Bahan Ajar PPKn
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD NRI
Tahun 1945
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka sistem
ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara kesatuan yang menganut prinsip
desentralisasi, Indonesia memberikan kewenangan otonomi kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Kajian ini menguraikan
dasar konstitusional, prinsip desentralisasi, pembagian kewenangan, serta
mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah. Di samping itu, artikel ini juga
menyoroti berbagai tantangan dalam implementasi hubungan tersebut, seperti
ketimpangan fiskal, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya kapasitas
pemerintahan daerah. Untuk mengatasi problematika tersebut, diusulkan berbagai
strategi penguatan melalui harmonisasi regulasi, reformasi fiskal, peningkatan
kapasitas kelembagaan, serta partisipasi aktif warga negara. Refleksi
kewarganegaraan juga menjadi sorotan penting dalam artikel ini guna menumbuhkan
kesadaran konstitusional dan tanggung jawab sosial dalam mendukung tata kelola
pemerintahan yang demokratis, adil, dan berkeadaban.
Kata Kunci: Negara kesatuan, otonomi daerah, desentralisasi,
hubungan pusat dan daerah, UUD 1945, pemerintahan daerah, kewarganegaraan
konstitusional.
PEMBAHASAN
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD NRI
Tahun 1945
1.
Pendahuluan
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang menganut bentuk negara kesatuan (unitary state),
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi pilar penting
dalam menjaga keutuhan, efektivitas, dan legitimasi penyelenggaraan
pemerintahan di seluruh wilayah nusantara. Meskipun Indonesia bukan negara
federal, pelaksanaan prinsip desentralisasi menjadi bagian
integral dari semangat reformasi yang menuntut tata kelola pemerintahan yang
lebih demokratis, partisipatif, dan berbasis lokal. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil
amandemen yang memberikan dasar konstitusional bagi pembagian kewenangan antara
pusat dan daerah.
Sebelum amandemen
UUD 1945, penyelenggaraan otonomi daerah masih bersifat sentralistik, di mana
peran pemerintah pusat sangat dominan dalam segala aspek kehidupan bernegara.
Namun setelah reformasi, khususnya melalui perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000,
terdapat pengakuan eksplisit terhadap otonomi daerah melalui pasal-pasal
seperti Pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam pasal-pasal ini, negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang memiliki kekhususan dan keragaman sosial budaya, serta mendorong pembagian
urusan pemerintahan yang adil dan proporsional antara pemerintah pusat dan
daerah.¹
Urgensi pembahasan
hubungan pusat dan daerah dalam konteks konstitusional menjadi semakin penting
dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer, seperti ketimpangan
pembangunan antarwilayah, konflik kewenangan, dan ketergantungan fiskal daerah
kepada pusat. Hubungan yang tidak seimbang antara dua level pemerintahan ini
dapat berimplikasi pada melemahnya efektivitas pelayanan publik, rendahnya
akuntabilitas pemerintahan, hingga mengancam kohesi nasional.² Oleh karena itu,
pemahaman mendalam terhadap struktur hubungan ini bukan hanya relevan secara
yuridis dan administratif, tetapi juga strategis dalam mendidik warga negara,
khususnya generasi muda, agar memahami dinamika pemerintahan dan ikut berperan
aktif dalam menjaga keutuhan NKRI.
Melalui kajian ini,
diharapkan peserta didik dapat memahami kerangka konstitusional hubungan pemerintah
pusat dan daerah, prinsip-prinsip dasar otonomi daerah,
kewenangan masing-masing level pemerintahan, serta dinamika implementasi yang
terjadi dalam praktik. Lebih jauh, pemahaman tersebut dapat menumbuhkan
kesadaran kritis dan partisipatif sebagai bagian dari warga negara yang
bertanggung jawab dalam mendukung sistem pemerintahan yang demokratis dan
berkeadilan.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 117–119.
[2]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 187–190.
2.
Landasan Konstitusional Pemerintahan Pusat dan
Daerah
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjadi sumber hukum tertinggi yang
mengatur tentang keberadaan dan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah. Konstitusi ini, khususnya setelah dilakukan empat kali
amandemen antara tahun 1999 hingga 2002, memberikan pengakuan dan penguatan
terhadap prinsip desentralisasi kekuasaan serta otonomi
daerah, sebagai bentuk penyesuaian terhadap tuntutan
demokratisasi dan pemerataan pembangunan nasional pasca-reformasi.
2.1.
Prinsip Negara Kesatuan dan Desentralisasi
Indonesia secara
eksplisit menetapkan dirinya sebagai negara kesatuan, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945: "Negara Indonesia ialah negara kesatuan,
yang berbentuk republik." Meskipun berbentuk negara kesatuan,
UUD memberikan ruang bagi pelaksanaan desentralisasi pemerintahan kepada
daerah-daerah. Prinsip ini selaras dengan pendekatan "unity in
diversity" yang mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, di mana
keberagaman daerah tetap berada dalam kerangka persatuan nasional.¹
2.2.
Pasal-Pasal Kunci dalam UUD NRI Tahun 1945
Landasan
konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah terutama
terdapat dalam:
·
Pasal 18 UUD NRI
1945, yang menyebutkan bahwa negara Indonesia membagi daerah dalam
beberapa provinsi, kabupaten, dan kota, yang masing-masing memiliki
pemerintahan daerah. Ayat (5) pasal ini menyatakan bahwa pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
·
Pasal 18A ayat (1)
menegaskan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang, dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
·
Pasal 18B ayat (1)
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa serta satuan-satuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat.²
Dengan demikian, UUD
tidak hanya mengakui keberadaan daerah sebagai bagian dari negara kesatuan,
tetapi juga mengakui keragaman daerah dan memberikan
jaminan konstitusional terhadap bentuk-bentuk kekhususan, seperti yang
diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, Papua, dan daerah-daerah dengan
komunitas hukum adat.
2.3.
Implikasi Amandemen Konstitusi
Amandemen UUD 1945
memberikan titik tolak baru dalam hubungan pusat dan daerah. Jika pada masa
Orde Baru hubungan tersebut bersifat sentralistik, maka
pasca-reformasi bergeser menjadi desentralistik, di mana daerah
diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.³ Pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah
selanjutnya dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
payung hukum utama implementasi prinsip otonomi daerah.
Landasan
konstitusional ini menjadi dasar normatif yang sangat penting untuk menegakkan good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, menjamin
keseimbangan antara kewenangan pusat dan daerah, serta mencegah dominasi yang
bisa menghambat perkembangan daerah secara adil dan demokratis.⁴
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2006), 57–59.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen
Kedua, Pasal 18, 18A, dan 18B.
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 192–195.
[4]
Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 33–36.
3.
Sistem Desentralisasi dan Otonomi Daerah
3.1.
Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dalam konteks
ketatanegaraan Indonesia, desentralisasi merujuk pada
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk
mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, mendorong partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan, serta menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya lokal.¹
Otonomi
daerah, yang merupakan perwujudan utama dari desentralisasi,
diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.² Otonomi daerah tidak hanya mencakup aspek administratif,
tetapi juga mencakup dimensi politik, fiskal, dan ekonomi.
3.2.
Dasar Konstitusional dan Yuridis
Pelaksanaan sistem
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memiliki landasan yang kuat
dalam UUD NRI
Tahun 1945, khususnya Pasal 18 ayat (2), yang menyatakan bahwa "Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan."³
Secara yuridis,
pengaturan teknis mengenai pelaksanaan otonomi daerah dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang
ini mengatur pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, jenis dan
bentuk pemerintahan daerah, serta mekanisme pengawasan dan pembinaan oleh
pemerintah pusat terhadap daerah.
3.3.
Jenis-Jenis Desentralisasi
Dalam praktiknya,
desentralisasi di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk
utama, antara lain:
·
Desentralisasi
administratif, yaitu pelimpahan kewenangan administratif kepada
pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
·
Desentralisasi
politik, yang mencakup pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat, sebagai bentuk penguatan legitimasi dan partisipasi demokratis di
tingkat lokal.
·
Desentralisasi
fiskal, yang berkaitan dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan
keuangan, termasuk penerimaan dan belanja daerah melalui Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).⁴
Jenis-jenis
desentralisasi tersebut saling terkait dan menjadi elemen utama dalam
menjalankan otonomi daerah secara komprehensif.
3.4.
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Menurut UU No. 23
Tahun 2014, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berlandaskan pada asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan asas-asas khusus
pemerintahan daerah, yang meliputi:
·
Asas otonomi,
yakni wewenang luas untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri.
·
Asas desentralisasi,
yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah.
·
Asas tugas
pembantuan (medebewind), yakni penugasan dari pemerintah pusat kepada
daerah untuk melaksanakan tugas tertentu.
Asas-asas ini
bertujuan menciptakan sinergi vertikal antara pusat dan daerah, serta menjamin
bahwa pelaksanaan otonomi tidak lepas dari koridor integritas negara kesatuan.⁵
3.5.
Prinsip-Prinsip Pokok dalam Otonomi Daerah
Dalam
pelaksanaannya, otonomi daerah juga harus menjunjung prinsip-prinsip pokok,
seperti:
·
Keseimbangan dan
keadilan dalam pembagian kewenangan dan sumber daya,
·
Efisiensi dan
efektivitas dalam pelayanan publik,
·
Kemandirian dan
partisipasi masyarakat lokal, serta
·
Akuntabilitas dan
transparansi pemerintahan.⁶
Prinsip-prinsip
tersebut bertujuan agar pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya menjadi
instrumen administratif, tetapi juga alat transformasi sosial-politik menuju
tata pemerintahan yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat.
Footnotes
[1]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 118.
[2]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 41–43.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat
(2).
[4]
Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata
Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 76–78.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244.
[6]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 95.
4.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
4.1.
Prinsip Umum Pembagian Kewenangan
Pembagian kewenangan
antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah merupakan
bagian fundamental dari sistem desentralisasi yang diatur dalam konstitusi dan
peraturan perundang-undangan. Secara konstitusional, Pasal 18 ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945 menegaskan bahwa “Pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat.”¹ Prinsip ini memberikan dasar bahwa
kewenangan daerah bersifat residual (sisa) dari kewenangan pusat, dengan
pengecualian pada urusan-urusan tertentu yang bersifat strategis dan nasional.
Untuk
mengimplementasikan prinsip ini, pembagian kewenangan secara lebih terperinci
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004.
Undang-undang ini membagi kewenangan pemerintahan ke dalam beberapa kategori: urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren,
dan urusan
pemerintahan umum.²
4.2.
Kewenangan Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memegang
kewenangan atas urusan pemerintahan absolut,
yaitu urusan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasional dan tidak dapat
dilimpahkan ke daerah. Urusan ini mencakup:
·
Politik luar negeri,
·
Pertahanan dan keamanan,
·
Yustisi (peradilan),
·
Moneter dan fiskal
nasional,
·
Agama.³
Kewenangan absolut
ini bersifat strategis karena berkaitan langsung dengan eksistensi, integritas,
dan kedaulatan negara. Pemerintah pusat juga memiliki wewenang untuk menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam berbagai urusan
pemerintahan daerah, sebagai bentuk pengawasan regulatif.⁴
4.3.
Kewenangan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan
konkuren, yaitu urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah. Urusan ini mencakup bidang-bidang pelayanan dasar seperti:
·
Pendidikan,
·
Kesehatan,
·
Infrastruktur dan pekerjaan
umum,
·
Ketenteraman dan ketertiban
umum,
·
Sosial,
·
Lingkungan hidup, dan
lainnya.⁵
Urusan konkuren ini
dibagi ke dalam tiga level pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pembagiannya didasarkan pada prinsip efisiensi, efektivitas, dan jangkauan pelayanan,
sehingga setiap level pemerintahan dapat fokus pada kewenangan sesuai kapasitas
dan ruang lingkupnya.⁶
Selain itu, daerah
juga dapat menerima penugasan melalui asas tugas pembantuan
(medebewind) dari pemerintah pusat untuk melaksanakan program
nasional tertentu, dengan dukungan pembiayaan dan bimbingan teknis dari
kementerian/lembaga terkait.
4.4.
Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian
Pemerintah pusat
tetap memegang peran dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Fungsi pengawasan dilakukan
melalui mekanisme evaluasi kinerja, pemeriksaan keuangan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), serta supervisi oleh Kementerian
Dalam Negeri. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran
kewenangan, pusat dapat mengambil tindakan korektif, termasuk pemberhentian
kepala daerah dalam kasus pelanggaran berat.⁷
Mekanisme checks and
balances ini penting untuk menjaga keseimbangan dalam relasi antara pusat dan
daerah agar tetap dalam koridor negara kesatuan, namun tidak menghambat
semangat otonomi.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat
(5).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 123–125.
[4]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 97.
[5]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 102.
[6]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 51.
[7]
Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata
Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 84–85.
5.
Mekanisme Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
5.1.
Prinsip Hubungan Pusat dan Daerah dalam Negara
Kesatuan
Sebagai negara
kesatuan, Indonesia menegaskan bahwa semua kedaulatan berada di tangan negara
secara utuh, yang kemudian didelegasikan dalam bentuk otonomi kepada daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dibangun berdasarkan prinsip desentralisasi
yang terkendali, dengan tetap menjaga keutuhan dan supremasi
negara dalam hal-hal strategis.⁽¹⁾ Maka, hubungan ini tidak bersifat hirarkis
sepenuhnya, tetapi koordinatif, konsultatif, dan supervisif.
Landasan hubungan
ini termuat dalam Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa "Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah."⁽²⁾
5.2.
Mekanisme Koordinasi
Koordinasi antara
pusat dan daerah merupakan mekanisme utama dalam menjaga keselarasan
pelaksanaan program nasional dan kebijakan daerah. Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) memegang peran kunci dalam
mengoordinasikan urusan-urusan pemerintahan umum dan mendampingi daerah dalam
penerapan kebijakan publik. Selain itu, forum seperti Rapat
Koordinasi Nasional Pemerintahan Dalam Negeri menjadi wadah
strategis untuk menyatukan visi antara pusat dan daerah.⁽³⁾
Koordinasi juga
dilakukan secara sektoral oleh kementerian/lembaga (K/L) teknis, seperti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam urusan pendidikan, atau Kementerian
Kesehatan dalam pelayanan publik bidang kesehatan, yang bekerja sama dengan
dinas-dinas di daerah.
5.3.
Mekanisme Supervisi dan Evaluasi
Mekanisme supervisi
dan pembinaan oleh pemerintah pusat diatur dalam UU No.
23 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa pembinaan dan pengawasan
merupakan instrumen untuk menjamin tercapainya standar pelayanan minimal (SPM),
efisiensi anggaran, serta akuntabilitas tata kelola daerah.⁽⁴⁾
Supervisi dilakukan
melalui:
·
Evaluasi Kinerja
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) oleh Kemendagri;
·
Pemeriksaan
pengelolaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
·
Evaluasi terhadap
Peraturan Daerah (Perda) agar tidak bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi.
Jika terjadi
pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan, pusat berwenang
memberikan sanksi administratif, hingga pemberhentian kepala daerah dalam kasus
tertentu.⁽⁵⁾
5.4.
Hubungan Keuangan: Transfer Fiskal dan
Pengawasan Anggaran
Salah satu bentuk
paling nyata dari hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam mekanisme hubungan
keuangan. Pemerintah pusat menyalurkan anggaran ke daerah
melalui instrumen:
·
Dana Alokasi Umum
(DAU),
·
Dana Alokasi Khusus
(DAK),
·
Dana Bagi Hasil
(DBH),
·
Dana Insentif
Daerah (DID).⁽⁶⁾
Mekanisme ini diatur
dalam UU No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Pengawasan atas penggunaan dana ini menjadi bagian dari
hubungan fungsional yang sangat krusial dalam menghindari moral hazard dan
praktik korupsi di tingkat daerah.
5.5.
Mekanisme Penyelesaian Konflik Kewenangan
Ketidaksinkronan
peraturan atau tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah sering kali
menimbulkan konflik hukum dan kebijakan. Untuk mengatasinya, mekanisme penyelesaian
konflik kewenangan dilakukan melalui:
·
Mediasi oleh Kemendagri
atau lembaga sektoral,
·
Pengujian peraturan daerah
oleh Mahkamah Agung jika bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi,
·
Uji materiil terhadap
undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus pelanggaran
hak konstitusional.⁽⁷⁾
5.6.
Peran Presiden dalam Hubungan Pusat-Daerah
Sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi, Presiden Republik Indonesia
memiliki kewenangan strategis dalam mengarahkan hubungan antara pusat dan
daerah. Presiden menetapkan kebijakan nasional lintas sektoral, serta menunjuk
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah provinsi, sesuai Pasal 91 UU
No. 23 Tahun 2014.⁽⁸⁾
Footnotes
[1]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 121–122.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18A
ayat (1).
[3]
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Laporan Rapat
Koordinasi Nasional Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2022 (Jakarta:
Puslitbang Otda, 2022), 15.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.
[5]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 67–68.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126.
[7]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 143.
[8]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 106–107.
6.
Tantangan dan Problematika dalam Hubungan
Pusat–Daerah
Pelaksanaan hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia pascareformasi telah mengalami
banyak kemajuan, terutama dengan diberikannya kewenangan otonomi yang luas
kepada daerah. Namun, dalam praktiknya, hubungan ini tidak luput dari berbagai
tantangan struktural dan fungsional yang dapat menghambat terwujudnya tata
kelola pemerintahan yang efektif, demokratis, dan berkeadilan. Tantangan-tantangan
ini muncul dalam bentuk ketimpangan fiskal, konflik
regulasi, sentralisasi terselubung, serta
minimnya
kapasitas pemerintahan daerah.
6.1.
Ketimpangan Fiskal dan Ketergantungan Daerah
Salah satu problem
utama dalam hubungan pusat-daerah adalah ketimpangan fiskal, yakni
ketidakseimbangan antara kemampuan keuangan daerah dengan beban urusan
pemerintahan yang dilimpahkan. Banyak daerah, terutama yang tidak memiliki
sumber daya alam unggulan, sangat bergantung pada Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari
pemerintah pusat.⁽¹⁾
Ketergantungan ini
menyebabkan otonomi daerah menjadi semu, karena daerah tidak memiliki
keleluasaan dalam mengelola keuangannya sendiri. Bahkan menurut Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2022, lebih dari 80% anggaran belanja daerah
bersumber dari transfer pusat.⁽²⁾ Ketimpangan ini mengakibatkan kesenjangan
pembangunan antarwilayah dan memperlemah kemandirian fiskal daerah.
6.2.
Konflik Regulasi antara Pusat dan Daerah
Banyak pemerintah
daerah menghadapi kesulitan dalam menyusun peraturan daerah (Perda) yang
sinkron dengan kebijakan pusat. Akibatnya, sering terjadi tumpang
tindih kebijakan, atau bahkan pembatalan Perda oleh pemerintah
pusat yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana daerah memiliki ruang
legislasi yang otonom dalam negara kesatuan.⁽³⁾
Contoh nyata adalah
pembatalan ratusan perda oleh Kementerian Dalam Negeri pada periode 2015–2016
karena dinilai menghambat investasi atau bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Namun, langkah ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai
bentuk intervensi pusat yang berlebihan.⁽⁴⁾
6.3.
Sentralisasi Terselubung dalam Praktik
Desentralisasi
Meskipun konstitusi
dan undang-undang telah memberikan kerangka otonomi yang luas, dalam praktiknya
muncul fenomena sentralisasi terselubung
(recentralization by stealth), yakni penarikan kembali sebagian kewenangan
daerah ke pemerintah pusat melalui regulasi teknis. Hal ini dapat dilihat dari
kebijakan nasional yang menyeragamkan layanan publik tanpa memperhatikan
konteks lokal, serta dominasi pusat dalam pengelolaan sumber daya strategis
seperti tambang, kehutanan, dan pendidikan.⁽⁵⁾
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 sendiri telah menarik beberapa kewenangan penting dari daerah
kabupaten/kota ke provinsi atau pusat, misalnya dalam urusan kehutanan dan
kelautan, yang sebelumnya menjadi kewenangan daerah tingkat dua.⁽⁶⁾ Hal ini
menimbulkan keresahan di sejumlah daerah yang merasa bahwa semangat
desentralisasi telah melemah.
6.4.
Kapasitas Pemerintahan Daerah yang Belum Merata
Desentralisasi hanya
dapat berjalan optimal bila disertai dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber
daya manusia daerah. Dalam banyak kasus, rendahnya kapasitas
aparatur dan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah menyebabkan rendahnya
kualitas pelayanan publik, korupsi anggaran, serta kegagalan implementasi
kebijakan daerah.⁽⁷⁾
Ketiadaan mekanisme
evaluasi yang komprehensif dan pembinaan yang intensif dari pemerintah pusat
turut memperparah persoalan ini. Padahal, keberhasilan hubungan pusat-daerah
sangat bergantung pada kemampuan daerah dalam menyerap kewenangan yang
diberikan secara bertanggung jawab.
6.5.
Inkonsistensi dalam Penegakan Prinsip Asimetri
UUD NRI Tahun 1945
mengakui keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa atau memiliki otonomi
khusus, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh,
dan Papua.
Namun, dalam implementasinya, sering terjadi ketidakjelasan dan inkonsistensi
dalam pengaturan teknis kewenangan istimewa ini, yang menimbulkan konflik
kepentingan antara pusat dan daerah.⁽⁸⁾
Tantangan ini
menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penerapan otonomi
khusus dan perlunya harmonisasi antara semangat konstitusional dengan kebijakan
teknokratis di tingkat nasional.
Footnotes
[1]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 143–145.
[2]
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester II Tahun 2022 (Jakarta: BPK RI, 2023), 57.
[3]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 79–80.
[4]
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Data Pembatalan Perda
Tahun 2016 (Jakarta: Ditjen Otda, 2016), 2.
[5]
Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Reformasi Tata
Pemerintahan (Jakarta: LIPI Press, 2007), 98–100.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244.
[7]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 122.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2006), 165–167.
7.
Upaya Penguatan Hubungan Pusat dan Daerah
Hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memerlukan
penguatan berkelanjutan agar prinsip negara kesatuan yang demokratis dan desentralistik
dapat berjalan harmonis. Mengingat berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam
pelaksanaan otonomi daerah — seperti tumpang tindih regulasi, ketimpangan
fiskal, dan kapasitas kelembagaan yang lemah — maka diperlukan serangkaian
upaya strategis yang dapat memperkokoh relasi pusat-daerah dalam kerangka UUD NRI
Tahun 1945 dan semangat reformasi.
7.1.
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Salah satu langkah
strategis yang harus ditempuh adalah harmonisasi regulasi antara
pemerintah pusat dan daerah. Banyak peraturan daerah yang dibatalkan karena
bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan nasional. Untuk itu,
diperlukan mekanisme harmonisasi secara proaktif dalam proses penyusunan
regulasi daerah, baik melalui konsultasi antarlembaga maupun fasilitasi oleh
Kementerian Dalam Negeri sebelum perda ditetapkan.¹
Selain itu, penting
untuk memperkuat sinkronisasi antarperaturan sektoral
di tingkat pusat agar tidak terjadi kontradiksi yang membingungkan pemerintah
daerah dalam mengimplementasikannya. Harmonisasi ini harus didasarkan pada
prinsip keadilan, kesetaraan, dan kejelasan pembagian kewenangan.
7.2.
Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah
Kualitas hubungan
pusat dan daerah sangat tergantung pada kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia
di tingkat daerah. Oleh karena itu, upaya penguatan kapasitas meliputi:
·
Pelatihan aparatur berbasis
kompetensi dan integritas,
·
Peningkatan sistem
perencanaan dan penganggaran daerah,
·
Pengembangan teknologi
informasi untuk tata kelola berbasis digital (e-government).²
Pemerintah pusat
dapat memperluas program capacity building melalui kerjasama
dengan lembaga pendidikan, universitas, dan sektor swasta, serta menyediakan
insentif bagi daerah yang inovatif dan berprestasi dalam pelayanan publik.
7.3.
Reformulasi Skema Transfer Fiskal
Agar otonomi daerah
tidak hanya formal, dibutuhkan reformasi dalam mekanisme transfer keuangan dari pusat ke
daerah. Hal ini termasuk:
·
Revisi kriteria alokasi
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) agar lebih berbasis
kebutuhan dan kinerja,
·
Penguatan Dana
Insentif Daerah (DID) sebagai bentuk apresiasi atas prestasi tata
kelola daerah,
·
Penataan kembali Dana
Bagi Hasil (DBH) agar lebih proporsional dan berkeadilan.³
Langkah-langkah
tersebut diharapkan mampu mengurangi ketimpangan fiskal antarwilayah dan
mendorong kemandirian fiskal daerah.
7.4.
Inovasi dan Digitalisasi Pemerintahan
Hubungan
pusat-daerah juga dapat diperkuat melalui pemanfaatan teknologi
digital yang memungkinkan komunikasi, koordinasi, dan
pengawasan secara real-time. Penerapan e-governance akan mempercepat
arus informasi, mempermudah pelaporan, serta meningkatkan akuntabilitas.⁴
Pusat dan daerah
dapat mengembangkan platform bersama seperti Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD)
yang telah mulai diterapkan oleh Kemendagri, serta mendorong interoperabilitas
data antarinstansi.
7.5.
Mendorong Partisipasi Publik dan Akuntabilitas
Sosial
Penguatan hubungan
pusat-daerah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga harus
mengakomodasi aspirasi masyarakat. Melibatkan
publik dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan daerah melalui forum
musyawarah, public hearing, dan media daring
dapat meningkatkan legitimasi kebijakan dan memperkuat kontrol sosial terhadap
penyimpangan.⁵
Pemerintah pusat
perlu mendorong daerah untuk mengembangkan mekanisme partisipasi
warga negara, serta melaporkan kinerja dan anggaran secara
terbuka kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas demokratis.
7.6.
Optimalisasi Peran Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat
Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah provinsi memiliki posisi strategis dalam
mengkoordinasikan hubungan antara pemerintah pusat dengan kabupaten/kota. Upaya
optimalisasi ini meliputi:
·
Peningkatan peran gubernur
dalam fasilitasi dan supervisi program nasional,
·
Penegasan kewenangan dalam
menyelesaikan konflik antardaerah,
·
Penyesuaian kebijakan pusat
dengan kebutuhan lokal melalui komunikasi dua arah.⁶
Penataan peran
gubernur secara efektif akan menjembatani kepentingan nasional dengan realitas
lokal tanpa harus merusak prinsip otonomi daerah.
Footnotes
[1]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 81–83.
[2]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 153.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126.
[4]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 109.
[5]
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Evaluasi
Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia (Jakarta: KPPOD, 2021), 43.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 122.
8.
Refleksi Kewarganegaraan
Pemahaman tentang
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak hanya memiliki dimensi
struktural dan yuridis, tetapi juga menyimpan makna penting bagi pembentukan
karakter dan kesadaran kewarganegaraan. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), warga negara memiliki peran strategis dalam menjaga
keseimbangan antara kekuasaan pusat dan kemandirian daerah agar tetap berada
dalam koridor konstitusi, demokrasi, dan keadilan sosial.
8.1.
Kesadaran Konstitusional dan Pemahaman
Kewarganegaraan
Sebagai bagian dari
bangsa yang demokratis dan berdaulat, setiap warga negara dituntut untuk
memiliki kesadaran konstitusional, yaitu
pemahaman terhadap hak dan kewajiban konstitusionalnya serta sistem
pemerintahan yang dijalankan. Pemahaman terhadap pembagian kewenangan pusat dan
daerah memungkinkan warga untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab
atas kebijakan publik, serta menyampaikan aspirasi secara tepat sasaran.¹
Warga yang sadar
konstitusi juga dapat menjalankan kontrol sosial terhadap pejabat di tingkat
pusat maupun daerah. Ini merupakan bentuk nyata dari civic
responsibility, di mana warga tidak hanya menjadi objek
kebijakan, tetapi juga aktor aktif dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan
yang adil dan transparan.²
8.2.
Peran Warga Negara dalam Menjaga Integrasi
Nasional
Hubungan antara
pusat dan daerah harus dijaga dalam semangat persatuan, dengan tetap
menghormati kearifan lokal dan identitas
daerah. Dalam konteks ini, warga negara memiliki tanggung jawab
moral untuk menolak segala bentuk ekstremisme lokal yang dapat merusak keutuhan
bangsa, seperti separatisme, diskriminasi atas dasar etnis atau agama, serta
politik identitas yang memecah belah.³
Sebaliknya, warga
didorong untuk memperkuat solidaritas kebangsaan dan
menjembatani perbedaan sosial-kultural melalui dialog antarbudaya, partisipasi
dalam pembangunan daerah, dan keterlibatan dalam program-program nasional yang
inklusif.⁴ Sikap ini akan memperkuat kohesi sosial yang menjadi pondasi
ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.
8.3.
Partisipasi Kritis dalam Tata Kelola
Pemerintahan
Otonomi daerah
memberi ruang yang lebih besar bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses
perencanaan dan evaluasi kebijakan publik di tingkat lokal. Oleh karena itu,
penting bagi setiap warga untuk memiliki literasi politik dan hukum agar
dapat:
·
Menyuarakan aspirasi secara
konstitusional,
·
Mengawasi pelaksanaan
anggaran daerah,
·
Terlibat dalam forum
musyawarah pembangunan desa atau kota.⁵
Partisipasi kritis
seperti ini mencerminkan kualitas warga negara yang proaktif
dan bertanggung jawab, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan
cita-cita reformasi dalam mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap
kebutuhan rakyat.
8.4.
Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk memperkuat
kesadaran warga negara terhadap dinamika hubungan pusat dan daerah, diperlukan
penguatan pendidikan kewarganegaraan di
lembaga pendidikan formal maupun informal. Pendidikan ini harus menekankan:
·
Nilai-nilai kebangsaan dan
konstitusionalisme,
·
Praktik-praktik demokrasi
lokal yang sehat,
·
Kemampuan analisis terhadap
isu-isu aktual yang melibatkan konflik atau kerja sama antarlevel
pemerintahan.⁶
Generasi muda,
sebagai pewaris estafet kepemimpinan bangsa, harus dilatih menjadi warga negara
yang cerdas secara politik, adil secara sosial, dan loyal terhadap Pancasila
dan UUD NRI Tahun 1945.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali
Pers, 2006), 93.
[2]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 182–183.
[3]
Budi Winarno, Globalisasi dan Desentralisasi: Reformasi Tata
Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 127.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
205–206.
[5]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 171.
[6]
Sapriya, Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep dan Pembelajaran
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 145–147.
9.
Penutup
Hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan elemen krusial dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang menganut bentuk negara kesatuan dengan semangat
desentralisasi. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
terutama pasal-pasal hasil amandemen seperti Pasal 18, 18A, dan 18B, telah
memberikan kerangka konstitusional yang kuat bagi pembagian kewenangan dan pengakuan
atas keberagaman daerah.¹ Dengan demikian, hubungan pusat dan daerah tidak
semata-mata bersifat hirarkis, tetapi juga mencerminkan prinsip kemitraan dalam
rangka menjaga keutuhan NKRI serta mendorong efektivitas pemerintahan dan
keadilan pembangunan.
Pelaksanaan sistem
desentralisasi melalui otonomi daerah sejauh ini telah memberikan ruang yang
lebih besar bagi daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk
dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun demikian, berbagai
problematika masih membayangi pelaksanaannya, seperti ketimpangan
fiskal, tumpang tindih regulasi, sentralisasi
terselubung, hingga rendahnya kapasitas kelembagaan daerah.²
Permasalahan tersebut menandakan bahwa hubungan pusat-daerah masih membutuhkan penyempurnaan
dalam tataran kebijakan, implementasi, dan pengawasan.
Sebagai respons
terhadap tantangan tersebut, diperlukan sejumlah strategi penguatan hubungan
pusat-daerah yang berkelanjutan, termasuk harmonisasi regulasi, peningkatan
kapasitas aparatur daerah, reformulasi kebijakan transfer fiskal yang
berkeadilan, dan pemanfaatan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan.³
Di samping itu, peran warga negara juga tidak dapat diabaikan. Keterlibatan
aktif masyarakat dalam proses pemerintahan daerah, baik melalui partisipasi
politik maupun kontrol sosial, menjadi fondasi penting dalam membangun sistem
pemerintahan yang demokratis dan responsif terhadap aspirasi rakyat.
Dengan demikian,
pemahaman terhadap relasi pusat dan daerah bukan hanya penting dalam konteks
akademik dan kebijakan, tetapi juga strategis dalam pembentukan karakter
kewarganegaraan yang sadar konstitusi, kritis, dan bertanggung jawab.⁴ Untuk
generasi muda khususnya, pemahaman ini menjadi bagian integral dari pendidikan
kewarganegaraan sebagai bekal dalam menjaga keutuhan bangsa, menjunjung tinggi
nilai-nilai Pancasila, dan mengawal tegaknya prinsip-prinsip demokrasi
konstitusional dalam kehidupan bernegara.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18,
18A, dan 18B.
[2]
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: Nusa
Media, 2010), 79–84.
[3]
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan
Budaya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 143–145.
[4]
Sapriya, Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep dan Pembelajaran
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 147–149.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Hukum
tata negara dan pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar
ilmu hukum tata negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Asshiddiqie, J. (2012). Perkembangan
dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar
ilmu politik (Edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. (2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun
2022. Jakarta: BPK RI.
Huda, N. (2010). Hukum
pemerintahan daerah. Yogyakarta: Nusa Media.
Kaelan. (2013). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). (2021). Evaluasi implementasi otonomi
daerah di Indonesia. Jakarta: KPPOD.
Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia. (2016). Data pembatalan peraturan daerah tahun 2016.
Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.
Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia. (2022). Laporan Rapat Koordinasi Nasional Pemerintahan
Dalam Negeri Tahun 2022. Jakarta: Puslitbang Otda.
Rasyid, R. (1997). Makna
pemerintahan: Tinjauan dari segi etika dan budaya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Republik Indonesia. (2004).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126.
Republik Indonesia. (2014).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
Sapriya. (2015). Pendidikan
kewarganegaraan: Konsep dan pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsuddin, H. (2007). Desentralisasi
dan otonomi daerah: Reformasi tata pemerintahan. Jakarta: LIPI Press.
Winarno, B. (2012). Globalisasi
dan desentralisasi: Reformasi tata pemerintahan di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar