Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-4: Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Bahan Ajar PPKn

Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara kesatuan yang menganut prinsip desentralisasi, Indonesia memberikan kewenangan otonomi kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Kajian ini menguraikan dasar konstitusional, prinsip desentralisasi, pembagian kewenangan, serta mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah. Di samping itu, artikel ini juga menyoroti berbagai tantangan dalam implementasi hubungan tersebut, seperti ketimpangan fiskal, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya kapasitas pemerintahan daerah. Untuk mengatasi problematika tersebut, diusulkan berbagai strategi penguatan melalui harmonisasi regulasi, reformasi fiskal, peningkatan kapasitas kelembagaan, serta partisipasi aktif warga negara. Refleksi kewarganegaraan juga menjadi sorotan penting dalam artikel ini guna menumbuhkan kesadaran konstitusional dan tanggung jawab sosial dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang demokratis, adil, dan berkeadaban.

Kata Kunci: Negara kesatuan, otonomi daerah, desentralisasi, hubungan pusat dan daerah, UUD 1945, pemerintahan daerah, kewarganegaraan konstitusional.


PEMBAHASAN

Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945


1.           Pendahuluan

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut bentuk negara kesatuan (unitary state), hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan, efektivitas, dan legitimasi penyelenggaraan pemerintahan di seluruh wilayah nusantara. Meskipun Indonesia bukan negara federal, pelaksanaan prinsip desentralisasi menjadi bagian integral dari semangat reformasi yang menuntut tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, partisipatif, dan berbasis lokal. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil amandemen yang memberikan dasar konstitusional bagi pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.

Sebelum amandemen UUD 1945, penyelenggaraan otonomi daerah masih bersifat sentralistik, di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam segala aspek kehidupan bernegara. Namun setelah reformasi, khususnya melalui perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, terdapat pengakuan eksplisit terhadap otonomi daerah melalui pasal-pasal seperti Pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam pasal-pasal ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang memiliki kekhususan dan keragaman sosial budaya, serta mendorong pembagian urusan pemerintahan yang adil dan proporsional antara pemerintah pusat dan daerah.¹

Urgensi pembahasan hubungan pusat dan daerah dalam konteks konstitusional menjadi semakin penting dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer, seperti ketimpangan pembangunan antarwilayah, konflik kewenangan, dan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat. Hubungan yang tidak seimbang antara dua level pemerintahan ini dapat berimplikasi pada melemahnya efektivitas pelayanan publik, rendahnya akuntabilitas pemerintahan, hingga mengancam kohesi nasional.² Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap struktur hubungan ini bukan hanya relevan secara yuridis dan administratif, tetapi juga strategis dalam mendidik warga negara, khususnya generasi muda, agar memahami dinamika pemerintahan dan ikut berperan aktif dalam menjaga keutuhan NKRI.

Melalui kajian ini, diharapkan peserta didik dapat memahami kerangka konstitusional hubungan pemerintah pusat dan daerah, prinsip-prinsip dasar otonomi daerah, kewenangan masing-masing level pemerintahan, serta dinamika implementasi yang terjadi dalam praktik. Lebih jauh, pemahaman tersebut dapat menumbuhkan kesadaran kritis dan partisipatif sebagai bagian dari warga negara yang bertanggung jawab dalam mendukung sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 117–119.

[2]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 187–190.


2.           Landasan Konstitusional Pemerintahan Pusat dan Daerah

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjadi sumber hukum tertinggi yang mengatur tentang keberadaan dan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Konstitusi ini, khususnya setelah dilakukan empat kali amandemen antara tahun 1999 hingga 2002, memberikan pengakuan dan penguatan terhadap prinsip desentralisasi kekuasaan serta otonomi daerah, sebagai bentuk penyesuaian terhadap tuntutan demokratisasi dan pemerataan pembangunan nasional pasca-reformasi.

2.1.       Prinsip Negara Kesatuan dan Desentralisasi

Indonesia secara eksplisit menetapkan dirinya sebagai negara kesatuan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945: "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik." Meskipun berbentuk negara kesatuan, UUD memberikan ruang bagi pelaksanaan desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah. Prinsip ini selaras dengan pendekatan "unity in diversity" yang mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana keberagaman daerah tetap berada dalam kerangka persatuan nasional.¹

2.2.       Pasal-Pasal Kunci dalam UUD NRI Tahun 1945

Landasan konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah terutama terdapat dalam:

·                     Pasal 18 UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa negara Indonesia membagi daerah dalam beberapa provinsi, kabupaten, dan kota, yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah. Ayat (5) pasal ini menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

·                     Pasal 18A ayat (1) menegaskan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang, dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

·                     Pasal 18B ayat (1) menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa serta satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.²

Dengan demikian, UUD tidak hanya mengakui keberadaan daerah sebagai bagian dari negara kesatuan, tetapi juga mengakui keragaman daerah dan memberikan jaminan konstitusional terhadap bentuk-bentuk kekhususan, seperti yang diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, Papua, dan daerah-daerah dengan komunitas hukum adat.

2.3.       Implikasi Amandemen Konstitusi

Amandemen UUD 1945 memberikan titik tolak baru dalam hubungan pusat dan daerah. Jika pada masa Orde Baru hubungan tersebut bersifat sentralistik, maka pasca-reformasi bergeser menjadi desentralistik, di mana daerah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.³ Pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah selanjutnya dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan payung hukum utama implementasi prinsip otonomi daerah.

Landasan konstitusional ini menjadi dasar normatif yang sangat penting untuk menegakkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, menjamin keseimbangan antara kewenangan pusat dan daerah, serta mencegah dominasi yang bisa menghambat perkembangan daerah secara adil dan demokratis.⁴


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 57–59.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 18, 18A, dan 18B.

[3]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 192–195.

[4]                Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 33–36.


3.           Sistem Desentralisasi dan Otonomi Daerah

3.1.       Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, desentralisasi merujuk pada pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mendorong partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, serta menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya lokal.¹

Otonomi daerah, yang merupakan perwujudan utama dari desentralisasi, diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.² Otonomi daerah tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga mencakup dimensi politik, fiskal, dan ekonomi.

3.2.       Dasar Konstitusional dan Yuridis

Pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memiliki landasan yang kuat dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 18 ayat (2), yang menyatakan bahwa "Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan."³

Secara yuridis, pengaturan teknis mengenai pelaksanaan otonomi daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mengatur pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, jenis dan bentuk pemerintahan daerah, serta mekanisme pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah pusat terhadap daerah.

3.3.       Jenis-Jenis Desentralisasi

Dalam praktiknya, desentralisasi di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk utama, antara lain:

·                     Desentralisasi administratif, yaitu pelimpahan kewenangan administratif kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik.

·                     Desentralisasi politik, yang mencakup pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, sebagai bentuk penguatan legitimasi dan partisipasi demokratis di tingkat lokal.

·                     Desentralisasi fiskal, yang berkaitan dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan, termasuk penerimaan dan belanja daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).⁴

Jenis-jenis desentralisasi tersebut saling terkait dan menjadi elemen utama dalam menjalankan otonomi daerah secara komprehensif.

3.4.       Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Menurut UU No. 23 Tahun 2014, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berlandaskan pada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan asas-asas khusus pemerintahan daerah, yang meliputi:

·                     Asas otonomi, yakni wewenang luas untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri.

·                     Asas desentralisasi, yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah.

·                     Asas tugas pembantuan (medebewind), yakni penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu.

Asas-asas ini bertujuan menciptakan sinergi vertikal antara pusat dan daerah, serta menjamin bahwa pelaksanaan otonomi tidak lepas dari koridor integritas negara kesatuan.⁵

3.5.       Prinsip-Prinsip Pokok dalam Otonomi Daerah

Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah juga harus menjunjung prinsip-prinsip pokok, seperti:

·                     Keseimbangan dan keadilan dalam pembagian kewenangan dan sumber daya,

·                     Efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik,

·                     Kemandirian dan partisipasi masyarakat lokal, serta

·                     Akuntabilitas dan transparansi pemerintahan.⁶

Prinsip-prinsip tersebut bertujuan agar pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga alat transformasi sosial-politik menuju tata pemerintahan yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.


Footnotes

[1]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 118.

[2]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 41–43.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2).

[4]                Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 76–78.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

[6]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 95.


4.           Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah

4.1.       Prinsip Umum Pembagian Kewenangan

Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan bagian fundamental dari sistem desentralisasi yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Secara konstitusional, Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.”¹ Prinsip ini memberikan dasar bahwa kewenangan daerah bersifat residual (sisa) dari kewenangan pusat, dengan pengecualian pada urusan-urusan tertentu yang bersifat strategis dan nasional.

Untuk mengimplementasikan prinsip ini, pembagian kewenangan secara lebih terperinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang ini membagi kewenangan pemerintahan ke dalam beberapa kategori: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum

4.2.       Kewenangan Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat memegang kewenangan atas urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasional dan tidak dapat dilimpahkan ke daerah. Urusan ini mencakup:

·                     Politik luar negeri,

·                     Pertahanan dan keamanan,

·                     Yustisi (peradilan),

·                     Moneter dan fiskal nasional,

·                     Agama.³

Kewenangan absolut ini bersifat strategis karena berkaitan langsung dengan eksistensi, integritas, dan kedaulatan negara. Pemerintah pusat juga memiliki wewenang untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam berbagai urusan pemerintahan daerah, sebagai bentuk pengawasan regulatif.⁴

4.3.       Kewenangan Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Urusan ini mencakup bidang-bidang pelayanan dasar seperti:

·                     Pendidikan,

·                     Kesehatan,

·                     Infrastruktur dan pekerjaan umum,

·                     Ketenteraman dan ketertiban umum,

·                     Sosial,

·                     Lingkungan hidup, dan lainnya.⁵

Urusan konkuren ini dibagi ke dalam tiga level pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pembagiannya didasarkan pada prinsip efisiensi, efektivitas, dan jangkauan pelayanan, sehingga setiap level pemerintahan dapat fokus pada kewenangan sesuai kapasitas dan ruang lingkupnya.⁶

Selain itu, daerah juga dapat menerima penugasan melalui asas tugas pembantuan (medebewind) dari pemerintah pusat untuk melaksanakan program nasional tertentu, dengan dukungan pembiayaan dan bimbingan teknis dari kementerian/lembaga terkait.

4.4.       Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian

Pemerintah pusat tetap memegang peran dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Fungsi pengawasan dilakukan melalui mekanisme evaluasi kinerja, pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta supervisi oleh Kementerian Dalam Negeri. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kewenangan, pusat dapat mengambil tindakan korektif, termasuk pemberhentian kepala daerah dalam kasus pelanggaran berat.⁷

Mekanisme checks and balances ini penting untuk menjaga keseimbangan dalam relasi antara pusat dan daerah agar tetap dalam koridor negara kesatuan, namun tidak menghambat semangat otonomi.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (5).

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 123–125.

[4]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 97.

[5]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 102.

[6]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 51.

[7]                Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 84–85.


5.           Mekanisme Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

5.1.       Prinsip Hubungan Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan

Sebagai negara kesatuan, Indonesia menegaskan bahwa semua kedaulatan berada di tangan negara secara utuh, yang kemudian didelegasikan dalam bentuk otonomi kepada daerah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dibangun berdasarkan prinsip desentralisasi yang terkendali, dengan tetap menjaga keutuhan dan supremasi negara dalam hal-hal strategis.⁽¹⁾ Maka, hubungan ini tidak bersifat hirarkis sepenuhnya, tetapi koordinatif, konsultatif, dan supervisif.

Landasan hubungan ini termuat dalam Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa "Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah."⁽²⁾

5.2.       Mekanisme Koordinasi

Koordinasi antara pusat dan daerah merupakan mekanisme utama dalam menjaga keselarasan pelaksanaan program nasional dan kebijakan daerah. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memegang peran kunci dalam mengoordinasikan urusan-urusan pemerintahan umum dan mendampingi daerah dalam penerapan kebijakan publik. Selain itu, forum seperti Rapat Koordinasi Nasional Pemerintahan Dalam Negeri menjadi wadah strategis untuk menyatukan visi antara pusat dan daerah.⁽³⁾

Koordinasi juga dilakukan secara sektoral oleh kementerian/lembaga (K/L) teknis, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam urusan pendidikan, atau Kementerian Kesehatan dalam pelayanan publik bidang kesehatan, yang bekerja sama dengan dinas-dinas di daerah.

5.3.       Mekanisme Supervisi dan Evaluasi

Mekanisme supervisi dan pembinaan oleh pemerintah pusat diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan merupakan instrumen untuk menjamin tercapainya standar pelayanan minimal (SPM), efisiensi anggaran, serta akuntabilitas tata kelola daerah.⁽⁴⁾

Supervisi dilakukan melalui:

·                     Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) oleh Kemendagri;

·                     Pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

·                     Evaluasi terhadap Peraturan Daerah (Perda) agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan, pusat berwenang memberikan sanksi administratif, hingga pemberhentian kepala daerah dalam kasus tertentu.⁽⁵⁾

5.4.       Hubungan Keuangan: Transfer Fiskal dan Pengawasan Anggaran

Salah satu bentuk paling nyata dari hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam mekanisme hubungan keuangan. Pemerintah pusat menyalurkan anggaran ke daerah melalui instrumen:

·                     Dana Alokasi Umum (DAU),

·                     Dana Alokasi Khusus (DAK),

·                     Dana Bagi Hasil (DBH),

·                     Dana Insentif Daerah (DID).⁽⁶⁾

Mekanisme ini diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengawasan atas penggunaan dana ini menjadi bagian dari hubungan fungsional yang sangat krusial dalam menghindari moral hazard dan praktik korupsi di tingkat daerah.

5.5.       Mekanisme Penyelesaian Konflik Kewenangan

Ketidaksinkronan peraturan atau tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah sering kali menimbulkan konflik hukum dan kebijakan. Untuk mengatasinya, mekanisme penyelesaian konflik kewenangan dilakukan melalui:

·                     Mediasi oleh Kemendagri atau lembaga sektoral,

·                     Pengujian peraturan daerah oleh Mahkamah Agung jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,

·                     Uji materiil terhadap undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus pelanggaran hak konstitusional.⁽⁷⁾

5.6.       Peran Presiden dalam Hubungan Pusat-Daerah

Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan strategis dalam mengarahkan hubungan antara pusat dan daerah. Presiden menetapkan kebijakan nasional lintas sektoral, serta menunjuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah provinsi, sesuai Pasal 91 UU No. 23 Tahun 2014.⁽⁸⁾


Footnotes

[1]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 121–122.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18A ayat (1).

[3]                Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Laporan Rapat Koordinasi Nasional Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2022 (Jakarta: Puslitbang Otda, 2022), 15.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.

[5]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 67–68.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126.

[7]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 143.

[8]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 106–107.


6.           Tantangan dan Problematika dalam Hubungan Pusat–Daerah

Pelaksanaan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia pascareformasi telah mengalami banyak kemajuan, terutama dengan diberikannya kewenangan otonomi yang luas kepada daerah. Namun, dalam praktiknya, hubungan ini tidak luput dari berbagai tantangan struktural dan fungsional yang dapat menghambat terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, demokratis, dan berkeadilan. Tantangan-tantangan ini muncul dalam bentuk ketimpangan fiskal, konflik regulasi, sentralisasi terselubung, serta minimnya kapasitas pemerintahan daerah.

6.1.       Ketimpangan Fiskal dan Ketergantungan Daerah

Salah satu problem utama dalam hubungan pusat-daerah adalah ketimpangan fiskal, yakni ketidakseimbangan antara kemampuan keuangan daerah dengan beban urusan pemerintahan yang dilimpahkan. Banyak daerah, terutama yang tidak memiliki sumber daya alam unggulan, sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat.⁽¹⁾

Ketergantungan ini menyebabkan otonomi daerah menjadi semu, karena daerah tidak memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya sendiri. Bahkan menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2022, lebih dari 80% anggaran belanja daerah bersumber dari transfer pusat.⁽²⁾ Ketimpangan ini mengakibatkan kesenjangan pembangunan antarwilayah dan memperlemah kemandirian fiskal daerah.

6.2.       Konflik Regulasi antara Pusat dan Daerah

Banyak pemerintah daerah menghadapi kesulitan dalam menyusun peraturan daerah (Perda) yang sinkron dengan kebijakan pusat. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih kebijakan, atau bahkan pembatalan Perda oleh pemerintah pusat yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana daerah memiliki ruang legislasi yang otonom dalam negara kesatuan.⁽³⁾

Contoh nyata adalah pembatalan ratusan perda oleh Kementerian Dalam Negeri pada periode 2015–2016 karena dinilai menghambat investasi atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Namun, langkah ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai bentuk intervensi pusat yang berlebihan.⁽⁴⁾

6.3.       Sentralisasi Terselubung dalam Praktik Desentralisasi

Meskipun konstitusi dan undang-undang telah memberikan kerangka otonomi yang luas, dalam praktiknya muncul fenomena sentralisasi terselubung (recentralization by stealth), yakni penarikan kembali sebagian kewenangan daerah ke pemerintah pusat melalui regulasi teknis. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan nasional yang menyeragamkan layanan publik tanpa memperhatikan konteks lokal, serta dominasi pusat dalam pengelolaan sumber daya strategis seperti tambang, kehutanan, dan pendidikan.⁽⁵⁾

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sendiri telah menarik beberapa kewenangan penting dari daerah kabupaten/kota ke provinsi atau pusat, misalnya dalam urusan kehutanan dan kelautan, yang sebelumnya menjadi kewenangan daerah tingkat dua.⁽⁶⁾ Hal ini menimbulkan keresahan di sejumlah daerah yang merasa bahwa semangat desentralisasi telah melemah.

6.4.       Kapasitas Pemerintahan Daerah yang Belum Merata

Desentralisasi hanya dapat berjalan optimal bila disertai dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia daerah. Dalam banyak kasus, rendahnya kapasitas aparatur dan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik, korupsi anggaran, serta kegagalan implementasi kebijakan daerah.⁽⁷⁾

Ketiadaan mekanisme evaluasi yang komprehensif dan pembinaan yang intensif dari pemerintah pusat turut memperparah persoalan ini. Padahal, keberhasilan hubungan pusat-daerah sangat bergantung pada kemampuan daerah dalam menyerap kewenangan yang diberikan secara bertanggung jawab.

6.5.       Inkonsistensi dalam Penegakan Prinsip Asimetri

UUD NRI Tahun 1945 mengakui keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa atau memiliki otonomi khusus, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, dan Papua. Namun, dalam implementasinya, sering terjadi ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam pengaturan teknis kewenangan istimewa ini, yang menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dan daerah.⁽⁸⁾

Tantangan ini menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penerapan otonomi khusus dan perlunya harmonisasi antara semangat konstitusional dengan kebijakan teknokratis di tingkat nasional.


Footnotes

[1]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 143–145.

[2]                Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2022 (Jakarta: BPK RI, 2023), 57.

[3]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 79–80.

[4]                Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Data Pembatalan Perda Tahun 2016 (Jakarta: Ditjen Otda, 2016), 2.

[5]                Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 98–100.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.

[7]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 122.

[8]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 165–167.


7.           Upaya Penguatan Hubungan Pusat dan Daerah

Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memerlukan penguatan berkelanjutan agar prinsip negara kesatuan yang demokratis dan desentralistik dapat berjalan harmonis. Mengingat berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah — seperti tumpang tindih regulasi, ketimpangan fiskal, dan kapasitas kelembagaan yang lemah — maka diperlukan serangkaian upaya strategis yang dapat memperkokoh relasi pusat-daerah dalam kerangka UUD NRI Tahun 1945 dan semangat reformasi.

7.1.       Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan

Salah satu langkah strategis yang harus ditempuh adalah harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak peraturan daerah yang dibatalkan karena bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan nasional. Untuk itu, diperlukan mekanisme harmonisasi secara proaktif dalam proses penyusunan regulasi daerah, baik melalui konsultasi antarlembaga maupun fasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri sebelum perda ditetapkan.¹

Selain itu, penting untuk memperkuat sinkronisasi antarperaturan sektoral di tingkat pusat agar tidak terjadi kontradiksi yang membingungkan pemerintah daerah dalam mengimplementasikannya. Harmonisasi ini harus didasarkan pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan kejelasan pembagian kewenangan.

7.2.       Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah

Kualitas hubungan pusat dan daerah sangat tergantung pada kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di tingkat daerah. Oleh karena itu, upaya penguatan kapasitas meliputi:

·                     Pelatihan aparatur berbasis kompetensi dan integritas,

·                     Peningkatan sistem perencanaan dan penganggaran daerah,

·                     Pengembangan teknologi informasi untuk tata kelola berbasis digital (e-government).²

Pemerintah pusat dapat memperluas program capacity building melalui kerjasama dengan lembaga pendidikan, universitas, dan sektor swasta, serta menyediakan insentif bagi daerah yang inovatif dan berprestasi dalam pelayanan publik.

7.3.       Reformulasi Skema Transfer Fiskal

Agar otonomi daerah tidak hanya formal, dibutuhkan reformasi dalam mekanisme transfer keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini termasuk:

·                     Revisi kriteria alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) agar lebih berbasis kebutuhan dan kinerja,

·                     Penguatan Dana Insentif Daerah (DID) sebagai bentuk apresiasi atas prestasi tata kelola daerah,

·                     Penataan kembali Dana Bagi Hasil (DBH) agar lebih proporsional dan berkeadilan.³

Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu mengurangi ketimpangan fiskal antarwilayah dan mendorong kemandirian fiskal daerah.

7.4.       Inovasi dan Digitalisasi Pemerintahan

Hubungan pusat-daerah juga dapat diperkuat melalui pemanfaatan teknologi digital yang memungkinkan komunikasi, koordinasi, dan pengawasan secara real-time. Penerapan e-governance akan mempercepat arus informasi, mempermudah pelaporan, serta meningkatkan akuntabilitas.⁴

Pusat dan daerah dapat mengembangkan platform bersama seperti Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) yang telah mulai diterapkan oleh Kemendagri, serta mendorong interoperabilitas data antarinstansi.

7.5.       Mendorong Partisipasi Publik dan Akuntabilitas Sosial

Penguatan hubungan pusat-daerah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat. Melibatkan publik dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan daerah melalui forum musyawarah, public hearing, dan media daring dapat meningkatkan legitimasi kebijakan dan memperkuat kontrol sosial terhadap penyimpangan.⁵

Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk mengembangkan mekanisme partisipasi warga negara, serta melaporkan kinerja dan anggaran secara terbuka kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas demokratis.

7.6.       Optimalisasi Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah provinsi memiliki posisi strategis dalam mengkoordinasikan hubungan antara pemerintah pusat dengan kabupaten/kota. Upaya optimalisasi ini meliputi:

·                     Peningkatan peran gubernur dalam fasilitasi dan supervisi program nasional,

·                     Penegasan kewenangan dalam menyelesaikan konflik antardaerah,

·                     Penyesuaian kebijakan pusat dengan kebutuhan lokal melalui komunikasi dua arah.⁶

Penataan peran gubernur secara efektif akan menjembatani kepentingan nasional dengan realitas lokal tanpa harus merusak prinsip otonomi daerah.


Footnotes

[1]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 81–83.

[2]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 153.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126.

[4]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 109.

[5]                Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Evaluasi Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia (Jakarta: KPPOD, 2021), 43.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 122.


8.           Refleksi Kewarganegaraan

Pemahaman tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak hanya memiliki dimensi struktural dan yuridis, tetapi juga menyimpan makna penting bagi pembentukan karakter dan kesadaran kewarganegaraan. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), warga negara memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan pusat dan kemandirian daerah agar tetap berada dalam koridor konstitusi, demokrasi, dan keadilan sosial.

8.1.       Kesadaran Konstitusional dan Pemahaman Kewarganegaraan

Sebagai bagian dari bangsa yang demokratis dan berdaulat, setiap warga negara dituntut untuk memiliki kesadaran konstitusional, yaitu pemahaman terhadap hak dan kewajiban konstitusionalnya serta sistem pemerintahan yang dijalankan. Pemahaman terhadap pembagian kewenangan pusat dan daerah memungkinkan warga untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan publik, serta menyampaikan aspirasi secara tepat sasaran.¹

Warga yang sadar konstitusi juga dapat menjalankan kontrol sosial terhadap pejabat di tingkat pusat maupun daerah. Ini merupakan bentuk nyata dari civic responsibility, di mana warga tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga aktor aktif dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan yang adil dan transparan.²

8.2.       Peran Warga Negara dalam Menjaga Integrasi Nasional

Hubungan antara pusat dan daerah harus dijaga dalam semangat persatuan, dengan tetap menghormati kearifan lokal dan identitas daerah. Dalam konteks ini, warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk menolak segala bentuk ekstremisme lokal yang dapat merusak keutuhan bangsa, seperti separatisme, diskriminasi atas dasar etnis atau agama, serta politik identitas yang memecah belah.³

Sebaliknya, warga didorong untuk memperkuat solidaritas kebangsaan dan menjembatani perbedaan sosial-kultural melalui dialog antarbudaya, partisipasi dalam pembangunan daerah, dan keterlibatan dalam program-program nasional yang inklusif.⁴ Sikap ini akan memperkuat kohesi sosial yang menjadi pondasi ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.

8.3.       Partisipasi Kritis dalam Tata Kelola Pemerintahan

Otonomi daerah memberi ruang yang lebih besar bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan publik di tingkat lokal. Oleh karena itu, penting bagi setiap warga untuk memiliki literasi politik dan hukum agar dapat:

·                     Menyuarakan aspirasi secara konstitusional,

·                     Mengawasi pelaksanaan anggaran daerah,

·                     Terlibat dalam forum musyawarah pembangunan desa atau kota.⁵

Partisipasi kritis seperti ini mencerminkan kualitas warga negara yang proaktif dan bertanggung jawab, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan cita-cita reformasi dalam mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan rakyat.

8.4.       Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk memperkuat kesadaran warga negara terhadap dinamika hubungan pusat dan daerah, diperlukan penguatan pendidikan kewarganegaraan di lembaga pendidikan formal maupun informal. Pendidikan ini harus menekankan:

·                     Nilai-nilai kebangsaan dan konstitusionalisme,

·                     Praktik-praktik demokrasi lokal yang sehat,

·                     Kemampuan analisis terhadap isu-isu aktual yang melibatkan konflik atau kerja sama antarlevel pemerintahan.⁶

Generasi muda, sebagai pewaris estafet kepemimpinan bangsa, harus dilatih menjadi warga negara yang cerdas secara politik, adil secara sosial, dan loyal terhadap Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 93.

[2]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 182–183.

[3]                Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 127.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 205–206.

[5]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 171.

[6]                Sapriya, Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep dan Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 145–147.


9.           Penutup

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan elemen krusial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut bentuk negara kesatuan dengan semangat desentralisasi. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama pasal-pasal hasil amandemen seperti Pasal 18, 18A, dan 18B, telah memberikan kerangka konstitusional yang kuat bagi pembagian kewenangan dan pengakuan atas keberagaman daerah.¹ Dengan demikian, hubungan pusat dan daerah tidak semata-mata bersifat hirarkis, tetapi juga mencerminkan prinsip kemitraan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI serta mendorong efektivitas pemerintahan dan keadilan pembangunan.

Pelaksanaan sistem desentralisasi melalui otonomi daerah sejauh ini telah memberikan ruang yang lebih besar bagi daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun demikian, berbagai problematika masih membayangi pelaksanaannya, seperti ketimpangan fiskal, tumpang tindih regulasi, sentralisasi terselubung, hingga rendahnya kapasitas kelembagaan daerah.² Permasalahan tersebut menandakan bahwa hubungan pusat-daerah masih membutuhkan penyempurnaan dalam tataran kebijakan, implementasi, dan pengawasan.

Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, diperlukan sejumlah strategi penguatan hubungan pusat-daerah yang berkelanjutan, termasuk harmonisasi regulasi, peningkatan kapasitas aparatur daerah, reformulasi kebijakan transfer fiskal yang berkeadilan, dan pemanfaatan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan.³ Di samping itu, peran warga negara juga tidak dapat diabaikan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemerintahan daerah, baik melalui partisipasi politik maupun kontrol sosial, menjadi fondasi penting dalam membangun sistem pemerintahan yang demokratis dan responsif terhadap aspirasi rakyat.

Dengan demikian, pemahaman terhadap relasi pusat dan daerah bukan hanya penting dalam konteks akademik dan kebijakan, tetapi juga strategis dalam pembentukan karakter kewarganegaraan yang sadar konstitusi, kritis, dan bertanggung jawab.⁴ Untuk generasi muda khususnya, pemahaman ini menjadi bagian integral dari pendidikan kewarganegaraan sebagai bekal dalam menjaga keutuhan bangsa, menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dan mengawal tegaknya prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dalam kehidupan bernegara.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18, 18A, dan 18B.

[2]                Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa Media, 2010), 79–84.

[3]                Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 143–145.

[4]                Sapriya, Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep dan Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 147–149.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Asshiddiqie, J. (2012). Perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun 2022. Jakarta: BPK RI.

Huda, N. (2010). Hukum pemerintahan daerah. Yogyakarta: Nusa Media.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). (2021). Evaluasi implementasi otonomi daerah di Indonesia. Jakarta: KPPOD.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2016). Data pembatalan peraturan daerah tahun 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2022). Laporan Rapat Koordinasi Nasional Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2022. Jakarta: Puslitbang Otda.

Rasyid, R. (1997). Makna pemerintahan: Tinjauan dari segi etika dan budaya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126.

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

Sapriya. (2015). Pendidikan kewarganegaraan: Konsep dan pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Syamsuddin, H. (2007). Desentralisasi dan otonomi daerah: Reformasi tata pemerintahan. Jakarta: LIPI Press.

Winarno, B. (2012). Globalisasi dan desentralisasi: Reformasi tata pemerintahan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar