Selasa, 10 Juni 2025

Konservatisme: Tradisi, Nilai-Nilai Dasar, dan Tantangan Abad ke-21

Konservatisme

Tradisi, Nilai-Nilai Dasar, dan Tantangan Abad ke-21


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai konservatisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik. Dimulai dari asal-usul historisnya yang berakar pada reaksi terhadap Revolusi Prancis, konservatisme dipahami sebagai pendekatan normatif yang menekankan pentingnya tradisi, otoritas moral, keteraturan sosial, dan perubahan yang bertahap. Prinsip-prinsip dasar konservatisme seperti pandangan organik terhadap masyarakat, penghormatan terhadap institusi, serta sikap skeptis terhadap proyek-proyek utopis modern menjadi landasan filosofis dari pendekatan ini. Artikel ini juga mengulas berbagai varian konservatisme—klasik, sosial, ekonomi, budaya, neokonservatif, paleokonservatif—serta kontribusi pemikir-pemikir utama seperti Edmund Burke, Russell Kirk, Michael Oakeshott, dan Roger Scruton. Tidak hanya itu, kajian ini menyajikan kritik-kritik terhadap konservatisme dari berbagai perspektif ideologis dan mengkaji relevansinya dalam menghadapi tantangan abad ke-21 seperti populisme, globalisasi, teknologi, dan krisis moral. Dengan pendekatan filosofis dan historis, artikel ini menunjukkan bahwa konservatisme tetap merupakan wacana yang hidup dan adaptif dalam konstelasi pemikiran politik kontemporer, selama ia mampu berdialog secara reflektif dengan dinamika zaman tanpa meninggalkan komitmennya terhadap tatanan moral dan sosial.

Kata Kunci: Konservatisme, filsafat politik, tradisi, perubahan sosial, otoritas moral, modernitas, populisme, nilai-nilai tradisional, Edmund Burke, tatanan sosial.


PEMBAHASAN

Konservatisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Konservatisme merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran sosial-politik Barat yang menekankan pentingnya warisan budaya, stabilitas sosial, dan otoritas moral dalam menjaga keberlangsungan masyarakat. Dalam filsafat sosial-politik, konservatisme tidak hanya merujuk pada sikap atau preferensi terhadap masa lalu, tetapi juga merupakan suatu kerangka konseptual yang memandang perubahan sosial dengan sikap hati-hati, dan cenderung mendukung evolusi sosial yang bertahap daripada revolusi yang radikal atau utopis¹.

Pemikiran konservatif muncul sebagai tanggapan terhadap dinamika sosial-politik yang dianggap mengancam ketertiban dan kestabilan masyarakat. Khususnya, Revolusi Prancis tahun 1789 sering disebut sebagai momen kunci dalam lahirnya konservatisme modern. Tokoh seperti Edmund Burke mengkritik keras ide-ide revolusioner karena dianggap melemahkan tradisi, institusi, dan nilai-nilai moral yang telah teruji oleh waktu². Sejak saat itu, konservatisme berkembang sebagai kritik terhadap rasionalisme radikal, individualisme liberal, dan kesetaraan sosial yang dicanangkan oleh sosialisme atau komunisme.

Dalam konteks filsafat sosial-politik, konservatisme berperan sebagai wacana normatif yang menempatkan pentingnya kebajikan moral, keluarga, komunitas, dan otoritas sebagai pilar peradaban yang harus dipelihara³. Meskipun konservatisme memiliki variasi di berbagai negara dan budaya, prinsip intinya tetap sama: mempertahankan tatanan sosial yang stabil, menolak eksperimen sosial yang ekstrem, dan menghargai kebijaksanaan tradisi.

Kajian terhadap konservatisme menjadi semakin relevan di abad ke-21, ketika dunia menghadapi disrupsi besar akibat globalisasi, teknologi digital, migrasi massal, dan krisis identitas. Di tengah arus perubahan yang cepat, konservatisme muncul sebagai respons terhadap keresahan sosial dan kultural, menawarkan narasi tentang ketertiban, keteraturan, dan warisan nilai yang dianggap stabil dan permanen⁴. Namun, kebangkitan konservatisme juga tidak luput dari kontroversi, terutama ketika dikaitkan dengan populisme sayap kanan, nasionalisme sempit, dan resistensi terhadap pluralisme.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif tentang konservatisme dalam kerangka filsafat sosial-politik, mulai dari asal-usul historisnya, prinsip-prinsip dasarnya, varian pemikirannya, hingga kritik dan tantangan kontemporernya. Dengan pendekatan historis-filosofis yang berpijak pada sumber-sumber akademik, pembahasan ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap salah satu orientasi politik yang paling berpengaruh dan kontroversial dalam dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Roger Scruton, The Meaning of Conservatism (London: Palgrave Macmillan, 2001), 2.

[2]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 24–25.

[3]                Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–10.

[4]                Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism from Edmund Burke to Donald Trump (New York: Oxford University Press, 2018), 1–5.


2.           Asal-Usul Historis Konservatisme

Konservatisme sebagai doktrin sosial-politik yang eksplisit baru terbentuk pada akhir abad ke-18, meskipun akar-akar gagasan konservatif telah tertanam dalam tradisi sosial manusia selama berabad-abad. Pandangan konservatif dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan klasik seperti karya Plato dan Aristoteles, yang menekankan pentingnya tatanan sosial, peran kebajikan, dan fungsi institusi dalam menjaga kestabilan masyarakat¹. Namun, konservatisme sebagai aliran filsafat politik yang terorganisasi secara historis muncul sebagai reaksi terhadap radikalisme dan revolusi yang melanda Eropa, terutama Revolusi Prancis tahun 1789.

Revolusi Prancis, yang menggulingkan monarki absolut dan menggantinya dengan prinsip-prinsip egalitarianisme, sekularisme, dan rasionalisme universal, dianggap oleh para pemikir konservatif sebagai ancaman serius terhadap tatanan sosial yang mapan. Dalam konteks inilah Edmund Burke (1729–1797), seorang negarawan dan filsuf asal Inggris, menulis Reflections on the Revolution in France (1790), karya monumental yang sering dipandang sebagai fondasi intelektual konservatisme modern². Burke mengkritik keras kecenderungan revolusioner yang menolak warisan sejarah, institusi tradisional, dan kebijaksanaan yang terkandung dalam praktik-praktik sosial yang telah teruji oleh waktu. Baginya, masyarakat adalah kontrak antara generasi masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak boleh dibongkar atas dasar idealisme spekulatif semata³.

Dalam pemikiran Burke, tradisi, agama, dan hierarki sosial tidak hanya memiliki nilai pragmatis tetapi juga merupakan manifestasi dari kebijaksanaan kolektif yang diwariskan secara historis. Ia menolak ide bahwa masyarakat dapat dibentuk kembali dari nol melalui rasionalitas manusia semata—suatu pandangan yang pada akhirnya membedakan konservatisme dari rasionalisme politik liberal dan sosialisme⁴.

Pasca Burke, konservatisme terus berkembang seiring perubahan politik di Eropa dan Amerika. Di Inggris, konservatisme menjadi landasan bagi Partai Tory yang kemudian menjadi Partai Konservatif. Di benua Eropa, konservatisme terwujud dalam bentuk monarki konstitusional dan dukungan terhadap Gereja sebagai institusi sosial utama. Sementara itu, di Amerika Serikat, konservatisme mengambil bentuk yang lebih plural, seringkali dikaitkan dengan pembelaan terhadap Konstitusi, pasar bebas, dan nilai-nilai moral tradisional⁵.

Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, konservatisme mengalami artikulasi ulang untuk menanggapi tantangan-tantangan modern seperti industrialisasi, demokratisasi, sosialisme, dan perubahan budaya. Di masa Perang Dingin, misalnya, konservatisme Amerika tampil dalam bentuk “fusionisme”, yaitu penggabungan antara konservatisme moral dan kapitalisme pasar bebas, sebagaimana dipromosikan oleh tokoh-tokoh seperti William F. Buckley Jr. dan Irving Kristol⁶.

Dengan demikian, konservatisme tidak muncul sebagai sistem filosofis yang sistematis sejak awal, melainkan sebagai respons historis terhadap perubahan sosial-politik yang dianggap terlalu cepat dan mengancam struktur nilai yang sudah mapan. Justru dalam sifat reaktif dan adaptif inilah konservatisme memperoleh vitalitas dan keberlanjutan dalam berbagai konteks budaya dan geografis.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Visions of Politics: Volume I: Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 127–128.

[2]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 7–9.

[3]                Ibid., 96–97.

[4]                Roger Scruton, Conservatism: An Invitation to the Great Tradition (New York: All Points Books, 2018), 31–34.

[5]                Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 29–35.

[6]                George H. Nash, The Conservative Intellectual Movement in America Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 123–126.


3.           Prinsip-Prinsip Dasar Konservatisme

Konservatisme tidak hadir sebagai doktrin politik yang sepenuhnya sistematis dan seragam seperti liberalisme atau sosialisme. Sebaliknya, konservatisme lebih menyerupai sikap moral dan pendekatan terhadap kehidupan sosial yang menekankan pentingnya stabilitas, kontinuitas, dan kehati-hatian dalam menghadapi perubahan. Meski demikian, beberapa prinsip dasar dapat diidentifikasi sebagai fondasi utama dari pemikiran konservatif, terutama dalam konteks filsafat sosial-politik.

3.1.       Primasi Tradisi dan Kebijaksanaan Historis

Konservatisme memandang tradisi sebagai warisan kebijaksanaan kolektif yang terakumulasi dari pengalaman generasi terdahulu. Tradisi bukan sekadar kebiasaan lama, tetapi bentuk konkret dari norma-norma moral, praktik sosial, dan institusi yang telah teruji oleh waktu. Edmund Burke menegaskan bahwa masyarakat bukanlah hasil dari kontrak sosial semata, melainkan “sebuah kemitraan tidak hanya antara yang hidup, tetapi juga dengan mereka yang telah meninggal dan yang akan datang”¹. Dengan demikian, konservatisme memandang perubahan yang terlalu cepat sebagai ancaman terhadap stabilitas dan kontinuitas moral.

3.2.       Pandangan Organik terhadap Masyarakat

Bagi kaum konservatif, masyarakat adalah suatu organisme hidup, bukan kumpulan individu atomistik sebagaimana diasumsikan oleh teori liberal klasik. Struktur sosial seperti keluarga, agama, dan komunitas lokal memiliki fungsi esensial yang membentuk identitas dan tatanan sosial. Roger Scruton menegaskan bahwa masyarakat yang sehat bergantung pada "tali pengikat loyalitas, adat, dan pengorbanan" yang tidak dapat direduksi menjadi kontrak rasional semata². Oleh sebab itu, intervensi radikal dari negara atau revolusi sosial dianggap dapat merusak keseimbangan organik ini.

3.3.       Keterbatasan Rasio dan Skeptisisme terhadap Utopianisme

Konservatisme berangkat dari asumsi bahwa akal manusia bersifat terbatas, sehingga usaha membangun masyarakat sempurna berdasarkan skema rasional sering kali berujung pada tirani. Michael Oakeshott membedakan antara "politics of faith" (politik iman) yang utopis dan "politics of skepticism" (politik skeptis) yang konservatif; ia menekankan bahwa politik seharusnya mengelola ketertiban, bukan mengubah dunia berdasarkan blueprint ideologis³. Pandangan ini melahirkan sikap hati-hati terhadap rekayasa sosial dan penolakan terhadap eksperimentalisme politik.

3.4.       Pentingnya Otoritas dan Hierarki Sosial

Konservatisme menekankan peran penting otoritas dalam menjaga ketertiban dan moralitas publik. Hierarki sosial dipandang bukan sebagai bentuk ketidakadilan, melainkan sebagai refleksi dari fungsi-fungsi yang berbeda dalam masyarakat. Russell Kirk menulis bahwa "ketimpangan sosial yang wajar bukanlah tanda ketidakadilan, tetapi syarat dari keberlangsungan peradaban"⁴. Karena itu, konservatisme cenderung mendukung tatanan sosial yang terstruktur dan menghindari kesetaraan yang dianggap merusak kohesi sosial.

3.5.       Peran Sentral Moralitas dan Agama

Dalam konservatisme, agama dan moralitas tradisional dipandang sebagai fondasi bagi kebudayaan dan tata nilai masyarakat. Agama berfungsi bukan hanya sebagai keyakinan pribadi, tetapi juga sebagai institusi sosial yang menjaga norma dan perilaku. Konservatisme menolak relativisme moral dan menekankan pentingnya nilai-nilai tetap yang memberi arah bagi kehidupan bersama. Dalam pemikiran Scruton, “agama adalah pembawa moral kolektif dan sumber kesakralan dalam kehidupan sipil”⁵.

3.6.       Evolusi Sosial, Bukan Revolusi

Konservatisme tidak menolak perubahan, namun menekankan bahwa perubahan harus bersifat evolusioner, bertahap, dan berakar dalam tradisi. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan revolusioner seringkali membawa kehancuran sosial, sebagaimana dalam pengalaman Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, maupun Revolusi Kebudayaan di Tiongkok. Oleh karena itu, konservatisme mengedepankan prinsip “reformasi yang berhati-hati”, bukan transformasi radikal⁶.

Dengan keenam prinsip tersebut, konservatisme tampil sebagai aliran filsafat sosial-politik yang berorientasi pada stabilitas, tanggung jawab moral, dan penghormatan terhadap warisan historis. Meskipun sering dikritik sebagai anti-progresif atau reaksioner, konservatisme justru menawarkan perspektif yang menekankan keberlanjutan nilai-nilai mendasar dalam menghadapi dunia yang terus berubah.


Catatan Kaki

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 96–97.

[2]                Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 5–7.

[3]                Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays (Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 11–14.

[4]                Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 18–19.

[5]                Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton University Press, 2014), 115–117.

[6]                Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery (Washington, DC: Regnery Gateway, 2022), 57–60.


4.           Varian dan Spektrum Konservatisme

Konservatisme bukanlah doktrin yang bersifat monolitik. Meskipun prinsip-prinsip utamanya menekankan pentingnya tradisi, stabilitas, dan moralitas publik, bentuk ekspresi dan penekanan konservatisme berbeda-beda tergantung pada konteks historis, geografis, dan budaya. Dalam perkembangan sejarahnya, konservatisme telah memunculkan beragam varian yang mencerminkan respons terhadap tantangan sosial dan politik di zamannya. Beberapa spektrum utama konservatisme meliputi konservatisme klasik, sosial, ekonomi, budaya, serta varian seperti neokonservatisme dan paleokonservatisme.

4.1.       Konservatisme Klasik

Konservatisme klasik merujuk pada tradisi intelektual yang berakar pada pemikiran Edmund Burke dan tokoh-tokoh setelahnya yang menekankan pentingnya tatanan sosial, hierarki, agama, dan kebajikan sipil. Varian ini bersifat skeptis terhadap rasionalisme dan perubahan radikal, serta menempatkan pentingnya institusi tradisional sebagai penopang kehidupan bersama¹. Konservatisme klasik lebih bersifat normatif-filosofis dan sangat berakar pada warisan Eropa pasca-Revolusi Prancis.

4.2.       Konservatisme Sosial

Konservatisme sosial berfokus pada pelestarian nilai-nilai moral, agama, dan keluarga sebagai fondasi dari masyarakat yang stabil. Varian ini sering terlibat aktif dalam isu-isu seperti pernikahan tradisional, penolakan terhadap aborsi, dan peran agama dalam kehidupan publik. Di Amerika Serikat, konservatisme sosial menjadi kekuatan signifikan dalam politik sejak 1980-an melalui dukungan terhadap gerakan Moral Majority dan Partai Republik². Konservatisme sosial juga menolak relativisme budaya dan menekankan identitas moral kolektif.

4.3.       Konservatisme Ekonomi

Konservatisme ekonomi menekankan pada pentingnya pasar bebas, kepemilikan pribadi, dan pembatasan peran negara dalam urusan ekonomi. Varian ini memiliki kedekatan dengan liberalisme klasik, namun tetap dibingkai oleh pandangan konservatif mengenai tanggung jawab moral dan stabilitas sosial. Tokoh seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman sering dikaitkan dengan pendekatan ini, meskipun beberapa konservatif tradisional mengkritik individualisme pasar yang terlalu dominan³.

4.4.       Konservatisme Budaya

Konservatisme budaya berfokus pada perlindungan warisan kebudayaan nasional, bahasa, seni, dan identitas kolektif suatu bangsa. Di tengah arus globalisasi dan multikulturalisme, konservatisme budaya sering menjadi wadah resistensi terhadap homogenisasi budaya dan hilangnya identitas lokal. Tokoh seperti Roger Scruton menekankan pentingnya keindahan, tradisi estetika, dan budaya tinggi sebagai unsur penting dari konservatisme⁴.

4.5.       Neokonservatisme

Neokonservatisme berkembang di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20, terutama di kalangan intelektual yang semula berhaluan liberal atau sosialis, namun kecewa terhadap kebijakan negara kesejahteraan dan kebudayaan permissif. Neokonservatif cenderung mendukung nilai-nilai tradisional, pasar bebas, serta kebijakan luar negeri yang intervensionis demi menyebarkan demokrasi. Irving Kristol, tokoh sentral neokonservatisme, menyebut dirinya sebagai “liberal yang diserang realitas”⁵. Varian ini sangat memengaruhi kebijakan luar negeri AS, khususnya pada masa pemerintahan George W. Bush.

4.6.       Paleokonservatisme

Paleokonservatisme muncul sebagai reaksi terhadap neokonservatisme, menekankan nasionalisme, isolasionisme, dan penolakan terhadap campur tangan global. Varian ini mengkritik imigrasi massal, perdagangan bebas, dan multikulturalisme sebagai ancaman terhadap identitas nasional dan moralitas tradisional. Tokoh-tokohnya seperti Pat Buchanan dan Samuel T. Francis dikenal karena sikap proteksionis dan populis yang kuat⁶. Paleokonservatisme sering dikaitkan dengan gerakan nasionalis sayap kanan.

4.7.       Konservatisme dalam Konteks Non-Barat

Meskipun konservatisme berkembang dalam tradisi politik Barat, varian-varian konservatif juga muncul dalam konteks non-Barat. Di banyak negara Asia dan Timur Tengah, konservatisme mengambil bentuk pelestarian tatanan sosial yang berakar pada agama, adat, dan nilai-nilai kolektif. Di Indonesia, misalnya, konservatisme kultural sering terkait dengan upaya mempertahankan nilai-nilai religius dan etika tradisional dalam menghadapi arus sekularisasi dan liberalisasi⁷. Dengan demikian, konservatisme menunjukkan kapasitas adaptif terhadap nilai-nilai lokal.


Catatan Kaki

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 96–97.

[2]                George H. Nash, The Conservative Intellectual Movement in America Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 191–195.

[3]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 67–70.

[4]                Roger Scruton, Culture Counts: Faith and Feeling in a World Besieged (New York: Encounter Books, 2007), 12–15.

[5]                Irving Kristol, Neoconservatism: The Autobiography of an Idea (New York: Free Press, 1995), xi.

[6]                Samuel T. Francis, Beautiful Losers: Essays on the Failure of American Conservatism (Columbia: University of Missouri Press, 1993), 21–24.

[7]                Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 141–145.


5.           Konservatisme dan Kritik terhadap Modernitas

Salah satu karakter utama konservatisme adalah posisinya yang kritis terhadap gagasan-gagasan dan realitas sosial yang lahir dari modernitas. Dalam wacana filsafat sosial-politik, konservatisme memandang modernitas bukan sebagai kemajuan mutlak, melainkan sebagai proses ambivalen yang membawa serta dampak-dampak negatif terhadap tatanan moral, institusional, dan spiritual masyarakat. Kritik konservatif terhadap modernitas mencakup sejumlah dimensi, mulai dari rasionalisme ekstrem, individualisme liberal, relativisme moral, hingga krisis otoritas dan komunitas dalam masyarakat modern.

5.1.       Kritik terhadap Rasionalisme dan Emansipasi Radikal

Konservatisme secara historis memosisikan diri sebagai oposisi terhadap proyek modernitas yang didasarkan pada rasionalisme abstrak dan emansipasi radikal. Revolusi Prancis menjadi titik tolak utama kritik ini. Edmund Burke menganggap bahwa upaya membangun masyarakat hanya berdasarkan prinsip-prinsip akal dan kehendak individu akan mengakibatkan kehancuran institusi yang telah terbukti secara historis menopang kehidupan sosial¹. Bagi kaum konservatif, pemutusan hubungan dengan tradisi melalui “tabula rasa” politik atau “rekayasa sosial” merupakan bentuk arogansi intelektual yang berbahaya.

5.2.       Penolakan terhadap Individualisme Liberal

Modernitas identik dengan penekanan pada kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Namun, konservatisme mengkritik kecenderungan liberal ini karena dianggap mengikis tanggung jawab moral dan ikatan sosial antaranggota masyarakat. Michael Oakeshott menyatakan bahwa manusia bukan sekadar “pelaku rasional” yang bebas dari keterikatan, tetapi makhluk sosial yang hidup dalam komunitas yang penuh makna historis dan moral². Konservatisme menilai bahwa pelembagaan individualisme ekstrem justru menyebabkan alienasi, fragmentasi sosial, dan melemahnya solidaritas.

5.3.       Kritik terhadap Relativisme Moral dan Sekularisme

Dalam konteks nilai dan etika, konservatisme menentang relativisme moral yang dianggap sebagai ciri khas masyarakat modern. Roger Scruton melihat relativisme sebagai bentuk peluruhan norma dan kehilangan rasa hormat terhadap hal-hal yang sakral³. Sekularisme yang berkembang dalam proyek modernisasi juga dikritik karena meminggirkan peran agama sebagai fondasi etika dan komunitas. Tanpa kerangka nilai yang kokoh, konservatisme berpendapat bahwa masyarakat akan terjerumus dalam hedonisme, nihilisme, dan krisis eksistensial.

5.4.       Pandangan terhadap Globalisasi dan Krisis Identitas

Dalam fase modernitas lanjut (late modernity), globalisasi membawa transformasi besar dalam bidang ekonomi, komunikasi, dan mobilitas manusia. Meskipun membawa manfaat praktis, konservatisme menganggap globalisasi sebagai kekuatan yang mendegradasi identitas lokal, merusak tatanan kebudayaan nasional, dan menciptakan masyarakat yang tercerabut dari akarnya. Yoram Hazony berpendapat bahwa proyek universalitas modern telah gagal memahami pentingnya komunitas dan tradisi sebagai tempat pembentukan identitas dan makna hidup⁴. Konservatisme menolak homogenisasi global yang mengabaikan pluralitas historis dan kultural.

5.5.       Kritik terhadap Demokrasi Radikal dan Populisme

Konservatisme juga menyuarakan keprihatinan terhadap bentuk-bentuk demokrasi yang kehilangan orientasi pada kebajikan dan otoritas. Demokrasi, ketika dilepaskan dari fondasi moral dan tradisionalnya, dapat berubah menjadi populisme emosional atau mobokrasi yang tidak stabil. Russell Kirk mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat memerlukan pengakuan terhadap hierarki moral dan keterbatasan kekuasaan rakyat, bukan sekadar afirmasi terhadap kehendak mayoritas tanpa panduan nilai⁵. Dalam hal ini, konservatisme menekankan bahwa kebebasan politik harus dibingkai oleh disiplin dan tanggung jawab.

5.6.       Respons terhadap Modernitas: Adaptasi, Bukan Penolakan Total

Meskipun bersikap kritis terhadap modernitas, konservatisme bukanlah gerakan anti-modern. Dalam sejarahnya, konservatisme telah menunjukkan kapasitas adaptif terhadap modernitas tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional. Dalam bentuk yang lebih konstruktif, konservatisme menyerukan adanya modernitas yang berakar (rooted modernity), yaitu integrasi antara inovasi dengan penghormatan terhadap moralitas, warisan budaya, dan struktur sosial yang telah terbukti⁶. Oleh karena itu, konservatisme tidak menolak perubahan, melainkan menyerukan agar perubahan diarahkan melalui pertimbangan etis dan historis yang matang.


Catatan Kaki

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 88–89.

[2]                Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays (Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 34–36.

[3]                Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton University Press, 2014), 100–104.

[4]                Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery (Washington, DC: Regnery Gateway, 2022), 51–53.

[5]                Russell Kirk, The Politics of Prudence (Wilmington: ISI Books, 1993), 62–64.

[6]                Patrick J. Deneen, Why Liberalism Failed (New Haven: Yale University Press, 2018), 201–204.


6.           Konservatisme dalam Kebijakan Publik

Konservatisme sebagai filsafat politik tidak hanya hadir dalam tataran ide, tetapi juga mempengaruhi formulasi kebijakan publik dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip konservatif yang menekankan stabilitas, moralitas, tradisi, dan tanggung jawab individu menjadi landasan normatif dalam perumusan kebijakan negara, baik dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Dalam praktiknya, konservatisme tidak menyodorkan satu model kebijakan tunggal, melainkan pendekatan normatif yang menilai setiap kebijakan berdasarkan keberpihakannya pada tatanan sosial yang lestari, nilai-nilai moral, dan keseimbangan otoritas.

6.1.       Kebijakan Hukum dan Ketertiban

Konservatisme menekankan pentingnya supremasi hukum, penegakan otoritas, dan perlindungan terhadap tatanan sosial. Dalam kebijakan hukum, pendekatan konservatif menolak relativisme normatif dan lebih menekankan pada stabilitas dan kontinuitas prinsip hukum yang diwariskan secara historis. Oleh karena itu, kaum konservatif umumnya mendukung penegakan hukum yang tegas, penolakan terhadap impunitas, serta kritik terhadap aktivisme yudisial yang dianggap melampaui batas peran pengadilan dalam menginterpretasi hukum positif¹. Dalam konteks Amerika Serikat, pendekatan "originalist" atau "textualist" dalam menafsirkan konstitusi, seperti yang dianut oleh Hakim Antonin Scalia, mencerminkan semangat konservatif yang menolak reinterpretasi hukum secara progresif dan spekulatif².

6.2.       Politik Ekonomi dan Peran Negara

Dalam bidang ekonomi, konservatisme menganjurkan tanggung jawab fiskal, pasar bebas yang dikendalikan secara moral, serta peran negara yang terbatas namun strategis. Meski memiliki titik temu dengan liberalisme ekonomi, konservatisme membedakan diri melalui kritiknya terhadap materialisme dan individualisme pasar yang ekstrem. Friedrich Hayek, meskipun sering dikaitkan dengan konservatisme ekonomi, mengingatkan bahwa pasar harus dilandasi oleh norma dan institusi sosial yang kuat untuk mencegah disintegrasi moral masyarakat³. Konservatif menolak kebijakan negara kesejahteraan yang terlalu besar, bukan karena antipati terhadap keadilan sosial, tetapi karena khawatir terhadap ketergantungan terhadap negara dan lemahnya inisiatif individu.

6.3.       Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Pendidikan dalam perspektif konservatif dipandang sebagai medium transmisi nilai dan peradaban, bukan sekadar proses mekanik transfer pengetahuan. Oleh karena itu, konservatisme menekankan kurikulum berbasis warisan budaya, disiplin intelektual klasik, dan pembentukan karakter moral⁴. Roger Scruton misalnya, mengkritik keras model pendidikan progresif yang terlalu menekankan ekspresi diri dan kebebasan individu, sementara mengabaikan dimensi otoritas, hierarki pengetahuan, dan nilai-nilai tradisional⁵. Kebijakan pendidikan berbasis konservatisme akan lebih mendukung kurikulum humaniora, penguatan sejarah nasional, dan pelajaran agama atau etika publik sebagai fondasi moral warga negara.

6.4.       Kebudayaan dan Identitas Nasional

Dalam kebijakan kebudayaan, konservatisme menekankan pelestarian identitas nasional, warisan budaya, dan simbol-simbol historis bangsa. Hal ini tercermin dalam penolakan terhadap narasi dekonstruktif terhadap sejarah nasional atau penolakan terhadap relativisme budaya yang menghapus batas antara nilai luhur dan kebiasaan destruktif. Konservatisme cenderung mendukung kebijakan yang memperkuat kebanggaan nasional, termasuk konservasi situs sejarah, pemuliaan bahasa nasional, dan resistensi terhadap pengaruh budaya asing yang dianggap merusak nilai lokal⁶.

6.5.       Keluarga, Moral Publik, dan Kebijakan Sosial

Konservatisme sangat menekankan pentingnya keluarga tradisional sebagai institusi inti masyarakat. Oleh karena itu, dalam kebijakan sosial, kaum konservatif menolak pernikahan sejenis, legalisasi narkoba, atau liberalisasi aborsi yang dianggap merusak moral publik. Mereka mendukung insentif bagi keluarga inti, penguatan peran orang tua dalam pendidikan anak, serta pembatasan terhadap konten media yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga⁷. Dalam banyak kasus, konservatisme berkoalisi dengan kekuatan keagamaan dalam memperjuangkan kebijakan berbasis nilai.

6.6.       Kebijakan Luar Negeri: Stabilitas dan Kepentingan Nasional

Dalam kebijakan luar negeri, konservatisme cenderung menolak utopianisme global dan lebih menekankan pada realisme politik serta kepentingan nasional. Beberapa varian konservatif seperti neokonservatisme mendukung intervensi militer untuk menyebarkan demokrasi, namun varian lain seperti paleokonservatisme cenderung menganjurkan isolasionisme dan non-intervensi. Meski berbeda dalam strategi, keduanya sepakat bahwa kebijakan luar negeri harus dibingkai oleh kepentingan nasional, bukan agenda global yang idealistik⁸.


Catatan Kaki

[1]                Roger Scruton, The Meaning of Conservatism (London: Palgrave Macmillan, 2001), 67–70.

[2]                Antonin Scalia, A Matter of Interpretation: Federal Courts and the Law (Princeton: Princeton University Press, 1997), 38–40.

[3]                Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 58–61.

[4]                E. D. Hirsch Jr., Cultural Literacy: What Every American Needs to Know (New York: Vintage, 1988), 12–15.

[5]                Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New Left (London: Bloomsbury, 2015), 101–104.

[6]                Yoram Hazony, The Virtue of Nationalism (New York: Basic Books, 2018), 93–96.

[7]                Patrick J. Deneen, Why Liberalism Failed (New Haven: Yale University Press, 2018), 155–157.

[8]                Samuel T. Francis, Beautiful Losers: Essays on the Failure of American Conservatism (Columbia: University of Missouri Press, 1993), 45–47.


7.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Tradisi Konservatif

Tradisi intelektual konservatif dibentuk dan diperkaya oleh sejumlah pemikir besar yang memberikan fondasi filosofis, moral, dan praktis bagi gerakan ini. Mereka berasal dari konteks budaya, geografis, dan sejarah yang beragam, namun memiliki benang merah yang sama dalam hal penekanan terhadap tatanan sosial, otoritas moral, dan kontinuitas sejarah. Pemikiran mereka tidak hanya memberikan legitimasi filosofis terhadap konservatisme, tetapi juga berkontribusi terhadap formulasi kebijakan publik dan panduan etis dalam masyarakat modern.

7.1.       Edmund Burke (1729–1797)

Edmund Burke dianggap sebagai bapak konservatisme modern. Dalam Reflections on the Revolution in France (1790), ia menolak keras radikalisme Revolusi Prancis dan mengedepankan pentingnya tradisi, institusi, serta kewaspadaan terhadap perubahan sosial yang terlalu cepat. Baginya, masyarakat adalah hasil dari kontrak historis antar generasi yang tidak boleh dirusak oleh eksperimen ideologis⁽¹⁾. Burke menegaskan bahwa warisan historis memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada idealisme rasional yang abstrak.

7.2.       Russell Kirk (1918–1994)

Russell Kirk adalah figur sentral dalam konservatisme Amerika abad ke-20. Dalam The Conservative Mind (1953), ia melacak tradisi konservatif dari Burke hingga T. S. Eliot, dan merumuskan enam prinsip konservatisme, termasuk keyakinan terhadap tatanan moral, pentingnya kebajikan, dan perlunya pembatasan kekuasaan⁽²⁾. Kirk menekankan bahwa konservatisme bukan sekadar ideologi politik, tetapi sebuah cara hidup yang berakar pada nilai, kebijaksanaan, dan kehormatan.

7.3.       Michael Oakeshott (1901–1990)

Oakeshott memperkenalkan pendekatan konservatif yang lebih filosofis dan skeptis terhadap politik ideologis. Dalam Rationalism in Politics (1962), ia membedakan antara "politik iman" dan "politik skeptis", serta mengecam ambisi rasionalis dalam merekayasa masyarakat⁽³⁾. Ia memandang konservatisme sebagai seni untuk memelihara, bukan merevolusi. Pandangan ini memperkaya konservatisme dengan perspektif epistemologis yang menekankan keterbatasan pengetahuan manusia.

7.4.       Roger Scruton (1944–2020)

Roger Scruton adalah filsuf Inggris kontemporer yang berperan besar dalam membela konservatisme dari serangan budaya progresif. Dalam karya-karyanya seperti How to Be a Conservative dan The Soul of the World, Scruton membela nilai-nilai Barat, keindahan, agama, dan komunitas sebagai unsur yang membentuk kehidupan yang bermakna⁽⁴⁾. Ia juga aktif dalam perdebatan publik tentang kebebasan berpendapat, pendidikan, dan estetika konservatif.

7.5.       Irving Kristol (1920–2009)

Irving Kristol dikenal sebagai "bapak neokonservatisme" di Amerika Serikat. Dalam Neoconservatism: The Autobiography of an Idea, ia menjelaskan pergeseran ideologinya dari liberalisme progresif menuju konservatisme karena kekecewaan terhadap negara kesejahteraan dan nilai-nilai liberal yang dianggap merusak moral publik⁽⁵⁾. Kristol menekankan bahwa neokonservatisme adalah upaya untuk mengintegrasikan kebijakan publik pragmatis dengan nilai-nilai moral tradisional.

7.6.       Friedrich A. Hayek (1899–1992)

Meskipun Hayek menolak label "konservatif" dalam pengertian tradisional, pemikirannya sangat berpengaruh dalam konservatisme ekonomi. Dalam The Road to Serfdom, ia mengkritik totalitarianisme dan negara kolektivis, serta menekankan pentingnya kebebasan individu dan pasar bebas⁽⁶⁾. Ia memperingatkan bahwa intervensi negara yang berlebihan akan mengarah pada hilangnya kebebasan sipil.

7.7.       Joseph de Maistre (1753–1821)

Seorang pemikir konservatif Katolik dari Prancis, de Maistre adalah pembela keras monarki absolut dan otoritas gereja. Ia memandang revolusi sebagai bentuk anarki moral dan menyerukan kembalinya kekuasaan sakral dan hierarki sosial⁽⁷⁾. Pemikirannya memperlihatkan sisi teologis konservatisme yang sangat menekankan keteraturan spiritual.


Para tokoh ini, meskipun berbeda dalam penekanan dan konteks, bersama-sama membentuk spektrum pemikiran konservatif yang kaya. Mereka menawarkan pandangan yang bersifat normatif, reflektif, dan responsif terhadap dinamika sejarah dan modernitas, sekaligus memberi kerangka etis dan politis yang bertahan lintas generasi.


Catatan Kaki

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (London: J. Dodsley, 1790), 95–98.

[2]                Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–12.

[3]                Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays (Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 6–9.

[4]                Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 15–20.

[5]                Irving Kristol, Neoconservatism: The Autobiography of an Idea (New York: Free Press, 1995), x–xi.

[6]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 65–69.

[7]                Joseph de Maistre, Considerations on France (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 34–37.


8.           Kritik terhadap Konservatisme

Meskipun konservatisme memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan sosial dan kontinuitas nilai-nilai tradisional, aliran ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap konservatisme datang dari berbagai arah, mulai dari kalangan liberal, sosialis, progresif, hingga pemikir posmodern. Kritik-kritik tersebut mencerminkan perdebatan mendalam tentang bagaimana masyarakat seharusnya disusun, sejauh mana perubahan sosial diperlukan, dan apa batas antara pelestarian dan stagnasi.

8.1.       Tuduhan sebagai Ideologi Status Quo dan Anti-Perubahan

Salah satu kritik utama terhadap konservatisme adalah bahwa ia cenderung menjadi pembela status quo yang tidak adil, dengan dalih stabilitas dan kontinuitas. Kaum liberal dan progresif menilai bahwa konservatisme sering gagal membedakan antara “tradisi yang bermakna” dan “tradisi yang menindas”¹. Dalam hal ini, konservatisme dituduh terlalu lambat merespons ketidaksetaraan sosial, seperti dalam isu hak perempuan, hak minoritas, atau keadilan ekonomi. Pandangan ini terlihat dalam kritik John Stuart Mill yang menyebut kaum konservatif sebagai “orang-orang dungu namun gigih” karena terlalu menekankan ketakutan terhadap perubahan².

8.2.       Kritik atas Legitimasi Otoritas dan Hierarki

Konservatisme dituduh memberi legitimasi terhadap struktur hierarkis yang tidak adil, seperti aristokrasi, patriarki, atau kelas sosial tetap. Dalam pandangan kaum sosialis, konservatisme cenderung melanggengkan dominasi kelas atas dan menghalangi redistribusi kekayaan yang adil. Karl Marx melihat konservatisme sebagai bagian dari ideologi borjuis yang berupaya menjaga kepemilikan dan kekuasaan melalui institusi-institusi mapan³. Bahkan dalam konteks demokrasi modern, konservatisme dianggap dapat melahirkan bentuk-bentuk baru dari otoritarianisme yang terselubung dalam jargon “ketertiban” dan “nilai moral”.

8.3.       Ketidaksesuaian dengan Dinamika Masyarakat Plural dan Global

Dalam masyarakat modern yang pluralistik dan global, konservatisme sering dikritik karena eksklusivisme nilai dan kesulitan beradaptasi terhadap realitas multikultural. Roger Scruton, misalnya, dikritik karena mempertahankan gagasan "budaya tinggi" Eropa sebagai standar normatif, yang bagi sebagian pengkritik dianggap mengabaikan keberagaman identitas dan warisan budaya lain⁴. Konservatisme, dalam bentuknya yang sempit, dinilai dapat menjadi lahan subur bagi nasionalisme eksklusif, xenofobia, dan bahkan supremasi rasial jika tidak disertai oleh keterbukaan terhadap perbedaan⁵.

8.4.       Relasi Ambigu terhadap Demokrasi dan Kebebasan

Kritikus juga menyoroti relasi ambigu konservatisme terhadap demokrasi. Di satu sisi, konservatisme mengklaim membela kebebasan individu dan supremasi hukum; di sisi lain, pendekatan konservatif yang menekankan hierarki dan otoritas dapat berseberangan dengan prinsip egalitarianisme dan partisipasi setara dalam demokrasi. Judith Shklar menilai bahwa konservatisme memiliki kecenderungan “elitisme” yang melemahkan kapasitas rakyat untuk secara kritis dan aktif terlibat dalam urusan publik⁶.

8.5.       Risiko Anti-Intelektualisme dan Dogmatisme

Konservatisme juga dikritik karena kadang terjebak dalam dogmatisme atau romantisasi masa lalu yang tidak kritis. Dalam konteks ini, konservatisme dapat menjadi resisten terhadap pengetahuan baru, penemuan ilmiah, atau dinamika teknologi. Corey Robin berargumen bahwa konservatisme pada dasarnya bukan sekadar preferensi terhadap stabilitas, tetapi merupakan bentuk reaksi terhadap gerakan emansipatoris, dan oleh karena itu sering kali bersifat kontrarevolusioner⁷. Hal ini membuka celah bagi konservatisme untuk berkembang sebagai ideologi yang memusuhi kemajuan intelektual dan inovasi sosial.

8.6.       Tantangan Konsistensi Internal

Kritik lain menyangkut ketidakkonsistenan internal dalam spektrum konservatisme itu sendiri. Misalnya, konservatisme sosial yang mendukung moralitas kolektif kadang bertentangan dengan konservatisme ekonomi yang pro pasar bebas dan individualistik. Neokonservatisme yang mendorong intervensi global sering dikritik oleh paleokonservatisme yang justru menyerukan non-intervensi. Ketegangan antar varian ini menunjukkan bahwa konservatisme bukan doktrin yang sepenuhnya konsisten secara filosofis atau kebijakan, melainkan mozaik pemikiran yang kadang kontradiktif⁸.


Catatan Kaki

[1]                Michael Freeden, Ideologies and Political Theory: A Conceptual Approach (Oxford: Oxford University Press, 1996), 330–332.

[2]                John Stuart Mill, On Liberty and Other Essays, ed. John Gray (Oxford: Oxford University Press, 1991), 122.

[3]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology (New York: International Publishers, 1970), 64–67.

[4]                Roger Scruton, Culture Counts: Faith and Feeling in a World Besieged (New York: Encounter Books, 2007), 10–12.

[5]                Martha C. Nussbaum, The Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed Ideal (Cambridge: Harvard University Press, 2019), 87–89.

[6]                Judith N. Shklar, Ordinary Vices (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 128–130.

[7]                Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism from Edmund Burke to Donald Trump (New York: Oxford University Press, 2018), 14–16.

[8]                Andrew Vincent, Modern Political Ideologies (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 123–126.


9.           Relevansi Konservatisme di Abad ke-21

Di tengah perubahan global yang cepat, munculnya krisis identitas, dan meningkatnya ketidakpastian sosial, konservatisme kembali mencuat sebagai kekuatan politik dan intelektual yang signifikan di abad ke-21. Meskipun sering dianggap sebagai warisan masa lalu, konservatisme menawarkan respons normatif terhadap tantangan zaman modern, mulai dari degradasi nilai, fragmentasi sosial, hingga gejolak politik global. Kembali ke prinsip-prinsip dasar seperti tatanan moral, komunitas, dan otoritas, konservatisme menunjukkan ketahanannya sebagai wacana yang adaptif namun tetap berakar.

9.1.       Respons terhadap Krisis Identitas dan Disorientasi Moral

Modernitas lanjut telah melahirkan masyarakat yang makin plural dan cair, namun juga rentan terhadap krisis identitas dan kehampaan moral. Konservatisme hadir sebagai respons terhadap apa yang dianggap sebagai disorientasi nilai dalam masyarakat pascamodern, termasuk individualisme ekstrem, relativisme moral, dan konsumerisme tanpa arah. Roger Scruton berpendapat bahwa konservatisme menawarkan “rasa tempat” dan “akar moral” yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang terfragmentasi⁽¹⁾. Konservatisme berusaha mengembalikan kesadaran terhadap pentingnya tradisi, agama, dan komunitas lokal sebagai penjaga keteraturan moral.

9.2.       Kembalinya Politik Populis Konservatif

Salah satu fenomena paling mencolok dalam dua dekade terakhir adalah kebangkitan gerakan populis konservatif di berbagai negara, dari Amerika Serikat, Inggris, hingga Eropa Timur. Tokoh seperti Donald Trump, Viktor Orbán, dan Jair Bolsonaro memobilisasi narasi konservatif—baik dalam bentuk penolakan terhadap imigrasi massal, kritik terhadap globalisasi neoliberal, maupun pemuliaan nilai-nilai nasional dan agama⁽²⁾. Meskipun sarat kontroversi, fenomena ini menunjukkan bahwa konservatisme masih memiliki daya tarik politik yang kuat, khususnya dalam merespons keresahan publik terhadap perubahan sosial dan ekonomi yang cepat.

9.3.       Konservatisme dan Teknologi: Adaptasi atau Resistensi?

Dalam menghadapi revolusi digital dan teknologi informasi, konservatisme menghadapi dilema antara adaptasi dan resistensi. Di satu sisi, konservatif mengkritik dampak media sosial terhadap tatanan sosial—mulai dari pelemahan otoritas, krisis perhatian, hingga banalisasi diskursus publik. Di sisi lain, beberapa konservatif mulai menggunakan teknologi untuk memperkuat jaringan identitas tradisional dan melawan dominasi wacana progresif dalam ruang digital⁽³⁾. Relevansi konservatisme terletak pada kemampuannya menilai dampak teknologi secara etis, bukan hanya utilitarian.

9.4.       Konservatisme dan Krisis Global: Migrasi, Lingkungan, dan Pandemi

Konservatisme juga mendapat tantangan dalam merespons krisis global kontemporer. Dalam isu migrasi, konservatif cenderung mendukung kebijakan proteksionis dan nasionalisme kultural demi menjaga integritas sosial. Dalam isu lingkungan, terdapat perbedaan antara “ekologisme konservatif” yang mendorong pelestarian warisan alam, dan konservatisme pasar bebas yang skeptis terhadap regulasi iklim⁽⁴⁾. Pandemi COVID-19 juga memperlihatkan perbedaan pendekatan konservatif dalam menyeimbangkan antara kebebasan individu, tanggung jawab sosial, dan peran negara.

9.5.       Peran Konservatisme dalam Wacana Intelektual

Di tengah dominasi wacana progresif di dunia akademik dan media, konservatisme tetap bertahan sebagai tradisi intelektual yang kritis. Institusi konservatif seperti The Heritage Foundation, Claremont Institute, dan National Review tetap aktif mengembangkan argumentasi berbasis nilai dan teori politik⁽⁵⁾. Konservatisme menawarkan kontra-narasi terhadap ideologi pascamodern dan identitas cair dengan menekankan pada keutuhan moral, pentingnya peradaban, dan penghormatan terhadap sejarah.

9.6.       Relevansi Filosofis: Moderasi dalam Era Ekstremisme

Dalam dunia yang kian terpolarisasi, konservatisme dapat dilihat sebagai alternatif etis yang menolak ekstremisme dari kiri maupun kanan. Pandangan konservatif yang menekankan kehati-hatian politik (politics of prudence), stabilitas, dan nilai-nilai intergenerasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat yang beradab dan berkelanjutan⁽⁶⁾. Dengan demikian, konservatisme bukan sekadar gerakan reaktif, melainkan penyumbang penting dalam diskursus moral dan politik kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 3–6.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 84–88.

[3]                Mary Anne Franks, The Cult of the Constitution (Stanford: Stanford University Press, 2019), 102–105.

[4]                Roger Scruton, Green Philosophy: How to Think Seriously About the Planet (Oxford: Oxford University Press, 2012), 18–21.

[5]                George H. Nash, The Conservative Intellectual Movement in America Since 1945 (Wilmington: ISI Books, 2006), 291–295.

[6]                Russell Kirk, The Politics of Prudence (Wilmington: ISI Books, 1993), 54–58.


10.       Penutup

Konservatisme, sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik, telah menunjukkan daya tahannya dalam menghadapi dinamika sejarah, mulai dari revolusi sosial abad ke-18 hingga gelombang globalisasi dan digitalisasi pada abad ke-21. Dengan akar filosofis yang kuat pada pemikiran Edmund Burke dan diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Russell Kirk, Michael Oakeshott, dan Roger Scruton, konservatisme menawarkan suatu pendekatan yang menekankan stabilitas sosial, pentingnya institusi tradisional, dan kontinuitas nilai-nilai moral dalam masyarakat¹.

Sepanjang artikel ini, telah dibahas bahwa konservatisme bukanlah ideologi yang menolak perubahan secara mutlak, tetapi mengedepankan perubahan yang hati-hati, gradual, dan berakar pada pengalaman historis serta kebijaksanaan kolektif. Dalam konteks masyarakat modern yang kompleks dan pluralistik, konservatisme dapat berperan sebagai penyeimbang terhadap arus radikalisme ideologis yang seringkali mengabaikan realitas sosial dan sejarah².

Namun demikian, konservatisme juga tidak luput dari kritik. Tuduhan bahwa konservatisme mempertahankan ketimpangan sosial, melemahkan dinamika demokrasi, dan gagal merespons kebutuhan transformasi sosial yang mendesak merupakan tantangan serius yang harus dihadapi secara reflektif dan konstruktif. Relevansi konservatisme hari ini bergantung pada kemampuannya untuk menyaring tradisi yang esensial dari yang usang, serta kemampuannya untuk berdialog secara kritis dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas filosofisnya³.

Abad ke-21 menuntut konservatisme untuk menjawab tantangan global seperti krisis lingkungan, revolusi teknologi, migrasi massal, dan krisis etika dalam kehidupan publik. Dalam hal ini, konservatisme dapat menawarkan kontribusi penting dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara inovasi dan keberlanjutan, serta antara perubahan dan kontinuitas⁴. Sebagaimana ditekankan oleh Russell Kirk, “konservatisme adalah pengakuan terhadap keterbatasan manusia, dan oleh karena itu, merupakan panggilan untuk kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam bertindak”⁵.

Dengan demikian, konservatisme tidak semata-mata warisan masa lalu, melainkan tradisi intelektual dan moral yang hidup dan terus bertransformasi. Ia tetap relevan selama mampu mengartikulasikan nilai-nilai abadi dalam kerangka sosial-politik yang dinamis, serta membuka ruang untuk reformasi tanpa membongkar fondasi peradaban yang telah terbentuk. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan percepatan, konservatisme menghadirkan narasi tentang makna, stabilitas, dan komunitas yang semakin langka namun sangat dibutuhkan.


Catatan Kaki

[1]                Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 6–9.

[2]                Michael Oakeshott, Rationalism in Politics and Other Essays (Indianapolis: Liberty Fund, 1991), 13–14.

[3]                Corey Robin, The Reactionary Mind: Conservatism from Edmund Burke to Donald Trump (New York: Oxford University Press, 2018), 18–19.

[4]                Yoram Hazony, Conservatism: A Rediscovery (Washington, DC: Regnery Gateway, 2022), 223–227.

[5]                Russell Kirk, The Politics of Prudence (Wilmington: ISI Books, 1993), 9–11.


Daftar Pustaka

Burke, E. (1790). Reflections on the revolution in France. J. Dodsley.

Deneen, P. J. (2018). Why liberalism failed. Yale University Press.

Franks, M. A. (2019). The cult of the constitution. Stanford University Press.

Freeden, M. (1996). Ideologies and political theory: A conceptual approach. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. University of Chicago Press.

Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. University of Chicago Press.

Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton University Press.

Hirsch, E. D., Jr. (1988). Cultural literacy: What every American needs to know. Vintage.

Kirk, R. (2001). The conservative mind: From Burke to Eliot. Regnery Publishing.

Kirk, R. (1993). The politics of prudence. ISI Books.

Kristol, I. (1995). Neoconservatism: The autobiography of an idea. Free Press.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology. International Publishers. (Original work published 1846)

Mill, J. S. (1991). On liberty and other essays (J. Gray, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1859)

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Nash, G. H. (2006). The conservative intellectual movement in America since 1945. ISI Books.

Nussbaum, M. C. (2019). The cosmopolitan tradition: A noble but flawed ideal. Harvard University Press.

Oakeshott, M. (1991). Rationalism in politics and other essays. Liberty Fund.

Robin, C. (2018). The reactionary mind: Conservatism from Edmund Burke to Donald Trump (2nd ed.). Oxford University Press.

Scruton, R. (2001). The meaning of conservatism (3rd ed.). Palgrave Macmillan.

Scruton, R. (2007). Culture counts: Faith and feeling in a world besieged. Encounter Books.

Scruton, R. (2012). Green philosophy: How to think seriously about the planet. Oxford University Press.

Scruton, R. (2014). How to be a conservative. Bloomsbury.

Scruton, R. (2015). Fools, frauds and firebrands: Thinkers of the new left. Bloomsbury.

Scruton, R. (2014). The soul of the world. Princeton University Press.

Shklar, J. N. (1984). Ordinary vices. Harvard University Press.

Skinner, Q. (2002). Visions of politics: Volume I: Regarding method. Cambridge University Press.

Vincent, A. (2010). Modern political ideologies (3rd ed.). Wiley-Blackwell.

de Maistre, J. (1994). Considerations on France (R. A. Lebrun, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1797)

Hazony, Y. (2018). The virtue of nationalism. Basic Books.

Hazony, Y. (2022). Conservatism: A rediscovery. Regnery Gateway.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar