Konservatisme
Tradisi, Nilai-Nilai Dasar, dan Tantangan Abad ke-21
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
konservatisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik.
Dimulai dari asal-usul historisnya yang berakar pada reaksi terhadap Revolusi
Prancis, konservatisme dipahami sebagai pendekatan normatif yang menekankan
pentingnya tradisi, otoritas moral, keteraturan sosial, dan perubahan yang bertahap.
Prinsip-prinsip dasar konservatisme seperti pandangan organik terhadap
masyarakat, penghormatan terhadap institusi, serta sikap skeptis terhadap
proyek-proyek utopis modern menjadi landasan filosofis dari pendekatan ini.
Artikel ini juga mengulas berbagai varian konservatisme—klasik, sosial,
ekonomi, budaya, neokonservatif, paleokonservatif—serta kontribusi
pemikir-pemikir utama seperti Edmund Burke, Russell Kirk, Michael Oakeshott,
dan Roger Scruton. Tidak hanya itu, kajian ini menyajikan kritik-kritik
terhadap konservatisme dari berbagai perspektif ideologis dan mengkaji
relevansinya dalam menghadapi tantangan abad ke-21 seperti populisme,
globalisasi, teknologi, dan krisis moral. Dengan pendekatan filosofis dan
historis, artikel ini menunjukkan bahwa konservatisme tetap merupakan wacana
yang hidup dan adaptif dalam konstelasi pemikiran politik kontemporer, selama
ia mampu berdialog secara reflektif dengan dinamika zaman tanpa meninggalkan
komitmennya terhadap tatanan moral dan sosial.
Kata Kunci: Konservatisme, filsafat politik, tradisi, perubahan
sosial, otoritas moral, modernitas, populisme, nilai-nilai tradisional, Edmund
Burke, tatanan sosial.
PEMBAHASAN
Konservatisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Konservatisme merupakan salah satu aliran paling
berpengaruh dalam sejarah pemikiran sosial-politik Barat yang menekankan
pentingnya warisan budaya, stabilitas sosial, dan otoritas moral dalam menjaga
keberlangsungan masyarakat. Dalam filsafat sosial-politik, konservatisme tidak
hanya merujuk pada sikap atau preferensi terhadap masa lalu, tetapi juga
merupakan suatu kerangka konseptual yang memandang perubahan sosial dengan
sikap hati-hati, dan cenderung mendukung evolusi sosial yang bertahap daripada
revolusi yang radikal atau utopis¹.
Pemikiran konservatif muncul sebagai tanggapan
terhadap dinamika sosial-politik yang dianggap mengancam ketertiban dan
kestabilan masyarakat. Khususnya, Revolusi Prancis tahun 1789 sering disebut
sebagai momen kunci dalam lahirnya konservatisme modern. Tokoh seperti Edmund
Burke mengkritik keras ide-ide revolusioner karena dianggap melemahkan tradisi,
institusi, dan nilai-nilai moral yang telah teruji oleh waktu². Sejak saat itu,
konservatisme berkembang sebagai kritik terhadap rasionalisme radikal,
individualisme liberal, dan kesetaraan sosial yang dicanangkan oleh sosialisme
atau komunisme.
Dalam konteks filsafat sosial-politik,
konservatisme berperan sebagai wacana normatif yang menempatkan pentingnya
kebajikan moral, keluarga, komunitas, dan otoritas sebagai pilar peradaban yang
harus dipelihara³. Meskipun konservatisme memiliki variasi di berbagai negara
dan budaya, prinsip intinya tetap sama: mempertahankan tatanan sosial yang
stabil, menolak eksperimen sosial yang ekstrem, dan menghargai kebijaksanaan
tradisi.
Kajian terhadap konservatisme menjadi semakin
relevan di abad ke-21, ketika dunia menghadapi disrupsi besar akibat
globalisasi, teknologi digital, migrasi massal, dan krisis identitas. Di tengah
arus perubahan yang cepat, konservatisme muncul sebagai respons terhadap
keresahan sosial dan kultural, menawarkan narasi tentang ketertiban,
keteraturan, dan warisan nilai yang dianggap stabil dan permanen⁴. Namun,
kebangkitan konservatisme juga tidak luput dari kontroversi, terutama ketika
dikaitkan dengan populisme sayap kanan, nasionalisme sempit, dan resistensi
terhadap pluralisme.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
komprehensif tentang konservatisme dalam kerangka filsafat sosial-politik,
mulai dari asal-usul historisnya, prinsip-prinsip dasarnya, varian
pemikirannya, hingga kritik dan tantangan kontemporernya. Dengan pendekatan
historis-filosofis yang berpijak pada sumber-sumber akademik, pembahasan ini
diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap salah satu orientasi politik
yang paling berpengaruh dan kontroversial dalam dunia modern.
Catatan Kaki
[1]
Roger Scruton, The Meaning of Conservatism
(London: Palgrave Macmillan, 2001), 2.
[2]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in
France (London: J. Dodsley, 1790), 24–25.
[3]
Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke
to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–10.
[4]
Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism
from Edmund Burke to Donald Trump (New York: Oxford University Press,
2018), 1–5.
2.
Asal-Usul
Historis Konservatisme
Konservatisme sebagai doktrin sosial-politik yang
eksplisit baru terbentuk pada akhir abad ke-18, meskipun akar-akar gagasan
konservatif telah tertanam dalam tradisi sosial manusia selama berabad-abad. Pandangan
konservatif dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan klasik seperti karya Plato
dan Aristoteles, yang menekankan pentingnya tatanan sosial, peran kebajikan,
dan fungsi institusi dalam menjaga kestabilan masyarakat¹. Namun, konservatisme
sebagai aliran filsafat politik yang terorganisasi secara historis muncul
sebagai reaksi terhadap radikalisme dan revolusi yang melanda Eropa, terutama
Revolusi Prancis tahun 1789.
Revolusi Prancis, yang menggulingkan monarki
absolut dan menggantinya dengan prinsip-prinsip egalitarianisme, sekularisme,
dan rasionalisme universal, dianggap oleh para pemikir konservatif sebagai
ancaman serius terhadap tatanan sosial yang mapan. Dalam konteks inilah Edmund
Burke (1729–1797), seorang negarawan dan filsuf asal Inggris, menulis Reflections
on the Revolution in France (1790), karya monumental yang sering dipandang
sebagai fondasi intelektual konservatisme modern². Burke mengkritik keras
kecenderungan revolusioner yang menolak warisan sejarah, institusi tradisional,
dan kebijaksanaan yang terkandung dalam praktik-praktik sosial yang telah
teruji oleh waktu. Baginya, masyarakat adalah kontrak antara generasi masa
lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak boleh dibongkar atas dasar idealisme
spekulatif semata³.
Dalam pemikiran Burke, tradisi, agama, dan hierarki
sosial tidak hanya memiliki nilai pragmatis tetapi juga merupakan manifestasi
dari kebijaksanaan kolektif yang diwariskan secara historis. Ia menolak ide
bahwa masyarakat dapat dibentuk kembali dari nol melalui rasionalitas manusia
semata—suatu pandangan yang pada akhirnya membedakan konservatisme dari
rasionalisme politik liberal dan sosialisme⁴.
Pasca Burke, konservatisme terus berkembang seiring
perubahan politik di Eropa dan Amerika. Di Inggris, konservatisme menjadi landasan
bagi Partai Tory yang kemudian menjadi Partai Konservatif. Di benua Eropa,
konservatisme terwujud dalam bentuk monarki konstitusional dan dukungan
terhadap Gereja sebagai institusi sosial utama. Sementara itu, di Amerika
Serikat, konservatisme mengambil bentuk yang lebih plural, seringkali dikaitkan
dengan pembelaan terhadap Konstitusi, pasar bebas, dan nilai-nilai moral
tradisional⁵.
Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, konservatisme
mengalami artikulasi ulang untuk menanggapi tantangan-tantangan modern seperti
industrialisasi, demokratisasi, sosialisme, dan perubahan budaya. Di masa
Perang Dingin, misalnya, konservatisme Amerika tampil dalam bentuk “fusionisme”,
yaitu penggabungan antara konservatisme moral dan kapitalisme pasar bebas, sebagaimana
dipromosikan oleh tokoh-tokoh seperti William F. Buckley Jr. dan Irving
Kristol⁶.
Dengan demikian, konservatisme tidak muncul sebagai
sistem filosofis yang sistematis sejak awal, melainkan sebagai respons historis
terhadap perubahan sosial-politik yang dianggap terlalu cepat dan mengancam
struktur nilai yang sudah mapan. Justru dalam sifat reaktif dan adaptif inilah
konservatisme memperoleh vitalitas dan keberlanjutan dalam berbagai konteks
budaya dan geografis.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Visions of Politics: Volume I:
Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 127–128.
[2]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in
France (London: J. Dodsley, 1790), 7–9.
[3]
Ibid., 96–97.
[4]
Roger Scruton, Conservatism: An Invitation to
the Great Tradition (New York: All Points Books, 2018), 31–34.
[5]
Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke
to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 29–35.
[6]
George H. Nash, The Conservative Intellectual
Movement in America Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 123–126.
3.
Prinsip-Prinsip
Dasar Konservatisme
Konservatisme tidak
hadir sebagai doktrin politik yang sepenuhnya sistematis dan seragam seperti
liberalisme atau sosialisme. Sebaliknya, konservatisme lebih menyerupai sikap
moral dan pendekatan terhadap kehidupan sosial yang menekankan pentingnya
stabilitas, kontinuitas, dan kehati-hatian dalam menghadapi perubahan. Meski
demikian, beberapa prinsip dasar dapat diidentifikasi sebagai fondasi utama
dari pemikiran konservatif, terutama dalam konteks filsafat sosial-politik.
3.1. Primasi Tradisi dan Kebijaksanaan Historis
Konservatisme
memandang tradisi sebagai warisan kebijaksanaan kolektif yang terakumulasi dari
pengalaman generasi terdahulu. Tradisi bukan sekadar kebiasaan lama, tetapi
bentuk konkret dari norma-norma moral, praktik sosial, dan institusi yang telah
teruji oleh waktu. Edmund Burke menegaskan bahwa masyarakat bukanlah hasil dari
kontrak sosial semata, melainkan “sebuah kemitraan tidak hanya antara yang hidup,
tetapi juga dengan mereka yang telah meninggal dan yang akan datang”¹.
Dengan demikian, konservatisme memandang perubahan yang terlalu cepat sebagai
ancaman terhadap stabilitas dan kontinuitas moral.
3.2. Pandangan Organik terhadap Masyarakat
Bagi kaum konservatif,
masyarakat adalah suatu organisme hidup, bukan kumpulan individu atomistik
sebagaimana diasumsikan oleh teori liberal klasik. Struktur sosial seperti
keluarga, agama, dan komunitas lokal memiliki fungsi esensial yang membentuk
identitas dan tatanan sosial. Roger Scruton menegaskan bahwa masyarakat yang
sehat bergantung pada "tali pengikat loyalitas, adat, dan
pengorbanan" yang tidak dapat direduksi menjadi kontrak rasional semata².
Oleh sebab itu, intervensi radikal dari negara atau revolusi sosial dianggap
dapat merusak keseimbangan organik ini.
3.3. Keterbatasan Rasio dan Skeptisisme terhadap
Utopianisme
Konservatisme
berangkat dari asumsi bahwa akal manusia bersifat terbatas, sehingga usaha
membangun masyarakat sempurna berdasarkan skema rasional sering kali berujung
pada tirani. Michael Oakeshott membedakan antara "politics of faith"
(politik iman) yang utopis dan "politics of skepticism"
(politik skeptis) yang konservatif; ia menekankan bahwa politik seharusnya
mengelola ketertiban, bukan mengubah dunia berdasarkan blueprint ideologis³.
Pandangan ini melahirkan sikap hati-hati terhadap rekayasa sosial dan penolakan
terhadap eksperimentalisme politik.
3.4. Pentingnya Otoritas dan Hierarki Sosial
Konservatisme
menekankan peran penting otoritas dalam menjaga ketertiban dan moralitas
publik. Hierarki sosial dipandang bukan sebagai bentuk ketidakadilan, melainkan
sebagai refleksi dari fungsi-fungsi yang berbeda dalam masyarakat. Russell Kirk
menulis bahwa "ketimpangan sosial yang wajar bukanlah tanda ketidakadilan,
tetapi syarat dari keberlangsungan peradaban"⁴. Karena itu,
konservatisme cenderung mendukung tatanan sosial yang terstruktur dan
menghindari kesetaraan yang dianggap merusak kohesi sosial.
3.5. Peran Sentral Moralitas dan Agama
Dalam konservatisme,
agama dan moralitas tradisional dipandang sebagai fondasi bagi kebudayaan dan
tata nilai masyarakat. Agama berfungsi bukan hanya sebagai keyakinan pribadi,
tetapi juga sebagai institusi sosial yang menjaga norma dan perilaku.
Konservatisme menolak relativisme moral dan menekankan pentingnya nilai-nilai
tetap yang memberi arah bagi kehidupan bersama. Dalam pemikiran Scruton, “agama
adalah pembawa moral kolektif dan sumber kesakralan dalam kehidupan sipil”⁵.
3.6. Evolusi Sosial, Bukan Revolusi
Konservatisme tidak
menolak perubahan, namun menekankan bahwa perubahan harus bersifat evolusioner,
bertahap, dan berakar dalam tradisi. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan
revolusioner seringkali membawa kehancuran sosial, sebagaimana dalam pengalaman
Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, maupun Revolusi Kebudayaan di Tiongkok.
Oleh karena itu, konservatisme mengedepankan prinsip “reformasi yang
berhati-hati”, bukan transformasi radikal⁶.
Dengan keenam
prinsip tersebut, konservatisme tampil sebagai aliran filsafat sosial-politik
yang berorientasi pada stabilitas, tanggung jawab moral, dan penghormatan
terhadap warisan historis. Meskipun sering dikritik sebagai anti-progresif atau
reaksioner, konservatisme justru menawarkan perspektif yang menekankan
keberlanjutan nilai-nilai mendasar dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
Catatan Kaki
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London:
J. Dodsley, 1790), 96–97.
[2]
Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury,
2014), 5–7.
[3]
Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays
(Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 11–14.
[4]
Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot
(Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 18–19.
[5]
Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton
University Press, 2014), 115–117.
[6]
Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery (Washington, DC:
Regnery Gateway, 2022), 57–60.
4.
Varian
dan Spektrum Konservatisme
Konservatisme
bukanlah doktrin yang bersifat monolitik. Meskipun prinsip-prinsip utamanya menekankan
pentingnya tradisi, stabilitas, dan moralitas publik, bentuk ekspresi dan
penekanan konservatisme berbeda-beda tergantung pada konteks historis,
geografis, dan budaya. Dalam perkembangan sejarahnya, konservatisme telah
memunculkan beragam varian yang mencerminkan respons terhadap tantangan sosial
dan politik di zamannya. Beberapa spektrum utama konservatisme meliputi
konservatisme klasik, sosial, ekonomi, budaya, serta varian seperti
neokonservatisme dan paleokonservatisme.
4.1. Konservatisme Klasik
Konservatisme klasik
merujuk pada tradisi intelektual yang berakar pada pemikiran Edmund Burke dan
tokoh-tokoh setelahnya yang menekankan pentingnya tatanan sosial, hierarki,
agama, dan kebajikan sipil. Varian ini bersifat skeptis terhadap rasionalisme dan
perubahan radikal, serta menempatkan pentingnya institusi tradisional sebagai
penopang kehidupan bersama¹. Konservatisme klasik lebih bersifat
normatif-filosofis dan sangat berakar pada warisan Eropa pasca-Revolusi
Prancis.
4.2. Konservatisme Sosial
Konservatisme sosial
berfokus pada pelestarian nilai-nilai moral, agama, dan keluarga sebagai
fondasi dari masyarakat yang stabil. Varian ini sering terlibat aktif dalam
isu-isu seperti pernikahan tradisional, penolakan terhadap aborsi, dan peran
agama dalam kehidupan publik. Di Amerika Serikat, konservatisme sosial menjadi
kekuatan signifikan dalam politik sejak 1980-an melalui dukungan terhadap
gerakan Moral Majority dan Partai Republik². Konservatisme sosial juga menolak
relativisme budaya dan menekankan identitas moral kolektif.
4.3. Konservatisme Ekonomi
Konservatisme
ekonomi menekankan pada pentingnya pasar bebas, kepemilikan pribadi, dan
pembatasan peran negara dalam urusan ekonomi. Varian ini memiliki kedekatan
dengan liberalisme klasik, namun tetap dibingkai oleh pandangan konservatif
mengenai tanggung jawab moral dan stabilitas sosial. Tokoh seperti Friedrich
Hayek dan Milton Friedman sering dikaitkan dengan pendekatan ini, meskipun
beberapa konservatif tradisional mengkritik individualisme pasar yang terlalu
dominan³.
4.4. Konservatisme Budaya
Konservatisme budaya
berfokus pada perlindungan warisan kebudayaan nasional, bahasa, seni, dan
identitas kolektif suatu bangsa. Di tengah arus globalisasi dan
multikulturalisme, konservatisme budaya sering menjadi wadah resistensi
terhadap homogenisasi budaya dan hilangnya identitas lokal. Tokoh seperti Roger
Scruton menekankan pentingnya keindahan, tradisi estetika, dan budaya tinggi
sebagai unsur penting dari konservatisme⁴.
4.5. Neokonservatisme
Neokonservatisme
berkembang di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20, terutama di kalangan
intelektual yang semula berhaluan liberal atau sosialis, namun kecewa terhadap
kebijakan negara kesejahteraan dan kebudayaan permissif. Neokonservatif
cenderung mendukung nilai-nilai tradisional, pasar bebas, serta kebijakan luar
negeri yang intervensionis demi menyebarkan demokrasi. Irving Kristol, tokoh
sentral neokonservatisme, menyebut dirinya sebagai “liberal yang diserang
realitas”⁵. Varian ini sangat memengaruhi kebijakan luar negeri AS, khususnya
pada masa pemerintahan George W. Bush.
4.6. Paleokonservatisme
Paleokonservatisme
muncul sebagai reaksi terhadap neokonservatisme, menekankan nasionalisme,
isolasionisme, dan penolakan terhadap campur tangan global. Varian ini
mengkritik imigrasi massal, perdagangan bebas, dan multikulturalisme sebagai
ancaman terhadap identitas nasional dan moralitas tradisional. Tokoh-tokohnya
seperti Pat Buchanan dan Samuel T. Francis dikenal karena sikap proteksionis
dan populis yang kuat⁶. Paleokonservatisme sering dikaitkan dengan gerakan
nasionalis sayap kanan.
4.7. Konservatisme dalam Konteks Non-Barat
Meskipun
konservatisme berkembang dalam tradisi politik Barat, varian-varian konservatif
juga muncul dalam konteks non-Barat. Di banyak negara Asia dan Timur Tengah,
konservatisme mengambil bentuk pelestarian tatanan sosial yang berakar pada
agama, adat, dan nilai-nilai kolektif. Di Indonesia, misalnya, konservatisme
kultural sering terkait dengan upaya mempertahankan nilai-nilai religius dan
etika tradisional dalam menghadapi arus sekularisasi dan liberalisasi⁷. Dengan
demikian, konservatisme menunjukkan kapasitas adaptif terhadap nilai-nilai
lokal.
Catatan Kaki
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London:
J. Dodsley, 1790), 96–97.
[2]
George H. Nash, The Conservative Intellectual Movement in America
Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 191–195.
[3]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 1944), 67–70.
[4]
Roger Scruton, Culture Counts: Faith and Feeling in a World Besieged
(New York: Encounter Books, 2007), 12–15.
[5]
Irving Kristol, Neoconservatism: The Autobiography of an Idea
(New York: Free Press, 1995), xi.
[6]
Samuel T. Francis, Beautiful Losers: Essays on the Failure of
American Conservatism (Columbia: University of Missouri Press, 1993),
21–24.
[7]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 141–145.
5.
Konservatisme
dan Kritik terhadap Modernitas
Salah satu karakter
utama konservatisme adalah posisinya yang kritis terhadap gagasan-gagasan dan
realitas sosial yang lahir dari modernitas. Dalam wacana filsafat
sosial-politik, konservatisme memandang modernitas bukan sebagai kemajuan
mutlak, melainkan sebagai proses ambivalen yang membawa serta dampak-dampak
negatif terhadap tatanan moral, institusional, dan spiritual masyarakat. Kritik
konservatif terhadap modernitas mencakup sejumlah dimensi, mulai dari
rasionalisme ekstrem, individualisme liberal, relativisme moral, hingga krisis
otoritas dan komunitas dalam masyarakat modern.
5.1. Kritik terhadap Rasionalisme dan Emansipasi Radikal
Konservatisme secara
historis memosisikan diri sebagai oposisi terhadap proyek modernitas yang
didasarkan pada rasionalisme abstrak dan emansipasi radikal. Revolusi Prancis
menjadi titik tolak utama kritik ini. Edmund Burke menganggap bahwa upaya
membangun masyarakat hanya berdasarkan prinsip-prinsip akal dan kehendak
individu akan mengakibatkan kehancuran institusi yang telah terbukti secara
historis menopang kehidupan sosial¹. Bagi kaum konservatif, pemutusan hubungan
dengan tradisi melalui “tabula rasa” politik atau “rekayasa sosial”
merupakan bentuk arogansi intelektual yang berbahaya.
5.2. Penolakan terhadap Individualisme Liberal
Modernitas identik
dengan penekanan pada kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Namun,
konservatisme mengkritik kecenderungan liberal ini karena dianggap mengikis
tanggung jawab moral dan ikatan sosial antaranggota masyarakat. Michael
Oakeshott menyatakan bahwa manusia bukan sekadar “pelaku rasional” yang
bebas dari keterikatan, tetapi makhluk sosial yang hidup dalam komunitas yang
penuh makna historis dan moral². Konservatisme menilai bahwa pelembagaan
individualisme ekstrem justru menyebabkan alienasi, fragmentasi sosial, dan
melemahnya solidaritas.
5.3. Kritik terhadap Relativisme Moral dan Sekularisme
Dalam konteks nilai
dan etika, konservatisme menentang relativisme moral yang dianggap sebagai ciri
khas masyarakat modern. Roger Scruton melihat relativisme sebagai bentuk
peluruhan norma dan kehilangan rasa hormat terhadap hal-hal yang sakral³.
Sekularisme yang berkembang dalam proyek modernisasi juga dikritik karena
meminggirkan peran agama sebagai fondasi etika dan komunitas. Tanpa kerangka
nilai yang kokoh, konservatisme berpendapat bahwa masyarakat akan terjerumus
dalam hedonisme, nihilisme, dan krisis eksistensial.
5.4. Pandangan terhadap Globalisasi dan Krisis Identitas
Dalam fase
modernitas lanjut (late modernity), globalisasi membawa transformasi besar
dalam bidang ekonomi, komunikasi, dan mobilitas manusia. Meskipun membawa
manfaat praktis, konservatisme menganggap globalisasi sebagai kekuatan yang
mendegradasi identitas lokal, merusak tatanan kebudayaan nasional, dan
menciptakan masyarakat yang tercerabut dari akarnya. Yoram Hazony berpendapat
bahwa proyek universalitas modern telah gagal memahami pentingnya komunitas dan
tradisi sebagai tempat pembentukan identitas dan makna hidup⁴. Konservatisme
menolak homogenisasi global yang mengabaikan pluralitas historis dan kultural.
5.5. Kritik terhadap Demokrasi Radikal dan Populisme
Konservatisme juga
menyuarakan keprihatinan terhadap bentuk-bentuk demokrasi yang kehilangan
orientasi pada kebajikan dan otoritas. Demokrasi, ketika dilepaskan dari
fondasi moral dan tradisionalnya, dapat berubah menjadi populisme emosional
atau mobokrasi yang tidak stabil. Russell Kirk mengingatkan bahwa demokrasi
yang sehat memerlukan pengakuan terhadap hierarki moral dan keterbatasan
kekuasaan rakyat, bukan sekadar afirmasi terhadap kehendak mayoritas tanpa
panduan nilai⁵. Dalam hal ini, konservatisme menekankan bahwa kebebasan politik
harus dibingkai oleh disiplin dan tanggung jawab.
5.6. Respons terhadap Modernitas: Adaptasi, Bukan
Penolakan Total
Meskipun bersikap
kritis terhadap modernitas, konservatisme bukanlah gerakan anti-modern. Dalam
sejarahnya, konservatisme telah menunjukkan kapasitas adaptif terhadap
modernitas tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional. Dalam bentuk yang lebih
konstruktif, konservatisme menyerukan adanya modernitas yang berakar (rooted
modernity), yaitu integrasi antara inovasi dengan penghormatan terhadap
moralitas, warisan budaya, dan struktur sosial yang telah terbukti⁶. Oleh
karena itu, konservatisme tidak menolak perubahan, melainkan menyerukan agar
perubahan diarahkan melalui pertimbangan etis dan historis yang matang.
Catatan Kaki
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London:
J. Dodsley, 1790), 88–89.
[2]
Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays
(Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 34–36.
[3]
Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton
University Press, 2014), 100–104.
[4]
Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery (Washington, DC:
Regnery Gateway, 2022), 51–53.
[5]
Russell Kirk, The Politics of Prudence (Wilmington: ISI Books,
1993), 62–64.
[6]
Patrick J. Deneen, Why Liberalism Failed (New Haven: Yale
University Press, 2018), 201–204.
6.
Konservatisme
dalam Kebijakan Publik
Konservatisme
sebagai filsafat politik tidak hanya hadir dalam tataran ide, tetapi juga
mempengaruhi formulasi kebijakan publik dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Prinsip-prinsip konservatif yang menekankan stabilitas, moralitas,
tradisi, dan tanggung jawab individu menjadi landasan normatif dalam perumusan
kebijakan negara, baik dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, maupun budaya.
Dalam praktiknya, konservatisme tidak menyodorkan satu model kebijakan tunggal,
melainkan pendekatan normatif yang menilai setiap kebijakan berdasarkan
keberpihakannya pada tatanan sosial yang lestari, nilai-nilai moral, dan
keseimbangan otoritas.
6.1. Kebijakan Hukum dan Ketertiban
Konservatisme
menekankan pentingnya supremasi hukum, penegakan otoritas, dan perlindungan
terhadap tatanan sosial. Dalam kebijakan hukum, pendekatan konservatif menolak
relativisme normatif dan lebih menekankan pada stabilitas dan kontinuitas
prinsip hukum yang diwariskan secara historis. Oleh karena itu, kaum
konservatif umumnya mendukung penegakan hukum yang tegas, penolakan terhadap
impunitas, serta kritik terhadap aktivisme yudisial yang dianggap melampaui
batas peran pengadilan dalam menginterpretasi hukum positif¹. Dalam konteks
Amerika Serikat, pendekatan "originalist" atau "textualist"
dalam menafsirkan konstitusi, seperti yang dianut oleh Hakim Antonin Scalia,
mencerminkan semangat konservatif yang menolak reinterpretasi hukum secara
progresif dan spekulatif².
6.2. Politik Ekonomi dan Peran Negara
Dalam bidang
ekonomi, konservatisme menganjurkan tanggung jawab fiskal, pasar bebas yang
dikendalikan secara moral, serta peran negara yang terbatas namun strategis.
Meski memiliki titik temu dengan liberalisme ekonomi, konservatisme membedakan
diri melalui kritiknya terhadap materialisme dan individualisme pasar yang
ekstrem. Friedrich Hayek, meskipun sering dikaitkan dengan konservatisme
ekonomi, mengingatkan bahwa pasar harus dilandasi oleh norma dan institusi
sosial yang kuat untuk mencegah disintegrasi moral masyarakat³. Konservatif
menolak kebijakan negara kesejahteraan yang terlalu besar, bukan karena
antipati terhadap keadilan sosial, tetapi karena khawatir terhadap
ketergantungan terhadap negara dan lemahnya inisiatif individu.
6.3. Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Pendidikan dalam
perspektif konservatif dipandang sebagai medium transmisi nilai dan peradaban,
bukan sekadar proses mekanik transfer pengetahuan. Oleh karena itu,
konservatisme menekankan kurikulum berbasis warisan budaya, disiplin
intelektual klasik, dan pembentukan karakter moral⁴. Roger Scruton misalnya,
mengkritik keras model pendidikan progresif yang terlalu menekankan ekspresi
diri dan kebebasan individu, sementara mengabaikan dimensi otoritas, hierarki
pengetahuan, dan nilai-nilai tradisional⁵. Kebijakan pendidikan berbasis
konservatisme akan lebih mendukung kurikulum humaniora, penguatan sejarah
nasional, dan pelajaran agama atau etika publik sebagai fondasi moral warga
negara.
6.4. Kebudayaan dan Identitas Nasional
Dalam kebijakan
kebudayaan, konservatisme menekankan pelestarian identitas nasional, warisan
budaya, dan simbol-simbol historis bangsa. Hal ini tercermin dalam penolakan
terhadap narasi dekonstruktif terhadap sejarah nasional atau penolakan terhadap
relativisme budaya yang menghapus batas antara nilai luhur dan kebiasaan
destruktif. Konservatisme cenderung mendukung kebijakan yang memperkuat
kebanggaan nasional, termasuk konservasi situs sejarah, pemuliaan bahasa
nasional, dan resistensi terhadap pengaruh budaya asing yang dianggap merusak
nilai lokal⁶.
6.5. Keluarga, Moral Publik, dan Kebijakan Sosial
Konservatisme sangat
menekankan pentingnya keluarga tradisional sebagai institusi inti masyarakat.
Oleh karena itu, dalam kebijakan sosial, kaum konservatif menolak pernikahan
sejenis, legalisasi narkoba, atau liberalisasi aborsi yang dianggap merusak
moral publik. Mereka mendukung insentif bagi keluarga inti, penguatan peran
orang tua dalam pendidikan anak, serta pembatasan terhadap konten media yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga⁷. Dalam banyak kasus, konservatisme
berkoalisi dengan kekuatan keagamaan dalam memperjuangkan kebijakan berbasis
nilai.
6.6. Kebijakan Luar Negeri: Stabilitas dan Kepentingan
Nasional
Dalam kebijakan luar
negeri, konservatisme cenderung menolak utopianisme global dan lebih menekankan
pada realisme politik serta kepentingan nasional. Beberapa varian konservatif
seperti neokonservatisme mendukung intervensi militer untuk menyebarkan
demokrasi, namun varian lain seperti paleokonservatisme cenderung menganjurkan
isolasionisme dan non-intervensi. Meski berbeda dalam strategi, keduanya
sepakat bahwa kebijakan luar negeri harus dibingkai oleh kepentingan nasional,
bukan agenda global yang idealistik⁸.
Catatan Kaki
[1]
Roger Scruton, The Meaning of Conservatism (London: Palgrave
Macmillan, 2001), 67–70.
[2]
Antonin Scalia, A Matter of Interpretation: Federal Courts and the
Law (Princeton: Princeton University Press, 1997), 38–40.
[3]
Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), 58–61.
[4]
E. D. Hirsch Jr., Cultural Literacy: What Every American Needs to
Know (New York: Vintage, 1988), 12–15.
[5]
Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New
Left (London: Bloomsbury, 2015), 101–104.
[6]
Yoram Hazony, The Virtue of Nationalism (New York: Basic
Books, 2018), 93–96.
[7]
Patrick J. Deneen, Why Liberalism Failed (New Haven: Yale
University Press, 2018), 155–157.
[8]
Samuel T. Francis, Beautiful Losers: Essays on the Failure of
American Conservatism (Columbia: University of Missouri Press, 1993),
45–47.
7.
Tokoh-Tokoh
Utama dalam Tradisi Konservatif
Tradisi intelektual
konservatif dibentuk dan diperkaya oleh sejumlah pemikir besar yang memberikan
fondasi filosofis, moral, dan praktis bagi gerakan ini. Mereka berasal dari
konteks budaya, geografis, dan sejarah yang beragam, namun memiliki benang
merah yang sama dalam hal penekanan terhadap tatanan sosial, otoritas moral,
dan kontinuitas sejarah. Pemikiran mereka tidak hanya memberikan legitimasi
filosofis terhadap konservatisme, tetapi juga berkontribusi terhadap formulasi
kebijakan publik dan panduan etis dalam masyarakat modern.
7.1. Edmund Burke (1729–1797)
Edmund Burke
dianggap sebagai bapak konservatisme modern. Dalam Reflections on the Revolution in France
(1790), ia menolak keras radikalisme Revolusi Prancis dan mengedepankan
pentingnya tradisi, institusi, serta kewaspadaan terhadap perubahan sosial yang
terlalu cepat. Baginya, masyarakat adalah hasil dari kontrak historis antar
generasi yang tidak boleh dirusak oleh eksperimen ideologis⁽¹⁾. Burke
menegaskan bahwa warisan historis memiliki nilai moral yang lebih tinggi
daripada idealisme rasional yang abstrak.
7.2. Russell Kirk (1918–1994)
Russell Kirk adalah
figur sentral dalam konservatisme Amerika abad ke-20. Dalam The
Conservative Mind (1953), ia melacak tradisi konservatif dari Burke
hingga T. S. Eliot, dan merumuskan enam prinsip konservatisme, termasuk keyakinan
terhadap tatanan moral, pentingnya kebajikan, dan perlunya pembatasan
kekuasaan⁽²⁾. Kirk menekankan bahwa konservatisme bukan sekadar ideologi
politik, tetapi sebuah cara hidup yang berakar pada nilai, kebijaksanaan, dan
kehormatan.
7.3. Michael Oakeshott (1901–1990)
Oakeshott
memperkenalkan pendekatan konservatif yang lebih filosofis dan skeptis terhadap
politik ideologis. Dalam Rationalism in Politics (1962), ia
membedakan antara "politik iman" dan "politik skeptis",
serta mengecam ambisi rasionalis dalam merekayasa masyarakat⁽³⁾. Ia memandang
konservatisme sebagai seni untuk memelihara, bukan merevolusi. Pandangan ini
memperkaya konservatisme dengan perspektif epistemologis yang menekankan
keterbatasan pengetahuan manusia.
7.4. Roger Scruton (1944–2020)
Roger Scruton adalah
filsuf Inggris kontemporer yang berperan besar dalam membela konservatisme dari
serangan budaya progresif. Dalam karya-karyanya seperti How to
Be a Conservative dan The Soul of the World, Scruton
membela nilai-nilai Barat, keindahan, agama, dan komunitas sebagai unsur yang
membentuk kehidupan yang bermakna⁽⁴⁾. Ia juga aktif dalam perdebatan publik
tentang kebebasan berpendapat, pendidikan, dan estetika konservatif.
7.5. Irving Kristol (1920–2009)
Irving Kristol
dikenal sebagai "bapak neokonservatisme" di Amerika Serikat.
Dalam Neoconservatism:
The Autobiography of an Idea, ia menjelaskan pergeseran ideologinya
dari liberalisme progresif menuju konservatisme karena kekecewaan terhadap
negara kesejahteraan dan nilai-nilai liberal yang dianggap merusak moral
publik⁽⁵⁾. Kristol menekankan bahwa neokonservatisme adalah upaya untuk
mengintegrasikan kebijakan publik pragmatis dengan nilai-nilai moral
tradisional.
7.6. Friedrich A. Hayek (1899–1992)
Meskipun Hayek
menolak label "konservatif" dalam pengertian tradisional,
pemikirannya sangat berpengaruh dalam konservatisme ekonomi. Dalam The Road
to Serfdom, ia mengkritik totalitarianisme dan negara kolektivis,
serta menekankan pentingnya kebebasan individu dan pasar bebas⁽⁶⁾. Ia memperingatkan
bahwa intervensi negara yang berlebihan akan mengarah pada hilangnya kebebasan
sipil.
7.7. Joseph de Maistre (1753–1821)
Seorang pemikir
konservatif Katolik dari Prancis, de Maistre adalah pembela keras monarki
absolut dan otoritas gereja. Ia memandang revolusi sebagai bentuk anarki moral
dan menyerukan kembalinya kekuasaan sakral dan hierarki sosial⁽⁷⁾. Pemikirannya
memperlihatkan sisi teologis konservatisme yang sangat menekankan keteraturan
spiritual.
Para tokoh ini,
meskipun berbeda dalam penekanan dan konteks, bersama-sama membentuk spektrum
pemikiran konservatif yang kaya. Mereka menawarkan pandangan yang bersifat
normatif, reflektif, dan responsif terhadap dinamika sejarah dan modernitas,
sekaligus memberi kerangka etis dan politis yang bertahan lintas generasi.
Catatan Kaki
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London:
J. Dodsley, 1790), 95–98.
[2]
Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot
(Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–12.
[3]
Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays
(Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 6–9.
[4]
Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury,
2014), 15–20.
[5]
Irving Kristol, Neoconservatism: The Autobiography of an Idea
(New York: Free Press, 1995), x–xi.
[6]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 1944), 65–69.
[7]
Joseph de Maistre, Considerations on France (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 34–37.
8.
Kritik
terhadap Konservatisme
Meskipun
konservatisme memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan sosial dan
kontinuitas nilai-nilai tradisional, aliran ini tidak luput dari kritik. Kritik
terhadap konservatisme datang dari berbagai arah, mulai dari kalangan liberal,
sosialis, progresif, hingga pemikir posmodern. Kritik-kritik tersebut
mencerminkan perdebatan mendalam tentang bagaimana masyarakat seharusnya
disusun, sejauh mana perubahan sosial diperlukan, dan apa batas antara
pelestarian dan stagnasi.
8.1. Tuduhan sebagai Ideologi Status Quo dan
Anti-Perubahan
Salah satu kritik
utama terhadap konservatisme adalah bahwa ia cenderung menjadi pembela status
quo yang tidak adil, dengan dalih stabilitas dan kontinuitas. Kaum liberal dan
progresif menilai bahwa konservatisme sering gagal membedakan antara “tradisi
yang bermakna” dan “tradisi yang menindas”¹. Dalam hal ini,
konservatisme dituduh terlalu lambat merespons ketidaksetaraan sosial, seperti
dalam isu hak perempuan, hak minoritas, atau keadilan ekonomi. Pandangan ini
terlihat dalam kritik John Stuart Mill yang menyebut kaum konservatif sebagai “orang-orang
dungu namun gigih” karena terlalu menekankan ketakutan terhadap perubahan².
8.2. Kritik atas Legitimasi Otoritas dan Hierarki
Konservatisme
dituduh memberi legitimasi terhadap struktur hierarkis yang tidak adil, seperti
aristokrasi, patriarki, atau kelas sosial tetap. Dalam pandangan kaum sosialis,
konservatisme cenderung melanggengkan dominasi kelas atas dan menghalangi
redistribusi kekayaan yang adil. Karl Marx melihat konservatisme sebagai bagian
dari ideologi borjuis yang berupaya menjaga kepemilikan dan kekuasaan melalui
institusi-institusi mapan³. Bahkan dalam konteks demokrasi modern,
konservatisme dianggap dapat melahirkan bentuk-bentuk baru dari otoritarianisme
yang terselubung dalam jargon “ketertiban” dan “nilai moral”.
8.3. Ketidaksesuaian dengan Dinamika Masyarakat Plural
dan Global
Dalam masyarakat
modern yang pluralistik dan global, konservatisme sering dikritik karena
eksklusivisme nilai dan kesulitan beradaptasi terhadap realitas multikultural.
Roger Scruton, misalnya, dikritik karena mempertahankan gagasan "budaya
tinggi" Eropa sebagai standar normatif, yang bagi sebagian pengkritik
dianggap mengabaikan keberagaman identitas dan warisan budaya lain⁴.
Konservatisme, dalam bentuknya yang sempit, dinilai dapat menjadi lahan subur
bagi nasionalisme eksklusif, xenofobia, dan bahkan supremasi rasial jika tidak
disertai oleh keterbukaan terhadap perbedaan⁵.
8.4. Relasi Ambigu terhadap Demokrasi dan Kebebasan
Kritikus juga
menyoroti relasi ambigu konservatisme terhadap demokrasi. Di satu sisi,
konservatisme mengklaim membela kebebasan individu dan supremasi hukum; di sisi
lain, pendekatan konservatif yang menekankan hierarki dan otoritas dapat
berseberangan dengan prinsip egalitarianisme dan partisipasi setara dalam demokrasi.
Judith Shklar menilai bahwa konservatisme memiliki kecenderungan “elitisme”
yang melemahkan kapasitas rakyat untuk secara kritis dan aktif terlibat dalam
urusan publik⁶.
8.5. Risiko Anti-Intelektualisme dan Dogmatisme
Konservatisme juga
dikritik karena kadang terjebak dalam dogmatisme atau romantisasi masa lalu
yang tidak kritis. Dalam konteks ini, konservatisme dapat menjadi resisten
terhadap pengetahuan baru, penemuan ilmiah, atau dinamika teknologi. Corey
Robin berargumen bahwa konservatisme pada dasarnya bukan sekadar preferensi
terhadap stabilitas, tetapi merupakan bentuk reaksi terhadap gerakan
emansipatoris, dan oleh karena itu sering kali bersifat kontrarevolusioner⁷.
Hal ini membuka celah bagi konservatisme untuk berkembang sebagai ideologi yang
memusuhi kemajuan intelektual dan inovasi sosial.
8.6. Tantangan Konsistensi Internal
Kritik lain
menyangkut ketidakkonsistenan internal dalam spektrum konservatisme itu
sendiri. Misalnya, konservatisme sosial yang mendukung moralitas kolektif
kadang bertentangan dengan konservatisme ekonomi yang pro pasar bebas dan
individualistik. Neokonservatisme yang mendorong intervensi global sering
dikritik oleh paleokonservatisme yang justru menyerukan non-intervensi.
Ketegangan antar varian ini menunjukkan bahwa konservatisme bukan doktrin yang
sepenuhnya konsisten secara filosofis atau kebijakan, melainkan mozaik
pemikiran yang kadang kontradiktif⁸.
Catatan Kaki
[1]
Michael Freeden, Ideologies and Political Theory: A Conceptual
Approach (Oxford: Oxford University Press, 1996), 330–332.
[2]
John Stuart Mill, On Liberty and Other Essays, ed. John Gray
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 122.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York:
International Publishers, 1970), 64–67.
[4]
Roger Scruton, Culture Counts: Faith and Feeling in a World
Besieged (New York: Encounter Books, 2007), 10–12.
[5]
Martha C. Nussbaum, The Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed
Ideal (Cambridge: Harvard University Press, 2019), 87–89.
[6]
Judith N. Shklar, Ordinary Vices (Cambridge: Harvard
University Press, 1984), 128–130.
[7]
Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism from Edmund Burke
to Donald Trump (New York: Oxford University Press, 2018), 14–16.
[8]
Andrew Vincent, Modern Political Ideologies (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2010), 123–126.
9.
Relevansi
Konservatisme di Abad ke-21
Di tengah perubahan
global yang cepat, munculnya krisis identitas, dan meningkatnya ketidakpastian
sosial, konservatisme kembali mencuat sebagai kekuatan politik dan intelektual
yang signifikan di abad ke-21. Meskipun sering dianggap sebagai warisan masa
lalu, konservatisme menawarkan respons normatif terhadap tantangan zaman
modern, mulai dari degradasi nilai, fragmentasi sosial, hingga gejolak politik
global. Kembali ke prinsip-prinsip dasar seperti tatanan moral, komunitas, dan
otoritas, konservatisme menunjukkan ketahanannya sebagai wacana yang adaptif
namun tetap berakar.
9.1. Respons terhadap Krisis Identitas dan Disorientasi
Moral
Modernitas lanjut
telah melahirkan masyarakat yang makin plural dan cair, namun juga rentan
terhadap krisis identitas dan kehampaan moral. Konservatisme hadir sebagai
respons terhadap apa yang dianggap sebagai disorientasi nilai dalam masyarakat
pascamodern, termasuk individualisme ekstrem, relativisme moral, dan
konsumerisme tanpa arah. Roger Scruton berpendapat bahwa konservatisme
menawarkan “rasa tempat” dan “akar moral” yang sangat dibutuhkan
dalam dunia yang terfragmentasi⁽¹⁾. Konservatisme berusaha mengembalikan
kesadaran terhadap pentingnya tradisi, agama, dan komunitas lokal sebagai
penjaga keteraturan moral.
9.2. Kembalinya Politik Populis Konservatif
Salah satu fenomena
paling mencolok dalam dua dekade terakhir adalah kebangkitan gerakan populis
konservatif di berbagai negara, dari Amerika Serikat, Inggris, hingga Eropa
Timur. Tokoh seperti Donald Trump, Viktor Orbán, dan Jair Bolsonaro
memobilisasi narasi konservatif—baik dalam bentuk penolakan terhadap imigrasi
massal, kritik terhadap globalisasi neoliberal, maupun pemuliaan nilai-nilai
nasional dan agama⁽²⁾. Meskipun sarat kontroversi, fenomena ini menunjukkan
bahwa konservatisme masih memiliki daya tarik politik yang kuat, khususnya
dalam merespons keresahan publik terhadap perubahan sosial dan ekonomi yang
cepat.
9.3. Konservatisme dan Teknologi: Adaptasi atau
Resistensi?
Dalam menghadapi
revolusi digital dan teknologi informasi, konservatisme menghadapi dilema
antara adaptasi dan resistensi. Di satu sisi, konservatif mengkritik dampak
media sosial terhadap tatanan sosial—mulai dari pelemahan otoritas, krisis
perhatian, hingga banalisasi diskursus publik. Di sisi lain, beberapa
konservatif mulai menggunakan teknologi untuk memperkuat jaringan identitas
tradisional dan melawan dominasi wacana progresif dalam ruang digital⁽³⁾.
Relevansi konservatisme terletak pada kemampuannya menilai dampak teknologi
secara etis, bukan hanya utilitarian.
9.4. Konservatisme dan Krisis Global: Migrasi,
Lingkungan, dan Pandemi
Konservatisme juga
mendapat tantangan dalam merespons krisis global kontemporer. Dalam isu
migrasi, konservatif cenderung mendukung kebijakan proteksionis dan
nasionalisme kultural demi menjaga integritas sosial. Dalam isu lingkungan,
terdapat perbedaan antara “ekologisme konservatif” yang mendorong
pelestarian warisan alam, dan konservatisme pasar bebas yang skeptis terhadap
regulasi iklim⁽⁴⁾. Pandemi COVID-19 juga memperlihatkan perbedaan pendekatan
konservatif dalam menyeimbangkan antara kebebasan individu, tanggung jawab
sosial, dan peran negara.
9.5. Peran Konservatisme dalam Wacana Intelektual
Di tengah dominasi
wacana progresif di dunia akademik dan media, konservatisme tetap bertahan
sebagai tradisi intelektual yang kritis. Institusi konservatif seperti The
Heritage Foundation, Claremont Institute, dan National
Review tetap aktif mengembangkan argumentasi berbasis nilai dan
teori politik⁽⁵⁾. Konservatisme menawarkan kontra-narasi terhadap ideologi
pascamodern dan identitas cair dengan menekankan pada keutuhan moral,
pentingnya peradaban, dan penghormatan terhadap sejarah.
9.6. Relevansi Filosofis: Moderasi dalam Era Ekstremisme
Dalam dunia yang
kian terpolarisasi, konservatisme dapat dilihat sebagai alternatif etis yang
menolak ekstremisme dari kiri maupun kanan. Pandangan konservatif yang
menekankan kehati-hatian politik (politics of prudence), stabilitas, dan
nilai-nilai intergenerasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat
yang beradab dan berkelanjutan⁽⁶⁾. Dengan demikian, konservatisme bukan sekadar
gerakan reaktif, melainkan penyumbang penting dalam diskursus moral dan politik
kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury,
2014), 3–6.
[2]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 84–88.
[3]
Mary Anne Franks, The Cult of the Constitution (Stanford:
Stanford University Press, 2019), 102–105.
[4]
Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think Seriously About the
Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 18–21.
[5]
George H. Nash, The Conservative Intellectual Movement in America
Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 291–295.
[6]
Russell Kirk, The Politics of Prudence (Wilmington: ISI Books,
1993), 54–58.
10. Penutup
Konservatisme, sebagai salah satu aliran utama
dalam filsafat sosial-politik, telah menunjukkan daya tahannya dalam menghadapi
dinamika sejarah, mulai dari revolusi sosial abad ke-18 hingga gelombang
globalisasi dan digitalisasi pada abad ke-21. Dengan akar filosofis yang kuat
pada pemikiran Edmund Burke dan diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Russell
Kirk, Michael Oakeshott, dan Roger Scruton, konservatisme menawarkan suatu
pendekatan yang menekankan stabilitas sosial, pentingnya institusi tradisional,
dan kontinuitas nilai-nilai moral dalam masyarakat¹.
Sepanjang artikel ini, telah dibahas bahwa
konservatisme bukanlah ideologi yang menolak perubahan secara mutlak, tetapi
mengedepankan perubahan yang hati-hati, gradual, dan berakar pada pengalaman
historis serta kebijaksanaan kolektif. Dalam konteks masyarakat modern yang
kompleks dan pluralistik, konservatisme dapat berperan sebagai penyeimbang
terhadap arus radikalisme ideologis yang seringkali mengabaikan realitas sosial
dan sejarah².
Namun demikian, konservatisme juga tidak luput dari
kritik. Tuduhan bahwa konservatisme mempertahankan ketimpangan sosial,
melemahkan dinamika demokrasi, dan gagal merespons kebutuhan transformasi
sosial yang mendesak merupakan tantangan serius yang harus dihadapi secara
reflektif dan konstruktif. Relevansi konservatisme hari ini bergantung pada
kemampuannya untuk menyaring tradisi yang esensial dari yang usang, serta
kemampuannya untuk berdialog secara kritis dengan perkembangan zaman tanpa
kehilangan identitas filosofisnya³.
Abad ke-21 menuntut konservatisme untuk menjawab
tantangan global seperti krisis lingkungan, revolusi teknologi, migrasi massal,
dan krisis etika dalam kehidupan publik. Dalam hal ini, konservatisme dapat
menawarkan kontribusi penting dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggung jawab, antara inovasi dan keberlanjutan, serta antara perubahan dan
kontinuitas⁴. Sebagaimana ditekankan oleh Russell Kirk, “konservatisme
adalah pengakuan terhadap keterbatasan manusia, dan oleh karena itu, merupakan
panggilan untuk kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam bertindak”⁵.
Dengan demikian, konservatisme tidak semata-mata warisan
masa lalu, melainkan tradisi intelektual dan moral yang hidup dan terus
bertransformasi. Ia tetap relevan selama mampu mengartikulasikan nilai-nilai
abadi dalam kerangka sosial-politik yang dinamis, serta membuka ruang untuk
reformasi tanpa membongkar fondasi peradaban yang telah terbentuk. Dalam dunia
yang penuh ketidakpastian dan percepatan, konservatisme menghadirkan narasi
tentang makna, stabilitas, dan komunitas yang semakin langka namun sangat
dibutuhkan.
Catatan Kaki
[1]
Roger Scruton, How to Be a Conservative
(London: Bloomsbury, 2014), 6–9.
[2]
Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and
Other Essays (Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 13–14.
[3]
Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism
from Edmund Burke to Donald Trump (New York: Oxford University Press,
2018), 18–19.
[4]
Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery
(Washington, DC: Regnery Gateway, 2022), 223–227.
[5]
Russell Kirk, The Politics of Prudence
(Wilmington: ISI Books, 1993), 9–11.
Daftar Pustaka
Burke, E. (1790). Reflections on the revolution
in France. J. Dodsley.
Deneen, P. J. (2018). Why liberalism failed.
Yale University Press.
Franks, M. A. (2019). The cult of the
constitution. Stanford University Press.
Freeden, M. (1996). Ideologies and political
theory: A conceptual approach. Oxford University Press.
Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom.
University of Chicago Press.
Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty.
University of Chicago Press.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and
democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Hirsch, E. D., Jr. (1988). Cultural literacy:
What every American needs to know. Vintage.
Kirk, R. (2001). The conservative mind: From
Burke to Eliot. Regnery Publishing.
Kirk, R. (1993). The politics of prudence.
ISI Books.
Kristol, I. (1995). Neoconservatism: The
autobiography of an idea. Free Press.
Marx, K., & Engels, F. (1970). The German
ideology. International Publishers. (Original work published 1846)
Mill, J. S. (1991). On liberty and other essays
(J. Gray, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1859)
Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism:
A very short introduction. Oxford University Press.
Nash, G. H. (2006). The conservative
intellectual movement in America since 1945. ISI Books.
Nussbaum, M. C. (2019). The cosmopolitan
tradition: A noble but flawed ideal. Harvard University Press.
Oakeshott, M. (1991). Rationalism in politics
and other essays. Liberty Fund.
Robin, C. (2018). The reactionary mind:
Conservatism from Edmund Burke to Donald Trump (2nd ed.). Oxford University
Press.
Scruton, R. (2001). The meaning of conservatism
(3rd ed.). Palgrave Macmillan.
Scruton, R. (2007). Culture counts: Faith and
feeling in a world besieged. Encounter Books.
Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to
think seriously about the planet. Oxford University Press.
Scruton, R. (2014). How to be a conservative.
Bloomsbury.
Scruton, R. (2015). Fools, frauds and
firebrands: Thinkers of the new left. Bloomsbury.
Scruton, R. (2014). The soul of the world.
Princeton University Press.
Shklar, J. N. (1984). Ordinary vices.
Harvard University Press.
Skinner, Q. (2002). Visions of politics: Volume
I: Regarding method. Cambridge University Press.
Vincent, A. (2010). Modern political ideologies
(3rd ed.). Wiley-Blackwell.
de Maistre, J. (1994). Considerations on France
(R. A. Lebrun, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published
1797)
Hazony, Y. (2018). The virtue of nationalism.
Basic Books.
Hazony, Y. (2022). Conservatism: A rediscovery.
Regnery Gateway.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar