Jumat, 06 Juni 2025

Sejarah IPS 11-5: Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme di Asia-Afrika

Bahan Ajar Sejarah

Dari Paham Dunia ke Gerakan Kemerdekaan

Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme di Asia-Afrika


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.


Abstrak

Artikel ini mengkaji keterkaitan historis antara perkembangan paham-paham besar dunia—demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme—dengan gerakan nasionalisme di kawasan Asia dan Afrika selama periode kolonial hingga pascakolonial. Melalui pendekatan historis-komparatif dan analisis ideologis, artikel ini menelusuri asal-usul, penyebaran, dan adaptasi paham-paham tersebut dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ideologi-ideologi tersebut berasal dari latar kultural dan geografis yang berbeda, mereka mengalami proses kontekstualisasi yang kreatif oleh tokoh-tokoh pergerakan di dunia kolonial. Berbagai studi regional di Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, dan Asia Timur memperlihatkan manifestasi ideologis yang plural dan dinamis. Artikel ini juga mengeksplorasi ketegangan antar paham, seperti antara nasionalisme dan Pan-Islamisme, sosialisme dan liberalisme, serta demokrasi dan otoritarianisme dalam konteks negara pascakolonial. Warisan pemikiran ini tetap relevan dalam dinamika politik kontemporer, baik dalam bentuk demokratisasi, kritik terhadap neoliberalisme, maupun dalam kebangkitan identitas kolektif. Kesadaran atas dinamika ideologis ini penting bagi generasi masa kini untuk memahami bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan wacana dan visi peradaban.

Kata Kunci: Demokrasi; Liberalisme; Sosialisme; Nasionalisme; Pan-Islamisme; Asia-Afrika; Gerakan Kemerdekaan; Ideologi Global; Dekolonisasi; Pascakolonial.


PEMBAHASAN

Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme di Asia-Afrika


1.           Pendahuluan

Sejak abad ke-15, dunia mengalami gelombang ekspansi kolonialisme Eropa yang menyebar ke berbagai penjuru Asia dan Afrika. Dalam proses tersebut, tidak hanya kekuasaan politik dan sistem ekonomi yang dipaksakan oleh kekuatan imperialis, tetapi juga nilai-nilai budaya dan ideologi yang menyertainya. Masyarakat jajahan tidak hanya menjadi objek eksploitasi sumber daya, melainkan juga sasaran penetrasi gagasan modern dari Barat, seperti demokrasi, liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme. Di sisi lain, kawasan dunia Islam juga menyaksikan munculnya gagasan Pan-Islamisme sebagai respons terhadap fragmentasi umat dan dominasi kolonial. Gagasan-gagasan besar ini menjadi bagian dari dinamika pemikiran global yang, dalam banyak kasus, justru menjadi pemicu kebangkitan kesadaran kolektif untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Kontak ideologis ini seringkali terjadi melalui berbagai saluran seperti pendidikan kolonial, literatur politik, surat kabar, serta pertukaran intelektual antara Timur dan Barat. Misalnya, kaum terpelajar di India, Mesir, dan Indonesia banyak yang mengenyam pendidikan Barat, membaca literatur Eropa, dan terinspirasi oleh tokoh-tokoh seperti Rousseau, Marx, ataupun John Stuart Mill. Di sisi lain, tokoh-tokoh pembaru Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh memperkenalkan pemikiran Pan-Islamisme sebagai alternatif ideologis terhadap dominasi Eropa dan perpecahan di dunia Muslim.¹

Fenomena ini menandai transformasi penting dalam gerakan nasionalisme di Asia-Afrika. Bila pada awalnya nasionalisme muncul sebagai semangat perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial, maka sejak awal abad ke-20, nasionalisme mulai terinspirasi dan diperkuat oleh ide-ide universal yang bersumber dari wacana modernitas global.² Paham demokrasi memberi dasar bagi tuntutan representasi politik; liberalisme menguatkan seruan akan kebebasan individu dan pasar; sosialisme mendorong perlawanan terhadap ketimpangan struktural; nasionalisme membangkitkan kesadaran identitas kolektif yang berakar pada budaya lokal; sementara Pan-Islamisme menyerukan persatuan umat sebagai kekuatan perlawanan transnasional.

Dengan kata lain, meskipun bersumber dari akar sejarah dan budaya yang berbeda-beda, paham-paham besar ini telah mengalami proses adopsi, adaptasi, dan transformasi yang kompleks dalam konteks Asia-Afrika. Perpaduan antara gagasan-gagasan universal dan nilai-nilai lokal menjadikan gerakan kemerdekaan bukan sekadar reaksi terhadap kekuasaan asing, tetapi juga bagian dari percaturan ideologi dunia yang memperjuangkan tatanan sosial-politik yang adil dan berdaulat.³ Maka, kajian ini penting bukan hanya untuk memahami dinamika masa lalu, tetapi juga untuk merefleksikan bagaimana warisan intelektual global terus memengaruhi kehidupan politik dan identitas bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dewasa ini.


Footnotes

[1]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamāl al-Dīn “al-Afghānī” (Berkeley: University of California Press, 1968), 3–18.

[2]                Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 113–122.

[3]                Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 57–64.


2.           Peta Pemikiran Global: Asal-Usul dan Konteks Ideologis

Dalam memahami kebangkitan gerakan nasionalisme di Asia-Afrika, penting untuk menelusuri akar dan konteks historis dari berbagai paham besar yang berpengaruh dalam percaturan pemikiran global. Setiap ideologi—demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme—lahir dari konteks sosial, politik, dan intelektual tertentu, namun seiring dengan globalisasi ide, semuanya mengalami proses perlintasan budaya yang membentuk dinamika sejarah dunia non-Barat, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan.

2.1.       Demokrasi

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan memiliki akar panjang sejak polis-polis Yunani Kuno, namun bentuk modernnya baru berkembang di Eropa Barat pada abad ke-17 dan ke-18, terutama melalui Revolusi Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi Prancis (1789). Inti demokrasi terletak pada prinsip kedaulatan rakyat, pemisahan kekuasaan, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.¹ Perkembangannya didorong oleh tuntutan terhadap keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan dan perlindungan hukum atas kebebasan sipil—ide yang kemudian diadopsi oleh gerakan-gerakan nasional di dunia kolonial sebagai dasar tuntutan representasi politik.

2.2.       Liberalisme

Lahir dari tradisi Pencerahan Eropa (Aufklärung), liberalisme berkembang sebagai pembelaan terhadap kebebasan individu dari dominasi negara absolut dan dogma keagamaan. Tokoh seperti John Locke meletakkan fondasi liberalisme politik melalui gagasan hak hidup, kebebasan, dan milik sebagai hak kodrati manusia.² Dalam bidang ekonomi, Adam Smith melalui The Wealth of Nations (1776) memaparkan pentingnya kebebasan pasar dan peran mekanisme "tangan tak terlihat" dalam mengatur kehidupan ekonomi.³ Liberalisme menyebar sebagai ide yang membela kemerdekaan pribadi, pasar bebas, serta pemerintahan yang dibatasi oleh hukum, dan menjadi inspirasi utama bagi kalangan intelektual dan pergerakan reformis di koloni-koloni Asia dan Afrika.

2.3.       Sosialisme

Sosialisme muncul sebagai respons terhadap ketimpangan sosial akibat Revolusi Industri. Kritik terhadap eksploitasi tenaga kerja dan konsentrasi kekayaan di tangan pemilik modal mendorong lahirnya ide tentang keadilan sosial dan kepemilikan kolektif atas alat produksi. Tokoh seperti Karl Marx dan Friedrich Engels menyerukan revolusi proletar sebagai jalan menuju masyarakat tanpa kelas.⁴ Di dunia kolonial, sosialisme menarik perhatian kaum pergerakan karena menjanjikan emansipasi ekonomi dan sosial dari sistem kapitalis-imperialis yang melekat dalam kolonialisme.⁵ Banyak tokoh Asia-Afrika kemudian mengembangkan sosialisme dalam kerangka nasional untuk membangun masyarakat merdeka yang adil dan setara, seperti Soekarno di Indonesia dan Kwame Nkrumah di Ghana.

2.4.       Nasionalisme

Nasionalisme merupakan ide modern yang menekankan pentingnya ikatan identitas bersama berdasarkan bahasa, sejarah, budaya, dan aspirasi politik. Dalam konteks Eropa, nasionalisme tumbuh seiring dengan keruntuhan kekuasaan feodal dan munculnya negara-bangsa.⁶ Ernest Renan menekankan bahwa bangsa adalah hasil kehendak bersama untuk hidup dalam solidaritas, sementara Johann Gottfried Herder menggarisbawahi pentingnya budaya dan bahasa sebagai ciri identitas nasional.⁷ Di dunia kolonial, nasionalisme menjadi alat untuk menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama dalam satu kesadaran kolektif menentang penjajahan, sekaligus menjadi fondasi legitimasi bagi pembentukan negara merdeka.

2.5.       Pan-Islamisme

Pan-Islamisme berkembang sebagai tanggapan terhadap fragmentasi politik umat Islam dan intervensi kolonial Barat di dunia Islam. Tokoh utama seperti Jamaluddin al-Afghani menyerukan persatuan umat Islam lintas bangsa dan mazhab untuk menanggulangi dominasi asing dan membangun kekuatan kolektif.⁸ Gagasan ini tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga politis dan strategis. Ia mengandung kritik terhadap stagnasi internal umat Islam sekaligus seruan untuk pembaruan pemikiran dan solidaritas transnasional. Pan-Islamisme menjadi relevan di Asia dan Afrika karena berfungsi sebagai perekat identitas dan sumber inspirasi dalam perlawanan terhadap imperialisme Barat, khususnya di kawasan dengan populasi Muslim signifikan seperti Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.⁹


Setiap paham besar tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi sering kali saling bersilang, tumpang tindih, atau bahkan bertentangan dalam implementasinya di berbagai belahan dunia. Interaksi ideologi tersebut menciptakan variasi pengalaman nasionalisme di Asia dan Afrika, di mana ide-ide global dipadukan dengan nilai-nilai lokal dan realitas kolonial yang khas. Oleh karena itu, pemahaman atas asal-usul dan konteks ideologis ini sangat penting dalam menelusuri evolusi pemikiran dalam gerakan kemerdekaan Asia-Afrika.


Footnotes

[1]                John Dunn, Democracy: A History (New York: Atlantic Monthly Press, 2005), 49–72.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.

[3]                Adam Smith, The Wealth of Nations (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), Book IV, Chapter II.

[4]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Books, 2002), 14–25.

[5]                Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third World (New York: New Press, 2007), 45–58.

[6]                Eric Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 9–38.

[7]                Ernest Renan, “What Is a Nation?” in Becoming National: A Reader, ed. Geoff Eley and Ronald Grigor Suny (New York: Oxford University Press, 1996), 42–55.

[8]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamāl al-Dīn “al-Afghānī” (Berkeley: University of California Press, 1968), 3–18.

[9]                Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 57–70.


3.           Pengaruh Ideologi Global terhadap Gerakan Nasionalisme di Asia-Afrika

Gelombang ideologis yang lahir di Barat dan Dunia Islam sejak abad ke-18 tidak hanya berpengaruh dalam batas-batas geografinya, tetapi juga menjangkau koloni-koloni Asia dan Afrika, membentuk basis intelektual dan moral bagi gerakan nasionalisme. Demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme menjadi bahan mentah yang diolah dan disesuaikan oleh tokoh-tokoh pergerakan di dunia kolonial dalam perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan. Proses ini berlangsung melalui berbagai saluran seperti pendidikan kolonial dan Timur Tengah, jaringan surat kabar dan penerbitan, perantauan tokoh-tokoh elite, serta dinamika pertukaran pemikiran transnasional.

3.1.       Transfer Ideologi melalui Pendidikan dan Tokoh Perantauan

Pendidikan memainkan peran krusial dalam menyebarkan gagasan-gagasan modern ke kalangan elite kolonial. Sekolah-sekolah misi dan lembaga pendidikan Barat di koloni Asia dan Afrika menjadi sarana utama penetrasi nilai-nilai liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme Eropa.¹ Di India, misalnya, lembaga-lembaga seperti Universitas Kalkuta dan Universitas Madras memunculkan generasi intelektual India yang terdidik dalam tradisi Barat dan kemudian memainkan peran sentral dalam Kongres Nasional India.²

Sementara itu, banyak tokoh Muslim dari Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia yang belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo atau madrasah reformis di Mekkah juga menyerap pemikiran Pan-Islamisme dan pembaruan keislaman.³ Salah satu tokoh penting adalah Syed Sheikh al-Hadi dari Malaysia dan Haji Agus Salim dari Indonesia, yang memadukan ide Pan-Islamisme dengan semangat nasionalisme dan modernisme.⁴ Perjalanan intelektual ini memperlihatkan bahwa nasionalisme kolonial bukanlah gerakan tertutup, melainkan hasil pertukaran pemikiran lintas dunia.

3.2.       Adaptasi Lokal dan Kontekstualisasi Ide

Paham-paham besar yang masuk ke Asia-Afrika tidak diserap secara mentah, melainkan mengalami adaptasi dan sinkretisasi dengan nilai-nilai lokal, agama, dan budaya tradisional. Di banyak wilayah, nasionalisme tumbuh bukan dalam bentuk sekular Eropa, tetapi menyatu dengan keyakinan keagamaan dan identitas etnis.⁵ Misalnya, gerakan nasionalisme di Mesir dan India memadukan simbol-simbol Islam dan Hindu dengan idiom-idiom modern seperti “kemerdekaan,” “hak rakyat,” atau “persatuan bangsa.”⁶

Di Indonesia, pemikiran Soekarno menunjukkan sintesis kompleks antara sosialisme, nasionalisme, Islam, dan ajaran Timur lainnya seperti Marhaenisme dan ajaran spiritual lokal.⁷ Soekarno menekankan bahwa sosialisme yang cocok bagi Indonesia bukanlah sosialisme ala Marx yang materialistis, tetapi sosialisme yang berjiwa gotong-royong dan berdasarkan keadilan sosial dalam tradisi Nusantara. Hal ini menunjukkan bagaimana ide-ide global diproses secara kreatif untuk menjawab kebutuhan masyarakat lokal yang sedang bergulat keluar dari penjajahan.

Adaptasi ini juga dapat dilihat dalam gagasan demokrasi yang diartikulasikan dalam bentuk musyawarah mufakat atau sistem kepemimpinan kolektif yang sesuai dengan struktur sosial setempat.⁸ Liberalisme pun tidak diterima sepenuhnya karena kerap dipandang terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kolektivitas masyarakat Asia-Afrika. Namun demikian, semangat pembebasan dari tirani, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta pemerintahan berdasarkan hukum tetap menjadi elemen penting dalam visi negara pascakolonial.

3.3.       Ideologi sebagai Strategi Perlawanan terhadap Kolonialisme

Paham-paham global tidak hanya menjadi wacana intelektual, tetapi juga senjata ideologis dalam perjuangan antikolonial. Nasionalisme memberikan bahasa bersama untuk menyatukan rakyat lintas etnis dan agama dalam perjuangan kemerdekaan. Sosialisme memberikan dasar untuk menentang ketimpangan ekonomi kolonial, sedangkan Pan-Islamisme memperkuat solidaritas antarumat Muslim di berbagai wilayah yang terpecah-belah oleh imperialisme.⁹

Di banyak kasus, ideologi tidak berdiri sendiri, melainkan digunakan secara strategis. Para tokoh pergerakan menggabungkan berbagai unsur dari ideologi yang berbeda untuk merumuskan visi kemerdekaan yang sesuai dengan kondisi lokal. Ini tampak jelas pada Chinua Achebe di Nigeria, Nkrumah di Ghana, dan Ho Chi Minh di Vietnam yang menggabungkan nasionalisme dengan sosialisme sebagai dasar perjuangan mereka.¹⁰ Hal serupa terjadi pula di dunia Islam, di mana Pan-Islamisme sering menjadi perekat solidaritas regional dan sumber legitimasi dalam menghadapi penguasa kolonial.


Secara keseluruhan, pengaruh ideologi global terhadap nasionalisme Asia-Afrika menunjukkan suatu proses historis yang kompleks, dialogis, dan sering kontradiktif. Di satu sisi, ide-ide tersebut membantu membentuk visi kebangsaan dan memperkuat legitimasi moral perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain, setelah kemerdekaan, banyak negara menghadapi dilema antara idealisme ideologis dan realitas kekuasaan, yang menimbulkan tantangan baru dalam pembangunan bangsa.


Footnotes

[1]                Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge, History (Berkeley: University of California Press, 2005), 146–150.

[2]                Sugata Bose and Ayesha Jalal, Modern South Asia: History, Culture, Political Economy, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 135–142.

[3]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 197–204.

[4]                William R. Roff, The Origins of Malay Nationalism, 2nd ed. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994), 91–102.

[5]                Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993), 5–10.

[6]                Faisal Devji, Muslim Zion: Pakistan as a Political Idea (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 33–46.

[7]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Vol. I (Jakarta: Panitia Penerbit, 1963), 317–324.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 108–113.

[9]                James Piscatori, Islam in a World of Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 56–60.

[10]             Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third World (New York: New Press, 2007), 59–78.


4.           Studi Regional: Manifestasi Ideologi dalam Gerakan Nasionalisme

Perkembangan nasionalisme di Asia dan Afrika tidak bersifat seragam. Setiap kawasan menunjukkan kekhasan dalam menyerap, menafsirkan, dan menerapkan berbagai paham global sesuai dengan konteks historis, sosial, dan kulturalnya masing-masing. Studi regional ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme dimanifestasikan secara konkret dalam gerakan-gerakan kemerdekaan di lima kawasan utama: Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, dan Asia Timur.

4.1.       Asia Selatan: Nasionalisme Sekuler dan Strategi Gandhian

Gerakan nasionalisme di India merupakan contoh klasik dari perjumpaan antara pemikiran liberal-demokratis, nasionalisme modern, dan strategi non-kekerasan yang dikembangkan secara unik. Kongres Nasional India, yang didirikan pada tahun 1885, awalnya terdiri dari elite terpelajar yang menyuarakan aspirasi melalui kerangka hukum kolonial Inggris.¹ Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi memperkenalkan pendekatan baru melalui satyagraha (perlawanan tanpa kekerasan) dan swadeshi (kemandirian ekonomi), yang menggabungkan semangat nasionalisme dengan prinsip moral Hindu dan etika humanistik.²

Sementara itu, Jawaharlal Nehru, sebagai arsitek utama India pascakolonial, memadukan sosialisme demokratik dan sekularisme sebagai dasar pembangunan nasional.³ Paham-paham sosialisme dan demokrasi liberal menjadi kerangka bagi pembentukan konstitusi India, yang menjamin hak-hak sipil, pemilu bebas, dan program kesejahteraan sosial. Di sisi lain, Muhammad Ali Jinnah, melalui Liga Muslim, memperjuangkan pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam di Asia Selatan, yang akhirnya melahirkan Pakistan pada 1947, dengan mengusung semangat Pan-Islamisme sebagai identitas pemersatu.⁴

4.2.       Asia Tenggara: Sinkretisme Ideologi dan Strategi Emansipatoris

Asia Tenggara memperlihatkan model nasionalisme yang sangat kompleks dan plural. Di Indonesia, gerakan nasionalisme berkembang dari akar tradisi Islam, sosialisme, dan nasionalisme sekuler. Tokoh seperti Soekarno memformulasikan ide nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) sebagai bentuk kompromi ideologis dalam menghadapi realitas kemajemukan bangsa.⁵ Dalam pidatonya, Soekarno menekankan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajahan, melainkan upaya membangun tatanan sosial yang adil dan berkepribadian bangsa.⁶

Sutan Sjahrir mempromosikan sosialisme demokratik sebagai jalan tengah antara komunisme dan kapitalisme.⁷ Sementara itu, tokoh Islam seperti Haji Agus Salim berusaha menyelaraskan Pan-Islamisme dengan semangat nasionalisme Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga mencerminkan pengaruh besar dari pendidikan kolonial Belanda dan pergaulan internasional di Timur Tengah. Gerakan serupa juga terlihat di Vietnam, di mana Ho Chi Minh menggabungkan nasionalisme anti-kolonial dengan ideologi Marxisme-Leninisme dalam memimpin revolusi melawan Prancis dan AS.⁸

4.3.       Timur Tengah: Persilangan Nasionalisme Arab dan Pan-Islamisme

Di Timur Tengah, ide nasionalisme berakar kuat pada gagasan modernisasi dan pembebasan dari dominasi kolonial Eropa, khususnya Inggris dan Prancis. Di Mesir, Saad Zaghlul memimpin Gerakan Wafd yang menggabungkan nasionalisme Mesir dengan tuntutan demokrasi parlementer pasca-Perang Dunia I.⁹ Nasionalisme Arab kemudian berkembang sebagai ide pemersatu bangsa-bangsa Arab melawan imperialisme dan untuk membentuk entitas politik bersama.

Namun, nasionalisme sekuler bersaing dengan Pan-Islamisme, terutama di kalangan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, yang menyerukan solidaritas dunia Islam melampaui batas negara.¹⁰ Pada pertengahan abad ke-20, muncul tokoh seperti Gamal Abdel Nasser di Mesir yang memadukan nasionalisme Arab, sosialisme, dan anti-imperialisme dalam proyek nasionalnya. Nasserisme menjadi panutan bagi banyak gerakan di dunia Arab karena mengusung kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap kolonialisme.¹¹

4.4.       Afrika Sub-Sahara: Sosialisme Afrika dan Konstruksi Identitas Nasional

Gerakan nasionalisme di Afrika Sub-Sahara banyak dipengaruhi oleh sosialisme sebagai reaksi terhadap eksploitasi kolonial dan kapitalisme Eropa. Kwame Nkrumah di Ghana mengembangkan sosialisme Afrika yang menekankan komunitarianisme dan pembangunan berbasis keadilan sosial.¹² Ia menyatakan bahwa kolonialisme bukan hanya sistem politik, tetapi juga sistem ekonomi eksploitatif yang harus dihapuskan melalui transformasi struktural.

Demokrasi dan Pan-Afrikanisme menjadi nilai yang diperjuangkan oleh pemimpin seperti Julius Nyerere di Tanzania, yang mempromosikan konsep ujamaa (keluarga besar) sebagai model sosialisme khas Afrika.¹³ Di Nigeria, Nnamdi Azikiwe memadukan pendidikan liberal Barat dengan semangat nasionalisme untuk membangun negara multietnis yang bersatu. Afrika menjadi ladang eksperimen ideologis antara sosialisme, nasionalisme etnis, dan Pan-Afrikanisme, yang semuanya bertujuan membangun identitas pascakolonial yang berdaulat.

4.5.       Asia Timur: Kombinasi Radikalisme Revolusioner dan Nasionalisme Modern

Asia Timur, terutama Tiongkok, memberikan contoh khas tentang bagaimana ideologi Barat dan lokal dipadukan dalam perjuangan revolusioner. Sun Yat-sen, pendiri Republik Tiongkok, merumuskan Tiga Prinsip Rakyat (San Min Chu-i): nasionalisme, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat, sebagai dasar modernisasi bangsa.¹⁴ Sun memadukan inspirasi dari Barat dengan nilai-nilai Konfusianisme untuk menumbuhkan rasa kebangsaan di tengah keruntuhan Dinasti Qing.

Gerakan komunis yang dipimpin Mao Zedong mengambil Marxisme-Leninisme, tetapi dengan penyesuaian strategis berdasarkan realitas pedesaan Tiongkok.¹⁵ Maoisme menjadi salah satu bentuk radikalisasi ide sosialisme di dunia non-Barat dan kemudian memengaruhi berbagai gerakan kiri di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Nasionalisme Tiongkok terbentuk dalam bingkai revolusi sosial dan modernisasi politik yang keras, tetapi tetap berakar pada pemulihan martabat bangsa dari “abad penghinaan.”


Setiap wilayah di Asia dan Afrika mengembangkan corak nasionalisme yang khas, hasil dari persinggungan dinamis antara ideologi global dan pengalaman lokal. Manifestasi ideologi ini menunjukkan bahwa nasionalisme dunia non-Barat bukan sekadar replika dari Barat, melainkan konstruksi aktif yang lahir dari dialog antara struktur kolonial, kesadaran identitas, dan aspirasi kemerdekaan.


Footnotes

[1]                Bipan Chandra, India’s Struggle for Independence (New Delhi: Penguin Books, 1988), 23–31.

[2]                Judith M. Brown, Gandhi: Prisoner of Hope (New Haven: Yale University Press, 1991), 112–128.

[3]                Granville Austin, The Indian Constitution: Cornerstone of a Nation (Oxford: Oxford University Press, 1999), 17–24.

[4]                Ayesha Jalal, The Sole Spokesman: Jinnah, the Muslim League and the Demand for Pakistan (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 64–72.

[5]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 102–114.

[6]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Vol. I (Jakarta: Panitia Penerbit, 1963), 152–161.

[7]                Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1994), 81–89.

[8]                William J. Duiker, Ho Chi Minh: A Life (New York: Hyperion, 2000), 211–229.

[9]                James Jankowski, Egyptian Politics and the Rise of Liberalism: 1908–1914 (Oxford: Oxford University Press, 1975), 57–64.

[10]             Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism (Berkeley: University of California Press, 1968), 3–10.

[11]             Joel Gordon, Nasser: Hero of the Arab Nation (Oxford: Oneworld, 2006), 59–74.

[12]             Kwame Nkrumah, Africa Must Unite (London: Heinemann, 1963), 128–140.

[13]             Julius Nyerere, Freedom and Socialism: A Selection from Writings and Speeches 1965–1967 (Dar es Salaam: Oxford University Press, 1968), 32–38.

[14]             Marie-Claire Bergère, Sun Yat-sen (Stanford: Stanford University Press, 1998), 145–152.

[15]             Stuart R. Schram, The Political Thought of Mao Tse-Tung (New York: Praeger, 1963), 74–86.


5.           Persinggungan dan Ketegangan antar Paham

Dalam sejarah gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika, berbagai ideologi global seperti demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme tidak selalu berjalan seiring. Sebaliknya, kerap terjadi persinggungan—yakni proses saling bertemu dan memengaruhi—sekaligus ketegangan, di mana ide-ide ini saling bertentangan secara nilai, strategi, maupun tujuan akhir. Di berbagai wilayah kolonial, tokoh-tokoh pergerakan sering kali menghadapi dilema dalam memilih atau memadukan ideologi untuk membangun basis perjuangan yang efektif dan sesuai dengan realitas sosial-budaya masyarakatnya. Proses ini mencerminkan dinamika pemikiran yang tidak linier, melainkan penuh tarik-menarik antara prinsip-prinsip universal dan kebutuhan lokal.

5.1.       Ketegangan antara Liberalisme dan Sosialisme

Liberalisme dan sosialisme muncul dari konteks Eropa modern, tetapi memiliki orientasi yang sangat berbeda. Liberalisme menekankan hak individu, kebebasan pasar, dan pembatasan kekuasaan negara. Sementara itu, sosialisme mengedepankan kesetaraan sosial, distribusi kekayaan, dan peran negara dalam menjamin keadilan ekonomi.¹ Ketika kedua ide ini diserap ke dalam gerakan nasionalis Asia-Afrika, ketegangan pun muncul.

Di India, misalnya, Jawaharlal Nehru dan sayap kiri Kongres Nasional India lebih condong pada sosialisme sebagai jawaban atas kemiskinan struktural akibat kolonialisme, sementara kalangan elite zamindar dan industrialis lebih simpatik pada liberalisme ekonomi.² Di Indonesia, Sutan Sjahrir juga mengkritik liberalisme ekonomi kolonial dan mengadvokasi sosialisme demokratis sebagai fondasi negara pasca-kolonial.³ Ketegangan ini terus berlanjut hingga masa pembangunan, ketika negara-negara baru harus memilih antara model ekonomi liberal berbasis pasar atau sosialisme terencana yang sering kali berujung pada otoritarianisme.

5.2.       Nasionalisme Sekuler vs Pan-Islamisme

Persaingan antara nasionalisme sekuler dan Pan-Islamisme menjadi dinamika penting dalam banyak negara mayoritas Muslim. Nasionalisme sekuler menekankan identitas kebangsaan berdasarkan batas-batas teritorial, sementara Pan-Islamisme menyerukan solidaritas umat Islam lintas negara dan mazhab.⁴ Di Mesir, konflik ini tampak antara kelompok nasionalis sekuler seperti Wafd Party dan gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna.⁵

Di Indonesia, perdebatan antara nasionalisme sekuler dan aspirasi Islam politik terjadi dalam perumusan dasar negara. Perjanjian politik antara kelompok nasionalis dan Islam pada 1945 melahirkan Pancasila, namun tidak tanpa kontroversi. Tokoh seperti Haji Agus Salim mencoba menjembatani kedua kutub ini dengan menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan semangat kebangsaan.⁶ Ketegangan ini terus membayang-bayangi politik Indonesia pascakemerdekaan dan menjadi isu penting dalam stabilitas nasional.

5.3.       Demokrasi vs Otoritarianisme dalam Negara Pascakolonial

Demokrasi, sebagai nilai yang menjunjung partisipasi rakyat, pemilu yang bebas dan adil, serta perlindungan hak asasi manusia, sering kali dijadikan simbol perjuangan dalam masa kolonial. Namun, setelah kemerdekaan, banyak negara Asia-Afrika justru mengalami kemunduran demokrasi dan kecenderungan otoritarianisme.⁷ Alasan yang sering dikemukakan adalah “persatuan nasional” dan “stabilitas pembangunan” sebagai prioritas di atas demokrasi prosedural.

Gamal Abdel Nasser di Mesir, Sukarno di Indonesia, dan Kwame Nkrumah di Ghana semuanya memulai dengan semangat demokrasi, namun kemudian mengonsolidasikan kekuasaan melalui sistem satu partai atau kepemimpinan karismatik tunggal.⁸ Di balik klaim ideologis tersebut, tersimpan ketegangan antara demokrasi sebagai cita-cita dan kebutuhan negara baru untuk memusatkan kekuasaan demi mengatasi fragmentasi dan tantangan pembangunan.

5.4.       Sinkretisme Ideologi dan Ketegangan Internal Gerakan

Dalam banyak kasus, tokoh dan gerakan nasionalisme mencoba mensintesiskan berbagai ideologi sebagai strategi politik. Soekarno di Indonesia menciptakan konsep Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) untuk mempersatukan kekuatan politik utama di negeri yang sangat majemuk. Namun, pendekatan ini justru menciptakan ketegangan internal yang eksplosif, seperti terlihat dalam tragedi politik 1965 yang berujung pada pembantaian massal dan jatuhnya rezim Orde Lama.⁹

Sinkretisme ideologis juga terjadi di Tiongkok dan Vietnam, di mana nasionalisme disandingkan dengan komunisme. Namun, dalam praktiknya, terjadi konflik antara kepentingan nasional dan internasionalisme komunis yang diwakili oleh Uni Soviet. Hal ini menciptakan dilema ideologis dalam menjaga kedaulatan nasional sekaligus loyalitas ideologis pada blok tertentu.¹⁰

5.5.       Paham Global vs Tradisi Lokal

Ketegangan terakhir yang sangat signifikan adalah antara paham-paham global dan nilai-nilai lokal. Dalam banyak masyarakat Asia-Afrika, nilai kolektivitas, komunitarianisme, dan spiritualitas menjadi landasan moral yang tidak selalu sejalan dengan individualisme liberal atau materialisme sosialis.¹¹ Oleh karena itu, proses adaptasi ideologi sering kali menghasilkan bentuk-bentuk baru yang tidak bisa dipahami hanya dengan lensa Barat.

Contohnya, konsep Pancasila di Indonesia atau Ujamaa di Tanzania tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai liberal atau sosialis, tetapi merupakan hasil formulasi khas lokal yang mencoba menjawab tantangan modernitas sambil tetap menghargai tradisi.¹² Ini menunjukkan bahwa negara-negara pascakolonial berusaha membangun model politik yang otonom, namun tetap terhubung dengan arus besar ideologi global.


Secara keseluruhan, persinggungan dan ketegangan antar paham ini mencerminkan kenyataan bahwa ideologi tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia selalu bergulat dengan kekuatan lokal, kondisi sejarah, dan kebutuhan politik. Dari sinilah lahir bentuk-bentuk nasionalisme yang kaya, kompleks, dan penuh dinamika di dunia pascakolonial.


Footnotes

[1]                John Keane, The Life and Death of Democracy (New York: W. W. Norton & Company, 2009), 421–433.

[2]                Sugata Bose and Ayesha Jalal, Modern South Asia: History, Culture, Political Economy, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 174–179.

[3]                Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1994), 101–106.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 95–103.

[5]                Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers (London: Oxford University Press, 1969), 56–68.

[6]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 83–90.

[7]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton & Company, 2003), 45–59.

[8]                Joel Gordon, Nasser: Hero of the Arab Nation (Oxford: Oneworld, 2006), 91–104.

[9]                John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Madison: University of Wisconsin Press, 2006), 203–219.

[10]             Odd Arne Westad, The Global Cold War: Third World Interventions and the Making of Our Times (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 126–133.

[11]             Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism (Delhi: Oxford University Press, 1983), 72–85.

[12]             Julius Nyerere, Freedom and Socialism: A Selection from Writings and Speeches 1965–1967 (Dar es Salaam: Oxford University Press, 1968), 14–20.


6.           Warisan dan Relevansi di Dunia Kontemporer

Setelah lebih dari setengah abad sejak gelombang dekolonisasi di Asia dan Afrika, warisan ideologis dari demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme masih tetap terasa dalam dinamika sosial-politik negara-negara pascakolonial. Meskipun konteks geopolitik telah berubah secara drastis, ide-ide yang pernah menjadi fondasi gerakan kemerdekaan kini menjadi bahan perdebatan dalam membangun sistem pemerintahan, ekonomi, dan identitas nasional di tengah arus globalisasi, konflik identitas, dan tantangan ketimpangan sosial yang baru.

6.1.       Demokrasi dan Tantangan Konsolidasi Politik

Banyak negara Asia-Afrika mengadopsi sistem demokrasi setelah kemerdekaan, dengan menyusun konstitusi yang mengakui pemilu, pembagian kekuasaan, dan hak-hak sipil. Namun, konsolidasi demokrasi di banyak negara tetap rapuh. Sebagian besar negara menghadapi tantangan seperti lemahnya institusi, korupsi, politisasi etnis dan agama, serta regresi ke arah otoritarianisme.¹

India menjadi salah satu contoh negara yang secara konsisten mempertahankan sistem demokrasi elektoral, meskipun mengalami berbagai tekanan populisme dan nasionalisme identiter.² Sebaliknya, beberapa negara seperti Mesir dan Zimbabwe mengalami siklus transisi dan kudeta yang membuat demokrasi tidak stabil. Ini menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar mekanisme politik, melainkan sebuah budaya institusional yang membutuhkan waktu dan keteguhan untuk dibangun.³

6.2.       Liberalisme dan Kritik terhadap Ketimpangan Global

Di era neoliberal saat ini, liberalisme ekonomi mendominasi wacana pembangunan global. Namun, implementasi liberalisme di negara-negara bekas koloni justru sering memperkuat ketimpangan sosial dan melemahkan kedaulatan ekonomi.⁴ Privatisasi sektor publik, dominasi korporasi transnasional, dan keterikatan pada lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia menciptakan ketergantungan baru yang sering disebut sebagai “neo-kolonialisme.”⁵

Kritik terhadap model pembangunan liberal ini menguat dalam berbagai gerakan sosial yang menuntut keadilan ekonomi dan kedaulatan lokal, seperti gerakan agraria di India, kampanye anti-utang di Afrika, atau penolakan terhadap perjanjian perdagangan bebas di Asia Tenggara. Hal ini mencerminkan bahwa liberalisme, meskipun mengandung semangat kebebasan, tidak selalu sejalan dengan aspirasi keadilan di dunia pascakolonial.⁶

6.3.       Sosialisme dan Gagasan Emansipasi Sosial Baru

Sosialisme yang dulu menjadi ide sentral dalam perjuangan kemerdekaan mengalami kemunduran setelah berakhirnya Perang Dingin. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul kebangkitan baru sosialisme dalam bentuk wacana keadilan sosial, redistribusi ekonomi, dan perlindungan lingkungan.⁷ Di Afrika, Latin Amerika, dan sebagian Asia, muncul gerakan progresif yang menghidupkan kembali agenda sosialisme dengan penekanan pada demokrasi partisipatoris dan hak-hak komunitas adat.

Contohnya adalah inisiatif Ubuntu di Afrika Selatan, gerakan koperasi di Indonesia, atau ekonomi solidaritas di Venezuela dan Bolivia. Meskipun tidak menggunakan label “sosialis” secara eksplisit, gerakan-gerakan ini mencerminkan semangat emansipatoris yang pernah menginspirasi para pejuang kemerdekaan.⁸

6.4.       Nasionalisme Kontemporer: Dari Pembebasan ke Eksklusivisme

Nasionalisme, yang dahulu merupakan kekuatan pembebasan dari kolonialisme, kini mengalami transformasi menjadi ideologi negara yang kerap bersifat eksklusif dan bahkan otoriter. Di beberapa negara, nasionalisme digunakan untuk memperkuat sentralisasi kekuasaan dan meredam oposisi politik atas nama “persatuan nasional.”⁹

Bentuk baru nasionalisme yang berbasis pada etnisitas, agama, atau identitas sejarah tertentu juga memunculkan konflik horizontal, seperti yang terlihat dalam isu Rohingya di Myanmar, sektarianisme di Nigeria, dan polarisasi identitas di India.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme yang tidak disertai dengan prinsip inklusivitas dan hak asasi dapat menjadi instrumen represi dan diskriminasi.

6.5.       Pan-Islamisme dan Solidaritas Global Umat Islam

Pan-Islamisme sebagai gerakan politik global mengalami pasang surut sejak kemerdekaan negara-negara Muslim. Meskipun proyek politik pan-Islamik dalam bentuk institusi formal seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) relatif terbatas pengaruhnya, semangat solidaritas umat Islam tetap kuat, terutama dalam merespons isu-isu seperti penjajahan Palestina, Islamofobia global, dan intervensi militer Barat di dunia Muslim.¹¹

Di sisi lain, munculnya gerakan transnasional Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, hingga kelompok radikal menunjukkan wajah lain dari Pan-Islamisme yang dipolitisasi dalam berbagai bentuk. Namun demikian, banyak pemikir Muslim kontemporer mencoba menghidupkan kembali semangat Pan-Islamisme dalam kerangka etis dan kosmopolit, menekankan keadilan global dan solidaritas antarumat manusia.¹²

6.6.       Pendidikan, Media, dan Transformasi Kesadaran Ideologis

Salah satu warisan terbesar dari perjuangan ideologis masa lalu adalah pentingnya pendidikan dan media dalam membentuk kesadaran politik. Generasi muda kini hidup dalam dunia digital yang memungkinkan akses tak terbatas terhadap ide-ide politik global. Namun, tantangan juga hadir dalam bentuk disinformasi, apatisme politik, dan konsumerisme ideologis.¹³

Peran kurikulum sejarah, media sosial, dan institusi pendidikan tinggi menjadi kunci dalam menghidupkan kembali pemahaman kritis terhadap dinamika ideologi yang membentuk bangsa. Membangun kesadaran reflektif atas sejarah nasional dan warisan pemikiran global sangat penting agar ideologi-ideologi tersebut tidak menjadi dogma mati, melainkan terus relevan dan kontekstual dalam menjawab tantangan zaman.


Kesimpulan Antara

Warisan ideologi global dalam gerakan kemerdekaan Asia-Afrika bukanlah sekadar jejak masa lalu, melainkan fondasi yang masih hidup dalam praktik politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Tantangan kontemporer menuntut reinterpretasi yang kritis terhadap warisan tersebut agar tetap relevan dalam mewujudkan keadilan, kedaulatan, dan kemanusiaan universal di tengah dunia yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1999), 15–23.

[2]                Christophe Jaffrelot, India’s Silent Revolution: The Rise of the Lower Castes in North India (New York: Columbia University Press, 2003), 284–293.

[3]                Thomas Carothers, “The End of the Transition Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 5–21.

[4]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 83–101.

[5]                Samir Amin, Neo-Colonialism in Africa (New York: Monthly Review Press, 1973), 41–53.

[6]                Walden Bello, Deglobalization: Ideas for a New World Economy (London: Zed Books, 2002), 61–75.

[7]                Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso, 2010), 23–35.

[8]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2016), 117–128.

[9]                Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 141–149.

[10]             Amartya Sen, Identity and Violence: The Illusion of Destiny (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 45–62.

[11]             S.V.R. Nasr, The Vanguard of the Islamic Revolution: The Jama‘at-i Islami of Pakistan (Berkeley: University of California Press, 1994), 94–105.

[12]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 231–244.

[13]             Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 81–94.


7.           Penutup

Studi tentang Dinamika Ideologi Global dan Kebangkitan Nasionalisme di Asia-Afrika menyingkap satu fakta penting dalam sejarah modern dunia non-Barat: bahwa ide-ide besar seperti demokrasi, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, dan Pan-Islamisme tidak hanya menjadi produk dari pengalaman sejarah Eropa atau Dunia Islam semata, tetapi juga telah menjalani proses dialog, adaptasi, bahkan transformasi kreatif ketika masuk ke dalam ruang-ruang perjuangan antikolonial Asia dan Afrika.¹

Gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia ini tidak dapat dilepaskan dari sirkulasi ideologi transnasional. Intelektual kolonial, ulama perantauan, mahasiswa luar negeri, serta media cetak dan terjemahan menjadi jembatan yang memungkinkan pemikiran-pemikiran dari Barat dan Timur Tengah masuk ke dalam konteks perjuangan lokal.² Namun yang menjadikan nasionalisme Asia-Afrika unik adalah kemampuannya dalam menyaring dan mereformulasi ide-ide tersebut agar sesuai dengan nilai-nilai lokal, struktur sosial, dan kebutuhan historis yang spesifik.

Proses ini melahirkan nasionalisme yang plural, baik dalam orientasi politik maupun dalam basis sosial-budayanya. Ada nasionalisme sekuler berbasis kebangsaan seperti di India dan Ghana; nasionalisme Islamis seperti yang berkembang di Pakistan dan Mesir; nasionalisme Marxis seperti di Vietnam dan Tiongkok; hingga nasionalisme spiritual seperti di Indonesia yang memadukan elemen lokal, Islam, dan ide modernitas.³ Masing-masing membawa semangat pembebasan, tetapi juga mewarisi kontradiksi dari ideologi-ideologi yang membentuknya.

Warisan ideologis tersebut tidak berhenti di masa kolonial. Di dunia kontemporer, ia terus hidup dalam perdebatan mengenai bentuk negara, peran agama, sistem ekonomi, dan hak-hak warga negara. Demokrasi menghadapi tantangan regresi dan populisme; liberalisme dikritik karena memperdalam kesenjangan sosial; sosialisme dicari bentuk barunya dalam wajah progresivisme dan keadilan ekologis; nasionalisme berubah arah menjadi eksklusivisme; sementara Pan-Islamisme mencari jalan etis di tengah fragmentasi politik dunia Muslim.⁴

Oleh karena itu, memahami dinamika historis ini bukan hanya urusan retrospektif, melainkan sebuah kebutuhan untuk menyusun masa depan yang lebih adil dan beradab. Generasi muda di Asia dan Afrika perlu dibekali dengan kesadaran sejarah yang kritis, bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya soal mengganti penguasa kolonial, tetapi membangun tatanan sosial yang berpihak pada kemanusiaan.⁵

Dengan merawat warisan pemikiran dari para pendiri bangsa yang terlibat dalam pergumulan ideologis global—baik dari Gandhi, Nehru, Soekarno, Nyerere, hingga Nkrumah dan Sun Yat-sen—kita tidak sekadar mengenang masa lalu, tetapi mengambil pelajaran strategis dan moral untuk merumuskan arah pembangunan yang berakar pada identitas nasional sekaligus terbuka terhadap wacana global.


Footnotes

[1]                Cemil Aydin, The Idea of the Muslim World: A Global Intellectual History (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 97–102.

[2]                Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, rev. ed. (London: Verso, 2006), 113–122.

[3]                Prasenjit Duara, Decolonization: Perspectives from Now and Then (London: Routledge, 2004), 86–95.

[4]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton & Company, 2003), 90–104.

[5]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (New York: Routledge, 2016), 231–242.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Rev. ed.). Verso.

Amin, S. (1973). Neo-colonialism in Africa. Monthly Review Press.

Austin, G. (1999). The Indian constitution: Cornerstone of a nation. Oxford University Press.

Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'ulama' in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawai‘i Press.

Bello, W. (2002). Deglobalization: Ideas for a new world economy. Zed Books.

Bergère, M.-C. (1998). Sun Yat-sen. Stanford University Press.

Bose, S., & Jalal, A. (2004). Modern South Asia: History, culture, political economy (2nd ed.). Routledge.

Brown, J. M. (1991). Gandhi: Prisoner of hope. Yale University Press.

Carothers, T. (2002). The end of the transition paradigm. Journal of Democracy, 13(1), 5–21. https://doi.org/10.1353/jod.2002.0003

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Chandra, B. (1988). India’s struggle for independence. Penguin Books.

Diamond, L. (1999). Developing democracy: Toward consolidation. Johns Hopkins University Press.

Duara, P. (2004). Decolonization: Perspectives from now and then. Routledge.

Duiker, W. J. (2000). Ho Chi Minh: A life. Hyperion.

Gordon, J. (2006). Nasser: Hero of the Arab nation. Oneworld.

Hobsbawm, E. (1990). Nations and nationalism since 1780: Programme, myth, reality. Cambridge University Press.

Jaffrelot, C. (2003). India’s silent revolution: The rise of the lower castes in North India. Columbia University Press.

Jalal, A. (1985). The sole spokesman: Jinnah, the Muslim League and the demand for Pakistan. Cambridge University Press.

Jankowski, J. (1975). Egyptian politics and the rise of liberalism: 1908–1914. Oxford University Press.

Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution in Indonesia. Cornell University Press.

Keddie, N. R. (1968). An Islamic response to imperialism: Political and religious writings of Sayyid Jamāl al-Dīn “al-Afghānī”. University of California Press.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1848)

Mitchell, R. P. (1969). The Society of the Muslim Brothers. Oxford University Press.

Mrazek, R. (1994). Sjahrir: Politics and exile in Indonesia. Cornell Southeast Asia Program.

Nasr, S. V. R. (1994). The vanguard of the Islamic revolution: The Jama'at-i Islami of Pakistan. University of California Press.

Nkrumah, K. (1963). Africa must unite. Heinemann.

Nyerere, J. (1968). Freedom and socialism: A selection from writings and speeches 1965–1967. Oxford University Press.

Prashad, V. (2007). The darker nations: A people’s history of the Third World. New Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2009). Radical reform: Islamic ethics and liberation. Oxford University Press.

Renan, E. (1996). What is a nation? In G. Eley & R. G. Suny (Eds.), Becoming national: A reader (pp. 42–55). Oxford University Press.

Roff, W. R. (1994). The origins of Malay nationalism (2nd ed.). Oxford University Press.

Roosa, J. (2006). Pretext for mass murder: The September 30th movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia. University of Wisconsin Press.

Santos, B. de S. (2016). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Routledge.

Schram, S. R. (1963). The political thought of Mao Tse-Tung. Praeger.

Sen, A. (2006). Identity and violence: The illusion of destiny. W. W. Norton & Company.

Smith, A. (1904). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. Methuen & Co. (Original work published 1776)

Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi (Vol. I). Panitia Penerbit.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W. W. Norton & Company.

Westad, O. A. (2005). The global Cold War: Third World interventions and the making of our times. Cambridge University Press.

Wright, E. O. (2010). Envisioning real utopias. Verso.

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton & Company.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar