Sabtu, 14 Juni 2025

Dekonstruksionisme: Membongkar Makna

Dekonstruksionisme

Membongkar Makna


Alihkan ke: Aliran Filsafat Linguistik dan Analitis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dekonstruksionisme sebagai suatu pendekatan filsafat yang radikal terhadap bahasa, makna, dan struktur wacana. Berakar pada pemikiran Jacques Derrida, dekonstruksi menolak asumsi metafisis tentang kehadiran, kebenaran yang tetap, serta stabilitas makna dalam sistem linguistik. Dengan menelusuri landasan historisnya dalam strukturalisme dan post-strukturalisme, serta konsep-konsep kunci seperti différance, trace, dan kritik terhadap oposisi biner, artikel ini mengulas bagaimana dekonstruksi membongkar klaim-klaim representasional dalam filsafat bahasa dan epistemologi modern. Dekonstruksi tidak hanya menawarkan metode pembacaan kritis dalam kajian teks, tetapi juga mengimplikasikan tanggung jawab etis yang mendalam terhadap “yang lain” tanpa fondasi normatif yang absolut. Melalui analisis terhadap kritik dan penerapannya dalam konteks kontemporer—seperti post-truth, kajian identitas, hukum, dan pendidikan—artikel ini menunjukkan bahwa dekonstruksionisme tetap relevan sebagai alat konseptual dalam menanggapi tantangan wacana dominan, disinformasi, serta pluralitas interpretasi dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: Dekonstruksionisme; Jacques Derrida; différance; metafisika kehadiran; oposisi biner; filsafat bahasa; post-strukturalisme; etika dekonstruktif; wacana; kritik ideologi.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Dekonstruksionisme dalam Perspektif Linguistik dan Analitis


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi filsafat modern, bahasa bukan lagi sekadar instrumen untuk mengungkapkan realitas, melainkan telah menjadi medan pergulatan epistemologis yang menentukan bagaimana manusia memahami dunia, diri, dan struktur sosial di sekitarnya. Salah satu pendekatan yang paling radikal dalam menyoal bahasa, makna, dan teks adalah dekonstruksionisme, sebuah aliran pemikiran yang berkembang dalam lanskap filsafat post-strukturalis pada paruh kedua abad ke-20. Gagasan ini terutama dikembangkan oleh filsuf Prancis Jacques Derrida, yang menyatakan bahwa makna dalam bahasa bersifat tidak stabil, selalu tertunda, dan tak pernah hadir secara utuh sebagaimana diasumsikan oleh tradisi metafisika Barat sebelumnya¹.

Dekonstruksi lahir dari ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, khususnya terhadap anggapan bahwa bahasa adalah sistem yang tertutup dan deterministik. Derrida menolak asumsi dasar dalam strukturalisme yang mengandalkan oposisi biner seperti bentuk vs isi, pikiran vs bahasa, dan kehadiran vs ketidakhadiran. Sebagai gantinya, ia mengembangkan konsep différance, yang menandakan perbedaan sekaligus penundaan dalam proses pembentukan makna². Dalam konteks ini, dekonstruksi bukanlah metode dalam pengertian konvensional, melainkan strategi pembacaan yang berusaha membuka kontradiksi dan ketegangan dalam teks, serta membongkar klaim-klaim kebenaran yang tersembunyi di balik struktur bahasa.

Dalam kajian filsafat bahasa dan linguistik, pendekatan dekonstruktif menghadirkan tantangan serius terhadap asumsi-asumsi dasar dalam filsafat analitis, terutama terkait relasi antara bahasa dan dunia. Jika filsuf seperti Gottlob Frege dan Ludwig Wittgenstein dalam tahap awal filsafat analitis berupaya untuk menemukan struktur logis dari bahasa yang mencerminkan realitas³, maka Derrida justru menggarisbawahi ketidakterwakilan realitas dalam bahasa—suatu ironi yang mengarahkan pada krisis referensial dan instabilitas makna. Artinya, dalam kerangka dekonstruksi, bahasa tidak mengarah pada makna yang tetap, melainkan pada jejaring tanda yang terus-menerus menggeser makna dari satu tanda ke tanda lainnya⁴.

Urgensi kajian terhadap dekonstruksionisme semakin relevan dalam era post-truth, ketika struktur makna yang dianggap mapan—baik dalam wacana politik, agama, maupun ilmu pengetahuan—mengalami disrupsi. Dengan mempersoalkan fondasi epistemologis dari klaim-klaim otoritatif, dekonstruksi membuka ruang untuk berpikir secara lebih reflektif, kritis, dan terbuka terhadap pluralitas tafsir. Oleh karena itu, memahami dekonstruksionisme tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga secara praktis dalam menyikapi dinamika wacana kontemporer yang kompleks dan penuh ambiguitas.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), xvii–xviii.

[2]                Jacques Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[3]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 9–11.

[4]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 32–35.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Dekonstruksionisme tidak muncul dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil dari dinamika panjang dalam sejarah filsafat dan linguistik, yang berpuncak pada penolakan terhadap proyek modernisme rasional dan struktur logika yang mengklaim otoritas atas makna dan kebenaran. Secara genealogis, dekonstruksi berakar pada ketegangan antara strukturalisme sebagai model dominan dalam analisis bahasa dan budaya pada pertengahan abad ke-20, serta reaksi post-strukturalis terhadap klaim-klaim finalitas dan objektivitas yang dikandungnya¹.

Gerakan strukturalisme yang diasosiasikan dengan tokoh seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang bekerja melalui relasi diferensial antara signifier (penanda) dan signified (petanda)². Dalam pandangan ini, makna bukanlah sesuatu yang inheren, melainkan hasil dari perbedaan antar tanda dalam struktur. Namun demikian, strukturalisme tetap mempertahankan ilusi stabilitas dan keteraturan makna dalam sistem bahasa. Di sinilah Derrida melakukan intervensi kritis dengan menyatakan bahwa struktur itu sendiri tidak pernah utuh atau stabil, melainkan selalu mengandung celah (aporia) dan jejak (trace) dari ketidakhadiran³.

Derrida tidak hanya mengkritik strukturalisme, tetapi juga secara aktif mendekonstruksi metafisika kehadiran (metaphysics of presence) yang menjadi dasar bagi filsafat Barat sejak Plato. Dalam pandangan metafisik tradisional, makna dianggap hadir secara langsung melalui akal atau intuisi, dan bahasa hanya menjadi media netral yang merepresentasikannya. Derrida membongkar asumsi ini dengan menunjukkan bahwa makna selalu ditunda melalui jaringan tanda-tanda yang saling merujuk tanpa titik asal yang tetap⁴. Gagasannya tentang différance—suatu istilah ciptaan yang menyatukan makna “perbedaan” dan “penundaan” dalam bahasa Prancis—menjadi tonggak utama dalam proyek dekonstruksi⁵.

Selain dari Saussure dan Heidegger, dekonstruksionisme Derrida juga mendapat pengaruh signifikan dari pemikiran Friedrich Nietzsche, terutama dalam hal penolakan terhadap fondasionalisme dan pemaknaan absolut. Nietzsche memandang bahwa “kebenaran” tidak lain adalah metafora yang telah dilupakan asal-usulnya, sebuah sistem ilusi yang digunakan untuk menstabilkan dunia yang pada dasarnya kacau dan penuh ambiguitas⁶. Dari Nietzsche, Derrida mewarisi semangat genealogis untuk melacak asal-usul konseptual dari struktur wacana dan menggugat dominasi oposisi biner seperti benar/salah, hakikat/tampilan, atau realitas/representasi.

Dengan demikian, landasan historis dekonstruksionisme tidak hanya merupakan kelanjutan dari perkembangan linguistik struktural, tetapi juga merupakan respon kritis terhadap dominasi rasionalitas dalam tradisi filsafat Barat. Dekonstruksi mengusulkan suatu cara berpikir yang menolak keutuhan, kehadiran, dan finalitas; ia menganjurkan keterbukaan terhadap pluralitas makna, kekaburan, dan permainan tanda yang tak pernah selesai.


Footnotes

[1]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 3–7.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 65–70.

[3]                Jacques Derrida, Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences, dalam Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 60–65.

[5]                Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[6]                Friedrich Nietzsche, On Truth and Lies in a Nonmoral Sense, dalam The Portable Nietzsche, ed. and trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 46–47.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Dekonstruksionisme

Dekonstruksionisme tidak menghadirkan sistem filsafat baru dalam pengertian tradisional, tetapi menyodorkan strategi pembacaan yang mengganggu, menantang, dan membongkar struktur-struktur wacana yang selama ini diterima begitu saja. Pendekatan ini mengacu pada serangkaian konsep kunci yang menjadi landasan teoritis dalam memahami cara kerja bahasa, teks, dan makna menurut Jacques Derrida. Di antara konsep-konsep utama tersebut adalah différance, trace (jejak), dekonstruksi sebagai strategi pembacaan, serta kritik terhadap oposisi biner dalam filsafat Barat.

3.1.       Différance: Penundaan dan Perbedaan dalam Makna

Istilah différance merupakan permainan fonetik dan semantik dalam bahasa Prancis antara différence (perbedaan) dan différer (menunda). Derrida menciptakan istilah ini untuk menggarisbawahi bahwa makna dalam bahasa tidak pernah hadir secara utuh, melainkan selalu dihasilkan melalui penundaan temporal dan perbedaan spasial antara tanda-tanda¹. Artinya, suatu kata memperoleh makna bukan karena mengacu langsung pada objek di dunia nyata, tetapi karena berbeda dari kata-kata lain dalam sistem bahasa². Karena itu, makna bersifat dinamis, kontekstual, dan tak pernah sepenuhnya hadir.

Konsep ini menjadi pukulan telak terhadap asumsi strukturalis yang masih mengandaikan kemungkinan sistem makna yang stabil. Derrida menyatakan bahwa différance adalah kondisi dasar dari bahasa itu sendiri—yakni bahwa tidak ada makna asal yang bisa ditangkap secara final³.

3.2.       Trace (Jejak): Ketidakhadiran dalam Kehadiran

Jejak (trace) adalah istilah lain yang digunakan Derrida untuk menunjukkan bahwa setiap tanda membawa bekas atau pengaruh dari tanda-tanda lain yang pernah ada dan yang mungkin akan muncul. Dalam pandangan Derrida, makna selalu dikonstruksi oleh sesuatu yang tidak hadir secara langsung dalam ujaran atau teks saat ini⁴. Dengan demikian, jejak adalah bentuk ketidakhadiran yang melekat dalam setiap bentuk kehadiran; ia menandakan bahwa tak pernah ada titik makna yang absolut atau utuh.

Dalam kerangka ini, membaca sebuah teks berarti membaca jaringan jejak yang tidak bisa dipadatkan dalam satu makna. Teks menjadi medan permainan (play) makna, bukan cermin dari realitas atau ekspresi intensi pengarang⁵.

3.3.       Dekonstruksi sebagai Strategi Pembacaan

Dekonstruksi tidak dimaksudkan sebagai metode analisis yang sistematis atau normatif, tetapi lebih sebagai strategi untuk mengekspos ketegangan internal dalam teks dan wacana. Tujuan dekonstruksi adalah untuk membongkar oposisi biner yang selama ini menjadi dasar dalam pemikiran Barat—seperti subjek/objek, akal/indera, bentuk/isi, atau logos/mimetik—dengan menunjukkan bahwa hierarki tersebut bersifat arbitrer dan saling bergantung⁶.

Melalui strategi pembalikan (reversal) dan penyusunan ulang (displacement), dekonstruksi memperlihatkan bahwa makna yang tampak kokoh ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh. Tidak ada “makna sejati” di balik teks; yang ada hanyalah jaringan relasi yang terus bergerak dan menangguhkan kehadiran⁷.

3.4.       Kritik terhadap Oposisi Biner dalam Wacana Barat

Salah satu kritik utama Derrida adalah terhadap kecenderungan filsafat Barat dalam mengandalkan oposisi biner yang bersifat hierarkis—misalnya akal dianggap lebih tinggi dari emosi, maskulin lebih tinggi dari feminin, kehadiran lebih tinggi dari ketidakhadiran, dan seterusnya. Ia menyebut kecenderungan ini sebagai bentuk logocentrisme, yakni pemujaan terhadap “logos” atau akal sebagai pusat otoritas makna⁸.

Dekonstruksi menunjukkan bahwa setiap oposisi biner ini tidak hanya bersifat bias secara politis dan filosofis, tetapi juga tidak konsisten secara logis. Dalam kenyataannya, unsur yang dikonstruksi sebagai inferior (misalnya: tulisan dibandingkan ucapan) justru menjadi syarat keberadaan unsur yang diklaim superior⁹. Oleh karena itu, dekonstruksi mengganggu tatanan nilai tradisional dengan membuka potensi bagi pluralitas makna, pembacaan ulang, dan subversi terhadap norma dominan.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 111–122.

[3]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 27–30.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[5]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 93–100.

[6]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[7]                Barbara Johnson, The Critical Difference: Essays in the Contemporary Rhetoric of Reading (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1980), 5–6.

[8]                Derrida, Of Grammatology, 12–14.

[9]                Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.


4.           Dekonstruksionisme dalam Filsafat Bahasa dan Linguistik

Dalam ranah filsafat bahasa dan linguistik, dekonstruksionisme menghadirkan tantangan yang radikal terhadap asumsi-asumsi mendasar yang telah mengakar kuat dalam tradisi logika, semantik, dan teori representasi. Jika filsafat analitis awal yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein berupaya menata bahasa agar mencerminkan struktur realitas secara logis dan presisi konseptual, maka Jacques Derrida justru mempersoalkan klaim tersebut dengan menunjukkan bahwa bahasa itu sendiri adalah sistem yang tak pernah sepenuhnya stabil atau representatif¹.

Dekonstruksi dalam filsafat bahasa mengkritik pandangan bahwa makna dapat ditentukan secara pasti melalui korelasi antara tanda linguistik dan entitas di dunia. Dalam Of Grammatology, Derrida menyatakan bahwa bahasa tidak pernah mengacu pada dunia secara langsung, melainkan selalu beroperasi dalam medan relasi diferensial antar tanda². Akibatnya, makna menjadi suatu efek dari perbedaan dan penundaan (différance), bukan hasil pencocokan representasional. Artinya, setiap ujaran atau teks membawa kemungkinan pembacaan yang tak terbatas dan tidak pernah final³.

Derrida juga secara kritis meninjau konsepsi klasik tentang “kehadiran” (presence) sebagai dasar dari makna dan komunikasi. Dalam konteks linguistik struktural, seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, tanda linguistik terdiri dari signifier (penanda) dan signified (petanda) yang berelasi secara arbitrer dalam sistem. Derrida menerima premis strukturalisme bahwa makna lahir dari perbedaan dalam sistem, tetapi ia menolak asumsi bahwa hubungan tersebut bisa menghasilkan makna yang stabil dan tertutup⁴. Dengan memperkenalkan konsep trace dan supplement, ia menunjukkan bahwa setiap tanda selalu mengacu pada tanda lain yang tidak hadir secara aktual, sehingga makna menjadi rentan terhadap pergeseran dan ambiguitas⁵.

Dekonstruksionisme juga mengkritisi klaim universalitas dalam filsafat analitis, terutama dalam gagasan tentang referensi tetap dan proposisi bermakna. Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus misalnya, menekankan bahwa struktur logis bahasa menggambarkan dunia⁶. Namun Derrida membongkar asumsi ini dengan menunjukkan bahwa setiap usaha untuk “memusatkan makna” selalu gagal karena bahasa justru beroperasi dalam mekanisme différance yang menangguhkan kehadiran makna utuh. Dalam hal ini, bahasa bukanlah medium yang netral, melainkan medan permainan yang penuh dengan celah dan pergeseran interpretatif⁷.

Dalam konteks linguistik kontemporer, pengaruh dekonstruksi terlihat dalam pergeseran paradigma dari pendekatan struktural ke post-struktural. Dekonstruksi membuka ruang untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dalam teori komunikasi, semiotika, dan pragmatik, termasuk peran konteks, intensi, dan kekuasaan dalam produksi makna⁸. Sementara dalam analisis wacana, pendekatan dekonstruktif digunakan untuk mengidentifikasi ketegangan internal dan hierarki tersembunyi dalam teks-teks hukum, politik, media, dan sastra.

Dengan demikian, kontribusi dekonstruksionisme dalam filsafat bahasa dan linguistik terletak pada kemampuannya untuk membongkar klaim-klaim kepastian dalam produksi makna serta memperlihatkan bahwa bahasa bukanlah cermin realitas, melainkan jejaring relasional yang selalu membuka kemungkinan penafsiran ulang. Filsafat dekonstruksi mengajukan bahwa dalam setiap pernyataan, terselip kemungkinan untuk mengatakan yang sebaliknya, dan dalam setiap kejelasan bahasa, bersemayam potensi ambiguitas.


Footnotes

[1]                Michael Dummett, The Origins of Analytical Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 3–10.

[2]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 44–45.

[3]                Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 12–13.

[4]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 114–117.

[5]                Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 53–56.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), propositions 2.1–2.21.

[7]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 88–90.

[8]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction, 2nd ed. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 125–132.


5.           Metodologi Dekonstruktif dalam Kajian Teks dan Wacana

Dekonstruksionisme tidak menyajikan metodologi dalam pengertian teknis yang preskriptif sebagaimana pendekatan positivistik atau strukturalis. Sebaliknya, ia menawarkan strategi pembacaan kritis yang bertujuan untuk mengungkap kontradiksi, ambiguitas, dan hierarki tersembunyi dalam teks. Metodologi ini berangkat dari premis bahwa teks bukanlah entitas koheren yang menghadirkan makna tunggal, melainkan medan pergesekan antar tanda, oposisi, dan kemungkinan penafsiran yang tak pernah final¹.

Salah satu pendekatan utama dalam metodologi dekonstruktif adalah pembacaan ganda (double reading), sebuah teknik yang dikembangkan oleh Derrida dan diterapkan oleh para kritikus seperti Paul de Man dan Barbara Johnson. Pembacaan pertama dilakukan secara simpatik untuk mereproduksi argumen dominan atau struktur permukaan teks; sedangkan pembacaan kedua bertujuan menelusuri kontradiksi, celah logis, dan momen “kegagalan” naratif yang melemahkan klaim kohesif teks itu sendiri². Proses ini memperlihatkan bahwa teks mengandung aporia—yaitu titik ketegangan yang tidak dapat diselesaikan secara rasional atau binaris³.

Metode dekonstruksi juga melibatkan pembalikan hierarki dalam oposisi biner yang membentuk fondasi wacana. Misalnya, dalam oposisi antara “tulisan” dan “ucapan”, filsafat Barat cenderung menganggap ucapan lebih utama karena diasosiasikan dengan kehadiran langsung dan niat subjek. Derrida membalik oposisi ini dengan menunjukkan bahwa tulisan justru mendahului ucapan secara struktural karena setiap ujaran membutuhkan sistem tanda yang dapat bertahan di luar kehadiran subjek⁴. Ini bukan sekadar pembalikan posisi, tetapi juga upaya untuk mengguncang kerangka oposisi itu sendiri dan membuka kemungkinan bagi pembacaan alternatif.

Dalam konteks analisis wacana, pendekatan dekonstruktif diterapkan untuk membongkar cara teks menyusun kekuasaan, membakukan kebenaran, dan membungkam perbedaan. Teks-teks ideologis—seperti dokumen hukum, narasi kolonial, atau retorika politik—tidak dilihat sebagai representasi realitas, tetapi sebagai produk dari jaringan tanda yang mereproduksi struktur dominasi. Oleh karena itu, dekonstruksi menjadi alat penting untuk menginterogasi wacana dominan dan memulihkan suara yang terpinggirkan⁵. Dalam konteks ini, Gayatri Spivak menggunakan dekonstruksi untuk menunjukkan bagaimana wacana Barat sering kali tidak memungkinkan subaltern (yang tertindas) untuk “berbicara” dalam kerangka representasi hegemonik⁶.

Metodologi dekonstruksi juga menolak klaim objektivitas dan transparansi dalam bahasa akademik. Barbara Johnson menyatakan bahwa dekonstruksi “bukanlah metode destruktif, melainkan cara membaca yang memperhatikan bagaimana teks secara implisit menggugat dirinya sendiri”⁷. Teks bukan hanya mengandung makna, tetapi juga memproduksi efek ideologis, estetis, dan politis melalui penyembunyian kontradiksi.

Dengan demikian, dekonstruksi sebagai metodologi membaca tidak sekadar menginterpretasikan makna teks, tetapi membongkar struktur epistemologis dan kekuasaan yang menopang produksi makna itu. Ia menawarkan bentuk kritik yang tidak menetapkan makna baru secara dogmatis, tetapi mengganggu klaim stabilitas makna dan membuka ruang bagi pluralitas penafsiran dan resistensi simbolik.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[2]                Paul de Man, Blindness and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporary Criticism, 2nd ed. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1983), xv–xvi.

[3]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 124–128.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 6–26.

[5]                Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso, 1991), 195–199.

[6]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[7]                Barbara Johnson, The Critical Difference: Essays in the Contemporary Rhetoric of Reading (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1980), x–xii.


6.           Implikasi Epistemologis dan Etis

Dekonstruksionisme tidak hanya berdampak dalam bidang linguistik atau kritik sastra, tetapi juga membawa konsekuensi yang dalam terhadap cara kita memahami epistemologi (teori pengetahuan) dan etika (teori moral). Sebagai pendekatan yang membongkar fondasi metafisis, dekonstruksi menantang pandangan tradisional tentang kebenaran, objektivitas, dan identitas moral, serta mengarahkan perhatian pada kompleksitas, ketegangan, dan ketidakmenentuan yang melekat dalam klaim pengetahuan dan tindakan etis.

6.1.       Implikasi Epistemologis: Ketidakstabilan Makna dan Krisis Otoritas

Dalam tataran epistemologis, dekonstruksi menggugat asumsi klasik dalam filsafat Barat bahwa pengetahuan didasarkan pada fondasi yang kokoh, seperti rasionalitas, representasi yang tepat, dan bahasa yang transparan. Jacques Derrida berargumen bahwa setiap sistem pengetahuan dibangun di atas jejak-jejak absensi dan ketidakhadiran, serta tidak lepas dari bias-bias logocentris yang mendewakan kehadiran dan kepastian¹. Oleh karena itu, tidak ada pusat epistemik yang netral; bahkan konsep seperti “kebenaran” sendiri terikat pada struktur wacana yang bisa dipertanyakan dan dibalik.

Pendekatan ini menghasilkan apa yang disebut sebagai relativisme epistemik terstruktur, yaitu bahwa semua klaim kebenaran bersifat kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa, sejarah, dan kekuasaan. Namun demikian, relativisme dalam dekonstruksi bukan berarti nihilisme absolut; sebaliknya, ia memaksa kita untuk terus menerus merefleksikan fondasi dari keyakinan epistemik kita dan terbuka terhadap pluralitas perspektif².

Dalam kerangka ini, institusi-institusi penghasil pengetahuan seperti universitas, media, atau sistem hukum tidak bisa dianggap netral atau bebas dari ideologi. Dekonstruksi membuka jalan bagi kritik institusional dengan mengungkap bagaimana kekuasaan disembunyikan dalam bentuk “pengetahuan objektif” atau “ilmu netral”³. Pengetahuan tidak netral, tetapi senantiasa diproduksi dalam kerangka wacana yang bisa dan harus dikritik.

6.2.       Implikasi Etis: Tanggung Jawab terhadap Yang Lain

Secara etis, dekonstruksi melahirkan konsep tanggung jawab tanpa dasar yang tetap (groundless responsibility), yakni suatu tanggung jawab yang tidak berangkat dari hukum moral yang pasti, melainkan dari kesadaran akan keterbukaan terhadap “yang lain” (l'autre) yang tak terwakilkan sepenuhnya dalam sistem bahasa atau norma⁴. Dalam pandangan Derrida, etika sejati muncul justru dalam kondisi aporia, yaitu ketika seseorang menghadapi dilema tanpa panduan absolut dan harus membuat keputusan di tengah ambiguitas⁵.

Dalam karya-karya akhir Derrida seperti The Gift of Death, ia mengembangkan konsep etika sebagai responsibility beyond knowledge, yakni bahwa tanggung jawab etis tidak bergantung pada kalkulasi rasional atau prinsip moral formal, melainkan pada pengakuan atas keterbatasan pemahaman dan keterbukaan terhadap alteritas⁶. Etika dalam dekonstruksi adalah bentuk komitmen terhadap kerentanan dan ketidakpastian, bukan pengukuhan terhadap norma-norma universal.

Konsekuensi dari pendekatan ini adalah desentralisasi subjek moral. Subjek tidak lagi dianggap sebagai agen otonom yang mengontrol makna dan tindakan, melainkan sebagai entitas yang selalu terbentuk dalam relasi dengan yang lain dan rentan terhadap disrupsi struktur. Dalam etika dekonstruktif, tidak ada jaminan atas keputusan moral yang benar; yang ada hanyalah dorongan untuk terus membuka ruang tanggung jawab yang tak pernah tuntas⁷.

Dekonstruksi juga memiliki dampak politis-etik yang kuat dalam membongkar klaim-klaim dominasi, baik dalam konteks kolonialisme, patriarki, maupun kapitalisme global. Pendekatan ini digunakan oleh pemikir seperti Gayatri Spivak untuk menantang cara wacana dominan membungkam suara kelompok terpinggirkan dengan mengklaim “representasi” universal⁸. Dalam konteks ini, etika dekonstruktif menjadi kekuatan pembebas yang menolak penutupan makna dan membuka kemungkinan bagi resistensi simbolik terhadap sistem hegemonik.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 162–164.

[2]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 66–68.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.

[4]                Jacques Derrida, The Other Heading: Reflections on Today's Europe, trans. Pascale-Anne Brault and Michael B. Naas (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 27–31.

[5]                Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 23–25.

[6]                Ibid., 50–52.

[7]                Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 17–21.

[8]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 287–292.


7.           Kritik terhadap Dekonstruksionisme

Sejak kemunculannya, dekonstruksionisme telah memicu perdebatan luas, tidak hanya dalam lingkup filsafat dan linguistik, tetapi juga dalam teori sastra, etika, dan studi budaya. Meskipun dipuji karena membuka ruang bagi pembacaan kritis terhadap teks dan struktur wacana dominan, pendekatan ini juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, baik dari tradisi filsafat analitis, humanisme modern, maupun filsafat kontinental sendiri.

7.1.       Tuduhan Nihilisme dan Kekosongan Makna

Salah satu kritik paling umum terhadap dekonstruksi adalah bahwa pendekatan ini menjurus pada nihilisme epistemologis, yakni gagasan bahwa tidak ada makna, kebenaran, atau realitas yang dapat dipercaya. Para kritikus seperti Jürgen Habermas menuduh Derrida menyuburkan relativisme ekstrem yang meruntuhkan kemungkinan komunikasi rasional dan diskursus etis yang berlandaskan kesepahaman¹. Mereka berargumen bahwa jika semua teks hanya terdiri atas permainan tanda tanpa makna final, maka segala klaim tentang keadilan, kebenaran, atau tanggung jawab akan kehilangan dasar normatifnya².

Namun, Derrida sendiri menolak tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa dekonstruksi bukanlah bentuk pembatalan makna, melainkan usaha untuk menggugat klaim absolut terhadap makna dan membuka kemungkinan tanggung jawab etis yang lebih mendalam justru karena tiadanya fondasi metafisis³.

7.2.       Kritik dari Filsafat Analitis: Kaburnya Argumen dan Ketidakjelasan Terminologis

Dari kubu filsafat analitis, dekonstruksi dikritik karena kurangnya kejelasan argumen, konsistensi logis, dan ketepatan terminologis. Tokoh-tokoh seperti John Searle dan Willard Van Orman Quine memandang tulisan Derrida sebagai tidak memenuhi standar analitis dalam penggunaan bahasa filosofis yang jernih dan dapat diuji⁴. Searle, misalnya, mengecam pendekatan Derrida terhadap teori ujaran (speech-act theory) yang dikembangkan oleh J.L. Austin, dengan menuduh Derrida melakukan distorsi dan pembacaan yang tidak akurat terhadap konsep-konsep dasar dalam filsafat bahasa⁵.

Derrida membalas kritik ini dengan menyatakan bahwa filsafat analitis sendiri sering kali mengabaikan dimensi retoris, politik, dan historis dari bahasa, dan terlalu mengandalkan klaim netralitas yang justru bersifat ideologis⁶. Bagi Derrida, bahasa tidak dapat direduksi pada struktur logis belaka; ia selalu bekerja dalam konteks dan sejarah.

7.3.       Kritik dari Tradisi Humanisme dan Teologi

Selain itu, dari perspektif humanisme modern dan teologi, dekonstruksi dianggap melemahkan gagasan tentang subjek otonom dan martabat manusia yang menjadi fondasi etika dan politik modern. Tokoh seperti Alasdair MacIntyre dan Charles Taylor menilai bahwa dekonstruksi menolak narasi besar (grand narratives) yang dibutuhkan untuk membangun komunitas moral yang bermakna⁷. Tanpa kerangka universal atau nilai bersama, etika berubah menjadi relativisme naratif yang tidak dapat menjadi dasar bagi tanggung jawab kolektif atau komitmen sosial.

Dari kalangan teologi, kekhawatiran serupa juga muncul. Teolog seperti Richard Rorty (meskipun secara filosofis lebih simpatik) menyatakan bahwa dekonstruksi, jika tidak dikaitkan dengan proyek solidaritas atau keadilan, dapat berakhir menjadi skeptisisme pasif yang menghalangi transformasi sosial⁸.

7.4.       Ambivalensi Internal: Ketegangan antara Pembongkaran dan Komitmen Etis

Menariknya, kritik terhadap dekonstruksi juga muncul dari kalangan internal dekonstruksionisme sendiri. Beberapa pengikut Derrida, seperti Simon Critchley, menyoroti adanya ambivalensi antara sikap dekonstruktif terhadap klaim kebenaran dan upaya Derrida untuk tetap menjaga komitmen etis terhadap “yang lain”⁹. Dalam kondisi tanpa dasar yang pasti, bagaimana mungkin seseorang dapat bertindak secara etis tanpa jatuh ke dalam kemenduaan atau bahkan paralisis moral?

Derrida merespons dengan menyatakan bahwa justru karena tidak ada jaminan absolut, maka setiap tindakan etis menjadi keputusan yang sungguh-sungguh. Etika dalam dekonstruksi tidak dilandasi oleh hukum transendental, melainkan oleh kesadaran akan kerapuhan dasar dan urgensi tanggung jawab yang tak terhindarkan¹⁰.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 161–170.

[2]                John Ellis, Against Deconstruction (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1989), 38–42.

[3]                Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 136–137.

[4]                Willard Van Orman Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[5]                John Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” Glyph 1 (1977): 198–208.

[6]                Derrida, Limited Inc, 111–115.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 222–230.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin, 1999), 82–84.

[9]                Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas, 2nd ed. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999), 40–44.

[10]             Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 63–65.


8.           Relevansi Kontemporer

Di tengah dinamika intelektual dan sosial-politik abad ke-21, pendekatan dekonstruktif tetap menunjukkan vitalitasnya dalam berbagai disiplin ilmu dan konteks praktis. Meskipun sering diasosiasikan dengan perdebatan akademik di era post-strukturalisme, dekonstruksionisme justru menemukan relevansinya yang mendalam dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti krisis makna dalam era disinformasi, dominasi wacana global, serta upaya pembebasan dari hegemoni identitas tunggal.

8.1.       Dekonstruksi di Era Post-Truth dan Disinformasi

Era digital telah membawa ledakan informasi sekaligus krisis validitas. Dalam konteks ini, dekonstruksi menjadi alat penting untuk memahami bagaimana makna dikonstruksi, diputarbalikkan, dan dimanipulasi dalam ranah media dan komunikasi publik. Konsep différance dan jejak dari Derrida membantu membongkar bagaimana narasi-narasi media tidak bersifat netral, melainkan dibentuk oleh kekuasaan, bias ideologis, dan permainan bahasa¹.

Fenomena post-truth, yang ditandai dengan dominasi emosi dan opini subjektif atas fakta objektif, memperlihatkan urgensi pendekatan dekonstruktif terhadap klaim-klaim kebenaran. Dekonstruksi menolak anggapan bahwa makna dapat dipakukan secara tetap, dan karena itu mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap produksi dan sirkulasi wacana di ruang publik².

8.2.       Pengaruh dalam Kajian Identitas dan Kritik Sosial

Dekonstruksionisme telah diadopsi secara luas dalam teori feminis, studi postkolonial, dan teori queer sebagai perangkat kritis untuk membongkar esensialisme identitas dan membuka ruang bagi pluralitas subjektivitas. Dalam studi gender, misalnya, Judith Butler menggunakan pendekatan dekonstruktif untuk menunjukkan bahwa kategori seperti “laki-laki” dan “perempuan” tidak bersifat biologis atau tetap, tetapi merupakan efek performatif dari sistem tanda yang normatif³.

Demikian pula dalam teori postkolonial, tokoh seperti Gayatri Chakravorty Spivak memanfaatkan dekonstruksi untuk mengkritik wacana kolonial yang merepresentasikan “subaltern” sebagai obyek pasif yang dapat diwakili tanpa suara sendiri⁴. Pendekatan ini memberikan daya kritis untuk menantang dominasi epistemik dan membuka ruang artikulasi alternatif bagi kelompok terpinggirkan.

8.3.       Relevansi dalam Kajian Hukum dan Pendidikan

Dalam filsafat hukum, dekonstruksi membuka kemungkinan pembacaan kritis terhadap teks hukum sebagai produk wacana yang penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi internal. Costas Douzinas dan para pemikir dalam tradisi critical legal studies menggunakan dekonstruksi untuk menunjukkan bahwa hukum tidak bersifat netral atau koheren, melainkan hasil dari perebutan makna dalam arena sosial-politik⁵.

Sementara dalam bidang pendidikan, pendekatan dekonstruktif mengajak guru dan pelajar untuk tidak memaknai teks secara literal, melainkan dengan cara yang reflektif dan terbuka terhadap interpretasi jamak. Pendidikan yang dekonstruktif mendorong kritis terhadap narasi dominan, termasuk kurikulum yang mengukuhkan ideologi tertentu, dan membuka ruang untuk pedagogi yang lebih demokratis dan multivokal⁶.

8.4.       Etika dan Politik Keterbukaan

Dekonstruksi juga berkontribusi terhadap pengembangan paradigma etika dan politik keterbukaan yang menolak kesimpulan tertutup dan memprioritaskan keragaman, dialog, serta tanggung jawab terhadap yang lain. Derrida menyebut ini sebagai ethics of hospitality, yakni sikap etis yang tidak menuntut identitas tetap dari tamu atau yang berbeda, tetapi menyambut keterasingan sebagai momen pembentukan relasi⁷.

Di tengah meningkatnya eksklusivisme identitas, politik kebencian, dan fundamentalisme, pendekatan ini menjadi penting untuk membangun ruang sosial yang lebih inklusif, cair, dan reflektif terhadap kompleksitas manusia.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 163–167.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 35–38.

[3]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.

[4]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[5]                Costas Douzinas and Ronnie Warrington, Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in the Texts of Law (London: Routledge, 1991), 45–50.

[6]                Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in a Postmodern Era (New York: Routledge, 1995), 87–92.

[7]                Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans. Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press, 1999), 50–55.


9.           Kesimpulan dan Refleksi

Dekonstruksionisme, sebagaimana dirintis oleh Jacques Derrida, bukan sekadar sebuah teori linguistik atau pendekatan sastra, melainkan sebuah cara berpikir yang menggugat asumsi paling mendasar dalam filsafat Barat tentang bahasa, makna, dan pengetahuan. Dengan menekankan bahwa makna tidak pernah hadir secara utuh dan bahwa teks selalu berada dalam ketegangan antara apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan, dekonstruksi membuka medan kritis untuk membaca ulang wacana-wacana yang telah mapan¹.

Dalam dimensi filsafat bahasa dan linguistik, dekonstruksi menantang model representasional yang menganggap bahwa bahasa dapat secara langsung merepresentasikan realitas. Sebaliknya, Derrida menunjukkan bahwa makna hanya mungkin melalui perbedaan dan penundaan (différance), dan setiap usaha untuk menetapkan makna justru memunculkan ketegangan internal dalam struktur bahasa². Implikasi ini mengganggu klaim epistemologis klasik yang berlandaskan pada transparansi bahasa dan stabilitas konsep.

Pada sisi etika dan tanggung jawab, dekonstruksi tidak jatuh ke dalam nihilisme, tetapi justru menawarkan horizon baru untuk memahami etika sebagai keterbukaan terhadap yang lain. Dengan menolak dasar moral yang absolut, dekonstruksi memunculkan suatu bentuk tanggung jawab yang lebih radikal: tanggung jawab tanpa jaminan, tanpa panduan pasti, namun justru lebih otentik karena berangkat dari pengakuan atas keterbatasan dan ketidaktuntasan makna³.

Sementara itu, kritik yang dilontarkan terhadap dekonstruksi—mulai dari tuduhan relativisme, ketidakjelasan terminologis, hingga keraguan terhadap konsistensi etis—perlu dibaca dalam konteks niat dasar dekonstruksi itu sendiri: bukan untuk menggantikan suatu kebenaran dengan yang lain, melainkan untuk menggugat fondasi dari sistem makna dan pengetahuan yang telah lama diterima begitu saja⁴. Kritik terhadap oposisi biner, logocentrisme, dan metafisika kehadiran bukan bertujuan untuk menghancurkan, melainkan untuk membebaskan potensi interpretasi dan pemahaman yang selama ini tersembunyi atau tertindas dalam struktur wacana dominan.

Dalam konteks kontemporer, dekonstruksi tetap relevan untuk memahami dunia yang semakin kompleks, plural, dan sarat disinformasi. Di tengah krisis makna dalam politik, pendidikan, hukum, dan media, pendekatan dekonstruktif menghadirkan alat kritis untuk merespons kekakuan wacana, membongkar narasi dominan, serta menyuarakan keragaman makna dan identitas⁵. Ia menjadi penting bukan karena memberikan jawaban final, tetapi karena mengajarkan sikap reflektif yang terus menggugat dan membuka ruang baru bagi pemikiran.

Akhirnya, refleksi dekonstruktif tidak bertujuan untuk menutup teks dengan kesimpulan yang stabil, melainkan untuk mempertahankan ruang keterbukaan. Seperti dikatakan Derrida sendiri, “Dekonstruksi bukanlah pembatalan, tetapi keterbukaan terhadap kemungkinan lain”⁶. Dalam dunia yang terus berubah, pemikiran semacam ini menjadi etos intelektual yang semakin diperlukan.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[2]                Derrida, “Différance,” dalam Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.

[3]                Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 23–27.

[4]                John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 134–136.

[5]                Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004), 41–43.

[6]                Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 148.


Daftar Pustaka

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing gender. Routledge.

Caputo, J. D. (1997). The prayers and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University Press.

Critchley, S. (1999). The ethics of deconstruction: Derrida and Levinas (2nd ed.). Edinburgh University Press.

Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.

Derrida, J. (1992). The other heading: Reflections on today's Europe (P.-A. Brault & M. B. Naas, Trans.). Indiana University Press.

Derrida, J. (1995). The gift of death (D. Wills, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas (P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford University Press.

Douzinas, C., & Warrington, R. (1991). Postmodern jurisprudence: The law of text in the texts of law. Routledge.

Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. Verso.

Eagleton, T. (1996). Literary theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.

Ellis, J. (1989). Against deconstruction. Princeton University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Johnson, B. (1980). The critical difference: Essays in the contemporary rhetoric of reading. Johns Hopkins University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

McLaren, P. (1995). Critical pedagogy and predatory culture: Oppositional politics in a postmodern era. Routledge.

Norris, C. (1987). Derrida. Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Rorty, R. (1999). Philosophy and social hope. Penguin Books.

Saussure, F. de. (1986). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; R. Harris, Trans.). Open Court.

Searle, J. R. (1977). Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Wittgenstein, L. (1961). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar