Kebebasan Berkehendak
Perspektif Filosofis, Teologis, dan Ilmiah
Alihkan ke: Qadariyah, Jabariyah.
Lebertarianisme, Determinisme, Indeterminisme, Kompatibilisme, Inkopatibilisme, Fatalisme, Eksperimen Libet.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep kebebasan berkehendak (free
will) dari tiga perspektif utama: filosofis, teologis,
dan ilmiah. Kebebasan berkehendak adalah gagasan fundamental yang memengaruhi
tanggung jawab moral, etika, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Perspektif filosofis mencakup perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan
kompatibilisme, dengan tokoh seperti Immanuel Kant, David Hume, dan Jean-Paul Sartre menawarkan pandangan yang beragam tentang bagaimana kebebasan manusia
dapat dipahami. Perspektif teologis
menyoroti bagaimana agama-agama besar, termasuk Islam, Kristen, dan Hindu,
memandang hubungan antara kehendak manusia dan kehendak ilahi. Dalam Islam,
misalnya, perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah mencerminkan kompleksitas isu ini, sementara Kristen menghadirkan
perdebatan tentang predestinasi.
Kemajuan dalam neurosains dan ilmu pengetahuan modern menambahkan dimensi baru, dengan penelitian seperti eksperimen Benjamin Libet yang memunculkan pertanyaan apakah kehendak bebas hanyalah
ilusi. Namun, kritik terhadap pendekatan deterministik menunjukkan bahwa
kesadaran manusia mungkin masih memainkan peran penting dalam pengambilan
keputusan. Artikel ini juga mengeksplorasi tantangan konseptual dan kritik
terhadap kebebasan berkehendak, termasuk dari perspektif logis
dan teologis,
serta relevansinya dalam sistem hukum dan etika.
Kesimpulan artikel menegaskan bahwa meskipun
kebebasan berkehendak menghadapi berbagai tantangan konseptual dan ilmiah,
gagasan ini tetap menjadi kerangka penting untuk memahami tanggung jawab moral
dan eksistensi manusia. Pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan filsafat, teologi,
dan ilmu pengetahuan diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
kebebasan berkehendak.
Kata Kunci: Kebebasan
berkehendak, free will, determinisme, libertarianisme, kompatibilisme, filsafat,
teologi,
neurosains, etika, tanggung jawab moral, Qadariyah,
Jabariyah,
predestinasi, ilmu
pengetahuan, multidisipliner.
1.
Pendahuluan
Kebebasan berkehendak (free will) adalah
salah satu topik yang telah menjadi pusat perhatian pemikiran manusia sepanjang
sejarah. Sebagai konsep yang mengacu pada kemampuan individu untuk membuat
pilihan secara bebas, tanpa paksaan atau determinasi mutlak, kebebasan
berkehendak menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari filsafat, teologi,
hingga ilmu pengetahuan modern. Diskusi tentang kebebasan berkehendak tidak hanya berurusan
dengan hakikat kehendak manusia, tetapi juga dengan tanggung jawab moral, makna
hidup, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Dalam filsafat, kebebasan berkehendak telah menjadi subjek perdebatan antara
determinisme —pandangan bahwa setiap kejadian, termasuk tindakan manusia,
ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya— dan libertarianisme, yang menegaskan
bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang tidak terikat oleh determinasi
kausal.1 Jean-Paul Sartre, misalnya, menyatakan bahwa kebebasan
adalah inti eksistensi manusia, di mana manusia "dikutuk untuk bebas"
karena harus membuat pilihan dalam hidupnya.2 Sebaliknya,
determinisme, seperti yang dipertahankan oleh filsuf seperti Baruch Spinoza,
menyatakan bahwa kebebasan hanyalah ilusi yang timbul dari ketidaktahuan
manusia akan penyebab-penyebab tindakan mereka.3
Dalam teologi,
konsep kebebasan berkehendak juga memiliki peran yang signifikan. Dalam Islam,
perdebatan antara Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia, dan Jabariyah, yang menganggap manusia sepenuhnya tunduk pada takdir Tuhan,
menggambarkan kompleksitas hubungan antara kehendak bebas dan ketuhanan.4
Dalam agama Kristen, isu serupa muncul dalam perdebatan tentang predestinasi,
terutama dalam ajaran-ajaran Santo Agustinus dan Yohanes Kalvin, yang berusaha
menjelaskan bagaimana kebebasan manusia dapat beriringan dengan kedaulatan
Tuhan.5
Di era modern, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, khususnya di bidang neurosains, menambah dimensi baru dalam diskusi
kebebasan berkehendak. Eksperimen Benjamin Libet, misalnya, menunjukkan bahwa
otak manusia dapat memulai tindakan sebelum seseorang secara sadar membuat
keputusan, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah kehendak bebas hanya ilusi?6
Meskipun temuan ini kontroversial, mereka menantang asumsi klasik tentang
kebebasan berkehendak dan membuka ruang untuk pendekatan multidisipliner yang
mengintegrasikan filsafat, teologi,
dan ilmu pengetahuan.
Dengan mendalami kebebasan berkehendak dari
perspektif yang berbeda, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang topik ini, menjelaskan implikasinya terhadap etika,
moralitas, dan tanggung jawab manusia. Selain itu, pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam bagi pembaca untuk merenungkan
makna kebebasan dalam kehidupan mereka sendiri.
Catatan Kaki
[1]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free
Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 12-15.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An
Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (New York:
Washington Square Press, 1992), 439.
[3]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 33.
[4]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of
Religions Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.
[5]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An
Introduction (Oxford: Blackwell, 2011), 316-319.
[6]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative
and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain
Sciences 8, no. 4 (1985): 529-566.
2.
Pengertian
Kebebasan Berkehendak
Kebebasan
berkehendak (free will) adalah konsep yang menjelaskan kemampuan
individu untuk memilih atau mengambil keputusan secara otonom tanpa adanya
paksaan atau determinasi mutlak. Konsep ini telah menjadi subjek perdebatan dalam filsafat, teologi,
dan ilmu
pengetahuan. Dalam memahami kebebasan berkehendak, para pemikir telah
menawarkan berbagai definisi yang mencerminkan sudut pandang disiplin ilmu
masing-masing.
2.1. Perspektif Filosofis
Dalam filsafat,
kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan kapasitas manusia untuk bertindak
secara independen dari sebab-sebab eksternal. David Hume mendefinisikan
kebebasan berkehendak sebagai “kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kehendak seseorang tanpa adanya
hambatan eksternal.”1 Menurut Hume, kebebasan semacam ini tetap
dapat konsisten dengan determinisme, karena kehendak manusia sendiri dianggap
sebagai hasil dari rangkaian sebab-akibat.
Sebaliknya, Immanuel Kant berpendapat bahwa kebebasan berkehendak adalah prasyarat moralitas, di
mana individu memiliki kebebasan untuk memilih sesuai dengan hukum moral yang
diakui oleh akal praktis.2 Kant menegaskan bahwa meskipun dunia
fisik tunduk pada determinasi kausal, kebebasan manusia berasal dari dunia
noumenal, yaitu dimensi yang melampaui pengalaman empiris.3
2.2.
Perspektif Teologis
Dalam teologi,
kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan tanggung jawab moral manusia di
hadapan Tuhan. Islam, misalnya, memiliki konsep kehendak bebas yang diimbangi oleh kepercayaan pada takdir
(qadar). Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia diberi kemampuan untuk memilih,
sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan (kebaikan dan keburukan)." (QS Al-Balad [90] ayat 10).4
Namun, kebebasan ini tetap berada dalam lingkup kehendak Allah yang Maha Kuasa,
sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Insan [76] ayat 30: "Dan kamu tidak
dapat berkehendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah."_5
Dalam agama Kristen,
perdebatan tentang kebebasan berkehendak sering berkisar pada isu predestinasi.
Santo Agustinus berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas, tetapi
kehendak tersebut telah dirusak oleh dosa
asal sehingga memerlukan anugerah Tuhan untuk dapat bertindak secara moral.6
Yohanes Kalvin, di sisi lain, menekankan doktrin predestinasi, di mana pilihan
manusia sepenuhnya berada di bawah kendali kehendak Tuhan.7
2.3.
Perspektif Ilmiah
Ilmu
pengetahuan modern menawarkan pendekatan empiris dalam memahami kebebasan
berkehendak. Neurosains, misalnya, telah menantang konsep tradisional tentang
kehendak bebas dengan menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dimulai
oleh aktivitas otak yang tidak
disadari. Penelitian Benjamin Libet menemukan bahwa aktivitas otak yang disebut
"potensi kesiapan" (readiness potential) terjadi sebelum
individu secara sadar membuat keputusan, yang mengimplikasikan bahwa kehendak
bebas mungkin hanya ilusi.8 Namun, para kritikus berpendapat bahwa
hasil eksperimen ini tidak sepenuhnya menyangkal kebebasan berkehendak, karena
kesadaran manusia mungkin masih memainkan peran dalam memverifikasi atau
membatalkan keputusan tersebut.9
Catatan Kaki
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.
[3]
Ibid., 56.
[4]
Al-Qur'an, QS Al-Balad [90] ayat 10.
[5]
Al-Qur'an, QS Al-Insan [76] ayat 30.
[6]
Saint Augustine, The City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIII, Chapter 14.
[7]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 2011), 324.
[8]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529-566.
[9]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 45-48.
3.
Perspektif
Filosofis tentang Kebebasan Berkehendak
Perspektif filosofis
tentang kebebasan berkehendak membahas bagaimana manusia dapat bertindak dengan
kehendak bebas dalam dunia yang mungkin ditentukan oleh hukum-hukum kausal. Dalam sejarah pemikiran filsafat,
perdebatan utama seputar kebebasan berkehendak berkisar pada hubungan antara
kehendak bebas dan determinisme. Perspektif ini menghasilkan beberapa posisi
utama: libertarianisme, determinisme keras, dan kompatibilisme.
3.1.
Libertarianisme: Kebebasan sebagai Kenyataan
Libertarianisme
dalam filsafat
menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sejati, dan kebebasan ini tidak dapat direduksi menjadi sekadar
akibat dari sebab-sebab sebelumnya. Salah satu pendukung utama libertarianisme
adalah Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak adalah
prasyarat untuk tanggung jawab moral.1 Kant berpendapat bahwa
meskipun dunia fisik berada dalam hukum
deterministik, kehendak manusia berasal dari dunia noumenal (realitas di luar
pengalaman indera) yang memungkinkan kebebasan sejati.2
Tokoh modern seperti
Robert Kane memperluas libertarianisme dengan menghubungkannya pada konsep
"tindakan diri" (self-forming actions), di mana
individu membentuk karakter dan kehendak mereka sendiri melalui tindakan yang
benar-benar bebas.3 Pendekatan ini menekankan bahwa kehendak bebas
bukan hanya tentang kebebasan dari determinasi, tetapi juga tentang kemampuan
untuk menentukan masa depan.
3.2.
Determinisme Keras: Kebebasan sebagai Ilusi
Di sisi lain,
determinisme keras menyatakan bahwa kebebasan berkehendak hanyalah ilusi karena
setiap tindakan manusia telah ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya. Baruch
Spinoza, salah satu pendukung determinisme, menyatakan bahwa manusia merasa
bebas hanya karena mereka tidak menyadari penyebab yang mendasari tindakan
mereka.4 Dalam Ethics, Spinoza menulis, “Manusia
mungkin berpikir bahwa mereka bebas, tetapi itu hanya karena mereka tidak
memahami penyebab sejati dari kehendak mereka.”5
Filsuf modern
seperti Ted Honderich mendukung determinisme keras dengan menghubungkannya pada
temuan dalam ilmu
pengetahuan, seperti neurosains dan
fisika, yang menunjukkan bahwa semua peristiwa, termasuk keputusan manusia,
tunduk pada hukum sebab-akibat.6 Pendekatan ini menantang gagasan
tanggung jawab moral karena menafikan kebebasan dalam arti tradisional.
3.3.
Kompatibilisme: Harmoni antara Kebebasan dan
Determinisme
Kompatibilisme
menawarkan solusi tengah dengan menyatakan bahwa kebebasan berkehendak dapat
eksis dalam dunia yang deterministik. David Hume adalah salah satu pelopor
kompatibilisme, yang mendefinisikan kebebasan sebagai “kebebasan untuk
bertindak sesuai dengan kehendak seseorang tanpa paksaan eksternal.”_7
Dalam pandangan ini, tindakan
manusia tetap ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya, tetapi mereka dianggap
bebas jika berasal dari keinginan atau kehendak individu itu sendiri.
Harry Frankfurt,
seorang filsuf kontemporer, memperkenalkan konsep kehendak tingkat kedua (second-order
volitions) untuk memperkuat kompatibilisme.8 Ia
berpendapat bahwa manusia bebas jika mereka dapat mengontrol keinginan mereka
sendiri, terutama keinginan yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, kebebasan bukan hanya
tentang tindakan, tetapi juga tentang otonomi dalam menentukan kehendak.
3.4.
Fatalisme: Pandangan Alternatif
Selain tiga
pandangan utama, fatalisme menawarkan perspektif unik yang menyatakan bahwa
semua peristiwa sudah ditentukan tanpa memperhatikan kehendak manusia.
Fatalisme sering kali dikaitkan dengan kepercayaan
bahwa masa depan tidak dapat diubah, terlepas dari upaya manusia. Namun,
fatalisme berbeda dari determinisme karena tidak selalu bergantung pada
hubungan kausal, melainkan pada takdir atau nasib yang tidak dapat dielakkan.9
Perspektif filosofis
tentang kebebasan berkehendak menunjukkan bahwa konsep ini memiliki banyak
dimensi yang kompleks. Perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan
kompatibilisme terus berlangsung, mencerminkan keragaman pandangan tentang
bagaimana manusia memahami peran kehendak dalam tindakan mereka.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.
[2]
Ibid., 56.
[3]
Robert Kane, The Significance of Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 36-39.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 33.
[5]
Ibid., Part II, Proposition 35.
[6]
Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind,
Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press,
1990), 21-23.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.
[8]
Harry Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The
Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5-20.
[9]
Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs:
Prentice Hall, 1992), 48-50.
4.
Perspektif
Teologis
Perspektif teologis
tentang kebebasan berkehendak menyoroti hubungan antara kehendak manusia dan
kehendak Ilahi. Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kebebasan berkehendak sering dikaitkan dengan
tanggung jawab moral manusia, yang beriringan dengan pemahaman tentang takdir
atau kehendak Tuhan. Diskusi ini menimbulkan perdebatan teologis
yang mendalam, khususnya dalam Islam, Kristen, dan agama-agama Timur seperti
Hindu dan Buddha.
4.1.
Kebebasan Berkehendak dalam Islam
Islam mengajarkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan,
namun kehendak ini tetap berada dalam lingkup kehendak Allah yang mutlak.
Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan
hidupnya, sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan
(kebaikan dan keburukan)." (QS Al-Balad [90] ayat 10).1
Namun, kebebasan ini diiringi oleh pengakuan atas kekuasaan Allah yang Maha
Kuasa, sebagaimana dalam QS Al-Insan [76] ayat 30: "Dan kamu tidak
dapat berkehendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah."_2
Dalam sejarah teologi
Islam, perdebatan antara Qadariyah
dan Jabariyah
mencerminkan dua pandangan ekstrem tentang kebebasan berkehendak. Qadariyah
menekankan kebebasan penuh manusia dalam menentukan perbuatannya, dengan alasan
bahwa tanggung jawab moral hanya dapat ada jika manusia memiliki kendali atas
tindakannya.3 Sebaliknya, Jabariyah
berpendapat bahwa manusia sepenuhnya tunduk pada kehendak Allah dan tidak memiliki kehendak
independen.4 Posisi moderat diwakili oleh Ahlus
Sunnah wal Jamaah, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak
bebas, tetapi kehendak tersebut berada dalam kehendak Allah yang lebih besar.5
4.2.
Kebebasan Berkehendak dalam Kristen
Dalam teologi
Kristen, perdebatan tentang kebebasan berkehendak sering berkisar pada isu
predestinasi. Santo Agustinus menekankan bahwa kehendak manusia telah dirusak
oleh dosa asal, sehingga manusia memerlukan
anugerah Tuhan untuk dapat bertindak secara moral.6 Menurut
Agustinus, kebebasan sejati adalah kemampuan untuk memilih kebaikan yang hanya
dapat dicapai melalui rahmat ilahi.
Sebaliknya, Yohanes
Kalvin memperkenalkan doktrin predestinasi, yang menyatakan bahwa Allah telah
menentukan nasib setiap individu sejak awal waktu, baik untuk keselamatan
maupun kebinasaan.7 Dalam pandangan ini, kehendak manusia sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan,
sehingga kebebasan berkehendak manusia terbatas pada ruang lingkup yang
ditetapkan oleh kehendak Ilahi.
4.3.
Kebebasan Berkehendak dalam Hindu dan Buddha
Dalam tradisi Hindu,
kebebasan berkehendak berkaitan erat dengan hukum karma, yang menyatakan bahwa
tindakan manusia menentukan konsekuensi di masa depan, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.8
Kebebasan berkehendak diakui, tetapi tetap berada dalam kerangka hukum
universal yang tidak dapat dihindari.
Buddhisme juga
menekankan pentingnya kebebasan dalam tindakan manusia, terutama dalam konteks
pengembangan kesadaran dan moralitas. Namun, kebebasan ini dipahami dalam
kerangka anatman (ketiadaan diri), yang menolak gagasan tentang "diri"
yang independen sebagai pengambil keputusan.9 Kebebasan manusia
terletak pada kemampuan untuk mengatasi keterikatan dan mencapai pencerahan.
4.4.
Implikasi Teologis
Perspektif teologis
tentang kebebasan berkehendak memiliki implikasi mendalam terhadap tanggung jawab
moral, keadilan Tuhan, dan makna kehidupan. Apakah manusia benar-benar bebas,
ataukah tindakan mereka telah ditentukan sebelumnya, adalah pertanyaan yang
terus diperdebatkan di berbagai
tradisi agama. Meskipun ada perbedaan pandangan, kebanyakan tradisi sepakat
bahwa kebebasan berkehendak memiliki peran penting dalam hubungan manusia
dengan Tuhan dan pencapaian tujuan hidup.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS Al-Balad [90] ayat 10.
[2]
Al-Qur'an, QS Al-Insan [76] ayat 30.
[3]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions
Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.
[4]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47.
[5]
Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker
(Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.
[6]
Saint Augustine, The City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIII, Chapter 14.
[7]
Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 2011), 324.
[8]
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 79-82.
[9]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York:
Grove Press, 1974), 53-55.
5.
Perspektif
Ilmiah tentang Kebebasan Berkehendak
Kebebasan
berkehendak telah menjadi subjek penelitian dalam ilmu
pengetahuan modern, terutama dalam bidang neurosains, psikologi, dan
fisika. Pendekatan ilmiah terhadap kebebasan berkehendak berusaha menjawab
pertanyaan mendasar: apakah keputusan manusia benar-benar hasil dari kehendak
bebas atau sekadar konsekuensi dari proses biologis, neurologis, dan fisik?
Perspektif ini membuka ruang perdebatan antara gagasan tradisional tentang
kehendak bebas dan temuan empiris yang mendukung determinisme biologis.
5.1.
Neurosains dan Kebebasan Berkehendak
Salah satu
penelitian paling terkenal yang
menantang gagasan tradisional tentang kehendak bebas dilakukan oleh Benjamin
Libet pada tahun 1980-an. Dalam eksperimennya, Libet menemukan bahwa otak
manusia menunjukkan aktivitas yang disebut "readiness potential"
(potensi kesiapan) sebelum individu secara sadar membuat keputusan untuk
bertindak.1 Temuan ini menimbulkan pertanyaan: jika keputusan
dimulai di otak sebelum kita menyadarinya, apakah kehendak bebas hanya ilusi?_2
Namun, pandangan
deterministik yang didukung oleh eksperimen Libet tidak sepenuhnya diterima.
Beberapa ahli, seperti Alfred Mele, berpendapat bahwa kesadaran manusia mungkin
tetap memiliki peran dalam memverifikasi atau membatalkan keputusan yang diinisiasi secara tidak sadar.3
Ini menunjukkan bahwa meskipun keputusan mungkin dipengaruhi oleh proses bawah
sadar, kehendak bebas tetap memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan
akhir.
5.2.
Psikologi dan Keputusan Manusia
Dalam psikologi,
penelitian tentang pengambilan keputusan manusia menunjukkan bahwa banyak
pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disadari, seperti bias
kognitif dan lingkungan sosial. Daniel Kahneman, dalam teorinya tentang dua
sistem berpikir, menyatakan bahwa sebagian besar keputusan manusia dilakukan
secara intuitif dan cepat (Sistem 1), sementara
keputusan yang lebih rasional dan disengaja (Sistem 2) jarang digunakan.4
Meski demikian, Kahneman tidak sepenuhnya menolak gagasan kehendak bebas,
tetapi menunjukkan bahwa kebebasan itu sering kali dibatasi oleh faktor
psikologis.
5.3.
Fisikalisme dan Kebebasan Berkehendak
Fisikalisme,
pandangan bahwa semua fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisik, juga menantang
gagasan kehendak bebas. Dalam konteks fisika, konsep "lapisan kausal"
menunjukkan bahwa semua peristiwa, termasuk keputusan manusia, dapat dilacak ke
proses kausal dalam otak dan lingkungan.5 Sebagai contoh, teori mekanika kuantum menambahkan kompleksitas baru dengan menyatakan bahwa
ketidakpastian pada tingkat partikel subatom mungkin memberikan ruang bagi indeterminisme, tetapi ini tidak secara
langsung mendukung kehendak bebas.6
5.4.
Kebebasan Berkehendak dan Kecerdasan Buatan
Kebebasan
berkehendak juga menjadi perhatian dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI).
Pertanyaan tentang apakah sistem AI dapat memiliki kehendak bebas atau apakah
mereka hanya mengikuti algoritma yang ditentukan telah menjadi topik perdebatan filosofis
dan ilmiah.7 Para peneliti berpendapat bahwa jika manusia dianggap
sebagai "mesin biologis," maka prinsip yang sama dapat
diterapkan pada AI. Namun, perbedaan antara kesadaran manusia dan simulasi
kecerdasan tetap menjadi tantangan besar dalam diskusi ini.8
5.5.
Kritik terhadap Perspektif Ilmiah
Meskipun ilmu
pengetahuan menawarkan wawasan yang mendalam tentang proses pengambilan keputusan, kritik utama terhadap
perspektif ilmiah adalah kecenderungannya untuk mengabaikan dimensi subjektif
pengalaman manusia. Kehendak bebas tidak hanya menyangkut mekanisme biologis
atau kausal, tetapi juga persepsi manusia tentang tanggung jawab dan makna.
Oleh karena itu, pendekatan ilmiah harus dilengkapi dengan perspektif filosofis
dan teologis
untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang kebebasan berkehendak.9
Catatan Kaki
[1]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529-566.
[2]
Patrick Haggard, “Human Volition: Towards a Neuroscience of Will,” Nature
Reviews Neuroscience 9 (2008): 934-946.
[3]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 67-70.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York:
Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20-24.
[5]
Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough
(Princeton: Princeton University Press, 2005), 92-95.
[6]
Stephen Hawking, The Grand Design (New York: Bantam
Books, 2010), 73-75.
[7]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 152-155.
[8]
Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial
Intelligence (New York: Knopf, 2017), 115-118.
[9]
John Searle, Mind: A Brief Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 153-155.
6.
Kebebasan
Berkehendak dan Etika
Kebebasan
berkehendak memainkan peran sentral dalam etika karena hubungan yang erat
antara kehendak bebas, tanggung jawab moral, dan pengambilan keputusan. Jika
manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, apakah mereka dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan mereka? Pertanyaan ini berada di jantung
banyak perdebatan etika, yang melibatkan perspektif filosofis,
teologis,
dan bahkan ilmiah.
6.1.
Kebebasan Berkehendak sebagai Dasar Tanggung
Jawab Moral
Pandangan
tradisional dalam etika menyatakan bahwa tanggung jawab moral bergantung pada
kebebasan berkehendak. Immanuel Kant, misalnya, menegaskan bahwa kehendak bebas adalah prasyarat untuk moralitas.
Menurut Kant, seseorang hanya dapat bertindak secara etis jika ia memiliki
kebebasan untuk memilih mengikuti hukum moral yang ditentukan oleh akalnya.1 Tanpa kebebasan ini,
tindakan moral hanya menjadi akibat dari determinasi luar, bukan pilihan sadar.
John Stuart Mill
juga menekankan pentingnya kebebasan dalam konteks utilitarianisme. Ia
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengejar kebahagiaan selama
mereka tidak melanggar kebahagiaan orang lain.2 Dengan demikian,
kebebasan berkehendak menjadi fondasi dalam mengevaluasi tindakan berdasarkan
konsekuensinya.
6.2.
Tantangan Determinisme terhadap Tanggung Jawab
Moral
Determinisme, baik
dari perspektif filosofis
maupun ilmiah, menimbulkan tantangan terhadap konsep tanggung jawab moral. Jika
semua tindakan manusia
ditentukan oleh faktor-faktor luar seperti genetik, lingkungan, atau proses
neurologis, apakah seseorang dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakannya?
Filsuf seperti Ted
Honderich menyatakan bahwa determinisme tidak sepenuhnya menghapus tanggung
jawab moral, tetapi mengubah cara kita memahaminya.3 Dalam pandangan
ini, tanggung jawab dapat diterapkan
pada individu sejauh mereka adalah penyebab langsung dari tindakan tersebut,
meskipun tindakan itu sendiri ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.
Namun, para kritikus
berpendapat bahwa tanggung jawab moral memerlukan kebebasan sejati, yang tidak
dapat direduksi menjadi determinasi kausal. Robert Kane, seorang pendukung
libertarianisme, berargumen bahwa
tindakan bebas melibatkan elemen kreatif, di mana individu memiliki peran aktif
dalam membentuk kehendak mereka sendiri.4
6.3.
Perspektif Teologis tentang Kebebasan
Berkehendak dan Etika
Dalam teologi,
kebebasan berkehendak sering dihubungkan dengan doktrin tanggung jawab moral. Islam, misalnya, mengajarkan bahwa
manusia diberi kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, dan
setiap pilihan memiliki konsekuensi di akhirat.5 Hal ini didukung
oleh firman Allah: "Barang siapa mengerjakan kebajikan
seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)." (QS
Az-Zalzalah [99] ayat 7).6
Pandangan serupa terdapat
dalam Kristen, di mana kehendak bebas dianggap penting untuk tanggung jawab
moral di hadapan Tuhan. Santo Agustinus, misalnya, menyatakan bahwa kebebasan
berkehendak adalah syarat untuk dosa
dan kebajikan.7 Namun, ia juga menekankan bahwa manusia memerlukan
rahmat ilahi untuk memilih kebaikan secara konsisten.
6.4.
Kebebasan Berkehendak dan Sistem Hukum
Implikasi etika dari
kebebasan berkehendak juga terasa dalam sistem hukum. Prinsip dasar hukum
pidana adalah bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika ia bertanggung jawab
atas tindakannya. Namun, konsep ini dipertanyakan dalam kasus-kasus di mana
determinasi biologis atau lingkungan menjadi faktor utama dalam tindakan
seseorang, seperti pada pelaku dengan gangguan kejiwaan.8
Dalam konteks ini,
kompatibilisme menawarkan pendekatan praktis. Filsuf seperti Harry Frankfurt
berpendapat bahwa tanggung jawab moral dapat dipertahankan jika tindakan seseorang berasal dari kehendak
internal, meskipun kehendak itu sendiri mungkin ditentukan oleh faktor-faktor
luar.9
6.5.
Relevansi Kebebasan Berkehendak dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Dalam kehidupan
sehari-hari, kebebasan berkehendak sering kali menjadi dasar dalam membuat
keputusan yang etis. Baik dalam memilih
pekerjaan, membina hubungan, maupun menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia
secara sadar menggunakan kebebasan mereka untuk mengevaluasi pilihan
berdasarkan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak tetap
relevan sebagai kerangka dalam membangun kehidupan yang bermakna dan
bertanggung jawab.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.
[2]
John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman,
Roberts & Green, 1859), 16-18.
[3]
Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind,
Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press,
1990), 142-144.
[4]
Robert Kane, The Significance of Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 55-57.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47.
[6]
Al-Qur'an, QS Az-Zalzalah [99] ayat 7.
[7]
Saint Augustine, On Free Choice of the Will, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 24-25.
[8]
Stephen Morse, “Determinism and the Death of Folk Psychology: Two
Challenges to Responsibility from Neuroscience,” Minnesota Journal of Law, Science &
Technology 9, no. 1 (2008): 1-35.
[9]
Harry Frankfurt, “Freedom of the Will and the Concept of a Person,” The
Journal of Philosophy 68, no. 1 (1971): 5-20.
7.
Tantangan
Konseptual dan Kritik
Konsep kebebasan
berkehendak telah menjadi subjek perdebatan yang panjang dalam filsafat, teologi,
dan ilmu
pengetahuan. Berbagai tantangan konseptual dan kritik muncul dari perspektif
determinisme, neurosains, serta masalah
logis
dan teologis.
Bagian ini membahas tantangan-tantangan tersebut dan implikasinya terhadap
pemahaman kita tentang kehendak bebas.
7.1.
Tantangan dari Determinisme
Salah satu tantangan
terbesar terhadap kebebasan berkehendak datang dari determinisme, yang
menyatakan bahwa setiap peristiwa, termasuk tindakan manusia, ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya. Jika
determinisme benar, maka kebebasan untuk memilih secara mandiri menjadi
mustahil.
Filsuf seperti Ted Honderich
mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa determinisme kausal dalam ilmu
pengetahuan modern, seperti dalam fisika Newtonian dan neurosains, menghilangkan
ruang bagi kebebasan berkehendak.1 Honderich berpendapat bahwa
gagasan kebebasan manusia hanya muncul karena kita tidak memiliki akses penuh
terhadap sebab-sebab yang mendasari tindakan kita.2
Namun,
kompatibilisme mencoba menjawab tantangan ini dengan menyatakan bahwa kehendak
bebas dapat tetap eksis dalam dunia yang deterministik. David Hume, misalnya,
mendefinisikan kebebasan sebagai kemampuan untuk bertindak sesuai dengan
keinginan seseorang tanpa paksaan eksternal,
meskipun keinginan tersebut mungkin ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya.3
7.2.
Kritik dari Neurosains
Neurosains modern
telah memberikan tantangan baru terhadap kebebasan berkehendak. Eksperimen Benjamin Libet, yang menunjukkan
bahwa aktivitas otak mendahului keputusan sadar, menimbulkan pertanyaan serius:
apakah kehendak bebas hanya ilusi?4 Temuan ini diperkuat oleh studi
lanjutan yang menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dapat diprediksi
berdasarkan aktivitas otak yang tidak disadari.5
Namun, kritik
terhadap penelitian ini berfokus pada interpretasi temuan. Alfred Mele
berpendapat bahwa aktivitas otak awal yang diidentifikasi oleh Libet bukanlah
penentu keputusan, melainkan indikasi dari proses persiapan yang dapat
dibatalkan oleh kehendak sadar.6 Dengan demikian, kehendak bebas tetap relevan, meskipun berada dalam
konteks yang lebih kompleks daripada yang sebelumnya dipahami.
7.3.
Masalah Logis dalam Kebebasan Berkehendak
Secara logis,
kebebasan berkehendak menghadapi paradoks antara tanggung jawab moral dan ketidakpastian.
Jika tindakan manusia sepenuhnya bebas, bagaimana tanggung jawab moral
dipertahankan dalam sistem kausal yang koheren? Sebaliknya, jika tindakan
manusia ditentukan oleh hukum
kausal, apakah individu tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas
tindakannya?
Filsuf Peter van
Inwagen mengajukan consequence argument, yang
menyatakan bahwa jika determinisme benar, maka tindakan manusia hanyalah
konsekuensi dari hukum alam dan kondisi awal, sehingga manusia tidak memiliki
kendali atas tindakan mereka.7 Argumen ini memperkuat pandangan libertarianisme, tetapi menghadapi
kritik dari kompatibilisme yang menegaskan bahwa tanggung jawab moral tidak
memerlukan kebebasan mutlak.8
7.4.
Tantangan Teologis
Dalam teologi,
kebebasan berkehendak menghadapi tantangan dari doktrin takdir dan kehendak
ilahi. Bagaimana manusia dapat memiliki kebebasan jika semua tindakan telah
diketahui dan ditentukan oleh Tuhan? Dalam Islam, pertanyaan ini muncul dalam
perdebatan antara Qadariyah
dan Jabariyah.
Qadariyah
menekankan kebebasan manusia, sedangkan Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kendali atas perbuatannya.9
Pandangan moderat,
seperti yang diusung oleh Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam
ruang lingkup kehendak Tuhan
yang lebih besar.10 Pendekatan ini mengakomodasi tanggung jawab
moral manusia tanpa mengorbankan doktrin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan.
7.5.
Kritik Filosofis terhadap Gagasan Kebebasan
Berkehendak
Filsuf seperti
Friedrich Nietzsche mengkritik kebebasan berkehendak sebagai konstruksi sosial
yang digunakan untuk menegakkan moralitas tradisional dan otoritas. Nietzsche berpendapat bahwa konsep
kehendak bebas sering kali digunakan untuk menghukum individu atas tindakan
mereka, meskipun tindakan tersebut sebenarnya merupakan hasil dari pengaruh
biologis, sosial, dan lingkungan.11
Jean-Paul Sartre,
meskipun mendukung kebebasan sebagai inti eksistensi manusia, juga menyadari
bahwa kebebasan dapat menjadi sumber kecemasan dan tanggung jawab yang berat. Sartre menyebut ini sebagai “beban
kebebasan,” di mana manusia harus menghadapi konsekuensi penuh dari pilihan
mereka.12
7.6.
Relevansi Tantangan Konseptual
Tantangan-tantangan
ini menunjukkan bahwa kebebasan berkehendak adalah konsep yang kompleks dan
tidak mudah dipahami secara mutlak. Meskipun ada banyak kritik, kebebasan
berkehendak tetap menjadi gagasan yang penting untuk memahami tanggung jawab
moral, pengambilan keputusan, dan makna kehidupan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Ted Honderich, A Theory of Determinism: The Mind,
Neuroscience, and Life-Hopes (Oxford: Oxford University Press,
1990), 25-27.
[2]
Ibid., 30-33.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95.
[4]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529-566.
[5]
Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free Decisions in
the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5
(2008): 543-545.
[6]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 55-57.
[7]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford:
Oxford University Press, 1983), 66-69.
[8]
Harry Frankfurt, “Alternate Possibilities and Moral Responsibility,” Journal
of Philosophy 66, no. 23 (1969): 829-839.
[9]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions
Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138.
[10]
Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker
(Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.
[11]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 35-38.
[12]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (New York:
Washington Square Press, 1992), 439-442.
8.
Kesimpulan
Kebebasan
berkehendak adalah salah satu konsep paling mendasar dan kontroversial dalam
pemikiran manusia. Sebagai gagasan yang menghubungkan filsafat, teologi,
dan ilmu
pengetahuan, kebebasan berkehendak memengaruhi
cara manusia memahami tanggung jawab moral, pengambilan keputusan, dan hubungan
mereka dengan dunia di sekitar mereka. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di
berbagai disiplin ilmu, kebebasan berkehendak tetap menjadi topik yang relevan
untuk eksplorasi lebih lanjut.
8.1.
Kebebasan Berkehendak sebagai Dasar Moralitas
Kebebasan
berkehendak telah lama diakui sebagai dasar tanggung jawab moral. Filsuf
seperti Immanuel Kant menegaskan bahwa kehendak bebas adalah prasyarat untuk
etika, karena hanya melalui kebebasan manusia dapat bertindak sesuai dengan prinsip moral.1 Dalam
tradisi teologis,
baik dalam Islam maupun Kristen, kebebasan berkehendak dianggap penting untuk
mempertahankan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan.2
Namun, pandangan ini
menghadapi tantangan dari determinisme, baik dalam bentuk kausalitas fisik
maupun determinasi neurologis. Eksperimen Benjamin Libet dan penelitian
lanjutan menunjukkan bahwa keputusan manusia sering kali dimulai pada tingkat
bawah sadar sebelum individu menyadarinya.3 Meskipun demikian,
kritik terhadap penelitian ini, seperti yang dikemukakan oleh Alfred Mele,
menunjukkan bahwa kesadaran tetap memainkan peran penting dalam verifikasi
keputusan akhir.4
8.2.
Kompleksitas Filosofis dan Teologis
Dari perspektif filosofis,
perdebatan antara libertarianisme, determinisme, dan kompatibilisme menunjukkan
kompleksitas konsep kebebasan berkehendak. Libertarianisme menegaskan bahwa
manusia memiliki kebebasan sejati untuk membuat pilihan, sementara determinisme
menyatakan bahwa semua tindakan manusia adalah hasil dari sebab-sebab sebelumnya. Kompatibilisme mencoba
menjembatani kedua pandangan ini dengan menyatakan bahwa kebebasan berkehendak
dapat eksis dalam kerangka dunia yang deterministik.5
Dalam teologi,
perdebatan antara Qadariyah
dan Jabariyah
dalam Islam, serta diskusi tentang predestinasi dalam Kristen, menunjukkan
bahwa kebebasan berkehendak
selalu menjadi isu penting dalam memahami hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan
moderat, seperti yang dipegang oleh Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, menawarkan pendekatan yang seimbang, dengan
menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan yang berada dalam lingkup kehendak
Tuhan.6
8.3.
Relevansi Ilmiah dan Etika
Di era modern, ilmu
pengetahuan telah memberikan tantangan baru terhadap konsep kebebasan berkehendak,
terutama melalui penelitian neurosains dan fisika. Namun, pendekatan ilmiah
juga membuka ruang untuk pemahaman baru tentang kehendak manusia, dengan
mempertimbangkan kompleksitas proses otak dan faktor lingkungan.7
Selain itu, dalam konteks etika, kebebasan berkehendak tetap menjadi fondasi
dalam menentukan tanggung jawab moral dan sistem hukum.
8.4.
Perspektif Holistik
Kesimpulan ini
menyoroti pentingnya pendekatan multidisipliner untuk memahami kebebasan berkehendak. Meskipun ada banyak
tantangan konseptual dan kritik, kebebasan berkehendak tetap menjadi gagasan
yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan mengintegrasikan perspektif filosofis,
teologis,
dan ilmiah, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih kaya dan mendalam tentang
kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya.
Sebagai penutup,
kebebasan berkehendak bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi juga refleksi
dari pengalaman manusia yang mendalam. Diskusi ini tidak hanya relevan secara
akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, dari
pengambilan keputusan hingga refleksi tentang makna hidup.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 53-55.
[2]
Richard C. Martin, Islamic Studies: A History of Religions
Approach (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1982), 136-138; Alister
E. McGrath, Christian Theology: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 2011), 324.
[3]
Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529-566.
[4]
Alfred R. Mele, Free: Why Science Hasn’t Disproved Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 55-57.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 95; Peter van
Inwagen, An Essay
on Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1983), 66-69.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 45-47;
Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, trans. Paul Walker
(Reading: Garnet Publishing, 2000), 121-123.
[7]
Stephen Hawking, The Grand Design (New York: Bantam
Books, 2010), 73-75; Chun Siong Soon et al., “Unconscious Determinants of Free
Decisions in the Human Brain,” Nature Neuroscience 11, no. 5
(2008): 543-545.
Daftar Pustaka
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.
Flood, G. (1996). An Introduction to Hinduism.
Cambridge: Cambridge University Press.
Frankfurt, H. (1971). Freedom of the will and the
concept of a person. The Journal of Philosophy, 68(1), 5-20. https://doi.org/10.2307/2024717
Haggard, P. (2008). Human volition: Towards a
neuroscience of will. Nature Reviews Neuroscience, 9(12), 934-946. https://doi.org/10.1038/nrn2497
Hawking, S. (2010). The Grand Design. New
York: Bantam Books.
Honderich, T. (1990). A Theory of Determinism:
The Mind, Neuroscience, and Life-Hopes. Oxford: Oxford University Press.
Hume, D. (1999). An Enquiry Concerning Human
Understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Juwaini, A. (2000). Kitab al-Irshad (P.
Walker, Trans.). Reading: Garnet Publishing.
Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow.
New York: Farrar, Straus and Giroux.
Kane, R. (1998). The Significance of Free Will.
Oxford: Oxford University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics
of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative
and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain
Sciences, 8(4), 529-566. https://doi.org/10.1017/S0140525X00044903
Martin, R. C. (1982). Islamic Studies: A History
of Religions Approach. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
McGrath, A. E. (2011). Christian Theology: An
Introduction (5th ed.). Oxford: Blackwell.
Mele, A. R. (2014). Free: Why Science Hasn’t
Disproved Free Will. Oxford: Oxford University Press.
Mill, J. S. (1859). On Liberty. London:
Longman, Roberts & Green.
Morse, S. (2008). Determinism and the death of folk
psychology: Two challenges to responsibility from neuroscience. Minnesota
Journal of Law, Science & Technology, 9(1), 1-35.
Nietzsche, F. (1989). Beyond Good and Evil
(W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
Rahula, W. (1974). What the Buddha Taught.
New York: Grove Press.
Sartre, J.-P. (1992). Being and Nothingness: An
Essay on Phenomenological Ontology (H. E. Barnes, Trans.). New York:
Washington Square Press.
Soon, C. S., Brass, M., Heinze, H. J., &
Haynes, J.-D. (2008). Unconscious determinants of free decisions in the human
brain. Nature Neuroscience, 11(5), 543-545. https://doi.org/10.1038/nn.2112
Searle, J. (2004). Mind: A Brief Introduction.
Oxford: Oxford University Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London: Penguin Classics.
Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.).
Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Tegmark, M. (2017). Life 3.0: Being Human in the
Age of Artificial Intelligence. New York: Knopf.
Van Inwagen, P. (1983). An Essay on Free Will.
Oxford: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar