Jumat, 03 Januari 2025

Kebebasan Berkehendak (Free Will)

Kebebasan Berkehendak

Perspektif Filosofis, Teologis, dan Ilmiah


Alihkan ke: Qadariyah, Jabariyah.

LebertarianismeDeterminisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep kebebasan berkehendak (free will) dari tiga perspektif utama: filosofis, teologis, dan ilmiah. Kebebasan berkehendak adalah gagasan fundamental yang memengaruhi tanggung jawab moral, etika, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Perspektif filosofis mencakup perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan kompatibilisme, dengan tokoh seperti Immanuel Kant, David Hume, dan Jean-Paul Sartre menawarkan pandangan yang beragam tentang bagaimana kebebasan manusia dapat dipahami. Perspektif teologis menyoroti bagaimana agama-agama besar, termasuk Islam, Kristen, dan Hindu, memandang hubungan antara kehendak manusia dan kehendak ilahi. Dalam Islam, misalnya, perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah mencerminkan kompleksitas isu ini, sementara Kristen menghadirkan perdebatan tentang predestinasi.

Kemajuan dalam neurosains dan ilmu pengetahuan modern menambahkan dimensi baru, dengan penelitian seperti eksperimen Benjamin Libet yang memunculkan pertanyaan apakah kehendak bebas hanyalah ilusi. Namun, kritik terhadap pendekatan deterministik menunjukkan bahwa kesadaran manusia mungkin masih memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan. Artikel ini juga mengeksplorasi tantangan konseptual dan kritik terhadap kebebasan berkehendak, termasuk dari perspektif logis dan teologis, serta relevansinya dalam sistem hukum dan etika.

Kesimpulan artikel menegaskan bahwa meskipun kebebasan berkehendak menghadapi berbagai tantangan konseptual dan ilmiah, gagasan ini tetap menjadi kerangka penting untuk memahami tanggung jawab moral dan eksistensi manusia. Pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kebebasan berkehendak.


Kata Kunci: Kebebasan berkehendak, free will, determinisme, libertarianisme, kompatibilisme, filsafat, teologi, neurosains, etika, tanggung jawab moral, Qadariyah, Jabariyah, predestinasi, ilmu pengetahuan, multidisipliner.


1.           Pendahuluan

Kebebasan berkehendak (free will) adalah salah satu topik yang telah menjadi pusat perhatian pemikiran manusia sepanjang sejarah. Sebagai konsep yang mengacu pada kemampuan individu untuk membuat pilihan secara bebas, tanpa paksaan atau determinasi mutlak, kebebasan berkehendak menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari filsafat, teologi, hingga ilmu pengetahuan modern. Diskusi tentang kebebasan berkehendak tidak hanya berurusan dengan hakikat kehendak manusia, tetapi juga dengan tanggung jawab moral, makna hidup, dan hubungan manusia dengan alam semesta.

Dalam filsafat, kebebasan berkehendak telah menjadi subjek perdebatan antara determinisme —pandangan bahwa setiap kejadian, termasuk tindakan manusia, ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya— dan libertarianisme, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang tidak terikat oleh determinasi kausal.1 Jean-Paul Sartre, misalnya, menyatakan bahwa kebebasan adalah inti eksistensi manusia, di mana manusia "dikutuk untuk bebas" karena harus membuat pilihan dalam hidupnya.2 Sebaliknya, determinisme, seperti yang dipertahankan oleh filsuf seperti Baruch Spinoza, menyatakan bahwa kebebasan hanyalah ilusi yang timbul dari ketidaktahuan manusia akan penyebab-penyebab tindakan mereka.3

Dalam teologi, konsep kebebasan berkehendak juga memiliki peran yang signifikan. Dalam Islam, perdebatan antara Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia, dan Jabariyah, yang menganggap manusia sepenuhnya tunduk pada takdir Tuhan, menggambarkan kompleksitas hubungan antara kehendak bebas dan ketuhanan.4 Dalam agama Kristen, isu serupa muncul dalam perdebatan tentang predestinasi, terutama dalam ajaran-ajaran Santo Agustinus dan Yohanes Kalvin, yang berusaha menjelaskan bagaimana kebebasan manusia dapat beriringan dengan kedaulatan Tuhan.5

Di era modern, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, khususnya di bidang neurosains, menambah dimensi baru dalam diskusi kebebasan berkehendak. Eksperimen Benjamin Libet, misalnya, menunjukkan bahwa otak manusia dapat memulai tindakan sebelum seseorang secara sadar membuat keputusan, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah kehendak bebas hanya ilusi?6 Meskipun temuan ini kontroversial, mereka menantang asumsi klasik tentang kebebasan berkehendak dan membuka ruang untuk pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan.

Dengan mendalami kebebasan berkehendak dari perspektif yang berbeda, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang topik ini, menjelaskan implikasinya terhadap etika, moralitas, dan tanggung jawab manusia. Selain itu, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam bagi pembaca untuk merenungkan makna kebebasan dalam kehidupan mereka sendiri.


Catatan Kaki

[1]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 12-15.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 439.

[3]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 33.

[4]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.

[5]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2011), 316-319.

[6]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.


2.           Pengertian Kebebasan Berkehendak

Kebebasan berkehendak (free will) adalah konsep yang menjelaskan kemampuan individu untuk memilih atau mengambil keputusan secara otonom tanpa adanya paksaan atau determinasi mutlak. Konsep ini telah menjadi subjek perdebatan dalam filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan. Dalam memahami kebebasan berkehendak, para pemikir telah menawarkan berbagai definisi yang mencerminkan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing.

2.1.       Perspektif Filosofis

Dalam filsafat, kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan kapasitas manusia untuk bertindak secara independen dari sebab-sebab eksternal. David Hume mendefinisikan kebebasan berkehendak sebagai “kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kehendak seseorang tanpa adanya hambatan eksternal.”1 Menurut Hume, kebebasan semacam ini tetap dapat konsisten dengan determinisme, karena kehendak manusia sendiri dianggap sebagai hasil dari rangkaian sebab-akibat.

Sebaliknya, Immanuel Kant berpendapat bahwa kebebasan berkehendak adalah prasyarat moralitas, di mana individu memiliki kebebasan untuk memilih sesuai dengan hukum moral yang diakui oleh akal praktis.2 Kant menegaskan bahwa meskipun dunia fisik tunduk pada determinasi kausal, kebebasan manusia berasal dari dunia noumenal, yaitu dimensi yang melampaui pengalaman empiris.3

2.2.       Perspektif Teologis

Dalam teologi, kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan tanggung jawab moral manusia di hadapan Tuhan. Islam, misalnya, memiliki konsep kehendak bebas yang diimbangi oleh kepercayaan pada takdir (qadar). Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia diberi kemampuan untuk memilih, sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)." (QS Al-Balad [90] ayat 10).4 Namun, kebebasan ini tetap berada dalam lingkup kehendak Allah yang Maha Kuasa, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Insan [76] ayat 30: "Dan kamu tidak dapat berkehendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah."_5

Dalam agama Kristen, perdebatan tentang kebebasan berkehendak sering berkisar pada isu predestinasi. Santo Agustinus berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kehendak tersebut telah dirusak oleh dosa asal sehingga memerlukan anugerah Tuhan untuk dapat bertindak secara moral.6 Yohanes Kalvin, di sisi lain, menekankan doktrin predestinasi, di mana pilihan manusia sepenuhnya berada di bawah kendali kehendak Tuhan.7

2.3.       Perspektif Ilmiah

Ilmu pengetahuan modern menawarkan pendekatan empiris dalam memahami kebebasan berkehendak. Neurosains, misalnya, telah menantang konsep tradisional tentang kehendak bebas dengan menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dimulai oleh aktivitas otak yang tidak disadari. Penelitian Benjamin Libet menemukan bahwa aktivitas otak yang disebut "potensi kesiapan" (readiness potential) terjadi sebelum individu secara sadar membuat keputusan, yang mengimplikasikan bahwa kehendak bebas mungkin hanya ilusi.8 Namun, para kritikus berpendapat bahwa hasil eksperimen ini tidak sepenuhnya menyangkal kebebasan berkehendak, karena kesadaran manusia mungkin masih memainkan peran dalam memverifikasi atau membatalkan keputusan tersebut.9


Catatan Kaki

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.

[3]                Ibid., 56.

[4]                Al-Qur'an, QS Al-Balad [90] ayat 10.

[5]                Al-Qur'an, QS Al-Insan [76] ayat 30.

[6]                Saint Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIII, Chapter 14.

[7]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2011), 324.

[8]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.

[9]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (Oxford: Oxford University Press, 2014), 45-48.


3.           Perspektif Filosofis tentang Kebebasan Berkehendak

Perspektif filosofis tentang kebebasan berkehendak membahas bagaimana manusia dapat bertindak dengan kehendak bebas dalam dunia yang mungkin ditentukan oleh hukum-hukum kausal. Dalam sejarah pemikiran filsafat, perdebatan utama seputar kebebasan berkehendak berkisar pada hubungan antara kehendak bebas dan determinisme. Perspektif ini menghasilkan beberapa posisi utama: libertarianisme, determinisme keras, dan kompatibilisme.

3.1.       Libertarianisme: Kebebasan sebagai Kenyataan

Libertarianisme dalam filsafat menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sejati, dan kebebasan ini tidak dapat direduksi menjadi sekadar akibat dari sebab-sebab sebelumnya. Salah satu pendukung utama libertarianisme adalah Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak adalah prasyarat untuk tanggung jawab moral.1 Kant berpendapat bahwa meskipun dunia fisik berada dalam hukum deterministik, kehendak manusia berasal dari dunia noumenal (realitas di luar pengalaman indera) yang memungkinkan kebebasan sejati.2

Tokoh modern seperti Robert Kane memperluas libertarianisme dengan menghubungkannya pada konsep "tindakan diri" (self-forming actions), di mana individu membentuk karakter dan kehendak mereka sendiri melalui tindakan yang benar-benar bebas.3 Pendekatan ini menekankan bahwa kehendak bebas bukan hanya tentang kebebasan dari determinasi, tetapi juga tentang kemampuan untuk menentukan masa depan.

3.2.       Determinisme Keras: Kebebasan sebagai Ilusi

Di sisi lain, determinisme keras menyatakan bahwa kebebasan berkehendak hanyalah ilusi karena setiap tindakan manusia telah ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya. Baruch Spinoza, salah satu pendukung determinisme, menyatakan bahwa manusia merasa bebas hanya karena mereka tidak menyadari penyebab yang mendasari tindakan mereka.4 Dalam Ethics, Spinoza menulis, “Manusia mungkin berpikir bahwa mereka bebas, tetapi itu hanya karena mereka tidak memahami penyebab sejati dari kehendak mereka.5

Filsuf modern seperti Ted Honderich mendukung determinisme keras dengan menghubungkannya pada temuan dalam ilmu pengetahuan, seperti neurosains dan fisika, yang menunjukkan bahwa semua peristiwa, termasuk keputusan manusia, tunduk pada hukum sebab-akibat.6 Pendekatan ini menantang gagasan tanggung jawab moral karena menafikan kebebasan dalam arti tradisional.


3.3.       Kompatibilisme: Harmoni antara Kebebasan dan Determinisme

Kompatibilisme menawarkan solusi tengah dengan menyatakan bahwa kebebasan berkehendak dapat eksis dalam dunia yang deterministik. David Hume adalah salah satu pelopor kompatibilisme, yang mendefinisikan kebebasan sebagai “kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kehendak seseorang tanpa paksaan eksternal.”_7 Dalam pandangan ini, tindakan manusia tetap ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, tetapi mereka dianggap bebas jika berasal dari keinginan atau kehendak individu itu sendiri.

Harry Frankfurt, seorang filsuf kontemporer, memperkenalkan konsep kehendak tingkat kedua (second-order volitions) untuk memperkuat kompatibilisme.8 Ia berpendapat bahwa manusia bebas jika mereka dapat mengontrol keinginan mereka sendiri, terutama keinginan yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, kebebasan bukan hanya tentang tindakan, tetapi juga tentang otonomi dalam menentukan kehendak.

3.4.       Fatalisme: Pandangan Alternatif

Selain tiga pandangan utama, fatalisme menawarkan perspektif unik yang menyatakan bahwa semua peristiwa sudah ditentukan tanpa memperhatikan kehendak manusia. Fatalisme sering kali dikaitkan dengan kepercayaan bahwa masa depan tidak dapat diubah, terlepas dari upaya manusia. Namun, fatalisme berbeda dari determinisme karena tidak selalu bergantung pada hubungan kausal, melainkan pada takdir atau nasib yang tidak dapat dielakkan.9


Perspektif filosofis tentang kebebasan berkehendak menunjukkan bahwa konsep ini memiliki banyak dimensi yang kompleks. Perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan kompatibilisme terus berlangsung, mencerminkan keragaman pandangan tentang bagaimana manusia memahami peran kehendak dalam tindakan mereka.


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.

[2]                Ibid., 56.

[3]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1998), 36-39.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 33.

[5]                Ibid., Part II, Proposition 35.

[6]                Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind, Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press, 1990), 21-23.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.

[8]                Harry Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5-20.

[9]                Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1992), 48-50.


4.           Perspektif Teologis

Perspektif teologis tentang kebebasan berkehendak menyoroti hubungan antara kehendak manusia dan kehendak Ilahi. Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan tanggung jawab moral manusia, yang beriringan dengan pemahaman tentang takdir atau kehendak Tuhan. Diskusi ini menimbulkan perdebatan teologis yang mendalam, khususnya dalam Islam, Kristen, dan agama-agama Timur seperti Hindu dan Buddha.

4.1.       Kebebasan Berkehendak dalam Islam

Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, namun kehendak ini tetap berada dalam lingkup kehendak Allah yang mutlak. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)." (QS Al-Balad [90] ayat 10).1 Namun, kebebasan ini diiringi oleh pengakuan atas kekuasaan Allah yang Maha Kuasa, sebagaimana dalam QS Al-Insan [76] ayat 30: "Dan kamu tidak dapat berkehendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah."_2

Dalam sejarah teologi Islam, perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah mencerminkan dua pandangan ekstrem tentang kebebasan berkehendak. Qadariyah menekankan kebebasan penuh manusia dalam menentukan perbuatannya, dengan alasan bahwa tanggung jawab moral hanya dapat ada jika manusia memiliki kendali atas tindakannya.3 Sebaliknya, Jabariyah berpendapat bahwa manusia sepenuhnya tunduk pada kehendak Allah dan tidak memiliki kehendak independen.4 Posisi moderat diwakili oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kehendak tersebut berada dalam kehendak Allah yang lebih besar.5

4.2.       Kebebasan Berkehendak dalam Kristen

Dalam teologi Kristen, perdebatan tentang kebebasan berkehendak sering berkisar pada isu predestinasi. Santo Agustinus menekankan bahwa kehendak manusia telah dirusak oleh dosa asal, sehingga manusia memerlukan anugerah Tuhan untuk dapat bertindak secara moral.6 Menurut Agustinus, kebebasan sejati adalah kemampuan untuk memilih kebaikan yang hanya dapat dicapai melalui rahmat ilahi.

Sebaliknya, Yohanes Kalvin memperkenalkan doktrin predestinasi, yang menyatakan bahwa Allah telah menentukan nasib setiap individu sejak awal waktu, baik untuk keselamatan maupun kebinasaan.7 Dalam pandangan ini, kehendak manusia sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan, sehingga kebebasan berkehendak manusia terbatas pada ruang lingkup yang ditetapkan oleh kehendak Ilahi.

4.3.       Kebebasan Berkehendak dalam Hindu dan Buddha

Dalam tradisi Hindu, kebebasan berkehendak berkaitan erat dengan hukum karma, yang menyatakan bahwa tindakan manusia menentukan konsekuensi di masa depan, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.8 Kebebasan berkehendak diakui, tetapi tetap berada dalam kerangka hukum universal yang tidak dapat dihindari.

Buddhisme juga menekankan pentingnya kebebasan dalam tindakan manusia, terutama dalam konteks pengembangan kesadaran dan moralitas. Namun, kebebasan ini dipahami dalam kerangka anatman (ketiadaan diri), yang menolak gagasan tentang "diri" yang independen sebagai pengambil keputusan.9 Kebebasan manusia terletak pada kemampuan untuk mengatasi keterikatan dan mencapai pencerahan.

4.4.       Implikasi Teologis

Perspektif teologis tentang kebebasan berkehendak memiliki implikasi mendalam terhadap tanggung jawab moral, keadilan Tuhan, dan makna kehidupan. Apakah manusia benar-benar bebas, ataukah tindakan mereka telah ditentukan sebelumnya, adalah pertanyaan yang terus diperdebatkan di berbagai tradisi agama. Meskipun ada perbedaan pandangan, kebanyakan tradisi sepakat bahwa kebebasan berkehendak memiliki peran penting dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan pencapaian tujuan hidup.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Al-Balad [90] ayat 10.

[2]                Al-Qur'an, QS Al-Insan [76] ayat 30.

[3]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47.

[5]                Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker (Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.

[6]                Saint Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIII, Chapter 14.

[7]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2011), 324.

[8]                Gavin Flood, An Introduction to Hinduism (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 79-82.

[9]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 53-55.


5.           Perspektif Ilmiah tentang Kebebasan Berkehendak

Kebebasan berkehendak telah menjadi subjek penelitian dalam ilmu pengetahuan modern, terutama dalam bidang neurosains, psikologi, dan fisika. Pendekatan ilmiah terhadap kebebasan berkehendak berusaha menjawab pertanyaan mendasar: apakah keputusan manusia benar-benar hasil dari kehendak bebas atau sekadar konsekuensi dari proses biologis, neurologis, dan fisik? Perspektif ini membuka ruang perdebatan antara gagasan tradisional tentang kehendak bebas dan temuan empiris yang mendukung determinisme biologis.

5.1.       Neurosains dan Kebebasan Berkehendak

Salah satu penelitian paling terkenal yang menantang gagasan tradisional tentang kehendak bebas dilakukan oleh Benjamin Libet pada tahun 1980-an. Dalam eksperimennya, Libet menemukan bahwa otak manusia menunjukkan aktivitas yang disebut "readiness potential" (potensi kesiapan) sebelum individu secara sadar membuat keputusan untuk bertindak.1 Temuan ini menimbulkan pertanyaan: jika keputusan dimulai di otak sebelum kita menyadarinya, apakah kehendak bebas hanya ilusi?_2

Namun, pandangan deterministik yang didukung oleh eksperimen Libet tidak sepenuhnya diterima. Beberapa ahli, seperti Alfred Mele, berpendapat bahwa kesadaran manusia mungkin tetap memiliki peran dalam memverifikasi atau membatalkan keputusan yang diinisiasi secara tidak sadar.3 Ini menunjukkan bahwa meskipun keputusan mungkin dipengaruhi oleh proses bawah sadar, kehendak bebas tetap memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan akhir.

5.2.       Psikologi dan Keputusan Manusia

Dalam psikologi, penelitian tentang pengambilan keputusan manusia menunjukkan bahwa banyak pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disadari, seperti bias kognitif dan lingkungan sosial. Daniel Kahneman, dalam teorinya tentang dua sistem berpikir, menyatakan bahwa sebagian besar keputusan manusia dilakukan secara intuitif dan cepat (Sistem 1), sementara keputusan yang lebih rasional dan disengaja (Sistem 2) jarang digunakan.4 Meski demikian, Kahneman tidak sepenuhnya menolak gagasan kehendak bebas, tetapi menunjukkan bahwa kebebasan itu sering kali dibatasi oleh faktor psikologis.

5.3.       Fisikalisme dan Kebebasan Berkehendak

Fisikalisme, pandangan bahwa semua fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisik, juga menantang gagasan kehendak bebas. Dalam konteks fisika, konsep "lapisan kausal" menunjukkan bahwa semua peristiwa, termasuk keputusan manusia, dapat dilacak ke proses kausal dalam otak dan lingkungan.5 Sebagai contoh, teori mekanika kuantum menambahkan kompleksitas baru dengan menyatakan bahwa ketidakpastian pada tingkat partikel subatom mungkin memberikan ruang bagi indeterminisme, tetapi ini tidak secara langsung mendukung kehendak bebas.6

5.4.       Kebebasan Berkehendak dan Kecerdasan Buatan

Kebebasan berkehendak juga menjadi perhatian dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). Pertanyaan tentang apakah sistem AI dapat memiliki kehendak bebas atau apakah mereka hanya mengikuti algoritma yang ditentukan telah menjadi topik perdebatan filosofis dan ilmiah.7 Para peneliti berpendapat bahwa jika manusia dianggap sebagai "mesin biologis," maka prinsip yang sama dapat diterapkan pada AI. Namun, perbedaan antara kesadaran manusia dan simulasi kecerdasan tetap menjadi tantangan besar dalam diskusi ini.8

5.5.       Kritik terhadap Perspektif Ilmiah

Meskipun ilmu pengetahuan menawarkan wawasan yang mendalam tentang proses pengambilan keputusan, kritik utama terhadap perspektif ilmiah adalah kecenderungannya untuk mengabaikan dimensi subjektif pengalaman manusia. Kehendak bebas tidak hanya menyangkut mekanisme biologis atau kausal, tetapi juga persepsi manusia tentang tanggung jawab dan makna. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah harus dilengkapi dengan perspektif filosofis dan teologis untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang kebebasan berkehendak.9


Catatan Kaki

[1]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.

[2]                Patrick Haggard, “Human Volition: Towards a Neuroscience of Will,” Nature Reviews Neuroscience 9 (2008): 934-946.

[3]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (Oxford: Oxford University Press, 2014), 67-70.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20-24.

[5]                Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton: Princeton University Press, 2005), 92-95.

[6]                Stephen Hawking, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 73-75.

[7]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 152-155.

[8]                Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence (New York: Knopf, 2017), 115-118.

[9]                John Searle, Mind: A Brief Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 153-155.


6.           Kebebasan Berkehendak dan Etika

Kebebasan berkehendak memainkan peran sentral dalam etika karena hubungan yang erat antara kehendak bebas, tanggung jawab moral, dan pengambilan keputusan. Jika manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, apakah mereka dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka? Pertanyaan ini berada di jantung banyak perdebatan etika, yang melibatkan perspektif filosofis, teologis, dan bahkan ilmiah.

6.1.       Kebebasan Berkehendak sebagai Dasar Tanggung Jawab Moral

Pandangan tradisional dalam etika menyatakan bahwa tanggung jawab moral bergantung pada kebebasan berkehendak. Immanuel Kant, misalnya, menegaskan bahwa kehendak bebas adalah prasyarat untuk moralitas. Menurut Kant, seseorang hanya dapat bertindak secara etis jika ia memiliki kebebasan untuk memilih mengikuti hukum moral yang ditentukan oleh akalnya.1 Tanpa kebebasan ini, tindakan moral hanya menjadi akibat dari determinasi luar, bukan pilihan sadar.

John Stuart Mill juga menekankan pentingnya kebebasan dalam konteks utilitarianisme. Ia berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengejar kebahagiaan selama mereka tidak melanggar kebahagiaan orang lain.2 Dengan demikian, kebebasan berkehendak menjadi fondasi dalam mengevaluasi tindakan berdasarkan konsekuensinya.

6.2.       Tantangan Determinisme terhadap Tanggung Jawab Moral

Determinisme, baik dari perspektif filosofis maupun ilmiah, menimbulkan tantangan terhadap konsep tanggung jawab moral. Jika semua tindakan manusia ditentukan oleh faktor-faktor luar seperti genetik, lingkungan, atau proses neurologis, apakah seseorang dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakannya?

Filsuf seperti Ted Honderich menyatakan bahwa determinisme tidak sepenuhnya menghapus tanggung jawab moral, tetapi mengubah cara kita memahaminya.3 Dalam pandangan ini, tanggung jawab dapat diterapkan pada individu sejauh mereka adalah penyebab langsung dari tindakan tersebut, meskipun tindakan itu sendiri ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.

Namun, para kritikus berpendapat bahwa tanggung jawab moral memerlukan kebebasan sejati, yang tidak dapat direduksi menjadi determinasi kausal. Robert Kane, seorang pendukung libertarianisme, berargumen bahwa tindakan bebas melibatkan elemen kreatif, di mana individu memiliki peran aktif dalam membentuk kehendak mereka sendiri.4

6.3.       Perspektif Teologis tentang Kebebasan Berkehendak dan Etika

Dalam teologi, kebebasan berkehendak sering dihubungkan dengan doktrin tanggung jawab moral. Islam, misalnya, mengajarkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi di akhirat.5 Hal ini didukung oleh firman Allah: "Barang siapa mengerjakan kebajikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)." (QS Az-Zalzalah [99] ayat 7).6

Pandangan serupa terdapat dalam Kristen, di mana kehendak bebas dianggap penting untuk tanggung jawab moral di hadapan Tuhan. Santo Agustinus, misalnya, menyatakan bahwa kebebasan berkehendak adalah syarat untuk dosa dan kebajikan.7 Namun, ia juga menekankan bahwa manusia memerlukan rahmat ilahi untuk memilih kebaikan secara konsisten.

6.4.       Kebebasan Berkehendak dan Sistem Hukum

Implikasi etika dari kebebasan berkehendak juga terasa dalam sistem hukum. Prinsip dasar hukum pidana adalah bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika ia bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, konsep ini dipertanyakan dalam kasus-kasus di mana determinasi biologis atau lingkungan menjadi faktor utama dalam tindakan seseorang, seperti pada pelaku dengan gangguan kejiwaan.8

Dalam konteks ini, kompatibilisme menawarkan pendekatan praktis. Filsuf seperti Harry Frankfurt berpendapat bahwa tanggung jawab moral dapat dipertahankan jika tindakan seseorang berasal dari kehendak internal, meskipun kehendak itu sendiri mungkin ditentukan oleh faktor-faktor luar.9

6.5.       Relevansi Kebebasan Berkehendak dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam kehidupan sehari-hari, kebebasan berkehendak sering kali menjadi dasar dalam membuat keputusan yang etis. Baik dalam memilih pekerjaan, membina hubungan, maupun menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia secara sadar menggunakan kebebasan mereka untuk mengevaluasi pilihan berdasarkan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak tetap relevan sebagai kerangka dalam membangun kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab.


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.

[2]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Roberts & Green, 1859), 16-18.

[3]                Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind, Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press, 1990), 142-144.

[4]                Robert Kane, The Significance of Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1998), 55-57.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47.

[6]                Al-Qur'an, QS Az-Zalzalah [99] ayat 7.

[7]                Saint Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 24-25.

[8]                Stephen Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law, Science & Technology 9, no. 1 (2008): 1-35.

[9]                Harry Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5-20.


7.           Tantangan Konseptual dan Kritik

Konsep kebebasan berkehendak telah menjadi subjek perdebatan yang panjang dalam filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan. Berbagai tantangan konseptual dan kritik muncul dari perspektif determinisme, neurosains, serta masalah logis dan teologis. Bagian ini membahas tantangan-tantangan tersebut dan implikasinya terhadap pemahaman kita tentang kehendak bebas.

7.1.       Tantangan dari Determinisme

Salah satu tantangan terbesar terhadap kebebasan berkehendak datang dari determinisme, yang menyatakan bahwa setiap peristiwa, termasuk tindakan manusia, ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya. Jika determinisme benar, maka kebebasan untuk memilih secara mandiri menjadi mustahil.

Filsuf seperti Ted Honderich mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa determinisme kausal dalam ilmu pengetahuan modern, seperti dalam fisika Newtonian dan neurosains, menghilangkan ruang bagi kebebasan berkehendak.1 Honderich berpendapat bahwa gagasan kebebasan manusia hanya muncul karena kita tidak memiliki akses penuh terhadap sebab-sebab yang mendasari tindakan kita.2

Namun, kompatibilisme mencoba menjawab tantangan ini dengan menyatakan bahwa kehendak bebas dapat tetap eksis dalam dunia yang deterministik. David Hume, misalnya, mendefinisikan kebebasan sebagai kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginan seseorang tanpa paksaan eksternal, meskipun keinginan tersebut mungkin ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.3

7.2.       Kritik dari Neurosains

Neurosains modern telah memberikan tantangan baru terhadap kebebasan berkehendak. Eksperimen Benjamin Libet, yang menunjukkan bahwa aktivitas otak mendahului keputusan sadar, menimbulkan pertanyaan serius: apakah kehendak bebas hanya ilusi?4 Temuan ini diperkuat oleh studi lanjutan yang menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dapat diprediksi berdasarkan aktivitas otak yang tidak disadari.5

Namun, kritik terhadap penelitian ini berfokus pada interpretasi temuan. Alfred Mele berpendapat bahwa aktivitas otak awal yang diidentifikasi oleh Libet bukanlah penentu keputusan, melainkan indikasi dari proses persiapan yang dapat dibatalkan oleh kehendak sadar.6 Dengan demikian, kehendak bebas tetap relevan, meskipun berada dalam konteks yang lebih kompleks daripada yang sebelumnya dipahami.

7.3.       Masalah Logis dalam Kebebasan Berkehendak

Secara logis, kebebasan berkehendak menghadapi paradoks antara tanggung jawab moral dan ketidakpastian. Jika tindakan manusia sepenuhnya bebas, bagaimana tanggung jawab moral dipertahankan dalam sistem kausal yang koheren? Sebaliknya, jika tindakan manusia ditentukan oleh hukum kausal, apakah individu tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya?

Filsuf Peter van Inwagen mengajukan consequence argument, yang menyatakan bahwa jika determinisme benar, maka tindakan manusia hanyalah konsekuensi dari hukum alam dan kondisi awal, sehingga manusia tidak memiliki kendali atas tindakan mereka.7 Argumen ini memperkuat pandangan libertarianisme, tetapi menghadapi kritik dari kompatibilisme yang menegaskan bahwa tanggung jawab moral tidak memerlukan kebebasan mutlak.8

7.4.       Tantangan Teologis

Dalam teologi, kebebasan berkehendak menghadapi tantangan dari doktrin takdir dan kehendak ilahi. Bagaimana manusia dapat memiliki kebebasan jika semua tindakan telah diketahui dan ditentukan oleh Tuhan? Dalam Islam, pertanyaan ini muncul dalam perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah menekankan kebebasan manusia, sedangkan Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas perbuatannya.9

Pandangan moderat, seperti yang diusung oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam ruang lingkup kehendak Tuhan yang lebih besar.10 Pendekatan ini mengakomodasi tanggung jawab moral manusia tanpa mengorbankan doktrin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan.

7.5.       Kritik Filosofis terhadap Gagasan Kebebasan Berkehendak

Filsuf seperti Friedrich Nietzsche mengkritik kebebasan berkehendak sebagai konstruksi sosial yang digunakan untuk menegakkan moralitas tradisional dan otoritas. Nietzsche berpendapat bahwa konsep kehendak bebas sering kali digunakan untuk menghukum individu atas tindakan mereka, meskipun tindakan tersebut sebenarnya merupakan hasil dari pengaruh biologis, sosial, dan lingkungan.11

Jean-Paul Sartre, meskipun mendukung kebebasan sebagai inti eksistensi manusia, juga menyadari bahwa kebebasan dapat menjadi sumber kecemasan dan tanggung jawab yang berat. Sartre menyebut ini sebagai “beban kebebasan,” di mana manusia harus menghadapi konsekuensi penuh dari pilihan mereka.12

7.6.       Relevansi Tantangan Konseptual

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa kebebasan berkehendak adalah konsep yang kompleks dan tidak mudah dipahami secara mutlak. Meskipun ada banyak kritik, kebebasan berkehendak tetap menjadi gagasan yang penting untuk memahami tanggung jawab moral, pengambilan keputusan, dan makna kehidupan manusia.


Catatan Kaki

[1]                Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind, Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press, 1990), 25-27.

[2]                Ibid., 30-33.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.

[4]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.

[5]                Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543-545.

[6]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (Oxford: Oxford University Press, 2014), 55-57.

[7]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1983), 66-69.

[8]                Harry Frankfurt, “Alternate Possibilities and Moral Responsibility,” Journal of Philosophy 66, no. 23 (1969): 829-839.

[9]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.

[10]             Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker (Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.

[11]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 35-38.

[12]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 439-442.


8.           Kesimpulan

Kebebasan berkehendak adalah salah satu konsep paling mendasar dan kontroversial dalam pemikiran manusia. Sebagai gagasan yang menghubungkan filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan, kebebasan berkehendak memengaruhi cara manusia memahami tanggung jawab moral, pengambilan keputusan, dan hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di berbagai disiplin ilmu, kebebasan berkehendak tetap menjadi topik yang relevan untuk eksplorasi lebih lanjut.

8.1.       Kebebasan Berkehendak sebagai Dasar Moralitas

Kebebasan berkehendak telah lama diakui sebagai dasar tanggung jawab moral. Filsuf seperti Immanuel Kant menegaskan bahwa kehendak bebas adalah prasyarat untuk etika, karena hanya melalui kebebasan manusia dapat bertindak sesuai dengan prinsip moral.1 Dalam tradisi teologis, baik dalam Islam maupun Kristen, kebebasan berkehendak dianggap penting untuk mempertahankan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan.2

Namun, pandangan ini menghadapi tantangan dari determinisme, baik dalam bentuk kausalitas fisik maupun determinasi neurologis. Eksperimen Benjamin Libet dan penelitian lanjutan menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dimulai pada tingkat bawah sadar sebelum individu menyadarinya.3 Meskipun demikian, kritik terhadap penelitian ini, seperti yang dikemukakan oleh Alfred Mele, menunjukkan bahwa kesadaran tetap memainkan peran penting dalam verifikasi keputusan akhir.4

8.2.       Kompleksitas Filosofis dan Teologis

Dari perspektif filosofis, perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan kompatibilisme menunjukkan kompleksitas konsep kebebasan berkehendak. Libertarianisme menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan sejati untuk membuat pilihan, sementara determinisme menyatakan bahwa semua tindakan manusia adalah hasil dari sebab-sebab sebelumnya. Kompatibilisme mencoba menjembatani kedua pandangan ini dengan menyatakan bahwa kebebasan berkehendak dapat eksis dalam kerangka dunia yang deterministik.5

Dalam teologi, perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah dalam Islam, serta diskusi tentang predestinasi dalam Kristen, menunjukkan bahwa kebebasan berkehendak selalu menjadi isu penting dalam memahami hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan moderat, seperti yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, menawarkan pendekatan yang seimbang, dengan menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan yang berada dalam lingkup kehendak Tuhan.6

8.3.       Relevansi Ilmiah dan Etika

Di era modern, ilmu pengetahuan telah memberikan tantangan baru terhadap konsep kebebasan berkehendak, terutama melalui penelitian neurosains dan fisika. Namun, pendekatan ilmiah juga membuka ruang untuk pemahaman baru tentang kehendak manusia, dengan mempertimbangkan kompleksitas proses otak dan faktor lingkungan.7 Selain itu, dalam konteks etika, kebebasan berkehendak tetap menjadi fondasi dalam menentukan tanggung jawab moral dan sistem hukum.

8.4.       Perspektif Holistik

Kesimpulan ini menyoroti pentingnya pendekatan multidisipliner untuk memahami kebebasan berkehendak. Meskipun ada banyak tantangan konseptual dan kritik, kebebasan berkehendak tetap menjadi gagasan yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan mengintegrasikan perspektif filosofis, teologis, dan ilmiah, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih kaya dan mendalam tentang kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya.

Sebagai penutup, kebebasan berkehendak bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi juga refleksi dari pengalaman manusia yang mendalam. Diskusi ini tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, dari pengambilan keputusan hingga refleksi tentang makna hidup.


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.

[2]                Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138; Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2011), 324.

[3]                Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.

[4]                Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will (Oxford: Oxford University Press, 2014), 55-57.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95; Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1983), 66-69.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47; Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker (Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.

[7]                Stephen Hawking, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 73-75; Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5 (2008): 543-545.


Daftar Pustaka

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.

Flood, G. (1996). An Introduction to Hinduism. Cambridge: Cambridge University Press.

Frankfurt, H. (1971). Freedom of the will and the concept of a person. The Journal of Philosophy, 68(1), 5-20. https://doi.org/10.2307/2024717

Haggard, P. (2008). Human volition: Towards a neuroscience of will. Nature Reviews Neuroscience, 9(12), 934-946. https://doi.org/10.1038/nrn2497

Hawking, S. (2010). The Grand Design. New York: Bantam Books.

Honderich, T. (1990). A Theory of Determinism: The Mind, Neuroscience, and Life-Hopes. Oxford: Oxford University Press.

Hume, D. (1999). An Enquiry Concerning Human Understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Juwaini, A. (2000). Kitab al-Irshad (P. Walker, Trans.). Reading: Garnet Publishing.

Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Kane, R. (1998). The Significance of Free Will. Oxford: Oxford University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain Sciences, 8(4), 529-566. https://doi.org/10.1017/S0140525X00044903

Martin, R. C. (1982). Islamic Studies: A History of Religions Approach. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

McGrath, A. E. (2011). Christian Theology: An Introduction (5th ed.). Oxford: Blackwell.

Mele, A. R. (2014). Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will. Oxford: Oxford University Press.

Mill, J. S. (1859). On Liberty. London: Longman, Roberts & Green.

Morse, S. (2008). Determinism and the death of folk psychology: Two challenges to responsibility from neuroscience. Minnesota Journal of Law, Science & Technology, 9(1), 1-35.

Nietzsche, F. (1989). Beyond Good and Evil (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.

Rahula, W. (1974). What the Buddha Taught. New York: Grove Press.

Sartre, J.-P. (1992). Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Soon, C. S., Brass, M., Heinze, H. J., & Haynes, J.-D. (2008). Unconscious determinants of free decisions in the human brain. Nature Neuroscience, 11(5), 543-545. https://doi.org/10.1038/nn.2112

Searle, J. (2004). Mind: A Brief Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin Classics.

Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.). Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Tegmark, M. (2017). Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence. New York: Knopf.

Van Inwagen, P. (1983). An Essay on Free Will. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar