Bahan Ajar PPKn
Faktor Pendorong dan Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Kajian Kritis dalam Konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai faktor-faktor
yang mendorong dan menghambat persatuan serta kesatuan bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kemajemukan
sosial-budaya Indonesia, persatuan merupakan kondisi dinamis yang memerlukan
pemeliharaan berkelanjutan. Artikel ini menguraikan landasan filosofis dan
konstitusional persatuan berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pembahasan difokuskan pada faktor pendorong
seperti kesamaan sejarah perjuangan, bahasa nasional, simbol-simbol negara,
nilai gotong royong, serta peran pendidikan dan media. Di sisi lain, faktor
penghambat seperti primordialisme sempit, etnosentrisme, ketimpangan ekonomi,
politik identitas, dan penyalahgunaan media sosial dikaji sebagai tantangan serius
terhadap integrasi nasional. Melalui analisis dampak disintegrasi dan studi
kasus aktual, artikel ini menekankan pentingnya upaya strategis dalam bidang
pendidikan karakter, penegakan hukum, pembangunan berkeadilan, literasi
digital, dan penguatan dialog antarbudaya. Dengan pendekatan kritis dan
reflektif, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap penguatan
nilai-nilai kebangsaan dalam pendidikan kewarganegaraan, khususnya di tingkat
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Kata Kunci: Persatuan dan
kesatuan bangsa; NKRI; Pancasila; disintegrasi nasional; pendidikan
kewarganegaraan; politik identitas; literasi digital; karakter kebangsaan.
PEMBAHASAN
Faktor Pendorong dan Penghambat Persatuan dan Kesatuan
Bangsa
1.
Pendahuluan
Persatuan dan kesatuan
merupakan fondasi fundamental bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, semangat
kebersamaan yang lahir dari perjuangan melawan penjajahan telah menjadi
kekuatan utama dalam membangun negara yang berdaulat dan berkeadilan. Dalam
konteks Indonesia yang multikultural, dengan keragaman suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA), menjaga persatuan bukanlah suatu tugas yang mudah,
melainkan sebuah tantangan konstan yang membutuhkan perhatian dan komitmen
kolektif dari seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor
yang mendorong sekaligus menghambat persatuan dan kesatuan menjadi sangat
penting dalam upaya memperkuat integrasi nasional.
Pancasila sebagai
dasar negara telah menetapkan nilai-nilai yang mengikat seluruh warga negara
dalam bingkai kebangsaan yang utuh. Nilai-nilai kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan sosial memberikan landasan filosofis bagi pembentukan
semangat kebersamaan antarwarga negara Indonesia. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”,
bukan hanya slogan normatif, tetapi sebuah prinsip hidup yang harus
diinternalisasikan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
perspektif ini, persatuan dipandang bukan sekadar tidak adanya konflik,
melainkan adanya kesadaran aktif untuk menerima perbedaan sebagai kekuatan
bangsa, bukan kelemahan bangsa.¹
Namun, dalam
realitas sosial-politik, persatuan bangsa tidak selalu berjalan mulus.
Munculnya berbagai bentuk konflik sosial, ketimpangan pembangunan antarwilayah,
serta praktik diskriminasi atau politik identitas menunjukkan adanya
faktor-faktor yang dapat menghambat integrasi nasional. Globalisasi,
perkembangan teknologi informasi, dan dinamika politik yang tidak sehat juga
turut menjadi variabel baru dalam menguji ketahanan persatuan bangsa.² Oleh
karena itu, diperlukan upaya sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami dua
sisi yang kontras: faktor-faktor yang mendorong persatuan serta faktor-faktor
yang menjadi hambatan. Dengan kajian yang komprehensif dan berbasis pada data
serta perspektif kebangsaan, siswa di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) diharapkan mampu memiliki kesadaran kritis dan konstruktif dalam menjaga
keutuhan NKRI.
Selain itu,
pentingnya pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana untuk menanamkan
nilai-nilai nasionalisme dan kebhinekaan perlu diperkuat di tengah derasnya
arus ideologi transnasional yang dapat mempengaruhi identitas nasional generasi
muda.³ Oleh karena itu, pembelajaran tentang faktor pendorong dan penghambat
persatuan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik
dalam membentuk karakter warga negara yang cinta tanah air, menjunjung tinggi
toleransi, dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 129.
[2]
Mochtar Mas’oed, Politik dan Pemerintahan di Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 88–89.
[3]
Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 47.
2.
Landasan
Filosofis dan Konstitusional Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia memiliki landasan yang kuat, baik secara filosofis
maupun konstitusional. Kedua aspek ini menjadi pondasi yang mengarahkan seluruh
dinamika kehidupan berbangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dalam konteks filosofis, persatuan bangsa dilandaskan pada nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Sementara secara
konstitusional, prinsip ini diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang menegaskan NKRI
sebagai bentuk final negara dan menjamin keutuhan wilayah serta kesatuan
bangsa.
2.1.
Pancasila sebagai Dasar Filosofis Persatuan
Sebagai dasar
negara, Pancasila memuat nilai-nilai esensial yang menopang kehidupan
kebangsaan Indonesia. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, secara tegas
menempatkan persatuan sebagai prinsip utama dalam membangun masyarakat yang
majemuk. Nilai ini tidak sekadar bersifat simbolik, tetapi mengandung makna
strategis untuk mengintegrasikan berbagai perbedaan suku, agama, ras, bahasa,
dan budaya ke dalam satu kesadaran kebangsaan. Pancasila menjadi titik temu
antara identitas kolektif dan aspirasi bersama untuk hidup damai dalam
keragaman.¹
Filsafat Pancasila
yang bersifat inklusif dan integralistik memberikan ruang kepada semua elemen
masyarakat untuk merasa diakui dan dihargai. Pendekatan ini sangat relevan
dengan kondisi Indonesia sebagai negara pluralistik yang terdiri dari lebih
dari 1.300 kelompok etnis dan 700 bahasa daerah.² Dalam konteks inilah,
persatuan bukan hanya tujuan politik, tetapi juga konsekuensi logis dari
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan toleransi yang terkandung dalam
Pancasila.
2.2.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai
Manifestasi Kebangsaan
Semboyan nasional
“Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada
abad ke-14 menjadi pengejawantahan historis dan kultural dari filosofi
persatuan. Artinya yang mendalam — “Berbeda-beda tetapi tetap satu” —
menyiratkan prinsip integratif yang mengajak masyarakat Indonesia untuk
menjunjung tinggi keragaman dalam kesatuan.³ Semboyan ini menjadi dasar etis dan
moral dalam pembentukan identitas nasional yang tidak seragam, tetapi kohesif
dan harmonis.
Melalui pendekatan
ini, bangsa Indonesia diarahkan untuk memandang perbedaan sebagai kekayaan yang
memperkuat, bukan sebagai ancaman yang memecah belah. Semangat ini diperkuat
dalam berbagai kebijakan nasional, seperti integrasi wilayah, kurikulum
nasional, dan pembangunan karakter bangsa.
2.3.
UUD NRI 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Secara yuridis,
semangat persatuan dan kesatuan bangsa diatur secara eksplisit dalam
konstitusi. Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Formulasi ini menegaskan bahwa
keutuhan wilayah dan integrasi nasional merupakan prinsip dasar yang tidak
dapat ditawar.⁴
Selain itu, Pasal 30
ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga
persatuan bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab seluruh rakyat
Indonesia sebagai warga negara. Dalam Pembukaan UUD NRI 1945, frasa “memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” juga mencerminkan
cita-cita kolektif yang hanya dapat dicapai dalam suasana persatuan.
2.4.
Ketetapan MPR dan Instrumen Hukum Lainnya
Landasan
konstitusional tentang persatuan juga diperkuat oleh berbagai ketetapan dan
undang-undang. Misalnya, Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional menegaskan pentingnya menjaga integritas NKRI
dari segala bentuk ancaman disintegrasi bangsa.⁵ Demikian pula, Undang-Undang
No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan menjadi simbol yuridis dari komitmen negara terhadap identitas dan
kohesi nasional.
Kesimpulan Sementara
Landasan filosofis
dan konstitusional yang dimiliki Indonesia memberikan kerangka yang kokoh untuk
menjaga dan memperkuat persatuan serta kesatuan bangsa. Nilai-nilai Pancasila,
semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta aturan konstitusional dan kebijakan
nasional yang mendukung integrasi bangsa menjadi instrumen penting dalam
menghadapi tantangan kebangsaan masa kini dan masa depan.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 138–140.
[2]
Tim Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2023 (Jakarta:
BPS, 2023), 55.
[3]
Soedarsono, Bhinneka Tunggal Ika: Asal Usul dan Implikasinya
terhadap Persatuan Bangsa (Jakarta: Gramedia, 2006), 24–25.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara, 2022), Pasal 1 ayat (1).
[5]
Majelis Permusyawaratan Rakyat, TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000.
3.
Faktor
Pendorong Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Keutuhan dan
keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat ditentukan
oleh sejauh mana kekuatan integratif dapat diinternalisasikan dan dijalankan
oleh setiap elemen masyarakat. Dalam sejarah bangsa Indonesia, terdapat
berbagai faktor pendorong yang telah berperan penting dalam memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa, baik yang bersumber dari nilai-nilai historis
maupun aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor-faktor ini tidak hanya memperkuat identitas nasional, tetapi juga
menjadi modal sosial yang penting untuk menjaga stabilitas negara.
3.1.
Kesamaan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Salah satu pendorong
utama persatuan bangsa Indonesia adalah pengalaman kolektif dalam
memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan. Perjuangan panjang melawan
kolonialisme Belanda dan Jepang telah membentuk rasa senasib sepenanggungan
yang kuat di antara berbagai kelompok masyarakat. Kesamaan ini melahirkan
semangat solidaritas nasional dan kesadaran akan pentingnya kebebasan dan
kedaulatan bangsa.¹ Momentum Sumpah Pemuda tahun 1928, yang menyatakan satu
tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia, menjadi simbol awal dari
kesadaran kebangsaan yang inklusif.²
3.2.
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Penggunaan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan salah satu faktor integratif paling
efektif dalam konteks multibahasa dan multietnis di Indonesia. Bahasa Indonesia
tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga menjadi simbol identitas
kolektif yang menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang budaya.
Penggunaan bahasa yang sama memperkuat keterikatan emosional dan mempermudah
mobilitas sosial serta kerja sama lintas daerah.³ Bahasa Indonesia juga menjadi
alat utama dalam pendidikan, pemerintahan, dan media massa, sehingga memperluas
daya jangkau integrasi nasional.
3.3.
Identitas Nasional dan Simbol-Simbol Negara
Simbol-simbol negara
seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan “Indonesia Raya,” lambang negara
Garuda Pancasila, dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berperan sebagai
pemersatu emosional dan ideologis. Simbol-simbol ini tidak hanya memiliki makna
seremonial, tetapi juga menyampaikan pesan identitas, kesetiaan, dan kebanggaan
terhadap bangsa. Keberadaan simbol-simbol ini mengokohkan rasa kebangsaan,
terutama dalam peringatan-peringatan nasional seperti Hari Kemerdekaan dan Hari
Kesaktian Pancasila.⁴
3.4.
Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sosial
Pancasila sebagai
dasar negara mengandung nilai-nilai persatuan, kemanusiaan, keadilan sosial, dan
musyawarah yang relevan untuk memperkuat kehidupan bersama. Dalam praktik
sosial, nilai-nilai ini termanifestasi dalam sikap gotong royong, toleransi
antarumat beragama, solidaritas sosial, serta musyawarah dalam menyelesaikan
masalah.⁵ Kehadiran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa menjembatani
perbedaan dan menanamkan kesadaran bahwa keragaman bukanlah ancaman, melainkan
kekayaan yang memperkuat bangsa.
3.5.
Peran Pendidikan dan Media dalam Pembentukan
Wawasan Kebangsaan
Pendidikan memiliki
peran strategis dalam membentuk karakter dan wawasan kebangsaan generasi muda.
Melalui kurikulum pendidikan, nilai-nilai nasionalisme, pluralisme, dan cinta
tanah air ditanamkan secara sistematis. Pendidikan kewarganegaraan (PPKn),
khususnya, menjadi wahana formal dalam menginternalisasi nilai-nilai persatuan
di sekolah. Selain itu, media massa dan media sosial yang dikelola secara bijak
dapat menjadi alat untuk menyebarkan pesan-pesan kebhinekaan, toleransi, dan
integrasi sosial.⁶
3.6.
Rasa Solidaritas Sosial dan Gotong Royong
Gotong royong
merupakan nilai budaya khas Indonesia yang telah lama mengakar dalam kehidupan
masyarakat. Dalam berbagai situasi darurat — seperti bencana alam atau pandemi
— masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas sosial yang tinggi tanpa
memandang perbedaan suku, agama, atau kelas sosial. Nilai-nilai seperti empati,
kerja sama, dan kebersamaan inilah yang memperkuat ikatan sosial serta menjadi
daya dorong terhadap terjaganya persatuan bangsa.⁷
Kesimpulan Sementara
Faktor-faktor
pendorong persatuan bangsa bersumber dari pengalaman sejarah, identitas
kultural, serta nilai-nilai normatif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Kesamaan perjuangan, simbol-simbol nasional, serta nilai-nilai luhur
seperti gotong royong dan toleransi menjadi pilar penting dalam menjaga dan
memperkuat integrasi bangsa. Oleh karena itu, penguatan faktor-faktor ini
melalui pendidikan, kebijakan publik, dan kesadaran kolektif menjadi prasyarat
penting dalam mewujudkan bangsa yang utuh dan berdaulat.
Footnotes
[1]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 172.
[2]
Anhar Gonggong, Indonesia dalam Arus Sejarah (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2012), 245–246.
[3]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kedudukan dan Fungsi
Bahasa Indonesia (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2018), 3–5.
[4]
M. Sarbini dan Edi Subakti, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA
Kelas XI (Jakarta: Erlangga, 2020), 112.
[5]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta:
Paradigma, 2013), 160–163.
[6]
Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 84.
[7]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 103–104.
4.
Faktor
Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Meskipun Indonesia
memiliki fondasi filosofis dan historis yang kuat dalam menjaga persatuan,
realitas sosial menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai faktor yang menjadi
tantangan serius terhadap integrasi nasional. Berbagai bentuk disintegrasi
sosial, politik, dan budaya dapat muncul ketika nilai-nilai kebangsaan tidak
dijaga secara konsisten. Faktor-faktor penghambat ini dapat berasal dari dalam
masyarakat maupun sebagai dampak eksternal dari globalisasi dan perkembangan
teknologi. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini penting agar upaya menjaga
keutuhan bangsa dapat diarahkan secara tepat dan efektif.
4.1.
Primordialisme yang Berlebihan
Primordialisme
mengacu pada sikap mengutamakan kepentingan kelompok asal, seperti suku, agama,
ras, dan golongan, dibandingkan dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, primordialisme berlebihan dapat menjadi
benih konflik horizontal, terutama ketika muncul dalam bentuk eksklusivisme
sosial dan politik.¹ Ketika identitas kelompok lebih dikedepankan daripada
identitas kebangsaan, maka ikatan nasional akan melemah dan membuka ruang bagi
potensi perpecahan.
4.2.
Etnosentrisme dan Fanatisme Sempit
Sikap etnosentrisme—yakni
merasa bahwa budaya atau kelompok sendiri lebih unggul dibandingkan kelompok
lain—merupakan bentuk lain dari eksklusivisme yang menghambat integrasi sosial.
Fanatisme sempit yang lahir dari etnosentrisme sering kali memicu prasangka,
diskriminasi, dan konflik antarkelompok.² Dalam beberapa kasus, sikap ini
diperkuat oleh narasi identitas yang disebarkan melalui media sosial tanpa
filter, yang memperkuat polarisasi dan perpecahan sosial.
4.3.
Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Ketidakmerataan
pembangunan dan distribusi kesejahteraan menjadi penyebab ketidakpuasan dan
rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil
atau yang secara historis mengalami marginalisasi. Ketimpangan ini berpotensi
memicu disintegrasi karena menumbuhkan sentimen anti-pemerintah dan memperlemah
rasa memiliki terhadap negara.³ Studi oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa indeks ketimpangan wilayah di Indonesia
masih tinggi, terutama antara wilayah barat dan timur Indonesia.⁴
4.4.
Penyalahgunaan Teknologi dan Penyebaran Hoaks
Era digital membawa
tantangan baru bagi persatuan bangsa. Informasi yang tidak terverifikasi,
hoaks, dan ujaran kebencian yang tersebar di media sosial dapat memicu konflik
horizontal. Informasi yang bersifat provokatif, terutama yang berkaitan dengan
isu-isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), sering dimanfaatkan oleh
aktor-aktor tertentu untuk kepentingan politik jangka pendek.⁵ Kurangnya
literasi digital di kalangan masyarakat memperburuk situasi ini, karena banyak
pengguna internet yang tidak mampu memilah informasi secara kritis.
4.5.
Politik Identitas dan Polarisasi
Penggunaan identitas
agama atau etnis sebagai alat politik atau strategi elektoral semakin sering
ditemukan dalam kontestasi politik lokal maupun nasional. Politik identitas
mereduksi demokrasi menjadi perebutan suara berbasis kesamaan kelompok, bukan
berbasis program dan gagasan. Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, dan
ruang publik dipenuhi oleh sentimen sektarian yang mengancam kohesi sosial.⁶
Politik identitas juga memperkuat sekat-sekat sosial dan mengurangi rasa empati
lintas golongan.
4.6.
Lemahnya Pendidikan Karakter dan Wawasan
Kebangsaan
Pendidikan yang
tidak mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa secara
mendalam akan melahirkan generasi yang kurang memiliki kesadaran kolektif
terhadap pentingnya persatuan. Kelemahan ini tercermin dalam rendahnya
toleransi, kurangnya empati sosial, serta meningkatnya individualisme yang
tidak disertai tanggung jawab sosial. Pendidikan yang hanya menekankan aspek
kognitif tanpa penguatan nilai-nilai kebhinekaan berisiko menciptakan ruang
kosong dalam pembentukan identitas nasional.⁷
Kesimpulan Sementara
Faktor-faktor
penghambat persatuan dan kesatuan bangsa bersifat kompleks dan saling
berkaitan. Dari aspek budaya hingga teknologi, dari kesenjangan sosial hingga
praktik politik, semua memiliki potensi untuk mengancam keutuhan NKRI bila
tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat. Oleh karena itu, pendidikan nilai,
keadilan sosial, penguatan literasi digital, dan etika politik yang sehat
menjadi kunci penting dalam meredam ancaman disintegrasi dan memperkuat
integrasi bangsa.
Footnotes
[1]
Syafiie, Achmad. Sosiologi Konflik: Teori dan Aplikasi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 77.
[2]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 114–115.
[3]
Soetomo, Pembangunan Masyarakat: Pengantar Pemikiran dan
Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 136.
[4]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indeks
Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah di Indonesia 2022 (Jakarta: Bappenas,
2023), 5.
[5]
Kominfo RI, Laporan Tahunan Penanganan Konten Negatif 2022
(Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2023), 12–14.
[6]
Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika
Elektoral Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 97–99.
[7]
Winarno, Surakhmad. Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 134.
5.
Dampak
Disintegrasi terhadap Keutuhan NKRI
Disintegrasi
nasional merupakan kondisi terpecahnya kesatuan sosial, budaya, dan politik
suatu bangsa, yang dapat mengarah pada konflik internal dan melemahnya struktur
negara. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang majemuk, ancaman
disintegrasi sangat signifikan apabila tidak diantisipasi dengan tepat. Ketika
faktor-faktor penghambat persatuan tidak dikendalikan, maka konsekuensinya
bukan hanya dalam bentuk konflik sosial, melainkan juga mengancam keutuhan teritorial,
stabilitas pemerintahan, dan keharmonisan antarwarga negara. Oleh karena itu,
memahami dampak disintegrasi menjadi penting dalam rangka menjaga eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
5.1.
Terjadinya Konflik Sosial dan Kekerasan Horizontal
Salah satu dampak
nyata dari disintegrasi adalah munculnya konflik sosial yang melibatkan
kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.
Beberapa konflik komunal yang pernah terjadi di Indonesia, seperti konflik
Ambon (1999–2002), Poso (1998–2001), dan Sampit (2001), menjadi bukti bahwa
disintegrasi sosial dapat menimbulkan kekerasan massal, korban jiwa, serta
kerugian materi yang besar.¹ Konflik ini biasanya dipicu oleh sentimen
primordial yang dibiarkan berkembang tanpa penanganan yang bijaksana.
5.2.
Menurunnya Kepercayaan terhadap Negara dan
Institusi Publik
Ketika masyarakat
merasa tidak diakomodasi secara adil dalam sistem politik, ekonomi, atau hukum,
maka kepercayaan terhadap negara akan menurun. Ketidakpuasan ini dapat memunculkan
gerakan-gerakan separatis, antipemerintah, atau radikalisme yang mengancam
stabilitas nasional.² Ketidakpercayaan ini diperparah jika aparat negara tidak
mampu bertindak netral dan adil, atau jika hukum hanya berlaku bagi kelompok
tertentu.
5.3.
Ancaman Terhadap Integritas Teritorial dan
Kedaulatan Nasional
Disintegrasi juga
dapat membahayakan integritas wilayah NKRI. Gerakan separatis seperti
Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Gerakan Aceh Merdeka (sebelum perjanjian
damai tahun 2005) merupakan bentuk nyata dari dampak disintegrasi yang bersifat
teritorial.³ Jika tidak ditangani secara tepat, konflik seperti ini berpotensi
menimbulkan intervensi asing dan merongrong kedaulatan nasional.
5.4.
Kemandekan Pembangunan Nasional
Konflik sosial dan disintegrasi
politik menyebabkan terganggunya pembangunan nasional, terutama di wilayah
konflik. Infrastruktur rusak, aktivitas ekonomi terhenti, dan akses terhadap
layanan publik terganggu. Sebuah studi oleh LIPI menunjukkan bahwa wilayah yang
mengalami konflik berlarut-larut mengalami stagnasi pembangunan manusia (Human
Development Index/HDI) dibandingkan wilayah yang stabil.⁴ Dalam jangka panjang,
hal ini memperlebar kesenjangan dan memperkuat siklus ketidakadilan.
5.5.
Terganggunya Harmoni Sosial dan Toleransi
Antarwarga
Disintegrasi juga
menyebabkan menurunnya tingkat toleransi dan meningkatnya polarisasi sosial.
Ketegangan antar kelompok menjadi semakin akut, terutama jika diperkuat oleh
narasi kebencian yang disebarluaskan melalui media sosial atau tokoh-tokoh yang
tidak bertanggung jawab. Dalam masyarakat yang terfragmentasi, kerja sama dan
solidaritas menjadi semakin lemah, yang pada akhirnya menggerus nilai-nilai
luhur bangsa seperti gotong royong, musyawarah, dan kebersamaan.⁵
5.6.
Lemahnya Daya Saing dan Posisi Indonesia di
Kancah Global
Negara yang tidak
stabil secara sosial dan politik akan sulit bersaing di tingkat global.
Investasi asing menurun, kepercayaan mitra internasional melemah, dan diplomasi
luar negeri menjadi kurang efektif. Disintegrasi internal menyebabkan negara
kehilangan fokus terhadap agenda global seperti transformasi digital,
pembangunan berkelanjutan, dan penguatan ekonomi hijau.⁶ Stabilitas internal
adalah syarat mutlak bagi negara manapun untuk berperan aktif dan berpengaruh
dalam tata dunia internasional.
Kesimpulan Sementara
Dampak disintegrasi
terhadap keutuhan NKRI sangat serius dan multidimensional. Selain menyebabkan
kerugian sosial dan ekonomi, disintegrasi juga berpotensi merusak tatanan
politik dan melemahkan legitimasi negara. Oleh karena itu, strategi nasional
yang mengedepankan keadilan sosial, pemerataan pembangunan, pendidikan
karakter, dan dialog antarbudaya menjadi sangat penting dalam mencegah dan
menanggulangi gejala disintegrasi. Masyarakat, terutama generasi muda, perlu
didorong untuk memiliki tanggung jawab kolektif dalam menjaga persatuan dan
memperkuat NKRI.
Footnotes
[1]
Ikrar Nusa Bhakti, Kekerasan Komunal dan Disintegrasi Bangsa: Studi
Kasus di Ambon, Poso, dan Sampit (Jakarta: LIPI Press, 2004), 23–25.
[2]
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 184–185.
[3]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
(Singapore: ISEAS Publishing, 2009), 152.
[4]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kajian Dampak Konflik
Sosial terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Jakarta: LIPI Press, 2016),
41.
[5]
Soetandyo Wignjosoebroto, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Kewarganegaraan (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), 66.
[6]
Rizal Sukma, Indonesia’s Foreign Policy and the Dilemma of
Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 205–206.
6.
Upaya
Menjaga dan Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Memperkuat persatuan
dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan
sebuah tugas historis dan strategis yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh
komponen bangsa. Dalam konteks tantangan disintegrasi yang semakin kompleks
akibat globalisasi, politik identitas, serta perkembangan teknologi informasi,
diperlukan pendekatan multidimensional dan berkelanjutan untuk mengokohkan
ikatan kebangsaan. Upaya ini harus mencakup dimensi pendidikan, hukum, sosial,
ekonomi, dan budaya, serta melibatkan peran aktif negara, masyarakat sipil, dan
individu warga negara.
6.1.
Penguatan Pendidikan Karakter dan Wawasan
Kebangsaan
Pendidikan merupakan
wahana utama dalam membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Untuk menjaga
persatuan, diperlukan sistem pendidikan yang tidak hanya menanamkan pengetahuan,
tetapi juga nilai-nilai kebangsaan seperti toleransi, tanggung jawab, gotong
royong, dan cinta tanah air. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
perlu diberdayakan secara substantif dan kontekstual agar mampu menanamkan
kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan dalam keragaman.¹
Selain itu,
penguatan kurikulum yang menekankan pada pembelajaran berbasis
multikulturalisme, resolusi konflik, dan literasi digital akan meningkatkan
kemampuan generasi muda dalam menghadapi tantangan perpecahan. Pendidikan
karakter berbasis nilai Pancasila secara konsisten diterapkan melalui program
“Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi.²
6.2.
Pemerataan Pembangunan dan Keadilan Sosial
Salah satu akar
perpecahan adalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, memperkuat
persatuan bangsa harus dilakukan melalui upaya sistematis dalam pemerataan
pembangunan antarwilayah. Pendekatan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan
akan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap negara
dan memperkuat solidaritas nasional.³
Pemerintah Indonesia
telah berupaya menanggulangi ketimpangan ini melalui program Dana Desa,
pembangunan infrastruktur dasar di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan
tertinggal), serta penguatan jaminan sosial.⁴ Langkah-langkah ini sejalan
dengan tujuan negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima Pancasila.
6.3.
Supremasi Hukum dan Penegakan Keadilan
Penegakan hukum yang
adil dan tidak diskriminatif menjadi fondasi dalam menjaga kepercayaan publik
dan stabilitas sosial. Ketika hukum ditegakkan secara konsisten tanpa pandang
bulu, maka potensi konflik yang berbasis ketidakpuasan dan ketidakadilan dapat
diminimalkan.⁵ Negara harus menjamin bahwa setiap warga negara, tanpa memandang
latar belakang etnis, agama, atau status sosial, memperoleh perlakuan hukum
yang sama.
Reformasi sistem
peradilan, pemberantasan korupsi, serta penguatan lembaga-lembaga penegak hukum
seperti Komnas HAM, KPK, dan Ombudsman menjadi langkah krusial dalam
menciptakan iklim sosial yang adil dan kondusif bagi persatuan nasional.
6.4.
Penguatan Dialog Antarbudaya dan Antaragama
Dalam masyarakat
majemuk seperti Indonesia, dialog menjadi kunci utama dalam merawat harmoni
sosial. Dialog antaragama, antaretnis, dan antarkelompok perlu difasilitasi
secara rutin untuk membangun pemahaman, saling menghargai, serta mencegah
prasangka dan stereotip negatif.⁶
Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB), organisasi lintas iman, dan ruang-ruang budaya lokal merupakan
sarana penting yang perlu terus diperkuat dalam mengembangkan budaya dialog dan
rekonsiliasi. Dialog lintas identitas ini harus didasarkan pada prinsip
kesetaraan, kejujuran, dan saling mendengar.
6.5.
Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial
Kemajuan teknologi
informasi membawa tantangan baru berupa penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan
propaganda yang dapat mengancam persatuan bangsa. Oleh karena itu, literasi
digital harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat mampu menjadi pengguna
media yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.⁷
Program Gerakan
Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
menjadi langkah konkret untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
etika dalam bermedia. Literasi digital yang kuat akan mencegah polarisasi serta
memperkuat narasi positif tentang kebinekaan dan toleransi.
6.6.
Revitalisasi Budaya Gotong Royong dan
Solidaritas Sosial
Nilai gotong royong
merupakan akar budaya Indonesia yang mengajarkan pentingnya kerja sama,
solidaritas, dan kepedulian antarsesama. Dalam konteks kekinian, nilai ini
harus direvitalisasi dalam bentuk aksi sosial, partisipasi warga dalam
pembangunan, serta solidaritas lintas identitas saat menghadapi bencana atau
krisis.⁸
Penguatan institusi
sosial berbasis komunitas, seperti karang taruna, lembaga adat, dan organisasi
kemasyarakatan, dapat menjadi ruang efektif untuk menanamkan kembali semangat
gotong royong sebagai energi kolektif bangsa Indonesia.
Kesimpulan Sementara
Upaya menjaga dan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa harus dilakukan secara sistemik,
partisipatif, dan berkelanjutan. Pendidikan, hukum, pembangunan, dialog, dan
budaya digital yang sehat menjadi instrumen strategis dalam menciptakan masyarakat
yang inklusif dan integratif. Generasi muda sebagai penerus bangsa harus
dibekali dengan kesadaran kebangsaan yang kuat dan nilai-nilai luhur Pancasila
sebagai pedoman hidup dalam menghadapi tantangan global dan nasional.
Footnotes
[1]
Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 91–94.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 7–9.
[3]
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Implementasinya
(Yogyakarta: BPFE, 2002), 133–135.
[4]
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Laporan
Tahunan Dana Desa 2022 (Jakarta: Kemendesa PDTT, 2023), 22–24.
[5]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah (Jakarta: Elsam, 2012), 57–58.
[6]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Memperkuat Nilai-nilai Kebangsaan
(Jakarta: Mizan, 2000), 115–117.
[7]
Kominfo RI, Modul Literasi Digital: Etika Digital untuk Pelajar dan
Umum (Jakarta: Kominfo, 2021), 4–7.
[8]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 119–120.
7.
Studi
Kasus Aktual
Untuk memahami
secara konkret dinamika faktor pendorong dan penghambat persatuan dan kesatuan
bangsa, diperlukan telaah terhadap sejumlah studi kasus aktual yang terjadi
dalam konteks kehidupan sosial, politik, dan digital di Indonesia. Studi kasus
ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana nilai-nilai kebangsaan diuji,
serta bagaimana upaya negara dan masyarakat dalam merespons ancaman
disintegrasi dan memperkuat kohesi nasional. Beberapa peristiwa berikut menjadi
bahan refleksi strategis dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan.
7.1.
Kasus Konflik Sosial di Wamena, Papua (2023)
Insiden kekerasan
yang terjadi di Wamena pada Februari 2023 yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa
dan kerusakan fasilitas umum merupakan cerminan nyata dari kerentanan persatuan
di daerah dengan kompleksitas etnis, budaya, dan historis yang tinggi. Konflik
bermula dari isu penculikan anak yang berkembang menjadi kerusuhan dengan unsur
SARA.¹ Ketidaktepatan dalam penanganan informasi dan keterlambatan aparat
keamanan memperburuk situasi. Kasus ini menunjukkan bagaimana disinformasi,
ditambah ketegangan etnis yang belum sepenuhnya terselesaikan, dapat memicu
disintegrasi lokal yang mengancam nasionalisme.
Pemerintah kemudian
menerapkan pendekatan berbasis dialog adat, trauma healing, dan penguatan
TNI-Polri di wilayah tersebut sebagai upaya pemulihan.² Kasus ini menekankan
pentingnya literasi media dan peran aktif tokoh masyarakat lokal dalam menjaga
harmoni sosial.
7.2.
Polarisasi Politik dalam Pemilu 2019
Pemilu Presiden 2019
menunjukkan tingginya tingkat polarisasi di masyarakat yang berbasis pada
politik identitas. Kampanye politik kala itu kerap mengangkat isu agama dan
etnis yang mengarah pada segregasi sosial dan keterbelahan opini publik secara
tajam di media sosial maupun kehidupan nyata.³ Polarisasi ini menimbulkan
kekhawatiran akan melemahnya semangat persatuan dan menguatnya sentimen
sektarian.
Paska pemilu,
pemerintah dan masyarakat sipil berupaya meredakan ketegangan melalui narasi
rekonsiliasi, kampanye persatuan, dan edukasi digital untuk menangkal hoaks
serta ujaran kebencian.⁴ Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa demokrasi
tanpa etika kewarganegaraan dapat menjadi sarana pelemahan kohesi sosial.
7.3.
Peran Gerakan Sosial dalam Bencana Alam (Erupsi
Semeru, 2021)
Saat terjadi erupsi
Gunung Semeru pada akhir tahun 2021, berbagai elemen masyarakat dari berbagai
suku, agama, dan profesi menunjukkan solidaritas nasional yang luar biasa.⁵
Aksi-aksi penggalangan bantuan, sukarelawan lintas daerah, dan kolaborasi
antara pemerintah, TNI, dan masyarakat sipil memperlihatkan wajah positif dari
persatuan bangsa dalam menghadapi krisis.
Dalam konteks ini,
nilai gotong royong dan empati sosial menjadi faktor pendorong yang konkret
terhadap kekuatan integratif bangsa. Studi kasus ini juga menunjukkan bahwa
dalam situasi darurat, identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia dapat
melampaui sekat-sekat sosial yang selama ini menjadi potensi konflik.
7.4.
Gerakan Literasi Digital dan Moderasi Beragama
oleh Tokoh Muda
Di tengah maraknya
ujaran kebencian dan penyebaran hoaks di media sosial, muncul sejumlah
inisiatif dari komunitas anak muda dan organisasi Islam moderat seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang aktif mengedukasi masyarakat tentang
literasi digital, toleransi, dan moderasi beragama. Program seperti “Santri
Digitalpreneur,” “Jaringan Gusdurian,” dan “Gerakan Siber Moderat” menjadi
contoh konkret dari upaya menjaga harmoni bangsa melalui pendekatan edukatif
dan teknologi.⁶
Studi kasus ini
menunjukkan pentingnya kolaborasi antara nilai keagamaan dan nasionalisme dalam
membangun narasi positif yang mendukung keutuhan NKRI, sekaligus menegaskan
bahwa generasi muda adalah agen penting dalam perawatan persatuan bangsa.
Kesimpulan Sementara
Studi kasus di atas
menunjukkan bahwa persatuan bangsa Indonesia dapat diperkuat melalui kolaborasi
lintas sektor, peran aktif masyarakat sipil, serta komitmen negara dalam
menangani akar konflik secara adil dan inklusif. Sebaliknya, ketika
disinformasi, politik identitas, dan ketimpangan sosial dibiarkan, maka risiko
disintegrasi menjadi nyata. Oleh karena itu, refleksi terhadap kasus-kasus aktual
harus diintegrasikan ke dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana
penguatan kesadaran kritis dan komitmen kebangsaan generasi muda.
Footnotes
[1]
Kompas.com, “Kronologi Kerusuhan Wamena Papua: Bermula dari Tuduhan
Penculikan Anak,” Kompas, 25 Februari 2023, https://nasional.kompas.com.
[2]
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Penanganan
Konflik Sosial di Papua (Jakarta: BNPT, 2023), 17–18.
[3]
Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika
Elektoral Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 99–102.
[4]
Setara Institute, Laporan Indeks Kota Toleran 2020 (Jakarta:
Setara Institute, 2020), 9.
[5]
BNPB, Laporan Respons Darurat Erupsi Gunung Semeru (Jakarta:
BNPB, 2022), 12–15.
[6]
Wahid Foundation, Laporan Tahunan Toleransi dan Kebhinekaan 2022
(Jakarta: Wahid Institute, 2023), 36–38.
8.
Penutup
Persatuan dan
kesatuan bangsa merupakan pilar fundamental dalam membangun dan mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kemajemukan
Indonesia yang mencakup lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa
daerah, prinsip persatuan bukan hanya cita-cita normatif, tetapi sebuah
keniscayaan historis dan konstitusional yang harus diwujudkan secara nyata dan
terus-menerus.⁽¹⁾
Dari pembahasan
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor
pendorong yang berperan penting dalam memperkuat kohesi
nasional, antara lain: kesamaan sejarah perjuangan kemerdekaan, peran simbol
dan bahasa nasional, nilai-nilai Pancasila, serta praktik solidaritas sosial
dan gotong royong yang telah mengakar dalam budaya bangsa. Upaya pendidikan
karakter, literasi kebangsaan, dan penguatan wawasan multikultural menjadi
strategi penting dalam memperkuat kesadaran kolektif warga negara akan
pentingnya menjaga kesatuan bangsa.⁽²⁾
Namun, tidak dapat
diabaikan pula berbagai faktor penghambat yang
mengancam stabilitas nasional, seperti primordialisme sempit, etnosentrisme,
politik identitas, ketimpangan ekonomi, serta penyebaran hoaks dan ujaran
kebencian melalui media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa persatuan bangsa
bukanlah kondisi statis, melainkan proses dinamis yang memerlukan kewaspadaan,
kebijakan afirmatif, dan komitmen dari seluruh elemen bangsa, baik negara maupun
masyarakat sipil.⁽³⁾
Studi-studi kasus
aktual seperti konflik sosial di Papua, polarisasi politik pasca Pemilu, maupun
gerakan solidaritas dalam penanganan bencana alam menunjukkan dua wajah
realitas kebangsaan Indonesia—yakni potensi disintegrasi di satu sisi, dan
kekuatan solidaritas nasional di sisi lain.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, menjaga
persatuan dan kesatuan tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum dan birokrasi,
tetapi juga membutuhkan pembangunan nilai, dialog lintas budaya, dan partisipasi
aktif warga negara sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional dan moral.
Dalam era
globalisasi dan disrupsi digital yang menguji ketahanan ideologis dan identitas
nasional, penting bagi bangsa Indonesia untuk terus merawat nilai-nilai
kebangsaan secara adaptif dan transformatif. Pendidikan kewarganegaraan di
tingkat SLTA memiliki peran strategis dalam membentuk generasi muda yang tidak
hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan
berwawasan kebangsaan.⁽⁵⁾
Akhirnya, menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa adalah tugas lintas generasi yang menuntut
kesadaran kolektif, keteladanan, dan keterlibatan aktif seluruh komponen
masyarakat. Dengan memperkuat faktor-faktor pendorong, mengatasi
hambatan-hambatan yang ada, serta merefleksikan dinamika kebangsaan secara
kritis dan konstruktif, maka cita-cita luhur untuk mewujudkan Indonesia yang
adil, makmur, dan berdaulat dapat terus diperjuangkan dalam bingkai NKRI.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta: Paradigma,
2013), 125.
[2]
Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 97–98.
[3]
Syafiie, Achmad. Sosiologi Konflik: Teori dan Aplikasi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 85.
[4]
Ikrar Nusa Bhakti, Kekerasan Komunal dan Disintegrasi Bangsa: Studi
Kasus di Ambon, Poso, dan Sampit (Jakarta: LIPI Press, 2004), 44–45.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 6.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra. (2000). Islam substantif:
Memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Mizan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
(2022). Laporan respons darurat erupsi Gunung Semeru. Jakarta: BNPB.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
(2023). Indeks ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia 2022.
Jakarta: Bappenas.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2018). Kedudukan
dan fungsi Bahasa Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI.
Bhakti, I. N. (2004). Kekerasan komunal dan
disintegrasi bangsa: Studi kasus di Ambon, Poso, dan Sampit. LIPI Press.
Burhanuddin Muhtadi. (2021). Populisme, politik
identitas, dan dinamika elektoral Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
Gonggong, A. (2012). Indonesia dalam arus sejarah.
Ichtiar Baru van Hoeve.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila (ed.
revisi). Paradigma.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi RI. (2023). Laporan tahunan Dana Desa 2022. Jakarta:
Kemendesa PDTT.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia (Kominfo). (2021). Modul literasi digital: Etika digital untuk
pelajar dan umum. Jakarta: Kominfo.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia (Kominfo). (2023). Laporan tahunan penanganan konten negatif 2022.
Jakarta: Kominfo.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017). Panduan
penguatan pendidikan karakter (PPK). Jakarta: Kemendikbud.
Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan,
mentalitas, dan pembangunan. Gramedia.
Kompas.com. (2023, Februari 25). Kronologi kerusuhan
Wamena Papua: Bermula dari tuduhan penculikan anak. https://nasional.kompas.com
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2016). Kajian
dampak konflik sosial terhadap indeks pembangunan manusia. Jakarta: LIPI
Press.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2000). TAP MPR
No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam,
and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic
consolidation. ISEAS Publishing.
Mubyarto. (2002). Ekonomi Pancasila: Gagasan dan
implementasinya. BPFE.
Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara RI.
Sarbini, M., & Subakti, E. (2020). Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga.
Setara Institute. (2020). Laporan indeks kota
toleran 2020. Jakarta: Setara Institute.
Soedarsono. (2006). Bhinneka Tunggal Ika: Asal
usul dan implikasinya terhadap persatuan bangsa. Gramedia.
Soetandyo Wignjosoebroto. (2005). Pluralisme,
konflik dan pendidikan kewarganegaraan. Airlangga University Press.
Soetandyo Wignjosoebroto. (2012). Hukum dalam
masyarakat yang sedang berubah. Elsam.
Soetomo. (2011). Pembangunan masyarakat:
Pengantar pemikiran dan implementasi. Pustaka Pelajar.
Surakhmad, W. (2014). Pendidikan
kewarganegaraan: Hak dan kewajiban warga negara dalam NKRI. Rajawali Pers.
Syafiie, A. (2015). Sosiologi konflik: Teori dan
aplikasi. Rajawali Pers.
Tim Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik
Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Wahid Foundation. (2023). Laporan tahunan
toleransi dan kebhinekaan 2022. Jakarta: Wahid Institute.
Yudi Latif. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka
Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar