Sabtu, 19 April 2025

Ilmu Politik: Hakikat, Pendekatan, dan Relevansi dalam Dinamika Sosial-Kenegaraan

Ilmu Politik

Hakikat, Pendekatan, dan Relevansi dalam Dinamika Sosial-Kenegaraan


Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan, Konsep Keadilan dan Negara Ideal.

Sistem PemerintahanSistem HukumSistem EkonomiSistem Pendidikan.

Kepemimpinan dalam Perspektif FilsafatDinamika Kepemimpinan dalam IslamKepemimpinan Pendidikan Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat, pendekatan, dan relevansi Ilmu Politik dalam dinamika sosial dan kenegaraan kontemporer. Dimulai dari telaah konseptual tentang definisi dan ruang lingkupnya, artikel ini melacak perkembangan historis Ilmu Politik dari masa klasik hingga kontemporer, serta menjelaskan objek kajian utama yang mencakup kekuasaan, institusi, sistem politik, perilaku politik, dan hubungan internasional. Berbagai pendekatan teoretis seperti normatif, institusional, perilaku, sistemik, rasional pilihan, hingga kritis dan post-strukturalis turut diuraikan untuk menunjukkan keluasan dan kedalaman metodologis disiplin ini. Selain itu, artikel ini menyoroti hubungan Ilmu Politik dengan ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ekonomi, hukum, antropologi, dan sejarah, serta menekankan aplikasi praktisnya dalam analisis kebijakan publik, penguatan demokrasi, dan tata kelola pemerintahan. Di tengah tantangan global seperti disinformasi digital, politik identitas, perubahan iklim, dan kemunduran demokrasi, Ilmu Politik dihadapkan pada tuntutan untuk berinovasi secara metodologis dan berkolaborasi secara interdisipliner. Dengan demikian, artikel ini menegaskan pentingnya Ilmu Politik sebagai instrumen reflektif dan transformatif dalam membangun tatanan politik yang adil dan berkelanjutan.

Kata kunci: Ilmu Politik, kekuasaan, pendekatan politik, kebijakan publik, demokrasi, disinformasi, ilmu sosial, tata kelola, populisme, interdisipliner.


PEMBAHASAN

Kajian kritis terhadap Ilmu Politik Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Ilmu Politik merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari kekuasaan, kewenangan, dan bagaimana kedua unsur tersebut dijalankan, diperebutkan, serta didistribusikan dalam kehidupan kolektif. Kehadiran Ilmu Politik dalam diskursus keilmuan dan praktik sosial menjadi sangat penting, terutama dalam konteks dunia yang terus mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang berdampak langsung terhadap sistem dan perilaku politik. Seiring dengan berkembangnya demokrasi, meningkatnya partisipasi publik, dan munculnya berbagai dinamika global seperti populisme dan digitalisasi politik, urgensi memahami Ilmu Politik menjadi semakin nyata bagi setiap warga negara, akademisi, maupun pembuat kebijakan.

Menurut Harold D. Lasswell, politik pada dasarnya adalah tentang “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.”_¹ Definisi ini menggarisbawahi esensi politik sebagai aktivitas distribusi sumber daya dalam masyarakat yang selalu sarat dengan dimensi kekuasaan dan kepentingan. Oleh karena itu, Ilmu Politik tidak hanya terbatas pada kajian tentang negara atau pemerintahan semata, tetapi mencakup jaringan kompleks relasi sosial yang membentuk struktur dan proses pengambilan keputusan publik.

Perkembangan Ilmu Politik sebagai disiplin akademik mengalami lompatan besar sejak abad ke-20, terutama setelah munculnya pendekatan-pendekatan ilmiah yang memperkuat fondasinya sebagai ilmu yang dapat diukur, dianalisis, dan diuji secara empiris.² Di berbagai negara, Ilmu Politik tidak hanya menjadi fondasi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas sosial, membangun legitimasi, dan memperkuat partisipasi demokratis.

Di Indonesia, studi Ilmu Politik mengalami perkembangan yang dinamis, sejalan dengan proses demokratisasi dan reformasi pasca-Orde Baru. Para sarjana seperti Miriam Budiardjo telah berkontribusi besar dalam memperkenalkan konsep-konsep dasar Ilmu Politik kepada publik akademik, termasuk pentingnya memahami hubungan antara kekuasaan, institusi, dan partisipasi politik.³ Dalam konteks ini, Ilmu Politik bukan hanya menjadi wacana akademik, melainkan juga alat kritis untuk membaca dinamika kekuasaan di berbagai level, mulai dari lokal hingga global.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai hakikat Ilmu Politik, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kajiannya, serta relevansinya dalam dinamika sosial dan kenegaraan kontemporer. Dengan mendasarkan pada kajian literatur yang kredibel dan pendekatan analitis, diharapkan pembahasan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan reflektif tentang peran strategis Ilmu Politik dalam kehidupan masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, How (New York: McGraw-Hill, 1936), 3.

[2]                David Easton, The Political System: An Inquiry into the State of Political Science (New York: Alfred A. Knopf, 1953), 23–25.

[3]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), 5–7.


2.           Pengertian dan Hakikat Ilmu Politik

Ilmu Politik merupakan disiplin ilmu yang secara sistematis mempelajari fenomena politik, baik yang terjadi dalam institusi formal seperti negara dan pemerintahan maupun dalam bentuk hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam masyarakat secara luas. Sebagai cabang ilmu sosial, Ilmu Politik berupaya memahami dan menjelaskan bagaimana kekuasaan diperoleh, digunakan, dipertahankan, dan ditantang dalam berbagai konteks sosial dan historis.

2.1.       Definisi Ilmu Politik

Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani polis, yang berarti “kota” atau “negara kota,” sedangkan politikos berarti “hal-hal yang berkaitan dengan warga negara.” Dalam konteks modern, politik lebih luas mencakup proses pembuatan keputusan kolektif dan pengaturan kehidupan bersama dalam suatu entitas sosial yang terorganisasi, seperti negara.¹

Berbagai sarjana memberikan definisi yang mencerminkan kompleksitas dan keluasan cakupan Ilmu Politik. Harold D. Lasswell menyatakan bahwa politik adalah “who gets what, when, and how,” menekankan pada proses distribusi sumber daya yang berkaitan erat dengan kekuasaan.² Definisi ini mencerminkan perspektif perilaku (behavioral) yang melihat politik sebagai kegiatan yang konkret dan terukur.

Sementara itu, David Easton mengembangkan pendekatan sistemik dalam mendefinisikan politik sebagai “the authoritative allocation of values for a society,” yang menekankan bahwa proses politik melibatkan pengambilan keputusan yang sah untuk mendistribusikan nilai-nilai dalam masyarakat.³ Konsep ini memperluas cakupan politik tidak hanya dalam konteks institusional, tetapi juga dalam interaksi antara input masyarakat dan output kebijakan.

Miriam Budiardjo, seorang ilmuwan politik Indonesia terkemuka, mendefinisikan Ilmu Politik sebagai ilmu yang mempelajari negara, kekuasaan, proses pembuatan keputusan, kebijakan publik, distribusi sumber daya, serta perilaku politik aktor-aktornya.⁴ Definisi ini menggabungkan pendekatan normatif, institusional, dan empiris, serta menempatkan Ilmu Politik sebagai kajian multidimensional yang terbuka terhadap dinamika sosial.

2.2.       Hakikat Ilmu Politik sebagai Ilmu Sosial

Sebagai ilmu sosial, Ilmu Politik memiliki ciri khas metodologis yang membedakannya dari ilmu alam maupun filsafat. Ia menggunakan pendekatan empiris, teoritis, dan analitis untuk mengkaji fenomena politik, dengan tujuan menjelaskan, memprediksi, dan memahami pola-pola kekuasaan dalam masyarakat.⁵ Ilmu Politik tidak sekadar bersifat deskriptif, tetapi juga bersifat analitis dan normatif, karena berkaitan erat dengan pertanyaan tentang keadilan, legitimasi, dan kepentingan umum.

Ilmu Politik juga bersifat interdisipliner karena saling terkait dengan disiplin lain seperti sosiologi, ekonomi, hukum, psikologi, dan antropologi.⁶ Ketergantungan ini memperkaya analisis politik dengan berbagai sudut pandang, sekaligus menantang ilmuwan politik untuk mengembangkan metode yang sesuai dengan kompleksitas realitas politik.

Dalam konteks akademik kontemporer, Ilmu Politik telah berkembang menjadi suatu disiplin yang mapan, memiliki pendekatan metodologis yang beragam, mulai dari kuantitatif hingga kualitatif, dari positivistik hingga kritikal.⁷ Perkembangan ini mencerminkan kesadaran akan pluralitas realitas politik dan pentingnya fleksibilitas pendekatan dalam menjawab tantangan-tantangan teoritis maupun praktis dalam dunia politik.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), 1–2.

[2]                Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, How (New York: McGraw-Hill, 1936), 3.

[3]                David Easton, A Framework for Political Analysis (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1965), 50.

[4]                Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 5–6.

[5]                David Marsh and Gerry Stoker, eds., Theory and Methods in Political Science, 3rd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2010), 3–5.

[6]                Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2013), 6–8.

[7]                Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, eds., A New Handbook of Political Science (Oxford: Oxford University Press, 1996), 5–7.


3.           Sejarah dan Perkembangan Ilmu Politik

Ilmu Politik memiliki akar sejarah yang sangat panjang dan kaya, menjadikannya salah satu cabang ilmu sosial tertua dalam peradaban manusia. Meski baru berkembang sebagai disiplin akademik yang sistematis pada abad ke-19 dan ke-20, akar pemikiran politik telah muncul sejak zaman klasik, mengalami transformasi besar pada masa modern, dan berkembang menjadi bidang kajian yang kompleks dan multidisipliner dalam era kontemporer.

3.1.       Akar Klasik: Politik sebagai Filsafat Moral

Pemikiran politik awal dapat ditelusuri pada karya-karya para filsuf Yunani kuno, khususnya Plato dan Aristoteles. Dalam Republic, Plato menggambarkan negara ideal berdasarkan prinsip keadilan dan pembagian tugas dalam masyarakat.¹ Sedangkan Aristoteles dalam karyanya Politics menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk politik yang secara alamiah hidup dalam polis atau komunitas politik.²

Pada masa ini, studi politik sangat terkait dengan filsafat moral dan etika. Politik tidak dipahami sebagai praktik kekuasaan yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari upaya menuju kehidupan yang baik (eudaimonia) melalui organisasi sosial yang adil dan berlandaskan kebajikan.

3.2.       Masa Pertengahan dan Peralihan ke Modernitas

Pada Abad Pertengahan, pemikiran politik banyak dipengaruhi oleh ajaran agama, khususnya Kristen di Eropa. St. Augustine dan Thomas Aquinas, misalnya, memandang kekuasaan politik dalam kerangka teologis dan hukum ilahi.³ Dalam konteks ini, legitimasi politik erat kaitannya dengan otoritas moral gereja dan prinsip-prinsip spiritual.

Namun, titik balik penting terjadi pada era Renaisans dan Pencerahan ketika pemikiran politik mulai dilepaskan dari dominasi teologi dan bergerak ke arah rasionalitas sekuler. Niccolò Machiavelli, melalui Il Principe, menandai pergeseran tajam menuju pendekatan realistik terhadap kekuasaan. Ia memandang politik sebagai seni mempertahankan kekuasaan dan mengelola negara secara efektif, terlepas dari pertimbangan moral agama.⁴

Selanjutnya, para pemikir kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau menyumbangkan gagasan fundamental tentang negara, kedaulatan, dan legitimasi kekuasaan yang kelak menjadi dasar teori politik modern.⁵ Konsep-konsep seperti hak individu, kedaulatan rakyat, dan konstitusionalisme yang mereka rumuskan menjadi titik tolak bagi pembentukan negara modern dan sistem demokrasi.

3.3.       Institusionalisasi sebagai Ilmu Akademik

Ilmu Politik mulai berkembang sebagai disiplin akademik yang mandiri pada akhir abad ke-19, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Di universitas-universitas seperti Oxford, Harvard, dan Columbia, Ilmu Politik dipelajari secara sistematis sebagai bagian dari ilmu sosial. Pendekatan awal bersifat normatif dan institusional, berfokus pada struktur pemerintahan, konstitusi, dan hukum.

Pada abad ke-20, terjadi revolusi metodologis dalam Ilmu Politik, terutama dengan munculnya pendekatan behavioralism yang menekankan pentingnya data empiris dan pengamatan terhadap perilaku politik nyata. Pendekatan ini dipopulerkan oleh David Easton, Gabriel Almond, dan Robert Dahl, yang berusaha mengalihkan fokus dari studi normatif ke studi ilmiah berbasis bukti.⁶

Pasca-Perang Dunia II, Ilmu Politik berkembang menjadi disiplin yang sangat beragam, baik dalam pendekatan maupun fokus kajian. Selain pendekatan empiris, muncul juga pendekatan kritis, feminis, postkolonial, dan poststrukturalis yang memperkaya studi politik dengan perspektif baru mengenai kekuasaan, identitas, dan wacana.

3.4.       Ilmu Politik di Dunia Kontemporer

Pada abad ke-21, Ilmu Politik menghadapi tantangan dan peluang baru. Globalisasi, teknologi informasi, dan kompleksitas sosial-politik membuat studi politik harus beradaptasi dengan fenomena-fenomena baru seperti e-politics, populisme digital, dan gerakan sosial transnasional.⁷ Selain itu, krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik mendorong Ilmu Politik untuk tidak hanya menjelaskan dunia sebagaimana adanya, tetapi juga untuk membayangkan dan merancang dunia yang lebih adil dan demokratis.

Di Indonesia, perkembangan Ilmu Politik juga mengalami dinamika yang unik, terutama pasca-Reformasi 1998. Transformasi sistem politik menuju demokrasi mendorong tumbuhnya berbagai pusat studi politik, jurnal ilmiah, dan program pendidikan tinggi yang memfokuskan diri pada analisis kebijakan, perilaku pemilih, tata kelola pemerintahan, dan konflik politik.⁸


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 50–60.

[2]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–7.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.90–97, ed. Thomas Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).

[4]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 61–63.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 269–272; Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1996), 87–90.

[6]                David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York: Wiley, 1965), 21–23; Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture (Princeton: Princeton University Press, 1963), 15–17.

[7]                Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–4.

[8]                Denny JA, “Ilmu Politik dan Demokrasi di Indonesia: Refleksi Akademik Pasca-Reformasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 8, no. 2 (2005): 135–147.


4.           Objek Kajian dan Ruang Lingkup Ilmu Politik

Sebagai suatu disiplin ilmiah, Ilmu Politik memiliki objek kajian yang luas, kompleks, dan dinamis. Ia mencakup segala aspek yang berhubungan dengan kekuasaan, pengambilan keputusan, struktur pemerintahan, perilaku politik, serta interaksi antara negara dan masyarakat. Objek kajian ini berkembang seiring perubahan sosial dan politik global, dan mencerminkan upaya untuk memahami fenomena politik dalam berbagai bentuknya, dari lembaga formal negara hingga jaringan informal kekuasaan.

4.1.       Kekuasaan dan Kewenangan

Kekuasaan merupakan konsep sentral dalam Ilmu Politik. Kekuasaan (power) dipahami sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memengaruhi tindakan pihak lain sesuai kehendaknya, baik dengan cara kooperatif maupun koersif.¹ Max Weber membedakan kekuasaan dari kewenangan (authority), yaitu kekuasaan yang dianggap sah dan diterima secara sosial.² Klasifikasi Weber tentang tiga bentuk kewenangan—tradisional, karismatik, dan legal-rasional—menjadi fondasi dalam memahami legitimasi politik dalam berbagai sistem pemerintahan.³

Konsep kekuasaan dalam kajian politik modern juga diperluas melalui pendekatan-pendekatan seperti teori hegemonik (Gramsci), kekuasaan simbolik (Bourdieu), dan kekuasaan diskursif (Foucault), yang menekankan bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat koersif atau formal, melainkan dapat tersebar dalam praktik budaya dan bahasa.⁴

4.2.       Negara dan Pemerintahan

Negara (state) adalah institusi kunci dalam Ilmu Politik yang memiliki otoritas tertinggi dalam suatu wilayah teritorial. Charles Tilly menggambarkan negara sebagai entitas yang memonopoli penggunaan kekerasan yang sah dalam masyarakat.⁵ Negara menjadi arena utama di mana kebijakan publik dirancang, dijalankan, dan diatur.

Kajian tentang negara mencakup bentuk-bentuk pemerintahan (monarki, republik, demokrasi, otoritarianisme), sistem pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif), serta prinsip-prinsip konstitusionalisme dan supremasi hukum.⁶ Pemerintahan (government) dipahami sebagai lembaga yang menjalankan fungsi negara secara praktis, sedangkan negara sebagai entitas yang lebih permanen dan abstrak.

4.3.       Sistem Politik dan Ideologi

Sistem politik adalah keseluruhan struktur dan proses yang mengatur interaksi antara warga negara, institusi, dan kekuasaan dalam masyarakat. David Easton memformulasikan sistem politik sebagai mekanisme input-output, di mana tuntutan dan dukungan dari masyarakat (input) direspons oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan publik (output).⁷

Di dalam sistem politik juga tertanam berbagai ideologi seperti liberalisme, konservatisme, sosialisme, nasionalisme, dan fundamentalisme, yang membentuk kerangka berpikir, norma, dan arah kebijakan suatu negara. Kajian terhadap ideologi sangat penting untuk memahami perbedaan antara rezim, perilaku politik aktor, serta dinamika konflik dan koalisi dalam masyarakat.⁸

4.4.       Perilaku Politik dan Partisipasi Publik

Perilaku politik (political behavior) adalah salah satu fokus utama dalam studi politik kontemporer. Ia mencakup aktivitas seperti pemilihan umum, demonstrasi, advokasi kebijakan, serta keterlibatan dalam partai politik dan organisasi masyarakat sipil.⁹ Pendekatan perilaku politik berkembang melalui studi psikologi politik, teori pilihan rasional, dan studi kuantitatif tentang pemilih dan opini publik.

Partisipasi politik yang aktif merupakan indikator penting dari demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, Ilmu Politik juga mengkaji hambatan terhadap partisipasi seperti apatisme, alienasi politik, dan ketimpangan akses informasi.¹⁰

4.5.       Lembaga-Lembaga Politik

Ilmu Politik juga mencakup kajian tentang lembaga-lembaga politik, baik formal (partai politik, parlemen, birokrasi, lembaga peradilan) maupun informal (kelompok kepentingan, media massa, dan aktor non-negara).¹¹ Studi kelembagaan ini meliputi fungsi, struktur, mekanisme pengambilan keputusan, serta interaksi antar-lembaga dalam sistem politik tertentu.

Dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peran krusial dalam agregasi kepentingan dan seleksi kepemimpinan, sementara birokrasi merupakan tulang punggung administrasi negara. Analisis institusional sering digunakan untuk menilai efektivitas dan akuntabilitas lembaga-lembaga ini.

4.6.       Politik Global dan Hubungan Internasional

Objek kajian Ilmu Politik tidak terbatas pada urusan domestik. Politik internasional atau hubungan internasional menjadi subdisiplin penting yang mengkaji interaksi antarnegara, organisasi internasional, diplomasi, serta isu-isu global seperti perang, perdamaian, perdagangan, dan perubahan iklim.¹² Perspektif realisme, liberalisme, dan konstruktivisme digunakan untuk memahami dinamika kekuasaan dan kerjasama dalam sistem internasional yang anarkis.


Footnotes

[1]                Robert A. Dahl, Modern Political Analysis, 5th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1991), 33–35.

[2]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 53–56.

[3]                Ibid., 215–217.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 92–96.

[5]                Charles Tilly, Coercion, Capital, and European States, AD 990–1992 (Oxford: Blackwell, 1992), 1–3.

[6]                Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2013), 65–70.

[7]                David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York: Wiley, 1965), 18–21.

[8]                Terence Ball, Richard Dagger, and Daniel O’Neill, Political Ideologies and the Democratic Ideal, 11th ed. (London: Routledge, 2021), 5–15.

[9]                Russell J. Dalton, Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Industrial Democracies, 6th ed. (Washington, DC: CQ Press, 2014), 112–115.

[10]             Sidney Verba, Kay Lehman Schlozman, and Henry E. Brady, Voice and Equality: Civic Voluntarism in American Politics (Cambridge: Harvard University Press, 1995), 23–26.

[11]             Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), 85–97.

[12]             Joshua S. Goldstein and Jon C. Pevehouse, International Relations, 12th ed. (Boston: Pearson, 2017), 30–32.


5.           Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik

Ilmu Politik sebagai disiplin ilmu sosial memiliki keragaman pendekatan dalam memahami fenomena politik. Pendekatan-pendekatan ini berfungsi sebagai lensa analitis yang memungkinkan para ilmuwan politik menyoroti aspek-aspek tertentu dari dinamika kekuasaan, institusi, perilaku, dan wacana. Seiring perkembangan teori dan metodologi ilmu sosial, pendekatan dalam Ilmu Politik juga mengalami transformasi dan diversifikasi, mulai dari pendekatan normatif hingga pendekatan post-strukturalis.

5.1.       Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif berfokus pada pertanyaan tentang "apa yang seharusnya" dalam kehidupan politik, seperti keadilan, legitimasi, kebebasan, dan kebaikan bersama. Pendekatan ini memiliki akar yang kuat dalam filsafat politik klasik, terutama dalam karya Plato, Aristoteles, dan kemudian dikembangkan oleh pemikir modern seperti John Rawls.¹

Pendekatan ini tidak semata-mata deskriptif, tetapi evaluatif dan reflektif, menilai norma dan nilai yang mendasari sistem politik. Meski dikritik karena kurang empiris, pendekatan normatif tetap relevan dalam perdebatan etika politik dan desain institusi demokratis.²

5.2.       Pendekatan Institusional

Pendekatan institusional berfokus pada struktur formal seperti konstitusi, sistem pemerintahan, parlemen, birokrasi, dan pengadilan.³ Kajian ini memandang institusi sebagai variabel utama yang memengaruhi perilaku politik dan stabilitas sistem politik. Pendekatan ini sangat dominan dalam kajian politik pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.

Dalam perkembangannya, muncul neo-institusionalisme yang tidak hanya melihat institusi sebagai struktur formal, tetapi juga mencakup norma informal, budaya organisasi, dan dinamika historis yang membentuk perilaku politik.⁴ Neo-institusionalisme menjembatani antara pendekatan struktur dan aktor dalam menjelaskan proses politik.

5.3.       Pendekatan Perilaku (Behavioralisme)

Behavioralisme muncul pada paruh pertama abad ke-20 sebagai reaksi terhadap pendekatan normatif dan institusional yang dianggap kurang ilmiah.⁵ Pendekatan ini menekankan observasi empiris, kuantifikasi, dan generalisasi atas perilaku politik aktor—baik individu maupun kelompok—dalam konteks sosial tertentu.

Gabriel Almond dan Sidney Verba melalui studi klasik The Civic Culture menunjukkan bagaimana budaya politik masyarakat memengaruhi stabilitas dan efektivitas sistem demokrasi.⁶ Behavioralisme menjadi landasan bagi perkembangan survei opini publik, studi pemilih, dan eksperimen politik modern.

5.4.       Pendekatan Sistemik

David Easton memperkenalkan pendekatan sistemik dalam Ilmu Politik dengan memandang politik sebagai sistem input-output.⁷ Dalam kerangka ini, tuntutan dan dukungan dari masyarakat masuk sebagai input yang kemudian diproses oleh lembaga-lembaga politik dan menghasilkan output berupa kebijakan publik.

Pendekatan sistemik memberikan kerangka holistik dalam memahami bagaimana lingkungan politik (sosial, ekonomi, budaya) memengaruhi dinamika politik internal suatu negara. Meskipun bersifat abstrak, pendekatan ini berguna dalam merumuskan teori-teori sistem pemerintahan yang kompleks.

5.5.       Pendekatan Rasional Pilihan (Rational Choice Theory)

Pendekatan ini berpijak pada asumsi bahwa aktor politik bertindak secara rasional untuk memaksimalkan kepentingannya dalam konteks yang memiliki insentif dan kendala tertentu.⁸ Model ini digunakan secara luas dalam teori permainan, ekonomi politik, dan analisis kebijakan publik.

Meskipun efektif dalam menyederhanakan pengambilan keputusan, pendekatan ini sering dikritik karena terlalu reduksionis dan mengabaikan kompleksitas norma sosial, budaya, dan moral yang juga membentuk tindakan politik.⁹

5.6.       Pendekatan Kritis dan Postmodern

Pendekatan kritis lahir dari tradisi Mazhab Frankfurt, yang menyoroti dominasi ideologi, kapitalisme, dan struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam sistem politik.¹⁰ Para pemikir seperti Jürgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi rasional dan ruang publik sebagai dasar demokrasi sejati.

Sementara itu, pendekatan postmodern dan post-strukturalis seperti yang dikembangkan Michel Foucault dan Jacques Derrida menyoroti relasi kuasa dalam wacana, bahasa, dan representasi.¹¹ Mereka mengajak kita untuk melihat politik sebagai medan pertarungan narasi dan makna, bukan sekadar institusi atau kebijakan.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[2]                Terence Ball, “From Paradigms to Research Programs: Toward a Post-Kuhnian Political Science,” American Journal of Political Science 20, no. 1 (1976): 151–173.

[3]                James G. March and Johan P. Olsen, Rediscovering Institutions: The Organizational Basis of Politics (New York: Free Press, 1989), 4–7.

[4]                Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 21–23.

[5]                David Easton, The Political System: An Inquiry into the State of Political Science (New York: Knopf, 1953), 10–12.

[6]                Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton University Press, 1963), 5–9.

[7]                David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York: Wiley, 1965), 17–18.

[8]                Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy (New York: Harper, 1957), 36–38.

[9]                Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 35–37.

[10]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 102–104.

[11]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 215–218.


6.           Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Sosial Lainnya

Ilmu Politik sebagai bagian dari ilmu sosial tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dan saling mempengaruhi dengan disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya. Kompleksitas fenomena politik menuntut pendekatan yang multidisipliner agar dapat dipahami secara komprehensif. Hubungan ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga substantif karena objek kajian Ilmu Politik sering kali tumpang tindih atau bersinggungan langsung dengan bidang lain seperti sosiologi, ekonomi, hukum, antropologi, dan sejarah.

6.1.       Ilmu Politik dan Sosiologi

Hubungan antara Ilmu Politik dan sosiologi sangat erat, terutama dalam kajian tentang struktur sosial, stratifikasi, kelas, dan relasi kekuasaan. Sosiologi politik sebagai subdisiplin menjembatani kedua bidang ini, dengan menyoroti bagaimana institusi politik dibentuk oleh struktur sosial dan bagaimana kekuasaan dijalankan dalam masyarakat.¹ Pemikiran Max Weber dan Karl Marx berkontribusi besar dalam menjelaskan dimensi sosiologis dari kekuasaan politik.²

Selain itu, konsep-konsep seperti budaya politik, partisipasi warga, dan mobilisasi massa lebih tepat dianalisis melalui kacamata sosiologis. Hal ini membuat Ilmu Politik sangat terbantu oleh teori dan metode sosiologi dalam menjelaskan fenomena sosial-politik yang kompleks.

6.2.       Ilmu Politik dan Ekonomi

Ekonomi politik adalah bidang kajian interdisipliner yang tumbuh dari interaksi antara Ilmu Politik dan ekonomi. Disiplin ini mengkaji bagaimana kekuasaan memengaruhi distribusi sumber daya ekonomi, dan sebaliknya, bagaimana struktur ekonomi membentuk institusi politik.³

Pemikiran klasik seperti yang dikembangkan oleh Adam Smith dan Karl Marx menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik.⁴ Dalam konteks modern, pendekatan public choice theory dan analisis kebijakan publik menggunakan model ekonomi untuk memahami perilaku politisi dan pembuat kebijakan dalam konteks insentif, kepentingan, dan efisiensi.⁵

6.3.       Ilmu Politik dan Ilmu Hukum

Ilmu hukum dan Ilmu Politik sering kali dipelajari bersamaan karena keduanya sama-sama berkaitan dengan aturan, norma, dan institusi. Kajian tentang konstitusi, hukum tata negara, dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan dari landasan yuridis yang ditelaah dalam Ilmu Hukum.⁶

Namun, pendekatan Ilmu Politik terhadap hukum lebih bersifat empiris dan analitis, menyoroti bagaimana hukum digunakan sebagai alat legitimasi, kontrol sosial, dan sarana konflik politik. Misalnya, kajian tentang judicial review, peran Mahkamah Konstitusi, dan reformasi hukum adalah wilayah kajian bersama antara hukum dan politik.⁷

6.4.       Ilmu Politik dan Antropologi

Antropologi politik memfokuskan kajian pada relasi kekuasaan dalam masyarakat tradisional atau komunitas adat. Dalam pendekatan ini, politik tidak selalu berada dalam institusi formal seperti negara, tetapi juga dalam sistem kepercayaan, simbol, dan praktik kebudayaan.⁸

Kajian antropologis sangat penting dalam memahami praktik politik lokal, patron-klien, dan pola kepemimpinan tradisional. Pendekatan ini memungkinkan Ilmu Politik untuk tidak terjebak dalam eurocentrisme dan membuka diri terhadap pluralisme sistem politik di berbagai kebudayaan.⁹

6.5.       Ilmu Politik dan Sejarah

Ilmu Politik dan sejarah saling melengkapi dalam menjelaskan asal-usul institusi, peristiwa politik, dan perkembangan ideologi. Kajian sejarah memberikan konteks dan narasi terhadap peristiwa politik kontemporer, sekaligus menjadi bahan refleksi untuk memahami pola kontinuitas dan perubahan dalam politik.¹⁰

Historiografi politik sering digunakan untuk menelusuri evolusi konsep-konsep seperti negara, kebangsaan, revolusi, dan demokrasi. Dengan demikian, pendekatan historis memperkaya analisis politik dengan dimensi waktu dan perubahan sosial yang mendalam.¹¹


Footnotes

[1]                Seymour Martin Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics (New York: Doubleday, 1960), 1–5.

[2]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 53–60.

[3]                Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001), 3–7.

[4]                Adam Smith, The Wealth of Nations (London: Methuen & Co., 1904), Book IV; Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1 (London: Penguin, 1990), 125–130.

[5]                James M. Buchanan and Gordon Tullock, The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1962), 19–23.

[6]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), 51–55.

[7]                Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism (Cambridge: Harvard University Press, 2004), 18–20.

[8]                Marc J. Swartz, Victor W. Turner, and Arthur Tuden, eds., Political Anthropology (Chicago: Aldine, 1966), 2–4.

[9]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 412–453.

[10]             Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–6.

[11]             Eric Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 10–15.


7.           Ilmu Politik dalam Praktik

Ilmu Politik tidak hanya berkembang sebagai disiplin teoretis di ranah akademik, tetapi juga memainkan peran penting dalam praktik kehidupan kenegaraan dan masyarakat. Dalam konteks ini, Ilmu Politik berfungsi sebagai alat analisis, kritik, dan perencanaan kebijakan yang aplikatif bagi negara, lembaga pemerintahan, organisasi sipil, dan masyarakat luas. Peran praktis ini semakin signifikan dalam era modern ketika negara dituntut untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, akuntabel, dan demokratis.

7.1.       Peran Ilmu Politik dalam Formulasi Kebijakan Publik

Salah satu kontribusi nyata Ilmu Politik adalah dalam analisis dan perumusan kebijakan publik. Ilmu Politik membantu memahami bagaimana kebijakan dirancang, siapa yang terlibat dalam prosesnya, serta faktor-faktor kekuasaan dan kepentingan yang memengaruhinya.¹ Kajian kebijakan publik dalam ilmu ini menggabungkan teori-teori politik, ekonomi, dan administrasi publik guna menciptakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Ilmuwan politik juga terlibat dalam evaluasi kebijakan menggunakan metode empiris untuk mengukur efektivitas, efisiensi, dan dampak kebijakan terhadap masyarakat.² Proses ini menjadi penting untuk mendorong akuntabilitas dan memperkuat legitimasi pemerintah.

7.2.       Ilmu Politik dalam Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan

Demokrasi modern tidak dapat berjalan tanpa adanya pemahaman yang matang tentang sistem politik, lembaga demokrasi, dan partisipasi warga negara. Ilmu Politik menyediakan perangkat konseptual untuk memahami dinamika pemilu, representasi politik, partai politik, dan lembaga legislatif.³

Lebih jauh, Ilmu Politik berkontribusi pada penguatan good governance, yaitu tata kelola pemerintahan yang menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum.⁴ Organisasi seperti Bank Dunia dan UNDP bahkan memasukkan indikator politik sebagai variabel utama dalam menilai kualitas pemerintahan suatu negara.⁵ Oleh karena itu, penguasaan konsep-konsep politik menjadi penting tidak hanya bagi pemimpin dan aparatur negara, tetapi juga bagi masyarakat sipil dalam menjalankan kontrol demokratis.

7.3.       Peran Partisipasi Publik dan Masyarakat Sipil

Ilmu Politik juga mendorong partisipasi aktif warga negara dalam pengambilan keputusan politik.⁶ Dalam konteks ini, praktik politik bukan hanya hak prerogatif elit, melainkan keterlibatan kolektif masyarakat melalui pemilu, demonstrasi, petisi, dialog publik, dan forum warga. Wacana partisipasi ini diperkuat oleh teori demokrasi deliberatif yang menekankan pentingnya musyawarah rasional dalam menentukan kebijakan publik.⁷

Lembaga masyarakat sipil seperti LSM, media, dan kelompok advokasi turut menjadi aktor penting dalam sistem politik modern, baik sebagai mitra maupun pengawas negara. Peran ini semakin diperkuat dengan adanya teknologi digital yang memungkinkan mobilisasi dan distribusi informasi secara lebih luas dan cepat.

7.4.       Politik Global dan Tantangan Transnasional

Dalam praktik global, Ilmu Politik turut terlibat dalam isu-isu lintas negara seperti hubungan diplomatik, keamanan internasional, perdagangan global, perubahan iklim, dan migrasi.⁸ Ilmu Politik Internasional sebagai subdisiplin menyediakan teori dan kerangka kerja untuk memahami bagaimana negara-negara berinteraksi dalam sistem internasional yang anarkis, berdasarkan kepentingan nasional, kerjasama multilateral, atau konflik.

Isu-isu seperti globalisasi, terorisme, dan geopolitik kawasan juga menunjukkan bahwa praktik politik tidak lagi terbatas pada wilayah negara-bangsa.⁹ Dalam hal ini, pemahaman politik global menjadi syarat penting bagi diplomasi, analisis risiko, dan pengambilan kebijakan luar negeri.


Footnotes

[1]                Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 15th ed. (Boston: Pearson, 2016), 3–5.

[2]                B. Guy Peters, Advanced Introduction to Public Policy (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 23–26.

[3]                Larry Diamond and Leonardo Morlino, Assessing the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2005), 13–15.

[4]                Merilee S. Grindle, “Good Enough Governance: Poverty Reduction and Reform in Developing Countries,” Governance 17, no. 4 (2004): 525–548.

[5]                Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters IV: Governance Indicators for 1996–2004,” World Bank Policy Research Working Paper No. 3630 (2005): 4–6.

[6]                Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998), 36–38.

[7]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 287–293.

[8]                Joshua S. Goldstein and Jon C. Pevehouse, International Relations, 12th ed. (Boston: Pearson, 2017), 98–101.

[9]                Joseph S. Nye, The Future of Power (New York: PublicAffairs, 2011), 132–136.


8.           Tantangan dan Prospek Ilmu Politik Kontemporer

Dalam era kontemporer, Ilmu Politik dihadapkan pada berbagai tantangan multidimensi yang menuntut respons teoretis dan metodologis yang adaptif. Perkembangan teknologi informasi, dinamika globalisasi, krisis kepercayaan terhadap institusi politik, serta munculnya fenomena politik baru seperti populisme, politik identitas, dan disinformasi menantang ortodoksi pendekatan-pendekatan lama. Di sisi lain, tantangan-tantangan tersebut juga membuka prospek baru bagi Ilmu Politik untuk memperluas relevansinya sebagai ilmu yang kritis dan aplikatif dalam menjawab kebutuhan masyarakat global yang semakin kompleks.

8.1.       Disinformasi dan Polarisasi Politik

Salah satu tantangan serius dalam praktik politik modern adalah maraknya disinformasi yang menyebar melalui media sosial dan platform digital.¹ Hal ini menyebabkan polarisasi opini publik, memperlemah rasionalitas demokrasi deliberatif, dan menciptakan fragmentasi sosial yang tajam.²

Ilmu Politik kontemporer dituntut untuk mengembangkan model analisis baru terhadap dinamika informasi dan perilaku politik di ruang digital. Kajian politik digital (digital politics) kini menjadi cabang yang berkembang pesat, menyatukan analisis media, komunikasi politik, dan kecerdasan buatan untuk memahami efek algoritma terhadap preferensi politik.³

8.2.       Politik Identitas dan Krisis Representasi

Munculnya politik identitas (identity politics), baik dalam bentuk etnisitas, agama, gender, atau orientasi seksual, telah menggantikan politik berbasis kelas atau ideologi dalam banyak masyarakat.⁴ Politik identitas sering kali dimobilisasi secara instrumental oleh aktor politik untuk membangun loyalitas elektoral, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan eksklusi dan konflik horizontal.

Selain itu, krisis representasi terjadi ketika lembaga politik formal, seperti partai dan parlemen, gagal mewakili aspirasi rakyat. Hal ini menimbulkan apatisme politik dan penurunan partisipasi publik, sekaligus membuka ruang bagi aktor populis yang mengklaim berbicara atas nama “rakyat sejati” melawan “elit korup.”⁵

8.3.       Perubahan Iklim dan Politik Lingkungan

Perubahan iklim menjadi tantangan global yang memerlukan pendekatan politik lintas batas negara. Politik lingkungan kini menjadi agenda utama dalam perundingan internasional dan kebijakan domestik, karena dampaknya langsung pada kelangsungan hidup masyarakat dan keadilan ekologis.⁶

Ilmu Politik kontemporer dituntut untuk tidak hanya menganalisis aspek kebijakan lingkungan, tetapi juga memahami politik distribusi beban ekologis, ketimpangan global, serta resistensi dari aktor-aktor ekonomi yang terdampak oleh kebijakan transisi hijau.⁷

8.4.       Krisis Demokrasi dan Kecenderungan Otoritarianisme Baru

Meski demokrasi telah menyebar ke berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-20, namun kualitasnya kini banyak mengalami regresi. Fenomena seperti democratic backsliding, konsolidasi kekuasaan eksekutif, pelemahan lembaga peradilan, dan represi terhadap media bebas mengindikasikan munculnya bentuk otoritarianisme baru yang berkamuflase dalam struktur demokrasi prosedural.⁸

Hal ini menuntut Ilmu Politik untuk mengembangkan indikator yang lebih cermat dalam menilai kualitas demokrasi dan mendeteksi gejala autokratisasi yang bersifat laten namun sistematis.⁹

8.5.       Prospek: Interdisiplinaritas dan Inovasi Metodologis

Meskipun menghadapi tantangan besar, Ilmu Politik memiliki prospek yang menjanjikan, terutama melalui pendekatan interdisipliner dan inovasi metodologis. Kolaborasi dengan ilmu data, psikologi, ilmu lingkungan, dan teknologi informasi memungkinkan pengembangan alat analisis yang lebih canggih dan responsif terhadap fenomena kontemporer.¹⁰

Selain itu, Ilmu Politik juga semakin terbuka terhadap metode partisipatoris, etnografi politik, dan studi post-kolonial yang memberi ruang pada suara-suara yang selama ini terpinggirkan dalam arus utama studi politik. Hal ini mengarah pada Ilmu Politik yang lebih reflektif, inklusif, dan berakar pada konteks lokal maupun global.


Footnotes

[1]                Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig, “Disinformation, Fake News, and Influence Campaigns on Social Media,” Annual Review of Law and Social Science 14 (2018): 113–130.

[2]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 11–18.

[3]                Cristian Vaccari and Augusto Valeriani, Outside the Bubble: Social Media and Political Participation in Western Democracies (Oxford: Oxford University Press, 2021), 43–45.

[4]                Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018), 10–12.

[5]                Nadia Urbinati, Me the People: How Populism Transforms Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2019), 20–22.

[6]                Robyn Eckersley, “The Politics of Carbon Leakage and the Fairness of Border Measures,” Ethics & International Affairs 23, no. 3 (2009): 291–301.

[7]                John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 90–93.

[8]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 56–63.

[9]                Anna Lührmann and Staffan I. Lindberg, “A Third Wave of Autocratization Is Here: What Is New About It?” Democratization 26, no. 7 (2019): 1095–1113.

[10]             Gary King, Jennifer Pan, and Margaret E. Roberts, “How the Chinese Government Fabricates Social Media Posts for Strategic Distraction, Not Engaged Argument,” American Political Science Review 111, no. 3 (2017): 484–501.


9.           Kesimpulan

Ilmu Politik merupakan disiplin ilmu sosial yang memiliki akar sejarah panjang, dimensi teoritis yang kaya, dan aplikasi praktis yang luas dalam kehidupan kenegaraan dan masyarakat. Kajian ini tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga formal seperti negara, pemerintahan, dan parlemen, tetapi juga merambah pada dinamika kekuasaan dalam relasi sosial, wacana publik, dan kehidupan sehari-hari.¹

Melalui pendekatan-pendekatan seperti normatif, institusional, perilaku, sistemik, rasional pilihan, dan post-struktural, Ilmu Politik mampu mengembangkan analisis yang tidak hanya deskriptif, tetapi juga kritis dan transformatif.² Kemampuan untuk memahami dan menjelaskan proses pembuatan keputusan publik, struktur kekuasaan, konflik ideologi, serta interaksi antara negara dan masyarakat menjadi kekuatan utama dari ilmu ini dalam membentuk warga negara yang sadar dan partisipatif.

Dalam praktiknya, Ilmu Politik memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan publik, penguatan demokrasi, pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik, serta peningkatan kapasitas masyarakat sipil.³ Kehadiran ilmu ini di ruang-ruang pengambilan kebijakan dan advokasi politik menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan politik bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga relevan dan aplikatif dalam merespons tantangan zaman.

Namun demikian, Ilmu Politik kontemporer juga menghadapi berbagai tantangan serius seperti disinformasi digital, krisis representasi, politik identitas, perubahan iklim, serta kemunduran demokrasi.⁴ Hal ini menuntut transformasi epistemologis dan metodologis yang lebih interdisipliner dan responsif terhadap perubahan sosial-politik global. Ilmu Politik harus terbuka terhadap pendekatan alternatif, suara-suara marjinal, serta pengembangan metode inovatif agar tetap relevan dalam memahami dunia yang semakin kompleks.⁵

Dengan semua dinamika tersebut, prospek Ilmu Politik ke depan sangat tergantung pada kemampuannya untuk merekonstruksi dirinya sebagai ilmu yang tidak hanya menggambarkan realitas politik, tetapi juga turut serta dalam membentuk realitas tersebut secara adil, demokratis, dan berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan oleh David Easton, tugas utama Ilmu Politik bukan hanya menjelaskan, tetapi juga “to contribute to the building of a better political world.”_⁶


Footnotes

[1]                Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2013), 4–6.

[2]                David Marsh and Gerry Stoker, eds., Theory and Methods in Political Science, 3rd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2010), 3–10.

[3]                Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 15th ed. (Boston: Pearson, 2016), 3–5.

[4]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 7–10.

[5]                Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 13–14.

[6]                David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York: Wiley, 1965), xiii.


Daftar Pustaka

Almond, G. A., & Verba, S. (1963). The civic culture: Political attitudes and democracy in five nations. Princeton University Press.

Ball, T. (1976). From paradigms to research programs: Toward a post-Kuhnian political science. American Journal of Political Science, 20(1), 151–173.

Buchanan, J. M., & Tullock, G. (1962). The calculus of consent: Logical foundations of constitutional democracy. University of Michigan Press.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi revisi). Gramedia.

Dahl, R. A. (1991). Modern political analysis (5th ed.). Prentice Hall.

Dahl, R. A. (1998). On democracy. Yale University Press.

Diamond, L., & Morlino, L. (Eds.). (2005). Assessing the quality of democracy. Johns Hopkins University Press.

Downs, A. (1957). An economic theory of democracy. Harper & Row.

Dryzek, J. S. (2013). The politics of the earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford University Press.

Dye, T. R. (2016). Understanding public policy (15th ed.). Pearson.

Easton, D. (1953). The political system: An inquiry into the state of political science. Knopf.

Easton, D. (1965). A systems analysis of political life. Wiley.

Eckersley, R. (2009). The politics of carbon leakage and the fairness of border measures. Ethics & International Affairs, 23(3), 291–301.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge and the discourse on language (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Fukuyama, F. (2018). Identity: The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Gilpin, R. (2001). Global political economy: Understanding the international economic order. Princeton University Press.

Goldstein, J. S., & Pevehouse, J. C. (2017). International relations (12th ed.). Pearson.

Goodin, R. E., & Klingemann, H.-D. (Eds.). (1996). A new handbook of political science. Oxford University Press.

Grindle, M. S. (2004). Good enough governance: Poverty reduction and reform in developing countries. Governance, 17(4), 525–548.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Heywood, A. (2013). Politics (5th ed.). Palgrave Macmillan.

Hirschl, R. (2004). Towards juristocracy: The origins and consequences of the new constitutionalism. Harvard University Press.

Hobsbawm, E. (1990). Nations and nationalism since 1780: Programme, myth, reality. Cambridge University Press.

Jamieson, K. H., & Taussig, D. (2018). Disinformation, fake news, and influence campaigns on social media. Annual Review of Law and Social Science, 14, 113–130.

Kaufmann, D., Kraay, A., & Mastruzzi, M. (2005). Governance matters IV: Governance indicators for 1996–2004 (World Bank Policy Research Working Paper No. 3630). World Bank.

King, G., Pan, J., & Roberts, M. E. (2017). How the Chinese government fabricates social media posts for strategic distraction, not engaged argument. American Political Science Review, 111(3), 484–501.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.

Lipset, S. M. (1960). Political man: The social bases of politics. Doubleday.

Lührmann, A., & Lindberg, S. I. (2019). A third wave of autocratization is here: What is new about it? Democratization, 26(7), 1095–1113.

March, J. G., & Olsen, J. P. (1989). Rediscovering institutions: The organizational basis of politics. Free Press.

Marsh, D., & Stoker, G. (Eds.). (2010). Theory and methods in political science (3rd ed.). Palgrave Macmillan.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1). Penguin.

Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement, information poverty, and the internet worldwide. Cambridge University Press.

Nye, J. S. (2011). The future of power. PublicAffairs.

Ostrom, E. (1990). Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge University Press.

Peters, B. G. (2015). Advanced introduction to public policy. Edward Elgar.

Peters, G. (2012). Institutional theory in political science: The new institutionalism (3rd ed.). Continuum.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge University Press.

Smith, A. (1904). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations (E. Cannan, Ed.). Methuen & Co. [Original work published 1776]

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Swartz, M. J., Turner, V. W., & Tuden, A. (Eds.). (1966). Political anthropology. Aldine.

Tilly, C. (1992). Coercion, capital, and European states, AD 990–1992. Blackwell.

Urbinati, N. (2019). Me the people: How populism transforms democracy. Harvard University Press.

Vaccari, C., & Valeriani, A. (2021). Outside the bubble: Social media and political participation in Western democracies. Oxford University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar