Selasa, 10 Juni 2025

Liberalisme: Sejarah, Prinsip-Prinsip Dasar, dan Tantangan Abad ke-21

Liberalisme

Sejarah, Prinsip-Prinsip Dasar, dan Tantangan Abad ke-21


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan, prinsip-prinsip utama, serta tantangan kontemporer dari liberalisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik modern. Dimulai dari genealogi historisnya sejak Abad Pencerahan, liberalisme telah membentuk landasan bagi demokrasi konstitusional, hak asasi manusia, pasar bebas, dan sistem hukum modern. Artikel ini menelusuri evolusi pemikiran liberal dari liberalisme klasik hingga varian kontemporernya seperti liberalisme sosial, neoliberalisme, dan liberalisme multikultural. Disoroti pula beragam kritik dari perspektif Marxis, komunitarian, postmodern, hingga postkolonial yang mempertanyakan asumsi normatif dan dampak struktural dari proyek liberal. Dalam konteks abad ke-21, liberalisme diuji oleh gelombang populisme, krisis ekologi, ketimpangan global, dan tantangan digital, tetapi tetap menjadi kerangka penting dalam memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan martabat manusia. Artikel ini menegaskan pentingnya refleksi kritis dan reformulasi etis agar liberalisme tetap relevan sebagai paradigma normatif dalam tata sosial-politik global yang semakin kompleks.

Kata Kunci: Liberalisme; filsafat politik; demokrasi; hak asasi manusia; neoliberalisme; keadilan sosial; multikulturalisme; populisme; kapitalisme digital; postkolonialisme.


PEMBAHASAN

Liberalisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Liberalisme merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern. Ia tidak hanya mewarnai pemikiran politik Barat, tetapi juga membentuk landasan normatif bagi banyak sistem kenegaraan kontemporer. Dengan menekankan kebebasan individu, supremasi hukum, dan hak-hak asasi manusia, liberalisme tampil sebagai pilar utama bagi tatanan masyarakat demokratis modern. Akar-akar liberalisme dapat ditelusuri kembali ke masa Pencerahan (Enlightenment) abad ke-17 dan ke-18, ketika rasionalitas, otonomi moral, dan pembatasan kekuasaan negara mulai menjadi cita-cita filsafat politik baru yang menolak dominasi absolutisme dan dogma religius yang mengikat kehidupan sipil masyarakat Eropa kala itu.¹

Secara umum, liberalisme dapat dipahami sebagai filsafat politik yang berasumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki hak-hak kodrati yang tidak dapat dicabut, seperti hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan.² Gagasan ini terutama dipopulerkan oleh John Locke dalam Two Treatises of Government (1689), di mana ia menekankan kontrak sosial sebagai basis legitimasi kekuasaan negara, dengan tujuan utama melindungi hak-hak alami warga negara.³ Konsepsi ini menjadi dasar bagi liberalisme klasik, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Adam Smith, John Stuart Mill, hingga Immanuel Kant dalam kerangka kosmopolitanisme dan hukum moral universal.

Namun demikian, liberalisme bukanlah sistem yang seragam. Seiring perkembangannya, liberalisme terpecah ke dalam berbagai varian seperti liberalisme sosial, neoliberal, dan bahkan liberalisme kultural. Perbedaan ini mencerminkan respons terhadap dinamika sejarah seperti industrialisasi, kolonialisme, krisis ekonomi global, hingga revolusi digital.⁴ Maka dari itu, memahami liberalisme secara historis, normatif, dan praktis menjadi sangat penting untuk membaca arah perkembangan filsafat politik kontemporer.

Selain memiliki pengaruh besar dalam merumuskan prinsip-prinsip negara demokratis dan sistem ekonomi pasar bebas, liberalisme juga menghadapi berbagai kritik dari banyak arah. Komunitarianisme menilai liberalisme terlalu mengagungkan individu hingga mengabaikan peran komunitas dan nilai-nilai komunal.⁵ Sementara itu, pendekatan Marxis menganggap liberalisme sebagai instrumen ideologis kapitalisme yang menyamarkan relasi eksploitasi di balik retorika kebebasan.⁶ Kritik-kritik ini tidak hanya menantang liberalisme sebagai teori, tetapi juga menuntut adaptasi dan refleksi ulang atas prinsip-prinsip dasarnya di tengah realitas yang berubah cepat.

Dalam konteks abad ke-21, liberalisme menghadapi tantangan yang kompleks: munculnya populisme kanan dan otoritarianisme baru, krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, serta revolusi digital yang mengancam privasi dan kebebasan sipil. Di sisi lain, liberalisme juga tetap menjadi landasan etik dan institusional bagi banyak gerakan perlawanan terhadap tirani dan pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, membahas liberalisme tidak hanya penting dalam konteks sejarah pemikiran politik, tetapi juga dalam kerangka pertarungan ideologis dan praksis sosial-politik kontemporer.⁷


Footnotes

[1]                John Gray, Liberalism, 2nd ed. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995), 1–2.

[2]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–55.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–295.

[4]                Michael Freeden, Liberalism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 18–24.

[5]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–10.

[6]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: Penguin Classics, 2002), 81–85.

[7]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 3–7.


2.           Akar Historis dan Genealogi Liberalisme

Liberalisme lahir sebagai respons terhadap struktur sosial-politik feodal dan otoritarianisme religius yang mendominasi Eropa pra-modern. Akar-akar intelektualnya terbentuk selama masa Renaisans dan mencapai artikulasi filosofis yang matang pada masa Pencerahan (Enlightenment) abad ke-17 dan ke-18. Dalam konteks ini, liberalisme muncul sebagai bagian dari revolusi epistemologis dan moral yang menempatkan rasionalitas manusia, kebebasan berpikir, dan penolakan terhadap absolutisme sebagai nilai-nilai fundamental.¹

Tokoh kunci dalam tahap awal pemikiran liberal adalah John Locke (1632–1704), yang dianggap sebagai "bapak liberalisme klasik". Dalam Two Treatises of Government (1689), Locke menegaskan bahwa hak-hak individu seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan adalah hak kodrati (natural rights) yang mendahului pembentukan negara. Negara, menurut Locke, hanya sah sejauh ia dibentuk berdasarkan kontrak sosial dan bertugas melindungi hak-hak tersebut.² Konsepsi ini sekaligus menolak klaim kekuasaan ilahi raja (divine right of kings) dan meletakkan fondasi bagi gagasan legitimasi demokratis dan konstitusionalisme.

Selain Locke, Baruch Spinoza, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau memberikan kontribusi penting bagi bangunan pemikiran liberal. Montesquieu memperkenalkan prinsip pemisahan kekuasaan dalam The Spirit of the Laws (1748) sebagai mekanisme pengawasan kekuasaan untuk melindungi kebebasan warga.³ Sementara itu, Rousseau, meski lebih sering dikaitkan dengan teori demokrasi partisipatoris, menekankan pentingnya kontrak sosial sebagai dasar legitimasi politik dan kedaulatan rakyat.⁴

Gagasan-gagasan ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berakar dalam perubahan-perubahan sosial besar seperti munculnya kelas borjuis, ekspansi perdagangan, dan tumbuhnya institusi-institusi hukum sipil. Peristiwa seperti Revolusi Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi Prancis (1789) merupakan tonggak historis yang memperkuat ekspresi politik liberalisme dalam bentuk institusi demokrasi parlementer, konstitusi, dan jaminan kebebasan sipil.⁵

Pada abad ke-18 dan 19, liberalisme berkembang lebih jauh dengan munculnya pemikiran ekonomi politik liberal yang dipelopori oleh Adam Smith. Dalam The Wealth of Nations (1776), Smith mengadvokasi sistem pasar bebas yang dijalankan oleh prinsip "tangan tak terlihat" sebagai sarana optimal untuk menciptakan kesejahteraan kolektif.⁶ Ia menolak campur tangan negara dalam urusan ekonomi, sebuah prinsip utama dari liberalisme klasik.

Di samping itu, tokoh seperti John Stuart Mill memperkaya liberalisme dengan dimensi etika dan kebebasan ekspresi. Dalam On Liberty (1859), Mill mengemukakan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara sebagai syarat kemajuan moral dan intelektual masyarakat.⁷ Ia juga mengakui perlunya intervensi negara dalam beberapa aspek guna memastikan keadilan sosial, menandai transisi menuju apa yang kelak dikenal sebagai liberalisme sosial.

Dengan demikian, liberalisme bukanlah doktrin yang statis, melainkan hasil dari evolusi historis yang panjang dan kompleks. Ia menyerap pengaruh dari konteks intelektual, sosial, dan politik pada setiap zamannya. Genealogi liberalisme mencerminkan dinamika yang terus berkembang antara tuntutan akan kebebasan individual dan kebutuhan akan tatanan sosial yang adil dan stabil.


Footnotes

[1]                Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 3–12.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–302.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–160.

[4]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 2004), 49–53.

[5]                Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press, 2018), 105–132.

[6]                Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 456–472.

[7]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 12–26.


3.           Prinsip-Prinsip Dasar Liberalisme

Liberalisme sebagai aliran filsafat sosial-politik berpijak pada serangkaian prinsip normatif yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan bersama. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk fondasi teoretis liberalisme, tetapi juga menjadi pedoman dalam praktik kelembagaan di berbagai negara demokratis modern. Meskipun terdapat perbedaan antara varian liberalisme klasik, sosial, dan neoliberalisme, beberapa prinsip utama tetap menjadi ciri khas universal dari tradisi liberal.

3.1.       Kebebasan Individu (Individual Liberty)

Inti dari liberalisme terletak pada pengakuan terhadap kebebasan sebagai hak kodrati manusia. Konsep ini pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh John Locke, yang menyatakan bahwa individu memiliki hak-hak alami (natural rights) seperti hak atas hidup, kebebasan, dan properti, yang tidak dapat dicabut bahkan oleh negara.¹ John Stuart Mill kemudian memperluas gagasan ini dengan membela kebebasan berpikir, berbicara, dan berekspresi, sejauh tidak merugikan orang lain—a principle famously known as the harm principle.² Kebebasan, dalam kerangka liberalisme, bukanlah sekadar ketiadaan paksaan, tetapi juga sarana untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal.

3.2.       Hak Asasi Manusia (Human Rights)

Liberalisme secara konsisten menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang melekat padanya, terlepas dari status sosial, etnis, atau agama. Hak-hak ini mencakup hak sipil dan politik seperti kebebasan beragama, kebebasan pers, hak atas persamaan hukum, serta hak atas perlindungan dari penindasan dan kekerasan negara.³ Dalam banyak konstitusi modern dan deklarasi internasional—termasuk Universal Declaration of Human Rights (1948)—nilai-nilai liberal menjadi kerangka normatif utama.⁴

3.3.       Supremasi Hukum (Rule of Law)

Prinsip rule of law merupakan elemen penting dalam sistem liberal. Artinya, hukum harus berlaku secara universal dan imparsial, serta menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara tanpa diskriminasi.⁵ Negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang; bahkan pejabat publik dan penguasa harus tunduk pada hukum. Konsepsi ini muncul sebagai antitesis terhadap kekuasaan absolut dan menjadi pilar utama bagi praktik konstitusionalisme dan sistem peradilan independen dalam negara liberal.

3.4.       Kedaulatan Rakyat dan Kontrak Sosial

Dalam liberalisme, legitimasi kekuasaan politik tidak berasal dari ilahi atau warisan aristokratik, melainkan dari persetujuan rakyat melalui suatu bentuk kontrak sosial. Gagasan ini merupakan kontribusi penting dari Locke dan Rousseau, yang memandang negara sebagai alat untuk melindungi hak-hak individu, bukan sebagai entitas yang absolut.⁶ Pemikiran ini menjadi dasar bagi sistem demokrasi perwakilan, pemilu bebas, dan partisipasi politik sebagai hak warga negara.

3.5.       Pasar Bebas dan Kepemilikan Pribadi

Salah satu ciri khas liberalisme klasik adalah keyakinan pada mekanisme pasar sebagai sarana alokasi sumber daya yang paling efisien. Adam Smith, dalam The Wealth of Nations, menggambarkan prinsip invisible hand sebagai mekanisme alami yang mengarahkan kepentingan pribadi menuju kebaikan kolektif.⁷ Oleh karena itu, hak atas kepemilikan pribadi dilindungi dan dianggap esensial bagi kebebasan ekonomi.⁸ Meskipun beberapa varian liberalisme sosial menyokong intervensi negara dalam mengatasi ketimpangan, prinsip kebebasan ekonomi tetap menjadi fondasi utama.

3.6.       Toleransi dan Pluralisme

Liberalisme menghargai keragaman keyakinan, identitas, dan gaya hidup sebagai bagian dari kebebasan individu. Dalam masyarakat liberal, pluralisme bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai prasyarat demokrasi.⁹ Konsepsi ini menuntut netralitas negara terhadap agama atau nilai moral tertentu, serta penjaminan atas ruang publik yang inklusif.


Prinsip-prinsip dasar ini membentuk kerangka moral dan institusional dari liberalisme dalam berbagai varian dan konteks. Walaupun mengalami evolusi dan interpretasi ulang sepanjang sejarah, nilai-nilai inti seperti kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia tetap menjadi jangkar etis dari tradisi liberal hingga hari ini.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.

[2]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 9–12.

[3]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–58.

[4]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[5]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 11–13.

[6]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 2004), 46–51.

[7]                Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 456–471.

[8]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 25–36.

[9]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), x–xii.


4.           Varian dan Perkembangan Pemikiran Liberalisme

Meskipun liberalisme dibangun di atas prinsip-prinsip dasar yang relatif konsisten—seperti kebebasan individu, hak asasi manusia, dan supremasi hukum—perkembangannya sepanjang sejarah telah melahirkan sejumlah varian pemikiran yang mencerminkan respons terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang berubah. Dari liberalisme klasik hingga liberalisme kultural dan neoliberalisme, setiap varian membawa nuansa interpretatif dan penekanan filosofis yang berbeda dalam mempertahankan atau mengembangkan tradisi liberal.

4.1.       Liberalisme Klasik

Liberalisme klasik muncul pada abad ke-17 dan 18 sebagai reaksi terhadap kekuasaan monarki absolut dan dominasi gereja dalam urusan sipil. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Adam Smith, dan Benjamin Constant meletakkan dasar bagi pemikiran liberal dengan menekankan pentingnya non-intervensi negara, kebebasan pasar, dan kedaulatan individu

Locke, dalam Two Treatises of Government, membela gagasan bahwa negara hanya berfungsi untuk melindungi hak-hak kodrati warga, bukan mengatur kehidupan mereka secara rinci.² Dalam bidang ekonomi, Smith, melalui The Wealth of Nations, memperkenalkan gagasan laissez-faire dan mekanisme pasar bebas sebagai sarana distribusi sumber daya yang adil dan efisien.³ Liberalisme klasik dengan demikian menekankan prinsip kebebasan negatif (negative liberty), yaitu kebebasan dari campur tangan eksternal.⁴

4.2.       Liberalisme Sosial

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, muncul kritik terhadap liberalisme klasik yang dianggap gagal menjawab persoalan ketimpangan sosial dan eksploitasi akibat industrialisasi. Sebagai tanggapan, berkembang liberalisme sosial (social liberalism), yang berusaha menyelaraskan prinsip kebebasan dengan keadilan sosial.

Tokoh utama dalam tradisi ini adalah T.H. Green, yang memperkenalkan konsep kebebasan positif (positive liberty), yakni kebebasan untuk mengembangkan diri secara utuh dalam kondisi sosial yang memungkinkan.⁵ Negara, dalam pandangan ini, tidak cukup hanya bersikap netral, melainkan harus aktif menciptakan kondisi yang adil melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan buruh.⁶ Puncak pengaruh liberalisme sosial tampak dalam negara kesejahteraan (welfare state) pasca Perang Dunia II dan dalam pemikiran John Rawls, yang dalam A Theory of Justice (1971) mengembangkan teori "keadilan sebagai kewajaran" (justice as fairness).⁷

4.3.       Neoliberalisme

Mulai akhir 1970-an, terjadi reorientasi terhadap liberalisme klasik dalam bentuk neoliberalisme, yang mengutamakan kebebasan ekonomi radikal, privatisasi, deregulasi, dan pengurangan peran negara dalam ekonomi.⁸ Tokoh-tokoh seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman mengkritik intervensi negara yang dianggap merusak efisiensi pasar dan membahayakan kebebasan individu.

Neoliberalisme menjadi doktrin dominan dalam kebijakan global, khususnya melalui institusi seperti IMF dan Bank Dunia, serta dalam pemerintahan tokoh seperti Ronald Reagan dan Margaret Thatcher.⁹ Namun, pendekatan ini juga menuai kritik karena dituduh memperparah ketimpangan global, melemahkan solidaritas sosial, dan mempersempit demokrasi hanya pada ranah pasar.¹⁰

4.4.       Liberalisme Kultural dan Identitas

Dalam konteks pasca-modern dan globalisasi, liberalisme juga berkembang ke arah yang lebih pluralistik dan sensitif terhadap isu identitas, budaya, dan pengakuan. Tokoh seperti Charles Taylor dan Will Kymlicka mengembangkan liberalisme multikultural, yang menekankan pentingnya pengakuan terhadap kelompok minoritas dan perlindungan hak-hak kolektif, sebagai bagian dari proyek liberal yang lebih inklusif.¹¹

Dalam paradigma ini, kebebasan individu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-budaya di mana individu itu berada. Maka, negara liberal tidak cukup hanya menjamin hak-hak individual, tetapi juga harus mengakui dan memfasilitasi ekspresi identitas kolektif sebagai bagian dari keadilan.¹² Pendekatan ini sering kali berbenturan dengan bentuk liberalisme klasik yang menjunjung netralitas negara dan keseragaman hak.


Dengan demikian, perkembangan liberalisme menunjukkan fleksibilitas dan kompleksitas internal yang tinggi. Setiap varian mencerminkan upaya adaptasi terhadap tantangan zamannya, baik dalam hal keadilan sosial, kebebasan ekonomi, maupun pluralitas budaya. Meskipun berbeda-beda dalam fokus dan strategi, semua varian tersebut berakar pada komitmen yang sama terhadap kebebasan dan martabat manusia sebagai nilai fundamental.


Footnotes

[1]                Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press, 2018), 135–142.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 289–292.

[3]                Adam Smith, The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 477–489.

[4]                Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[5]                T.H. Green, Lectures on the Principles of Political Obligation (London: Longmans, 1895), 47–60.

[6]                Alan Ryan, Liberal Anxieties and Liberal Education (New York: Hill and Wang, 1998), 32–35.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–21.

[8]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 2–9.

[9]                Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 7–15.

[10]             Wendy Brown, Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (New York: Zone Books, 2015), 17–26.

[11]             Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[12]             Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 6–10.


5.           Kritik Terhadap Liberalisme

Meskipun liberalisme telah menjadi landasan utama dalam pengembangan demokrasi modern dan perlindungan hak-hak individu, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik mendalam dari beragam perspektif ideologis dan filosofis. Kritik tersebut tidak hanya mempertanyakan keabsahan asumsi dasar liberalisme, tetapi juga menyoroti dampak sosial-politik yang ditimbulkan oleh penerapan prinsip-prinsip liberal dalam berbagai konteks sejarah dan budaya.

5.1.       Kritik Marxis: Ilusi Kebebasan dan Eksploitasi Struktural

Dari perspektif Marxis, liberalisme dituduh menyamarkan dominasi kelas kapitalis di balik retorika kebebasan individu. Karl Marx dan Friedrich Engels berpendapat bahwa kebebasan yang dijanjikan oleh liberalisme klasik sebenarnya adalah kebebasan bagi pemilik modal untuk mengeksploitasi tenaga kerja dalam sistem kapitalistik.¹ Konsep hak milik pribadi dalam liberalisme dilihat sebagai alat ideologis untuk mempertahankan struktur ketimpangan ekonomi dan relasi produksi yang eksploitatif.²

Dalam On the Jewish Question, Marx mengkritik liberalisme yang hanya menjamin emansipasi politik, tetapi gagal menciptakan emansipasi manusia yang sejati karena tetap membiarkan struktur ekonomi yang menindas tetap berdiri.³ Dengan demikian, liberalisme dituduh gagal menyeimbangkan antara kebebasan formal dan keadilan substantif, serta mengabaikan kondisi material yang menjadi prasyarat nyata bagi kebebasan.

5.2.       Kritik Komunitarian: Abstraksi Diri dan Kekosongan Moral

Kaum komunitarian seperti Michael Sandel, Alasdair MacIntyre, dan Charles Taylor mengkritik liberalisme karena terlalu mengedepankan individu yang atomistik dan terlepas dari komunitas moral.⁴ Mereka berpendapat bahwa manusia tidak bisa dipahami secara terpisah dari identitas sosial, sejarah, dan nilai-nilai kolektif yang membentuknya.⁵

Liberal modern dianggap keliru ketika mereduksi kebebasan sebagai pilihan individual tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan tradisi yang membentuk nilai-nilai individu tersebut. Oleh karena itu, liberalisme dinilai gagal dalam menciptakan kesadaran etis bersama yang menjadi fondasi kohesi sosial.⁶ Komunitarianisme menekankan bahwa kebajikan publik dan tanggung jawab sosial harus menjadi komponen penting dalam kehidupan politik, bukan hanya hak-hak individual.

5.3.       Kritik Postmodern: Dekonstruksi terhadap Universalisme Liberal

Filsuf-filsuf postmodern, seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Chantal Mouffe, mengkritik klaim universalisme yang terkandung dalam liberalisme. Foucault, misalnya, menunjukkan bagaimana konsep rasionalitas, kebebasan, dan hukum dalam masyarakat liberal justru berfungsi sebagai mekanisme kekuasaan yang tersembunyi, bukan sebagai pembebas sejati.⁷

Dalam kerangka ini, liberalisme dianggap membakukan satu versi kebenaran dan mengklaimnya sebagai norma universal, padahal sebenarnya sarat dengan kepentingan politis dan historis tertentu.⁸ Mouffe juga mengkritik liberalisme karena berusaha menyingkirkan konflik dari ruang politik, padahal perbedaan dan antagonisme adalah bagian tak terhindarkan dari masyarakat pluralistik.⁹ Maka dari itu, liberalisme harus dihadapkan dengan politik agonistik, bukan konsensus yang semu.

5.4.       Kritik Tradisi Non-Barat: Imperialisme Budaya dan Ketidaksesuaian Kontekstual

Dalam kajian postkolonial, liberalisme sering dikritik sebagai proyek Barat yang memaksakan nilai-nilai dan institusi-institusi Barat ke dalam masyarakat non-Barat tanpa mempertimbangkan konteks sejarah, budaya, dan struktur sosial lokal.⁰ Pemikir seperti Ashis Nandy, Partha Chatterjee, dan Seyla Benhabib menyoroti bagaimana ekspor liberalisme melalui kolonialisme, pembangunan, dan globalisasi sering kali mengandung dimensi hegemonik yang meminggirkan bentuk-bentuk kehidupan politik alternatif.

Kritik ini menunjukkan bahwa netralitas dan universalitas liberalisme bersifat ilusif. Dalam banyak kasus, liberalisme menjadi sarana untuk mengontrol bukan hanya ekonomi, tetapi juga identitas budaya dan sistem makna lokal. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendekatan yang lebih dialogis dan kontekstual, yang mampu mengakomodasi keragaman tradisi dan pengalaman sejarah di luar Eropa.¹¹


Secara keseluruhan, kritik-kritik terhadap liberalisme menunjukkan kerentanan internal dan batasan eksternal dari doktrin ini. Namun, justru melalui dialog kritis inilah liberalisme dapat mengalami refleksi dan transformasi agar tetap relevan dan adaptif dalam menghadapi realitas sosial-politik yang terus berubah. Liberalisme bukanlah doktrin final dan tertutup, melainkan ruang perdebatan terbuka bagi nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan dalam sejarah umat manusia.


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 77–80.

[2]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 279–280.

[3]                Karl Marx, “On the Jewish Question,” in Early Writings, trans. Rodney Livingstone and Gregor Benton (London: Penguin Classics, 1992), 211–214.

[4]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–13.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 204–209.

[6]                Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 187–210.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.

[8]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–161.

[9]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 80–85.

[10]             Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism (Delhi: Oxford University Press, 1983), 1–13.

[11]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 10–16.


6.           Liberalisme dan Demokrasi

Hubungan antara liberalisme dan demokrasi merupakan salah satu aspek paling penting dalam filsafat politik modern. Keduanya sering kali dianggap saling melengkapi dan menjadi dasar bagi sistem politik kontemporer, khususnya di negara-negara Barat. Namun, meskipun memiliki titik temu dalam prinsip-prinsip seperti kebebasan, partisipasi politik, dan kedaulatan rakyat, liberalisme dan demokrasi berasal dari tradisi intelektual yang berbeda dan tidak selalu bergerak harmonis.

6.1.       Asal-Usul dan Perbedaan Konseptual

Secara historis, liberalisme muncul sebagai filsafat perlindungan terhadap individu dari kekuasaan absolut, dengan penekanan pada hak-hak individu, kebebasan sipil, dan negara hukum. Demokrasi, sebaliknya, berkembang dari tradisi partisipasi kolektif dalam pemerintahan, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat melalui prinsip mayoritarianisme.¹ Dengan demikian, liberalisme lebih bersifat normatif dan juridis, sedangkan demokrasi lebih prosedural dan politis.

Ketegangan konseptual ini telah lama diakui oleh para filsuf politik. Fareed Zakaria, misalnya, membedakan antara liberal democracy dan illiberal democracy, yang menunjukkan bahwa demokrasi tanpa liberalisme bisa mengarah pada tirani mayoritas dan pelanggaran terhadap hak individu.² Sementara itu, Norberto Bobbio menekankan bahwa demokrasi tanpa prinsip-prinsip liberal akan kehilangan basis normatif yang menjamin pluralisme dan toleransi.³

6.2.       Sinergi antara Prinsip-Prinsip Liberal dan Institusi Demokratis

Dalam praktiknya, banyak negara modern menggabungkan kedua tradisi ini dalam bentuk demokrasi liberal, yaitu sistem yang tidak hanya memberikan suara kepada rakyat, tetapi juga menjamin kebebasan individu dan perlindungan konstitusional. Ciri khas demokrasi liberal meliputi:⁴

·                     Pemilu bebas dan adil

·                     Perlindungan terhadap minoritas

·                     Peradilan independen

·                     Kebebasan pers dan asosiasi

·                     Pemisahan kekuasaan

Prinsip rule of law, yang menjadi jantung dari liberalisme, menjamin bahwa proses demokratis berlangsung dalam kerangka hukum yang membatasi kekuasaan dan melindungi hak-hak asasi. Dengan demikian, demokrasi liberal dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling mampu menyeimbangkan antara kehendak mayoritas dan hak-hak minoritas.

6.3.       Ketegangan dan Ambivalensi dalam Relasi Liberalisme dan Demokrasi

Meskipun demikian, hubungan antara liberalisme dan demokrasi tidak selalu mulus. Dalam praktik politik, sering kali muncul ketegangan antara kebebasan individu dan kehendak kolektif. Misalnya, keputusan demokratis yang didasarkan pada mayoritas suara dapat mengabaikan atau bahkan menindas hak-hak kelompok minoritas atau individu yang tidak sejalan dengan opini mayoritas.⁵

Kritik ini menjadi penting dalam konteks meningkatnya populisme di berbagai belahan dunia, di mana pemimpin populis memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk melemahkan institusi-institusi liberal, seperti kebebasan pers atau independensi peradilan. Dalam kasus seperti ini, demokrasi dapat digunakan sebagai alat untuk merusak fondasi liberalisme itu sendiri, sebuah fenomena yang disebut sebagai erosi demokrasi liberal.⁶

6.4.       Upaya Rekonsiliasi dan Reformulasi Konseptual

Dalam menghadapi ketegangan tersebut, berbagai pemikir politik mencoba mereformulasi hubungan antara liberalisme dan demokrasi. Jürgen Habermas, misalnya, melalui teori demokrasi deliberatif, menekankan pentingnya diskursus rasional dan partisipasi setara sebagai cara untuk menyatukan prinsip kebebasan dan kehendak rakyat.⁷ Pendekatan ini berupaya menghindari dominasi mayoritas sekaligus tidak jatuh ke dalam elitisisme liberal yang meminggirkan suara rakyat.

Di sisi lain, pendekatan pluralisme politik yang dikembangkan oleh Chantal Mouffe mengusulkan konsep demokrasi agonistik, yang mengakui konflik sebagai bagian tak terhindarkan dari masyarakat dan mendorong penyelesaian melalui pertarungan ide dalam kerangka institusi liberal.⁸


Dengan demikian, hubungan antara liberalisme dan demokrasi bersifat dialektis dan dinamis. Keduanya dapat saling memperkuat dalam menciptakan masyarakat yang bebas dan adil, tetapi juga dapat bertentangan apabila salah satu melampaui batas prinsip yang lain. Pemahaman yang kritis dan kontekstual terhadap relasi ini menjadi sangat penting, terutama di era kontemporer yang ditandai oleh krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi, meningkatnya otoritarianisme, dan tuntutan atas kesetaraan yang lebih substantif.


Footnotes

[1]                John Dunn, Western Political Theory in the Face of the Future, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 47–49.

[2]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–24.

[3]                Norberto Bobbio, Liberalism and Democracy, trans. Martin Ryle and Kate Soper (London: Verso, 1990), 16–20.

[4]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 10–15.

[5]                Robert Dahl, On Democracy (New Haven, CT: Yale University Press, 1998), 37–42.

[6]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 65–73.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 103–112.

[8]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 21–34.


7.           Liberalisme dan Globalisasi

Liberalisme memiliki peran sentral dalam membentuk arsitektur normatif dan institusional global pada abad ke-20 dan ke-21. Sebagai filsafat politik yang menekankan kebebasan individu, pasar bebas, dan supremasi hukum, liberalisme menjadi kerangka dominan dalam proses globalisasi, baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun budaya. Namun, hubungan antara liberalisme dan globalisasi juga diwarnai oleh ambivalensi, karena ekspansi prinsip-prinsip liberal tidak selalu menghasilkan keadilan dan kebebasan substantif di tingkat global.

7.1.       Penyebaran Nilai-Nilai Liberal dalam Tatanan Internasional

Globalisasi modern, khususnya pasca-Perang Dunia II, ditopang oleh institusi-institusi internasional yang dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip liberal. Organisasi seperti PBB, WTO, IMF, dan Bank Dunia didesain untuk memfasilitasi perdagangan bebas, pembangunan ekonomi, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.¹ Dalam konteks ini, liberalisme berkontribusi pada terbentuknya rezim global yang menekankan interdependensi antarnegara, transparansi, dan penghormatan terhadap norma-norma universal.²

Tokoh seperti Francis Fukuyama bahkan menyatakan bahwa kemenangan liberalisme terhadap komunisme dalam Perang Dingin merupakan “akhir dari sejarah”, di mana demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas menjadi bentuk final dari perkembangan ideologi politik manusia.³ Meskipun tesis ini kemudian menuai banyak kritik, ia mencerminkan keyakinan mendalam bahwa liberalisme dan globalisasi merupakan pasangan ideologis yang saling menguatkan.

7.2.       Liberalisme Ekonomi dan Globalisasi Pasar

Salah satu bentuk paling dominan dari globalisasi liberal adalah ekspansi pasar bebas secara global, yang sering disebut sebagai neoliberalisme global.⁴ Melalui kebijakan liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi, negara-negara berkembang didorong untuk membuka ekonominya kepada investasi asing dan kompetisi internasional.

Menurut David Harvey, globalisasi neoliberal bukan hanya transformasi ekonomi, tetapi juga proyek politik yang mengglobalisasi logika kapitalisme liberal dan memperluas dominasi pasar atas ranah sosial.⁵ Pendekatan ini memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi di banyak wilayah, namun juga memicu ketimpangan pendapatan, krisis finansial, serta melemahnya kedaulatan ekonomi nasional.⁶

7.3.       Kritik Terhadap Hegemoni Liberalisme Global

Meskipun liberalisme menjanjikan kebebasan dan kemajuan, banyak pihak menilai bahwa globalisasi yang dipimpin oleh prinsip-prinsip liberal telah menciptakan struktur ketimpangan global yang menguntungkan negara-negara maju. Postkolonialisme, misalnya, mengkritik bagaimana ekspor institusi dan nilai liberal sering kali menyisihkan sistem sosial-budaya lokal, serta melanggengkan dominasi Barat dalam bentuk baru.⁷

Kritik juga datang dari ekofeminisme dan gerakan lingkungan global, yang melihat liberalisme sebagai sistem yang terlalu antroposentris dan gagal menangani krisis ekologis karena terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan kebebasan konsumsi.⁸ Sementara itu, kebebasan individu yang diagungkan dalam liberalisme dinilai bertabrakan dengan kebutuhan kolektif global untuk membatasi emisi karbon, mengejar keadilan iklim, dan melindungi keanekaragaman hayati.

7.4.       Liberalisme Global dalam Krisis: Populisme dan Proteksionisme

Tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa proyek liberalisme global menghadapi tantangan serius. Kebangkitan populisme nasionalis, proteksionisme ekonomi, dan otoritarianisme digital di banyak negara menandakan krisis legitimasi terhadap liberalisme global.⁹ Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris yang dahulu menjadi pelopor liberalisme kini memperlihatkan retret dari multilateralisme, sementara aktor-aktor baru seperti Tiongkok mempromosikan model pemerintahan yang otoriter tetapi sukses secara ekonomi.

Krisis ini memperlihatkan bahwa liberalisme, jika ingin tetap relevan dalam era globalisasi yang kompleks dan multipolar, perlu merefleksikan kembali fundasi etis dan komitmennya terhadap keadilan global, bukan hanya kebebasan individual dan pertumbuhan pasar.


Dengan demikian, liberalisme memainkan peran sentral dalam arsitektur global kontemporer, namun ekspansi dan hegemoninya tidak terlepas dari kritik dan tantangan serius. Liberalisme global telah menciptakan peluang-peluang baru bagi pertukaran budaya dan kebebasan ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada fragmentasi sosial, ketimpangan, dan resistensi lokal. Oleh karena itu, diskursus mengenai liberalisme dan globalisasi harus dilakukan dalam kerangka kritis, kontekstual, dan reflektif.


Footnotes

[1]                John Baylis, Patricia Owens, and Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, 8th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2020), 88–92.

[2]                Anne-Marie Slaughter, A New World Order (Princeton: Princeton University Press, 2004), 41–47.

[3]                Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 1992), xiii–xxi.

[4]                Thomas Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1999), 105–108.

[5]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 7–10.

[6]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W.W. Norton, 2002), 5–12.

[7]                Partha Chatterjee, The Politics of the Governed: Reflections on Popular Politics in Most of the World (New York: Columbia University Press, 2004), 28–33.

[8]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 2016), 17–25.

[9]                Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy (New York: W.W. Norton, 2011), 200–210.


8.           Interseksi Liberalisme dengan Isu-Isu Sosial Kontemporer

Sebagai filsafat politik yang menekankan kebebasan individu, hak asasi manusia, dan kesetaraan hukum, liberalisme telah menjadi rujukan utama dalam merespons berbagai persoalan sosial kontemporer. Namun, dalam praktiknya, liberalisme menghadapi tantangan serius dalam mengakomodasi kompleksitas isu-isu baru seperti hak minoritas, keadilan lingkungan, identitas budaya, serta pengaruh teknologi digital. Perjumpaan liberalisme dengan realitas sosial yang lebih plural dan dinamis memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana liberalisme mampu menjawab tuntutan keadilan substansial tanpa mengorbankan prinsip kebebasan?

8.1.       Liberalisme dan Hak-Hak Minoritas

Liberalisme secara historis menekankan kesetaraan di depan hukum dan perlindungan terhadap hak-hak individu, namun perkembangan sosial-politik kontemporer mengharuskan perluasan kerangka liberal untuk merespons tuntutan pengakuan kolektif, khususnya dari komunitas etnis, agama, gender, dan seksual minoritas

Pemikir seperti Will Kymlicka mengembangkan apa yang disebut liberalisme multikultural, yang membedakan antara “hak individu” dan “hak kelompok” untuk mempertahankan identitas budaya dan tradisi komunitasnya.² Dalam kerangka ini, liberalisme tidak cukup hanya menjamin kebebasan individu secara abstrak, tetapi harus secara aktif menjamin ruang bagi ekspresi identitas kolektif dalam kehidupan publik.³ Namun, pendekatan ini tetap memicu perdebatan tentang batasan antara kebebasan individu dan klaim moral kelompok, terutama ketika nilai-nilai komunitas bertentangan dengan norma-norma liberal itu sendiri.

8.2.       Liberalisme dan Isu Gender serta Seksualitas

Gerakan feminis dan LGBTQ+ telah lama mengkritik liberalisme karena gagal menangkap relasi kekuasaan struktural yang menghalangi realisasi kebebasan bagi kelompok-kelompok subordinat.⁴ Feminisme liberal, sebagaimana dirumuskan oleh tokoh-tokoh seperti Martha Nussbaum dan Susan Moller Okin, berupaya mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan gender ke dalam kerangka liberal, dengan menekankan pentingnya kesetaraan kesempatan, hak atas integritas tubuh, dan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.⁵

Namun, kritik dari feminisme radikal dan poststrukturalis menyatakan bahwa liberalisme cenderung melemahkan analisis kekuasaan patriarkal dengan menitikberatkan pada individu yang rasional dan otonom, tanpa memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi yang mempengaruhi pilihan individu tersebut.⁶ Hal serupa juga berlaku dalam konteks gerakan LGBTQ+, di mana pengakuan legal seperti pernikahan sesama jenis tidak serta-merta menjamin penghapusan stigma sosial dan diskriminasi kultural.

8.3.       Liberalisme dan Keadilan Lingkungan

Isu lingkungan global menghadirkan tantangan besar terhadap prinsip dasar liberalisme, khususnya dalam hal kebebasan konsumsi, kepemilikan pribadi, dan kedaulatan pasar. Sistem liberal yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi tanpa batas sering dituduh sebagai penyebab utama krisis ekologi, seperti pemanasan global, degradasi ekosistem, dan eksploitasi sumber daya alam.⁷

Ekologis liberal seperti John Dryzek dan Andrew Dobson berupaya merumuskan pendekatan liberal hijau yang memperluas cakupan kebebasan individu ke dalam tanggung jawab ekologis.⁸ Dalam pendekatan ini, kebebasan tidak lagi dimaknai sebagai hak eksklusif untuk mengejar kepentingan pribadi, tetapi juga sebagai kewajiban untuk menjaga keberlanjutan antar-generasi. Namun, konflik tetap muncul antara logika pasar liberal dan kebutuhan akan regulasi ekologis ketat, yang dinilai oleh sebagian liberal sebagai bentuk pelanggaran terhadap otonomi pribadi dan kepemilikan.

8.4.       Liberalisme dan Transformasi Digital

Perkembangan teknologi digital dan kapitalisme platform menimbulkan tantangan baru bagi liberalisme, terutama dalam hal privasi, kebebasan berekspresi, dan dominasi korporasi digital.⁹ Meskipun teknologi informasi dianggap sebagai alat untuk memperluas ruang kebebasan, dalam praktiknya muncul paradoks: individu semakin tergantung dan diawasi dalam ekosistem digital yang dimonopoli oleh segelintir korporasi besar.

Filsuf seperti Shoshana Zuboff memperkenalkan istilah “surveillance capitalism”, yaitu model ekonomi berbasis pada ekstraksi data pribadi tanpa persetujuan sadar pengguna.¹⁰ Kondisi ini mengancam kebebasan sipil dalam bentuk baru, di mana kekuasaan tidak lagi berada pada negara otoriter, tetapi pada perusahaan teknologi yang nyaris tidak diatur. Maka dari itu, liberalisme kontemporer ditantang untuk merevisi pandangannya tentang kebebasan, dengan memperhitungkan struktur kekuasaan non-negara yang bersifat transnasional dan algoritmik.

8.5.       Refleksi Kritis: Liberalisme, Otonomi, dan Solidaritas

Dalam menghadapi isu-isu sosial kontemporer, liberalisme dituntut untuk mengembangkan fleksibilitas normatif, tanpa kehilangan komitmennya pada kebebasan dan martabat manusia. Berbagai tantangan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan individu tidak dapat direalisasikan secara utuh tanpa struktur sosial yang adil, lingkungan yang lestari, serta jaminan atas pengakuan dan inklusi.

Beberapa pemikir liberal progresif telah mengusulkan kerangka liberalisme yang lebih substantif, yang menggabungkan otonomi individu dengan prinsip solidaritas sosial.¹¹ Upaya ini mencerminkan kesadaran bahwa liberalisme, jika ingin bertahan dan relevan, harus terus-menerus berdialog dengan realitas sosial yang plural dan dinamis.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 4–8.

[2]                Ibid., 26–30.

[3]                Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 91–96.

[4]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 39–45.

[5]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 70–73.

[6]                Susan Moller Okin, “Justice and Gender,” Philosophy & Public Affairs 16, no. 1 (1987): 42–48.

[7]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 12–18.

[8]                John Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 103–107.

[9]                Evgeny Morozov, The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom (New York: PublicAffairs, 2011), 15–22.

[10]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–12.

[11]             Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 212–219.


9.           Relevansi Liberalisme di Abad ke-21

Memasuki abad ke-21, liberalisme menghadapi tantangan ganda: di satu sisi, ia tetap menjadi kerangka normatif dominan dalam wacana hak asasi manusia, demokrasi, dan tata hukum global; di sisi lain, ia harus bergulat dengan krisis kepercayaan, ketimpangan sosial-ekonomi, serta kebangkitan otoritarianisme dan populisme yang mengancam fondasinya. Situasi ini menuntut refleksi kritis dan reformulasi konseptual, agar liberalisme tetap relevan dalam menghadapi kompleksitas dunia kontemporer.

9.1.       Liberalisme dan Tantangan Populisme serta Otoritarianisme Baru

Gelombang populisme kanan di berbagai belahan dunia, seperti dalam kasus Brexit, kemenangan Donald Trump, serta pemerintahan Viktor Orbán di Hongaria dan Jair Bolsonaro di Brasil, menunjukkan bahwa demokrasi dapat dijalankan dengan semangat antiliberal.¹ Fenomena ini dikenal sebagai "demokrasi iliberal", di mana prinsip kedaulatan rakyat dimanipulasi untuk mengikis perlindungan hukum, melemahkan oposisi, dan membatasi kebebasan sipil

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt memperingatkan bahwa bahkan institusi demokrasi tertua dapat runtuh dari dalam jika norma-norma liberal seperti toleransi dan penghormatan terhadap oposisi dilemahkan.³ Dalam konteks ini, liberalisme tidak hanya relevan, tetapi juga vital sebagai benteng normatif terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan penyempitan ruang publik.

9.2.       Liberalisme sebagai Basis Etika Global

Meskipun dikritik sebagai proyek Barat, liberalisme tetap menjadi dasar penting dalam hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan berbagai perjanjian global.⁴ Dalam banyak situasi konflik dan penindasan, prinsip-prinsip liberal seperti hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, dan perlindungan hukum menjadi sumber legitimasi perjuangan sipil dan oposisi moral.⁵

Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Pidana Internasional, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, serta organisasi masyarakat sipil global tetap beroperasi dalam kerangka liberal, menandakan bahwa meskipun dilemahkan secara politik, liberalisme tetap mengilhami perjuangan global akan keadilan dan martabat manusia.

9.3.       Liberalisme dan Keadilan Sosial Global

Kritik terhadap ketimpangan global yang diperparah oleh model neoliberalisme mendorong sebagian pemikir liberal untuk mengembangkan pendekatan liberalisme egalitarian, seperti dalam pemikiran John Rawls dan Thomas Pogge, yang menekankan pentingnya prinsip redistribusi dan tanggung jawab moral lintas batas negara.⁶

Rawls, dalam The Law of Peoples, menyarankan bahwa prinsip keadilan liberal dapat diterapkan dalam tatanan global melalui kewajiban negara-negara makmur terhadap yang miskin, sementara Pogge menekankan bahwa struktur ekonomi global harus direformasi agar tidak terus-menerus memproduksi kemiskinan.⁷ Gagasan ini menunjukkan bahwa liberalisme dapat bertransformasi menjadi gerakan solidaritas transnasional, bukan hanya sistem politik domestik.

9.4.       Relevansi dalam Dunia Digital dan Teknologi Tinggi

Di era revolusi digital, liberalisme memiliki tantangan baru dalam melindungi privasi, kebebasan informasi, dan hak digital. Kebangkitan kapitalisme pengawasan yang dieksplorasi oleh Shoshana Zuboff menunjukkan bahwa kebebasan individu kini terancam bukan hanya oleh negara, tetapi oleh korporasi teknologi yang menguasai data personal miliaran manusia.⁸

Liberalisme yang relevan abad ke-21 harus merumuskan kerangka regulasi teknologi yang menjamin otonomi individu dalam ruang digital, serta mengatasi monopoli algoritmik dan penyebaran disinformasi. Dalam hal ini, prinsip liberal tentang kedaulatan individu atas informasi diri menjadi semakin signifikan.

9.5.       Peluang Reformasi: Menuju Liberalisme Emansipatoris

Respons terhadap krisis-krisis tersebut menunjukkan bahwa liberalisme tidak harus dipertahankan dalam bentuknya yang konvensional. Banyak pemikir kontemporer, seperti Michael Sandel, menyerukan reformasi liberalisme agar lebih menekankan kebajikan publik, tanggung jawab moral, dan solidaritas sosial, tanpa mengorbankan kebebasan pribadi.⁹

Liberalism today must move beyond mere formalism and legalism and face the ethical challenges of poverty, alienation, and ecological collapse.¹⁰ Dalam arah ini, liberalisme emansipatoris—yang menyeimbangkan antara hak individu dan kebutuhan kolektif—mungkin menjadi jalan tengah antara radikalisme struktural dan stagnasi liberal klasik.


Dengan demikian, liberalisme di abad ke-21 tetap relevan, bukan karena kejayaannya di masa lalu, melainkan karena kemampuannya untuk beradaptasi dan berefleksi secara kritis terhadap tantangan zaman. Ia tetap menjadi medan wacana penting dalam mempertahankan ruang sipil yang terbuka, menolak absolutisme dalam bentuk apa pun, dan membela hak asasi manusia dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi.


Footnotes

[1]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 3–8.

[2]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 89–94.

[3]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 18–29.

[4]                Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post (Oxford: Oxford University Press, 2006), 14–19.

[5]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 22–25.

[6]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 106–113.

[7]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 5–10.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 17–26.

[9]                Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020), 134–140.

[10]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 86–90.


10.       Penutup

Liberalisme, sebagai salah satu arus utama dalam filsafat sosial-politik modern, telah menempuh perjalanan intelektual dan historis yang panjang. Sejak kelahirannya pada abad ke-17 sebagai respons terhadap otoritarianisme dan absolutisme, liberalisme telah membentuk fondasi bagi demokrasi konstitusional, negara hukum, serta tatanan internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan individu.¹

Dalam berbagai transformasi historisnya—mulai dari liberalisme klasik yang menekankan kebebasan negatif, liberalisme sosial yang menuntut keadilan distributif, hingga neoliberalisme global yang mengedepankan logika pasar bebas—liberalisme terus mengalami reinterpretasi dan rekontekstualisasi.² Masing-masing fase perkembangan ini mencerminkan adaptasi liberalisme terhadap tantangan zaman, sekaligus memperlihatkan fleksibilitas doktrinal yang menjadi kekuatannya sekaligus sumber kritik.

Namun demikian, relevansi liberalisme kini dipertaruhkan di tengah krisis kontemporer yang multidimensional: ketimpangan global, degradasi ekologis, kebangkitan populisme otoriter, dan disrupsi digital.³ Dalam konteks inilah liberalisme diuji—bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi sebagai perangkat etik dan institusional yang mampu merespons kebutuhan kolektif umat manusia secara adil dan inklusif.

Sebagaimana ditunjukkan oleh para pemikir kontemporer seperti Michael Sandel, Seyla Benhabib, dan Charles Taylor, tantangan ke depan menuntut liberalisme untuk keluar dari kecenderungan individualisme eksklusif dan membuka diri terhadap dialog etis yang menekankan solidaritas sosial, tanggung jawab kolektif, dan keberagaman nilai budaya.⁴ Jika liberalisme tetap berpegang pada skema normatif yang kaku, maka ia berisiko terpinggirkan oleh wacana-wacana alternatif yang lebih responsif terhadap kompleksitas dunia kontemporer.

Namun, jika liberalisme mampu melakukan refleksi kritis terhadap dirinya sendiri, mengakui keterbatasannya, dan merumuskan ulang prinsip-prinsip dasarnya dalam kerangka emansipatoris dan inklusif, maka ia masih sangat mungkin menjadi daya moral dan politik yang progresif. Dengan demikian, liberalisme bukan sekadar warisan sejarah, tetapi proyek yang terbuka untuk pembaruan, sejauh ia tetap berpihak pada kebebasan, martabat manusia, dan keadilan sosial dalam pengertian yang lebih luas dan kontekstual.⁵


Footnotes

[1]                Helena Rosenblatt, The Lost History of Liberalism: From Ancient Rome to the Twenty-First Century (Princeton: Princeton University Press, 2018), 213–216.

[2]                Michael Freeden, Liberalism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 56–62.

[3]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 98–106.

[4]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 240–247; Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 169–175; Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–30.

[5]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 178–182.


Daftar Pustaka

Baylis, J., Owens, P., & Smith, S. (2020). The globalization of world politics: An introduction to international relations (8th ed.). Oxford University Press.

Benhabib, S. (2004). The rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.

Benhabib, S. (2006). Another cosmopolitanism (R. Post, Ed.). Oxford University Press.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Bobbio, N. (1990). Liberalism and democracy (M. Ryle & K. Soper, Trans.). Verso.

Chatterjee, P. (2004). The politics of the governed: Reflections on popular politics in most of the world. Columbia University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Dryzek, J. S. (2013). The politics of the Earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.

Dunn, J. (1993). Western political theory in the face of the future (2nd ed.). Cambridge University Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Freeden, M. (2015). Liberalism: A very short introduction. Oxford University Press.

Friedman, M. (1962). Capitalism and freedom. University of Chicago Press.

Fukuyama, F. (1992). The end of history and the last man. Free Press.

Green, T. H. (1895). Lectures on the principles of political obligation. Longmans.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Inglehart, R., & Norris, P. (2019). Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University Press.

Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.

Kymlicka, W. (2002). Contemporary political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.

Marx, K. (1992). On the Jewish question. In R. Livingstone & G. Benton (Trans.), Early writings (pp. 211–214). Penguin Classics.

Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Morozov, E. (2011). The net delusion: The dark side of internet freedom. PublicAffairs.

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Nandy, A. (1983). The intimate enemy: Loss and recovery of self under colonialism. Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Okin, S. M. (1987). Justice and gender. Philosophy & Public Affairs, 16(1), 42–48.

Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.

Rosenblatt, H. (2018). The lost history of liberalism: From Ancient Rome to the twenty-first century. Princeton University Press.

Ryan, A. (1998). Liberal anxieties and liberal education. Hill and Wang.

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.

Sandel, M. J. (2020). The tyranny of merit: What’s become of the common good?. Farrar, Straus and Giroux.

Shiva, V. (2016). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Slaughter, A.-M. (2004). A new world order. Princeton University Press.

Smith, A. (1976). The wealth of nations (E. Cannan, Ed.). University of Chicago Press.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W. W. Norton.

Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the politics of recognition (pp. 25–73). Princeton University Press.

Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar