Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-1: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pancasila

Bahan Ajar PPKn

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pancasila

Analisis Kritis terhadap Realitas Sosial dan Tantangan Penegakan HAM di Indonesia


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara kritis dinamika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Meskipun Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang relatif komprehensif untuk menjamin HAM, berbagai bentuk pelanggaran tetap terjadi, baik dalam bentuk kekerasan oleh aparat, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga ketimpangan sosial-ekonomi yang merugikan hak-hak dasar warga negara. Pancasila, dengan kelima silanya, secara normatif memiliki keterkaitan erat dengan prinsip-prinsip HAM universal, seperti penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan, dan persatuan. Artikel ini menyajikan telaah konseptual mengenai HAM, analisis filosofis terhadap Pancasila sebagai landasan etis, serta studi kasus kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah sebagai cerminan kegagalan negara dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Melalui pendekatan normatif-kritis, artikel ini menekankan pentingnya integrasi nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik, penegakan hukum, dan pendidikan kewarganegaraan sebagai upaya preventif dan transformatif dalam menanggulangi pelanggaran HAM di Indonesia. Dengan demikian, penegakan HAM dalam kerangka Pancasila bukan hanya merupakan keharusan hukum, tetapi juga panggilan moral dan tanggung jawab kolektif untuk membangun bangsa yang adil, beradab, dan demokratis.

Kata Kunci: Pancasila; Hak Asasi Manusia; Pelanggaran HAM; Keadilan Sosial; Toleransi; Kewarganegaraan; Indonesia.


PEMBAHASAN

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pancasila


1.           Pendahuluan

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada setiap individu sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal, tidak dapat dicabut, dan tidak dapat dialihkan. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM bukan hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga merupakan amanat konstitusi. UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" serta menjamin "kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."¹

Namun demikian, praktik pelanggaran HAM di Indonesia masih terjadi secara signifikan, baik dalam bentuk pelanggaran hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berbagai kasus seperti kekerasan terhadap kelompok minoritas, pelanggaran kebebasan berekspresi, tindakan represif aparat terhadap demonstran, hingga ketidakadilan hukum yang sistemik menunjukkan masih lemahnya penegakan HAM di tanah air.² Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai dasar yang dianut dalam Pancasila sebagai ideologi negara dengan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari.

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat manusia, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, setiap bentuk pelanggaran terhadap HAM sejatinya merupakan pengingkaran terhadap esensi Pancasila itu sendiri.³ Menganalisis pelanggaran HAM dari perspektif Pancasila menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana nilai-nilai dasar bangsa dapat menjadi landasan normatif dan etis dalam membangun budaya hukum dan hak asasi yang kuat di Indonesia.

Kajian ini bertujuan untuk menelaah berbagai bentuk pelanggaran HAM di Indonesia dengan menggunakan perspektif Pancasila sebagai alat analisis kritis. Dengan demikian, diharapkan kajian ini mampu memberikan kontribusi konseptual dan praksis dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil, beradab, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28E ayat (1) dan Pembukaan alinea keempat.

[2]                Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM RI, 2024), 15–28.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 118–120.


2.           Konsep Dasar Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat secara kodrati pada setiap individu sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang tidak dapat dikurangi, dicabut, maupun diserahkan kepada pihak lain. Konsep ini tumbuh dari nilai-nilai moral dan filsafat humanisme universal yang menempatkan manusia sebagai subjek utama dari martabat dan kebebasan. Secara historis, HAM berkembang dari ajaran filsuf-filsuf Eropa abad Pencerahan, seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, yang menekankan pentingnya kebebasan individu dan hak kodrati manusia dalam kontrak sosial.¹

Dalam ranah internasional, tonggak utama pengakuan HAM tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini menetapkan bahwa "semua orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak yang sama" dan bahwa hak-hak tersebut berlaku tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul.² UDHR kemudian menjadi fondasi dari berbagai instrumen HAM internasional lainnya, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).

Di Indonesia, pengakuan terhadap HAM ditegaskan dalam konstitusi negara. Amandemen kedua UUD 1945 melalui Pasal 28A hingga 28J memuat jaminan terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.³ Selain itu, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi dasar hukum nasional yang mengatur secara sistematis pengertian, klasifikasi, pelanggaran, serta mekanisme perlindungan dan pemajuan HAM. Dalam pasal 1 UU tersebut, ditegaskan bahwa HAM adalah "seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."⁴

Secara klasifikasi, HAM dapat dibagi ke dalam beberapa kategori utama:

·                     Hak Sipil dan Politik, seperti hak hidup, hak atas kebebasan berpendapat, dan hak memilih dalam pemilu.

·                     Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan yang layak, dan jaminan kesehatan.

·                     Hak Kolektif, termasuk hak atas lingkungan yang bersih, pembangunan, dan perdamaian.⁵

Ciri-ciri utama HAM mencakup:

·                     Universalitas: berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali.

·                     Tidak dapat dicabut (inalienable): tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun.

·                     Saling berhubungan dan tak terpisahkan: pemenuhan satu hak terkait dengan hak lainnya.

·                     Non-diskriminasi: berlaku setara tanpa membedakan latar belakang individu.⁶

Dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut, pembelajaran tentang HAM bukan hanya menjadi wacana hukum atau politik, tetapi juga menjadi bagian penting dari pengembangan karakter kebangsaan dan kesadaran warga negara dalam kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Jim Ife, Human Rights and Social Work: Towards Rights-Based Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 19–21.

[2]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28A–28J.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1).

[5]                Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2003), 37–45.

[6]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 10–12.


3.           Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologis HAM di Indonesia

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia memiliki kedudukan fundamental dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan, termasuk dalam merumuskan dan menegakkan hak asasi manusia (HAM). Sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, Pancasila tidak hanya menjadi pedoman normatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga menjadi landasan filosofis dalam menjamin dan menafsirkan eksistensi HAM dalam konteks sosio-kultural Indonesia.¹

Setiap sila dalam Pancasila mengandung dimensi yang erat kaitannya dengan prinsip-prinsip HAM. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakui kebebasan beragama dan hak spiritual manusia, yang sejalan dengan hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama sebagaimana diatur dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 18.² Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mencerminkan esensi nilai-nilai universal HAM seperti keadilan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan perlakuan yang beradab dalam interaksi sosial.³

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengajarkan pentingnya integrasi nasional dan toleransi dalam keberagaman, yang secara implisit menolak segala bentuk diskriminasi rasial, etnis, maupun agama—yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menjamin hak partisipasi politik warga negara, seperti hak memilih, menyampaikan pendapat, dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan publik.⁴ Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menegaskan hak-hak sosial dan ekonomi seperti keadilan distribusi sumber daya, hak atas pendidikan, pekerjaan, dan standar hidup yang layak.

Dengan demikian, Pancasila bukanlah entitas yang terpisah dari kerangka HAM, melainkan fondasi etika dan filsafat yang memperkuat perlindungan HAM dalam kerangka kebudayaan Indonesia. Hal ini ditegaskan pula dalam dokumen-dokumen hukum nasional, seperti dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “hak asasi manusia dalam Pancasila bersumber dari nilai-nilai religius, humanistik, dan nasionalistik yang merupakan cerminan dari kepribadian bangsa Indonesia.”⁵

Dalam praktiknya, menjadikan Pancasila sebagai acuan etis dalam penegakan HAM berarti menempatkan manusia sebagai subjek utama dari kebijakan dan pelayanan publik, dengan memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menjunjung prinsip keadilan sosial. Pendekatan ini berbeda dari pendekatan HAM liberal individualistik yang sering menekankan kebebasan personal tanpa mempertimbangkan konteks kolektif. Dalam hal ini, pendekatan Pancasila terhadap HAM bersifat integralistik dan harmonis, menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.⁶

Lebih dari itu, pemahaman terhadap HAM dalam kerangka Pancasila memberikan ruang bagi penyesuaian dengan nilai-nilai lokal dan agama, tanpa menanggalkan prinsip-prinsip universalitas HAM. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila yang dikaitkan dengan HAM perlu dikembangkan sebagai strategi pedagogis untuk membentuk generasi warga negara yang tidak hanya paham hak-haknya, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan bermoral secara pribadi.


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Pancur Siwah, 1983), 24–26.

[2]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 122–125.

[4]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Jakarta: Mizan, 2009), 167–169.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penjelasan Umum, alinea ke-2.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 101–103.


4.           Bentuk dan Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia merupakan fenomena yang masih berlangsung dan menjadi tantangan serius dalam mewujudkan negara hukum yang adil dan beradab. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM ringan meliputi tindakan diskriminatif, kekerasan, penyiksaan, penghilangan hak, dan pembatasan kebebasan secara tidak sah.¹

Dalam konteks sejarah Indonesia, berbagai peristiwa pelanggaran HAM telah terjadi, baik sebelum maupun sesudah era reformasi. Salah satu pelanggaran HAM berat yang paling kontroversial adalah tragedi 1965–1966, di mana ratusan ribu orang yang dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum yang jelas.² Komnas HAM pada tahun 2012 menyimpulkan bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berat dan merekomendasikan penyelesaian yudisial, namun hingga kini belum ada proses hukum yang tuntas.³

Contoh lain yang tak kalah penting adalah Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang terjadi antara tahun 1998–1999, di mana aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap demonstran mahasiswa yang menuntut reformasi. Meskipun peristiwa tersebut telah diselidiki oleh Komnas HAM dan disampaikan ke DPR RI, proses hukum terhadap para pelaku belum kunjung dilakukan secara memadai.⁴ Hal ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas dalam penegakan HAM di Indonesia.

Selain pelanggaran HAM berat, bentuk-bentuk pelanggaran HAM ringan juga marak terjadi, seperti diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan keyakinan. Kasus penyegelan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, hingga kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah menjadi sorotan tajam masyarakat sipil dan lembaga internasional.⁵ Bahkan, laporan Human Rights Watch tahun 2023 mencatat adanya peningkatan intoleransi di tingkat lokal yang sering kali didukung oleh kebijakan diskriminatif pemerintah daerah.⁶

Tidak hanya dalam bidang kebebasan beragama, pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial juga menjadi isu krusial, terutama dalam kasus penggusuran paksa, konflik agraria, dan eksploitasi buruh. Misalnya, konflik tanah antara masyarakat adat dan korporasi perkebunan di Kalimantan dan Papua kerap memunculkan kekerasan, penghilangan paksa, serta perampasan hak atas tanah dan lingkungan hidup yang layak.⁷

Penyebab utama dari berbagai bentuk pelanggaran HAM ini bersifat kompleks dan multidimensional. Faktor struktural, seperti lemahnya supremasi hukum dan tumpang tindih regulasi; faktor kultural, seperti patriarki, intoleransi, dan kekerasan simbolik; serta faktor sistemik, seperti impunitas aparat dan rendahnya kapasitas lembaga perlindungan HAM, semuanya berkontribusi pada masih tingginya angka pelanggaran HAM di Indonesia.⁸

Analisis terhadap bentuk dan kasus pelanggaran HAM ini menunjukkan adanya ketimpangan antara prinsip-prinsip normatif yang dijamin oleh konstitusi dan Pancasila dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa untuk membangun budaya hukum yang menghormati martabat manusia dan menjadikan Pancasila sebagai panduan etis dalam penegakan HAM.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 7.

[2]                Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 6–9.

[3]                Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965–1966 (Jakarta: Komnas HAM, 2012).

[4]                Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2022: Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam, 2023), 21–25.

[5]                Wahid Foundation, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2022 (Jakarta: Wahid Foundation, 2023), 14–18.

[6]                Human Rights Watch, World Report 2023: Indonesia Chapter (New York: HRW, 2023), https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia.

[7]                YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Laporan Konflik Agraria dan Kekerasan Terhadap Rakyat 2022 (Jakarta: YLBHI, 2023), 9–11.

[8]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 83–88.


5.           Analisis Kritis: Pelanggaran HAM dalam Perspektif Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai ideologi normatif, tetapi juga sebagai landasan etis dalam menilai dan merespons fenomena sosial-politik, termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks pelanggaran HAM, Pancasila menawarkan paradigma yang mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta individualitas dan kolektivitas. Oleh karena itu, setiap bentuk pelanggaran HAM harus dipahami bukan hanya sebagai pelanggaran hukum positif, tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila.¹

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut penghormatan terhadap keyakinan dan kebebasan beragama. Kasus-kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas, seperti pelarangan rumah ibadah atau kekerasan terhadap kelompok keagamaan tertentu, jelas bertentangan dengan sila ini karena mengingkari kebebasan spiritual sebagai hak kodrati manusia.² Dalam perspektif Pancasila, negara tidak boleh hanya menjadi penengah netral, tetapi juga harus aktif menjamin kebebasan beragama dan mencegah segala bentuk pemaksaan ideologi keagamaan mayoritas terhadap minoritas.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengamanatkan perlakuan manusia secara adil, beradab, dan setara. Pelanggaran terhadap hak-hak dasar—seperti kekerasan oleh aparat, penghilangan paksa, atau tindakan diskriminatif—merupakan bentuk nyata pengingkaran terhadap prinsip ini.³ Nilai "beradab" dalam konteks ini merujuk pada pemuliaan harkat manusia dan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan yang tidak manusiawi, baik secara fisik maupun simbolik.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, tidak meniadakan perbedaan, melainkan menegaskan pentingnya integrasi dalam keberagaman. Pelanggaran HAM berbasis etnis, agama, atau orientasi ideologis menandakan retaknya prinsip persatuan yang seharusnya dirawat dalam semangat inklusivitas.⁴ Tindakan negara yang gagal melindungi kelompok rentan justru memperlemah rasa kesatuan nasional.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menekankan pentingnya hak partisipasi dan kebebasan berpendapat. Reaksi represif terhadap demonstrasi damai, pembungkaman kritik, atau penyalahgunaan hukum untuk membungkam oposisi mencerminkan pelanggaran serius terhadap prinsip musyawarah dan demokrasi partisipatif yang menjadi dasar sila ini.⁵

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan penegasan terhadap HAM dalam ranah sosial dan ekonomi. Ketimpangan struktural, ketidakadilan distribusi sumber daya, dan penggusuran tanpa ganti rugi yang adil menunjukkan bahwa pelaksanaan sila ini belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional.⁶ Keadilan sosial yang diidealkan Pancasila bukan sekadar kesejahteraan material, tetapi juga menyangkut pengakuan dan pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara secara setara.

Kritik utama terhadap penegakan HAM di Indonesia terletak pada ketimpangan antara das sollen (yang seharusnya, nilai-nilai Pancasila) dengan das sein (yang terjadi dalam kenyataan).⁷ Negara sering kali bersikap ambigu: di satu sisi mengklaim menjunjung tinggi HAM dan Pancasila, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan terlibat dalam tindakan-tindakan yang melanggarnya. Komnas HAM mencatat bahwa ketidaktuntasan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu menunjukkan adanya impunitas yang dilembagakan, bertentangan dengan semangat keadilan yang ditekankan oleh Pancasila.⁸

Analisis kritis ini menegaskan bahwa untuk mewujudkan penegakan HAM yang bermartabat dan kontekstual, Pancasila tidak cukup hanya dijadikan simbol formal. Ia harus diinternalisasi dalam kebijakan publik, praktik hukum, dan pendidikan kewarganegaraan. Pendekatan etis-pancasilaistik dalam penegakan HAM menuntut agar setiap tindakan negara tidak hanya legal secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 128–130.

[2]                Wahid Foundation, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2022 (Jakarta: Wahid Foundation, 2023), 10–14.

[3]                Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 17–21.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 314–316.

[5]                Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2022: Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam, 2023), 23–25.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 105–106.

[7]                Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1997), 89–92.

[8]                Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif: Evaluasi Penegakan HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 4–6.


6.           Upaya Penanggulangan dan Pencegahan Pelanggaran HAM

Penanggulangan dan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia harus dilakukan secara terpadu, sistematis, dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Dalam kerangka tersebut, terdapat tiga aktor kunci yang memiliki tanggung jawab utama: pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil. Kolaborasi antar elemen ini harus diarahkan pada pembentukan sistem perlindungan HAM yang tidak hanya bersifat represif (menghukum pelanggaran), tetapi juga preventif dan edukatif.

6.1.       Peran Negara dan Pemerintah

Pemerintah memiliki peran strategis sebagai penjamin dan pelaksana hak-hak konstitusional warga negara. Dalam konteks hukum nasional, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional terkait HAM, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Convention Against Torture (CAT), yang memperkuat komitmen negara terhadap prinsip-prinsip universal HAM.¹ Namun, ratifikasi tersebut harus diiringi oleh konsistensi dalam implementasi dan pembaruan kebijakan yang berperspektif HAM.

Salah satu langkah konkret adalah penguatan kelembagaan seperti Komnas HAM, LPSK, dan Ombudsman RI. Komnas HAM, sebagai lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999, memiliki mandat untuk melakukan pemantauan, penyelidikan, dan mediasi atas pelanggaran HAM.² Namun, efektivitas lembaga ini masih menghadapi tantangan berupa keterbatasan kewenangan eksekutorial dan dukungan anggaran yang minim.³

Di samping itu, reformasi sistem hukum dan peradilan menjadi keharusan. Penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM harus bebas dari intervensi politik dan tekanan elit kekuasaan. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang independen, sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, perlu diaktifkan kembali dalam kasus-kasus pelanggaran berat yang masih belum terselesaikan, seperti Tragedi 1965 dan kasus Timor Timur.⁴

6.2.       Peran Aparat Penegak Hukum

Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim merupakan ujung tombak dalam memastikan keadilan dan perlindungan HAM di tingkat praktis. Namun, laporan Komnas HAM dan lembaga swadaya masyarakat menunjukkan bahwa aparat sering kali menjadi pelaku atau setidaknya turut serta dalam praktik pelanggaran, mulai dari kekerasan terhadap demonstran hingga kriminalisasi aktivis.⁵ Oleh karena itu, diperlukan pendidikan dan pelatihan HAM secara berkelanjutan bagi aparat negara, agar mereka memahami standar HAM dalam menjalankan kewenangannya.

Reformasi budaya institusi juga diperlukan. Budaya impunitas harus dihentikan dengan membangun sistem akuntabilitas internal yang kuat. Mekanisme pengaduan masyarakat dan pelaporan pelanggaran harus dipermudah dan dilindungi oleh hukum, termasuk perlindungan terhadap pelapor (whistleblower).⁶

6.3.       Peran Masyarakat Sipil dan Pendidikan HAM

Organisasi masyarakat sipil (civil society) memegang peran vital dalam pengawasan, advokasi, dan pemberdayaan masyarakat terkait HAM. Lembaga seperti KontraS, Elsam, dan YLBHI aktif mengadvokasi korban pelanggaran HAM dan mendorong agenda reformasi hukum. Peran mereka menjadi sangat penting dalam mengisi kekosongan ketika negara gagal atau lambat dalam bertindak.⁷

Selain advokasi, pendekatan pencegahan melalui pendidikan juga tidak kalah penting. Pendidikan HAM yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah—terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)—dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini. Dalam perspektif Pancasila, pendidikan semacam ini sejalan dengan pembangunan karakter bangsa yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.⁸

Pendidikan berbasis nilai Pancasila juga mampu mengembangkan kesadaran kolektif bahwa HAM bukan sekadar hak individu, melainkan juga merupakan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, pencegahan pelanggaran HAM tidak hanya menjadi urusan negara, tetapi menjadi komitmen bersama sebagai bagian dari pembangunan peradaban bangsa yang bermartabat.


Footnotes

[1]                United Nations Treaty Collection, “Status of Ratification: Indonesia,” UN Human Rights Office of the High Commissioner, https://indicators.ohchr.org/.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 75–99.

[3]                Komnas HAM, Laporan Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 6–9.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 43.

[5]                Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2022: Politik Kekuasaan dan Mandeknya Penegakan HAM (Jakarta: Elsam, 2023), 31–33.

[6]                Komisi Yudisial, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 22–24.

[7]                KontraS, Laporan Tahunan 2023: Akar Pelanggaran, Jalan Perlawanan (Jakarta: KontraS, 2024), 11–14.

[8]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 135–138.


7.           Studi Kasus dan Refleksi Kewarganegaraan

Untuk memahami lebih dalam dinamika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konteks nilai-nilai Pancasila, perlu dikaji studi kasus konkret yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu kasus yang dapat menjadi sorotan adalah kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidaksesuaian antara nilai-nilai dasar Pancasila dan praktik sosial-politik dapat memicu pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara.

7.1.       Studi Kasus: Diskriminasi terhadap Komunitas Ahmadiyah

Komunitas Ahmadiyah di Indonesia telah mengalami serangkaian kekerasan dan diskriminasi sejak awal 2000-an. Salah satu insiden paling dikenal adalah peristiwa kekerasan di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011, ketika sekelompok massa menyerang dan membunuh tiga anggota Ahmadiyah.ⁱ Meskipun peristiwa tersebut telah menarik perhatian publik dan internasional, penegakan hukum terhadap pelaku tergolong lemah. Putusan pengadilan justru lebih berat kepada korban dan tidak mencerminkan keadilan substantif.²

Dalam banyak kasus, diskriminasi terhadap Ahmadiyah juga terjadi melalui regulasi negara, seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2008 yang secara tidak langsung membatasi kebebasan mereka dalam menjalankan ibadah.³ SKB ini telah dikritik karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28E ayat (1), yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya, serta tidak sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan berkeyakinan.⁴

Dari perspektif sila kedua dan ketiga, tindakan kekerasan, persekusi, dan pembiaran oleh aparat negara terhadap komunitas Ahmadiyah jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta melemahkan persatuan dalam keberagaman bangsa. Sementara itu, kegagalan negara dalam menyediakan perlindungan hukum yang setara bagi kelompok minoritas merupakan cerminan dari penyimpangan terhadap keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima.

7.2.       Refleksi Kewarganegaraan

Kasus Ahmadiyah mengandung pesan penting bagi pendidikan kewarganegaraan, yaitu bahwa menjadi warga negara tidak hanya berarti memiliki hak-hak tertentu, tetapi juga bertanggung jawab untuk menjaga keberagaman dan menjunjung nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi kewarganegaraan dalam konteks ini menuntut pemahaman bahwa HAM bukan semata-mata konsep legalistik, tetapi juga moral dan sosial yang harus diinternalisasi dalam sikap hidup.

Pembiaran terhadap praktik diskriminasi atas nama mayoritas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang inklusif dan berkeadaban.⁵ Oleh karena itu, setiap warga negara—khususnya generasi muda—harus dididik untuk berani menolak ketidakadilan, menghargai perbedaan, dan berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai universal HAM yang selaras dengan Pancasila.

Pendidikan kewarganegaraan harus memperkuat kesadaran bahwa nilai Pancasila bukan hanya warisan ideologis, melainkan etika hidup bernegara, yang hanya dapat diwujudkan apabila setiap warga memiliki keberanian moral dan nalar kritis dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai Pancasila dan HAM dalam diri pelajar adalah langkah strategis dalam mencegah pelanggaran HAM di masa depan dan mewujudkan masyarakat yang adil, beradab, dan demokratis.


Footnotes

[1]                Human Rights Watch, In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2013), 19–23.

[2]                Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Catatan HAM 2012: Akar Intoleransi dan Lemahnya Supremasi Hukum (Jakarta: Elsam, 2013), 27–28.

[3]                Republik Indonesia, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, 2008.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E ayat (1).

[5]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 201–205.


8.           Penutup

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan persoalan fundamental yang mencerminkan kualitas peradaban suatu bangsa. Di Indonesia, meskipun telah terdapat kemajuan dalam aspek regulasi dan institusionalisasi perlindungan HAM, realitas sosial menunjukkan bahwa pelanggaran HAM masih terus berlangsung dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat struktural, kultural, maupun sistemik. Berbagai kasus seperti diskriminasi terhadap minoritas, kekerasan oleh aparat, hingga pengabaian terhadap hak-hak ekonomi dan sosial menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai dasar konstitusi dan praktik kehidupan bernegara.¹

Dalam kerangka filosofis dan ideologis, Pancasila sejatinya merupakan panduan moral yang kokoh dalam menegakkan HAM di Indonesia. Setiap sila dalam Pancasila memuat prinsip-prinsip yang selaras dengan norma-norma universal HAM: penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan, kebebasan, dan solidaritas sosial. Namun demikian, nilai-nilai luhur ini belum sepenuhnya menjadi roh dari kebijakan publik maupun perilaku institusi negara.²

Analisis kritis terhadap pelanggaran HAM dalam perspektif Pancasila menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek hukum dan kelembagaan, tetapi juga pada lemahnya internalisasi nilai-nilai etis dalam budaya hukum, politik, dan kewarganegaraan. Seperti dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie, Pancasila sebagai dasar negara seharusnya tidak hanya menjadi deklarasi ideologis, melainkan juga sumber inspirasi etika publik dan tanggung jawab konstitusional.³ Oleh karena itu, pendekatan represif semata tidak cukup; dibutuhkan pendekatan transformatif yang menggabungkan aspek edukatif, partisipatif, dan humanistik.

Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, internalisasi nilai-nilai Pancasila dan HAM merupakan bagian penting dari pembangunan karakter bangsa. Generasi muda perlu dibekali kesadaran kritis, kemampuan reflektif, dan semangat tanggung jawab sosial untuk tidak hanya mengenali haknya sebagai warga negara, tetapi juga memperjuangkan hak orang lain demi keadilan bersama.⁴

Dengan demikian, upaya penegakan dan pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia hanya akan berhasil jika dilandasi oleh kesadaran kolektif untuk menjadikan Pancasila bukan sekadar simbol formal, melainkan sebagai etika hidup berbangsa dan bernegara. Komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila harus diwujudkan dalam kebijakan negara, penegakan hukum, pendidikan, serta budaya masyarakat, agar Indonesia dapat tumbuh sebagai bangsa yang beradab, adil, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Tahunan Komnas HAM 2023 (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 5–9.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 122–130.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 87–89.

[4]                Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1997), 91–93.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan hak asasi manusia. Jakarta: Konstitusi Press.

Cribb, R. (Ed.). (1990). The Indonesian killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Clayton: Monash University.

Elsam. (2013). Catatan HAM 2012: Akar intoleransi dan lemahnya supremasi hukum. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Elsam. (2023). Catatan HAM 2022: Politik kekuasaan dan mandeknya penegakan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Human Rights Watch. (2013). In religion’s name: Abuses against religious minorities in Indonesia. New York: Human Rights Watch.

Human Rights Watch. (2023). World report 2023: Indonesia chapter. https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2012). Laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965–1966. Jakarta: Komnas HAM.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2024). Laporan tahunan Komnas HAM 2023. Jakarta: Komnas HAM.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2024). Ringkasan eksekutif: Evaluasi penegakan HAM 2023. Jakarta: Komnas HAM.

KontraS. (2024). Laporan tahunan 2023: Akar pelanggaran, jalan perlawanan. Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Magnis-Suseno, F. (1997). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.

Notonagoro. (1983). Pancasila: Dasar falsafah negara. Jakarta: Pancur Siwah.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I–IV). Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.

Republik Indonesia. (2000). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208.

Republik Indonesia. (2008). Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

United Nations Treaty Collection. (n.d.). Status of ratification: Indonesia. UN Human Rights Office of the High Commissioner. https://indicators.ohchr.org/

Wahid Foundation. (2023). Laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2022. Jakarta: Wahid Foundation.

YLBHI. (2023). Laporan konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat 2022. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar