Ilmu Politik
Hakikat, Pendekatan, dan Relevansi dalam Dinamika
Sosial-Kenegaraan
Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan, Konsep Keadilan dan Negara Ideal.
Sistem Pemerintahan, Sistem Hukum, Sistem Ekonomi, Sistem Pendidikan.
Kepemimpinan dalam Perspektif Filsafat, Dinamika Kepemimpinan dalam Islam, Kepemimpinan Pendidikan Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat,
pendekatan, dan relevansi Ilmu Politik dalam dinamika sosial dan kenegaraan
kontemporer. Dimulai dari telaah konseptual tentang definisi dan ruang
lingkupnya, artikel ini melacak perkembangan historis Ilmu Politik dari masa
klasik hingga kontemporer, serta menjelaskan objek kajian utama yang mencakup
kekuasaan, institusi, sistem politik, perilaku politik, dan hubungan
internasional. Berbagai pendekatan teoretis seperti normatif, institusional,
perilaku, sistemik, rasional pilihan, hingga kritis dan post-strukturalis turut
diuraikan untuk menunjukkan keluasan dan kedalaman metodologis disiplin ini.
Selain itu, artikel ini menyoroti hubungan Ilmu Politik dengan ilmu sosial
lainnya seperti sosiologi, ekonomi, hukum, antropologi, dan sejarah, serta
menekankan aplikasi praktisnya dalam analisis kebijakan publik, penguatan
demokrasi, dan tata kelola pemerintahan. Di tengah tantangan global seperti
disinformasi digital, politik identitas, perubahan iklim, dan kemunduran
demokrasi, Ilmu Politik dihadapkan pada tuntutan untuk berinovasi secara
metodologis dan berkolaborasi secara interdisipliner. Dengan demikian, artikel
ini menegaskan pentingnya Ilmu Politik sebagai instrumen reflektif dan
transformatif dalam membangun tatanan politik yang adil dan berkelanjutan.
Kata kunci: Ilmu Politik, kekuasaan, pendekatan politik,
kebijakan publik, demokrasi, disinformasi, ilmu sosial, tata kelola, populisme,
interdisipliner.
PEMBAHASAN
Kajian kritis terhadap Ilmu Politik Berdasarkan
Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu Politik
merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari kekuasaan, kewenangan,
dan bagaimana kedua unsur tersebut dijalankan, diperebutkan, serta
didistribusikan dalam kehidupan kolektif. Kehadiran Ilmu Politik dalam
diskursus keilmuan dan praktik sosial menjadi sangat penting, terutama dalam
konteks dunia yang terus mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi
yang berdampak langsung terhadap sistem dan perilaku politik. Seiring dengan
berkembangnya demokrasi, meningkatnya partisipasi publik, dan munculnya
berbagai dinamika global seperti populisme dan digitalisasi politik, urgensi
memahami Ilmu Politik menjadi semakin nyata bagi setiap warga negara,
akademisi, maupun pembuat kebijakan.
Menurut Harold D.
Lasswell, politik pada dasarnya adalah tentang “siapa mendapatkan apa,
kapan, dan bagaimana.”_¹ Definisi ini menggarisbawahi esensi politik
sebagai aktivitas distribusi sumber daya dalam masyarakat yang selalu sarat
dengan dimensi kekuasaan dan kepentingan. Oleh karena itu, Ilmu Politik tidak
hanya terbatas pada kajian tentang negara atau pemerintahan semata, tetapi
mencakup jaringan kompleks relasi sosial yang membentuk struktur dan proses
pengambilan keputusan publik.
Perkembangan Ilmu
Politik sebagai disiplin akademik mengalami lompatan besar sejak abad ke-20,
terutama setelah munculnya pendekatan-pendekatan ilmiah yang memperkuat
fondasinya sebagai ilmu yang dapat diukur, dianalisis, dan diuji secara
empiris.² Di berbagai negara, Ilmu Politik tidak hanya menjadi fondasi untuk
membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi juga
menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas sosial, membangun
legitimasi, dan memperkuat partisipasi demokratis.
Di Indonesia, studi
Ilmu Politik mengalami perkembangan yang dinamis, sejalan dengan proses
demokratisasi dan reformasi pasca-Orde Baru. Para sarjana seperti Miriam
Budiardjo telah berkontribusi besar dalam memperkenalkan konsep-konsep dasar
Ilmu Politik kepada publik akademik, termasuk pentingnya memahami hubungan
antara kekuasaan, institusi, dan partisipasi politik.³ Dalam konteks ini, Ilmu
Politik bukan hanya menjadi wacana akademik, melainkan juga alat kritis untuk
membaca dinamika kekuasaan di berbagai level, mulai dari lokal hingga global.
Dengan demikian,
artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif mengenai hakikat Ilmu
Politik, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kajiannya, serta
relevansinya dalam dinamika sosial dan kenegaraan kontemporer. Dengan
mendasarkan pada kajian literatur yang kredibel dan pendekatan analitis,
diharapkan pembahasan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan
reflektif tentang peran strategis Ilmu Politik dalam kehidupan masyarakat
modern.
Footnotes
[1]
Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, How (New
York: McGraw-Hill, 1936), 3.
[2]
David Easton, The Political System: An Inquiry into the State of Political
Science (New York: Alfred A. Knopf, 1953), 23–25.
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008), 5–7.
2.
Pengertian dan Hakikat Ilmu Politik
Ilmu Politik
merupakan disiplin ilmu yang secara sistematis mempelajari fenomena politik,
baik yang terjadi dalam institusi formal seperti negara dan pemerintahan maupun
dalam bentuk hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam masyarakat secara luas.
Sebagai cabang ilmu sosial, Ilmu Politik berupaya memahami dan menjelaskan
bagaimana kekuasaan diperoleh, digunakan, dipertahankan, dan ditantang dalam
berbagai konteks sosial dan historis.
2.1.
Definisi Ilmu Politik
Secara etimologis,
kata “politik” berasal dari bahasa Yunani polis, yang berarti “kota”
atau “negara kota,” sedangkan politikos berarti “hal-hal yang
berkaitan dengan warga negara.” Dalam konteks modern, politik lebih luas
mencakup proses pembuatan keputusan kolektif dan pengaturan kehidupan bersama
dalam suatu entitas sosial yang terorganisasi, seperti negara.¹
Berbagai sarjana memberikan
definisi yang mencerminkan kompleksitas dan keluasan cakupan Ilmu Politik.
Harold D. Lasswell menyatakan bahwa politik adalah “who gets what, when, and
how,” menekankan pada proses distribusi sumber daya yang berkaitan erat
dengan kekuasaan.² Definisi ini mencerminkan perspektif perilaku (behavioral)
yang melihat politik sebagai kegiatan yang konkret dan terukur.
Sementara itu, David
Easton mengembangkan pendekatan sistemik dalam mendefinisikan politik sebagai “the
authoritative allocation of values for a society,” yang menekankan bahwa
proses politik melibatkan pengambilan keputusan yang sah untuk mendistribusikan
nilai-nilai dalam masyarakat.³ Konsep ini memperluas cakupan politik tidak
hanya dalam konteks institusional, tetapi juga dalam interaksi antara input
masyarakat dan output kebijakan.
Miriam Budiardjo,
seorang ilmuwan politik Indonesia terkemuka, mendefinisikan Ilmu Politik
sebagai ilmu yang mempelajari negara, kekuasaan, proses pembuatan keputusan,
kebijakan publik, distribusi sumber daya, serta perilaku politik
aktor-aktornya.⁴ Definisi ini menggabungkan pendekatan normatif, institusional,
dan empiris, serta menempatkan Ilmu Politik sebagai kajian multidimensional
yang terbuka terhadap dinamika sosial.
2.2.
Hakikat Ilmu Politik
sebagai Ilmu Sosial
Sebagai ilmu sosial,
Ilmu Politik memiliki ciri khas metodologis yang membedakannya dari ilmu alam
maupun filsafat. Ia menggunakan pendekatan empiris, teoritis, dan analitis
untuk mengkaji fenomena politik, dengan tujuan menjelaskan, memprediksi, dan
memahami pola-pola kekuasaan dalam masyarakat.⁵ Ilmu Politik tidak sekadar
bersifat deskriptif, tetapi juga bersifat analitis dan normatif, karena
berkaitan erat dengan pertanyaan tentang keadilan, legitimasi, dan kepentingan
umum.
Ilmu Politik juga
bersifat interdisipliner karena saling terkait dengan disiplin lain seperti
sosiologi, ekonomi, hukum, psikologi, dan antropologi.⁶ Ketergantungan ini
memperkaya analisis politik dengan berbagai sudut pandang, sekaligus menantang
ilmuwan politik untuk mengembangkan metode yang sesuai dengan kompleksitas
realitas politik.
Dalam konteks
akademik kontemporer, Ilmu Politik telah berkembang menjadi suatu disiplin yang
mapan, memiliki pendekatan metodologis yang beragam, mulai dari kuantitatif
hingga kualitatif, dari positivistik hingga kritikal.⁷ Perkembangan ini
mencerminkan kesadaran akan pluralitas realitas politik dan pentingnya
fleksibilitas pendekatan dalam menjawab tantangan-tantangan teoritis maupun
praktis dalam dunia politik.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008), 1–2.
[2]
Harold D. Lasswell, Politics: Who Gets What, When, How (New
York: McGraw-Hill, 1936), 3.
[3]
David Easton, A Framework for Political Analysis (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1965), 50.
[4]
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 5–6.
[5]
David Marsh and Gerry Stoker, eds., Theory and Methods in Political
Science, 3rd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2010), 3–5.
[6]
Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan,
2013), 6–8.
[7]
Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, eds., A New Handbook
of Political Science (Oxford: Oxford University Press, 1996), 5–7.
3.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu Politik
memiliki akar sejarah yang sangat panjang dan kaya, menjadikannya salah satu
cabang ilmu sosial tertua dalam peradaban manusia. Meski baru berkembang
sebagai disiplin akademik yang sistematis pada abad ke-19 dan ke-20, akar
pemikiran politik telah muncul sejak zaman klasik, mengalami transformasi besar
pada masa modern, dan berkembang menjadi bidang kajian yang kompleks dan
multidisipliner dalam era kontemporer.
3.1.
Akar Klasik: Politik
sebagai Filsafat Moral
Pemikiran politik
awal dapat ditelusuri pada karya-karya para filsuf Yunani kuno, khususnya Plato
dan Aristoteles. Dalam Republic, Plato menggambarkan
negara ideal berdasarkan prinsip keadilan dan pembagian tugas dalam
masyarakat.¹ Sedangkan Aristoteles dalam karyanya Politics menyatakan bahwa manusia
adalah zoon
politikon—makhluk politik yang secara alamiah hidup dalam polis
atau komunitas politik.²
Pada masa ini, studi
politik sangat terkait dengan filsafat moral dan etika. Politik tidak dipahami
sebagai praktik kekuasaan yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari upaya
menuju kehidupan yang baik (eudaimonia) melalui organisasi
sosial yang adil dan berlandaskan kebajikan.
3.2.
Masa Pertengahan dan
Peralihan ke Modernitas
Pada Abad
Pertengahan, pemikiran politik banyak dipengaruhi oleh ajaran agama, khususnya
Kristen di Eropa. St. Augustine dan Thomas Aquinas, misalnya, memandang
kekuasaan politik dalam kerangka teologis dan hukum ilahi.³ Dalam konteks ini,
legitimasi politik erat kaitannya dengan otoritas moral gereja dan
prinsip-prinsip spiritual.
Namun, titik balik
penting terjadi pada era Renaisans dan Pencerahan ketika pemikiran politik
mulai dilepaskan dari dominasi teologi dan bergerak ke arah rasionalitas
sekuler. Niccolò Machiavelli, melalui Il Principe, menandai pergeseran
tajam menuju pendekatan realistik terhadap kekuasaan. Ia memandang politik
sebagai seni mempertahankan kekuasaan dan mengelola negara secara efektif,
terlepas dari pertimbangan moral agama.⁴
Selanjutnya, para
pemikir kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques
Rousseau menyumbangkan gagasan fundamental tentang negara, kedaulatan, dan
legitimasi kekuasaan yang kelak menjadi dasar teori politik modern.⁵
Konsep-konsep seperti hak individu, kedaulatan rakyat, dan konstitusionalisme
yang mereka rumuskan menjadi titik tolak bagi pembentukan negara modern dan
sistem demokrasi.
3.3.
Institusionalisasi
sebagai Ilmu Akademik
Ilmu Politik mulai
berkembang sebagai disiplin akademik yang mandiri pada akhir abad ke-19,
terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Di universitas-universitas seperti
Oxford, Harvard, dan Columbia, Ilmu Politik dipelajari secara sistematis
sebagai bagian dari ilmu sosial. Pendekatan awal bersifat normatif dan
institusional, berfokus pada struktur pemerintahan, konstitusi, dan hukum.
Pada abad ke-20,
terjadi revolusi metodologis dalam Ilmu Politik, terutama dengan munculnya pendekatan
behavioralism
yang menekankan pentingnya data empiris dan pengamatan terhadap perilaku
politik nyata. Pendekatan ini dipopulerkan oleh David Easton, Gabriel Almond,
dan Robert Dahl, yang berusaha mengalihkan fokus dari studi normatif ke studi
ilmiah berbasis bukti.⁶
Pasca-Perang Dunia
II, Ilmu Politik berkembang menjadi disiplin yang sangat beragam, baik dalam
pendekatan maupun fokus kajian. Selain pendekatan empiris, muncul juga
pendekatan kritis, feminis, postkolonial, dan poststrukturalis yang memperkaya
studi politik dengan perspektif baru mengenai kekuasaan, identitas, dan wacana.
3.4.
Ilmu Politik di Dunia
Kontemporer
Pada abad ke-21,
Ilmu Politik menghadapi tantangan dan peluang baru. Globalisasi, teknologi
informasi, dan kompleksitas sosial-politik membuat studi politik harus
beradaptasi dengan fenomena-fenomena baru seperti e-politics, populisme
digital, dan gerakan sosial transnasional.⁷ Selain itu, krisis kepercayaan
terhadap lembaga-lembaga politik mendorong Ilmu Politik untuk tidak hanya menjelaskan
dunia sebagaimana adanya, tetapi juga untuk membayangkan dan merancang dunia
yang lebih adil dan demokratis.
Di Indonesia,
perkembangan Ilmu Politik juga mengalami dinamika yang unik, terutama
pasca-Reformasi 1998. Transformasi sistem politik menuju demokrasi mendorong
tumbuhnya berbagai pusat studi politik, jurnal ilmiah, dan program pendidikan
tinggi yang memfokuskan diri pada analisis kebijakan, perilaku pemilih, tata
kelola pemerintahan, dan konflik politik.⁸
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 50–60.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University
of Chicago Press, 2013), 5–7.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.90–97, ed. Thomas
Gilby (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
[4]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 61–63.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 269–272; Thomas Hobbes, Leviathan
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 87–90.
[6]
David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York:
Wiley, 1965), 21–23; Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture
(Princeton: Princeton University Press, 1963), 15–17.
[7]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information
Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 3–4.
[8]
Denny JA, “Ilmu Politik dan Demokrasi di Indonesia: Refleksi Akademik
Pasca-Reformasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 8, no. 2 (2005):
135–147.
4.
Objek Kajian dan Ruang Lingkup Ilmu Politik
Sebagai suatu
disiplin ilmiah, Ilmu Politik memiliki objek kajian yang luas, kompleks, dan
dinamis. Ia mencakup segala aspek yang berhubungan dengan kekuasaan, pengambilan
keputusan, struktur pemerintahan, perilaku politik, serta interaksi antara
negara dan masyarakat. Objek kajian ini berkembang seiring perubahan sosial dan
politik global, dan mencerminkan upaya untuk memahami fenomena politik dalam
berbagai bentuknya, dari lembaga formal negara hingga jaringan informal
kekuasaan.
4.1.
Kekuasaan dan
Kewenangan
Kekuasaan merupakan
konsep sentral dalam Ilmu Politik. Kekuasaan (power) dipahami sebagai kemampuan
individu atau kelompok untuk memengaruhi tindakan pihak lain sesuai kehendaknya,
baik dengan cara kooperatif maupun koersif.¹ Max Weber membedakan kekuasaan
dari kewenangan (authority), yaitu kekuasaan yang
dianggap sah dan diterima secara sosial.² Klasifikasi Weber tentang tiga bentuk
kewenangan—tradisional, karismatik, dan legal-rasional—menjadi fondasi dalam
memahami legitimasi politik dalam berbagai sistem pemerintahan.³
Konsep kekuasaan
dalam kajian politik modern juga diperluas melalui pendekatan-pendekatan
seperti teori hegemonik (Gramsci), kekuasaan simbolik (Bourdieu), dan kekuasaan
diskursif (Foucault), yang menekankan bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat
koersif atau formal, melainkan dapat tersebar dalam praktik budaya dan bahasa.⁴
4.2.
Negara dan
Pemerintahan
Negara (state)
adalah institusi kunci dalam Ilmu Politik yang memiliki otoritas tertinggi
dalam suatu wilayah teritorial. Charles Tilly menggambarkan negara sebagai
entitas yang memonopoli penggunaan kekerasan yang sah dalam masyarakat.⁵ Negara
menjadi arena utama di mana kebijakan publik dirancang, dijalankan, dan diatur.
Kajian tentang
negara mencakup bentuk-bentuk pemerintahan (monarki, republik, demokrasi,
otoritarianisme), sistem pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif,
yudikatif), serta prinsip-prinsip konstitusionalisme dan supremasi hukum.⁶
Pemerintahan (government) dipahami sebagai
lembaga yang menjalankan fungsi negara secara praktis, sedangkan negara sebagai
entitas yang lebih permanen dan abstrak.
4.3.
Sistem Politik dan
Ideologi
Sistem politik
adalah keseluruhan struktur dan proses yang mengatur interaksi antara warga
negara, institusi, dan kekuasaan dalam masyarakat. David Easton memformulasikan
sistem politik sebagai mekanisme input-output, di mana tuntutan dan dukungan
dari masyarakat (input) direspons oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan publik
(output).⁷
Di dalam sistem
politik juga tertanam berbagai ideologi seperti liberalisme, konservatisme,
sosialisme, nasionalisme, dan fundamentalisme, yang membentuk kerangka
berpikir, norma, dan arah kebijakan suatu negara. Kajian terhadap ideologi
sangat penting untuk memahami perbedaan antara rezim, perilaku politik aktor,
serta dinamika konflik dan koalisi dalam masyarakat.⁸
4.4.
Perilaku Politik dan
Partisipasi Publik
Perilaku politik (political
behavior) adalah salah satu fokus utama dalam studi politik
kontemporer. Ia mencakup aktivitas seperti pemilihan umum, demonstrasi,
advokasi kebijakan, serta keterlibatan dalam partai politik dan organisasi
masyarakat sipil.⁹ Pendekatan perilaku politik berkembang melalui studi
psikologi politik, teori pilihan rasional, dan studi kuantitatif tentang
pemilih dan opini publik.
Partisipasi politik
yang aktif merupakan indikator penting dari demokrasi yang sehat. Oleh karena
itu, Ilmu Politik juga mengkaji hambatan terhadap partisipasi seperti apatisme,
alienasi politik, dan ketimpangan akses informasi.¹⁰
4.5.
Lembaga-Lembaga
Politik
Ilmu Politik juga
mencakup kajian tentang lembaga-lembaga politik, baik formal (partai politik,
parlemen, birokrasi, lembaga peradilan) maupun informal (kelompok kepentingan,
media massa, dan aktor non-negara).¹¹ Studi kelembagaan ini meliputi fungsi,
struktur, mekanisme pengambilan keputusan, serta interaksi antar-lembaga dalam
sistem politik tertentu.
Dalam sistem
demokrasi, partai politik memainkan peran krusial dalam agregasi kepentingan
dan seleksi kepemimpinan, sementara birokrasi merupakan tulang punggung
administrasi negara. Analisis institusional sering digunakan untuk menilai
efektivitas dan akuntabilitas lembaga-lembaga ini.
4.6.
Politik Global dan
Hubungan Internasional
Objek kajian Ilmu
Politik tidak terbatas pada urusan domestik. Politik internasional atau
hubungan internasional menjadi subdisiplin penting yang mengkaji interaksi
antarnegara, organisasi internasional, diplomasi, serta isu-isu global seperti
perang, perdamaian, perdagangan, dan perubahan iklim.¹² Perspektif realisme,
liberalisme, dan konstruktivisme digunakan untuk memahami dinamika kekuasaan
dan kerjasama dalam sistem internasional yang anarkis.
Footnotes
[1]
Robert A. Dahl, Modern Political Analysis, 5th ed. (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1991), 33–35.
[2]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 53–56.
[3]
Ibid., 215–217.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
92–96.
[5]
Charles Tilly, Coercion, Capital, and European States, AD 990–1992
(Oxford: Blackwell, 1992), 1–3.
[6]
Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan,
2013), 65–70.
[7]
David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York:
Wiley, 1965), 18–21.
[8]
Terence Ball, Richard Dagger, and Daniel O’Neill, Political
Ideologies and the Democratic Ideal, 11th ed. (London: Routledge, 2021),
5–15.
[9]
Russell J. Dalton, Citizen Politics: Public Opinion and Political
Parties in Advanced Industrial Democracies, 6th ed. (Washington, DC: CQ
Press, 2014), 112–115.
[10]
Sidney Verba, Kay Lehman Schlozman, and Henry E. Brady, Voice and
Equality: Civic Voluntarism in American Politics (Cambridge: Harvard
University Press, 1995), 23–26.
[11]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008), 85–97.
[12]
Joshua S. Goldstein and Jon C. Pevehouse, International Relations,
12th ed. (Boston: Pearson, 2017), 30–32.
5.
Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik
Ilmu Politik sebagai
disiplin ilmu sosial memiliki keragaman pendekatan dalam memahami fenomena
politik. Pendekatan-pendekatan ini berfungsi sebagai lensa analitis yang
memungkinkan para ilmuwan politik menyoroti aspek-aspek tertentu dari dinamika
kekuasaan, institusi, perilaku, dan wacana. Seiring perkembangan teori dan
metodologi ilmu sosial, pendekatan dalam Ilmu Politik juga mengalami
transformasi dan diversifikasi, mulai dari pendekatan normatif hingga
pendekatan post-strukturalis.
5.1.
Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif
berfokus pada pertanyaan tentang "apa yang seharusnya"
dalam kehidupan politik, seperti keadilan, legitimasi, kebebasan, dan kebaikan
bersama. Pendekatan ini memiliki akar yang kuat dalam filsafat politik klasik,
terutama dalam karya Plato, Aristoteles, dan kemudian dikembangkan oleh pemikir
modern seperti John Rawls.¹
Pendekatan ini tidak
semata-mata deskriptif, tetapi evaluatif dan reflektif, menilai norma dan nilai
yang mendasari sistem politik. Meski dikritik karena kurang empiris, pendekatan
normatif tetap relevan dalam perdebatan etika politik dan desain institusi
demokratis.²
5.2.
Pendekatan
Institusional
Pendekatan
institusional berfokus pada struktur formal seperti konstitusi, sistem
pemerintahan, parlemen, birokrasi, dan pengadilan.³ Kajian ini memandang
institusi sebagai variabel utama yang memengaruhi perilaku politik dan
stabilitas sistem politik. Pendekatan ini sangat dominan dalam kajian politik
pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Dalam
perkembangannya, muncul neo-institusionalisme yang
tidak hanya melihat institusi sebagai struktur formal, tetapi juga mencakup
norma informal, budaya organisasi, dan dinamika historis yang membentuk
perilaku politik.⁴ Neo-institusionalisme menjembatani antara pendekatan
struktur dan aktor dalam menjelaskan proses politik.
5.3.
Pendekatan Perilaku
(Behavioralisme)
Behavioralisme
muncul pada paruh pertama abad ke-20 sebagai reaksi terhadap pendekatan
normatif dan institusional yang dianggap kurang ilmiah.⁵ Pendekatan ini
menekankan observasi empiris, kuantifikasi, dan
generalisasi atas perilaku politik aktor—baik individu maupun
kelompok—dalam konteks sosial tertentu.
Gabriel Almond dan
Sidney Verba melalui studi klasik The Civic Culture menunjukkan
bagaimana budaya politik masyarakat memengaruhi stabilitas dan efektivitas
sistem demokrasi.⁶ Behavioralisme menjadi landasan bagi perkembangan survei
opini publik, studi pemilih, dan eksperimen politik modern.
5.4.
Pendekatan Sistemik
David Easton memperkenalkan
pendekatan sistemik dalam Ilmu Politik dengan memandang politik sebagai sistem
input-output.⁷ Dalam kerangka ini, tuntutan dan dukungan dari masyarakat masuk
sebagai input yang kemudian diproses oleh lembaga-lembaga politik dan
menghasilkan output berupa kebijakan publik.
Pendekatan sistemik
memberikan kerangka holistik dalam memahami bagaimana lingkungan politik
(sosial, ekonomi, budaya) memengaruhi dinamika politik internal suatu negara.
Meskipun bersifat abstrak, pendekatan ini berguna dalam merumuskan teori-teori
sistem pemerintahan yang kompleks.
5.5.
Pendekatan Rasional
Pilihan (Rational Choice Theory)
Pendekatan ini
berpijak pada asumsi bahwa aktor politik bertindak secara rasional
untuk memaksimalkan kepentingannya dalam konteks yang memiliki insentif dan
kendala tertentu.⁸ Model ini digunakan secara luas dalam teori permainan,
ekonomi politik, dan analisis kebijakan publik.
Meskipun efektif
dalam menyederhanakan pengambilan keputusan, pendekatan ini sering dikritik
karena terlalu reduksionis dan mengabaikan kompleksitas norma sosial, budaya,
dan moral yang juga membentuk tindakan politik.⁹
5.6.
Pendekatan Kritis dan
Postmodern
Pendekatan kritis
lahir dari tradisi Mazhab Frankfurt, yang
menyoroti dominasi ideologi, kapitalisme, dan struktur kekuasaan yang
tersembunyi dalam sistem politik.¹⁰ Para pemikir seperti Jürgen Habermas
menekankan pentingnya komunikasi rasional dan ruang publik sebagai dasar
demokrasi sejati.
Sementara itu,
pendekatan postmodern dan post-strukturalis
seperti yang dikembangkan Michel Foucault dan Jacques Derrida menyoroti relasi
kuasa dalam wacana, bahasa, dan representasi.¹¹ Mereka mengajak kita untuk
melihat politik sebagai medan pertarungan narasi dan makna, bukan sekadar
institusi atau kebijakan.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–5.
[2]
Terence Ball, “From Paradigms to Research Programs: Toward a
Post-Kuhnian Political Science,” American Journal of Political Science
20, no. 1 (1976): 151–173.
[3]
James G. March and Johan P. Olsen, Rediscovering Institutions: The
Organizational Basis of Politics (New York: Free Press, 1989), 4–7.
[4]
Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New
Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 21–23.
[5]
David Easton, The Political System: An Inquiry into the State of
Political Science (New York: Knopf, 1953), 10–12.
[6]
Gabriel A. Almond and Sidney Verba, The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton: Princeton University
Press, 1963), 5–9.
[7]
David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York:
Wiley, 1965), 17–18.
[8]
Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy (New York:
Harper, 1957), 36–38.
[9]
Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions
for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990),
35–37.
[10]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge, MA:
MIT Press, 1989), 102–104.
[11]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on
Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 215–218.
6.
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Sosial
Lainnya
Ilmu Politik sebagai
bagian dari ilmu sosial tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dan
saling mempengaruhi dengan disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya. Kompleksitas
fenomena politik menuntut pendekatan yang multidisipliner agar dapat dipahami
secara komprehensif. Hubungan ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga
substantif karena objek kajian Ilmu Politik sering kali tumpang tindih atau
bersinggungan langsung dengan bidang lain seperti sosiologi, ekonomi, hukum,
antropologi, dan sejarah.
6.1.
Ilmu Politik dan
Sosiologi
Hubungan antara Ilmu
Politik dan sosiologi sangat erat, terutama dalam kajian tentang struktur
sosial, stratifikasi, kelas, dan relasi kekuasaan. Sosiologi politik sebagai
subdisiplin menjembatani kedua bidang ini, dengan menyoroti bagaimana institusi
politik dibentuk oleh struktur sosial dan bagaimana kekuasaan dijalankan dalam
masyarakat.¹ Pemikiran Max Weber dan Karl Marx berkontribusi besar dalam
menjelaskan dimensi sosiologis dari kekuasaan politik.²
Selain itu,
konsep-konsep seperti budaya politik, partisipasi warga, dan mobilisasi massa
lebih tepat dianalisis melalui kacamata sosiologis. Hal ini membuat Ilmu
Politik sangat terbantu oleh teori dan metode sosiologi dalam menjelaskan
fenomena sosial-politik yang kompleks.
6.2.
Ilmu Politik dan
Ekonomi
Ekonomi politik
adalah bidang kajian interdisipliner yang tumbuh dari interaksi antara Ilmu
Politik dan ekonomi. Disiplin ini mengkaji bagaimana kekuasaan memengaruhi
distribusi sumber daya ekonomi, dan sebaliknya, bagaimana struktur ekonomi
membentuk institusi politik.³
Pemikiran klasik
seperti yang dikembangkan oleh Adam Smith dan Karl Marx menunjukkan bahwa
sistem ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik.⁴ Dalam konteks
modern, pendekatan public choice theory dan analisis
kebijakan publik menggunakan model ekonomi untuk memahami perilaku politisi dan
pembuat kebijakan dalam konteks insentif, kepentingan, dan efisiensi.⁵
6.3.
Ilmu Politik dan Ilmu
Hukum
Ilmu hukum dan Ilmu
Politik sering kali dipelajari bersamaan karena keduanya sama-sama berkaitan
dengan aturan, norma, dan institusi. Kajian tentang konstitusi, hukum tata
negara, dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan dari landasan
yuridis yang ditelaah dalam Ilmu Hukum.⁶
Namun, pendekatan
Ilmu Politik terhadap hukum lebih bersifat empiris dan analitis, menyoroti
bagaimana hukum digunakan sebagai alat legitimasi, kontrol sosial, dan sarana
konflik politik. Misalnya, kajian tentang judicial review, peran Mahkamah
Konstitusi, dan reformasi hukum adalah wilayah kajian bersama antara hukum dan
politik.⁷
6.4.
Ilmu Politik dan
Antropologi
Antropologi politik
memfokuskan kajian pada relasi kekuasaan dalam masyarakat tradisional atau
komunitas adat. Dalam pendekatan ini, politik tidak selalu berada dalam
institusi formal seperti negara, tetapi juga dalam sistem kepercayaan, simbol,
dan praktik kebudayaan.⁸
Kajian antropologis
sangat penting dalam memahami praktik politik lokal, patron-klien, dan pola
kepemimpinan tradisional. Pendekatan ini memungkinkan Ilmu Politik untuk tidak
terjebak dalam eurocentrisme dan membuka diri terhadap pluralisme sistem
politik di berbagai kebudayaan.⁹
6.5.
Ilmu Politik dan
Sejarah
Ilmu Politik dan
sejarah saling melengkapi dalam menjelaskan asal-usul institusi, peristiwa
politik, dan perkembangan ideologi. Kajian sejarah memberikan konteks dan narasi
terhadap peristiwa politik kontemporer, sekaligus menjadi bahan refleksi untuk
memahami pola kontinuitas dan perubahan dalam politik.¹⁰
Historiografi
politik sering digunakan untuk menelusuri evolusi konsep-konsep seperti negara,
kebangsaan, revolusi, dan demokrasi. Dengan demikian, pendekatan historis
memperkaya analisis politik dengan dimensi waktu dan perubahan sosial yang
mendalam.¹¹
Footnotes
[1]
Seymour Martin Lipset, Political Man: The Social Bases of Politics
(New York: Doubleday, 1960), 1–5.
[2]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 53–60.
[3]
Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the
International Economic Order (Princeton: Princeton University Press,
2001), 3–7.
[4]
Adam Smith, The Wealth of Nations (London: Methuen & Co.,
1904), Book IV; Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy,
vol. 1 (London: Penguin, 1990), 125–130.
[5]
James M. Buchanan and Gordon Tullock, The Calculus of Consent:
Logical Foundations of Constitutional Democracy (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1962), 19–23.
[6]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008), 51–55.
[7]
Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of
the New Constitutionalism (Cambridge: Harvard University Press, 2004),
18–20.
[8]
Marc J. Swartz, Victor W. Turner, and Arthur Tuden, eds., Political
Anthropology (Chicago: Aldine, 1966), 2–4.
[9]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 412–453.
[10]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–6.
[11]
Eric Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth,
Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 10–15.
7.
Ilmu Politik dalam Praktik
Ilmu Politik tidak
hanya berkembang sebagai disiplin teoretis di ranah akademik, tetapi juga
memainkan peran penting dalam praktik kehidupan kenegaraan dan masyarakat.
Dalam konteks ini, Ilmu Politik berfungsi sebagai alat analisis, kritik, dan
perencanaan kebijakan yang aplikatif bagi negara, lembaga pemerintahan,
organisasi sipil, dan masyarakat luas. Peran praktis ini semakin signifikan
dalam era modern ketika negara dituntut untuk mewujudkan pemerintahan yang
efektif, akuntabel, dan demokratis.
7.1.
Peran Ilmu Politik
dalam Formulasi Kebijakan Publik
Salah satu
kontribusi nyata Ilmu Politik adalah dalam analisis dan perumusan kebijakan publik.
Ilmu Politik membantu memahami bagaimana kebijakan dirancang, siapa yang
terlibat dalam prosesnya, serta faktor-faktor kekuasaan dan kepentingan yang
memengaruhinya.¹ Kajian kebijakan publik dalam ilmu ini menggabungkan
teori-teori politik, ekonomi, dan administrasi publik guna menciptakan
kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Ilmuwan politik juga
terlibat dalam evaluasi kebijakan menggunakan metode empiris untuk mengukur
efektivitas, efisiensi, dan dampak kebijakan terhadap masyarakat.² Proses ini
menjadi penting untuk mendorong akuntabilitas dan memperkuat legitimasi
pemerintah.
7.2.
Ilmu Politik dalam
Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan
Demokrasi modern
tidak dapat berjalan tanpa adanya pemahaman yang matang tentang sistem politik,
lembaga demokrasi, dan partisipasi warga negara. Ilmu Politik menyediakan
perangkat konseptual untuk memahami dinamika pemilu, representasi politik,
partai politik, dan lembaga legislatif.³
Lebih jauh, Ilmu
Politik berkontribusi pada penguatan good governance, yaitu tata
kelola pemerintahan yang menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, dan supremasi hukum.⁴ Organisasi seperti Bank Dunia dan UNDP
bahkan memasukkan indikator politik sebagai variabel utama dalam menilai
kualitas pemerintahan suatu negara.⁵ Oleh karena itu, penguasaan konsep-konsep
politik menjadi penting tidak hanya bagi pemimpin dan aparatur negara, tetapi
juga bagi masyarakat sipil dalam menjalankan kontrol demokratis.
7.3.
Peran Partisipasi
Publik dan Masyarakat Sipil
Ilmu Politik juga
mendorong partisipasi aktif warga negara dalam pengambilan keputusan politik.⁶
Dalam konteks ini, praktik politik bukan hanya hak prerogatif elit, melainkan
keterlibatan kolektif masyarakat melalui pemilu, demonstrasi, petisi, dialog
publik, dan forum warga. Wacana partisipasi ini diperkuat oleh teori demokrasi
deliberatif yang menekankan pentingnya musyawarah rasional dalam menentukan
kebijakan publik.⁷
Lembaga masyarakat
sipil seperti LSM, media, dan kelompok advokasi turut menjadi aktor penting
dalam sistem politik modern, baik sebagai mitra maupun pengawas negara. Peran
ini semakin diperkuat dengan adanya teknologi digital yang memungkinkan
mobilisasi dan distribusi informasi secara lebih luas dan cepat.
7.4.
Politik Global dan
Tantangan Transnasional
Dalam praktik
global, Ilmu Politik turut terlibat dalam isu-isu lintas negara seperti
hubungan diplomatik, keamanan internasional, perdagangan global, perubahan
iklim, dan migrasi.⁸ Ilmu Politik Internasional sebagai subdisiplin menyediakan
teori dan kerangka kerja untuk memahami bagaimana negara-negara berinteraksi
dalam sistem internasional yang anarkis, berdasarkan kepentingan nasional,
kerjasama multilateral, atau konflik.
Isu-isu seperti
globalisasi, terorisme, dan geopolitik kawasan juga menunjukkan bahwa praktik
politik tidak lagi terbatas pada wilayah negara-bangsa.⁹ Dalam hal ini,
pemahaman politik global menjadi syarat penting bagi diplomasi, analisis
risiko, dan pengambilan kebijakan luar negeri.
Footnotes
[1]
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 15th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 3–5.
[2]
B. Guy Peters, Advanced Introduction to Public Policy
(Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 23–26.
[3]
Larry Diamond and Leonardo Morlino, Assessing the Quality of
Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2005), 13–15.
[4]
Merilee S. Grindle, “Good Enough Governance: Poverty Reduction and
Reform in Developing Countries,” Governance 17, no. 4 (2004): 525–548.
[5]
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters
IV: Governance Indicators for 1996–2004,” World Bank Policy Research Working
Paper No. 3630 (2005): 4–6.
[6]
Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University
Press, 1998), 36–38.
[7]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 287–293.
[8]
Joshua S. Goldstein and Jon C. Pevehouse, International Relations,
12th ed. (Boston: Pearson, 2017), 98–101.
[9]
Joseph S. Nye, The Future of Power (New York: PublicAffairs,
2011), 132–136.
8.
Tantangan dan Prospek Ilmu Politik Kontemporer
Dalam era
kontemporer, Ilmu Politik dihadapkan pada berbagai tantangan multidimensi yang
menuntut respons teoretis dan metodologis yang adaptif. Perkembangan teknologi
informasi, dinamika globalisasi, krisis kepercayaan terhadap institusi politik,
serta munculnya fenomena politik baru seperti populisme, politik identitas, dan
disinformasi menantang ortodoksi pendekatan-pendekatan lama. Di sisi lain,
tantangan-tantangan tersebut juga membuka prospek baru bagi Ilmu Politik untuk
memperluas relevansinya sebagai ilmu yang kritis dan aplikatif dalam menjawab
kebutuhan masyarakat global yang semakin kompleks.
8.1.
Disinformasi dan
Polarisasi Politik
Salah satu tantangan
serius dalam praktik politik modern adalah maraknya disinformasi
yang menyebar melalui media sosial dan platform digital.¹ Hal ini menyebabkan
polarisasi opini publik, memperlemah rasionalitas demokrasi deliberatif, dan
menciptakan fragmentasi sosial yang tajam.²
Ilmu Politik
kontemporer dituntut untuk mengembangkan model analisis baru terhadap dinamika
informasi dan perilaku politik di ruang digital. Kajian politik digital
(digital politics) kini menjadi cabang yang berkembang pesat, menyatukan
analisis media, komunikasi politik, dan kecerdasan buatan untuk memahami efek
algoritma terhadap preferensi politik.³
8.2.
Politik Identitas dan
Krisis Representasi
Munculnya politik
identitas (identity politics), baik dalam bentuk etnisitas, agama, gender, atau
orientasi seksual, telah menggantikan politik berbasis kelas atau ideologi
dalam banyak masyarakat.⁴ Politik identitas sering kali dimobilisasi secara
instrumental oleh aktor politik untuk membangun loyalitas elektoral, namun di
sisi lain berpotensi menimbulkan eksklusi dan konflik horizontal.
Selain itu, krisis
representasi terjadi ketika lembaga politik formal, seperti partai dan
parlemen, gagal mewakili aspirasi rakyat. Hal ini menimbulkan apatisme politik
dan penurunan partisipasi publik, sekaligus membuka ruang bagi aktor populis
yang mengklaim berbicara atas nama “rakyat sejati” melawan “elit
korup.”⁵
8.3.
Perubahan Iklim dan
Politik Lingkungan
Perubahan iklim
menjadi tantangan global yang memerlukan pendekatan politik lintas batas
negara. Politik lingkungan kini menjadi agenda utama dalam perundingan
internasional dan kebijakan domestik, karena dampaknya langsung pada
kelangsungan hidup masyarakat dan keadilan ekologis.⁶
Ilmu Politik
kontemporer dituntut untuk tidak hanya menganalisis aspek kebijakan lingkungan,
tetapi juga memahami politik distribusi beban ekologis, ketimpangan global,
serta resistensi dari aktor-aktor ekonomi yang terdampak oleh kebijakan
transisi hijau.⁷
8.4.
Krisis Demokrasi dan
Kecenderungan Otoritarianisme Baru
Meski demokrasi
telah menyebar ke berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-20, namun
kualitasnya kini banyak mengalami regresi. Fenomena seperti democratic
backsliding, konsolidasi kekuasaan eksekutif, pelemahan lembaga
peradilan, dan represi terhadap media bebas mengindikasikan munculnya bentuk otoritarianisme
baru yang berkamuflase dalam struktur demokrasi prosedural.⁸
Hal ini menuntut
Ilmu Politik untuk mengembangkan indikator yang lebih cermat dalam menilai
kualitas demokrasi dan mendeteksi gejala autokratisasi yang bersifat laten
namun sistematis.⁹
8.5.
Prospek:
Interdisiplinaritas dan Inovasi Metodologis
Meskipun menghadapi
tantangan besar, Ilmu Politik memiliki prospek yang menjanjikan, terutama
melalui pendekatan interdisipliner dan inovasi
metodologis. Kolaborasi dengan ilmu data, psikologi, ilmu lingkungan, dan
teknologi informasi memungkinkan pengembangan alat analisis yang lebih canggih
dan responsif terhadap fenomena kontemporer.¹⁰
Selain itu, Ilmu
Politik juga semakin terbuka terhadap metode partisipatoris, etnografi politik,
dan studi post-kolonial yang memberi ruang pada suara-suara yang selama ini
terpinggirkan dalam arus utama studi politik. Hal ini mengarah pada Ilmu
Politik yang lebih reflektif, inklusif, dan berakar pada konteks lokal maupun
global.
Footnotes
[1]
Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig, “Disinformation, Fake News,
and Influence Campaigns on Social Media,” Annual Review of Law and Social
Science 14 (2018): 113–130.
[2]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 11–18.
[3]
Cristian Vaccari and Augusto Valeriani, Outside the Bubble: Social
Media and Political Participation in Western Democracies (Oxford: Oxford
University Press, 2021), 43–45.
[4]
Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics
of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018), 10–12.
[5]
Nadia Urbinati, Me the People: How Populism Transforms Democracy
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2019), 20–22.
[6]
Robyn Eckersley, “The Politics of Carbon Leakage and the Fairness of
Border Measures,” Ethics & International Affairs 23, no. 3 (2009):
291–301.
[7]
John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses,
3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 90–93.
[8]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 56–63.
[9]
Anna Lührmann and Staffan I. Lindberg, “A Third Wave of Autocratization
Is Here: What Is New About It?” Democratization 26, no. 7 (2019):
1095–1113.
[10]
Gary King, Jennifer Pan, and Margaret E. Roberts, “How the Chinese
Government Fabricates Social Media Posts for Strategic Distraction, Not Engaged
Argument,” American Political Science Review 111, no. 3 (2017):
484–501.
9.
Kesimpulan
Ilmu Politik merupakan
disiplin ilmu sosial yang memiliki akar sejarah panjang, dimensi teoritis yang
kaya, dan aplikasi praktis yang luas dalam kehidupan kenegaraan dan masyarakat.
Kajian ini tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga formal seperti negara,
pemerintahan, dan parlemen, tetapi juga merambah pada dinamika kekuasaan dalam
relasi sosial, wacana publik, dan kehidupan sehari-hari.¹
Melalui
pendekatan-pendekatan seperti normatif, institusional, perilaku, sistemik,
rasional pilihan, dan post-struktural, Ilmu Politik mampu mengembangkan
analisis yang tidak hanya deskriptif, tetapi juga kritis dan transformatif.²
Kemampuan untuk memahami dan menjelaskan proses pembuatan keputusan publik,
struktur kekuasaan, konflik ideologi, serta interaksi antara negara dan
masyarakat menjadi kekuatan utama dari ilmu ini dalam membentuk warga negara
yang sadar dan partisipatif.
Dalam praktiknya,
Ilmu Politik memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan publik,
penguatan demokrasi, pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik, serta
peningkatan kapasitas masyarakat sipil.³ Kehadiran ilmu ini di ruang-ruang
pengambilan kebijakan dan advokasi politik menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
politik bukan hanya bersifat teoritis, melainkan juga relevan dan aplikatif
dalam merespons tantangan zaman.
Namun demikian, Ilmu
Politik kontemporer juga menghadapi berbagai tantangan serius seperti
disinformasi digital, krisis representasi, politik identitas, perubahan iklim,
serta kemunduran demokrasi.⁴ Hal ini menuntut transformasi epistemologis dan
metodologis yang lebih interdisipliner dan responsif terhadap perubahan
sosial-politik global. Ilmu Politik harus terbuka terhadap pendekatan
alternatif, suara-suara marjinal, serta pengembangan metode inovatif agar tetap
relevan dalam memahami dunia yang semakin kompleks.⁵
Dengan semua
dinamika tersebut, prospek Ilmu Politik ke depan sangat tergantung pada
kemampuannya untuk merekonstruksi dirinya sebagai ilmu yang tidak hanya
menggambarkan realitas politik, tetapi juga turut serta dalam membentuk realitas
tersebut secara adil, demokratis, dan berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan
oleh David Easton, tugas utama Ilmu Politik bukan hanya menjelaskan, tetapi
juga “to contribute to the building of a better political world.”_⁶
Footnotes
[1]
Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan,
2013), 4–6.
[2]
David Marsh and Gerry Stoker, eds., Theory and Methods in Political
Science, 3rd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2010), 3–10.
[3]
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 15th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 3–5.
[4]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 7–10.
[5]
Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions
for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990),
13–14.
[6]
David Easton, A Systems Analysis of Political Life (New York:
Wiley, 1965), xiii.
Daftar Pustaka
Almond, G. A., & Verba,
S. (1963). The civic culture: Political attitudes and democracy in five
nations. Princeton University Press.
Ball, T. (1976). From
paradigms to research programs: Toward a post-Kuhnian political science. American
Journal of Political Science, 20(1), 151–173.
Buchanan, J. M., &
Tullock, G. (1962). The calculus of consent: Logical foundations of
constitutional democracy. University of Michigan Press.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar
ilmu politik (Edisi revisi). Gramedia.
Dahl, R. A. (1991). Modern
political analysis (5th ed.). Prentice Hall.
Dahl, R. A. (1998). On
democracy. Yale University Press.
Diamond, L., & Morlino,
L. (Eds.). (2005). Assessing the quality of democracy. Johns Hopkins
University Press.
Downs, A. (1957). An
economic theory of democracy. Harper & Row.
Dryzek, J. S. (2013). The
politics of the earth: Environmental discourses (3rd ed.). Oxford
University Press.
Dye, T. R. (2016). Understanding
public policy (15th ed.). Pearson.
Easton, D. (1953). The
political system: An inquiry into the state of political science. Knopf.
Easton, D. (1965). A
systems analysis of political life. Wiley.
Eckersley, R. (2009). The
politics of carbon leakage and the fairness of border measures. Ethics
& International Affairs, 23(3), 291–301.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge and the discourse on language (A. M. Sheridan Smith,
Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Fukuyama, F. (2018). Identity:
The demand for dignity and the politics of resentment. Farrar, Straus and Giroux.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Gilpin, R. (2001). Global
political economy: Understanding the international economic order.
Princeton University Press.
Goldstein, J. S., &
Pevehouse, J. C. (2017). International relations (12th ed.). Pearson.
Goodin, R. E., &
Klingemann, H.-D. (Eds.). (1996). A new handbook of political science.
Oxford University Press.
Grindle, M. S. (2004). Good
enough governance: Poverty reduction and reform in developing countries. Governance,
17(4), 525–548.
Habermas, J. (1989). The
structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of
bourgeois society. MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Heywood, A. (2013). Politics
(5th ed.). Palgrave Macmillan.
Hirschl, R. (2004). Towards
juristocracy: The origins and consequences of the new constitutionalism.
Harvard University Press.
Hobsbawm, E. (1990). Nations
and nationalism since 1780: Programme, myth, reality. Cambridge University
Press.
Jamieson, K. H., &
Taussig, D. (2018). Disinformation, fake news, and influence campaigns on
social media. Annual Review of Law and Social Science, 14, 113–130.
Kaufmann, D., Kraay, A.,
& Mastruzzi, M. (2005). Governance matters IV: Governance indicators
for 1996–2004 (World Bank Policy Research Working Paper No. 3630). World
Bank.
King, G., Pan, J., &
Roberts, M. E. (2017). How the Chinese government fabricates social media posts
for strategic distraction, not engaged argument. American Political Science
Review, 111(3), 484–501.
Levitsky, S., &
Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing.
Lipset, S. M. (1960). Political
man: The social bases of politics. Doubleday.
Lührmann, A., &
Lindberg, S. I. (2019). A third wave of autocratization is here: What is new
about it? Democratization, 26(7), 1095–1113.
March, J. G., & Olsen,
J. P. (1989). Rediscovering institutions: The organizational basis of
politics. Free Press.
Marsh, D., & Stoker, G.
(Eds.). (2010). Theory and methods in political science (3rd ed.).
Palgrave Macmillan.
Marx, K. (1990). Capital:
A critique of political economy (Vol. 1). Penguin.
Norris, P. (2001). Digital
divide: Civic engagement, information poverty, and the internet worldwide.
Cambridge University Press.
Nye, J. S. (2011). The
future of power. PublicAffairs.
Ostrom, E. (1990). Governing
the commons: The evolution of institutions for collective action.
Cambridge University Press.
Peters, B. G. (2015). Advanced
introduction to public policy. Edward Elgar.
Peters, G. (2012). Institutional
theory in political science: The new institutionalism (3rd ed.).
Continuum.
Plato. (1992). The
republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Skinner, Q. (1978). The
foundations of modern political thought (Vol. 1). Cambridge University
Press.
Smith, A. (1904). An
inquiry into the nature and causes of the wealth of nations (E. Cannan,
Ed.). Methuen & Co. [Original work published 1776]
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Swartz, M. J., Turner, V.
W., & Tuden, A. (Eds.). (1966). Political anthropology. Aldine.
Tilly, C. (1992). Coercion,
capital, and European states, AD 990–1992. Blackwell.
Urbinati, N. (2019). Me
the people: How populism transforms democracy. Harvard University Press.
Vaccari, C., &
Valeriani, A. (2021). Outside the bubble: Social media and political
participation in Western democracies. Oxford University Press.
Weber, M. (1978). Economy
and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich,
Eds.). University of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar