Minggu, 01 Juni 2025

Keberadaan Manusia (Dasein): Memahami Konsep Dasein dalam Pemikiran Martin Heidegger

Keberadaan Manusia (Dasein)

Memahami Konsep Dasein dalam Pemikiran Martin Heidegger


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Dasein dalam fenomenologi eksistensial Martin Heidegger, khususnya sebagaimana dirumuskan dalam karya monumentalnya Being and Time (1927). Dengan mengacu pada pendekatan ontologi fundamental, Heidegger berusaha membongkar struktur keberadaan manusia sebagai makhluk yang mampu mempertanyakan makna eksistensinya. Melalui analisis struktur eksistensial seperti in-der-Welt-sein (ada-di-dalam-dunia), Befindlichkeit (keterlemparan afektif), Verstehen (pemahaman), Rede (wacana), serta Sein-zum-Tode (menuju-kematian), artikel ini mengungkap dinamika keberadaan manusia sebagai entitas yang terbuka terhadap waktu, makna, dan kemungkinan. Artikel ini juga menyoroti peran hermeneutika eksistensial dalam pemahaman Dasein, serta relevansi konsep tersebut dalam menjawab tantangan kontemporer seperti krisis makna, dehumanisasi teknologi, dan praktik terapeutik dan pendidikan. Melalui telaah ini, disimpulkan bahwa Dasein bukan hanya konsep teoretis, tetapi sebuah horizon reflektif yang memungkinkan manusia hidup secara lebih otentik, sadar akan keterbatasannya, dan terbuka terhadap pengungkapan makna hidup.

Kata Kunci: Dasein, Martin Heidegger, fenomenologi eksistensial, ontologi fundamental, hermeneutika, Sein-zum-Tode, keberadaan, otentisitas, temporalitas, makna hidup.


PEMBAHASAN

Mengungkap Keberadaan (Dasein) dalam Fenomenologi Martin Heidegger


1.           Pendahuluan

Sejak awal sejarah filsafat Barat, pertanyaan tentang ada (being) telah menjadi tema sentral yang terus diperbincangkan oleh para filsuf besar, mulai dari Parmenides, Plato, Aristoteles, hingga para pemikir modern seperti Descartes dan Kant. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan dominasi pendekatan positivistik, pertanyaan tersebut mengalami penyempitan menjadi sekadar kajian tentang entitas (being as presence), bukan makna keberadaan itu sendiri. Dalam konteks inilah, Martin Heidegger (1889–1976) muncul dengan proyek filosofisnya yang radikal: menghidupkan kembali pertanyaan fundamental tentang makna keberadaan melalui pendekatan fenomenologi hermeneutik yang berpusat pada analisis eksistensial manusia sebagai Dasein1.

Heidegger berpendapat bahwa selama ini filsafat telah melupakan pertanyaan paling mendasar, yakni “Apa makna dari keberadaan itu sendiri?” (die Frage nach dem Sinn von Sein). Pertanyaan ini tidak hanya bersifat ontologis, tetapi juga eksistensial karena menyangkut bagaimana manusia, sebagai makhluk yang sadar akan keberadaannya, menanggapi dunia, dirinya, dan batas-batas eksistensinya2. Dalam karya monumentalnya Sein und Zeit (1927), Heidegger mengusulkan bahwa untuk memahami makna keberadaan secara lebih mendalam, kita perlu terlebih dahulu memahami modus keberadaan manusia, yakni Dasein—sebuah istilah Jerman yang secara harfiah berarti “ada-di-sana”, namun dalam terminologi Heidegger merujuk pada eksistensi manusia yang terbuka, reflektif, dan memiliki potensi untuk memahami keberadaannya sendiri3.

Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk menyajikan kajian komprehensif mengenai konsep Dasein dalam filsafat Heidegger, dengan menjelajahi struktur-struktur eksistensial yang menyusun keberadaan manusia sebagaimana ia hadir di dunia. Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk memahami pemikiran Heidegger secara tekstual, tetapi juga untuk mengkaji relevansi gagasannya dalam merespons krisis makna, alienasi eksistensial, dan disorientasi spiritual yang banyak dialami manusia kontemporer. Dengan demikian, diskursus tentang Dasein bukanlah semata kajian abstrak, melainkan memiliki implikasi nyata dalam memahami hidup manusia secara lebih otentik.

Melalui pendekatan fenomenologi hermeneutik, Heidegger tidak hanya mengkritik cara berpikir objektivistik yang memisahkan subjek dan objek, tetapi juga mengajukan alternatif radikal dengan menempatkan manusia sebagai pusat keterbukaan terhadap dunia. Dengan demikian, pemahaman tentang keberadaan menjadi mungkin hanya karena Dasein adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk bertanya tentang keberadaannya sendiri4. Oleh karena itu, kajian ini akan memandu pembaca melalui pemetaan konseptual tentang Dasein, mulai dari strukturnya yang paling dasar hingga peranannya dalam pengungkapan makna keberadaan.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.

[2]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 2–4.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 29–34.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 248–250.


2.           Konteks Historis dan Filosofis Pemikiran Heidegger

Pemikiran Martin Heidegger tidak lahir dalam kevakuman, melainkan merupakan hasil dari pergulatan intensif dengan tradisi filsafat Barat, khususnya metafisika klasik dan fenomenologi modern. Ia berdiri di persimpangan antara warisan filsafat Yunani, pengaruh skolastik Kristen, dan revolusi epistemologis modern yang mencapai puncaknya dalam filsafat Immanuel Kant. Namun, secara khusus, proyek filsafat Heidegger tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan pengaruh langsung dari Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, yang merupakan gurunya di Universitas Freiburg1.

Heidegger memulai karier intelektualnya sebagai komentator kritis terhadap Husserl. Meskipun ia menerima kerangka fenomenologi sebagai metode filosofis yang berfokus pada pengembalian pemikiran kepada “hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst), Heidegger menilai bahwa fenomenologi Husserl masih terjebak dalam pendekatan yang terlalu epistemologis dan kartesian. Bagi Heidegger, kesadaran bukanlah titik awal untuk memahami realitas, melainkan eksistensi manusia konkret dalam dunia yang telah terlempar ke dalam sejarah, waktu, dan relasi dengan sesama2. Ia menggeser fokus fenomenologi dari analisis kesadaran transendental ke ontologi eksistensial melalui studi tentang Dasein sebagai cara keberadaan manusia.

Secara historis, proyek filsafat Heidegger muncul sebagai bentuk reaksi terhadap krisis metafisika Barat yang dianggap telah melupakan pertanyaan tentang Sein (keberadaan). Dalam Sein und Zeit, Heidegger menyebut bahwa sejak Plato dan Aristoteles, filsafat terlalu berfokus pada pengertian keberadaan dalam arti yang paling umum (sebagai substansi, aktus, atau esensi), sehingga melupakan apa yang membuat keberadaan sebagai keberadaan—yang oleh Heidegger disebut sebagai Seinsvergessenheit (kelupaan terhadap keberadaan itu sendiri)3. Dengan demikian, Heidegger berupaya merintis apa yang ia sebut sebagai “ontologi fundamental” (fundamentale Ontologie), yakni upaya untuk membongkar struktur-struktur dasar dari keberadaan melalui analisis terhadap Dasein, sebagai satu-satunya entitas yang mampu mempertanyakan makna dari keberadaan4.

Selain itu, filsafat Heidegger sangat dipengaruhi oleh hermeneutika eksistensial dan pemahaman baru tentang bahasa, terutama dalam karya-karya lanjutannya. Di sinilah terlihat pergeseran pemikiran dari fase awal (fokus pada Sein und Zeit) menuju fase pertengahan dan akhir, yang lebih menekankan pada hubungan antara keberadaan dan bahasa, serta dimensi historis-poetik dari eksistensi. Namun demikian, gagasan tentang Dasein tetap menjadi pusat dalam keseluruhan proyeknya karena ia adalah medan di mana makna keberadaan dapat diungkapkan.

Secara sosial dan intelektual, Heidegger hidup pada masa yang ditandai oleh gejolak besar dalam sejarah Eropa: Perang Dunia I, jatuhnya Kekaisaran Jerman, krisis identitas modern, dan munculnya totalitarianisme. Situasi ini memberikan konteks eksistensial yang memperkuat urgensi bagi Heidegger untuk merumuskan ulang pemahaman tentang manusia, bukan sebagai subjek rasional sebagaimana dalam tradisi Cartesian, melainkan sebagai makhluk yang penuh kecemasan, keterlemparan, dan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan keberadaannya5.

Dengan demikian, pemikiran Heidegger merupakan bentuk kritik mendalam terhadap fondasi metafisika dan epistemologi modern, sekaligus upaya pembaruan radikal terhadap cara manusia memahami dirinya sendiri dan dunianya. Konsep Dasein menjadi pintu masuk bagi upaya ontologis tersebut karena ia merepresentasikan eksistensi manusia sebagai medan keterbukaan terhadap pengungkapan makna.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 183–187.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–64.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 6–8.

[4]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 22–25.

[5]                Julian Young, Heidegger’s Philosophy of Art (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 12–15.


3.           Pengantar Konsep Dasein: Apa Itu “Keberadaan Manusia”?

Salah satu kontribusi paling orisinal Martin Heidegger dalam Sein und Zeit (1927) adalah pengenalan istilah Dasein sebagai pusat analisis ontologis. Berasal dari bahasa Jerman, Dasein secara harfiah berarti “ada-di-sana” (Da = di sana, Sein = ada), namun dalam terminologi Heidegger, istilah ini tidak merujuk pada manusia dalam arti biologis atau psikologis, melainkan pada cara khusus manusia “ada” di dunia: yakni sebagai makhluk yang menyadari keberadaannya dan secara aktif mempertanyakannya1.

Heidegger menolak pendekatan antropologis atau humanistik yang memahami manusia sebagai objek studi empiris. Sebaliknya, ia mendefinisikan Dasein sebagai satu-satunya entitas yang memiliki kemampuan untuk mempertanyakan makna keberadaan (Seinsverständnis) dan menjadikan dirinya sebagai persoalan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Dasein bukanlah sekadar makhluk hidup, melainkan “ada yang eksistensial,” yakni makhluk yang keberadaannya ditentukan oleh kemampuannya untuk memilih, menafsirkan, dan menanggapi dunia sekitarnya secara sadar dan otentik2.

Sebagai makhluk yang “ada-di-dalam-dunia” (in-der-Welt-sein), Dasein tidak dapat dipisahkan dari konteks dan relasi eksistensialnya. Dunia bukanlah sesuatu yang “ada di luar” dan terpisah dari subjek, melainkan struktur makna yang telah dibentuk melalui keterlibatan Dasein secara praksis dan historis. Oleh sebab itu, manusia tidak pernah berada dalam posisi netral atau mengamati dunia secara pasif; ia selalu sudah terlibat, sudah berada “di tengah” dunia, dengan kecenderungan, minat, dan pemahaman yang mengarahkan eksistensinya3.

Ciri penting lain dari Dasein adalah keberadaannya yang terbuka terhadap kemungkinan. Heidegger menyebut bahwa Daseinada secara belum selesai” (unvollendet) dan selalu dalam proses menjadi. Ia tidak statis, melainkan terbentang antara masa lalu yang telah melemparkannya (Geworfenheit), masa kini tempat ia berada, dan masa depan yang mengarahkannya kepada kemungkinan-kemungkinan eksistensial (Entwurf)4. Dalam kerangka ini, eksistensi manusia bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu dinamika eksistensial yang terbuka terhadap perubahan dan pengambilan sikap.

Dengan memposisikan Dasein sebagai dasar dari pengungkapan makna keberadaan, Heidegger menggeser pusat filsafat dari pemikiran metafisis tentang entitas universal ke pengalaman eksistensial manusia konkret. Pertanyaan “apa itu manusia?” tidak lagi dijawab dengan karakteristik substansial (misalnya: makhluk rasional, makhluk sosial), melainkan dengan cara manusia mengada—yakni sebagai entitas yang menanyakan, memahami, dan menafsirkan keberadaannya sendiri dalam dunia yang telah mengandaikannya5.

Dengan demikian, pengantar konsep Dasein membuka jalan bagi pemahaman yang lebih radikal dan eksistensial tentang manusia. Ia bukan hanya ada, tetapi mengetahui bahwa ia ada, dan keberadaannya penuh dengan kemungkinan, keterbukaan, dan juga kecemasan ontologis. Di sinilah letak kekhasan Heidegger: memulihkan kembali pertanyaan ontologis yang telah lama dilupakan filsafat Barat, namun melalui pintu masuk eksistensial manusia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 41–44.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 35–38.

[4]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 53–56.

[5]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 60–65.


4.           Dunia Kehidupan (Lebenswelt) dan Struktur Eksistensial Dasein

Dalam Being and Time, Martin Heidegger menyajikan konsep Dasein bukan sebagai entitas terisolasi, melainkan sebagai makhluk yang selalu sudah berada "di dalam dunia" (in-der-Welt-sein)—suatu struktur eksistensial fundamental yang mencerminkan keterlibatan manusia dalam konteks kehidupannya. Dunia yang dimaksud di sini bukanlah dunia objektif sebagaimana dalam pemahaman ilmiah atau geografis, melainkan dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni medan makna dan keterlibatan tempat manusia hidup, berelasi, dan bertindak secara praksis1.

Heidegger meminjam konsep Lebenswelt dari Edmund Husserl, namun memberinya penekanan ontologis. Jika bagi Husserl Lebenswelt adalah dunia yang hadir sebelum refleksi ilmiah dan menjadi basis semua makna, maka bagi Heidegger, dunia kehidupan adalah struktur eksistensial yang tidak netral, melainkan penuh keterarahan, pemahaman, dan keterlibatan praktis. Manusia sebagai Dasein tidak hadir sebagai pengamat netral, melainkan sebagai pelaku yang selalu sudah "terlempar" ke dalam dunia dengan kepedulian eksistensial terhadap makna dan arah hidupnya2.

Heidegger membedakan tiga struktur utama yang menyusun eksistensi Dasein dalam keterlibatannya dengan dunia: Befindlichkeit (keterlemparan atau suasana-afektif), Verstehen (pemahaman), dan Rede (wacana atau penyingkapan makna). Ketiganya saling terjalin dan membentuk landasan eksistensial bagi cara manusia berada.

Pertama, Befindlichkeit mencerminkan fakta bahwa manusia selalu menemukan dirinya "sudah berada" dalam situasi tertentu tanpa memilihnya. Konsep ini menunjukkan keterlemparan (Geworfenheit)—kondisi dasar bahwa manusia hadir ke dunia tanpa meminta untuk hadir, dan dalam kondisi tertentu yang tidak ia tentukan sendiri. Namun, keterlemparan ini tidak pasif; ia menyiratkan bahwa manusia merespons dunia melalui nuansa suasana hati (Stimmung), seperti kecemasan, kegembiraan, atau ketakutan, yang membentuk keterbukaan eksistensialnya3.

Kedua, Verstehen (pemahaman) adalah cara Dasein menafsirkan dirinya dan dunianya. Pemahaman bukanlah tindakan teoritis, melainkan kemampuan eksistensial untuk “menjadi” dalam arti merancang kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Dasein selalu berada dalam situasi "menuju"—ia menafsirkan masa lalunya, beroperasi di masa kini, dan memproyeksikan dirinya ke masa depan. Oleh karena itu, keberadaan manusia bersifat temporal dan penuh kemungkinan4.

Ketiga, Rede (wacana) adalah struktur yang memungkinkan makna menjadi eksplisit. Melalui bahasa dan komunikasi, manusia mengartikulasikan dan mengungkapkan pemahamannya terhadap dunia. Namun, bagi Heidegger, wacana bukan sekadar transmisi informasi, melainkan cara dunia "terbuka" atau “tersingkap” (Erschlossenheit). Oleh sebab itu, bahasa memiliki dimensi ontologis, bukan hanya semantis5.

Selain tiga struktur tersebut, Heidegger juga membahas relasionalitas Dasein dalam bentuk Mitsein—yakni bahwa keberadaan manusia selalu berada bersama yang lain. Dasein tidak soliter, melainkan eksistensial-sosial. Namun, dalam kebersamaan ini terdapat ancaman ketidakauthentikan ketika individu tenggelam dalam arus impersonal masyarakat, yang oleh Heidegger disebut sebagai das Man—yakni hidup sebagai "seseorang pada umumnya", tanpa refleksi dan keunikan pribadi6.

Dengan demikian, struktur eksistensial Dasein menunjukkan bahwa manusia selalu hadir dalam dunia yang penuh makna, keterlibatan, dan kemungkinan. Ia bukan objek yang diamati, melainkan subjek yang secara aktif mengada dan mengungkapkan dunia. Inilah dasar dari ontologi fundamental Heidegger: keberadaan tidak dipahami dari luar, tetapi dari dalam eksistensi manusia yang hidup, mengalami, dan menafsirkan dunianya sendiri.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–84.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 233–236.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 168–172.

[4]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 85–90.

[5]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 111–115.

[6]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 59–62.


5.           Otentisitas dan Ketidakotentikan: Antara Seseorang dan Diri Sendiri

Salah satu tema sentral dalam pemikiran Martin Heidegger adalah ketegangan antara keberadaan yang otentik (eigentliches Dasein) dan keberadaan yang tidak otentik (uneigentliches Dasein). Dalam Being and Time, Heidegger menjelaskan bahwa manusia, sebagai Dasein, selalu berada dalam kemungkinan untuk hidup secara otentik, yaitu dengan menghayati eksistensinya secara sadar, reflektif, dan jujur terhadap keterbatasannya sendiri. Namun, ia juga kerap tergelincir ke dalam kehidupan yang tidak otentik, yakni ketika ia membiarkan dirinya ditentukan oleh arus umum masyarakat atau oleh yang disebut Heidegger sebagai das Man—“seseorang” atau “orang-orang pada umumnya1.

Konsep das Man merupakan bentuk kritik Heidegger terhadap kehidupan sosial yang cenderung menenggelamkan individu dalam ketidakpribadian. Dalam mode ini, manusia menjalani hidup bukan sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai bagian dari massa anonim yang ditentukan oleh norma, kebiasaan, dan ekspektasi sosial. Misalnya, seseorang bekerja, berbicara, atau bahkan berduka sebagaimana “orang lain” melakukannya, tanpa bertanya mengapa atau apakah hal itu sungguh berarti baginya. Dengan demikian, dalam keberadaan yang tidak otentik, Dasein menyerahkan eksistensinya kepada yang lain dan kehilangan potensi eksistensialnya untuk memilih dan menjadi dirinya sendiri2.

Namun, Heidegger menekankan bahwa ketidakotentikan bukanlah kondisi yang selalu buruk atau negatif. Justru, ia adalah kondisi dasar yang tidak dapat dihindari karena manusia secara faktual hidup dalam dunia bersama (Mitsein) yang ditandai oleh intersubjektivitas. Akan tetapi, bahaya dari ketidakotentikan adalah bahwa manusia bisa lupa terhadap kemungkinan untuk hidup secara otentik, dan terjebak dalam kehidupan yang dangkal, teralihkan, dan penuh penundaan eksistensial3.

Keberadaan yang otentik, menurut Heidegger, ditandai oleh kesadaran terhadap “kemungkinan-kemungkinan terjauh” dari Dasein, khususnya dalam hubungannya dengan kematian. Manusia menjadi otentik ketika ia secara sadar merangkul kefanaannya dan hidup dengan kesadaran akan “kemungkinan yang paling mungkin namun tak terlampaui”—yakni kematian. Ini bukan berarti sikap pesimis atau morbid, melainkan sebuah dorongan untuk mengambil kepemilikan atas hidup sendiri (Eigentlichkeit) dengan merancang eksistensinya secara sadar dan penuh tanggung jawab4.

Proses menuju keotentikan sering kali dimulai dari apa yang disebut Heidegger sebagai “panggilan suara hati” (Ruf des Gewissens). Panggilan ini bersifat diam, tidak memaksa, namun mendesak; ia menyadarkan Dasein akan ketertinggalannya dari dirinya sendiri dan mengajak kembali ke arah kemungkinan eksistensial yang lebih sejati. Suara hati ini, bukan berupa norma moral eksternal, tetapi merupakan bentuk interpelasi eksistensial dari Dasein kepada dirinya sendiri5.

Dalam kerangka ini, otentisitas bukanlah kondisi permanen, melainkan suatu modus eksistensial yang harus terus diperjuangkan. Manusia dapat menjadi otentik hanya jika ia mengambil sikap terhadap keberadaannya sendiri, terhadap dunia, terhadap sesama, dan terutama terhadap waktu dan kematian. Artinya, keotentikan bukan tentang menjadi sesuatu yang khusus atau unik secara sosial, melainkan tentang hidup secara penuh kesadaran, dalam kejujuran terhadap kondisi eksistensial yang tak dapat dielakkan.

Dengan demikian, antara seseorang (das Man) dan diri sendiri, terbentang medan eksistensial yang dinamis dan menuntut refleksi mendalam. Di sanalah pertaruhan keberadaan manusia berlangsung: apakah ia akan hidup sesuai dengan suara mayoritas dan menghindar dari keterbatasannya sendiri, ataukah ia akan dengan jujur menanggapi panggilan eksistensial untuk menjadi otentik sebagai Dasein.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 149–168.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 97–100.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 235–238.

[4]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 84–89.

[5]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 153–157.


6.           Keberadaan dan Waktu: Temporalitas sebagai Hakikat Dasein

Dalam proyek ontologi fundamental-nya, Martin Heidegger menyatakan bahwa pemahaman tentang keberadaan (Sein) hanya mungkin melalui pemahaman terhadap waktu (Zeit). Hal ini menjadi fondasi bagi Being and Time, yang secara eksplisit menyatukan dua tema besar tersebut. Menurut Heidegger, hakikat terdalam dari Dasein sebagai makhluk yang mempertanyakan keberadaan adalah temporalitas, yaitu keberadaan yang terbentang dalam waktu sebagai struktur eksistensialnya yang paling dasar1.

Temporalitas (Zeitlichkeit) bukan sekadar pengertian waktu kronologis (seperti detik, menit, dan jam), melainkan waktu dalam arti eksistensial: bagaimana manusia hidup, memahami, dan mengarahkan dirinya dalam horizon waktu. Dasein tidak berada dalam waktu sebagai wadah kosong; sebaliknya, waktu adalah cara bagaimana Dasein mengada. Dalam kerangka ini, keberadaan bukanlah suatu titik statis, melainkan suatu gerakan keterbukaan terhadap masa lalu (Gewesenheit), masa kini (Gegenwart), dan masa depan (Zukunft) dalam kesatuan yang saling menentukan2.

Bagi Heidegger, masa depan memainkan peranan sentral dalam struktur temporal Dasein. Masa depan bukan sekadar waktu yang akan datang, melainkan horizon kemungkinan. Dasein mengada dalam mode proyeksi (Entwurf) menuju kemungkinan-kemungkinan eksistensialnya, dan karenanya ia selalu berada “sebelum” dirinya sendiri. Manusia mengantisipasi hidupnya dalam arah yang belum terjadi, dan dalam arti inilah, masa depan menjadi dimensi utama dari keberadaannya yang otentik3.

Namun, masa depan ini selalu bersinggungan dengan masa lalu dan masa kini. Heidegger menggunakan istilah ekstasis temporal untuk menunjukkan bahwa Dasein "melampaui" (ex-statik) dirinya ke dalam tiga dimensi waktu tersebut secara bersamaan. Ia bukan entitas yang “berada dalam waktu”, melainkan “memungkinkan waktu” dengan caranya mengada. Masa lalu hadir dalam bentuk keterlemparan (Geworfenheit)—Dasein selalu sudah berada dalam dunia dan sejarah tertentu yang tidak ia pilih. Masa kini (Gegenwart) dihidupi melalui keterlibatan praktis dalam dunia sehari-hari, sedangkan masa depan adalah tempat penarikan proyek eksistensialnya yang penuh kemungkinan4.

Temporalitas menjadi dasar bagi pemahaman eksistensial yang sejati karena melalui waktu, Dasein mampu menyusun makna hidupnya. Kesadaran akan waktu mengantar manusia kepada kesadaran akan keterbatasannya, terutama dalam hubungannya dengan kematian. Dalam konsep Sein-zum-Tode (being-toward-death), Heidegger menegaskan bahwa kesadaran akan kematian sebagai kemungkinan yang paling personal dan tak terelakkan mengkondisikan struktur waktu eksistensial. Menghadapi kematian bukan dalam bentuk pengetahuan abstrak, tetapi sebagai proyek keberadaan yang tak dapat digantikan, membuat manusia sadar akan kefanaan dan urgensi untuk hidup secara otentik5.

Dengan demikian, waktu bukan hanya sarana untuk mengukur perubahan atau rentang kejadian; ia adalah struktur dasar dari eksistensi itu sendiri. Dasein adalah makhluk temporal karena keberadaannya hanya mungkin dipahami melalui dinamika masa lalu, kini, dan masa depan. Dalam kerangka inilah Heidegger menyimpulkan bahwa waktu adalah horizon di mana keberadaan menjadi dapat dimengerti (Zeit ist der Horizont für das Verstehen von Sein)6.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 274–276.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 141–144.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 102–104.

[4]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 247–250.

[5]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 162–167.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, 39.


7.           Keterlemparan dan Ke Menuju-Kematian: Eksistensi yang Terbatas

Salah satu aspek paling mendalam dari analisis eksistensial Martin Heidegger terhadap Dasein adalah pemahamannya tentang keterbatasan eksistensi manusia, yang diekspresikan melalui dua struktur eksistensial utama: keterlemparan (Geworfenheit) dan ke menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Kedua konsep ini menandai kesadaran akan kondisi faktis dan batas eksistensial manusia, serta membuka ruang bagi keotentikan dalam cara manusia menjalani keberadaannya di dunia.

Pertama, Geworfenheit merujuk pada fakta bahwa Dasein selalu sudah berada dalam dunia yang tidak ia pilih. Ia “dilempar” ke dalam eksistensi, dalam situasi historis, sosial, dan faktual tertentu—misalnya, lahir di waktu, tempat, dan keluarga tertentu, dalam kondisi tubuh dan lingkungan tertentu. Keterlemparan ini bukan hanya kondisi pasif, tetapi juga dasar dari keterlibatan aktif Dasein dengan dunia: manusia tidak menentukan asal-usulnya, namun ia harus menanggapi keadaan faktis itu dengan pengambilan sikap dan proyek hidupnya sendiri1.

Heidegger menekankan bahwa keterlemparan tidak berarti determinisme, melainkan kondisi pembukaan terhadap kemungkinan. Keterlemparan adalah bentuk faktisitas (Facticity) yang menyiratkan bahwa Dasein tidak dimulai dari nol, tetapi dari situasi yang telah ada. Dalam situasi itu, ia “muncul” dan “mengada” dengan proyek yang dapat ia pilih atau abaikan. Artinya, meski manusia tidak bebas menentukan dari mana ia berasal, ia tetap bertanggung jawab terhadap bagaimana ia akan "menjadi"2.

Dimensi eksistensial yang paling radikal dari keterbatasan manusia, menurut Heidegger, adalah kematian. Ia merumuskan konsep Sein-zum-Tode sebagai bentuk paling otentik dari kesadaran akan keberadaan. Kematian bukan sekadar fakta biologis yang akan terjadi kelak, melainkan kemungkinan eksistensial yang paling pasti namun tak dapat dialami oleh siapa pun selain diri sendiri. Artinya, kematian adalah kemungkinan paling mungkin (die äußerste Möglichkeit), dan sekaligus kemungkinan yang tak bisa dilewati oleh siapa pun selain saya sendiri3.

Dalam mode otentik, Dasein menghadapi kematian bukan sebagai hal yang menakutkan atau yang harus dihindari, tetapi sebagai sesuatu yang membentuk horizon hidupnya. Kesadaran akan kematian membuat manusia menyadari keterbatasan waktunya dan menghidupkan urgensi untuk “mengada secara otentik”. Dengan memahami dirinya sebagai makhluk yang menuju kematian, manusia tidak lagi menunda, tidak lagi hidup dalam ketidaksadaran sehari-hari, tetapi justru menata hidupnya dalam kejujuran terhadap kenyataan bahwa eksistensi itu terbatas dan harus dihayati secara penuh4.

Sebaliknya, dalam mode tidak otentik, Dasein menyangkal kenyataan kematian. Ia menyibukkan diri dengan distraksi, rutinitas, dan harapan-harapan yang mengaburkan kesadaran akan kefanaannya. Heidegger menyebut bentuk pelarian ini sebagai bagian dari struktur das Man, di mana kematian direduksi menjadi sekadar "kejadian alamiah" yang menimpa “seseorang”, bukan saya secara personal5.

Konsekuensi dari pemahaman eksistensial terhadap kematian adalah bahwa hidup manusia menjadi proyek yang harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Dasein tidak bisa menyerahkan eksistensinya pada pihak lain; ia dipanggil untuk menghayati hidupnya sebagai miliknya sendiri. Oleh karena itu, Sein-zum-Tode bukanlah pesimisme, melainkan bentuk keberanian eksistensial untuk menjadi otentik di tengah keterbatasan.

Dengan demikian, konsep Geworfenheit dan Sein-zum-Tode menegaskan bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu kepastian yang mapan, melainkan medan pergulatan antara fakta dan kemungkinan, antara kenyataan yang tak dapat dihindari dan tanggapan yang dapat dipilih. Dalam ketegangan inilah Dasein membentuk makna eksistensinya yang sejati.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–176.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 92–95.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 91–95.

[4]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 171–175.

[5]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 258–262.


8.           Dasein dan Pertanyaan tentang Makna Keberadaan (Seinsfrage)

Inti dari proyek filsafat Martin Heidegger adalah pemulihan pertanyaan tentang makna keberadaan, yang dalam bahasa Jermannya disebut die Seinsfrage. Pertanyaan ini—"Apa makna dari keberadaan itu sendiri?"—menjadi tema fundamental dalam Being and Time dan menjadi dasar seluruh eksplorasi ontologis Heidegger. Ia meyakini bahwa tradisi filsafat Barat, sejak Plato hingga Descartes dan seterusnya, telah melupakan pertanyaan ini, dan sebagai gantinya hanya memusatkan perhatian pada makhluk-makhluk yang ada (Seiendes), bukan pada Sein (keberadaan) itu sendiri1.

Menurut Heidegger, Seinsfrage bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab dengan definisi konseptual yang statis, karena keberadaan bukanlah objek atau entitas, melainkan “cara hadir” dari segala yang ada. Keberadaan adalah kondisi yang memungkinkan semua yang ada bisa tampil dan dipahami, namun anehnya ia sendiri luput dari perhatian. Inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Seinsvergessenheit—kelupaan terhadap keberadaan. Filsafat, dalam sejarahnya, terlalu berfokus pada “apa yang ada” dan lupa menanyakan “apa itu ‘ada’2.

Dalam upaya menjawab Seinsfrage, Heidegger tidak mencari jawaban abstrak-metafisis, tetapi memulai dengan analisis konkret terhadap eksistensi manusia sebagai Dasein, karena Dasein adalah satu-satunya entitas yang mampu mempertanyakan makna keberadaannya. Dengan kata lain, keberadaan tidak dapat dimengerti tanpa perantara Dasein—makhluk yang dapat menyingkap dan memahami makna “ada”. Oleh karena itu, memahami keberadaan berarti memahami bagaimana Dasein mengalami dan menafsirkan dunia3.

Dasein memiliki kapasitas Seinsverständnis—pemahaman implisit tentang keberadaan—yang membuatnya mampu berinteraksi, menafsirkan, dan memberi makna pada segala sesuatu di sekitarnya. Pemahaman ini bukanlah hasil refleksi teoritis, melainkan hadir dalam tindakan dan keterlibatan praksis sehari-hari. Sebagai contoh, ketika seseorang menggunakan sebuah alat, ia tidak memikirkan alat itu sebagai “benda”, tetapi sebagai “sesuatu untuk digunakan”—dan dalam cara penggunaan itu, makna keberadaan alat tersebut tersingkap. Ini menunjukkan bahwa makna keberadaan bersifat kontekstual, temporal, dan terkait erat dengan eksistensi manusia konkret4.

Namun, kemampuan Dasein untuk memahami keberadaan bukanlah sesuatu yang selalu sadar dan eksplisit. Sebagian besar waktu, manusia hidup dalam pemahaman yang terselubung, teralihkan oleh rutinitas dan distraksi sosial. Oleh sebab itu, agar Dasein benar-benar mampu membuka diri terhadap makna Sein, ia harus hidup secara otentik—menghadapi dirinya, keterbatasannya, dan dunia dengan jujur serta reflektif. Dalam hidup yang otentik inilah Seinsfrage menjadi mungkin diajukan secara eksistensial, bukan sekadar spekulatif5.

Heidegger menyatakan bahwa keberadaan tidak dapat dipahami melalui cara berpikir objektivistik yang memisahkan subjek dan objek, seperti dalam paradigma Cartesian. Sebaliknya, ia harus dipahami sebagai sesuatu yang terbuka melalui pengalaman, waktu, dan keterlibatan. Dalam pengertian ini, Sein adalah fenomena yang “tersingkap” melalui sejarah, bahasa, dan eksistensi Dasein. Oleh karena itu, dalam karya-karya lanjutannya, Heidegger menekankan bahwa Sein bukan hanya perihal apa yang “ada”, tetapi adalah “ketersembunyian dan penyingkapan” (aletheia) yang berlangsung terus-menerus dalam proses kehidupan manusia6.

Dengan demikian, Dasein bukan hanya pusat dari eksistensi individual, tetapi juga kunci menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai keberadaan secara umum. Tanpa Dasein, keberadaan tidak dapat dipertanyakan dan tidak dapat dimaknai. Maka, untuk menjawab Seinsfrage, filsafat harus kembali kepada eksistensi manusia yang konkret, yang hidup, dan yang terbuka terhadap dunia sebagai medan pengungkapan makna.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.

[2]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 6–10.

[3]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 51–53.

[4]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 65–70.

[5]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 135–138.

[6]                Martin Heidegger, On the Essence of Truth, trans. John Sallis (Bloomington: Indiana University Press, 1978), 10–13.


9.           Interpretasi Hermeneutik terhadap Dasein

Dalam proyek ontologisnya, Martin Heidegger tidak hanya membangun kembali pemahaman tentang keberadaan (Sein) melalui analisis eksistensial Dasein, tetapi juga mereformulasi metode pendekatan terhadap realitas itu sendiri melalui apa yang disebut sebagai hermeneutika eksistensial (existenziale Hermeneutik). Dalam konteks ini, hermeneutika tidak lagi terbatas pada teori penafsiran teks, sebagaimana dalam tradisi teologi dan filologi, melainkan diperluas menjadi cara memahami eksistensi manusia sebagai sesuatu yang selalu sudah berada dalam medan pemahaman dan penafsiran1.

Menurut Heidegger, Dasein adalah makhluk yang “menafsirkan” dirinya sendiri dan dunia sekitarnya secara terus-menerus. Ia hidup dalam lingkup pemahaman yang tidak netral dan tidak sepenuhnya disadari, yang disebut sebagai pra-pemahaman (Vorverständnis). Pemahaman ini tidak bersifat reflektif sejak awal, melainkan hadir dalam bentuk keterlibatan praksis dengan dunia—seperti bagaimana seseorang “mengerti” cara menggunakan alat atau berinteraksi dalam situasi sosial tanpa berpikir panjang. Pemahaman demikian bersifat implisit dan operatif2.

Penting untuk dicatat bahwa bagi Heidegger, memahami bukanlah kegiatan mental atau penalaran logis belaka, melainkan merupakan modus mengada dari Dasein. Karena itu, pemahaman bersifat ontologis: ia bukan sekadar “tahu tentang sesuatu” tetapi “mengada di dalam dunia dengan cara tertentu”. Inilah sebabnya mengapa Dasein dapat dikatakan sebagai entitas hermeneutik—ia menafsirkan dunia dan dirinya bukan dari luar, tetapi dari dalam keterlibatannya yang sudah berlangsung3.

Salah satu struktur penting dari hermeneutika eksistensial Heidegger adalah lingkaran hermeneutik (hermeneutischer Zirkel). Lingkaran ini menyatakan bahwa pemahaman terhadap keseluruhan hanya mungkin melalui bagian-bagiannya, dan sebaliknya, pemahaman terhadap bagian hanya mungkin dalam konteks keseluruhan. Dalam konteks Dasein, ini berarti bahwa pemahaman manusia terhadap dirinya selalu terbentuk dalam horizon budaya, bahasa, sejarah, dan situasi hidup tertentu yang melingkupinya. Dengan demikian, tidak ada pemahaman yang benar-benar "objektif" atau "netral", karena Dasein selalu berada dalam suatu horizon interpretatif tertentu4.

Hermeneutika Heidegger juga melampaui subjektivitas individual. Ia menolak model Cartesian yang memisahkan subjek dan objek. Sebaliknya, dalam pengalaman manusia yang paling dasar, dunia dan manusia saling mengungkapkan diri dalam keterhubungan. Manusia bukan pengamat pasif terhadap dunia, melainkan makhluk yang selalu sudah "ada-di-dalam-dunia" (in-der-Welt-sein), sehingga setiap pemahaman tentang dunia adalah juga pemahaman tentang dirinya sendiri, dan sebaliknya5.

Dalam karya-karya selanjutnya, seperti On the Way to Language dan The Origin of the Work of Art, Heidegger semakin menekankan peran bahasa dalam struktur hermeneutik Dasein. Ia menyatakan bahwa “bahasa adalah rumah dari keberadaan” (Die Sprache ist das Haus des Seins)—yakni tempat di mana makna keberadaan bisa diungkapkan dan dipahami. Melalui bahasa, dunia tersingkap sebagai dunia yang bermakna; dan melalui bahasa pula, Dasein membentuk dan dibentuk oleh cara ia mengada dalam dunia6.

Dengan demikian, hermeneutika eksistensial dalam pemikiran Heidegger bukan hanya pendekatan metodologis, tetapi juga refleksi mendalam tentang struktur dasar pemahaman manusia. Dasein adalah makhluk yang pada hakikatnya menafsirkan, dan karena itu, pengungkapan makna keberadaan terjadi bukan melalui jarak kritis, tetapi melalui keterlibatan eksistensial yang penuh kesadaran terhadap kondisi interpretatif yang melingkupinya.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 109–113.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 251–254.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–274.

[5]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1999), 74–78.

[6]                Martin Heidegger, On the Way to Language, trans. Peter D. Hertz (New York: Harper & Row, 1971), 135–139.


10.       Relevansi Dasein dalam Konteks Kontemporer

Konsep Dasein yang dikembangkan Martin Heidegger dalam Being and Time tidak hanya berdampak pada lingkup filsafat teoretis, tetapi juga tetap memiliki daya resonansi kuat dalam menanggapi berbagai persoalan kontemporer, mulai dari krisis identitas manusia modern, dehumanisasi teknologi, hingga praktik terapi dan pendidikan humanistik. Pemikiran Heidegger tentang keberadaan sebagai sesuatu yang harus “dihayati secara otentik” menawarkan alternatif mendalam terhadap kecenderungan modern yang cenderung menempatkan manusia dalam posisi instrumental dan fungsional.

Di era yang ditandai oleh dominasi teknologi dan logika produktivitas, manusia kerap direduksi menjadi bagian dari sistem yang mengabaikan dimensi eksistensialnya. Heidegger sendiri telah mengantisipasi kecenderungan ini dalam karya lanjutannya seperti The Question Concerning Technology, di mana ia menyatakan bahwa teknologi modern memperlakukan dunia dan manusia sebagai “sumber daya” (Bestand) yang siap-digunakan, bukan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik atau makna yang tersingkap1. Dalam situasi demikian, pemahaman Dasein sebagai makhluk yang memiliki kapasitas untuk menyingkap makna keberadaan menjadi sangat krusial.

Relevansi Dasein juga tampak dalam dunia psikoterapi, khususnya dalam pendekatan terapi eksistensial yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, Rollo May, dan Irvin D. Yalom. Mereka mengadopsi kerangka Heideggerian untuk memahami klien sebagai individu yang tidak hanya menghadapi gejala psikis, tetapi juga mengalami keterasingan, kecemasan ontologis, dan kehilangan makna. Dalam kerangka ini, pemulihan tidak hanya berarti “fungsi normal” tetapi juga pemulihan kapasitas untuk memilih secara otentik dan memaknai hidup secara sadar2.

Dalam bidang pendidikan, pendekatan humanistik dan eksistensial menempatkan manusia sebagai subjek yang otonom dan memiliki kapasitas reflektif terhadap dunianya. Pandangan ini menantang model pendidikan yang terlalu teknokratis dan menekankan hasil, dan sebaliknya menghidupkan kembali pertanyaan: Apa arti menjadi manusia? Dengan menjadikan Dasein sebagai titik tolak, pendidikan tidak lagi semata-mata transmisi informasi, tetapi proses penyingkapan diri dalam dunia yang bermakna3.

Konsep Dasein juga membantu menjelaskan berbagai fenomena krisis eksistensial yang mengemuka di abad ke-21, seperti alienasi digital, identitas virtual, dan kehilangan arah hidup dalam masyarakat hiperrealitas. Ketika identitas manusia dibentuk oleh media sosial, konsumsi budaya populer, dan performativitas digital, kesadaran akan keterlemparan, proyek eksistensial, dan kematian sebagai horizon makna kembali menjadi penting untuk membimbing manusia menemukan keutuhan dirinya4.

Selain itu, dalam konteks multikultural dan pluralisme nilai, Heidegger mengingatkan bahwa keberadaan tidak bisa dipahami secara universal-formal, melainkan selalu bersifat historis dan kontekstual. Dasein adalah makhluk yang “selalu sudah berada” dalam horizon budaya dan bahasa tertentu. Oleh karena itu, pemikiran Heidegger relevan dalam diskursus hermeneutik budaya dan filsafat perbedaan yang mengakui keberagaman cara manusia memahami dan menghidupi dunia5.

Meskipun Heidegger menuai kritik, terutama karena keterlibatannya secara politis dengan Nazisme pada 1930-an, pemikiran eksistensialnya tetap menjadi referensi penting dalam memahami dinamika eksistensi manusia secara mendalam. Konsep Dasein mengingatkan bahwa makna hidup tidak diberikan secara eksternal, tetapi harus diungkapkan melalui keterlibatan reflektif dalam hidup itu sendiri. Dalam dunia yang semakin kompleks, cepat, dan sering kali dangkal, filsafat Heidegger menawarkan jalan untuk kembali ke inti eksistensi manusia: keberadaan yang sadar, terbatas, namun penuh kemungkinan.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 17–23.

[2]                Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–10.

[3]                Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–26.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 152–158.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 282–285.


11.       Kesimpulan

Pemikiran Martin Heidegger tentang Dasein dalam Being and Time membuka kembali cakrawala pemahaman filsafat keberadaan yang telah lama terabaikan dalam sejarah metafisika Barat. Dengan menempatkan Dasein—yakni manusia sebagai entitas yang mampu mempertanyakan makna keberadaan—sebagai titik tolak ontologi fundamental, Heidegger berhasil mengalihkan fokus filsafat dari spekulasi abstrak tentang entitas universal kepada pengalaman eksistensial konkret yang dialami oleh manusia dalam keberadaannya yang terbuka, temporal, dan historis1.

Melalui analisis struktur-struktur eksistensial seperti in-der-Welt-sein, Befindlichkeit, Verstehen, dan Rede, Heidegger menunjukkan bahwa Dasein tidak pernah netral atau terpisah dari dunia, melainkan selalu sudah terlibat secara praksis dan afektif di dalamnya. Keterlemparan (Geworfenheit) dan keterarahan menuju kemungkinan eksistensial, termasuk kesadaran akan kematian (Sein-zum-Tode), memperjelas bahwa keberadaan manusia bersifat terbatas, namun justru di dalam keterbatasan itulah kemungkinan hidup yang otentik dapat dirancang2.

Lebih jauh, pengungkapan terhadap Seinsfrage atau pertanyaan tentang makna keberadaan menegaskan bahwa manusia sebagai Dasein bukan sekadar mengetahui dunia, tetapi juga merupakan medan tempat makna keberadaan dapat tersingkap. Dengan pendekatan hermeneutik, Heidegger menekankan bahwa pemahaman adalah cara mengada manusia, bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan interpretasi eksistensial yang berlangsung dalam konteks historis, linguistik, dan budaya yang selalu sudah ada sebelumnya3.

Relevansi pemikiran Heidegger dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya menyuarakan kembali urgensi akan hidup yang reflektif dan otentik di tengah krisis makna, alienasi digital, dan tekanan sistemik yang mereduksi manusia menjadi fungsi teknis atau data statistik. Heidegger, melalui konsep Dasein, mengingatkan bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang menyadari keberadaannya, mempertanyakan maknanya, dan dengan kesadaran itu, memiliki kebebasan untuk merancang hidup secara bermakna di tengah keterbatasan yang tak terhindarkan4.

Meski filsafat Heidegger tidak bebas dari kontroversi, khususnya terkait keterlibatannya dalam politik Nazi, warisan intelektualnya tetap memiliki nilai penting dalam menggugah kesadaran eksistensial manusia modern. Heidegger mengajak kita untuk nicht vergessen—untuk tidak melupakan keberadaan, untuk kembali pada pertanyaan dasar: “Apa arti menjadi?” Sebab, dalam mengajukan pertanyaan itu, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga memahami dirinya sendiri secara lebih dalam, jujur, dan otentik.

Dengan demikian, studi tentang Dasein bukanlah sekadar telaah filosofis atas konsep abstrak, melainkan refleksi mendalam atas kondisi manusia dalam dunia yang senantiasa berubah dan menantang. Heidegger menawarkan jalan filsafat yang bukan hanya untuk dipikirkan, tetapi untuk dihidupi.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.

[2]                William Blattner, Heidegger's Being and Time: A Reader's Guide (London: Continuum, 2006), 85–90.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–274.

[4]                Thomas Sheehan, Making Sense of Heidegger: A Paradigm Shift (London: Rowman & Littlefield, 2015), 171–175.


Daftar Pustaka

Blattner, W. D. (2006). Heidegger's Being and time: A reader's guide. Continuum.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger's Being and time, Division I. MIT Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum. (Original work published 1960)

Greene, M. (1995). Releasing the imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Heidegger, M. (1971). On the way to language (P. D. Hertz, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1978). On the essence of truth (J. Sallis, Trans.). Indiana University Press.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Polt, R. (1999). Heidegger: An introduction. Cornell University Press.

Sheehan, T. (2015). Making sense of Heidegger: A paradigm shift. Rowman & Littlefield.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar