Dekonstruksionisme
Membongkar Makna
Alihkan ke: Aliran Filsafat Linguistik dan Analitis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dekonstruksionisme
sebagai suatu pendekatan filsafat yang radikal terhadap bahasa, makna, dan
struktur wacana. Berakar pada pemikiran Jacques Derrida, dekonstruksi menolak
asumsi metafisis tentang kehadiran, kebenaran yang tetap, serta stabilitas
makna dalam sistem linguistik. Dengan menelusuri landasan historisnya dalam
strukturalisme dan post-strukturalisme, serta konsep-konsep kunci seperti différance,
trace, dan kritik terhadap oposisi biner, artikel ini mengulas bagaimana
dekonstruksi membongkar klaim-klaim representasional dalam filsafat bahasa dan
epistemologi modern. Dekonstruksi tidak hanya menawarkan metode pembacaan
kritis dalam kajian teks, tetapi juga mengimplikasikan tanggung jawab etis yang
mendalam terhadap “yang lain” tanpa fondasi normatif yang absolut.
Melalui analisis terhadap kritik dan penerapannya dalam konteks
kontemporer—seperti post-truth, kajian identitas, hukum, dan pendidikan—artikel
ini menunjukkan bahwa dekonstruksionisme tetap relevan sebagai alat konseptual
dalam menanggapi tantangan wacana dominan, disinformasi, serta pluralitas
interpretasi dalam masyarakat modern.
Kata Kunci: Dekonstruksionisme; Jacques Derrida; différance;
metafisika kehadiran; oposisi biner; filsafat bahasa; post-strukturalisme;
etika dekonstruktif; wacana; kritik ideologi.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Dekonstruksionisme dalam Perspektif
Linguistik dan Analitis
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi filsafat modern, bahasa bukan lagi
sekadar instrumen untuk mengungkapkan realitas, melainkan telah menjadi medan pergulatan
epistemologis yang menentukan bagaimana manusia memahami dunia, diri, dan
struktur sosial di sekitarnya. Salah satu pendekatan yang paling radikal dalam
menyoal bahasa, makna, dan teks adalah dekonstruksionisme, sebuah aliran
pemikiran yang berkembang dalam lanskap filsafat post-strukturalis pada paruh
kedua abad ke-20. Gagasan ini terutama dikembangkan oleh filsuf Prancis Jacques
Derrida, yang menyatakan bahwa makna dalam bahasa bersifat tidak stabil,
selalu tertunda, dan tak pernah hadir secara utuh sebagaimana diasumsikan oleh
tradisi metafisika Barat sebelumnya¹.
Dekonstruksi lahir dari ketidakpuasan terhadap
pendekatan strukturalisme, khususnya terhadap anggapan bahwa bahasa adalah
sistem yang tertutup dan deterministik. Derrida menolak asumsi dasar dalam
strukturalisme yang mengandalkan oposisi biner seperti bentuk vs isi, pikiran
vs bahasa, dan kehadiran vs ketidakhadiran. Sebagai gantinya, ia mengembangkan
konsep différance, yang menandakan perbedaan sekaligus penundaan dalam
proses pembentukan makna². Dalam konteks ini, dekonstruksi bukanlah metode
dalam pengertian konvensional, melainkan strategi pembacaan yang berusaha
membuka kontradiksi dan ketegangan dalam teks, serta membongkar klaim-klaim
kebenaran yang tersembunyi di balik struktur bahasa.
Dalam kajian filsafat bahasa dan linguistik,
pendekatan dekonstruktif menghadirkan tantangan serius terhadap asumsi-asumsi
dasar dalam filsafat analitis, terutama terkait relasi antara bahasa dan dunia.
Jika filsuf seperti Gottlob Frege dan Ludwig Wittgenstein dalam tahap awal
filsafat analitis berupaya untuk menemukan struktur logis dari bahasa yang
mencerminkan realitas³, maka Derrida justru menggarisbawahi ketidakterwakilan
realitas dalam bahasa—suatu ironi yang mengarahkan pada krisis referensial dan
instabilitas makna. Artinya, dalam kerangka dekonstruksi, bahasa tidak mengarah
pada makna yang tetap, melainkan pada jejaring tanda yang terus-menerus
menggeser makna dari satu tanda ke tanda lainnya⁴.
Urgensi kajian terhadap dekonstruksionisme semakin
relevan dalam era post-truth, ketika struktur makna yang dianggap mapan—baik
dalam wacana politik, agama, maupun ilmu pengetahuan—mengalami disrupsi. Dengan
mempersoalkan fondasi epistemologis dari klaim-klaim otoritatif, dekonstruksi
membuka ruang untuk berpikir secara lebih reflektif, kritis, dan terbuka
terhadap pluralitas tafsir. Oleh karena itu, memahami dekonstruksionisme tidak
hanya penting secara teoretis, tetapi juga secara praktis dalam menyikapi
dinamika wacana kontemporer yang kompleks dan penuh ambiguitas.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
xvii–xviii.
[2]
Jacques Derrida, “Différance,” dalam Margins of
Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
3–27.
[3]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 9–11.
[4]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1987), 32–35.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Dekonstruksionisme tidak muncul dalam ruang hampa.
Ia merupakan hasil dari dinamika panjang dalam sejarah filsafat dan linguistik,
yang berpuncak pada penolakan terhadap proyek modernisme rasional dan struktur
logika yang mengklaim otoritas atas makna dan kebenaran. Secara genealogis,
dekonstruksi berakar pada ketegangan antara strukturalisme sebagai model
dominan dalam analisis bahasa dan budaya pada pertengahan abad ke-20, serta
reaksi post-strukturalis terhadap klaim-klaim finalitas dan objektivitas yang
dikandungnya¹.
Gerakan strukturalisme yang diasosiasikan dengan
tokoh seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa bahasa adalah
sistem tanda yang bekerja melalui relasi diferensial antara signifier
(penanda) dan signified (petanda)². Dalam pandangan ini, makna bukanlah
sesuatu yang inheren, melainkan hasil dari perbedaan antar tanda dalam
struktur. Namun demikian, strukturalisme tetap mempertahankan ilusi stabilitas
dan keteraturan makna dalam sistem bahasa. Di sinilah Derrida melakukan intervensi
kritis dengan menyatakan bahwa struktur itu sendiri tidak pernah utuh atau
stabil, melainkan selalu mengandung celah (aporia) dan jejak (trace) dari
ketidakhadiran³.
Derrida tidak hanya mengkritik strukturalisme,
tetapi juga secara aktif mendekonstruksi metafisika kehadiran (metaphysics
of presence) yang menjadi dasar bagi filsafat Barat sejak Plato. Dalam
pandangan metafisik tradisional, makna dianggap hadir secara langsung melalui
akal atau intuisi, dan bahasa hanya menjadi media netral yang merepresentasikannya.
Derrida membongkar asumsi ini dengan menunjukkan bahwa makna selalu ditunda
melalui jaringan tanda-tanda yang saling merujuk tanpa titik asal yang tetap⁴.
Gagasannya tentang différance—suatu istilah ciptaan yang menyatukan
makna “perbedaan” dan “penundaan” dalam bahasa Prancis—menjadi
tonggak utama dalam proyek dekonstruksi⁵.
Selain dari Saussure dan Heidegger,
dekonstruksionisme Derrida juga mendapat pengaruh signifikan dari pemikiran Friedrich
Nietzsche, terutama dalam hal penolakan terhadap fondasionalisme dan
pemaknaan absolut. Nietzsche memandang bahwa “kebenaran” tidak lain
adalah metafora yang telah dilupakan asal-usulnya, sebuah sistem ilusi yang
digunakan untuk menstabilkan dunia yang pada dasarnya kacau dan penuh
ambiguitas⁶. Dari Nietzsche, Derrida mewarisi semangat genealogis untuk melacak
asal-usul konseptual dari struktur wacana dan menggugat dominasi oposisi biner
seperti benar/salah, hakikat/tampilan, atau realitas/representasi.
Dengan demikian, landasan historis dekonstruksionisme
tidak hanya merupakan kelanjutan dari perkembangan linguistik struktural,
tetapi juga merupakan respon kritis terhadap dominasi rasionalitas dalam
tradisi filsafat Barat. Dekonstruksi mengusulkan suatu cara berpikir yang
menolak keutuhan, kehadiran, dan finalitas; ia menganjurkan keterbukaan
terhadap pluralitas makna, kekaburan, dan permainan tanda yang tak pernah
selesai.
Footnotes
[1]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and
Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982),
3–7.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris
(Chicago: Open Court, 1986), 65–70.
[3]
Jacques Derrida, Structure, Sign and Play in the
Discourse of the Human Sciences, dalam Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
60–65.
[5]
Derrida, “Différance,” dalam Margins of
Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
3–27.
[6]
Friedrich Nietzsche, On Truth and Lies in a
Nonmoral Sense, dalam The Portable Nietzsche, ed. and trans. Walter
Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 46–47.
3.
Konsep-Konsep
Kunci dalam Dekonstruksionisme
Dekonstruksionisme
tidak menghadirkan sistem filsafat baru dalam pengertian tradisional, tetapi
menyodorkan strategi pembacaan yang mengganggu, menantang, dan membongkar
struktur-struktur wacana yang selama ini diterima begitu saja. Pendekatan ini
mengacu pada serangkaian konsep kunci yang menjadi landasan teoritis dalam
memahami cara kerja bahasa, teks, dan makna menurut Jacques Derrida. Di antara
konsep-konsep utama tersebut adalah différance, trace
(jejak), dekonstruksi sebagai strategi pembacaan,
serta kritik
terhadap oposisi biner dalam filsafat Barat.
3.1. Différance: Penundaan dan Perbedaan dalam Makna
Istilah différance
merupakan permainan fonetik dan semantik dalam bahasa Prancis antara différence
(perbedaan) dan différer (menunda). Derrida
menciptakan istilah ini untuk menggarisbawahi bahwa makna dalam bahasa tidak
pernah hadir secara utuh, melainkan selalu dihasilkan melalui penundaan
temporal dan perbedaan spasial antara tanda-tanda¹. Artinya, suatu kata
memperoleh makna bukan karena mengacu langsung pada objek di dunia nyata,
tetapi karena berbeda dari kata-kata lain dalam sistem bahasa². Karena itu,
makna bersifat dinamis, kontekstual, dan tak pernah sepenuhnya hadir.
Konsep ini menjadi
pukulan telak terhadap asumsi strukturalis yang masih mengandaikan kemungkinan
sistem makna yang stabil. Derrida menyatakan bahwa différance adalah kondisi dasar
dari bahasa itu sendiri—yakni bahwa tidak ada makna asal yang bisa ditangkap
secara final³.
3.2. Trace (Jejak): Ketidakhadiran dalam Kehadiran
Jejak (trace)
adalah istilah lain yang digunakan Derrida untuk menunjukkan bahwa setiap tanda
membawa bekas atau pengaruh dari tanda-tanda lain yang pernah ada dan yang
mungkin akan muncul. Dalam pandangan Derrida, makna selalu dikonstruksi oleh
sesuatu yang tidak hadir secara langsung dalam ujaran atau teks saat ini⁴.
Dengan demikian, jejak adalah bentuk ketidakhadiran yang melekat dalam setiap
bentuk kehadiran; ia menandakan bahwa tak pernah ada titik makna yang absolut
atau utuh.
Dalam kerangka ini,
membaca sebuah teks berarti membaca jaringan jejak yang tidak bisa dipadatkan
dalam satu makna. Teks menjadi medan permainan (play) makna, bukan cermin dari
realitas atau ekspresi intensi pengarang⁵.
3.3. Dekonstruksi sebagai Strategi Pembacaan
Dekonstruksi tidak
dimaksudkan sebagai metode analisis yang sistematis atau normatif, tetapi lebih
sebagai strategi untuk mengekspos ketegangan internal dalam teks dan wacana.
Tujuan dekonstruksi adalah untuk membongkar oposisi biner yang selama ini
menjadi dasar dalam pemikiran Barat—seperti subjek/objek, akal/indera,
bentuk/isi, atau logos/mimetik—dengan menunjukkan bahwa hierarki tersebut
bersifat arbitrer dan saling bergantung⁶.
Melalui strategi
pembalikan (reversal) dan penyusunan ulang (displacement),
dekonstruksi memperlihatkan bahwa makna yang tampak kokoh ternyata dibangun di
atas fondasi yang rapuh. Tidak ada “makna sejati” di balik teks; yang
ada hanyalah jaringan relasi yang terus bergerak dan menangguhkan kehadiran⁷.
3.4. Kritik terhadap Oposisi Biner dalam Wacana Barat
Salah satu kritik
utama Derrida adalah terhadap kecenderungan filsafat Barat dalam mengandalkan
oposisi biner yang bersifat hierarkis—misalnya akal dianggap lebih tinggi dari
emosi, maskulin lebih tinggi dari feminin, kehadiran lebih tinggi dari
ketidakhadiran, dan seterusnya. Ia menyebut kecenderungan ini sebagai bentuk logocentrisme,
yakni pemujaan terhadap “logos” atau akal sebagai pusat otoritas makna⁸.
Dekonstruksi
menunjukkan bahwa setiap oposisi biner ini tidak hanya bersifat bias secara
politis dan filosofis, tetapi juga tidak konsisten secara logis. Dalam
kenyataannya, unsur yang dikonstruksi sebagai inferior (misalnya: tulisan
dibandingkan ucapan) justru menjadi syarat keberadaan unsur yang diklaim
superior⁹. Oleh karena itu, dekonstruksi mengganggu tatanan nilai tradisional
dengan membuka potensi bagi pluralitas makna, pembacaan ulang, dan subversi
terhadap norma dominan.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court,
1986), 111–122.
[3]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 27–30.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[5]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 93–100.
[6]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[7]
Barbara Johnson, The Critical Difference: Essays in the
Contemporary Rhetoric of Reading (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1980), 5–6.
[8]
Derrida, Of Grammatology, 12–14.
[9]
Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 278–280.
4.
Dekonstruksionisme
dalam Filsafat Bahasa dan Linguistik
Dalam ranah filsafat bahasa dan linguistik,
dekonstruksionisme menghadirkan tantangan yang radikal terhadap asumsi-asumsi
mendasar yang telah mengakar kuat dalam tradisi logika, semantik, dan teori
representasi. Jika filsafat analitis awal yang dipelopori oleh tokoh-tokoh
seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig
Wittgenstein berupaya menata bahasa agar mencerminkan struktur realitas
secara logis dan presisi konseptual, maka Jacques Derrida justru
mempersoalkan klaim tersebut dengan menunjukkan bahwa bahasa itu sendiri adalah
sistem yang tak pernah sepenuhnya stabil atau representatif¹.
Dekonstruksi dalam filsafat bahasa mengkritik
pandangan bahwa makna dapat ditentukan secara pasti melalui korelasi antara
tanda linguistik dan entitas di dunia. Dalam Of Grammatology, Derrida
menyatakan bahwa bahasa tidak pernah mengacu pada dunia secara langsung,
melainkan selalu beroperasi dalam medan relasi diferensial antar tanda².
Akibatnya, makna menjadi suatu efek dari perbedaan dan penundaan (différance),
bukan hasil pencocokan representasional. Artinya, setiap ujaran atau teks
membawa kemungkinan pembacaan yang tak terbatas dan tidak pernah final³.
Derrida juga secara kritis meninjau konsepsi klasik
tentang “kehadiran” (presence) sebagai dasar dari makna dan
komunikasi. Dalam konteks linguistik struktural, seperti yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure, tanda linguistik terdiri dari signifier
(penanda) dan signified (petanda) yang berelasi secara arbitrer dalam
sistem. Derrida menerima premis strukturalisme bahwa makna lahir dari perbedaan
dalam sistem, tetapi ia menolak asumsi bahwa hubungan tersebut bisa
menghasilkan makna yang stabil dan tertutup⁴. Dengan memperkenalkan konsep trace
dan supplement, ia menunjukkan bahwa setiap tanda selalu mengacu pada
tanda lain yang tidak hadir secara aktual, sehingga makna menjadi rentan
terhadap pergeseran dan ambiguitas⁵.
Dekonstruksionisme juga mengkritisi klaim
universalitas dalam filsafat analitis, terutama dalam gagasan tentang referensi
tetap dan proposisi bermakna. Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus misalnya, menekankan bahwa struktur logis bahasa
menggambarkan dunia⁶. Namun Derrida membongkar asumsi ini dengan menunjukkan
bahwa setiap usaha untuk “memusatkan makna” selalu gagal karena bahasa
justru beroperasi dalam mekanisme différance yang menangguhkan kehadiran
makna utuh. Dalam hal ini, bahasa bukanlah medium yang netral, melainkan medan
permainan yang penuh dengan celah dan pergeseran interpretatif⁷.
Dalam konteks linguistik kontemporer, pengaruh
dekonstruksi terlihat dalam pergeseran paradigma dari pendekatan struktural ke
post-struktural. Dekonstruksi membuka ruang untuk mempertanyakan asumsi-asumsi
dalam teori komunikasi, semiotika, dan pragmatik, termasuk peran konteks,
intensi, dan kekuasaan dalam produksi makna⁸. Sementara dalam analisis wacana,
pendekatan dekonstruktif digunakan untuk mengidentifikasi ketegangan internal
dan hierarki tersembunyi dalam teks-teks hukum, politik, media, dan sastra.
Dengan demikian, kontribusi dekonstruksionisme
dalam filsafat bahasa dan linguistik terletak pada kemampuannya untuk
membongkar klaim-klaim kepastian dalam produksi makna serta memperlihatkan
bahwa bahasa bukanlah cermin realitas, melainkan jejaring relasional yang
selalu membuka kemungkinan penafsiran ulang. Filsafat dekonstruksi mengajukan
bahwa dalam setiap pernyataan, terselip kemungkinan untuk mengatakan yang
sebaliknya, dan dalam setiap kejelasan bahasa, bersemayam potensi ambiguitas.
Footnotes
[1]
Michael Dummett, The Origins of Analytical
Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 3–10.
[2]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
44–45.
[3]
Derrida, “Différance,” dalam Margins of
Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
12–13.
[4]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris
(Chicago: Open Court, 1986), 114–117.
[5]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1987), 53–56.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London:
Routledge, 1961), propositions 2.1–2.21.
[7]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and
Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982),
88–90.
[8]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction,
2nd ed. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 125–132.
5.
Metodologi
Dekonstruktif dalam Kajian Teks dan Wacana
Dekonstruksionisme tidak menyajikan metodologi
dalam pengertian teknis yang preskriptif sebagaimana pendekatan positivistik
atau strukturalis. Sebaliknya, ia menawarkan strategi pembacaan kritis
yang bertujuan untuk mengungkap kontradiksi, ambiguitas, dan hierarki
tersembunyi dalam teks. Metodologi ini berangkat dari premis bahwa teks
bukanlah entitas koheren yang menghadirkan makna tunggal, melainkan medan
pergesekan antar tanda, oposisi, dan kemungkinan penafsiran yang tak pernah
final¹.
Salah satu pendekatan utama dalam metodologi
dekonstruktif adalah pembacaan ganda (double reading), sebuah
teknik yang dikembangkan oleh Derrida dan diterapkan oleh para kritikus seperti
Paul de Man dan Barbara Johnson. Pembacaan pertama dilakukan secara simpatik
untuk mereproduksi argumen dominan atau struktur permukaan teks; sedangkan
pembacaan kedua bertujuan menelusuri kontradiksi, celah logis, dan momen “kegagalan”
naratif yang melemahkan klaim kohesif teks itu sendiri². Proses ini
memperlihatkan bahwa teks mengandung aporia—yaitu titik ketegangan yang
tidak dapat diselesaikan secara rasional atau binaris³.
Metode dekonstruksi juga melibatkan pembalikan
hierarki dalam oposisi biner yang membentuk fondasi wacana. Misalnya, dalam
oposisi antara “tulisan” dan “ucapan”, filsafat Barat cenderung
menganggap ucapan lebih utama karena diasosiasikan dengan kehadiran langsung
dan niat subjek. Derrida membalik oposisi ini dengan menunjukkan bahwa tulisan
justru mendahului ucapan secara struktural karena setiap ujaran membutuhkan
sistem tanda yang dapat bertahan di luar kehadiran subjek⁴. Ini bukan sekadar
pembalikan posisi, tetapi juga upaya untuk mengguncang kerangka oposisi itu
sendiri dan membuka kemungkinan bagi pembacaan alternatif.
Dalam konteks analisis wacana, pendekatan
dekonstruktif diterapkan untuk membongkar cara teks menyusun kekuasaan,
membakukan kebenaran, dan membungkam perbedaan. Teks-teks ideologis—seperti
dokumen hukum, narasi kolonial, atau retorika politik—tidak dilihat sebagai
representasi realitas, tetapi sebagai produk dari jaringan tanda yang
mereproduksi struktur dominasi. Oleh karena itu, dekonstruksi menjadi alat
penting untuk menginterogasi wacana dominan dan memulihkan suara yang
terpinggirkan⁵. Dalam konteks ini, Gayatri Spivak menggunakan dekonstruksi
untuk menunjukkan bagaimana wacana Barat sering kali tidak memungkinkan
subaltern (yang tertindas) untuk “berbicara” dalam kerangka representasi
hegemonik⁶.
Metodologi dekonstruksi juga menolak klaim
objektivitas dan transparansi dalam bahasa akademik. Barbara Johnson menyatakan
bahwa dekonstruksi “bukanlah metode destruktif, melainkan cara membaca yang
memperhatikan bagaimana teks secara implisit menggugat dirinya sendiri”⁷.
Teks bukan hanya mengandung makna, tetapi juga memproduksi efek ideologis,
estetis, dan politis melalui penyembunyian kontradiksi.
Dengan demikian, dekonstruksi sebagai metodologi
membaca tidak sekadar menginterpretasikan makna teks, tetapi membongkar
struktur epistemologis dan kekuasaan yang menopang produksi makna itu. Ia
menawarkan bentuk kritik yang tidak menetapkan makna baru secara dogmatis,
tetapi mengganggu klaim stabilitas makna dan membuka ruang bagi pluralitas
penafsiran dan resistensi simbolik.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.
[2]
Paul de Man, Blindness and Insight: Essays in
the Rhetoric of Contemporary Criticism, 2nd ed. (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1983), xv–xvi.
[3]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and
Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982),
124–128.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
6–26.
[5]
Terry Eagleton, Ideology: An Introduction
(London: Verso, 1991), 195–199.
[6]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern
Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson
and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[7]
Barbara Johnson, The Critical Difference: Essays
in the Contemporary Rhetoric of Reading (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1980), x–xii.
6.
Implikasi
Epistemologis dan Etis
Dekonstruksionisme
tidak hanya berdampak dalam bidang linguistik atau kritik sastra, tetapi juga
membawa konsekuensi yang dalam terhadap cara kita memahami epistemologi
(teori pengetahuan) dan etika (teori moral). Sebagai pendekatan
yang membongkar fondasi metafisis, dekonstruksi menantang pandangan tradisional
tentang kebenaran, objektivitas, dan identitas moral, serta mengarahkan
perhatian pada kompleksitas, ketegangan, dan ketidakmenentuan yang melekat
dalam klaim pengetahuan dan tindakan etis.
6.1. Implikasi Epistemologis: Ketidakstabilan Makna dan
Krisis Otoritas
Dalam tataran
epistemologis, dekonstruksi menggugat asumsi klasik dalam filsafat Barat bahwa
pengetahuan didasarkan pada fondasi yang kokoh, seperti rasionalitas, representasi
yang tepat, dan bahasa yang transparan. Jacques Derrida berargumen bahwa setiap
sistem pengetahuan dibangun di atas jejak-jejak absensi dan
ketidakhadiran, serta tidak lepas dari bias-bias logocentris yang mendewakan
kehadiran dan kepastian¹. Oleh karena itu, tidak ada pusat epistemik yang
netral; bahkan konsep seperti “kebenaran” sendiri terikat pada struktur
wacana yang bisa dipertanyakan dan dibalik.
Pendekatan ini
menghasilkan apa yang disebut sebagai relativisme epistemik terstruktur,
yaitu bahwa semua klaim kebenaran bersifat kontekstual dan tidak dapat
dipisahkan dari struktur bahasa, sejarah, dan kekuasaan. Namun demikian,
relativisme dalam dekonstruksi bukan berarti nihilisme absolut; sebaliknya, ia
memaksa kita untuk terus menerus merefleksikan fondasi dari keyakinan epistemik
kita dan terbuka terhadap pluralitas perspektif².
Dalam kerangka ini,
institusi-institusi penghasil pengetahuan seperti universitas, media, atau
sistem hukum tidak bisa dianggap netral atau bebas dari ideologi. Dekonstruksi
membuka jalan bagi kritik institusional dengan mengungkap bagaimana kekuasaan
disembunyikan dalam bentuk “pengetahuan objektif” atau “ilmu netral”³.
Pengetahuan tidak netral, tetapi senantiasa diproduksi dalam kerangka wacana
yang bisa dan harus dikritik.
6.2. Implikasi Etis: Tanggung Jawab terhadap Yang Lain
Secara etis,
dekonstruksi melahirkan konsep tanggung jawab tanpa dasar yang tetap
(groundless
responsibility), yakni suatu tanggung jawab yang tidak berangkat
dari hukum moral yang pasti, melainkan dari kesadaran akan keterbukaan terhadap
“yang lain” (l'autre) yang tak terwakilkan
sepenuhnya dalam sistem bahasa atau norma⁴. Dalam pandangan Derrida, etika
sejati muncul justru dalam kondisi aporia, yaitu ketika seseorang
menghadapi dilema tanpa panduan absolut dan harus membuat keputusan di tengah
ambiguitas⁵.
Dalam karya-karya
akhir Derrida seperti The Gift of Death, ia mengembangkan
konsep etika sebagai responsibility beyond knowledge,
yakni bahwa tanggung jawab etis tidak bergantung pada kalkulasi rasional atau
prinsip moral formal, melainkan pada pengakuan atas keterbatasan pemahaman dan
keterbukaan terhadap alteritas⁶. Etika dalam dekonstruksi adalah bentuk
komitmen terhadap kerentanan dan ketidakpastian, bukan pengukuhan terhadap
norma-norma universal.
Konsekuensi dari
pendekatan ini adalah desentralisasi subjek moral.
Subjek tidak lagi dianggap sebagai agen otonom yang mengontrol makna dan
tindakan, melainkan sebagai entitas yang selalu terbentuk dalam relasi dengan
yang lain dan rentan terhadap disrupsi struktur. Dalam etika dekonstruktif,
tidak ada jaminan atas keputusan moral yang benar; yang ada hanyalah dorongan
untuk terus membuka ruang tanggung jawab yang tak pernah tuntas⁷.
Dekonstruksi juga
memiliki dampak politis-etik yang kuat dalam membongkar klaim-klaim dominasi,
baik dalam konteks kolonialisme, patriarki, maupun kapitalisme global.
Pendekatan ini digunakan oleh pemikir seperti Gayatri Spivak untuk menantang
cara wacana dominan membungkam suara kelompok terpinggirkan dengan mengklaim
“representasi” universal⁸. Dalam konteks ini, etika dekonstruktif menjadi
kekuatan pembebas yang menolak penutupan makna dan membuka kemungkinan bagi
resistensi simbolik terhadap sistem hegemonik.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 162–164.
[2]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 66–68.
[3]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.
[4]
Jacques Derrida, The Other Heading: Reflections on Today's Europe,
trans. Pascale-Anne Brault and Michael B. Naas (Bloomington: Indiana University
Press, 1992), 27–31.
[5]
Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago:
University of Chicago Press, 1995), 23–25.
[6]
Ibid., 50–52.
[7]
Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas,
2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 17–21.
[8]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 287–292.
7.
Kritik
terhadap Dekonstruksionisme
Sejak kemunculannya,
dekonstruksionisme telah memicu perdebatan luas, tidak hanya dalam lingkup
filsafat dan linguistik, tetapi juga dalam teori sastra, etika, dan studi
budaya. Meskipun dipuji karena membuka ruang bagi pembacaan kritis terhadap
teks dan struktur wacana dominan, pendekatan ini juga menuai kritik
tajam dari berbagai kalangan, baik dari tradisi filsafat
analitis, humanisme modern, maupun filsafat kontinental sendiri.
7.1. Tuduhan Nihilisme dan Kekosongan Makna
Salah satu kritik
paling umum terhadap dekonstruksi adalah bahwa pendekatan ini menjurus pada nihilisme
epistemologis, yakni gagasan bahwa tidak ada makna, kebenaran,
atau realitas yang dapat dipercaya. Para kritikus seperti Jürgen
Habermas menuduh Derrida menyuburkan relativisme ekstrem yang
meruntuhkan kemungkinan komunikasi rasional dan diskursus etis yang
berlandaskan kesepahaman¹. Mereka berargumen bahwa jika semua teks hanya
terdiri atas permainan tanda tanpa makna final, maka segala klaim tentang
keadilan, kebenaran, atau tanggung jawab akan kehilangan dasar normatifnya².
Namun, Derrida
sendiri menolak tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa dekonstruksi bukanlah
bentuk pembatalan makna, melainkan usaha untuk menggugat klaim absolut terhadap makna
dan membuka kemungkinan tanggung jawab etis yang lebih mendalam justru karena
tiadanya fondasi metafisis³.
7.2. Kritik dari Filsafat Analitis: Kaburnya Argumen dan
Ketidakjelasan Terminologis
Dari kubu filsafat
analitis, dekonstruksi dikritik karena kurangnya kejelasan argumen, konsistensi logis,
dan ketepatan terminologis. Tokoh-tokoh seperti John
Searle dan Willard Van Orman Quine
memandang tulisan Derrida sebagai tidak memenuhi standar analitis dalam
penggunaan bahasa filosofis yang jernih dan dapat diuji⁴. Searle, misalnya,
mengecam pendekatan Derrida terhadap teori ujaran (speech-act theory) yang
dikembangkan oleh J.L. Austin, dengan menuduh
Derrida melakukan distorsi dan pembacaan yang tidak akurat terhadap
konsep-konsep dasar dalam filsafat bahasa⁵.
Derrida membalas
kritik ini dengan menyatakan bahwa filsafat analitis sendiri sering kali mengabaikan
dimensi retoris, politik, dan historis dari bahasa, dan terlalu
mengandalkan klaim netralitas yang justru bersifat ideologis⁶. Bagi Derrida,
bahasa tidak dapat direduksi pada struktur logis belaka; ia selalu bekerja
dalam konteks dan sejarah.
7.3. Kritik dari Tradisi Humanisme dan Teologi
Selain itu, dari
perspektif humanisme modern dan teologi,
dekonstruksi dianggap melemahkan gagasan tentang subjek otonom dan martabat
manusia yang menjadi fondasi etika dan politik modern. Tokoh seperti Alasdair
MacIntyre dan Charles Taylor menilai bahwa
dekonstruksi menolak narasi besar (grand narratives) yang dibutuhkan untuk
membangun komunitas moral yang bermakna⁷. Tanpa kerangka universal atau nilai
bersama, etika berubah menjadi relativisme naratif yang tidak dapat menjadi
dasar bagi tanggung jawab kolektif atau komitmen sosial.
Dari kalangan
teologi, kekhawatiran serupa juga muncul. Teolog seperti Richard
Rorty (meskipun secara filosofis lebih simpatik) menyatakan
bahwa dekonstruksi, jika tidak dikaitkan dengan proyek solidaritas atau
keadilan, dapat berakhir menjadi skeptisisme pasif yang
menghalangi transformasi sosial⁸.
7.4. Ambivalensi Internal: Ketegangan antara
Pembongkaran dan Komitmen Etis
Menariknya, kritik
terhadap dekonstruksi juga muncul dari kalangan internal dekonstruksionisme
sendiri. Beberapa pengikut Derrida, seperti Simon Critchley, menyoroti
adanya ambivalensi antara sikap dekonstruktif terhadap klaim kebenaran dan
upaya Derrida untuk tetap menjaga komitmen etis terhadap “yang lain”⁹.
Dalam kondisi tanpa dasar yang pasti, bagaimana mungkin seseorang dapat
bertindak secara etis tanpa jatuh ke dalam kemenduaan atau bahkan paralisis
moral?
Derrida merespons
dengan menyatakan bahwa justru karena tidak ada jaminan absolut, maka setiap tindakan
etis menjadi keputusan yang sungguh-sungguh. Etika dalam dekonstruksi tidak
dilandasi oleh hukum transendental, melainkan oleh kesadaran akan kerapuhan
dasar dan urgensi tanggung jawab yang tak terhindarkan¹⁰.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 161–170.
[2]
John Ellis, Against Deconstruction (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1989), 38–42.
[3]
Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey
Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 136–137.
[4]
Willard Van Orman Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[5]
John Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” Glyph
1 (1977): 198–208.
[6]
Derrida, Limited Inc, 111–115.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 222–230.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin,
1999), 82–84.
[9]
Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas,
2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 40–44.
[10]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 63–65.
8.
Relevansi
Kontemporer
Di tengah dinamika
intelektual dan sosial-politik abad ke-21, pendekatan dekonstruktif tetap
menunjukkan vitalitasnya dalam berbagai disiplin ilmu dan konteks praktis.
Meskipun sering diasosiasikan dengan perdebatan akademik di era
post-strukturalisme, dekonstruksionisme justru menemukan
relevansinya yang mendalam dalam menjawab tantangan kontemporer,
seperti krisis makna dalam era disinformasi, dominasi wacana global, serta
upaya pembebasan dari hegemoni identitas tunggal.
8.1. Dekonstruksi di Era Post-Truth dan Disinformasi
Era digital telah
membawa ledakan informasi sekaligus krisis validitas. Dalam konteks ini,
dekonstruksi menjadi alat penting untuk memahami bagaimana
makna dikonstruksi, diputarbalikkan, dan dimanipulasi dalam ranah media dan
komunikasi publik. Konsep différance dan jejak
dari Derrida membantu membongkar bagaimana narasi-narasi media tidak bersifat
netral, melainkan dibentuk oleh kekuasaan, bias ideologis, dan permainan
bahasa¹.
Fenomena post-truth,
yang ditandai dengan dominasi emosi dan opini subjektif atas fakta objektif,
memperlihatkan urgensi pendekatan dekonstruktif terhadap klaim-klaim kebenaran.
Dekonstruksi menolak anggapan bahwa makna dapat dipakukan secara tetap, dan
karena itu mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap produksi dan
sirkulasi wacana di ruang publik².
8.2. Pengaruh dalam Kajian Identitas dan Kritik Sosial
Dekonstruksionisme
telah diadopsi secara luas dalam teori feminis, studi postkolonial, dan teori
queer sebagai perangkat kritis untuk membongkar esensialisme identitas dan membuka
ruang bagi pluralitas subjektivitas. Dalam studi gender,
misalnya, Judith Butler menggunakan pendekatan dekonstruktif untuk menunjukkan
bahwa kategori seperti “laki-laki” dan “perempuan” tidak bersifat
biologis atau tetap, tetapi merupakan efek performatif dari sistem tanda yang
normatif³.
Demikian pula dalam
teori postkolonial, tokoh seperti Gayatri Chakravorty Spivak
memanfaatkan dekonstruksi untuk mengkritik wacana kolonial yang
merepresentasikan “subaltern” sebagai obyek pasif yang dapat diwakili
tanpa suara sendiri⁴. Pendekatan ini memberikan daya kritis untuk menantang
dominasi epistemik dan membuka ruang artikulasi alternatif bagi kelompok
terpinggirkan.
8.3. Relevansi dalam Kajian Hukum dan Pendidikan
Dalam filsafat
hukum, dekonstruksi membuka kemungkinan pembacaan kritis terhadap teks hukum
sebagai produk wacana yang penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi internal. Costas
Douzinas dan para pemikir dalam tradisi critical
legal studies menggunakan dekonstruksi untuk menunjukkan bahwa
hukum tidak bersifat netral atau koheren, melainkan hasil dari perebutan makna
dalam arena sosial-politik⁵.
Sementara dalam
bidang pendidikan, pendekatan dekonstruktif mengajak guru dan pelajar untuk
tidak memaknai teks secara literal, melainkan dengan cara yang reflektif dan
terbuka terhadap interpretasi jamak. Pendidikan yang dekonstruktif mendorong kritis
terhadap narasi dominan, termasuk kurikulum yang mengukuhkan
ideologi tertentu, dan membuka ruang untuk pedagogi yang lebih demokratis dan
multivokal⁶.
8.4. Etika dan Politik Keterbukaan
Dekonstruksi juga
berkontribusi terhadap pengembangan paradigma etika dan politik keterbukaan
yang menolak kesimpulan tertutup dan memprioritaskan keragaman, dialog, serta
tanggung jawab terhadap yang lain. Derrida menyebut ini sebagai ethics
of hospitality, yakni sikap etis yang tidak menuntut identitas
tetap dari tamu atau yang berbeda, tetapi menyambut keterasingan sebagai momen
pembentukan relasi⁷.
Di tengah
meningkatnya eksklusivisme identitas, politik kebencian, dan fundamentalisme,
pendekatan ini menjadi penting untuk membangun ruang sosial yang lebih
inklusif, cair, dan reflektif terhadap kompleksitas manusia.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 163–167.
[2]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
35–38.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.
[4]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[5]
Costas Douzinas and Ronnie Warrington, Postmodern Jurisprudence:
The Law of Text in the Texts of Law (London: Routledge, 1991), 45–50.
[6]
Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture:
Oppositional Politics in a Postmodern Era (New York: Routledge, 1995),
87–92.
[7]
Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans.
Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press,
1999), 50–55.
9.
Kesimpulan
dan Refleksi
Dekonstruksionisme, sebagaimana dirintis oleh
Jacques Derrida, bukan sekadar sebuah teori linguistik atau pendekatan sastra,
melainkan sebuah cara berpikir yang menggugat asumsi paling mendasar dalam
filsafat Barat tentang bahasa, makna, dan pengetahuan. Dengan menekankan bahwa
makna tidak pernah hadir secara utuh dan bahwa teks selalu berada dalam
ketegangan antara apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan, dekonstruksi
membuka medan kritis untuk membaca ulang wacana-wacana yang telah mapan¹.
Dalam dimensi filsafat bahasa dan linguistik,
dekonstruksi menantang model representasional yang menganggap bahwa bahasa
dapat secara langsung merepresentasikan realitas. Sebaliknya, Derrida menunjukkan
bahwa makna hanya mungkin melalui perbedaan dan penundaan (différance),
dan setiap usaha untuk menetapkan makna justru memunculkan ketegangan internal
dalam struktur bahasa². Implikasi ini mengganggu klaim epistemologis klasik
yang berlandaskan pada transparansi bahasa dan stabilitas konsep.
Pada sisi etika dan tanggung jawab,
dekonstruksi tidak jatuh ke dalam nihilisme, tetapi justru menawarkan horizon
baru untuk memahami etika sebagai keterbukaan terhadap yang lain. Dengan
menolak dasar moral yang absolut, dekonstruksi memunculkan suatu bentuk
tanggung jawab yang lebih radikal: tanggung jawab tanpa jaminan, tanpa panduan
pasti, namun justru lebih otentik karena berangkat dari pengakuan atas
keterbatasan dan ketidaktuntasan makna³.
Sementara itu, kritik yang dilontarkan terhadap
dekonstruksi—mulai dari tuduhan relativisme, ketidakjelasan terminologis,
hingga keraguan terhadap konsistensi etis—perlu dibaca dalam konteks niat dasar
dekonstruksi itu sendiri: bukan untuk menggantikan suatu kebenaran dengan yang
lain, melainkan untuk menggugat fondasi dari sistem makna dan pengetahuan
yang telah lama diterima begitu saja⁴. Kritik terhadap oposisi biner,
logocentrisme, dan metafisika kehadiran bukan bertujuan untuk menghancurkan,
melainkan untuk membebaskan potensi interpretasi dan pemahaman yang selama ini
tersembunyi atau tertindas dalam struktur wacana dominan.
Dalam konteks kontemporer, dekonstruksi
tetap relevan untuk memahami dunia yang semakin kompleks, plural, dan sarat
disinformasi. Di tengah krisis makna dalam politik, pendidikan, hukum, dan
media, pendekatan dekonstruktif menghadirkan alat kritis untuk merespons
kekakuan wacana, membongkar narasi dominan, serta menyuarakan keragaman makna
dan identitas⁵. Ia menjadi penting bukan karena memberikan jawaban final,
tetapi karena mengajarkan sikap reflektif yang terus menggugat dan membuka
ruang baru bagi pemikiran.
Akhirnya, refleksi dekonstruktif tidak bertujuan
untuk menutup teks dengan kesimpulan yang stabil, melainkan untuk
mempertahankan ruang keterbukaan. Seperti dikatakan Derrida sendiri, “Dekonstruksi
bukanlah pembatalan, tetapi keterbukaan terhadap kemungkinan lain”⁶. Dalam
dunia yang terus berubah, pemikiran semacam ini menjadi etos intelektual yang
semakin diperlukan.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.
[2]
Derrida, “Différance,” dalam Margins of
Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
3–27.
[3]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans.
David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 23–27.
[4]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques
Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press,
1997), 134–136.
[5]
Judith Butler, Undoing Gender (New York:
Routledge, 2004), 41–43.
[6]
Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber
and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 148.
Daftar Pustaka
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (2004). Undoing gender.
Routledge.
Caputo, J. D. (1997). The prayers and tears of
Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University Press.
Critchley, S. (1999). The ethics of
deconstruction: Derrida and Levinas (2nd ed.). Edinburgh University Press.
Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and
criticism after structuralism. Cornell University Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber
& J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.
Derrida, J. (1992). The other heading:
Reflections on today's Europe (P.-A. Brault & M. B. Naas, Trans.).
Indiana University Press.
Derrida, J. (1995). The gift of death (D.
Wills, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas
(P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford University Press.
Douzinas, C., & Warrington, R. (1991). Postmodern
jurisprudence: The law of text in the texts of law. Routledge.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction.
Verso.
Eagleton, T. (1996). Literary theory: An
introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.
Ellis, J. (1989). Against deconstruction.
Princeton University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Habermas, J. (1987). The philosophical discourse
of modernity (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Johnson, B. (1980). The critical difference:
Essays in the contemporary rhetoric of reading. Johns Hopkins University
Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
McLaren, P. (1995). Critical pedagogy and
predatory culture: Oppositional politics in a postmodern era. Routledge.
Norris, C. (1987). Derrida. Harvard University
Press.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Rorty, R. (1999). Philosophy and social hope.
Penguin Books.
Saussure, F. de. (1986). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; R. Harris, Trans.). Open
Court.
Searle, J. R. (1977). Reiterating the differences:
A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In
C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of
culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Wittgenstein, L. (1961). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar