Jumat, 06 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 12-2: Perlindungan dan Penegakan Hukum

Bahan Ajar PPKn

Perlindungan dan Penegakan Hukum

Pilar Keadilan dan Kedamaian dalam Negara Hukum Indonesia


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran perlindungan dan penegakan hukum dalam membangun keadilan dan kedamaian dalam kerangka negara hukum Indonesia. Berangkat dari landasan konstitusional UUD 1945 dan nilai-nilai filosofis Pancasila, hukum dipahami tidak sekadar sebagai instrumen normatif, tetapi sebagai pilar etik dan sosial untuk menjamin hak-hak warga negara serta menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan harmonis.

Pembahasan dimulai dari konsep dasar perlindungan dan penegakan hukum, dilanjutkan dengan pemetaan kelembagaan yang menjalankan fungsi tersebut, serta evaluasi kritis terhadap praktik hukum yang berlangsung, termasuk hambatan struktural, kesenjangan akses keadilan, dan ketimpangan penegakan hukum. Artikel ini juga menyoroti pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam membangun kesadaran hukum, melakukan pengawasan publik, dan memperkuat budaya kritis terhadap penyimpangan hukum. Sebagai respons terhadap berbagai tantangan tersebut, artikel ini menawarkan strategi peningkatan kualitas penegakan hukum yang berkeadilan melalui reformasi struktural, penguatan etika aparatur, digitalisasi sistem hukum, dan pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila.

Dengan pendekatan yuridis, filosofis, dan sosiologis, artikel ini menegaskan bahwa hukum hanya akan efektif sebagai sarana keadilan apabila ditegakkan secara konsisten, inklusif, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak warga negara adalah syarat mutlak bagi terwujudnya kedamaian yang berkelanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata Kunci: Negara hukum, penegakan hukum, perlindungan hukum, keadilan, kedamaian, Pancasila, partisipasi warga negara, reformasi hukum.


PEMBAHASAN

Pilar Keadilan dan Kedamaian dalam Negara Hukum Indonesia


1.           Pendahuluan

Indonesia sebagai negara hukum menempatkan hukum sebagai fondasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep negara hukum bukan hanya sekadar keberadaan aturan tertulis, melainkan mencakup implementasi prinsip-prinsip keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam menjamin hak dan kewajiban seluruh warga negara. Dalam konteks ini, perlindungan dan penegakan hukum memiliki peran sentral sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedamaian nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”¹

Perlindungan hukum merupakan upaya sistematis untuk menjamin hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk hak atas rasa aman, persamaan di hadapan hukum, serta hak untuk mendapatkan keadilan melalui mekanisme hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Penegakan hukum, di sisi lain, adalah proses menjalankan hukum secara konkret melalui lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta lembaga pengawas independen.² Namun dalam realitasnya, tantangan terhadap pelaksanaan hukum di Indonesia masih sangat kompleks, mencakup rendahnya integritas aparatur penegak hukum, lemahnya akses terhadap keadilan, serta ketimpangan dalam perlakuan hukum terhadap berbagai kelompok masyarakat.³

Dalam kerangka negara hukum modern, hukum tidak hanya bersifat represif tetapi juga harus bersifat protektif dan transformatif. Artinya, hukum tidak semata-mata mengatur dan menghukum, tetapi juga melindungi hak warga negara serta mendorong perubahan sosial yang adil. Keadilan dan kedamaian tidak dapat terwujud jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, tanpa keberpihakan terhadap kebenaran dan nilai-nilai moral yang luhur sebagaimana tercermin dalam Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).⁴

Di tengah dinamika global dan domestik yang kerap memunculkan konflik sosial, ketimpangan ekonomi, serta pelanggaran hak, kajian tentang perlindungan dan penegakan hukum menjadi sangat relevan dan strategis untuk memperkuat kesadaran hukum warga negara, khususnya generasi muda. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki tanggung jawab penting dalam membentuk peserta didik yang memahami fungsi hukum sebagai penjamin keadilan dan kedamaian, serta mendorong keterlibatan aktif mereka sebagai warga negara yang kritis dan berintegritas.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan Alinea keempat.

[2]                Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 2007), 58–60.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 238–240.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 92–95.


2.           Konsep Dasar Penegakan dan Perlindungan Hukum

Dalam kerangka negara hukum, pemahaman yang tepat mengenai konsep penegakan hukum (law enforcement) dan perlindungan hukum (legal protection) menjadi penting untuk menilai sejauh mana hukum berfungsi sebagai alat keadilan dan kedamaian. Kedua konsep ini saling berkaitan erat namun memiliki cakupan dan fungsi yang berbeda dalam praktik ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat.

2.1.       Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses aktualisasi norma hukum ke dalam realitas sosial melalui tindakan lembaga atau aparat yang berwenang guna menjamin kepastian, keadilan, dan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum tidak semata-mata berkaitan dengan hukum formal dan aparat penegak hukum, melainkan juga melibatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.¹ Dengan demikian, penegakan hukum harus dipahami sebagai upaya menyelaraskan aturan hukum dengan perilaku masyarakat, sehingga hukum memiliki daya guna dan keberlakuan sosial.

Penegakan hukum juga memiliki dimensi yuridis, sosiologis, dan filosofis. Secara yuridis, penegakan hukum mengacu pada penerapan peraturan perundang-undangan. Secara sosiologis, ia menyangkut respons masyarakat terhadap pelaksanaan hukum. Sedangkan secara filosofis, penegakan hukum bertumpu pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi dasar legitimasi suatu norma.²

2.2.       Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai jaminan yang diberikan oleh negara melalui sistem hukumnya untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari segala bentuk pelanggaran atau tindakan sewenang-wenang. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum meliputi dua aspek utama: perlindungan preventif (mencegah terjadinya pelanggaran hukum) dan perlindungan represif (penyelesaian sengketa atau pemulihan hak setelah terjadi pelanggaran).³

Perlindungan hukum bukan sekadar pemberian kompensasi atau tindakan hukum pascapelanggaran, tetapi juga mencakup penciptaan sistem hukum yang adil, transparan, dan akuntabel, di mana setiap warga negara merasa aman dan setara di hadapan hukum.⁴ Oleh karena itu, hak untuk memperoleh perlindungan hukum merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dan instrumen hukum internasional.

2.3.       Hubungan antara Penegakan dan Perlindungan Hukum

Penegakan hukum dan perlindungan hukum merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam sistem hukum modern. Penegakan hukum yang adil akan memastikan hak-hak warga negara terlindungi, sementara sistem perlindungan hukum yang efektif akan mendukung proses penegakan hukum yang berkeadilan. Keduanya saling memperkuat dalam menciptakan tatanan sosial yang damai dan berkeadilan.

Dalam konteks negara hukum Indonesia, keberhasilan penegakan dan perlindungan hukum sangat tergantung pada kualitas hukum yang berlaku, integritas aparatur penegak hukum, serta kesadaran hukum masyarakat.⁵ Ketika ketiga unsur ini bekerja secara harmonis, maka hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai instrumen yang bukan hanya menertibkan, tetapi juga memanusiakan.


Footnotes

[1]                Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2008), 5–7.

[2]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan Rakyat (Jakarta: Kompas, 2009), 16–18.

[3]                Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 25–27.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), 90.

[5]                Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006), 148.


3.           Dasar Konstitusional dan Filosofis Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari landasan konstitusional dan filosofi dasar negara yang menjadi pijakan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia mengakui supremasi konstitusi dan menjadikan hukum sebagai instrumen utama dalam mengatur kekuasaan, menjamin keadilan, serta melindungi hak asasi warga negara.¹

3.1.       Dasar Konstitusional Penegakan Hukum

Konstitusi Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), secara eksplisit mengafirmasi prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.”² Prinsip ini menandaskan bahwa semua tindakan pemerintah dan warga negara harus tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan semata. Dengan demikian, hukum menjadi panglima tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Lebih lanjut, UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara dan mendukung pelaksanaan penegakan hukum. Pasal 28D ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”³ Ketentuan ini memberikan dasar konstitusional yang kuat untuk mengembangkan sistem hukum yang tidak diskriminatif dan responsif terhadap keadilan substantif.

Selain itu, Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain.⁴ Ini menunjukkan bahwa peradilan sebagai pilar utama penegakan hukum harus bebas dari tekanan politik agar dapat menegakkan hukum secara objektif dan imparsial.

3.2.       Landasan Filosofis: Pancasila sebagai Roh Hukum Indonesia

Di samping landasan konstitusional, Pancasila sebagai dasar negara juga merupakan landasan filosofis yang mendasari semua pembentukan dan pelaksanaan hukum di Indonesia. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai simbol ideologis, tetapi juga sebagai sumber nilai dan norma hukum yang membentuk karakter hukum nasional Indonesia.⁵

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (sila kedua) menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan hukum. Sementara itu, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila kelima) menjadi rujukan etis bagi hukum untuk menjamin distribusi keadilan yang merata tanpa diskriminasi.⁶ Dengan demikian, hukum yang dibangun atas dasar Pancasila tidak boleh bersifat formalistik belaka, melainkan harus mengandung misi kemanusiaan dan keadilan substantif.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum di Indonesia harus dipahami sebagai alat untuk menciptakan keadaban publik dan keadilan sosial, bukan sekadar perangkat aturan teknis.⁷ Hukum dalam pandangan Pancasila adalah hukum yang hidup, berpihak pada rakyat, dan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan sebagai pusat orientasi.

3.3.       Implikasi terhadap Praktik Penegakan Hukum

Dengan adanya dasar konstitusional dan filosofis yang kuat, seharusnya penegakan hukum di Indonesia menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), independensi lembaga peradilan, serta partisipasi masyarakat dalam proses hukum. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan prinsip-prinsip ini masih menghadapi banyak tantangan seperti politisasi hukum, intervensi kekuasaan, serta ketimpangan akses keadilan antara kelompok kaya dan miskin.

Oleh karena itu, membumikan nilai-nilai konstitusional dan Pancasila dalam sistem hukum nasional menjadi langkah strategis dalam membangun penegakan hukum yang berkeadilan dan menumbuhkan kedamaian di tengah pluralitas masyarakat Indonesia.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 62.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).

[3]                Ibid., Pasal 28D ayat (1).

[4]                Ibid., Pasal 24 ayat (1).

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 71–75.

[6]                Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1983), 104–107.

[7]                Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 119.


4.           Lembaga Penegak Hukum dan Fungsi Perlindungan

Dalam sistem negara hukum Indonesia, penegakan dan perlindungan hukum tidak dapat dipisahkan dari peran dan fungsi kelembagaan. Lembaga penegak hukum merupakan pilar utama dalam menjamin keadilan dan menegakkan supremasi hukum melalui kewenangan yang diatur oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Efektivitas lembaga-lembaga ini sangat menentukan keberhasilan dalam menciptakan rasa keadilan dan perlindungan hukum bagi seluruh warga negara.

4.1.       Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Polri adalah lembaga negara yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.¹ Dalam praktiknya, Polri menjadi garda terdepan dalam proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pemberkasan perkara. Selain itu, Polri juga menjalankan fungsi preventif dan represif terhadap tindak pidana serta berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial.

Namun demikian, citra dan efektivitas Polri sering mendapat sorotan akibat berbagai kasus pelanggaran etik dan profesionalisme, seperti penyiksaan terhadap tersangka, suap, dan penyalahgunaan kewenangan.² Oleh sebab itu, reformasi kultural dan struktural dalam tubuh Polri menjadi bagian krusial dari upaya penguatan perlindungan hukum.

4.2.       Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan merupakan institusi penuntut umum yang memiliki peran sentral dalam tahap penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan tidak hanya bertugas sebagai penuntut, tetapi juga sebagai pengacara negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara.³

Fungsi perlindungan hukum oleh kejaksaan terlihat melalui peran dalam penegakan hukum yang adil dan profesional, serta kemampuan lembaga ini untuk bertindak atas nama negara dalam menyelamatkan kepentingan umum. Peran kejaksaan semakin diperkuat dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kerja sama dengan KPK dan lembaga penegak hukum lainnya.⁴

4.3.       Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya (Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara), serta Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung (MA) berfungsi mengadili pada tingkat kasasi serta mengawasi penyelenggaraan peradilan. Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan menangani perkara pemakzulan presiden.⁵

Peradilan merupakan instrumen kunci dalam menjamin perlindungan hukum dengan memberikan keputusan yang adil, imparsial, dan berdasarkan hukum. Independensi hakim menjadi salah satu prasyarat utama untuk memastikan tidak adanya intervensi politik dalam proses penegakan hukum.⁶

4.4.       Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Sebagai lembaga independen yang lahir dari semangat reformasi, KPK berperan penting dalam penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara langsung terhadap perkara korupsi.⁷

Keberadaan KPK merupakan wujud dari perlindungan hukum terhadap kepentingan publik atas praktik kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sangat merugikan negara. Meski begitu, independensi dan efektivitas KPK sempat mengalami penurunan pasca revisi UU KPK, yang menimbulkan kekhawatiran publik terkait pelemahan fungsi institusi ini.⁸

4.5.       Lembaga Non-Yudisial dan Peran Advokasi Masyarakat

Selain lembaga formal, terdapat juga lembaga non-yudisial seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, serta LSM advokasi hukum yang turut berperan dalam perlindungan dan penegakan hak warga negara. Komnas HAM, misalnya, memiliki kewenangan untuk menyelidiki pelanggaran HAM dan merekomendasikan penyelesaian melalui mekanisme hukum nasional maupun internasional.⁹

Partisipasi masyarakat melalui lembaga bantuan hukum, media, dan komunitas sipil menjadi elemen penting dalam menciptakan sistem penegakan hukum yang akuntabel. Dalam kerangka demokrasi konstitusional, fungsi kontrol sosial ini harus diperkuat agar lembaga penegak hukum tidak menyimpang dari tugas dan fungsinya.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.

[2]                Indonesian Legal Roundtable, Catatan Kritis Reformasi Kepolisian (Jakarta: ILR, 2019), 7–8.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 250.

[4]                Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum dan Peradilan (Bandung: Mandar Maju, 2011), 83.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2006), 121–124.

[6]                Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 101–102.

[7]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU KPK, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197.

[8]                ICW (Indonesia Corruption Watch), Evaluasi Kinerja KPK Pasca Revisi UU 2019 (Jakarta: ICW, 2021), 3–5.

[9]                Komnas HAM, Laporan Tahunan 2023: Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 11–13.


5.           Evaluasi Praktik Penegakan dan Perlindungan Hukum di Indonesia

Meskipun Indonesia secara normatif telah membangun kerangka hukum yang menjamin prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak warga negara, pelaksanaannya di tingkat praksis masih menghadapi tantangan serius. Evaluasi terhadap praktik penegakan dan perlindungan hukum menjadi penting untuk mengidentifikasi titik-titik kelemahan, sekaligus merumuskan langkah-langkah perbaikan sistem hukum nasional.

5.1.       Inkonsistensi dalam Penegakan Hukum

Salah satu persoalan mendasar dalam praktik penegakan hukum di Indonesia adalah inkonsistensi dalam penerapan hukum terhadap berbagai kelompok masyarakat. Kasus-kasus hukum sering kali menunjukkan adanya diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi, atau politik. Praktik “tajam ke bawah, tumpul ke atas” masih menjadi keluhan masyarakat, ketika pejabat tinggi yang tersangkut korupsi sering mendapat perlakuan hukum yang lunak dibandingkan rakyat kecil dalam kasus ringan.¹

Laporan tahunan Komisi Yudisial mencatat bahwa pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi terhadap putusan hakim masih menjadi masalah sistemik yang merusak independensi lembaga peradilan.² Selain itu, lemahnya pengawasan internal terhadap aparat penegak hukum menyebabkan rendahnya akuntabilitas dan tingginya potensi penyalahgunaan wewenang.

5.2.       Kesenjangan Akses terhadap Perlindungan Hukum

Di sisi lain, akses terhadap perlindungan hukum juga belum merata, terutama bagi kelompok marginal seperti masyarakat miskin, perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan komunitas adat. Keterbatasan pemahaman hukum, biaya proses hukum yang tinggi, serta lokasi geografis yang jauh dari pusat kekuasaan menjadi penghambat utama bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan yang adil.³

Meski pemerintah telah membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pelaksanaannya masih terbatas dalam hal jangkauan dan kualitas layanan.⁴ Kurangnya anggaran dan dukungan infrastruktur membuat lembaga bantuan hukum tidak dapat secara optimal melayani kebutuhan hukum masyarakat di daerah terpencil.

5.3.       Reformasi Hukum yang Belum Komprehensif

Program reformasi hukum yang telah dicanangkan sejak era Reformasi sering kali hanya menyentuh aspek administratif dan kelembagaan, namun belum menyentuh transformasi nilai dan budaya hukum. Banyak kebijakan yang lebih bersifat reaktif daripada proaktif, serta tidak didukung oleh komitmen politik yang kuat untuk membangun sistem hukum yang berkeadilan.⁵

Laporan Indonesian Legal Roundtable menyoroti bahwa proses legislasi di DPR sering kali tidak partisipatif, kurang transparan, dan sarat kepentingan politik. Hal ini mengakibatkan produk hukum yang inkonsisten dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional.⁶ Contohnya adalah kontroversi Revisi Undang-Undang KPK Tahun 2019 yang dinilai melemahkan independensi lembaga tersebut dan menimbulkan kemunduran dalam pemberantasan korupsi.⁷

5.4.       Praktik Penegakan Hukum dalam Kasus Pelanggaran HAM dan Lingkungan

Evaluasi juga perlu memperhatikan kegagalan negara dalam menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dan kejahatan lingkungan. Hingga kini, berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu—seperti Tragedi 1965, Trisakti, dan Semanggi—belum memperoleh penyelesaian hukum yang memadai. Komnas HAM telah menyampaikan berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung, namun proses peradilan tidak berjalan karena tidak adanya kesepakatan politik dan rendahnya kemauan institusional.⁸

Demikian pula, kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal dan pembukaan lahan secara masif masih menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi besar. Penindakan hukum terhadap pelaku kerusakan lingkungan seringkali tidak berbanding lurus dengan tingkat kerusakan dan kerugian ekologis yang ditimbulkan.⁹

5.5.       Peran Masyarakat Sipil dan Media dalam Mendorong Akuntabilitas

Meski dihadapkan pada berbagai persoalan, masyarakat sipil dan media massa memainkan peran penting dalam memperkuat kontrol terhadap praktik penegakan hukum. LSM hukum, komunitas advokasi, akademisi, dan jurnalis investigatif telah banyak mengungkap ketimpangan dan penyimpangan dalam proses hukum.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi hukum hanya akan berjalan jika terdapat partisipasi aktif dari masyarakat sebagai penyeimbang kekuasaan.

Namun, tekanan terhadap kebebasan berekspresi, kriminalisasi terhadap aktivis, dan represi terhadap jurnalis masih menjadi tantangan serius yang mengancam peran publik dalam menjaga akuntabilitas hukum di Indonesia.


Footnotes

[1]                Hadar Nafis Gumay, “Keadilan Sosial di Tengah Ketimpangan Penegakan Hukum”, dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, vol. 12, no. 1 (2021): 45.

[2]                Komisi Yudisial RI, Laporan Tahunan 2022: Potret Keadilan dan Independensi Peradilan (Jakarta: KY, 2023), 16–18.

[3]                Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Miskin (Jakarta: LBH Jakarta, 2021), 10–11.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125.

[5]                Bivitri Susanti, “Evaluasi Reformasi Hukum: Antara Harapan dan Realitas”, dalam Jurnal Hukum IUS, vol. 9, no. 2 (2021): 225–226.

[6]                Indonesian Legal Roundtable, Kualitas Legislasi dan Proses Demokrasi di Parlemen (Jakarta: ILR, 2020), 9–12.

[7]                ICW (Indonesia Corruption Watch), Dampak Revisi UU KPK: Analisis Tahun Pertama (Jakarta: ICW, 2020), 4–6.

[8]                Komnas HAM, Laporan Tahunan 2023: Penanganan Pelanggaran HAM Berat (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 31–34.

[9]                WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Keadilan Ekologis dan Ketimpangan Penegakan Hukum (Jakarta: WALHI, 2023), 14–16.

[10]             ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Demokrasi dan Advokasi Hukum di Era Digital (Jakarta: ELSAM, 2022), 22–24.


6.           Peran Warga Negara dalam Menegakkan Hukum dan Menjaga Keadilan

Penegakan hukum dan penjagaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat dan lembaga negara, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif warga negara. Dalam sistem negara hukum demokratis, keberhasilan pelaksanaan hukum sangat bergantung pada kesadaran hukum, kepatuhan sukarela terhadap hukum, dan peran kritis masyarakat dalam mengawasi serta mengawal jalannya hukum secara adil dan proporsional.

6.1.       Kesadaran Hukum sebagai Landasan Etis Warga Negara

Kesadaran hukum adalah kondisi batiniah warga negara yang memahami, menghargai, dan secara sukarela menaati hukum sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Soerjono Soekanto, tingkat kesadaran hukum masyarakat menentukan efektivitas suatu sistem hukum, sebab hukum yang baik sekalipun akan sia-sia tanpa kepatuhan sukarela dari masyarakat.¹

Kesadaran hukum tumbuh melalui pendidikan, pengalaman sosial, dan contoh perilaku dari tokoh masyarakat maupun aparatur negara. Oleh karena itu, pembangunan budaya hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya memperkuat pendidikan karakter dan civic education di berbagai jenjang pendidikan, terutama dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).²

6.2.       Partisipasi Aktif dalam Pengawasan dan Advokasi

Warga negara memiliki hak sekaligus kewajiban untuk terlibat dalam pengawasan publik terhadap lembaga dan aparat penegak hukum. Partisipasi ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:

·                     Pelaporan pelanggaran hukum kepada lembaga berwenang seperti KPK, Ombudsman RI, atau Komnas HAM;

·                     Membentuk komunitas advokasi hukum atau bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH);

·                     Menggunakan hak berekspresi dan menyampaikan pendapat secara damai sebagai bagian dari kontrol sosial terhadap kekuasaan.

Partisipasi warga dalam mendorong akuntabilitas hukum merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.³ Ini sekaligus menunjukkan bahwa hukum bukan hanya milik elite, tetapi juga alat perjuangan masyarakat untuk mencapai keadilan.

6.3.       Penguatan Budaya Kritis dan Etika Konstitusional

Di tengah tantangan penegakan hukum seperti politisasi aparat, korupsi struktural, dan lemahnya peradilan, warga negara dituntut untuk tidak bersikap apatis. Dibutuhkan keberanian moral dan sikap kritis-konstitusional, yakni berani mengoreksi ketimpangan tanpa melanggar hukum.⁴ Sikap ini menempatkan konstitusi sebagai landasan moral dan legal dalam menyuarakan keadilan secara konstruktif.

Menurut Jimly Asshiddiqie, etika konstitusional adalah sikap yang mendorong warga negara untuk mengawal pelaksanaan nilai-nilai dasar konstitusi seperti keadilan, persamaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.⁵ Etika ini dapat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai konsumen, pemilih dalam pemilu, pelaku ekonomi, maupun bagian dari komunitas sosial yang sadar hukum.

6.4.       Kolaborasi antara Warga Negara dan Negara

Relasi antara warga negara dan negara idealnya bersifat kolaboratif. Negara menciptakan hukum yang adil dan berpihak pada rakyat, sementara warga negara berpartisipasi dalam mendukung penegakan hukum serta mengkritisi apabila terjadi penyimpangan. Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui pelibatan publik dalam perumusan kebijakan hukum, dialog antara lembaga negara dan masyarakat sipil, serta keterbukaan informasi publik.

Dalam konteks demokrasi partisipatoris, keberadaan warga negara yang aktif, beretika, dan sadar hukum akan memperkuat legitimasi hukum dan stabilitas sosial. Hukum akan benar-benar menjadi alat pemersatu dan penjamin kedamaian hanya jika warga negara tidak bersikap pasif terhadap ketidakadilan.⁶


Footnotes

[1]                Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), 21–22.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 115–117.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E ayat (3).

[4]                Bivitri Susanti, “Peran Masyarakat dalam Penguatan Negara Hukum”, dalam Jurnal Konstitusi, vol. 14, no. 2 (2017): 289.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Perspektif Moral Etis terhadap Konstitusi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), 44–46.

[6]                Wahyudi Djafar, Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hukum dan Demokrasi Konstitusional (Jakarta: ELSAM, 2020), 38–39.


7.           Upaya Strategis untuk Meningkatkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Penegakan hukum yang berkeadilan merupakan pilar utama dalam membangun negara hukum yang demokratis dan beradab. Namun, sebagaimana telah dievaluasi dalam bagian sebelumnya, sistem hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang bersifat struktural, kultural, dan institusional. Oleh karena itu, dibutuhkan serangkaian upaya strategis yang bersifat multidimensi dan berkelanjutan untuk mewujudkan penegakan hukum yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga menjamin keadilan substantif dan kedamaian sosial.

7.1.       Reformasi Hukum secara Struktural dan Substansial

Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah reformasi hukum secara struktural (kelembagaan dan prosedural) dan substansial (materi hukum dan nilai yang dikandungnya). Reformasi struktural mencakup penyederhanaan lembaga penegak hukum, penguatan sistem pengawasan internal, peningkatan transparansi, serta rekruitmen aparatur hukum berbasis meritokrasi dan integritas.¹

Secara substansial, peraturan perundang-undangan perlu disusun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial, non-diskriminasi, dan penghormatan terhadap HAM. Legislasi yang sarat kepentingan politik harus dikaji ulang, seperti Revisi UU KPK dan UU ITE yang banyak menimbulkan kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan sipil.² Untuk itu, pembentukan hukum harus melibatkan partisipasi publik yang luas dan berbasis pada kajian akademik yang kuat.

7.2.       Penguatan Kapasitas dan Etika Aparatur Penegak Hukum

Salah satu problem utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah rendahnya kapasitas profesional dan etika integritas aparat penegak hukum. Banyak kasus penyalahgunaan kewenangan, korupsi yudisial, dan pelanggaran prosedural terjadi akibat kurangnya pengawasan serta lemahnya moralitas penegak hukum itu sendiri.³

Oleh karena itu, dibutuhkan program pendidikan dan pelatihan etika hukum secara berkelanjutan, penerapan sistem penilaian kinerja berbasis objektivitas, serta sanksi tegas terhadap pelanggaran kode etik. Institusi seperti Komisi Yudisial, Ombudsman RI, dan Kompolnas harus diperkuat fungsinya dalam memastikan akuntabilitas dan profesionalitas aparat hukum.⁴

7.3.       Pemberdayaan Masyarakat dalam Akses Keadilan

Penegakan hukum yang berkeadilan tidak hanya ditentukan oleh negara, tetapi juga oleh kemampuan masyarakat dalam mengakses dan memahami sistem hukum. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan program akses terhadap keadilan (access to justice), khususnya bagi kelompok rentan seperti masyarakat miskin, perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan komunitas adat.⁵

Pemerintah harus memperluas cakupan bantuan hukum gratis melalui dukungan terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH), meningkatkan literasi hukum masyarakat melalui pendidikan hukum berbasis komunitas, serta menyediakan mekanisme pengaduan publik yang mudah diakses.⁶ Akses keadilan yang merata akan mempersempit kesenjangan sosial dan mengurangi potensi konflik hukum di masyarakat.

7.4.       Digitalisasi Sistem Hukum dan Peradilan

Dalam era transformasi digital, penguatan sistem hukum juga harus mencakup digitalisasi proses hukum dan peradilan. Hal ini dapat meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas proses hukum. Inisiatif e-Court, e-Litigasi, dan aplikasi pengaduan daring harus terus dikembangkan dan diperluas ke seluruh wilayah Indonesia.⁷

Namun digitalisasi tidak cukup hanya pada aspek teknis. Diperlukan juga penguatan kapasitas pengguna (baik aparat maupun masyarakat), perlindungan data pribadi, dan jaminan inklusivitas bagi kelompok yang secara digital tertinggal. Teknologi hukum (legal tech) harus digunakan sebagai alat untuk mendekatkan keadilan, bukan menciptakan jurang digital baru.⁸

7.5.       Pengarusutamaan Nilai Pancasila dan Etika Sosial dalam Sistem Hukum

Terakhir, strategi penegakan hukum yang berkeadilan harus bersandar pada nilai-nilai luhur bangsa, yakni Pancasila sebagai dasar dan sumber hukum nasional. Penegakan hukum yang hanya berorientasi pada teks dan prosedur tanpa memperhatikan konteks sosial akan kehilangan legitimasi di mata publik.⁹

Pancasila menekankan pentingnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, setiap produk hukum dan kebijakan penegakannya harus diuji berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, hukum tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan penuntun moral dan instrumen rekonsiliasi sosial.¹⁰


Footnotes

[1]                Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum dalam Perspektif Transisi Demokrasi (Bandung: Mandar Maju, 2001), 84–86.

[2]                Indonesian Legal Roundtable, Reformasi Hukum: Agenda dan Evaluasi (Jakarta: ILR, 2020), 15–18.

[3]                Komisi Yudisial RI, Indeks Integritas Hakim Tahun 2022 (Jakarta: KY, 2023), 13–15.

[4]                ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Reformasi Aparat Penegak Hukum: Kebutuhan Mendesak (Jakarta: ICJR, 2021), 23–25.

[5]                LBH Jakarta, Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Rentan (Jakarta: LBH, 2022), 9–10.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125.

[7]                Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan e-Court dan e-Litigasi 2023 (Jakarta: MA RI, 2024), 5–7.

[8]                Wahyudi Djafar, Teknologi dan Keadilan: Membangun Sistem Hukum Digital yang Inklusif (Jakarta: ELSAM, 2023), 26–29.

[9]                Notonagoro, Pancasila sebagai Dasar Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1980), 112–114.

[10]             Kaelan, Filsafat Pancasila dalam Konteks Kenegaraan (Yogyakarta: Paradigma, 2004), 133–135.


8.           Penutup

Penegakan dan perlindungan hukum merupakan elemen fundamental dalam mewujudkan keadilan dan kedamaian dalam sistem negara hukum Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila, hukum di Indonesia seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ketertiban sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk mengangkat martabat manusia, menghapus ketidakadilan, dan menciptakan kehidupan bersama yang harmonis

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa berbagai persoalan seperti inkonsistensi penegakan hukum, lemahnya akses keadilan, dan rendahnya integritas aparatur penegak hukum masih menjadi penghambat dalam proses perwujudan cita-cita keadilan. Evaluasi menyeluruh terhadap praktik hukum nasional mengungkap adanya kesenjangan antara norma hukum yang ideal dan kondisi empiris yang aktual di lapangan.² Oleh sebab itu, penguatan sistem hukum harus dilakukan tidak hanya dalam aspek legal-formal, tetapi juga dalam dimensi kultural, struktural, dan partisipatoris.

Peran warga negara menjadi sangat strategis dalam membentuk sistem hukum yang berkeadilan. Kesadaran hukum, partisipasi aktif dalam pengawasan hukum, dan keberanian moral untuk bersikap kritis terhadap penyimpangan hukum merupakan fondasi penting bagi terciptanya sistem hukum yang sehat dan demokratis.³ Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan yang bermuatan nilai dan etika konstitusional perlu terus dikembangkan sebagai bagian dari investasi jangka panjang membangun peradaban hukum yang adil dan beradab.⁴

Untuk itu, diperlukan upaya strategis yang terpadu antara negara dan masyarakat, mencakup reformasi hukum yang komprehensif, penguatan integritas aparatur hukum, digitalisasi sistem peradilan, serta pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.⁵ Dengan sinergi tersebut, hukum dapat benar-benar menjadi pilar keadilan yang mempersatukan bangsa, serta menjamin kedamaian sosial yang berkelanjutan di tengah dinamika global yang kompleks.

Akhirnya, hukum yang adil bukan hanya ditandai oleh kesempurnaan pasal-pasalnya, tetapi juga oleh kehadirannya yang nyata dan bermakna dalam kehidupan rakyat. Dalam semangat itu, hukum tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dihidupkan dalam kesadaran dan tindakan seluruh elemen bangsa.⁶


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 1 ayat (3).

[2]                Bivitri Susanti, “Evaluasi Reformasi Hukum: Antara Harapan dan Realitas”, dalam Jurnal Hukum IUS, vol. 9, no. 2 (2021): 228–230.

[3]                Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), 45–46.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Perspektif Moral Etis terhadap Konstitusi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), 101.

[5]                Indonesian Legal Roundtable, Reformasi Hukum: Agenda dan Evaluasi (Jakarta: ILR, 2020), 21–25.

[6]                Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan Rakyat (Jakarta: Kompas, 2009), 3–4.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca amandemen konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Asshiddiqie, J. (2014). Etika konstitusi: Perspektif moral etis terhadap konstitusi dan penegakan hukum. Jakarta: Konstitusi Press.

Atmasasmita, R. (2001). Reformasi hukum dalam perspektif transisi demokrasi. Bandung: Mandar Maju.

Atmasasmita, R. (2011). Reformasi hukum dan peradilan. Bandung: Mandar Maju.

Bivitri, S. (2017). Peran masyarakat dalam penguatan negara hukum. Jurnal Konstitusi, 14(2), 275–294.

Bivitri, S. (2021). Evaluasi reformasi hukum: Antara harapan dan realitas. Jurnal Hukum IUS, 9(2), 218–231.

Djafar, W. (2020). Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum dan demokrasi konstitusional. Jakarta: ELSAM.

Djafar, W. (2023). Teknologi dan keadilan: Membangun sistem hukum digital yang inklusif. Jakarta: ELSAM.

ELSAM. (2022). Demokrasi dan advokasi hukum di era digital. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Gumay, H. N. (2021). Keadilan sosial di tengah ketimpangan penegakan hukum. Jurnal Hukum dan Keadilan, 12(1), 43–58.

ICJR. (2021). Reformasi aparat penegak hukum: Kebutuhan mendesak. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.

ICW. (2020). Dampak revisi UU KPK: Analisis tahun pertama. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

ICW. (2021). Evaluasi kinerja KPK pasca revisi UU 2019. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Indonesian Legal Roundtable. (2019). Catatan kritis reformasi kepolisian. Jakarta: ILR.

Indonesian Legal Roundtable. (2020). Kualitas legislasi dan proses demokrasi di parlemen. Jakarta: ILR.

Indonesian Legal Roundtable. (2020). Reformasi hukum: Agenda dan evaluasi. Jakarta: ILR.

Jimly, A. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Kaelan. (2004). Filsafat Pancasila dalam konteks kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Indeks integritas hakim tahun 2022. Jakarta: Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Laporan tahunan 2022: Potret keadilan dan independensi peradilan. Jakarta: Komisi Yudisial.

Komnas HAM. (2023). Laporan tahunan 2023: Penanganan pelanggaran HAM berat. Jakarta: Komnas HAM.

Komnas HAM. (2024). Laporan tahunan 2023: Pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM.

LBH Jakarta. (2021). Akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

LBH Jakarta. (2022). Akses terhadap keadilan bagi kelompok rentan. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2024). Laporan tahunan e-Court dan e-Litigasi 2023. Jakarta: MA RI.

Mahfud MD. (2006). Membangun politik hukum, menegakkan konstitusi. Jakarta: LP3ES.

Mahfud MD. (2009). Politik hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Notonagoro. (1980). Pancasila sebagai dasar pandangan hidup bangsa Indonesia. Jakarta: Pantjuran Tujuh.

Notonagoro. (1983). Pancasila secara ilmiah populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.

Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, S. (2007). Hukum dan masyarakat. Bandung: Angkasa.

Rahardjo, S. (2009). Hukum progresif: Hukum yang membebaskan rakyat. Jakarta: Kompas.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.

Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125.

Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197.

Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 250.

Soekanto, S. (1982). Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, S. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali Press.

WALHI. (2023). Keadilan ekologis dan ketimpangan penegakan hukum. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar