Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-6: Faktor Pendorong dan Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Bahan Ajar PPKn

Faktor Pendorong dan Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Kajian Kritis dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai faktor-faktor yang mendorong dan menghambat persatuan serta kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kemajemukan sosial-budaya Indonesia, persatuan merupakan kondisi dinamis yang memerlukan pemeliharaan berkelanjutan. Artikel ini menguraikan landasan filosofis dan konstitusional persatuan berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pembahasan difokuskan pada faktor pendorong seperti kesamaan sejarah perjuangan, bahasa nasional, simbol-simbol negara, nilai gotong royong, serta peran pendidikan dan media. Di sisi lain, faktor penghambat seperti primordialisme sempit, etnosentrisme, ketimpangan ekonomi, politik identitas, dan penyalahgunaan media sosial dikaji sebagai tantangan serius terhadap integrasi nasional. Melalui analisis dampak disintegrasi dan studi kasus aktual, artikel ini menekankan pentingnya upaya strategis dalam bidang pendidikan karakter, penegakan hukum, pembangunan berkeadilan, literasi digital, dan penguatan dialog antarbudaya. Dengan pendekatan kritis dan reflektif, artikel ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai-nilai kebangsaan dalam pendidikan kewarganegaraan, khususnya di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Kata Kunci: Persatuan dan kesatuan bangsa; NKRI; Pancasila; disintegrasi nasional; pendidikan kewarganegaraan; politik identitas; literasi digital; karakter kebangsaan.


PEMBAHASAN

Faktor Pendorong dan Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa


1.           Pendahuluan

Persatuan dan kesatuan merupakan fondasi fundamental bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, semangat kebersamaan yang lahir dari perjuangan melawan penjajahan telah menjadi kekuatan utama dalam membangun negara yang berdaulat dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, dengan keragaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), menjaga persatuan bukanlah suatu tugas yang mudah, melainkan sebuah tantangan konstan yang membutuhkan perhatian dan komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang mendorong sekaligus menghambat persatuan dan kesatuan menjadi sangat penting dalam upaya memperkuat integrasi nasional.

Pancasila sebagai dasar negara telah menetapkan nilai-nilai yang mengikat seluruh warga negara dalam bingkai kebangsaan yang utuh. Nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial memberikan landasan filosofis bagi pembentukan semangat kebersamaan antarwarga negara Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”, bukan hanya slogan normatif, tetapi sebuah prinsip hidup yang harus diinternalisasikan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif ini, persatuan dipandang bukan sekadar tidak adanya konflik, melainkan adanya kesadaran aktif untuk menerima perbedaan sebagai kekuatan bangsa, bukan kelemahan bangsa.¹

Namun, dalam realitas sosial-politik, persatuan bangsa tidak selalu berjalan mulus. Munculnya berbagai bentuk konflik sosial, ketimpangan pembangunan antarwilayah, serta praktik diskriminasi atau politik identitas menunjukkan adanya faktor-faktor yang dapat menghambat integrasi nasional. Globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan dinamika politik yang tidak sehat juga turut menjadi variabel baru dalam menguji ketahanan persatuan bangsa.² Oleh karena itu, diperlukan upaya sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami dua sisi yang kontras: faktor-faktor yang mendorong persatuan serta faktor-faktor yang menjadi hambatan. Dengan kajian yang komprehensif dan berbasis pada data serta perspektif kebangsaan, siswa di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diharapkan mampu memiliki kesadaran kritis dan konstruktif dalam menjaga keutuhan NKRI.

Selain itu, pentingnya pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kebhinekaan perlu diperkuat di tengah derasnya arus ideologi transnasional yang dapat mempengaruhi identitas nasional generasi muda.³ Oleh karena itu, pembelajaran tentang faktor pendorong dan penghambat persatuan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik dalam membentuk karakter warga negara yang cinta tanah air, menjunjung tinggi toleransi, dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 129.

[2]                Mochtar Mas’oed, Politik dan Pemerintahan di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 88–89.

[3]                Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 47.


2.           Landasan Filosofis dan Konstitusional Persatuan dan Kesatuan

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia memiliki landasan yang kuat, baik secara filosofis maupun konstitusional. Kedua aspek ini menjadi pondasi yang mengarahkan seluruh dinamika kehidupan berbangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks filosofis, persatuan bangsa dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Sementara secara konstitusional, prinsip ini diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang menegaskan NKRI sebagai bentuk final negara dan menjamin keutuhan wilayah serta kesatuan bangsa.

2.1.       Pancasila sebagai Dasar Filosofis Persatuan

Sebagai dasar negara, Pancasila memuat nilai-nilai esensial yang menopang kehidupan kebangsaan Indonesia. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, secara tegas menempatkan persatuan sebagai prinsip utama dalam membangun masyarakat yang majemuk. Nilai ini tidak sekadar bersifat simbolik, tetapi mengandung makna strategis untuk mengintegrasikan berbagai perbedaan suku, agama, ras, bahasa, dan budaya ke dalam satu kesadaran kebangsaan. Pancasila menjadi titik temu antara identitas kolektif dan aspirasi bersama untuk hidup damai dalam keragaman.¹

Filsafat Pancasila yang bersifat inklusif dan integralistik memberikan ruang kepada semua elemen masyarakat untuk merasa diakui dan dihargai. Pendekatan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia sebagai negara pluralistik yang terdiri dari lebih dari 1.300 kelompok etnis dan 700 bahasa daerah.² Dalam konteks inilah, persatuan bukan hanya tujuan politik, tetapi juga konsekuensi logis dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan toleransi yang terkandung dalam Pancasila.

2.2.       Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai Manifestasi Kebangsaan

Semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14 menjadi pengejawantahan historis dan kultural dari filosofi persatuan. Artinya yang mendalam — “Berbeda-beda tetapi tetap satu” — menyiratkan prinsip integratif yang mengajak masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi keragaman dalam kesatuan.³ Semboyan ini menjadi dasar etis dan moral dalam pembentukan identitas nasional yang tidak seragam, tetapi kohesif dan harmonis.

Melalui pendekatan ini, bangsa Indonesia diarahkan untuk memandang perbedaan sebagai kekayaan yang memperkuat, bukan sebagai ancaman yang memecah belah. Semangat ini diperkuat dalam berbagai kebijakan nasional, seperti integrasi wilayah, kurikulum nasional, dan pembangunan karakter bangsa.

2.3.       UUD NRI 1945 sebagai Landasan Konstitusional

Secara yuridis, semangat persatuan dan kesatuan bangsa diatur secara eksplisit dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Formulasi ini menegaskan bahwa keutuhan wilayah dan integrasi nasional merupakan prinsip dasar yang tidak dapat ditawar.⁴

Selain itu, Pasal 30 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga persatuan bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia sebagai warga negara. Dalam Pembukaan UUD NRI 1945, frasa “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” juga mencerminkan cita-cita kolektif yang hanya dapat dicapai dalam suasana persatuan.

2.4.       Ketetapan MPR dan Instrumen Hukum Lainnya

Landasan konstitusional tentang persatuan juga diperkuat oleh berbagai ketetapan dan undang-undang. Misalnya, Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional menegaskan pentingnya menjaga integritas NKRI dari segala bentuk ancaman disintegrasi bangsa.⁵ Demikian pula, Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menjadi simbol yuridis dari komitmen negara terhadap identitas dan kohesi nasional.


Kesimpulan Sementara

Landasan filosofis dan konstitusional yang dimiliki Indonesia memberikan kerangka yang kokoh untuk menjaga dan memperkuat persatuan serta kesatuan bangsa. Nilai-nilai Pancasila, semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta aturan konstitusional dan kebijakan nasional yang mendukung integrasi bangsa menjadi instrumen penting dalam menghadapi tantangan kebangsaan masa kini dan masa depan.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 138–140.

[2]                Tim Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 55.

[3]                Soedarsono, Bhinneka Tunggal Ika: Asal Usul dan Implikasinya terhadap Persatuan Bangsa (Jakarta: Gramedia, 2006), 24–25.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara, 2022), Pasal 1 ayat (1).

[5]                Majelis Permusyawaratan Rakyat, TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000.


3.           Faktor Pendorong Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat ditentukan oleh sejauh mana kekuatan integratif dapat diinternalisasikan dan dijalankan oleh setiap elemen masyarakat. Dalam sejarah bangsa Indonesia, terdapat berbagai faktor pendorong yang telah berperan penting dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, baik yang bersumber dari nilai-nilai historis maupun aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor ini tidak hanya memperkuat identitas nasional, tetapi juga menjadi modal sosial yang penting untuk menjaga stabilitas negara.

3.1.       Kesamaan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Salah satu pendorong utama persatuan bangsa Indonesia adalah pengalaman kolektif dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan. Perjuangan panjang melawan kolonialisme Belanda dan Jepang telah membentuk rasa senasib sepenanggungan yang kuat di antara berbagai kelompok masyarakat. Kesamaan ini melahirkan semangat solidaritas nasional dan kesadaran akan pentingnya kebebasan dan kedaulatan bangsa.¹ Momentum Sumpah Pemuda tahun 1928, yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia, menjadi simbol awal dari kesadaran kebangsaan yang inklusif.²

3.2.       Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan

Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan salah satu faktor integratif paling efektif dalam konteks multibahasa dan multietnis di Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga menjadi simbol identitas kolektif yang menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang budaya. Penggunaan bahasa yang sama memperkuat keterikatan emosional dan mempermudah mobilitas sosial serta kerja sama lintas daerah.³ Bahasa Indonesia juga menjadi alat utama dalam pendidikan, pemerintahan, dan media massa, sehingga memperluas daya jangkau integrasi nasional.

3.3.       Identitas Nasional dan Simbol-Simbol Negara

Simbol-simbol negara seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan “Indonesia Raya,” lambang negara Garuda Pancasila, dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berperan sebagai pemersatu emosional dan ideologis. Simbol-simbol ini tidak hanya memiliki makna seremonial, tetapi juga menyampaikan pesan identitas, kesetiaan, dan kebanggaan terhadap bangsa. Keberadaan simbol-simbol ini mengokohkan rasa kebangsaan, terutama dalam peringatan-peringatan nasional seperti Hari Kemerdekaan dan Hari Kesaktian Pancasila.⁴

3.4.       Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sosial

Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai-nilai persatuan, kemanusiaan, keadilan sosial, dan musyawarah yang relevan untuk memperkuat kehidupan bersama. Dalam praktik sosial, nilai-nilai ini termanifestasi dalam sikap gotong royong, toleransi antarumat beragama, solidaritas sosial, serta musyawarah dalam menyelesaikan masalah.⁵ Kehadiran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa menjembatani perbedaan dan menanamkan kesadaran bahwa keragaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang memperkuat bangsa.

3.5.       Peran Pendidikan dan Media dalam Pembentukan Wawasan Kebangsaan

Pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan wawasan kebangsaan generasi muda. Melalui kurikulum pendidikan, nilai-nilai nasionalisme, pluralisme, dan cinta tanah air ditanamkan secara sistematis. Pendidikan kewarganegaraan (PPKn), khususnya, menjadi wahana formal dalam menginternalisasi nilai-nilai persatuan di sekolah. Selain itu, media massa dan media sosial yang dikelola secara bijak dapat menjadi alat untuk menyebarkan pesan-pesan kebhinekaan, toleransi, dan integrasi sosial.⁶

3.6.       Rasa Solidaritas Sosial dan Gotong Royong

Gotong royong merupakan nilai budaya khas Indonesia yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai situasi darurat — seperti bencana alam atau pandemi — masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas sosial yang tinggi tanpa memandang perbedaan suku, agama, atau kelas sosial. Nilai-nilai seperti empati, kerja sama, dan kebersamaan inilah yang memperkuat ikatan sosial serta menjadi daya dorong terhadap terjaganya persatuan bangsa.⁷


Kesimpulan Sementara

Faktor-faktor pendorong persatuan bangsa bersumber dari pengalaman sejarah, identitas kultural, serta nilai-nilai normatif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Kesamaan perjuangan, simbol-simbol nasional, serta nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan toleransi menjadi pilar penting dalam menjaga dan memperkuat integrasi bangsa. Oleh karena itu, penguatan faktor-faktor ini melalui pendidikan, kebijakan publik, dan kesadaran kolektif menjadi prasyarat penting dalam mewujudkan bangsa yang utuh dan berdaulat.


Footnotes

[1]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 172.

[2]                Anhar Gonggong, Indonesia dalam Arus Sejarah (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), 245–246.

[3]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2018), 3–5.

[4]                M. Sarbini dan Edi Subakti, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XI (Jakarta: Erlangga, 2020), 112.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 160–163.

[6]                Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 84.

[7]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2004), 103–104.


4.           Faktor Penghambat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Meskipun Indonesia memiliki fondasi filosofis dan historis yang kuat dalam menjaga persatuan, realitas sosial menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai faktor yang menjadi tantangan serius terhadap integrasi nasional. Berbagai bentuk disintegrasi sosial, politik, dan budaya dapat muncul ketika nilai-nilai kebangsaan tidak dijaga secara konsisten. Faktor-faktor penghambat ini dapat berasal dari dalam masyarakat maupun sebagai dampak eksternal dari globalisasi dan perkembangan teknologi. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini penting agar upaya menjaga keutuhan bangsa dapat diarahkan secara tepat dan efektif.

4.1.       Primordialisme yang Berlebihan

Primordialisme mengacu pada sikap mengutamakan kepentingan kelompok asal, seperti suku, agama, ras, dan golongan, dibandingkan dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, primordialisme berlebihan dapat menjadi benih konflik horizontal, terutama ketika muncul dalam bentuk eksklusivisme sosial dan politik.¹ Ketika identitas kelompok lebih dikedepankan daripada identitas kebangsaan, maka ikatan nasional akan melemah dan membuka ruang bagi potensi perpecahan.

4.2.       Etnosentrisme dan Fanatisme Sempit

Sikap etnosentrisme—yakni merasa bahwa budaya atau kelompok sendiri lebih unggul dibandingkan kelompok lain—merupakan bentuk lain dari eksklusivisme yang menghambat integrasi sosial. Fanatisme sempit yang lahir dari etnosentrisme sering kali memicu prasangka, diskriminasi, dan konflik antarkelompok.² Dalam beberapa kasus, sikap ini diperkuat oleh narasi identitas yang disebarkan melalui media sosial tanpa filter, yang memperkuat polarisasi dan perpecahan sosial.

4.3.       Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Ketidakmerataan pembangunan dan distribusi kesejahteraan menjadi penyebab ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil atau yang secara historis mengalami marginalisasi. Ketimpangan ini berpotensi memicu disintegrasi karena menumbuhkan sentimen anti-pemerintah dan memperlemah rasa memiliki terhadap negara.³ Studi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa indeks ketimpangan wilayah di Indonesia masih tinggi, terutama antara wilayah barat dan timur Indonesia.⁴

4.4.       Penyalahgunaan Teknologi dan Penyebaran Hoaks

Era digital membawa tantangan baru bagi persatuan bangsa. Informasi yang tidak terverifikasi, hoaks, dan ujaran kebencian yang tersebar di media sosial dapat memicu konflik horizontal. Informasi yang bersifat provokatif, terutama yang berkaitan dengan isu-isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), sering dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu untuk kepentingan politik jangka pendek.⁵ Kurangnya literasi digital di kalangan masyarakat memperburuk situasi ini, karena banyak pengguna internet yang tidak mampu memilah informasi secara kritis.

4.5.       Politik Identitas dan Polarisasi

Penggunaan identitas agama atau etnis sebagai alat politik atau strategi elektoral semakin sering ditemukan dalam kontestasi politik lokal maupun nasional. Politik identitas mereduksi demokrasi menjadi perebutan suara berbasis kesamaan kelompok, bukan berbasis program dan gagasan. Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, dan ruang publik dipenuhi oleh sentimen sektarian yang mengancam kohesi sosial.⁶ Politik identitas juga memperkuat sekat-sekat sosial dan mengurangi rasa empati lintas golongan.

4.6.       Lemahnya Pendidikan Karakter dan Wawasan Kebangsaan

Pendidikan yang tidak mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa secara mendalam akan melahirkan generasi yang kurang memiliki kesadaran kolektif terhadap pentingnya persatuan. Kelemahan ini tercermin dalam rendahnya toleransi, kurangnya empati sosial, serta meningkatnya individualisme yang tidak disertai tanggung jawab sosial. Pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif tanpa penguatan nilai-nilai kebhinekaan berisiko menciptakan ruang kosong dalam pembentukan identitas nasional.⁷


Kesimpulan Sementara

Faktor-faktor penghambat persatuan dan kesatuan bangsa bersifat kompleks dan saling berkaitan. Dari aspek budaya hingga teknologi, dari kesenjangan sosial hingga praktik politik, semua memiliki potensi untuk mengancam keutuhan NKRI bila tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat. Oleh karena itu, pendidikan nilai, keadilan sosial, penguatan literasi digital, dan etika politik yang sehat menjadi kunci penting dalam meredam ancaman disintegrasi dan memperkuat integrasi bangsa.


Footnotes

[1]                Syafiie, Achmad. Sosiologi Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 77.

[2]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2004), 114–115.

[3]                Soetomo, Pembangunan Masyarakat: Pengantar Pemikiran dan Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 136.

[4]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indeks Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah di Indonesia 2022 (Jakarta: Bappenas, 2023), 5.

[5]                Kominfo RI, Laporan Tahunan Penanganan Konten Negatif 2022 (Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2023), 12–14.

[6]                Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 97–99.

[7]                Winarno, Surakhmad. Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 134.


5.           Dampak Disintegrasi terhadap Keutuhan NKRI

Disintegrasi nasional merupakan kondisi terpecahnya kesatuan sosial, budaya, dan politik suatu bangsa, yang dapat mengarah pada konflik internal dan melemahnya struktur negara. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang majemuk, ancaman disintegrasi sangat signifikan apabila tidak diantisipasi dengan tepat. Ketika faktor-faktor penghambat persatuan tidak dikendalikan, maka konsekuensinya bukan hanya dalam bentuk konflik sosial, melainkan juga mengancam keutuhan teritorial, stabilitas pemerintahan, dan keharmonisan antarwarga negara. Oleh karena itu, memahami dampak disintegrasi menjadi penting dalam rangka menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

5.1.       Terjadinya Konflik Sosial dan Kekerasan Horizontal

Salah satu dampak nyata dari disintegrasi adalah munculnya konflik sosial yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Beberapa konflik komunal yang pernah terjadi di Indonesia, seperti konflik Ambon (1999–2002), Poso (1998–2001), dan Sampit (2001), menjadi bukti bahwa disintegrasi sosial dapat menimbulkan kekerasan massal, korban jiwa, serta kerugian materi yang besar.¹ Konflik ini biasanya dipicu oleh sentimen primordial yang dibiarkan berkembang tanpa penanganan yang bijaksana.

5.2.       Menurunnya Kepercayaan terhadap Negara dan Institusi Publik

Ketika masyarakat merasa tidak diakomodasi secara adil dalam sistem politik, ekonomi, atau hukum, maka kepercayaan terhadap negara akan menurun. Ketidakpuasan ini dapat memunculkan gerakan-gerakan separatis, antipemerintah, atau radikalisme yang mengancam stabilitas nasional.² Ketidakpercayaan ini diperparah jika aparat negara tidak mampu bertindak netral dan adil, atau jika hukum hanya berlaku bagi kelompok tertentu.

5.3.       Ancaman Terhadap Integritas Teritorial dan Kedaulatan Nasional

Disintegrasi juga dapat membahayakan integritas wilayah NKRI. Gerakan separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Gerakan Aceh Merdeka (sebelum perjanjian damai tahun 2005) merupakan bentuk nyata dari dampak disintegrasi yang bersifat teritorial.³ Jika tidak ditangani secara tepat, konflik seperti ini berpotensi menimbulkan intervensi asing dan merongrong kedaulatan nasional.

5.4.       Kemandekan Pembangunan Nasional

Konflik sosial dan disintegrasi politik menyebabkan terganggunya pembangunan nasional, terutama di wilayah konflik. Infrastruktur rusak, aktivitas ekonomi terhenti, dan akses terhadap layanan publik terganggu. Sebuah studi oleh LIPI menunjukkan bahwa wilayah yang mengalami konflik berlarut-larut mengalami stagnasi pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) dibandingkan wilayah yang stabil.⁴ Dalam jangka panjang, hal ini memperlebar kesenjangan dan memperkuat siklus ketidakadilan.

5.5.       Terganggunya Harmoni Sosial dan Toleransi Antarwarga

Disintegrasi juga menyebabkan menurunnya tingkat toleransi dan meningkatnya polarisasi sosial. Ketegangan antar kelompok menjadi semakin akut, terutama jika diperkuat oleh narasi kebencian yang disebarluaskan melalui media sosial atau tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab. Dalam masyarakat yang terfragmentasi, kerja sama dan solidaritas menjadi semakin lemah, yang pada akhirnya menggerus nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, musyawarah, dan kebersamaan.⁵

5.6.       Lemahnya Daya Saing dan Posisi Indonesia di Kancah Global

Negara yang tidak stabil secara sosial dan politik akan sulit bersaing di tingkat global. Investasi asing menurun, kepercayaan mitra internasional melemah, dan diplomasi luar negeri menjadi kurang efektif. Disintegrasi internal menyebabkan negara kehilangan fokus terhadap agenda global seperti transformasi digital, pembangunan berkelanjutan, dan penguatan ekonomi hijau.⁶ Stabilitas internal adalah syarat mutlak bagi negara manapun untuk berperan aktif dan berpengaruh dalam tata dunia internasional.


Kesimpulan Sementara

Dampak disintegrasi terhadap keutuhan NKRI sangat serius dan multidimensional. Selain menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi, disintegrasi juga berpotensi merusak tatanan politik dan melemahkan legitimasi negara. Oleh karena itu, strategi nasional yang mengedepankan keadilan sosial, pemerataan pembangunan, pendidikan karakter, dan dialog antarbudaya menjadi sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi gejala disintegrasi. Masyarakat, terutama generasi muda, perlu didorong untuk memiliki tanggung jawab kolektif dalam menjaga persatuan dan memperkuat NKRI.


Footnotes

[1]                Ikrar Nusa Bhakti, Kekerasan Komunal dan Disintegrasi Bangsa: Studi Kasus di Ambon, Poso, dan Sampit (Jakarta: LIPI Press, 2004), 23–25.

[2]                Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 184–185.

[3]                Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (Singapore: ISEAS Publishing, 2009), 152.

[4]                Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kajian Dampak Konflik Sosial terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Jakarta: LIPI Press, 2016), 41.

[5]                Soetandyo Wignjosoebroto, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Kewarganegaraan (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), 66.

[6]                Rizal Sukma, Indonesia’s Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (London: Routledge, 2003), 205–206.


6.           Upaya Menjaga dan Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Memperkuat persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah tugas historis dan strategis yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Dalam konteks tantangan disintegrasi yang semakin kompleks akibat globalisasi, politik identitas, serta perkembangan teknologi informasi, diperlukan pendekatan multidimensional dan berkelanjutan untuk mengokohkan ikatan kebangsaan. Upaya ini harus mencakup dimensi pendidikan, hukum, sosial, ekonomi, dan budaya, serta melibatkan peran aktif negara, masyarakat sipil, dan individu warga negara.

6.1.       Penguatan Pendidikan Karakter dan Wawasan Kebangsaan

Pendidikan merupakan wahana utama dalam membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Untuk menjaga persatuan, diperlukan sistem pendidikan yang tidak hanya menanamkan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan seperti toleransi, tanggung jawab, gotong royong, dan cinta tanah air. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) perlu diberdayakan secara substantif dan kontekstual agar mampu menanamkan kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan dalam keragaman.¹

Selain itu, penguatan kurikulum yang menekankan pada pembelajaran berbasis multikulturalisme, resolusi konflik, dan literasi digital akan meningkatkan kemampuan generasi muda dalam menghadapi tantangan perpecahan. Pendidikan karakter berbasis nilai Pancasila secara konsisten diterapkan melalui program “Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.²

6.2.       Pemerataan Pembangunan dan Keadilan Sosial

Salah satu akar perpecahan adalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, memperkuat persatuan bangsa harus dilakukan melalui upaya sistematis dalam pemerataan pembangunan antarwilayah. Pendekatan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan akan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap negara dan memperkuat solidaritas nasional.³

Pemerintah Indonesia telah berupaya menanggulangi ketimpangan ini melalui program Dana Desa, pembangunan infrastruktur dasar di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), serta penguatan jaminan sosial.⁴ Langkah-langkah ini sejalan dengan tujuan negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima Pancasila.

6.3.       Supremasi Hukum dan Penegakan Keadilan

Penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif menjadi fondasi dalam menjaga kepercayaan publik dan stabilitas sosial. Ketika hukum ditegakkan secara konsisten tanpa pandang bulu, maka potensi konflik yang berbasis ketidakpuasan dan ketidakadilan dapat diminimalkan.⁵ Negara harus menjamin bahwa setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau status sosial, memperoleh perlakuan hukum yang sama.

Reformasi sistem peradilan, pemberantasan korupsi, serta penguatan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Komnas HAM, KPK, dan Ombudsman menjadi langkah krusial dalam menciptakan iklim sosial yang adil dan kondusif bagi persatuan nasional.

6.4.       Penguatan Dialog Antarbudaya dan Antaragama

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, dialog menjadi kunci utama dalam merawat harmoni sosial. Dialog antaragama, antaretnis, dan antarkelompok perlu difasilitasi secara rutin untuk membangun pemahaman, saling menghargai, serta mencegah prasangka dan stereotip negatif.⁶

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), organisasi lintas iman, dan ruang-ruang budaya lokal merupakan sarana penting yang perlu terus diperkuat dalam mengembangkan budaya dialog dan rekonsiliasi. Dialog lintas identitas ini harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, kejujuran, dan saling mendengar.

6.5.       Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial

Kemajuan teknologi informasi membawa tantangan baru berupa penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan propaganda yang dapat mengancam persatuan bangsa. Oleh karena itu, literasi digital harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat mampu menjadi pengguna media yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.⁷

Program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi langkah konkret untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya etika dalam bermedia. Literasi digital yang kuat akan mencegah polarisasi serta memperkuat narasi positif tentang kebinekaan dan toleransi.

6.6.       Revitalisasi Budaya Gotong Royong dan Solidaritas Sosial

Nilai gotong royong merupakan akar budaya Indonesia yang mengajarkan pentingnya kerja sama, solidaritas, dan kepedulian antarsesama. Dalam konteks kekinian, nilai ini harus direvitalisasi dalam bentuk aksi sosial, partisipasi warga dalam pembangunan, serta solidaritas lintas identitas saat menghadapi bencana atau krisis.⁸

Penguatan institusi sosial berbasis komunitas, seperti karang taruna, lembaga adat, dan organisasi kemasyarakatan, dapat menjadi ruang efektif untuk menanamkan kembali semangat gotong royong sebagai energi kolektif bangsa Indonesia.


Kesimpulan Sementara

Upaya menjaga dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa harus dilakukan secara sistemik, partisipatif, dan berkelanjutan. Pendidikan, hukum, pembangunan, dialog, dan budaya digital yang sehat menjadi instrumen strategis dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan integratif. Generasi muda sebagai penerus bangsa harus dibekali dengan kesadaran kebangsaan yang kuat dan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pedoman hidup dalam menghadapi tantangan global dan nasional.


Footnotes

[1]                Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 91–94.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 7–9.

[3]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Implementasinya (Yogyakarta: BPFE, 2002), 133–135.

[4]                Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Laporan Tahunan Dana Desa 2022 (Jakarta: Kemendesa PDTT, 2023), 22–24.

[5]                Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat yang Sedang Berubah (Jakarta: Elsam, 2012), 57–58.

[6]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Memperkuat Nilai-nilai Kebangsaan (Jakarta: Mizan, 2000), 115–117.

[7]                Kominfo RI, Modul Literasi Digital: Etika Digital untuk Pelajar dan Umum (Jakarta: Kominfo, 2021), 4–7.

[8]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2004), 119–120.


7.           Studi Kasus Aktual

Untuk memahami secara konkret dinamika faktor pendorong dan penghambat persatuan dan kesatuan bangsa, diperlukan telaah terhadap sejumlah studi kasus aktual yang terjadi dalam konteks kehidupan sosial, politik, dan digital di Indonesia. Studi kasus ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana nilai-nilai kebangsaan diuji, serta bagaimana upaya negara dan masyarakat dalam merespons ancaman disintegrasi dan memperkuat kohesi nasional. Beberapa peristiwa berikut menjadi bahan refleksi strategis dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

7.1.       Kasus Konflik Sosial di Wamena, Papua (2023)

Insiden kekerasan yang terjadi di Wamena pada Februari 2023 yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan fasilitas umum merupakan cerminan nyata dari kerentanan persatuan di daerah dengan kompleksitas etnis, budaya, dan historis yang tinggi. Konflik bermula dari isu penculikan anak yang berkembang menjadi kerusuhan dengan unsur SARA.¹ Ketidaktepatan dalam penanganan informasi dan keterlambatan aparat keamanan memperburuk situasi. Kasus ini menunjukkan bagaimana disinformasi, ditambah ketegangan etnis yang belum sepenuhnya terselesaikan, dapat memicu disintegrasi lokal yang mengancam nasionalisme.

Pemerintah kemudian menerapkan pendekatan berbasis dialog adat, trauma healing, dan penguatan TNI-Polri di wilayah tersebut sebagai upaya pemulihan.² Kasus ini menekankan pentingnya literasi media dan peran aktif tokoh masyarakat lokal dalam menjaga harmoni sosial.

7.2.       Polarisasi Politik dalam Pemilu 2019

Pemilu Presiden 2019 menunjukkan tingginya tingkat polarisasi di masyarakat yang berbasis pada politik identitas. Kampanye politik kala itu kerap mengangkat isu agama dan etnis yang mengarah pada segregasi sosial dan keterbelahan opini publik secara tajam di media sosial maupun kehidupan nyata.³ Polarisasi ini menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya semangat persatuan dan menguatnya sentimen sektarian.

Paska pemilu, pemerintah dan masyarakat sipil berupaya meredakan ketegangan melalui narasi rekonsiliasi, kampanye persatuan, dan edukasi digital untuk menangkal hoaks serta ujaran kebencian.⁴ Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa demokrasi tanpa etika kewarganegaraan dapat menjadi sarana pelemahan kohesi sosial.

7.3.       Peran Gerakan Sosial dalam Bencana Alam (Erupsi Semeru, 2021)

Saat terjadi erupsi Gunung Semeru pada akhir tahun 2021, berbagai elemen masyarakat dari berbagai suku, agama, dan profesi menunjukkan solidaritas nasional yang luar biasa.⁵ Aksi-aksi penggalangan bantuan, sukarelawan lintas daerah, dan kolaborasi antara pemerintah, TNI, dan masyarakat sipil memperlihatkan wajah positif dari persatuan bangsa dalam menghadapi krisis.

Dalam konteks ini, nilai gotong royong dan empati sosial menjadi faktor pendorong yang konkret terhadap kekuatan integratif bangsa. Studi kasus ini juga menunjukkan bahwa dalam situasi darurat, identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia dapat melampaui sekat-sekat sosial yang selama ini menjadi potensi konflik.

7.4.       Gerakan Literasi Digital dan Moderasi Beragama oleh Tokoh Muda

Di tengah maraknya ujaran kebencian dan penyebaran hoaks di media sosial, muncul sejumlah inisiatif dari komunitas anak muda dan organisasi Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang aktif mengedukasi masyarakat tentang literasi digital, toleransi, dan moderasi beragama. Program seperti “Santri Digitalpreneur,” “Jaringan Gusdurian,” dan “Gerakan Siber Moderat” menjadi contoh konkret dari upaya menjaga harmoni bangsa melalui pendekatan edukatif dan teknologi.⁶

Studi kasus ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara nilai keagamaan dan nasionalisme dalam membangun narasi positif yang mendukung keutuhan NKRI, sekaligus menegaskan bahwa generasi muda adalah agen penting dalam perawatan persatuan bangsa.


Kesimpulan Sementara

Studi kasus di atas menunjukkan bahwa persatuan bangsa Indonesia dapat diperkuat melalui kolaborasi lintas sektor, peran aktif masyarakat sipil, serta komitmen negara dalam menangani akar konflik secara adil dan inklusif. Sebaliknya, ketika disinformasi, politik identitas, dan ketimpangan sosial dibiarkan, maka risiko disintegrasi menjadi nyata. Oleh karena itu, refleksi terhadap kasus-kasus aktual harus diintegrasikan ke dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana penguatan kesadaran kritis dan komitmen kebangsaan generasi muda.


Footnotes

[1]                Kompas.com, “Kronologi Kerusuhan Wamena Papua: Bermula dari Tuduhan Penculikan Anak,” Kompas, 25 Februari 2023, https://nasional.kompas.com.

[2]                Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Laporan Penanganan Konflik Sosial di Papua (Jakarta: BNPT, 2023), 17–18.

[3]                Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 99–102.

[4]                Setara Institute, Laporan Indeks Kota Toleran 2020 (Jakarta: Setara Institute, 2020), 9.

[5]                BNPB, Laporan Respons Darurat Erupsi Gunung Semeru (Jakarta: BNPB, 2022), 12–15.

[6]                Wahid Foundation, Laporan Tahunan Toleransi dan Kebhinekaan 2022 (Jakarta: Wahid Institute, 2023), 36–38.


8.           Penutup

Persatuan dan kesatuan bangsa merupakan pilar fundamental dalam membangun dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kemajemukan Indonesia yang mencakup lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa daerah, prinsip persatuan bukan hanya cita-cita normatif, tetapi sebuah keniscayaan historis dan konstitusional yang harus diwujudkan secara nyata dan terus-menerus.⁽¹⁾

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor pendorong yang berperan penting dalam memperkuat kohesi nasional, antara lain: kesamaan sejarah perjuangan kemerdekaan, peran simbol dan bahasa nasional, nilai-nilai Pancasila, serta praktik solidaritas sosial dan gotong royong yang telah mengakar dalam budaya bangsa. Upaya pendidikan karakter, literasi kebangsaan, dan penguatan wawasan multikultural menjadi strategi penting dalam memperkuat kesadaran kolektif warga negara akan pentingnya menjaga kesatuan bangsa.⁽²⁾

Namun, tidak dapat diabaikan pula berbagai faktor penghambat yang mengancam stabilitas nasional, seperti primordialisme sempit, etnosentrisme, politik identitas, ketimpangan ekonomi, serta penyebaran hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa persatuan bangsa bukanlah kondisi statis, melainkan proses dinamis yang memerlukan kewaspadaan, kebijakan afirmatif, dan komitmen dari seluruh elemen bangsa, baik negara maupun masyarakat sipil.⁽³⁾

Studi-studi kasus aktual seperti konflik sosial di Papua, polarisasi politik pasca Pemilu, maupun gerakan solidaritas dalam penanganan bencana alam menunjukkan dua wajah realitas kebangsaan Indonesia—yakni potensi disintegrasi di satu sisi, dan kekuatan solidaritas nasional di sisi lain.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum dan birokrasi, tetapi juga membutuhkan pembangunan nilai, dialog lintas budaya, dan partisipasi aktif warga negara sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional dan moral.

Dalam era globalisasi dan disrupsi digital yang menguji ketahanan ideologis dan identitas nasional, penting bagi bangsa Indonesia untuk terus merawat nilai-nilai kebangsaan secara adaptif dan transformatif. Pendidikan kewarganegaraan di tingkat SLTA memiliki peran strategis dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan berwawasan kebangsaan.⁽⁵⁾

Akhirnya, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa adalah tugas lintas generasi yang menuntut kesadaran kolektif, keteladanan, dan keterlibatan aktif seluruh komponen masyarakat. Dengan memperkuat faktor-faktor pendorong, mengatasi hambatan-hambatan yang ada, serta merefleksikan dinamika kebangsaan secara kritis dan konstruktif, maka cita-cita luhur untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat dapat terus diperjuangkan dalam bingkai NKRI.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila, ed. revisi (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 125.

[2]                Winarno Surakhmad, Pendidikan Kewarganegaraan: Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam NKRI (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 97–98.

[3]                Syafiie, Achmad. Sosiologi Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 85.

[4]                Ikrar Nusa Bhakti, Kekerasan Komunal dan Disintegrasi Bangsa: Studi Kasus di Ambon, Poso, dan Sampit (Jakarta: LIPI Press, 2004), 44–45.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 6.


Daftar Pustaka

Azyumardi Azra. (2000). Islam substantif: Memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Mizan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2022). Laporan respons darurat erupsi Gunung Semeru. Jakarta: BNPB.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Indeks ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia 2022. Jakarta: Bappenas.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2018). Kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Bhakti, I. N. (2004). Kekerasan komunal dan disintegrasi bangsa: Studi kasus di Ambon, Poso, dan Sampit. LIPI Press.

Burhanuddin Muhtadi. (2021). Populisme, politik identitas, dan dinamika elektoral Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

Gonggong, A. (2012). Indonesia dalam arus sejarah. Ichtiar Baru van Hoeve.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila (ed. revisi). Paradigma.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. (2023). Laporan tahunan Dana Desa 2022. Jakarta: Kemendesa PDTT.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo). (2021). Modul literasi digital: Etika digital untuk pelajar dan umum. Jakarta: Kominfo.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo). (2023). Laporan tahunan penanganan konten negatif 2022. Jakarta: Kominfo.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2017). Panduan penguatan pendidikan karakter (PPK). Jakarta: Kemendikbud.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan. Gramedia.

Kompas.com. (2023, Februari 25). Kronologi kerusuhan Wamena Papua: Bermula dari tuduhan penculikan anak. https://nasional.kompas.com

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2016). Kajian dampak konflik sosial terhadap indeks pembangunan manusia. Jakarta: LIPI Press.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2000). TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia.

Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia: From turbulent transition to democratic consolidation. ISEAS Publishing.

Mubyarto. (2002). Ekonomi Pancasila: Gagasan dan implementasinya. BPFE.

Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara RI.

Sarbini, M., & Subakti, E. (2020). Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga.

Setara Institute. (2020). Laporan indeks kota toleran 2020. Jakarta: Setara Institute.

Soedarsono. (2006). Bhinneka Tunggal Ika: Asal usul dan implikasinya terhadap persatuan bangsa. Gramedia.

Soetandyo Wignjosoebroto. (2005). Pluralisme, konflik dan pendidikan kewarganegaraan. Airlangga University Press.

Soetandyo Wignjosoebroto. (2012). Hukum dalam masyarakat yang sedang berubah. Elsam.

Soetomo. (2011). Pembangunan masyarakat: Pengantar pemikiran dan implementasi. Pustaka Pelajar.

Surakhmad, W. (2014). Pendidikan kewarganegaraan: Hak dan kewajiban warga negara dalam NKRI. Rajawali Pers.

Syafiie, A. (2015). Sosiologi konflik: Teori dan aplikasi. Rajawali Pers.

Tim Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Wahid Foundation. (2023). Laporan tahunan toleransi dan kebhinekaan 2022. Jakarta: Wahid Institute.

Yudi Latif. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar