Aufklärung
Kebangkitan Akal dan Transformasi Dunia Modern
Alihkan ke: Akar Pemikiran Modern Eropa dan Dampaknya terhadap
Dunia.
Abstrak
Artikel ini mengkaji gerakan Aufklärung atau
The Enlightenment sebagai tonggak penting dalam sejarah pemikiran
modern, khususnya dalam membentuk fondasi rasionalitas, kebebasan, dan tata
sosial-politik dunia kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis, artikel
ini mengulas latar kemunculan Aufklärung di Eropa abad ke-18, fondasi
filosofisnya yang menekankan otonomi akal (Vernunft), serta
kontribusinya dalam merevolusi pemikiran etika, politik, dan pendidikan.
Pembahasan difokuskan pada tokoh-tokoh sentral seperti Immanuel Kant, Voltaire,
Rousseau, Locke, dan Montesquieu, serta pengaruh gagasan mereka terhadap
revolusi politik dan perkembangan hak asasi manusia. Di samping itu, artikel
ini juga menyoroti kritik terhadap Aufklärung, termasuk tuduhan
reduksionisme rasional, bias kolonial, dan ambiguitas universalismenya. Artikel
ini berakhir dengan analisis warisan intelektual Aufklärung dalam dunia
modern—dalam filsafat, ilmu pengetahuan, sistem demokrasi, dan pendidikan—sembari
menggarisbawahi pentingnya meninjau ulang semangat pencerahan secara reflektif
di tengah tantangan kontemporer seperti krisis epistemik, disinformasi digital,
dan fragmentasi sosial. Dengan demikian, Aufklärung diposisikan bukan
sebagai warisan statis, melainkan sebagai proyek pemikiran yang terus relevan
dan terbuka terhadap reinterpretasi kritis.
Kata Kunci: Aufklärung,
Pencerahan, Rasionalitas, Hak Asasi Manusia, Kritik Postmodern, Kant, Revolusi
Ilmiah, Warisan Intelektual, Etika Sekuler, Modernitas.
PEMBAHASAN
Kajian tentang Aufklärung dalam Konteks Sejarah Pemikiran
Modern
1.
Pendahuluan
Gerakan Aufklärung
atau The
Enlightenment merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah
pemikiran manusia yang telah membawa perubahan besar dalam cara manusia
memahami dunia, dirinya, dan masyarakat. Tumbuh di Eropa selama abad ke-18,
gerakan ini menandai pergeseran paradigmatik dari dominasi otoritas tradisional
dan dogma keagamaan menuju supremasi rasio, pengalaman empiris, dan kebebasan
berpikir sebagai sumber pengetahuan dan moralitas manusia. Melalui gerakan ini,
akal manusia (Vernunft) tidak lagi dipandang
sebagai subordinat wahyu atau tradisi, melainkan sebagai alat utama untuk
mencapai kemajuan, kebebasan, dan pencerahan diri.¹
Kemunculan
Aufklärung tidak terjadi dalam ruang hampa sejarah. Ia merupakan respons
terhadap berbagai dinamika yang terjadi pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18,
termasuk krisis otoritas gereja, ketidakpuasan terhadap pemerintahan absolutis,
serta perkembangan ilmu pengetahuan yang revolusioner.² Masyarakat Eropa, yang
selama berabad-abad hidup dalam kungkungan tatanan sosial-politik dan keagamaan
yang mengekang kebebasan berpikir, mulai mencari alternatif melalui filsafat,
sains, dan kritik sosial yang menantang status quo.³ Dalam konteks ini,
Aufklärung menjadi simbol “pencerahan” dari kegelapan ketidaktahuan dan
penindasan, dan pada saat yang sama menjadi proyek kolektif untuk membentuk
masyarakat yang lebih rasional, adil, dan bebas.
Salah satu tokoh
penting dalam merumuskan semangat pencerahan adalah filsuf Jerman Immanuel
Kant, yang dalam esainya Was ist Aufklärung? (1784),
mendefinisikan pencerahan sebagai “keluarnya manusia dari ketidakdewasaan
yang disebabkan oleh dirinya sendiri,” dan menyerukan seruan moral yang
terkenal: Sapere aude!—“Beranilah
berpikir sendiri!”⁴ Pernyataan ini bukan hanya refleksi filosofis, tetapi
juga seruan sosial untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada otoritas
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Kajian tentang
Aufklärung menjadi sangat penting, bukan hanya untuk memahami sejarah
intelektual Barat, tetapi juga untuk mengevaluasi warisan pemikiran modern yang
hingga kini masih membentuk banyak aspek kehidupan kontemporer, mulai dari
sistem pendidikan, prinsip-prinsip demokrasi, hingga nilai-nilai hak asasi
manusia. Dengan menelusuri akar historis dan konseptual dari gerakan ini, kita
dapat menilai secara lebih jernih kekuatan, ambiguitas, dan tantangan dari
warisan modernitas yang diwariskan oleh Aufklärung.
Footnotes
[1]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern
Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 3–5.
[2]
Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2019), 1–10.
[3]
Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the
Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001),
5–8.
[4]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” in Practical
Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 11.
2.
Konteks Historis dan Latar Sosial Aufklärung
Gerakan Aufklärung
muncul sebagai respons historis terhadap sejumlah kondisi sosial, politik, dan
intelektual yang berkembang di Eropa pasca-Renaissance dan selama Revolusi
Ilmiah. Menjelang abad ke-18, Eropa berada dalam fase transformasi besar,
ditandai oleh keretakan otoritas tradisional, pertumbuhan kelas menengah
terdidik, serta meningkatnya ketegangan antara rasionalitas ilmiah dan doktrin
keagamaan. Aufklärung menjadi produk dialektis dari zaman yang dilanda keraguan
terhadap sistem lama dan gairah baru terhadap kebebasan berpikir.
2.1.
Kemunduran Otoritas
Gereja dan Monarki Absolut
Sejak Reformasi
Protestan abad ke-16, kekuasaan Gereja Katolik mulai mengalami erosi serius,
terutama di wilayah-wilayah yang terpengaruh oleh pemikiran Martin Luther, John
Calvin, dan tokoh-tokoh Protestan lainnya. Fragmentasi otoritas agama ini
membuka ruang bagi pluralitas pemikiran keagamaan dan mendorong munculnya
diskursus rasional dalam ranah iman.¹ Di sisi lain, monarki absolut yang
menjadi karakteristik utama sistem politik Eropa awal modern mulai dikritik
sebagai sistem yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan individu dan
partisipasi politik.² Negara-negara seperti Prancis, dengan simbol
absolutismenya Louis XIV, menjadi sasaran kritik para filsuf pencerahan seperti
Voltaire dan Montesquieu yang menuntut pembatasan kekuasaan dan pembagian
kekuasaan negara.³
2.2.
Dampak Revolusi
Ilmiah dan Kemenangan Metode Empiris
Abad ke-17 telah
menyaksikan lahirnya Revolusi Ilmiah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti
Galileo Galilei, René Descartes, Johannes Kepler, dan Isaac Newton.
Penemuan-penemuan dalam fisika, astronomi, dan matematika tidak hanya mengubah
pemahaman manusia tentang alam semesta, tetapi juga memperkenalkan metode
ilmiah yang berbasis observasi, eksperimen, dan penalaran deduktif sebagai cara
baru untuk memperoleh pengetahuan.⁴ Keberhasilan ilmu pengetahuan ini
menimbulkan optimisme besar terhadap kemampuan akal manusia untuk menguasai
alam dan memecahkan persoalan-persoalan sosial secara rasional. Semangat ini
menyatu dengan cita-cita Aufklärung untuk menolak pengetahuan yang dogmatis dan
membangun masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip rasional.⁵
2.3.
Kelahiran Ruang
Publik dan Budaya Literasi
Pertumbuhan pesat
industri percetakan dan munculnya media baru seperti surat kabar, jurnal,
pamflet, dan ensiklopedia juga memainkan peran penting dalam menyebarkan
ide-ide pencerahan. Masyarakat mulai memiliki akses yang lebih luas terhadap
bacaan-bacaan ilmiah dan filosofis, yang sebelumnya terbatas pada kalangan
elite.⁶ Konsep “ruang publik” (public sphere) yang dikemukakan
oleh Jürgen Habermas menggambarkan munculnya forum diskusi bebas, seperti
salon-salon di Prancis dan kafe-kafe di Inggris, tempat gagasan-gagasan
rasional dibahas oleh kaum borjuis terdidik tanpa intervensi langsung dari
negara atau gereja.⁷ Budaya diskursif inilah yang mematangkan iklim intelektual
tempat ide-ide Aufklärung tumbuh dan menyebar ke seluruh Eropa.
2.4.
Perubahan Struktur
Sosial dan Ekonomi
Transformasi sosial
akibat pertumbuhan ekonomi dan ekspansi kolonial juga berdampak signifikan.
Kelas menengah baru—pedagang, profesional, ilmuwan, dan cendekiawan—muncul
sebagai kekuatan sosial baru yang menuntut representasi, kebebasan sipil, dan
reformasi pendidikan.⁸ Mereka tidak lagi puas dengan warisan aristokratis dan
spiritualisme feodal, tetapi justru mencari tatanan sosial baru yang dapat
menjamin kemajuan, rasionalitas, dan kesejahteraan kolektif. Aufklärung
menyediakan kerangka konseptual yang ideal untuk mengartikulasikan
aspirasi-aspirasi baru tersebut.
Secara keseluruhan,
Aufklärung tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi sejarah Eropa modern awal
yang sarat dengan perubahan dramatis. Ia menjadi respons intelektual terhadap
keruntuhan struktur lama dan sekaligus proyek pemikiran untuk membangun dunia baru
yang didasarkan pada kebebasan, akal, dan otonomi individu.
Footnotes
[1]
Diarmaid MacCulloch, The Reformation: A History (New York:
Viking, 2003), 678–682.
[2]
John Merriman, A History of Modern Europe: From the Renaissance to
the Present, 3rd ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2010),
468–472.
[3]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern
Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 121–127.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 101–104.
[5]
Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2019), 34–36.
[6]
Robert Darnton, The Literary Underground of the Old Regime
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 38–42.
[7]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas
Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 27–56.
[8]
Jonathan Dewald, The European Nobility, 1400–1800 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 199–205.
3.
Fondasi Filosofis Aufklärung
Gerakan Aufklärung
tidak hanya merupakan revolusi sosial dan politik, tetapi juga sebuah proyek
filsafat besar yang menempatkan akal (Vernunft) sebagai pusat segala
pertimbangan epistemologis, etis, dan politis. Para pemikir Aufklärung
membangun landasan baru untuk memahami dunia berdasarkan prinsip-prinsip
rasional, otonomi individu, dan universalisme moral, menolak klaim otoritas
yang tidak dapat diuji secara logis maupun empiris.
3.1.
Konsep Vernunft dan
Rasionalitas
Pada inti filsafat
Aufklärung terletak penghormatan mendalam terhadap akal (Vernunft)
sebagai kapasitas manusia yang paling mulia. Akal dipandang tidak hanya sebagai
alat pengetahuan, tetapi juga sebagai dasar moral dan politik. Immanuel Kant
menegaskan bahwa Aufklärung adalah “keluarnya manusia dari keadaan tidak
dewasa yang disebabkan oleh dirinya sendiri,” dan ketidakdewasaan ini,
menurutnya, adalah ketidakmampuan untuk menggunakan akal secara bebas tanpa
bimbingan orang lain.¹ Dengan kata lain, Sapere aude—“Beranilah
berpikir sendiri”—menjadi semboyan filsafat pencerahan yang menolak
ketergantungan pada dogma atau otoritas eksternal yang tidak rasional.²
Penggunaan akal
sebagai sumber otoritas baru mengubah cara berpikir masyarakat tentang
pengetahuan, moralitas, dan pemerintahan. Tidak ada klaim yang dianggap sah
kecuali jika dapat dipertanggungjawabkan melalui nalar yang terbuka untuk
diskusi publik dan argumentasi logis.³ Inilah cikal bakal prinsip rasionalisme
kritis yang mendasari ilmu pengetahuan modern dan sistem etika sekuler.
3.2.
Kebebasan Berpikir
dan Otonomi Moral
Filsafat Aufklärung
menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpikir, bukan sekadar sebagai hak
individual, tetapi sebagai kewajiban moral. Menurut Kant, manusia wajib
menggunakan akalnya secara publik demi kemajuan peradaban.⁴ Dalam Critique
of Practical Reason, ia memperkenalkan ide imperatif
kategoris—sebuah prinsip etis universal yang lahir dari akal
praktis dan bukan dari otoritas agama atau adat.⁵
Otonomi moral
menjadi gagasan kunci: individu yang tercerahkan adalah mereka yang mampu
menentukan tindakan berdasarkan prinsip universal yang disepakati oleh akal
budi, bukan karena takut hukuman atau tunduk pada tradisi.⁶ Prinsip ini
menggeser sumber etika dari luar diri ke dalam kesadaran rasional manusia, dan
menjadi landasan etika humanistik modern.
3.3.
Sekularisasi
Pengetahuan dan Etika Humanistik
Salah satu dampak
besar Aufklärung adalah sekularisasi pengetahuan. Dunia tidak lagi dipahami
semata-mata melalui narasi teologis, melainkan dijelaskan melalui
prinsip-prinsip rasional dan empiris. Para filsuf seperti Denis Diderot dan
d’Alembert menyusun Encyclopédie bukan hanya sebagai
proyek pendidikan, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap pengetahuan
yang dikontrol gereja.⁷
Sekularisasi ini
turut melahirkan etika humanistik: sistem nilai yang berakar pada harkat dan
martabat manusia, bukan pada wahyu ilahi. Voltaire, misalnya, dalam banyak
tulisannya menekankan pentingnya toleransi dan kemanusiaan sebagai dasar etika,
menolak kekerasan atas nama agama dan mendukung kebebasan beragama sebagai hak
asasi.⁸ Ini menunjukkan bahwa Aufklärung, meskipun seringkali bersifat anti-dogmatis,
tidak anti-agama, melainkan menuntut agar agama tunduk pada akal dan prinsip
moral universal.
3.4.
Proyek Universalisme
dan Kemajuan
Filsafat Aufklärung
bersifat universalistik. Para pemikirnya meyakini bahwa prinsip-prinsip
rasional berlaku secara umum, terlepas dari budaya, agama, atau status sosial.
Kemajuan dianggap dapat dicapai melalui penerapan akal dalam semua bidang
kehidupan: politik, pendidikan, ekonomi, dan hukum.⁹ Hal ini terlihat dalam
gagasan kontrak sosial (Rousseau), pembagian kekuasaan (Montesquieu), dan
hak-hak alami (Locke), yang semuanya menyatakan bahwa rasio manusia mampu
membangun tatanan masyarakat yang adil dan beradab.¹⁰
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” in Practical
Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 11.
[2]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern
Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 8–10.
[3]
Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2019), 38.
[4]
Kant, “An Answer to the Question,” 12–13.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary J.
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28–32.
[6]
Susan Neiman, Evil in Modern Thought: An Alternative History of
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2002), 133–137.
[7]
Dena Goodman, The Republic of Letters: A Cultural History of the
French Enlightenment (Ithaca: Cornell University Press, 1994), 46–51.
[8]
Voltaire, Treatise on Tolerance (New York: Cambridge
University Press, 2000), 27–34.
[9]
Jonathan I. Israel, Enlightenment Contested: Philosophy, Modernity,
and the Emancipation of Man 1670–1752 (Oxford: Oxford University Press,
2006), 101–108.
[10]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290; Jean-Jacques Rousseau, The
Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968),
49–50.
4.
Tokoh-Tokoh Sentral Aufklärung dan
Gagasan-Gagasannya
Gerakan Aufklärung
tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh intelektual besar yang
gagasan-gagasannya membentuk dasar filosofis, politik, dan moral dunia modern.
Para filsuf pencerahan, meskipun berasal dari latar budaya yang berbeda,
berbagi semangat yang sama: menempatkan akal sebagai pedoman utama dalam
menilai kebenaran, menolak dogmatisme, dan membela kebebasan serta kemanusiaan.
Bagian ini menyoroti lima tokoh sentral: Immanuel Kant, Voltaire,
Jean-Jacques
Rousseau, John Locke, dan Baron de
Montesquieu, beserta kontribusi mereka terhadap gerakan
Aufklärung.
4.1.
Immanuel Kant
(1724–1804): Rasionalitas dan Otonomi Moral
Sebagai filsuf utama
Aufklärung Jerman, Kant menyumbangkan landasan epistemologis dan etis yang
mendalam. Dalam esainya yang terkenal, Was ist Aufklärung? (1784), ia
mendefinisikan pencerahan sebagai proses “keluar dari ketidakdewasaan”
melalui penggunaan akal secara bebas dan publik.¹ Gagasan otonomi moral dalam Critique
of Practical Reason menyatakan bahwa tindakan manusia harus
didasarkan pada imperatif kategoris, yaitu prinsip
moral universal yang lahir dari rasionalitas praktis, bukan dari tekanan
eksternal atau tradisi.² Kant membangun filsafat moral yang memerdekakan
individu untuk berpikir dan bertindak berdasarkan akal budi, menjadikan dirinya
ikon pencerahan
dalam makna yang paling otentik.
4.2.
Voltaire
(1694–1778): Toleransi, Kritik Agama, dan Satir Sosial
Voltaire adalah
simbol utama Aufklärung Prancis yang menggunakan kepiawaian sastra dan
kecerdasan satir untuk menyerang fanatisme, intoleransi, dan otoritarianisme
agama. Dalam Traité sur la tolérance (1763), ia
membela kebebasan beragama dan mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama
iman, sebagaimana kasus eksekusi Jean Calas.³ Voltaire menentang keras dominasi
gereja terhadap sains dan kebebasan berpikir, sambil mengadvokasi sistem hukum
yang rasional dan etis.⁴ Gaya tulisannya yang tajam dan populis menjadikan
ide-ide pencerahan dapat diakses oleh masyarakat luas, menjembatani antara
elite intelektual dan pembaca umum.
4.3.
Jean-Jacques
Rousseau (1712–1778): Kebebasan, Kontrak Sosial, dan Pendidikan Alamiah
Rousseau
menghadirkan wajah lain dari Aufklärung—lebih sentimental dan radikal. Dalam Du
contrat social (1762), ia mengembangkan gagasan tentang volonté
générale (kehendak umum) yang menjadi dasar demokrasi
partisipatif.⁵ Ia menganggap kebebasan bukan sekadar hak negatif (bebas dari),
melainkan juga kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan hukum yang
mengikat semua warga.⁶ Dalam bidang pendidikan, karya Émile
(1762) menekankan pentingnya pendidikan yang alami, progresif, dan berpusat
pada perkembangan individual anak, yang sangat memengaruhi teori pendidikan
modern.⁷
4.4.
John Locke
(1632–1704): Empirisme dan Hak-Hak Asasi Individu
Sebagai pemikir
Inggris yang menjadi fondasi liberalisme klasik, Locke menyumbang kerangka
teoritis penting bagi Aufklärung, khususnya dalam bidang epistemologi dan teori
politik. Dalam Essay Concerning Human Understanding
(1689), ia menolak ide bawaan (innate ideas) dan menegaskan bahwa
pengetahuan bersumber dari pengalaman empiris.⁸ Di bidang politik, Two
Treatises of Government (1689) memuat pembelaan terhadap hak milik,
kebebasan individu, dan pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat.⁹ Locke
juga merumuskan konsep toleransi religius yang menjadi
dasar pemisahan gereja dan negara dalam demokrasi modern.¹⁰
4.5.
Baron de Montesquieu
(1689–1755): Teori Pemisahan Kekuasaan
Montesquieu adalah
pelopor dalam merancang arsitektur konstitusional modern. Dalam karyanya De
l'esprit des lois (1748), ia mengembangkan prinsip pemisahan
kekuasaan negara menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menghindari
tirani.¹¹ Sistem ini menjadi fondasi utama bagi konstitusi negara-negara
demokratis modern, termasuk Amerika Serikat.¹² Montesquieu juga memperkenalkan
metode komparatif dalam studi politik, dengan menekankan bahwa bentuk
pemerintahan harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan geografis masing-masing
bangsa.
Tokoh-tokoh di atas
merepresentasikan kompleksitas dan kekayaan intelektual Aufklärung. Meskipun
berbeda dalam pendekatan dan latar belakang, mereka bersatu dalam semangat
pembebasan manusia dari belenggu ketidaktahuan, penindasan, dan ketidakadilan,
dengan menjadikan akal sebagai cahaya penuntun utama menuju kemajuan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” in Practical
Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 11–13.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary J.
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28–33.
[3]
Voltaire, Treatise on Tolerance, trans. Brian Masters
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 7–15.
[4]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Rise of Modern
Paganism (New York: W. W. Norton & Company, 1966), 134–140.
[5]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–60.
[6]
Judith Shklar, Men and Citizens: A Study of Rousseau's Social
Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 91–93.
[7]
Jean-Jacques Rousseau, Émile: Or On Education, trans. Allan
Bloom (New York: Basic Books, 1979), 7–21.
[8]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 109–117.
[9]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–293.
[10]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, ed. James H. Tully
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 25–31.
[11]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M.
Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 155–166.
[12]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 44–48.
5.
Aufklärung dan Perubahan Sosial-Politik
Gerakan Aufklärung
atau The
Enlightenment tidak hanya mempengaruhi dunia ide, tetapi juga
memainkan peran kunci dalam mendorong transformasi sosial dan politik besar di
Eropa dan dunia Atlantik pada abad ke-18 dan ke-19. Para pemikir pencerahan
mengajukan gagasan tentang kebebasan individu, kesetaraan, hak-hak asasi
manusia, dan bentuk pemerintahan yang rasional dan berbasis hukum. Gagasan-gagasan
ini tidak tinggal dalam ranah teori, tetapi turut mengilhami gerakan
revolusioner, pembentukan institusi demokratis, dan reformasi sosial yang luas.
5.1.
Pengaruh terhadap
Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis
Ide-ide Aufklärung
menjadi inspirasi utama dalam Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis
(1789), dua peristiwa yang secara langsung menantang sistem lama berbasis
otoritas absolut dan hierarki sosial. Pemikiran John Locke tentang hak-hak
alamiah—hak atas kehidupan, kebebasan, dan milik—menjadi fondasi penting bagi Declaration
of Independence Amerika Serikat yang disusun oleh Thomas
Jefferson.¹ Locke berpendapat bahwa pemerintahan yang melanggar hak-hak ini
kehilangan legitimasi dan dapat digantikan oleh rakyat.²
Sementara itu,
gagasan Rousseau tentang kehendak umum (volonté générale)
dan kedaulatan rakyat menjadi inspirasi bagi revolusioner Prancis dalam
menyusun Déclaration
des Droits de l’Homme et du Citoyen (Deklarasi Hak Asasi Manusia
dan Warga Negara).³ Revolusi Prancis juga menunjukkan bagaimana gagasan
kesetaraan dan kebebasan—yang sebelumnya hanya menjadi wacana filosofis—dapat
menjadi kekuatan sosial-politik yang merombak struktur kekuasaan secara
radikal.⁴
5.2.
Konsep Negara Hukum
dan Pembatasan Kekuasaan
Pemikir Aufklärung,
terutama Montesquieu, sangat menekankan pentingnya struktur pemerintahan yang
menjamin kebebasan melalui sistem pembatasan kekuasaan. Dalam The
Spirit of the Laws (1748), Montesquieu mengembangkan teori
pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, guna mencegah
tirani dan korupsi.⁵ Gagasannya menjadi model bagi konstitusi Amerika Serikat
dan banyak negara modern lainnya. Pemisahan kekuasaan memungkinkan adanya checks
and balances yang memperkuat prinsip keadilan dan perlindungan
terhadap hak-hak individu.⁶
5.3.
Kelahiran Wacana Hak
Asasi Manusia
Para pemikir
Aufklärung juga memperkenalkan gagasan bahwa hak-hak tertentu melekat secara
kodrati pada manusia, dan tidak dapat dicabut oleh negara atau lembaga agama.
Konsep hak asasi manusia yang universal ini, sebagaimana terlihat dalam
karya-karya Locke, Voltaire, dan Kant, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki
hak atas kebebasan berpikir, beragama, berekspresi, dan hidup secara
bermartabat.⁷ Ini menjadi dasar etika politik modern yang menuntut negara untuk
tidak hanya melindungi, tetapi juga menjamin hak-hak tersebut dalam hukum
positif dan konstitusi.
5.4.
Transformasi Sosial:
Pendidikan, Toleransi, dan Kesadaran Kewargaan
Aufklärung juga
mendorong transformasi sosial yang lebih luas melalui advokasi terhadap
pendidikan rasional dan penyebaran literasi. Para pemikir seperti Condorcet dan
Diderot menekankan pentingnya pendidikan publik sebagai sarana untuk membentuk
warga negara yang bebas dan rasional.⁸ Pendidikan dianggap sebagai alat
emansipasi dari ketidaktahuan dan ketundukan pada otoritas tradisional. Selain
itu, kampanye untuk toleransi beragama—khususnya oleh Voltaire—mengubah
pandangan sosial terhadap pluralitas keyakinan dan menantang praktik-praktik
diskriminatif yang selama ini dilegitimasi oleh negara dan gereja.⁹
Kesadaran kewargaan
juga meningkat melalui gagasan kontrak sosial dan partisipasi politik.
Masyarakat mulai melihat diri mereka bukan sebagai subjek pasif dari penguasa,
tetapi sebagai warga negara (citoyens) yang aktif, kritis, dan
berhak ikut menentukan arah kebijakan publik.¹⁰ Dengan demikian, Aufklärung
bukan hanya gerakan ide, tetapi revolusi dalam cara manusia memahami posisi
dirinya dalam masyarakat.
5.5.
Warisan
Sosial-Politik dalam Dunia Modern
Warisan sosial-politik
Aufklärung masih sangat terasa dalam tatanan dunia modern. Demokrasi liberal,
sistem hukum konstitusional, hak-hak asasi manusia, dan pendidikan universal
adalah pencapaian-pencapaian yang bersumber dari semangat pencerahan. Namun,
sebagian kritik kontemporer menunjukkan bahwa warisan ini juga membawa
tantangan, seperti rasionalisasi birokratis yang kaku, kolonialisme yang
dibenarkan atas nama “kemajuan”, serta kesenjangan antara nilai-nilai
universal dan praktik eksklusif di masyarakat modern.¹¹
Kendati demikian,
semangat kritis, reflektif, dan emansipatoris dari Aufklärung tetap menjadi
sumber daya moral dan intelektual dalam menghadapi krisis demokrasi, populisme,
dan fundamentalisme dewasa ini.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.
[2]
Thomas Jefferson, The Declaration of Independence
(Philadelphia: Pennsylvania State House, 1776), preamble.
[3]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 59–65.
[4]
Simon Schama, Citizens: A Chronicle of the French Revolution
(New York: Vintage Books, 1989), 98–102.
[5]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M.
Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 155–158.
[6]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 47–49.
[7]
Voltaire, Treatise on Tolerance, trans. Brian Masters
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 22–25; Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 41–44.
[8]
Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2019), 73–76.
[9]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation. The Science of
Freedom (New York: W. W. Norton & Company, 1977), 243–246.
[10]
Margaret C. Jacob, The Enlightenment: A Brief History with
Documents (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), 115–117.
[11]
Michel Foucault, What is Enlightenment? in The Foucault
Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.
6.
Kritik dan Batasan Aufklärung
Meskipun Aufklärung
telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan intelektual dan tatanan
sosial-politik dunia modern, gerakan ini tidak luput dari kritik dan
problematisasi. Beberapa pemikir modern dan kontemporer menilai bahwa proyek
pencerahan mengandung kontradiksi internal dan konsekuensi ideologis yang
kompleks. Rasionalisme, universalisme, dan emansipasi yang diagungkan para pemikir
pencerahan ternyata dalam praktiknya juga dapat melahirkan bentuk-bentuk
dominasi baru, eksklusi sosial, dan kekerasan struktural.
6.1.
Rasionalisme
Reduksionis dan Krisis Spiritualitas
Salah satu kritik
mendasar terhadap Aufklärung berasal dari tuduhan bahwa ia telah mereduksi
kompleksitas eksistensi manusia menjadi semata-mata persoalan rasionalitas.
Dengan menempatkan akal sebagai otoritas tertinggi, pencerahan dinilai
mengabaikan peran afeksi, imajinasi, dan spiritualitas dalam kehidupan
manusia.¹ Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, dalam karya mereka Dialectic
of Enlightenment (1947), berargumen bahwa rasionalitas instrumental
yang berkembang dari semangat Aufklärung justru melahirkan sistem yang
menindas, seperti kapitalisme industri dan totalitarianisme modern.² Bagi
mereka, proyek pencerahan mengandung benih dominasi karena memperlakukan alam
dan manusia sebagai objek teknis yang harus dikendalikan.
6.2.
Kolonialisme dan
Superioritas Eropa
Kritik lain datang
dari studi pascakolonial yang menyoroti bagaimana semangat pencerahan turut
melegitimasi kolonialisme. Ide “kemajuan” dan “peradaban” yang
digagas oleh pemikir Eropa digunakan untuk membenarkan misi imperialisme atas
bangsa-bangsa yang dianggap “primitif” atau “tidak rasional.”³
Para penjajah mengklaim sedang menjalankan misi pencerahan dengan membawa ilmu
pengetahuan, hukum, dan tata kelola kepada dunia non-Barat, padahal dalam
praktiknya justru terjadi perampasan sumber daya dan penindasan budaya lokal.⁴
Gagasan universalitas dalam pencerahan dengan demikian dinilai sarat bias
euro-sentris dan hegemonik.
6.3.
Ambiguitas antara
Emansipasi dan Dominasi
Para pengkritik juga
menunjukkan bahwa Aufklärung, meskipun berbicara atas nama emansipasi, justru
menciptakan kerangka kuasa baru. Michel Foucault, misalnya, menyoroti bagaimana
pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Dalam esainya What is
Enlightenment?, Foucault menyatakan bahwa semangat pencerahan harus
terus dikaji secara historis dan tidak boleh direifikasi sebagai narasi tunggal
tentang kemajuan.⁵ Ia memperingatkan bahwa rasionalitas modern juga bisa
menjadi instrumen disiplin, kontrol sosial, dan normalisasi perilaku dalam
institusi seperti rumah sakit, sekolah, dan penjara.⁶ Kritik ini menekankan
pentingnya melihat pencerahan bukan sebagai warisan yang final dan suci, tetapi
sebagai medan wacana yang harus terus ditinjau secara kritis.
6.4.
Problem
Universalisme dan Eksklusi Sosial
Gagasan
universalisme moral yang diperjuangkan oleh Aufklärung, meskipun tampaknya
inklusif, dalam praktiknya sering kali mengecualikan kelompok-kelompok tertentu
seperti perempuan, non-kulit putih, atau kelas pekerja.⁷ Misalnya, dalam
konteks Revolusi Prancis yang mengusung liberté, égalité, fraternité,
hak-hak tersebut pada awalnya hanya berlaku bagi laki-laki warga negara yang
memiliki properti.⁸ Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Woman
(1792), mengkritik para filsuf pencerahan yang berbicara tentang hak-hak
manusia tetapi mengabaikan kesetaraan gender.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa
fondasi moral Aufklärung perlu diperluas agar benar-benar menjangkau seluruh
umat manusia secara adil.
6.5.
Tantangan
Relativisme dan Krisis Otoritas Epistemik
Di era kontemporer,
proyek pencerahan menghadapi tantangan baru berupa relativisme kultural dan
krisis otoritas pengetahuan. Gagasan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui akal
dan metode ilmiah mulai dipertanyakan dalam konteks post-truth dan banjir informasi
digital.¹⁰ Banyak pihak mempertanyakan: Apakah rasio manusia benar-benar mampu
menjangkau kebenaran universal, ataukah semua kebenaran bersifat lokal dan
subjektif? Di sinilah Aufklärung diuji kembali: apakah ia dapat memperbarui
dirinya untuk menjawab tantangan pluralisme dan fragmentasi nilai dalam
masyarakat global?
Secara keseluruhan,
kritik terhadap Aufklärung tidak lantas menolak seluruh pencapaiannya,
melainkan menunjukkan bahwa proyek pencerahan harus terus direfleksikan,
direvisi, dan dilengkapi agar tetap relevan dalam menjawab kompleksitas zaman.
Spirit dasar Aufklärung—yakni keberanian untuk berpikir kritis dan berani
menantang otoritas yang tak rasional—justru menuntut agar ia sendiri juga dapat
dikritisi secara terus-menerus.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–29.
[2]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvii–xxiv.
[3]
Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton:
Princeton University Press, 2003), 2–5.
[4]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
27–30.
[5]
Michel Foucault, “What Is Enlightenment?” in The Foucault Reader,
ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–31.
[7]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W. W.
Norton & Company, 2007), 88–90.
[8]
Joan B. Landes, Women and the Public Sphere in the Age of the
French Revolution (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 43–47.
[9]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London:
Penguin Books, 1992), 5–12.
[10]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
11–16.
7.
Warisan Intelektual Aufklärung dalam Dunia
Kontemporer
Warisan intelektual Aufklärung
atau The
Enlightenment masih sangat hidup dalam berbagai aspek kehidupan
kontemporer, baik dalam bidang filsafat, politik, ilmu pengetahuan, maupun
sistem pendidikan. Meskipun gerakan ini berakar pada konteks historis abad
ke-18 Eropa, ide-ide dasarnya tentang akal, kebebasan, dan kemajuan tetap
menjadi fondasi utama dalam membentuk peradaban modern. Bahkan, berbagai
institusi dan nilai-nilai yang saat ini dianggap sebagai “universal” tidak
dapat dipahami tanpa menelusuri akar pencerahan.
7.1.
Pengaruh terhadap
Filsafat dan Etika Modern
Dalam bidang
filsafat, Aufklärung
meninggalkan warisan yang kuat dalam bentuk rasionalisme kritis dan etika
sekuler. Pemikiran Immanuel Kant tentang otonomi moral dan imperatif
kategoris menjadi dasar bagi banyak sistem etika kontemporer,
termasuk teori keadilan dan hak asasi manusia.¹ Dalam filsafat politik, prinsip
bahwa individu adalah subjek moral dan politik yang otonom tetap menjadi pusat
dalam diskusi tentang kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sosial.² Bahkan
filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas mengembangkan apa yang disebut
sebagai “pencerahan reflektif” (reflexive Enlightenment) untuk
menyesuaikan semangat pencerahan dengan pluralitas zaman modern.³
7.2.
Fondasi Ilmu
Pengetahuan dan Nalar Publik
Metodologi ilmiah
yang berbasis rasionalitas, empirisme, dan falsifiabilitas merupakan warisan
langsung dari semangat pencerahan. Kepercayaan bahwa alam semesta dapat
dipahami melalui hukum-hukum yang rasional dan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh secara progresif melalui observasi dan eksperimentasi masih menjadi
prinsip utama dalam sains kontemporer.⁴ Lebih dari itu, semangat pencerahan juga
membentuk apa yang disebut Habermas sebagai ruang publik rasional, yaitu suatu
arena di mana ide-ide diuji melalui diskusi terbuka berdasarkan argumentasi dan
bukti, bukan otoritas.⁵ Hal ini menjadi fondasi bagi demokrasi deliberatif dan
kebebasan pers.
7.3.
Sistem Demokrasi dan
Hak Asasi Manusia
Konstitusi
negara-negara demokratis modern sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang
berkembang dalam era Aufklärung, termasuk pemisahan kekuasaan, kedaulatan
rakyat, dan supremasi hukum.⁶ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948)
merupakan pengejawantahan paling nyata dari semangat pencerahan dalam skala
global, menegaskan bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak dapat dicabut,
terlepas dari bangsa, agama, atau jenis kelamin.⁷ Gagasan ini secara langsung
bersumber dari prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Locke, Rousseau, Kant,
dan Voltaire.
7.4.
Pendidikan sebagai
Instrumen Emansipasi
Pendidikan publik,
universal, dan berbasis nalar adalah salah satu proyek jangka panjang dari
Aufklärung. Para pemikir pencerahan percaya bahwa kemajuan umat manusia
bergantung pada perluasan literasi, sains, dan kemampuan berpikir kritis.⁸
Prinsip ini hingga kini mendasari kurikulum pendidikan modern yang menekankan
pada rasionalitas, kebebasan berpikir, dan pembentukan warga negara yang
mandiri. UNESCO, misalnya, menjadikan pendidikan sebagai alat utama untuk
menciptakan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, sejalan dengan
nilai-nilai pencerahan.⁹
7.5.
Relevansi dalam
Konteks Krisis Global dan Era Digital
Di tengah krisis
global seperti perubahan iklim, meningkatnya otoritarianisme, dan disinformasi
digital, warisan Aufklärung kembali mendapatkan relevansi. Keberanian untuk
berpikir secara kritis, menolak dogmatisme, dan mengedepankan dialog rasional
menjadi kebutuhan mendesak dalam masyarakat yang terpolarisasi.¹⁰ Tantangan
kontemporer terhadap kebenaran ilmiah dan otoritas pengetahuan menguji ulang
komitmen kita terhadap nilai-nilai pencerahan. Seperti dikemukakan oleh Timothy
Garton Ash, “kita memerlukan pencerahan kedua,” yang lebih inklusif,
sadar akan kelemahannya, dan mampu menjawab kompleksitas zaman.¹¹
Dengan demikian,
warisan intelektual Aufklärung bukan hanya milik masa lalu, melainkan warisan
hidup yang terus membentuk arah pemikiran dan kebijakan global saat ini. Namun,
agar tetap relevan, semangat pencerahan harus direfleksikan ulang dalam terang
dinamika zaman: tidak dogmatis, tidak hegemonik, dan selalu terbuka terhadap
koreksi rasional.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 39–42.
[2]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 3–11.
[3]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve
Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1990),
108–112.
[4]
Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University
of Chicago Press, 1996), 130–135.
[5]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas
Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 27–35.
[6]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 155–166.
[7]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, adopted
December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[8]
Dorinda Outram, The Enlightenment, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2019), 89–91.
[9]
UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning
Objectives (Paris: UNESCO Publishing, 2017), 5–7.
[10]
Lee McIntyre, How to Talk to a Science Denier (Cambridge, MA:
MIT Press, 2021), 19–22.
[11]
Timothy Garton Ash, Free Speech: Ten Principles for a Connected
World (New Haven: Yale University Press, 2016), 256–258.
8.
Penutup
Gerakan Aufklärung
atau The
Enlightenment merupakan salah satu episode paling menentukan dalam
sejarah pemikiran manusia. Ia meletakkan fondasi bagi dunia modern melalui
penegasan atas peran akal (Vernunft), kebebasan berpikir, dan
kritik terhadap otoritas yang tidak rasional. Di tangan para filsuf seperti
Immanuel Kant, Voltaire, Rousseau, Locke, dan Montesquieu, pencerahan menjadi
proyek intelektual yang membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan,
ketakutan, dan penindasan struktural.¹
Sebagaimana telah
dibahas, pengaruh Aufklärung merambah berbagai bidang: dari filsafat dan ilmu
pengetahuan, hingga politik, pendidikan, dan hak asasi manusia. Ide-ide
pencerahan menjadi pondasi bagi demokrasi konstitusional, rasionalitas publik,
dan etika humanistik modern.² Namun, warisan ini juga tidak bebas dari
problematika. Kritik terhadap rasionalisme reduksionis, bias euro-sentris, dan
paradoks antara emansipasi dan dominasi, menunjukkan bahwa Aufklärung bukan
proyek final, melainkan medan wacana yang terus mengalami reinterpretasi dan
revisi.³
Di tengah tantangan
abad ke-21 seperti otoritarianisme baru, disinformasi digital, krisis iklim,
dan fragmentasi sosial, nilai-nilai pencerahan kembali diuji relevansinya.
Apakah akal masih memiliki tempat utama dalam kehidupan publik? Dapatkah
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan toleransi bertahan di tengah gelombang populisme
dan fundamentalisme? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kita untuk tidak hanya
mengagumi warisan Aufklärung, tetapi juga menghidupkan kembali semangat
kritisnya secara reflektif dan kontekstual.⁴
Dengan demikian, Aufklärung
bukan sekadar masa lalu yang selesai, melainkan sumber daya intelektual dan
moral yang perlu terus dihidupkan. Sebagaimana seruan Kant: Sapere
aude!—beranilah berpikir sendiri.⁵ Dalam dunia yang makin kompleks
dan terpolarisasi, keberanian untuk berpikir rasional, terbuka, dan bertanggung
jawab tetap merupakan fondasi tak tergantikan bagi peradaban yang adil dan
beradab.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” in Practical
Philosophy, trans. and ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 11–13.
[2]
Jonathan I. Israel, Enlightenment Contested: Philosophy, Modernity,
and the Emancipation of Man 1670–1752 (Oxford: Oxford University Press,
2006), 19–22.
[3]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvii–xxiv.
[4]
Timothy Garton Ash, Free Speech: Ten Principles for a Connected
World (New Haven: Yale University Press, 2016), 255–259.
[5]
Kant, “An Answer to the Question,” 13.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., &
Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)
Ash, T. G. (2016). Free
speech: Ten principles for a connected world. Yale University Press.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Darnton, R. (1982). The
literary underground of the Old Regime. Harvard University Press.
Foucault, M. (1984). What
is Enlightenment? In P. Rabinow (Ed.), The Foucault reader (pp.
32–50). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Gay, P. (1966). The
Enlightenment: An interpretation. The rise of modern paganism. W. W.
Norton & Company.
Gay, P. (1977). The
Enlightenment: An interpretation. The science of freedom. W. W. Norton
& Company.
Goodman, D. (1994). The
republic of letters: A cultural history of the French Enlightenment.
Cornell University Press.
Habermas, J. (1989). The
structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of
bourgeois society (T. Burger, Trans.). MIT Press. (Original work published
1962)
Habermas, J. (1990). The
philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence,
Trans.). MIT Press.
Hunt, L. (2007). Inventing
human rights: A history. W. W. Norton & Company.
Israel, J. I. (2001). Radical
Enlightenment: Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford
University Press.
Israel, J. I. (2006). Enlightenment
contested: Philosophy, modernity, and the emancipation of man 1670–1752.
Oxford University Press.
Jacob, M. C. (2001). The
Enlightenment: A brief history with documents. Bedford/St. Martin’s.
Jefferson, T. (1776). The
Declaration of Independence. Pennsylvania State House.
Kant, I. (1996). An answer
to the question: What is Enlightenment? In M. J. Gregor (Ed. & Trans.), Practical
philosophy (pp. 11–22). Cambridge University Press. (Original work
published 1784)
Kant, I. (1997). Critique
of practical reason (M. J. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kuhn, T. S. (1970). The
structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago
Press.
Landes, J. B. (1988). Women
and the public sphere in the age of the French Revolution. Cornell
University Press.
Locke, J. (1975). An essay
concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Locke, J. (1983). A
letter concerning toleration (J. H. Tully, Ed.). Hackett Publishing.
(Original work published 1689)
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
MacCulloch, D. (2003). The
Reformation: A history. Viking.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
McIntyre, L. (2021). How
to talk to a science denier. MIT Press.
Merriman, J. (2010). A
history of modern Europe: From the Renaissance to the present (3rd ed.).
W. W. Norton & Company.
Montesquieu, C. de. (1989).
The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone,
Trans. & Eds.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)
Muthu, S. (2003). Enlightenment
against empire. Princeton University Press.
Neiman, S. (2002). Evil
in modern thought: An alternative history of philosophy. Princeton
University Press.
Outram, D. (2019). The
Enlightenment (3rd ed.). Cambridge University Press.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The
social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Rousseau, J.-J. (1979). Émile:
Or on education (A. Bloom, Trans.). Basic Books. (Original work published
1762)
Schama, S. (1989). Citizens:
A chronicle of the French Revolution. Vintage Books.
Shapin, S. (1996). The
scientific revolution. University of Chicago Press.
Shklar, J. N. (1967). Men
and citizens: A study of Rousseau's social theory. Cambridge University
Press.
Shklar, J. N. (1987). Montesquieu.
Oxford University Press.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
UNESCO. (2017). Education
for sustainable development goals: Learning objectives. UNESCO Publishing.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000247444
United Nations. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Voltaire. (2000). Treatise
on tolerance (B. Masters, Trans.). Cambridge University Press. (Original
work published 1763)
Wollstonecraft, M. (1992). A
vindication of the rights of woman. Penguin Books. (Original work
published 1792)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar