Revolusi Industri
Teknologi, Kapitalisme, dan Perubahan Sosial dalam
Lintasan Modernitas
Alihkan ke: Akar Pemikiran Modern Eropa dan Dampaknya terhadap
Dunia.
Abstrak
Artikel ini mengkaji Revolusi Industri sebagai
fenomena historis yang multidimensi, menelusuri transformasi besar dalam bidang
teknologi, ekonomi, dan struktur sosial sejak pertengahan abad ke-18. Melalui
pendekatan interdisipliner, artikel ini membahas bagaimana inovasi teknologi
seperti mesin uap, sistem pabrik, dan transportasi modern menjadi landasan bagi
tumbuhnya kapitalisme industri yang berorientasi pada akumulasi modal dan
produksi massal. Perubahan ini berdampak besar terhadap struktur kelas,
urbanisasi, dan relasi kerja, serta memunculkan dinamika sosial seperti
kesadaran kelas dan gerakan buruh. Revolusi Industri juga mendorong ekspansi
imperialisme global yang membentuk ketimpangan antara negara industri dan
koloni. Dalam kajian ini, berbagai kritik filosofis dari pemikir seperti Karl
Marx, John Stuart Mill, dan tokoh-tokoh Romantik dianalisis untuk menyoroti dilema
etis dan eksistensial yang muncul dari industrialisasi. Akhirnya, artikel ini
merefleksikan warisan Revolusi Industri dalam dunia kontemporer, termasuk dalam
krisis ekologis, kapitalisme global, dan tantangan teknologi digital. Pemahaman
kritis terhadap proses sejarah ini penting untuk merumuskan arah pembangunan
masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.
Kata Kunci: Revolusi Industri; Teknologi; Kapitalisme; Struktur
Sosial; Imperialisme; Kritik Filosofis; Modernitas; Globalisasi; Ekonomi
Politik; Transformasi Sosial.
PEMBAHASAN
Teknologi, Kapitalisme, dan Perubahan Sosial
1.
Pendahuluan
Revolusi Industri merupakan salah satu titik balik
paling monumental dalam sejarah umat manusia. Ia bukan hanya sekadar
transformasi teknis dalam cara memproduksi barang, tetapi juga mencerminkan
pergolakan struktural dalam tatanan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
modern. Dimulai di Inggris pada pertengahan abad ke-18, Revolusi Industri
menandai transisi dari ekonomi berbasis agrikultur dan kerajinan rumah tangga
menuju sistem produksi mekanis di pabrik-pabrik yang terintegrasi dengan pasar
nasional dan internasional.¹
Lahir dari kombinasi antara kemajuan teknologi,
dinamika kapitalisme, dan konteks sosial-politik yang mendukung, Revolusi
Industri membentuk fondasi bagi apa yang disebut dengan modernitas. Perkembangan
mesin uap, alat pemintal otomatis, dan inovasi dalam sistem transportasi
menciptakan efisiensi produksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.² Namun,
kemajuan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Revolusi ini juga mempercepat
urbanisasi, memperlebar jurang sosial antara kelas-kelas masyarakat, dan
melahirkan struktur baru dalam relasi kerja—yang pada gilirannya memicu
munculnya berbagai bentuk resistensi sosial dan ideologi tandingan terhadap
sistem kapitalisme.³
Dalam kajian ini, Revolusi Industri tidak hanya
akan ditelaah dari sudut pandang teknologis semata, melainkan juga sebagai
momen historis yang mengikat erat antara perkembangan teknologi, ekspansi
kapitalisme, dan perubahan sosial yang kompleks. Melalui pendekatan
multidisipliner, pembahasan ini akan menelaah bagaimana lompatan teknologis
pada masa tersebut menjadi alat reproduksi sistem ekonomi kapitalistik,
sekaligus menjadi faktor utama dalam transformasi struktur sosial masyarakat
global.⁴
Dengan demikian, pemahaman terhadap Revolusi
Industri tidak dapat dipisahkan dari konteks luas pergeseran historis yang
lebih besar. Kajian ini akan mengeksplorasi keterkaitan antara inovasi teknis,
logika kapitalisme industri, dan dampak sosial-politik yang dihasilkannya, baik
dalam konteks Eropa maupun dalam imbas globalnya.⁵ Melalui penelusuran
tersebut, kita akan memahami Revolusi Industri sebagai fondasi yang
memungkinkan lahirnya dunia modern sekaligus menyingkap tantangan struktural
yang masih relevan hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in
World History, 5th ed. (New York: Routledge, 2021), 1–3.
[2]
Robert C. Allen, The British Industrial
Revolution in Global Perspective (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 12–18.
[3]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: From 1750 to
the Present Day (London: Penguin Books, 1999), 45–52.
[4]
David S. Landes, The Unbound Prometheus:
Technological Change and Industrial Development in Western Europe from 1750 to
the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 19–21.
[5]
Kenneth Pomeranz, The Great Divergence: China,
Europe, and the Making of the Modern World Economy (Princeton: Princeton
University Press, 2000), 3–7.
2.
Konteks
Historis Sebelum Revolusi Industri
Untuk memahami kedalaman dan dampak Revolusi
Industri, sangat penting menelaah terlebih dahulu kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat Eropa sebelum pertengahan abad ke-18. Dunia pra-industri
ditandai oleh dominasi sistem ekonomi agraris dan produksi domestik skala kecil
yang tersebar di pedesaan. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada
pertanian subsisten, dengan teknologi yang masih sederhana dan sangat bergantung
pada tenaga manusia dan hewan.¹
Dalam sistem ini, produksi barang-barang konsumsi
seperti tekstil, kerajinan logam, dan peralatan rumah tangga umumnya dilakukan
dalam unit rumah tangga melalui sistem yang dikenal sebagai putting-out
system atau domestic system. Sistem ini melibatkan pengusaha
(merchant-capitalist) yang menyediakan bahan baku kepada para pekerja rumahan
untuk diproses, sebelum kemudian dikumpulkan kembali dan dijual di pasar.²
Meskipun sistem ini relatif fleksibel, ia memiliki keterbatasan dalam hal
produktivitas dan efisiensi, serta tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang
mulai meningkat seiring pertumbuhan populasi dan perdagangan.
Secara sosial, masyarakat Eropa masih berada dalam
struktur feodal yang kaku, dengan kekuasaan aristokrasi dan gereja yang
dominan. Status sosial ditentukan oleh kelahiran, bukan oleh kemampuan atau
prestasi ekonomi.³ Namun, perubahan mulai muncul sejak abad ke-16 dan ke-17,
ketika munculnya perdagangan internasional, revolusi harga, serta awal kapitalisme
komersial mulai menggoyahkan tatanan lama. Kota-kota mulai tumbuh sebagai pusat
perdagangan dan keuangan, serta menjadi tempat berkembangnya kelas menengah
baru yang terdiri dari para pengusaha, bankir, dan pemodal.
Seiring dengan berkembangnya kolonialisme dan
eksploitasi sumber daya di dunia non-Barat, terjadi akumulasi modal yang
signifikan di pusat-pusat kekuatan Eropa, khususnya di Inggris.⁴ Akumulasi
inilah yang kelak menyediakan dasar finansial bagi pembiayaan investasi mesin,
pabrik, dan infrastruktur dalam Revolusi Industri. Selain itu, transformasi
budaya yang dipicu oleh Renaissance dan Revolusi Ilmiah turut mengubah cara
pandang masyarakat terhadap alam, teknologi, dan kerja. Rasionalitas,
efisiensi, dan kemajuan mulai menjadi nilai-nilai baru yang secara bertahap
menggantikan tradisi dan takdir sebagai dasar struktur sosial.⁵
Dengan demikian, Revolusi Industri tidak muncul
dari kehampaan, melainkan merupakan hasil dari serangkaian perkembangan
historis yang berlangsung selama berabad-abad sebelumnya. Ia adalah buah dari
pergeseran besar dalam struktur ekonomi, sosial, dan kognitif masyarakat Eropa
yang telah lama berproses secara perlahan, sebelum akhirnya mencapai titik
kritis dalam bentuk revolusi teknologi dan produksi.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in
World History, 5th ed. (New York: Routledge, 2021), 7–9.
[2]
Joel Mokyr, The Enlightened Economy: An Economic
History of Britain 1700–1850 (New Haven: Yale University Press, 2009),
34–36.
[3]
E.P. Thompson, The Making of the English Working
Class (New York: Vintage Books, 1966), 15–18.
[4]
Kenneth Pomeranz, The Great Divergence: China,
Europe, and the Making of the Modern World Economy (Princeton: Princeton
University Press, 2000), 89–94.
[5]
David S. Landes, The Wealth and Poverty of
Nations: Why Some Are So Rich and Some So Poor (New York: W.W. Norton &
Company, 1998), 186–188.
3.
Lompatan
Teknologis dan Inovasi Produksi
Salah satu ciri paling menonjol dari Revolusi
Industri adalah kemajuan luar biasa dalam bidang teknologi dan produksi.
Perkembangan ini menandai pergeseran radikal dari tenaga kerja manual menuju
penggunaan mesin dalam proses produksi, sehingga meningkatkan skala, kecepatan,
dan efisiensi manufaktur secara dramatis. Lompatan teknologi tersebut bukan
hanya bersifat mekanik, tetapi juga mencerminkan kematangan pengetahuan ilmiah,
keterampilan teknis, dan struktur ekonomi yang mendukung adopsi inovasi secara
masif.
Inovasi pertama yang menandai fase awal revolusi
ini adalah penemuan dan penyempurnaan mesin pemintal tekstil. Alat seperti Spinning
Jenny yang dikembangkan oleh James Hargreaves pada tahun 1764 memungkinkan
seorang pekerja untuk memintal delapan benang secara bersamaan, jauh lebih
efisien dibandingkan alat tradisional.¹ Inovasi ini kemudian disusul oleh Water
Frame milik Richard Arkwright yang memanfaatkan tenaga air sebagai sumber
energi, dan Power Loom ciptaan Edmund Cartwright yang secara otomatis
menenun benang menjadi kain.² Rangkaian mesin ini meletakkan dasar bagi
munculnya sistem pabrik tekstil modern.
Namun, titik balik utama dalam transisi teknologi
produksi terletak pada penggunaan mesin uap. James Watt berhasil
merevolusi desain mesin uap pada 1776 dengan menciptakan model yang lebih
efisien dan dapat digunakan secara fleksibel dalam berbagai industri, dari
pertambangan hingga tekstil.³ Mesin uap memungkinkan produksi tidak lagi
terbatas pada lokasi dekat sungai (sebagai sumber tenaga air), dan dengan
demikian, mempercepat pertumbuhan kota industri. Pabrik-pabrik dapat dibangun
di lokasi strategis dekat pasar dan sumber tenaga kerja.
Lompatan teknologi juga tampak dalam sektor
transportasi dan logistik. Penemuan kereta api uap oleh George
Stephenson, serta pembangunan jalur rel seperti Stockton and Darlington
Railway pada 1825, menciptakan sistem distribusi barang yang cepat, murah,
dan dapat diandalkan.⁴ Di samping itu, kapal uap mulai menggantikan kapal layar
dalam perdagangan maritim, memungkinkan ekspansi perdagangan global dalam skala
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara struktural, teknologi Revolusi Industri
tidak hanya meningkatkan kapasitas produksi, tetapi juga menciptakan sistem
kerja baru yang terstandarisasi dan terspesialisasi. Prinsip divisi kerja
yang dikembangkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), di
mana setiap pekerja fokus pada satu tahapan produksi saja, diintegrasikan
dengan penggunaan mesin untuk meningkatkan produktivitas dan akumulasi
kapital.⁵ Ini menjadi fondasi bagi sistem manufaktur massal modern.
Dengan demikian, lompatan teknologi dalam Revolusi
Industri bukan hanya soal penciptaan alat baru, tetapi juga menyangkut
transformasi menyeluruh dalam cara manusia bekerja, berproduksi, dan membangun
struktur ekonomi. Revolusi ini membuka jalan menuju dunia industri modern,
sekaligus memperkenalkan tantangan baru dalam relasi manusia dan mesin, tenaga
kerja dan kapital.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in
World History, 5th ed. (New York: Routledge, 2021), 27–28.
[2]
Robert C. Allen, The British Industrial
Revolution in Global Perspective (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 150–153.
[3]
David S. Landes, The Unbound Prometheus:
Technological Change and Industrial Development in Western Europe from 1750 to
the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 41–45.
[4]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: From 1750 to
the Present Day (London: Penguin Books, 1999), 73–76.
[5]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), Book I,
Chapter I.
4.
Kapitalisme
Industri dan Dinamika Ekonomi Baru
Revolusi Industri tidak hanya menghasilkan kemajuan
teknologi dan peningkatan produktivitas, tetapi juga memicu lahirnya bentuk
kapitalisme baru yang berakar pada logika akumulasi modal, investasi produksi,
dan ekspansi pasar. Kapitalisme industri merupakan transformasi dari sistem
kapitalisme komersial sebelumnya, yang lebih berorientasi pada perdagangan dan
perolehan keuntungan dari pertukaran barang, menjadi sistem ekonomi yang
bertumpu pada produksi massal, penggunaan mesin, dan kontrol terhadap proses kerja.¹
Dalam sistem kapitalisme industri, pemilik modal
berperan sebagai pengorganisasi utama produksi. Mereka mendirikan
pabrik-pabrik, mempekerjakan tenaga kerja, membeli bahan mentah, serta menjual
produk jadi ke pasar nasional dan internasional. Struktur ini melahirkan dua
kelas sosial utama: borjuis industri, yaitu kelas pemilik alat produksi,
dan proletariat, yaitu kelas pekerja yang hanya memiliki tenaga kerja
sebagai komoditas.² Hubungan antara kedua kelas ini bersifat eksploitatif dalam
kerangka logika akumulasi kapital, di mana keuntungan maksimal diperoleh
melalui ekstraksi nilai lebih (surplus value) dari kerja buruh.
Peran pasar menjadi semakin penting. Produksi tidak
lagi diarahkan untuk konsumsi lokal, melainkan untuk kebutuhan pasar yang terus
diperluas melalui kolonialisme, perdagangan global, dan pertumbuhan populasi
urban.³ Dalam kondisi ini, mekanisme persaingan mendorong para kapitalis untuk
terus menekan biaya produksi, menggantikan buruh dengan mesin, serta
memperpanjang jam kerja. Akibatnya, ketimpangan sosial dan ketidakstabilan
kerja menjadi ciri menonjol ekonomi baru ini.
Sistem keuangan juga mengalami transformasi
signifikan. Perbankan, asuransi, dan lembaga pembiayaan berkembang untuk
mendukung investasi skala besar dalam pembangunan pabrik, jalur kereta api, dan
pengembangan kota industri.⁴ Modal menjadi entitas yang tidak lagi bersifat
personal, tetapi terlembaga dalam sistem yang menggerakkan arsitektur ekonomi
secara global.
Dalam konteks teori ekonomi, para pemikir seperti Adam
Smith, David Ricardo, dan Jean-Baptiste Say memberikan
landasan intelektual bagi kapitalisme industri. Mereka menekankan pentingnya laissez-faire,
pembagian kerja, serta hukum pasar bebas sebagai mekanisme alami pertumbuhan
ekonomi.⁵ Namun, kritik terhadap sistem ini muncul dari pemikir seperti Karl
Marx dan Friedrich Engels yang menyoroti kontradiksi internal
kapitalisme: eksploitasi buruh, krisis overproduksi, dan dehumanisasi manusia
dalam sistem produksi.⁶
Dengan demikian, kapitalisme industri bukan hanya
sistem ekonomi, melainkan juga sistem sosial-politik yang membentuk cara hidup
modern. Ia mengatur relasi antara manusia dan kerja, produksi dan konsumsi,
serta menciptakan tatanan baru yang secara simultan menawarkan kemajuan
material dan menimbulkan konflik sosial yang mendalam.
Footnotes
[1]
Ellen Meiksins Wood, The Origin of Capitalism: A
Longer View (London: Verso, 2002), 126–130.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist
Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 8–10.
[3]
Kenneth Pomeranz, The Great Divergence: China,
Europe, and the Making of the Modern World Economy (Princeton: Princeton
University Press, 2000), 107–111.
[4]
Fernand Braudel, The Wheels of Commerce:
Civilization and Capitalism 15th–18th Century, vol. 2 (New York: Harper
& Row, 1982), 529–536.
[5]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776),
Book IV, Chapters IX–X.
[6]
David McLellan, Karl Marx: A Biography, 3rd
ed. (London: Macmillan, 1995), 211–217.
5.
Perubahan
Sosial dan Struktur Kelas
Revolusi Industri tidak hanya mengubah sistem
ekonomi dan teknologi, tetapi juga menciptakan pergeseran sosial yang sangat
mendalam. Perubahan-perubahan tersebut meliputi pertumbuhan urbanisasi, restrukturisasi
relasi kelas, serta transformasi peran gender dan keluarga. Dampak
ini mencerminkan dimensi sosiologis dari industrialisasi yang membentuk
kerangka kehidupan masyarakat modern secara menyeluruh.
Pertama, Revolusi Industri mempercepat urbanisasi,
dengan jutaan orang bermigrasi dari desa ke kota industri seperti Manchester,
Birmingham, dan Liverpool untuk mencari pekerjaan di pabrik. Kota-kota yang
sebelumnya kecil berkembang pesat, namun tanpa infrastruktur memadai untuk
menampung lonjakan penduduk. Hal ini menyebabkan kondisi pemukiman yang padat,
tidak sehat, dan penuh kemiskinan—yang oleh Friedrich Engels digambarkan
sebagai “penyimpangan kemanusiaan dalam tubuh masyarakat kapitalis.”¹
Kedua, struktur kelas sosial mengalami fragmentasi
baru yang lebih tajam. Kelas borjuis industri—para pemilik pabrik,
pedagang besar, dan pemilik modal—menjadi kelompok dominan yang menentukan arah
ekonomi dan politik. Sementara itu, kelas proletariat—para buruh pabrik
yang menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup—menjadi kelompok terbanyak
namun termarjinalkan.² Proletariat tidak memiliki hak politik, menghadapi jam
kerja panjang, upah rendah, serta kondisi kerja yang sering kali berbahaya dan
tidak manusiawi.³
Ketimpangan ini melahirkan kesadaran kelas
dan memicu munculnya organisasi buruh, serikat pekerja, dan gerakan
sosial seperti Luddite (yang menentang mesin), Chartist (yang
menuntut hak pilih bagi rakyat pekerja), serta cikal bakal ideologi sosialisme
dan komunisme.⁴ Perjuangan kelas menjadi bagian penting dari narasi sosial
dalam era industri, sebagaimana dipahami dalam pemikiran Marx yang melihat
pertentangan antara borjuis dan proletariat sebagai kekuatan pendorong utama
sejarah modern.⁵
Selain itu, perubahan juga terjadi dalam struktur
keluarga dan peran gender. Model keluarga pra-industri yang berbasis rumah
tangga dan produktivitas bersama berubah drastis ketika laki-laki, perempuan,
dan bahkan anak-anak dipaksa bekerja dalam sistem pabrik. Anak-anak sering kali
dipekerjakan karena biaya tenaga kerjanya yang rendah dan kemampuan mereka
mengakses ruang sempit di antara mesin.⁶ Perempuan menjadi bagian penting dari
tenaga kerja industri, tetapi sering menghadapi diskriminasi upah dan
pelecehan. Perubahan ini menantang norma-norma tradisional dan mendorong
munculnya wacana tentang hak-hak perempuan dan anak-anak dalam masyarakat
industri.
Secara keseluruhan, Revolusi Industri menghasilkan
transformasi mendalam dalam struktur sosial masyarakat, dengan relasi
kuasa dan kerja yang semakin diatur oleh logika produksi dan kepemilikan
kapital. Munculnya kelas-kelas sosial baru dan gerakan sosial merupakan respons
terhadap sistem yang memperluas produksi material sekaligus memperdalam
ketimpangan. Revolusi ini dengan demikian menandai awal dari masyarakat kelas
modern dan kontradiksi-kontradiksi sosial yang menyertainya.
Footnotes
[1]
Friedrich Engels, The Condition of the Working
Class in England, trans. Florence Kelley (London: Penguin Classics, 1987),
45–49.
[2]
E.P. Thompson, The Making of the English Working
Class (New York: Vintage Books, 1966), 9–13.
[3]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in
World History, 5th ed. (New York: Routledge, 2021), 61–64.
[4]
Eric Hobsbawm, Labouring Men: Studies in the
History of Labour (London: Weidenfeld and Nicolson, 1964), 117–124.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist
Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 14–15.
[6]
Jane Humphries, Childhood and Child Labour in
the British Industrial Revolution (Cambridge: Cambridge University Press,
2010), 72–78.
6.
Dampak
Global dan Imperialisme Industri
Revolusi Industri tidak hanya merupakan fenomena
domestik di Inggris atau Eropa Barat, tetapi juga menjadi katalisator
transformasi global yang menciptakan ketimpangan struktural dalam sistem dunia
modern. Lompatan teknologi dan produktivitas yang dihasilkan oleh Revolusi
Industri memberi kekuatan besar kepada negara-negara industri untuk mendominasi
ekonomi dan politik global melalui proses yang dikenal sebagai imperialisme
industri.¹
Negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan
kemudian Jerman serta Amerika Serikat, dengan kekuatan teknologinya, mulai
mengekspansi wilayah kolonial demi memenuhi kebutuhan akan bahan mentah,
pasar baru, dan tenaga kerja murah. Koloni di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin dipaksa untuk menyediakan sumber daya seperti kapas, karet,
rempah-rempah, dan logam, yang semuanya vital bagi kelangsungan industri di
pusat-pusat metropolitan.² Dalam banyak kasus, sistem ekonomi lokal dihancurkan
untuk memberi jalan bagi pola produksi ekspor yang hanya menguntungkan negara
penjajah.³
Imperialisme ini juga mengandalkan superioritas
teknologi sebagai alat dominasi. Transportasi modern seperti kereta api dan
kapal uap, serta komunikasi melalui telegraf, memungkinkan pengawasan dan
eksploitasi koloni secara lebih efektif. Infrastruktur tersebut sering dibangun
bukan untuk kepentingan penduduk lokal, melainkan untuk memperlancar ekstraksi
sumber daya ke pusat industri.⁴ Dengan demikian, kemajuan teknologi menjadi
instrumen kontrol kekuasaan dan hegemonisasi dalam skala global.
Selain itu, Revolusi Industri mempercepat lahirnya
ketimpangan antara Global North dan Global South—istilah yang
menggambarkan perbedaan pembangunan antara negara-negara industri maju dan
wilayah-wilayah yang tereksploitasi secara ekonomi. Kenneth Pomeranz menegaskan
bahwa Revolusi Industri di Eropa tidak semata-mata akibat keunggulan internal,
tetapi juga bergantung pada akses terhadap sumber daya kolonial, terutama dari
Asia dan Amerika.⁵ Dengan kata lain, industrialisasi di satu bagian dunia
berlangsung bersamaan dengan deindustrialisasi dan subordinasi ekonomi di
bagian lainnya.
Perubahan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi
juga kultural dan ideologis. Narasi tentang misi peradaban (civilizing
mission) dijadikan pembenaran moral bagi penaklukan kolonial, di mana
negara industri menganggap diri mereka lebih unggul dan bertanggung jawab untuk
“memodernkan” bangsa lain.⁶ Dalam kenyataannya, modernisasi tersebut sering
kali berarti penghapusan sistem sosial, ekonomi, dan budaya lokal yang telah
berakar selama berabad-abad.
Dampak global Revolusi Industri juga terlihat dalam
pola migrasi besar-besaran. Banyak penduduk koloni dipaksa atau didorong untuk
bekerja di sektor-sektor industri kolonial—baik di tambang, perkebunan, atau
proyek infrastruktur—dalam kondisi kerja yang keras dan eksploitatif. Di sisi
lain, buruh-buruh dari India, Tiongkok, dan Afrika dikirim ke berbagai belahan
dunia sebagai pekerja kontrak untuk menggantikan sistem perbudakan yang secara
formal dihapus tetapi secara praktis dilanggengkan dalam bentuk baru.⁷
Dengan demikian, Revolusi Industri merupakan momen
pembentuk utama dari sistem kapitalisme global yang asimetris. Imperialisme
industri menjadi mekanisme yang menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di
pusat-pusat kapitalis dengan mengorbankan perkembangan di pinggiran dunia.
Jejak dari dinamika ini masih terlihat dalam ketimpangan global kontemporer dan
dalam struktur ekonomi internasional yang tidak seimbang hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Jürgen Osterhammel, The Transformation of the
World: A Global History of the Nineteenth Century, trans. Patrick Camiller
(Princeton: Princeton University Press, 2014), 739–741.
[2]
Sven Beckert, Empire of Cotton: A Global History
(New York: Knopf, 2014), 122–126.
[3]
Mike Davis, Late Victorian Holocausts: El Niño
Famines and the Making of the Third World (London: Verso, 2001), 18–23.
[4]
Daniel R. Headrick, The Tools of Empire:
Technology and European Imperialism in the Nineteenth Century (New York:
Oxford University Press, 1981), 85–90.
[5]
Kenneth Pomeranz, The Great Divergence: China,
Europe, and the Making of the Modern World Economy (Princeton: Princeton
University Press, 2000), 283–289.
[6]
Edward Said, Culture and Imperialism (New
York: Knopf, 1993), 9–11.
[7]
Hugh Tinker, A New System of Slavery: The Export
of Indian Labour Overseas 1830–1920 (London: Oxford University Press,
1974), 45–49.
7.
Kritik
Filosofis dan Respons Intelektual
Revolusi Industri, dengan segala pencapaiannya
dalam bidang produksi dan teknologi, juga menimbulkan kegelisahan intelektual
dan kritik filosofis yang mendalam. Para pemikir dari berbagai latar
belakang—filsafat, ekonomi, sastra, hingga seni—merespons perubahan besar ini
dengan mempertanyakan makna kemajuan, dampaknya terhadap kemanusiaan, dan
krisis moral yang menyertainya.
Salah satu respons paling sistematis terhadap
industrialisasi datang dari Karl Marx dan Friedrich Engels, yang
memandang Revolusi Industri sebagai manifestasi material dari kontradiksi
kapitalisme. Dalam Das Kapital dan Manifesto Komunis, Marx
menekankan bahwa produksi kapitalis yang dilandasi oleh eksploitasi nilai lebih
dari buruh mengakibatkan alienasi manusia dari hasil kerjanya, dari sesama
manusia, dan dari dirinya sendiri.¹ Revolusi Industri bukanlah pembebasan, melainkan
“perbudakan baru” dalam struktur kelas yang menindas.² Bagi Marx, kemajuan
teknologi semestinya membebaskan manusia, namun justru digunakan sebagai alat
dominasi oleh kelas borjuis.
Selain kritik ekonomi-politik, muncul pula
tanggapan dari kalangan filsuf humanis dan eksistensialis yang menyoroti
dampak industrialisasi terhadap dimensi etis dan spiritual manusia. John
Stuart Mill, misalnya, dalam karyanya Principles of Political Economy,
memperingatkan bahwa pencapaian ekonomi tidak serta merta berarti peningkatan
kebahagiaan manusia.³ Ia menekankan perlunya “stasionerisme” atau keseimbangan
sosial, di mana manusia dapat hidup bermakna tanpa harus terus menerus mengejar
pertumbuhan material. Kritik semacam ini mempersoalkan paradigma produktivitas
sebagai ukuran mutlak kemajuan.
Di ranah sastra dan seni, gerakan Romantisisme
menjadi bentuk perlawanan terhadap rasionalisasi dan mekanisasi kehidupan.
Tokoh-tokoh seperti William Blake, William Wordsworth, dan John
Ruskin menyuarakan kerinduan terhadap alam, spiritualitas, dan kehidupan
yang organik—semua hal yang mereka anggap dirusak oleh industrialisasi. Blake
menggambarkan pabrik sebagai “mills of Satan,” simbol dari sistem yang
menindas jiwa dan membunuh imajinasi.⁴ Sementara Ruskin dalam The Stones of
Venice menyerukan agar seni dan kerja kembali menjadi ekspresi dari
nilai-nilai moral dan keindahan, bukan sekadar fungsi produksi.⁵
Di sisi lain, muncul pula respon intelektual
yang ambivalen, seperti pada tokoh Alexis de Tocqueville, yang
melihat Revolusi Industri membawa potensi demokratisasi sosial, tetapi juga
bahaya homogenisasi budaya dan penurunan partisipasi politik. Dalam
perjalanannya ke Inggris, ia mencatat ketakjuban sekaligus kekhawatiran atas
kehidupan buruh pabrik yang penuh kerja keras namun hampa makna.⁶
Kritik juga datang dari kalangan teolog dan
moralis, yang melihat bahwa industrialisasi mengikis nilai-nilai komunitas,
keadilan sosial, dan tanggung jawab moral. Kaum Quaker dan Sosialis
Kristen misalnya, menyerukan reformasi moral dan perbaikan kondisi buruh
sebagai panggilan iman.⁷
Dengan demikian, Revolusi Industri tidak hanya
membentuk masyarakat dari sisi fisik dan ekonomi, tetapi juga memicu perdebatan
mendalam tentang apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang semakin
mekanistik. Kritik filosofis dan respons intelektual terhadap Revolusi Industri
menjadi bagian integral dari wacana modernitas itu sendiri—sebuah refleksi atas
dilema antara kemajuan material dan krisis kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990),
283–300.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist
Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 10–16.
[3]
John Stuart Mill, Principles of Political
Economy, ed. Jonathan Riley (Oxford: Oxford University Press, 1994),
117–120.
[4]
William Blake, Jerusalem: The Emanation of the
Giant Albion (London: 1820), Plate 45.
[5]
John Ruskin, The Stones of Venice, vol. 2
(London: Smith, Elder and Co., 1853), 153–159.
[6]
Alexis de Tocqueville, Journeys to England and
Ireland, ed. J.P. Mayer (New Haven: Yale University Press, 1958), 108–114.
[7]
Christopher H. Evans, The Social Gospel in
American Religion: A History (New York: NYU Press, 2017), 21–27.
8.
Warisan
Revolusi Industri dalam Dunia Kontemporer
Revolusi Industri meninggalkan warisan yang begitu
luas dan kompleks dalam struktur dunia kontemporer. Jejaknya masih sangat
terasa dalam sistem produksi, pola konsumsi, relasi sosial, dan cara manusia
berinteraksi dengan teknologi. Modernitas sebagaimana kita pahami hari
ini—berbasis pada rasionalisasi, industrialisasi, dan kemajuan ilmiah—tidak
dapat dilepaskan dari fondasi yang dibangun sejak abad ke-18 melalui Revolusi
Industri.¹
Salah satu warisan paling nyata adalah transformasi
sistem kerja. Konsep kerja sebagai aktivitas yang terorganisir secara
mekanistik, dengan pembagian tugas yang ketat dan orientasi pada efisiensi,
masih menjadi kerangka dasar dalam banyak industri modern.² Dari jalur
perakitan Henry Ford hingga sistem produksi just-in-time di pabrik Toyota,
prinsip-prinsip rasionalisasi kerja yang diwarisi dari Revolusi Industri terus
dikembangkan dalam bentuk manufaktur massal dan otomatisasi. Bahkan
dalam era digital saat ini, algoritme dan kecerdasan buatan (AI) melanjutkan
proses dehumanisasi kerja yang pernah dimulai oleh mesin uap dan mesin tenun
otomatis.³
Warisan lainnya tampak dalam struktur
kapitalisme global. Revolusi Industri memperkenalkan paradigma pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan melalui eksploitasi sumber daya, akumulasi modal, dan
ekspansi pasar. Logika ini terus mereproduksi dirinya dalam bentuk globalisasi
ekonomi, pasar bebas, dan kapitalisme neoliberal.⁴ Banyak negara berkembang
masih terjebak dalam relasi ekonomi yang subordinatif terhadap negara-negara
industri maju, mencerminkan kesinambungan ketimpangan yang telah dibentuk sejak
masa imperialisme industri.
Dalam aspek budaya dan konsumsi, Revolusi
Industri memunculkan apa yang disebut masyarakat konsumen. Produksi
massal menciptakan surplus barang, sementara sistem periklanan dan distribusi
membentuk pola konsumsi yang tidak lagi sekadar fungsional, tetapi juga
simbolik dan ideologis.⁵ Manusia modern dikonstruksi sebagai subjek ekonomi
yang diukur berdasarkan daya konsumsi, bukan kontribusi produktif atau nilai
sosial. Gaya hidup konsumtif, orientasi terhadap efisiensi, dan fiksasi pada
kemajuan menjadi nilai dominan dalam masyarakat kontemporer.
Namun demikian, warisan Revolusi Industri juga
memunculkan krisis ekologis. Pembakaran bahan bakar fosil, polusi
industri, dan eksploitasi alam yang masif sejak abad ke-19 telah menciptakan
akumulasi dampak lingkungan jangka panjang—dari perubahan iklim hingga
degradasi biodiversitas.⁶ Dalam konteks ini, kritik terhadap modernitas
industri mengarah pada gagasan pembangunan berkelanjutan, teknologi hijau, dan
ekonomi sirkular sebagai upaya untuk merevisi warisan yang merusak tersebut.
Di tengah perkembangan teknologi digital, kini kita
memasuki fase baru yang sering disebut sebagai Revolusi Industri 4.0,
ditandai dengan integrasi dunia fisik, digital, dan biologis.⁷ Meskipun berbeda
dalam alat dan skala, revolusi ini tetap melanjutkan warisan lama: penciptaan
sistem produksi baru, perubahan relasi kerja, dan dinamika sosial-politik yang
kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa Revolusi Industri bukanlah peristiwa yang
tertutup, melainkan proses historis berkesinambungan yang terus mengubah wajah
dunia.
Dengan demikian, warisan Revolusi Industri dalam
dunia kontemporer bersifat ambivalen: ia menjadi sumber kemajuan luar biasa,
namun juga menimbulkan krisis multidimensi. Tantangan abad ke-21 tidak dapat
dipisahkan dari kemampuan umat manusia untuk merefleksikan dan merespons secara
kritis warisan historis ini—baik dalam aspek teknologi, ekonomi, maupun etika.
Footnotes
[1]
David S. Landes, The Unbound Prometheus:
Technological Change and Industrial Development in Western Europe from 1750 to
the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 514–516.
[2]
Harry Braverman, Labor and Monopoly Capital: The
Degradation of Work in the Twentieth Century (New York: Monthly Review
Press, 1974), 79–83.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 92–98.
[4]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First
Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University
Press, 2014), 221–225.
[5]
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge:
Polity Press, 2007), 25–29.
[6]
Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of
Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 169–173.
[7]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution
(Geneva: World Economic Forum, 2016), 11–17.
9.
Penutup
Revolusi Industri merupakan salah satu titik balik
paling transformatif dalam sejarah peradaban manusia. Ia bukan sekadar
peristiwa teknologis, melainkan momen historis multidimensional yang
merekonstruksi struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat modern.
Dari pengenalan mesin uap hingga munculnya kapitalisme industri, dari
reorganisasi kerja hingga restrukturisasi kelas sosial, Revolusi Industri
menciptakan dunia baru dengan logika produksi dan relasi sosial yang sangat
berbeda dari masa sebelumnya.¹
Sebagaimana telah dibahas, kemajuan teknologi dalam
Revolusi Industri memperkuat akumulasi modal dan mempercepat urbanisasi, tetapi
sekaligus memperlebar jurang sosial dan memperkuat dominasi kelas borjuis atas
proletariat.² Kritik filosofis terhadap industrialisasi—dari Marx, Mill, hingga
tokoh-tokoh Romantik—menunjukkan bahwa proses ini tidak hanya membawa manfaat
ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan yang dalam.³ Di sisi lain, dinamika
imperialisme industri memperluas pengaruh Revolusi ini ke tingkat global,
menciptakan ketimpangan struktural yang membentuk arsitektur dunia modern,
terutama dalam relasi antara pusat dan pinggiran kapitalisme.⁴
Warisan Revolusi Industri masih terus hidup hingga
hari ini dalam bentuk sistem ekonomi pasar bebas, budaya konsumsi massal,
eksploitasi lingkungan, dan transformasi kerja oleh teknologi digital.⁵ Dunia
kontemporer, dengan segala problematikanya—mulai dari ketimpangan global, perubahan
iklim, hingga alienasi digital—tidak dapat dipahami tanpa menelusuri akar-akar
historisnya dalam Revolusi Industri.
Namun, warisan ini juga memberikan pelajaran
penting bagi masa depan: bahwa teknologi bukanlah entitas netral, dan bahwa
arah perkembangan sosial selalu dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan
nilai-nilai dominan. Sejarah Revolusi Industri memperlihatkan bagaimana
kemajuan bisa menjadi instrumen emansipasi sekaligus instrumen penindasan,
tergantung pada bagaimana ia dikelola dan siapa yang mengendalikannya.⁶ Oleh
karena itu, refleksi kritis terhadap Revolusi Industri bukanlah sekadar kajian
masa lalu, melainkan fondasi untuk merumuskan jalan modernitas yang lebih adil,
berkelanjutan, dan manusiawi.
Dengan mengaitkan teknologi, kapitalisme, dan
perubahan sosial dalam lintasan panjang modernitas, artikel ini menegaskan
bahwa Revolusi Industri bukan hanya bagian dari sejarah ekonomi, tetapi juga
sejarah ide, kekuasaan, dan peradaban. Memahami Revolusi Industri berarti
memahami dunia yang kita tinggali, serta membuka kemungkinan untuk membentuk
dunia yang lebih baik di masa mendatang.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, The Industrial Revolution in
World History, 5th ed. (New York: Routledge, 2021), 3–6.
[2]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: From 1750 to
the Present Day (London: Penguin Books, 1999), 58–65.
[3]
John Stuart Mill, Principles of Political
Economy, ed. Jonathan Riley (Oxford: Oxford University Press, 1994),
120–123; Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans.
Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 15–16.
[4]
Jürgen Osterhammel, The Transformation of the
World: A Global History of the Nineteenth Century, trans. Patrick Camiller
(Princeton: Princeton University Press, 2014), 743–748.
[5]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First
Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard
University Press, 2014), 227–232.
[6]
David S. Landes, The Unbound Prometheus:
Technological Change and Industrial Development in Western Europe from 1750 to
the Present (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 516–520.
Daftar Pustaka
Allen, R. C. (2009). The British industrial
revolution in global perspective. Cambridge University Press.
Bauman, Z. (2007). Consuming life. Polity
Press.
Beckert, S. (2014). Empire of cotton: A global
history. Knopf.
Blake, W. (1820). Jerusalem: The emanation of
the giant Albion.
Braverman, H. (1974). Labor and monopoly
capital: The degradation of work in the twentieth century. Monthly Review
Press.
Davis, M. (2001). Late Victorian holocausts: El
Niño famines and the making of the Third World. Verso.
Engels, F. (1987). The condition of the working
class in England (F. Kelley, Trans.). Penguin Classics. (Original work
published 1845)
Evans, C. H. (2017). The social gospel in
American religion: A history. New York University Press.
Headrick, D. R. (1981). The tools of empire:
Technology and European imperialism in the nineteenth century. Oxford
University Press.
Hobsbawm, E. (1964). Labouring men: Studies in
the history of labour. Weidenfeld and Nicolson.
Hobsbawm, E. (1999). Industry and empire: From
1750 to the present day. Penguin Books.
Humphries, J. (2010). Childhood and child labour
in the British Industrial Revolution. Cambridge University Press.
Landes, D. S. (2003). The unbound Prometheus:
Technological change and industrial development in Western Europe from 1750 to
the present. Cambridge University Press.
Landes, D. S. (1998). The wealth and poverty of
nations: Why some are so rich and some so poor. W. W. Norton & Company.
Marx, K. (1990). Capital: A critique of
political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Classics. (Original
work published 1867)
Marx, K., & Engels, F. (2002). The Communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Classics. (Original work published
1848)
McLellan, D. (1995). Karl Marx: A biography
(3rd ed.). Macmillan.
Mill, J. S. (1994). Principles of political
economy (J. Riley, Ed.). Oxford University Press. (Original work published
1848)
Mokyr, J. (2009). The enlightened economy: An
economic history of Britain 1700–1850. Yale University Press.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of doubt. Bloomsbury Press.
Osterhammel, J. (2014). The transformation of
the world: A global history of the nineteenth century (P. Camiller,
Trans.). Princeton University Press.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Belknap Press of Harvard University Press.
Pomeranz, K. (2000). The great divergence:
China, Europe, and the making of the modern world economy. Princeton
University Press.
Ruskin, J. (1853). The stones of Venice
(Vol. 2). Smith, Elder and Co.
Said, E. (1993). Culture and imperialism.
Knopf.
Schwab, K. (2016). The fourth industrial
revolution. World Economic Forum.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and
causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.
Stearns, P. N. (2021). The industrial revolution
in world history (5th ed.). Routledge.
Thompson, E. P. (1966). The making of the
English working class. Vintage Books.
Tinker, H. (1974). A new system of slavery: The
export of Indian labour overseas 1830–1920. Oxford University Press.
Tocqueville, A. de. (1958). Journeys to England
and Ireland (J. P. Mayer, Ed.). Yale University Press.
Wood, E. M. (2002). The origin of capitalism: A
longer view. Verso.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar