Selasa, 10 Juni 2025

Altruisme: Fondasi Etis bagi Kehidupan yang Lebih Bermakna

Altruisme

Fondasi Etis bagi Kehidupan yang Lebih Bermakna


Alihkan ke: Aliran Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji altruisme sebagai salah satu nilai utama dalam cabang filsafat aksiologi, dengan menelusuri hakikat, sejarah, dimensi etika, hingga aplikasinya dalam kehidupan sosial dan spiritual. Altruisme dipahami sebagai prinsip moral yang menekankan perhatian terhadap kepentingan orang lain tanpa mengutamakan diri sendiri. Melalui pendekatan multidisipliner yang mencakup filsafat moral, psikologi sosial, biologi evolusioner, serta ajaran agama-agama besar, artikel ini menunjukkan bahwa altruisme bukan hanya merupakan kebajikan personal, melainkan juga fondasi etis bagi masyarakat yang adil, solider, dan beradab. Dibahas pula berbagai kritik terhadap altruisme—mulai dari potensi manipulasi hingga dilema moral dalam niat dan konsekuensi—yang memperkaya pemahaman kritis atas nilai ini. Dalam refleksi akhirnya, altruisme ditampilkan sebagai sintesis antara etika dan spiritualitas, serta sebagai jalan hidup yang mampu menanggapi krisis empati dan fragmentasi nilai dalam dunia modern. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi filosofis dan praktis dalam membangun kesadaran moral kolektif yang berakar pada nilai memberi dan kepedulian.

Kata Kunci: Altruisme, aksiologi, etika moral, spiritualitas, kasih tanpa pamrih, nilai sosial, refleksi filosofis.


PEMBAHASAN

Altruisme sebagai Aksiologi


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat, aksiologi merupakan cabang yang memusatkan perhatiannya pada nilai (value), baik yang bersifat estetis maupun etis. Aksiologi menyoroti pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa yang dianggap baik, benar, indah, dan pantas dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, ia menjadi landasan penting dalam menentukan orientasi tindakan, baik secara individual maupun kolektif. Salah satu nilai etis yang menonjol dalam pembahasan aksiologi adalah altruisme, yaitu prinsip moral yang menekankan pengabdian pada kesejahteraan orang lain tanpa mengutamakan kepentingan pribadi.

Istilah altruisme pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte, seorang filsuf positivis Prancis abad ke-19, dalam upayanya untuk membentuk suatu etika sosial yang dapat menggantikan dogma keagamaan pada masa modern. Dalam pandangan Comte, altruisme merupakan kebalikan dari egoisme dan menjadi fondasi moral bagi tata sosial yang harmonis. Ia mendefinisikan altruisme sebagai “kehidupan bagi orang lain,” yang berarti mendahulukan kebutuhan sosial di atas kepentingan pribadi demi kemaslahatan kolektif masyarakat.1 Pandangan ini tidak hanya berdimensi etis, tetapi juga sosiologis karena menekankan pentingnya solidaritas dalam struktur masyarakat modern.

Secara umum, altruisme dipahami sebagai tindakan tanpa pamrih yang ditujukan untuk membantu atau memperhatikan kepentingan orang lain. Ini mencakup berbagai bentuk pengorbanan, mulai dari bantuan sederhana hingga pengorbanan besar yang melibatkan risiko pribadi. Berbeda dari empati yang bersifat afektif dan spontan, altruisme lebih menekankan aspek tindakan konkret yang didasarkan pada prinsip moral.2 Dalam konteks filsafat moral, altruisme menjadi bahan perdebatan panjang, terutama terkait pertentangannya dengan egoisme psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan manusia, pada dasarnya, digerakkan oleh kepentingan diri sendiri.3

Pembahasan mengenai altruisme sangat relevan dalam menjawab krisis nilai di tengah masyarakat modern yang ditandai oleh individualisme, hedonisme, dan kompetisi tak terbatas. Dalam konteks global, tantangan seperti krisis kemanusiaan, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan membutuhkan pendekatan moral yang tidak semata-mata berbasis rasionalitas utilitarian, tetapi juga keterlibatan moral yang tulus dan empatik terhadap sesama. Di sinilah pentingnya altruisme sebagai prinsip aksiologis yang mampu menyeimbangkan hak dan kewajiban, serta memperkokoh ikatan sosial yang mulai rapuh akibat fragmentasi nilai.

Dengan demikian, artikel ini akan membahas secara mendalam konsep altruisme dalam kerangka aksiologi, mulai dari pengertian filosofisnya, sejarah pemikiran, dimensi etika, aplikasi sosial, hingga kritik dan tantangan kontemporernya. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah untuk mengungkap potensi altruisme sebagai fondasi etis bagi kehidupan yang lebih bermakna—baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun global.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, Catechism of Positive Religion, trans. Richard Congreve (London: Trübner & Co., 1858), 196.

[2]                Thomas Nagel, “The Possibility of Altruism,” The Philosophical Review 78, no. 3 (1969): 393–417.

[3]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 70–73.


2.           Hakikat Altruisme dalam Perspektif Filsafat

2.1.       Pengertian Altruisme secara Filosofis

Secara etimologis, istilah altruisme berasal dari bahasa Latin alter, yang berarti “yang lain.” Istilah ini dipopulerkan oleh Auguste Comte dalam karya-karyanya tentang filsafat positif sebagai lawan dari egoisme, yakni suatu bentuk orientasi moral yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.1 Dalam konteks filsafat, altruisme tidak sekadar tindakan membantu sesama, melainkan mencerminkan prinsip nilai bahwa tindakan tersebut patut dilakukan karena dianggap benar secara moral—bukan karena adanya motivasi eksternal seperti imbalan atau pujian.

Berbeda dari empati yang lebih bersifat emosional dan afektif, altruisme mengandung aspek tindakan nyata dan kesadaran moral. Seorang individu altruistik tidak hanya memahami penderitaan orang lain (empati), tetapi juga terdorong untuk bertindak demi menguranginya, bahkan dengan mengorbankan kenyamanan atau kepentingan pribadinya.2 Karena itu, altruisme memiliki kedudukan penting dalam ranah aksiologi sebagai nilai moral yang mendorong tindakan nyata bagi kebaikan bersama.

2.2.       Altruisme dan Dualisme Moral: Lawan Egoisme

Dalam filsafat moral, altruisme sering dibahas dalam hubungannya dengan egoisme, terutama dalam perdebatan mengenai motivasi moral manusia. Egoisme psikologis berpendapat bahwa semua tindakan manusia, bahkan yang tampak altruistik, pada dasarnya digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Pandangan ini banyak didukung oleh filsuf seperti Thomas Hobbes, yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk bertahan dan memperoleh manfaat pribadi dalam interaksinya dengan orang lain.3

Namun, banyak filsuf menolak reduksi semacam itu dan membela eksistensi motivasi altruistik sejati. Misalnya, David Hume dalam A Treatise of Human Nature menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan empatik yang alami terhadap sesamanya, dan bahwa moralitas bertumpu pada “sentimen simpati.”4 Bahkan dalam kerangka Kantian, tindakan moral hanya dianggap sah jika dilakukan karena kewajiban moral, bukan karena harapan akan keuntungan. Dalam hal ini, altruisme yang dilakukan karena imperatif kategoris Kant adalah bentuk tertinggi dari tindakan etis, karena dilakukan demi kebaikan itu sendiri.5

2.3.       Altruisme sebagai Inti Etika Sosial

Altruisme juga menempati posisi sentral dalam etika sosial. Sebagai prinsip yang mengutamakan kesejahteraan kolektif, ia menjadi dasar bagi norma-norma sosial seperti kerja sama, solidaritas, dan keadilan distributif. Dalam masyarakat modern yang kompleks dan majemuk, altruisme berperan sebagai mekanisme moral yang menjembatani antara kepentingan individu dan kebutuhan komunitas. Melalui tindakan-tindakan altruistik, terbentuk kepercayaan sosial (social trust) yang memperkuat kohesi sosial dan mencegah fragmentasi nilai.6

Dengan demikian, altruisme bukan hanya sekadar kebajikan moral pribadi, tetapi juga fondasi normatif bagi tatanan sosial yang adil dan beradab. Ia menjawab kebutuhan manusia untuk hidup dalam komunitas yang saling peduli dan bertanggung jawab. Dalam kacamata aksiologi, altruisme menunjukkan bahwa nilai tertinggi dalam tindakan etis bukanlah apa yang didapat, melainkan apa yang diberikan.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, System of Positive Polity, trans. J.H. Bridges (London: Longmans, Green, and Co., 1875), 547.

[2]                Daniel Batson, Altruism in Humans (Oxford: Oxford University Press, 2011), 3–8.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86–89.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1896), 581–582.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.

[6]                Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 237–240.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Altruisme

3.1.       Altruisme dalam Filsafat Klasik

Meskipun istilah altruisme belum digunakan secara eksplisit dalam filsafat Yunani Kuno, gagasan tentang pengorbanan demi orang lain dan kebaikan universal telah muncul dalam pemikiran moral klasik. Dalam etika Stoikisme, misalnya, tindakan yang mengarah pada kebaikan bersama dianggap sebagai bagian dari hidup yang sesuai dengan logos atau rasionalitas alam semesta. Tokoh-tokoh seperti Epictetus dan Marcus Aurelius menekankan pentingnya kehidupan yang dijalani demi keharmonisan kosmik dan sosial, termasuk tindakan tanpa pamrih bagi orang lain.1

Sementara itu, dalam filsafat Aristoteles, meskipun fokus utama berada pada eudaimonia (kebahagiaan atau kehidupan baik), kebaikan terhadap sesama tetap menjadi komponen penting dalam aktualisasi kebajikan (virtue). Aristoteles menyatakan bahwa philia atau persahabatan etis adalah bentuk relasi sosial yang menumbuhkan solidaritas dan pengorbanan timbal balik demi kebaikan bersama.2 Gagasan ini dapat dilihat sebagai embrio dari konsep altruisme dalam kerangka etika kebajikan (virtue ethics).

3.2.       Auguste Comte dan Lahirnya Istilah Altruisme

Istilah altruisme secara terminologis baru muncul dalam pemikiran Auguste Comte (1798–1857), tokoh utama positivisme sosial. Dalam Catéchisme positiviste, Comte merumuskan altruisme sebagai prinsip moral yang harus menggantikan egoisme dalam struktur masyarakat modern. Bagi Comte, altruisme adalah kebajikan yang mendasari ordre et progrès—tatanan dan kemajuan—sebagai moto dasar masyarakat yang rasional dan teratur.3

Comte menolak teologi dan metafisika sebagai sumber moralitas, dan menawarkan altruisme sebagai norma baru yang bersifat ilmiah dan sosial. Dalam pandangannya, manusia hanya akan mencapai kesejahteraan kolektif bila setiap individu mengembangkan kesadaran moral untuk hidup demi orang lain (vivre pour autrui). Altruisme, dengan demikian, bukan sekadar etika pribadi, tetapi juga kerangka moral kolektif bagi rekonstruksi masyarakat modern.4

3.3.       Altruisme dalam Pandangan Modern dan Kontemporer

Perkembangan pemikiran altruisme di abad ke-20 dan 21 semakin beragam dan interdisipliner. Dalam ranah biologi evolusioner, Richard Dawkins mengusulkan konsep selfish gene yang menantang pemahaman konvensional tentang altruisme. Ia berargumen bahwa apa yang tampak sebagai tindakan altruistik dapat dijelaskan melalui kepentingan genetik untuk mempertahankan diri melalui kerabat (kin selection) dan timbal balik (reciprocal altruism). Dalam kerangka ini, altruisme adalah strategi evolusioner, bukan nilai moral murni.5

Namun, pendekatan sosiobiologis semacam ini ditanggapi kritis oleh para filsuf moral dan psikolog sosial. Daniel Batson, dalam penelitiannya selama tiga dekade, menunjukkan melalui berbagai eksperimen bahwa motivasi altruistik yang murni—yakni membantu tanpa pamrih—memang eksis dan dapat dibedakan secara empirik dari motif egoistik.6 Ini memberikan landasan ilmiah bahwa altruisme tidak harus direduksi menjadi strategi kepentingan diri.

Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul gerakan altruisme efektif (effective altruism) yang dipopulerkan oleh filsuf Peter Singer dan organisasi seperti Giving What We Can. Gerakan ini menggabungkan prinsip moral untuk membantu orang lain dengan pendekatan rasional dan kuantitatif guna memaksimalkan dampak positif dari tindakan amal dan filantropi. Bagi Singer, altruisme bukan hanya soal niat baik, tetapi juga soal efektivitas nyata dalam mengurangi penderitaan dunia.7


Footnotes

[1]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1155a5–1156a5.

[3]                Auguste Comte, Catéchisme positiviste (Paris: Garnier Frères, 1852), 160–165.

[4]                Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 412–416.

[5]                Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), 95–123.

[6]                Daniel Batson, The Altruism Question: Toward a Social-Psychological Answer (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1991), 76–81.

[7]                Peter Singer, The Most Good You Can Do: How Effective Altruism Is Changing Ideas About Living Ethically (New Haven: Yale University Press, 2015), 9–33.


4.           Dimensi Etika dalam Altruisme

4.1.       Altruisme sebagai Nilai Moral

Dalam konteks etika normatif, altruisme sering diposisikan sebagai bentuk keutamaan moral yang mewujud dalam tindakan nyata demi kesejahteraan orang lain, tanpa tuntutan timbal balik atau kepentingan diri. Nilai ini merepresentasikan sebuah prinsip universal tentang kebaikan yang melampaui batas identitas pribadi, ras, maupun kepentingan ekonomi. Altruisme etis mengandaikan bahwa tindakan membantu sesama bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral yang melekat dalam kapasitas manusia sebagai makhluk sosial dan rasional.1

Banyak filsuf modern yang memandang altruisme sebagai inti dari moralitas itu sendiri. Dalam kerangka etika sentimental, seperti yang diajukan oleh David Hume, tindakan moral bersumber dari empati atau simpati alami terhadap penderitaan orang lain. Ia menyatakan bahwa “perasaan manusia terhadap sesama adalah sumber utama norma moral.”2 Dari perspektif ini, altruisme bukan sekadar strategi sosial, melainkan ekspresi jujur dari rasa kemanusiaan yang mendalam.

4.2.       Altruisme dalam Etika Deontologis vs Utilitarian

Ketegangan klasik dalam filsafat moral muncul dalam perdebatan antara etika deontologis dan etika utilitarian, masing-masing memberikan pendekatan berbeda terhadap motivasi dan legitimasi tindakan altruistik.

Dalam kerangka etika deontologis Kantian, tindakan dikatakan bermoral jika dilakukan berdasarkan kewajiban, bukan karena konsekuensinya. Immanuel Kant menegaskan bahwa tindakan memiliki nilai moral hanya jika dilakukan karena rasa hormat terhadap hukum moral, bukan karena dorongan afektif atau hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, tindakan altruisme yang didorong oleh rasa simpati saja, menurut Kant, belum tentu bermoral jika tidak didasarkan pada imperatif kategoris—yaitu prinsip moral universal yang dapat dijadikan hukum umum.3

Sebaliknya, etika utilitarian menilai tindakan dari konsekuensi yang dihasilkannya. Tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill berpendapat bahwa tindakan altruistik bernilai moral sejauh ia mampu memaksimalkan kebahagiaan atau manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Dalam kerangka ini, altruisme tidak harus bebas dari kepentingan pribadi, selama tindakan tersebut berkontribusi pada “kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar.”4 Altruisme menjadi alat rasional untuk menghasilkan kesejahteraan sosial yang lebih luas.

Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa etika deontologis lebih menekankan niat moral internal (good will), sementara etika utilitarian lebih berfokus pada hasil akhir dari tindakan. Keduanya, bagaimanapun, mengakui nilai positif altruisme, meski dari premis yang berbeda.

4.3.       Altruisme dan Tanggung Jawab Moral Global

Dalam konteks etika global kontemporer, altruisme telah mengalami perluasan cakupan, tidak lagi terbatas pada relasi personal, melainkan meluas pada tanggung jawab moral terhadap umat manusia secara keseluruhan. Filsuf seperti Peter Singer berargumen bahwa dalam dunia yang saling terhubung, batas kewajiban moral harus melampaui sekat-sekat geografis dan kultural. Ia mencontohkan bahwa seseorang yang hidup nyaman di negara maju memiliki tanggung jawab moral untuk menyumbang bagi kelangsungan hidup orang-orang di negara miskin yang mengalami kelaparan atau bencana, walaupun mereka tidak memiliki hubungan langsung.5

Singer mendasarkan pandangannya pada prinsip kesetaraan moral, yaitu bahwa penderitaan memiliki nilai etis yang sama terlepas dari siapa yang mengalaminya. Dalam logika ini, altruisme bukan hanya soal kemurahan hati, tetapi keharusan moral. Ia menulis, “Jika kita dapat mencegah sesuatu yang buruk terjadi tanpa mengorbankan sesuatu yang setara secara moral, maka kita berkewajiban untuk melakukannya.”6


Footnotes

[1]                Samuel Scheffler, The Rejection of Consequentialism (Oxford: Oxford University Press, 1994), 85–87.

[2]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 171.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 14–15.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 23–25.

[5]                Peter Singer, “Famine, Affluence, and Morality,” Philosophy and Public Affairs 1, no. 3 (1972): 231–232.

[6]                Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (New York: Random House, 2009), 15.


5.           Aplikasi Altruisme dalam Kehidupan Sosial dan Global

5.1.       Altruisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Altruisme bukan semata konsep abstrak dalam ranah filsafat moral, melainkan prinsip yang dapat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan konkret. Memberikan waktu untuk mendengarkan keluh kesah orang lain, membantu tetangga tanpa imbalan, atau menyumbang darah adalah contoh sederhana dari perilaku altruistik yang mempererat hubungan sosial dan memperkuat kohesi komunitas lokal. Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa tindakan altruistik sehari-hari meningkatkan kesejahteraan psikologis, baik bagi penerima maupun pelaku.1 Tindakan membantu orang lain, secara neurologis, berkaitan erat dengan aktivitas di pusat otak yang memproses kebahagiaan dan penghargaan.2

Dalam konteks ini, altruisme menjadi instrumen praktis yang menumbuhkan kepekaan sosial dan membangun solidaritas antarmanusia. Ketika individu bertindak altruistik tanpa pamrih, ia sedang menegaskan nilai-nilai moral dalam praktik, bukan hanya dalam wacana.

5.2.       Altruisme dalam Aktivisme Sosial dan Kemanusiaan

Skala aplikasi altruisme meluas dalam bentuk aktivisme sosial dan gerakan kemanusiaan, di mana nilai membantu sesama diterjemahkan menjadi tindakan kolektif untuk memperjuangkan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan penanggulangan bencana. Gerakan seperti Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders), Amnesty International, dan Humanitarian OpenStreetMap Team beroperasi atas dasar komitmen altruistik untuk melayani kelompok-kelompok rentan tanpa diskriminasi politik atau ekonomi.3

Banyak tokoh aktivis sosial—seperti Mother Teresa, Muhammad Yunus, atau Nelson Mandela—didorong oleh semangat altruistik yang melampaui kepentingan pribadi atau nasionalisme sempit. Mereka memandang penderitaan orang lain sebagai tanggung jawab moral yang harus dijawab dengan tindakan nyata. Dengan demikian, altruisme menjadi daya dorong etis yang mengilhami transformasi sosial secara damai dan berkeadilan.

5.3.       Altruisme dalam Dunia Profesional dan Kepemimpinan

Di dunia kerja dan kepemimpinan, konsep servant leadership (kepemimpinan yang melayani) merepresentasikan penerapan nilai-nilai altruistik dalam ranah organisasi. Model ini, yang pertama kali dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf, menekankan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan kesejahteraan bawahannya sebelum dirinya sendiri. Kepemimpinan yang melayani terbukti meningkatkan produktivitas, loyalitas, dan moral kerja karena menumbuhkan budaya kepercayaan dan empati.4

Dalam konteks bisnis, prinsip altruisme juga tampak dalam corporate social responsibility (CSR), yakni komitmen perusahaan untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial dan lingkungan. Banyak perusahaan global kini menjadikan CSR bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan bagian integral dari nilai perusahaan. Konsep ini sejalan dengan semangat altruisme strategis, di mana tindakan sosial dikaitkan dengan dampak jangka panjang terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.5

5.4.       Altruisme di Tingkat Global: Kewajiban Moral Tanpa Batas

Di tengah krisis global seperti perubahan iklim, pandemi, dan pengungsian akibat konflik bersenjata, altruisme tidak lagi dapat dibatasi pada lingkup lokal atau nasional. Dunia saat ini menuntut pengembangan etika global di mana tanggung jawab moral tidak terikat oleh batas negara atau ikatan identitas sempit. Dalam filsafat moral kontemporer, Peter Singer mengajukan gagasan bahwa warga negara kaya memiliki tanggung jawab moral untuk membantu warga di negara-negara miskin karena penderitaan manusia tidak mengenal batas-batas geografis.6

Singer menyatakan bahwa dalam dunia yang saling terhubung melalui teknologi dan ekonomi, ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain di belahan dunia lain adalah bentuk kegagalan moral. Oleh karena itu, gerakan seperti Effective Altruism, yang mendorong orang untuk menyumbangkan sebagian pendapatan mereka pada lembaga-lembaga amal yang terverifikasi dampaknya, merupakan bentuk altruisme yang terukur dan terstruktur secara etis.7


Footnotes

[1]                Stephen G. Post, “Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good,” International Journal of Behavioral Medicine 12, no. 2 (2005): 66–77.

[2]                Jorge Moll et al., “Human Frontopolar Cortex Function during Real-Time Charity Donation,” Proceedings of the National Academy of Sciences 103, no. 42 (2006): 15623–15628.

[3]                Hugo Slim, Humanitarian Ethics: A Guide to the Morality of Aid in War and Disaster (Oxford: Oxford University Press, 2015), 35–40.

[4]                Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (New York: Paulist Press, 1977), 13–25.

[5]                Michael E. Porter and Mark R. Kramer, “Creating Shared Value,” Harvard Business Review 89, no. 1–2 (2011): 62–77.

[6]                Peter Singer, “Famine, Affluence, and Morality,” Philosophy and Public Affairs 1, no. 3 (1972): 229–243.

[7]                Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (New York: Random House, 2009), 27–40.


6.           Kritik terhadap Altruisme

6.1.       Potensi Manipulasi dan Eksploitasi

Salah satu kritik utama terhadap altruisme adalah potensi penyalahgunaannya oleh pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari kebaikan hati orang lain. Dalam dinamika sosial, individu yang memiliki kecenderungan altruistik bisa menjadi sasaran eksploitasi oleh mereka yang bersikap manipulatif atau oportunistik. Fenomena ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai "compassion fatigue" atau kelelahan empatik, yaitu kondisi psikologis di mana seseorang merasa kelelahan emosional karena terus-menerus memberikan bantuan, tanpa mendapatkan dukungan balik.1

Selain itu, organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan juga bisa mengalami paradoks moral, ketika tindakan membantu justru memperkuat ketergantungan struktural masyarakat terhadap bantuan luar. Beberapa akademisi bahkan mengkritik praktik-praktik amal tertentu sebagai bentuk “white savior complex”, yaitu narasi di mana kaum elite atau negara maju memperkuat superioritas moral dan politiknya atas kelompok marginal melalui aksi kemanusiaan yang dipublikasikan secara masif.2

6.2.       Dilema Moral dan Ambiguitas Niat

Tantangan lain dari altruisme terletak pada dilema moral yang mengaburkan garis batas antara kebaikan dan kontrol. Ketika seseorang bertindak altruistik, sering kali sulit dibedakan apakah tindakan tersebut benar-benar murni atau dilatari oleh motif terselubung, seperti pencitraan, rasa bersalah, atau dorongan narsistik. Filsuf seperti Friedrich Nietzsche bahkan mencurigai moralitas altruisme sebagai bentuk kelemahan dan mekanisme kontrol dalam masyarakat. Dalam The Genealogy of Morals, Nietzsche menganggap altruisme sebagai moralitas budak (slave morality) yang memuliakan penderitaan dan pengorbanan demi menekan kehendak untuk berkuasa.3

Nietzsche tidak menolak nilai memberi atau berbuat baik, tetapi menentang glorifikasi terhadap penderitaan dan pengosongan diri yang membuat manusia menjauhi kekuatan vitalnya. Kritik ini mendorong kita untuk mempertanyakan: apakah altruisme selalu merupakan ekspresi keutamaan, atau justru bisa menjadi instrumen penyangkalan diri yang tidak sehat?

6.3.       Altruisme dan Tantangan di Era Individualistik

Kritik kontemporer terhadap altruisme juga mencerminkan kondisi dunia modern yang semakin individualistik dan kompetitif. Budaya neoliberal dan meritokrasi menekankan pencapaian individu, efisiensi, dan kompetisi, yang sering kali tidak memberi ruang bagi nilai altruistik untuk berkembang. Dalam konteks ini, altruisme dianggap tidak realistis atau bahkan kontraproduktif dalam lingkungan yang mengutamakan kepentingan pribadi dan logika pasar bebas.

Barbara Oakley, dalam bukunya Pathological Altruism, menunjukkan bahwa altruisme yang tidak terkendali atau tidak dipertimbangkan secara rasional bisa berdampak buruk, baik bagi pelaku maupun penerima. Ia menyebutkan contoh-contoh seperti orang tua yang terlalu memanjakan anak hingga merusak kemandirian, atau aktivis yang melibatkan diri dalam isu-isu sosial secara obsesif hingga mengabaikan kesehatan mental dan relasi pribadi mereka sendiri.4 Kritik ini mengingatkan bahwa altruisme yang sehat harus dibarengi dengan kebijaksanaan moral dan batasan rasional.

6.4.       Kritik dari Perspektif Evolusioner

Dari sudut pandang biologi evolusioner, kritik terhadap altruisme banyak berasal dari teori yang mempertanyakan eksistensi motivasi tanpa pamrih dalam perilaku manusia. Richard Dawkins, misalnya, menyatakan bahwa tindakan yang tampak altruistik sebenarnya hanyalah strategi reproduktif yang terseleksi oleh alam. Dalam kerangka selfish gene, bahkan tindakan paling mulia sekalipun bisa dijelaskan sebagai mekanisme untuk mempertahankan dan menyebarkan gen.5

Walaupun pendekatan ini menimbulkan banyak kontroversi di kalangan filsuf moral dan teolog, ia tetap menjadi argumen penting yang menantang klaim bahwa altruisme sepenuhnya murni dan bebas dari motivasi biologis atau egoistik. Kritik ini mendorong perlunya keseimbangan antara pemahaman ideal tentang altruisme dan kenyataan kompleks mengenai dorongan-dorongan manusiawi.


Footnotes

[1]                Charles R. Figley, ed., Compassion Fatigue: Coping with Secondary Traumatic Stress Disorder in Those Who Treat the Traumatized (New York: Brunner/Mazel, 1995), 7–10.

[2]                Teju Cole, “The White-Savior Industrial Complex,” The Atlantic, March 21, 2012, https://www.theatlantic.com.

[3]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1989), 45–48.

[4]                Barbara Oakley, ed., Pathological Altruism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 3–12.

[5]                Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), 95–110.


7.           Altruisme dalam Perspektif Agama dan Spiritualitas

7.1.       Konsep Altruisme dalam Agama-Agama Besar

Nilai altruisme, meskipun tidak selalu disebut dengan istilah yang sama, merupakan pilar moral dalam berbagai tradisi agama besar di dunia. Agama-agama mengajarkan bahwa kebaikan terhadap sesama bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban spiritual yang berakar pada pengakuan akan martabat dan kemanusiaan setiap individu.

7.1.1.    Islam: "Itsar" dan Keutamaan Mendahulukan Orang Lain

Dalam Islam, konsep altruisme diwujudkan dalam istilah itsār, yaitu sikap mendahulukan kepentingan orang lain atas diri sendiri, bahkan dalam kondisi serba kekurangan. Al-Qur'an memuji sikap ini dalam konteks kaum Anshar yang berbagi rezeki dengan kaum Muhajirin:

Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan” (Q.S. al-Ḥashr [59] ayat 9).1

Nabi Muhammad Saw sendiri merupakan teladan utama dalam perilaku altruistik. Ia dikenal sebagai sosok yang selalu peduli pada orang miskin, yatim, dan kaum lemah. Dalam hadis disebutkan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. al-Ṭabarānī).2

7.1.2.    Kristen: Kasih Tanpa Syarat (Agape)

Dalam Kekristenan, altruisme diwujudkan dalam kasih agape, yaitu kasih yang tanpa syarat dan pengorbanan diri. Ajaran Yesus tentang mencintai musuh (Matius 5:44) dan perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25–37) menekankan bahwa cinta kasih sejati mencakup semua manusia, termasuk mereka yang dianggap “lain”.3
Salib sendiri, sebagai simbol utama Kekristenan, mengandung makna tertinggi dari pengorbanan demi keselamatan orang lain.

7.1.3.    Buddha: Welas Asih (Karuna)

Dalam Buddhisme, altruisme tercermin dalam prinsip karuṇā (welas asih) dan mettā (cinta kasih universal). Ajaran Buddha mengajak manusia untuk melepaskan keakuan (anattā) dan membangkitkan belas kasih terhadap semua makhluk hidup. Dhammapada menyatakan:

Kebencian tidak dapat diatasi oleh kebencian, tetapi oleh cinta kasih; inilah hukum yang abadi.”4

Pencerahan spiritual dalam Buddhisme tidak hanya dicapai melalui kesadaran diri, tetapi juga melalui upaya untuk membebaskan makhluk lain dari penderitaan.

7.2.       Spiritualitas dan Pengorbanan: Transendensi Ego

Dari sudut pandang spiritualitas umum, altruisme adalah praktik transendensi ego, yakni proses di mana individu melepaskan keterikatan pada kepentingan diri demi keterhubungan yang lebih luas dengan sesama dan realitas ilahi. Tradisi mistik dalam berbagai agama, seperti Sufisme dalam Islam, Kristen kontemplatif, dan Bhakti Yoga dalam Hindu, menekankan bahwa cinta dan pelayanan kepada makhluk adalah jalan menuju Tuhan.

Dalam pemikiran Albert Schweitzer, seorang teolog dan dokter kemanusiaan, tindakan altruistik merupakan respons spiritual terhadap kehidupan sebagai suatu keajaiban. Ia menulis, “Etika sejati muncul dari perasaan kesatuan dengan segala kehidupan yang menderita, dan dari dorongan batin untuk membantu.5

Demikian pula, dalam spiritualitas modern, tokoh seperti Karen Armstrong menekankan bahwa compassion (belas kasih) merupakan inti ajaran semua agama dunia. Ia menyatakan bahwa "Agama sejati adalah agama yang melahirkan empati, bukan kebencian."6

7.3.       Integrasi Etika dan Spiritualitas dalam Kehidupan

Pemahaman tentang altruisme dalam agama tidak hanya membentuk nilai moral, tetapi juga membangun identitas spiritual yang memandang kebaikan sebagai jalan menuju kesempurnaan jiwa. Tindakan altruistik, seperti memberi tanpa mengharap balasan atau memaafkan tanpa syarat, merupakan bentuk latihan spiritual yang membersihkan hati dan menumbuhkan kedekatan dengan Yang Ilahi.

Dengan demikian, altruisme dalam agama tidak sekadar merupakan etika sosial, tetapi juga bentuk peribadahan batiniah yang mengarah pada transformasi diri. Di sinilah letak kekuatan ajaran spiritual: ia tidak hanya memerintahkan manusia untuk berbuat baik, tetapi membentuk kesadaran yang dalam tentang kesatuan eksistensial antara “aku” dan “yang lain”.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah al-Ḥashr [59]: 9. Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia.

[2]                Al-Muʿjam al-Kabīr li al-Ṭabarānī, no. 12865.

[3]                The Holy Bible, New International Version (Colorado Springs: Biblica, 2011), Matthew 5:44; Luke 10:25–37.

[4]                Dhammapada, trans. Acharya Buddharakkhita (Kandy: Buddhist Publication Society, 1985), verse 5.

[5]                Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography, trans. C.T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1998), 129.

[6]                Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life (New York: Alfred A. Knopf, 2010), 9.


8.           Kesimpulan dan Refleksi Filosofis

Altruisme, sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, merupakan prinsip etis yang berakar dalam ranah aksiologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari nilai dan kebaikan. Sebagai nilai moral, altruisme tidak hanya menuntut tindakan, tetapi juga kesadaran terdalam tentang keterhubungan manusia dengan sesamanya dan dengan dunia secara keseluruhan. Ia menolak logika egoistik yang mendominasi relasi sosial modern dan menawarkan alternatif moral yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai bagian dari tanggung jawab eksistensial manusia.

Dalam ranah filsafat, altruisme menjadi medan dialektika antara niat dan konsekuensi, antara kepentingan diri dan kesejahteraan bersama. Etika deontologis menekankan pentingnya niat baik dalam tindakan altruistik, sebagaimana ditegaskan oleh Kant bahwa moralitas sejati terletak pada kehendak untuk berbuat benar tanpa syarat.1 Di sisi lain, etika utilitarian menilai keutamaan altruisme dari hasil yang dihasilkannya—yakni sebesar apa dampak positifnya terhadap kebahagiaan kolektif.2 Perbedaan ini menunjukkan bahwa altruisme mengandung kompleksitas moral yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar pengorbanan atau pemberian.

Namun demikian, kritik-kritik terhadap altruisme—baik dari perspektif biologis, psikologis, maupun kultural—tidak lantas meruntuhkan nilainya sebagai fondasi etis. Sebaliknya, kritik tersebut justru memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana altruisme harus dijalankan secara bijaksana dan proporsional. Barbara Oakley, misalnya, mengingatkan pentingnya membedakan antara altruisme yang sehat dan yang patologis, agar tindakan altruistik tidak berubah menjadi beban atau manipulasi sosial.3

Dari sudut pandang religius dan spiritual, altruisme merupakan perwujudan dari dimensi ilahiah dalam diri manusia—yakni kemampuan untuk mencintai, memberi, dan memaafkan tanpa syarat. Dalam Islam, itsār menjadi lambang keutamaan moral; dalam Kekristenan, kasih agape menjelma dalam pengorbanan total; sementara dalam Buddhisme, karuṇā dan mettā menjadi jalan spiritual menuju pencerahan.4 Spiritualitas sejati tidak dapat dilepaskan dari keberanian untuk mendahulukan yang lain sebagai ekspresi cinta kepada Yang Maha.

Lebih dari sekadar kebajikan pribadi, altruisme adalah kerangka etis kolektif yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang dilanda fragmentasi, ketimpangan, dan krisis empati. Dalam era global yang sarat tantangan ekologis, kemiskinan ekstrem, dan konflik identitas, altruisme harus dipulihkan bukan hanya sebagai nilai ideal, tetapi juga sebagai strategi sosial yang rasional. Gerakan Effective Altruism, misalnya, menjadi bukti bahwa nilai memberi dapat dikembangkan secara sistematis dan ilmiah untuk menghasilkan dampak global yang nyata.5

Dalam refleksi akhir, kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme adalah jalan tengah antara moralitas dan spiritualitas, antara keberanian memberi dan kebijaksanaan memberi. Ia menantang kita untuk menjadi manusia yang tidak hanya berpikir tentang “apa yang dapat aku ambil dari dunia,” tetapi juga “apa yang dapat aku berikan untuk dunia.” Dengan cara ini, altruisme bukan sekadar etika, melainkan cara hidup yang memungkinkan kita menjalani kehidupan yang lebih berarti dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 47–49.

[3]                Barbara Oakley, ed., Pathological Altruism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 3–12.

[4]                Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life (New York: Alfred A. Knopf, 2010), 13–18.

[5]                Peter Singer, The Most Good You Can Do: How Effective Altruism Is Changing Ideas About Living Ethically (New Haven: Yale University Press, 2015), 21–38.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Armstrong, K. (2010). Twelve steps to a compassionate life. Alfred A. Knopf.

Batson, C. D. (1991). The altruism question: Toward a social-psychological answer. Lawrence Erlbaum Associates.

Batson, C. D. (2011). Altruism in humans. Oxford University Press.

Cole, T. (2012, March 21). The white-savior industrial complex. The Atlantic. https://www.theatlantic.com

Comte, A. (1852). Catéchisme positiviste. Garnier Frères.

Comte, A. (1875). System of positive polity (J. H. Bridges, Trans.). Longmans, Green, and Co.

Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford University Press.

Figley, C. R. (Ed.). (1995). Compassion fatigue: Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the traumatized. Brunner/Mazel.

Greenleaf, R. K. (1977). Servant leadership: A journey into the nature of legitimate power and greatness. Paulist Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Pantheon Books.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Hume, D. (1896). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Hume, D. (1998). An enquiry concerning the principles of morals (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)

Moll, J., Krueger, F., Zahn, R., Pardini, M., de Oliveira-Souza, R., & Grafman, J. (2006). Human frontopolar cortex function during real-time charity donation. Proceedings of the National Academy of Sciences, 103(42), 15623–15628. https://doi.org/10.1073/pnas.0604475103

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage. (Original work published 1887)

Oakley, B. (Ed.). (2011). Pathological altruism. Oxford University Press.

Pickering, M. (2009). Auguste Comte: An intellectual biography (Vol. 2). Cambridge University Press.

Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2011). Creating shared value. Harvard Business Review, 89(1–2), 62–77.

Post, S. G. (2005). Altruism, happiness, and health: It’s good to be good. International Journal of Behavioral Medicine, 12(2), 66–77. https://doi.org/10.1207/s15327558ijbm1202_4

Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill Education.

Schweitzer, A. (1998). Out of my life and thought: An autobiography (C. T. Campion, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Scheffler, S. (1994). The rejection of consequentialism. Oxford University Press.

Singer, P. (1972). Famine, affluence, and morality. Philosophy and Public Affairs, 1(3), 229–243.

Singer, P. (2009). The life you can save: Acting now to end world poverty. Random House.

Singer, P. (2015). The most good you can do: How effective altruism is changing ideas about living ethically. Yale University Press.

Slim, H. (2015). Humanitarian ethics: A guide to the morality of aid in war and disaster. Oxford University Press.

The Holy Bible, New International Version. (2011). Biblica.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar