Teologi Islam: Studi Komprehensif tentang Konsep Ketuhanan dan Pemikiran Akidah dalam Islam
Alihkan ke: Teologi
Umum
Abstrak
Artikel ini membahas teologi Islam (Ilmu
Kalam) secara komprehensif dengan menyoroti konsep ketuhanan,
perkembangan historis, aliran-aliran utama, isu-isu teologis, dan relevansi
teologi dalam menghadapi tantangan modern. Teologi Islam, yang berakar pada sumber
utama Al-Qur'an dan Hadis, berkembang sebagai respons terhadap tantangan
intelektual, spiritual, dan sosial yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa.
Diskusi dalam artikel ini meliputi tiga elemen inti
teologi Islam, yaitu tauhid, risalah, dan eskatologi, serta keragaman
pendekatan yang mencakup metode tekstualis, rasionalis, dan moderat. Sejarah
perkembangan teologi menunjukkan kontribusi berbagai aliran seperti Ahlus
Sunnah wal Jamaah, Mu’tazilah,
Khawarij,
dan Syiah
dalam memperkaya diskursus akidah Islam. Pembahasan ini juga menggambarkan
bagaimana karya-karya klasik seperti Al-Ibanah oleh Al-Asy’ari dan Tahafut
al-Falasifah oleh Al-Ghazali menjadi landasan penting dalam memahami akidah
Islam.
Artikel ini menyoroti relevansi teologi Islam dalam
menjawab tantangan globalisasi, sekularisme, pluralisme, dan radikalisme, serta
perannya dalam membangun harmoni di masyarakat plural. Dengan pendekatan yang
seimbang antara dalil naqli dan aqli, teologi Islam menawarkan panduan yang
relevan untuk generasi modern dalam mempertahankan keimanan dan menghadapi
tantangan intelektual. Artikel ini merekomendasikan penguatan pendidikan
teologi yang berbasis pada referensi klasik dan adaptasi terhadap teknologi
modern untuk memperkokoh akidah generasi Muslim.
Kata Kunci: Teologi
Islam, Ilmu
Kalam, Tauhid, Sekularisme, Radikalisme, Referensi Klasik, Akidah,
Tantangan Modern.
1.
Pendahuluan
Teologi, dalam konteks Islam, dikenal sebagai Ilmu
Kalam atau Ilmu Akidah. Istilah ini merujuk pada disiplin ilmu
yang membahas masalah-masalah akidah berdasarkan dalil-dalil naqli (Al-Qur'an
dan Hadis) serta pendekatan rasional (aqli). Secara historis, Ilmu
Kalam muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi
umat Islam pada masa-masa awal, baik berupa perpecahan politik, konflik
internal, maupun pengaruh filsafat asing.¹
Secara etimologis, istilah kalam berasal
dari kata Arab yang berarti "pembicaraan" atau "dialog".
Nama ini digunakan karena pembahasan teologi Islam sering kali disampaikan
melalui debat dan diskusi untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan
ideologis.² Dalam perkembangannya, teologi Islam tidak hanya menjadi alat untuk
membela keyakinan Islam tetapi juga sarana untuk memperdalam pemahaman tentang
Allah (ma'rifatullah), sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam
semesta.³
Teologi Islam memiliki kedudukan yang sangat
penting, karena akidah merupakan pondasi bagi setiap amal dalam Islam.
Keyakinan yang benar adalah prasyarat utama diterimanya amal. Dalam Al-Qur'an,
Allah menegaskan pentingnya iman yang kokoh sebagai dasar agama: "Barang
siapa menghendaki agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."⁴ Hal
ini menunjukkan bahwa akidah adalah inti dari keislaman seseorang.
Tujuan utama dari teologi Islam adalah membentuk
keyakinan yang benar dan kokoh dalam diri seorang Muslim. Di samping itu,
teologi juga berfungsi untuk membentengi umat dari penyimpangan akidah akibat
pemikiran-pemikiran yang menyimpang atau pengaruh eksternal yang merusak,
seperti filsafat materialisme, sekularisme, dan atheisme. Ulama klasik seperti
Imam Al-Ghazali dan Imam Fakhruddin Ar-Razi telah menekankan pentingnya
pendekatan moderat yang menggabungkan dalil naqli dan dalil aqli dalam
pembahasan teologi.⁵
Artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif tentang teologi Islam, termasuk konsep-konsep
mendasar, sejarah perkembangan, aliran-aliran teologi, serta relevansi dan
tantangannya di era modern. Dengan pendekatan akademis dan referensi yang
kredibel, diharapkan artikel ini dapat menjadi rujukan yang bermanfaat bagi
pembaca untuk memperkuat akidah mereka serta memahami dinamika teologi Islam
secara lebih mendalam.
Catatan Kaki
[1]
William Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 16.
[2]
Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim
Al-Bajuri (Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I'tiqad,
trans. Muhammad Abul Quasem (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 12-14.
[4]
Al-Qur'an, Surah Ali 'Imran (3): 85.
[5]
Fakhruddin Ar-Razi, Al-Matalib al-‘Aliyyah fi
al-‘Ilm al-Ilahiyyah, ed. Ahmad Hijazi Al-Saqqa (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, 1987), 1:5.
2.
Konsep
Dasar Teologi Islam
Teologi Islam adalah
ilmu yang membahas masalah keyakinan (aqidah) dengan tujuan memahami dan
menguatkan prinsip-prinsip dasar iman berdasarkan wahyu ilahi serta argumen rasional. Dalam tradisi Islam, teologi
memiliki tiga komponen utama: tauhid, risalah, dan eskatologi.¹ Ketiga elemen
ini membentuk inti dari keyakinan seorang Muslim dan menjadi dasar bagi
pengembangan Ilmu Kalam.
2.1.
Definisi Teologi dalam Perspektif Islam
Secara terminologis,
teologi dalam Islam dikenal sebagai Ilmu
Kalam atau Ilmu Tauhid. Istilah ini merujuk pada pembahasan tentang
Allah, sifat-sifat-Nya, dan relasi-Nya dengan alam semesta. Al-Jurjani
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang
membahas tentang akidah Islam dengan dalil-dalil yang meyakinkan.² Dalam
tradisi keilmuan Islam, pembahasan teologi tidak hanya mencakup aspek keyakinan
tetapi juga melibatkan diskusi filsafat, logika,
dan etika.³
2.2.
Sumber Utama Teologi Islam
Teologi Islam
berakar pada sumber utama ajaran Islam, yaitu:
·
Al-Qur'an:
Sebagai kitab suci, Al-Qur'an memberikan
landasan teologis yang kokoh, seperti konsep tauhid yang tercermin dalam ayat "Katakanlah,
Dialah Allah, Yang Maha Esa."⁴
·
Hadis:
Peran hadis sebagai penjelas wahyu
melengkapi pengajaran tentang keyakinan dasar, seperti hadis Nabi tentang iman:
“Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk.”⁵
·
Ijma dan
Qiyas:
Konsensus para ulama dan analogi
digunakan untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak disebutkan secara
eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis.
2.3.
Prinsip Dasar Akidah dalam Islam
Teologi Islam menegaskan tiga prinsip utama dalam akidah:
1)
Tauhid (Keyakinan terhadap
Keesaan Allah):
Tauhid adalah inti dari ajaran Islam, yang
melibatkan tiga aspek: Tauhid Rububiyyah (pengakuan terhadap kekuasaan Allah),
Tauhid Uluhiyyah (pengabdian hanya kepada Allah), dan Tauhid Asma wa Sifat
(penegasan sifat-sifat Allah yang sempurna).⁶ Konsep ini menekankan bahwa Allah
tidak memiliki sekutu, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Tiada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”⁷
2)
Risalah (Keyakinan
terhadap Kenabian):
Risalah meliputi keyakinan bahwa Allah mengutus
para nabi untuk menyampaikan petunjuk-Nya kepada umat manusia. Muhammad adalah
nabi terakhir yang membawa risalah sempurna dalam bentuk Al-Qur'an.⁸
3)
Eschatology (Hari Akhir
dan Kehidupan Setelah Mati):
Keyakinan tentang kehidupan setelah mati menjadi
landasan etis dalam Islam. Hari kiamat digambarkan sebagai waktu di mana setiap
manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya di dunia.⁹
2.4.
Hubungan antara Wahyu dan Akal
Dalam Islam, teologi bukan hanya berbasis pada wahyu
tetapi juga melibatkan akal sebagai alat untuk memahami ajaran agama.¹⁰ Ulama
seperti Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi. Jika akal digunakan dalam batas
yang sesuai, ia dapat memperkuat iman dan memperjelas kebenaran wahyu.¹¹
Dengan dasar-dasar
tersebut, teologi Islam bukan hanya sekadar ilmu yang membahas iman, tetapi juga menjadi landasan bagi
kehidupan spiritual, intelektual, dan moral umat Islam.
Catatan Kaki
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 2.
[2]
Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri
(Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.
[3]
Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia (London:
Routledge, 2006), 395.
[4]
Al-Qur'an, Surah Al-Ikhlas (112): 1.
[5]
Shahih Muslim, Kitab Iman, Hadis no. 8.
[6]
Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, ed.
Ahmad Shakir (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1983), 3:5.
[7]
Al-Qur'an, Surah Asy-Syura (42): 11.
[8]
Muhammad Abu Zahra, Khatam an-Nabiyyin (Cairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1963), 45.
[9]
Al-Qur'an, Surah Al-Zalzalah (99): 7-8.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(London: World Wisdom, 2007), 80.
[11]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 13.
3.
Sejarah
Perkembangan Teologi Islam
Sejarah perkembangan
teologi Islam (Ilmu Kalam) tidak dapat
dilepaskan dari konteks sejarah sosial, politik, dan intelektual umat Islam.
Ilmu ini berkembang sebagai respons terhadap berbagai tantangan internal dan
eksternal, seperti perpecahan politik, munculnya aliran-aliran pemikiran, dan
interaksi dengan filsafat Yunani. Dalam perkembangannya, teologi Islam melahirkan berbagai aliran dengan
karakteristik dan metode yang berbeda.
3.1.
Lahirnya Ilmu Kalam: Faktor-Faktor Penyebab
Teologi Islam mulai
terbentuk pada masa-masa awal Islam, terutama setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya Ilmu Kalam meliputi:
1)
Perpecahan Politik dan
Fitnah Kubra
Konflik politik yang dimulai dengan terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan dan perang antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
menciptakan diskusi teologis mengenai legitimasi kepemimpinan dan status
orang-orang yang terlibat dalam dosa besar (kabirah).¹ Aliran Khawarij
dan Murji'ah muncul sebagai respons terhadap isu ini, dengan pandangan teologis
yang bertolak belakang.²
2)
Munculnya Tantangan
Pemikiran
Masyarakat Muslim mulai berinteraksi dengan filsafat Yunani
dan agama-agama lain seperti Kristen dan Zoroastrianisme. Tantangan intelektual
ini memaksa para ulama untuk menyusun argumen rasional yang membela keyakinan
Islam.³
3)
Pengaruh Filsafat Yunani
Terjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah memperkaya diskursus intelektual
Muslim, tetapi juga menimbulkan perdebatan mengenai harmoni antara akal dan
wahyu.⁴
3.2.
Periode Klasik: Pembentukan Aliran-Aliran
Teologi
Selama periode klasik, berbagai aliran teologi
muncul, masing-masing dengan pendekatan yang berbeda terhadap isu-isu akidah:
1)
Mu'tazilah
Mu'tazilah adalah aliran rasionalis yang
menekankan pentingnya akal dalam memahami agama. Mereka dikenal dengan
prinsip-prinsipnya yang dikenal sebagai al-usul al-khamsah (lima
prinsip utama), seperti keadilan Tuhan (al-adl) dan tauhid.⁵ Namun,
pendekatan rasionalis mereka sering kali dianggap berlebihan oleh ulama Ahlus
Sunnah.⁶
2)
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Ahlus
Sunnah mengembangkan pendekatan moderat yang menggabungkan dalil naqli
(wahyu) dan aqli (akal). Dua mazhab utama dalam kelompok ini adalah Asy'ariyah
dan Maturidiyah.⁷ Pendekatan mereka lebih inklusif, mengakomodasi berbagai
pandangan tanpa mengabaikan landasan wahyu.
3)
Syiah
Teologi Syiah
memiliki fokus utama pada konsep imamah, yaitu kepemimpinan spiritual
yang merupakan hak eksklusif Ahlul Bait.⁸ Dalam diskursus teologis, mereka juga
menekankan keadilan Tuhan dan peran para imam sebagai penjaga wahyu.
4)
Khawarij dan Murji'ah
Khawarij
terkenal dengan pandangan teologis ekstrem mereka, seperti mengkafirkan pelaku
dosa besar. Sebaliknya, Murji'ah lebih bersifat toleran dan menyerahkan
penilaian akhir kepada Allah.⁹
3.3.
Periode Pertengahan: Integrasi Filsafat dan
Teologi
Pada abad ke-10
hingga ke-12, teologi Islam mencapai puncaknya dengan munculnya ulama seperti
Al-Ghazali dan Fakhruddin Al-Razi. Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut al-Falasifah, mengkritik filsafat secara
tajam tetapi tetap menggunakan metode rasional dalam pembahasan akidah.¹⁰ Di
sisi lain, Al-Razi mengintegrasikan logika
Aristotelian dengan diskursus teologis.¹¹
3.4.
Periode Modern: Relevansi dan Tantangan
Pada era modern,
teologi Islam dihadapkan pada tantangan baru, seperti sekularisme,
materialisme, dan atheisme. Pemikir seperti Muhammad Abduh berusaha mereformasi teologi Islam agar
lebih relevan dengan konteks modern.¹² Dialog antaragama dan isu-isu pluralisme
juga menjadi fokus baru dalam diskursus teologi Islam.¹³
Kesimpulan
Perkembangan teologi
Islam mencerminkan dinamika intelektual umat Islam dalam merespons berbagai tantangan yang mereka
hadapi. Dari perpecahan politik hingga pengaruh filsafat asing,
teologi Islam terus berkembang dengan mempertahankan prinsip-prinsip dasar
akidah yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.
Catatan Kaki
[1]
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 253.
[2]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans.
William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842),
33-35.
[3]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications,
1997), 45.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 2001), 55.
[5]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 121.
[6]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayna al-Islam wa
al-Zandaqah, ed. Abdul Rahman Badawi (Cairo: Maktabat al-Khanji,
1961), 19.
[7]
Abu Bakr Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 48.
[8]
Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam (New
Haven: Yale University Press, 1985), 164.
[9]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 40.
[10]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23-25.
[11]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya'
al-Turath al-Arabi, 1999), 2:18.
[12]
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal
Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 95.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 124.
4.
Aliran-Aliran
Teologi Islam
Teologi Islam
berkembang melalui berbagai aliran yang muncul sebagai respons terhadap
tantangan politik, sosial, dan intelektual. Setiap aliran memiliki pendekatan
yang berbeda terhadap isu-isu teologis, seperti sifat-sifat Allah, hubungan akal dan wahyu, serta status iman
dan amal dalam menentukan keislaman seseorang. Aliran-aliran ini, meskipun
berbeda, memberikan kontribusi signifikan terhadap kekayaan intelektual Islam.
4.1.
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Aswaja)
merupakan arus utama dalam teologi Islam. Dua mazhab utama dalam Aswaja adalah Asy’ariyah
dan Maturidiyah,
yang keduanya memadukan dalil naqli dan aqli.
1)
Asy’ariyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari (874–936 M), yang awalnya seorang Mu'tazilah sebelum meninggalkan
aliran tersebut.¹ Asy’ariyah menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu,
tetapi memberi prioritas kepada wahyu dalam isu-isu metafisik.² Mereka juga
memperkenalkan konsep kasb (usaha manusia) untuk menjelaskan kehendak
bebas dalam kerangka takdir Allah.³
2)
Maturidiyah
Didirikan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi
(853–944 M), mazhab ini lebih rasional dibanding Asy’ariyah. Maturidiyah
menegaskan bahwa akal memiliki peran besar dalam memahami kewajiban agama,
tetapi tetap dalam batas-batas yang ditentukan wahyu.⁴ Mazhab ini menjadi
dominan di kalangan Hanafiyah.⁵
4.2.
Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalah aliran rasionalis yang berkembang pada abad ke-8 M. Mereka dikenal
dengan lima prinsip utama (al-usul al-khamsah): tauhid,
keadilan Allah (al-adl), janji dan ancaman Allah,
posisi menengah bagi pelaku dosa besar (manzilah baina al-manzilatain), dan
amar ma’ruf nahi munkar.⁶
1)
Tauhid
Mu’tazilah
menafikan sifat-sifat Allah yang dianggap dapat mengarah pada penggandaan
esensi Tuhan.⁷
2)
Keadilan Allah
Mereka menekankan kebebasan kehendak manusia dan
menolak konsep takdir yang sepenuhnya mengikat manusia.⁸
Mu’tazilah
memainkan peran penting
selama Dinasti Abbasiyah, tetapi pengaruhnya menurun setelah masa Mihnah
(Inkuisisi Teologi).⁹
4.3.
Syiah
Teologi Syiah
berfokus pada konsep imamah, yaitu kepemimpinan spiritual
yang eksklusif bagi Ahlul Bait.¹⁰ Para imam dianggap memiliki otoritas religius
dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa.
1)
Imamah
Imamah dipandang sebagai bagian integral dari
akidah, dan setiap imam dipilih secara ilahi untuk memimpin umat.¹¹
2)
Keadilan Tuhan
Syiah
mengadopsi pandangan Mu’tazilah
dalam menekankan keadilan Tuhan (al-adl), tetapi dengan fokus lebih
besar pada peran para imam sebagai penengah antara Allah dan manusia.¹²
4.4.
Khawarij dan Murji’ah
1)
Khawarij
Aliran ini muncul dari perpecahan politik pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka terkenal dengan pandangan ekstrem,
seperti mengkafirkan pelaku dosa besar.¹³
2)
Murji’ah
Sebaliknya, Murji’ah
memiliki pandangan yang lebih toleran, menyerahkan penilaian iman seseorang
sepenuhnya kepada Allah.¹⁴
4.5.
Aliran Teologi Kontemporer
Pada era modern,
muncul aliran teologi yang mencoba menjawab tantangan baru, seperti pluralisme
dan sekularisme. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida menekankan
reformasi teologi dengan menyesuaikan doktrin Islam pada kebutuhan modern.¹⁵
Kesimpulan
Setiap aliran
teologi Islam berupaya memberikan pemahaman mendalam tentang akidah, meskipun dengan
pendekatan yang berbeda. Keanekaragaman ini mencerminkan kekayaan intelektual Islam, yang terus relevan
dalam menjawab tantangan zaman.
Catatan Kaki
[1]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 86.
[2]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications,
1997), 23.
[3]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.
[4]
Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fatima
Al-Jibaly (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 67.
[5]
Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia
(London: Routledge, 2006), 432.
[6]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 112.
[7]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam, 58.
[8]
Al-Jurjani, At-Ta’rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri
(Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 215.
[9]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 131.
[10]
Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam (New
Haven: Yale University Press, 1985), 174.
[11]
Hossein Nasr, Shi’a Islam (Albany: State
University of New York Press, 1988), 45.
[12]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans.
William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842),
142.
[13]
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 253.
[14]
Al-Jurjani, At-Ta’rifat, 220.
[15]
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal
Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 87.
5.
Isu-Isu
Penting dalam Teologi Islam
Teologi Islam
membahas berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan keyakinan umat Muslim.
Isu-isu ini tidak hanya menjadi dasar akidah, tetapi juga menimbulkan diskursus intelektual yang
signifikan di kalangan ulama. Beberapa isu penting yang terus menjadi
perdebatan dalam teologi Islam meliputi konsep tauhid, qadha dan qadar,
hubungan akal dan wahyu, penafsiran sifat Allah, serta eskatologi.
5.1.
Konsep Tauhid
Tauhid adalah inti
ajaran Islam yang menegaskan keesaan Allah. Dalam teologi Islam, tauhid dibagi
menjadi tiga kategori:
Menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya
Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta.¹ Dalilnya terdapat dalam ayat
Al-Qur'an: “Allah adalah Tuhan langit dan bumi, yang menciptakan segala
sesuatu.”²
Mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak
disembah, tanpa menyekutukan-Nya.³ Tauhid ini menekankan pentingnya ibadah yang
murni untuk Allah.
Tauhid ini membahas pengakuan terhadap nama-nama
dan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa
menyerupakan atau meniadakan sifat-sifat tersebut.⁴ Ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkan sifat Allah, antara pendekatan tekstualis (salaf) dan takwil
(khalaf).⁵
5.2.
Qadha dan Qadar
Perdebatan tentang
takdir menjadi salah satu isu utama dalam teologi Islam. Dua pandangan besar muncul terkait hal ini:
1)
Jabariyah
Aliran ini meyakini bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan dalam kehendaknya, dan segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah.⁶
2)
Qadariyah
Sebaliknya, Qadariyah menekankan kebebasan
kehendak manusia dan tanggung jawabnya terhadap amalnya.⁷
Pendekatan Ahlus Sunnah
mencoba menyeimbangkan kedua pandangan ini dengan konsep kasb (usaha manusia yang berada di
bawah kehendak Allah).⁸
5.3.
Hubungan Akal dan Wahyu
Dalam teologi Islam,
hubungan antara akal dan wahyu menjadi diskursus penting. Aliran seperti Mu’tazilah
menempatkan akal sebagai alat utama dalam memahami agama, bahkan dalam isu-isu
metafisik.⁹ Sebaliknya, Ahlus
Sunnah wal Jamaah menegaskan bahwa akal harus tunduk pada wahyu, tetapi
tetap memiliki peran untuk memahami dalil-dalil agama.¹⁰ Al-Ghazali menyatakan bahwa akal dan wahyu adalah dua
sumber kebenaran yang tidak mungkin bertentangan jika digunakan dengan benar.¹¹
5.4.
Penafsiran Sifat Allah
Penafsiran
sifat-sifat Allah, seperti istiwa (bersemayam), yad
(tangan), dan wajh (wajah), menjadi perdebatan di
kalangan ulama.¹² Pendekatan tekstualis mengartikan sifat-sifat tersebut sebagaimana adanya tanpa
penyerupaan (tasybih), sementara pendekatan takwil memberikan penafsiran
metaforis untuk menghindari penyimpangan akidah.¹³
5.5.
Eskatologi Islam
Eschatologi atau
pembahasan tentang kehidupan setelah mati adalah isu sentral dalam teologi
Islam. Konsep ini mencakup keyakinan tentang kebangkitan, surga, neraka, dan
hari pembalasan.¹⁴ Al-Qur'an memberikan gambaran rinci tentang peristiwa
kiamat, seperti dalam ayat: “Pada hari
itu manusia akan keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk
diperlihatkan kepada mereka (balasan) atas amal mereka.”¹⁵
Eskatologi juga
mencakup diskursus tentang syafaat Nabi, timbangan amal (mizan),
dan shirat. Ulama berbeda pandangan tentang mekanisme keadilan ilahi pada hari
akhir, tetapi sepakat bahwa kehidupan dunia adalah tempat persiapan untuk
kehidupan akhirat.¹⁶
Kesimpulan
Isu-isu teologis ini
menunjukkan kedalaman intelektual Islam dalam menjelaskan prinsip-prinsip
akidah. Perdebatan yang terjadi di kalangan ulama bukanlah bentuk pertentangan,
melainkan upaya untuk memahami dan menjelaskan ajaran Islam secara lebih
komprehensif.
Catatan Kaki
[1]
Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri
(Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.
[2]
Al-Qur'an, Surah Al-An’am (6): 101.
[3]
Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, ed.
Ahmad Shakir (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1983), 3:5.
[4]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim
Mahmoud (Cairo: Dar al-Shaab, 1978), 1:24.
[5]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya'
al-Turath al-Arabi, 1999), 1:32.
[6]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans.
William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842),
22.
[7]
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 253.
[8]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.
[9]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications,
1997), 58.
[10]
Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia
(London: Routledge, 2006), 395.
[11]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.
[12]
Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman
ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.
[13]
Al-Ghazali, Faysal al-Tafriqah bayna al-Islam wa
al-Zandaqah, ed. Abdul Rahman Badawi (Cairo: Maktabat al-Khanji,
1961), 19.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany:
State University of New York Press, 1981), 82.
[15]
Al-Qur'an, Surah Al-Zalzalah (99): 6-7.
[16]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 203.
6.
Metode
dan Pendekatan dalam Teologi Islam
Teologi Islam (Ilmu Kalam) berkembang dengan
beragam metode dan pendekatan yang digunakan para ulama untuk menjelaskan, membela,
dan memperluas pemahaman tentang akidah Islam. Setiap metode ini lahir dari
kebutuhan untuk menjawab tantangan intelektual, spiritual, dan sosial yang
dihadapi umat Islam di berbagai zaman.
6.1.
Metode Dialektis (Jadal)
Metode dialektis
adalah ciri khas utama Ilmu
Kalam, di mana argumen-argumen logis digunakan untuk
mendukung keyakinan Islam. Metode ini bertujuan membangun argumen rasional
untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran eksternal, seperti
filsafat Yunani atau agama-agama lain.¹
Para ulama seperti
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menggunakan pendekatan ini untuk menghadapi pandangan
Mu’tazilah,
sementara Imam Fakhruddin Al-Razi mengintegrasikan logika
Aristotelian dalam argumen teologisnya.²
Metode dialektis
sering dimulai dengan penyajian tesis (pandangan yang dipegang) dan antitesis
(pandangan lawan), lalu disertai analisis rasional untuk membuktikan kebenaran
Islam.³
6.2.
Pendekatan Tekstualis (Nashiyah)
Pendekatan
tekstualis bertumpu pada pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur'an dan
Hadis. Pendekatan ini dikenal sebagai metode Salaf, yang dipelopori oleh
generasi awal Islam seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Para ulama tekstualis lebih
memilih untuk tidak melakukan interpretasi rasional yang mendalam terhadap
ayat-ayat sifat Allah, seperti istiwa (bersemayam) atau yad
(tangan Allah), dan menerima teks sebagaimana adanya tanpa menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya.⁴
Pendekatan ini
menekankan sikap tunduk dan penerimaan terhadap wahyu tanpa mempertanyakan
rincian metafisiknya.⁵
6.3.
Pendekatan Rasional (Aqliyah)
Pendekatan rasional
banyak digunakan oleh ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah,
misalnya, memberikan penekanan besar pada kemampuan akal dalam memahami
prinsip-prinsip teologi.⁶ Mereka percaya bahwa akal dapat digunakan untuk
menjelaskan keadilan Tuhan dan membuktikan kebenaran wahyu.⁷
Meskipun pendekatan
ini dianggap progresif, para kritikus, termasuk Imam Al-Ghazali, menilai bahwa
pendekatan rasional tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan wahyu.
Dalam Tahafut
al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim yang
menggunakan akal untuk menafsirkan doktrin agama secara berlebihan.⁸
6.4.
Pendekatan Moderat (Kombinasi Naqli dan Aqli)
Pendekatan moderat
menggabungkan dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal) untuk menghasilkan pemahaman
teologi yang seimbang. Pendekatan ini digunakan oleh mazhab Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Imam Al-Asy’ari menyatakan bahwa akal memiliki peran penting dalam
menjelaskan wahyu, tetapi wahyu tetap menjadi sumber utama akidah.⁹
Pendekatan ini
menjadi dasar bagi diskursus teologi Islam yang moderat dan dapat diterima oleh
berbagai kelompok. Imam Al-Ghazali, misalnya, menegaskan bahwa akal adalah alat
untuk memahami wahyu, tetapi tidak dapat berdiri sendiri dalam pembahasan
isu-isu metafisik.¹⁰
6.5.
Relevansi Metode di Era Modern
Di era modern,
metode dan pendekatan teologi Islam terus berkembang untuk menjawab tantangan
baru seperti sekularisme, pluralisme agama, dan atheisme. Para pemikir seperti
Muhammad Abduh dan Rashid Rida mencoba mengadaptasi pendekatan rasional dalam
kerangka modern tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar wahyu.¹¹
Metode dialog
antaragama juga mulai berkembang untuk menjelaskan teologi Islam kepada audiens
non-Muslim secara lebih terbuka dan rasional. Seyyed Hossein Nasr, misalnya,
menekankan pentingnya menjelaskan nilai-nilai spiritual Islam dengan cara yang
relevan di dunia global.¹²
Kesimpulan
Metode dan
pendekatan dalam teologi Islam menunjukkan dinamika intelektual umat Islam
dalam merespons tantangan di setiap zaman. Pendekatan tekstualis, rasional, dan
moderat masing-masing memiliki kelebihan dalam menjelaskan dan membela
keyakinan Islam. Dalam konteks modern, pendekatan yang adaptif dan inklusif
menjadi penting untuk menjaga relevansi teologi Islam di tengah perkembangan
zaman.
Catatan Kaki
[1]
Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri
(Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.
[2]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya'
al-Turath al-Arabi, 1999), 1:32.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 25.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman
ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.
[5]
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 253.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications,
1997), 58.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 2.
[8]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.
[9]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.
[10]
Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia
(London: Routledge, 2006), 395.
[11]
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal
Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 95.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 124.
7.
Teologi
Islam dan Tantangan Modern
Teologi Islam (Ilmu
Kalam) menghadapi berbagai tantangan di era modern.
Perkembangan globalisasi, sekularisme, pluralisme, dan kemajuan teknologi telah
memunculkan isu-isu baru yang menuntut reformulasi konsep-konsep teologi agar
tetap relevan. Selain itu, tantangan berupa penyimpangan akidah, radikalisme,
dan dialog antaragama juga memerlukan respons yang matang dari perspektif
teologi Islam.
7.1.
Tantangan Globalisasi dan Sekularisme
Globalisasi telah
membawa interaksi budaya dan agama ke tingkat yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Hal ini menimbulkan tantangan bagi teologi Islam untuk
mempertahankan prinsip-prinsip akidah di tengah arus sekularisme yang mencoba
memisahkan agama dari kehidupan publik.¹
Sekularisme, yang
berkembang pesat di dunia Barat, memengaruhi pandangan sebagian Muslim terhadap
agama. Dalam menghadapi tantangan ini, para pemikir seperti Muhammad Iqbal dan
Fazlur Rahman mengusulkan pendekatan yang menekankan relevansi agama dalam kehidupan
modern tanpa mengabaikan esensinya.²
7.2.
Radikalisme dan Moderasi dalam Teologi
Salah satu tantangan
utama teologi Islam modern adalah radikalisme yang sering kali mengatasnamakan
agama. Pandangan ekstrem ini muncul dari interpretasi sempit terhadap teks-teks
suci, yang sering kali tidak mempertimbangkan konteks historisnya.³
Sebagai respons,
ulama dan intelektual Muslim menyerukan pentingnya pendekatan moderasi (wasathiyyah)
dalam memahami teologi Islam. Moderasi ini tercermin dalam ajaran Ahlus
Sunnah wal Jamaah, yang menyeimbangkan antara dalil naqli dan aqli.⁴
Pendekatan moderat ini bertujuan untuk mempromosikan toleransi dan harmoni
dalam masyarakat plural.⁵
7.3.
Pluralisme Agama dan Dialog Antaragama
Pluralisme agama
adalah tantangan besar bagi teologi Islam, terutama dalam menjawab isu-isu
tentang kebenaran absolut agama dan hubungan dengan tradisi keagamaan lain.
Teologi Islam menghadapi dilema antara mempertahankan keunikan Islam sebagai
agama yang benar dan menjalin dialog yang konstruktif dengan agama lain.⁶
Pemikir seperti
Seyyed Hossein Nasr menekankan perlunya dialog antaragama yang didasarkan pada
penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual universal, tanpa mengkompromikan
prinsip-prinsip dasar Islam.⁷ Di sisi lain, Yusuf Al-Qaradawi menekankan
pentingnya menjalin hubungan baik dengan umat beragama lain untuk menciptakan
harmoni sosial.⁸
7.4.
Tantangan Atheisme dan Materialisme
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sering kali digunakan sebagai argumen untuk menolak
keberadaan Tuhan (atheisme) atau menafikan nilai-nilai spiritual
(materialisme). Tantangan ini mengharuskan teologi Islam untuk memperkuat
argumen rasional yang mendukung keberadaan Tuhan dan relevansi agama dalam
dunia modern.⁹
Para ulama dan
cendekiawan Muslim seperti Harun Yahya menggunakan bukti ilmiah untuk
menunjukkan kompatibilitas antara Islam dan sains, serta untuk membantah klaim
atheisme.¹⁰
7.5.
Teologi Islam dan Generasi Milenial
Generasi milenial
yang tumbuh di era digital memiliki tantangan unik dalam memahami agama.
Paparan terhadap berbagai ideologi melalui media sosial dapat melemahkan
pemahaman akidah mereka.¹¹
Untuk menghadapi
tantangan ini, pendidikan teologi Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan
generasi modern. Para pendidik diharapkan mampu menyampaikan ajaran Islam
dengan cara yang relevan, menggunakan teknologi dan media digital untuk
menjangkau generasi muda.¹²
Kesimpulan
Tantangan modern
yang dihadapi teologi Islam menuntut respons yang relevan dan kontekstual. Para
ulama dan intelektual Muslim perlu mengembangkan pendekatan yang seimbang
antara menjaga prinsip-prinsip dasar akidah dan menyesuaikan diri dengan
kebutuhan zaman. Dengan pendekatan ini, teologi Islam dapat tetap relevan dan
menjadi panduan bagi umat dalam menghadapi tantangan global.
Catatan Kaki
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 45.
[2]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1930), 87.
[3]
Oliver Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah
(New York: Columbia University Press, 2004), 139.
[4]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 45.
[5]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 61.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Longman, 1975), 98.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 132.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah,
2009), 2:784.
[9]
Harun Yahya, The Quran Leads the Way to Science
(Istanbul: Global Publishing, 2004), 19.
[10]
Harun Yahya, Evolution Deceit (Istanbul: Global
Publishing, 2003), 45.
[11]
Jonathan A. C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld
Publications, 2014), 203.
[12]
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal
Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of
California Press, 1966), 87.
8.
Studi
Teologi Islam Berdasarkan Referensi Klasik
Teologi Islam (Ilmu
Kalam) dibangun atas dasar tradisi keilmuan yang kaya,
dengan referensi-referensi klasik yang menjadi landasan utama dalam memahami
akidah. Karya-karya ulama klasik tidak hanya mencerminkan diskursus intelektual
pada masanya tetapi juga memberikan panduan abadi yang relevan untuk umat Islam
di berbagai zaman. Studi terhadap referensi klasik ini penting untuk memahami
teologi Islam secara mendalam dan autentik.
8.1.
Kitab Al-Ibanah oleh Imam Al-Asy’ari
Kitab Al-Ibanah
an Usul ad-Diyanah karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (874–936 M)
adalah salah satu referensi penting dalam teologi Islam. Buku ini merupakan
pernyataan teologis Al-Asy’ari setelah meninggalkan aliran Mu’tazilah
dan kembali ke pandangan Ahlus
Sunnah.¹
Dalam Al-Ibanah,
Al-Asy’ari menjelaskan konsep-konsep kunci seperti tauhid, sifat-sifat Allah,
dan kehendak bebas manusia.² Ia juga menekankan pentingnya menerima teks-teks
Al-Qur'an dan Hadis secara literal dalam pembahasan sifat-sifat Allah, tanpa
menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih) atau menafikan
sifat-sifat-Nya (ta’til).³
8.2.
Kitab Al-Tamhid oleh Al-Baqillani
Imam Al-Baqillani
(940–1013 M), murid dari mazhab Asy’ariyah, menulis Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidah wa al-Mu’aththilah,
sebuah karya monumental yang membela akidah Islam dari serangan aliran-aliran
yang menyimpang.⁴
Kitab ini membahas
isu-isu penting seperti sifat-sifat Allah, hubungan antara akal dan wahyu,
serta argumen rasional tentang keberadaan Tuhan.⁵ Al-Baqillani memperkenalkan
konsep kasb,
yang menjelaskan bahwa manusia memiliki usaha dalam tindakannya, tetapi
kehendaknya tetap berada di bawah kekuasaan Allah.⁶
8.3.
Kitab Al-Milal wa al-Nihal oleh
Al-Shahrastani
Kitab Al-Milal
wa al-Nihal karya Al-Shahrastani (1086–1153 M) adalah ensiklopedia
yang mencatat berbagai aliran teologi, filsafat, dan
agama.⁷ Dalam buku ini, Al-Shahrastani secara objektif menguraikan
pandangan-pandangan teologis dari berbagai aliran seperti Mu’tazilah,
Khawarij,
dan Syiah.⁸
Karya ini menjadi
referensi penting untuk memahami keragaman pemikiran dalam Islam dan
menunjukkan bagaimana diskursus intelektual diwarnai oleh perbedaan pandangan
teologis.⁹
8.4.
Kitab Ihya Ulum al-Din oleh Al-Ghazali
Al-Ghazali
(1058–1111 M) menyusun Ihya Ulum al-Din, yang meskipun
lebih dikenal sebagai kitab tasawuf, juga mengandung pembahasan penting tentang
teologi Islam.¹⁰ Al-Ghazali menekankan pentingnya memadukan akal dan wahyu
dalam memahami agama, serta membantah pandangan ekstrem yang hanya bergantung
pada salah satu.¹¹
Dalam Ihya,
Al-Ghazali mengkritik filsafat yang
cenderung mengabaikan wahyu dan juga menentang literalitas berlebihan yang
mengabaikan akal.¹²
8.5.
Kitab Al-Mustasfa oleh Al-Ghazali
Dalam Al-Mustasfa
min Ilm al-Usul, Al-Ghazali memberikan kontribusi penting terhadap
teologi dan ushul fiqh.¹³ Buku ini menjelaskan prinsip-prinsip dasar dalam
Islam dengan pendekatan rasional, yang tetap setia pada dalil naqli. Al-Ghazali
membahas peran akal dalam memahami hukum syariat dan menjelaskan bagaimana
akidah harus dijaga dari pengaruh eksternal.¹⁴
8.6.
Relevansi Referensi Klasik dalam Konteks Modern
Referensi-referensi
klasik ini tetap relevan hingga kini karena memberikan dasar yang kokoh dalam
menghadapi tantangan modern. Para ulama klasik tidak hanya merumuskan akidah
berdasarkan teks-teks suci, tetapi juga menggunakan argumen rasional yang dapat
menjawab berbagai tantangan pemikiran kontemporer, seperti sekularisme,
materialisme, dan atheisme.¹⁵
Kesimpulan
Studi terhadap
referensi klasik dalam teologi Islam memberikan wawasan yang mendalam tentang
akidah dan kerangka berpikir Islam yang holistik. Karya-karya ulama seperti
Imam Al-Asy’ari, Al-Baqillani, Al-Shahrastani, dan Al-Ghazali menunjukkan
kekayaan intelektual Islam yang mampu menjawab tantangan dari masa ke masa.
Dengan memahami dan merujuk pada referensi ini, umat Islam dapat memperkuat
keyakinan dan memperluas wawasan keilmuan mereka.
Catatan Kaki
[1]
Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah, ed.
Muhammad Hamidullah (Cairo: Dar al-Turath, 1960), 12.
[2]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications,
1997), 56.
[3]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, ed. Imran Al-Badawi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 33.
[4]
Al-Baqillani, Al-Tamhid, 45.
[5]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar Ihya'
al-Turath al-Arabi, 1999), 1:12.
[6]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans.
William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842),
23.
[7]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 28.
[8]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim
Mahmoud (Cairo: Dar al-Shaab, 1978), 1:15.
[9]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 27.
[10]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, ed.
Muhammad Abul Quasem (Cairo: Dar al-Kutub, 1961), 35.
[11]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 63.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Longman, 1975), 105.
9.
Kesimpulan
Teologi Islam (Ilmu
Kalam) adalah salah satu pilar utama dalam khazanah
keilmuan Islam yang memainkan peran penting dalam menjaga keutuhan akidah umat
Muslim. Melalui pembahasan yang mencakup konsep dasar, sejarah perkembangan,
aliran-aliran teologi, hingga tantangan modern, dapat disimpulkan bahwa Ilmu
Kalam adalah respons dinamis terhadap tantangan
intelektual, spiritual, dan sosial yang terus berkembang sepanjang sejarah.
9.1.
Teologi Islam sebagai Penjaga Akidah
Teologi Islam
dirancang untuk menjaga dan memperkokoh akidah umat Muslim. Dengan menekankan
keesaan Allah (tauhid), sifat-sifat-Nya, dan
hubungan manusia dengan Tuhan, Ilmu
Kalam memberikan dasar yang kuat bagi keimanan.¹
Konsep-konsep seperti tauhid, qadha dan qadar, serta hubungan akal dan wahyu
membentuk kerangka teologis yang menjadi landasan pemikiran Islam.²
9.2.
Keanekaragaman dan Dinamika dalam Teologi Islam
Sejarah menunjukkan
bahwa teologi Islam tidak monolitik, melainkan berkembang melalui berbagai
aliran yang mencerminkan upaya intelektual untuk memahami agama. Aliran-aliran
seperti Ahlus
Sunnah wal Jamaah, Mu’tazilah,
Khawarij,
Syiah,
dan Murji’ah
memiliki kontribusi unik dalam memperkaya diskursus teologis.³ Meskipun
terdapat perbedaan, keragaman ini menunjukkan bahwa Islam memiliki ruang untuk
diskusi yang sehat dalam memahami doktrin agama.⁴
9.3.
Relevansi Referensi Klasik dan Tantangan Modern
Karya-karya klasik
seperti Al-Ibanah
oleh Al-Asy’ari, Al-Tamhid oleh Al-Baqillani, dan Tahafut
al-Falasifah oleh Al-Ghazali memberikan panduan abadi untuk
memahami dan menjawab isu-isu teologis.⁵ Meskipun demikian, teologi Islam terus
berkembang untuk menghadapi tantangan modern seperti sekularisme, pluralisme,
dan atheisme. Para intelektual Muslim kontemporer seperti Muhammad Abduh dan
Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan bahwa teologi Islam tetap relevan dengan
mengadaptasi metode dan pendekatan sesuai kebutuhan zaman.⁶
9.4.
Teologi Islam sebagai Landasan Moderasi
Pendekatan moderat (wasathiyyah)
dalam teologi Islam menjadi kebutuhan mendesak di era modern. Dengan menyeimbangkan
antara dalil naqli dan aqli, pendekatan ini mampu menjawab tantangan
radikalisme sekaligus mempromosikan toleransi dan harmoni di masyarakat
plural.⁷ Moderasi ini tercermin dalam mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang
menawarkan metodologi teologi yang inklusif tanpa mengorbankan prinsip-prinsip
dasar akidah.⁸
9.5.
Pesan dan Rekomendasi
Sebagai ilmu yang
memiliki akar kuat dalam tradisi Islam, Ilmu
Kalam harus terus diajarkan, dipelajari, dan dikembangkan
sesuai konteks zaman. Generasi muda perlu diberi pemahaman yang mendalam
tentang teologi Islam agar mampu menghadapi tantangan intelektual dan spiritual
di era global. Pendidikan berbasis Ilmu
Kalam yang disesuaikan dengan teknologi modern dapat
menjadi sarana untuk menjaga akidah umat dan membangun generasi Muslim yang
cerdas dan berintegritas.⁹
Kesimpulan Akhir
Teologi Islam adalah
manifestasi dari upaya intelektual dan spiritual umat Islam untuk memahami
Tuhan, wahyu, dan dunia. Dengan fondasi yang kokoh dalam referensi klasik dan
relevansi yang terus diperbarui, Ilmu
Kalam tetap menjadi ilmu yang esensial dalam membangun dan
mempertahankan keyakinan umat Muslim di tengah dinamika zaman.
Catatan Kaki
[1]
Al-Jurjani, At-Ta'rifat, ed. Ibrahim Al-Bajuri
(Cairo: Maktabah Al-Khanji, 1969), 220.
[2]
Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa, ed. Abd al-Rahman
ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-Ilm, 1998), 5:119.
[3]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, trans.
William Cureton (London: Society for the Publication of Oriental Texts, 1842),
33.
[4]
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1974), 253.
[5]
Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Usul ad-Diyanah, ed.
Muhammad Hamidullah (Cairo: Dar al-Turath, 1960), 12.
[6]
Muhammad Abduh, Risalat al-Tawhid, trans. Ishaq
Musa’ad (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1966), 47.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 132.
[8]
Oliver Leaman, The Qur'an: An Encyclopedia
(London: Routledge, 2006), 395.
[9]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 45.
Daftar Pustaka
Abduh, M. (1966). Risalat al-Tawhid (I.
Musa’ad, Trans.). Beirut: Dar al-Ma’arif.
Al-Asy’ari, A. H. (1960). Al-Ibanah an Usul
ad-Diyanah (M. Hamidullah, Ed.). Cairo: Dar al-Turath.
Al-Baqillani, A. B. (1998). Al-Tamhid fi al-Radd
‘ala al-Mulhidah wa al-Mu’aththilah (I. Al-Badawi, Ed.). Beirut: Dar
al-Fikr.
Al-Ghazali, A. H. (2000). Tahafut al-Falasifah
(M. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.
Al-Ghazali, A. H. (1978). Ihya Ulum al-Din
(A. Mahmoud, Ed.). Cairo: Dar al-Shaab.
Al-Ghazali, A. H. (1961). Al-Mustasfa min Ilm
al-Usul. Cairo: Dar al-Kutub.
Al-Jurjani, A. (1969). At-Ta'rifat (I.
Al-Bajuri, Ed.). Cairo: Maktabah Al-Khanji.
Al-Shahrastani, M. (1842). Al-Milal wa al-Nihal
(W. Cureton, Trans.). London: Society for the Publication of Oriental Texts.
Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago:
University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Hodgson, M. (1974). The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization (Vol. 1). Chicago:
University of Chicago Press.
Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of
Religious Thought in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Leaman, O. (2006). The Qur'an: An Encyclopedia.
London: Routledge.
Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of
Modern Man. London: Longman.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Roy, O. (2004). Globalized Islam: The Search for
a New Ummah. New York: Columbia University Press.
Taymiyyah, I. (1998). Majmu' al-Fatawa (A.
R. Muhammad, Ed.). Riyadh: Dar al-Ilm.
Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the
Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Yahya, H. (2003). Evolution Deceit.
Istanbul: Global Publishing.
Yahya, H. (2004). The Quran Leads the Way to
Science. Istanbul: Global Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar