Senin, 09 Juni 2025

Aufklärung: Kebangkitan Akal dan Transformasi Dunia Modern

Aufklärung

Kebangkitan Akal dan Transformasi Dunia Modern


Alihkan ke: Akar Pemikiran Modern Eropa dan Dampaknya terhadap Dunia.


Abstrak

Artikel ini mengkaji gerakan Aufklärung atau The Enlightenment sebagai tonggak penting dalam sejarah pemikiran modern, khususnya dalam membentuk fondasi rasionalitas, kebebasan, dan tata sosial-politik dunia kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis, artikel ini mengulas latar kemunculan Aufklärung di Eropa abad ke-18, fondasi filosofisnya yang menekankan otonomi akal (Vernunft), serta kontribusinya dalam merevolusi pemikiran etika, politik, dan pendidikan. Pembahasan difokuskan pada tokoh-tokoh sentral seperti Immanuel Kant, Voltaire, Rousseau, Locke, dan Montesquieu, serta pengaruh gagasan mereka terhadap revolusi politik dan perkembangan hak asasi manusia. Di samping itu, artikel ini juga menyoroti kritik terhadap Aufklärung, termasuk tuduhan reduksionisme rasional, bias kolonial, dan ambiguitas universalismenya. Artikel ini berakhir dengan analisis warisan intelektual Aufklärung dalam dunia modern—dalam filsafat, ilmu pengetahuan, sistem demokrasi, dan pendidikan—sembari menggarisbawahi pentingnya meninjau ulang semangat pencerahan secara reflektif di tengah tantangan kontemporer seperti krisis epistemik, disinformasi digital, dan fragmentasi sosial. Dengan demikian, Aufklärung diposisikan bukan sebagai warisan statis, melainkan sebagai proyek pemikiran yang terus relevan dan terbuka terhadap reinterpretasi kritis.

Kata Kunci: Aufklärung, Pencerahan, Rasionalitas, Hak Asasi Manusia, Kritik Postmodern, Kant, Revolusi Ilmiah, Warisan Intelektual, Etika Sekuler, Modernitas.


PEMBAHASAN

Kajian tentang Aufklärung dalam Konteks Sejarah Pemikiran Modern


1.           Pendahuluan

Gerakan Aufklärung atau The Enlightenment merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah pemikiran manusia yang telah membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami dunia, dirinya, dan masyarakat. Tumbuh di Eropa selama abad ke-18, gerakan ini menandai pergeseran paradigmatik dari dominasi otoritas tradisional dan dogma keagamaan menuju supremasi rasio, pengalaman empiris, dan kebebasan berpikir sebagai sumber pengetahuan dan moralitas manusia. Melalui gerakan ini, akal manusia (Vernunft) tidak lagi dipandang sebagai subordinat wahyu atau tradisi, melainkan sebagai alat utama untuk mencapai kemajuan, kebebasan, dan pencerahan diri.¹

Kemunculan Aufklärung tidak terjadi dalam ruang hampa sejarah. Ia merupakan respons terhadap berbagai dinamika yang terjadi pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, termasuk krisis otoritas gereja, ketidakpuasan terhadap pemerintahan absolutis, serta perkembangan ilmu pengetahuan yang revolusioner.² Masyarakat Eropa, yang selama berabad-abad hidup dalam kungkungan tatanan sosial-politik dan keagamaan yang mengekang kebebasan berpikir, mulai mencari alternatif melalui filsafat, sains, dan kritik sosial yang menantang status quo.³ Dalam konteks ini, Aufklärung menjadi simbol “pencerahan” dari kegelapan ketidaktahuan dan penindasan, dan pada saat yang sama menjadi proyek kolektif untuk membentuk masyarakat yang lebih rasional, adil, dan bebas.

Salah satu tokoh penting dalam merumuskan semangat pencerahan adalah filsuf Jerman Immanuel Kant, yang dalam esainya Was ist Aufklärung? (1784), mendefinisikan pencerahan sebagai “keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri,” dan menyerukan seruan moral yang terkenal: Sapere aude!—“Beranilah berpikir sendiri!”⁴ Pernyataan ini bukan hanya refleksi filosofis, tetapi juga seruan sosial untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada otoritas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Kajian tentang Aufklärung menjadi sangat penting, bukan hanya untuk memahami sejarah intelektual Barat, tetapi juga untuk mengevaluasi warisan pemikiran modern yang hingga kini masih membentuk banyak aspek kehidupan kontemporer, mulai dari sistem pendidikan, prinsip-prinsip demokrasi, hingga nilai-nilai hak asasi manusia. Dengan menelusuri akar historis dan konseptual dari gerakan ini, kita dapat menilai secara lebih jernih kekuatan, ambiguitas, dan tantangan dari warisan modernitas yang diwariskan oleh Aufklärung.


Footnotes

[1]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 3–5.

[2]                Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 1–10.

[3]                Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 5–8.

[4]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” in Practical Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.


2.           Konteks Historis dan Latar Sosial Aufklärung

Gerakan Aufklärung muncul sebagai respons historis terhadap sejumlah kondisi sosial, politik, dan intelektual yang berkembang di Eropa pasca-Renaissance dan selama Revolusi Ilmiah. Menjelang abad ke-18, Eropa berada dalam fase transformasi besar, ditandai oleh keretakan otoritas tradisional, pertumbuhan kelas menengah terdidik, serta meningkatnya ketegangan antara rasionalitas ilmiah dan doktrin keagamaan. Aufklärung menjadi produk dialektis dari zaman yang dilanda keraguan terhadap sistem lama dan gairah baru terhadap kebebasan berpikir.

2.1.       Kemunduran Otoritas Gereja dan Monarki Absolut

Sejak Reformasi Protestan abad ke-16, kekuasaan Gereja Katolik mulai mengalami erosi serius, terutama di wilayah-wilayah yang terpengaruh oleh pemikiran Martin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh Protestan lainnya. Fragmentasi otoritas agama ini membuka ruang bagi pluralitas pemikiran keagamaan dan mendorong munculnya diskursus rasional dalam ranah iman.¹ Di sisi lain, monarki absolut yang menjadi karakteristik utama sistem politik Eropa awal modern mulai dikritik sebagai sistem yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan individu dan partisipasi politik.² Negara-negara seperti Prancis, dengan simbol absolutismenya Louis XIV, menjadi sasaran kritik para filsuf pencerahan seperti Voltaire dan Montesquieu yang menuntut pembatasan kekuasaan dan pembagian kekuasaan negara.³

2.2.       Dampak Revolusi Ilmiah dan Kemenangan Metode Empiris

Abad ke-17 telah menyaksikan lahirnya Revolusi Ilmiah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, René Descartes, Johannes Kepler, dan Isaac Newton. Penemuan-penemuan dalam fisika, astronomi, dan matematika tidak hanya mengubah pemahaman manusia tentang alam semesta, tetapi juga memperkenalkan metode ilmiah yang berbasis observasi, eksperimen, dan penalaran deduktif sebagai cara baru untuk memperoleh pengetahuan.⁴ Keberhasilan ilmu pengetahuan ini menimbulkan optimisme besar terhadap kemampuan akal manusia untuk menguasai alam dan memecahkan persoalan-persoalan sosial secara rasional. Semangat ini menyatu dengan cita-cita Aufklärung untuk menolak pengetahuan yang dogmatis dan membangun masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip rasional.⁵

2.3.       Kelahiran Ruang Publik dan Budaya Literasi

Pertumbuhan pesat industri percetakan dan munculnya media baru seperti surat kabar, jurnal, pamflet, dan ensiklopedia juga memainkan peran penting dalam menyebarkan ide-ide pencerahan. Masyarakat mulai memiliki akses yang lebih luas terhadap bacaan-bacaan ilmiah dan filosofis, yang sebelumnya terbatas pada kalangan elite.⁶ Konsep “ruang publik” (public sphere) yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas menggambarkan munculnya forum diskusi bebas, seperti salon-salon di Prancis dan kafe-kafe di Inggris, tempat gagasan-gagasan rasional dibahas oleh kaum borjuis terdidik tanpa intervensi langsung dari negara atau gereja.⁷ Budaya diskursif inilah yang mematangkan iklim intelektual tempat ide-ide Aufklärung tumbuh dan menyebar ke seluruh Eropa.

2.4.       Perubahan Struktur Sosial dan Ekonomi

Transformasi sosial akibat pertumbuhan ekonomi dan ekspansi kolonial juga berdampak signifikan. Kelas menengah baru—pedagang, profesional, ilmuwan, dan cendekiawan—muncul sebagai kekuatan sosial baru yang menuntut representasi, kebebasan sipil, dan reformasi pendidikan.⁸ Mereka tidak lagi puas dengan warisan aristokratis dan spiritualisme feodal, tetapi justru mencari tatanan sosial baru yang dapat menjamin kemajuan, rasionalitas, dan kesejahteraan kolektif. Aufklärung menyediakan kerangka konseptual yang ideal untuk mengartikulasikan aspirasi-aspirasi baru tersebut.

Secara keseluruhan, Aufklärung tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi sejarah Eropa modern awal yang sarat dengan perubahan dramatis. Ia menjadi respons intelektual terhadap keruntuhan struktur lama dan sekaligus proyek pemikiran untuk membangun dunia baru yang didasarkan pada kebebasan, akal, dan otonomi individu.


Footnotes

[1]                Diarmaid MacCulloch, The Reformation: A History (New York: Viking, 2003), 678–682.

[2]                John Merriman, A History of Modern Europe: From the Renaissance to the Present, 3rd ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2010), 468–472.

[3]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 121–127.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 101–104.

[5]                Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 34–36.

[6]                Robert Darnton, The Literary Underground of the Old Regime (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 38–42.

[7]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 27–56.

[8]                Jonathan Dewald, The European Nobility, 1400–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 199–205.


3.           Fondasi Filosofis Aufklärung

Gerakan Aufklärung tidak hanya merupakan revolusi sosial dan politik, tetapi juga sebuah proyek filsafat besar yang menempatkan akal (Vernunft) sebagai pusat segala pertimbangan epistemologis, etis, dan politis. Para pemikir Aufklärung membangun landasan baru untuk memahami dunia berdasarkan prinsip-prinsip rasional, otonomi individu, dan universalisme moral, menolak klaim otoritas yang tidak dapat diuji secara logis maupun empiris.

3.1.       Konsep Vernunft dan Rasionalitas

Pada inti filsafat Aufklärung terletak penghormatan mendalam terhadap akal (Vernunft) sebagai kapasitas manusia yang paling mulia. Akal dipandang tidak hanya sebagai alat pengetahuan, tetapi juga sebagai dasar moral dan politik. Immanuel Kant menegaskan bahwa Aufklärung adalah “keluarnya manusia dari keadaan tidak dewasa yang disebabkan oleh dirinya sendiri,” dan ketidakdewasaan ini, menurutnya, adalah ketidakmampuan untuk menggunakan akal secara bebas tanpa bimbingan orang lain.¹ Dengan kata lain, Sapere aude—“Beranilah berpikir sendiri”—menjadi semboyan filsafat pencerahan yang menolak ketergantungan pada dogma atau otoritas eksternal yang tidak rasional.²

Penggunaan akal sebagai sumber otoritas baru mengubah cara berpikir masyarakat tentang pengetahuan, moralitas, dan pemerintahan. Tidak ada klaim yang dianggap sah kecuali jika dapat dipertanggungjawabkan melalui nalar yang terbuka untuk diskusi publik dan argumentasi logis.³ Inilah cikal bakal prinsip rasionalisme kritis yang mendasari ilmu pengetahuan modern dan sistem etika sekuler.

3.2.       Kebebasan Berpikir dan Otonomi Moral

Filsafat Aufklärung menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpikir, bukan sekadar sebagai hak individual, tetapi sebagai kewajiban moral. Menurut Kant, manusia wajib menggunakan akalnya secara publik demi kemajuan peradaban.⁴ Dalam Critique of Practical Reason, ia memperkenalkan ide imperatif kategoris—sebuah prinsip etis universal yang lahir dari akal praktis dan bukan dari otoritas agama atau adat.⁵

Otonomi moral menjadi gagasan kunci: individu yang tercerahkan adalah mereka yang mampu menentukan tindakan berdasarkan prinsip universal yang disepakati oleh akal budi, bukan karena takut hukuman atau tunduk pada tradisi.⁶ Prinsip ini menggeser sumber etika dari luar diri ke dalam kesadaran rasional manusia, dan menjadi landasan etika humanistik modern.

3.3.       Sekularisasi Pengetahuan dan Etika Humanistik

Salah satu dampak besar Aufklärung adalah sekularisasi pengetahuan. Dunia tidak lagi dipahami semata-mata melalui narasi teologis, melainkan dijelaskan melalui prinsip-prinsip rasional dan empiris. Para filsuf seperti Denis Diderot dan d’Alembert menyusun Encyclopédie bukan hanya sebagai proyek pendidikan, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap pengetahuan yang dikontrol gereja.⁷

Sekularisasi ini turut melahirkan etika humanistik: sistem nilai yang berakar pada harkat dan martabat manusia, bukan pada wahyu ilahi. Voltaire, misalnya, dalam banyak tulisannya menekankan pentingnya toleransi dan kemanusiaan sebagai dasar etika, menolak kekerasan atas nama agama dan mendukung kebebasan beragama sebagai hak asasi.⁸ Ini menunjukkan bahwa Aufklärung, meskipun seringkali bersifat anti-dogmatis, tidak anti-agama, melainkan menuntut agar agama tunduk pada akal dan prinsip moral universal.

3.4.       Proyek Universalisme dan Kemajuan

Filsafat Aufklärung bersifat universalistik. Para pemikirnya meyakini bahwa prinsip-prinsip rasional berlaku secara umum, terlepas dari budaya, agama, atau status sosial. Kemajuan dianggap dapat dicapai melalui penerapan akal dalam semua bidang kehidupan: politik, pendidikan, ekonomi, dan hukum.⁹ Hal ini terlihat dalam gagasan kontrak sosial (Rousseau), pembagian kekuasaan (Montesquieu), dan hak-hak alami (Locke), yang semuanya menyatakan bahwa rasio manusia mampu membangun tatanan masyarakat yang adil dan beradab.¹⁰


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” in Practical Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11.

[2]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 8–10.

[3]                Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 38.

[4]                Kant, “An Answer to the Question,” 12–13.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28–32.

[6]                Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 133–137.

[7]                Dena Goodman, The Republic of Letters: A Cultural History of the French Enlightenment (Ithaca: Cornell University Press, 1994), 46–51.

[8]                Voltaire, Treatise on Tolerance (New York: Cambridge University Press, 2000), 27–34.

[9]                Jonathan I. Israel, Enlightenment Contested: Philosophy, Modernity, and the Emancipation of Man 1670–1752 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 101–108.

[10]             John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290; Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 49–50.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral Aufklärung dan Gagasan-Gagasannya

Gerakan Aufklärung tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh intelektual besar yang gagasan-gagasannya membentuk dasar filosofis, politik, dan moral dunia modern. Para filsuf pencerahan, meskipun berasal dari latar budaya yang berbeda, berbagi semangat yang sama: menempatkan akal sebagai pedoman utama dalam menilai kebenaran, menolak dogmatisme, dan membela kebebasan serta kemanusiaan. Bagian ini menyoroti lima tokoh sentral: Immanuel Kant, Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, John Locke, dan Baron de Montesquieu, beserta kontribusi mereka terhadap gerakan Aufklärung.

4.1.       Immanuel Kant (1724–1804): Rasionalitas dan Otonomi Moral

Sebagai filsuf utama Aufklärung Jerman, Kant menyumbangkan landasan epistemologis dan etis yang mendalam. Dalam esainya yang terkenal, Was ist Aufklärung? (1784), ia mendefinisikan pencerahan sebagai proses “keluar dari ketidakdewasaan” melalui penggunaan akal secara bebas dan publik.¹ Gagasan otonomi moral dalam Critique of Practical Reason menyatakan bahwa tindakan manusia harus didasarkan pada imperatif kategoris, yaitu prinsip moral universal yang lahir dari rasionalitas praktis, bukan dari tekanan eksternal atau tradisi.² Kant membangun filsafat moral yang memerdekakan individu untuk berpikir dan bertindak berdasarkan akal budi, menjadikan dirinya ikon pencerahan dalam makna yang paling otentik.

4.2.       Voltaire (1694–1778): Toleransi, Kritik Agama, dan Satir Sosial

Voltaire adalah simbol utama Aufklärung Prancis yang menggunakan kepiawaian sastra dan kecerdasan satir untuk menyerang fanatisme, intoleransi, dan otoritarianisme agama. Dalam Traité sur la tolérance (1763), ia membela kebebasan beragama dan mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama iman, sebagaimana kasus eksekusi Jean Calas.³ Voltaire menentang keras dominasi gereja terhadap sains dan kebebasan berpikir, sambil mengadvokasi sistem hukum yang rasional dan etis.⁴ Gaya tulisannya yang tajam dan populis menjadikan ide-ide pencerahan dapat diakses oleh masyarakat luas, menjembatani antara elite intelektual dan pembaca umum.

4.3.       Jean-Jacques Rousseau (1712–1778): Kebebasan, Kontrak Sosial, dan Pendidikan Alamiah

Rousseau menghadirkan wajah lain dari Aufklärung—lebih sentimental dan radikal. Dalam Du contrat social (1762), ia mengembangkan gagasan tentang volonté générale (kehendak umum) yang menjadi dasar demokrasi partisipatif.⁵ Ia menganggap kebebasan bukan sekadar hak negatif (bebas dari), melainkan juga kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan hukum yang mengikat semua warga.⁶ Dalam bidang pendidikan, karya Émile (1762) menekankan pentingnya pendidikan yang alami, progresif, dan berpusat pada perkembangan individual anak, yang sangat memengaruhi teori pendidikan modern.⁷

4.4.       John Locke (1632–1704): Empirisme dan Hak-Hak Asasi Individu

Sebagai pemikir Inggris yang menjadi fondasi liberalisme klasik, Locke menyumbang kerangka teoritis penting bagi Aufklärung, khususnya dalam bidang epistemologi dan teori politik. Dalam Essay Concerning Human Understanding (1689), ia menolak ide bawaan (innate ideas) dan menegaskan bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman empiris.⁸ Di bidang politik, Two Treatises of Government (1689) memuat pembelaan terhadap hak milik, kebebasan individu, dan pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat.⁹ Locke juga merumuskan konsep toleransi religius yang menjadi dasar pemisahan gereja dan negara dalam demokrasi modern.¹⁰

4.5.       Baron de Montesquieu (1689–1755): Teori Pemisahan Kekuasaan

Montesquieu adalah pelopor dalam merancang arsitektur konstitusional modern. Dalam karyanya De l'esprit des lois (1748), ia mengembangkan prinsip pemisahan kekuasaan negara menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menghindari tirani.¹¹ Sistem ini menjadi fondasi utama bagi konstitusi negara-negara demokratis modern, termasuk Amerika Serikat.¹² Montesquieu juga memperkenalkan metode komparatif dalam studi politik, dengan menekankan bahwa bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan geografis masing-masing bangsa.


Tokoh-tokoh di atas merepresentasikan kompleksitas dan kekayaan intelektual Aufklärung. Meskipun berbeda dalam pendekatan dan latar belakang, mereka bersatu dalam semangat pembebasan manusia dari belenggu ketidaktahuan, penindasan, dan ketidakadilan, dengan menjadikan akal sebagai cahaya penuntun utama menuju kemajuan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” in Practical Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11–13.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28–33.

[3]                Voltaire, Treatise on Tolerance, trans. Brian Masters (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 7–15.

[4]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 134–140.

[5]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–60.

[6]                Judith Shklar, Men and Citizens: A Study of Rousseau's Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 91–93.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, Émile: Or On Education, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 7–21.

[8]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 109–117.

[9]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–293.

[10]             John Locke, A Letter Concerning Toleration, ed. James H. Tully (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 25–31.

[11]             Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–166.

[12]             Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 44–48.


5.           Aufklärung dan Perubahan Sosial-Politik

Gerakan Aufklärung atau The Enlightenment tidak hanya mempengaruhi dunia ide, tetapi juga memainkan peran kunci dalam mendorong transformasi sosial dan politik besar di Eropa dan dunia Atlantik pada abad ke-18 dan ke-19. Para pemikir pencerahan mengajukan gagasan tentang kebebasan individu, kesetaraan, hak-hak asasi manusia, dan bentuk pemerintahan yang rasional dan berbasis hukum. Gagasan-gagasan ini tidak tinggal dalam ranah teori, tetapi turut mengilhami gerakan revolusioner, pembentukan institusi demokratis, dan reformasi sosial yang luas.

5.1.       Pengaruh terhadap Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis

Ide-ide Aufklärung menjadi inspirasi utama dalam Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789), dua peristiwa yang secara langsung menantang sistem lama berbasis otoritas absolut dan hierarki sosial. Pemikiran John Locke tentang hak-hak alamiah—hak atas kehidupan, kebebasan, dan milik—menjadi fondasi penting bagi Declaration of Independence Amerika Serikat yang disusun oleh Thomas Jefferson.¹ Locke berpendapat bahwa pemerintahan yang melanggar hak-hak ini kehilangan legitimasi dan dapat digantikan oleh rakyat.²

Sementara itu, gagasan Rousseau tentang kehendak umum (volonté générale) dan kedaulatan rakyat menjadi inspirasi bagi revolusioner Prancis dalam menyusun Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara).³ Revolusi Prancis juga menunjukkan bagaimana gagasan kesetaraan dan kebebasan—yang sebelumnya hanya menjadi wacana filosofis—dapat menjadi kekuatan sosial-politik yang merombak struktur kekuasaan secara radikal.⁴

5.2.       Konsep Negara Hukum dan Pembatasan Kekuasaan

Pemikir Aufklärung, terutama Montesquieu, sangat menekankan pentingnya struktur pemerintahan yang menjamin kebebasan melalui sistem pembatasan kekuasaan. Dalam The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu mengembangkan teori pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, guna mencegah tirani dan korupsi.⁵ Gagasannya menjadi model bagi konstitusi Amerika Serikat dan banyak negara modern lainnya. Pemisahan kekuasaan memungkinkan adanya checks and balances yang memperkuat prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak individu.⁶

5.3.       Kelahiran Wacana Hak Asasi Manusia

Para pemikir Aufklärung juga memperkenalkan gagasan bahwa hak-hak tertentu melekat secara kodrati pada manusia, dan tidak dapat dicabut oleh negara atau lembaga agama. Konsep hak asasi manusia yang universal ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Locke, Voltaire, dan Kant, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak atas kebebasan berpikir, beragama, berekspresi, dan hidup secara bermartabat.⁷ Ini menjadi dasar etika politik modern yang menuntut negara untuk tidak hanya melindungi, tetapi juga menjamin hak-hak tersebut dalam hukum positif dan konstitusi.

5.4.       Transformasi Sosial: Pendidikan, Toleransi, dan Kesadaran Kewargaan

Aufklärung juga mendorong transformasi sosial yang lebih luas melalui advokasi terhadap pendidikan rasional dan penyebaran literasi. Para pemikir seperti Condorcet dan Diderot menekankan pentingnya pendidikan publik sebagai sarana untuk membentuk warga negara yang bebas dan rasional.⁸ Pendidikan dianggap sebagai alat emansipasi dari ketidaktahuan dan ketundukan pada otoritas tradisional. Selain itu, kampanye untuk toleransi beragama—khususnya oleh Voltaire—mengubah pandangan sosial terhadap pluralitas keyakinan dan menantang praktik-praktik diskriminatif yang selama ini dilegitimasi oleh negara dan gereja.⁹

Kesadaran kewargaan juga meningkat melalui gagasan kontrak sosial dan partisipasi politik. Masyarakat mulai melihat diri mereka bukan sebagai subjek pasif dari penguasa, tetapi sebagai warga negara (citoyens) yang aktif, kritis, dan berhak ikut menentukan arah kebijakan publik.¹⁰ Dengan demikian, Aufklärung bukan hanya gerakan ide, tetapi revolusi dalam cara manusia memahami posisi dirinya dalam masyarakat.

5.5.       Warisan Sosial-Politik dalam Dunia Modern

Warisan sosial-politik Aufklärung masih sangat terasa dalam tatanan dunia modern. Demokrasi liberal, sistem hukum konstitusional, hak-hak asasi manusia, dan pendidikan universal adalah pencapaian-pencapaian yang bersumber dari semangat pencerahan. Namun, sebagian kritik kontemporer menunjukkan bahwa warisan ini juga membawa tantangan, seperti rasionalisasi birokratis yang kaku, kolonialisme yang dibenarkan atas nama “kemajuan”, serta kesenjangan antara nilai-nilai universal dan praktik eksklusif di masyarakat modern.¹¹

Kendati demikian, semangat kritis, reflektif, dan emansipatoris dari Aufklärung tetap menjadi sumber daya moral dan intelektual dalam menghadapi krisis demokrasi, populisme, dan fundamentalisme dewasa ini.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.

[2]                Thomas Jefferson, The Declaration of Independence (Philadelphia: Pennsylvania State House, 1776), preamble.

[3]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 59–65.

[4]                Simon Schama, Citizens: A Chronicle of the French Revolution (New York: Vintage Books, 1989), 98–102.

[5]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–158.

[6]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 47–49.

[7]                Voltaire, Treatise on Tolerance, trans. Brian Masters (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 22–25; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 41–44.

[8]                Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 73–76.

[9]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Science of Freedom (New York: W. W. Norton & Company, 1977), 243–246.

[10]             Margaret C. Jacob, The Enlightenment: A Brief History with Documents (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), 115–117.

[11]             Michel Foucault, What is Enlightenment? in The Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.


6.           Kritik dan Batasan Aufklärung

Meskipun Aufklärung telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan intelektual dan tatanan sosial-politik dunia modern, gerakan ini tidak luput dari kritik dan problematisasi. Beberapa pemikir modern dan kontemporer menilai bahwa proyek pencerahan mengandung kontradiksi internal dan konsekuensi ideologis yang kompleks. Rasionalisme, universalisme, dan emansipasi yang diagungkan para pemikir pencerahan ternyata dalam praktiknya juga dapat melahirkan bentuk-bentuk dominasi baru, eksklusi sosial, dan kekerasan struktural.

6.1.       Rasionalisme Reduksionis dan Krisis Spiritualitas

Salah satu kritik mendasar terhadap Aufklärung berasal dari tuduhan bahwa ia telah mereduksi kompleksitas eksistensi manusia menjadi semata-mata persoalan rasionalitas. Dengan menempatkan akal sebagai otoritas tertinggi, pencerahan dinilai mengabaikan peran afeksi, imajinasi, dan spiritualitas dalam kehidupan manusia.¹ Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, dalam karya mereka Dialectic of Enlightenment (1947), berargumen bahwa rasionalitas instrumental yang berkembang dari semangat Aufklärung justru melahirkan sistem yang menindas, seperti kapitalisme industri dan totalitarianisme modern.² Bagi mereka, proyek pencerahan mengandung benih dominasi karena memperlakukan alam dan manusia sebagai objek teknis yang harus dikendalikan.

6.2.       Kolonialisme dan Superioritas Eropa

Kritik lain datang dari studi pascakolonial yang menyoroti bagaimana semangat pencerahan turut melegitimasi kolonialisme. Ide “kemajuan” dan “peradaban” yang digagas oleh pemikir Eropa digunakan untuk membenarkan misi imperialisme atas bangsa-bangsa yang dianggap “primitif” atau “tidak rasional.”³ Para penjajah mengklaim sedang menjalankan misi pencerahan dengan membawa ilmu pengetahuan, hukum, dan tata kelola kepada dunia non-Barat, padahal dalam praktiknya justru terjadi perampasan sumber daya dan penindasan budaya lokal.⁴ Gagasan universalitas dalam pencerahan dengan demikian dinilai sarat bias euro-sentris dan hegemonik.

6.3.       Ambiguitas antara Emansipasi dan Dominasi

Para pengkritik juga menunjukkan bahwa Aufklärung, meskipun berbicara atas nama emansipasi, justru menciptakan kerangka kuasa baru. Michel Foucault, misalnya, menyoroti bagaimana pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Dalam esainya What is Enlightenment?, Foucault menyatakan bahwa semangat pencerahan harus terus dikaji secara historis dan tidak boleh direifikasi sebagai narasi tunggal tentang kemajuan.⁵ Ia memperingatkan bahwa rasionalitas modern juga bisa menjadi instrumen disiplin, kontrol sosial, dan normalisasi perilaku dalam institusi seperti rumah sakit, sekolah, dan penjara.⁶ Kritik ini menekankan pentingnya melihat pencerahan bukan sebagai warisan yang final dan suci, tetapi sebagai medan wacana yang harus terus ditinjau secara kritis.

6.4.       Problem Universalisme dan Eksklusi Sosial

Gagasan universalisme moral yang diperjuangkan oleh Aufklärung, meskipun tampaknya inklusif, dalam praktiknya sering kali mengecualikan kelompok-kelompok tertentu seperti perempuan, non-kulit putih, atau kelas pekerja.⁷ Misalnya, dalam konteks Revolusi Prancis yang mengusung liberté, égalité, fraternité, hak-hak tersebut pada awalnya hanya berlaku bagi laki-laki warga negara yang memiliki properti.⁸ Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792), mengkritik para filsuf pencerahan yang berbicara tentang hak-hak manusia tetapi mengabaikan kesetaraan gender.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa fondasi moral Aufklärung perlu diperluas agar benar-benar menjangkau seluruh umat manusia secara adil.

6.5.       Tantangan Relativisme dan Krisis Otoritas Epistemik

Di era kontemporer, proyek pencerahan menghadapi tantangan baru berupa relativisme kultural dan krisis otoritas pengetahuan. Gagasan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui akal dan metode ilmiah mulai dipertanyakan dalam konteks post-truth dan banjir informasi digital.¹⁰ Banyak pihak mempertanyakan: Apakah rasio manusia benar-benar mampu menjangkau kebenaran universal, ataukah semua kebenaran bersifat lokal dan subjektif? Di sinilah Aufklärung diuji kembali: apakah ia dapat memperbarui dirinya untuk menjawab tantangan pluralisme dan fragmentasi nilai dalam masyarakat global?


Secara keseluruhan, kritik terhadap Aufklärung tidak lantas menolak seluruh pencapaiannya, melainkan menunjukkan bahwa proyek pencerahan harus terus direfleksikan, direvisi, dan dilengkapi agar tetap relevan dalam menjawab kompleksitas zaman. Spirit dasar Aufklärung—yakni keberanian untuk berpikir kritis dan berani menantang otoritas yang tak rasional—justru menuntut agar ia sendiri juga dapat dikritisi secara terus-menerus.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–29.

[2]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvii–xxiv.

[3]                Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton: Princeton University Press, 2003), 2–5.

[4]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 27–30.

[5]                Michel Foucault, “What Is Enlightenment?” in The Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–31.

[7]                Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W. W. Norton & Company, 2007), 88–90.

[8]                Joan B. Landes, Women and the Public Sphere in the Age of the French Revolution (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 43–47.

[9]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: Penguin Books, 1992), 5–12.

[10]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 11–16.


7.           Warisan Intelektual Aufklärung dalam Dunia Kontemporer

Warisan intelektual Aufklärung atau The Enlightenment masih sangat hidup dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer, baik dalam bidang filsafat, politik, ilmu pengetahuan, maupun sistem pendidikan. Meskipun gerakan ini berakar pada konteks historis abad ke-18 Eropa, ide-ide dasarnya tentang akal, kebebasan, dan kemajuan tetap menjadi fondasi utama dalam membentuk peradaban modern. Bahkan, berbagai institusi dan nilai-nilai yang saat ini dianggap sebagai “universal” tidak dapat dipahami tanpa menelusuri akar pencerahan.

7.1.       Pengaruh terhadap Filsafat dan Etika Modern

Dalam bidang filsafat, Aufklärung meninggalkan warisan yang kuat dalam bentuk rasionalisme kritis dan etika sekuler. Pemikiran Immanuel Kant tentang otonomi moral dan imperatif kategoris menjadi dasar bagi banyak sistem etika kontemporer, termasuk teori keadilan dan hak asasi manusia.¹ Dalam filsafat politik, prinsip bahwa individu adalah subjek moral dan politik yang otonom tetap menjadi pusat dalam diskusi tentang kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sosial.² Bahkan filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas mengembangkan apa yang disebut sebagai “pencerahan reflektif” (reflexive Enlightenment) untuk menyesuaikan semangat pencerahan dengan pluralitas zaman modern.³

7.2.       Fondasi Ilmu Pengetahuan dan Nalar Publik

Metodologi ilmiah yang berbasis rasionalitas, empirisme, dan falsifiabilitas merupakan warisan langsung dari semangat pencerahan. Kepercayaan bahwa alam semesta dapat dipahami melalui hukum-hukum yang rasional dan bahwa pengetahuan dapat diperoleh secara progresif melalui observasi dan eksperimentasi masih menjadi prinsip utama dalam sains kontemporer.⁴ Lebih dari itu, semangat pencerahan juga membentuk apa yang disebut Habermas sebagai ruang publik rasional, yaitu suatu arena di mana ide-ide diuji melalui diskusi terbuka berdasarkan argumentasi dan bukti, bukan otoritas.⁵ Hal ini menjadi fondasi bagi demokrasi deliberatif dan kebebasan pers.

7.3.       Sistem Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Konstitusi negara-negara demokratis modern sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang berkembang dalam era Aufklärung, termasuk pemisahan kekuasaan, kedaulatan rakyat, dan supremasi hukum.⁶ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) merupakan pengejawantahan paling nyata dari semangat pencerahan dalam skala global, menegaskan bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak dapat dicabut, terlepas dari bangsa, agama, atau jenis kelamin.⁷ Gagasan ini secara langsung bersumber dari prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Locke, Rousseau, Kant, dan Voltaire.

7.4.       Pendidikan sebagai Instrumen Emansipasi

Pendidikan publik, universal, dan berbasis nalar adalah salah satu proyek jangka panjang dari Aufklärung. Para pemikir pencerahan percaya bahwa kemajuan umat manusia bergantung pada perluasan literasi, sains, dan kemampuan berpikir kritis.⁸ Prinsip ini hingga kini mendasari kurikulum pendidikan modern yang menekankan pada rasionalitas, kebebasan berpikir, dan pembentukan warga negara yang mandiri. UNESCO, misalnya, menjadikan pendidikan sebagai alat utama untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, sejalan dengan nilai-nilai pencerahan.⁹

7.5.       Relevansi dalam Konteks Krisis Global dan Era Digital

Di tengah krisis global seperti perubahan iklim, meningkatnya otoritarianisme, dan disinformasi digital, warisan Aufklärung kembali mendapatkan relevansi. Keberanian untuk berpikir secara kritis, menolak dogmatisme, dan mengedepankan dialog rasional menjadi kebutuhan mendesak dalam masyarakat yang terpolarisasi.¹⁰ Tantangan kontemporer terhadap kebenaran ilmiah dan otoritas pengetahuan menguji ulang komitmen kita terhadap nilai-nilai pencerahan. Seperti dikemukakan oleh Timothy Garton Ash, “kita memerlukan pencerahan kedua,” yang lebih inklusif, sadar akan kelemahannya, dan mampu menjawab kompleksitas zaman.¹¹


Dengan demikian, warisan intelektual Aufklärung bukan hanya milik masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus membentuk arah pemikiran dan kebijakan global saat ini. Namun, agar tetap relevan, semangat pencerahan harus direfleksikan ulang dalam terang dinamika zaman: tidak dogmatis, tidak hegemonik, dan selalu terbuka terhadap koreksi rasional.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 39–42.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–11.

[3]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 108–112.

[4]                Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 130–135.

[5]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 27–35.

[6]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–166.

[7]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, adopted December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[8]                Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 89–91.

[9]                UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2017), 5–7.

[10]             Lee McIntyre, How to Talk to a Science Denier (Cambridge, MA: MIT Press, 2021), 19–22.

[11]             Timothy Garton Ash, Free Speech: Ten Principles for a Connected World (New Haven: Yale University Press, 2016), 256–258.


8.           Penutup

Gerakan Aufklärung atau The Enlightenment merupakan salah satu episode paling menentukan dalam sejarah pemikiran manusia. Ia meletakkan fondasi bagi dunia modern melalui penegasan atas peran akal (Vernunft), kebebasan berpikir, dan kritik terhadap otoritas yang tidak rasional. Di tangan para filsuf seperti Immanuel Kant, Voltaire, Rousseau, Locke, dan Montesquieu, pencerahan menjadi proyek intelektual yang membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan, ketakutan, dan penindasan struktural.¹

Sebagaimana telah dibahas, pengaruh Aufklärung merambah berbagai bidang: dari filsafat dan ilmu pengetahuan, hingga politik, pendidikan, dan hak asasi manusia. Ide-ide pencerahan menjadi pondasi bagi demokrasi konstitusional, rasionalitas publik, dan etika humanistik modern.² Namun, warisan ini juga tidak bebas dari problematika. Kritik terhadap rasionalisme reduksionis, bias euro-sentris, dan paradoks antara emansipasi dan dominasi, menunjukkan bahwa Aufklärung bukan proyek final, melainkan medan wacana yang terus mengalami reinterpretasi dan revisi.³

Di tengah tantangan abad ke-21 seperti otoritarianisme baru, disinformasi digital, krisis iklim, dan fragmentasi sosial, nilai-nilai pencerahan kembali diuji relevansinya. Apakah akal masih memiliki tempat utama dalam kehidupan publik? Dapatkah prinsip kebebasan, kesetaraan, dan toleransi bertahan di tengah gelombang populisme dan fundamentalisme? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kita untuk tidak hanya mengagumi warisan Aufklärung, tetapi juga menghidupkan kembali semangat kritisnya secara reflektif dan kontekstual.⁴

Dengan demikian, Aufklärung bukan sekadar masa lalu yang selesai, melainkan sumber daya intelektual dan moral yang perlu terus dihidupkan. Sebagaimana seruan Kant: Sapere aude!—beranilah berpikir sendiri.⁵ Dalam dunia yang makin kompleks dan terpolarisasi, keberanian untuk berpikir rasional, terbuka, dan bertanggung jawab tetap merupakan fondasi tak tergantikan bagi peradaban yang adil dan beradab.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” in Practical Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 11–13.

[2]                Jonathan I. Israel, Enlightenment Contested: Philosophy, Modernity, and the Emancipation of Man 1670–1752 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 19–22.

[3]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvii–xxiv.

[4]                Timothy Garton Ash, Free Speech: Ten Principles for a Connected World (New Haven: Yale University Press, 2016), 255–259.

[5]                Kant, “An Answer to the Question,” 13.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)

Ash, T. G. (2016). Free speech: Ten principles for a connected world. Yale University Press.

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Darnton, R. (1982). The literary underground of the Old Regime. Harvard University Press.

Foucault, M. (1984). What is Enlightenment? In P. Rabinow (Ed.), The Foucault reader (pp. 32–50). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Gay, P. (1966). The Enlightenment: An interpretation. The rise of modern paganism. W. W. Norton & Company.

Gay, P. (1977). The Enlightenment: An interpretation. The science of freedom. W. W. Norton & Company.

Goodman, D. (1994). The republic of letters: A cultural history of the French Enlightenment. Cornell University Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger, Trans.). MIT Press. (Original work published 1962)

Habermas, J. (1990). The philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Hunt, L. (2007). Inventing human rights: A history. W. W. Norton & Company.

Israel, J. I. (2001). Radical Enlightenment: Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford University Press.

Israel, J. I. (2006). Enlightenment contested: Philosophy, modernity, and the emancipation of man 1670–1752. Oxford University Press.

Jacob, M. C. (2001). The Enlightenment: A brief history with documents. Bedford/St. Martin’s.

Jefferson, T. (1776). The Declaration of Independence. Pennsylvania State House.

Kant, I. (1996). An answer to the question: What is Enlightenment? In M. J. Gregor (Ed. & Trans.), Practical philosophy (pp. 11–22). Cambridge University Press. (Original work published 1784)

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. J. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Landes, J. B. (1988). Women and the public sphere in the age of the French Revolution. Cornell University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Locke, J. (1983). A letter concerning toleration (J. H. Tully, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1689)

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

MacCulloch, D. (2003). The Reformation: A history. Viking.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

McIntyre, L. (2021). How to talk to a science denier. MIT Press.

Merriman, J. (2010). A history of modern Europe: From the Renaissance to the present (3rd ed.). W. W. Norton & Company.

Montesquieu, C. de. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans. & Eds.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Muthu, S. (2003). Enlightenment against empire. Princeton University Press.

Neiman, S. (2002). Evil in modern thought: An alternative history of philosophy. Princeton University Press.

Outram, D. (2019). The Enlightenment (3rd ed.). Cambridge University Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Rousseau, J.-J. (1979). Émile: Or on education (A. Bloom, Trans.). Basic Books. (Original work published 1762)

Schama, S. (1989). Citizens: A chronicle of the French Revolution. Vintage Books.

Shapin, S. (1996). The scientific revolution. University of Chicago Press.

Shklar, J. N. (1967). Men and citizens: A study of Rousseau's social theory. Cambridge University Press.

Shklar, J. N. (1987). Montesquieu. Oxford University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

UNESCO. (2017). Education for sustainable development goals: Learning objectives. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000247444

United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

Voltaire. (2000). Treatise on tolerance (B. Masters, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1763)

Wollstonecraft, M. (1992). A vindication of the rights of woman. Penguin Books. (Original work published 1792)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar