Kosmopolitanisme
Gagasan Universalitas, Kewargaan Global, dan Tantangan
Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran
kosmopolitanisme dalam filsafat sosial-politik, yang berakar pada pemikiran
moral universal dan cita-cita tentang kewargaan global. Dimulai dari akar
historisnya dalam filsafat Stoik dan perkembangan sistematis dalam pemikiran
Immanuel Kant, kosmopolitanisme dikembangkan sebagai respons terhadap tantangan
global yang semakin kompleks di abad ke-21, seperti perubahan iklim,
ketimpangan transnasional, migrasi massal, dan krisis demokrasi global. Artikel
ini membahas konsep-konsep kunci seperti kesetaraan moral, kewargaan global,
keadilan lintas batas, dan demokrasi kosmopolitan, serta mengulas penerapannya
dalam institusi internasional, gerakan transnasional, pendidikan global, dan
dialog antaragama. Di sisi lain, artikel ini juga mengkaji berbagai kritik
terhadap kosmopolitanisme, termasuk tuduhan utopis, ancaman terhadap identitas
lokal, serta kritik poskolonial yang menyoroti bias Barat-sentris. Melalui
pendekatan reflektif dan kritis, artikel ini menegaskan bahwa kosmopolitanisme
tetap relevan sebagai kerangka etis dan politik dalam membangun tatanan global
yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Kosmopolitanisme; Filsafat Sosial-Politik;
Kewargaan Global; Keadilan Transnasional; Solidaritas Global; Globalisasi; Hak
Asasi Manusia; Demokrasi Kosmopolitan; Etika Universal.
PEMBAHASAN
Kosmopolitanisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Kosmopolitanisme
merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat sosial-politik yang
menekankan gagasan tentang kesatuan umat manusia dan tanggung jawab moral yang
melampaui batas-batas nasional, etnis, dan kultural. Dalam konteks sejarah
pemikiran, akar kosmopolitanisme dapat ditelusuri kembali ke dunia Yunani Kuno,
khususnya melalui ajaran kaum Stoik yang mengemukakan prinsip cosmopolis—yakni
bahwa semua manusia merupakan bagian dari komunitas dunia yang sama, bukan
sekadar warga negara dari suatu polis tertentu1. Gagasan ini
kemudian mengalami elaborasi lebih lanjut dalam filsafat moral Immanuel Kant,
yang menempatkan prinsip kosmopolitan sebagai landasan bagi perdamaian abadi
dan hukum internasional2.
Kebangkitan
globalisasi di abad ke-21 telah memperkuat urgensi kosmopolitanisme sebagai
pendekatan filosofis dan etis untuk memahami dunia yang semakin saling
terhubung, baik secara ekonomi, teknologi, maupun kemanusiaan. Masalah-masalah
global seperti krisis iklim, migrasi massal, pandemi, serta ketidaksetaraan
internasional menuntut pemikiran politik yang melampaui batas-batas negara
bangsa dan menekankan tanggung jawab kolektif sebagai warga dunia3.
Dalam konteks ini, kosmopolitanisme bukan hanya menjadi kerangka normatif,
tetapi juga dituntut untuk menjawab tantangan-tantangan praktis dalam
penyusunan kebijakan global yang adil dan inklusif.
Namun demikian,
kosmopolitanisme juga tidak lepas dari perdebatan dan kritik, baik dari
perspektif partikularisme budaya, nasionalisme, maupun pendekatan poskolonial
yang menyoroti bias Euro-sentris dalam gagasan moral universal4.
Ketegangan antara prinsip universalitas dan pengakuan terhadap keragaman
identitas lokal menjadi isu sentral dalam perdebatan kontemporer tentang
kosmopolitanisme. Oleh karena itu, kajian tentang kosmopolitanisme menuntut
analisis mendalam yang tidak hanya historis dan normatif, tetapi juga
kontekstual dan kritis terhadap dinamika kekuasaan global.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji secara sistematis perkembangan kosmopolitanisme dalam
filsafat sosial-politik, mulai dari akar sejarahnya hingga relevansinya dalam
merespons problematika kontemporer. Dengan pendekatan filosofis-kritis dan
merujuk pada karya-karya klasik serta kontribusi pemikir modern, pembahasan ini
akan menguraikan konsep-konsep utama, varian pemikiran, kritik-kritik yang
berkembang, dan prospek kosmopolitanisme dalam membentuk etika politik global
masa kini.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, “Patriotism and Cosmopolitanism,” Boston Review
19, no. 5 (October–November 1994): 3–7.
[2]
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–114.
[3]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities
and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 3–12.
[4]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 41–59.
2.
Asal-Usul dan Akar Historis Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme
sebagai gagasan filosofis memiliki akar historis yang dalam dan berkembang
seiring transformasi pemikiran manusia mengenai identitas, moralitas, dan
politik. Meskipun istilah cosmopolitan berasal dari Yunani
Kuno—kosmopolites,
yang berarti "warga dunia"—ide tentang kemanusiaan universal
muncul pertama kali dalam filsafat moral para filsuf Stoik dan kaum Kinik.
Salah satu figur
awal yang menyuarakan prinsip kosmopolitan adalah Diogenes
dari Sinope (abad ke-4 SM), seorang filsuf Kinik yang terkenal
dengan deklarasinya: “I am a citizen of the world.”
Pernyataan ini mencerminkan penolakan terhadap keterikatan pada identitas
sempit kewarganegaraan atau etnisitas dan menandai salah satu ekspresi paling
awal dari etos kosmopolitan1. Diogenes dan penerusnya menolak
konvensi sosial yang membatasi hakikat manusia, dan mempromosikan kehidupan
berbasis pada rasionalitas dan kesederhanaan alamiah yang berlaku bagi semua
manusia tanpa memandang asal-usul mereka2.
Pemikiran ini
kemudian diadopsi dan dikembangkan secara lebih sistematis oleh kaum
Stoik, terutama oleh Epictetus, Seneca,
dan Marcus
Aurelius, yang menekankan bahwa setiap manusia adalah bagian
dari suatu logos
universal dan bahwa hukum moral bersifat rasional dan berlaku bagi seluruh umat
manusia. Bagi kaum Stoik, dunia adalah satu komunitas besar (cosmopolis)
dan semua manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki kewajiban moral terhadap
sesamanya tanpa diskriminasi berdasarkan kebangsaan atau status sosial3.
Gagasan ini
mengalami renaisans yang signifikan pada masa Pencerahan Eropa, terutama
melalui pemikiran Immanuel Kant. Dalam esainya Perpetual
Peace (1795), Kant mengembangkan gagasan tentang hukum
kosmopolitan yang mengatur hubungan antarbangsa dan individu di
tingkat global. Ia berpendapat bahwa semua manusia memiliki “hak untuk tidak
diperlakukan dengan permusuhan di tempat yang mereka kunjungi” sebagai
ekspresi dari prinsip moral universal4. Bagi Kant, kosmopolitanisme
bukan sekadar ideal moral, melainkan prasyarat untuk membangun perdamaian dunia
yang abadi berdasarkan prinsip rasional dan hukum internasional yang adil.
Pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20, kosmopolitanisme terus berkembang dalam pemikiran
sosial-politik dan etika, khususnya dalam konteks pembentukan norma-norma
internasional, seperti deklarasi hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan
internasional. Namun demikian, dominasi negara-bangsa sebagai bentuk organisasi
politik utama selama abad ke-19 dan ke-20 membuat kosmopolitanisme lebih sering
dipandang sebagai ideal utopis daripada paradigma praktis5.
Baru pada akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21, seiring dengan meningkatnya interdependensi global
dan munculnya tantangan transnasional—seperti perubahan iklim, migrasi global,
dan ketimpangan ekonomi antarnegara—gagasan kosmopolitanisme kembali mendapatkan
perhatian luas dalam wacana filsafat politik, etika global, dan hubungan
internasional6. Para pemikir kontemporer seperti Martha
Nussbaum, Thomas Pogge, dan Kwame
Anthony Appiah telah berperan penting dalam menghidupkan
kembali kosmopolitanisme sebagai pendekatan normatif untuk membangun tatanan
dunia yang lebih adil dan beradab.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of the Eminent Philosophers, trans.
R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VI.63.
[2]
Richard Kraut, “The Cynics,” in The Cambridge History of
Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra et al. (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 630–655.
[3]
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California
Press, 2006), 114–122.
[4]
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–114.
[5]
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–28.
[6]
Thomas W. Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan
Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 2–11.
3.
Konsep-Konsep Kunci dalam Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme
sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik tidak hanya mencerminkan sikap
keterbukaan terhadap dunia, tetapi juga melibatkan seperangkat prinsip normatif
dan ontologis mengenai status moral manusia, kewargaan, dan keadilan global.
Untuk memahami kekayaan gagasan kosmopolitanisme, perlu dijelaskan beberapa
konsep kunci yang menjadi fondasi teoretis aliran ini, yakni: universalitas
moral, kewargaan global, etika
solidaritas lintas batas, dan keadilan transnasional.
3.1.
Universalitas Moral
dan Kewajiban terhadap Sesama
Prinsip paling mendasar
dalam kosmopolitanisme adalah klaim bahwa semua individu manusia memiliki status moral
yang sama, tanpa memandang asal-usul geografis, etnis, agama,
atau status kewarganegaraan. Gagasan ini berakar pada pemikiran Stoik dan
Kantian yang menyatakan bahwa rasionalitas adalah dasar kesetaraan moral dan
bahwa prinsip-prinsip etika harus bersifat universal1.
Menurut Immanuel
Kant, manusia sebagai makhluk rasional wajib diperlakukan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri, bukan sebagai sarana. Ini menjadi dasar dari imperatif
moral universal yang menuntut penghormatan terhadap hak-hak
setiap manusia di seluruh dunia, tidak hanya dalam batasan negara bangsa2.
Dengan demikian, kosmopolitanisme menolak moralitas yang terbatas hanya pada
komunitas politik tertentu dan mengedepankan solidaritas kemanusiaan universal.
3.2.
Kewargaan Global
(Global Citizenship)
Kosmopolitanisme
juga mengusung konsep kewargaan global sebagai
identitas politik dan moral yang melampaui nasionalisme. Seorang kosmopolitan
tidak sekadar menjadi warga negara dari satu negara, tetapi juga mengakui
dirinya sebagai bagian dari komunitas dunia (cosmopolis). Konsep ini bertujuan
membentuk rasa tanggung jawab terhadap permasalahan global dan keterlibatan
aktif dalam pembangunan kemanusiaan universal3.
Martha
Nussbaum menegaskan pentingnya pendidikan kosmopolitan untuk
membentuk warga dunia yang memiliki kapasitas empati, pemahaman lintas budaya,
dan komitmen terhadap keadilan global. Menurutnya, kewargaan global adalah
prasyarat bagi demokrasi deliberatif yang sejati di era globalisasi4.
3.3.
Etika Solidaritas
Global dan Tanggung Jawab Lintas Batas
Kosmopolitanisme
menekankan pentingnya solidaritas moral lintas batas—yaitu
kesadaran bahwa penderitaan atau ketidakadilan di tempat lain adalah juga tanggung
jawab kita. Dalam kerangka ini, solidaritas global tidak bersifat
opsional, tetapi merupakan bagian dari kewajiban moral universal. Hal ini
menantang model etika tradisional yang sering kali bersifat eksklusif dan
partikularistik5.
Thomas
Pogge, misalnya, mengkritik struktur global yang memproduksi
dan memperkuat kemiskinan serta ketidaksetaraan, dan berpendapat bahwa individu
maupun negara memiliki kewajiban aktif untuk tidak berpartisipasi dalam sistem
yang menciptakan ketidakadilan tersebut6. Pogge
memperkenalkan prinsip negative duties sebagai kewajiban
moral untuk tidak merugikan orang lain secara sistemik, termasuk dalam
kebijakan ekonomi internasional.
3.4.
Keadilan
Transnasional dan Reformasi Global
Salah satu pilar
penting kosmopolitanisme kontemporer adalah keadilan transnasional, yaitu
ide bahwa prinsip-prinsip keadilan tidak boleh berhenti pada batas negara. Ini
mencakup akses yang adil terhadap sumber daya global, hak atas kesehatan,
pendidikan, dan partisipasi politik di tingkat internasional. Kosmopolitanisme
dalam hal ini menuntut reformasi institusi global
seperti PBB, WTO, dan IMF agar lebih akuntabel secara moral dan demokratis7.
Pendekatan ini juga
mencakup konsep demokrasi kosmopolitan yang
dikembangkan oleh David Held, yaitu model politik
transnasional yang memungkinkan individu berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan global yang mempengaruhi kehidupan mereka8.
Dengan demikian, kosmopolitanisme menawarkan tidak hanya sebuah visi etis,
tetapi juga proyek politik konkret untuk mewujudkan keadilan global yang
partisipatif dan egaliter.
Footnotes
[1]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 83–101.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 37–45.
[3]
Pauline Kleingeld and Eric Brown, “Cosmopolitanism,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2019
Edition), https://plato.stanford.edu/archives/win2019/entries/cosmopolitanism/.
[4]
Martha C. Nussbaum, “Education for Citizenship in an Era of Global
Connection,” Studies in Philosophy and Education 21, no. 4–5 (2002):
289–303.
[5]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 56–79.
[6]
Thomas W. Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities
and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 21–36.
[7]
Luis Cabrera, The Practice of Global Citizenship (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 112–128.
[8]
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995), 233–248.
4.
Kosmopolitanisme sebagai Teori Politik
Sebagai teori
politik, kosmopolitanisme berusaha untuk
melampaui struktur tradisional negara-bangsa dan membayangkan tatanan politik
yang didasarkan pada kesetaraan moral global dan institusi transnasional yang
adil. Kosmopolitanisme tidak hanya merupakan pandangan moral, tetapi juga
mencakup proposal konkret tentang bagaimana kekuasaan politik dan hukum
seharusnya diorganisasi di tingkat global agar dapat menjamin keadilan, hak
asasi manusia, dan partisipasi demokratis bagi semua individu, tanpa
diskriminasi geografis atau kebangsaan.
4.1.
Kosmopolitanisme vs
Nasionalisme
Salah satu tensi
utama dalam teori politik kosmopolitanisme adalah konfliknya
dengan nasionalisme. Nasionalisme mendasarkan identitas politik
dan loyalitas utama pada bangsa dan negara, sedangkan kosmopolitanisme
mengusung kesetiaan terhadap umat manusia secara keseluruhan. Dalam konteks
ini, nasionalisme sering dianggap eksklusif dan terbatas, sementara
kosmopolitanisme menuntut inklusivitas universal1.
Namun, beberapa
pemikir mencoba mencari titik temu antara keduanya. Yael
Tamir dan David Miller, misalnya,
menyarankan bentuk "nasionalisme liberal" yang tetap mengakui
pentingnya identitas nasional dalam kerangka komitmen terhadap prinsip-prinsip
keadilan universal2. Di sisi lain,
kosmopolitanisme menuntut bahwa keadilan tidak boleh dikompromikan oleh
loyalitas partikular, apalagi ketika hak dan kesejahteraan manusia
dipertaruhkan dalam sistem global yang tidak adil.
4.2.
Kosmopolitanisme
Liberal dan Radikal
Dalam
perkembangannya, kosmopolitanisme politik terbagi ke dalam dua kecenderungan
utama: kosmopolitanisme
liberal dan kosmopolitanisme radikal.
·
Kosmopolitanisme
liberal (yang diwakili oleh tokoh seperti Charles
Beitz dan Thomas Pogge) berfokus
pada penerapan prinsip-prinsip keadilan John Rawls dalam skala global, dengan
menekankan pentingnya prinsip moral universal
dan redistribusi sumber daya lintas negara sebagai
sarana untuk mengurangi ketimpangan global3.
·
Kosmopolitanisme
radikal (misalnya Daniele Archibugi
dan David Held) mendorong transformasi politik lebih
mendalam dengan menyerukan demokratisasi institusi global
dan pembentukan tatanan politik transnasional yang memberikan representasi
politik langsung kepada individu sebagai warga dunia4.
Kedua pendekatan ini
berbeda dalam strategi, tetapi sama-sama menolak premis bahwa batas-batas
negara adalah batas-batas moral atau politik yang absolut.
4.3.
Kewargaan Global dan
Hak Asasi Manusia
Kosmopolitanisme
sebagai teori politik mendukung ide kewargaan global, di mana
individu bukan hanya diakui sebagai subjek hukum dalam kerangka negara-bangsa,
tetapi juga sebagai aktor politik transnasional
dengan hak dan tanggung jawab di tingkat global. Hal ini terutama berkaitan
erat dengan perkembangan hak asasi manusia yang bersifat
universal dan tidak tergantung pada status kewarganegaraan5.
Kosmopolitanisme
menilai bahwa banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi justru karena tidak
adanya jaminan perlindungan yang melampaui negara. Oleh karena itu, dibutuhkan
lembaga-lembaga internasional yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga
memiliki kapasitas koersi dan legitimasi untuk menegakkan standar moral global,
seperti pengadilan pidana internasional,
organisasi
multilateral, dan rezim hukum internasional yang
adil dan transparan6.
4.4.
Demokrasi
Transnasional dan Institusi Global
Dalam respons
terhadap ketimpangan kekuasaan dalam globalisasi, kosmopolitanisme menawarkan
gagasan demokrasi transnasional, yaitu
model politik di mana individu—bukan negara—menjadi subjek utama dari
legitimasi politik. Dalam pandangan ini, sistem global seperti
PBB atau WTO seharusnya direformasi menjadi struktur yang lebih demokratis,
partisipatif, dan akuntabel, sehingga memungkinkan masyarakat global
berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka7.
David
Held, tokoh penting dalam pengembangan konsep ini, menyebut
pendekatannya sebagai “cosmopolitan democracy”, yakni
demokrasi yang melintasi batas-batas negara dan membangun sistem representasi
politik global berbasis hak universal dan partisipasi kolektif8.
Meskipun gagasan ini menuai kritik karena dianggap terlalu idealis, banyak
sarjana melihatnya sebagai arah yang diperlukan untuk mengatasi krisis
legitimasi dalam tata kelola global saat ini.
Footnotes
[1]
Samuel Scheffler, “Conceptions of Cosmopolitanism,” Utilitas
11, no. 3 (1999): 255–276.
[2]
David Miller, Citizenship and National Identity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 61–85.
[3]
Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations
(Princeton: Princeton University Press, 1999), 127–154.
[4]
Daniele Archibugi, “Cosmopolitan Democracy and Its Critics: A Review,” European
Journal of International Relations 10, no. 3 (2004): 437–473.
[5]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 217–230.
[6]
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and
Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 13–29.
[7]
Luis Cabrera, Political Theory of Global Justice: A Cosmopolitan
Case for the World State (London: Routledge, 2004), 91–112.
[8]
David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to
the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 161–176.
5.
Kosmopolitanisme dan Globalisasi
Perkembangan
globalisasi dalam dekade-dekade terakhir telah memberikan momentum baru bagi
diskursus kosmopolitanisme. Sebagai proses multidimensional yang melibatkan
intensifikasi interkoneksi ekonomi, budaya, teknologi, dan politik lintas batas
negara, globalisasi secara inheren mengusik batas-batas nasional yang selama
ini menjadi fondasi sistem internasional modern. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme
muncul sebagai respons normatif terhadap realitas global yang semakin saling
tergantung, seraya menawarkan kerangka etis dan politik untuk
mengelola hubungan antar manusia dalam tatanan dunia yang kompleks dan
asimetris1.
5.1.
Globalisasi sebagai
Konteks Empiris Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme
kontemporer tidak dapat dilepaskan dari fenomena globalisasi sebagai latar
empiris yang memperkuat visibilitas dan urgensi isu-isu global. Meningkatnya
mobilitas manusia, barang, ide, dan informasi mendorong munculnya kesadaran akan
keterhubungan global yang melampaui batas negara-bangsa. Ulrich
Beck bahkan menyebut situasi ini sebagai “kosmopolitanisme
nyata” (really existing cosmopolitanism),
di mana struktur kehidupan sosial-politik tak lagi bisa dijelaskan sepenuhnya
melalui kategori nasional2.
Namun, globalisasi
juga menghasilkan ketimpangan baru—baik dalam bentuk eksklusi ekonomi global,
krisis migran, maupun ketidakadilan lingkungan—yang justru memperkuat argumen
kosmopolitan mengenai perlunya tanggung jawab lintas batas. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme
tidak sekadar menyesuaikan diri dengan globalisasi, tetapi juga mengkritisi
bentuk-bentuk globalisasi yang memperparah ketidaksetaraan dan eksklusi sosial3.
5.2.
Kosmopolitanisme dan
Tanggung Jawab Moral Global
Salah satu kontribusi
utama kosmopolitanisme dalam era globalisasi adalah penguatan kesadaran
moral transnasional, yaitu kesadaran bahwa keputusan dan
kebijakan lokal dapat memiliki konsekuensi global. Kosmopolitanisme mengajukan
bahwa setiap individu, kelompok, atau negara memiliki kewajiban
etis terhadap orang-orang di luar komunitasnya, terutama dalam
hal penderitaan, kelaparan, pelanggaran hak asasi, atau kerusakan ekologis yang
melintasi batas-batas teritorial4.
Thomas
Pogge, misalnya, berpendapat bahwa struktur global yang
diciptakan oleh negara-negara kaya berkontribusi langsung pada kemiskinan dunia
ketiga, sehingga kewajiban moral tidak lagi bisa direduksi
menjadi kebaikan sukarela, melainkan merupakan keharusan etis
dalam menegakkan keadilan global5. Dengan kata lain,
kosmopolitanisme memandang bahwa tanggung jawab moral tidak bisa dibatasi oleh
kewarganegaraan, tetapi harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan
universal.
5.3.
Tantangan terhadap
Identitas dan Budaya Lokal
Di tengah penetrasi
nilai-nilai global dan homogenisasi budaya melalui globalisasi, muncul pula
reaksi balik dalam bentuk revitalisasi identitas lokal, etnis, dan agama.
Hal ini sering dijadikan dasar kritik terhadap kosmopolitanisme yang dianggap
mengabaikan partikularitas kultural dan memaksakan standar moral universal yang
bersifat Barat-sentris6. Dalam konteks ini, muncul ketegangan antara
kosmopolitanisme
universal dan partikularisme budaya, yang
menantang kosmopolitanisme untuk lebih inklusif dan dialogis dalam memahami
keragaman nilai dan praktik sosial.
Sebagai respons
terhadap kritik tersebut, tokoh seperti Kwame Anthony Appiah
mengembangkan gagasan “kosmopolitanisme berakar” (rooted
cosmopolitanism), yaitu pendekatan yang
mengakui nilai-nilai lokal sebagai bagian dari narasi kemanusiaan global. Bagi
Appiah, kosmopolitanisme bukanlah penghapusan identitas
lokal, tetapi pencarian nilai-nilai bersama melalui dialog antarbudaya
yang saling menghargai7.
5.4.
Peran
Kosmopolitanisme dalam Tata Dunia Global
Kosmopolitanisme
tidak hanya menawarkan refleksi etis, tetapi juga berkontribusi pada
pengembangan norma dan institusi global.
Wacana tentang hak asasi manusia, keadilan iklim, perlindungan
pengungsi, serta tata kelola ekonomi global semakin menunjukkan
pentingnya kerangka kerja kosmopolitan dalam merancang kebijakan dan institusi
yang bersifat transnasional. Dalam kerangka ini, kosmopolitanisme berperan
sebagai paradigma normatif untuk
membentuk tatanan global yang lebih inklusif, demokratis, dan adil8.
Pentingnya
kosmopolitanisme dalam era globalisasi juga terlihat dari peranannya dalam pendidikan
global, pembentukan kewargaan dunia, serta penguatan
lembaga-lembaga internasional yang menjamin hak-hak universal. Dengan demikian,
kosmopolitanisme tidak hanya relevan sebagai teori, tetapi juga sebagai panduan
praktis dalam membangun solidaritas kemanusiaan di tengah dunia yang semakin
saling terhubung dan saling bergantung.
Footnotes
[1]
David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 62–75.
[2]
Ulrich Beck, The Cosmopolitan Vision, trans. Ciaran Cronin
(Cambridge: Polity Press, 2006), 2–15.
[3]
James Bohman, Democracy across Borders: From Dêmos to Dêmoi
(Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 129–144.
[4]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 96–112.
[5]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan
Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 198–209.
[6]
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 18–36.
[7]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 131–147.
[8]
Luis Cabrera, The Practice of Global Citizenship (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 56–78.
6.
Kritik terhadap Kosmopolitanisme
Meskipun
kosmopolitanisme menawarkan visi etis dan politik yang menjanjikan mengenai
keadilan global dan solidaritas lintas batas, ia juga tidak lepas dari kritik
tajam yang datang dari berbagai pendekatan filsafat, politik, dan budaya.
Kritik-kritik ini mencerminkan kompleksitas penerapan prinsip-prinsip
kosmopolitan dalam dunia nyata yang sarat dengan perbedaan identitas,
kepentingan geopolitik, dan ketimpangan struktural.
6.1.
Tuduhan Utopisme dan
Ketidakrealisan
Salah satu kritik
utama terhadap kosmopolitanisme adalah bahwa ia bersifat utopis
dan tidak
realistis dalam mengandaikan bahwa solidaritas global dapat
menggantikan loyalitas nasional atau lokal. Dalam pandangan para realis
politik, seperti Michael Walzer, kewajiban moral
hanya bermakna dalam konteks komunitas konkret yang memiliki ikatan sejarah,
budaya, dan politik bersama1. Walzer berpendapat bahwa
keadilan hanya dapat ditegakkan dalam kerangka "spheres of justice"
yang partikular, bukan melalui norma-norma universal yang abstrak dan terlepas
dari konteks.
Kritikus lainnya
menekankan bahwa kosmopolitanisme gagal memperhitungkan dinamika
kekuasaan global dan ketidakseimbangan politik internasional
yang membuat penerapan prinsip universal menjadi sangat problematik. Dalam
realitas dunia multipolar dengan beragam sistem politik dan norma sosial,
penerapan etika kosmopolitan secara global sering kali dianggap sebagai ideal
normatif yang sukar diterjemahkan dalam praktik kebijakan yang efektif2.
6.2.
Ancaman terhadap
Kedaulatan Nasional dan Identitas Lokal
Kosmopolitanisme
juga dikritik karena berpotensi melemahkan kedaulatan nasional
dan mengabaikan
partikularitas identitas lokal. Bagi para nasionalis dan
komunitarian, keterikatan pada bangsa, bahasa, dan budaya merupakan fondasi
moral dan politik yang tidak dapat diabaikan. David Miller, misalnya,
berargumen bahwa kewargaan global tidak dapat menggantikan
fungsi loyalitas nasional, karena solidaritas sosial dan
keadilan distributif memerlukan dasar institusional yang stabil yang biasanya
hanya dimiliki oleh negara-bangsa3.
Dalam pandangan ini,
kosmopolitanisme
mengaburkan batas antara kepedulian moral dan keterikatan politis,
sehingga membuka ruang bagi erosi identitas kolektif yang penting bagi kohesi
sosial. Dengan kata lain, kosmopolitanisme dipandang sebagai proyek yang
bersifat universalistik namun tidak cukup peka terhadap pentingnya akar budaya
dan ikatan komunitas yang konkret.
6.3.
Kritik Poskolonial
dan Barat-Sentrisme
Kritik signifikan
lainnya datang dari perspektif poskolonial, yang menilai bahwa
banyak gagasan kosmopolitanisme—terutama dalam versi liberalnya—terjebak dalam narasi
Barat-sentris. Kosmopolitanisme dinilai sebagai bentuk
universalitas yang dipaksakan dan tidak sepenuhnya mewakili keberagaman
pengalaman historis non-Barat4. Dalam hal ini, gagasan
universal sering kali dibangun di atas fondasi nilai-nilai Eropa modern, yang
kemudian digunakan untuk menilai atau bahkan mendikte norma-norma global.
Dipesh
Chakrabarty dan Homi Bhabha, misalnya,
memperingatkan bahwa proyek-proyek global yang mengatasnamakan kosmopolitanisme
sering kali menyembunyikan asimetri kekuasaan yang
melanggengkan hegemoni kultural dan epistemik Barat terhadap Dunia Ketiga5.
Oleh karena itu, kosmopolitanisme dituntut untuk merefleksikan ulang dirinya
secara kritis dan mengembangkan pendekatan yang lebih dialogis, pluralistik,
dan responsif terhadap sejarah kolonialisme serta dinamika kekuasaan global.
6.4.
Tanggapan
Kosmopolitan terhadap Kritik
Sebagai respons
terhadap kritik-kritik tersebut, beberapa pemikir kosmopolitan mengembangkan
pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif, seperti “rooted
cosmopolitanism” atau “vernacular cosmopolitanism”,
yang mengakui keberadaan identitas lokal sembari tetap mempertahankan komitmen
terhadap nilai-nilai universal6. Kwame
Anthony Appiah menekankan bahwa menjadi kosmopolitan tidak
berarti meninggalkan budaya sendiri, melainkan membuka ruang dialog dan
keterlibatan lintas budaya dalam semangat saling menghormati7.
Kosmopolitanisme
juga semakin memperhatikan pentingnya institusi lokal dan nasional
dalam menjalankan prinsip-prinsip keadilan global, bukan menggantikannya
sepenuhnya. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme lebih dilihat sebagai kerangka
moral dan politik untuk memperluas horizon solidaritas,
daripada sebagai proyek menggantikan struktur politik eksisting secara
revolusioner.
Footnotes
[1]
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and
Equality (New York: Basic Books, 1983), 27–30.
[2]
Chris Brown, Sovereignty, Rights and Justice: International
Political Theory Today (Cambridge: Polity Press, 2002), 111–128.
[3]
David Miller, On Nationality (Oxford: Oxford University Press,
1995), 49–66.
[4]
Walter D. Mignolo, “The Many Faces of Cosmo-polis: Border Thinking and
Critical Cosmopolitanism,” Public Culture 12, no. 3 (2000): 721–748.
[5]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 38–57.
[6]
Gerard Delanty, The Cosmopolitan Imagination: The Renewal of
Critical Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2009),
61–79.
[7]
Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 222–236.
7.
Kosmopolitanisme dalam Praktik Sosial dan
Politik
Kosmopolitanisme
bukan sekadar gagasan teoretis, melainkan juga memiliki implikasi konkret dalam
berbagai ranah sosial dan politik global. Dalam praktiknya, nilai-nilai
kosmopolitan telah menginspirasi pembentukan norma internasional, pembangunan
institusi multilateral, kampanye kemanusiaan, gerakan hak asasi manusia, serta
program-program pendidikan yang mempromosikan kesadaran kewargaan global.
Meskipun masih dihadapkan pada banyak tantangan, implementasi kosmopolitanisme
menunjukkan bahwa prinsip solidaritas transnasional dan tanggung jawab moral universal
dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.
7.1.
Institusi
Internasional dan Norma Global
Salah satu wujud
paling nyata dari praktik kosmopolitanisme adalah pembentukan dan penguatan institusi
internasional yang menjunjung tinggi hak dan martabat manusia.
Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Mahkamah
Pidana Internasional (ICC), dan Komisi Hak Asasi Manusia
dibentuk atas dasar pengakuan terhadap nilai-nilai universal dan keyakinan
bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada batas negara1.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), misalnya, merupakan pernyataan
kosmopolitan yang menyatakan bahwa semua manusia memiliki hak yang sama “tanpa
memandang bangsa, tempat tinggal, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, warna
kulit, agama, bahasa, atau status lainnya”2.
Namun, efektivitas
lembaga-lembaga ini sering kali bergantung pada komitmen politik negara-negara
anggota, yang dapat memperlemah otonomi moral institusi kosmopolitan ketika
kepentingan geopolitik mendominasi3. Meski
demikian, keberadaan mereka tetap merupakan tonggak penting dalam
institusionalisasi nilai-nilai kosmopolitan di ranah internasional.
7.2.
Gerakan
Transnasional dan Kemanusiaan Global
Nilai-nilai
kosmopolitan juga tercermin dalam berbagai gerakan sosial transnasional,
seperti Amnesty International, Doctors
Without Borders, atau Greenpeace, yang beroperasi
lintas batas untuk memperjuangkan keadilan, kesehatan, dan kelestarian
lingkungan bagi umat manusia secara keseluruhan. Gerakan ini memperlihatkan
bahwa solidaritas dan tanggung jawab tidak harus terikat oleh kebangsaan,
tetapi dapat dimotivasi oleh prinsip kemanusiaan universal4.
Selain itu, respon
global terhadap krisis pengungsi, bencana alam, dan konflik
bersenjata kerap memunculkan bentuk solidaritas kosmopolitan yang mendorong
distribusi bantuan internasional dan advokasi hak-hak kelompok rentan. Meskipun
kadang bersifat ad hoc atau tidak merata, inisiatif-inisiatif ini menunjukkan
bahwa praktik kosmopolitanisme dapat muncul dari masyarakat sipil global, bukan
hanya dari institusi formal5.
7.3.
Pendidikan
Kosmopolitan dan Pembentukan Warga Dunia
Sektor pendidikan
menjadi medium penting dalam menyemai nilai-nilai kosmopolitanisme, terutama
melalui konsep pendidikan global (global
citizenship education). Program-program ini bertujuan mengembangkan
kesadaran akan keterkaitan umat manusia, membangun empati lintas budaya, serta
menumbuhkan komitmen terhadap keadilan sosial dan lingkungan global6.
UNESCO
dan organisasi-organisasi pendidikan dunia mendorong integrasi nilai-nilai kosmopolitan
dalam kurikulum sekolah, termasuk melalui pembelajaran lintas budaya, pemahaman
HAM, dan pengenalan isu-isu global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan
konflik antarbangsa7. Dalam konteks ini,
kosmopolitanisme tidak hanya menjadi ide filsafat, tetapi juga kerangka
pedagogis yang membentuk karakter dan tanggung jawab etis peserta didik sebagai
warga dunia.
7.4.
Tokoh-Tokoh
Kontemporer dan Perwujudan Nilai Kosmopolitan
Berbagai tokoh dunia
telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip kosmopolitan dapat diwujudkan dalam
tindakan nyata. Malala Yousafzai, misalnya,
memperjuangkan hak pendidikan perempuan secara global dan menjadi simbol
perjuangan lintas batas bagi kesetaraan gender dan hak anak8.
Ban
Ki-moon, sebagai mantan Sekretaris Jenderal PBB, juga
menegaskan pentingnya kolaborasi global dalam menangani isu-isu kemanusiaan dan
lingkungan sebagai tanggung jawab bersama umat manusia9.
Tokoh-tokoh ini
menunjukkan bahwa kosmopolitanisme dapat diwujudkan melalui diplomasi,
aktivisme, dan kepemimpinan moral yang berpihak pada nilai-nilai universal.
Mereka menjadi inspirasi bahwa identitas lokal tidak harus menegasikan tanggung
jawab global, tetapi dapat saling menguatkan dalam bingkai solidaritas
kosmopolitan.
Footnotes
[1]
David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to
the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 176–181.
[2]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights,
December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[3]
Anne Orford, International Authority and the Responsibility to
Protect (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 73–94.
[4]
Margaret E. Keck and Kathryn Sikkink, Activists beyond Borders:
Advocacy Networks in International Politics (Ithaca: Cornell University
Press, 1998), 1–36.
[5]
Sidney Tarrow, The New Transnational Activism (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 108–130.
[6]
Vanessa de Oliveira Andreotti, Actionable Postcolonial Theory in
Education (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 48–63.
[7]
UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning
Objectives (Paris: UNESCO, 2015), 7–15.
[8]
Malala Yousafzai, I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education
and Was Shot by the Taliban (New York: Little, Brown and Company, 2013),
276–289.
[9]
Ban Ki-moon, Resolved: Uniting Nations in a Divided World (New
York: Columbia University Press, 2021), 112–125.
8.
Kosmopolitanisme dan Agama
Hubungan antara kosmopolitanisme
dan agama merupakan salah satu medan dialog yang penting
sekaligus kompleks dalam filsafat sosial-politik kontemporer. Di satu sisi,
banyak tradisi keagamaan mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan
transnasional, yang secara normatif sejalan dengan etos kosmopolitanisme.
Namun, di sisi lain, klaim-klaim partikular keagamaan dan identitas religius
sering kali menjadi titik ketegangan dengan prinsip-prinsip kosmopolitan yang
menekankan pluralisme dan relativisme budaya.
8.1.
Dimensi
Universalitas dalam Tradisi-Agama Dunia
Mayoritas
agama-agama besar dunia seperti Islam, Kristen,
Yahudi,
Hindu,
dan Buddha
memuat dimensi universal dalam ajarannya yang mengakui persaudaraan
umat manusia, nilai-nilai keadilan, dan tanggung jawab terhadap
sesama. Dalam Islam, misalnya, konsep ummatan wāḥidah (umat yang satu)
dan rahmatan
lil-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam) mencerminkan etika
kosmopolitan yang mengajarkan bahwa misi moral melampaui batas-batas geografis
dan etnis1. Dalam Kekristenan, ajaran
tentang kasih universal dan pengakuan akan martabat semua manusia sebagai
ciptaan Tuhan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan dan solidaritas global2.
Tradisi-tradisi
tersebut menunjukkan bahwa agama dapat berfungsi sebagai fondasi spiritual
untuk etika kosmopolitan, yang mendasari komitmen terhadap
keadilan sosial, perdamaian, dan kerukunan antarumat manusia. Dengan demikian,
kosmopolitanisme dan agama tidak selalu harus dilihat dalam relasi oposisi,
tetapi justru dapat saling memperkuat dalam pencarian moralitas global.
8.2.
Ketegangan antara
Kosmopolitanisme Sekuler dan Komitmen Keagamaan
Meskipun terdapat
titik temu normatif, dalam praktiknya kosmopolitanisme modern sering dikritik
karena membawa
kecenderungan sekuler dan liberal Barat, yang kadang
mengabaikan atau bahkan menyingkirkan dimensi transendental yang penting dalam
kehidupan religius. Bagi sebagian komunitas beragama, kosmopolitanisme sekuler
dianggap mengancam identitas religius mereka karena menekankan pluralisme
mutlak, relativisme nilai, dan otonomi individu yang sering bertentangan dengan
prinsip-prinsip normatif agama3.
Michael
Walzer menyoroti bahwa kosmopolitanisme modern terkadang
terlalu menuntut dalam hal pemisahan identitas partikular demi kesatuan moral
universal, sehingga cenderung tidak peka terhadap attachment komunitas religius
terhadap iman, tradisi, dan ritual4. Ini
menimbulkan resistensi dari kelompok-kelompok agama yang merasa bahwa
kosmopolitanisme menuntut mereka melepaskan komitmen religius demi etika
sekuler yang bersifat netral.
8.3.
Kosmopolitanisme
Religius dan Alternatif Teologis
Menanggapi
ketegangan ini, sejumlah pemikir mengembangkan konsep kosmopolitanisme
religius, yaitu pendekatan yang berupaya menggabungkan
semangat moral universal kosmopolitanisme dengan landasan spiritual agama.
Salah satu tokoh yang menonjol dalam bidang ini adalah Hans
Küng, dengan gagasannya tentang Global Ethic (Etika Global), yang
menyerukan kerjasama antaragama untuk membangun nilai-nilai universal seperti
keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap kehidupan5.
Di dunia Islam,
pendekatan serupa dapat ditemukan dalam pemikiran Tariq
Ramadan, yang menekankan pentingnya menjadi “Muslim Eropa”
atau “Muslim global” yang mampu menyatukan kesetiaan terhadap nilai-nilai
keislaman dengan komitmen terhadap hak asasi manusia dan pluralisme dalam
masyarakat global6. Dalam hal ini, agama
bukanlah hambatan, melainkan sumber inspirasi etis yang mampu menggerakkan
solidaritas global dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
8.4.
Dialog Antaragama
sebagai Praktik Kosmopolitanisme
Salah satu bentuk
nyata integrasi antara kosmopolitanisme dan agama adalah dialog
antaragama (interfaith dialogue), yang bertujuan membangun
pengertian lintas iman, mereduksi konflik berbasis identitas religius, dan
memperkuat solidaritas moral. Inisiatif-inisiatif seperti Parliament
of the World’s Religions atau United Religions Initiative telah
menunjukkan bahwa komunitas beragama dapat menjadi agen
aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai kosmopolitan seperti
perdamaian, kesetaraan gender, dan keadilan sosial7.
Dialog antaragama
tidak hanya berfungsi sebagai instrumen toleransi, tetapi juga sebagai ruang
epistemik dan praksis kosmopolitanisme, di mana manusia dari
berbagai latar spiritual dapat berbagi komitmen etis dan bekerja sama demi
kebaikan bersama. Dengan demikian, integrasi antara kosmopolitanisme dan agama
tidak hanya mungkin, tetapi juga diperlukan dalam dunia yang plural,
terpolarisasi, dan saling tergantung.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
146–150.
[2]
Miroslav Volf, A Public Faith: How Followers of Christ Should Serve
the Common Good (Grand Rapids: Brazos Press, 2011), 87–104.
[3]
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and
Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 86–101.
[4]
Michael Walzer, Nation and Universe, in The Tanner
Lectures on Human Values, vol. 3 (Salt Lake City: University of Utah
Press, 1982), 509–556.
[5]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 15–35.
[6]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 73–96.
[7]
Leonard Swidler, Dialogue for Interreligious Understanding:
Strategies for the Transformation of Culture-Shaping Institutions (New
York: Palgrave Macmillan, 2014), 43–58.
9.
Relevansi Kosmopolitanisme di Abad ke-21
Memasuki abad ke-21,
dunia menghadapi tantangan-tantangan global yang semakin kompleks dan saling
terkait, mulai dari perubahan iklim, ketimpangan
ekonomi global, krisis migrasi, hingga ancaman
terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini,
kosmopolitanisme memperoleh signifikansi baru sebagai suatu kerangka
normatif dan etis yang mampu memberikan orientasi moral dan
politik untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil, inklusif, dan
berkelanjutan. Kosmopolitanisme menawarkan landasan untuk mengatasi batas-batas
nasional yang kian tidak memadai dalam menjawab persoalan global.
9.1.
Tantangan Global dan
Tuntutan Solidaritas Transnasional
Salah satu aspek
utama relevansi kosmopolitanisme terletak pada kemampuannya untuk menjawab
tantangan global yang tidak dapat diselesaikan oleh negara-bangsa secara
terpisah. Krisis iklim global, misalnya,
menuntut kerja sama lintas batas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,
serta pembentukan kerangka keadilan iklim yang mengakui tanggung jawab historis
dan kebutuhan negara-negara berkembang1. Dalam
hal ini, kosmopolitanisme menegaskan bahwa tanggung jawab moral terhadap penderitaan dan
kerusakan lingkungan tidak mengenal batas negara.
Demikian pula,
fenomena migrasi massal dan pengungsi akibat konflik, kelaparan, dan krisis
iklim menantang kapasitas sistem internasional untuk melindungi hak dan
martabat manusia secara universal. Kosmopolitanisme mendorong pengakuan bahwa
hak-hak pengungsi dan pencari suaka bukan semata kebijakan domestik, melainkan kewajiban
moral global yang harus ditanggapi secara kolektif2.
9.2.
Revitalisasi
Demokrasi Global dan Akuntabilitas Transnasional
Kosmopolitanisme di
abad ke-21 juga relevan dalam menghadapi krisis legitimasi politik internasional,
terutama terhadap lembaga-lembaga global seperti PBB, IMF, atau WTO, yang kerap
dikritik karena tidak demokratis dan tidak akuntabel. Gagasan “demokrasi
kosmopolitan” yang dikembangkan oleh David
Held menyerukan reformasi struktur kekuasaan global agar
individu sebagai warga dunia memiliki hak partisipasi politik dalam pengambilan
keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka3.
Dalam dunia yang
ditandai oleh ketimpangan kekuasaan antara negara-negara kaya dan miskin, serta
meningkatnya korporatisasi dalam tata kelola global, kosmopolitanisme
menawarkan suatu prinsip keadilan yang menuntut redistribusi kekuasaan dan sumber daya secara
lebih adil, serta peningkatan transparansi dan tanggung jawab
lembaga global terhadap publik internasional4.
9.3.
Kosmopolitanisme
Digital dan Ruang Global Baru
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi juga telah menciptakan ruang publik digital global,
yang membuka peluang bagi kosmopolitanisme digital. Media
sosial, platform internasional, dan jaringan aktivisme transnasional
memungkinkan penyebaran informasi, solidaritas, dan mobilisasi lintas negara
secara instan. Dalam konteks ini, identitas kosmopolitan dapat dikonstruksi
melalui partisipasi dalam wacana global, dukungan terhadap gerakan keadilan
internasional, serta penguatan kesadaran kolektif sebagai bagian dari komunitas
dunia5.
Namun demikian,
kosmopolitanisme digital juga menghadapi tantangan, seperti fragmentasi
informasi, nasionalisme siber, disinformasi global, dan digital
divide yang mempertajam ketimpangan akses dan pengaruh6.
Oleh karena itu, kosmopolitanisme harus disesuaikan dengan dinamika ruang
publik digital yang cair dan rentan.
9.4.
Pandemi Global dan
Etika Solidaritas Internasional
Pengalaman pandemi
COVID-19 memberikan contoh konkret mengenai keterkaitan umat
manusia dan pentingnya respons kolektif global. Krisis ini menegaskan bahwa masalah
kesehatan publik tidak mengenal batas geografis, dan bahwa
egoisme nasional dalam distribusi vaksin atau penutupan akses kemanusiaan
merupakan bentuk kegagalan etika global. Kosmopolitanisme dalam hal ini
menawarkan etika solidaritas yang melampaui kepentingan nasional, dan
menyerukan distribusi sumber daya kesehatan secara adil dan merata7.
Pandemi juga
menunjukkan kebutuhan akan sistem peringatan dan respons kesehatan global
yang demokratis, inklusif, dan berbasis prinsip-prinsip keadilan global. Oleh
karena itu, pemikiran kosmopolitan menjadi landasan yang semakin relevan untuk
membentuk kembali tata kelola krisis dunia pasca-pandemi.
9.5.
Menuju Masa Depan
Kosmopolitanisme
Dalam menghadapi
krisis multipolar—baik ekologis, politik, maupun etika—kosmopolitanisme
memberikan visi moral jangka panjang
tentang masyarakat dunia yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan
manusia, penghormatan terhadap keberagaman, dan tanggung jawab bersama. Kwame
Anthony Appiah menekankan bahwa menjadi kosmopolitan berarti membangun
hubungan antarindividu sebagai sesama manusia, bukan menghapus
perbedaan, melainkan membangun pemahaman melalui keterbukaan dan dialog8.
Dengan demikian,
relevansi kosmopolitanisme tidak hanya terletak pada kritiknya terhadap
nasionalisme sempit atau eksklusi global, tetapi juga pada potensinya
membentuk etika dan politik global baru yang lebih adil,
reflektif, dan tangguh menghadapi tantangan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Simon Caney, Justice Beyond Borders: A Global Political Theory
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 117–138.
[2]
Matthew J. Gibney, The Ethics and Politics of Asylum: Liberal
Democracy and the Response to Refugees (Cambridge: Cambridge University
Press, 2004), 149–168.
[3]
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995), 264–276.
[4]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan
Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 90–115.
[5]
James Bohman, “Expanding Dialogue: The Internet, the Public Sphere and
Prospects for Transnational Democracy,” in After Habermas: New Perspectives
on the Public Sphere, ed. Nick Crossley and John Michael Roberts (Oxford:
Blackwell Publishing, 2004), 131–155.
[6]
Evgeny Morozov, The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom
(New York: PublicAffairs, 2011), 239–267.
[7]
Olúfẹ́mi Táíwò, Against Decolonization: Taking African Agency
Seriously (Oxford: Oxford University Press, 2022), 191–200.
[8]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 144–161.
10.
Penutup
Kosmopolitanisme dalam
filsafat sosial-politik merupakan paradigma yang berakar kuat dalam tradisi
filsafat klasik dan terus berkembang sebagai respons terhadap dinamika global
kontemporer. Dari pemikiran Stoik dan idealisme Kantian hingga teori keadilan
global modern, kosmopolitanisme menawarkan kerangka moral, politik, dan institusional
untuk membayangkan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan. Ia mengedepankan
prinsip bahwa semua manusia, tanpa kecuali, memiliki nilai moral yang sama dan
oleh karena itu berhak atas penghormatan, keadilan, dan partisipasi dalam
sistem global yang memengaruhi kehidupan mereka.
Dalam konteks dunia
yang semakin terhubung namun juga semakin terpolarisasi, kosmopolitanisme
tampil sebagai wacana kritis terhadap nasionalisme eksklusif, eksklusi
identitas, dan ketimpangan transnasional.
Gagasan seperti kewargaan global, tanggung
jawab lintas batas, dan demokrasi kosmopolitan menjadi
sangat relevan ketika menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, migrasi
massal, pandemi, hingga degradasi tatanan multilateral1.
Namun demikian,
kosmopolitanisme juga harus terus merefleksikan keterbatasannya,
terutama dalam merespons kritik dari pendekatan komunitarian, poskolonial, dan
agama. Kosmopolitanisme tidak dapat mengklaim posisi etika tunggal yang
universal tanpa membuka diri terhadap pluralisme nilai, partikularitas
identitas, dan relasi kuasa yang kompleks dalam politik global. Dalam hal ini,
pendekatan-pendekatan seperti “rooted cosmopolitanism” atau kosmopolitanisme
dialogis menjadi upaya penting untuk menjembatani etika
universal dengan keberagaman lokal2.
Relevansi
kosmopolitanisme tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Dalam
bidang hukum, pendidikan, diplomasi, bantuan kemanusiaan, hingga media digital,
nilai-nilai kosmopolitan telah dan terus memberi arah bagi pembentukan
solidaritas global. Dalam hal ini, kosmopolitanisme bukanlah sekadar cita-cita
utopis, melainkan proyek normatif yang dapat diwujudkan melalui komitmen
kolektif, reformasi institusional, dan partisipasi aktif dari warga dunia.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Kwame Anthony Appiah, menjadi
kosmopolitan berarti bukan menghapus perbedaan, melainkan menghargai perbedaan
sambil mengakui kesamaan kemanusiaan yang
mendasari seluruh umat manusia3. Dalam semangat inilah
kosmopolitanisme harus terus dikembangkan—bukan sebagai dogma moral baru,
tetapi sebagai etika reflektif dan praksis politis untuk menghadapi tantangan
bersama di dunia yang saling bergantung.
Dengan demikian,
kosmopolitanisme tetap menjadi salah satu wacana kunci dalam
filsafat sosial-politik abad ke-21, yang mampu menginspirasi perumusan tatanan
global yang lebih adil, damai, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
David Held and Garrett Wallace Brown, The Cosmopolitanism Reader
(Cambridge: Polity Press, 2010), 1–18.
[2]
Gerard Delanty, The Cosmopolitan Imagination: The Renewal of
Critical Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2009),
65–87.
[3]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 152–161.
Daftar Pustaka
Andreotti, V. d. O. (2011).
Actionable postcolonial theory in education. Palgrave Macmillan.
Appiah, K. A. (2005). The
ethics of identity. Princeton University Press.
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism:
Ethics in a world of strangers. W. W. Norton & Company.
Ban, K.-m. (2021). Resolved:
Uniting nations in a divided world. Columbia University Press.
Beck, U. (2006). The
cosmopolitan vision (C. Cronin, Trans.). Polity Press.
Benhabib, S. (2004). The
rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University
Press.
Benhabib, S. (2006). Another
cosmopolitanism (R. Post, Ed.). Oxford University Press.
Beitz, C. R. (1999). Political
theory and international relations (2nd ed.). Princeton University Press.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bohman, J. (2007). Democracy
across borders: From dêmos to dêmoï. MIT Press.
Bohman, J. (2004).
Expanding dialogue: The Internet, the public sphere and prospects for
transnational democracy. In N. Crossley & J. M. Roberts (Eds.), After
Habermas: New perspectives on the public sphere (pp. 131–155). Blackwell
Publishing.
Brock, G. (2009). Global
justice: A cosmopolitan account. Oxford University Press.
Brown, C. (2002). Sovereignty,
rights and justice: International political theory today. Polity Press.
Cabrera, L. (2004). Political
theory of global justice: A cosmopolitan case for the world state.
Routledge.
Cabrera, L. (2010). The
practice of global citizenship. Cambridge University Press.
Caney, S. (2005). Justice
beyond borders: A global political theory. Oxford University Press.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Delanty, G. (2009). The
cosmopolitan imagination: The renewal of critical social theory. Cambridge
University Press.
Gibney, M. J. (2004). The
ethics and politics of asylum: Liberal democracy and the response to refugees.
Cambridge University Press.
Held, D. (1995). Democracy
and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance.
Polity Press.
Held, D. (2004). Global
covenant: The social democratic alternative to the Washington Consensus.
Polity Press.
Held, D., & Brown, G.
W. (Eds.). (2010). The cosmopolitanism reader. Polity Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Kant, I. (1983). Perpetual
peace and other essays (T. Humphrey, Trans.). Hackett Publishing.
(Original work published 1795)
Keck, M. E., & Sikkink,
K. (1998). Activists beyond borders: Advocacy networks in international
politics. Cornell University Press.
Küng, H. (1991). Global
responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.
Laertius, D. (1925). Lives
of the eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University
Press.
Mignolo, W. D. (2000). The
many faces of cosmo-polis: Border thinking and critical cosmopolitanism. Public
Culture, 12(3), 721–748.
Miller, D. (1995). On
nationality. Oxford University Press.
Miller, D. (2000). Citizenship
and national identity. Polity Press.
Morozov, E. (2011). The
net delusion: The dark side of Internet freedom. PublicAffairs.
Nussbaum, M. C. (2002).
Education for citizenship in an era of global connection. Studies in
Philosophy and Education, 21(4–5), 289–303.
Nussbaum, M. C. (1994).
Patriotism and cosmopolitanism. Boston Review, 19(5), 3–7.
Orford, A. (2011). International
authority and the responsibility to protect. Cambridge University Press.
Pogge, T. (2002). World
poverty and human rights: Cosmopolitan responsibilities and reforms.
Polity Press.
Rahman, F. (1982). Islam
and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Ramadan, T. (2004). Western
Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.
Scheffler, S. (1999).
Conceptions of cosmopolitanism. Utilitas, 11(3), 255–276.
Sellars, J. (2006). Stoicism.
University of California Press.
Swidler, L. (2014). Dialogue
for interreligious understanding: Strategies for the transformation of
culture-shaping institutions. Palgrave Macmillan.
Tarrow, S. (2005). The
new transnational activism. Cambridge University Press.
Táíwò, O. (2022). Against
decolonization: Taking African agency seriously. Oxford University Press.
UNESCO. (2015). Global
citizenship education: Topics and learning objectives. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993
United Nations. (1948,
December 10). Universal declaration of human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Volf, M. (2011). A
public faith: How followers of Christ should serve the common good. Brazos
Press.
Walzer, M. (1983). Spheres
of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.
Walzer, M. (1982). Nation
and universe. In The Tanner lectures on human values (Vol. 3, pp.
509–556). University of Utah Press.
Yousafzai, M. (2013). I
am Malala: The girl who stood up for education and was shot by the Taliban.
Little, Brown and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar