Bahan Ajar Sejarah
Dari Paham Dunia ke Gerakan Kemerdekaan
Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme
di Asia-Afrika
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.
Abstrak
Artikel ini mengkaji keterkaitan historis antara perkembangan
paham-paham besar dunia—demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan
Pan-Islamisme—dengan gerakan nasionalisme di kawasan Asia dan Afrika selama
periode kolonial hingga pascakolonial. Melalui pendekatan historis-komparatif
dan analisis ideologis, artikel ini menelusuri asal-usul, penyebaran, dan
adaptasi paham-paham tersebut dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Penelitian
ini menunjukkan bahwa meskipun ideologi-ideologi tersebut berasal dari latar
kultural dan geografis yang berbeda, mereka mengalami proses kontekstualisasi
yang kreatif oleh tokoh-tokoh pergerakan di dunia kolonial. Berbagai studi
regional di Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, dan
Asia Timur memperlihatkan manifestasi ideologis yang plural dan dinamis.
Artikel ini juga mengeksplorasi ketegangan antar paham, seperti antara
nasionalisme dan Pan-Islamisme, sosialisme dan liberalisme, serta demokrasi dan
otoritarianisme dalam konteks negara pascakolonial. Warisan pemikiran ini tetap
relevan dalam dinamika politik kontemporer, baik dalam bentuk demokratisasi,
kritik terhadap neoliberalisme, maupun dalam kebangkitan identitas kolektif.
Kesadaran atas dinamika ideologis ini penting bagi generasi masa kini untuk
memahami bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya perjuangan fisik, tetapi juga
perjuangan wacana dan visi peradaban.
Kata Kunci: Demokrasi; Liberalisme; Sosialisme; Nasionalisme;
Pan-Islamisme; Asia-Afrika; Gerakan Kemerdekaan; Ideologi Global; Dekolonisasi;
Pascakolonial.
PEMBAHASAN
Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme
di Asia-Afrika
1.
Pendahuluan
Sejak abad ke-15,
dunia mengalami gelombang ekspansi kolonialisme Eropa yang menyebar ke berbagai
penjuru Asia dan Afrika. Dalam proses tersebut, tidak hanya kekuasaan politik
dan sistem ekonomi yang dipaksakan oleh kekuatan imperialis, tetapi juga
nilai-nilai budaya dan ideologi yang menyertainya. Masyarakat jajahan tidak
hanya menjadi objek eksploitasi sumber daya, melainkan juga sasaran penetrasi
gagasan modern dari Barat, seperti demokrasi, liberalisme,
sosialisme,
dan nasionalisme.
Di sisi lain, kawasan dunia Islam juga menyaksikan munculnya gagasan Pan-Islamisme
sebagai respons terhadap fragmentasi umat dan dominasi kolonial.
Gagasan-gagasan besar ini menjadi bagian dari dinamika pemikiran global yang,
dalam banyak kasus, justru menjadi pemicu kebangkitan kesadaran kolektif untuk
melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan nasional.
Kontak ideologis ini
seringkali terjadi melalui berbagai saluran seperti pendidikan kolonial,
literatur politik, surat kabar, serta pertukaran intelektual antara Timur dan
Barat. Misalnya, kaum terpelajar di India, Mesir, dan Indonesia banyak yang
mengenyam pendidikan Barat, membaca literatur Eropa, dan terinspirasi oleh
tokoh-tokoh seperti Rousseau, Marx, ataupun John Stuart Mill. Di sisi lain,
tokoh-tokoh pembaru Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
memperkenalkan pemikiran Pan-Islamisme sebagai alternatif ideologis terhadap
dominasi Eropa dan perpecahan di dunia Muslim.¹
Fenomena ini
menandai transformasi penting dalam gerakan nasionalisme di Asia-Afrika. Bila
pada awalnya nasionalisme muncul sebagai semangat perlawanan terhadap
ketidakadilan kolonial, maka sejak awal abad ke-20, nasionalisme mulai
terinspirasi dan diperkuat oleh ide-ide universal yang bersumber dari wacana
modernitas global.² Paham demokrasi memberi dasar bagi tuntutan representasi
politik; liberalisme menguatkan seruan akan kebebasan individu dan pasar;
sosialisme mendorong perlawanan terhadap ketimpangan struktural; nasionalisme
membangkitkan kesadaran identitas kolektif yang berakar pada budaya lokal;
sementara Pan-Islamisme menyerukan persatuan umat sebagai kekuatan perlawanan
transnasional.
Dengan kata lain,
meskipun bersumber dari akar sejarah dan budaya yang berbeda-beda, paham-paham
besar ini telah mengalami proses adopsi, adaptasi, dan transformasi
yang kompleks dalam konteks Asia-Afrika. Perpaduan antara gagasan-gagasan
universal dan nilai-nilai lokal menjadikan gerakan kemerdekaan bukan sekadar
reaksi terhadap kekuasaan asing, tetapi juga bagian dari percaturan ideologi
dunia yang memperjuangkan tatanan sosial-politik yang adil dan berdaulat.³
Maka, kajian ini penting bukan hanya untuk memahami dinamika masa lalu, tetapi
juga untuk merefleksikan bagaimana warisan intelektual global terus memengaruhi
kehidupan politik dan identitas bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dewasa ini.
Footnotes
[1]
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and
Religious Writings of Sayyid Jamāl al-Dīn “al-Afghānī” (Berkeley:
University of California Press, 1968), 3–18.
[2]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 113–122.
[3]
Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual
History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 57–64.
2.
Peta Pemikiran Global: Asal-Usul dan Konteks
Ideologis
Dalam memahami
kebangkitan gerakan nasionalisme di Asia-Afrika, penting untuk menelusuri akar
dan konteks historis dari berbagai paham besar yang berpengaruh dalam
percaturan pemikiran global. Setiap ideologi—demokrasi, liberalisme,
sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme—lahir dari konteks sosial, politik,
dan intelektual tertentu, namun seiring dengan globalisasi ide, semuanya
mengalami proses perlintasan budaya yang membentuk dinamika sejarah dunia
non-Barat, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan.
2.1.
Demokrasi
Demokrasi sebagai
sistem pemerintahan memiliki akar panjang sejak polis-polis Yunani Kuno, namun
bentuk modernnya baru berkembang di Eropa Barat pada abad ke-17 dan ke-18,
terutama melalui Revolusi Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi
Prancis (1789). Inti demokrasi terletak pada prinsip kedaulatan rakyat,
pemisahan kekuasaan, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.¹
Perkembangannya didorong oleh tuntutan terhadap keterlibatan rakyat dalam
pengambilan keputusan dan perlindungan hukum atas kebebasan sipil—ide yang
kemudian diadopsi oleh gerakan-gerakan nasional di dunia kolonial sebagai dasar
tuntutan representasi politik.
2.2.
Liberalisme
Lahir dari tradisi
Pencerahan Eropa (Aufklärung), liberalisme berkembang sebagai pembelaan
terhadap kebebasan individu dari dominasi negara absolut dan dogma keagamaan.
Tokoh seperti John Locke meletakkan fondasi
liberalisme politik melalui gagasan hak hidup, kebebasan, dan milik sebagai hak
kodrati manusia.² Dalam bidang ekonomi, Adam Smith melalui The
Wealth of Nations (1776) memaparkan pentingnya kebebasan pasar dan
peran mekanisme "tangan tak terlihat" dalam mengatur kehidupan
ekonomi.³ Liberalisme menyebar sebagai ide yang membela kemerdekaan pribadi,
pasar bebas, serta pemerintahan yang dibatasi oleh hukum, dan menjadi inspirasi
utama bagi kalangan intelektual dan pergerakan reformis di koloni-koloni Asia dan
Afrika.
2.3.
Sosialisme
Sosialisme muncul
sebagai respons terhadap ketimpangan sosial akibat Revolusi Industri. Kritik
terhadap eksploitasi tenaga kerja dan konsentrasi kekayaan di tangan pemilik
modal mendorong lahirnya ide tentang keadilan sosial dan kepemilikan kolektif
atas alat produksi. Tokoh seperti Karl Marx dan Friedrich
Engels menyerukan revolusi proletar sebagai jalan menuju
masyarakat tanpa kelas.⁴ Di dunia kolonial, sosialisme menarik perhatian kaum
pergerakan karena menjanjikan emansipasi ekonomi dan sosial dari sistem
kapitalis-imperialis yang melekat dalam kolonialisme.⁵ Banyak tokoh Asia-Afrika
kemudian mengembangkan sosialisme dalam kerangka nasional untuk membangun
masyarakat merdeka yang adil dan setara, seperti Soekarno
di Indonesia dan Kwame Nkrumah di Ghana.
2.4.
Nasionalisme
Nasionalisme
merupakan ide modern yang menekankan pentingnya ikatan identitas bersama
berdasarkan bahasa, sejarah, budaya, dan aspirasi politik. Dalam konteks Eropa,
nasionalisme tumbuh seiring dengan keruntuhan kekuasaan feodal dan munculnya
negara-bangsa.⁶ Ernest Renan menekankan bahwa
bangsa adalah hasil kehendak bersama untuk hidup dalam solidaritas, sementara Johann
Gottfried Herder menggarisbawahi pentingnya budaya dan bahasa
sebagai ciri identitas nasional.⁷ Di dunia kolonial, nasionalisme menjadi alat
untuk menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama dalam satu kesadaran
kolektif menentang penjajahan, sekaligus menjadi fondasi legitimasi bagi
pembentukan negara merdeka.
2.5.
Pan-Islamisme
Pan-Islamisme
berkembang sebagai tanggapan terhadap fragmentasi politik umat Islam dan
intervensi kolonial Barat di dunia Islam. Tokoh utama seperti Jamaluddin
al-Afghani menyerukan persatuan umat Islam lintas bangsa dan
mazhab untuk menanggulangi dominasi asing dan membangun kekuatan kolektif.⁸
Gagasan ini tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga politis dan strategis.
Ia mengandung kritik terhadap stagnasi internal umat Islam sekaligus seruan
untuk pembaruan pemikiran dan solidaritas transnasional. Pan-Islamisme menjadi
relevan di Asia dan Afrika karena berfungsi sebagai perekat identitas dan
sumber inspirasi dalam perlawanan terhadap imperialisme Barat, khususnya di
kawasan dengan populasi Muslim signifikan seperti Timur Tengah, Asia Selatan,
dan Asia Tenggara.⁹
Setiap paham besar
tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi sering kali saling bersilang, tumpang
tindih, atau bahkan bertentangan dalam implementasinya di berbagai belahan
dunia. Interaksi ideologi tersebut menciptakan variasi pengalaman nasionalisme
di Asia dan Afrika, di mana ide-ide global dipadukan dengan nilai-nilai lokal
dan realitas kolonial yang khas. Oleh karena itu, pemahaman atas asal-usul dan
konteks ideologis ini sangat penting dalam menelusuri evolusi pemikiran dalam
gerakan kemerdekaan Asia-Afrika.
Footnotes
[1]
John Dunn, Democracy: A History (New York: Atlantic Monthly
Press, 2005), 49–72.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.
[3]
Adam Smith, The Wealth of Nations (London: Methuen & Co.,
Ltd., 1904), Book IV, Chapter II.
[4]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 14–25.
[5]
Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third
World (New York: New Press, 2007), 45–58.
[6]
Eric Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth,
Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 9–38.
[7]
Ernest Renan, “What Is a Nation?” in Becoming National: A Reader,
ed. Geoff Eley and Ronald Grigor Suny (New York: Oxford University Press,
1996), 42–55.
[8]
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and
Religious Writings of Sayyid Jamāl al-Dīn “al-Afghānī” (Berkeley:
University of California Press, 1968), 3–18.
[9]
Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual
History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 57–70.
3.
Pengaruh Ideologi Global terhadap Gerakan
Nasionalisme di Asia-Afrika
Gelombang ideologis
yang lahir di Barat dan Dunia Islam sejak abad ke-18 tidak hanya berpengaruh
dalam batas-batas geografinya, tetapi juga menjangkau koloni-koloni Asia dan
Afrika, membentuk basis intelektual dan moral bagi gerakan nasionalisme.
Demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme menjadi
bahan mentah yang diolah dan disesuaikan oleh tokoh-tokoh pergerakan di dunia
kolonial dalam perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan. Proses ini
berlangsung melalui berbagai saluran seperti pendidikan kolonial dan Timur
Tengah, jaringan surat kabar dan penerbitan, perantauan tokoh-tokoh elite,
serta dinamika pertukaran pemikiran transnasional.
3.1.
Transfer Ideologi melalui Pendidikan dan Tokoh
Perantauan
Pendidikan memainkan
peran krusial dalam menyebarkan gagasan-gagasan modern ke kalangan elite
kolonial. Sekolah-sekolah misi dan lembaga pendidikan Barat di koloni Asia dan
Afrika menjadi sarana utama penetrasi nilai-nilai liberalisme, demokrasi, dan
nasionalisme Eropa.¹ Di India, misalnya, lembaga-lembaga seperti Universitas
Kalkuta dan Universitas Madras memunculkan generasi intelektual India yang
terdidik dalam tradisi Barat dan kemudian memainkan peran sentral dalam Kongres
Nasional India.²
Sementara itu,
banyak tokoh Muslim dari Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia yang
belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo atau madrasah reformis di Mekkah juga
menyerap pemikiran Pan-Islamisme dan pembaruan keislaman.³ Salah satu tokoh
penting adalah Syed Sheikh al-Hadi dari Malaysia dan Haji Agus Salim dari
Indonesia, yang memadukan ide Pan-Islamisme dengan semangat nasionalisme dan
modernisme.⁴ Perjalanan intelektual ini memperlihatkan bahwa nasionalisme
kolonial bukanlah gerakan tertutup, melainkan hasil pertukaran pemikiran lintas
dunia.
3.2.
Adaptasi Lokal dan Kontekstualisasi Ide
Paham-paham besar
yang masuk ke Asia-Afrika tidak diserap secara mentah, melainkan mengalami adaptasi
dan sinkretisasi
dengan nilai-nilai lokal, agama, dan budaya tradisional. Di banyak wilayah,
nasionalisme tumbuh bukan dalam bentuk sekular Eropa, tetapi menyatu dengan
keyakinan keagamaan dan identitas etnis.⁵ Misalnya, gerakan nasionalisme di
Mesir dan India memadukan simbol-simbol Islam dan Hindu dengan idiom-idiom
modern seperti “kemerdekaan,” “hak rakyat,” atau “persatuan
bangsa.”⁶
Di Indonesia,
pemikiran Soekarno menunjukkan sintesis kompleks antara sosialisme,
nasionalisme, Islam, dan ajaran Timur lainnya seperti Marhaenisme dan ajaran
spiritual lokal.⁷ Soekarno menekankan bahwa sosialisme yang cocok bagi
Indonesia bukanlah sosialisme ala Marx yang materialistis, tetapi sosialisme yang
berjiwa gotong-royong dan berdasarkan keadilan sosial dalam tradisi Nusantara.
Hal ini menunjukkan bagaimana ide-ide global diproses secara kreatif untuk
menjawab kebutuhan masyarakat lokal yang sedang bergulat keluar dari
penjajahan.
Adaptasi ini juga
dapat dilihat dalam gagasan demokrasi yang diartikulasikan dalam bentuk
musyawarah mufakat atau sistem kepemimpinan kolektif yang sesuai dengan
struktur sosial setempat.⁸ Liberalisme pun tidak diterima sepenuhnya karena
kerap dipandang terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan nilai-nilai
kolektivitas masyarakat Asia-Afrika. Namun demikian, semangat pembebasan dari
tirani, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta pemerintahan berdasarkan
hukum tetap menjadi elemen penting dalam visi negara pascakolonial.
3.3.
Ideologi sebagai Strategi Perlawanan terhadap
Kolonialisme
Paham-paham global
tidak hanya menjadi wacana intelektual, tetapi juga senjata ideologis dalam
perjuangan antikolonial. Nasionalisme memberikan bahasa bersama untuk
menyatukan rakyat lintas etnis dan agama dalam perjuangan kemerdekaan.
Sosialisme memberikan dasar untuk menentang ketimpangan ekonomi kolonial,
sedangkan Pan-Islamisme memperkuat solidaritas antarumat Muslim di berbagai
wilayah yang terpecah-belah oleh imperialisme.⁹
Di banyak kasus,
ideologi tidak berdiri sendiri, melainkan digunakan secara strategis. Para
tokoh pergerakan menggabungkan berbagai unsur dari ideologi yang berbeda untuk
merumuskan visi kemerdekaan yang sesuai dengan kondisi lokal. Ini tampak jelas
pada Chinua Achebe
di Nigeria, Nkrumah di Ghana, dan Ho Chi
Minh di Vietnam yang menggabungkan nasionalisme dengan
sosialisme sebagai dasar perjuangan mereka.¹⁰ Hal serupa terjadi pula di dunia
Islam, di mana Pan-Islamisme sering menjadi perekat solidaritas regional dan
sumber legitimasi dalam menghadapi penguasa kolonial.
Secara keseluruhan,
pengaruh ideologi global terhadap nasionalisme Asia-Afrika menunjukkan suatu
proses historis yang kompleks, dialogis, dan sering kontradiktif. Di satu sisi,
ide-ide tersebut membantu membentuk visi kebangsaan dan memperkuat legitimasi
moral perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain, setelah kemerdekaan, banyak negara
menghadapi dilema antara idealisme ideologis dan realitas kekuasaan, yang
menimbulkan tantangan baru dalam pembangunan bangsa.
Footnotes
[1]
Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge,
History (Berkeley: University of California Press, 2005), 146–150.
[2]
Sugata Bose and Ayesha Jalal, Modern South Asia: History, Culture,
Political Economy, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 135–142.
[3]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:
Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004),
197–204.
[4]
William R. Roff, The Origins of Malay Nationalism, 2nd ed.
(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994), 91–102.
[5]
Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and
Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993),
5–10.
[6]
Faisal Devji, Muslim Zion: Pakistan as a Political Idea
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 33–46.
[7]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Vol. I (Jakarta: Panitia
Penerbit, 1963), 317–324.
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 108–113.
[9]
James Piscatori, Islam in a World of Nation-States (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 56–60.
[10]
Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third
World (New York: New Press, 2007), 59–78.
4.
Studi Regional: Manifestasi Ideologi dalam
Gerakan Nasionalisme
Perkembangan
nasionalisme di Asia dan Afrika tidak bersifat seragam. Setiap kawasan
menunjukkan kekhasan dalam menyerap, menafsirkan, dan menerapkan berbagai paham
global sesuai dengan konteks historis, sosial, dan kulturalnya masing-masing.
Studi regional ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana demokrasi,
liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme dimanifestasikan
secara konkret dalam gerakan-gerakan kemerdekaan di lima kawasan utama: Asia
Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, dan Asia Timur.
4.1.
Asia Selatan: Nasionalisme Sekuler dan Strategi
Gandhian
Gerakan nasionalisme
di India merupakan contoh klasik dari perjumpaan antara pemikiran
liberal-demokratis, nasionalisme modern, dan strategi non-kekerasan yang
dikembangkan secara unik. Kongres Nasional India, yang didirikan pada tahun
1885, awalnya terdiri dari elite terpelajar yang menyuarakan aspirasi melalui
kerangka hukum kolonial Inggris.¹ Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh seperti Mahatma
Gandhi memperkenalkan pendekatan baru melalui satyagraha
(perlawanan tanpa kekerasan) dan swadeshi (kemandirian ekonomi),
yang menggabungkan semangat nasionalisme dengan prinsip moral Hindu dan etika
humanistik.²
Sementara itu, Jawaharlal
Nehru, sebagai arsitek utama India pascakolonial, memadukan
sosialisme demokratik dan sekularisme sebagai dasar pembangunan nasional.³
Paham-paham sosialisme dan demokrasi liberal menjadi kerangka bagi pembentukan
konstitusi India, yang menjamin hak-hak sipil, pemilu bebas, dan program
kesejahteraan sosial. Di sisi lain, Muhammad Ali Jinnah, melalui
Liga Muslim, memperjuangkan pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam di
Asia Selatan, yang akhirnya melahirkan Pakistan pada 1947, dengan mengusung
semangat Pan-Islamisme sebagai identitas pemersatu.⁴
4.2.
Asia Tenggara: Sinkretisme Ideologi dan
Strategi Emansipatoris
Asia Tenggara
memperlihatkan model nasionalisme yang sangat kompleks dan plural. Di
Indonesia, gerakan nasionalisme berkembang dari akar tradisi Islam, sosialisme,
dan nasionalisme sekuler. Tokoh seperti Soekarno memformulasikan ide nasakom
(nasionalisme, agama, komunisme) sebagai bentuk kompromi ideologis dalam
menghadapi realitas kemajemukan bangsa.⁵ Dalam pidatonya, Soekarno menekankan
bahwa kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajahan, melainkan upaya
membangun tatanan sosial yang adil dan berkepribadian bangsa.⁶
Sutan
Sjahrir mempromosikan sosialisme demokratik sebagai jalan tengah
antara komunisme dan kapitalisme.⁷ Sementara itu, tokoh Islam seperti Haji
Agus Salim berusaha menyelaraskan Pan-Islamisme dengan semangat
nasionalisme Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga mencerminkan
pengaruh besar dari pendidikan kolonial Belanda dan pergaulan internasional di
Timur Tengah. Gerakan serupa juga terlihat di Vietnam, di mana Ho Chi
Minh menggabungkan nasionalisme anti-kolonial dengan ideologi
Marxisme-Leninisme dalam memimpin revolusi melawan Prancis dan AS.⁸
4.3.
Timur Tengah: Persilangan Nasionalisme Arab dan
Pan-Islamisme
Di Timur Tengah, ide
nasionalisme berakar kuat pada gagasan modernisasi dan pembebasan dari dominasi
kolonial Eropa, khususnya Inggris dan Prancis. Di Mesir, Saad
Zaghlul memimpin Gerakan Wafd yang menggabungkan nasionalisme
Mesir dengan tuntutan demokrasi parlementer pasca-Perang Dunia I.⁹ Nasionalisme
Arab kemudian berkembang sebagai ide pemersatu bangsa-bangsa Arab melawan
imperialisme dan untuk membentuk entitas politik bersama.
Namun, nasionalisme
sekuler bersaing dengan Pan-Islamisme, terutama di
kalangan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, yang
menyerukan solidaritas dunia Islam melampaui batas negara.¹⁰ Pada pertengahan
abad ke-20, muncul tokoh seperti Gamal Abdel Nasser di Mesir
yang memadukan nasionalisme Arab, sosialisme, dan anti-imperialisme dalam
proyek nasionalnya. Nasserisme menjadi panutan bagi banyak gerakan di dunia
Arab karena mengusung kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan perlawanan
terhadap kolonialisme.¹¹
4.4.
Afrika Sub-Sahara: Sosialisme Afrika dan
Konstruksi Identitas Nasional
Gerakan nasionalisme
di Afrika Sub-Sahara banyak dipengaruhi oleh sosialisme sebagai reaksi terhadap
eksploitasi kolonial dan kapitalisme Eropa. Kwame Nkrumah di Ghana
mengembangkan sosialisme Afrika yang
menekankan komunitarianisme dan pembangunan berbasis keadilan sosial.¹² Ia
menyatakan bahwa kolonialisme bukan hanya sistem politik, tetapi juga sistem
ekonomi eksploitatif yang harus dihapuskan melalui transformasi struktural.
Demokrasi dan Pan-Afrikanisme
menjadi nilai yang diperjuangkan oleh pemimpin seperti Julius
Nyerere di Tanzania, yang mempromosikan konsep ujamaa
(keluarga besar) sebagai model sosialisme khas Afrika.¹³ Di Nigeria, Nnamdi
Azikiwe memadukan pendidikan liberal Barat dengan semangat
nasionalisme untuk membangun negara multietnis yang bersatu. Afrika menjadi
ladang eksperimen ideologis antara sosialisme, nasionalisme etnis, dan
Pan-Afrikanisme, yang semuanya bertujuan membangun identitas pascakolonial yang
berdaulat.
4.5.
Asia Timur: Kombinasi Radikalisme Revolusioner
dan Nasionalisme Modern
Asia Timur, terutama
Tiongkok, memberikan contoh khas tentang bagaimana ideologi Barat dan lokal
dipadukan dalam perjuangan revolusioner. Sun Yat-sen, pendiri Republik
Tiongkok, merumuskan Tiga Prinsip Rakyat (San Min Chu-i): nasionalisme,
demokrasi, dan kesejahteraan rakyat, sebagai dasar modernisasi bangsa.¹⁴ Sun
memadukan inspirasi dari Barat dengan nilai-nilai Konfusianisme untuk
menumbuhkan rasa kebangsaan di tengah keruntuhan Dinasti Qing.
Gerakan komunis yang
dipimpin Mao Zedong mengambil
Marxisme-Leninisme, tetapi dengan penyesuaian strategis berdasarkan realitas
pedesaan Tiongkok.¹⁵ Maoisme menjadi salah satu bentuk radikalisasi ide
sosialisme di dunia non-Barat dan kemudian memengaruhi berbagai gerakan kiri di
Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Nasionalisme Tiongkok terbentuk dalam
bingkai revolusi sosial dan modernisasi politik yang keras, tetapi tetap
berakar pada pemulihan martabat bangsa dari “abad penghinaan.”
Setiap wilayah di
Asia dan Afrika mengembangkan corak nasionalisme yang khas, hasil dari
persinggungan dinamis antara ideologi global dan pengalaman lokal. Manifestasi
ideologi ini menunjukkan bahwa nasionalisme dunia non-Barat bukan sekadar
replika dari Barat, melainkan konstruksi aktif yang lahir dari dialog antara
struktur kolonial, kesadaran identitas, dan aspirasi kemerdekaan.
Footnotes
[1]
Bipan Chandra, India’s Struggle for Independence (New Delhi:
Penguin Books, 1988), 23–31.
[2]
Judith M. Brown, Gandhi: Prisoner of Hope (New Haven: Yale
University Press, 1991), 112–128.
[3]
Granville Austin, The Indian Constitution: Cornerstone of a Nation
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 17–24.
[4]
Ayesha Jalal, The Sole Spokesman: Jinnah, the Muslim League and the
Demand for Pakistan (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 64–72.
[5]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 102–114.
[6]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Vol. I (Jakarta: Panitia
Penerbit, 1963), 152–161.
[7]
Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia
(Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1994), 81–89.
[8]
William J. Duiker, Ho Chi Minh: A Life (New York: Hyperion,
2000), 211–229.
[9]
James Jankowski, Egyptian Politics and the Rise of Liberalism:
1908–1914 (Oxford: Oxford University Press, 1975), 57–64.
[10]
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism (Berkeley:
University of California Press, 1968), 3–10.
[11]
Joel Gordon, Nasser: Hero of the Arab Nation (Oxford:
Oneworld, 2006), 59–74.
[12]
Kwame Nkrumah, Africa Must Unite (London: Heinemann, 1963),
128–140.
[13]
Julius Nyerere, Freedom and Socialism: A Selection from Writings
and Speeches 1965–1967 (Dar es Salaam: Oxford University Press, 1968),
32–38.
[14]
Marie-Claire Bergère, Sun Yat-sen (Stanford: Stanford University
Press, 1998), 145–152.
[15]
Stuart R. Schram, The Political Thought of Mao Tse-Tung (New
York: Praeger, 1963), 74–86.
5.
Persinggungan dan Ketegangan antar Paham
Dalam sejarah
gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika, berbagai ideologi global seperti demokrasi,
liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme tidak selalu berjalan
seiring. Sebaliknya, kerap terjadi persinggungan—yakni proses
saling bertemu dan memengaruhi—sekaligus ketegangan, di mana ide-ide ini
saling bertentangan secara nilai, strategi, maupun tujuan akhir. Di berbagai
wilayah kolonial, tokoh-tokoh pergerakan sering kali menghadapi dilema dalam
memilih atau memadukan ideologi untuk membangun basis perjuangan yang efektif
dan sesuai dengan realitas sosial-budaya masyarakatnya. Proses ini mencerminkan
dinamika pemikiran yang tidak linier, melainkan penuh tarik-menarik antara
prinsip-prinsip universal dan kebutuhan lokal.
5.1.
Ketegangan antara Liberalisme dan Sosialisme
Liberalisme dan
sosialisme muncul dari konteks Eropa modern, tetapi memiliki orientasi yang
sangat berbeda. Liberalisme menekankan hak individu, kebebasan pasar, dan
pembatasan kekuasaan negara. Sementara itu, sosialisme mengedepankan kesetaraan
sosial, distribusi kekayaan, dan peran negara dalam menjamin keadilan ekonomi.¹
Ketika kedua ide ini diserap ke dalam gerakan nasionalis Asia-Afrika,
ketegangan pun muncul.
Di India, misalnya, Jawaharlal
Nehru dan sayap kiri Kongres Nasional India lebih condong pada
sosialisme sebagai jawaban atas kemiskinan struktural akibat kolonialisme,
sementara kalangan elite zamindar dan industrialis lebih simpatik pada
liberalisme ekonomi.² Di Indonesia, Sutan Sjahrir juga mengkritik
liberalisme ekonomi kolonial dan mengadvokasi sosialisme demokratis sebagai
fondasi negara pasca-kolonial.³ Ketegangan ini terus berlanjut hingga masa
pembangunan, ketika negara-negara baru harus memilih antara model ekonomi
liberal berbasis pasar atau sosialisme terencana yang sering kali berujung pada
otoritarianisme.
5.2.
Nasionalisme Sekuler vs Pan-Islamisme
Persaingan antara
nasionalisme sekuler dan Pan-Islamisme menjadi dinamika penting dalam banyak
negara mayoritas Muslim. Nasionalisme sekuler menekankan identitas kebangsaan
berdasarkan batas-batas teritorial, sementara Pan-Islamisme menyerukan solidaritas
umat Islam lintas negara dan mazhab.⁴ Di Mesir, konflik ini tampak antara
kelompok nasionalis sekuler seperti Wafd Party dan gerakan Islamis seperti
Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna.⁵
Di Indonesia,
perdebatan antara nasionalisme sekuler dan aspirasi Islam politik terjadi dalam
perumusan dasar negara. Perjanjian politik antara kelompok nasionalis dan Islam
pada 1945 melahirkan Pancasila, namun tidak tanpa kontroversi. Tokoh seperti Haji
Agus Salim mencoba menjembatani kedua kutub ini dengan
menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan semangat kebangsaan.⁶
Ketegangan ini terus membayang-bayangi politik Indonesia pascakemerdekaan dan
menjadi isu penting dalam stabilitas nasional.
5.3.
Demokrasi vs Otoritarianisme dalam Negara
Pascakolonial
Demokrasi, sebagai
nilai yang menjunjung partisipasi rakyat, pemilu yang bebas dan adil, serta
perlindungan hak asasi manusia, sering kali dijadikan simbol perjuangan dalam
masa kolonial. Namun, setelah kemerdekaan, banyak negara Asia-Afrika justru mengalami
kemunduran demokrasi dan kecenderungan otoritarianisme.⁷ Alasan yang sering
dikemukakan adalah “persatuan nasional” dan “stabilitas pembangunan”
sebagai prioritas di atas demokrasi prosedural.
Gamal
Abdel Nasser di Mesir, Sukarno di Indonesia, dan Kwame
Nkrumah di Ghana semuanya memulai dengan semangat demokrasi,
namun kemudian mengonsolidasikan kekuasaan melalui sistem satu partai atau
kepemimpinan karismatik tunggal.⁸ Di balik klaim ideologis tersebut, tersimpan
ketegangan antara demokrasi sebagai cita-cita dan kebutuhan negara baru untuk
memusatkan kekuasaan demi mengatasi fragmentasi dan tantangan pembangunan.
5.4.
Sinkretisme Ideologi dan Ketegangan Internal
Gerakan
Dalam banyak kasus,
tokoh dan gerakan nasionalisme mencoba mensintesiskan berbagai ideologi
sebagai strategi politik. Soekarno di Indonesia menciptakan konsep Nasakom
(nasionalisme, agama, komunisme) untuk mempersatukan kekuatan politik utama di
negeri yang sangat majemuk. Namun, pendekatan ini justru menciptakan ketegangan
internal yang eksplosif, seperti terlihat dalam tragedi politik 1965 yang
berujung pada pembantaian massal dan jatuhnya rezim Orde Lama.⁹
Sinkretisme
ideologis juga terjadi di Tiongkok dan Vietnam, di mana nasionalisme
disandingkan dengan komunisme. Namun, dalam praktiknya, terjadi konflik antara
kepentingan nasional dan internasionalisme komunis yang diwakili oleh Uni
Soviet. Hal ini menciptakan dilema ideologis dalam menjaga kedaulatan nasional
sekaligus loyalitas ideologis pada blok tertentu.¹⁰
5.5.
Paham Global vs Tradisi Lokal
Ketegangan terakhir
yang sangat signifikan adalah antara paham-paham global dan nilai-nilai lokal.
Dalam banyak masyarakat Asia-Afrika, nilai kolektivitas, komunitarianisme, dan
spiritualitas menjadi landasan moral yang tidak selalu sejalan dengan individualisme
liberal atau materialisme sosialis.¹¹ Oleh karena itu, proses adaptasi ideologi
sering kali menghasilkan bentuk-bentuk baru yang tidak bisa dipahami hanya
dengan lensa Barat.
Contohnya, konsep Pancasila
di Indonesia atau Ujamaa di Tanzania tidak
sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai liberal atau sosialis, tetapi merupakan
hasil formulasi khas lokal yang mencoba menjawab tantangan modernitas sambil
tetap menghargai tradisi.¹² Ini menunjukkan bahwa negara-negara pascakolonial
berusaha membangun model politik yang otonom, namun tetap terhubung dengan arus
besar ideologi global.
Secara keseluruhan,
persinggungan dan ketegangan antar paham ini mencerminkan kenyataan bahwa
ideologi tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia selalu bergulat dengan kekuatan
lokal, kondisi sejarah, dan kebutuhan politik. Dari sinilah lahir bentuk-bentuk
nasionalisme yang kaya, kompleks, dan penuh dinamika di dunia pascakolonial.
Footnotes
[1]
John Keane, The Life and Death of Democracy (New York: W. W.
Norton & Company, 2009), 421–433.
[2]
Sugata Bose and Ayesha Jalal, Modern South Asia: History, Culture,
Political Economy, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 174–179.
[3]
Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia
(Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1994), 101–106.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
95–103.
[5]
Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers
(London: Oxford University Press, 1969), 56–68.
[6]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 83–90.
[7]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W. W. Norton & Company, 2003), 45–59.
[8]
Joel Gordon, Nasser: Hero of the Arab Nation (Oxford:
Oneworld, 2006), 91–104.
[9]
John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement
and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Madison: University of Wisconsin
Press, 2006), 203–219.
[10]
Odd Arne Westad, The Global Cold War: Third World Interventions and
the Making of Our Times (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
126–133.
[11]
Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under
Colonialism (Delhi: Oxford University Press, 1983), 72–85.
[12]
Julius Nyerere, Freedom and Socialism: A Selection from Writings
and Speeches 1965–1967 (Dar es Salaam: Oxford University Press, 1968),
14–20.
6.
Warisan dan Relevansi di Dunia Kontemporer
Setelah lebih dari
setengah abad sejak gelombang dekolonisasi di Asia dan Afrika, warisan
ideologis dari demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan
Pan-Islamisme masih tetap terasa dalam dinamika sosial-politik negara-negara
pascakolonial. Meskipun konteks geopolitik telah berubah secara drastis,
ide-ide yang pernah menjadi fondasi gerakan kemerdekaan kini menjadi bahan
perdebatan dalam membangun sistem pemerintahan, ekonomi, dan identitas nasional
di tengah arus globalisasi, konflik identitas, dan tantangan ketimpangan sosial
yang baru.
6.1.
Demokrasi dan Tantangan Konsolidasi Politik
Banyak negara
Asia-Afrika mengadopsi sistem demokrasi setelah kemerdekaan, dengan menyusun
konstitusi yang mengakui pemilu, pembagian kekuasaan, dan hak-hak sipil. Namun,
konsolidasi demokrasi di banyak negara tetap rapuh. Sebagian besar negara
menghadapi tantangan seperti lemahnya institusi, korupsi, politisasi etnis dan
agama, serta regresi ke arah otoritarianisme.¹
India menjadi salah
satu contoh negara yang secara konsisten mempertahankan sistem demokrasi
elektoral, meskipun mengalami berbagai tekanan populisme dan nasionalisme
identiter.² Sebaliknya, beberapa negara seperti Mesir dan Zimbabwe mengalami
siklus transisi dan kudeta yang membuat demokrasi tidak stabil. Ini menunjukkan
bahwa demokrasi bukan sekadar mekanisme politik, melainkan sebuah budaya
institusional yang membutuhkan waktu dan keteguhan untuk dibangun.³
6.2.
Liberalisme dan Kritik terhadap Ketimpangan
Global
Di era neoliberal
saat ini, liberalisme ekonomi mendominasi wacana pembangunan global. Namun,
implementasi liberalisme di negara-negara bekas koloni justru sering memperkuat
ketimpangan sosial dan melemahkan kedaulatan ekonomi.⁴ Privatisasi sektor
publik, dominasi korporasi transnasional, dan keterikatan pada lembaga-lembaga
seperti IMF dan Bank Dunia menciptakan ketergantungan baru yang sering disebut
sebagai “neo-kolonialisme.”⁵
Kritik terhadap
model pembangunan liberal ini menguat dalam berbagai gerakan sosial yang
menuntut keadilan ekonomi dan kedaulatan lokal, seperti gerakan agraria di
India, kampanye anti-utang di Afrika, atau penolakan terhadap perjanjian
perdagangan bebas di Asia Tenggara. Hal ini mencerminkan bahwa liberalisme,
meskipun mengandung semangat kebebasan, tidak selalu sejalan dengan aspirasi
keadilan di dunia pascakolonial.⁶
6.3.
Sosialisme dan Gagasan Emansipasi Sosial Baru
Sosialisme yang dulu
menjadi ide sentral dalam perjuangan kemerdekaan mengalami kemunduran setelah
berakhirnya Perang Dingin. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul
kebangkitan baru sosialisme dalam bentuk wacana keadilan sosial, redistribusi
ekonomi, dan perlindungan lingkungan.⁷ Di Afrika, Latin Amerika, dan sebagian
Asia, muncul gerakan progresif yang menghidupkan kembali agenda sosialisme
dengan penekanan pada demokrasi partisipatoris dan hak-hak komunitas adat.
Contohnya adalah
inisiatif Ubuntu
di Afrika Selatan, gerakan koperasi di Indonesia, atau ekonomi solidaritas di
Venezuela dan Bolivia. Meskipun tidak menggunakan label “sosialis” secara
eksplisit, gerakan-gerakan ini mencerminkan semangat emansipatoris yang pernah
menginspirasi para pejuang kemerdekaan.⁸
6.4.
Nasionalisme Kontemporer: Dari Pembebasan ke
Eksklusivisme
Nasionalisme, yang
dahulu merupakan kekuatan pembebasan dari kolonialisme, kini mengalami
transformasi menjadi ideologi negara yang kerap bersifat eksklusif dan bahkan
otoriter. Di beberapa negara, nasionalisme digunakan untuk memperkuat
sentralisasi kekuasaan dan meredam oposisi politik atas nama “persatuan
nasional.”⁹
Bentuk baru
nasionalisme yang berbasis pada etnisitas, agama, atau identitas sejarah
tertentu juga memunculkan konflik horizontal, seperti yang terlihat dalam isu
Rohingya di Myanmar, sektarianisme di Nigeria, dan polarisasi identitas di
India.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme yang tidak disertai dengan prinsip
inklusivitas dan hak asasi dapat menjadi instrumen represi dan diskriminasi.
6.5.
Pan-Islamisme dan Solidaritas Global Umat Islam
Pan-Islamisme
sebagai gerakan politik global mengalami pasang surut sejak kemerdekaan
negara-negara Muslim. Meskipun proyek politik pan-Islamik dalam bentuk
institusi formal seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) relatif terbatas
pengaruhnya, semangat solidaritas umat Islam tetap kuat, terutama dalam
merespons isu-isu seperti penjajahan Palestina, Islamofobia global, dan intervensi
militer Barat di dunia Muslim.¹¹
Di sisi lain,
munculnya gerakan transnasional Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir,
hingga kelompok radikal menunjukkan wajah lain dari Pan-Islamisme yang
dipolitisasi dalam berbagai bentuk. Namun demikian, banyak pemikir Muslim
kontemporer mencoba menghidupkan kembali semangat Pan-Islamisme dalam kerangka
etis dan kosmopolit, menekankan keadilan global dan solidaritas antarumat
manusia.¹²
6.6.
Pendidikan, Media, dan Transformasi Kesadaran
Ideologis
Salah satu warisan
terbesar dari perjuangan ideologis masa lalu adalah pentingnya pendidikan dan
media dalam membentuk kesadaran politik. Generasi muda kini hidup dalam dunia
digital yang memungkinkan akses tak terbatas terhadap ide-ide politik global.
Namun, tantangan juga hadir dalam bentuk disinformasi, apatisme politik, dan
konsumerisme ideologis.¹³
Peran kurikulum
sejarah, media sosial, dan institusi pendidikan tinggi menjadi kunci dalam
menghidupkan kembali pemahaman kritis terhadap dinamika ideologi yang membentuk
bangsa. Membangun kesadaran reflektif atas sejarah nasional dan warisan
pemikiran global sangat penting agar ideologi-ideologi tersebut tidak menjadi
dogma mati, melainkan terus relevan dan kontekstual dalam menjawab tantangan
zaman.
Kesimpulan Antara
Warisan ideologi
global dalam gerakan kemerdekaan Asia-Afrika bukanlah sekadar jejak masa lalu,
melainkan fondasi yang masih hidup dalam praktik politik, ekonomi, dan budaya
saat ini. Tantangan kontemporer menuntut reinterpretasi yang kritis terhadap
warisan tersebut agar tetap relevan dalam mewujudkan keadilan, kedaulatan, dan
kemanusiaan universal di tengah dunia yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 15–23.
[2]
Christophe Jaffrelot, India’s Silent Revolution: The Rise of the
Lower Castes in North India (New York: Columbia University Press, 2003),
284–293.
[3]
Thomas Carothers, “The End of the Transition Paradigm,” Journal of
Democracy 13, no. 1 (2002): 5–21.
[4]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W. W. Norton & Company, 2002), 83–101.
[5]
Samir Amin, Neo-Colonialism in Africa (New York: Monthly
Review Press, 1973), 41–53.
[6]
Walden Bello, Deglobalization: Ideas for a New World Economy
(London: Zed Books, 2002), 61–75.
[7]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 23–35.
[8]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (New York: Routledge, 2016), 117–128.
[9]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 141–149.
[10]
Amartya Sen, Identity and Violence: The Illusion of Destiny
(New York: W. W. Norton & Company, 2006), 45–62.
[11]
S.V.R. Nasr, The Vanguard of the Islamic Revolution: The Jama‘at-i
Islami of Pakistan (Berkeley: University of California Press, 1994),
94–105.
[12]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 231–244.
[13]
Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 81–94.
7.
Penutup
Studi tentang Dinamika
Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme di Asia-Afrika
menyingkap satu fakta penting dalam sejarah modern dunia non-Barat: bahwa
ide-ide besar seperti demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan
Pan-Islamisme tidak hanya menjadi produk dari pengalaman sejarah Eropa atau
Dunia Islam semata, tetapi juga telah menjalani proses dialog, adaptasi, bahkan
transformasi kreatif ketika masuk ke dalam ruang-ruang perjuangan antikolonial
Asia dan Afrika.¹
Gerakan kemerdekaan
di berbagai belahan dunia ini tidak dapat dilepaskan dari sirkulasi ideologi
transnasional. Intelektual kolonial, ulama perantauan, mahasiswa luar negeri,
serta media cetak dan terjemahan menjadi jembatan yang memungkinkan
pemikiran-pemikiran dari Barat dan Timur Tengah masuk ke dalam konteks
perjuangan lokal.² Namun yang menjadikan nasionalisme Asia-Afrika unik adalah
kemampuannya dalam menyaring dan mereformulasi ide-ide tersebut agar sesuai
dengan nilai-nilai lokal, struktur sosial, dan kebutuhan historis yang
spesifik.
Proses ini
melahirkan nasionalisme yang plural, baik dalam orientasi politik maupun dalam
basis sosial-budayanya. Ada nasionalisme sekuler berbasis kebangsaan seperti di
India dan Ghana; nasionalisme Islamis seperti yang berkembang di Pakistan dan
Mesir; nasionalisme Marxis seperti di Vietnam dan Tiongkok; hingga nasionalisme
spiritual seperti di Indonesia yang memadukan elemen lokal, Islam, dan ide
modernitas.³ Masing-masing membawa semangat pembebasan, tetapi juga mewarisi
kontradiksi dari ideologi-ideologi yang membentuknya.
Warisan ideologis
tersebut tidak berhenti di masa kolonial. Di dunia kontemporer, ia terus hidup
dalam perdebatan mengenai bentuk negara, peran agama, sistem ekonomi, dan hak-hak
warga negara. Demokrasi menghadapi tantangan regresi dan populisme; liberalisme
dikritik karena memperdalam kesenjangan sosial; sosialisme dicari bentuk
barunya dalam wajah progresivisme dan keadilan ekologis; nasionalisme berubah
arah menjadi eksklusivisme; sementara Pan-Islamisme mencari jalan etis di
tengah fragmentasi politik dunia Muslim.⁴
Oleh karena itu,
memahami dinamika historis ini bukan hanya urusan retrospektif, melainkan
sebuah kebutuhan untuk menyusun masa depan yang lebih adil dan beradab.
Generasi muda di Asia dan Afrika perlu dibekali dengan kesadaran sejarah yang
kritis, bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya soal mengganti penguasa
kolonial, tetapi membangun tatanan sosial yang berpihak pada kemanusiaan.⁵
Dengan merawat
warisan pemikiran dari para pendiri bangsa yang terlibat dalam pergumulan
ideologis global—baik dari Gandhi, Nehru, Soekarno, Nyerere, hingga Nkrumah dan
Sun Yat-sen—kita tidak sekadar mengenang masa lalu, tetapi mengambil pelajaran
strategis dan moral untuk merumuskan arah pembangunan yang berakar pada
identitas nasional sekaligus terbuka terhadap wacana global.
Footnotes
[1]
Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual
History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 97–102.
[2]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 113–122.
[3]
Prasenjit Duara, Decolonization: Perspectives from Now and Then
(London: Routledge, 2004), 86–95.
[4]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
and Abroad (New York: W. W. Norton & Company, 2003), 90–104.
[5]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (New York: Routledge, 2016), 231–242.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (2006). Imagined communities:
Reflections on the origin and spread of nationalism (Rev. ed.). Verso.
Amin, S. (1973). Neo-colonialism in Africa.
Monthly Review Press.
Austin, G. (1999). The Indian constitution:
Cornerstone of a nation. Oxford University Press.
Azra, A. (2004). The origins of Islamic
reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
'ulama' in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawai‘i
Press.
Bello, W. (2002). Deglobalization: Ideas for a
new world economy. Zed Books.
Bergère, M.-C. (1998). Sun Yat-sen. Stanford
University Press.
Bose, S., & Jalal, A. (2004). Modern South
Asia: History, culture, political economy (2nd ed.). Routledge.
Brown, J. M. (1991). Gandhi: Prisoner of hope.
Yale University Press.
Carothers, T. (2002). The end of the transition
paradigm. Journal of Democracy, 13(1), 5–21. https://doi.org/10.1353/jod.2002.0003
Castells, M. (2009). Communication power.
Oxford University Press.
Chandra, B. (1988). India’s struggle for
independence. Penguin Books.
Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward
consolidation. Johns Hopkins University Press.
Duara, P. (2004). Decolonization: Perspectives
from now and then. Routledge.
Duiker, W. J. (2000). Ho Chi Minh: A life.
Hyperion.
Gordon, J. (2006). Nasser: Hero of the Arab
nation. Oneworld.
Hobsbawm, E. (1990). Nations and nationalism
since 1780: Programme, myth, reality. Cambridge University Press.
Jaffrelot, C. (2003). India’s silent revolution:
The rise of the lower castes in North India. Columbia University Press.
Jalal, A. (1985). The sole spokesman: Jinnah,
the Muslim League and the demand for Pakistan. Cambridge University Press.
Jankowski, J. (1975). Egyptian politics and the
rise of liberalism: 1908–1914. Oxford University Press.
Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution
in Indonesia. Cornell University Press.
Keddie, N. R. (1968). An Islamic response to
imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamāl al-Dīn
“al-Afghānī”. University of California Press.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna:
Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka
Utama.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1848)
Mitchell, R. P. (1969). The Society of the
Muslim Brothers. Oxford University Press.
Mrazek, R. (1994). Sjahrir: Politics and exile
in Indonesia. Cornell Southeast Asia Program.
Nasr, S. V. R. (1994). The vanguard of the
Islamic revolution: The Jama'at-i Islami of Pakistan. University of
California Press.
Nkrumah, K. (1963). Africa must unite.
Heinemann.
Nyerere, J. (1968). Freedom and socialism: A
selection from writings and speeches 1965–1967. Oxford University Press.
Prashad, V. (2007). The darker nations: A
people’s history of the Third World. New Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Ramadan, T. (2009). Radical reform: Islamic
ethics and liberation. Oxford University Press.
Renan, E. (1996). What is a nation? In G. Eley
& R. G. Suny (Eds.), Becoming national: A reader (pp. 42–55). Oxford
University Press.
Roff, W. R. (1994). The origins of Malay
nationalism (2nd ed.). Oxford University Press.
Roosa, J. (2006). Pretext for mass murder: The
September 30th movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia. University
of Wisconsin Press.
Santos, B. de S. (2016). Epistemologies of the
South: Justice against epistemicide. Routledge.
Schram, S. R. (1963). The political thought of
Mao Tse-Tung. Praeger.
Sen, A. (2006). Identity and violence: The
illusion of destiny. W. W. Norton & Company.
Smith, A. (1904). An inquiry into the nature and
causes of the wealth of nations. Methuen & Co. (Original work published
1776)
Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi
(Vol. I). Panitia Penerbit.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its
discontents. W. W. Norton & Company.
Westad, O. A. (2005). The global Cold War: Third
World interventions and the making of our times. Cambridge University
Press.
Wright, E. O. (2010). Envisioning real utopias.
Verso.
Zakaria, F. (2003). The future of freedom:
Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton & Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar