi
Hermeneutik terhadap Dasein
Dalam proyek
ontologisnya, Martin Heidegger tidak hanya membangun kembali pemahaman tentang
keberadaan (Sein) melalui analisis eksistensial
Dasein,
tetapi juga mereformulasi metode pendekatan terhadap realitas itu sendiri
melalui apa yang disebut sebagai hermeneutika eksistensial (existenziale
Hermeneutik). Dalam konteks ini, hermeneutika tidak lagi terbatas
pada teori penafsiran teks, sebagaimana dalam tradisi teologi dan filologi,
melainkan diperluas menjadi cara memahami eksistensi manusia sebagai sesuatu
yang selalu sudah berada dalam medan pemahaman dan penafsiran1.
Menurut Heidegger, Dasein
adalah makhluk yang “menafsirkan” dirinya sendiri dan dunia sekitarnya
secara terus-menerus. Ia hidup dalam lingkup pemahaman yang tidak netral dan
tidak sepenuhnya disadari, yang disebut sebagai pra-pemahaman (Vorverständnis).
Pemahaman ini tidak bersifat reflektif sejak awal, melainkan hadir dalam bentuk
keterlibatan praksis dengan dunia—seperti bagaimana seseorang “mengerti”
cara menggunakan alat atau berinteraksi dalam situasi sosial tanpa berpikir
panjang. Pemahaman demikian bersifat implisit dan operatif2.
Penting untuk
dicatat bahwa bagi Heidegger, memahami bukanlah kegiatan mental atau penalaran
logis belaka, melainkan merupakan modus mengada dari Dasein.
Karena itu, pemahaman bersifat ontologis: ia bukan sekadar “tahu tentang
sesuatu” tetapi “mengada di dalam dunia dengan cara tertentu”.
Inilah sebabnya mengapa Dasein dapat dikatakan sebagai
entitas hermeneutik—ia menafsirkan dunia dan dirinya bukan dari luar, tetapi
dari dalam keterlibatannya yang sudah berlangsung3.
Salah satu struktur
penting dari hermeneutika eksistensial Heidegger adalah lingkaran
hermeneutik (hermeneutischer Zirkel). Lingkaran
ini menyatakan bahwa pemahaman terhadap keseluruhan hanya mungkin melalui
bagian-bagiannya, dan sebaliknya, pemahaman terhadap bagian hanya mungkin dalam
konteks keseluruhan. Dalam konteks Dasein, ini berarti bahwa pemahaman
manusia terhadap dirinya selalu terbentuk dalam horizon budaya, bahasa,
sejarah, dan situasi hidup tertentu yang melingkupinya. Dengan demikian, tidak
ada pemahaman yang benar-benar "objektif" atau "netral",
karena Dasein
selalu berada dalam suatu horizon interpretatif tertentu4.
Hermeneutika
Heidegger juga melampaui subjektivitas individual. Ia menolak model Cartesian
yang memisahkan subjek dan objek. Sebaliknya, dalam pengalaman manusia yang
paling dasar, dunia dan manusia saling mengungkapkan diri dalam keterhubungan.
Manusia bukan pengamat pasif terhadap dunia, melainkan makhluk yang selalu
sudah "ada-di-dalam-dunia" (in-der-Welt-sein), sehingga setiap
pemahaman tentang dunia adalah juga pemahaman tentang dirinya sendiri, dan
sebaliknya5.
Dalam karya-karya
selanjutnya, seperti On the Way to Language dan The
Origin of the Work of Art, Heidegger semakin menekankan peran
bahasa dalam struktur hermeneutik Dasein. Ia menyatakan bahwa “bahasa
adalah rumah dari keberadaan” (Die Sprache ist das Haus des Seins)—yakni
tempat di mana makna keberadaan bisa diungkapkan dan dipahami. Melalui bahasa,
dunia tersingkap sebagai dunia yang bermakna; dan melalui bahasa pula, Dasein
membentuk dan dibentuk oleh cara ia mengada dalam dunia6.
Dengan demikian,
hermeneutika eksistensial dalam pemikiran Heidegger bukan hanya pendekatan
metodologis, tetapi juga refleksi mendalam tentang struktur dasar pemahaman
manusia. Dasein
adalah makhluk yang pada hakikatnya menafsirkan, dan karena itu, pengungkapan
makna keberadaan terjadi bukan melalui jarak kritis, tetapi melalui
keterlibatan eksistensial yang penuh kesadaran terhadap kondisi interpretatif
yang melingkupinya.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 109–113.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 251–254.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–274.
[5]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1999), 74–78.
[6]
Martin Heidegger, On the Way to Language, trans. Peter D.
Hertz (New York: Harper & Row, 1971), 135–139.
10.
Relevansi Dasein
dalam Konteks Kontemporer
Konsep Dasein
yang dikembangkan Martin Heidegger dalam Being and Time tidak hanya
berdampak pada lingkup filsafat teoretis, tetapi juga tetap memiliki daya
resonansi kuat dalam menanggapi berbagai persoalan kontemporer, mulai dari
krisis identitas manusia modern, dehumanisasi teknologi, hingga praktik terapi
dan pendidikan humanistik. Pemikiran Heidegger tentang keberadaan sebagai
sesuatu yang harus “dihayati secara otentik” menawarkan alternatif
mendalam terhadap kecenderungan modern yang cenderung menempatkan manusia dalam
posisi instrumental dan fungsional.
Di era yang ditandai
oleh dominasi teknologi dan logika produktivitas, manusia kerap direduksi
menjadi bagian dari sistem yang mengabaikan dimensi eksistensialnya. Heidegger
sendiri telah mengantisipasi kecenderungan ini dalam karya lanjutannya seperti The
Question Concerning Technology, di mana ia menyatakan bahwa
teknologi modern memperlakukan dunia dan manusia sebagai “sumber daya” (Bestand)
yang siap-digunakan, bukan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik atau
makna yang tersingkap1. Dalam situasi demikian, pemahaman Dasein
sebagai makhluk yang memiliki kapasitas untuk menyingkap makna keberadaan
menjadi sangat krusial.
Relevansi Dasein
juga tampak dalam dunia psikoterapi, khususnya dalam pendekatan terapi
eksistensial yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, Rollo May,
dan Irvin D. Yalom. Mereka mengadopsi kerangka Heideggerian untuk memahami
klien sebagai individu yang tidak hanya menghadapi gejala psikis, tetapi juga
mengalami keterasingan, kecemasan ontologis, dan kehilangan makna. Dalam
kerangka ini, pemulihan tidak hanya berarti “fungsi normal” tetapi juga
pemulihan kapasitas untuk memilih secara otentik dan memaknai hidup secara
sadar2.
Dalam bidang
pendidikan, pendekatan humanistik dan eksistensial menempatkan manusia sebagai
subjek yang otonom dan memiliki kapasitas reflektif terhadap dunianya.
Pandangan ini menantang model pendidikan yang terlalu teknokratis dan
menekankan hasil, dan sebaliknya menghidupkan kembali pertanyaan: Apa arti
menjadi manusia? Dengan menjadikan Dasein sebagai titik tolak,
pendidikan tidak lagi semata-mata transmisi informasi, tetapi proses
penyingkapan diri dalam dunia yang bermakna3.
Konsep Dasein
juga membantu menjelaskan berbagai fenomena krisis eksistensial yang mengemuka
di abad ke-21, seperti alienasi digital, identitas virtual, dan kehilangan arah
hidup dalam masyarakat hiperrealitas. Ketika identitas manusia dibentuk oleh
media sosial, konsumsi budaya populer, dan performativitas digital, kesadaran
akan keterlemparan, proyek eksistensial, dan kematian sebagai horizon makna kembali
menjadi penting untuk membimbing manusia menemukan keutuhan dirinya4.
Selain itu, dalam
konteks multikultural dan pluralisme nilai, Heidegger mengingatkan bahwa
keberadaan tidak bisa dipahami secara universal-formal, melainkan selalu
bersifat historis dan kontekstual. Dasein adalah makhluk yang “selalu
sudah berada” dalam horizon budaya dan bahasa tertentu. Oleh karena itu,
pemikiran Heidegger relevan dalam diskursus hermeneutik budaya dan filsafat
perbedaan yang mengakui keberagaman cara manusia memahami dan menghidupi dunia5.
Meskipun Heidegger
menuai kritik, terutama karena keterlibatannya secara politis dengan Nazisme
pada 1930-an, pemikiran eksistensialnya tetap menjadi referensi penting dalam
memahami dinamika eksistensi manusia secara mendalam. Konsep Dasein
mengingatkan bahwa makna hidup tidak diberikan secara eksternal, tetapi harus
diungkapkan melalui keterlibatan reflektif dalam hidup itu sendiri. Dalam dunia
yang semakin kompleks, cepat, dan sering kali dangkal, filsafat Heidegger
menawarkan jalan untuk kembali ke inti eksistensi manusia: keberadaan yang
sadar, terbatas, namun penuh kemungkinan.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 17–23.
[2]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic
Books, 1980), 8–10.
[3]
Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the
Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–26.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 152–158.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 282–285.
11.
Kesimpulan
Pemikiran Martin
Heidegger tentang Dasein dalam Being
and Time membuka kembali cakrawala pemahaman filsafat keberadaan
yang telah lama terabaikan dalam sejarah metafisika Barat. Dengan menempatkan Dasein—yakni
manusia sebagai entitas yang mampu mempertanyakan makna keberadaan—sebagai
titik tolak ontologi fundamental, Heidegger berhasil mengalihkan fokus filsafat
dari spekulasi abstrak tentang entitas universal kepada pengalaman eksistensial
konkret yang dialami oleh manusia dalam keberadaannya yang terbuka, temporal,
dan historis1.
Melalui analisis
struktur-struktur eksistensial seperti in-der-Welt-sein, Befindlichkeit,
Verstehen,
dan Rede,
Heidegger menunjukkan bahwa Dasein tidak pernah netral atau
terpisah dari dunia, melainkan selalu sudah terlibat secara praksis dan afektif
di dalamnya. Keterlemparan (Geworfenheit) dan keterarahan
menuju kemungkinan eksistensial, termasuk kesadaran akan kematian (Sein-zum-Tode),
memperjelas bahwa keberadaan manusia bersifat terbatas, namun justru di dalam
keterbatasan itulah kemungkinan hidup yang otentik dapat dirancang2.
Lebih jauh,
pengungkapan terhadap Seinsfrage atau pertanyaan tentang
makna keberadaan menegaskan bahwa manusia sebagai Dasein bukan sekadar mengetahui
dunia, tetapi juga merupakan medan tempat makna keberadaan dapat tersingkap.
Dengan pendekatan hermeneutik, Heidegger menekankan bahwa pemahaman adalah cara
mengada manusia, bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan interpretasi
eksistensial yang berlangsung dalam konteks historis, linguistik, dan budaya
yang selalu sudah ada sebelumnya3.
Relevansi pemikiran
Heidegger dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya menyuarakan
kembali urgensi akan hidup yang reflektif dan otentik di tengah krisis makna,
alienasi digital, dan tekanan sistemik yang mereduksi manusia menjadi fungsi
teknis atau data statistik. Heidegger, melalui konsep Dasein,
mengingatkan bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang menyadari
keberadaannya, mempertanyakan maknanya, dan dengan kesadaran itu, memiliki
kebebasan untuk merancang hidup secara bermakna di tengah keterbatasan yang tak
terhindarkan4.
Meski filsafat
Heidegger tidak bebas dari kontroversi, khususnya terkait keterlibatannya dalam
politik Nazi, warisan intelektualnya tetap memiliki nilai penting dalam
menggugah kesadaran eksistensial manusia modern. Heidegger mengajak kita untuk nicht
vergessen—untuk tidak melupakan keberadaan, untuk kembali pada
pertanyaan dasar: “Apa arti menjadi?” Sebab, dalam mengajukan pertanyaan
itu, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga memahami dirinya sendiri
secara lebih dalam, jujur, dan otentik.
Dengan demikian,
studi tentang Dasein bukanlah sekadar telaah
filosofis atas konsep abstrak, melainkan refleksi mendalam atas kondisi manusia
dalam dunia yang senantiasa berubah dan menantang. Heidegger menawarkan jalan
filsafat yang bukan hanya untuk dipikirkan, tetapi untuk dihidupi.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.
[2]
William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide
(London: Continuum, 2006), 85–90.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–274.
[4]
Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift
(London: Rowman & Littlefield, 2015), 171–175.
Daftar Pustaka
Blattner, W. D. (2006). Heidegger's Being and
time: A reader's guide. Continuum.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger's Being and time, Division I. MIT Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum. (Original work published
1960)
Greene, M. (1995). Releasing the imagination:
Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Heidegger, M. (1971). On the way to language
(P. D. Hertz, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1978). On the essence of truth
(J. Sallis, Trans.). Indiana University Press.
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Polt, R. (1999). Heidegger: An introduction.
Cornell University Press.
Sheehan, T. (2015). Making sense of Heidegger: A
paradigm shift. Rowman & Littlefield.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy.
Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar