Bahan Ajar PPKn
Perlindungan dan Penegakan Hukum
Pilar Keadilan dan Kedamaian dalam Negara Hukum
Indonesia
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
perlindungan dan penegakan hukum dalam membangun keadilan dan kedamaian dalam
kerangka negara hukum Indonesia. Berangkat dari landasan konstitusional UUD
1945 dan nilai-nilai filosofis Pancasila, hukum dipahami tidak sekadar sebagai
instrumen normatif, tetapi sebagai pilar etik dan sosial untuk menjamin hak-hak
warga negara serta menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan harmonis.
Pembahasan dimulai dari konsep dasar perlindungan
dan penegakan hukum, dilanjutkan dengan pemetaan kelembagaan yang menjalankan
fungsi tersebut, serta evaluasi kritis terhadap praktik hukum yang berlangsung,
termasuk hambatan struktural, kesenjangan akses keadilan, dan ketimpangan
penegakan hukum. Artikel ini juga menyoroti pentingnya partisipasi aktif warga
negara dalam membangun kesadaran hukum, melakukan pengawasan publik, dan
memperkuat budaya kritis terhadap penyimpangan hukum. Sebagai respons terhadap
berbagai tantangan tersebut, artikel ini menawarkan strategi peningkatan
kualitas penegakan hukum yang berkeadilan melalui reformasi struktural,
penguatan etika aparatur, digitalisasi sistem hukum, dan pengarusutamaan
nilai-nilai Pancasila.
Dengan pendekatan yuridis, filosofis, dan
sosiologis, artikel ini menegaskan bahwa hukum hanya akan efektif sebagai
sarana keadilan apabila ditegakkan secara konsisten, inklusif, dan berorientasi
pada nilai-nilai kemanusiaan. Penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak
warga negara adalah syarat mutlak bagi terwujudnya kedamaian yang berkelanjutan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata Kunci: Negara hukum, penegakan hukum, perlindungan hukum,
keadilan, kedamaian, Pancasila, partisipasi warga negara, reformasi hukum.
PEMBAHASAN
Pilar Keadilan dan Kedamaian dalam Negara Hukum
Indonesia
1.
Pendahuluan
Indonesia sebagai
negara hukum menempatkan hukum sebagai fondasi dalam mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konsep negara hukum bukan hanya sekadar keberadaan
aturan tertulis, melainkan mencakup implementasi prinsip-prinsip keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam menjamin hak dan kewajiban seluruh warga
negara. Dalam konteks ini, perlindungan dan penegakan hukum
memiliki peran sentral sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan
sosial dan kedamaian nasional, sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia… dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”¹
Perlindungan hukum
merupakan upaya sistematis untuk menjamin hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk
hak atas rasa aman, persamaan di hadapan hukum, serta hak untuk mendapatkan
keadilan melalui mekanisme hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Penegakan
hukum, di sisi lain, adalah proses menjalankan hukum secara konkret melalui
lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta lembaga
pengawas independen.² Namun dalam realitasnya, tantangan terhadap pelaksanaan
hukum di Indonesia masih sangat kompleks, mencakup rendahnya integritas
aparatur penegak hukum, lemahnya akses terhadap keadilan, serta ketimpangan
dalam perlakuan hukum terhadap berbagai kelompok masyarakat.³
Dalam kerangka
negara hukum modern, hukum tidak hanya bersifat represif tetapi juga harus
bersifat protektif dan transformatif. Artinya, hukum tidak semata-mata mengatur
dan menghukum, tetapi juga melindungi hak warga negara serta mendorong
perubahan sosial yang adil. Keadilan dan kedamaian tidak dapat terwujud jika
hukum hanya menjadi alat kekuasaan, tanpa keberpihakan terhadap kebenaran dan
nilai-nilai moral yang luhur sebagaimana tercermin dalam Pancasila, khususnya
sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia).⁴
Di tengah dinamika
global dan domestik yang kerap memunculkan konflik sosial, ketimpangan ekonomi,
serta pelanggaran hak, kajian tentang perlindungan dan penegakan hukum menjadi
sangat relevan dan strategis untuk memperkuat kesadaran hukum warga negara,
khususnya generasi muda. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
memiliki tanggung jawab penting dalam membentuk peserta didik yang memahami
fungsi hukum sebagai penjamin keadilan dan kedamaian, serta mendorong
keterlibatan aktif mereka sebagai warga negara yang kritis dan berintegritas.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pembukaan Alinea keempat.
[2]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa,
2007), 58–60.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 238–240.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
92–95.
2.
Konsep Dasar Penegakan dan Perlindungan Hukum
Dalam kerangka
negara hukum, pemahaman yang tepat mengenai konsep penegakan
hukum (law enforcement) dan perlindungan
hukum (legal protection) menjadi penting
untuk menilai sejauh mana hukum berfungsi sebagai alat keadilan dan kedamaian.
Kedua konsep ini saling berkaitan erat namun memiliki cakupan dan fungsi yang
berbeda dalam praktik ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat.
2.1.
Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum
adalah proses aktualisasi norma hukum ke dalam realitas sosial melalui tindakan
lembaga atau aparat yang berwenang guna menjamin kepastian, keadilan, dan
ketertiban dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum tidak
semata-mata berkaitan dengan hukum formal dan aparat penegak hukum, melainkan
juga melibatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.¹
Dengan demikian, penegakan hukum harus dipahami sebagai upaya menyelaraskan
aturan hukum dengan perilaku masyarakat, sehingga hukum memiliki daya guna dan
keberlakuan sosial.
Penegakan hukum juga
memiliki dimensi yuridis, sosiologis,
dan filosofis.
Secara yuridis, penegakan hukum mengacu pada penerapan peraturan
perundang-undangan. Secara sosiologis, ia menyangkut respons masyarakat
terhadap pelaksanaan hukum. Sedangkan secara filosofis, penegakan hukum
bertumpu pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi dasar legitimasi
suatu norma.²
2.2.
Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum
dapat diartikan sebagai jaminan yang diberikan oleh negara melalui sistem
hukumnya untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari segala bentuk
pelanggaran atau tindakan sewenang-wenang. Menurut Philipus M. Hadjon,
perlindungan hukum meliputi dua aspek utama: perlindungan preventif (mencegah
terjadinya pelanggaran hukum) dan perlindungan represif (penyelesaian sengketa
atau pemulihan hak setelah terjadi pelanggaran).³
Perlindungan hukum
bukan sekadar pemberian kompensasi atau tindakan hukum pascapelanggaran, tetapi
juga mencakup penciptaan sistem hukum yang adil, transparan, dan akuntabel, di
mana setiap warga negara merasa aman dan setara di hadapan hukum.⁴ Oleh karena
itu, hak untuk memperoleh perlindungan hukum merupakan bagian integral dari hak
asasi manusia yang dijamin konstitusi dan instrumen hukum internasional.
2.3.
Hubungan antara Penegakan dan Perlindungan
Hukum
Penegakan hukum dan
perlindungan hukum merupakan dua sisi dari satu mata uang dalam sistem hukum
modern. Penegakan hukum yang adil akan memastikan hak-hak warga negara
terlindungi, sementara sistem perlindungan hukum yang efektif akan mendukung
proses penegakan hukum yang berkeadilan. Keduanya saling memperkuat dalam
menciptakan tatanan sosial yang damai dan berkeadilan.
Dalam konteks negara
hukum Indonesia, keberhasilan penegakan dan perlindungan hukum sangat
tergantung pada kualitas hukum yang berlaku, integritas
aparatur penegak hukum, serta kesadaran hukum masyarakat.⁵
Ketika ketiga unsur ini bekerja secara harmonis, maka hukum dapat menjalankan
fungsinya sebagai instrumen yang bukan hanya menertibkan, tetapi juga
memanusiakan.
Footnotes
[1]
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
(Jakarta: Rajawali Press, 2008), 5–7.
[2]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan Rakyat
(Jakarta: Kompas, 2009), 16–18.
[3]
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 25–27.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), 90.
[5]
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi
(Jakarta: LP3ES, 2006), 148.
3.
Dasar Konstitusional dan Filosofis Penegakan
Hukum di Indonesia
Penegakan hukum di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari landasan konstitusional dan filosofi
dasar negara yang menjadi pijakan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia mengakui
supremasi konstitusi dan menjadikan hukum sebagai instrumen utama dalam
mengatur kekuasaan, menjamin keadilan, serta melindungi hak asasi warga
negara.¹
3.1.
Dasar Konstitusional Penegakan Hukum
Konstitusi Republik
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), secara eksplisit mengafirmasi prinsip
negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.”²
Prinsip ini menandaskan bahwa semua tindakan pemerintah dan warga negara harus
tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan semata. Dengan demikian, hukum menjadi
panglima tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Lebih lanjut, UUD
1945 memuat berbagai ketentuan yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara
dan mendukung pelaksanaan penegakan hukum. Pasal 28D ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”³ Ketentuan ini
memberikan dasar konstitusional yang kuat untuk mengembangkan sistem hukum yang
tidak diskriminatif dan responsif terhadap keadilan substantif.
Selain itu, Pasal 24
ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain.⁴ Ini menunjukkan bahwa
peradilan sebagai pilar utama penegakan hukum harus bebas dari tekanan politik
agar dapat menegakkan hukum secara objektif dan imparsial.
3.2.
Landasan Filosofis: Pancasila sebagai Roh Hukum
Indonesia
Di samping landasan
konstitusional, Pancasila sebagai dasar negara
juga merupakan landasan filosofis yang mendasari semua pembentukan dan
pelaksanaan hukum di Indonesia. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai simbol
ideologis, tetapi juga sebagai sumber nilai dan norma hukum yang membentuk
karakter hukum nasional Indonesia.⁵
Sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab (sila kedua) menekankan pentingnya
penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan sebagai nilai dasar dalam
kehidupan hukum. Sementara itu, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(sila kelima) menjadi rujukan etis bagi hukum untuk menjamin distribusi
keadilan yang merata tanpa diskriminasi.⁶ Dengan demikian, hukum yang dibangun
atas dasar Pancasila tidak boleh bersifat formalistik belaka, melainkan harus
mengandung misi kemanusiaan dan keadilan substantif.
Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa hukum di Indonesia harus dipahami sebagai alat untuk menciptakan
keadaban publik dan keadilan sosial, bukan sekadar perangkat
aturan teknis.⁷ Hukum dalam pandangan Pancasila adalah hukum yang hidup,
berpihak pada rakyat, dan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan
sebagai pusat orientasi.
3.3.
Implikasi terhadap Praktik Penegakan Hukum
Dengan adanya dasar
konstitusional dan filosofis yang kuat, seharusnya penegakan hukum di Indonesia
menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the
law), independensi lembaga peradilan,
serta partisipasi
masyarakat dalam proses hukum. Namun dalam praktiknya,
pelaksanaan prinsip-prinsip ini masih menghadapi banyak tantangan seperti
politisasi hukum, intervensi kekuasaan, serta ketimpangan akses keadilan antara
kelompok kaya dan miskin.
Oleh karena itu,
membumikan nilai-nilai konstitusional dan Pancasila dalam sistem hukum nasional
menjadi langkah strategis dalam membangun penegakan hukum yang berkeadilan dan
menumbuhkan kedamaian di tengah pluralitas masyarakat Indonesia.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 62.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).
[3]
Ibid., Pasal 28D ayat (1).
[4]
Ibid., Pasal 24 ayat (1).
[5]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
71–75.
[6]
Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta:
Pantjuran Tujuh, 1983), 104–107.
[7]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 119.
4.
Lembaga Penegak Hukum dan Fungsi Perlindungan
Dalam sistem negara
hukum Indonesia, penegakan dan perlindungan hukum tidak dapat dipisahkan dari
peran dan fungsi kelembagaan. Lembaga penegak hukum merupakan pilar utama dalam
menjamin keadilan dan menegakkan supremasi hukum melalui kewenangan yang diatur
oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Efektivitas lembaga-lembaga
ini sangat menentukan keberhasilan dalam menciptakan rasa keadilan dan
perlindungan hukum bagi seluruh warga negara.
4.1.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
Polri adalah lembaga
negara yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.¹
Dalam praktiknya, Polri menjadi garda terdepan dalam proses penegakan hukum, mulai
dari penyelidikan, penyidikan, hingga pemberkasan perkara. Selain itu, Polri
juga menjalankan fungsi preventif dan represif terhadap tindak pidana serta
berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial.
Namun demikian,
citra dan efektivitas Polri sering mendapat sorotan akibat berbagai kasus
pelanggaran etik dan profesionalisme, seperti penyiksaan terhadap tersangka,
suap, dan penyalahgunaan kewenangan.² Oleh sebab itu, reformasi kultural dan
struktural dalam tubuh Polri menjadi bagian krusial dari upaya penguatan
perlindungan hukum.
4.2.
Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan merupakan
institusi penuntut umum yang memiliki peran sentral dalam tahap penuntutan dan
eksekusi putusan pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, kejaksaan tidak hanya bertugas sebagai penuntut, tetapi
juga sebagai pengacara negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara.³
Fungsi perlindungan
hukum oleh kejaksaan terlihat melalui peran dalam penegakan hukum yang adil dan
profesional, serta kemampuan lembaga ini untuk bertindak atas nama negara dalam
menyelamatkan kepentingan umum. Peran kejaksaan semakin diperkuat dalam upaya
pemberantasan korupsi melalui kerja sama dengan KPK dan lembaga penegak hukum
lainnya.⁴
4.3.
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya (Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara),
serta Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung
(MA) berfungsi mengadili pada tingkat kasasi serta mengawasi penyelenggaraan
peradilan. Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara, dan menangani perkara pemakzulan presiden.⁵
Peradilan merupakan
instrumen kunci dalam menjamin perlindungan hukum dengan memberikan keputusan
yang adil, imparsial, dan berdasarkan hukum. Independensi hakim menjadi salah
satu prasyarat utama untuk memastikan tidak adanya intervensi politik dalam
proses penegakan hukum.⁶
4.4.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sebagai lembaga
independen yang lahir dari semangat reformasi, KPK berperan penting dalam
penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar
hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK memiliki fungsi penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan secara langsung terhadap perkara korupsi.⁷
Keberadaan KPK
merupakan wujud dari perlindungan hukum terhadap kepentingan publik atas
praktik kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sangat
merugikan negara. Meski begitu, independensi dan efektivitas KPK sempat
mengalami penurunan pasca revisi UU KPK, yang menimbulkan kekhawatiran publik
terkait pelemahan fungsi institusi ini.⁸
4.5.
Lembaga Non-Yudisial dan Peran Advokasi
Masyarakat
Selain lembaga
formal, terdapat juga lembaga non-yudisial seperti Komnas
HAM, Ombudsman RI, serta LSM
advokasi hukum yang turut berperan dalam perlindungan dan
penegakan hak warga negara. Komnas HAM, misalnya, memiliki kewenangan untuk
menyelidiki pelanggaran HAM dan merekomendasikan penyelesaian melalui mekanisme
hukum nasional maupun internasional.⁹
Partisipasi
masyarakat melalui lembaga bantuan hukum, media, dan komunitas sipil menjadi
elemen penting dalam menciptakan sistem penegakan hukum yang akuntabel. Dalam
kerangka demokrasi konstitusional, fungsi kontrol sosial ini harus diperkuat
agar lembaga penegak hukum tidak menyimpang dari tugas dan fungsinya.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 2.
[2]
Indonesian Legal Roundtable, Catatan Kritis Reformasi Kepolisian
(Jakarta: ILR, 2019), 7–8.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 250.
[4]
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum dan Peradilan (Bandung:
Mandar Maju, 2011), 83.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MK, 2006), 121–124.
[6]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), 101–102.
[7]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas UU KPK, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
197.
[8]
ICW (Indonesia Corruption Watch), Evaluasi Kinerja KPK Pasca Revisi
UU 2019 (Jakarta: ICW, 2021), 3–5.
[9]
Komnas HAM, Laporan Tahunan 2023: Pemajuan dan Penegakan HAM di
Indonesia (Jakarta: Komnas HAM, 2024), 11–13.
5.
Evaluasi Praktik Penegakan dan Perlindungan
Hukum di Indonesia
Meskipun Indonesia
secara normatif telah membangun kerangka hukum yang menjamin prinsip keadilan
dan perlindungan hak-hak warga negara, pelaksanaannya di tingkat praksis masih
menghadapi tantangan serius. Evaluasi terhadap praktik penegakan dan
perlindungan hukum menjadi penting untuk mengidentifikasi titik-titik
kelemahan, sekaligus merumuskan langkah-langkah perbaikan sistem hukum nasional.
5.1.
Inkonsistensi dalam Penegakan Hukum
Salah satu persoalan
mendasar dalam praktik penegakan hukum di Indonesia adalah inkonsistensi
dalam penerapan hukum terhadap berbagai kelompok masyarakat. Kasus-kasus hukum
sering kali menunjukkan adanya diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi,
atau politik. Praktik “tajam ke bawah, tumpul ke atas”
masih menjadi keluhan masyarakat, ketika pejabat tinggi yang tersangkut korupsi
sering mendapat perlakuan hukum yang lunak dibandingkan rakyat kecil dalam
kasus ringan.¹
Laporan tahunan
Komisi Yudisial mencatat bahwa pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi terhadap
putusan hakim masih menjadi masalah sistemik yang merusak independensi lembaga
peradilan.² Selain itu, lemahnya pengawasan internal terhadap aparat penegak
hukum menyebabkan rendahnya akuntabilitas dan tingginya potensi penyalahgunaan
wewenang.
5.2.
Kesenjangan Akses terhadap Perlindungan Hukum
Di sisi lain, akses
terhadap perlindungan hukum juga belum merata, terutama bagi
kelompok marginal seperti masyarakat miskin, perempuan, anak, penyandang
disabilitas, dan komunitas adat. Keterbatasan pemahaman hukum, biaya proses
hukum yang tinggi, serta lokasi geografis yang jauh dari pusat kekuasaan
menjadi penghambat utama bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan yang
adil.³
Meski pemerintah
telah membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, pelaksanaannya masih terbatas dalam hal jangkauan dan
kualitas layanan.⁴ Kurangnya anggaran dan dukungan infrastruktur membuat
lembaga bantuan hukum tidak dapat secara optimal melayani kebutuhan hukum
masyarakat di daerah terpencil.
5.3.
Reformasi Hukum yang Belum Komprehensif
Program reformasi
hukum yang telah dicanangkan sejak era Reformasi sering kali hanya menyentuh
aspek administratif dan kelembagaan, namun belum menyentuh transformasi nilai
dan budaya hukum. Banyak kebijakan yang lebih bersifat reaktif daripada
proaktif, serta tidak didukung oleh komitmen politik yang kuat untuk membangun
sistem hukum yang berkeadilan.⁵
Laporan Indonesian
Legal Roundtable menyoroti bahwa proses legislasi di DPR sering kali tidak
partisipatif, kurang transparan, dan sarat kepentingan politik. Hal ini
mengakibatkan produk hukum yang inkonsisten dan bahkan bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusional.⁶ Contohnya adalah kontroversi Revisi
Undang-Undang KPK Tahun 2019 yang dinilai melemahkan independensi lembaga
tersebut dan menimbulkan kemunduran dalam pemberantasan korupsi.⁷
5.4.
Praktik Penegakan Hukum dalam Kasus Pelanggaran
HAM dan Lingkungan
Evaluasi juga perlu
memperhatikan kegagalan negara dalam menangani kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia berat dan kejahatan lingkungan. Hingga kini, berbagai kasus
pelanggaran HAM masa lalu—seperti Tragedi 1965, Trisakti, dan Semanggi—belum
memperoleh penyelesaian hukum yang memadai. Komnas HAM telah menyampaikan
berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung, namun proses peradilan tidak
berjalan karena tidak adanya kesepakatan politik dan rendahnya kemauan
institusional.⁸
Demikian pula,
kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal dan pembukaan lahan
secara masif masih menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi
besar. Penindakan hukum terhadap pelaku kerusakan lingkungan seringkali tidak
berbanding lurus dengan tingkat kerusakan dan kerugian ekologis yang
ditimbulkan.⁹
5.5.
Peran Masyarakat Sipil dan Media dalam
Mendorong Akuntabilitas
Meski dihadapkan
pada berbagai persoalan, masyarakat sipil dan media massa memainkan peran
penting dalam memperkuat kontrol terhadap praktik penegakan hukum. LSM hukum,
komunitas advokasi, akademisi, dan jurnalis investigatif telah banyak
mengungkap ketimpangan dan penyimpangan dalam proses hukum.¹⁰ Hal ini
menunjukkan bahwa demokratisasi hukum hanya akan berjalan jika terdapat
partisipasi aktif dari masyarakat sebagai penyeimbang kekuasaan.
Namun, tekanan
terhadap kebebasan berekspresi, kriminalisasi terhadap aktivis, dan represi
terhadap jurnalis masih menjadi tantangan serius yang mengancam peran publik
dalam menjaga akuntabilitas hukum di Indonesia.
Footnotes
[1]
Hadar Nafis Gumay, “Keadilan Sosial di Tengah Ketimpangan Penegakan
Hukum”, dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, vol. 12, no. 1 (2021):
45.
[2]
Komisi Yudisial RI, Laporan Tahunan 2022: Potret Keadilan dan
Independensi Peradilan (Jakarta: KY, 2023), 16–18.
[3]
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Akses terhadap Keadilan bagi
Masyarakat Miskin (Jakarta: LBH Jakarta, 2021), 10–11.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125.
[5]
Bivitri Susanti, “Evaluasi Reformasi Hukum: Antara Harapan dan
Realitas”, dalam Jurnal Hukum IUS, vol. 9, no. 2 (2021): 225–226.
[6]
Indonesian Legal Roundtable, Kualitas Legislasi dan Proses
Demokrasi di Parlemen (Jakarta: ILR, 2020), 9–12.
[7]
ICW (Indonesia Corruption Watch), Dampak Revisi UU KPK: Analisis
Tahun Pertama (Jakarta: ICW, 2020), 4–6.
[8]
Komnas HAM, Laporan Tahunan 2023: Penanganan Pelanggaran HAM Berat
(Jakarta: Komnas HAM, 2024), 31–34.
[9]
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Keadilan Ekologis dan
Ketimpangan Penegakan Hukum (Jakarta: WALHI, 2023), 14–16.
[10]
ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Demokrasi dan
Advokasi Hukum di Era Digital (Jakarta: ELSAM, 2022), 22–24.
6.
Peran Warga Negara dalam Menegakkan Hukum dan
Menjaga Keadilan
Penegakan hukum dan
penjagaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat dan lembaga
negara, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif warga negara.
Dalam sistem negara hukum demokratis, keberhasilan pelaksanaan hukum sangat
bergantung pada kesadaran hukum, kepatuhan
sukarela terhadap hukum, dan peran kritis masyarakat dalam
mengawasi serta mengawal jalannya hukum secara adil dan proporsional.
6.1.
Kesadaran Hukum sebagai Landasan Etis Warga
Negara
Kesadaran hukum
adalah kondisi batiniah warga negara yang memahami, menghargai, dan secara
sukarela menaati hukum sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Soerjono
Soekanto, tingkat kesadaran hukum masyarakat menentukan efektivitas suatu
sistem hukum, sebab hukum yang baik sekalipun akan sia-sia tanpa kepatuhan
sukarela dari masyarakat.¹
Kesadaran hukum
tumbuh melalui pendidikan, pengalaman sosial, dan contoh perilaku dari tokoh
masyarakat maupun aparatur negara. Oleh karena itu, pembangunan budaya hukum di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya memperkuat pendidikan karakter dan
civic education di berbagai jenjang pendidikan, terutama dalam mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).²
6.2.
Partisipasi Aktif dalam Pengawasan dan Advokasi
Warga negara
memiliki hak sekaligus kewajiban untuk terlibat dalam pengawasan publik
terhadap lembaga dan aparat penegak hukum. Partisipasi ini dapat dilakukan
melalui berbagai cara, antara lain:
·
Pelaporan
pelanggaran hukum kepada lembaga berwenang seperti KPK,
Ombudsman RI, atau Komnas HAM;
·
Membentuk
komunitas advokasi hukum atau bekerja sama dengan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH);
·
Menggunakan
hak berekspresi dan menyampaikan pendapat secara damai sebagai
bagian dari kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Partisipasi warga
dalam mendorong akuntabilitas hukum merupakan implementasi dari hak
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang
menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.³ Ini
sekaligus menunjukkan bahwa hukum bukan hanya milik elite, tetapi juga alat
perjuangan masyarakat untuk mencapai keadilan.
6.3.
Penguatan Budaya Kritis dan Etika
Konstitusional
Di tengah tantangan
penegakan hukum seperti politisasi aparat, korupsi struktural, dan lemahnya
peradilan, warga negara dituntut untuk tidak bersikap apatis. Dibutuhkan
keberanian moral dan sikap kritis-konstitusional, yakni
berani mengoreksi ketimpangan tanpa melanggar hukum.⁴ Sikap ini menempatkan
konstitusi sebagai landasan moral dan legal dalam menyuarakan keadilan secara
konstruktif.
Menurut Jimly
Asshiddiqie, etika konstitusional adalah sikap yang mendorong warga negara
untuk mengawal pelaksanaan nilai-nilai dasar konstitusi seperti keadilan,
persamaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.⁵ Etika ini dapat
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai konsumen, pemilih dalam
pemilu, pelaku ekonomi, maupun bagian dari komunitas sosial yang sadar hukum.
6.4.
Kolaborasi antara Warga Negara dan Negara
Relasi antara warga
negara dan negara idealnya bersifat kolaboratif. Negara menciptakan hukum yang
adil dan berpihak pada rakyat, sementara warga negara berpartisipasi dalam
mendukung penegakan hukum serta mengkritisi apabila terjadi penyimpangan.
Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui pelibatan publik dalam perumusan
kebijakan hukum, dialog antara lembaga negara dan masyarakat sipil, serta
keterbukaan informasi publik.
Dalam konteks
demokrasi partisipatoris, keberadaan warga negara yang aktif, beretika, dan
sadar hukum akan memperkuat legitimasi hukum dan stabilitas sosial. Hukum akan
benar-benar menjadi alat pemersatu dan penjamin kedamaian hanya jika warga
negara tidak bersikap pasif terhadap ketidakadilan.⁶
Footnotes
[1]
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
(Jakarta: Rajawali Pers, 1982), 21–22.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
115–117.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 28E ayat (3).
[4]
Bivitri Susanti, “Peran Masyarakat dalam Penguatan Negara Hukum”,
dalam Jurnal Konstitusi, vol. 14, no. 2 (2017): 289.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Perspektif Moral Etis terhadap
Konstitusi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), 44–46.
[6]
Wahyudi Djafar, Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hukum dan
Demokrasi Konstitusional (Jakarta: ELSAM, 2020), 38–39.
7.
Upaya Strategis untuk Meningkatkan Penegakan
Hukum yang Berkeadilan
Penegakan hukum yang
berkeadilan merupakan pilar utama dalam membangun negara hukum yang demokratis
dan beradab. Namun, sebagaimana telah dievaluasi dalam bagian sebelumnya,
sistem hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang bersifat
struktural, kultural, dan institusional. Oleh karena itu, dibutuhkan
serangkaian upaya strategis yang bersifat multidimensi dan
berkelanjutan untuk mewujudkan penegakan hukum yang tidak hanya
legal-formal, tetapi juga menjamin keadilan substantif dan kedamaian sosial.
7.1.
Reformasi Hukum secara Struktural dan
Substansial
Langkah pertama yang
perlu ditempuh adalah reformasi hukum secara struktural (kelembagaan dan
prosedural) dan substansial (materi hukum dan
nilai yang dikandungnya). Reformasi struktural mencakup penyederhanaan lembaga
penegak hukum, penguatan sistem pengawasan internal, peningkatan transparansi,
serta rekruitmen aparatur hukum berbasis meritokrasi dan integritas.¹
Secara substansial,
peraturan perundang-undangan perlu disusun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan
sosial, non-diskriminasi, dan penghormatan terhadap HAM. Legislasi yang sarat
kepentingan politik harus dikaji ulang, seperti Revisi UU KPK dan UU ITE yang
banyak menimbulkan kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan sipil.²
Untuk itu, pembentukan hukum harus melibatkan partisipasi publik yang luas
dan berbasis pada kajian akademik yang kuat.
7.2.
Penguatan Kapasitas dan Etika Aparatur Penegak
Hukum
Salah satu problem
utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah rendahnya kapasitas
profesional dan etika integritas aparat penegak hukum. Banyak
kasus penyalahgunaan kewenangan, korupsi yudisial, dan pelanggaran prosedural
terjadi akibat kurangnya pengawasan serta lemahnya moralitas penegak hukum itu
sendiri.³
Oleh karena itu,
dibutuhkan program pendidikan dan pelatihan etika hukum secara berkelanjutan,
penerapan sistem penilaian kinerja berbasis objektivitas, serta sanksi tegas
terhadap pelanggaran kode etik. Institusi seperti Komisi
Yudisial, Ombudsman RI, dan Kompolnas
harus diperkuat fungsinya dalam memastikan akuntabilitas dan profesionalitas
aparat hukum.⁴
7.3.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Akses Keadilan
Penegakan hukum yang
berkeadilan tidak hanya ditentukan oleh negara, tetapi juga oleh kemampuan
masyarakat dalam mengakses dan memahami sistem hukum. Oleh sebab itu, perlu
dikembangkan program akses terhadap keadilan (access
to justice), khususnya bagi kelompok rentan seperti masyarakat miskin,
perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan komunitas adat.⁵
Pemerintah harus
memperluas cakupan bantuan hukum gratis melalui
dukungan terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH), meningkatkan literasi hukum
masyarakat melalui pendidikan hukum berbasis komunitas, serta menyediakan
mekanisme pengaduan publik yang mudah diakses.⁶ Akses keadilan yang merata akan
mempersempit kesenjangan sosial dan mengurangi potensi konflik hukum di
masyarakat.
7.4.
Digitalisasi Sistem Hukum dan Peradilan
Dalam era
transformasi digital, penguatan sistem hukum juga harus mencakup digitalisasi
proses hukum dan peradilan. Hal ini dapat meningkatkan
transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas proses hukum. Inisiatif e-Court,
e-Litigasi, dan aplikasi pengaduan daring harus terus dikembangkan dan
diperluas ke seluruh wilayah Indonesia.⁷
Namun digitalisasi
tidak cukup hanya pada aspek teknis. Diperlukan juga penguatan kapasitas
pengguna (baik aparat maupun masyarakat), perlindungan data pribadi, dan
jaminan inklusivitas bagi kelompok yang secara digital tertinggal. Teknologi
hukum (legal
tech) harus digunakan sebagai alat untuk mendekatkan keadilan,
bukan menciptakan jurang digital baru.⁸
7.5.
Pengarusutamaan Nilai Pancasila dan Etika
Sosial dalam Sistem Hukum
Terakhir, strategi
penegakan hukum yang berkeadilan harus bersandar pada nilai-nilai luhur bangsa,
yakni Pancasila
sebagai dasar dan sumber hukum nasional. Penegakan hukum yang
hanya berorientasi pada teks dan prosedur tanpa memperhatikan konteks sosial akan
kehilangan legitimasi di mata publik.⁹
Pancasila menekankan
pentingnya kemanusiaan yang adil dan beradab
serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, setiap
produk hukum dan kebijakan penegakannya harus diuji berdasarkan nilai-nilai
tersebut. Dengan demikian, hukum tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan penuntun
moral dan instrumen rekonsiliasi sosial.¹⁰
Footnotes
[1]
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum dalam Perspektif Transisi
Demokrasi (Bandung: Mandar Maju, 2001), 84–86.
[2]
Indonesian Legal Roundtable, Reformasi Hukum: Agenda dan Evaluasi
(Jakarta: ILR, 2020), 15–18.
[3]
Komisi Yudisial RI, Indeks Integritas Hakim Tahun 2022
(Jakarta: KY, 2023), 13–15.
[4]
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Reformasi Aparat
Penegak Hukum: Kebutuhan Mendesak (Jakarta: ICJR, 2021), 23–25.
[5]
LBH Jakarta, Akses terhadap Keadilan bagi Kelompok Rentan
(Jakarta: LBH, 2022), 9–10.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125.
[7]
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan e-Court dan e-Litigasi 2023
(Jakarta: MA RI, 2024), 5–7.
[8]
Wahyudi Djafar, Teknologi dan Keadilan: Membangun Sistem Hukum
Digital yang Inklusif (Jakarta: ELSAM, 2023), 26–29.
[9]
Notonagoro, Pancasila sebagai Dasar Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1980), 112–114.
[10]
Kaelan, Filsafat Pancasila dalam Konteks Kenegaraan
(Yogyakarta: Paradigma, 2004), 133–135.
8.
Penutup
Penegakan dan
perlindungan hukum merupakan elemen fundamental dalam mewujudkan keadilan
dan kedamaian dalam sistem negara hukum Indonesia. Sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila,
hukum di Indonesia seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai instrumen
ketertiban sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk mengangkat
martabat manusia, menghapus ketidakadilan, dan menciptakan
kehidupan bersama yang harmonis.¹
Namun demikian,
realitas menunjukkan bahwa berbagai persoalan seperti inkonsistensi penegakan hukum,
lemahnya akses keadilan, dan rendahnya integritas aparatur penegak hukum masih
menjadi penghambat dalam proses perwujudan cita-cita keadilan. Evaluasi
menyeluruh terhadap praktik hukum nasional mengungkap adanya kesenjangan antara
norma
hukum yang ideal dan kondisi empiris yang aktual di
lapangan.² Oleh sebab itu, penguatan sistem hukum harus dilakukan tidak hanya
dalam aspek legal-formal, tetapi juga dalam dimensi kultural, struktural, dan
partisipatoris.
Peran warga negara
menjadi sangat strategis dalam membentuk sistem hukum yang berkeadilan.
Kesadaran hukum, partisipasi aktif dalam pengawasan hukum, dan keberanian moral
untuk bersikap kritis terhadap penyimpangan hukum merupakan fondasi penting
bagi terciptanya sistem hukum yang sehat dan demokratis.³ Dalam konteks ini,
pendidikan kewarganegaraan yang bermuatan nilai dan etika konstitusional perlu
terus dikembangkan sebagai bagian dari investasi jangka panjang membangun
peradaban hukum yang adil dan beradab.⁴
Untuk itu,
diperlukan upaya strategis yang terpadu antara negara dan masyarakat, mencakup reformasi
hukum yang komprehensif, penguatan integritas aparatur hukum,
digitalisasi
sistem peradilan, serta pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila dalam
pembentukan dan pelaksanaan hukum.⁵ Dengan sinergi tersebut,
hukum dapat benar-benar menjadi pilar keadilan yang mempersatukan bangsa,
serta menjamin kedamaian sosial yang berkelanjutan
di tengah dinamika global yang kompleks.
Akhirnya, hukum yang
adil bukan hanya ditandai oleh kesempurnaan pasal-pasalnya, tetapi juga oleh kehadirannya
yang nyata dan bermakna dalam kehidupan rakyat. Dalam semangat
itu, hukum tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dihidupkan dalam kesadaran dan tindakan seluruh
elemen bangsa.⁶
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 1 ayat (3).
[2]
Bivitri Susanti, “Evaluasi Reformasi Hukum: Antara Harapan dan
Realitas”, dalam Jurnal Hukum IUS, vol. 9, no. 2 (2021): 228–230.
[3]
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
(Jakarta: Rajawali Pers, 1982), 45–46.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Perspektif Moral Etis terhadap
Konstitusi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), 101.
[5]
Indonesian Legal Roundtable, Reformasi Hukum: Agenda dan Evaluasi
(Jakarta: ILR, 2020), 21–25.
[6]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan Rakyat
(Jakarta: Kompas, 2009), 3–4.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Perkembangan dan
konsolidasi lembaga negara pasca amandemen konstitusi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Asshiddiqie, J. (2014). Etika konstitusi:
Perspektif moral etis terhadap konstitusi dan penegakan hukum. Jakarta:
Konstitusi Press.
Atmasasmita, R. (2001). Reformasi hukum dalam
perspektif transisi demokrasi. Bandung: Mandar Maju.
Atmasasmita, R. (2011). Reformasi hukum dan
peradilan. Bandung: Mandar Maju.
Bivitri, S. (2017). Peran masyarakat dalam
penguatan negara hukum. Jurnal Konstitusi, 14(2), 275–294.
Bivitri, S. (2021). Evaluasi reformasi hukum:
Antara harapan dan realitas. Jurnal Hukum IUS, 9(2), 218–231.
Djafar, W. (2020). Partisipasi masyarakat dalam
penegakan hukum dan demokrasi konstitusional. Jakarta: ELSAM.
Djafar, W. (2023). Teknologi dan keadilan:
Membangun sistem hukum digital yang inklusif. Jakarta: ELSAM.
ELSAM. (2022). Demokrasi dan advokasi hukum di
era digital. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Gumay, H. N. (2021). Keadilan sosial di tengah
ketimpangan penegakan hukum. Jurnal Hukum dan Keadilan, 12(1),
43–58.
ICJR. (2021). Reformasi aparat penegak hukum:
Kebutuhan mendesak. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.
ICW. (2020). Dampak revisi UU KPK: Analisis
tahun pertama. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
ICW. (2021). Evaluasi kinerja KPK pasca revisi
UU 2019. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Indonesian Legal Roundtable. (2019). Catatan
kritis reformasi kepolisian. Jakarta: ILR.
Indonesian Legal Roundtable. (2020). Kualitas
legislasi dan proses demokrasi di parlemen. Jakarta: ILR.
Indonesian Legal Roundtable. (2020). Reformasi
hukum: Agenda dan evaluasi. Jakarta: ILR.
Jimly, A. (2006). Pengantar ilmu hukum tata
negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Kaelan. (2004). Filsafat Pancasila dalam konteks
kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Indeks
integritas hakim tahun 2022. Jakarta: Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2023). Laporan
tahunan 2022: Potret keadilan dan independensi peradilan. Jakarta: Komisi
Yudisial.
Komnas HAM. (2023). Laporan tahunan 2023:
Penanganan pelanggaran HAM berat. Jakarta: Komnas HAM.
Komnas HAM. (2024). Laporan tahunan 2023:
Pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM.
LBH Jakarta. (2021). Akses terhadap keadilan
bagi masyarakat miskin. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
LBH Jakarta. (2022). Akses terhadap keadilan
bagi kelompok rentan. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2024). Laporan
tahunan e-Court dan e-Litigasi 2023. Jakarta: MA RI.
Mahfud MD. (2006). Membangun politik hukum,
menegakkan konstitusi. Jakarta: LP3ES.
Mahfud MD. (2009). Politik hukum di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press.
Notonagoro. (1980). Pancasila sebagai dasar
pandangan hidup bangsa Indonesia. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Notonagoro. (1983). Pancasila secara ilmiah
populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, S. (2007). Hukum dan masyarakat.
Bandung: Angkasa.
Rahardjo, S. (2009). Hukum progresif: Hukum yang
membebaskan rakyat. Jakarta: Kompas.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.
Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 125.
Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197.
Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 250.
Soekanto, S. (1982). Kesadaran hukum dan
kepatuhan hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, S. (2008). Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali Press.
WALHI. (2023). Keadilan ekologis dan ketimpangan
penegakan hukum. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar