Konstruktivisme
Fondasi, Dinamika, dan Implikasinya terhadap Teori
Pengetahuan Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pendekatan
konstruktivisme dalam epistemologi sebagai alternatif terhadap paradigma
tradisional dalam memahami hakikat pengetahuan. Beranjak dari akar filosofisnya
dalam pemikiran Kant, Piaget, dan Vygotsky, konstruktivisme menawarkan
pandangan bahwa pengetahuan bukan merupakan cerminan realitas objektif, melainkan
hasil konstruksi aktif oleh subjek yang terlibat dalam konteks sosial dan
kultural tertentu. Kajian ini menelusuri sejarah perkembangan konstruktivisme,
mengidentifikasi tipologi-variasinya—yakni konstruktivisme kognitif, sosial,
radikal, dan kritis—serta membandingkannya dengan pendekatan epistemologi lain
seperti realisme, empirisme, dan relativisme. Pembahasan juga mencakup
kritik-kritik utama terhadap konstruktivisme, mulai dari tuduhan relativisme
hingga problem objektivitas, serta respons terhadap kritik tersebut. Artikel
ini kemudian mengeksplorasi relevansi konstruktivisme dalam konteks kontemporer
seperti pendidikan, produksi pengetahuan digital, pluralisme budaya, dan
interdisiplin keilmuan. Di bagian akhir, disajikan sintesis dan refleksi filosofis
tentang konstruktivisme sebagai paradigma epistemologis yang dinamis,
reflektif, dan transformatif, yang mampu merespons tantangan dunia abad ke-21
secara kritis dan kontekstual.
Kata Kunci: Epistemologi, konstruktivisme, pengetahuan,
konstruksi sosial, pendidikan, relativisme, realitas, postmodernisme,
kebenaran, transformasi.
PEMBAHASAN
Konstruktivisme dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas
hakikat, asal-usul, dan validitas pengetahuan telah mengalami transformasi
mendalam dalam sejarah pemikiran manusia. Salah satu pendekatan yang menandai
pergeseran signifikan dalam epistemologi modern adalah konstruktivisme—sebuah
pandangan yang menekankan bahwa pengetahuan tidak bersifat pasif dan representasional
semata, melainkan merupakan hasil dari aktivitas kognitif manusia dalam
membangun makna melalui interaksi dengan lingkungan dan konteks sosialnya.
Konstruktivisme menantang asumsi klasik bahwa pengetahuan adalah cerminan
langsung dari realitas eksternal, dan justru menegaskan bahwa subjek berperan
aktif dalam membentuk realitas epistemiknya sendiri¹.
Pendekatan konstruktivis dalam epistemologi muncul
sebagai respons kritis terhadap pandangan positivistik dan empiris yang
mengedepankan objektivitas absolut dan metode observasi sebagai satu-satunya
jalan yang sah dalam memperoleh pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivisme,
tidak ada akses langsung dan netral terhadap realitas; setiap bentuk
pengetahuan adalah hasil konstruksi interpretatif yang dipengaruhi oleh
kerangka konseptual, bahasa, pengalaman, dan sistem nilai tertentu². Hal ini
memberikan nuansa baru dalam memahami dinamika pengetahuan, terutama dalam
konteks masyarakat plural dan kompleks.
Secara historis, akar-akar konstruktivisme dapat ditelusuri
hingga filsafat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa subjek epistemik tidak
sekadar menerima informasi dari luar, melainkan mengorganisasikan pengalaman
tersebut melalui kategori-kategori apriori³. Gagasan ini berkembang lebih
lanjut dalam abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Jean Piaget, yang
memperkenalkan konstruktivisme kognitif, dan Lev Vygotsky, yang menekankan
peran interaksi sosial dalam pembentukan struktur kognitif⁴. Selain itu,
pendekatan konstruktivis juga menemukan tempat penting dalam filsafat ilmu,
teori pendidikan, sosiologi pengetahuan, hingga kajian budaya kontemporer.
Relevansi konstruktivisme dalam epistemologi
menjadi semakin kuat di tengah tantangan postmodernitas yang menggugat
universalitas kebenaran dan menekankan pluralitas cara memahami dunia. Dalam
konteks ini, konstruktivisme tidak hanya menjadi alternatif metodologis, tetapi
juga paradigma kritis yang merefleksikan keterbatasan dan keberkaitan antara
subjek dan objek pengetahuan⁵. Oleh karena itu, pembahasan mengenai konstruktivisme
dalam epistemologi menjadi penting untuk memahami bagaimana pengetahuan
dikembangkan, divalidasi, dan digunakan dalam realitas kontemporer yang sarat
kompleksitas.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis pendekatan konstruktivisme dalam epistemologi, dengan menelusuri
fondasi filosofisnya, sejarah perkembangannya, prinsip-prinsip dasarnya, hingga
implikasinya terhadap teori pengetahuan dan praktik keilmuan masa kini. Kajian
ini juga akan mengeksplorasi berbagai bentuk dan variasi konstruktivisme serta
merespons kritik-kritik utama yang diarahkan padanya, guna memberikan pemahaman
yang utuh, kritis, dan aplikatif terhadap pendekatan ini.
Footnotes
[1]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 1–4.
[2]
Kenneth J. Gergen, An Invitation to Social
Construction (London: SAGE Publications, 2009), 15–18.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A92–B124.
[4]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in
Children (New York: International Universities Press, 1952); Lev Vygotsky, Mind
in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael
Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–91.
[5]
Thomas S. Popkewitz and Lynn Fendler, eds., Critical
Theories in Education: Changing Terrains of Knowledge and Politics (New
York: Routledge, 1999), 31–37.
2.
Landasan
Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagai pendekatan dalam
epistemologi memiliki fondasi filsafat yang khas dan menyimpang dari
asumsi-asumsi tradisional yang diasosiasikan dengan realisme objektif dan
empirisme. Di jantung filsafat konstruktivis terletak anggapan bahwa pengetahuan
tidak ditemukan, tetapi dibentuk, dan bahwa subjek tidak sekadar
mencerminkan realitas eksternal, melainkan aktif dalam menyusun struktur makna
yang memediasi persepsi dan pemahaman terhadap dunia¹.
Secara ontologis, konstruktivisme tidak menolak
keberadaan realitas eksternal, namun menekankan bahwa realitas sebagaimana
yang kita pahami selalu dibentuk melalui struktur kognitif dan simbolik manusia.
Dalam hal ini, konstruktivisme bersifat epistemologis, bukan ontologis:
ia tidak menyangkal adanya dunia luar, tetapi menyangsikan kemungkinan
pengenalan dunia tersebut secara murni objektif². Oleh sebab itu, pemahaman
terhadap dunia harus dilihat sebagai hasil dari konstruksi pengalaman, bahasa,
dan budaya.
Dalam kerangka ini, konstruktivisme berpijak pada
pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil
sintesis antara intuisi inderawi dan kategori-kategori apriori dari rasio. Kant
menyatakan bahwa kita tidak mengetahui Ding an sich (benda pada
dirinya), tetapi hanya fenomena yang telah disusun oleh struktur kognitif
manusia³. Gagasan ini menjadi titik tolak utama bagi para pemikir konstruktivis
selanjutnya, meskipun dalam bentuk yang lebih radikal dan pluralistik.
Salah satu pilar utama konstruktivisme adalah peran
aktif subjek epistemik dalam membentuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah
cerminan pasif dari dunia, tetapi hasil dari proses interpretatif yang
terus-menerus diperbarui berdasarkan pengalaman dan interaksi sosial⁴. Oleh
karena itu, kebenaran dalam konstruktivisme lebih bersifat viabel
(viability) ketimbang korespondensi dengan realitas. Dalam pengertian
ini, kebenaran dianggap sebagai kesesuaian internal dalam sistem pemahaman yang
bekerja secara efektif, bukan sebagai cerminan dari fakta objektif eksternal⁵.
Selain itu, konstruktivisme memandang bahasa
sebagai medium sentral dalam proses epistemik. Bahasa tidak hanya sebagai
sarana komunikasi, tetapi sebagai struktur kognitif yang membentuk makna dan
membatasi kemungkinan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ludwig
Wittgenstein dalam language games dan Michel Foucault dalam discourse,
di mana makna tidak bersifat tetap tetapi selalu dikonstruksi dalam konteks
sosial dan historis⁶.
Pandangan konstruktivis juga menekankan bahwa pengetahuan
bersifat kontekstual dan tidak pernah netral. Dalam konteks ini,
epistemologi tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan budaya.
Misalnya, dalam konstruktivisme sosial, pengetahuan dianggap sebagai produk
dari negosiasi makna dalam komunitas diskursif tertentu⁷. Hal ini menjadikan
konstruktivisme bukan hanya pendekatan kognitif, tetapi juga kritik terhadap
asumsi hegemonik dalam produksi pengetahuan.
Dengan demikian, landasan filsafat konstruktivisme
mencakup beberapa prinsip utama:
1)
Pengetahuan adalah konstruksi aktif,
2)
Realitas tidak dapat diakses secara langsung,
3)
Bahasa adalah medium utama epistemik, dan
4)
Kebenaran bersifat kontekstual dan pragmatis.
Prinsip-prinsip
ini menjadi dasar bagi seluruh varian konstruktivisme, baik yang bersifat
individual, sosial, kritis, maupun radikal.
Footnotes
[1]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–9.
[2]
Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism
in Education (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 4–6.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A51–B75.
[4]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child (New York: Basic Books, 1954), 3–5.
[5]
Ernst von Glasersfeld, “An Exposition of Constructivism:
Why Some Like It Radical,” in Constructivism in Education, ed. Leslie P.
Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995),
19–29.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–63; Ludwig
Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe
(Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.
[7]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1966), 27–33.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Gagasan Konstruktivisme
Gagasan konstruktivisme dalam epistemologi tidak
muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari
berbagai aliran pemikiran filosofis yang menyoroti hubungan antara subjek
pengetahuan dan realitas. Akar-akar intelektual pendekatan ini dapat ditelusuri
sejak zaman kuno, namun memperoleh artikulasi sistematis dan pengaruh luas
terutama sejak era modern, terutama dalam karya Immanuel Kant, yang memadukan unsur
empirisme dan rasionalisme dalam kerangka transendentalisme kritis¹.
Kant menyatakan bahwa realitas sebagaimana yang kita ketahui adalah hasil dari
proses sintesis antara data empiris dan struktur apriori dari subjek—suatu
prinsip fundamental yang kemudian menjadi titik awal dari konstruktivisme
epistemologis².
Setelah Kant, perkembangan gagasan konstruktivisme
mengalami diversifikasi melalui dua jalur utama: konstruktivisme kognitif
dan konstruktivisme sosial. Jalur pertama berakar pada karya Jean
Piaget, seorang psikolog dan epistemolog asal Swiss, yang menyatakan bahwa
pengetahuan dibentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi dalam perkembangan
struktur kognitif individu. Piaget menekankan bahwa anak-anak tidak hanya
menerima informasi dari luar secara pasif, melainkan aktif menyusun kerangka
berpikir berdasarkan interaksi dengan lingkungan sekitarnya³. Dalam hal ini,
konstruktivisme Piaget bersifat individual dan biologis, berfokus pada
perkembangan internal dari subjek yang belajar.
Sementara itu, jalur kedua dikembangkan oleh Lev
Vygotsky, seorang psikolog Rusia yang mengusung pendekatan socio-cultural.
Vygotsky berpendapat bahwa proses konstruksi pengetahuan tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial dan interaksi dengan orang lain, terutama melalui bahasa
sebagai alat mediasi⁴. Ia memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal
(ZPD), yang menjelaskan bahwa kemampuan belajar seseorang sangat ditentukan
oleh dukungan sosial yang diterimanya. Pendekatan ini kemudian berkembang
menjadi konstruktivisme sosial, yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
hasil dari proses negosiasi makna dalam komunitas sosial tertentu⁵.
Di abad ke-20, konstruktivisme memperoleh formulasi
yang lebih radikal dalam pemikiran Ernst von Glasersfeld, yang memperkenalkan
istilah radical constructivism. Ia menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah
representasi dari realitas objektif, melainkan hasil dari konstruksi konseptual
yang bersifat viabel (layak guna) dalam konteks pengalaman individu⁶.
Von Glasersfeld secara eksplisit menolak kebenaran sebagai korespondensi, dan
menggantikannya dengan prinsip keberfungsian pragmatis dari suatu sistem
pemahaman.
Seiring dengan perkembangan teori-teori
postmodernisme dan dekonstruksi, konstruktivisme juga menemukan elaborasi lanjutan
dalam bidang sosiologi pengetahuan dan filsafat kritis. Peter
Berger dan Thomas Luckmann melalui karya The Social Construction
of Reality (1966) menyatakan bahwa seluruh kenyataan sosial terbentuk
melalui proses institusionalisasi makna dalam interaksi manusia sehari-hari⁷.
Sementara itu, Michel Foucault dalam karya-karyanya tentang episteme
dan diskursus menggarisbawahi bahwa pengetahuan dibentuk dalam jaringan
kekuasaan dan struktur historis tertentu, sehingga kebenaran bersifat
situasional dan politis⁸.
Perkembangan konstruktivisme tidak berhenti pada
wilayah teori murni, tetapi juga memengaruhi banyak bidang praksis, seperti
pendidikan, antropologi, sosiologi, dan bahkan ilmu komputer. Dalam pendidikan,
konstruktivisme telah menjadi dasar utama dalam merancang kurikulum berbasis
pengalaman dan pembelajaran aktif, yang berfokus pada keterlibatan peserta
didik sebagai subjek pembangun makna, bukan sekadar penerima informasi⁹.
Dengan demikian, sejarah perkembangan
konstruktivisme menunjukkan transformasi dari pendekatan epistemologis yang
berpusat pada subjek individual (Piaget), ke pendekatan sosial (Vygotsky),
hingga menuju bentuk radikal dan kritis yang mencakup dimensi politik, bahasa,
dan kekuasaan (Glasersfeld, Foucault). Dinamika ini memperlihatkan bahwa
konstruktivisme merupakan paradigma yang tidak statis, melainkan terus
berkembang dalam merespons tantangan konseptual dan kontekstual dalam teori
pengetahuan kontemporer.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A92–B124.
[2]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against
Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 16–18.
[3]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child (New York: Basic Books, 1954), 3–9.
[4]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 34–36.
[5]
Barbara Rogoff, Apprenticeship in Thinking:
Cognitive Development in Social Context (New York: Oxford University Press,
1990), 6–9.
[6]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.
[7]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1966), 59–85.
[8]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 166–172.
[9]
Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism
in Education (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 8–10.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama dalam Konstruktivisme Epistemologis
Konstruktivisme
epistemologis merupakan pendekatan dalam filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan
bukanlah hasil pencerminan pasif terhadap realitas objektif,
melainkan konstruksi aktif yang dibentuk melalui interaksi antara subjek dan
lingkungan sosial-kulturalnya. Dalam kerangka ini, terdapat beberapa prinsip
utama yang membedakan konstruktivisme dari pendekatan epistemologis lain
seperti positivisme, empirisme, atau realisme kritis. Prinsip-prinsip tersebut
menjadi landasan konseptual bagi konstruktivisme dalam menjelaskan hakikat,
sumber, dan validitas pengetahuan.
4.1. Pengetahuan sebagai
Konstruksi Aktif
Prinsip pertama dan
paling mendasar adalah bahwa pengetahuan tidak ditemukan, tetapi
dikonstruksi. Subjek epistemik tidak menerima pengetahuan
sebagai informasi eksternal yang sudah utuh, melainkan membentuknya melalui
proses interpretatif dan reflektif. Piaget menjelaskan bahwa struktur kognitif
individu berkembang melalui proses asimilasi (penyesuaian
informasi baru ke dalam skema yang ada) dan akomodasi (modifikasi skema
untuk menyesuaikan dengan informasi baru)¹. Dengan demikian, pengetahuan
bersifat adaptif dan kontekstual terhadap pengalaman subjek.
4.2.
Peran Pengalaman dalam Pembentukan Pengetahuan
Konstruktivisme
menekankan bahwa pengetahuan terbentuk melalui interaksi aktif dengan dunia pengalaman.
Namun, pengalaman tidak dimaknai secara empiris-murni sebagaimana dalam
empirisme klasik, melainkan sebagai hasil dari proses persepsi yang dimediasi
oleh struktur mental dan simbolik subjek². Oleh karena itu, setiap orang dapat
membentuk konstruksi pengetahuan yang berbeda, tergantung pada latar belakang
pengalaman, budaya, dan tujuan kognitifnya.
4.3.
Kebenaran sebagai Viabilitas, Bukan
Korespondensi
Dalam
konstruktivisme, kebenaran tidak diukur berdasarkan
korespondensinya dengan realitas objektif, tetapi berdasarkan viabilitas—yaitu
sejauh mana pengetahuan tersebut bekerja secara efektif dalam situasi tertentu.
Ernst von Glasersfeld menyatakan bahwa suatu konstruksi pengetahuan dianggap
“benar” jika ia membantu subjek dalam menjelaskan, memprediksi, dan
berinteraksi dengan lingkungannya secara berhasil⁴. Dengan demikian, kebenaran
bersifat relatif terhadap sistem makna dan fungsional dalam konteks.
4.4.
Peran Bahasa sebagai Medium Epistemik
Bahasa dipandang
sebagai alat utama dalam membentuk dan menyampaikan pengetahuan. Dalam
pendekatan konstruktivis, bahasa tidak netral, tetapi
membentuk cara kita memandang realitas. Vygotsky menggarisbawahi bahwa melalui
bahasa, individu menginternalisasi struktur berpikir sosial dan mengembangkan
kesadaran reflektifnya⁵. Demikian pula, pandangan post-strukturalis seperti
Foucault menunjukkan bahwa diskursus menentukan batas-batas wacana pengetahuan
yang mungkin dan sah⁶.
4.5.
Konteks Sosial dan Budaya sebagai Penentu
Epistemik
Konstruktivisme
sosial menambahkan bahwa pengetahuan tidak hanya dikonstruksi oleh individu,
tetapi juga dalam interaksi sosial dan struktur budaya.
Peter Berger dan Thomas Luckmann menyebutkan bahwa kenyataan sosial dibentuk
melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam praktik
kehidupan sehari-hari⁷. Proses ini melahirkan sistem simbolik dan institusi
yang berfungsi sebagai kerangka rujukan bersama dalam membangun dan
mempertahankan pengetahuan.
4.6.
Pengetahuan Bersifat Sementara dan Terbuka
untuk Revisi
Konstruktivisme
menolak absolutisme epistemologis. Pengetahuan selalu terbuka untuk direvisi
dan disesuaikan seiring perubahan konteks atau pemahaman baru. Dalam hal ini,
pendekatan konstruktivis bersifat dinamis dan non-dogmatis,
memungkinkan fleksibilitas dalam pengembangan teori dan interpretasi baru⁸.
Oleh karena itu, konstruktivisme sangat cocok dalam era pascamodern yang
pluralistik dan cepat berubah.
4.7.
Subjektivitas dan Agensi Subjek Epistemik
Akhirnya,
konstruktivisme menegaskan peran agensial subjek dalam
membangun makna. Subjek bukan sekadar objek dari proses pengetahuan, tetapi
juga pencipta aktif dalam proses tersebut. Perspektif ini memberi ruang bagi
pengakuan terhadap keberagaman perspektif, nilai-nilai personal, dan otonomi
kognitif⁹.
Secara keseluruhan,
prinsip-prinsip konstruktivisme menantang paradigma epistemologis tradisional
dengan memberikan perhatian besar terhadap peran aktif subjek, pentingnya
konteks sosial, dan sifat interpretatif dari pengetahuan. Pendekatan ini tidak
hanya menawarkan kerangka teoretis alternatif, tetapi juga membuka jalan bagi
reformulasi cara berpikir tentang kebenaran, objektivitas, dan validitas dalam
ilmu pengetahuan kontemporer.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New
York: International Universities Press, 1952), 5–10.
[2]
Leslie P. Steffe and Jerry Gale, eds., Constructivism in Education
(Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1995), 3–6.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–9.
[4]
Ibid., 21–23.
[5]
Lev Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin
(Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–98.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–63.
[7]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality:
A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966),
59–67.
[8]
Kenneth J. Gergen, Realities and Relationships: Soundings in Social
Construction (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 68–70.
[9]
Joe L. Kincheloe, Teachers as Researchers: Qualitative Inquiry as a
Path to Empowerment (London: Falmer Press, 1991), 11–13.
5.
Tipologi
dan Variasi Konstruktivisme
Konstruktivisme
bukanlah pendekatan epistemologis yang bersifat tunggal dan monolitik,
melainkan sebuah spektrum pemikiran yang mencakup berbagai variasi konseptual,
metodologis, dan aplikatif. Seiring dengan perkembangan wacana epistemologi
modern dan kontemporer, konstruktivisme telah mengalami diversifikasi yang
signifikan, melahirkan sejumlah tipologi konstruktivisme yang
masing-masing memiliki karakteristik, penekanan, serta implikasi yang berbeda.
Dalam bagian ini akan diuraikan empat varian utama konstruktivisme: konstruktivisme
kognitif, konstruktivisme sosial, konstruktivisme
radikal, dan konstruktivisme kritis.
5.1.
Konstruktivisme Kognitif (Cognitive
Constructivism)
Konstruktivisme
kognitif berakar kuat pada karya Jean Piaget, yang melihat konstruksi
pengetahuan sebagai hasil interaksi antara struktur kognitif individu dan
lingkungannya. Pengetahuan, dalam perspektif ini, dibentuk secara bertahap
melalui proses asimilasi dan akomodasi, serta berkembang melalui tahapan
perkembangan intelektual yang distinktif¹. Fokus utama dari konstruktivisme
kognitif adalah subjek individu—khususnya bagaimana anak-anak membentuk skema
kognitif mereka secara aktif untuk memahami dunia.
Konstruktivisme
kognitif berasumsi bahwa struktur pengetahuan berkembang secara endogen,
melalui mekanisme internal dalam diri individu yang bersifat universal. Oleh
karena itu, pendekatan ini sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, terutama
dalam pengembangan teori belajar yang menekankan pengalaman langsung,
eksplorasi, dan refleksi².
5.2.
Konstruktivisme Sosial (Social Constructivism)
Konstruktivisme
sosial mengambil titik tolak dari pemikiran Lev Vygotsky yang menegaskan bahwa pengetahuan
tidak hanya dibentuk secara individual, tetapi juga secara sosial,
melalui interaksi dengan orang lain dan penggunaan bahasa sebagai alat utama
mediasi³. Vygotsky memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD),
yang menjelaskan pentingnya dukungan sosial dalam mendorong kemampuan belajar.
Dalam
konstruktivisme sosial, komunitas belajar, praktik diskursif, dan konteks
budaya memainkan peran penting dalam proses konstruksi makna. Oleh karena itu,
pendekatan ini sangat relevan dalam kajian pendidikan multikultural, pedagogi
kolaboratif, serta analisis tentang pembentukan identitas dan pengetahuan dalam
kelompok sosial⁴.
5.3.
Konstruktivisme Radikal (Radical
Constructivism)
Konstruktivisme
radikal, seperti yang dirumuskan oleh Ernst von Glasersfeld, merupakan bentuk
paling ekstrem dari konstruktivisme epistemologis. Ia menolak sepenuhnya
gagasan bahwa pengetahuan mencerminkan realitas objektif, dan menyatakan bahwa pengetahuan
hanyalah konstruksi yang bersifat viabel bagi subjek dalam interaksi dengan
lingkungannya, bukan representasi dunia⁵. Dengan demikian,
kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi dengan fakta eksternal, tetapi
sebagai kecocokan pragmatis dalam konteks pengalaman subjektif.
Konstruktivisme
radikal mempertanyakan asumsi realisme dan objektivitas dalam ilmu pengetahuan,
serta menekankan bahwa semua pengetahuan bersifat relatif terhadap kerangka
interpretatif subjek⁶. Pendekatan ini telah memicu banyak perdebatan dalam
filsafat ilmu, karena dianggap berpotensi menuju relativisme epistemologis yang
ekstrem.
5.4.
Konstruktivisme Kritis (Critical
Constructivism)
Konstruktivisme
kritis berkembang sebagai respons terhadap keterbatasan konstruktivisme
kognitif dan sosial, dengan menambahkan dimensi ideologis, historis, dan kekuasaan
dalam pembentukan pengetahuan. Tokoh-tokoh seperti Joe L.
Kincheloe, Henry Giroux, dan Shirley R. Steinberg menekankan bahwa proses
konstruksi pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dan selalu terkait dengan
struktur sosial yang hegemonik⁷.
Pendekatan ini
menggabungkan pandangan konstruktivis dengan teori kritis Frankfurt School,
pascastrukturalisme, serta teori feminis dan postkolonial. Konstruktivisme
kritis tidak hanya mengkaji bagaimana pengetahuan dikonstruksi, tetapi juga siapa
yang mengonstruksi, untuk tujuan apa, dan dalam kerangka kuasa yang bagaimana⁸.
Oleh karena itu, ia mengajak subjek epistemik untuk bersikap reflektif dan
transformatif terhadap sistem wacana dominan.
Perbandingan dan Implikasi
Variasi-variasi dalam konstruktivisme mencerminkan
spektrum pendekatan yang luas, masing-masing dengan fokus, asumsi
epistemologis, dan kontribusi khas terhadap pemahaman dan praktik keilmuan.
Berikut ini adalah perbandingan dan implikasi utama dari empat tipe
konstruktivisme:
·
Konstruktivisme Kognitif
Fokus utama
pada perkembangan kognisi individu.
Menekankan
proses internal seperti asimilasi dan akomodasi dalam membangun struktur
pengetahuan.
Mempengaruhi
teori pembelajaran berbasis eksplorasi dan pengalaman langsung.
Diwakili
oleh Jean Piaget.
·
Konstruktivisme Sosial
Menitikberatkan
pada proses interaksi sosial dan peran budaya dalam membentuk pengetahuan.
Mengakui
pentingnya bahasa sebagai alat mediasi utama dalam pembelajaran dan berpikir.
Mendorong
pembelajaran kolaboratif dan kontekstual.
Dipelopori
oleh Lev Vygotsky.
·
Konstruktivisme Radikal
Mengafirmasi
bahwa pengetahuan bersifat subjektif dan tidak mencerminkan realitas objektif
secara langsung.
Kebenaran
dipahami sebagai viabilitas dalam konteks pengalaman subjek, bukan sebagai
korespondensi.
Memicu
perdebatan tentang relativisme dan validitas pengetahuan.
Dirumuskan
secara sistematis oleh Ernst von Glasersfeld.
·
Konstruktivisme Kritis
Menambahkan
dimensi ideologis dan politis dalam pembentukan pengetahuan.
Mengkritisi
struktur kuasa yang memengaruhi wacana epistemik dalam masyarakat.
Mendorong
pendekatan reflektif dan transformatif dalam pendidikan dan penelitian.
Dikembangkan
oleh tokoh seperti Joe L. Kincheloe, Henry Giroux, dan Shirley Steinberg.
Setiap tipe konstruktivisme memberikan sumbangan
penting dalam menjelaskan dinamika pengetahuan dari sudut pandang yang
berbeda—mulai dari perkembangan individu hingga struktur sosial dan politik.
Dalam praktiknya, pendekatan-pendekatan ini seringkali saling melengkapi dan
dapat digunakan secara integratif tergantung pada kebutuhan kontekstual,
seperti dalam desain kurikulum, penelitian kualitatif, serta analisis wacana
dan budaya.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New
York: Basic Books, 1954), 7–15.
[2]
David C. Phillips, “The Good, the Bad, and the Ugly: The Many Faces of
Constructivism,” Educational Researcher 24, no. 7 (1995): 5–12.
[3]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 79–91.
[4]
Barbara Rogoff, Apprenticeship in Thinking: Cognitive Development
in Social Context (New York: Oxford University Press, 1990), 3–10.
[5]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.
[6]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 17–20.
[7]
Joe L. Kincheloe, Teachers as Researchers: Qualitative Inquiry as a
Path to Empowerment (London: Falmer Press, 1991), 11–19.
[8]
Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for
the Opposition (South Hadley, MA: Bergin & Garvey, 1983), 47–56.
6.
Perbandingan
Konstruktivisme dengan Pendekatan Epistemologi Lain
Konstruktivisme
dalam epistemologi berdiri sebagai salah satu pendekatan yang berupaya
mereformulasi pemahaman tentang pengetahuan, kebenaran, dan hubungan antara
subjek dan objek. Dalam konteks filsafat pengetahuan kontemporer,
konstruktivisme menawarkan kritik dan alternatif terhadap beberapa pendekatan
epistemologis klasik seperti realisme, empirisme,
dan relativisme,
sekaligus membuka dialog dengan pendekatan realisme kritis yang mencoba
menjembatani berbagai kutub ekstrem dalam epistemologi. Perbandingan ini
penting untuk menilai kekuatan, keterbatasan, serta posisi konseptual
konstruktivisme dalam peta pemikiran epistemologis modern.
6.1.
Konstruktivisme vs. Realisme
Realisme
epistemologis berpendapat bahwa pengetahuan adalah representasi akurat dari
dunia objektif yang eksis independen dari pengamat. Dalam pandangan ini,
kebenaran ditentukan oleh korespondensi antara pernyataan dan fakta dunia nyata¹.
Sebaliknya, konstruktivisme menolak asumsi representasional ini, dan menyatakan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi kognitif atau sosial yang dipengaruhi
oleh kerangka konseptual dan pengalaman subjek².
Konstruktivisme
berargumen bahwa karena setiap bentuk pengetahuan dipengaruhi oleh perspektif,
bahasa, dan konteks, maka klaim tentang realitas objektif harus dipandang
secara kritis dan reflektif. Ernst von Glasersfeld, tokoh utama konstruktivisme
radikal, menekankan bahwa “realitas” bukanlah sesuatu yang dapat diakses secara
langsung, tetapi hanya dapat didekati melalui konstruksi konseptual yang
bersifat viabel³.
Namun demikian,
kritik terhadap konstruktivisme dari pihak realis menyatakan bahwa pendekatan
ini cenderung jatuh pada relativisme dan meniadakan objektivitas. Dalam
menanggapi kritik ini, beberapa konstruktivis mengajukan posisi tengah, yakni realitas
memang ada, tetapi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah bebas dari
konstruksi⁴.
6.2.
Konstruktivisme vs. Empirisme
Empirisme klasik,
sebagaimana dikembangkan oleh John Locke, David Hume, dan Francis Bacon,
menganggap bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengamatan indrawi dan
pengalaman. Dalam kerangka ini, pikiran manusia ibarat tabula
rasa yang diisi oleh data-data sensoris yang bersifat objektif dan
dapat diverifikasi secara universal⁵.
Sebaliknya,
konstruktivisme menolak pandangan pasif tentang subjek pengetahuan. Jean Piaget
dan Lev Vygotsky menggarisbawahi bahwa subjek aktif membangun struktur
kognitifnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang tidak semata-mata
berasal dari pengalaman, tetapi juga dari interaksi antara pengalaman dan skema
mental yang sudah ada⁶. Selain itu, konstruktivisme sosial juga mengkritik
empirisme karena mengabaikan dimensi sosial dan kultural dalam pembentukan
pengetahuan.
Dengan demikian,
meskipun keduanya menghargai pentingnya pengalaman, konstruktivisme menekankan
bahwa pengalaman itu sendiri tidak netral dan selalu diinterpretasikan melalui
lensa konseptual tertentu.
6.3.
Konstruktivisme vs. Relativisme
Meskipun
konstruktivisme sering dikritik karena kedekatannya dengan relativisme, penting
untuk membedakan keduanya. Relativisme epistemologis menyatakan bahwa tidak ada
kebenaran universal yang dapat dijadikan tolok ukur pengetahuan; setiap klaim
kebenaran hanya sah dalam kerangka budaya atau individu tertentu⁷.
Konstruktivisme
memang mengakui bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan tidak bebas
nilai, tetapi tidak serta-merta menolak kemungkinan dialog atau perbandingan
antar sistem pengetahuan. Beberapa konstruktivis, seperti Glasersfeld, lebih
memilih konsep viabilitas daripada relativisme
murni; suatu gagasan dinilai bukan karena korespondensinya dengan realitas
absolut, tetapi karena kemampuannya bekerja secara konsisten dalam kerangka
pemahaman tertentu⁸.
Dengan demikian,
konstruktivisme dapat dipandang sebagai jalan tengah antara absolutisme dan
relativisme epistemologis, menawarkan fleksibilitas tanpa meniadakan
kemungkinan koherensi dan dialog lintas kerangka.
6.4.
Konstruktivisme dan Realisme Kritis
Realisme kritis,
yang dikembangkan oleh Roy Bhaskar, menawarkan pendekatan kompromis yang
mencoba mempertahankan keberadaan realitas objektif, namun sekaligus mengakui
bahwa akses terhadap realitas tersebut dimediasi oleh struktur sosial dan
linguistik⁹. Dalam realisme kritis, terdapat tiga domain: realitas aktual,
realitas empirik, dan realitas transendental, yang memungkinkan pemahaman yang
kompleks tentang hubungan antara subjek dan objek.
Dibandingkan dengan
konstruktivisme radikal, realisme kritis menghindari relativisme ekstrem, namun
tetap membuka ruang bagi refleksivitas dan kritik terhadap pengetahuan.
Beberapa pemikir kontemporer bahkan mencoba menjembatani konstruktivisme dan
realisme kritis dalam pendekatan interdisipliner, seperti dalam sosiologi
pengetahuan, studi budaya, dan pedagogi kritis¹⁰.
Implikasi Perbandingan
Perbandingan antara
konstruktivisme dan pendekatan epistemologis lainnya menunjukkan bahwa:
·
Konstruktivisme
menghadirkan paradigma alternatif yang lebih reflektif dan kontekstual
dibandingkan positivisme dan empirisme klasik.
·
Ia menantang asumsi tentang
objektivitas dan netralitas pengetahuan, tetapi tidak selalu mengarah pada
relativisme nihilistik.
·
Dalam dialog dengan
realisme kritis, konstruktivisme dapat diperkuat sebagai pendekatan yang
bersifat kritis namun tetap transformatif.
·
Implikasi praktisnya tampak
dalam pendidikan, penelitian sosial, dan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang
lebih demokratis dan inklusif.
Footnotes
[1]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 49–52.
[2]
Kenneth J. Gergen, An Invitation to Social Construction
(London: SAGE Publications, 2009), 16–19.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.
[4]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 24–26.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–17.
[6]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New
York: Basic Books, 1954), 13–19; Lev Vygotsky, Thought and Language,
trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 88–90.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 357–364.
[8]
Ernst von Glasersfeld, “Why I Consider Myself a Constructivist,” in Constructivism
in Education, ed. Leslie P. Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates, 1995), 3–15.
[9]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), 13–17.
[10]
Margaret Archer et al., eds., Critical Realism: Essential Readings
(London: Routledge, 1998), 47–53.
7.
Implikasi
Konstruktivisme terhadap Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Pendekatan
konstruktivisme dalam epistemologi tidak hanya membawa dampak konseptual dalam
filsafat pengetahuan, tetapi juga memunculkan implikasi aplikatif yang signifikan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan menekankan bahwa
pengetahuan merupakan hasil konstruksi aktif oleh subjek yang terlibat secara
kontekstual dalam interaksinya dengan lingkungan dan budaya, konstruktivisme
telah mengubah cara pandang tentang bagaimana ilmu dikembangkan, bagaimana
pengetahuan divalidasi, dan bagaimana proses pembelajaran seharusnya berlangsung.
7.1.
Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan
1)
Pengetahuan sebagai
Konstruksi Sosial dan Konseptual
Dalam konstruktivisme, ilmu pengetahuan tidak
dipahami sebagai cermin realitas objektif, melainkan sebagai sistem konseptual
yang dibangun melalui proses interpretatif oleh komunitas ilmiah. Peter Berger
dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa seluruh kenyataan sosial—termasuk ilmu
pengetahuan—dibentuk secara intersubjektif melalui institusionalisasi makna
dalam praktik sosial sehari-hari¹. Hal ini memunculkan pendekatan baru dalam
epistemologi sains, seperti sociology of scientific knowledge (SSK)
dan actor-network theory (ANT), yang meneliti dimensi sosial dan
budaya dalam produksi ilmu pengetahuan².
2)
Rekonstruksi terhadap
Kriteria Kebenaran dan Objektivitas
Konstruktivisme menantang dominasi epistemologi
korespondensi yang mengukur kebenaran berdasarkan kesesuaian proposisi dengan
fakta. Sebagai gantinya, ia memperkenalkan konsep viabilitas atau koherensi
pragmatis, yakni keberfungsian suatu sistem pengetahuan dalam menjelaskan
dan menghadapi dunia³. Ini memberikan dasar bagi berkembangnya paradigma
non-linear dan transdisipliner dalam ilmu pengetahuan kontemporer, seperti
dalam studi kompleksitas dan post-normal science⁴.
3)
Ilmu sebagai Kegiatan
Refleksif dan Kontekstual
Pengetahuan ilmiah menurut konstruktivisme bukan
hasil akhir yang netral, melainkan bagian dari proses terus-menerus yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai, bahasa, politik, dan teknologi. Hal ini mendorong
lahirnya epistemologi reflektif, yaitu pendekatan yang mengakui keterlibatan
aktif peneliti dalam membentuk objek penelitiannya, terutama dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora⁵.
7.2.
Implikasi terhadap Pendidikan
1)
Reorientasi Paradigma
Pembelajaran
Konstruktivisme telah merombak paradigma
pembelajaran dari pendekatan transmisional (guru sebagai penyampai pengetahuan)
menjadi pendekatan konstruksional (peserta didik sebagai pembangun makna).
Dalam perspektif ini, pembelajaran dipahami sebagai proses
aktif, kontekstual, dan kolaboratif di mana siswa membentuk
pemahaman melalui pengalaman, eksplorasi, dan interaksi sosial⁶.
2)
Peran Guru sebagai
Fasilitator
Dalam pembelajaran konstruktivistik, guru tidak
lagi menjadi otoritas tunggal dalam menentukan kebenaran, tetapi berfungsi
sebagai fasilitator dan mediasi
yang mendukung proses belajar siswa. Guru bertugas menciptakan lingkungan
belajar yang menstimulasi pertanyaan, refleksi, dan pembentukan makna secara
mandiri⁷.
3)
Desain Kurikulum yang
Kontekstual dan Bermakna
Konstruktivisme mendorong kurikulum yang bersifat
inquiry-based, problem-based,
dan project-based, yang berangkat dari pengalaman
nyata dan relevan bagi peserta didik. Kurikulum tidak lagi bersifat linear dan
berpusat pada isi, tetapi fleksibel dan memungkinkan integrasi lintas disiplin⁸.
4)
Evaluasi yang Autentik
dan Format Prosesual
Evaluasi dalam pendidikan konstruktivistik lebih
menekankan pada proses belajar daripada hasil akhir. Oleh karena itu, bentuk
evaluasi seperti portofolio, observasi kinerja, refleksi diri, dan asesmen
formatif dinilai lebih sesuai untuk menangkap perkembangan kognitif dan afektif
siswa⁹.
5)
Pendidikan sebagai
Proses Emansipasi dan Pemberdayaan
Dalam konstruktivisme kritis, pendidikan dilihat
sebagai sarana untuk membongkar hegemoni epistemik dan
membangun kesadaran kritis. Pengetahuan tidak dianggap netral,
melainkan terkait dengan kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itu, pendidikan
diarahkan untuk membentuk individu yang reflektif, otonom, dan berdaya dalam
menghadapi ketimpangan sosial dan budaya¹⁰.
Penutup Implikasi
Implikasi
konstruktivisme terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan mencerminkan
pergeseran paradigmatik dari pengetahuan sebagai entitas objektif dan tetap,
menjadi proses dinamis yang dibangun secara kontekstual, reflektif, dan
dialogis. Baik dalam ruang akademik maupun ruang kelas, konstruktivisme
mendorong partisipasi aktif, kesadaran kritis, dan penghargaan terhadap
keberagaman perspektif. Hal ini menandai transformasi mendalam dalam cara
manusia belajar, meneliti, dan memahami dunia.
Footnotes
[1]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books,
1966), 59–67.
[2]
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and
Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987),
29–35.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.
[4]
Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal
Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.
[5]
Patti Lather, Getting Smart: Feminist Research and Pedagogy with/in
the Postmodern (New York: Routledge, 1991), 102–110.
[6]
Jerome Bruner, The Culture of Education (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1996), 3–7.
[7]
David W. Johnson, Roger T. Johnson, and Karl A. Smith, Active
Learning: Cooperation in the College Classroom (Edina, MN: Interaction
Book Company, 1991), 24–29.
[8]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design
(Alexandria, VA: ASCD, 2005), 41–45.
[9]
Thomas A. Angelo and K. Patricia Cross, Classroom Assessment
Techniques: A Handbook for College Teachers, 2nd ed. (San Francisco:
Jossey-Bass, 1993), 4–6.
[10]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical
Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 29–33.
8.
Kritik
terhadap Konstruktivisme
Meskipun
konstruktivisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam pembaruan teori
pengetahuan dan praktik pendidikan, pendekatan ini tidak lepas dari kritik,
baik dari perspektif filsafat ilmu, epistemologi analitik, hingga pendekatan
pragmatis dan realisme kritis. Kritik terhadap konstruktivisme umumnya
diarahkan pada kelemahan ontologis dan epistemologisnya,
kecenderungan relativistik, serta implikasi praktisnya dalam dunia akademik dan
pendidikan. Secara umum, kritik-kritik ini dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa kategori utama berikut:
8.1.
Tuduhan Relativisme Epistemologis
Salah satu kritik
paling umum terhadap konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal, adalah
kecenderungannya
menuju relativisme, yaitu anggapan bahwa semua pengetahuan
adalah konstruksi yang setara secara epistemik dan tidak ada dasar objektif
untuk menilai kebenaran suatu klaim dibandingkan dengan klaim lainnya. Paul
Boghossian menegaskan bahwa jika pengetahuan hanyalah konstruksi sosial atau
individual, maka tidak ada landasan untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah
dan mitos, antara validitas dan opini biasa¹. Hal ini dianggap mengancam
integritas ilmiah dan rasionalitas sebagai nilai epistemik yang universal.
8.2.
Pengaburan antara Fakta dan Opini
Kritikus dari aliran
realisme, seperti Susan Haack, menyatakan bahwa konstruktivisme—dengan menolak
representasi langsung terhadap realitas—telah mengaburkan perbedaan antara fakta dan opini,
serta antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi². Dalam konteks ini,
konstruktivisme dituduh mengaburkan batas epistemologis antara data yang dapat
diverifikasi secara empiris dan persepsi yang bersifat subjektif, sehingga
merusak fondasi rasionalitas ilmiah.
8.3.
Masalah Objektivitas dan Validitas
Konstruktivisme juga
dikritik karena melemahkan konsep objektivitas,
yang selama ini menjadi pilar dalam epistemologi modern dan metode ilmiah.
Dengan menekankan bahwa pengetahuan selalu dipengaruhi oleh konteks sosial dan
struktur kognitif subjek, konstruktivisme dinilai mengabaikan pentingnya
konsensus ilmiah, keterulangan eksperimen, dan validasi intersubjektif³.
Akibatnya, pendekatan ini berisiko menurunkan standar keandalan dalam
pengetahuan akademik.
8.4.
Ketegangan antara Subjektivitas dan Realitas
Beberapa kritik juga
diarahkan pada ketidakseimbangan antara peran subjek dan
realitas eksternal dalam konstruktivisme. Para realis kritis
seperti Roy Bhaskar mengingatkan bahwa realitas objektif tetap eksis meskipun
dikonstruksi secara konseptual, dan bahwa konstruktivisme yang ekstrem berisiko
menganulir
keberadaan realitas transenden yang tidak bergantung pada konstruksi manusia⁴.
Kritik ini menuntut adanya pemisahan antara ontological realism (realitas ada)
dan epistemological
relativism (cara kita mengenal realitas bisa beragam).
8.5.
Kesulitan Implementasi dalam Praktik Pendidikan
Dalam praktik
pendidikan, pendekatan konstruktivis juga menghadapi tantangan. Beberapa guru
dan peneliti menyatakan bahwa tidak semua peserta didik mampu secara mandiri
membangun pengetahuan tanpa arahan eksplisit, terutama dalam
konteks pembelajaran konseptual yang kompleks⁵. Selain itu, penerapan model
pembelajaran konstruktivistik dapat memerlukan sumber daya, pelatihan, dan waktu
yang tidak selalu tersedia dalam sistem pendidikan yang terbatas.
8.6.
Reduksi terhadap Struktur Sosial dan Politik
Konstruktivisme
sosial juga dikritik karena cenderung merepresentasikan struktur sosial sebagai
produk diskursus belaka, tanpa cukup memperhatikan dimensi
material dan ekonomi dari relasi kuasa. Dalam kritik pascamarxis dan teori
kritis, pendekatan ini dianggap kurang radikal dalam menggugat struktur
dominasi, karena terlalu terfokus pada bahasa dan narasi, tanpa
mengaitkannya secara langsung dengan praktik politik dan ekonomi⁶.
Respons Konstruktivis terhadap Kritik
Beberapa
konstruktivis telah memberikan tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut:
·
Tokoh seperti von
Glasersfeld menekankan bahwa konstruktivisme tidak menolak realitas,
tetapi menekankan bahwa realitas selalu diakses secara interpretatif,
bukan secara langsung⁷.
·
Dalam menghadapi tuduhan
relativisme, pendekatan seperti viabilitas epistemik dikembangkan,
yaitu menilai kebenaran berdasarkan keberfungsian dan konsistensi internal,
bukan relativisme total.
·
Pendekatan realisme
kritis dan konstruktivisme kritis
muncul sebagai bentuk sintesis yang mencoba mempertahankan struktur realitas
objektif sambil tetap mengakui konstruksi sosial terhadap pengetahuan.
Kesimpulan Sementara atas Kritik
Meskipun
konstruktivisme menghadapi kritik tajam, banyak dari kritik tersebut justru
memperkaya diskursus epistemologis dan mendorong pengembangan bentuk-bentuk
konstruktivisme yang lebih reflektif dan terbuka terhadap dialog lintas
pendekatan. Kritik terhadap konstruktivisme tidak harus dipahami sebagai
penolakan total, melainkan sebagai pemicu perumusan ulang yang lebih kritis dan
kontekstual terhadap dinamika pengetahuan dalam dunia yang semakin kompleks dan
plural.
Footnotes
[1]
Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 2–5.
[2]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 51–54.
[3]
Richard Dawkins, The Devil’s Chaplain: Reflections on Hope, Lies,
Science, and Love (Boston: Houghton Mifflin, 2003), 28–30.
[4]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), 14–16.
[5]
David Kirshner and James A. Whitson, Situated Cognition: Social,
Semiotic, and Psychological Perspectives (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, 1997), 56–59.
[6]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 77–79.
[7]
Ernst von Glasersfeld, “Why I Consider Myself a Constructivist,” in Constructivism
in Education, ed. Leslie P. Steffe and Jerry Gale (Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates, 1995), 5–7.
9.
Relevansi
Konstruktivisme dalam Konteks Kontemporer
Dalam dunia yang
semakin kompleks, pluralistik, dan terdigitalisasi, konstruktivisme tetap
mempertahankan signifikansi epistemologis dan aplikatifnya. Keunggulan
konstruktivisme terletak pada kemampuannya mengakomodasi keragaman perspektif, dinamika
perubahan sosial, dan kompleksitas produksi pengetahuan, yang
tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh pendekatan-pendekatan epistemologi
klasik yang cenderung statis dan universalistik. Pada era pascamodern dan
global saat ini, pendekatan konstruktivis justru menjadi semakin relevan dalam
merespons tantangan-tantangan kontemporer, baik dalam ilmu pengetahuan,
pendidikan, teknologi, maupun kehidupan sosial.
9.1.
Pengetahuan dalam Era Informasi dan
Digitalisasi
Transformasi
teknologi digital telah secara radikal mengubah cara manusia memperoleh,
memproduksi, dan memvalidasi pengetahuan. Dalam konteks ini, konstruktivisme
menawarkan kerangka konseptual yang fleksibel
untuk memahami bagaimana individu dan kelompok membentuk makna dalam ekosistem
informasi yang cair dan terdesentralisasi. Media sosial, algoritma, dan ruang
digital tidak lagi hanya menjadi sarana distribusi informasi, tetapi juga medan
konstruksi realitas baru yang dibentuk secara intersubjektif dan multimodal¹.
Konstruktivisme
memungkinkan analisis atas bagaimana kebenaran diproduksi dan dinegosiasikan
dalam konteks digital—misalnya dalam fenomena “post-truth,”
disinformasi, dan bias algoritmik. Dalam hal ini, pendekatan konstruktivis
membantu membongkar asumsi netralitas teknologi dan menegaskan pentingnya
kesadaran kritis terhadap konstruksi digital atas pengetahuan².
9.2.
Respons terhadap Pluralisme Epistemik dan
Budaya
Globalisasi telah
membuka ruang interaksi antarberbagai sistem pengetahuan, bahasa, dan budaya.
Dalam konteks ini, konstruktivisme mampu memfasilitasi dialog
antarparadigma karena tidak mendasarkan kebenaran pada standar
absolut, melainkan pada keberfungsian dan kohesi dalam kerangka tertentu.
Pendekatan ini sangat penting dalam ranah multikulturalisme, studi
postkolonial, dan epistemologi dekolonial yang menantang dominasi wacana Barat
dalam pengetahuan³.
Dengan mengakui
bahwa setiap masyarakat membangun pengetahuannya berdasarkan sejarah, nilai,
dan konteksnya sendiri, konstruktivisme berkontribusi pada pembentukan epistemologi
yang lebih demokratis dan inklusif. Ini juga relevan dalam
kajian indigenous knowledge, Islamic epistemology, dan perspektif lokal lainnya
yang selama ini terpinggirkan dalam diskursus ilmiah global⁴.
9.3.
Peningkatan Kesadaran Kritis dalam Pendidikan
Dalam dunia
pendidikan, konstruktivisme tetap menjadi paradigma dominan dalam mendorong
pembelajaran yang berbasis pada partisipasi aktif, refleksi diri,
dan pemecahan masalah nyata. Kurikulum berbasis proyek,
pendekatan inkuiri, serta pembelajaran kolaboratif semakin luas digunakan di
berbagai tingkat pendidikan sebagai wujud penerapan prinsip-prinsip
konstruktivistik⁵.
Lebih dari itu,
konstruktivisme kritis telah memperluas fungsi pendidikan bukan hanya sebagai
alat pembelajaran kognitif, tetapi juga sebagai medium transformasi
sosial dan emansipasi. Dengan membekali siswa kemampuan untuk
mengkaji ulang narasi dominan dan membentuk perspektif sendiri yang kritis dan
kontekstual, konstruktivisme mendukung pengembangan agen-agen perubahan sosial
yang berdaya⁶.
9.4.
Relevansi dalam Interdisiplin dan Transdisiplin
Ilmu
Di era krisis global
seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik geopolitik, solusi tidak dapat
diperoleh melalui disiplin ilmu yang tertutup dan fragmentaris. Konstruktivisme
mendukung pendekatan interdisipliner dan transdisipliner
dengan mengakui bahwa realitas bersifat kompleks dan pengetahuan tidak bisa
dipisahkan dari kepentingan, nilai, dan cara pandang yang beragam⁷.
Paradigma ini
memungkinkan kolaborasi lintas bidang—antara sains alam, ilmu sosial,
humaniora, dan teknologi—dalam membangun pemahaman holistik dan solutif atas
masalah kontemporer. Hal ini tercermin dalam penguatan metodologi post-normal
science, yang menekankan partisipasi publik dan ketidakpastian
dalam praktik ilmiah kontemporer⁸.
9.5.
Pengaruh terhadap Kritik Sosial dan Wacana
Keadilan
Konstruktivisme,
khususnya dalam bentuk kritisnya, tetap relevan sebagai alat analisis
struktural terhadap kekuasaan dalam produksi pengetahuan.
Pendekatan ini digunakan dalam studi feminis, teori queer, postkolonialisme,
dan teori ras kritis untuk mengungkap bagaimana identitas, otoritas, dan
pengetahuan dibentuk dan dipertahankan melalui sistem diskursif dan
institusional⁹.
Dalam era di mana
narasi dominan sering dipertanyakan, konstruktivisme mendukung usaha untuk merekonstruksi
pengetahuan secara etis dan partisipatif, sehingga tidak hanya
valid secara logis, tetapi juga adil secara sosial.
Kesimpulan Relevansi
Dengan mengakomodasi
kompleksitas epistemik, keberagaman budaya, perkembangan teknologi, dan dimensi
etis-politik dalam pembentukan pengetahuan, konstruktivisme tetap menjadi
pendekatan yang vital dalam merespons dinamika dunia kontemporer. Ia tidak
hanya menawarkan alternatif teoritis terhadap dominasi positivisme dan
realisme, tetapi juga menyediakan dasar praksis untuk transformasi sosial,
pendidikan yang memberdayakan, serta pembangunan ilmu pengetahuan yang terbuka
dan reflektif.
Footnotes
[1]
Sherry Turkle, The Second Self: Computers and the Human Spirit
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 275–278.
[2]
danah boyd, It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens
(New Haven: Yale University Press, 2014), 24–27.
[3]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011),
123–128.
[4]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 17–20.
[5]
Jerome Bruner, The Culture of Education (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1996), 12–16.
[6]
Henry A. Giroux, Pedagogy and the Politics of Hope: Theory,
Culture, and Schooling (Boulder, CO: Westview Press, 1997), 89–92.
[7]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and
Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 183–186.
[8]
Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal
Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.
[9]
Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought: Knowledge,
Consciousness, and the Politics of Empowerment (New York: Routledge,
2000), 270–275.
10. Sintesis dan Refleksi Filosofis
Konstruktivisme,
dalam berbagai bentuknya—kognitif, sosial, radikal, dan kritis—telah merevolusi
cara kita memahami hakikat pengetahuan, hubungan antara subjek dan objek, serta
dimensi sosial dan politis dalam proses epistemik. Melalui pendekatan ini, epistemologi
tidak lagi dilihat sebagai upaya netral untuk mencerminkan realitas eksternal
secara objektif, tetapi sebagai medan aktif konstruksi makna yang berlangsung
melalui interaksi kognitif, diskursus sosial, dan kerangka budaya yang dinamis.
10.1.
Pengetahuan sebagai Proses, Bukan Produk
Salah satu
kontribusi utama konstruktivisme adalah pengalihan paradigma dari pengetahuan sebagai
entitas tetap dan objektif menuju pengetahuan sebagai proses dinamis dan
kontekstual. Jean Piaget menekankan bahwa pengetahuan adalah
hasil dari adaptasi kognitif terhadap lingkungan melalui proses asimilasi dan
akomodasi¹. Lev Vygotsky menambahkan bahwa konstruksi ini tidak hanya bersifat
internal, tetapi juga sosial dan diskursif². Pandangan ini telah mematahkan
dikotomi lama antara subjek dan objek, serta membuka ruang bagi pengakuan atas
keragaman pengalaman epistemik.
10.2.
Rasionalitas sebagai Viabilitas Kontekstual
Konstruktivisme
mengajukan model rasionalitas yang tidak berorientasi pada
korespondensi langsung dengan realitas objektif, melainkan pada
keberfungsian dan viabilitas pengetahuan dalam konteks tertentu. Ernst von
Glasersfeld menyatakan bahwa kebenaran dalam konstruktivisme bersifat
operasional, yakni ditentukan oleh keberhasilan suatu sistem pemahaman dalam
memungkinkan interaksi yang efektif antara individu dan lingkungannya³. Konsep
ini menantang anggapan tradisional tentang absolutisme epistemologis, sekaligus
mempertahankan standar koherensi internal dan kebermaknaan pragmatis.
10.3.
Pengetahuan dan Kekuasaan: Epistemologi yang
Reflektif dan Emansipatoris
Konstruktivisme
kritis memperluas cakupan epistemologi dengan mengaitkannya secara langsung
dengan relasi
kekuasaan, struktur sosial, dan identitas politik. Dalam
kerangka ini, proses konstruksi pengetahuan tidak pernah netral, tetapi selalu
terikat dengan kepentingan, ideologi, dan dominasi diskursif⁴. Oleh karena itu,
konstruktivisme bukan hanya alat analisis epistemologis, tetapi juga perangkat
kritik sosial yang memungkinkan pembongkaran wacana hegemonik dan pembentukan
kesadaran kritis. Refleksi ini menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan,
wacana publik, dan pembentukan kebijakan yang adil.
10.4.
Reaktualisasi Epistemologi untuk Abad ke-21
Di tengah disrupsi
digital, krisis ekologi, dan ketidakpastian global, konstruktivisme menawarkan kerangka
epistemologis yang adaptif, transformatif, dan inklusif. Ia
memampukan kita untuk menanggapi pluralitas perspektif, mengelola
ketidakpastian, dan menghargai pengalaman lokal tanpa kehilangan kemampuan
berpikir sistemik⁵. Dalam ilmu pengetahuan, konstruktivisme mendukung
perkembangan interdisipliner dan metodologi reflektif; dalam pendidikan, ia
memperkuat pembelajaran berbasis pengalaman dan partisipasi aktif; dalam
masyarakat, ia menjadi landasan bagi konstruksi narasi yang berkeadilan dan
berdaya.
10.5.
Menuju Epistemologi Relasional
Refleksi filosofis
atas konstruktivisme membuka kemungkinan bagi pengembangan epistemologi
relasional—yakni sebuah pendekatan yang mengakui bahwa
pengetahuan selalu lahir dari relasi: antara subjek dan objek, individu dan
komunitas, serta lokal dan global. Pendekatan ini menuntut keterbukaan, dialog,
dan kesadaran reflektif dalam membangun kebenaran yang bukan hanya valid secara
logis, tetapi juga relevan secara etis dan politis⁶.
Kesimpulan Reflektif
Konstruktivisme
tidak hanya menawarkan kerangka epistemologis yang bersifat deskriptif, tetapi
juga normatif—ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah tanggung jawab,
bahwa membangun
makna adalah tindakan etis, dan bahwa mengetahui
berarti terlibat secara aktif dan sadar dalam proses kehidupan bersama.
Dalam dunia yang penuh keraguan dan fragmentasi, konstruktivisme mengajak kita
untuk merumuskan ulang epistemologi bukan sekadar sebagai teknik pengumpulan
fakta, melainkan sebagai praksis filosofis untuk membangun dunia yang lebih
inklusif, adil, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New
York: Basic Books, 1954), 5–10.
[2]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological
Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1978), 88–92.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Falmer Press, 1995), 7–11.
[4]
Joe L. Kincheloe, Knowledge and Critical Pedagogy: An Introduction
(Amsterdam: Springer, 2008), 91–94.
[5]
Silvio Funtowicz and Jerome R. Ravetz, “Science for the Post-Normal
Age,” Futures 25, no. 7 (1993): 739–755.
[6]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers, 2014), 33–38.
11. Penutup
Konstruktivisme dalam epistemologi telah
menunjukkan dirinya sebagai pendekatan yang tidak hanya relevan secara
teoritis, tetapi juga signifikan secara praktis dalam berbagai ranah kehidupan
kontemporer. Dengan menempatkan subjek sebagai pelaku aktif dalam proses
konstruksi pengetahuan, konstruktivisme menggugat asumsi-asumsi tradisional
yang mendasari positivisme, empirisme, dan realisme objektif, sekaligus
menawarkan paradigma alternatif yang lebih reflektif, kontekstual, dan
transformatif.
Sebagaimana telah dibahas, konstruktivisme hadir
dalam berbagai bentuk—mulai dari konstruktivisme kognitif yang menekankan
perkembangan struktur mental individu (Jean Piaget)¹, konstruktivisme sosial
yang melihat peran interaksi dan bahasa dalam pembentukan makna (Lev
Vygotsky)², konstruktivisme radikal yang menolak klaim objektivitas pengetahuan
absolut (Ernst von Glasersfeld)³, hingga konstruktivisme kritis yang
menghubungkan konstruksi pengetahuan dengan relasi kuasa dan emansipasi (Joe L.
Kincheloe)⁴. Keberagaman ini menunjukkan daya lentur konstruktivisme dalam
menjawab persoalan-persoalan epistemologis dari berbagai perspektif.
Namun, konstruktivisme juga tidak lepas dari kritik
yang tajam. Tuduhan relativisme, problem objektivitas, serta kesulitan dalam
implementasi praktis menjadi tantangan yang terus dikaji dan dijawab secara
serius oleh para pendukung pendekatan ini. Perdebatan ini justru memperkaya
ranah epistemologi dan mendorong reformulasi konseptual yang lebih matang dan
terbuka⁵.
Dalam konteks global kontemporer—yang ditandai oleh
derasnya arus informasi, pluralitas budaya, fragmentasi wacana, dan krisis
multidimensi—konstruktivisme mampu menyediakan kerangka kerja yang adaptif. Ia
tidak hanya menjelaskan bagaimana pengetahuan terbentuk, tetapi juga memberi
arah normatif tentang bagaimana pengetahuan seharusnya dikembangkan: secara
partisipatif, kontekstual, kritis, dan inklusif⁶. Dalam pendidikan,
konstruktivisme meneguhkan pentingnya pembelajaran berbasis pemaknaan dan
refleksi diri; dalam ilmu pengetahuan, ia menantang monisme metodologis dan
membuka ruang interdisipliner; dalam praksis sosial, ia memperjuangkan etika
epistemik yang menghargai suara-suara marjinal dan pengalaman lokal⁷.
Oleh karena itu, konstruktivisme bukan sekadar
pendekatan epistemologis, tetapi juga suatu bentuk praxis filosofis—yakni
keterlibatan sadar dalam proses membangun dunia melalui makna, interaksi, dan
kesadaran. Ia menempatkan “mengetahui” sebagai bagian dari “menjadi,”
dan “belajar” sebagai bagian dari “mengada bersama yang lain.”
Dengan demikian, dalam kerangka pemikiran abad
ke-21 yang menuntut pemahaman yang fleksibel, reflektif, dan tanggap terhadap
kompleksitas, konstruktivisme tetap dan akan terus menjadi pilar penting dalam
pembaruan epistemologi, pendidikan, dan budaya pengetahuan global.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child (New York: Basic Books, 1954), 7–15.
[2]
Lev Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–98.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer Press, 1995), 21–25.
[4]
Joe L. Kincheloe, Knowledge and Critical
Pedagogy: An Introduction (Amsterdam: Springer, 2008), 91–99.
[5]
Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against
Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 5–10.
[6]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of
the South: Justice against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm Publishers,
2014), 17–20.
[7]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals:
Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey,
1988), 29–33.
Daftar Pustaka
Berger, P. L., &
Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the
sociology of knowledge. Anchor Books.
Bhaskar, R. (2008). A
realist theory of science (2nd ed.). Verso.
Boghossian, P. A. (2006). Fear
of knowledge: Against relativism and constructivism. Clarendon Press.
boyd, d. (2014). It's
complicated: The social lives of networked teens. Yale University Press.
Bruner, J. (1996). The
culture of education. Harvard University Press.
Collins, P. H. (2000). Black
feminist thought: Knowledge, consciousness, and the politics of empowerment
(2nd ed.). Routledge.
Dawkins, R. (2003). The
devil’s chaplain: Reflections on hope, lies, science, and love. Houghton
Mifflin.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition.
Routledge.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Funtowicz, S., &
Ravetz, J. R. (1993). Science for the post-normal age. Futures, 25(7),
739–755. https://doi.org/10.1016/0016-3287(93)90022-L
Gergen, K. J. (2009). An
invitation to social construction (2nd ed.). SAGE Publications.
Giroux, H. A. (1988). Teachers
as intellectuals: Toward a critical pedagogy of learning. Bergin &
Garvey.
Giroux, H. A. (1997). Pedagogy
and the politics of hope: Theory, culture, and schooling. Westview Press.
Glasersfeld, E. von.
(1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. Falmer
Press.
Glasersfeld, E. von.
(1995). Why I consider myself a constructivist. In L. P. Steffe & J. Gale
(Eds.), Constructivism in education (pp. 3–15). Lawrence Erlbaum
Associates.
Haack, S. (1998). Manifesto
of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago
Press.
Johnson, D. W., Johnson, R.
T., & Smith, K. A. (1991). Active learning: Cooperation in the college
classroom. Interaction Book Company.
Kincheloe, J. L. (1991). Teachers
as researchers: Qualitative inquiry as a path to empowerment. Falmer
Press.
Kincheloe, J. L. (2008). Knowledge
and critical pedagogy: An introduction. Springer.
Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Wayne State University Press.
Lather, P. (1991). Getting
smart: Feminist research and pedagogy with/in the postmodern. Routledge.
Latour, B. (1987). Science
in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard
University Press.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Phillips, D. C. (1995). The
good, the bad, and the ugly: The many faces of constructivism. Educational
Researcher, 24(7), 5–12. https://doi.org/10.3102/0013189X024007005
Piaget, J. (1954). The
construction of reality in the child. Basic Books.
Piaget, J. (1952). The
origins of intelligence in children. International Universities Press.
Putnam, H. (1981). Reason,
truth and history. Cambridge University Press.
Rogoff, B. (1990). Apprenticeship
in thinking: Cognitive development in social context. Oxford University
Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.
Steffe, L. P., & Gale,
J. (Eds.). (1995). Constructivism in education. Lawrence Erlbaum Associates.
Turkle, S. (2005). The
second self: Computers and the human spirit (20th Anniversary Ed.). MIT
Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.
Vygotsky, L. S. (1986). Thought
and language (A. Kozulin, Trans.). MIT Press.
Wiggins, G., & McTighe,
J. (2005). Understanding by design (Expanded 2nd ed.). ASCD.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar