Bahan Ajar PPKn
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pancasila
Analisis Kritis terhadap Realitas Sosial dan Tantangan
Penegakan HAM di Indonesia
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara kritis dinamika
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dalam perspektif nilai-nilai
dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Meskipun Indonesia telah
memiliki kerangka hukum yang relatif komprehensif untuk menjamin HAM, berbagai
bentuk pelanggaran tetap terjadi, baik dalam bentuk kekerasan oleh aparat,
diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga ketimpangan sosial-ekonomi
yang merugikan hak-hak dasar warga negara. Pancasila, dengan kelima silanya,
secara normatif memiliki keterkaitan erat dengan prinsip-prinsip HAM universal,
seperti penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan, dan persatuan.
Artikel ini menyajikan telaah konseptual mengenai HAM, analisis filosofis
terhadap Pancasila sebagai landasan etis, serta studi kasus kekerasan terhadap
komunitas Ahmadiyah sebagai cerminan kegagalan negara dalam mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila. Melalui pendekatan normatif-kritis, artikel ini
menekankan pentingnya integrasi nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik,
penegakan hukum, dan pendidikan kewarganegaraan sebagai upaya preventif dan
transformatif dalam menanggulangi pelanggaran HAM di Indonesia. Dengan
demikian, penegakan HAM dalam kerangka Pancasila bukan hanya merupakan
keharusan hukum, tetapi juga panggilan moral dan tanggung jawab kolektif untuk
membangun bangsa yang adil, beradab, dan demokratis.
Kata Kunci: Pancasila; Hak Asasi Manusia; Pelanggaran HAM;
Keadilan Sosial; Toleransi; Kewarganegaraan; Indonesia.
PEMBAHASAN
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Pancasila
1.
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat
pada setiap individu sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat
universal, tidak dapat dicabut, dan tidak dapat dialihkan. Dalam konteks negara
demokratis seperti Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM bukan
hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga merupakan amanat konstitusi. UUD
1945 secara eksplisit menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk
"melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia" serta menjamin "kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu."¹
Namun demikian, praktik pelanggaran HAM di
Indonesia masih terjadi secara signifikan, baik dalam bentuk pelanggaran hak
sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berbagai kasus
seperti kekerasan terhadap kelompok minoritas, pelanggaran kebebasan
berekspresi, tindakan represif aparat terhadap demonstran, hingga ketidakadilan
hukum yang sistemik menunjukkan masih lemahnya penegakan HAM di tanah air.²
Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai dasar yang
dianut dalam Pancasila sebagai ideologi negara dengan praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat
manusia, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena
itu, setiap bentuk pelanggaran terhadap HAM sejatinya merupakan pengingkaran
terhadap esensi Pancasila itu sendiri.³ Menganalisis pelanggaran HAM dari
perspektif Pancasila menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana
nilai-nilai dasar bangsa dapat menjadi landasan normatif dan etis dalam
membangun budaya hukum dan hak asasi yang kuat di Indonesia.
Kajian ini bertujuan untuk menelaah berbagai bentuk
pelanggaran HAM di Indonesia dengan menggunakan perspektif Pancasila sebagai
alat analisis kritis. Dengan demikian, diharapkan kajian ini mampu memberikan
kontribusi konseptual dan praksis dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil,
beradab, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28E ayat (1) dan
Pembukaan alinea keempat.
[2]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan
Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM RI, 2024), 15–28.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 118–120.
2.
Konsep
Dasar Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak
yang melekat secara kodrati pada setiap individu sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
yang tidak dapat dikurangi, dicabut, maupun diserahkan kepada pihak lain.
Konsep ini tumbuh dari nilai-nilai moral dan filsafat humanisme universal yang
menempatkan manusia sebagai subjek utama dari martabat dan kebebasan. Secara
historis, HAM berkembang dari ajaran filsuf-filsuf Eropa abad Pencerahan,
seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, yang menekankan pentingnya
kebebasan individu dan hak kodrati manusia dalam kontrak sosial.¹
Dalam ranah internasional, tonggak utama pengakuan
HAM tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun
1948 yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini
menetapkan bahwa "semua orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan
hak yang sama" dan bahwa hak-hak tersebut berlaku tanpa diskriminasi
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul.²
UDHR kemudian menjadi fondasi dari berbagai instrumen HAM internasional
lainnya, seperti International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR).
Di Indonesia, pengakuan terhadap HAM ditegaskan
dalam konstitusi negara. Amandemen kedua UUD 1945 melalui Pasal 28A hingga 28J
memuat jaminan terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.³
Selain itu, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi
dasar hukum nasional yang mengatur secara sistematis pengertian, klasifikasi,
pelanggaran, serta mekanisme perlindungan dan pemajuan HAM. Dalam pasal 1 UU
tersebut, ditegaskan bahwa HAM adalah "seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia."⁴
Secara klasifikasi, HAM dapat dibagi ke dalam
beberapa kategori utama:
·
Hak Sipil dan Politik, seperti
hak hidup, hak atas kebebasan berpendapat, dan hak memilih dalam pemilu.
·
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan yang layak, dan jaminan
kesehatan.
·
Hak Kolektif, termasuk
hak atas lingkungan yang bersih, pembangunan, dan perdamaian.⁵
Ciri-ciri utama HAM mencakup:
·
Universalitas: berlaku
bagi setiap orang tanpa kecuali.
·
Tidak dapat dicabut (inalienable):
tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun.
·
Saling berhubungan dan tak terpisahkan: pemenuhan satu hak terkait dengan hak lainnya.
·
Non-diskriminasi: berlaku
setara tanpa membedakan latar belakang individu.⁶
Dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut,
pembelajaran tentang HAM bukan hanya menjadi wacana hukum atau politik, tetapi
juga menjadi bagian penting dari pengembangan karakter kebangsaan dan kesadaran
warga negara dalam kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Jim Ife, Human Rights and Social Work: Towards
Rights-Based Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 19–21.
[2]
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28A–28J.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1).
[5]
Manfred Nowak, Introduction to the International
Human Rights Regime (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2003), 37–45.
[6]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 10–12.
3.
Pancasila
sebagai Landasan Filosofis dan Ideologis HAM di Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional Indonesia memiliki kedudukan fundamental dalam membentuk nilai-nilai
kebangsaan, termasuk dalam merumuskan dan menegakkan hak asasi manusia (HAM).
Sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, Pancasila tidak hanya
menjadi pedoman normatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga
menjadi landasan filosofis dalam menjamin dan menafsirkan eksistensi HAM dalam
konteks sosio-kultural Indonesia.¹
Setiap sila dalam Pancasila mengandung dimensi yang
erat kaitannya dengan prinsip-prinsip HAM. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa, mengakui kebebasan beragama dan hak spiritual manusia, yang sejalan
dengan hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama sebagaimana diatur
dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 18.² Sila kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, mencerminkan esensi nilai-nilai universal HAM
seperti keadilan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan perlakuan yang
beradab dalam interaksi sosial.³
Sila ketiga, Persatuan Indonesia,
mengajarkan pentingnya integrasi nasional dan toleransi dalam keberagaman, yang
secara implisit menolak segala bentuk diskriminasi rasial, etnis, maupun
agama—yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sila keempat, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
menjamin hak partisipasi politik warga negara, seperti hak memilih,
menyampaikan pendapat, dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan
publik.⁴ Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, menegaskan hak-hak sosial dan ekonomi seperti keadilan
distribusi sumber daya, hak atas pendidikan, pekerjaan, dan standar hidup yang
layak.
Dengan demikian, Pancasila bukanlah entitas yang
terpisah dari kerangka HAM, melainkan fondasi etika dan filsafat yang
memperkuat perlindungan HAM dalam kerangka kebudayaan Indonesia. Hal ini
ditegaskan pula dalam dokumen-dokumen hukum nasional, seperti dalam penjelasan
umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
bahwa “hak asasi manusia dalam Pancasila bersumber dari nilai-nilai
religius, humanistik, dan nasionalistik yang merupakan cerminan dari
kepribadian bangsa Indonesia.”⁵
Dalam praktiknya, menjadikan Pancasila sebagai
acuan etis dalam penegakan HAM berarti menempatkan manusia sebagai subjek utama
dari kebijakan dan pelayanan publik, dengan memperhatikan keseimbangan antara
hak dan kewajiban serta menjunjung prinsip keadilan sosial. Pendekatan ini
berbeda dari pendekatan HAM liberal individualistik yang sering menekankan
kebebasan personal tanpa mempertimbangkan konteks kolektif. Dalam hal ini,
pendekatan Pancasila terhadap HAM bersifat integralistik dan harmonis,
menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.⁶
Lebih dari itu, pemahaman terhadap HAM dalam
kerangka Pancasila memberikan ruang bagi penyesuaian dengan nilai-nilai lokal
dan agama, tanpa menanggalkan prinsip-prinsip universalitas HAM. Oleh karena
itu, pendidikan Pancasila yang dikaitkan dengan HAM perlu dikembangkan sebagai
strategi pedagogis untuk membentuk generasi warga negara yang tidak hanya paham
hak-haknya, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan bermoral secara
pribadi.
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Pancur Siwah, 1983), 24–26.
[2]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights,
1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 122–125.
[4]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Jakarta: Mizan, 2009), 167–169.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penjelasan Umum, alinea ke-2.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 101–103.
4.
Bentuk
dan Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
merupakan fenomena yang masih berlangsung dan menjadi tantangan serius dalam
mewujudkan negara hukum yang adil dan beradab. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM
dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: pelanggaran HAM berat
dan pelanggaran HAM ringan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM ringan
meliputi tindakan diskriminatif, kekerasan, penyiksaan, penghilangan hak, dan
pembatasan kebebasan secara tidak sah.¹
Dalam konteks sejarah Indonesia, berbagai peristiwa
pelanggaran HAM telah terjadi, baik sebelum maupun sesudah era reformasi. Salah
satu pelanggaran HAM berat yang paling kontroversial adalah tragedi
1965–1966, di mana ratusan ribu orang yang dituduh terlibat dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum yang jelas.²
Komnas HAM pada tahun 2012 menyimpulkan bahwa peristiwa ini merupakan
pelanggaran HAM berat dan merekomendasikan penyelesaian yudisial, namun hingga
kini belum ada proses hukum yang tuntas.³
Contoh lain yang tak kalah penting adalah Tragedi
Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang terjadi antara tahun 1998–1999,
di mana aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap demonstran mahasiswa yang
menuntut reformasi. Meskipun peristiwa tersebut telah diselidiki oleh Komnas
HAM dan disampaikan ke DPR RI, proses hukum terhadap para pelaku belum kunjung
dilakukan secara memadai.⁴ Hal ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas dalam
penegakan HAM di Indonesia.
Selain pelanggaran HAM berat, bentuk-bentuk
pelanggaran HAM ringan juga marak terjadi, seperti diskriminasi terhadap
kelompok minoritas agama dan keyakinan. Kasus penyegelan rumah ibadah,
pelarangan aktivitas keagamaan, hingga kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah
dan Syiah menjadi sorotan tajam masyarakat sipil dan lembaga internasional.⁵
Bahkan, laporan Human Rights Watch tahun 2023 mencatat adanya peningkatan
intoleransi di tingkat lokal yang sering kali didukung oleh kebijakan
diskriminatif pemerintah daerah.⁶
Tidak hanya dalam bidang kebebasan beragama, pelanggaran
terhadap hak-hak ekonomi dan sosial juga menjadi isu krusial, terutama
dalam kasus penggusuran paksa, konflik agraria, dan eksploitasi buruh.
Misalnya, konflik tanah antara masyarakat adat dan korporasi perkebunan di
Kalimantan dan Papua kerap memunculkan kekerasan, penghilangan paksa, serta
perampasan hak atas tanah dan lingkungan hidup yang layak.⁷
Penyebab utama dari berbagai bentuk pelanggaran HAM
ini bersifat kompleks dan multidimensional. Faktor struktural, seperti
lemahnya supremasi hukum dan tumpang tindih regulasi; faktor kultural,
seperti patriarki, intoleransi, dan kekerasan simbolik; serta faktor sistemik,
seperti impunitas aparat dan rendahnya kapasitas lembaga perlindungan HAM,
semuanya berkontribusi pada masih tingginya angka pelanggaran HAM di
Indonesia.⁸
Analisis terhadap bentuk dan kasus pelanggaran HAM
ini menunjukkan adanya ketimpangan antara prinsip-prinsip normatif yang dijamin
oleh konstitusi dan Pancasila dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa untuk
membangun budaya hukum yang menghormati martabat manusia dan menjadikan
Pancasila sebagai panduan etis dalam penegakan HAM.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 7.
[2]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of
1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990),
6–9.
[3]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan
Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965–1966 (Jakarta: Komnas
HAM, 2012).
[4]
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan
HAM 2022: Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam,
2023), 21–25.
[5]
Wahid Foundation, Laporan Tahunan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2022 (Jakarta: Wahid Foundation,
2023), 14–18.
[6]
Human Rights Watch, World Report 2023: Indonesia
Chapter (New York: HRW, 2023), https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia.
[7]
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Laporan
Konflik Agraria dan Kekerasan Terhadap Rakyat 2022 (Jakarta: YLBHI, 2023),
9–11.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 83–88.
5.
Analisis
Kritis: Pelanggaran HAM dalam Perspektif Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak
hanya berfungsi sebagai ideologi normatif, tetapi juga sebagai landasan etis
dalam menilai dan merespons fenomena sosial-politik, termasuk pelanggaran hak
asasi manusia (HAM). Dalam konteks pelanggaran HAM, Pancasila menawarkan
paradigma yang mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan
dan tanggung jawab, serta individualitas dan kolektivitas. Oleh karena itu,
setiap bentuk pelanggaran HAM harus dipahami bukan hanya sebagai pelanggaran
hukum positif, tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari nilai-nilai
Pancasila.¹
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
menuntut penghormatan terhadap keyakinan dan kebebasan beragama. Kasus-kasus
intoleransi terhadap kelompok minoritas, seperti pelarangan rumah ibadah atau
kekerasan terhadap kelompok keagamaan tertentu, jelas bertentangan dengan sila
ini karena mengingkari kebebasan spiritual sebagai hak kodrati manusia.² Dalam
perspektif Pancasila, negara tidak boleh hanya menjadi penengah netral, tetapi
juga harus aktif menjamin kebebasan beragama dan mencegah segala bentuk
pemaksaan ideologi keagamaan mayoritas terhadap minoritas.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, mengamanatkan perlakuan manusia secara adil, beradab, dan setara.
Pelanggaran terhadap hak-hak dasar—seperti kekerasan oleh aparat, penghilangan
paksa, atau tindakan diskriminatif—merupakan bentuk nyata pengingkaran terhadap
prinsip ini.³ Nilai "beradab" dalam konteks ini merujuk pada
pemuliaan harkat manusia dan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan yang
tidak manusiawi, baik secara fisik maupun simbolik.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia,
tidak meniadakan perbedaan, melainkan menegaskan pentingnya integrasi dalam
keberagaman. Pelanggaran HAM berbasis etnis, agama, atau orientasi ideologis
menandakan retaknya prinsip persatuan yang seharusnya dirawat dalam semangat
inklusivitas.⁴ Tindakan negara yang gagal melindungi kelompok rentan justru
memperlemah rasa kesatuan nasional.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menekankan
pentingnya hak partisipasi dan kebebasan berpendapat. Reaksi represif terhadap
demonstrasi damai, pembungkaman kritik, atau penyalahgunaan hukum untuk
membungkam oposisi mencerminkan pelanggaran serius terhadap prinsip musyawarah
dan demokrasi partisipatif yang menjadi dasar sila ini.⁵
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, merupakan penegasan terhadap HAM dalam ranah sosial dan
ekonomi. Ketimpangan struktural, ketidakadilan distribusi sumber daya, dan
penggusuran tanpa ganti rugi yang adil menunjukkan bahwa pelaksanaan sila ini
belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional.⁶ Keadilan
sosial yang diidealkan Pancasila bukan sekadar kesejahteraan material, tetapi
juga menyangkut pengakuan dan pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara
secara setara.
Kritik utama terhadap penegakan HAM di Indonesia
terletak pada ketimpangan antara das sollen (yang seharusnya,
nilai-nilai Pancasila) dengan das sein (yang terjadi dalam kenyataan).⁷
Negara sering kali bersikap ambigu: di satu sisi mengklaim menjunjung tinggi
HAM dan Pancasila, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan terlibat dalam
tindakan-tindakan yang melanggarnya. Komnas HAM mencatat bahwa ketidaktuntasan
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu menunjukkan adanya impunitas yang
dilembagakan, bertentangan dengan semangat keadilan yang ditekankan oleh
Pancasila.⁸
Analisis kritis ini menegaskan bahwa untuk
mewujudkan penegakan HAM yang bermartabat dan kontekstual, Pancasila tidak
cukup hanya dijadikan simbol formal. Ia harus diinternalisasi dalam kebijakan
publik, praktik hukum, dan pendidikan kewarganegaraan. Pendekatan etis-pancasilaistik
dalam penegakan HAM menuntut agar setiap tindakan negara tidak hanya legal
secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial berdasarkan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma,
2013), 128–130.
[2]
Wahid Foundation, Laporan Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia 2022 (Jakarta: Wahid Foundation, 2023), 10–14.
[3]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan
Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 17–21.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 314–316.
[5]
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan
HAM 2022: Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam, 2023),
23–25.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 105–106.
[7]
Frans Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1997),
89–92.
[8]
Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif: Evaluasi
Penegakan HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 4–6.
6.
Upaya
Penanggulangan dan Pencegahan Pelanggaran HAM
Penanggulangan dan
pencegahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia harus dilakukan
secara terpadu,
sistematis, dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Dalam
kerangka tersebut, terdapat tiga aktor kunci yang memiliki tanggung jawab
utama: pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil. Kolaborasi
antar elemen ini harus diarahkan pada pembentukan sistem perlindungan HAM yang
tidak hanya bersifat represif (menghukum pelanggaran), tetapi juga preventif
dan edukatif.
6.1. Peran Negara dan Pemerintah
Pemerintah memiliki
peran strategis sebagai penjamin dan pelaksana hak-hak konstitusional warga
negara. Dalam konteks hukum nasional, Indonesia telah meratifikasi berbagai
instrumen internasional terkait HAM, seperti International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) dan Convention Against Torture (CAT),
yang memperkuat komitmen negara terhadap prinsip-prinsip universal HAM.¹ Namun,
ratifikasi tersebut harus diiringi oleh konsistensi dalam implementasi dan
pembaruan kebijakan yang berperspektif HAM.
Salah satu langkah
konkret adalah penguatan kelembagaan seperti
Komnas HAM, LPSK, dan Ombudsman RI. Komnas HAM, sebagai lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999, memiliki mandat untuk melakukan
pemantauan, penyelidikan, dan mediasi atas pelanggaran HAM.² Namun, efektivitas
lembaga ini masih menghadapi tantangan berupa keterbatasan kewenangan eksekutorial
dan dukungan anggaran yang minim.³
Di samping itu, reformasi
sistem hukum dan peradilan menjadi keharusan. Penegakan hukum
atas kasus-kasus pelanggaran HAM harus bebas dari intervensi politik dan
tekanan elit kekuasaan. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang independen,
sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, perlu diaktifkan kembali dalam
kasus-kasus pelanggaran berat yang masih belum terselesaikan, seperti Tragedi
1965 dan kasus Timor Timur.⁴
6.2. Peran Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum
seperti polisi, jaksa, dan hakim merupakan ujung tombak dalam memastikan
keadilan dan perlindungan HAM di tingkat praktis. Namun, laporan Komnas HAM dan
lembaga swadaya masyarakat menunjukkan bahwa aparat sering kali menjadi pelaku
atau setidaknya turut serta dalam praktik pelanggaran, mulai dari kekerasan
terhadap demonstran hingga kriminalisasi aktivis.⁵ Oleh karena itu, diperlukan pendidikan
dan pelatihan HAM secara berkelanjutan bagi aparat negara, agar
mereka memahami standar HAM dalam menjalankan kewenangannya.
Reformasi budaya
institusi juga diperlukan. Budaya impunitas harus dihentikan dengan membangun
sistem akuntabilitas internal yang kuat. Mekanisme pengaduan masyarakat dan
pelaporan pelanggaran harus dipermudah dan dilindungi oleh hukum, termasuk
perlindungan terhadap pelapor (whistleblower).⁶
6.3. Peran Masyarakat Sipil dan Pendidikan HAM
Organisasi
masyarakat sipil (civil society) memegang peran vital dalam pengawasan,
advokasi, dan pemberdayaan masyarakat terkait HAM. Lembaga seperti KontraS,
Elsam, dan YLBHI aktif mengadvokasi korban pelanggaran HAM dan mendorong agenda
reformasi hukum. Peran mereka menjadi sangat penting dalam mengisi kekosongan
ketika negara gagal atau lambat dalam bertindak.⁷
Selain advokasi,
pendekatan pencegahan melalui pendidikan
juga tidak kalah penting. Pendidikan HAM yang diintegrasikan dalam kurikulum
sekolah—terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn)—dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini.
Dalam perspektif Pancasila, pendidikan semacam ini sejalan dengan pembangunan
karakter bangsa yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.⁸
Pendidikan berbasis
nilai Pancasila juga mampu mengembangkan kesadaran kolektif bahwa HAM bukan
sekadar hak individu, melainkan juga merupakan tanggung jawab sosial. Dengan
demikian, pencegahan pelanggaran HAM tidak hanya menjadi urusan negara, tetapi
menjadi komitmen bersama sebagai bagian dari pembangunan peradaban bangsa yang
bermartabat.
Footnotes
[1]
United Nations Treaty Collection, “Status of Ratification: Indonesia,” UN
Human Rights Office of the High Commissioner, https://indicators.ohchr.org/.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 75–99.
[3]
Komnas HAM, Laporan Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas
HAM, 2024), 6–9.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Pasal 43.
[5]
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2022:
Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam, 2023),
31–33.
[6]
Komisi Yudisial, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP) 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 22–24.
[7]
KontraS, Laporan Tahunan 2023: Akar Pelanggaran, Jalan Perlawanan
(Jakarta: KontraS, 2024), 11–14.
[8]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
135–138.
7.
Studi
Kasus dan Refleksi Kewarganegaraan
Untuk memahami lebih
dalam dinamika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konteks nilai-nilai
Pancasila, perlu dikaji studi kasus konkret yang terjadi dalam masyarakat.
Salah satu kasus yang dapat menjadi sorotan adalah kasus
intoleransi dan diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah di
Indonesia. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidaksesuaian antara nilai-nilai
dasar Pancasila dan praktik sosial-politik dapat memicu pelanggaran terhadap
hak-hak dasar warga negara.
7.1. Studi Kasus: Diskriminasi terhadap Komunitas
Ahmadiyah
Komunitas Ahmadiyah
di Indonesia telah mengalami serangkaian kekerasan dan diskriminasi sejak awal
2000-an. Salah satu insiden paling dikenal adalah peristiwa
kekerasan di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011, ketika
sekelompok massa menyerang dan membunuh tiga anggota Ahmadiyah.ⁱ Meskipun
peristiwa tersebut telah menarik perhatian publik dan internasional, penegakan
hukum terhadap pelaku tergolong lemah. Putusan pengadilan justru lebih berat
kepada korban dan tidak mencerminkan keadilan substantif.²
Dalam banyak kasus,
diskriminasi terhadap Ahmadiyah juga terjadi melalui regulasi negara, seperti Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2008 yang secara tidak
langsung membatasi kebebasan mereka dalam menjalankan ibadah.³ SKB ini telah
dikritik karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28E ayat (1), yang menjamin
kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut
keyakinannya, serta tidak sejalan dengan sila pertama Pancasila yang
menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan berkeyakinan.⁴
Dari perspektif sila
kedua dan ketiga, tindakan kekerasan, persekusi, dan pembiaran
oleh aparat negara terhadap komunitas Ahmadiyah jelas merupakan bentuk
pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta melemahkan
persatuan dalam keberagaman bangsa. Sementara itu, kegagalan negara dalam
menyediakan perlindungan hukum yang setara bagi kelompok minoritas merupakan
cerminan dari penyimpangan terhadap keadilan sosial,
sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima.
7.2. Refleksi Kewarganegaraan
Kasus Ahmadiyah
mengandung pesan penting bagi pendidikan kewarganegaraan, yaitu bahwa menjadi
warga negara tidak hanya berarti memiliki hak-hak tertentu, tetapi juga
bertanggung jawab untuk menjaga keberagaman dan menjunjung nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi kewarganegaraan
dalam konteks ini menuntut pemahaman bahwa HAM bukan semata-mata konsep
legalistik, tetapi juga moral dan sosial yang harus diinternalisasi dalam sikap
hidup.
Pembiaran terhadap
praktik diskriminasi atas nama mayoritas bertentangan dengan prinsip demokrasi
yang inklusif dan berkeadaban.⁵ Oleh karena itu, setiap warga negara—khususnya
generasi muda—harus dididik untuk berani menolak ketidakadilan, menghargai
perbedaan, dan berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai universal HAM
yang selaras dengan Pancasila.
Pendidikan
kewarganegaraan harus memperkuat kesadaran bahwa nilai
Pancasila bukan hanya warisan ideologis, melainkan etika hidup bernegara,
yang hanya dapat diwujudkan apabila setiap warga memiliki keberanian moral dan
nalar kritis dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Dengan demikian,
internalisasi nilai-nilai Pancasila dan HAM dalam diri pelajar adalah langkah
strategis dalam mencegah pelanggaran HAM di masa depan dan mewujudkan
masyarakat yang adil, beradab, dan demokratis.
Footnotes
[1]
Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses Against Religious
Minorities in Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2013), 19–23.
[2]
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2012:
Akar Intoleransi dan Lemahnya Supremasi Hukum (Jakarta: Elsam, 2013),
27–28.
[3]
Republik Indonesia, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan
Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dan Warga Masyarakat, 2008.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 28E ayat (1).
[5]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 201–205.
8.
Penutup
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan persoalan
fundamental yang mencerminkan kualitas peradaban suatu bangsa. Di Indonesia,
meskipun telah terdapat kemajuan dalam aspek regulasi dan institusionalisasi
perlindungan HAM, realitas sosial menunjukkan bahwa pelanggaran HAM masih terus
berlangsung dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat struktural, kultural,
maupun sistemik. Berbagai kasus seperti diskriminasi terhadap minoritas,
kekerasan oleh aparat, hingga pengabaian terhadap hak-hak ekonomi dan sosial
menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai dasar konstitusi dan praktik
kehidupan bernegara.¹
Dalam kerangka filosofis dan ideologis, Pancasila
sejatinya merupakan panduan moral yang kokoh dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Setiap sila dalam Pancasila memuat prinsip-prinsip yang selaras dengan
norma-norma universal HAM: penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan,
kebebasan, dan solidaritas sosial. Namun demikian, nilai-nilai luhur ini belum
sepenuhnya menjadi roh dari kebijakan publik maupun perilaku institusi negara.²
Analisis kritis terhadap pelanggaran HAM dalam
perspektif Pancasila menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek
hukum dan kelembagaan, tetapi juga pada lemahnya internalisasi nilai-nilai etis
dalam budaya hukum, politik, dan kewarganegaraan. Seperti dinyatakan oleh Jimly
Asshiddiqie, Pancasila sebagai dasar negara seharusnya tidak hanya menjadi
deklarasi ideologis, melainkan juga sumber inspirasi etika publik dan tanggung
jawab konstitusional.³ Oleh karena itu, pendekatan represif semata tidak cukup;
dibutuhkan pendekatan transformatif yang menggabungkan aspek edukatif,
partisipatif, dan humanistik.
Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan,
internalisasi nilai-nilai Pancasila dan HAM merupakan bagian penting dari
pembangunan karakter bangsa. Generasi muda perlu dibekali kesadaran kritis,
kemampuan reflektif, dan semangat tanggung jawab sosial untuk tidak hanya
mengenali haknya sebagai warga negara, tetapi juga memperjuangkan hak orang
lain demi keadilan bersama.⁴
Dengan demikian, upaya penegakan dan pencegahan
pelanggaran HAM di Indonesia hanya akan berhasil jika dilandasi oleh kesadaran
kolektif untuk menjadikan Pancasila bukan sekadar simbol formal, melainkan
sebagai etika hidup berbangsa dan bernegara. Komitmen terhadap nilai-nilai
Pancasila harus diwujudkan dalam kebijakan negara, penegakan hukum, pendidikan,
serta budaya masyarakat, agar Indonesia dapat tumbuh sebagai bangsa yang
beradab, adil, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan
Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 5–9.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 122–130.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 87–89.
[4]
Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1997), 91–93.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan hak asasi
manusia. Jakarta: Konstitusi Press.
Cribb, R. (Ed.). (1990). The Indonesian killings
of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Clayton: Monash University.
Elsam. (2013). Catatan HAM 2012: Akar
intoleransi dan lemahnya supremasi hukum. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat.
Elsam. (2023). Catatan HAM 2022: Politik
kekuasaan dan mandeknya penegakan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat.
Human Rights Watch. (2013). In religion’s name:
Abuses against religious minorities in Indonesia. New York: Human Rights
Watch.
Human Rights Watch. (2023). World report 2023:
Indonesia chapter. https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2012).
Laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965–1966. Jakarta:
Komnas HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
(2024). Laporan tahunan Komnas HAM 2023. Jakarta: Komnas HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
(2024). Ringkasan eksekutif: Evaluasi penegakan HAM 2023. Jakarta:
Komnas HAM.
KontraS. (2024). Laporan tahunan 2023: Akar
pelanggaran, jalan perlawanan. Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas,
rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, F. (1997). Etika politik:
Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.
Notonagoro. (1983). Pancasila: Dasar falsafah
negara. Jakarta: Pancur Siwah.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV). Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165.
Republik Indonesia. (2000). Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 208.
Republik Indonesia. (2008). Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
United Nations. (1948). Universal declaration of
human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
United Nations Treaty Collection. (n.d.). Status
of ratification: Indonesia. UN Human Rights Office of the High Commissioner.
https://indicators.ohchr.org/
Wahid Foundation. (2023). Laporan tahunan
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2022. Jakarta: Wahid
Foundation.
YLBHI. (2023). Laporan konflik agraria dan
kekerasan terhadap rakyat 2022. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar