Jumat, 03 Januari 2025

Teologi Islam: Studi Komprehensif tentang Konsep Ketuhanan dan Pemikiran Akidah dalam Islam

Teologi Islam: Studi Komprehensif tentang Konsep Ketuhanan dan Pemikiran Akidah dalam Islam

 

Alihkan ke: Teologi Umum


Abstrak

Artikel ini membahas teologi Islam (Ilmu Kalam) secara komprehensif dengan menyoroti konsep ketuhanan, perkembangan historis, aliran-aliran utama, isu-isu teologis, dan relevansi teologi dalam menghadapi tantangan modern. Teologi Islam, yang berakar pada sumber utama Al-Qur'an dan Hadis, berkembang sebagai respons terhadap tantangan intelektual, spiritual, dan sosial yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa.

Diskusi dalam artikel ini meliputi tiga elemen inti teologi Islam, yaitu tauhid, risalah, dan eskatologi, serta keragaman pendekatan yang mencakup metode tekstualis, rasionalis, dan moderat. Sejarah perkembangan teologi menunjukkan kontribusi berbagai aliran seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Syiah dalam memperkaya diskursus akidah Islam. Pembahasan ini juga menggambarkan bagaimana karya-karya klasik seperti Al-Ibanah oleh Al-Asy’ari dan Tahafut al-Falasifah oleh Al-Ghazali menjadi landasan penting dalam memahami akidah Islam.

Artikel ini menyoroti relevansi teologi Islam dalam menjawab tantangan globalisasi, sekularisme, pluralisme, dan radikalisme, serta perannya dalam membangun harmoni di masyarakat plural. Dengan pendekatan yang seimbang antara dalil naqli dan aqli, teologi Islam menawarkan panduan yang relevan untuk generasi modern dalam mempertahankan keimanan dan menghadapi tantangan intelektual. Artikel ini merekomendasikan penguatan pendidikan teologi yang berbasis pada referensi klasik dan adaptasi terhadap teknologi modern untuk memperkokoh akidah generasi Muslim.


Kata Kunci: Teologi Islam, Ilmu Kalam, Tauhid, Sekularisme, Radikalisme, Referensi Klasik, Akidah, Tantangan Modern.


1.           Pendahuluan

Teologi, dalam konteks Islam, dikenal sebagai Ilmu Kalam atau Ilmu Akidah. Istilah ini merujuk pada disiplin ilmu yang membahas masalah-masalah akidah berdasarkan dalil-dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadis) serta pendekatan rasional (aqli). Secara historis, Ilmu Kalam muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam pada masa-masa awal, baik berupa perpecahan politik, konflik internal, maupun pengaruh filsafat asing.¹

Secara etimologis, istilah kalam berasal dari kata Arab yang berarti "pembicaraan" atau "dialog". Nama ini digunakan karena pembahasan teologi Islam sering kali disampaikan melalui debat dan diskusi untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan ideologis.² Dalam perkembangannya, teologi Islam tidak hanya menjadi alat untuk membela keyakinan Islam tetapi juga sarana untuk memperdalam pemahaman tentang Allah (ma'rifatullah), sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam semesta.³

Teologi Islam memiliki kedudukan yang sangat penting, karena akidah merupakan pondasi bagi setiap amal dalam Islam. Keyakinan yang benar adalah prasyarat utama diterimanya amal. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan pentingnya iman yang kokoh sebagai dasar agama: "Barang siapa menghendaki agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."⁴ Hal ini menunjukkan bahwa akidah adalah inti dari keislaman seseorang.

Tujuan utama dari teologi Islam adalah membentuk keyakinan yang benar dan kokoh dalam diri seorang Muslim. Di samping itu, teologi juga berfungsi untuk membentengi umat dari penyimpangan akidah akibat pemikiran-pemikiran yang menyimpang atau pengaruh eksternal yang merusak, seperti filsafat materialisme, sekularisme, dan atheisme. Ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Fakhruddin Ar-Razi telah menekankan pentingnya pendekatan moderat yang menggabungkan dalil naqli dan dalil aqli dalam pembahasan teologi.⁵

Artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang teologi Islam, termasuk konsep-konsep mendasar, sejarah perkembangan, aliran-aliran teologi, serta relevansi dan tantangannya di era modern. Dengan pendekatan akademis dan referensi yang kredibel, diharapkan artikel ini dapat menjadi rujukan yang bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah mereka serta memahami dinamika teologi Islam secara lebih mendalam.


Catatan Kaki

[1]                William Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 16.

[2]                Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I'tiqad, trans. Muhammad Abul Quasem (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 12-14.

[4]                Al-Qur'an, Surah Ali 'Imran (3): 85.

[5]                Fakhruddin Ar-Razi, Al-Matalib al-‘Aliyyah fi al-‘Ilm al-Ilahiyyah, ed. Ahmad Hijazi Al-Saqqa (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1987), 1:5.


2.           Konsep Dasar Teologi Islam

Teologi Islam adalah ilmu yang membahas masalah keyakinan (aqidah) dengan tujuan memahami dan menguatkan prinsip-prinsip dasar iman berdasarkan wahyu ilahi serta argumen rasional. Dalam tradisi Islam, teologi memiliki tiga komponen utama: tauhid, risalah, dan eskatologi.¹ Ketiga elemen ini membentuk inti dari keyakinan seorang Muslim dan menjadi dasar bagi pengembangan Ilmu Kalam.

2.1.       Definisi Teologi dalam Perspektif Islam

Secara terminologis, teologi dalam Islam dikenal sebagai Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid. Istilah ini merujuk pada pembahasan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, dan relasi-Nya dengan alam semesta. Al-Jurjani mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang membahas tentang akidah Islam dengan dalil-dalil yang meyakinkan.² Dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan teologi tidak hanya mencakup aspek keyakinan tetapi juga melibatkan diskusi filsafat, logika, dan etika

2.2.       Sumber Utama Teologi Islam

Teologi Islam berakar pada sumber utama ajaran Islam, yaitu:

·                     Al-Qur'an:

Sebagai kitab suci, Al-Qur'an memberikan landasan teologis yang kokoh, seperti konsep tauhid yang tercermin dalam ayat "Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa."⁴

·                     Hadis:

Peran hadis sebagai penjelas wahyu melengkapi pengajaran tentang keyakinan dasar, seperti hadis Nabi tentang iman: “Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk.”⁵

·                     Ijma dan Qiyas:

Konsensus para ulama dan analogi digunakan untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis.

2.3.       Prinsip Dasar Akidah dalam Islam

Teologi Islam menegaskan tiga prinsip utama dalam akidah:

1)                  Tauhid (Keyakinan terhadap Keesaan Allah):

Tauhid adalah inti dari ajaran Islam, yang melibatkan tiga aspek: Tauhid Rububiyyah (pengakuan terhadap kekuasaan Allah), Tauhid Uluhiyyah (pengabdian hanya kepada Allah), dan Tauhid Asma wa Sifat (penegasan sifat-sifat Allah yang sempurna).⁶ Konsep ini menekankan bahwa Allah tidak memiliki sekutu, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”⁷

2)                  Risalah (Keyakinan terhadap Kenabian):

Risalah meliputi keyakinan bahwa Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan petunjuk-Nya kepada umat manusia. Muhammad adalah nabi terakhir yang membawa risalah sempurna dalam bentuk Al-Qur'an.⁸

3)                  Eschatology (Hari Akhir dan Kehidupan Setelah Mati):

Keyakinan tentang kehidupan setelah mati menjadi landasan etis dalam Islam. Hari kiamat digambarkan sebagai waktu di mana setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya di dunia.⁹

2.4.       Hubungan antara Wahyu dan Akal

Dalam Islam, teologi bukan hanya berbasis pada wahyu tetapi juga melibatkan akal sebagai alat untuk memahami ajaran agama.¹⁰ Ulama seperti Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi. Jika akal digunakan dalam batas yang sesuai, ia dapat memperkuat iman dan memperjelas kebenaran wahyu.¹¹

Dengan dasar-dasar tersebut, teologi Islam bukan hanya sekadar ilmu yang membahas iman, tetapi juga menjadi landasan bagi kehidupan spiritual, intelektual, dan moral umat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2.

[2]                Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.

[3]                Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London: Routledge, 2006), 395.

[4]                Al-Qur'an, Surah Al-Ikhlas (112): 1.

[5]                Shahih Muslim, Kitab Iman, Hadis no. 8.

[6]                Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, ed. Ahmad Shakir (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1983), 3:5.

[7]                Al-Qur'an, Surah Asy-Syura (42): 11.

[8]                Muhammad Abu Zahra, Khatam an-Nabiyyin (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1963), 45.

[9]                Al-Qur'an, Surah Al-Zalzalah (99): 7-8.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 80.

[11]             Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 13.


3.           Sejarah Perkembangan Teologi Islam

Sejarah perkembangan teologi Islam (Ilmu Kalam) tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah sosial, politik, dan intelektual umat Islam. Ilmu ini berkembang sebagai respons terhadap berbagai tantangan internal dan eksternal, seperti perpecahan politik, munculnya aliran-aliran pemikiran, dan interaksi dengan filsafat Yunani. Dalam perkembangannya, teologi Islam melahirkan berbagai aliran dengan karakteristik dan metode yang berbeda.

3.1.       Lahirnya Ilmu Kalam: Faktor-Faktor Penyebab

Teologi Islam mulai terbentuk pada masa-masa awal Islam, terutama setelah wafatnya Nabi Muhammad. Beberapa faktor yang mendorong lahirnya Ilmu Kalam meliputi:

1)                  Perpecahan Politik dan Fitnah Kubra

Konflik politik yang dimulai dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dan perang antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah menciptakan diskusi teologis mengenai legitimasi kepemimpinan dan status orang-orang yang terlibat dalam dosa besar (kabirah).¹ Aliran Khawarij dan Murji'ah muncul sebagai respons terhadap isu ini, dengan pandangan teologis yang bertolak belakang.²

2)                  Munculnya Tantangan Pemikiran

Masyarakat Muslim mulai berinteraksi dengan filsafat Yunani dan agama-agama lain seperti Kristen dan Zoroastrianisme. Tantangan intelektual ini memaksa para ulama untuk menyusun argumen rasional yang membela keyakinan Islam.³

3)                  Pengaruh Filsafat Yunani

Terjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah memperkaya diskursus intelektual Muslim, tetapi juga menimbulkan perdebatan mengenai harmoni antara akal dan wahyu.⁴

3.2.       Periode Klasik: Pembentukan Aliran-Aliran Teologi

Selama periode klasik, berbagai aliran teologi muncul, masing-masing dengan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu akidah:

1)                  Mu'tazilah

Mu'tazilah adalah aliran rasionalis yang menekankan pentingnya akal dalam memahami agama. Mereka dikenal dengan prinsip-prinsipnya yang dikenal sebagai al-usul al-khamsah (lima prinsip utama), seperti keadilan Tuhan (al-adl) dan tauhid.⁵ Namun, pendekatan rasionalis mereka sering kali dianggap berlebihan oleh ulama Ahlus Sunnah.⁶

2)                  Ahlus Sunnah wal Jamaah

Ahlus Sunnah mengembangkan pendekatan moderat yang menggabungkan dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Dua mazhab utama dalam kelompok ini adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.⁷ Pendekatan mereka lebih inklusif, mengakomodasi berbagai pandangan tanpa mengabaikan landasan wahyu.

3)                  Syiah

Teologi Syiah memiliki fokus utama pada konsep imamah, yaitu kepemimpinan spiritual yang merupakan hak eksklusif Ahlul Bait.⁸ Dalam diskursus teologis, mereka juga menekankan keadilan Tuhan dan peran para imam sebagai penjaga wahyu.

4)                  Khawarij dan Murji'ah

Khawarij terkenal dengan pandangan teologis ekstrem mereka, seperti mengkafirkan pelaku dosa besar. Sebaliknya, Murji'ah lebih bersifat toleran dan menyerahkan penilaian akhir kepada Allah.⁹

3.3.       Periode Pertengahan: Integrasi Filsafat dan Teologi

Pada abad ke-10 hingga ke-12, teologi Islam mencapai puncaknya dengan munculnya ulama seperti Al-Ghazali dan Fakhruddin Al-Razi. Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut al-Falasifah, mengkritik filsafat secara tajam tetapi tetap menggunakan metode rasional dalam pembahasan akidah.¹⁰ Di sisi lain, Al-Razi mengintegrasikan logika Aristotelian dengan diskursus teologis.¹¹

3.4.       Periode Modern: Relevansi dan Tantangan

Pada era modern, teologi Islam dihadapkan pada tantangan baru, seperti sekularisme, materialisme, dan atheisme. Pemikir seperti Muhammad Abduh berusaha mereformasi teologi Islam agar lebih relevan dengan konteks modern.¹² Dialog antaragama dan isu-isu pluralisme juga menjadi fokus baru dalam diskursus teologi Islam.¹³


Kesimpulan

Perkembangan teologi Islam mencerminkan dinamika intelektual umat Islam dalam merespons berbagai tantangan yang mereka hadapi. Dari perpecahan politik hingga pengaruh filsafat asing, teologi Islam terus berkembang dengan mempertahankan prinsip-prinsip dasar akidah yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.


Catatan Kaki

[1]                Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 253.

[2]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans. William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842), 33-35.

[3]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 45.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 55.

[5]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 121.

[6]                Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah, ed. Abdul Rahman Badawi (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1961), 19.

[7]                Abu Bakr Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 48.

[8]                Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 164.

[9]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 40.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23-25.

[11]             Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-Arabi, 1999), 2:18.

[12]             Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 95.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 124.


4.           Aliran-Aliran Teologi Islam

Teologi Islam berkembang melalui berbagai aliran yang muncul sebagai respons terhadap tantangan politik, sosial, dan intelektual. Setiap aliran memiliki pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu teologis, seperti sifat-sifat Allah, hubungan akal dan wahyu, serta status iman dan amal dalam menentukan keislaman seseorang. Aliran-aliran ini, meskipun berbeda, memberikan kontribusi signifikan terhadap kekayaan intelektual Islam.

4.1.       Ahlus Sunnah wal Jamaah

Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) merupakan arus utama dalam teologi Islam. Dua mazhab utama dalam Aswaja adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang keduanya memadukan dalil naqli dan aqli.

1)                  Asy’ariyah

Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (874–936 M), yang awalnya seorang Mu'tazilah sebelum meninggalkan aliran tersebut.¹ Asy’ariyah menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu, tetapi memberi prioritas kepada wahyu dalam isu-isu metafisik.² Mereka juga memperkenalkan konsep kasb (usaha manusia) untuk menjelaskan kehendak bebas dalam kerangka takdir Allah.³

2)                  Maturidiyah

Didirikan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M), mazhab ini lebih rasional dibanding Asy’ariyah. Maturidiyah menegaskan bahwa akal memiliki peran besar dalam memahami kewajiban agama, tetapi tetap dalam batas-batas yang ditentukan wahyu.⁴ Mazhab ini menjadi dominan di kalangan Hanafiyah.⁵

4.2.       Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah aliran rasionalis yang berkembang pada abad ke-8 M. Mereka dikenal dengan lima prinsip utama (al-usul al-khamsah): tauhid, keadilan Allah (al-adl), janji dan ancaman Allah, posisi menengah bagi pelaku dosa besar (manzilah baina al-manzilatain), dan amar ma’ruf nahi munkar.⁶

1)                  Tauhid

Mu’tazilah menafikan sifat-sifat Allah yang dianggap dapat mengarah pada penggandaan esensi Tuhan.⁷

2)                  Keadilan Allah

Mereka menekankan kebebasan kehendak manusia dan menolak konsep takdir yang sepenuhnya mengikat manusia.⁸

Mu’tazilah memainkan peran penting selama Dinasti Abbasiyah, tetapi pengaruhnya menurun setelah masa Mihnah (Inkuisisi Teologi).⁹

4.3.       Syiah

Teologi Syiah berfokus pada konsep imamah, yaitu kepemimpinan spiritual yang eksklusif bagi Ahlul Bait.¹⁰ Para imam dianggap memiliki otoritas religius dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa.

1)                  Imamah

Imamah dipandang sebagai bagian integral dari akidah, dan setiap imam dipilih secara ilahi untuk memimpin umat.¹¹

2)                  Keadilan Tuhan

Syiah mengadopsi pandangan Mu’tazilah dalam menekankan keadilan Tuhan (al-adl), tetapi dengan fokus lebih besar pada peran para imam sebagai penengah antara Allah dan manusia.¹²

4.4.       Khawarij dan Murji’ah

1)                  Khawarij

Aliran ini muncul dari perpecahan politik pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka terkenal dengan pandangan ekstrem, seperti mengkafirkan pelaku dosa besar.¹³

2)                  Murji’ah

Sebaliknya, Murji’ah memiliki pandangan yang lebih toleran, menyerahkan penilaian iman seseorang sepenuhnya kepada Allah.¹⁴

4.5.       Aliran Teologi Kontemporer

Pada era modern, muncul aliran teologi yang mencoba menjawab tantangan baru, seperti pluralisme dan sekularisme. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida menekankan reformasi teologi dengan menyesuaikan doktrin Islam pada kebutuhan modern.¹⁵


Kesimpulan

Setiap aliran teologi Islam berupaya memberikan pemahaman mendalam tentang akidah, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Keanekaragaman ini mencerminkan kekayaan intelektual Islam, yang terus relevan dalam menjawab tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 86.

[2]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 23.

[3]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.

[4]                Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fatima Al-Jibaly (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 67.

[5]                Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London: Routledge, 2006), 432.

[6]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 112.

[7]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam, 58.

[8]                Al-Jurjani, At-Ta’rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 215.

[9]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 131.

[10]             Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 174.

[11]             Hossein Nasr, Shi’a Islam (Albany: State University of New York Press, 1988), 45.

[12]             Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans. William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842), 142.

[13]             Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 253.

[14]             Al-Jurjani, At-Ta’rifat, 220.

[15]             Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 87.


5.           Isu-Isu Penting dalam Teologi Islam

Teologi Islam membahas berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan keyakinan umat Muslim. Isu-isu ini tidak hanya menjadi dasar akidah, tetapi juga menimbulkan diskursus intelektual yang signifikan di kalangan ulama. Beberapa isu penting yang terus menjadi perdebatan dalam teologi Islam meliputi konsep tauhid, qadha dan qadar, hubungan akal dan wahyu, penafsiran sifat Allah, serta eskatologi.

5.1.       Konsep Tauhid

Tauhid adalah inti ajaran Islam yang menegaskan keesaan Allah. Dalam teologi Islam, tauhid dibagi menjadi tiga kategori:

1)                  Tauhid Rububiyyah

Menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta.¹ Dalilnya terdapat dalam ayat Al-Qur'an: “Allah adalah Tuhan langit dan bumi, yang menciptakan segala sesuatu.”²

2)                  Tauhid Uluhiyyah

Mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, tanpa menyekutukan-Nya.³ Tauhid ini menekankan pentingnya ibadah yang murni untuk Allah.

3)                  Tauhid Asma wa Sifat

Tauhid ini membahas pengakuan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa menyerupakan atau meniadakan sifat-sifat tersebut.⁴ Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan sifat Allah, antara pendekatan tekstualis (salaf) dan takwil (khalaf).⁵

5.2.       Qadha dan Qadar

Perdebatan tentang takdir menjadi salah satu isu utama dalam teologi Islam. Dua pandangan besar muncul terkait hal ini:

1)                  Jabariyah

Aliran ini meyakini bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam kehendaknya, dan segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah.⁶

2)                  Qadariyah

Sebaliknya, Qadariyah menekankan kebebasan kehendak manusia dan tanggung jawabnya terhadap amalnya.⁷

Pendekatan Ahlus Sunnah mencoba menyeimbangkan kedua pandangan ini dengan konsep kasb (usaha manusia yang berada di bawah kehendak Allah).⁸

5.3.       Hubungan Akal dan Wahyu

Dalam teologi Islam, hubungan antara akal dan wahyu menjadi diskursus penting. Aliran seperti Mu’tazilah menempatkan akal sebagai alat utama dalam memahami agama, bahkan dalam isu-isu metafisik.⁹ Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jamaah menegaskan bahwa akal harus tunduk pada wahyu, tetapi tetap memiliki peran untuk memahami dalil-dalil agama.¹⁰ Al-Ghazali menyatakan bahwa akal dan wahyu adalah dua sumber kebenaran yang tidak mungkin bertentangan jika digunakan dengan benar.¹¹

5.4.       Penafsiran Sifat Allah

Penafsiran sifat-sifat Allah, seperti istiwa (bersemayam), yad (tangan), dan wajh (wajah), menjadi perdebatan di kalangan ulama.¹² Pendekatan tekstualis mengartikan sifat-sifat tersebut sebagaimana adanya tanpa penyerupaan (tasybih), sementara pendekatan takwil memberikan penafsiran metaforis untuk menghindari penyimpangan akidah.¹³

5.5.       Eskatologi Islam

Eschatologi atau pembahasan tentang kehidupan setelah mati adalah isu sentral dalam teologi Islam. Konsep ini mencakup keyakinan tentang kebangkitan, surga, neraka, dan hari pembalasan.¹⁴ Al-Qur'an memberikan gambaran rinci tentang peristiwa kiamat, seperti dalam ayat: “Pada hari itu manusia akan keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) atas amal mereka.”¹⁵

Eskatologi juga mencakup diskursus tentang syafaat Nabi, timbangan amal (mizan), dan shirat. Ulama berbeda pandangan tentang mekanisme keadilan ilahi pada hari akhir, tetapi sepakat bahwa kehidupan dunia adalah tempat persiapan untuk kehidupan akhirat.¹⁶


Kesimpulan

Isu-isu teologis ini menunjukkan kedalaman intelektual Islam dalam menjelaskan prinsip-prinsip akidah. Perdebatan yang terjadi di kalangan ulama bukanlah bentuk pertentangan, melainkan upaya untuk memahami dan menjelaskan ajaran Islam secara lebih komprehensif.


Catatan Kaki

[1]                Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.

[2]                Al-Qur'an, Surah Al-An’am (6): 101.

[3]                Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, ed. Ahmad Shakir (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1983), 3:5.

[4]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim Mahmoud (Cairo: Dar al-Shaab, 1978), 1:24.

[5]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-Arabi, 1999), 1:32.

[6]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans. William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842), 22.

[7]                Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 253.

[8]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.

[9]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 58.

[10]             Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London: Routledge, 2006), 395.

[11]             Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.

[12]             Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.

[13]             Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah, ed. Abdul Rahman Badawi (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1961), 19.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 82.

[15]             Al-Qur'an, Surah Al-Zalzalah (99): 6-7.

[16]             Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 203.


6.           Metode dan Pendekatan dalam Teologi Islam

Teologi Islam (Ilmu Kalam) berkembang dengan beragam metode dan pendekatan yang digunakan para ulama untuk menjelaskan, membela, dan memperluas pemahaman tentang akidah Islam. Setiap metode ini lahir dari kebutuhan untuk menjawab tantangan intelektual, spiritual, dan sosial yang dihadapi umat Islam di berbagai zaman.

6.1.       Metode Dialektis (Jadal)

Metode dialektis adalah ciri khas utama Ilmu Kalam, di mana argumen-argumen logis digunakan untuk mendukung keyakinan Islam. Metode ini bertujuan membangun argumen rasional untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran eksternal, seperti filsafat Yunani atau agama-agama lain.¹

Para ulama seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menggunakan pendekatan ini untuk menghadapi pandangan Mu’tazilah, sementara Imam Fakhruddin Al-Razi mengintegrasikan logika Aristotelian dalam argumen teologisnya.²

Metode dialektis sering dimulai dengan penyajian tesis (pandangan yang dipegang) dan antitesis (pandangan lawan), lalu disertai analisis rasional untuk membuktikan kebenaran Islam.³

6.2.       Pendekatan Tekstualis (Nashiyah)

Pendekatan tekstualis bertumpu pada pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur'an dan Hadis. Pendekatan ini dikenal sebagai metode Salaf, yang dipelopori oleh generasi awal Islam seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Para ulama tekstualis lebih memilih untuk tidak melakukan interpretasi rasional yang mendalam terhadap ayat-ayat sifat Allah, seperti istiwa (bersemayam) atau yad (tangan Allah), dan menerima teks sebagaimana adanya tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.⁴

Pendekatan ini menekankan sikap tunduk dan penerimaan terhadap wahyu tanpa mempertanyakan rincian metafisiknya.⁵

6.3.       Pendekatan Rasional (Aqliyah)

Pendekatan rasional banyak digunakan oleh ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Mu’tazilah. Aliran Mu’tazilah, misalnya, memberikan penekanan besar pada kemampuan akal dalam memahami prinsip-prinsip teologi.⁶ Mereka percaya bahwa akal dapat digunakan untuk menjelaskan keadilan Tuhan dan membuktikan kebenaran wahyu.⁷

Meskipun pendekatan ini dianggap progresif, para kritikus, termasuk Imam Al-Ghazali, menilai bahwa pendekatan rasional tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan wahyu. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim yang menggunakan akal untuk menafsirkan doktrin agama secara berlebihan.⁸

6.4.       Pendekatan Moderat (Kombinasi Naqli dan Aqli)

Pendekatan moderat menggabungkan dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal) untuk menghasilkan pemahaman teologi yang seimbang. Pendekatan ini digunakan oleh mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Imam Al-Asy’ari menyatakan bahwa akal memiliki peran penting dalam menjelaskan wahyu, tetapi wahyu tetap menjadi sumber utama akidah.⁹

Pendekatan ini menjadi dasar bagi diskursus teologi Islam yang moderat dan dapat diterima oleh berbagai kelompok. Imam Al-Ghazali, misalnya, menegaskan bahwa akal adalah alat untuk memahami wahyu, tetapi tidak dapat berdiri sendiri dalam pembahasan isu-isu metafisik.¹⁰

6.5.       Relevansi Metode di Era Modern

Di era modern, metode dan pendekatan teologi Islam terus berkembang untuk menjawab tantangan baru seperti sekularisme, pluralisme agama, dan atheisme. Para pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida mencoba mengadaptasi pendekatan rasional dalam kerangka modern tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar wahyu.¹¹

Metode dialog antaragama juga mulai berkembang untuk menjelaskan teologi Islam kepada audiens non-Muslim secara lebih terbuka dan rasional. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menekankan pentingnya menjelaskan nilai-nilai spiritual Islam dengan cara yang relevan di dunia global.¹²


Kesimpulan

Metode dan pendekatan dalam teologi Islam menunjukkan dinamika intelektual umat Islam dalam merespons tantangan di setiap zaman. Pendekatan tekstualis, rasional, dan moderat masing-masing memiliki kelebihan dalam menjelaskan dan membela keyakinan Islam. Dalam konteks modern, pendekatan yang adaptif dan inklusif menjadi penting untuk menjaga relevansi teologi Islam di tengah perkembangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.

[2]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-Arabi, 1999), 1:32.

[3]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 25.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.

[5]                Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 253.

[6]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 58.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2.

[8]                Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.

[9]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.

[10]             Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London: Routledge, 2006), 395.

[11]             Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 95.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 124.


7.           Teologi Islam dan Tantangan Modern

Teologi Islam (Ilmu Kalam) menghadapi berbagai tantangan di era modern. Perkembangan globalisasi, sekularisme, pluralisme, dan kemajuan teknologi telah memunculkan isu-isu baru yang menuntut reformulasi konsep-konsep teologi agar tetap relevan. Selain itu, tantangan berupa penyimpangan akidah, radikalisme, dan dialog antaragama juga memerlukan respons yang matang dari perspektif teologi Islam.

7.1.       Tantangan Globalisasi dan Sekularisme

Globalisasi telah membawa interaksi budaya dan agama ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menimbulkan tantangan bagi teologi Islam untuk mempertahankan prinsip-prinsip akidah di tengah arus sekularisme yang mencoba memisahkan agama dari kehidupan publik.¹

Sekularisme, yang berkembang pesat di dunia Barat, memengaruhi pandangan sebagian Muslim terhadap agama. Dalam menghadapi tantangan ini, para pemikir seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman mengusulkan pendekatan yang menekankan relevansi agama dalam kehidupan modern tanpa mengabaikan esensinya.²

7.2.       Radikalisme dan Moderasi dalam Teologi

Salah satu tantangan utama teologi Islam modern adalah radikalisme yang sering kali mengatasnamakan agama. Pandangan ekstrem ini muncul dari interpretasi sempit terhadap teks-teks suci, yang sering kali tidak mempertimbangkan konteks historisnya.³

Sebagai respons, ulama dan intelektual Muslim menyerukan pentingnya pendekatan moderasi (wasathiyyah) dalam memahami teologi Islam. Moderasi ini tercermin dalam ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menyeimbangkan antara dalil naqli dan aqli.⁴ Pendekatan moderat ini bertujuan untuk mempromosikan toleransi dan harmoni dalam masyarakat plural.⁵

7.3.       Pluralisme Agama dan Dialog Antaragama

Pluralisme agama adalah tantangan besar bagi teologi Islam, terutama dalam menjawab isu-isu tentang kebenaran absolut agama dan hubungan dengan tradisi keagamaan lain. Teologi Islam menghadapi dilema antara mempertahankan keunikan Islam sebagai agama yang benar dan menjalin dialog yang konstruktif dengan agama lain.⁶

Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menekankan perlunya dialog antaragama yang didasarkan pada penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual universal, tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip dasar Islam.⁷ Di sisi lain, Yusuf Al-Qaradawi menekankan pentingnya menjalin hubungan baik dengan umat beragama lain untuk menciptakan harmoni sosial.⁸

7.4.       Tantangan Atheisme dan Materialisme

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering kali digunakan sebagai argumen untuk menolak keberadaan Tuhan (atheisme) atau menafikan nilai-nilai spiritual (materialisme). Tantangan ini mengharuskan teologi Islam untuk memperkuat argumen rasional yang mendukung keberadaan Tuhan dan relevansi agama dalam dunia modern.⁹

Para ulama dan cendekiawan Muslim seperti Harun Yahya menggunakan bukti ilmiah untuk menunjukkan kompatibilitas antara Islam dan sains, serta untuk membantah klaim atheisme.¹⁰

7.5.       Teologi Islam dan Generasi Milenial

Generasi milenial yang tumbuh di era digital memiliki tantangan unik dalam memahami agama. Paparan terhadap berbagai ideologi melalui media sosial dapat melemahkan pemahaman akidah mereka.¹¹

Untuk menghadapi tantangan ini, pendidikan teologi Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan generasi modern. Para pendidik diharapkan mampu menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang relevan, menggunakan teknologi dan media digital untuk menjangkau generasi muda.¹²


Kesimpulan

Tantangan modern yang dihadapi teologi Islam menuntut respons yang relevan dan kontekstual. Para ulama dan intelektual Muslim perlu mengembangkan pendekatan yang seimbang antara menjaga prinsip-prinsip dasar akidah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Dengan pendekatan ini, teologi Islam dapat tetap relevan dan menjadi panduan bagi umat dalam menghadapi tantangan global.


Catatan Kaki

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.

[2]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 87.

[3]                Oliver Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 139.

[4]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.

[5]                Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 61.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman, 1975), 98.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 132.

[8]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah, 2009), 2:784.

[9]                Harun Yahya, The Quran Leads the Way to Science (Istanbul: Global Publishing, 2004), 19.

[10]             Harun Yahya, Evolution Deceit (Istanbul: Global Publishing, 2003), 45.

[11]             Jonathan A. C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld Publications, 2014), 203.

[12]             Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California Press, 1966), 87.


8.           Studi Teologi Islam Berdasarkan Referensi Klasik

Teologi Islam (Ilmu Kalam) dibangun atas dasar tradisi keilmuan yang kaya, dengan referensi-referensi klasik yang menjadi landasan utama dalam memahami akidah. Karya-karya ulama klasik tidak hanya mencerminkan diskursus intelektual pada masanya tetapi juga memberikan panduan abadi yang relevan untuk umat Islam di berbagai zaman. Studi terhadap referensi klasik ini penting untuk memahami teologi Islam secara mendalam dan autentik.

8.1.       Kitab Al-Ibanah oleh Imam Al-Asy’ari

Kitab Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (874–936 M) adalah salah satu referensi penting dalam teologi Islam. Buku ini merupakan pernyataan teologis Al-Asy’ari setelah meninggalkan aliran Mu’tazilah dan kembali ke pandangan Ahlus Sunnah

Dalam Al-Ibanah, Al-Asy’ari menjelaskan konsep-konsep kunci seperti tauhid, sifat-sifat Allah, dan kehendak bebas manusia.² Ia juga menekankan pentingnya menerima teks-teks Al-Qur'an dan Hadis secara literal dalam pembahasan sifat-sifat Allah, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih) atau menafikan sifat-sifat-Nya (ta’til).³

8.2.       Kitab Al-Tamhid oleh Al-Baqillani

Imam Al-Baqillani (940–1013 M), murid dari mazhab Asy’ariyah, menulis Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidah wa al-Mu’aththilah, sebuah karya monumental yang membela akidah Islam dari serangan aliran-aliran yang menyimpang.⁴

Kitab ini membahas isu-isu penting seperti sifat-sifat Allah, hubungan antara akal dan wahyu, serta argumen rasional tentang keberadaan Tuhan.⁵ Al-Baqillani memperkenalkan konsep kasb, yang menjelaskan bahwa manusia memiliki usaha dalam tindakannya, tetapi kehendaknya tetap berada di bawah kekuasaan Allah.⁶

8.3.       Kitab Al-Milal wa al-Nihal oleh Al-Shahrastani

Kitab Al-Milal wa al-Nihal karya Al-Shahrastani (1086–1153 M) adalah ensiklopedia yang mencatat berbagai aliran teologi, filsafat, dan agama.⁷ Dalam buku ini, Al-Shahrastani secara objektif menguraikan pandangan-pandangan teologis dari berbagai aliran seperti Mu’tazilah, Khawarij, dan Syiah.⁸

Karya ini menjadi referensi penting untuk memahami keragaman pemikiran dalam Islam dan menunjukkan bagaimana diskursus intelektual diwarnai oleh perbedaan pandangan teologis.⁹

8.4.       Kitab Ihya Ulum al-Din oleh Al-Ghazali

Al-Ghazali (1058–1111 M) menyusun Ihya Ulum al-Din, yang meskipun lebih dikenal sebagai kitab tasawuf, juga mengandung pembahasan penting tentang teologi Islam.¹⁰ Al-Ghazali menekankan pentingnya memadukan akal dan wahyu dalam memahami agama, serta membantah pandangan ekstrem yang hanya bergantung pada salah satu.¹¹

Dalam Ihya, Al-Ghazali mengkritik filsafat yang cenderung mengabaikan wahyu dan juga menentang literalitas berlebihan yang mengabaikan akal.¹²

8.5.       Kitab Al-Mustasfa oleh Al-Ghazali

Dalam Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, Al-Ghazali memberikan kontribusi penting terhadap teologi dan ushul fiqh.¹³ Buku ini menjelaskan prinsip-prinsip dasar dalam Islam dengan pendekatan rasional, yang tetap setia pada dalil naqli. Al-Ghazali membahas peran akal dalam memahami hukum syariat dan menjelaskan bagaimana akidah harus dijaga dari pengaruh eksternal.¹⁴

8.6.       Relevansi Referensi Klasik dalam Konteks Modern

Referensi-referensi klasik ini tetap relevan hingga kini karena memberikan dasar yang kokoh dalam menghadapi tantangan modern. Para ulama klasik tidak hanya merumuskan akidah berdasarkan teks-teks suci, tetapi juga menggunakan argumen rasional yang dapat menjawab berbagai tantangan pemikiran kontemporer, seperti sekularisme, materialisme, dan atheisme.¹⁵


Kesimpulan

Studi terhadap referensi klasik dalam teologi Islam memberikan wawasan yang mendalam tentang akidah dan kerangka berpikir Islam yang holistik. Karya-karya ulama seperti Imam Al-Asy’ari, Al-Baqillani, Al-Shahrastani, dan Al-Ghazali menunjukkan kekayaan intelektual Islam yang mampu menjawab tantangan dari masa ke masa. Dengan memahami dan merujuk pada referensi ini, umat Islam dapat memperkuat keyakinan dan memperluas wawasan keilmuan mereka.


Catatan Kaki

[1]                Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah, ed. Muhammad Hamidullah (Cairo: Dar al-Turath, 1960), 12.

[2]                Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 56.

[3]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 33.

[4]                Al-Baqillani, Al-Tamhid, 45.

[5]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-Arabi, 1999), 1:12.

[6]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans. William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842), 23.

[7]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 28.

[8]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim Mahmoud (Cairo: Dar al-Shaab, 1978), 1:15.

[9]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 27.

[10]             Al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, ed. Muhammad Abul Quasem (Cairo: Dar al-Kutub, 1961), 35.

[11]             Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 63.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman, 1975), 105.


9.           Kesimpulan

Teologi Islam (Ilmu Kalam) adalah salah satu pilar utama dalam khazanah keilmuan Islam yang memainkan peran penting dalam menjaga keutuhan akidah umat Muslim. Melalui pembahasan yang mencakup konsep dasar, sejarah perkembangan, aliran-aliran teologi, hingga tantangan modern, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah respons dinamis terhadap tantangan intelektual, spiritual, dan sosial yang terus berkembang sepanjang sejarah.

9.1.       Teologi Islam sebagai Penjaga Akidah

Teologi Islam dirancang untuk menjaga dan memperkokoh akidah umat Muslim. Dengan menekankan keesaan Allah (tauhid), sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan Tuhan, Ilmu Kalam memberikan dasar yang kuat bagi keimanan.¹ Konsep-konsep seperti tauhid, qadha dan qadar, serta hubungan akal dan wahyu membentuk kerangka teologis yang menjadi landasan pemikiran Islam.²

9.2.       Keanekaragaman dan Dinamika dalam Teologi Islam

Sejarah menunjukkan bahwa teologi Islam tidak monolitik, melainkan berkembang melalui berbagai aliran yang mencerminkan upaya intelektual untuk memahami agama. Aliran-aliran seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah, Mu’tazilah, Khawarij, Syiah, dan Murji’ah memiliki kontribusi unik dalam memperkaya diskursus teologis.³ Meskipun terdapat perbedaan, keragaman ini menunjukkan bahwa Islam memiliki ruang untuk diskusi yang sehat dalam memahami doktrin agama.⁴

9.3.       Relevansi Referensi Klasik dan Tantangan Modern

Karya-karya klasik seperti Al-Ibanah oleh Al-Asy’ari, Al-Tamhid oleh Al-Baqillani, dan Tahafut al-Falasifah oleh Al-Ghazali memberikan panduan abadi untuk memahami dan menjawab isu-isu teologis.⁵ Meskipun demikian, teologi Islam terus berkembang untuk menghadapi tantangan modern seperti sekularisme, pluralisme, dan atheisme. Para intelektual Muslim kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan bahwa teologi Islam tetap relevan dengan mengadaptasi metode dan pendekatan sesuai kebutuhan zaman.⁶

9.4.       Teologi Islam sebagai Landasan Moderasi

Pendekatan moderat (wasathiyyah) dalam teologi Islam menjadi kebutuhan mendesak di era modern. Dengan menyeimbangkan antara dalil naqli dan aqli, pendekatan ini mampu menjawab tantangan radikalisme sekaligus mempromosikan toleransi dan harmoni di masyarakat plural.⁷ Moderasi ini tercermin dalam mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang menawarkan metodologi teologi yang inklusif tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar akidah.⁸

9.5.       Pesan dan Rekomendasi

Sebagai ilmu yang memiliki akar kuat dalam tradisi Islam, Ilmu Kalam harus terus diajarkan, dipelajari, dan dikembangkan sesuai konteks zaman. Generasi muda perlu diberi pemahaman yang mendalam tentang teologi Islam agar mampu menghadapi tantangan intelektual dan spiritual di era global. Pendidikan berbasis Ilmu Kalam yang disesuaikan dengan teknologi modern dapat menjadi sarana untuk menjaga akidah umat dan membangun generasi Muslim yang cerdas dan berintegritas.⁹


Kesimpulan Akhir

Teologi Islam adalah manifestasi dari upaya intelektual dan spiritual umat Islam untuk memahami Tuhan, wahyu, dan dunia. Dengan fondasi yang kokoh dalam referensi klasik dan relevansi yang terus diperbarui, Ilmu Kalam tetap menjadi ilmu yang esensial dalam membangun dan mempertahankan keyakinan umat Muslim di tengah dinamika zaman.


Catatan Kaki

[1]                Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.

[2]                Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.

[3]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans. William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842), 33.

[4]                Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 253.

[5]                Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah, ed. Muhammad Hamidullah (Cairo: Dar al-Turath, 1960), 12.

[6]                Muhammad Abduh, Risalat al-Tawhid, trans. Ishaq Musa’ad (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1966), 47.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 132.

[8]                Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London: Routledge, 2006), 395.

[9]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.


Daftar Pustaka

Abduh, M. (1966). Risalat al-Tawhid (I. Musa’ad, Trans.). Beirut: Dar al-Ma’arif.

Al-Asy’ari, A. H. (1960). Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah (M. Hamidullah, Ed.). Cairo: Dar al-Turath.

Al-Baqillani, A. B. (1998). Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidah wa al-Mu’aththilah (I. Al-Badawi, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Ghazali, A. H. (2000). Tahafut al-Falasifah (M. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Al-Ghazali, A. H. (1978). Ihya Ulum al-Din (A. Mahmoud, Ed.). Cairo: Dar al-Shaab.

Al-Ghazali, A. H. (1961). Al-Mustasfa min Ilm al-Usul. Cairo: Dar al-Kutub.

Al-Jurjani, A. (1969). At-Ta'rifat (I. Al-Bajuri, Ed.). Cairo: Maktabah Al-Khanji.

Al-Shahrastani, M. (1842). Al-Milal wa al-Nihal (W. Cureton, Trans.). London: Society for the Publication of Oriental Texts.

Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hodgson, M. (1974). The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Vol. 1). Chicago: University of Chicago Press.

Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Leaman, O. (2006). The Qur'an: An Encyclopedia. London: Routledge.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London: Longman.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The Search for a New Ummah. New York: Columbia University Press.

Taymiyyah, I. (1998). Majmu' al-Fatawa (A. R. Muhammad, Ed.). Riyadh: Dar al-Ilm.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Yahya, H. (2003). Evolution Deceit. Istanbul: Global Publishing.

Yahya, H. (2004). The Quran Leads the Way to Science. Istanbul: Global Publishing.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar