Liberalisme
Sejarah, Prinsip-Prinsip Dasar, dan Tantangan Abad
ke-21
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan, prinsip-prinsip utama, serta tantangan kontemporer dari
liberalisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik
modern. Dimulai dari genealogi historisnya sejak Abad Pencerahan, liberalisme
telah membentuk landasan bagi demokrasi konstitusional, hak asasi manusia,
pasar bebas, dan sistem hukum modern. Artikel ini menelusuri evolusi pemikiran
liberal dari liberalisme klasik hingga varian kontemporernya seperti
liberalisme sosial, neoliberalisme, dan liberalisme multikultural. Disoroti
pula beragam kritik dari perspektif Marxis, komunitarian, postmodern, hingga
postkolonial yang mempertanyakan asumsi normatif dan dampak struktural dari
proyek liberal. Dalam konteks abad ke-21, liberalisme diuji oleh gelombang
populisme, krisis ekologi, ketimpangan global, dan tantangan digital, tetapi
tetap menjadi kerangka penting dalam memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan
martabat manusia. Artikel ini menegaskan pentingnya refleksi kritis dan
reformulasi etis agar liberalisme tetap relevan sebagai paradigma normatif
dalam tata sosial-politik global yang semakin kompleks.
Kata Kunci: Liberalisme; filsafat politik; demokrasi; hak asasi
manusia; neoliberalisme; keadilan sosial; multikulturalisme; populisme;
kapitalisme digital; postkolonialisme.
PEMBAHASAN
Liberalisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Liberalisme
merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik
modern. Ia tidak hanya mewarnai pemikiran politik Barat, tetapi juga membentuk
landasan normatif bagi banyak sistem kenegaraan kontemporer. Dengan menekankan
kebebasan individu, supremasi hukum, dan hak-hak asasi manusia, liberalisme
tampil sebagai pilar utama bagi tatanan masyarakat demokratis modern. Akar-akar
liberalisme dapat ditelusuri kembali ke masa Pencerahan (Enlightenment) abad
ke-17 dan ke-18, ketika rasionalitas, otonomi moral, dan pembatasan kekuasaan
negara mulai menjadi cita-cita filsafat politik baru yang menolak dominasi
absolutisme dan dogma religius yang mengikat kehidupan sipil masyarakat Eropa
kala itu.¹
Secara umum, liberalisme
dapat dipahami sebagai filsafat politik yang berasumsi bahwa manusia adalah
makhluk rasional yang memiliki hak-hak kodrati yang tidak dapat dicabut,
seperti hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan.² Gagasan ini terutama
dipopulerkan oleh John Locke dalam Two Treatises of Government (1689),
di mana ia menekankan kontrak sosial sebagai basis legitimasi kekuasaan negara,
dengan tujuan utama melindungi hak-hak alami warga negara.³ Konsepsi ini
menjadi dasar bagi liberalisme klasik, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh tokoh-tokoh seperti Adam Smith, John Stuart Mill, hingga Immanuel Kant
dalam kerangka kosmopolitanisme dan hukum moral universal.
Namun demikian,
liberalisme bukanlah sistem yang seragam. Seiring perkembangannya, liberalisme
terpecah ke dalam berbagai varian seperti liberalisme sosial, neoliberal, dan
bahkan liberalisme kultural. Perbedaan ini mencerminkan respons terhadap
dinamika sejarah seperti industrialisasi, kolonialisme, krisis ekonomi global,
hingga revolusi digital.⁴ Maka dari itu, memahami liberalisme secara historis,
normatif, dan praktis menjadi sangat penting untuk membaca arah perkembangan
filsafat politik kontemporer.
Selain memiliki
pengaruh besar dalam merumuskan prinsip-prinsip negara demokratis dan sistem
ekonomi pasar bebas, liberalisme juga menghadapi berbagai kritik dari banyak
arah. Komunitarianisme menilai liberalisme terlalu mengagungkan individu hingga
mengabaikan peran komunitas dan nilai-nilai komunal.⁵ Sementara itu, pendekatan
Marxis menganggap liberalisme sebagai instrumen ideologis kapitalisme yang
menyamarkan relasi eksploitasi di balik retorika kebebasan.⁶ Kritik-kritik ini
tidak hanya menantang liberalisme sebagai teori, tetapi juga menuntut adaptasi
dan refleksi ulang atas prinsip-prinsip dasarnya di tengah realitas yang
berubah cepat.
Dalam konteks abad
ke-21, liberalisme menghadapi tantangan yang kompleks: munculnya populisme
kanan dan otoritarianisme baru, krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, serta
revolusi digital yang mengancam privasi dan kebebasan sipil. Di sisi lain,
liberalisme juga tetap menjadi landasan etik dan institusional bagi banyak
gerakan perlawanan terhadap tirani dan pelanggaran HAM di berbagai belahan
dunia. Oleh karena itu, membahas liberalisme tidak hanya penting dalam konteks
sejarah pemikiran politik, tetapi juga dalam kerangka pertarungan ideologis dan
praksis sosial-politik kontemporer.⁷
Footnotes
[1]
John Gray, Liberalism, 2nd ed. (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1995), 1–2.
[2]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–55.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 287–295.
[4]
Michael Freeden, Liberalism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2015), 18–24.
[5]
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–10.
[6]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Penguin Classics, 2002), 81–85.
[7]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018),
3–7.
2.
Akar
Historis dan Genealogi Liberalisme
Liberalisme lahir
sebagai respons terhadap struktur sosial-politik feodal dan otoritarianisme
religius yang mendominasi Eropa pra-modern. Akar-akar intelektualnya terbentuk
selama masa Renaisans dan mencapai
artikulasi filosofis yang matang pada masa Pencerahan (Enlightenment) abad
ke-17 dan ke-18. Dalam konteks ini, liberalisme muncul sebagai bagian dari
revolusi epistemologis dan moral yang menempatkan rasionalitas manusia,
kebebasan berpikir, dan penolakan terhadap absolutisme sebagai nilai-nilai
fundamental.¹
Tokoh kunci dalam
tahap awal pemikiran liberal adalah John Locke (1632–1704), yang
dianggap sebagai "bapak liberalisme klasik". Dalam Two
Treatises of Government (1689), Locke menegaskan bahwa hak-hak
individu seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan
adalah hak kodrati (natural rights) yang mendahului pembentukan negara. Negara,
menurut Locke, hanya sah sejauh ia dibentuk berdasarkan kontrak sosial dan
bertugas melindungi hak-hak tersebut.² Konsepsi ini sekaligus menolak klaim
kekuasaan ilahi raja (divine right of kings) dan meletakkan fondasi bagi
gagasan legitimasi demokratis dan konstitusionalisme.
Selain Locke, Baruch
Spinoza, Montesquieu, dan Jean-Jacques
Rousseau memberikan kontribusi penting bagi bangunan pemikiran
liberal. Montesquieu memperkenalkan prinsip pemisahan kekuasaan dalam The
Spirit of the Laws (1748) sebagai mekanisme pengawasan kekuasaan
untuk melindungi kebebasan warga.³ Sementara itu, Rousseau, meski lebih sering
dikaitkan dengan teori demokrasi partisipatoris, menekankan pentingnya kontrak
sosial sebagai dasar legitimasi politik dan kedaulatan rakyat.⁴
Gagasan-gagasan ini
tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berakar dalam perubahan-perubahan
sosial besar seperti munculnya kelas borjuis, ekspansi perdagangan, dan
tumbuhnya institusi-institusi hukum sipil. Peristiwa seperti Revolusi
Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi
Prancis (1789) merupakan tonggak historis yang memperkuat
ekspresi politik liberalisme dalam bentuk institusi demokrasi parlementer,
konstitusi, dan jaminan kebebasan sipil.⁵
Pada abad ke-18 dan
19, liberalisme berkembang lebih jauh dengan munculnya pemikiran ekonomi
politik liberal yang dipelopori oleh Adam
Smith. Dalam The Wealth of Nations (1776), Smith
mengadvokasi sistem pasar bebas yang dijalankan
oleh prinsip "tangan tak terlihat" sebagai sarana optimal
untuk menciptakan kesejahteraan kolektif.⁶ Ia menolak campur tangan negara
dalam urusan ekonomi, sebuah prinsip utama dari liberalisme klasik.
Di samping itu,
tokoh seperti John Stuart Mill memperkaya
liberalisme dengan dimensi etika dan kebebasan ekspresi.
Dalam On Liberty
(1859), Mill mengemukakan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara
sebagai syarat kemajuan moral dan intelektual masyarakat.⁷ Ia juga mengakui
perlunya intervensi negara dalam beberapa aspek guna memastikan keadilan
sosial, menandai transisi menuju apa yang kelak dikenal sebagai
liberalisme
sosial.
Dengan demikian,
liberalisme bukanlah doktrin yang statis, melainkan hasil dari evolusi historis
yang panjang dan kompleks. Ia menyerap pengaruh dari konteks intelektual,
sosial, dan politik pada setiap zamannya. Genealogi liberalisme mencerminkan
dinamika yang terus berkembang antara tuntutan akan kebebasan individual dan
kebutuhan akan tatanan sosial yang adil dan stabil.
Footnotes
[1]
Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the
Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001),
3–12.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–302.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M.
Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 155–160.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 2004), 49–53.
[5]
Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient
Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press,
2018), 105–132.
[6]
Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago:
University of Chicago Press, 1976), 456–472.
[7]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 12–26.
3.
Prinsip-Prinsip
Dasar Liberalisme
Liberalisme sebagai
aliran filsafat sosial-politik berpijak pada serangkaian prinsip normatif yang
menempatkan kebebasan individu sebagai
nilai tertinggi dalam kehidupan bersama. Prinsip-prinsip ini tidak hanya
membentuk fondasi teoretis liberalisme, tetapi juga menjadi pedoman dalam
praktik kelembagaan di berbagai negara demokratis modern. Meskipun terdapat
perbedaan antara varian liberalisme klasik, sosial, dan neoliberalisme,
beberapa prinsip utama tetap menjadi ciri khas universal dari tradisi liberal.
3.1.
Kebebasan Individu (Individual Liberty)
Inti dari
liberalisme terletak pada pengakuan terhadap kebebasan sebagai hak kodrati
manusia. Konsep ini pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh John
Locke, yang menyatakan bahwa individu memiliki hak-hak alami
(natural rights) seperti hak atas hidup, kebebasan, dan properti,
yang tidak dapat dicabut bahkan oleh negara.¹ John Stuart Mill kemudian memperluas
gagasan ini dengan membela kebebasan berpikir, berbicara, dan berekspresi,
sejauh tidak merugikan orang lain—a principle famously known as the harm
principle.² Kebebasan, dalam kerangka liberalisme, bukanlah sekadar
ketiadaan paksaan, tetapi juga sarana untuk mengembangkan potensi manusia
secara optimal.
3.2.
Hak Asasi Manusia (Human Rights)
Liberalisme secara
konsisten menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang melekat
padanya, terlepas dari status sosial, etnis, atau agama. Hak-hak ini mencakup
hak sipil dan politik seperti kebebasan beragama, kebebasan pers, hak atas
persamaan hukum, serta hak atas perlindungan dari penindasan dan kekerasan
negara.³ Dalam banyak konstitusi modern dan deklarasi internasional—termasuk Universal
Declaration of Human Rights (1948)—nilai-nilai liberal menjadi
kerangka normatif utama.⁴
3.3.
Supremasi Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of
law merupakan elemen penting dalam sistem liberal. Artinya, hukum
harus berlaku secara universal dan imparsial, serta menjamin
kepastian
hukum bagi semua warga negara tanpa diskriminasi.⁵ Negara tidak
boleh bertindak sewenang-wenang; bahkan pejabat publik dan penguasa harus
tunduk pada hukum. Konsepsi ini muncul sebagai antitesis terhadap kekuasaan
absolut dan menjadi pilar utama bagi praktik konstitusionalisme dan sistem peradilan
independen dalam negara liberal.
3.4.
Kedaulatan Rakyat dan Kontrak Sosial
Dalam liberalisme, legitimasi
kekuasaan politik tidak berasal dari ilahi atau warisan
aristokratik, melainkan dari persetujuan rakyat melalui
suatu bentuk kontrak sosial. Gagasan ini
merupakan kontribusi penting dari Locke dan Rousseau,
yang memandang negara sebagai alat untuk melindungi hak-hak individu, bukan
sebagai entitas yang absolut.⁶ Pemikiran ini menjadi dasar bagi sistem
demokrasi perwakilan, pemilu bebas, dan partisipasi politik sebagai hak warga
negara.
3.5.
Pasar Bebas dan Kepemilikan Pribadi
Salah satu ciri khas
liberalisme klasik adalah keyakinan pada mekanisme pasar sebagai sarana
alokasi sumber daya yang paling efisien. Adam Smith, dalam The
Wealth of Nations, menggambarkan prinsip invisible
hand sebagai mekanisme alami yang mengarahkan kepentingan pribadi
menuju kebaikan kolektif.⁷ Oleh karena itu, hak atas kepemilikan
pribadi dilindungi dan dianggap esensial bagi kebebasan
ekonomi.⁸ Meskipun beberapa varian liberalisme sosial menyokong intervensi
negara dalam mengatasi ketimpangan, prinsip kebebasan ekonomi tetap menjadi
fondasi utama.
3.6.
Toleransi dan Pluralisme
Liberalisme
menghargai keragaman keyakinan, identitas, dan gaya hidup
sebagai bagian dari kebebasan individu. Dalam masyarakat liberal, pluralisme
bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai prasyarat demokrasi.⁹
Konsepsi ini menuntut netralitas negara terhadap
agama atau nilai moral tertentu, serta penjaminan atas ruang
publik yang inklusif.
Prinsip-prinsip
dasar ini membentuk kerangka moral dan institusional dari liberalisme dalam
berbagai varian dan konteks. Walaupun mengalami evolusi dan interpretasi ulang
sepanjang sejarah, nilai-nilai inti seperti kebebasan, kesetaraan, dan
penghormatan terhadap martabat manusia tetap menjadi jangkar etis dari tradisi
liberal hingga hari ini.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.
[2]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 9–12.
[3]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–58.
[4]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[5]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 11–13.
[6]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 2004), 46–51.
[7]
Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago:
University of Chicago Press, 1976), 456–471.
[8]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University
of Chicago Press, 1962), 25–36.
[9]
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and
Equality (New York: Basic Books, 1983), x–xii.
4.
Varian
dan Perkembangan Pemikiran Liberalisme
Meskipun liberalisme
dibangun di atas prinsip-prinsip dasar yang relatif konsisten—seperti kebebasan
individu, hak asasi manusia, dan supremasi hukum—perkembangannya sepanjang
sejarah telah melahirkan sejumlah varian pemikiran yang
mencerminkan respons terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang
berubah. Dari liberalisme klasik hingga liberalisme kultural dan
neoliberalisme, setiap varian membawa nuansa interpretatif dan penekanan
filosofis yang berbeda dalam mempertahankan atau mengembangkan tradisi liberal.
4.1.
Liberalisme Klasik
Liberalisme klasik
muncul pada abad ke-17 dan 18 sebagai reaksi terhadap kekuasaan monarki absolut
dan dominasi gereja dalam urusan sipil. Tokoh-tokoh seperti John
Locke, Adam Smith, dan Benjamin
Constant meletakkan dasar bagi pemikiran liberal dengan
menekankan pentingnya non-intervensi negara, kebebasan
pasar, dan kedaulatan individu.¹
Locke, dalam Two
Treatises of Government, membela gagasan bahwa negara hanya
berfungsi untuk melindungi hak-hak kodrati warga, bukan mengatur kehidupan
mereka secara rinci.² Dalam bidang ekonomi, Smith, melalui The
Wealth of Nations, memperkenalkan gagasan laissez-faire
dan mekanisme pasar bebas sebagai sarana distribusi sumber daya yang adil dan
efisien.³ Liberalisme klasik dengan demikian menekankan prinsip kebebasan
negatif (negative liberty), yaitu kebebasan dari campur tangan
eksternal.⁴
4.2.
Liberalisme Sosial
Pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20, muncul kritik terhadap liberalisme klasik yang dianggap
gagal menjawab persoalan ketimpangan sosial dan eksploitasi akibat
industrialisasi. Sebagai tanggapan, berkembang liberalisme sosial (social
liberalism), yang berusaha menyelaraskan prinsip kebebasan dengan keadilan
sosial.
Tokoh utama dalam
tradisi ini adalah T.H. Green, yang memperkenalkan
konsep kebebasan
positif (positive liberty), yakni kebebasan untuk mengembangkan
diri secara utuh dalam kondisi sosial yang memungkinkan.⁵ Negara, dalam
pandangan ini, tidak cukup hanya bersikap netral, melainkan harus aktif menciptakan
kondisi yang adil melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan
perlindungan buruh.⁶ Puncak pengaruh liberalisme sosial tampak dalam negara
kesejahteraan (welfare state) pasca Perang Dunia II dan dalam
pemikiran John Rawls, yang dalam A Theory
of Justice (1971) mengembangkan teori "keadilan
sebagai kewajaran" (justice as fairness).⁷
4.3.
Neoliberalisme
Mulai akhir 1970-an,
terjadi reorientasi terhadap liberalisme klasik dalam bentuk neoliberalisme,
yang mengutamakan kebebasan ekonomi radikal, privatisasi,
deregulasi,
dan pengurangan
peran negara dalam ekonomi.⁸ Tokoh-tokoh seperti Friedrich
Hayek dan Milton Friedman mengkritik
intervensi negara yang dianggap merusak efisiensi pasar dan membahayakan
kebebasan individu.
Neoliberalisme
menjadi doktrin dominan dalam kebijakan global, khususnya melalui institusi
seperti IMF dan Bank
Dunia, serta dalam pemerintahan tokoh seperti Ronald
Reagan dan Margaret Thatcher.⁹ Namun,
pendekatan ini juga menuai kritik karena dituduh memperparah ketimpangan global,
melemahkan solidaritas sosial, dan mempersempit demokrasi hanya pada ranah
pasar.¹⁰
4.4.
Liberalisme Kultural dan Identitas
Dalam konteks
pasca-modern dan globalisasi, liberalisme juga berkembang ke arah yang lebih
pluralistik dan sensitif terhadap isu identitas, budaya,
dan pengakuan.
Tokoh seperti Charles Taylor dan Will
Kymlicka mengembangkan liberalisme multikultural, yang
menekankan pentingnya pengakuan terhadap kelompok minoritas
dan perlindungan
hak-hak kolektif, sebagai bagian dari proyek liberal yang lebih
inklusif.¹¹
Dalam paradigma ini,
kebebasan individu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-budaya di mana
individu itu berada. Maka, negara liberal tidak cukup hanya menjamin hak-hak
individual, tetapi juga harus mengakui dan memfasilitasi ekspresi identitas
kolektif sebagai bagian dari keadilan.¹² Pendekatan ini sering
kali berbenturan dengan bentuk liberalisme klasik yang menjunjung netralitas
negara dan keseragaman hak.
Dengan demikian,
perkembangan liberalisme menunjukkan fleksibilitas dan kompleksitas internal
yang tinggi. Setiap varian mencerminkan upaya adaptasi terhadap tantangan
zamannya, baik dalam hal keadilan sosial, kebebasan ekonomi, maupun pluralitas
budaya. Meskipun berbeda-beda dalam fokus dan strategi, semua varian tersebut
berakar pada komitmen yang sama terhadap kebebasan dan martabat manusia sebagai
nilai fundamental.
Footnotes
[1]
Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient
Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press,
2018), 135–142.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 289–292.
[3]
Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago:
University of Chicago Press, 1976), 477–489.
[4]
Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty
(Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.
[5]
T.H. Green, Lectures on the Principles of Political Obligation
(London: Longmans, 1895), 47–60.
[6]
Alan Ryan, Liberal Anxieties and Liberal Education (New York:
Hill and Wang, 1998), 32–35.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 3–21.
[8]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 2–9.
[9]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University
of Chicago Press, 1962), 7–15.
[10]
Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution
(New York: Zone Books, 2015), 17–26.
[11]
Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism:
Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton:
Princeton University Press, 1994), 25–73.
[12]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 6–10.
5.
Kritik
Terhadap Liberalisme
Meskipun liberalisme
telah menjadi landasan utama dalam pengembangan demokrasi modern dan
perlindungan hak-hak individu, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik
mendalam dari beragam perspektif ideologis dan filosofis.
Kritik tersebut tidak hanya mempertanyakan keabsahan asumsi dasar liberalisme,
tetapi juga menyoroti dampak sosial-politik yang ditimbulkan oleh penerapan
prinsip-prinsip liberal dalam berbagai konteks sejarah dan budaya.
5.1.
Kritik Marxis: Ilusi Kebebasan dan Eksploitasi
Struktural
Dari perspektif Marxis,
liberalisme dituduh menyamarkan dominasi kelas kapitalis di
balik retorika kebebasan individu. Karl Marx dan Friedrich
Engels berpendapat bahwa kebebasan yang dijanjikan oleh
liberalisme klasik sebenarnya adalah kebebasan bagi pemilik modal untuk
mengeksploitasi tenaga kerja dalam sistem kapitalistik.¹ Konsep hak milik
pribadi dalam liberalisme dilihat sebagai alat ideologis untuk
mempertahankan struktur ketimpangan ekonomi dan relasi produksi yang
eksploitatif.²
Dalam On the
Jewish Question, Marx mengkritik liberalisme yang hanya menjamin emansipasi
politik, tetapi gagal menciptakan emansipasi
manusia yang sejati karena tetap membiarkan struktur ekonomi
yang menindas tetap berdiri.³ Dengan demikian, liberalisme dituduh gagal
menyeimbangkan antara kebebasan formal dan keadilan substantif, serta
mengabaikan kondisi material yang menjadi prasyarat nyata bagi kebebasan.
5.2.
Kritik Komunitarian: Abstraksi Diri dan
Kekosongan Moral
Kaum komunitarian
seperti Michael Sandel, Alasdair
MacIntyre, dan Charles Taylor mengkritik
liberalisme karena terlalu mengedepankan individu yang atomistik
dan terlepas dari komunitas moral.⁴ Mereka berpendapat bahwa
manusia tidak bisa dipahami secara terpisah dari identitas sosial, sejarah, dan
nilai-nilai kolektif yang membentuknya.⁵
Liberal modern
dianggap keliru ketika mereduksi kebebasan sebagai pilihan individual tanpa
mempertimbangkan konteks budaya dan tradisi yang membentuk
nilai-nilai individu tersebut. Oleh karena itu, liberalisme
dinilai gagal dalam menciptakan kesadaran etis bersama yang
menjadi fondasi kohesi sosial.⁶ Komunitarianisme menekankan bahwa kebajikan
publik dan tanggung jawab sosial harus menjadi komponen penting
dalam kehidupan politik, bukan hanya hak-hak individual.
5.3.
Kritik Postmodern: Dekonstruksi terhadap
Universalisme Liberal
Filsuf-filsuf postmodern,
seperti Michel Foucault, Jacques
Derrida, dan Chantal Mouffe, mengkritik klaim universalisme
yang terkandung dalam liberalisme. Foucault, misalnya, menunjukkan bagaimana
konsep rasionalitas, kebebasan, dan hukum dalam masyarakat liberal justru
berfungsi sebagai mekanisme kekuasaan yang tersembunyi,
bukan sebagai pembebas sejati.⁷
Dalam kerangka ini,
liberalisme dianggap membakukan satu versi kebenaran dan mengklaimnya sebagai norma
universal, padahal sebenarnya sarat dengan kepentingan
politis dan historis tertentu.⁸ Mouffe juga mengkritik
liberalisme karena berusaha menyingkirkan konflik dari ruang politik, padahal
perbedaan dan antagonisme adalah bagian tak terhindarkan dari masyarakat
pluralistik.⁹ Maka dari itu, liberalisme harus dihadapkan dengan politik
agonistik, bukan konsensus yang semu.
5.4.
Kritik Tradisi Non-Barat: Imperialisme Budaya
dan Ketidaksesuaian Kontekstual
Dalam kajian postkolonial,
liberalisme sering dikritik sebagai proyek Barat yang memaksakan
nilai-nilai dan institusi-institusi Barat ke dalam masyarakat non-Barat tanpa
mempertimbangkan konteks sejarah, budaya, dan struktur sosial lokal.⁰ Pemikir
seperti Ashis Nandy, Partha
Chatterjee, dan Seyla Benhabib menyoroti
bagaimana ekspor liberalisme melalui
kolonialisme, pembangunan, dan globalisasi sering kali mengandung dimensi
hegemonik yang meminggirkan bentuk-bentuk kehidupan politik
alternatif.
Kritik ini
menunjukkan bahwa netralitas dan universalitas liberalisme
bersifat ilusif. Dalam banyak kasus, liberalisme menjadi sarana untuk
mengontrol bukan hanya ekonomi, tetapi juga identitas budaya dan sistem makna
lokal. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendekatan yang lebih dialogis
dan kontekstual, yang mampu mengakomodasi keragaman tradisi dan
pengalaman sejarah di luar Eropa.¹¹
Secara keseluruhan,
kritik-kritik terhadap liberalisme menunjukkan kerentanan internal dan batasan eksternal
dari doktrin ini. Namun, justru melalui dialog kritis inilah liberalisme dapat
mengalami refleksi dan transformasi agar
tetap relevan dan adaptif dalam menghadapi realitas sosial-politik yang terus
berubah. Liberalisme bukanlah doktrin final dan tertutup, melainkan ruang
perdebatan terbuka bagi nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan dalam
sejarah umat manusia.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 77–80.
[2]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 279–280.
[3]
Karl Marx, “On the Jewish Question,” in Early Writings, trans.
Rodney Livingstone and Gregor Benton (London: Penguin Classics, 1992), 211–214.
[4]
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–13.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 204–209.
[6]
Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences:
Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985),
187–210.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.
[8]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–161.
[9]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
80–85.
[10]
Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under
Colonialism (Delhi: Oxford University Press, 1983), 1–13.
[11]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in
the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 10–16.
6.
Liberalisme
dan Demokrasi
Hubungan antara liberalisme
dan demokrasi
merupakan salah satu aspek paling penting dalam filsafat politik modern.
Keduanya sering kali dianggap saling melengkapi dan menjadi dasar bagi sistem
politik kontemporer, khususnya di negara-negara Barat. Namun, meskipun memiliki
titik temu dalam prinsip-prinsip seperti kebebasan, partisipasi
politik, dan kedaulatan rakyat, liberalisme
dan demokrasi berasal dari tradisi intelektual yang berbeda dan tidak selalu
bergerak harmonis.
6.1.
Asal-Usul dan Perbedaan Konseptual
Secara historis,
liberalisme muncul sebagai filsafat perlindungan terhadap individu
dari kekuasaan absolut, dengan penekanan pada hak-hak individu, kebebasan
sipil, dan negara hukum. Demokrasi,
sebaliknya, berkembang dari tradisi partisipasi kolektif dalam pemerintahan,
di mana kedaulatan berada di tangan rakyat melalui prinsip mayoritarianisme.¹
Dengan demikian, liberalisme lebih bersifat normatif dan juridis, sedangkan
demokrasi lebih prosedural dan politis.
Ketegangan konseptual
ini telah lama diakui oleh para filsuf politik. Fareed Zakaria, misalnya,
membedakan antara liberal democracy dan illiberal
democracy, yang menunjukkan bahwa demokrasi tanpa liberalisme bisa
mengarah pada tirani mayoritas dan
pelanggaran terhadap hak individu.² Sementara itu, Norberto
Bobbio menekankan bahwa demokrasi tanpa prinsip-prinsip liberal
akan kehilangan basis normatif yang menjamin pluralisme dan toleransi.³
6.2.
Sinergi antara Prinsip-Prinsip Liberal dan
Institusi Demokratis
Dalam praktiknya, banyak
negara modern menggabungkan kedua tradisi ini dalam bentuk demokrasi
liberal, yaitu sistem yang tidak hanya memberikan suara kepada
rakyat, tetapi juga menjamin kebebasan individu dan perlindungan
konstitusional. Ciri khas demokrasi liberal meliputi:⁴
·
Pemilu bebas dan adil
·
Perlindungan terhadap
minoritas
·
Peradilan independen
·
Kebebasan pers dan asosiasi
·
Pemisahan kekuasaan
Prinsip rule of
law, yang menjadi jantung dari liberalisme, menjamin bahwa proses
demokratis berlangsung dalam kerangka hukum yang membatasi kekuasaan dan
melindungi hak-hak asasi. Dengan demikian, demokrasi liberal dianggap sebagai
bentuk pemerintahan yang paling mampu menyeimbangkan antara kehendak mayoritas dan
hak-hak minoritas.
6.3.
Ketegangan dan Ambivalensi dalam Relasi
Liberalisme dan Demokrasi
Meskipun demikian,
hubungan antara liberalisme dan demokrasi tidak selalu mulus. Dalam praktik
politik, sering kali muncul ketegangan antara kebebasan individu dan
kehendak kolektif. Misalnya, keputusan demokratis yang
didasarkan pada mayoritas suara dapat mengabaikan atau bahkan menindas hak-hak
kelompok minoritas atau individu yang tidak sejalan dengan opini mayoritas.⁵
Kritik ini menjadi
penting dalam konteks meningkatnya populisme di berbagai belahan
dunia, di mana pemimpin populis memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk melemahkan
institusi-institusi liberal, seperti kebebasan pers atau
independensi peradilan. Dalam kasus seperti ini, demokrasi dapat digunakan
sebagai alat untuk merusak fondasi liberalisme itu sendiri,
sebuah fenomena yang disebut sebagai erosi demokrasi liberal.⁶
6.4.
Upaya Rekonsiliasi dan Reformulasi Konseptual
Dalam menghadapi
ketegangan tersebut, berbagai pemikir politik mencoba mereformulasi
hubungan antara liberalisme dan demokrasi. Jürgen
Habermas, misalnya, melalui teori demokrasi
deliberatif, menekankan pentingnya diskursus
rasional dan partisipasi setara sebagai cara untuk menyatukan
prinsip kebebasan dan kehendak rakyat.⁷ Pendekatan ini berupaya menghindari
dominasi mayoritas sekaligus tidak jatuh ke dalam elitisisme liberal yang
meminggirkan suara rakyat.
Di sisi lain,
pendekatan pluralisme politik yang
dikembangkan oleh Chantal Mouffe mengusulkan
konsep demokrasi
agonistik, yang mengakui konflik sebagai bagian tak
terhindarkan dari masyarakat dan mendorong penyelesaian melalui pertarungan
ide dalam kerangka institusi liberal.⁸
Dengan demikian,
hubungan antara liberalisme dan demokrasi bersifat dialektis
dan dinamis. Keduanya dapat saling memperkuat dalam menciptakan
masyarakat yang bebas dan adil, tetapi juga dapat bertentangan apabila salah
satu melampaui batas prinsip yang lain. Pemahaman yang kritis dan kontekstual
terhadap relasi ini menjadi sangat penting, terutama di era kontemporer yang
ditandai oleh krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi, meningkatnya
otoritarianisme, dan tuntutan atas kesetaraan yang lebih substantif.
Footnotes
[1]
John Dunn, Western Political Theory in the Face of the Future,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 47–49.
[2]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–24.
[3]
Norberto Bobbio, Liberalism and Democracy, trans. Martin Ryle
and Kate Soper (London: Verso, 1990), 16–20.
[4]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 10–15.
[5]
Robert Dahl, On Democracy (New Haven, CT: Yale University
Press, 1998), 37–42.
[6]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 65–73.
[7]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 103–112.
[8]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
21–34.
7.
Liberalisme
dan Globalisasi
Liberalisme memiliki
peran sentral dalam membentuk arsitektur normatif dan institusional global pada
abad ke-20 dan ke-21. Sebagai filsafat politik yang menekankan kebebasan
individu, pasar bebas, dan supremasi hukum, liberalisme menjadi kerangka
dominan dalam proses globalisasi, baik dalam aspek
ekonomi, politik, maupun budaya. Namun, hubungan antara liberalisme dan
globalisasi juga diwarnai oleh ambivalensi, karena ekspansi
prinsip-prinsip liberal tidak selalu menghasilkan keadilan dan kebebasan
substantif di tingkat global.
7.1.
Penyebaran Nilai-Nilai Liberal dalam Tatanan
Internasional
Globalisasi modern,
khususnya pasca-Perang Dunia II, ditopang oleh institusi-institusi
internasional yang dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip liberal. Organisasi
seperti PBB, WTO,
IMF,
dan Bank Dunia
didesain untuk memfasilitasi perdagangan bebas, pembangunan ekonomi, serta
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.¹ Dalam konteks
ini, liberalisme berkontribusi pada terbentuknya rezim
global yang menekankan interdependensi antarnegara,
transparansi, dan penghormatan terhadap norma-norma universal.²
Tokoh seperti Francis
Fukuyama bahkan menyatakan bahwa kemenangan liberalisme
terhadap komunisme dalam Perang Dingin merupakan “akhir
dari sejarah”, di mana demokrasi liberal dan ekonomi pasar
bebas menjadi bentuk final dari perkembangan ideologi politik manusia.³
Meskipun tesis ini kemudian menuai banyak kritik, ia mencerminkan keyakinan
mendalam bahwa liberalisme dan globalisasi merupakan pasangan ideologis yang
saling menguatkan.
7.2.
Liberalisme Ekonomi dan Globalisasi Pasar
Salah satu bentuk
paling dominan dari globalisasi liberal adalah ekspansi pasar bebas secara
global, yang sering disebut sebagai neoliberalisme global.⁴ Melalui
kebijakan liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi, negara-negara
berkembang didorong untuk membuka ekonominya kepada investasi asing dan
kompetisi internasional.
Menurut David
Harvey, globalisasi neoliberal bukan hanya transformasi
ekonomi, tetapi juga proyek politik yang mengglobalisasi logika kapitalisme
liberal dan memperluas dominasi pasar atas ranah sosial.⁵
Pendekatan ini memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi di banyak wilayah, namun
juga memicu ketimpangan pendapatan, krisis
finansial, serta melemahnya kedaulatan ekonomi nasional.⁶
7.3.
Kritik Terhadap Hegemoni Liberalisme Global
Meskipun liberalisme
menjanjikan kebebasan dan kemajuan, banyak pihak menilai bahwa globalisasi yang
dipimpin oleh prinsip-prinsip liberal telah menciptakan struktur
ketimpangan global yang menguntungkan negara-negara maju. Postkolonialisme,
misalnya, mengkritik bagaimana ekspor institusi dan nilai liberal sering kali menyisihkan
sistem sosial-budaya lokal, serta melanggengkan
dominasi Barat dalam bentuk baru.⁷
Kritik juga datang
dari ekofeminisme
dan gerakan
lingkungan global, yang melihat liberalisme sebagai sistem yang
terlalu antroposentris dan gagal menangani krisis ekologis karena terlalu
menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan kebebasan konsumsi.⁸ Sementara itu,
kebebasan individu yang diagungkan dalam liberalisme dinilai bertabrakan dengan
kebutuhan kolektif global untuk membatasi emisi karbon, mengejar keadilan
iklim, dan melindungi keanekaragaman hayati.
7.4.
Liberalisme Global dalam Krisis: Populisme dan
Proteksionisme
Tahun-tahun terakhir
menunjukkan bahwa proyek liberalisme global menghadapi tantangan serius.
Kebangkitan populisme nasionalis, proteksionisme
ekonomi, dan otoritarianisme digital di
banyak negara menandakan krisis legitimasi terhadap liberalisme global.⁹
Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris yang dahulu menjadi pelopor
liberalisme kini memperlihatkan retret dari multilateralisme,
sementara aktor-aktor baru seperti Tiongkok mempromosikan model pemerintahan
yang otoriter tetapi sukses secara ekonomi.
Krisis ini
memperlihatkan bahwa liberalisme, jika ingin tetap relevan dalam era
globalisasi yang kompleks dan multipolar, perlu merefleksikan kembali fundasi
etis dan komitmennya terhadap keadilan global, bukan hanya
kebebasan individual dan pertumbuhan pasar.
Dengan demikian,
liberalisme memainkan peran sentral dalam arsitektur global kontemporer, namun
ekspansi dan hegemoninya tidak terlepas dari kritik dan tantangan serius.
Liberalisme global telah menciptakan peluang-peluang baru bagi pertukaran
budaya dan kebebasan ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada fragmentasi
sosial, ketimpangan, dan resistensi lokal. Oleh karena itu,
diskursus mengenai liberalisme dan globalisasi harus dilakukan dalam kerangka kritis,
kontekstual, dan reflektif.
Footnotes
[1]
John Baylis, Patricia Owens, and Steve Smith, The Globalization of
World Politics: An Introduction to International Relations, 8th ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 88–92.
[2]
Anne-Marie Slaughter, A New World Order (Princeton: Princeton
University Press, 2004), 41–47.
[3]
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New
York: Free Press, 1992), xiii–xxi.
[4]
Thomas Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding
Globalization (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1999), 105–108.
[5]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 7–10.
[6]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W.W. Norton, 2002), 5–12.
[7]
Partha Chatterjee, The Politics of the Governed: Reflections on
Popular Politics in Most of the World (New York: Columbia University
Press, 2004), 28–33.
[8]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 2016), 17–25.
[9]
Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of
the World Economy (New York: W.W. Norton, 2011), 200–210.
8.
Interseksi
Liberalisme dengan Isu-Isu Sosial Kontemporer
Sebagai filsafat
politik yang menekankan kebebasan individu, hak asasi manusia, dan kesetaraan
hukum, liberalisme
telah menjadi rujukan utama dalam merespons berbagai persoalan sosial
kontemporer. Namun, dalam praktiknya, liberalisme menghadapi tantangan serius
dalam mengakomodasi kompleksitas isu-isu baru seperti hak
minoritas, keadilan lingkungan, identitas
budaya, serta pengaruh teknologi digital. Perjumpaan
liberalisme dengan realitas sosial yang lebih plural dan dinamis memunculkan
pertanyaan mendasar: sejauh mana liberalisme mampu menjawab tuntutan keadilan
substansial tanpa mengorbankan prinsip kebebasan?
8.1.
Liberalisme dan Hak-Hak Minoritas
Liberalisme secara
historis menekankan kesetaraan di depan hukum dan
perlindungan terhadap hak-hak individu, namun
perkembangan sosial-politik kontemporer mengharuskan perluasan kerangka liberal
untuk merespons tuntutan pengakuan kolektif, khususnya
dari komunitas etnis, agama, gender, dan seksual minoritas.¹
Pemikir seperti Will
Kymlicka mengembangkan apa yang disebut liberalisme
multikultural, yang membedakan antara “hak individu” dan
“hak kelompok” untuk mempertahankan identitas budaya dan tradisi
komunitasnya.² Dalam kerangka ini, liberalisme tidak cukup hanya menjamin
kebebasan individu secara abstrak, tetapi harus secara aktif menjamin ruang bagi ekspresi
identitas kolektif dalam kehidupan publik.³ Namun, pendekatan
ini tetap memicu perdebatan tentang batasan antara kebebasan individu dan klaim
moral kelompok, terutama ketika nilai-nilai komunitas bertentangan dengan
norma-norma liberal itu sendiri.
8.2.
Liberalisme dan Isu Gender serta Seksualitas
Gerakan feminis dan
LGBTQ+ telah lama mengkritik liberalisme karena gagal menangkap relasi
kekuasaan struktural yang menghalangi realisasi kebebasan bagi
kelompok-kelompok subordinat.⁴ Feminisme liberal, sebagaimana
dirumuskan oleh tokoh-tokoh seperti Martha Nussbaum dan Susan
Moller Okin, berupaya mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan
gender ke dalam kerangka liberal, dengan menekankan pentingnya kesetaraan
kesempatan, hak atas integritas tubuh, dan akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan.⁵
Namun, kritik dari feminisme
radikal dan poststrukturalis menyatakan
bahwa liberalisme cenderung melemahkan analisis kekuasaan patriarkal
dengan menitikberatkan pada individu yang rasional dan otonom, tanpa
memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi yang mempengaruhi
pilihan individu tersebut.⁶ Hal serupa juga berlaku dalam
konteks gerakan LGBTQ+, di mana pengakuan legal seperti pernikahan sesama jenis
tidak serta-merta menjamin penghapusan stigma sosial dan diskriminasi
kultural.
8.3.
Liberalisme dan Keadilan Lingkungan
Isu lingkungan
global menghadirkan tantangan besar terhadap prinsip dasar liberalisme,
khususnya dalam hal kebebasan konsumsi, kepemilikan pribadi,
dan kedaulatan
pasar. Sistem liberal yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi
tanpa batas sering dituduh sebagai penyebab utama krisis
ekologi, seperti pemanasan global, degradasi ekosistem, dan
eksploitasi sumber daya alam.⁷
Ekologis
liberal seperti John Dryzek dan Andrew
Dobson berupaya merumuskan pendekatan liberal
hijau yang memperluas cakupan kebebasan individu ke dalam tanggung
jawab ekologis.⁸ Dalam pendekatan ini, kebebasan tidak lagi
dimaknai sebagai hak eksklusif untuk mengejar kepentingan pribadi, tetapi juga
sebagai kewajiban untuk menjaga keberlanjutan antar-generasi.
Namun, konflik tetap muncul antara logika pasar liberal dan
kebutuhan akan regulasi ekologis ketat, yang dinilai
oleh sebagian liberal sebagai bentuk pelanggaran terhadap otonomi pribadi dan
kepemilikan.
8.4.
Liberalisme dan Transformasi Digital
Perkembangan
teknologi digital dan kapitalisme platform
menimbulkan tantangan baru bagi liberalisme, terutama dalam hal privasi,
kebebasan berekspresi, dan dominasi korporasi digital.⁹
Meskipun teknologi informasi dianggap sebagai alat untuk memperluas ruang
kebebasan, dalam praktiknya muncul paradoks: individu semakin tergantung
dan diawasi dalam ekosistem digital yang dimonopoli oleh
segelintir korporasi besar.
Filsuf seperti Shoshana
Zuboff memperkenalkan istilah “surveillance capitalism”,
yaitu model ekonomi berbasis pada ekstraksi data pribadi tanpa persetujuan
sadar pengguna.¹⁰ Kondisi ini mengancam kebebasan sipil dalam bentuk
baru, di mana kekuasaan tidak lagi berada pada negara otoriter, tetapi pada
perusahaan teknologi yang nyaris tidak diatur. Maka dari itu, liberalisme
kontemporer ditantang untuk merevisi pandangannya tentang kebebasan,
dengan memperhitungkan struktur kekuasaan non-negara
yang bersifat transnasional dan algoritmik.
8.5.
Refleksi Kritis: Liberalisme, Otonomi, dan
Solidaritas
Dalam menghadapi
isu-isu sosial kontemporer, liberalisme dituntut untuk mengembangkan
fleksibilitas normatif, tanpa kehilangan komitmennya pada kebebasan
dan martabat manusia. Berbagai tantangan tersebut menunjukkan
bahwa kebebasan
individu tidak dapat direalisasikan secara utuh tanpa struktur sosial yang
adil, lingkungan yang lestari, serta jaminan atas pengakuan dan inklusi.
Beberapa pemikir
liberal progresif telah mengusulkan kerangka liberalisme yang lebih substantif,
yang menggabungkan otonomi individu dengan prinsip solidaritas
sosial.¹¹ Upaya ini mencerminkan kesadaran bahwa liberalisme,
jika ingin bertahan dan relevan, harus terus-menerus berdialog
dengan realitas sosial yang plural dan dinamis.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 4–8.
[2]
Ibid., 26–30.
[3]
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and
Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 91–96.
[4]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 39–45.
[5]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 70–73.
[6]
Susan Moller Okin, “Justice and Gender,” Philosophy & Public
Affairs 16, no. 1 (1987): 42–48.
[7]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 12–18.
[8]
John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses,
3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 103–107.
[9]
Evgeny Morozov, The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom
(New York: PublicAffairs, 2011), 15–22.
[10]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–12.
[11]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 212–219.
9.
Relevansi
Liberalisme di Abad ke-21
Memasuki abad ke-21,
liberalisme
menghadapi tantangan ganda: di satu sisi, ia tetap menjadi kerangka normatif
dominan dalam wacana hak asasi manusia, demokrasi, dan tata hukum global; di
sisi lain, ia harus bergulat dengan krisis kepercayaan, ketimpangan
sosial-ekonomi, serta kebangkitan otoritarianisme dan populisme yang mengancam
fondasinya. Situasi ini menuntut refleksi kritis dan reformulasi konseptual,
agar liberalisme tetap relevan dalam menghadapi kompleksitas dunia kontemporer.
9.1.
Liberalisme dan Tantangan Populisme serta
Otoritarianisme Baru
Gelombang populisme
kanan di berbagai belahan dunia, seperti dalam kasus Brexit,
kemenangan Donald Trump, serta
pemerintahan Viktor Orbán di Hongaria dan Jair
Bolsonaro di Brasil, menunjukkan bahwa demokrasi dapat
dijalankan dengan semangat antiliberal.¹ Fenomena ini
dikenal sebagai "demokrasi iliberal",
di mana prinsip kedaulatan rakyat dimanipulasi untuk mengikis
perlindungan hukum, melemahkan oposisi, dan membatasi kebebasan sipil.²
Steven
Levitsky dan Daniel Ziblatt memperingatkan
bahwa bahkan institusi demokrasi tertua dapat runtuh dari dalam jika
norma-norma liberal seperti toleransi dan penghormatan terhadap oposisi
dilemahkan.³ Dalam konteks ini, liberalisme tidak hanya relevan, tetapi juga vital
sebagai benteng normatif terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan penyempitan
ruang publik.
9.2.
Liberalisme sebagai Basis Etika Global
Meskipun dikritik
sebagai proyek Barat, liberalisme tetap menjadi dasar penting dalam hak
asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan berbagai
perjanjian global.⁴ Dalam banyak situasi konflik dan penindasan,
prinsip-prinsip liberal seperti hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, dan
perlindungan hukum menjadi sumber legitimasi perjuangan sipil
dan oposisi moral.⁵
Lembaga-lembaga
seperti Mahkamah Pidana Internasional, Pengadilan
Hak Asasi Manusia Eropa, serta organisasi masyarakat sipil global
tetap beroperasi dalam kerangka liberal, menandakan bahwa meskipun dilemahkan
secara politik, liberalisme tetap mengilhami perjuangan global akan keadilan dan
martabat manusia.
9.3.
Liberalisme dan Keadilan Sosial Global
Kritik terhadap
ketimpangan global yang diperparah oleh model neoliberalisme mendorong
sebagian pemikir liberal untuk mengembangkan pendekatan liberalisme
egalitarian, seperti dalam pemikiran John
Rawls dan Thomas Pogge, yang menekankan
pentingnya prinsip redistribusi dan
tanggung jawab moral lintas batas negara.⁶
Rawls, dalam The Law
of Peoples, menyarankan bahwa prinsip keadilan liberal dapat
diterapkan dalam tatanan global melalui kewajiban negara-negara makmur terhadap yang
miskin, sementara Pogge menekankan bahwa struktur
ekonomi global harus direformasi agar tidak terus-menerus
memproduksi kemiskinan.⁷ Gagasan ini menunjukkan bahwa liberalisme dapat bertransformasi
menjadi gerakan solidaritas transnasional, bukan hanya sistem
politik domestik.
9.4.
Relevansi dalam Dunia Digital dan Teknologi
Tinggi
Di era revolusi
digital, liberalisme memiliki tantangan baru dalam melindungi privasi,
kebebasan
informasi, dan hak digital. Kebangkitan kapitalisme
pengawasan yang dieksplorasi oleh Shoshana
Zuboff menunjukkan bahwa kebebasan individu kini terancam bukan
hanya oleh negara, tetapi oleh korporasi teknologi yang menguasai data personal
miliaran manusia.⁸
Liberalisme yang
relevan abad ke-21 harus merumuskan kerangka regulasi teknologi
yang menjamin otonomi individu dalam ruang digital,
serta mengatasi monopoli algoritmik dan
penyebaran disinformasi. Dalam hal ini, prinsip liberal tentang kedaulatan
individu atas informasi diri menjadi semakin signifikan.
9.5.
Peluang Reformasi: Menuju Liberalisme
Emansipatoris
Respons terhadap
krisis-krisis tersebut menunjukkan bahwa liberalisme tidak harus dipertahankan
dalam bentuknya yang konvensional. Banyak pemikir kontemporer, seperti Michael
Sandel, menyerukan reformasi liberalisme agar
lebih menekankan kebajikan publik, tanggung jawab moral, dan
solidaritas sosial, tanpa mengorbankan kebebasan pribadi.⁹
Liberalism today
must move beyond mere formalism and legalism and face the ethical challenges of
poverty, alienation, and ecological collapse.¹⁰ Dalam arah ini, liberalisme
emansipatoris—yang menyeimbangkan antara hak individu dan
kebutuhan kolektif—mungkin menjadi jalan tengah antara radikalisme struktural
dan stagnasi liberal klasik.
Dengan demikian, liberalisme
di abad ke-21 tetap relevan, bukan karena kejayaannya di masa
lalu, melainkan karena kemampuannya untuk beradaptasi dan berefleksi
secara kritis terhadap tantangan zaman. Ia tetap menjadi medan
wacana penting dalam mempertahankan ruang sipil yang terbuka, menolak
absolutisme dalam bentuk apa pun, dan membela hak asasi manusia dalam dunia
yang semakin kompleks dan terfragmentasi.
Footnotes
[1]
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump,
Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press,
2019), 3–8.
[2]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 89–94.
[3]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 18–29.
[4]
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 14–19.
[5]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 22–25.
[6]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 106–113.
[7]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 5–10.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 17–26.
[9]
Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common
Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020), 134–140.
[10]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 86–90.
10. Penutup
Liberalisme, sebagai
salah satu arus utama dalam filsafat sosial-politik modern, telah menempuh
perjalanan intelektual dan historis yang panjang. Sejak kelahirannya pada abad
ke-17 sebagai respons terhadap otoritarianisme dan absolutisme, liberalisme
telah membentuk fondasi bagi demokrasi konstitusional, negara hukum, serta
tatanan internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan
individu.¹
Dalam berbagai
transformasi historisnya—mulai dari liberalisme klasik yang menekankan
kebebasan negatif, liberalisme sosial yang menuntut keadilan distributif,
hingga neoliberalisme global yang mengedepankan logika pasar bebas—liberalisme
terus mengalami reinterpretasi dan rekontekstualisasi.²
Masing-masing fase perkembangan ini mencerminkan adaptasi liberalisme terhadap
tantangan zaman, sekaligus memperlihatkan fleksibilitas doktrinal yang
menjadi kekuatannya sekaligus sumber kritik.
Namun demikian,
relevansi liberalisme kini dipertaruhkan di tengah krisis kontemporer yang
multidimensional: ketimpangan global, degradasi ekologis, kebangkitan populisme
otoriter, dan disrupsi digital.³ Dalam konteks inilah liberalisme diuji—bukan
hanya sebagai sistem nilai, tetapi sebagai perangkat etik dan institusional
yang mampu merespons kebutuhan kolektif umat manusia secara adil dan inklusif.
Sebagaimana
ditunjukkan oleh para pemikir kontemporer seperti Michael
Sandel, Seyla Benhabib, dan Charles
Taylor, tantangan ke depan menuntut liberalisme untuk keluar
dari kecenderungan individualisme eksklusif dan
membuka diri terhadap dialog etis yang menekankan solidaritas
sosial, tanggung jawab kolektif, dan keberagaman nilai budaya.⁴
Jika liberalisme tetap berpegang pada skema normatif yang kaku, maka ia berisiko
terpinggirkan oleh wacana-wacana alternatif yang lebih responsif terhadap
kompleksitas dunia kontemporer.
Namun, jika
liberalisme mampu melakukan refleksi kritis terhadap dirinya sendiri,
mengakui keterbatasannya, dan merumuskan ulang prinsip-prinsip dasarnya dalam
kerangka emansipatoris dan inklusif,
maka ia masih sangat mungkin menjadi daya moral dan politik yang progresif.
Dengan demikian, liberalisme bukan sekadar warisan sejarah, tetapi proyek
yang terbuka untuk pembaruan, sejauh ia tetap berpihak pada
kebebasan, martabat manusia, dan keadilan sosial dalam pengertian yang lebih
luas dan kontekstual.⁵
Footnotes
[1]
Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient
Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press,
2018), 213–216.
[2]
Michael Freeden, Liberalism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2015), 56–62.
[3]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018),
98–106.
[4]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 240–247; Seyla Benhabib, The Rights
of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University
Press, 2004), 169–175; Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the
Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 25–30.
[5]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 178–182.
Daftar Pustaka
Baylis, J., Owens, P., & Smith, S. (2020). The
globalization of world politics: An introduction to international relations
(8th ed.). Oxford University Press.
Benhabib, S. (2004). The rights of others:
Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.
Benhabib, S. (2006). Another cosmopolitanism
(R. Post, Ed.). Oxford University Press.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Bobbio, N. (1990). Liberalism and democracy
(M. Ryle & K. Soper, Trans.). Verso.
Chatterjee, P. (2004). The politics of the
governed: Reflections on popular politics in most of the world. Columbia
University Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward
consolidation. Johns Hopkins University Press.
Dobson, A. (2007). Green political thought
(4th ed.). Routledge.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in
theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Dryzek, J. S. (2013). The politics of the Earth:
Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.
Dunn, J. (1993). Western political theory in the
face of the future (2nd ed.). Cambridge University Press.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Freeden, M. (2015). Liberalism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Friedman, M. (1962). Capitalism and freedom.
University of Chicago Press.
Fukuyama, F. (1992). The end of history and the
last man. Free Press.
Green, T. H. (1895). Lectures on the principles
of political obligation. Longmans.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Inglehart, R., & Norris, P. (2019). Cultural
backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University
Press.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship:
A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
Kymlicka, W. (2002). Contemporary political
philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How
democracies die. Crown Publishing.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.
Marx, K. (1990). Capital: A critique of
political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.
Marx, K. (1992). On the Jewish question. In R.
Livingstone & G. Benton (Trans.), Early writings (pp. 211–214).
Penguin Classics.
Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport,
Ed.). Hackett Publishing.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Eds. & Trans.). Cambridge
University Press.
Mouffe, C. (2000). The democratic paradox.
Verso.
Morozov, E. (2011). The net delusion: The dark
side of internet freedom. PublicAffairs.
Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why
our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.
Nandy, A. (1983). The intimate enemy: Loss and
recovery of self under colonialism. Oxford University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and human
development: The capabilities approach. Cambridge University Press.
Okin, S. M. (1987). Justice and gender. Philosophy
& Public Affairs, 16(1), 42–48.
Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism:
Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Polity Press.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples.
Harvard University Press.
Rosenblatt, H. (2018). The lost history of
liberalism: From Ancient Rome to the twenty-first century. Princeton
University Press.
Ryan, A. (1998). Liberal anxieties and liberal
education. Hill and Wang.
Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits
of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right
thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.
Sandel, M. J. (2020). The tyranny of merit:
What’s become of the common good?. Farrar, Straus and Giroux.
Shiva, V. (2016). Staying alive: Women, ecology,
and development. Zed Books.
Slaughter, A.-M. (2004). A new world order.
Princeton University Press.
Smith, A. (1976). The wealth of nations (E.
Cannan, Ed.). University of Chicago Press.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its
discontents. W. W. Norton.
Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and
the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge
University Press.
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In
A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the politics of recognition
(pp. 25–73). Princeton University Press.
Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense
of pluralism and equality. Basic Books.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Zakaria, F. (2003). The future of freedom:
Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar