Rabu, 11 Juni 2025

Konstruktivisme: Fondasi, Dinamika, dan Implikasinya terhadap Teori Pengetahuan Kontemporer

Konstruktivisme

Fondasi, Dinamika, dan Implikasinya terhadap Teori Pengetahuan Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pendekatan konstruktivisme dalam epistemologi sebagai alternatif terhadap paradigma tradisional dalam memahami hakikat pengetahuan. Beranjak dari akar filosofisnya dalam pemikiran Kant, Piaget, dan Vygotsky, konstruktivisme menawarkan pandangan bahwa pengetahuan bukan merupakan cerminan realitas objektif, melainkan hasil konstruksi aktif oleh subjek yang terlibat dalam konteks sosial dan kultural tertentu. Kajian ini menelusuri sejarah perkembangan konstruktivisme, mengidentifikasi tipologi-variasinya—yakni konstruktivisme kognitif, sosial, radikal, dan kritis—serta membandingkannya dengan pendekatan epistemologi lain seperti realisme, empirisme, dan relativisme. Pembahasan juga mencakup kritik-kritik utama terhadap konstruktivisme, mulai dari tuduhan relativisme hingga problem objektivitas, serta respons terhadap kritik tersebut. Artikel ini kemudian mengeksplorasi relevansi konstruktivisme dalam konteks kontemporer seperti pendidikan, produksi pengetahuan digital, pluralisme budaya, dan interdisiplin keilmuan. Di bagian akhir, disajikan sintesis dan refleksi filosofis tentang konstruktivisme sebagai paradigma epistemologis yang dinamis, reflektif, dan transformatif, yang mampu merespons tantangan dunia abad ke-21 secara kritis dan kontekstual.

Kata Kunci: Epistemologi, konstruktivisme, pengetahuan, konstruksi sosial, pendidikan, relativisme, realitas, postmodernisme, kebenaran, transformasi.


PEMBAHASAN

Konstruktivisme dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat, asal-usul, dan validitas pengetahuan telah mengalami transformasi mendalam dalam sejarah pemikiran manusia. Salah satu pendekatan yang menandai pergeseran signifikan dalam epistemologi modern adalah konstruktivisme—sebuah pandangan yang menekankan bahwa pengetahuan tidak bersifat pasif dan representasional semata, melainkan merupakan hasil dari aktivitas kognitif manusia dalam membangun makna melalui interaksi dengan lingkungan dan konteks sosialnya. Konstruktivisme menantang asumsi klasik bahwa pengetahuan adalah cerminan langsung dari realitas eksternal, dan justru menegaskan bahwa subjek berperan aktif dalam membentuk realitas epistemiknya sendiri¹.

Pendekatan konstruktivis dalam epistemologi muncul sebagai respons kritis terhadap pandangan positivistik dan empiris yang mengedepankan objektivitas absolut dan metode observasi sebagai satu-satunya jalan yang sah dalam memperoleh pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivisme, tidak ada akses langsung dan netral terhadap realitas; setiap bentuk pengetahuan adalah hasil konstruksi interpretatif yang dipengaruhi oleh kerangka konseptual, bahasa, pengalaman, dan sistem nilai tertentu². Hal ini memberikan nuansa baru dalam memahami dinamika pengetahuan, terutama dalam konteks masyarakat plural dan kompleks.

Secara historis, akar-akar konstruktivisme dapat ditelusuri hingga filsafat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa subjek epistemik tidak sekadar menerima informasi dari luar, melainkan mengorganisasikan pengalaman tersebut melalui kategori-kategori apriori³. Gagasan ini berkembang lebih lanjut dalam abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Jean Piaget, yang memperkenalkan konstruktivisme kognitif, dan Lev Vygotsky, yang menekankan peran interaksi sosial dalam pembentukan struktur kognitif⁴. Selain itu, pendekatan konstruktivis juga menemukan tempat penting dalam filsafat ilmu, teori pendidikan, sosiologi pengetahuan, hingga kajian budaya kontemporer.

Relevansi konstruktivisme dalam epistemologi menjadi semakin kuat di tengah tantangan postmodernitas yang menggugat universalitas kebenaran dan menekankan pluralitas cara memahami dunia. Dalam konteks ini, konstruktivisme tidak hanya menjadi alternatif metodologis, tetapi juga paradigma kritis yang merefleksikan keterbatasan dan keberkaitan antara subjek dan objek pengetahuan⁵. Oleh karena itu, pembahasan mengenai konstruktivisme dalam epistemologi menjadi penting untuk memahami bagaimana pengetahuan dikembangkan, divalidasi, dan digunakan dalam realitas kontemporer yang sarat kompleksitas.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis pendekatan konstruktivisme dalam epistemologi, dengan menelusuri fondasi filosofisnya, sejarah perkembangannya, prinsip-prinsip dasarnya, hingga implikasinya terhadap teori pengetahuan dan praktik keilmuan masa kini. Kajian ini juga akan mengeksplorasi berbagai bentuk dan variasi konstruktivisme serta merespons kritik-kritik utama yang diarahkan padanya, guna memberikan pemahaman yang utuh, kritis, dan aplikatif terhadap pendekatan ini.


Footnotes

[1]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 1–4.

[2]                Kenneth J. Gergen, An Invitation to Social Construction (London: SAGE Publications, 2009), 15–18.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A92–B124.

[4]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952); Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–91.

[5]                Thomas S. Popkewitz and Lynn Fendler, eds., Critical Theories in Education: Changing Terrains of Knowledge and Politics (New York: Routledge, 1999), 31–37.


2.           Landasan Filsafat Konstruktivisme

Konstruktivisme sebagai pendekatan dalam epistemologi memiliki fondasi filsafat yang khas dan menyimpang dari asumsi-asumsi tradisional yang diasosiasikan dengan realisme objektif dan empirisme. Di jantung filsafat konstruktivis terletak anggapan bahwa pengetahuan tidak ditemukan, tetapi dibentuk, dan bahwa subjek tidak sekadar mencerminkan realitas eksternal, melainkan aktif dalam menyusun struktur makna yang memediasi persepsi dan pemahaman terhadap dunia¹.

Secara ontologis, konstruktivisme tidak menolak keberadaan realitas eksternal, namun menekankan bahwa realitas sebagaimana yang kita pahami selalu dibentuk melalui struktur kognitif dan simbolik manusia. Dalam hal ini, konstruktivisme bersifat epistemologis, bukan ontologis: ia tidak menyangkal adanya dunia luar, tetapi menyangsikan kemungkinan pengenalan dunia tersebut secara murni objektif². Oleh sebab itu, pemahaman terhadap dunia harus dilihat sebagai hasil dari konstruksi pengalaman, bahasa, dan budaya.

Dalam kerangka ini, konstruktivisme berpijak pada pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil sintesis antara intuisi inderawi dan kategori-kategori apriori dari rasio. Kant menyatakan bahwa kita tidak mengetahui Ding an sich (benda pada dirinya), tetapi hanya fenomena yang telah disusun oleh struktur kognitif manusia³. Gagasan ini menjadi titik tolak utama bagi para pemikir konstruktivis selanjutnya, meskipun dalam bentuk yang lebih radikal dan pluralistik.

Salah satu pilar utama konstruktivisme adalah peran aktif subjek epistemik dalam membentuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah cerminan pasif dari dunia, tetapi hasil dari proses interpretatif yang terus-menerus diperbarui berdasarkan pengalaman dan interaksi sosial⁴. Oleh karena itu, kebenaran dalam konstruktivisme lebih bersifat viabel (viability) ketimbang korespondensi dengan realitas. Dalam pengertian ini, kebenaran dianggap sebagai kesesuaian internal dalam sistem pemahaman yang bekerja secara efektif, bukan sebagai cerminan dari fakta objektif eksternal⁵.

Selain itu, konstruktivisme memandang bahasa sebagai medium sentral dalam proses epistemik. Bahasa tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai struktur kognitif yang membentuk makna dan membatasi kemungkinan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam language games dan Michel Foucault dalam discourse, di mana makna tidak bersifat tetap tetapi selalu dikonstruksi dalam konteks sosial dan historis⁶.

Pandangan konstruktivis juga menekankan bahwa pengetahuan bersifat kontekstual dan tidak pernah netral. Dalam konteks ini, epistemologi tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan budaya. Misalnya, dalam konstruktivisme sosial, pengetahuan dianggap sebagai produk dari negosiasi makna dalam komunitas diskursif tertentu⁷. Hal ini menjadikan konstruktivisme bukan hanya pendekatan kognitif, tetapi juga kritik terhadap asumsi hegemonik dalam produksi pengetahuan.

Dengan demikian, landasan filsafat konstruktivisme mencakup beberapa prinsip utama:

1)                  Pengetahuan adalah konstruksi aktif,

2)                  Realitas tidak dapat diakses secara langsung,

3)                  Bahasa adalah medium utama epistemik, dan

4)                  Kebenaran bersifat kontekstual dan pragmatis.

Prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi seluruh varian konstruktivisme, baik yang bersifat individual, sosial, kritis, maupun radikal.


Footnotes

[1]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–9.

[2]                Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism in Education (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 4–6.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–B75.

[4]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 3–5.

[5]                Ernst von Glasersfeld, “An Exposition of Constructivism: Why Some Like It Radical,” in Constructivism in Education, ed. Leslie P. Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 19–29.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–63; Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.

[7]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 27–33.


3.           Sejarah dan Perkembangan Gagasan Konstruktivisme

Gagasan konstruktivisme dalam epistemologi tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari berbagai aliran pemikiran filosofis yang menyoroti hubungan antara subjek pengetahuan dan realitas. Akar-akar intelektual pendekatan ini dapat ditelusuri sejak zaman kuno, namun memperoleh artikulasi sistematis dan pengaruh luas terutama sejak era modern, terutama dalam karya Immanuel Kant, yang memadukan unsur empirisme dan rasionalisme dalam kerangka transendentalisme kritis¹. Kant menyatakan bahwa realitas sebagaimana yang kita ketahui adalah hasil dari proses sintesis antara data empiris dan struktur apriori dari subjek—suatu prinsip fundamental yang kemudian menjadi titik awal dari konstruktivisme epistemologis².

Setelah Kant, perkembangan gagasan konstruktivisme mengalami diversifikasi melalui dua jalur utama: konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial. Jalur pertama berakar pada karya Jean Piaget, seorang psikolog dan epistemolog asal Swiss, yang menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi dalam perkembangan struktur kognitif individu. Piaget menekankan bahwa anak-anak tidak hanya menerima informasi dari luar secara pasif, melainkan aktif menyusun kerangka berpikir berdasarkan interaksi dengan lingkungan sekitarnya³. Dalam hal ini, konstruktivisme Piaget bersifat individual dan biologis, berfokus pada perkembangan internal dari subjek yang belajar.

Sementara itu, jalur kedua dikembangkan oleh Lev Vygotsky, seorang psikolog Rusia yang mengusung pendekatan socio-cultural. Vygotsky berpendapat bahwa proses konstruksi pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan interaksi dengan orang lain, terutama melalui bahasa sebagai alat mediasi⁴. Ia memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD), yang menjelaskan bahwa kemampuan belajar seseorang sangat ditentukan oleh dukungan sosial yang diterimanya. Pendekatan ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme sosial, yang menekankan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses negosiasi makna dalam komunitas sosial tertentu⁵.

Di abad ke-20, konstruktivisme memperoleh formulasi yang lebih radikal dalam pemikiran Ernst von Glasersfeld, yang memperkenalkan istilah radical constructivism. Ia menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah representasi dari realitas objektif, melainkan hasil dari konstruksi konseptual yang bersifat viabel (layak guna) dalam konteks pengalaman individu⁶. Von Glasersfeld secara eksplisit menolak kebenaran sebagai korespondensi, dan menggantikannya dengan prinsip keberfungsian pragmatis dari suatu sistem pemahaman.

Seiring dengan perkembangan teori-teori postmodernisme dan dekonstruksi, konstruktivisme juga menemukan elaborasi lanjutan dalam bidang sosiologi pengetahuan dan filsafat kritis. Peter Berger dan Thomas Luckmann melalui karya The Social Construction of Reality (1966) menyatakan bahwa seluruh kenyataan sosial terbentuk melalui proses institusionalisasi makna dalam interaksi manusia sehari-hari⁷. Sementara itu, Michel Foucault dalam karya-karyanya tentang episteme dan diskursus menggarisbawahi bahwa pengetahuan dibentuk dalam jaringan kekuasaan dan struktur historis tertentu, sehingga kebenaran bersifat situasional dan politis⁸.

Perkembangan konstruktivisme tidak berhenti pada wilayah teori murni, tetapi juga memengaruhi banyak bidang praksis, seperti pendidikan, antropologi, sosiologi, dan bahkan ilmu komputer. Dalam pendidikan, konstruktivisme telah menjadi dasar utama dalam merancang kurikulum berbasis pengalaman dan pembelajaran aktif, yang berfokus pada keterlibatan peserta didik sebagai subjek pembangun makna, bukan sekadar penerima informasi⁹.

Dengan demikian, sejarah perkembangan konstruktivisme menunjukkan transformasi dari pendekatan epistemologis yang berpusat pada subjek individual (Piaget), ke pendekatan sosial (Vygotsky), hingga menuju bentuk radikal dan kritis yang mencakup dimensi politik, bahasa, dan kekuasaan (Glasersfeld, Foucault). Dinamika ini memperlihatkan bahwa konstruktivisme merupakan paradigma yang tidak statis, melainkan terus berkembang dalam merespons tantangan konseptual dan kontekstual dalam teori pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A92–B124.

[2]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 16–18.

[3]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 3–9.

[4]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 34–36.

[5]                Barbara Rogoff, Apprenticeship in Thinking: Cognitive Development in Social Context (New York: Oxford University Press, 1990), 6–9.

[6]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.

[7]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 59–85.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 166–172.

[9]                Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism in Education (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 8–10.


4.           Prinsip-Prinsip Utama dalam Konstruktivisme Epistemologis

Konstruktivisme epistemologis merupakan pendekatan dalam filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan bukanlah hasil pencerminan pasif terhadap realitas objektif, melainkan konstruksi aktif yang dibentuk melalui interaksi antara subjek dan lingkungan sosial-kulturalnya. Dalam kerangka ini, terdapat beberapa prinsip utama yang membedakan konstruktivisme dari pendekatan epistemologis lain seperti positivisme, empirisme, atau realisme kritis. Prinsip-prinsip tersebut menjadi landasan konseptual bagi konstruktivisme dalam menjelaskan hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan.

4.1.       Pengetahuan sebagai Konstruksi Aktif

Prinsip pertama dan paling mendasar adalah bahwa pengetahuan tidak ditemukan, tetapi dikonstruksi. Subjek epistemik tidak menerima pengetahuan sebagai informasi eksternal yang sudah utuh, melainkan membentuknya melalui proses interpretatif dan reflektif. Piaget menjelaskan bahwa struktur kognitif individu berkembang melalui proses asimilasi (penyesuaian informasi baru ke dalam skema yang ada) dan akomodasi (modifikasi skema untuk menyesuaikan dengan informasi baru)¹. Dengan demikian, pengetahuan bersifat adaptif dan kontekstual terhadap pengalaman subjek.

4.2.       Peran Pengalaman dalam Pembentukan Pengetahuan

Konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan terbentuk melalui interaksi aktif dengan dunia pengalaman. Namun, pengalaman tidak dimaknai secara empiris-murni sebagaimana dalam empirisme klasik, melainkan sebagai hasil dari proses persepsi yang dimediasi oleh struktur mental dan simbolik subjek². Oleh karena itu, setiap orang dapat membentuk konstruksi pengetahuan yang berbeda, tergantung pada latar belakang pengalaman, budaya, dan tujuan kognitifnya.

4.3.       Kebenaran sebagai Viabilitas, Bukan Korespondensi

Dalam konstruktivisme, kebenaran tidak diukur berdasarkan korespondensinya dengan realitas objektif, tetapi berdasarkan viabilitas—yaitu sejauh mana pengetahuan tersebut bekerja secara efektif dalam situasi tertentu. Ernst von Glasersfeld menyatakan bahwa suatu konstruksi pengetahuan dianggap “benar” jika ia membantu subjek dalam menjelaskan, memprediksi, dan berinteraksi dengan lingkungannya secara berhasil⁴. Dengan demikian, kebenaran bersifat relatif terhadap sistem makna dan fungsional dalam konteks.

4.4.       Peran Bahasa sebagai Medium Epistemik

Bahasa dipandang sebagai alat utama dalam membentuk dan menyampaikan pengetahuan. Dalam pendekatan konstruktivis, bahasa tidak netral, tetapi membentuk cara kita memandang realitas. Vygotsky menggarisbawahi bahwa melalui bahasa, individu menginternalisasi struktur berpikir sosial dan mengembangkan kesadaran reflektifnya⁵. Demikian pula, pandangan post-strukturalis seperti Foucault menunjukkan bahwa diskursus menentukan batas-batas wacana pengetahuan yang mungkin dan sah⁶.

4.5.       Konteks Sosial dan Budaya sebagai Penentu Epistemik

Konstruktivisme sosial menambahkan bahwa pengetahuan tidak hanya dikonstruksi oleh individu, tetapi juga dalam interaksi sosial dan struktur budaya. Peter Berger dan Thomas Luckmann menyebutkan bahwa kenyataan sosial dibentuk melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam praktik kehidupan sehari-hari⁷. Proses ini melahirkan sistem simbolik dan institusi yang berfungsi sebagai kerangka rujukan bersama dalam membangun dan mempertahankan pengetahuan.

4.6.       Pengetahuan Bersifat Sementara dan Terbuka untuk Revisi

Konstruktivisme menolak absolutisme epistemologis. Pengetahuan selalu terbuka untuk direvisi dan disesuaikan seiring perubahan konteks atau pemahaman baru. Dalam hal ini, pendekatan konstruktivis bersifat dinamis dan non-dogmatis, memungkinkan fleksibilitas dalam pengembangan teori dan interpretasi baru⁸. Oleh karena itu, konstruktivisme sangat cocok dalam era pascamodern yang pluralistik dan cepat berubah.

4.7.       Subjektivitas dan Agensi Subjek Epistemik

Akhirnya, konstruktivisme menegaskan peran agensial subjek dalam membangun makna. Subjek bukan sekadar objek dari proses pengetahuan, tetapi juga pencipta aktif dalam proses tersebut. Perspektif ini memberi ruang bagi pengakuan terhadap keberagaman perspektif, nilai-nilai personal, dan otonomi kognitif⁹.

Secara keseluruhan, prinsip-prinsip konstruktivisme menantang paradigma epistemologis tradisional dengan memberikan perhatian besar terhadap peran aktif subjek, pentingnya konteks sosial, dan sifat interpretatif dari pengetahuan. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan kerangka teoretis alternatif, tetapi juga membuka jalan bagi reformulasi cara berpikir tentang kebenaran, objektivitas, dan validitas dalam ilmu pengetahuan kontemporer.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952), 5–10.

[2]                Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism in Education (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 3–6.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–9.

[4]                Ibid., 21–23.

[5]                Lev Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–98.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–63.

[7]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 59–67.

[8]                Kenneth J. Gergen, Realities and Relationships: Soundings in Social Construction (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 68–70.

[9]                Joe L. Kincheloe, Teachers as Researchers: Qualitative Inquiry as a Path to Empowerment (London: Falmer Press, 1991), 11–13.


5.           Tipologi dan Variasi Konstruktivisme

Konstruktivisme bukanlah pendekatan epistemologis yang bersifat tunggal dan monolitik, melainkan sebuah spektrum pemikiran yang mencakup berbagai variasi konseptual, metodologis, dan aplikatif. Seiring dengan perkembangan wacana epistemologi modern dan kontemporer, konstruktivisme telah mengalami diversifikasi yang signifikan, melahirkan sejumlah tipologi konstruktivisme yang masing-masing memiliki karakteristik, penekanan, serta implikasi yang berbeda. Dalam bagian ini akan diuraikan empat varian utama konstruktivisme: konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial, konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme kritis.

5.1.       Konstruktivisme Kognitif (Cognitive Constructivism)

Konstruktivisme kognitif berakar kuat pada karya Jean Piaget, yang melihat konstruksi pengetahuan sebagai hasil interaksi antara struktur kognitif individu dan lingkungannya. Pengetahuan, dalam perspektif ini, dibentuk secara bertahap melalui proses asimilasi dan akomodasi, serta berkembang melalui tahapan perkembangan intelektual yang distinktif¹. Fokus utama dari konstruktivisme kognitif adalah subjek individu—khususnya bagaimana anak-anak membentuk skema kognitif mereka secara aktif untuk memahami dunia.

Konstruktivisme kognitif berasumsi bahwa struktur pengetahuan berkembang secara endogen, melalui mekanisme internal dalam diri individu yang bersifat universal. Oleh karena itu, pendekatan ini sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, terutama dalam pengembangan teori belajar yang menekankan pengalaman langsung, eksplorasi, dan refleksi².

5.2.       Konstruktivisme Sosial (Social Constructivism)

Konstruktivisme sosial mengambil titik tolak dari pemikiran Lev Vygotsky yang menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya dibentuk secara individual, tetapi juga secara sosial, melalui interaksi dengan orang lain dan penggunaan bahasa sebagai alat utama mediasi³. Vygotsky memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD), yang menjelaskan pentingnya dukungan sosial dalam mendorong kemampuan belajar.

Dalam konstruktivisme sosial, komunitas belajar, praktik diskursif, dan konteks budaya memainkan peran penting dalam proses konstruksi makna. Oleh karena itu, pendekatan ini sangat relevan dalam kajian pendidikan multikultural, pedagogi kolaboratif, serta analisis tentang pembentukan identitas dan pengetahuan dalam kelompok sosial⁴.

5.3.       Konstruktivisme Radikal (Radical Constructivism)

Konstruktivisme radikal, seperti yang dirumuskan oleh Ernst von Glasersfeld, merupakan bentuk paling ekstrem dari konstruktivisme epistemologis. Ia menolak sepenuhnya gagasan bahwa pengetahuan mencerminkan realitas objektif, dan menyatakan bahwa pengetahuan hanyalah konstruksi yang bersifat viabel bagi subjek dalam interaksi dengan lingkungannya, bukan representasi dunia⁵. Dengan demikian, kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi dengan fakta eksternal, tetapi sebagai kecocokan pragmatis dalam konteks pengalaman subjektif.

Konstruktivisme radikal mempertanyakan asumsi realisme dan objektivitas dalam ilmu pengetahuan, serta menekankan bahwa semua pengetahuan bersifat relatif terhadap kerangka interpretatif subjek⁶. Pendekatan ini telah memicu banyak perdebatan dalam filsafat ilmu, karena dianggap berpotensi menuju relativisme epistemologis yang ekstrem.

5.4.       Konstruktivisme Kritis (Critical Constructivism)

Konstruktivisme kritis berkembang sebagai respons terhadap keterbatasan konstruktivisme kognitif dan sosial, dengan menambahkan dimensi ideologis, historis, dan kekuasaan dalam pembentukan pengetahuan. Tokoh-tokoh seperti Joe L. Kincheloe, Henry Giroux, dan Shirley R. Steinberg menekankan bahwa proses konstruksi pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dan selalu terkait dengan struktur sosial yang hegemonik⁷.

Pendekatan ini menggabungkan pandangan konstruktivis dengan teori kritis Frankfurt School, pascastrukturalisme, serta teori feminis dan postkolonial. Konstruktivisme kritis tidak hanya mengkaji bagaimana pengetahuan dikonstruksi, tetapi juga siapa yang mengonstruksi, untuk tujuan apa, dan dalam kerangka kuasa yang bagaimana⁸. Oleh karena itu, ia mengajak subjek epistemik untuk bersikap reflektif dan transformatif terhadap sistem wacana dominan.


Perbandingan dan Implikasi

Variasi-variasi dalam konstruktivisme mencerminkan spektrum pendekatan yang luas, masing-masing dengan fokus, asumsi epistemologis, dan kontribusi khas terhadap pemahaman dan praktik keilmuan. Berikut ini adalah perbandingan dan implikasi utama dari empat tipe konstruktivisme:

·                     Konstruktivisme Kognitif

Fokus utama pada perkembangan kognisi individu.

Menekankan proses internal seperti asimilasi dan akomodasi dalam membangun struktur pengetahuan.

Mempengaruhi teori pembelajaran berbasis eksplorasi dan pengalaman langsung.

Diwakili oleh Jean Piaget.

·                     Konstruktivisme Sosial

Menitikberatkan pada proses interaksi sosial dan peran budaya dalam membentuk pengetahuan.

Mengakui pentingnya bahasa sebagai alat mediasi utama dalam pembelajaran dan berpikir.

Mendorong pembelajaran kolaboratif dan kontekstual.

Dipelopori oleh Lev Vygotsky.

·                     Konstruktivisme Radikal

Mengafirmasi bahwa pengetahuan bersifat subjektif dan tidak mencerminkan realitas objektif secara langsung.

Kebenaran dipahami sebagai viabilitas dalam konteks pengalaman subjek, bukan sebagai korespondensi.

Memicu perdebatan tentang relativisme dan validitas pengetahuan.

Dirumuskan secara sistematis oleh Ernst von Glasersfeld.

·                     Konstruktivisme Kritis

Menambahkan dimensi ideologis dan politis dalam pembentukan pengetahuan.

Mengkritisi struktur kuasa yang memengaruhi wacana epistemik dalam masyarakat.

Mendorong pendekatan reflektif dan transformatif dalam pendidikan dan penelitian.

Dikembangkan oleh tokoh seperti Joe L. Kincheloe, Henry Giroux, dan Shirley Steinberg.

Setiap tipe konstruktivisme memberikan sumbangan penting dalam menjelaskan dinamika pengetahuan dari sudut pandang yang berbeda—mulai dari perkembangan individu hingga struktur sosial dan politik. Dalam praktiknya, pendekatan-pendekatan ini seringkali saling melengkapi dan dapat digunakan secara integratif tergantung pada kebutuhan kontekstual, seperti dalam desain kurikulum, penelitian kualitatif, serta analisis wacana dan budaya.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 7–15.

[2]                David C. Phillips, “The Good, the Bad, and the Ugly: The Many Faces of Constructivism,” Educational Researcher 24, no. 7 (1995): 5–12.

[3]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–91.

[4]                Barbara Rogoff, Apprenticeship in Thinking: Cognitive Development in Social Context (New York: Oxford University Press, 1990), 3–10.

[5]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.

[6]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 17–20.

[7]                Joe L. Kincheloe, Teachers as Researchers: Qualitative Inquiry as a Path to Empowerment (London: Falmer Press, 1991), 11–19.

[8]                Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition (South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1983), 47–56.


6.           Perbandingan Konstruktivisme dengan Pendekatan Epistemologi Lain

Konstruktivisme dalam epistemologi berdiri sebagai salah satu pendekatan yang berupaya mereformulasi pemahaman tentang pengetahuan, kebenaran, dan hubungan antara subjek dan objek. Dalam konteks filsafat pengetahuan kontemporer, konstruktivisme menawarkan kritik dan alternatif terhadap beberapa pendekatan epistemologis klasik seperti realisme, empirisme, dan relativisme, sekaligus membuka dialog dengan pendekatan realisme kritis yang mencoba menjembatani berbagai kutub ekstrem dalam epistemologi. Perbandingan ini penting untuk menilai kekuatan, keterbatasan, serta posisi konseptual konstruktivisme dalam peta pemikiran epistemologis modern.

6.1.       Konstruktivisme vs. Realisme

Realisme epistemologis berpendapat bahwa pengetahuan adalah representasi akurat dari dunia objektif yang eksis independen dari pengamat. Dalam pandangan ini, kebenaran ditentukan oleh korespondensi antara pernyataan dan fakta dunia nyata¹. Sebaliknya, konstruktivisme menolak asumsi representasional ini, dan menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi kognitif atau sosial yang dipengaruhi oleh kerangka konseptual dan pengalaman subjek².

Konstruktivisme berargumen bahwa karena setiap bentuk pengetahuan dipengaruhi oleh perspektif, bahasa, dan konteks, maka klaim tentang realitas objektif harus dipandang secara kritis dan reflektif. Ernst von Glasersfeld, tokoh utama konstruktivisme radikal, menekankan bahwa “realitas” bukanlah sesuatu yang dapat diakses secara langsung, tetapi hanya dapat didekati melalui konstruksi konseptual yang bersifat viabel³.

Namun demikian, kritik terhadap konstruktivisme dari pihak realis menyatakan bahwa pendekatan ini cenderung jatuh pada relativisme dan meniadakan objektivitas. Dalam menanggapi kritik ini, beberapa konstruktivis mengajukan posisi tengah, yakni realitas memang ada, tetapi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah bebas dari konstruksi⁴.

6.2.       Konstruktivisme vs. Empirisme

Empirisme klasik, sebagaimana dikembangkan oleh John Locke, David Hume, dan Francis Bacon, menganggap bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengamatan indrawi dan pengalaman. Dalam kerangka ini, pikiran manusia ibarat tabula rasa yang diisi oleh data-data sensoris yang bersifat objektif dan dapat diverifikasi secara universal⁵.

Sebaliknya, konstruktivisme menolak pandangan pasif tentang subjek pengetahuan. Jean Piaget dan Lev Vygotsky menggarisbawahi bahwa subjek aktif membangun struktur kognitifnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang tidak semata-mata berasal dari pengalaman, tetapi juga dari interaksi antara pengalaman dan skema mental yang sudah ada⁶. Selain itu, konstruktivisme sosial juga mengkritik empirisme karena mengabaikan dimensi sosial dan kultural dalam pembentukan pengetahuan.

Dengan demikian, meskipun keduanya menghargai pentingnya pengalaman, konstruktivisme menekankan bahwa pengalaman itu sendiri tidak netral dan selalu diinterpretasikan melalui lensa konseptual tertentu.

6.3.       Konstruktivisme vs. Relativisme

Meskipun konstruktivisme sering dikritik karena kedekatannya dengan relativisme, penting untuk membedakan keduanya. Relativisme epistemologis menyatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang dapat dijadikan tolok ukur pengetahuan; setiap klaim kebenaran hanya sah dalam kerangka budaya atau individu tertentu⁷.

Konstruktivisme memang mengakui bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan tidak bebas nilai, tetapi tidak serta-merta menolak kemungkinan dialog atau perbandingan antar sistem pengetahuan. Beberapa konstruktivis, seperti Glasersfeld, lebih memilih konsep viabilitas daripada relativisme murni; suatu gagasan dinilai bukan karena korespondensinya dengan realitas absolut, tetapi karena kemampuannya bekerja secara konsisten dalam kerangka pemahaman tertentu⁸.

Dengan demikian, konstruktivisme dapat dipandang sebagai jalan tengah antara absolutisme dan relativisme epistemologis, menawarkan fleksibilitas tanpa meniadakan kemungkinan koherensi dan dialog lintas kerangka.

6.4.       Konstruktivisme dan Realisme Kritis

Realisme kritis, yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar, menawarkan pendekatan kompromis yang mencoba mempertahankan keberadaan realitas objektif, namun sekaligus mengakui bahwa akses terhadap realitas tersebut dimediasi oleh struktur sosial dan linguistik⁹. Dalam realisme kritis, terdapat tiga domain: realitas aktual, realitas empirik, dan realitas transendental, yang memungkinkan pemahaman yang kompleks tentang hubungan antara subjek dan objek.

Dibandingkan dengan konstruktivisme radikal, realisme kritis menghindari relativisme ekstrem, namun tetap membuka ruang bagi refleksivitas dan kritik terhadap pengetahuan. Beberapa pemikir kontemporer bahkan mencoba menjembatani konstruktivisme dan realisme kritis dalam pendekatan interdisipliner, seperti dalam sosiologi pengetahuan, studi budaya, dan pedagogi kritis¹⁰.


Implikasi Perbandingan

Perbandingan antara konstruktivisme dan pendekatan epistemologis lainnya menunjukkan bahwa:

·                     Konstruktivisme menghadirkan paradigma alternatif yang lebih reflektif dan kontekstual dibandingkan positivisme dan empirisme klasik.

·                     Ia menantang asumsi tentang objektivitas dan netralitas pengetahuan, tetapi tidak selalu mengarah pada relativisme nihilistik.

·                     Dalam dialog dengan realisme kritis, konstruktivisme dapat diperkuat sebagai pendekatan yang bersifat kritis namun tetap transformatif.

·                     Implikasi praktisnya tampak dalam pendidikan, penelitian sosial, dan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang lebih demokratis dan inklusif.


Footnotes

[1]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 49–52.

[2]                Kenneth J. Gergen, An Invitation to Social Construction (London: SAGE Publications, 2009), 16–19.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.

[4]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 24–26.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–17.

[6]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 13–19; Lev Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 88–90.

[7]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 357–364.

[8]                Ernst von Glasersfeld, “Why I Consider Myself a Constructivist,” in Constructivism in Education, ed. Leslie P. Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 3–15.

[9]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 13–17.

[10]             Margaret Archer et al., eds., Critical Realism: Essential Readings (London: Routledge, 1998), 47–53.


7.           Implikasi Konstruktivisme terhadap Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan

Pendekatan konstruktivisme dalam epistemologi tidak hanya membawa dampak konseptual dalam filsafat pengetahuan, tetapi juga memunculkan implikasi aplikatif yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi aktif oleh subjek yang terlibat secara kontekstual dalam interaksinya dengan lingkungan dan budaya, konstruktivisme telah mengubah cara pandang tentang bagaimana ilmu dikembangkan, bagaimana pengetahuan divalidasi, dan bagaimana proses pembelajaran seharusnya berlangsung.

7.1.       Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan

1)                  Pengetahuan sebagai Konstruksi Sosial dan Konseptual

Dalam konstruktivisme, ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai cermin realitas objektif, melainkan sebagai sistem konseptual yang dibangun melalui proses interpretatif oleh komunitas ilmiah. Peter Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa seluruh kenyataan sosial—termasuk ilmu pengetahuan—dibentuk secara intersubjektif melalui institusionalisasi makna dalam praktik sosial sehari-hari¹. Hal ini memunculkan pendekatan baru dalam epistemologi sains, seperti sociology of scientific knowledge (SSK) dan actor-network theory (ANT), yang meneliti dimensi sosial dan budaya dalam produksi ilmu pengetahuan².

2)                  Rekonstruksi terhadap Kriteria Kebenaran dan Objektivitas

Konstruktivisme menantang dominasi epistemologi korespondensi yang mengukur kebenaran berdasarkan kesesuaian proposisi dengan fakta. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan konsep viabilitas atau koherensi pragmatis, yakni keberfungsian suatu sistem pengetahuan dalam menjelaskan dan menghadapi dunia³. Ini memberikan dasar bagi berkembangnya paradigma non-linear dan transdisipliner dalam ilmu pengetahuan kontemporer, seperti dalam studi kompleksitas dan post-normal science⁴.

3)                  Ilmu sebagai Kegiatan Refleksif dan Kontekstual

Pengetahuan ilmiah menurut konstruktivisme bukan hasil akhir yang netral, melainkan bagian dari proses terus-menerus yang dipengaruhi oleh nilai-nilai, bahasa, politik, dan teknologi. Hal ini mendorong lahirnya epistemologi reflektif, yaitu pendekatan yang mengakui keterlibatan aktif peneliti dalam membentuk objek penelitiannya, terutama dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora⁵.

7.2.       Implikasi terhadap Pendidikan

1)                  Reorientasi Paradigma Pembelajaran

Konstruktivisme telah merombak paradigma pembelajaran dari pendekatan transmisional (guru sebagai penyampai pengetahuan) menjadi pendekatan konstruksional (peserta didik sebagai pembangun makna). Dalam perspektif ini, pembelajaran dipahami sebagai proses aktif, kontekstual, dan kolaboratif di mana siswa membentuk pemahaman melalui pengalaman, eksplorasi, dan interaksi sosial⁶.

2)                  Peran Guru sebagai Fasilitator

Dalam pembelajaran konstruktivistik, guru tidak lagi menjadi otoritas tunggal dalam menentukan kebenaran, tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan mediasi yang mendukung proses belajar siswa. Guru bertugas menciptakan lingkungan belajar yang menstimulasi pertanyaan, refleksi, dan pembentukan makna secara mandiri⁷.

3)                  Desain Kurikulum yang Kontekstual dan Bermakna

Konstruktivisme mendorong kurikulum yang bersifat inquiry-based, problem-based, dan project-based, yang berangkat dari pengalaman nyata dan relevan bagi peserta didik. Kurikulum tidak lagi bersifat linear dan berpusat pada isi, tetapi fleksibel dan memungkinkan integrasi lintas disiplin⁸.

4)                  Evaluasi yang Autentik dan Format Prosesual

Evaluasi dalam pendidikan konstruktivistik lebih menekankan pada proses belajar daripada hasil akhir. Oleh karena itu, bentuk evaluasi seperti portofolio, observasi kinerja, refleksi diri, dan asesmen formatif dinilai lebih sesuai untuk menangkap perkembangan kognitif dan afektif siswa⁹.

5)                  Pendidikan sebagai Proses Emansipasi dan Pemberdayaan

Dalam konstruktivisme kritis, pendidikan dilihat sebagai sarana untuk membongkar hegemoni epistemik dan membangun kesadaran kritis. Pengetahuan tidak dianggap netral, melainkan terkait dengan kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu, pendidikan diarahkan untuk membentuk individu yang reflektif, otonom, dan berdaya dalam menghadapi ketimpangan sosial dan budaya¹⁰.


Penutup Implikasi

Implikasi konstruktivisme terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan mencerminkan pergeseran paradigmatik dari pengetahuan sebagai entitas objektif dan tetap, menjadi proses dinamis yang dibangun secara kontekstual, reflektif, dan dialogis. Baik dalam ruang akademik maupun ruang kelas, konstruktivisme mendorong partisipasi aktif, kesadaran kritis, dan penghargaan terhadap keberagaman perspektif. Hal ini menandai transformasi mendalam dalam cara manusia belajar, meneliti, dan memahami dunia.


Footnotes

[1]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 59–67.

[2]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 29–35.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.

[4]                Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.

[5]                Patti Lather, Getting Smart: Feminist Research and Pedagogy with/in the Postmodern (New York: Routledge, 1991), 102–110.

[6]                Jerome Bruner, The Culture of Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 3–7.

[7]                David W. Johnson, Roger T. Johnson, and Karl A. Smith, Active Learning: Cooperation in the College Classroom (Edina, MN: Interaction Book Company, 1991), 24–29.

[8]                Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 41–45.

[9]                Thomas A. Angelo and K. Patricia Cross, Classroom Assessment Techniques: A Handbook for College Teachers, 2nd ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 1993), 4–6.

[10]             Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 29–33.


8.           Kritik terhadap Konstruktivisme

Meskipun konstruktivisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam pembaruan teori pengetahuan dan praktik pendidikan, pendekatan ini tidak lepas dari kritik, baik dari perspektif filsafat ilmu, epistemologi analitik, hingga pendekatan pragmatis dan realisme kritis. Kritik terhadap konstruktivisme umumnya diarahkan pada kelemahan ontologis dan epistemologisnya, kecenderungan relativistik, serta implikasi praktisnya dalam dunia akademik dan pendidikan. Secara umum, kritik-kritik ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama berikut:

8.1.       Tuduhan Relativisme Epistemologis

Salah satu kritik paling umum terhadap konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal, adalah kecenderungannya menuju relativisme, yaitu anggapan bahwa semua pengetahuan adalah konstruksi yang setara secara epistemik dan tidak ada dasar objektif untuk menilai kebenaran suatu klaim dibandingkan dengan klaim lainnya. Paul Boghossian menegaskan bahwa jika pengetahuan hanyalah konstruksi sosial atau individual, maka tidak ada landasan untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah dan mitos, antara validitas dan opini biasa¹. Hal ini dianggap mengancam integritas ilmiah dan rasionalitas sebagai nilai epistemik yang universal.

8.2.       Pengaburan antara Fakta dan Opini

Kritikus dari aliran realisme, seperti Susan Haack, menyatakan bahwa konstruktivisme—dengan menolak representasi langsung terhadap realitas—telah mengaburkan perbedaan antara fakta dan opini, serta antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi². Dalam konteks ini, konstruktivisme dituduh mengaburkan batas epistemologis antara data yang dapat diverifikasi secara empiris dan persepsi yang bersifat subjektif, sehingga merusak fondasi rasionalitas ilmiah.

8.3.       Masalah Objektivitas dan Validitas

Konstruktivisme juga dikritik karena melemahkan konsep objektivitas, yang selama ini menjadi pilar dalam epistemologi modern dan metode ilmiah. Dengan menekankan bahwa pengetahuan selalu dipengaruhi oleh konteks sosial dan struktur kognitif subjek, konstruktivisme dinilai mengabaikan pentingnya konsensus ilmiah, keterulangan eksperimen, dan validasi intersubjektif³. Akibatnya, pendekatan ini berisiko menurunkan standar keandalan dalam pengetahuan akademik.

8.4.       Ketegangan antara Subjektivitas dan Realitas

Beberapa kritik juga diarahkan pada ketidakseimbangan antara peran subjek dan realitas eksternal dalam konstruktivisme. Para realis kritis seperti Roy Bhaskar mengingatkan bahwa realitas objektif tetap eksis meskipun dikonstruksi secara konseptual, dan bahwa konstruktivisme yang ekstrem berisiko menganulir keberadaan realitas transenden yang tidak bergantung pada konstruksi manusia⁴. Kritik ini menuntut adanya pemisahan antara ontological realism (realitas ada) dan epistemological relativism (cara kita mengenal realitas bisa beragam).

8.5.       Kesulitan Implementasi dalam Praktik Pendidikan

Dalam praktik pendidikan, pendekatan konstruktivis juga menghadapi tantangan. Beberapa guru dan peneliti menyatakan bahwa tidak semua peserta didik mampu secara mandiri membangun pengetahuan tanpa arahan eksplisit, terutama dalam konteks pembelajaran konseptual yang kompleks⁵. Selain itu, penerapan model pembelajaran konstruktivistik dapat memerlukan sumber daya, pelatihan, dan waktu yang tidak selalu tersedia dalam sistem pendidikan yang terbatas.

8.6.       Reduksi terhadap Struktur Sosial dan Politik

Konstruktivisme sosial juga dikritik karena cenderung merepresentasikan struktur sosial sebagai produk diskursus belaka, tanpa cukup memperhatikan dimensi material dan ekonomi dari relasi kuasa. Dalam kritik pascamarxis dan teori kritis, pendekatan ini dianggap kurang radikal dalam menggugat struktur dominasi, karena terlalu terfokus pada bahasa dan narasi, tanpa mengaitkannya secara langsung dengan praktik politik dan ekonomi⁶.


Respons Konstruktivis terhadap Kritik

Beberapa konstruktivis telah memberikan tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut:

·                     Tokoh seperti von Glasersfeld menekankan bahwa konstruktivisme tidak menolak realitas, tetapi menekankan bahwa realitas selalu diakses secara interpretatif, bukan secara langsung⁷.

·                     Dalam menghadapi tuduhan relativisme, pendekatan seperti viabilitas epistemik dikembangkan, yaitu menilai kebenaran berdasarkan keberfungsian dan konsistensi internal, bukan relativisme total.

·                     Pendekatan realisme kritis dan konstruktivisme kritis muncul sebagai bentuk sintesis yang mencoba mempertahankan struktur realitas objektif sambil tetap mengakui konstruksi sosial terhadap pengetahuan.


Kesimpulan Sementara atas Kritik

Meskipun konstruktivisme menghadapi kritik tajam, banyak dari kritik tersebut justru memperkaya diskursus epistemologis dan mendorong pengembangan bentuk-bentuk konstruktivisme yang lebih reflektif dan terbuka terhadap dialog lintas pendekatan. Kritik terhadap konstruktivisme tidak harus dipahami sebagai penolakan total, melainkan sebagai pemicu perumusan ulang yang lebih kritis dan kontekstual terhadap dinamika pengetahuan dalam dunia yang semakin kompleks dan plural.


Footnotes

[1]                Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 2–5.

[2]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 51–54.

[3]                Richard Dawkins, The Devil’s Chaplain: Reflections on Hope, Lies, Science, and Love (Boston: Houghton Mifflin, 2003), 28–30.

[4]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 14–16.

[5]                David Kirshner and James A. Whitson, Situated Cognition: Social, Semiotic, and Psychological Perspectives (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1997), 56–59.

[6]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 77–79.

[7]                Ernst von Glasersfeld, “Why I Consider Myself a Constructivist,” in Constructivism in Education, ed. Leslie P. Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 5–7.


9.           Relevansi Konstruktivisme dalam Konteks Kontemporer

Dalam dunia yang semakin kompleks, pluralistik, dan terdigitalisasi, konstruktivisme tetap mempertahankan signifikansi epistemologis dan aplikatifnya. Keunggulan konstruktivisme terletak pada kemampuannya mengakomodasi keragaman perspektif, dinamika perubahan sosial, dan kompleksitas produksi pengetahuan, yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh pendekatan-pendekatan epistemologi klasik yang cenderung statis dan universalistik. Pada era pascamodern dan global saat ini, pendekatan konstruktivis justru menjadi semakin relevan dalam merespons tantangan-tantangan kontemporer, baik dalam ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi, maupun kehidupan sosial.

9.1.       Pengetahuan dalam Era Informasi dan Digitalisasi

Transformasi teknologi digital telah secara radikal mengubah cara manusia memperoleh, memproduksi, dan memvalidasi pengetahuan. Dalam konteks ini, konstruktivisme menawarkan kerangka konseptual yang fleksibel untuk memahami bagaimana individu dan kelompok membentuk makna dalam ekosistem informasi yang cair dan terdesentralisasi. Media sosial, algoritma, dan ruang digital tidak lagi hanya menjadi sarana distribusi informasi, tetapi juga medan konstruksi realitas baru yang dibentuk secara intersubjektif dan multimodal¹.

Konstruktivisme memungkinkan analisis atas bagaimana kebenaran diproduksi dan dinegosiasikan dalam konteks digital—misalnya dalam fenomena “post-truth,” disinformasi, dan bias algoritmik. Dalam hal ini, pendekatan konstruktivis membantu membongkar asumsi netralitas teknologi dan menegaskan pentingnya kesadaran kritis terhadap konstruksi digital atas pengetahuan².

9.2.       Respons terhadap Pluralisme Epistemik dan Budaya

Globalisasi telah membuka ruang interaksi antarberbagai sistem pengetahuan, bahasa, dan budaya. Dalam konteks ini, konstruktivisme mampu memfasilitasi dialog antarparadigma karena tidak mendasarkan kebenaran pada standar absolut, melainkan pada keberfungsian dan kohesi dalam kerangka tertentu. Pendekatan ini sangat penting dalam ranah multikulturalisme, studi postkolonial, dan epistemologi dekolonial yang menantang dominasi wacana Barat dalam pengetahuan³.

Dengan mengakui bahwa setiap masyarakat membangun pengetahuannya berdasarkan sejarah, nilai, dan konteksnya sendiri, konstruktivisme berkontribusi pada pembentukan epistemologi yang lebih demokratis dan inklusif. Ini juga relevan dalam kajian indigenous knowledge, Islamic epistemology, dan perspektif lokal lainnya yang selama ini terpinggirkan dalam diskursus ilmiah global⁴.

9.3.       Peningkatan Kesadaran Kritis dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, konstruktivisme tetap menjadi paradigma dominan dalam mendorong pembelajaran yang berbasis pada partisipasi aktif, refleksi diri, dan pemecahan masalah nyata. Kurikulum berbasis proyek, pendekatan inkuiri, serta pembelajaran kolaboratif semakin luas digunakan di berbagai tingkat pendidikan sebagai wujud penerapan prinsip-prinsip konstruktivistik⁵.

Lebih dari itu, konstruktivisme kritis telah memperluas fungsi pendidikan bukan hanya sebagai alat pembelajaran kognitif, tetapi juga sebagai medium transformasi sosial dan emansipasi. Dengan membekali siswa kemampuan untuk mengkaji ulang narasi dominan dan membentuk perspektif sendiri yang kritis dan kontekstual, konstruktivisme mendukung pengembangan agen-agen perubahan sosial yang berdaya⁶.

9.4.       Relevansi dalam Interdisiplin dan Transdisiplin Ilmu

Di era krisis global seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik geopolitik, solusi tidak dapat diperoleh melalui disiplin ilmu yang tertutup dan fragmentaris. Konstruktivisme mendukung pendekatan interdisipliner dan transdisipliner dengan mengakui bahwa realitas bersifat kompleks dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kepentingan, nilai, dan cara pandang yang beragam⁷.

Paradigma ini memungkinkan kolaborasi lintas bidang—antara sains alam, ilmu sosial, humaniora, dan teknologi—dalam membangun pemahaman holistik dan solutif atas masalah kontemporer. Hal ini tercermin dalam penguatan metodologi post-normal science, yang menekankan partisipasi publik dan ketidakpastian dalam praktik ilmiah kontemporer⁸.

9.5.       Pengaruh terhadap Kritik Sosial dan Wacana Keadilan

Konstruktivisme, khususnya dalam bentuk kritisnya, tetap relevan sebagai alat analisis struktural terhadap kekuasaan dalam produksi pengetahuan. Pendekatan ini digunakan dalam studi feminis, teori queer, postkolonialisme, dan teori ras kritis untuk mengungkap bagaimana identitas, otoritas, dan pengetahuan dibentuk dan dipertahankan melalui sistem diskursif dan institusional⁹.

Dalam era di mana narasi dominan sering dipertanyakan, konstruktivisme mendukung usaha untuk merekonstruksi pengetahuan secara etis dan partisipatif, sehingga tidak hanya valid secara logis, tetapi juga adil secara sosial.


Kesimpulan Relevansi

Dengan mengakomodasi kompleksitas epistemik, keberagaman budaya, perkembangan teknologi, dan dimensi etis-politik dalam pembentukan pengetahuan, konstruktivisme tetap menjadi pendekatan yang vital dalam merespons dinamika dunia kontemporer. Ia tidak hanya menawarkan alternatif teoritis terhadap dominasi positivisme dan realisme, tetapi juga menyediakan dasar praksis untuk transformasi sosial, pendidikan yang memberdayakan, serta pembangunan ilmu pengetahuan yang terbuka dan reflektif.


Footnotes

[1]                Sherry Turkle, The Second Self: Computers and the Human Spirit (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 275–278.

[2]                danah boyd, It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens (New Haven: Yale University Press, 2014), 24–27.

[3]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 123–128.

[4]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 17–20.

[5]                Jerome Bruner, The Culture of Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 12–16.

[6]                Henry A. Giroux, Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling (Boulder, CO: Westview Press, 1997), 89–92.

[7]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 183–186.

[8]                Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.

[9]                Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought: Knowledge, Consciousness, and the Politics of Empowerment (New York: Routledge, 2000), 270–275.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

Konstruktivisme, dalam berbagai bentuknya—kognitif, sosial, radikal, dan kritis—telah merevolusi cara kita memahami hakikat pengetahuan, hubungan antara subjek dan objek, serta dimensi sosial dan politis dalam proses epistemik. Melalui pendekatan ini, epistemologi tidak lagi dilihat sebagai upaya netral untuk mencerminkan realitas eksternal secara objektif, tetapi sebagai medan aktif konstruksi makna yang berlangsung melalui interaksi kognitif, diskursus sosial, dan kerangka budaya yang dinamis.

10.1.    Pengetahuan sebagai Proses, Bukan Produk

Salah satu kontribusi utama konstruktivisme adalah pengalihan paradigma dari pengetahuan sebagai entitas tetap dan objektif menuju pengetahuan sebagai proses dinamis dan kontekstual. Jean Piaget menekankan bahwa pengetahuan adalah hasil dari adaptasi kognitif terhadap lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi¹. Lev Vygotsky menambahkan bahwa konstruksi ini tidak hanya bersifat internal, tetapi juga sosial dan diskursif². Pandangan ini telah mematahkan dikotomi lama antara subjek dan objek, serta membuka ruang bagi pengakuan atas keragaman pengalaman epistemik.

10.2.    Rasionalitas sebagai Viabilitas Kontekstual

Konstruktivisme mengajukan model rasionalitas yang tidak berorientasi pada korespondensi langsung dengan realitas objektif, melainkan pada keberfungsian dan viabilitas pengetahuan dalam konteks tertentu. Ernst von Glasersfeld menyatakan bahwa kebenaran dalam konstruktivisme bersifat operasional, yakni ditentukan oleh keberhasilan suatu sistem pemahaman dalam memungkinkan interaksi yang efektif antara individu dan lingkungannya³. Konsep ini menantang anggapan tradisional tentang absolutisme epistemologis, sekaligus mempertahankan standar koherensi internal dan kebermaknaan pragmatis.

10.3.    Pengetahuan dan Kekuasaan: Epistemologi yang Reflektif dan Emansipatoris

Konstruktivisme kritis memperluas cakupan epistemologi dengan mengaitkannya secara langsung dengan relasi kekuasaan, struktur sosial, dan identitas politik. Dalam kerangka ini, proses konstruksi pengetahuan tidak pernah netral, tetapi selalu terikat dengan kepentingan, ideologi, dan dominasi diskursif⁴. Oleh karena itu, konstruktivisme bukan hanya alat analisis epistemologis, tetapi juga perangkat kritik sosial yang memungkinkan pembongkaran wacana hegemonik dan pembentukan kesadaran kritis. Refleksi ini menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan, wacana publik, dan pembentukan kebijakan yang adil.

10.4.    Reaktualisasi Epistemologi untuk Abad ke-21

Di tengah disrupsi digital, krisis ekologi, dan ketidakpastian global, konstruktivisme menawarkan kerangka epistemologis yang adaptif, transformatif, dan inklusif. Ia memampukan kita untuk menanggapi pluralitas perspektif, mengelola ketidakpastian, dan menghargai pengalaman lokal tanpa kehilangan kemampuan berpikir sistemik⁵. Dalam ilmu pengetahuan, konstruktivisme mendukung perkembangan interdisipliner dan metodologi reflektif; dalam pendidikan, ia memperkuat pembelajaran berbasis pengalaman dan partisipasi aktif; dalam masyarakat, ia menjadi landasan bagi konstruksi narasi yang berkeadilan dan berdaya.

10.5.    Menuju Epistemologi Relasional

Refleksi filosofis atas konstruktivisme membuka kemungkinan bagi pengembangan epistemologi relasional—yakni sebuah pendekatan yang mengakui bahwa pengetahuan selalu lahir dari relasi: antara subjek dan objek, individu dan komunitas, serta lokal dan global. Pendekatan ini menuntut keterbukaan, dialog, dan kesadaran reflektif dalam membangun kebenaran yang bukan hanya valid secara logis, tetapi juga relevan secara etis dan politis⁶.


Kesimpulan Reflektif

Konstruktivisme tidak hanya menawarkan kerangka epistemologis yang bersifat deskriptif, tetapi juga normatif—ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah tanggung jawab, bahwa membangun makna adalah tindakan etis, dan bahwa mengetahui berarti terlibat secara aktif dan sadar dalam proses kehidupan bersama. Dalam dunia yang penuh keraguan dan fragmentasi, konstruktivisme mengajak kita untuk merumuskan ulang epistemologi bukan sekadar sebagai teknik pengumpulan fakta, melainkan sebagai praksis filosofis untuk membangun dunia yang lebih inklusif, adil, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 5–10.

[2]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 88–92.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.

[4]                Joe L. Kincheloe, Knowledge and Critical Pedagogy: An Introduction (Amsterdam: Springer, 2008), 91–94.

[5]                Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.

[6]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 33–38.


11.       Penutup

Konstruktivisme dalam epistemologi telah menunjukkan dirinya sebagai pendekatan yang tidak hanya relevan secara teoritis, tetapi juga signifikan secara praktis dalam berbagai ranah kehidupan kontemporer. Dengan menempatkan subjek sebagai pelaku aktif dalam proses konstruksi pengetahuan, konstruktivisme menggugat asumsi-asumsi tradisional yang mendasari positivisme, empirisme, dan realisme objektif, sekaligus menawarkan paradigma alternatif yang lebih reflektif, kontekstual, dan transformatif.

Sebagaimana telah dibahas, konstruktivisme hadir dalam berbagai bentuk—mulai dari konstruktivisme kognitif yang menekankan perkembangan struktur mental individu (Jean Piaget)¹, konstruktivisme sosial yang melihat peran interaksi dan bahasa dalam pembentukan makna (Lev Vygotsky)², konstruktivisme radikal yang menolak klaim objektivitas pengetahuan absolut (Ernst von Glasersfeld)³, hingga konstruktivisme kritis yang menghubungkan konstruksi pengetahuan dengan relasi kuasa dan emansipasi (Joe L. Kincheloe)⁴. Keberagaman ini menunjukkan daya lentur konstruktivisme dalam menjawab persoalan-persoalan epistemologis dari berbagai perspektif.

Namun, konstruktivisme juga tidak lepas dari kritik yang tajam. Tuduhan relativisme, problem objektivitas, serta kesulitan dalam implementasi praktis menjadi tantangan yang terus dikaji dan dijawab secara serius oleh para pendukung pendekatan ini. Perdebatan ini justru memperkaya ranah epistemologi dan mendorong reformulasi konseptual yang lebih matang dan terbuka⁵.

Dalam konteks global kontemporer—yang ditandai oleh derasnya arus informasi, pluralitas budaya, fragmentasi wacana, dan krisis multidimensi—konstruktivisme mampu menyediakan kerangka kerja yang adaptif. Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana pengetahuan terbentuk, tetapi juga memberi arah normatif tentang bagaimana pengetahuan seharusnya dikembangkan: secara partisipatif, kontekstual, kritis, dan inklusif⁶. Dalam pendidikan, konstruktivisme meneguhkan pentingnya pembelajaran berbasis pemaknaan dan refleksi diri; dalam ilmu pengetahuan, ia menantang monisme metodologis dan membuka ruang interdisipliner; dalam praksis sosial, ia memperjuangkan etika epistemik yang menghargai suara-suara marjinal dan pengalaman lokal⁷.

Oleh karena itu, konstruktivisme bukan sekadar pendekatan epistemologis, tetapi juga suatu bentuk praxis filosofis—yakni keterlibatan sadar dalam proses membangun dunia melalui makna, interaksi, dan kesadaran. Ia menempatkan “mengetahui” sebagai bagian dari “menjadi,” dan “belajar” sebagai bagian dari “mengada bersama yang lain.”

Dengan demikian, dalam kerangka pemikiran abad ke-21 yang menuntut pemahaman yang fleksibel, reflektif, dan tanggap terhadap kompleksitas, konstruktivisme tetap dan akan terus menjadi pilar penting dalam pembaruan epistemologi, pendidikan, dan budaya pengetahuan global.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 7–15.

[2]                Lev Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–98.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.

[4]                Joe L. Kincheloe, Knowledge and Critical Pedagogy: An Introduction (Amsterdam: Springer, 2008), 91–99.

[5]                Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 5–10.

[6]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 17–20.

[7]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 29–33.


Daftar Pustaka

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science (2nd ed.). Verso.

Boghossian, P. A. (2006). Fear of knowledge: Against relativism and constructivism. Clarendon Press.

boyd, d. (2014). It's complicated: The social lives of networked teens. Yale University Press.

Bruner, J. (1996). The culture of education. Harvard University Press.

Collins, P. H. (2000). Black feminist thought: Knowledge, consciousness, and the politics of empowerment (2nd ed.). Routledge.

Dawkins, R. (2003). The devil’s chaplain: Reflections on hope, lies, science, and love. Houghton Mifflin.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Funtowicz, S., & Ravetz, J. R. (1993). Science for the post-normal age. Futures, 25(7), 739–755. https://doi.org/10.1016/0016-3287(93)90022-L

Gergen, K. J. (2009). An invitation to social construction (2nd ed.). SAGE Publications.

Giroux, H. A. (1988). Teachers as intellectuals: Toward a critical pedagogy of learning. Bergin & Garvey.

Giroux, H. A. (1997). Pedagogy and the politics of hope: Theory, culture, and schooling. Westview Press.

Glasersfeld, E. von. (1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. Falmer Press.

Glasersfeld, E. von. (1995). Why I consider myself a constructivist. In L. P. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism in education (pp. 3–15). Lawrence Erlbaum Associates.

Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago Press.

Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. A. (1991). Active learning: Cooperation in the college classroom. Interaction Book Company.

Kincheloe, J. L. (1991). Teachers as researchers: Qualitative inquiry as a path to empowerment. Falmer Press.

Kincheloe, J. L. (2008). Knowledge and critical pedagogy: An introduction. Springer.

Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity: History, theory, and practice. Wayne State University Press.

Lather, P. (1991). Getting smart: Feminist research and pedagogy with/in the postmodern. Routledge.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Phillips, D. C. (1995). The good, the bad, and the ugly: The many faces of constructivism. Educational Researcher, 24(7), 5–12. https://doi.org/10.3102/0013189X024007005

Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child. Basic Books.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children. International Universities Press.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Rogoff, B. (1990). Apprenticeship in thinking: Cognitive development in social context. Oxford University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.

Steffe, L. P., & Gale, J. (Eds.). (1995). Constructivism in education. Lawrence Erlbaum Associates.

Turkle, S. (2005). The second self: Computers and the human spirit (20th Anniversary Ed.). MIT Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.

Vygotsky, L. S. (1986). Thought and language (A. Kozulin, Trans.). MIT Press.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (Expanded 2nd ed.). ASCD.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar