Bahan Ajar Sejarah
Dinamika Pemikiran Revolusioner
Fondasi Intelektual Revolusi-Revolusi Besar Dunia dan
Dampaknya terhadap Peradaban Modern
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.
Abstrak
Artikel ini mengkaji dinamika pemikiran yang melandasi
lima revolusi besar dunia—Revolusi Amerika (1776), Revolusi Prancis (1789),
Revolusi Rusia (1917), Revolusi Cina (1949), dan Revolusi Indonesia
(1945)—dalam perspektif historis dan ideologis. Melalui pendekatan komparatif,
artikel ini menelusuri fondasi intelektual yang melatari masing-masing
revolusi, mulai dari liberalisme Pencerahan, sosialisme Marxis, hingga
nasionalisme anti-kolonial. Analisis difokuskan pada bagaimana ide-ide besar
tersebut tidak hanya mendorong perubahan struktural, tetapi juga membentuk
model pemerintahan, sistem hukum, dan konstruksi identitas bangsa yang bertahan
hingga era modern. Selain menyoroti persamaan dan perbedaan dalam gagasan serta
strategi perjuangan, artikel ini juga mengevaluasi warisan revolusioner terhadap
kehidupan kontemporer dalam aspek demokrasi, hak asasi manusia, keadilan
sosial, dan globalisasi politik. Melalui sintesis ini, artikel menegaskan bahwa
pemikiran revolusioner bukan sekadar instrumen perubahan, melainkan landasan
moral dan intelektual dalam perjuangan manusia menuju masyarakat yang lebih
adil dan beradab.
Kata Kunci: Revolusi Dunia; Pemikiran Revolusioner; Marxisme;
Liberalisme; Nasionalisme; Demokrasi; Sejarah Modern; Hak Asasi Manusia;
Keadilan Sosial; Pancasila.
PEMBAHASAN
Fondasi Intelektual Revolusi-Revolusi Besar Dunia dan
Dampaknya terhadap Peradaban Modern
1.
Pendahuluan
Revolusi merupakan
salah satu kekuatan pendorong utama dalam sejarah umat manusia yang mengubah
secara radikal struktur sosial, politik, dan ekonomi suatu masyarakat.
Sepanjang sejarah modern, revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Amerika
(1776), Revolusi Prancis (1789), Revolusi Rusia (1917), Revolusi Cina (1949),
dan Revolusi Indonesia (1945) telah menandai titik balik yang menentukan arah
peradaban dunia. Meski berbeda dalam konteks geografis dan latar historis,
kelima revolusi ini memiliki kesamaan mendasar, yakni keberangkatan dari suatu
krisis sosial-politik menuju pembentukan tatanan baru berdasarkan pemikiran dan
ideologi yang revolusioner.
Revolusi tidak
terjadi dalam ruang hampa. Di balik setiap peristiwa revolusioner, terdapat
fondasi intelektual yang kompleks—gagasan-gagasan besar yang mempersoalkan
ketimpangan, otoritarianisme, kolonialisme, dan ketidakadilan. Revolusi Amerika
dan Prancis misalnya, didorong oleh cita-cita Pencerahan yang mengedepankan
kebebasan individu, hak asasi manusia, dan kedaulatan rakyat, sebagaimana yang
dikemukakan oleh John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu.¹ Di sisi
lain, Revolusi Rusia dan Cina dipicu oleh interpretasi radikal terhadap teori
perjuangan kelas dan materialisme historis ala Karl Marx, yang dikembangkan
lebih lanjut oleh Lenin dan Mao Zedong.² Sementara itu, Revolusi Indonesia
berakar pada perjuangan panjang anti-kolonialisme yang disertai dengan semangat
nasionalisme dan pencarian identitas kebangsaan yang diartikulasikan oleh
tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka.³
Memahami revolusi
dari sisi pemikirannya memungkinkan kita untuk melacak bagaimana ide-ide
abstrak dapat menjadi kekuatan nyata yang menggerakkan massa, menjatuhkan
rezim, dan membentuk institusi baru. Hal ini sesuai dengan pandangan sejarawan
Theda Skocpol, yang menyatakan bahwa revolusi bukan hanya akibat dari kondisi
struktural, tetapi juga dipengaruhi oleh tindakan kolektif yang dilandasi
kerangka ideologis tertentu.⁴ Pemikiran revolusioner juga kerap menjadi basis
legitimasi dalam pembentukan negara modern, penetapan konstitusi, hingga
pengembangan sistem hukum dan pendidikan.
Kajian terhadap
pemikiran revolusioner tidak hanya relevan sebagai wacana sejarah, melainkan
juga sebagai instrumen untuk memahami dinamika sosial-politik masa kini.
Warisan revolusi dapat kita lihat dalam perjuangan demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, serta pertarungan ideologi di berbagai belahan dunia. Dalam
konteks globalisasi yang kompleks saat ini, warisan ideologis dari
revolusi-revolusi besar tersebut masih terus diperdebatkan dan direinterpretasi
untuk menjawab tantangan zaman.
Oleh karena itu,
artikel ini akan mengupas secara sistematis lima revolusi besar dunia dengan
fokus pada dimensi pemikiran yang melatarbelakanginya. Pendekatan ini bertujuan
tidak hanya untuk menelaah fakta sejarah, tetapi juga menelusuri jejak
intelektual yang membentuk wajah dunia modern dan membimbing kita dalam
memahami dinamika sosial-politik kontemporer.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham
Churchill, 1689); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London:
Penguin Books, 1968); Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne
M. Cohler et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989).
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Verso, 1998); V.I. Lenin, The State and Revolution (New York:
International Publishers, 1932); Mao Zedong, Selected Works of Mao Tse-Tung,
Vol. 1 (Beijing: Foreign Languages Press, 1965).
[3]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963); Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi
(Jakarta: LP3ES, 1979); Tan Malaka, Madilog (Jakarta: Narasi, 2011).
[4]
Theda Skocpol, States and Social Revolutions: A Comparative
Analysis of France, Russia, and China (Cambridge: Cambridge University
Press, 1979), 17–21.
2.
Kerangka Teoretis:
Apa Itu Revolusi dan Pemikiran Revolusioner?
Istilah “revolusi”
dalam wacana sejarah dan ilmu sosial merujuk pada suatu perubahan yang bersifat
mendasar, cepat, dan sering kali disertai gejolak sosial-politik dalam suatu
masyarakat. Dalam pengertian klasiknya, revolusi berarti perputaran atau
pembalikan keadaan secara drastis, berasal dari bahasa Latin revolutio,
yang berarti "berputar kembali." Dalam konteks politik modern,
revolusi mengacu pada perubahan rezim atau sistem kekuasaan yang didorong oleh
ketidakpuasan terhadap tatanan yang mapan.⁽¹⁾
Sejarawan seperti
Crane Brinton dalam karyanya The Anatomy of Revolution (1938)
mengidentifikasi revolusi sebagai suatu pola umum yang mencakup fase-fase
ketegangan sosial, krisis rezim lama, puncak kekerasan, dan akhirnya
konsolidasi rezim baru. Menurut Brinton, revolusi mengikuti pola yang
menyerupai penyakit demam: ada masa inkubasi, eskalasi gejala, puncak gejolak,
dan masa pemulihan.⁽²⁾ Namun, pendekatan ini dikritik karena terlalu skematis
dan kurang mempertimbangkan dimensi struktural dan ideologis dari revolusi.
Theda Skocpol
menawarkan pendekatan strukturalis dalam States and Social Revolutions
(1979), dengan menekankan bahwa revolusi sosial sejati melibatkan bukan hanya
perubahan rezim politik, tetapi juga transformasi mendalam dalam struktur sosial
dan ekonomi. Bagi Skocpol, revolusi merupakan produk dari krisis negara,
konflik kelas, dan ketegangan internasional, bukan semata-mata hasil dari
agitasi ideologis atau mobilisasi massa.⁽³⁾ Meski demikian, ia mengakui bahwa
pemikiran ideologis tetap memainkan peran penting dalam mengarahkan dan memberi
makna terhadap gerakan revolusioner.
Dalam perspektif
filsafat sejarah, revolusi dipahami sebagai manifestasi dari ide-ide besar yang
mendobrak status quo dan membayangkan tatanan dunia yang baru. Hegel, misalnya,
melihat revolusi Prancis sebagai momen aktualisasi roh kebebasan (Geist) dalam
sejarah.⁽⁴⁾ Pandangan ini kemudian memengaruhi Karl Marx, yang memandang
revolusi sebagai mekanisme historis yang tak terelakkan dalam perjuangan kelas
antara kaum borjuis dan proletariat. Marx menekankan bahwa perubahan dalam
struktur ekonomi akan memicu perubahan dalam struktur politik dan
ideologis—sebuah proses yang ia sebut sebagai materialisme historis.⁽⁵⁾
Pemikiran
revolusioner tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual dan sosial yang
melahirkannya. Ia adalah hasil dialektika antara penderitaan kolektif dan
harapan akan masa depan yang lebih adil. Di berbagai tempat dan waktu,
pemikiran ini muncul dalam bentuk yang beragam: dari liberalisme dan
republikanisme dalam Revolusi Amerika dan Prancis, hingga sosialisme dan
komunisme dalam Revolusi Rusia dan Cina, serta nasionalisme anti-kolonial dalam
Revolusi Indonesia. Apa yang menyatukan pemikiran-pemikiran tersebut adalah
dorongan untuk merombak tatanan lama demi terciptanya masyarakat yang dianggap
lebih bermartabat, setara, dan bebas dari penindasan.
Karenanya, pemikiran
revolusioner bukan hanya sekadar retorika politik, melainkan sistem gagasan
yang menyediakan kerangka konseptual untuk menafsirkan realitas dan mengarahkan
aksi kolektif. Dalam tradisi intelektual Eropa, ide-ide Pencerahan menjadi
fondasi penting bagi pemikiran revolusioner abad ke-18 dan ke-19, sementara
pada abad ke-20, pemikiran Marxis dan poskolonial menjadi sumbu utama bagi
revolusi di dunia berkembang.⁽⁶⁾
Dengan memahami
revolusi dalam kerangka teoretis yang menyeluruh—baik secara struktural maupun
ideologis—kita dapat melihat bahwa revolusi bukan hanya peristiwa historis,
tetapi juga medan pergulatan ide yang memengaruhi cara manusia memandang
kebebasan, kekuasaan, dan keadilan sosial.
Footnotes
[1]
Jack A. Goldstone, Revolutions: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 1–2.
[2]
Crane Brinton, The Anatomy of Revolution (New York: Vintage
Books, 1965), 18–20.
[3]
Theda Skocpol, States and Social Revolutions: A Comparative
Analysis of France, Russia and China (Cambridge: Cambridge University
Press, 1979), 4–5.
[4]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Philosophy of History,
trans. J. Sibree (New York: Dover Publications, 2004), 447–448.
[5]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S. W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20–22.
[6]
Peter Calvert, Revolution and Counter-Revolution: Class Struggle in
a Global Context (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1990),
39–43.
3.
Revolusi Amerika
(1776): Kebebasan, Republik, dan Hak Asasi
Revolusi Amerika
(1776) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah modern yang menandai
lahirnya sebuah negara republik berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan, hak
individu, dan pemerintahan berdasarkan hukum. Revolusi ini bukan semata-mata
konflik bersenjata antara koloni Amerika dan kekuasaan imperium Britania,
melainkan perwujudan dari krisis politik dan intelektual yang telah lama
berkembang di dunia Atlantik sejak abad ke-17. Dalam konteks ini, Revolusi
Amerika menjadi arena aktualisasi dari gagasan-gagasan Pencerahan yang
menekankan rasionalitas, kontrak sosial, dan hak kodrati manusia.
3.1.
Latar Belakang
Historis
Ketegangan antara
Tiga Belas Koloni dan pemerintah Inggris memuncak setelah berlakunya berbagai
kebijakan ekonomi yang dianggap menindas, seperti Stamp Act (1765), Townshend
Acts (1767), dan Tea Act (1773). Kebijakan-kebijakan
ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip no taxation without representation,
yang berarti rakyat tidak boleh dikenai pajak tanpa perwakilan dalam lembaga
legislatif.⁽¹⁾ Penolakan terhadap campur tangan parlemen Inggris menjadi titik
awal kesadaran politik baru di kalangan kolonis bahwa mereka berhak menentukan
nasib sendiri sebagai komunitas politik yang merdeka.
3.2.
Fondasi Pemikiran
Revolusioner
Revolusi Amerika
sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsuf-filsuf Eropa, khususnya dari era
Pencerahan. Salah satu tokoh paling berpengaruh adalah John Locke, yang dalam Two Treatises of Government (1689)
mengemukakan bahwa setiap manusia memiliki hak kodrati atas hidup, kebebasan,
dan harta benda (life, liberty, and property). Jika
pemerintah melanggar hak-hak tersebut, maka rakyat berhak mengganti atau
menggulingkan kekuasaan yang ada.⁽²⁾ Gagasan Locke tentang kontrak
sosial dan pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat
menjadi fondasi ideologis utama dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika.
Selain Locke,
pemikiran Montesquieu tentang pembagian kekuasaan (separation of powers) juga
berpengaruh dalam perumusan sistem pemerintahan Amerika Serikat. Ide ini
kemudian terwujud dalam struktur konstitusional yang membagi kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah tirani.⁽³⁾ Di sisi lain,
Jean-Jacques Rousseau menyumbangkan gagasan tentang kedaulatan rakyat dan pentingnya kehendak
umum dalam pembentukan hukum yang adil.⁽⁴⁾
Tokoh-tokoh revolusi
seperti Thomas Jefferson, John
Adams, dan Benjamin Franklin tidak hanya
bertindak sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pemikir dan perumus
prinsip-prinsip negara baru. Dalam Declaration of Independence (1776),
Jefferson menulis bahwa “all men are created equal” dan memiliki hak yang tidak
dapat dicabut, seperti “life, liberty, and the pursuit of happiness,” sebuah
ekspresi langsung dari filsafat Locke.⁽⁵⁾
3.3.
Dampak dan Warisan
Revolusi Amerika
menghasilkan sistem pemerintahan republik yang berbasis konstitusi tertulis,
yang mengatur pembatasan kekuasaan negara dan menjamin hak-hak warga negara.
Konstitusi Amerika Serikat (1787) dan Amendemen Pertama hingga Kesepuluh (Bill of
Rights, 1791) menjadi tonggak awal perlindungan hukum terhadap
kebebasan beragama, kebebasan berbicara, dan hak atas peradilan yang adil.⁽⁶⁾
Selain memengaruhi
sistem politik Amerika Serikat, Revolusi Amerika juga memiliki dampak global.
Ia menjadi inspirasi bagi Revolusi Prancis dan berbagai gerakan kemerdekaan di
Amerika Latin serta kolonial lainnya. Model republik konstitusional yang
dihasilkan menjadi rujukan penting dalam perkembangan demokrasi liberal
modern.⁽⁷⁾ Namun, revolusi ini juga menghadapi kritik karena kontradiksi
internalnya: di satu sisi menyerukan kebebasan dan persamaan, namun di sisi
lain tetap mempertahankan sistem perbudakan dan mengecualikan perempuan serta
kelompok non-kulit putih dari hak-hak sipil.⁽⁸⁾
Dengan demikian,
Revolusi Amerika merupakan tonggak revolusioner yang penting dalam sejarah
dunia modern—sebuah revolusi yang menjembatani antara pemikiran filosofis dan
praktik politik dalam membangun sebuah negara berdasarkan kebebasan, republik,
dan hak asasi manusia.
Footnotes
[1]
Bernard Bailyn, The Ideological Origins of the American Revolution
(Cambridge: Harvard University Press, 1992), 23–26.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government (London: Awnsham
Churchill, 1689), 287–290.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et
al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–157.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–52.
[5]
Thomas Jefferson, The Declaration of Independence, in The
Portable Thomas Jefferson, ed. Merrill D. Peterson (New York: Penguin
Books, 1975), 23–25.
[6]
Akhil Reed Amar, America’s Constitution: A Biography (New
York: Random House, 2005), 115–124.
[7]
R.R. Palmer, The Age of the Democratic Revolution: A Political
History of Europe and America, 1760–1800 (Princeton: Princeton University
Press, 1959), 267–271.
[8]
Gary B. Nash, The Unknown American Revolution: The Unruly Birth of
Democracy and the Struggle to Create America (New York: Viking, 2005),
112–117.
4.
Revolusi Prancis
(1789): Kesetaraan, Sekularisme, dan Kewarganegaraan
Revolusi Prancis
(1789) merupakan salah satu peristiwa revolusioner paling berpengaruh dalam
sejarah modern, yang tidak hanya menggulingkan sistem monarki absolut dan
struktur feodal di Prancis, tetapi juga menyebarkan gagasan-gagasan radikal
tentang kesetaraan, sekularisme, dan kewarganegaraan ke seluruh dunia. Sebagai
revolusi sosial-politik yang kompleks dan berdarah, peristiwa ini mencerminkan
ketegangan mendalam antara masyarakat tradisional berbasis privilese dengan
cita-cita baru tentang kebebasan, rasionalitas, dan kedaulatan rakyat.
4.1.
Latar Belakang
Historis
Sebelum revolusi,
Prancis berada dalam krisis multidimensional yang mencakup krisis keuangan,
ketimpangan sosial, dan kegagalan politik. Struktur masyarakat dibagi dalam
tiga estates
(golongan sosial): kaum bangsawan dan klerus menikmati hak-hak istimewa,
sedangkan mayoritas rakyat (golongan ketiga) menanggung beban pajak dan tidak
memiliki representasi yang adil. Kebijakan monarki absolut Louis XVI, ditambah
dengan keterlibatan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Revolusi Amerika,
menyebabkan defisit anggaran yang parah.⁽¹⁾
Krisis ini menjadi
pemicu pertemuan États Généraux (1789), yang
kemudian berkembang menjadi revolusi setelah rakyat menuntut pembentukan Assemblée
Nationale sebagai simbol kedaulatan. Kejadian-kejadian penting
seperti Pengambilan
Bastille (14 Juli 1789) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
(26 Agustus 1789) menandai pergeseran kekuasaan dari raja kepada rakyat.⁽²⁾
4.2.
Fondasi Pemikiran
Revolusioner
Pemikiran-pemikiran
yang melandasi Revolusi Prancis terutama dipengaruhi oleh filsuf-filsuf
Pencerahan. Jean-Jacques Rousseau, dalam The
Social Contract (1762), menyatakan bahwa kedaulatan harus berada di
tangan rakyat, dan hukum yang adil hanya dapat lahir dari kehendak umum (volonté
générale).⁽³⁾ Voltaire mengkritik keras
lembaga gereja dan absolutisme, membela kebebasan berpendapat serta toleransi
beragama.⁽⁴⁾ Sementara Montesquieu, dengan gagasan
tentang pembagian kekuasaan dalam The Spirit of the Laws, menjadi
sumber utama inspirasi bagi kerangka konstitusi yang mencegah tirani.⁽⁵⁾
Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara (1789) menyatakan bahwa "manusia dilahirkan dan
tetap bebas serta setara dalam hak-haknya" serta bahwa "sumber segala
kedaulatan terletak pada bangsa."⁽⁶⁾ Dokumen ini tidak hanya mengandung
prinsip-prinsip universal mengenai kebebasan dan kesetaraan, tetapi juga
menandai peralihan dari konsep subject of the king menjadi citizen
of the nation, suatu perubahan mendasar dalam identitas politik.
4.3.
Sekularisme dan
Negara Modern
Salah satu hasil
paling radikal dari Revolusi Prancis adalah sekularisasi negara. Gereja Katolik
yang sebelumnya menjadi institusi dominan kehilangan hak istimewanya: harta
gereja dinasionalisasi, para klerus diwajibkan mengucap sumpah setia kepada
negara, dan kalender revolusioner diciptakan untuk menggantikan kalender
Kristen.⁽⁷⁾ Proses ini mencerminkan usaha revolusioner untuk memisahkan agama
dari urusan publik dan menjadikan akal serta hukum sebagai fondasi tatanan
masyarakat.
Konsep laïcité
atau sekularisme dalam kehidupan publik Prancis yang masih dominan hingga kini
merupakan warisan dari proses revolusioner ini. Gagasan bahwa negara harus
netral terhadap agama dan bahwa agama bersifat pribadi telah menjadi bagian
integral dari sistem republik modern di Prancis dan mengilhami banyak
konstitusi negara lain.
4.4.
Warisan dan
Kontradiksi
Revolusi Prancis
menginspirasi gerakan pembebasan di seluruh dunia dan menjadi simbol perjuangan
melawan tirani. Nilai-nilai liberté, égalité, fraternité
(kebebasan, kesetaraan, persaudaraan) menjadi semboyan universal demokrasi
modern. Konstitusi modern, konsep kewarganegaraan sipil, dan hak pilih
universal banyak mengambil inspirasi dari warisan revolusi ini.⁽⁸⁾
Namun, Revolusi
Prancis juga menyisakan banyak paradoks. Dalam upaya menciptakan kesetaraan dan
kebebasan, muncul pula teror dan kekerasan politik yang dipimpin oleh
tokoh-tokoh seperti Maximilien Robespierre dalam
masa La
Terreur (1793–1794), ketika ribuan orang dieksekusi atas nama
revolusi.⁽⁹⁾ Selain itu, walaupun menjunjung hak universal, perempuan dan
kelompok minoritas tetap dikecualikan dari banyak hak politik dan sipil.⁽¹⁰⁾
Dengan segala
kompleksitasnya, Revolusi Prancis tetap menjadi fondasi penting dalam
perkembangan pemikiran dan institusi politik modern. Ia memperkenalkan konsep
kewarganegaraan aktif, kesetaraan di hadapan hukum, dan legitimasi kekuasaan
berdasarkan kehendak rakyat—semua prinsip yang terus membentuk peradaban
demokratis hingga saat ini.
Footnotes
[1]
William Doyle, The Oxford History of the French Revolution
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 21–24.
[2]
Georges Lefebvre, The French Revolution: From Its Origins to 1793,
trans. Elizabeth Moss Evanson (New York: Columbia University Press, 1962),
110–113.
[3]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 58–63.
[4]
Voltaire, Philosophical Letters, trans. Ernest Dilworth
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1961), 76–80.
[5]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler et
al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–157.
[6]
The Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (1789), in Lynn Hunt, ed., The French Revolution
and Human Rights: A Brief Documentary History (Boston: Bedford/St.
Martin’s, 1996), 77–79.
[7]
Suzanne Desan, Reclaiming the Sacred: Lay Religion and Popular
Politics in Revolutionary France (Ithaca: Cornell University Press, 1990),
93–96.
[8]
R.R. Palmer, The Age of the Democratic Revolution: A Political
History of Europe and America, 1760–1800, Vol. II (Princeton: Princeton
University Press, 1964), 183–186.
[9]
David Andress, The Terror: The Merciless War for Freedom in
Revolutionary France (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2005), 232–237.
[10]
Joan Wallach Scott, Only Paradoxes to Offer: French Feminists and
the Rights of Man (Cambridge: Harvard University Press, 1996), 17–23.
5.
Revolusi Rusia
(1917): Marxisme, Sosialisme, dan Negara Pekerja
Revolusi Rusia tahun
1917 adalah salah satu revolusi paling transformatif dalam sejarah dunia
modern. Peristiwa ini tidak hanya menjatuhkan kekuasaan monarki absolut Tsar
Rusia, tetapi juga mewujudkan ide-ide radikal yang bersumber dari filsafat
Marxisme. Revolusi ini menandai awal dari pembentukan negara sosialis pertama
di dunia, yang secara ideologis menyatakan dirinya sebagai negara pekerja.
Dengan meletakkan kelas proletariat sebagai subjek utama sejarah, Revolusi
Rusia menghadirkan paradigma baru dalam teori dan praktik kekuasaan negara,
produksi ekonomi, dan struktur sosial.
5.1.
Latar Belakang
Historis
Sebelum revolusi,
Kekaisaran Rusia dipimpin oleh Tsar Nicholas II yang memerintah secara otoriter
di tengah kondisi ketimpangan ekonomi, represi politik, dan keterbelakangan
industri. Kekecewaan rakyat meningkat karena kekalahan dalam Perang
Rusia-Jepang (1905), kegagalan Reformasi Stolypin, dan dampak kehancuran
ekonomi yang ditimbulkan oleh keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia I.⁽¹⁾
Kondisi ini
melahirkan dua fase revolusi: Revolusi Februari 1917 yang menggulingkan Tsar
dan membentuk pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Alexander Kerensky,
serta Revolusi Oktober 1917 yang dipimpin oleh Partai Bolshevik di bawah
Vladimir Lenin. Dalam Revolusi Oktober inilah kekuasaan benar-benar berpindah
ke tangan kaum revolusioner, dan sistem negara baru yang mengusung ideologi
Marxisme-Leninisme mulai dibangun.⁽²⁾
5.2.
Fondasi Pemikiran
Revolusioner
Pemikiran utama yang
mendasari Revolusi Rusia adalah Marxisme, suatu teori sejarah
dan sosial yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Dalam The
Communist Manifesto (1848), Marx dan Engels menyatakan bahwa
sejarah adalah sejarah perjuangan kelas, dan bahwa kapitalisme akan digantikan
oleh sosialisme sebagai hasil dari revolusi proletariat.⁽³⁾ Konsep-konsep
seperti materialisme
historis, surplus value, dan diktator
proletariat menjadi dasar teoritis bagi perubahan radikal yang
dijalankan kaum Bolshevik.
Lenin
mengembangkan Marxisme lebih lanjut agar sesuai dengan konteks Rusia yang
semi-feodal dan belum sepenuhnya kapitalis. Dalam What Is to Be Done? (1902), Lenin
menekankan pentingnya organisasi revolusioner yang terpusat dan disiplin, yaitu
partai
pelopor (vanguard party) yang akan memimpin
kelas pekerja menuju revolusi.⁽⁴⁾ Dalam The State and Revolution (1917),
Lenin juga menguraikan bahwa negara borjuis harus dihancurkan dan digantikan
oleh negara proletariat, yang secara bertahap akan memudar menuju masyarakat
tanpa kelas.⁽⁵⁾
Lenin juga
mengkritik demokrasi parlementer liberal sebagai kedok dominasi kapitalis dan
menegaskan bahwa bentuk demokrasi yang sejati adalah melalui soviet
(dewan pekerja dan tentara), yang dianggap sebagai ekspresi otentik dari
kekuasaan rakyat. Inilah yang menjadi dasar struktur kekuasaan di negara Soviet
pasca-revolusi.
5.3.
Pembentukan Negara
Pekerja dan Sosialisme
Setelah mengambil
alih kekuasaan, Partai Bolshevik mengimplementasikan kebijakan ekonomi dan
sosial yang bertujuan mewujudkan negara pekerja. Kepemilikan pribadi atas alat
produksi dihapuskan dan digantikan oleh kepemilikan negara atas tanah,
industri, dan sistem keuangan.⁽⁶⁾ Dalam jangka pendek, kebijakan ini dikenal
sebagai War
Communism (1918–1921), yang sangat sentralistik dan militeristik.
Karena menimbulkan kelaparan dan kekacauan ekonomi, Lenin kemudian menggantinya
dengan New
Economic Policy (NEP), yang memberikan sedikit kelonggaran pasar
dalam kerangka sosialisme negara.
Secara politik,
negara Soviet dibentuk sebagai satu partai di bawah kepemimpinan Komite Pusat
Partai Komunis. Prinsip demokrasi rakyat dijalankan secara terbatas dalam
struktur partai, dan oposisi politik ditekan. Revolusi ini juga membentuk dasar
ideologis bagi Komintern (Komunis Internasional), yang bertujuan menyebarkan
revolusi proletariat ke seluruh dunia.⁽⁷⁾
5.4.
Warisan dan
Kontradiksi
Revolusi Rusia
memberikan dampak global yang luas. Ia mengilhami terbentuknya gerakan buruh
dan partai-partai komunis di berbagai negara, termasuk Cina, Kuba, Vietnam, dan
beberapa negara Afrika. Di Eropa, revolusi ini menakutkan kalangan borjuis dan
menjadi alasan utama munculnya gerakan fasis sebagai antitesis sosialisme
revolusioner.⁽⁸⁾
Namun, revolusi ini
juga menyimpan kontradiksi. Upaya membangun negara tanpa kelas justru
menghasilkan birokrasi otoriter di bawah rezim Joseph Stalin, yang dikenal
dengan kebijakan represi massal, kamp kerja paksa (Gulag), dan kultus individu.⁽⁹⁾
Keinginan untuk menciptakan masyarakat egaliter seringkali bertabrakan dengan
kenyataan represi politik dan ekonomi komando. Meskipun demikian, revolusi ini
tetap menjadi eksperimen sosial terbesar dalam sejarah modern tentang bagaimana
ideologi dapat membentuk struktur negara dan masyarakat secara total.
Dengan demikian,
Revolusi Rusia tidak hanya merupakan ekspresi dari penderitaan sosial dan
krisis ekonomi, tetapi juga perwujudan dari sistem pemikiran ideologis yang
mengubah arah sejarah dunia abad ke-20 secara fundamental.
Footnotes
[1]
Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 18–21.
[2]
Orlando Figes, A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891–1924
(New York: Viking, 1996), 402–405.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Verso, 1998), 14–18.
[4]
V.I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International
Publishers, 1929), 38–45.
[5]
V.I. Lenin, The State and Revolution (New York: International
Publishers, 1932), 10–18.
[6]
Richard Pipes, The Russian Revolution (New York: Knopf, 1990),
553–559.
[7]
E.H. Carr, The Bolshevik Revolution 1917–1923, Vol. 1 (New
York: Norton, 1985), 203–207.
[8]
Eric Hobsbawm, Age of Extremes: The Short Twentieth Century,
1914–1991 (London: Michael Joseph, 1994), 74–78.
[9]
Robert Service, Stalin: A Biography (Cambridge: Harvard
University Press, 2005), 243–250.
6.
Revolusi Cina
(1949): Maoisme dan Revolusi Agraria
Revolusi Cina yang
mencapai puncaknya pada tahun 1949 dengan kemenangan Partai Komunis Cina (PKC)
di bawah pimpinan Mao Zedong, menandai terbentuknya Republik Rakyat Cina (RRC).
Berbeda dengan Revolusi Rusia yang berbasis pada kelas buruh industri, Revolusi
Cina berkembang dalam konteks masyarakat agraris dengan mayoritas penduduknya
adalah petani. Oleh karena itu, revolusi ini menghadirkan varian baru dari
sosialisme yang dikenal sebagai Maoisme, yaitu adaptasi
Marxisme-Leninisme dalam kondisi pedesaan yang menekankan peran revolusioner
kaum tani, perang gerilya, dan pendidikan politik massa.
6.1.
Latar Belakang
Historis
Cina pada awal abad
ke-20 mengalami pergolakan sosial dan politik yang luar biasa. Runtuhnya
Dinasti Qing (1911), kegagalan Republik Cina dalam menyatukan negara, serta
dominasi militerisme dan korupsi pemerintahan Nasionalis (Kuomintang) menciptakan
krisis nasional. Invasi Jepang pada tahun 1937 semakin memperparah situasi.⁽¹⁾
Partai Komunis Cina,
yang didirikan pada 1921, awalnya bekerja sama dengan Kuomintang tetapi
kemudian pecah dan terlibat dalam perang saudara (1927–1949). Selama periode
ini, PKC membangun basis kekuatan di pedesaan melalui program redistribusi
tanah, pemberdayaan petani, dan taktik perang gerilya. Kemenangan akhirnya pada
tahun 1949 tidak hanya mengakhiri perang saudara, tetapi juga menandai
dimulainya eksperimen sosial-politik baru yang mengklaim mewakili kekuasaan
rakyat melalui ideologi Maoisme.⁽²⁾
6.2.
Fondasi Pemikiran
Revolusioner: Maoisme
Mao
Zedong, sebagai arsitek ideologis dan strategis revolusi,
mengembangkan Marxisme-Leninisme dalam kerangka khas Cina. Dalam On New
Democracy (1940), Mao menegaskan bahwa revolusi di negara terjajah
dan setengah feodal seperti Cina harus melewati tahap demokrasi
baru sebelum menuju sosialisme. Tahap ini melibatkan aliansi antara
kaum tani, buruh, borjuis nasional, dan intelektual progresif.⁽³⁾
Berbeda dari Marx
yang melihat proletariat industri sebagai kekuatan revolusioner utama, Mao
menempatkan petani sebagai subjek revolusi.
Ia menyadari bahwa di Cina, buruh industri hanya merupakan minoritas, sementara
mayoritas rakyat adalah kaum tani miskin yang hidup dalam penindasan
struktural.⁽⁴⁾ Oleh karena itu, Mao menekankan pentingnya pendidikan
politik massa, organisasi basis desa, dan strategi perang
rakyat jangka panjang yang bertumpu pada kekuatan lokal.
Dalam On
Contradiction dan On Practice, Mao juga menekankan
pentingnya metode dialektika materialis dalam memahami perubahan sosial. Ia
mengembangkan teori bahwa kontradiksi internal merupakan penggerak utama
perubahan, dan bahwa perjuangan kelas harus terus dilakukan bahkan setelah
kemenangan revolusi, untuk mencegah restorasi borjuis.⁽⁵⁾
6.3.
Pelaksanaan Revolusi
Agraria dan Transformasi Sosial
Setelah mendirikan
RRC, pemerintahan Mao memulai program revolusi agraria besar-besaran
dengan membagi tanah milik tuan tanah kepada petani miskin. Dalam proses ini,
ribuan tuan tanah dieksekusi atau diasingkan, dan struktur kepemilikan tanah
secara fundamental diubah.⁽⁶⁾
Langkah ini
dilanjutkan dengan kolektivisasi pertanian pada 1950-an dan peluncuran The
Great Leap Forward (1958–1961), sebuah kebijakan untuk mempercepat
industrialisasi dan modernisasi pertanian. Namun, kebijakan ini berakhir dengan
kegagalan besar dan menyebabkan bencana kelaparan yang menewaskan puluhan juta
orang.⁽⁷⁾
Tidak berhenti di
situ, Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan
(1966–1976), sebuah gerakan ideologis besar-besaran untuk memberantas apa yang
disebut sebagai “empat yang lama” (pikiran lama, kebudayaan lama, kebiasaan
lama, dan adat lama). Melalui gerakan ini, Mao mendorong kaum muda (terutama Red
Guards) untuk mengguncang institusi-institusi negara, pendidikan,
dan partai demi menjaga kemurnian revolusi.⁽⁸⁾
6.4.
Warisan dan
Kontradiksi
Revolusi Cina
membawa perubahan mendasar dalam struktur sosial dan politik negara. Ia
berhasil menghapus feodalisme, meningkatkan angka melek huruf, dan meletakkan
dasar bagi modernisasi nasional. Dalam skala global, revolusi ini menginspirasi
banyak gerakan anti-imperialis dan gerilya rakyat di negara-negara Dunia
Ketiga, seperti Kuba, Vietnam, dan beberapa negara Afrika.⁽⁹⁾
Namun, revolusi ini
juga menyisakan warisan kontradiktif. Di satu sisi, Maoisme menciptakan
semangat egalitarian dan mobilisasi politik massa yang luar biasa, tetapi di
sisi lain memunculkan represi, kekerasan, dan dogmatisme ideologis. Tragedi Great
Leap Forward dan kekacauan Revolusi Kebudayaan memperlihatkan
batas antara idealisme revolusioner dan realitas sosial-politik yang
kompleks.⁽¹⁰⁾
Meski demikian,
Maoisme tetap menjadi salah satu doktrin revolusioner paling berpengaruh di
abad ke-20. Ia menunjukkan bagaimana ideologi dapat diadaptasi dalam konteks
lokal, dan bagaimana kekuatan massa—khususnya petani—dapat menjadi agen
perubahan sejarah.
Footnotes
[1]
Jonathan D. Spence, The Search for Modern China, 3rd ed. (New
York: W. W. Norton & Company, 2013), 333–337.
[2]
Lucien Bianco, Origins of the Chinese Revolution, 1915–1949,
trans. Muriel Dazey (Stanford: Stanford University Press, 1971), 118–122.
[3]
Mao Zedong, On New Democracy (Beijing: Foreign Languages
Press, 1967), 13–15.
[4]
Maurice Meisner, Mao’s China and After: A History of the People’s
Republic, 3rd ed. (New York: Free Press, 1999), 56–59.
[5]
Mao Zedong, On Contradiction and On Practice, in Selected
Works of Mao Tse-Tung, Vol. 1 (Beijing: Foreign Languages Press, 1965),
311–336.
[6]
Roderick MacFarquhar, The Origins of the Cultural Revolution,
Vol. 1 (New York: Columbia University Press, 1974), 48–52.
[7]
Frank Dikötter, Mao’s Great Famine: The History of China's Most
Devastating Catastrophe, 1958–1962 (London: Bloomsbury, 2010), 3–5.
[8]
Andrew G. Walder, China Under Mao: A Revolution Derailed
(Cambridge: Harvard University Press, 2015), 123–130.
[9]
Julia Lovell, Maoism: A Global History (New York: Knopf,
2019), 198–203.
[10]
Elizabeth J. Perry and Li Xun, Proletarian Power: Shanghai in the
Cultural Revolution (Boulder: Westview Press, 1997), 17–22.
7.
Revolusi Indonesia
(1945): Nasionalisme, Kemerdekaan, dan Identitas Bangsa
Revolusi Indonesia
yang secara simbolik dimulai pada 17 Agustus 1945, tidak hanya merupakan
peristiwa politik yang menandai pemutusan hubungan dengan kolonialisme Belanda,
tetapi juga merupakan titik kulminasi dari proses panjang pembentukan identitas
nasional, perjuangan ideologis, dan kristalisasi cita-cita kemerdekaan. Tidak
seperti revolusi sosial yang menumbangkan sistem kelas, Revolusi Indonesia
lebih menekankan pada pembebasan nasional dari imperialisme asing dan
pembentukan tatanan negara merdeka yang berakar pada nilai-nilai kebangsaan, kedaulatan
rakyat, dan keadilan sosial.
7.1.
Latar Belakang
Historis
Indonesia mengalami
masa penjajahan selama lebih dari tiga abad di bawah kekuasaan kolonial
Belanda. Eksploitasi ekonomi, marginalisasi pendidikan pribumi, serta represi
politik memunculkan benih-benih perlawanan yang awalnya bersifat lokal dan
sporadis. Seiring masuknya pendidikan Barat dan bangkitnya kesadaran politik
modern, muncul organisasi-organisasi nasionalis seperti Budi Utomo (1908),
Sarekat Islam (1912), dan kemudian Partai Nasional Indonesia (1927) yang
dipelopori oleh Soekarno.⁽¹⁾
Pendudukan Jepang
(1942–1945) menjadi katalis penting dalam proses revolusioner. Meskipun
eksploitatif, Jepang membuka ruang bagi tokoh-tokoh nasionalis untuk
mengorganisasi massa, membentuk pemerintahan semu, dan mempersiapkan
kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah kepada
Sekutu, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Ini menjadi
momen dimulainya revolusi nasional yang disusul dengan perang mempertahankan kemerdekaan
hingga pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.⁽²⁾
7.2.
Fondasi Pemikiran
Revolusioner: Nasionalisme dan Anti-Imperialisme
Pemikiran
revolusioner dalam konteks Indonesia berakar kuat pada nasionalisme
anti-kolonial, yang berkembang melalui pengalaman penindasan
dan inspirasi dari gerakan kemerdekaan global. Tokoh utama dalam hal ini adalah
Soekarno,
yang dalam berbagai pidatonya menyampaikan bahwa revolusi Indonesia bukan hanya
“revolusi politik” untuk menggulingkan penjajah, tetapi juga “revolusi sosial”
untuk membentuk masyarakat yang adil dan berdaulat.⁽³⁾
Dalam
tulisan-tulisannya, seperti Indonesia Menggugat dan Di Bawah
Bendera Revolusi, Soekarno menggabungkan unsur nasionalisme,
marhaenisme (sosialisme Indonesia), dan humanisme universal. Ia
memandang kolonialisme sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang harus
diakhiri melalui kekuatan rakyat.⁽⁴⁾
Mohammad
Hatta, sebagai tokoh kunci lainnya, menekankan pentingnya kedaulatan
rakyat, pendidikan politik, dan sistem ekonomi koperatif. Ia
memandang kemerdekaan sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat adil makmur
berdasarkan prinsip musyawarah dan solidaritas sosial.⁽⁵⁾
Pemikiran
revolusioner Indonesia juga diperkaya oleh tokoh-tokoh lain seperti TanMalaka, yang memadukan Marxisme dengan semangat anti-imperialis
Asia. Dalam Madilog (Materialisme, Dialektika,
dan Logika), Tan Malaka menyerukan pentingnya metode berpikir ilmiah dalam
perjuangan kemerdekaan.⁽⁶⁾
7.3.
Pancasila dan
Identitas Bangsa
Salah satu aspek
unik dari revolusi Indonesia adalah perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Dirumuskan pertama kali dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, Pancasila
mencerminkan sintesis nilai-nilai universal dan kearifan lokal: Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial.⁽⁷⁾
Pancasila bukan
hanya merupakan landasan filosofis negara, tetapi juga merupakan produk dari
proses revolusi yang berupaya mengintegrasikan keberagaman etnis, agama, dan
budaya dalam satu kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Revolusi Indonesia juga
merupakan revolusi identitas—upaya untuk membangun kebangsaan Indonesia di atas
fondasi persatuan dan toleransi dalam kemajemukan.
7.4.
Warisan dan
Kontradiksi
Revolusi Indonesia
meninggalkan warisan penting dalam sejarah bangsa: berdirinya negara merdeka,
sistem pemerintahan republik, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar warga
negara. Secara internasional, revolusi ini menginspirasi gerakan kemerdekaan di
Asia dan Afrika serta menjadi pelopor dalam membangun solidaritas Dunia Ketiga
melalui Konferensi Asia-Afrika (1955)
dan Gerakan
Non-Blok.⁽⁸⁾
Namun, revolusi ini
juga menyisakan sejumlah paradoks. Di satu sisi, ia berbicara tentang keadilan
dan kemerdekaan, tetapi di sisi lain, konflik internal antar-kekuatan politik
(nasionalis, Islamis, dan komunis) serta kekerasan sosial pasca-kemerdekaan
menunjukkan bahwa konsolidasi nasional bukanlah hal yang mudah. Transisi dari
revolusi ke pembangunan nasional juga diwarnai dengan tantangan dalam
mempertahankan demokrasi, pemerataan ekonomi, dan integrasi kebangsaan.⁽⁹⁾
Dengan demikian, Revolusi
Indonesia adalah revolusi yang khas: sebuah perjuangan pembebasan yang
menekankan pentingnya kedaulatan nasional, pembangunan identitas kolektif, dan
perwujudan nilai-nilai dasar kemanusiaan sebagai fondasi negara modern.
Footnotes
[1]
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912–1926, trans. Ahmad Suaedy (Jakarta: LP3ES, 1997), 15–22.
[2]
Anthony Reid, The Indonesian National Revolution 1945–1950
(Melbourne: Longman, 1974), 23–27.
[3]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 8–12.
[4]
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Departemen Penerangan
RI, 1961), 42–49.
[5]
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara,
1960), 30–36.
[6]
Tan Malaka, Madilog (Jakarta: Narasi, 2011), 15–18.
[7]
Notosusanto, Nugroho, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1992), 50–55.
[8]
J.D. Legge, Indonesia (New Jersey: Prentice Hall, 1964),
190–195.
[9]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from
Java and Bali (Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian
Studies, 1990), 3–6.
8.
Komparasi
Pemikiran-Pemikiran Revolusioner
Pemikiran-pemikiran
revolusioner yang mendasari Revolusi Amerika, Prancis, Rusia, Cina, dan
Indonesia memiliki akar ideologis, motivasi historis, dan strategi aksi yang
berbeda-beda, namun semuanya bertujuan merombak struktur kekuasaan lama demi
menciptakan tatanan sosial-politik yang baru. Dengan menganalisis perbedaan dan
kesamaan dalam landasan ideologis, subjek historis, metode perjuangan, serta
warisan pemikiran, kita dapat memahami bagaimana dinamika intelektual global
membentuk jalannya revolusi dan arah transformasi masyarakat.
8.1.
Landasan Ideologis:
Dari Liberalisme hingga Sosialisme
Revolusi Amerika dan
Prancis lahir dari semangat Pencerahan Eropa yang
menekankan kebebasan individu, hak kodrati, dan pemerintahan berdasarkan hukum.
Revolusi Amerika didasarkan pada prinsip-prinsip liberalisme klasik seperti life,
liberty, and property (John Locke), sementara Revolusi Prancis
memajukan gagasan égalité dan souveraineté
nationale melalui tokoh-tokoh seperti Rousseau dan Montesquieu.⁽¹⁾
Sebaliknya, Revolusi
Rusia dan Cina mengusung sosialisme revolusioner
berbasis Marxisme. Di sini, perjuangan kelas menjadi kerangka utama untuk
memahami ketimpangan sosial dan perubahan sejarah. Lenin dan Mao sama-sama
menolak demokrasi liberal dan menekankan pentingnya diktator proletariat
sebagai tahap transisional menuju masyarakat tanpa kelas.⁽²⁾ Namun, Mao
mengadaptasi Marxisme-Leninisme untuk konteks agraris, dengan menjadikan petani
sebagai kekuatan revolusioner utama, bukan buruh industri sebagaimana
digariskan Marx.⁽³⁾
Revolusi Indonesia
menempati posisi unik. Ia bukan revolusi borjuis-liberal ala Amerika dan
Prancis, juga bukan revolusi kelas pekerja seperti di Rusia dan Cina. Revolusi
ini lebih menekankan pada nasionalisme anti-kolonial,
kedaulatan bangsa, dan pencarian jati diri dalam keragaman budaya. Pemikiran
revolusioner Indonesia merupakan sintesis antara nasionalisme, sosialisme khas
Indonesia (Marhaenisme), dan nilai-nilai humanistik yang diwujudkan dalam
Pancasila.⁽⁴⁾
8.2.
Subjek Historis:
Siapa Pelaku Revolusi?
Dalam Revolusi
Amerika dan Prancis, kelas menengah terdidik (bourgeoisie)
menjadi motor utama revolusi. Mereka menuntut representasi politik dan hak-hak
sipil yang tidak diberikan oleh monarki absolut atau kekuasaan kolonial.⁽⁵⁾
Revolusi Rusia dan
Cina dipimpin oleh partai pelopor yang
mengorganisasi massa buruh dan tani secara sistematis. Lenin menekankan peran vanguard
party dalam menyadarkan proletariat, sementara Mao melihat petani
sebagai subjek revolusi yang harus digerakkan melalui pendidikan ideologis dan
perjuangan bersenjata.⁽⁶⁾
Revolusi Indonesia,
sementara itu, digerakkan oleh aliansi luas antara elite nasionalis, pemuda,
dan rakyat biasa, terutama petani dan prajurit bekas tentara
PETA. Revolusi ini tidak memiliki partai pelopor tunggal, melainkan dilandasi
oleh solidaritas nasional yang heterogen—dari Islamis, nasionalis, hingga
sosialis.⁽⁷⁾
8.3.
Strategi Perjuangan:
Evolusi vs Revolusi, Reformasi vs Kekerasan
Strategi revolusi
juga menunjukkan variasi yang signifikan. Revolusi Amerika dan Indonesia
cenderung mengambil bentuk perjuangan kemerdekaan nasional
melalui perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan asing. Revolusi Prancis dan
Rusia mengalami eskalasi konflik internal,
termasuk teror politik dan perang sipil, untuk menumbangkan struktur kekuasaan
dalam negeri. Revolusi Cina menggabungkan perang gerilya dengan pembangunan
basis kekuatan jangka panjang di pedesaan.⁽⁸⁾
Namun, semua
revolusi itu mengalami fase konsolidasi kekuasaan
setelah transisi awal—baik dalam bentuk republik konstitusional (Amerika dan
Prancis) maupun negara satu partai (Rusia dan Cina). Indonesia juga mengalami
fase transisi dari sistem parlementer ke demokrasi terpimpin, mencerminkan tantangan
besar dalam mengelola hasil revolusi.⁽⁹⁾
8.4.
Warisan Intelektual
dan Globalisasi Gagasan
Warisan pemikiran
dari revolusi-revolusi ini terus hidup dalam politik kontemporer. Liberalisme
Amerika menjadi fondasi sistem demokrasi liberal modern, termasuk konstitusi,
trias politica, dan HAM. Revolusi Prancis memperkenalkan konsep universal
kewarganegaraan dan sekularisme negara. Marxisme dari Revolusi Rusia dan
Maoisme dari Revolusi Cina menginspirasi gerakan kiri di seluruh dunia selama
abad ke-20, meskipun banyak negara akhirnya mengalami pergeseran ke arah
kapitalisme negara.
Revolusi Indonesia
meninggalkan warisan penting dalam bentuk Pancasila, semangat anti-kolonialisme, dan
pluralisme bangsa. Ia juga menjadi simbol revolusi Dunia
Ketiga, yang tidak hanya menentang kolonialisme, tetapi juga membayangkan dunia
yang lebih adil dan berdaulat secara kolektif.⁽¹⁰⁾
Footnotes
[1]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 134–138.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto
(London: Verso, 1998), 15–17; V.I. Lenin, The State and Revolution
(New York: International Publishers, 1932), 10–13.
[3]
Mao Zedong, On New Democracy (Beijing: Foreign Languages
Press, 1967), 17–21.
[4]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 23–27.
[5]
R.R. Palmer, The Age of the Democratic Revolution: A Political
History of Europe and America, 1760–1800 (Princeton: Princeton University
Press, 1959), 95–99.
[6]
V.I. Lenin, What Is to Be Done? (New York: International
Publishers, 1929), 38–45; Maurice Meisner, Mao’s China and After: A History
of the People’s Republic (New York: Free Press, 1999), 62–64.
[7]
Anthony Reid, The Indonesian National Revolution 1945–1950
(Melbourne: Longman, 1974), 143–148.
[8]
Eric Hobsbawm, Revolutionaries (New York: Pantheon Books,
1973), 45–50.
[9]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1962), 29–34.
[10]
J.D. Legge, Indonesia (New Jersey: Prentice Hall, 1964),
205–210.
9.
Dampak
Revolusi-Revolusi Dunia terhadap Kehidupan Modern
Revolusi-revolusi
besar dunia tidak hanya mengguncang tatanan politik pada masanya, tetapi juga
membentuk fondasi dari banyak aspek kehidupan modern—baik dalam sistem
pemerintahan, struktur sosial, pemikiran ekonomi, hak asasi manusia, hingga
budaya global. Warisan revolusioner tersebut bersifat multidimensional dan
transnasional, menjangkau jauh melampaui batas geografis dan kronologis negara
asalnya. Setiap revolusi membawa gagasan dan praktik yang meresap ke dalam
institusi kontemporer dan mempengaruhi paradigma berpikir umat manusia hingga
hari ini.
9.1.
Demokrasi dan
Kedaulatan Rakyat
Salah satu dampak
paling nyata dari revolusi-revolusi besar dunia adalah penguatan konsep
kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis. Revolusi Amerika
memperkenalkan sistem republik konstitusional dengan pemisahan kekuasaan dan
prinsip perwakilan rakyat, yang kemudian menjadi model bagi banyak negara di
dunia, termasuk Indonesia.⁽¹⁾ Revolusi Prancis memperluas gagasan ini dengan
menekankan kesetaraan hukum, kewarganegaraan universal, dan penghapusan sistem
monarki absolut yang berbasis hak istimewa keturunan.⁽²⁾
Gagasan bahwa
kekuasaan harus bersumber dari rakyat dan dikendalikan melalui institusi hukum
kini menjadi prinsip fundamental negara-negara modern. Meski tidak semua
demokrasi hari ini murni mengadopsi model revolusioner abad ke-18, semangat
dasar seperti legitimasi rakyat, hak
pilih, dan konstitusionalisme adalah
warisan yang tidak dapat disangkal.
9.2.
Hak Asasi Manusia
dan Kewarganegaraan Sipil
Revolusi-revolusi
tersebut juga mempercepat perkembangan wacana hak asasi manusia (HAM).
Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara Prancis (1789) menjadi tonggak awal konseptualisasi HAM sebagai hak
kodrati yang melekat pada individu.⁽³⁾ Konsep ini kemudian berkembang menjadi
prinsip hukum internasional modern, seperti dalam Universal
Declaration of Human Rights (1948) oleh PBB.
Demikian pula,
Revolusi Rusia dan Cina memperkenalkan konsep baru tentang hak-hak sosial dan
ekonomi—seperti hak atas pekerjaan, pendidikan, dan jaminan sosial—yang
melengkapi pemahaman liberal tentang kebebasan sipil dan politik.⁽⁴⁾ Meskipun
pelaksanaannya kerap menuai kritik, pemikiran revolusioner ini mendorong dunia
untuk melihat hak asasi manusia tidak semata sebagai kebebasan individual,
tetapi juga sebagai jaminan keadilan sosial.
9.3.
Perubahan Struktur
Sosial dan Ekonomi
Revolusi-revolusi
tersebut juga merombak struktur sosial yang mapan. Revolusi Prancis menghapus
feodalisme dan sistem kasta berbasis warisan, membuka jalan bagi meritokrasi
dan masyarakat berbasis kewarganegaraan. Revolusi Rusia dan Cina bahkan lebih
radikal dalam menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi dan
memperkenalkan sistem ekonomi terencana berbasis kolektivitas.⁽⁵⁾
Konsep-konsep
seperti redistribusi kekayaan, reformasi agraria,
kolektivisasi, dan sistem jaminan sosial negara kini menjadi
elemen penting dalam kebijakan publik di berbagai negara—baik dalam sistem
sosial-demokrasi maupun dalam bentuk ekonomi campuran. Pandangan revolusioner
mengenai ketimpangan sosial juga menjadi dasar bagi gerakan keadilan sosial dan
anti-kapitalisme global kontemporer.⁽⁶⁾
9.4.
Emansipasi dan Identitas
Politik
Dampak revolusi juga
terasa dalam gerakan emansipasi kelompok-kelompok terpinggirkan.
Revolusi Prancis, meski tidak langsung membebaskan perempuan, memicu perdebatan
publik tentang kesetaraan gender yang kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh
feminis seperti Olympe de Gouges.⁽⁷⁾ Revolusi Indonesia menjadi inspirasi bagi
perjuangan dekolonisasi di Asia dan Afrika, serta mengukuhkan pentingnya
identitas bangsa sebagai dasar perjuangan politik.⁽⁸⁾
Di abad ke-20 dan
21, warisan revolusioner ini diteruskan dalam bentuk gerakan civil rights,
gerakan anti-apartheid, hingga advokasi hak-hak masyarakat adat dan minoritas.
Dengan kata lain, revolusi telah menjadi kerangka moral dan historis bagi tuntutan atas
kesetaraan dan inklusivitas politik.
9.5.
Globalisasi Ideologi
dan Politik Dunia
Revolusi-revolusi
besar juga berkontribusi pada globalisasi ideologi,
menjadikan dunia arena pertarungan ide dan sistem politik. Revolusi Amerika dan
Prancis menyebarkan liberalisme ke berbagai penjuru dunia. Revolusi Rusia melahirkan
gerakan komunis internasional (Komintern), sedangkan Revolusi Cina
menginspirasi gerakan revolusioner di Dunia Ketiga, termasuk Vietnam, Kuba, dan
beberapa negara Afrika.⁽⁹⁾
Gerakan non-blok dan
Konferensi Asia-Afrika (1955) yang diprakarsai oleh negara-negara pascakolonial
seperti Indonesia juga merupakan lanjutan dari semangat revolusi yang menolak
dominasi blok besar dan mengedepankan kedaulatan bangsa-bangsa. Dengan
demikian, revolusi berperan besar dalam redefinisi geopolitik abad ke-20,
dari dunia kolonial ke dunia multipolar.
Footnotes
[1]
Gordon S. Wood, The Radicalism of the American Revolution (New
York: Vintage, 1993), 109–113.
[2]
William Doyle, The Oxford History of the French Revolution
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 276–279.
[3]
Lynn Hunt, ed., The French Revolution and Human Rights: A Brief
Documentary History (Boston: Bedford/St. Martin’s, 1996), 83–86.
[4]
Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 140–142; Maurice Meisner, Mao’s China and After: A
History of the People’s Republic (New York: Free Press, 1999), 106–108.
[5]
Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789–1848 (New
York: Vintage, 1996), 221–228.
[6]
Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer
(Cambridge: Harvard University Press, 2020), 384–389.
[7]
Joan Wallach Scott, Only Paradoxes to Offer: French Feminists and
the Rights of Man (Cambridge: Harvard University Press, 1996), 27–30.
[8]
Anthony Reid, The Indonesian National Revolution 1945–1950
(Melbourne: Longman, 1974), 284–287.
[9]
Julia Lovell, Maoism: A Global History (New York: Knopf,
2019), 193–198.
10.
Penutup
Revolusi tidak hanya
merupakan peristiwa sejarah yang mengguncang struktur kekuasaan, tetapi juga
manifestasi dari kekuatan ide—ide tentang kebebasan, kesetaraan, keadilan,
kedaulatan, dan masa depan yang lebih baik. Dari Revolusi Amerika dan Prancis
yang menandai kelahiran demokrasi liberal modern, hingga Revolusi Rusia dan
Cina yang membawa eksperimen sosialisme dalam skala besar, serta Revolusi
Indonesia yang memperjuangkan kedaulatan nasional dan identitas bangsa
pascakolonial, semua revolusi tersebut berangkat dari dinamika pemikiran yang
kompleks dan konteks sosial yang menuntut perubahan radikal.
Satu kesamaan yang
dapat ditemukan dari berbagai revolusi besar ini adalah bahwa perubahan
struktural selalu diawali dan didorong oleh perubahan cara berpikir.
Sebagaimana disampaikan oleh Crane Brinton dalam The Anatomy of Revolution, revolusi
bukan hanya soal kekerasan atau konflik politik, melainkan transformasi
fundamental terhadap norma-norma, nilai-nilai, dan visi masyarakat tentang
keadilan dan tatanan hidup bersama.¹ Pemikiran revolusioner mengawali gerakan
sosial dan menjadi landasan moral serta strategis dalam proses transformasi itu
sendiri.
Dalam kehidupan
modern, warisan revolusioner terus bergema dalam berbagai bentuk: demokrasi
konstitusional, hak asasi manusia, sistem hukum yang menjunjung keadilan,
hingga gerakan-gerakan kontemporer yang memperjuangkan emansipasi, kesetaraan,
dan reformasi sosial. Dalam konteks globalisasi dan kompleksitas geopolitik
masa kini, pemikiran-pemikiran revolusioner tetap relevan sebagai referensi
kritis terhadap sistem yang timpang dan tidak adil, baik dalam aspek ekonomi,
politik, maupun budaya.²
Namun, sejarah juga
memperingatkan kita bahwa revolusi bukan tanpa risiko. Sebagian revolusi telah
melahirkan tirani baru, represi ideologis, dan kekerasan yang justru mencederai
tujuan semula. Revolusi Prancis memasuki fase teror, Revolusi Rusia berubah
menjadi negara otoriter di bawah Stalin, dan Revolusi Kebudayaan di Cina
menimbulkan kekacauan sosial yang meluas.³ Dengan demikian, evaluasi kritis
terhadap pemikiran revolusioner bukan hanya soal mengagungkan idealisme
perubahan, tetapi juga memahami batas dan kemungkinan tragedi yang dapat
menyertainya.
Revolusi Indonesia
memberikan pelajaran penting tentang bagaimana cita-cita nasional dapat dijaga
melalui sintesis antara tradisi, nilai-nilai lokal, dan semangat global.
Pancasila, sebagai hasil refleksi filosofis atas keberagaman dan perjuangan,
tetap menjadi salah satu contoh bagaimana pemikiran revolusioner dapat
membentuk negara yang inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial.⁴
Sebagai penutup,
memahami dinamika pemikiran revolusioner bukan hanya penting untuk studi
sejarah, tetapi juga untuk membangun kesadaran kritis generasi masa kini. Dunia
modern masih menghadapi ketimpangan, krisis ekologis, ketidakadilan ekonomi,
dan otoritarianisme baru dalam berbagai bentuk. Dalam menghadapi
tantangan-tantangan ini, warisan intelektual revolusi dapat menjadi sumber
inspirasi dan peringatan: bahwa perubahan besar hanya mungkin dicapai bila
disertai oleh kekuatan ide yang mendalam, moral yang kuat, dan keberanian untuk
bertindak secara kolektif dan visioner.
Footnotes
[1]
Crane Brinton, The Anatomy of Revolution (New York: Vintage
Books, 1965), 22–26.
[2]
Samuel Moyn, Not Enough: Human Rights in an Unequal World
(Cambridge: Harvard University Press, 2018), 89–92.
[3]
Robert Service, Comrades! A History of World Communism
(Cambridge: Harvard University Press, 2007), 198–203; Frank Dikötter, The
Cultural Revolution: A People's History, 1962–1976 (New York: Bloomsbury, 2016),
71–76.
[4]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (Jakarta: Panitia
Penerbit DBR, 1963), 63–69.
Daftar Pustaka
Andress, D. (2005). The terror: The merciless
war for freedom in revolutionary France. Farrar, Straus and Giroux.
Amar, A. R. (2005). America’s Constitution: A
biography. Random House.
Bailyn, B. (1992). The ideological origins of
the American Revolution (Enlarged ed.). Harvard University Press.
Bianco, L. (1971). Origins of the Chinese
revolution, 1915–1949 (M. Dazey, Trans.). Stanford University Press.
Brinton, C. (1965). The anatomy of revolution.
Vintage Books.
Calvert, P. (1990). Revolution and
counter-revolution: Class struggle in a global context. University of
Minnesota Press.
Carr, E. H. (1985). The Bolshevik revolution
1917–1923 (Vol. 1). Norton.
Cribb, R. (Ed.). (1990). The Indonesian killings
of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Monash University, Centre of
Southeast Asian Studies.
Desan, S. (1990). Reclaiming the sacred: Lay
religion and popular politics in revolutionary France. Cornell University
Press.
Dikötter, F. (2010). Mao’s great famine: The
history of China's most devastating catastrophe, 1958–1962. Bloomsbury.
Dikötter, F. (2016). The cultural revolution: A
people’s history, 1962–1976. Bloomsbury.
Doyle, W. (2002). The Oxford history of the
French Revolution (2nd ed.). Oxford University Press.
Feith, H. (1962). The decline of constitutional
democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Figes, O. (1996). A people’s tragedy: The
Russian Revolution 1891–1924. Viking.
Fitzpatrick, S. (2008). The Russian revolution
(3rd ed.). Oxford University Press.
Hobsbawm, E. J. (1996). The age of revolution:
Europe 1789–1848. Vintage.
Hobsbawm, E. J. (1973). Revolutionaries.
Pantheon Books.
Hunt, L. (Ed.). (1996). The French Revolution
and human rights: A brief documentary history. Bedford/St. Martin’s.
Israel, J. (2001). Radical enlightenment:
Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford University Press.
Jefferson, T. (1975). The Declaration of
Independence. In M. D. Peterson (Ed.), The portable Thomas Jefferson
(pp. 23–25). Penguin Books.
Legge, J. D. (1964). Indonesia. Prentice
Hall.
Lenin, V. I. (1929). What is to be done?
International Publishers.
Lenin, V. I. (1932). The state and revolution.
International Publishers.
Lovell, J. (2019). Maoism: A global history.
Knopf.
MacFarquhar, R. (1974). The origins of the
Cultural Revolution (Vol. 1). Columbia University Press.
Marx, K., & Engels, F. (1998). The Communist
manifesto. Verso.
Marx, K. (1970). A contribution to the critique
of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers.
Meisner, M. (1999). Mao’s China and after: A
history of the People’s Republic (3rd ed.). Free Press.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1748)
Moyn, S. (2018). Not enough: Human rights in an
unequal world. Harvard University Press.
Notosusanto, N. (Ed.). (1992). Naskah persiapan
Undang-Undang Dasar 1945 (Vol. 1). Sekretariat Negara RI.
Palmer, R. R. (1959). The age of the democratic
revolution: A political history of Europe and America, 1760–1800 (Vol. 1).
Princeton University Press.
Palmer, R. R. (1964). The age of the democratic
revolution (Vol. 2). Princeton University Press.
Perry, E. J., & Li, X. (1997). Proletarian
power: Shanghai in the Cultural Revolution. Westview Press.
Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A.
Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Pipes, R. (1990). The Russian revolution.
Knopf.
Reid, A. (1974). The Indonesian national
revolution 1945–1950. Longman.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Scott, J. W. (1996). Only paradoxes to offer:
French feminists and the rights of man. Harvard University Press.
Service, R. (2005). Stalin: A biography.
Harvard University Press.
Service, R. (2007). Comrades! A history of world
communism. Harvard University Press.
Shiraishi, T. (1997). Zaman bergerak:
Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926 (A. Suaedy, Trans.). LP3ES.
Skocpol, T. (1979). States and social
revolutions: A comparative analysis of France, Russia and China. Cambridge
University Press.
Soekarno. (1961). Indonesia menggugat.
Departemen Penerangan RI.
Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi
(Vol. 1). Panitia Penerbit DBR.
Spence, J. D. (2013). The search for modern
China (3rd ed.). W. W. Norton & Company.
Tan Malaka. (2011). Madilog: Materialisme,
dialektika, logika. Narasi.
Voltaire. (1961). Philosophical letters (E.
Dilworth, Trans.). Bobbs-Merrill.
Walder, A. G. (2015). China under Mao: A
revolution derailed. Harvard University Press.
Wood, G. S. (1993). The radicalism of the
American Revolution. Vintage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar