Selasa, 10 Juni 2025

Kosmopolitanisme: Gagasan Universalitas, Kewargaan Global, dan Tantangan Kontemporer

Kosmopolitanisme

Gagasan Universalitas, Kewargaan Global, dan Tantangan Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran kosmopolitanisme dalam filsafat sosial-politik, yang berakar pada pemikiran moral universal dan cita-cita tentang kewargaan global. Dimulai dari akar historisnya dalam filsafat Stoik dan perkembangan sistematis dalam pemikiran Immanuel Kant, kosmopolitanisme dikembangkan sebagai respons terhadap tantangan global yang semakin kompleks di abad ke-21, seperti perubahan iklim, ketimpangan transnasional, migrasi massal, dan krisis demokrasi global. Artikel ini membahas konsep-konsep kunci seperti kesetaraan moral, kewargaan global, keadilan lintas batas, dan demokrasi kosmopolitan, serta mengulas penerapannya dalam institusi internasional, gerakan transnasional, pendidikan global, dan dialog antaragama. Di sisi lain, artikel ini juga mengkaji berbagai kritik terhadap kosmopolitanisme, termasuk tuduhan utopis, ancaman terhadap identitas lokal, serta kritik poskolonial yang menyoroti bias Barat-sentris. Melalui pendekatan reflektif dan kritis, artikel ini menegaskan bahwa kosmopolitanisme tetap relevan sebagai kerangka etis dan politik dalam membangun tatanan global yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Kosmopolitanisme; Filsafat Sosial-Politik; Kewargaan Global; Keadilan Transnasional; Solidaritas Global; Globalisasi; Hak Asasi Manusia; Demokrasi Kosmopolitan; Etika Universal.


PEMBAHASAN

Kosmopolitanisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Kosmopolitanisme merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat sosial-politik yang menekankan gagasan tentang kesatuan umat manusia dan tanggung jawab moral yang melampaui batas-batas nasional, etnis, dan kultural. Dalam konteks sejarah pemikiran, akar kosmopolitanisme dapat ditelusuri kembali ke dunia Yunani Kuno, khususnya melalui ajaran kaum Stoik yang mengemukakan prinsip cosmopolis—yakni bahwa semua manusia merupakan bagian dari komunitas dunia yang sama, bukan sekadar warga negara dari suatu polis tertentu1. Gagasan ini kemudian mengalami elaborasi lebih lanjut dalam filsafat moral Immanuel Kant, yang menempatkan prinsip kosmopolitan sebagai landasan bagi perdamaian abadi dan hukum internasional2.

Kebangkitan globalisasi di abad ke-21 telah memperkuat urgensi kosmopolitanisme sebagai pendekatan filosofis dan etis untuk memahami dunia yang semakin saling terhubung, baik secara ekonomi, teknologi, maupun kemanusiaan. Masalah-masalah global seperti krisis iklim, migrasi massal, pandemi, serta ketidaksetaraan internasional menuntut pemikiran politik yang melampaui batas-batas negara bangsa dan menekankan tanggung jawab kolektif sebagai warga dunia3. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme bukan hanya menjadi kerangka normatif, tetapi juga dituntut untuk menjawab tantangan-tantangan praktis dalam penyusunan kebijakan global yang adil dan inklusif.

Namun demikian, kosmopolitanisme juga tidak lepas dari perdebatan dan kritik, baik dari perspektif partikularisme budaya, nasionalisme, maupun pendekatan poskolonial yang menyoroti bias Euro-sentris dalam gagasan moral universal4. Ketegangan antara prinsip universalitas dan pengakuan terhadap keragaman identitas lokal menjadi isu sentral dalam perdebatan kontemporer tentang kosmopolitanisme. Oleh karena itu, kajian tentang kosmopolitanisme menuntut analisis mendalam yang tidak hanya historis dan normatif, tetapi juga kontekstual dan kritis terhadap dinamika kekuasaan global.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis perkembangan kosmopolitanisme dalam filsafat sosial-politik, mulai dari akar sejarahnya hingga relevansinya dalam merespons problematika kontemporer. Dengan pendekatan filosofis-kritis dan merujuk pada karya-karya klasik serta kontribusi pemikir modern, pembahasan ini akan menguraikan konsep-konsep utama, varian pemikiran, kritik-kritik yang berkembang, dan prospek kosmopolitanisme dalam membentuk etika politik global masa kini.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, “Patriotism and Cosmopolitanism,” Boston Review 19, no. 5 (October–November 1994): 3–7.

[2]                Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–114.

[3]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 3–12.

[4]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 41–59.


2.           Asal-Usul dan Akar Historis Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme sebagai gagasan filosofis memiliki akar historis yang dalam dan berkembang seiring transformasi pemikiran manusia mengenai identitas, moralitas, dan politik. Meskipun istilah cosmopolitan berasal dari Yunani Kuno—kosmopolites, yang berarti "warga dunia"—ide tentang kemanusiaan universal muncul pertama kali dalam filsafat moral para filsuf Stoik dan kaum Kinik.

Salah satu figur awal yang menyuarakan prinsip kosmopolitan adalah Diogenes dari Sinope (abad ke-4 SM), seorang filsuf Kinik yang terkenal dengan deklarasinya: “I am a citizen of the world.” Pernyataan ini mencerminkan penolakan terhadap keterikatan pada identitas sempit kewarganegaraan atau etnisitas dan menandai salah satu ekspresi paling awal dari etos kosmopolitan1. Diogenes dan penerusnya menolak konvensi sosial yang membatasi hakikat manusia, dan mempromosikan kehidupan berbasis pada rasionalitas dan kesederhanaan alamiah yang berlaku bagi semua manusia tanpa memandang asal-usul mereka2.

Pemikiran ini kemudian diadopsi dan dikembangkan secara lebih sistematis oleh kaum Stoik, terutama oleh Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, yang menekankan bahwa setiap manusia adalah bagian dari suatu logos universal dan bahwa hukum moral bersifat rasional dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Bagi kaum Stoik, dunia adalah satu komunitas besar (cosmopolis) dan semua manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki kewajiban moral terhadap sesamanya tanpa diskriminasi berdasarkan kebangsaan atau status sosial3.

Gagasan ini mengalami renaisans yang signifikan pada masa Pencerahan Eropa, terutama melalui pemikiran Immanuel Kant. Dalam esainya Perpetual Peace (1795), Kant mengembangkan gagasan tentang hukum kosmopolitan yang mengatur hubungan antarbangsa dan individu di tingkat global. Ia berpendapat bahwa semua manusia memiliki “hak untuk tidak diperlakukan dengan permusuhan di tempat yang mereka kunjungi” sebagai ekspresi dari prinsip moral universal4. Bagi Kant, kosmopolitanisme bukan sekadar ideal moral, melainkan prasyarat untuk membangun perdamaian dunia yang abadi berdasarkan prinsip rasional dan hukum internasional yang adil.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kosmopolitanisme terus berkembang dalam pemikiran sosial-politik dan etika, khususnya dalam konteks pembentukan norma-norma internasional, seperti deklarasi hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional. Namun demikian, dominasi negara-bangsa sebagai bentuk organisasi politik utama selama abad ke-19 dan ke-20 membuat kosmopolitanisme lebih sering dipandang sebagai ideal utopis daripada paradigma praktis5.

Baru pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, seiring dengan meningkatnya interdependensi global dan munculnya tantangan transnasional—seperti perubahan iklim, migrasi global, dan ketimpangan ekonomi antarnegara—gagasan kosmopolitanisme kembali mendapatkan perhatian luas dalam wacana filsafat politik, etika global, dan hubungan internasional6. Para pemikir kontemporer seperti Martha Nussbaum, Thomas Pogge, dan Kwame Anthony Appiah telah berperan penting dalam menghidupkan kembali kosmopolitanisme sebagai pendekatan normatif untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil dan beradab.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of the Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VI.63.

[2]                Richard Kraut, “The Cynics,” in The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 630–655.

[3]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 114–122.

[4]                Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–114.

[5]                Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post (Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–28.

[6]                Thomas W. Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 2–11.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik tidak hanya mencerminkan sikap keterbukaan terhadap dunia, tetapi juga melibatkan seperangkat prinsip normatif dan ontologis mengenai status moral manusia, kewargaan, dan keadilan global. Untuk memahami kekayaan gagasan kosmopolitanisme, perlu dijelaskan beberapa konsep kunci yang menjadi fondasi teoretis aliran ini, yakni: universalitas moral, kewargaan global, etika solidaritas lintas batas, dan keadilan transnasional.

3.1.       Universalitas Moral dan Kewajiban terhadap Sesama

Prinsip paling mendasar dalam kosmopolitanisme adalah klaim bahwa semua individu manusia memiliki status moral yang sama, tanpa memandang asal-usul geografis, etnis, agama, atau status kewarganegaraan. Gagasan ini berakar pada pemikiran Stoik dan Kantian yang menyatakan bahwa rasionalitas adalah dasar kesetaraan moral dan bahwa prinsip-prinsip etika harus bersifat universal1.

Menurut Immanuel Kant, manusia sebagai makhluk rasional wajib diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana. Ini menjadi dasar dari imperatif moral universal yang menuntut penghormatan terhadap hak-hak setiap manusia di seluruh dunia, tidak hanya dalam batasan negara bangsa2. Dengan demikian, kosmopolitanisme menolak moralitas yang terbatas hanya pada komunitas politik tertentu dan mengedepankan solidaritas kemanusiaan universal.

3.2.       Kewargaan Global (Global Citizenship)

Kosmopolitanisme juga mengusung konsep kewargaan global sebagai identitas politik dan moral yang melampaui nasionalisme. Seorang kosmopolitan tidak sekadar menjadi warga negara dari satu negara, tetapi juga mengakui dirinya sebagai bagian dari komunitas dunia (cosmopolis). Konsep ini bertujuan membentuk rasa tanggung jawab terhadap permasalahan global dan keterlibatan aktif dalam pembangunan kemanusiaan universal3.

Martha Nussbaum menegaskan pentingnya pendidikan kosmopolitan untuk membentuk warga dunia yang memiliki kapasitas empati, pemahaman lintas budaya, dan komitmen terhadap keadilan global. Menurutnya, kewargaan global adalah prasyarat bagi demokrasi deliberatif yang sejati di era globalisasi4.

3.3.       Etika Solidaritas Global dan Tanggung Jawab Lintas Batas

Kosmopolitanisme menekankan pentingnya solidaritas moral lintas batas—yaitu kesadaran bahwa penderitaan atau ketidakadilan di tempat lain adalah juga tanggung jawab kita. Dalam kerangka ini, solidaritas global tidak bersifat opsional, tetapi merupakan bagian dari kewajiban moral universal. Hal ini menantang model etika tradisional yang sering kali bersifat eksklusif dan partikularistik5.

Thomas Pogge, misalnya, mengkritik struktur global yang memproduksi dan memperkuat kemiskinan serta ketidaksetaraan, dan berpendapat bahwa individu maupun negara memiliki kewajiban aktif untuk tidak berpartisipasi dalam sistem yang menciptakan ketidakadilan tersebut6. Pogge memperkenalkan prinsip negative duties sebagai kewajiban moral untuk tidak merugikan orang lain secara sistemik, termasuk dalam kebijakan ekonomi internasional.

3.4.       Keadilan Transnasional dan Reformasi Global

Salah satu pilar penting kosmopolitanisme kontemporer adalah keadilan transnasional, yaitu ide bahwa prinsip-prinsip keadilan tidak boleh berhenti pada batas negara. Ini mencakup akses yang adil terhadap sumber daya global, hak atas kesehatan, pendidikan, dan partisipasi politik di tingkat internasional. Kosmopolitanisme dalam hal ini menuntut reformasi institusi global seperti PBB, WTO, dan IMF agar lebih akuntabel secara moral dan demokratis7.

Pendekatan ini juga mencakup konsep demokrasi kosmopolitan yang dikembangkan oleh David Held, yaitu model politik transnasional yang memungkinkan individu berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan global yang mempengaruhi kehidupan mereka8. Dengan demikian, kosmopolitanisme menawarkan tidak hanya sebuah visi etis, tetapi juga proyek politik konkret untuk mewujudkan keadilan global yang partisipatif dan egaliter.


Footnotes

[1]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 83–101.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 37–45.

[3]                Pauline Kleingeld and Eric Brown, “Cosmopolitanism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2019 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/win2019/entries/cosmopolitanism/.

[4]                Martha C. Nussbaum, “Education for Citizenship in an Era of Global Connection,” Studies in Philosophy and Education 21, no. 4–5 (2002): 289–303.

[5]                Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 56–79.

[6]                Thomas W. Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 21–36.

[7]                Luis Cabrera, The Practice of Global Citizenship (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 112–128.

[8]                David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995), 233–248.


4.           Kosmopolitanisme sebagai Teori Politik

Sebagai teori politik, kosmopolitanisme berusaha untuk melampaui struktur tradisional negara-bangsa dan membayangkan tatanan politik yang didasarkan pada kesetaraan moral global dan institusi transnasional yang adil. Kosmopolitanisme tidak hanya merupakan pandangan moral, tetapi juga mencakup proposal konkret tentang bagaimana kekuasaan politik dan hukum seharusnya diorganisasi di tingkat global agar dapat menjamin keadilan, hak asasi manusia, dan partisipasi demokratis bagi semua individu, tanpa diskriminasi geografis atau kebangsaan.

4.1.       Kosmopolitanisme vs Nasionalisme

Salah satu tensi utama dalam teori politik kosmopolitanisme adalah konfliknya dengan nasionalisme. Nasionalisme mendasarkan identitas politik dan loyalitas utama pada bangsa dan negara, sedangkan kosmopolitanisme mengusung kesetiaan terhadap umat manusia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, nasionalisme sering dianggap eksklusif dan terbatas, sementara kosmopolitanisme menuntut inklusivitas universal1.

Namun, beberapa pemikir mencoba mencari titik temu antara keduanya. Yael Tamir dan David Miller, misalnya, menyarankan bentuk "nasionalisme liberal" yang tetap mengakui pentingnya identitas nasional dalam kerangka komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan universal2. Di sisi lain, kosmopolitanisme menuntut bahwa keadilan tidak boleh dikompromikan oleh loyalitas partikular, apalagi ketika hak dan kesejahteraan manusia dipertaruhkan dalam sistem global yang tidak adil.

4.2.       Kosmopolitanisme Liberal dan Radikal

Dalam perkembangannya, kosmopolitanisme politik terbagi ke dalam dua kecenderungan utama: kosmopolitanisme liberal dan kosmopolitanisme radikal.

·                     Kosmopolitanisme liberal (yang diwakili oleh tokoh seperti Charles Beitz dan Thomas Pogge) berfokus pada penerapan prinsip-prinsip keadilan John Rawls dalam skala global, dengan menekankan pentingnya prinsip moral universal dan redistribusi sumber daya lintas negara sebagai sarana untuk mengurangi ketimpangan global3.

·                     Kosmopolitanisme radikal (misalnya Daniele Archibugi dan David Held) mendorong transformasi politik lebih mendalam dengan menyerukan demokratisasi institusi global dan pembentukan tatanan politik transnasional yang memberikan representasi politik langsung kepada individu sebagai warga dunia4.

Kedua pendekatan ini berbeda dalam strategi, tetapi sama-sama menolak premis bahwa batas-batas negara adalah batas-batas moral atau politik yang absolut.

4.3.       Kewargaan Global dan Hak Asasi Manusia

Kosmopolitanisme sebagai teori politik mendukung ide kewargaan global, di mana individu bukan hanya diakui sebagai subjek hukum dalam kerangka negara-bangsa, tetapi juga sebagai aktor politik transnasional dengan hak dan tanggung jawab di tingkat global. Hal ini terutama berkaitan erat dengan perkembangan hak asasi manusia yang bersifat universal dan tidak tergantung pada status kewarganegaraan5.

Kosmopolitanisme menilai bahwa banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi justru karena tidak adanya jaminan perlindungan yang melampaui negara. Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga-lembaga internasional yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga memiliki kapasitas koersi dan legitimasi untuk menegakkan standar moral global, seperti pengadilan pidana internasional, organisasi multilateral, dan rezim hukum internasional yang adil dan transparan6.

4.4.       Demokrasi Transnasional dan Institusi Global

Dalam respons terhadap ketimpangan kekuasaan dalam globalisasi, kosmopolitanisme menawarkan gagasan demokrasi transnasional, yaitu model politik di mana individu—bukan negara—menjadi subjek utama dari legitimasi politik. Dalam pandangan ini, sistem global seperti PBB atau WTO seharusnya direformasi menjadi struktur yang lebih demokratis, partisipatif, dan akuntabel, sehingga memungkinkan masyarakat global berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka7.

David Held, tokoh penting dalam pengembangan konsep ini, menyebut pendekatannya sebagai “cosmopolitan democracy”, yakni demokrasi yang melintasi batas-batas negara dan membangun sistem representasi politik global berbasis hak universal dan partisipasi kolektif8. Meskipun gagasan ini menuai kritik karena dianggap terlalu idealis, banyak sarjana melihatnya sebagai arah yang diperlukan untuk mengatasi krisis legitimasi dalam tata kelola global saat ini.


Footnotes

[1]                Samuel Scheffler, “Conceptions of Cosmopolitanism,” Utilitas 11, no. 3 (1999): 255–276.

[2]                David Miller, Citizenship and National Identity (Cambridge: Polity Press, 2000), 61–85.

[3]                Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations (Princeton: Princeton University Press, 1999), 127–154.

[4]                Daniele Archibugi, “Cosmopolitan Democracy and Its Critics: A Review,” European Journal of International Relations 10, no. 3 (2004): 437–473.

[5]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 217–230.

[6]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 13–29.

[7]                Luis Cabrera, Political Theory of Global Justice: A Cosmopolitan Case for the World State (London: Routledge, 2004), 91–112.

[8]                David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 161–176.


5.           Kosmopolitanisme dan Globalisasi

Perkembangan globalisasi dalam dekade-dekade terakhir telah memberikan momentum baru bagi diskursus kosmopolitanisme. Sebagai proses multidimensional yang melibatkan intensifikasi interkoneksi ekonomi, budaya, teknologi, dan politik lintas batas negara, globalisasi secara inheren mengusik batas-batas nasional yang selama ini menjadi fondasi sistem internasional modern. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme muncul sebagai respons normatif terhadap realitas global yang semakin saling tergantung, seraya menawarkan kerangka etis dan politik untuk mengelola hubungan antar manusia dalam tatanan dunia yang kompleks dan asimetris1.

5.1.       Globalisasi sebagai Konteks Empiris Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme kontemporer tidak dapat dilepaskan dari fenomena globalisasi sebagai latar empiris yang memperkuat visibilitas dan urgensi isu-isu global. Meningkatnya mobilitas manusia, barang, ide, dan informasi mendorong munculnya kesadaran akan keterhubungan global yang melampaui batas negara-bangsa. Ulrich Beck bahkan menyebut situasi ini sebagai “kosmopolitanisme nyata” (really existing cosmopolitanism), di mana struktur kehidupan sosial-politik tak lagi bisa dijelaskan sepenuhnya melalui kategori nasional2.

Namun, globalisasi juga menghasilkan ketimpangan baru—baik dalam bentuk eksklusi ekonomi global, krisis migran, maupun ketidakadilan lingkungan—yang justru memperkuat argumen kosmopolitan mengenai perlunya tanggung jawab lintas batas. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme tidak sekadar menyesuaikan diri dengan globalisasi, tetapi juga mengkritisi bentuk-bentuk globalisasi yang memperparah ketidaksetaraan dan eksklusi sosial3.

5.2.       Kosmopolitanisme dan Tanggung Jawab Moral Global

Salah satu kontribusi utama kosmopolitanisme dalam era globalisasi adalah penguatan kesadaran moral transnasional, yaitu kesadaran bahwa keputusan dan kebijakan lokal dapat memiliki konsekuensi global. Kosmopolitanisme mengajukan bahwa setiap individu, kelompok, atau negara memiliki kewajiban etis terhadap orang-orang di luar komunitasnya, terutama dalam hal penderitaan, kelaparan, pelanggaran hak asasi, atau kerusakan ekologis yang melintasi batas-batas teritorial4.

Thomas Pogge, misalnya, berpendapat bahwa struktur global yang diciptakan oleh negara-negara kaya berkontribusi langsung pada kemiskinan dunia ketiga, sehingga kewajiban moral tidak lagi bisa direduksi menjadi kebaikan sukarela, melainkan merupakan keharusan etis dalam menegakkan keadilan global5. Dengan kata lain, kosmopolitanisme memandang bahwa tanggung jawab moral tidak bisa dibatasi oleh kewarganegaraan, tetapi harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

5.3.       Tantangan terhadap Identitas dan Budaya Lokal

Di tengah penetrasi nilai-nilai global dan homogenisasi budaya melalui globalisasi, muncul pula reaksi balik dalam bentuk revitalisasi identitas lokal, etnis, dan agama. Hal ini sering dijadikan dasar kritik terhadap kosmopolitanisme yang dianggap mengabaikan partikularitas kultural dan memaksakan standar moral universal yang bersifat Barat-sentris6. Dalam konteks ini, muncul ketegangan antara kosmopolitanisme universal dan partikularisme budaya, yang menantang kosmopolitanisme untuk lebih inklusif dan dialogis dalam memahami keragaman nilai dan praktik sosial.

Sebagai respons terhadap kritik tersebut, tokoh seperti Kwame Anthony Appiah mengembangkan gagasan “kosmopolitanisme berakar” (rooted cosmopolitanism), yaitu pendekatan yang mengakui nilai-nilai lokal sebagai bagian dari narasi kemanusiaan global. Bagi Appiah, kosmopolitanisme bukanlah penghapusan identitas lokal, tetapi pencarian nilai-nilai bersama melalui dialog antarbudaya yang saling menghargai7.

5.4.       Peran Kosmopolitanisme dalam Tata Dunia Global

Kosmopolitanisme tidak hanya menawarkan refleksi etis, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan norma dan institusi global. Wacana tentang hak asasi manusia, keadilan iklim, perlindungan pengungsi, serta tata kelola ekonomi global semakin menunjukkan pentingnya kerangka kerja kosmopolitan dalam merancang kebijakan dan institusi yang bersifat transnasional. Dalam kerangka ini, kosmopolitanisme berperan sebagai paradigma normatif untuk membentuk tatanan global yang lebih inklusif, demokratis, dan adil8.

Pentingnya kosmopolitanisme dalam era globalisasi juga terlihat dari peranannya dalam pendidikan global, pembentukan kewargaan dunia, serta penguatan lembaga-lembaga internasional yang menjamin hak-hak universal. Dengan demikian, kosmopolitanisme tidak hanya relevan sebagai teori, tetapi juga sebagai panduan praktis dalam membangun solidaritas kemanusiaan di tengah dunia yang semakin saling terhubung dan saling bergantung.


Footnotes

[1]                David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization: Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 62–75.

[2]                Ulrich Beck, The Cosmopolitan Vision, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2006), 2–15.

[3]                James Bohman, Democracy across Borders: From Dêmos to Dêmoi (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 129–144.

[4]                Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 96–112.

[5]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 198–209.

[6]                Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism, ed. Robert Post (Oxford: Oxford University Press, 2006), 18–36.

[7]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 131–147.

[8]                Luis Cabrera, The Practice of Global Citizenship (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 56–78.


6.           Kritik terhadap Kosmopolitanisme

Meskipun kosmopolitanisme menawarkan visi etis dan politik yang menjanjikan mengenai keadilan global dan solidaritas lintas batas, ia juga tidak lepas dari kritik tajam yang datang dari berbagai pendekatan filsafat, politik, dan budaya. Kritik-kritik ini mencerminkan kompleksitas penerapan prinsip-prinsip kosmopolitan dalam dunia nyata yang sarat dengan perbedaan identitas, kepentingan geopolitik, dan ketimpangan struktural.

6.1.       Tuduhan Utopisme dan Ketidakrealisan

Salah satu kritik utama terhadap kosmopolitanisme adalah bahwa ia bersifat utopis dan tidak realistis dalam mengandaikan bahwa solidaritas global dapat menggantikan loyalitas nasional atau lokal. Dalam pandangan para realis politik, seperti Michael Walzer, kewajiban moral hanya bermakna dalam konteks komunitas konkret yang memiliki ikatan sejarah, budaya, dan politik bersama1. Walzer berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan dalam kerangka "spheres of justice" yang partikular, bukan melalui norma-norma universal yang abstrak dan terlepas dari konteks.

Kritikus lainnya menekankan bahwa kosmopolitanisme gagal memperhitungkan dinamika kekuasaan global dan ketidakseimbangan politik internasional yang membuat penerapan prinsip universal menjadi sangat problematik. Dalam realitas dunia multipolar dengan beragam sistem politik dan norma sosial, penerapan etika kosmopolitan secara global sering kali dianggap sebagai ideal normatif yang sukar diterjemahkan dalam praktik kebijakan yang efektif2.

6.2.       Ancaman terhadap Kedaulatan Nasional dan Identitas Lokal

Kosmopolitanisme juga dikritik karena berpotensi melemahkan kedaulatan nasional dan mengabaikan partikularitas identitas lokal. Bagi para nasionalis dan komunitarian, keterikatan pada bangsa, bahasa, dan budaya merupakan fondasi moral dan politik yang tidak dapat diabaikan. David Miller, misalnya, berargumen bahwa kewargaan global tidak dapat menggantikan fungsi loyalitas nasional, karena solidaritas sosial dan keadilan distributif memerlukan dasar institusional yang stabil yang biasanya hanya dimiliki oleh negara-bangsa3.

Dalam pandangan ini, kosmopolitanisme mengaburkan batas antara kepedulian moral dan keterikatan politis, sehingga membuka ruang bagi erosi identitas kolektif yang penting bagi kohesi sosial. Dengan kata lain, kosmopolitanisme dipandang sebagai proyek yang bersifat universalistik namun tidak cukup peka terhadap pentingnya akar budaya dan ikatan komunitas yang konkret.

6.3.       Kritik Poskolonial dan Barat-Sentrisme

Kritik signifikan lainnya datang dari perspektif poskolonial, yang menilai bahwa banyak gagasan kosmopolitanisme—terutama dalam versi liberalnya—terjebak dalam narasi Barat-sentris. Kosmopolitanisme dinilai sebagai bentuk universalitas yang dipaksakan dan tidak sepenuhnya mewakili keberagaman pengalaman historis non-Barat4. Dalam hal ini, gagasan universal sering kali dibangun di atas fondasi nilai-nilai Eropa modern, yang kemudian digunakan untuk menilai atau bahkan mendikte norma-norma global.

Dipesh Chakrabarty dan Homi Bhabha, misalnya, memperingatkan bahwa proyek-proyek global yang mengatasnamakan kosmopolitanisme sering kali menyembunyikan asimetri kekuasaan yang melanggengkan hegemoni kultural dan epistemik Barat terhadap Dunia Ketiga5. Oleh karena itu, kosmopolitanisme dituntut untuk merefleksikan ulang dirinya secara kritis dan mengembangkan pendekatan yang lebih dialogis, pluralistik, dan responsif terhadap sejarah kolonialisme serta dinamika kekuasaan global.

6.4.       Tanggapan Kosmopolitan terhadap Kritik

Sebagai respons terhadap kritik-kritik tersebut, beberapa pemikir kosmopolitan mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif, seperti “rooted cosmopolitanism” atau “vernacular cosmopolitanism”, yang mengakui keberadaan identitas lokal sembari tetap mempertahankan komitmen terhadap nilai-nilai universal6. Kwame Anthony Appiah menekankan bahwa menjadi kosmopolitan tidak berarti meninggalkan budaya sendiri, melainkan membuka ruang dialog dan keterlibatan lintas budaya dalam semangat saling menghormati7.

Kosmopolitanisme juga semakin memperhatikan pentingnya institusi lokal dan nasional dalam menjalankan prinsip-prinsip keadilan global, bukan menggantikannya sepenuhnya. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme lebih dilihat sebagai kerangka moral dan politik untuk memperluas horizon solidaritas, daripada sebagai proyek menggantikan struktur politik eksisting secara revolusioner.


Footnotes

[1]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 27–30.

[2]                Chris Brown, Sovereignty, Rights and Justice: International Political Theory Today (Cambridge: Polity Press, 2002), 111–128.

[3]                David Miller, On Nationality (Oxford: Oxford University Press, 1995), 49–66.

[4]                Walter D. Mignolo, “The Many Faces of Cosmo-polis: Border Thinking and Critical Cosmopolitanism,” Public Culture 12, no. 3 (2000): 721–748.

[5]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 38–57.

[6]                Gerard Delanty, The Cosmopolitan Imagination: The Renewal of Critical Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 61–79.

[7]                Kwame Anthony Appiah, The Ethics of Identity (Princeton: Princeton University Press, 2005), 222–236.


7.           Kosmopolitanisme dalam Praktik Sosial dan Politik

Kosmopolitanisme bukan sekadar gagasan teoretis, melainkan juga memiliki implikasi konkret dalam berbagai ranah sosial dan politik global. Dalam praktiknya, nilai-nilai kosmopolitan telah menginspirasi pembentukan norma internasional, pembangunan institusi multilateral, kampanye kemanusiaan, gerakan hak asasi manusia, serta program-program pendidikan yang mempromosikan kesadaran kewargaan global. Meskipun masih dihadapkan pada banyak tantangan, implementasi kosmopolitanisme menunjukkan bahwa prinsip solidaritas transnasional dan tanggung jawab moral universal dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.

7.1.       Institusi Internasional dan Norma Global

Salah satu wujud paling nyata dari praktik kosmopolitanisme adalah pembentukan dan penguatan institusi internasional yang menjunjung tinggi hak dan martabat manusia. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan Komisi Hak Asasi Manusia dibentuk atas dasar pengakuan terhadap nilai-nilai universal dan keyakinan bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada batas negara1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), misalnya, merupakan pernyataan kosmopolitan yang menyatakan bahwa semua manusia memiliki hak yang sama “tanpa memandang bangsa, tempat tinggal, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya”2.

Namun, efektivitas lembaga-lembaga ini sering kali bergantung pada komitmen politik negara-negara anggota, yang dapat memperlemah otonomi moral institusi kosmopolitan ketika kepentingan geopolitik mendominasi3. Meski demikian, keberadaan mereka tetap merupakan tonggak penting dalam institusionalisasi nilai-nilai kosmopolitan di ranah internasional.

7.2.       Gerakan Transnasional dan Kemanusiaan Global

Nilai-nilai kosmopolitan juga tercermin dalam berbagai gerakan sosial transnasional, seperti Amnesty International, Doctors Without Borders, atau Greenpeace, yang beroperasi lintas batas untuk memperjuangkan keadilan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan bagi umat manusia secara keseluruhan. Gerakan ini memperlihatkan bahwa solidaritas dan tanggung jawab tidak harus terikat oleh kebangsaan, tetapi dapat dimotivasi oleh prinsip kemanusiaan universal4.

Selain itu, respon global terhadap krisis pengungsi, bencana alam, dan konflik bersenjata kerap memunculkan bentuk solidaritas kosmopolitan yang mendorong distribusi bantuan internasional dan advokasi hak-hak kelompok rentan. Meskipun kadang bersifat ad hoc atau tidak merata, inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa praktik kosmopolitanisme dapat muncul dari masyarakat sipil global, bukan hanya dari institusi formal5.

7.3.       Pendidikan Kosmopolitan dan Pembentukan Warga Dunia

Sektor pendidikan menjadi medium penting dalam menyemai nilai-nilai kosmopolitanisme, terutama melalui konsep pendidikan global (global citizenship education). Program-program ini bertujuan mengembangkan kesadaran akan keterkaitan umat manusia, membangun empati lintas budaya, serta menumbuhkan komitmen terhadap keadilan sosial dan lingkungan global6.

UNESCO dan organisasi-organisasi pendidikan dunia mendorong integrasi nilai-nilai kosmopolitan dalam kurikulum sekolah, termasuk melalui pembelajaran lintas budaya, pemahaman HAM, dan pengenalan isu-isu global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan konflik antarbangsa7. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme tidak hanya menjadi ide filsafat, tetapi juga kerangka pedagogis yang membentuk karakter dan tanggung jawab etis peserta didik sebagai warga dunia.

7.4.       Tokoh-Tokoh Kontemporer dan Perwujudan Nilai Kosmopolitan

Berbagai tokoh dunia telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip kosmopolitan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Malala Yousafzai, misalnya, memperjuangkan hak pendidikan perempuan secara global dan menjadi simbol perjuangan lintas batas bagi kesetaraan gender dan hak anak8. Ban Ki-moon, sebagai mantan Sekretaris Jenderal PBB, juga menegaskan pentingnya kolaborasi global dalam menangani isu-isu kemanusiaan dan lingkungan sebagai tanggung jawab bersama umat manusia9.

Tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa kosmopolitanisme dapat diwujudkan melalui diplomasi, aktivisme, dan kepemimpinan moral yang berpihak pada nilai-nilai universal. Mereka menjadi inspirasi bahwa identitas lokal tidak harus menegasikan tanggung jawab global, tetapi dapat saling menguatkan dalam bingkai solidaritas kosmopolitan.


Footnotes

[1]                David Held, Global Covenant: The Social Democratic Alternative to the Washington Consensus (Cambridge: Polity Press, 2004), 176–181.

[2]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[3]                Anne Orford, International Authority and the Responsibility to Protect (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 73–94.

[4]                Margaret E. Keck and Kathryn Sikkink, Activists beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 1–36.

[5]                Sidney Tarrow, The New Transnational Activism (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 108–130.

[6]                Vanessa de Oliveira Andreotti, Actionable Postcolonial Theory in Education (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 48–63.

[7]                UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives (Paris: UNESCO, 2015), 7–15.

[8]                Malala Yousafzai, I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban (New York: Little, Brown and Company, 2013), 276–289.

[9]                Ban Ki-moon, Resolved: Uniting Nations in a Divided World (New York: Columbia University Press, 2021), 112–125.


8.           Kosmopolitanisme dan Agama

Hubungan antara kosmopolitanisme dan agama merupakan salah satu medan dialog yang penting sekaligus kompleks dalam filsafat sosial-politik kontemporer. Di satu sisi, banyak tradisi keagamaan mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan transnasional, yang secara normatif sejalan dengan etos kosmopolitanisme. Namun, di sisi lain, klaim-klaim partikular keagamaan dan identitas religius sering kali menjadi titik ketegangan dengan prinsip-prinsip kosmopolitan yang menekankan pluralisme dan relativisme budaya.

8.1.       Dimensi Universalitas dalam Tradisi-Agama Dunia

Mayoritas agama-agama besar dunia seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha memuat dimensi universal dalam ajarannya yang mengakui persaudaraan umat manusia, nilai-nilai keadilan, dan tanggung jawab terhadap sesama. Dalam Islam, misalnya, konsep ummatan wāḥidah (umat yang satu) dan rahmatan lil-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam) mencerminkan etika kosmopolitan yang mengajarkan bahwa misi moral melampaui batas-batas geografis dan etnis1. Dalam Kekristenan, ajaran tentang kasih universal dan pengakuan akan martabat semua manusia sebagai ciptaan Tuhan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan dan solidaritas global2.

Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan bahwa agama dapat berfungsi sebagai fondasi spiritual untuk etika kosmopolitan, yang mendasari komitmen terhadap keadilan sosial, perdamaian, dan kerukunan antarumat manusia. Dengan demikian, kosmopolitanisme dan agama tidak selalu harus dilihat dalam relasi oposisi, tetapi justru dapat saling memperkuat dalam pencarian moralitas global.

8.2.       Ketegangan antara Kosmopolitanisme Sekuler dan Komitmen Keagamaan

Meskipun terdapat titik temu normatif, dalam praktiknya kosmopolitanisme modern sering dikritik karena membawa kecenderungan sekuler dan liberal Barat, yang kadang mengabaikan atau bahkan menyingkirkan dimensi transendental yang penting dalam kehidupan religius. Bagi sebagian komunitas beragama, kosmopolitanisme sekuler dianggap mengancam identitas religius mereka karena menekankan pluralisme mutlak, relativisme nilai, dan otonomi individu yang sering bertentangan dengan prinsip-prinsip normatif agama3.

Michael Walzer menyoroti bahwa kosmopolitanisme modern terkadang terlalu menuntut dalam hal pemisahan identitas partikular demi kesatuan moral universal, sehingga cenderung tidak peka terhadap attachment komunitas religius terhadap iman, tradisi, dan ritual4. Ini menimbulkan resistensi dari kelompok-kelompok agama yang merasa bahwa kosmopolitanisme menuntut mereka melepaskan komitmen religius demi etika sekuler yang bersifat netral.

8.3.       Kosmopolitanisme Religius dan Alternatif Teologis

Menanggapi ketegangan ini, sejumlah pemikir mengembangkan konsep kosmopolitanisme religius, yaitu pendekatan yang berupaya menggabungkan semangat moral universal kosmopolitanisme dengan landasan spiritual agama. Salah satu tokoh yang menonjol dalam bidang ini adalah Hans Küng, dengan gagasannya tentang Global Ethic (Etika Global), yang menyerukan kerjasama antaragama untuk membangun nilai-nilai universal seperti keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap kehidupan5.

Di dunia Islam, pendekatan serupa dapat ditemukan dalam pemikiran Tariq Ramadan, yang menekankan pentingnya menjadi “Muslim Eropa” atau “Muslim global” yang mampu menyatukan kesetiaan terhadap nilai-nilai keislaman dengan komitmen terhadap hak asasi manusia dan pluralisme dalam masyarakat global6. Dalam hal ini, agama bukanlah hambatan, melainkan sumber inspirasi etis yang mampu menggerakkan solidaritas global dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan.

8.4.       Dialog Antaragama sebagai Praktik Kosmopolitanisme

Salah satu bentuk nyata integrasi antara kosmopolitanisme dan agama adalah dialog antaragama (interfaith dialogue), yang bertujuan membangun pengertian lintas iman, mereduksi konflik berbasis identitas religius, dan memperkuat solidaritas moral. Inisiatif-inisiatif seperti Parliament of the World’s Religions atau United Religions Initiative telah menunjukkan bahwa komunitas beragama dapat menjadi agen aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai kosmopolitan seperti perdamaian, kesetaraan gender, dan keadilan sosial7.

Dialog antaragama tidak hanya berfungsi sebagai instrumen toleransi, tetapi juga sebagai ruang epistemik dan praksis kosmopolitanisme, di mana manusia dari berbagai latar spiritual dapat berbagi komitmen etis dan bekerja sama demi kebaikan bersama. Dengan demikian, integrasi antara kosmopolitanisme dan agama tidak hanya mungkin, tetapi juga diperlukan dalam dunia yang plural, terpolarisasi, dan saling tergantung.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 146–150.

[2]                Miroslav Volf, A Public Faith: How Followers of Christ Should Serve the Common Good (Grand Rapids: Brazos Press, 2011), 87–104.

[3]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 86–101.

[4]                Michael Walzer, Nation and Universe, in The Tanner Lectures on Human Values, vol. 3 (Salt Lake City: University of Utah Press, 1982), 509–556.

[5]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 15–35.

[6]                Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 73–96.

[7]                Leonard Swidler, Dialogue for Interreligious Understanding: Strategies for the Transformation of Culture-Shaping Institutions (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 43–58.


9.           Relevansi Kosmopolitanisme di Abad ke-21

Memasuki abad ke-21, dunia menghadapi tantangan-tantangan global yang semakin kompleks dan saling terkait, mulai dari perubahan iklim, ketimpangan ekonomi global, krisis migrasi, hingga ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, kosmopolitanisme memperoleh signifikansi baru sebagai suatu kerangka normatif dan etis yang mampu memberikan orientasi moral dan politik untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Kosmopolitanisme menawarkan landasan untuk mengatasi batas-batas nasional yang kian tidak memadai dalam menjawab persoalan global.

9.1.       Tantangan Global dan Tuntutan Solidaritas Transnasional

Salah satu aspek utama relevansi kosmopolitanisme terletak pada kemampuannya untuk menjawab tantangan global yang tidak dapat diselesaikan oleh negara-bangsa secara terpisah. Krisis iklim global, misalnya, menuntut kerja sama lintas batas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta pembentukan kerangka keadilan iklim yang mengakui tanggung jawab historis dan kebutuhan negara-negara berkembang1. Dalam hal ini, kosmopolitanisme menegaskan bahwa tanggung jawab moral terhadap penderitaan dan kerusakan lingkungan tidak mengenal batas negara.

Demikian pula, fenomena migrasi massal dan pengungsi akibat konflik, kelaparan, dan krisis iklim menantang kapasitas sistem internasional untuk melindungi hak dan martabat manusia secara universal. Kosmopolitanisme mendorong pengakuan bahwa hak-hak pengungsi dan pencari suaka bukan semata kebijakan domestik, melainkan kewajiban moral global yang harus ditanggapi secara kolektif2.

9.2.       Revitalisasi Demokrasi Global dan Akuntabilitas Transnasional

Kosmopolitanisme di abad ke-21 juga relevan dalam menghadapi krisis legitimasi politik internasional, terutama terhadap lembaga-lembaga global seperti PBB, IMF, atau WTO, yang kerap dikritik karena tidak demokratis dan tidak akuntabel. Gagasan “demokrasi kosmopolitan” yang dikembangkan oleh David Held menyerukan reformasi struktur kekuasaan global agar individu sebagai warga dunia memiliki hak partisipasi politik dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka3.

Dalam dunia yang ditandai oleh ketimpangan kekuasaan antara negara-negara kaya dan miskin, serta meningkatnya korporatisasi dalam tata kelola global, kosmopolitanisme menawarkan suatu prinsip keadilan yang menuntut redistribusi kekuasaan dan sumber daya secara lebih adil, serta peningkatan transparansi dan tanggung jawab lembaga global terhadap publik internasional4.

9.3.       Kosmopolitanisme Digital dan Ruang Global Baru

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga telah menciptakan ruang publik digital global, yang membuka peluang bagi kosmopolitanisme digital. Media sosial, platform internasional, dan jaringan aktivisme transnasional memungkinkan penyebaran informasi, solidaritas, dan mobilisasi lintas negara secara instan. Dalam konteks ini, identitas kosmopolitan dapat dikonstruksi melalui partisipasi dalam wacana global, dukungan terhadap gerakan keadilan internasional, serta penguatan kesadaran kolektif sebagai bagian dari komunitas dunia5.

Namun demikian, kosmopolitanisme digital juga menghadapi tantangan, seperti fragmentasi informasi, nasionalisme siber, disinformasi global, dan digital divide yang mempertajam ketimpangan akses dan pengaruh6. Oleh karena itu, kosmopolitanisme harus disesuaikan dengan dinamika ruang publik digital yang cair dan rentan.

9.4.       Pandemi Global dan Etika Solidaritas Internasional

Pengalaman pandemi COVID-19 memberikan contoh konkret mengenai keterkaitan umat manusia dan pentingnya respons kolektif global. Krisis ini menegaskan bahwa masalah kesehatan publik tidak mengenal batas geografis, dan bahwa egoisme nasional dalam distribusi vaksin atau penutupan akses kemanusiaan merupakan bentuk kegagalan etika global. Kosmopolitanisme dalam hal ini menawarkan etika solidaritas yang melampaui kepentingan nasional, dan menyerukan distribusi sumber daya kesehatan secara adil dan merata7.

Pandemi juga menunjukkan kebutuhan akan sistem peringatan dan respons kesehatan global yang demokratis, inklusif, dan berbasis prinsip-prinsip keadilan global. Oleh karena itu, pemikiran kosmopolitan menjadi landasan yang semakin relevan untuk membentuk kembali tata kelola krisis dunia pasca-pandemi.

9.5.       Menuju Masa Depan Kosmopolitanisme

Dalam menghadapi krisis multipolar—baik ekologis, politik, maupun etika—kosmopolitanisme memberikan visi moral jangka panjang tentang masyarakat dunia yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan manusia, penghormatan terhadap keberagaman, dan tanggung jawab bersama. Kwame Anthony Appiah menekankan bahwa menjadi kosmopolitan berarti membangun hubungan antarindividu sebagai sesama manusia, bukan menghapus perbedaan, melainkan membangun pemahaman melalui keterbukaan dan dialog8.

Dengan demikian, relevansi kosmopolitanisme tidak hanya terletak pada kritiknya terhadap nasionalisme sempit atau eksklusi global, tetapi juga pada potensinya membentuk etika dan politik global baru yang lebih adil, reflektif, dan tangguh menghadapi tantangan abad ke-21.


Footnotes

[1]                Simon Caney, Justice Beyond Borders: A Global Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 117–138.

[2]                Matthew J. Gibney, The Ethics and Politics of Asylum: Liberal Democracy and the Response to Refugees (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 149–168.

[3]                David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995), 264–276.

[4]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms (Cambridge: Polity Press, 2002), 90–115.

[5]                James Bohman, “Expanding Dialogue: The Internet, the Public Sphere and Prospects for Transnational Democracy,” in After Habermas: New Perspectives on the Public Sphere, ed. Nick Crossley and John Michael Roberts (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), 131–155.

[6]                Evgeny Morozov, The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom (New York: PublicAffairs, 2011), 239–267.

[7]                Olúfẹ́mi Táíwò, Against Decolonization: Taking African Agency Seriously (Oxford: Oxford University Press, 2022), 191–200.

[8]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 144–161.


10.       Penutup

Kosmopolitanisme dalam filsafat sosial-politik merupakan paradigma yang berakar kuat dalam tradisi filsafat klasik dan terus berkembang sebagai respons terhadap dinamika global kontemporer. Dari pemikiran Stoik dan idealisme Kantian hingga teori keadilan global modern, kosmopolitanisme menawarkan kerangka moral, politik, dan institusional untuk membayangkan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan. Ia mengedepankan prinsip bahwa semua manusia, tanpa kecuali, memiliki nilai moral yang sama dan oleh karena itu berhak atas penghormatan, keadilan, dan partisipasi dalam sistem global yang memengaruhi kehidupan mereka.

Dalam konteks dunia yang semakin terhubung namun juga semakin terpolarisasi, kosmopolitanisme tampil sebagai wacana kritis terhadap nasionalisme eksklusif, eksklusi identitas, dan ketimpangan transnasional. Gagasan seperti kewargaan global, tanggung jawab lintas batas, dan demokrasi kosmopolitan menjadi sangat relevan ketika menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, migrasi massal, pandemi, hingga degradasi tatanan multilateral1.

Namun demikian, kosmopolitanisme juga harus terus merefleksikan keterbatasannya, terutama dalam merespons kritik dari pendekatan komunitarian, poskolonial, dan agama. Kosmopolitanisme tidak dapat mengklaim posisi etika tunggal yang universal tanpa membuka diri terhadap pluralisme nilai, partikularitas identitas, dan relasi kuasa yang kompleks dalam politik global. Dalam hal ini, pendekatan-pendekatan seperti “rooted cosmopolitanism” atau kosmopolitanisme dialogis menjadi upaya penting untuk menjembatani etika universal dengan keberagaman lokal2.

Relevansi kosmopolitanisme tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Dalam bidang hukum, pendidikan, diplomasi, bantuan kemanusiaan, hingga media digital, nilai-nilai kosmopolitan telah dan terus memberi arah bagi pembentukan solidaritas global. Dalam hal ini, kosmopolitanisme bukanlah sekadar cita-cita utopis, melainkan proyek normatif yang dapat diwujudkan melalui komitmen kolektif, reformasi institusional, dan partisipasi aktif dari warga dunia.

Sebagaimana ditegaskan oleh Kwame Anthony Appiah, menjadi kosmopolitan berarti bukan menghapus perbedaan, melainkan menghargai perbedaan sambil mengakui kesamaan kemanusiaan yang mendasari seluruh umat manusia3. Dalam semangat inilah kosmopolitanisme harus terus dikembangkan—bukan sebagai dogma moral baru, tetapi sebagai etika reflektif dan praksis politis untuk menghadapi tantangan bersama di dunia yang saling bergantung.

Dengan demikian, kosmopolitanisme tetap menjadi salah satu wacana kunci dalam filsafat sosial-politik abad ke-21, yang mampu menginspirasi perumusan tatanan global yang lebih adil, damai, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                David Held and Garrett Wallace Brown, The Cosmopolitanism Reader (Cambridge: Polity Press, 2010), 1–18.

[2]                Gerard Delanty, The Cosmopolitan Imagination: The Renewal of Critical Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 65–87.

[3]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 152–161.


Daftar Pustaka

Andreotti, V. d. O. (2011). Actionable postcolonial theory in education. Palgrave Macmillan.

Appiah, K. A. (2005). The ethics of identity. Princeton University Press.

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W. W. Norton & Company.

Ban, K.-m. (2021). Resolved: Uniting nations in a divided world. Columbia University Press.

Beck, U. (2006). The cosmopolitan vision (C. Cronin, Trans.). Polity Press.

Benhabib, S. (2004). The rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.

Benhabib, S. (2006). Another cosmopolitanism (R. Post, Ed.). Oxford University Press.

Beitz, C. R. (1999). Political theory and international relations (2nd ed.). Princeton University Press.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bohman, J. (2007). Democracy across borders: From dêmos to dêmoï. MIT Press.

Bohman, J. (2004). Expanding dialogue: The Internet, the public sphere and prospects for transnational democracy. In N. Crossley & J. M. Roberts (Eds.), After Habermas: New perspectives on the public sphere (pp. 131–155). Blackwell Publishing.

Brock, G. (2009). Global justice: A cosmopolitan account. Oxford University Press.

Brown, C. (2002). Sovereignty, rights and justice: International political theory today. Polity Press.

Cabrera, L. (2004). Political theory of global justice: A cosmopolitan case for the world state. Routledge.

Cabrera, L. (2010). The practice of global citizenship. Cambridge University Press.

Caney, S. (2005). Justice beyond borders: A global political theory. Oxford University Press.

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Delanty, G. (2009). The cosmopolitan imagination: The renewal of critical social theory. Cambridge University Press.

Gibney, M. J. (2004). The ethics and politics of asylum: Liberal democracy and the response to refugees. Cambridge University Press.

Held, D. (1995). Democracy and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance. Polity Press.

Held, D. (2004). Global covenant: The social democratic alternative to the Washington Consensus. Polity Press.

Held, D., & Brown, G. W. (Eds.). (2010). The cosmopolitanism reader. Polity Press.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kant, I. (1983). Perpetual peace and other essays (T. Humphrey, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1795)

Keck, M. E., & Sikkink, K. (1998). Activists beyond borders: Advocacy networks in international politics. Cornell University Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

Laertius, D. (1925). Lives of the eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Mignolo, W. D. (2000). The many faces of cosmo-polis: Border thinking and critical cosmopolitanism. Public Culture, 12(3), 721–748.

Miller, D. (1995). On nationality. Oxford University Press.

Miller, D. (2000). Citizenship and national identity. Polity Press.

Morozov, E. (2011). The net delusion: The dark side of Internet freedom. PublicAffairs.

Nussbaum, M. C. (2002). Education for citizenship in an era of global connection. Studies in Philosophy and Education, 21(4–5), 289–303.

Nussbaum, M. C. (1994). Patriotism and cosmopolitanism. Boston Review, 19(5), 3–7.

Orford, A. (2011). International authority and the responsibility to protect. Cambridge University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights: Cosmopolitan responsibilities and reforms. Polity Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.

Scheffler, S. (1999). Conceptions of cosmopolitanism. Utilitas, 11(3), 255–276.

Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.

Swidler, L. (2014). Dialogue for interreligious understanding: Strategies for the transformation of culture-shaping institutions. Palgrave Macmillan.

Tarrow, S. (2005). The new transnational activism. Cambridge University Press.

Táíwò, O. (2022). Against decolonization: Taking African agency seriously. Oxford University Press.

UNESCO. (2015). Global citizenship education: Topics and learning objectives. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993

United Nations. (1948, December 10). Universal declaration of human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

Volf, M. (2011). A public faith: How followers of Christ should serve the common good. Brazos Press.

Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.

Walzer, M. (1982). Nation and universe. In The Tanner lectures on human values (Vol. 3, pp. 509–556). University of Utah Press.

Yousafzai, M. (2013). I am Malala: The girl who stood up for education and was shot by the Taliban. Little, Brown and Company.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar