Altruisme
Fondasi Etis bagi Kehidupan yang Lebih Bermakna
Alihkan ke: Aliran Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji altruisme sebagai salah satu
nilai utama dalam cabang filsafat aksiologi, dengan menelusuri hakikat, sejarah,
dimensi etika, hingga aplikasinya dalam kehidupan sosial dan spiritual.
Altruisme dipahami sebagai prinsip moral yang menekankan perhatian terhadap
kepentingan orang lain tanpa mengutamakan diri sendiri. Melalui pendekatan
multidisipliner yang mencakup filsafat moral, psikologi sosial, biologi
evolusioner, serta ajaran agama-agama besar, artikel ini menunjukkan bahwa
altruisme bukan hanya merupakan kebajikan personal, melainkan juga fondasi etis
bagi masyarakat yang adil, solider, dan beradab. Dibahas pula berbagai kritik
terhadap altruisme—mulai dari potensi manipulasi hingga dilema moral dalam niat
dan konsekuensi—yang memperkaya pemahaman kritis atas nilai ini. Dalam refleksi
akhirnya, altruisme ditampilkan sebagai sintesis antara etika dan spiritualitas,
serta sebagai jalan hidup yang mampu menanggapi krisis empati dan fragmentasi
nilai dalam dunia modern. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
filosofis dan praktis dalam membangun kesadaran moral kolektif yang berakar
pada nilai memberi dan kepedulian.
Kata Kunci: Altruisme, aksiologi, etika moral, spiritualitas,
kasih tanpa pamrih, nilai sosial, refleksi filosofis.
PEMBAHASAN
Altruisme sebagai Aksiologi
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah
filsafat, aksiologi merupakan cabang yang memusatkan perhatiannya pada nilai
(value), baik yang bersifat estetis maupun etis. Aksiologi menyoroti
pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa yang dianggap baik, benar, indah,
dan pantas dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, ia menjadi landasan penting
dalam menentukan orientasi tindakan, baik secara individual maupun kolektif.
Salah satu nilai etis yang menonjol dalam pembahasan aksiologi adalah altruisme,
yaitu prinsip moral yang menekankan pengabdian pada kesejahteraan orang lain
tanpa mengutamakan kepentingan pribadi.
Istilah altruisme
pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte, seorang filsuf positivis Prancis
abad ke-19, dalam upayanya untuk membentuk suatu etika sosial yang dapat
menggantikan dogma keagamaan pada masa modern. Dalam pandangan Comte, altruisme
merupakan kebalikan dari egoisme dan menjadi fondasi moral bagi tata sosial
yang harmonis. Ia mendefinisikan altruisme sebagai “kehidupan bagi orang
lain,” yang berarti mendahulukan kebutuhan sosial di atas kepentingan
pribadi demi kemaslahatan kolektif masyarakat.1 Pandangan ini tidak
hanya berdimensi etis, tetapi juga sosiologis karena menekankan pentingnya
solidaritas dalam struktur masyarakat modern.
Secara umum,
altruisme dipahami sebagai tindakan tanpa pamrih yang ditujukan untuk membantu
atau memperhatikan kepentingan orang lain. Ini mencakup berbagai bentuk
pengorbanan, mulai dari bantuan sederhana hingga pengorbanan besar yang
melibatkan risiko pribadi. Berbeda dari empati yang bersifat afektif dan
spontan, altruisme lebih menekankan aspek tindakan konkret yang didasarkan pada
prinsip moral.2 Dalam konteks filsafat moral, altruisme menjadi
bahan perdebatan panjang, terutama terkait pertentangannya dengan egoisme
psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan manusia, pada dasarnya,
digerakkan oleh kepentingan diri sendiri.3
Pembahasan mengenai
altruisme sangat relevan dalam menjawab krisis nilai di tengah masyarakat
modern yang ditandai oleh individualisme, hedonisme, dan kompetisi tak
terbatas. Dalam konteks global, tantangan seperti krisis kemanusiaan,
kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan membutuhkan pendekatan moral yang
tidak semata-mata berbasis rasionalitas utilitarian, tetapi juga keterlibatan
moral yang tulus dan empatik terhadap sesama. Di sinilah pentingnya altruisme
sebagai prinsip aksiologis yang mampu menyeimbangkan hak dan kewajiban, serta
memperkokoh ikatan sosial yang mulai rapuh akibat fragmentasi nilai.
Dengan demikian,
artikel ini akan membahas secara mendalam konsep altruisme dalam kerangka
aksiologi, mulai dari pengertian filosofisnya, sejarah pemikiran, dimensi
etika, aplikasi sosial, hingga kritik dan tantangan kontemporernya. Tujuan
utama dari pembahasan ini adalah untuk mengungkap potensi altruisme sebagai
fondasi etis bagi kehidupan yang lebih bermakna—baik dalam konteks pribadi,
sosial, maupun global.
Footnotes
[1]
Auguste Comte, Catechism of Positive Religion, trans. Richard
Congreve (London: Trübner & Co., 1858), 196.
[2]
Thomas Nagel, “The Possibility of Altruism,” The Philosophical
Review 78, no. 3 (1969): 393–417.
[3]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 70–73.
2.
Hakikat Altruisme dalam Perspektif Filsafat
2.1.
Pengertian Altruisme
secara Filosofis
Secara etimologis,
istilah altruisme
berasal dari bahasa Latin alter, yang berarti “yang lain.”
Istilah ini dipopulerkan oleh Auguste Comte dalam
karya-karyanya tentang filsafat positif sebagai lawan dari egoisme, yakni suatu
bentuk orientasi moral yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain
di atas kepentingan diri sendiri.1 Dalam konteks filsafat, altruisme
tidak sekadar tindakan membantu sesama, melainkan mencerminkan prinsip nilai
bahwa tindakan tersebut patut dilakukan karena dianggap benar secara moral—bukan
karena adanya motivasi eksternal seperti imbalan atau pujian.
Berbeda dari empati
yang lebih bersifat emosional dan afektif, altruisme mengandung aspek tindakan
nyata dan kesadaran moral. Seorang individu altruistik tidak hanya memahami
penderitaan orang lain (empati), tetapi juga terdorong untuk bertindak demi
menguranginya, bahkan dengan mengorbankan kenyamanan atau kepentingan
pribadinya.2 Karena itu, altruisme memiliki kedudukan penting dalam
ranah aksiologi sebagai nilai moral yang mendorong tindakan nyata bagi kebaikan
bersama.
2.2.
Altruisme dan
Dualisme Moral: Lawan Egoisme
Dalam filsafat
moral, altruisme sering dibahas dalam hubungannya dengan egoisme,
terutama dalam perdebatan mengenai motivasi moral manusia. Egoisme psikologis
berpendapat bahwa semua tindakan manusia, bahkan yang tampak altruistik, pada
dasarnya digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Pandangan ini banyak
didukung oleh filsuf seperti Thomas Hobbes, yang menyatakan
bahwa manusia pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk bertahan dan memperoleh
manfaat pribadi dalam interaksinya dengan orang lain.3
Namun, banyak filsuf
menolak reduksi semacam itu dan membela eksistensi motivasi altruistik sejati.
Misalnya, David Hume dalam A
Treatise of Human Nature menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan
empatik yang alami terhadap sesamanya, dan bahwa moralitas bertumpu pada “sentimen
simpati.”4 Bahkan dalam kerangka Kantian, tindakan moral hanya
dianggap sah jika dilakukan karena kewajiban moral, bukan karena harapan akan
keuntungan. Dalam hal ini, altruisme yang dilakukan karena imperatif
kategoris Kant adalah bentuk tertinggi dari tindakan etis, karena
dilakukan demi kebaikan itu sendiri.5
2.3.
Altruisme sebagai
Inti Etika Sosial
Altruisme juga
menempati posisi sentral dalam etika sosial. Sebagai prinsip yang mengutamakan
kesejahteraan kolektif, ia menjadi dasar bagi norma-norma sosial seperti kerja
sama, solidaritas, dan keadilan distributif. Dalam masyarakat modern yang
kompleks dan majemuk, altruisme berperan sebagai mekanisme moral yang
menjembatani antara kepentingan individu dan kebutuhan komunitas. Melalui
tindakan-tindakan altruistik, terbentuk kepercayaan sosial (social
trust) yang memperkuat kohesi sosial dan mencegah fragmentasi
nilai.6
Dengan demikian,
altruisme bukan hanya sekadar kebajikan moral pribadi, tetapi juga fondasi
normatif bagi tatanan sosial yang adil dan beradab. Ia menjawab kebutuhan
manusia untuk hidup dalam komunitas yang saling peduli dan bertanggung jawab.
Dalam kacamata aksiologi, altruisme menunjukkan bahwa nilai tertinggi dalam
tindakan etis bukanlah apa yang didapat, melainkan apa yang diberikan.
Footnotes
[1]
Auguste Comte, System of Positive Polity, trans. J.H. Bridges
(London: Longmans, Green, and Co., 1875), 547.
[2]
Daniel Batson, Altruism in Humans (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 3–8.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 86–89.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1896), 581–582.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.
[6]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 237–240.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Altruisme
3.1.
Altruisme dalam
Filsafat Klasik
Meskipun istilah altruisme
belum digunakan secara eksplisit dalam filsafat Yunani Kuno, gagasan tentang
pengorbanan demi orang lain dan kebaikan universal telah muncul dalam pemikiran
moral klasik. Dalam etika Stoikisme, misalnya, tindakan
yang mengarah pada kebaikan bersama dianggap sebagai bagian dari hidup yang
sesuai dengan logos atau rasionalitas alam
semesta. Tokoh-tokoh seperti Epictetus dan Marcus
Aurelius menekankan pentingnya kehidupan yang dijalani demi
keharmonisan kosmik dan sosial, termasuk tindakan tanpa pamrih bagi orang lain.1
Sementara itu, dalam
filsafat Aristoteles, meskipun fokus
utama berada pada eudaimonia (kebahagiaan atau
kehidupan baik), kebaikan terhadap sesama tetap menjadi komponen penting dalam
aktualisasi kebajikan (virtue). Aristoteles menyatakan bahwa philia
atau persahabatan etis adalah bentuk relasi sosial yang menumbuhkan solidaritas
dan pengorbanan timbal balik demi kebaikan bersama.2 Gagasan ini
dapat dilihat sebagai embrio dari konsep altruisme dalam kerangka etika
kebajikan (virtue
ethics).
3.2.
Auguste Comte dan
Lahirnya Istilah Altruisme
Istilah altruisme
secara terminologis baru muncul dalam pemikiran Auguste Comte (1798–1857),
tokoh utama positivisme sosial. Dalam Catéchisme positiviste, Comte
merumuskan altruisme sebagai prinsip moral yang harus menggantikan egoisme
dalam struktur masyarakat modern. Bagi Comte, altruisme adalah kebajikan yang
mendasari ordre et
progrès—tatanan dan kemajuan—sebagai moto dasar masyarakat yang
rasional dan teratur.3
Comte menolak
teologi dan metafisika sebagai sumber moralitas, dan menawarkan altruisme
sebagai norma baru yang bersifat ilmiah dan sosial. Dalam pandangannya, manusia
hanya akan mencapai kesejahteraan kolektif bila setiap individu mengembangkan
kesadaran moral untuk hidup demi orang lain (vivre pour autrui). Altruisme,
dengan demikian, bukan sekadar etika pribadi, tetapi juga kerangka moral
kolektif bagi rekonstruksi masyarakat modern.4
3.3.
Altruisme dalam
Pandangan Modern dan Kontemporer
Perkembangan
pemikiran altruisme di abad ke-20 dan 21 semakin beragam dan interdisipliner.
Dalam ranah biologi evolusioner, Richard Dawkins mengusulkan
konsep selfish
gene yang menantang pemahaman konvensional tentang altruisme. Ia
berargumen bahwa apa yang tampak sebagai tindakan altruistik dapat dijelaskan
melalui kepentingan genetik untuk mempertahankan diri melalui kerabat (kin
selection) dan timbal balik (reciprocal altruism). Dalam kerangka ini,
altruisme adalah strategi evolusioner, bukan nilai moral murni.5
Namun, pendekatan
sosiobiologis semacam ini ditanggapi kritis oleh para filsuf moral dan psikolog
sosial. Daniel Batson, dalam
penelitiannya selama tiga dekade, menunjukkan melalui berbagai eksperimen bahwa
motivasi altruistik yang murni—yakni membantu tanpa pamrih—memang eksis dan
dapat dibedakan secara empirik dari motif egoistik.6 Ini memberikan
landasan ilmiah bahwa altruisme tidak harus direduksi menjadi strategi
kepentingan diri.
Dalam perkembangan
lebih lanjut, muncul gerakan altruisme efektif (effective
altruism) yang dipopulerkan oleh filsuf Peter
Singer dan organisasi seperti Giving What We Can. Gerakan ini
menggabungkan prinsip moral untuk membantu orang lain dengan pendekatan
rasional dan kuantitatif guna memaksimalkan dampak positif dari tindakan amal
dan filantropi. Bagi Singer, altruisme bukan hanya soal niat baik, tetapi juga
soal efektivitas nyata dalam mengurangi penderitaan dunia.7
Footnotes
[1]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2003), 6.30.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1155a5–1156a5.
[3]
Auguste Comte, Catéchisme positiviste (Paris: Garnier Frères,
1852), 160–165.
[4]
Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, vol.
2 (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 412–416.
[5]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University
Press, 1976), 95–123.
[6]
Daniel Batson, The Altruism Question: Toward a Social-Psychological
Answer (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1991), 76–81.
[7]
Peter Singer, The Most Good You Can Do: How Effective Altruism Is
Changing Ideas About Living Ethically (New Haven: Yale University Press,
2015), 9–33.
4.
Dimensi Etika dalam Altruisme
4.1.
Altruisme sebagai
Nilai Moral
Dalam konteks etika
normatif, altruisme sering diposisikan sebagai bentuk keutamaan moral yang
mewujud dalam tindakan nyata demi kesejahteraan orang lain, tanpa tuntutan
timbal balik atau kepentingan diri. Nilai ini merepresentasikan sebuah prinsip
universal tentang kebaikan yang melampaui batas identitas pribadi, ras, maupun
kepentingan ekonomi. Altruisme etis mengandaikan
bahwa tindakan membantu sesama bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral
yang melekat dalam kapasitas manusia sebagai makhluk sosial dan rasional.1
Banyak filsuf modern
yang memandang altruisme sebagai inti dari moralitas itu sendiri. Dalam
kerangka etika sentimental, seperti yang
diajukan oleh David Hume, tindakan moral
bersumber dari empati atau simpati alami terhadap penderitaan orang lain. Ia
menyatakan bahwa “perasaan manusia terhadap sesama adalah sumber utama norma
moral.”2 Dari perspektif ini, altruisme bukan sekadar strategi
sosial, melainkan ekspresi jujur dari rasa kemanusiaan yang mendalam.
4.2.
Altruisme dalam
Etika Deontologis vs Utilitarian
Ketegangan klasik
dalam filsafat moral muncul dalam perdebatan antara etika
deontologis dan etika utilitarian,
masing-masing memberikan pendekatan berbeda terhadap motivasi dan legitimasi
tindakan altruistik.
Dalam kerangka etika
deontologis Kantian, tindakan dikatakan bermoral jika dilakukan
berdasarkan kewajiban, bukan karena konsekuensinya. Immanuel
Kant menegaskan bahwa tindakan memiliki nilai moral hanya jika
dilakukan karena rasa hormat terhadap hukum moral, bukan karena dorongan
afektif atau hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, tindakan altruisme yang
didorong oleh rasa simpati saja, menurut Kant, belum tentu bermoral jika tidak
didasarkan pada imperatif kategoris—yaitu prinsip
moral universal yang dapat dijadikan hukum umum.3
Sebaliknya, etika
utilitarian menilai tindakan dari konsekuensi yang
dihasilkannya. Tokoh seperti Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill berpendapat bahwa tindakan altruistik bernilai
moral sejauh ia mampu memaksimalkan kebahagiaan atau manfaat bagi sebanyak
mungkin orang. Dalam kerangka ini, altruisme tidak harus bebas dari kepentingan
pribadi, selama tindakan tersebut berkontribusi pada “kebahagiaan terbesar
bagi jumlah terbesar.”4 Altruisme menjadi alat rasional untuk
menghasilkan kesejahteraan sosial yang lebih luas.
Perbedaan mendasar
ini menunjukkan bahwa etika deontologis lebih menekankan niat moral internal
(good will), sementara etika utilitarian lebih berfokus pada hasil akhir dari
tindakan. Keduanya, bagaimanapun, mengakui nilai positif altruisme, meski dari
premis yang berbeda.
4.3.
Altruisme dan
Tanggung Jawab Moral Global
Dalam konteks etika
global kontemporer, altruisme telah mengalami perluasan cakupan, tidak lagi
terbatas pada relasi personal, melainkan meluas pada tanggung jawab moral
terhadap umat manusia secara keseluruhan. Filsuf seperti Peter
Singer berargumen bahwa dalam dunia yang saling terhubung,
batas kewajiban moral harus melampaui sekat-sekat geografis dan kultural. Ia
mencontohkan bahwa seseorang yang hidup nyaman di negara maju memiliki tanggung
jawab moral untuk menyumbang bagi kelangsungan hidup orang-orang di negara
miskin yang mengalami kelaparan atau bencana, walaupun mereka tidak memiliki
hubungan langsung.5
Singer mendasarkan
pandangannya pada prinsip kesetaraan moral, yaitu bahwa penderitaan memiliki
nilai etis yang sama terlepas dari siapa yang mengalaminya. Dalam logika ini,
altruisme bukan hanya soal kemurahan hati, tetapi keharusan moral. Ia menulis,
“Jika kita dapat mencegah sesuatu yang buruk terjadi tanpa mengorbankan sesuatu
yang setara secara moral, maka kita berkewajiban untuk melakukannya.”6
Footnotes
[1]
Samuel Scheffler, The Rejection of Consequentialism (Oxford:
Oxford University Press, 1994), 85–87.
[2]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 171.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 14–15.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 23–25.
[5]
Peter Singer, “Famine, Affluence, and Morality,” Philosophy and
Public Affairs 1, no. 3 (1972): 231–232.
[6]
Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now to End World
Poverty (New York: Random House, 2009), 15.
5.
Aplikasi Altruisme dalam Kehidupan Sosial dan
Global
5.1.
Altruisme dalam
Kehidupan Sehari-hari
Altruisme bukan
semata konsep abstrak dalam ranah filsafat moral, melainkan prinsip yang dapat
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan konkret. Memberikan
waktu untuk mendengarkan keluh kesah orang lain, membantu tetangga tanpa
imbalan, atau menyumbang darah adalah contoh sederhana dari perilaku altruistik
yang mempererat hubungan sosial dan memperkuat kohesi komunitas lokal.
Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa tindakan altruistik sehari-hari
meningkatkan kesejahteraan psikologis, baik bagi penerima maupun pelaku.1
Tindakan membantu orang lain, secara neurologis, berkaitan erat dengan
aktivitas di pusat otak yang memproses kebahagiaan dan penghargaan.2
Dalam konteks ini,
altruisme menjadi instrumen praktis yang menumbuhkan kepekaan sosial dan
membangun solidaritas antarmanusia. Ketika individu bertindak altruistik tanpa
pamrih, ia sedang menegaskan nilai-nilai moral dalam praktik, bukan hanya dalam
wacana.
5.2.
Altruisme dalam
Aktivisme Sosial dan Kemanusiaan
Skala aplikasi
altruisme meluas dalam bentuk aktivisme sosial dan gerakan
kemanusiaan, di mana nilai membantu sesama diterjemahkan
menjadi tindakan kolektif untuk memperjuangkan keadilan sosial, hak asasi
manusia, dan penanggulangan bencana. Gerakan seperti Médecins
Sans Frontières (Doctors Without Borders), Amnesty
International, dan Humanitarian OpenStreetMap Team
beroperasi atas dasar komitmen altruistik untuk melayani kelompok-kelompok
rentan tanpa diskriminasi politik atau ekonomi.3
Banyak tokoh aktivis
sosial—seperti Mother Teresa, Muhammad
Yunus, atau Nelson Mandela—didorong oleh
semangat altruistik yang melampaui kepentingan pribadi atau nasionalisme
sempit. Mereka memandang penderitaan orang lain sebagai tanggung jawab moral
yang harus dijawab dengan tindakan nyata. Dengan demikian, altruisme menjadi
daya dorong etis yang mengilhami transformasi sosial secara damai dan
berkeadilan.
5.3.
Altruisme dalam
Dunia Profesional dan Kepemimpinan
Di dunia kerja dan
kepemimpinan, konsep servant leadership
(kepemimpinan yang melayani) merepresentasikan penerapan nilai-nilai altruistik
dalam ranah organisasi. Model ini, yang pertama kali dipopulerkan oleh Robert
K. Greenleaf, menekankan bahwa seorang pemimpin sejati adalah
mereka yang mengutamakan kesejahteraan bawahannya sebelum dirinya sendiri.
Kepemimpinan yang melayani terbukti meningkatkan produktivitas, loyalitas, dan
moral kerja karena menumbuhkan budaya kepercayaan dan empati.4
Dalam konteks
bisnis, prinsip altruisme juga tampak dalam corporate social responsibility (CSR),
yakni komitmen perusahaan untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga
berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial dan lingkungan. Banyak perusahaan
global kini menjadikan CSR bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan bagian
integral dari nilai perusahaan. Konsep ini sejalan dengan semangat altruisme
strategis, di mana tindakan sosial dikaitkan dengan dampak
jangka panjang terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.5
5.4.
Altruisme di Tingkat
Global: Kewajiban Moral Tanpa Batas
Di tengah krisis
global seperti perubahan iklim, pandemi, dan pengungsian akibat konflik
bersenjata, altruisme tidak lagi dapat dibatasi pada lingkup lokal atau
nasional. Dunia saat ini menuntut pengembangan etika global di mana tanggung
jawab moral tidak terikat oleh batas negara atau ikatan identitas sempit. Dalam
filsafat moral kontemporer, Peter Singer mengajukan gagasan
bahwa warga negara kaya memiliki tanggung jawab moral untuk membantu warga di
negara-negara miskin karena penderitaan manusia tidak mengenal batas-batas
geografis.6
Singer menyatakan
bahwa dalam dunia yang saling terhubung melalui teknologi dan ekonomi,
ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain di belahan dunia lain adalah
bentuk kegagalan moral. Oleh karena itu, gerakan seperti Effective
Altruism, yang mendorong orang untuk menyumbangkan sebagian
pendapatan mereka pada lembaga-lembaga amal yang terverifikasi dampaknya,
merupakan bentuk altruisme yang terukur dan terstruktur secara etis.7
Footnotes
[1]
Stephen G. Post, “Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be
Good,” International Journal of Behavioral Medicine 12, no. 2 (2005):
66–77.
[2]
Jorge Moll et al., “Human Frontopolar Cortex Function during Real-Time
Charity Donation,” Proceedings of the National Academy of Sciences
103, no. 42 (2006): 15623–15628.
[3]
Hugo Slim, Humanitarian Ethics: A Guide to the Morality of Aid in
War and Disaster (Oxford: Oxford University Press, 2015), 35–40.
[4]
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature
of Legitimate Power and Greatness (New York: Paulist Press, 1977), 13–25.
[5]
Michael E. Porter and Mark R. Kramer, “Creating Shared Value,” Harvard
Business Review 89, no. 1–2 (2011): 62–77.
[6]
Peter Singer, “Famine, Affluence, and Morality,” Philosophy and
Public Affairs 1, no. 3 (1972): 229–243.
[7]
Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now to End World
Poverty (New York: Random House, 2009), 27–40.
6.
Kritik terhadap Altruisme
6.1.
Potensi Manipulasi
dan Eksploitasi
Salah satu kritik
utama terhadap altruisme adalah potensi penyalahgunaannya oleh pihak-pihak
tertentu yang mengambil keuntungan dari kebaikan hati orang lain. Dalam
dinamika sosial, individu yang memiliki kecenderungan altruistik bisa menjadi
sasaran eksploitasi oleh mereka yang bersikap manipulatif atau oportunistik.
Fenomena ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai "compassion
fatigue" atau kelelahan empatik, yaitu kondisi psikologis
di mana seseorang merasa kelelahan emosional karena terus-menerus memberikan
bantuan, tanpa mendapatkan dukungan balik.1
Selain itu,
organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan juga bisa mengalami paradoks
moral, ketika tindakan membantu justru memperkuat ketergantungan struktural
masyarakat terhadap bantuan luar. Beberapa akademisi bahkan mengkritik
praktik-praktik amal tertentu sebagai bentuk “white savior complex”, yaitu narasi
di mana kaum elite atau negara maju memperkuat superioritas moral dan
politiknya atas kelompok marginal melalui aksi kemanusiaan yang dipublikasikan
secara masif.2
6.2.
Dilema Moral dan
Ambiguitas Niat
Tantangan lain dari
altruisme terletak pada dilema moral yang mengaburkan garis batas antara
kebaikan dan kontrol. Ketika seseorang bertindak altruistik, sering kali sulit
dibedakan apakah tindakan tersebut benar-benar murni atau dilatari oleh motif
terselubung, seperti pencitraan, rasa bersalah, atau dorongan narsistik. Filsuf
seperti Friedrich Nietzsche bahkan
mencurigai moralitas altruisme sebagai bentuk kelemahan dan mekanisme kontrol
dalam masyarakat. Dalam The Genealogy of Morals, Nietzsche
menganggap altruisme sebagai moralitas budak (slave morality) yang memuliakan
penderitaan dan pengorbanan demi menekan kehendak untuk berkuasa.3
Nietzsche tidak
menolak nilai memberi atau berbuat baik, tetapi menentang glorifikasi terhadap
penderitaan dan pengosongan diri yang membuat manusia menjauhi kekuatan
vitalnya. Kritik ini mendorong kita untuk mempertanyakan: apakah altruisme selalu
merupakan ekspresi keutamaan, atau justru bisa menjadi instrumen penyangkalan
diri yang tidak sehat?
6.3.
Altruisme dan
Tantangan di Era Individualistik
Kritik kontemporer
terhadap altruisme juga mencerminkan kondisi dunia modern yang semakin
individualistik dan kompetitif. Budaya neoliberal dan meritokrasi menekankan
pencapaian individu, efisiensi, dan kompetisi, yang sering kali tidak memberi
ruang bagi nilai altruistik untuk berkembang. Dalam konteks ini, altruisme
dianggap tidak realistis atau bahkan kontraproduktif dalam lingkungan yang
mengutamakan kepentingan pribadi dan logika pasar bebas.
Barbara
Oakley, dalam bukunya Pathological Altruism, menunjukkan
bahwa altruisme yang tidak terkendali atau tidak dipertimbangkan secara
rasional bisa berdampak buruk, baik bagi pelaku maupun penerima. Ia menyebutkan
contoh-contoh seperti orang tua yang terlalu memanjakan anak hingga merusak
kemandirian, atau aktivis yang melibatkan diri dalam isu-isu sosial secara
obsesif hingga mengabaikan kesehatan mental dan relasi pribadi mereka sendiri.4
Kritik ini mengingatkan bahwa altruisme yang sehat harus dibarengi dengan
kebijaksanaan moral dan batasan rasional.
6.4.
Kritik dari
Perspektif Evolusioner
Dari sudut pandang
biologi evolusioner, kritik terhadap altruisme banyak berasal dari teori yang
mempertanyakan eksistensi motivasi tanpa pamrih dalam perilaku manusia. Richard
Dawkins, misalnya, menyatakan bahwa tindakan yang tampak
altruistik sebenarnya hanyalah strategi reproduktif yang terseleksi oleh alam.
Dalam kerangka selfish gene, bahkan tindakan
paling mulia sekalipun bisa dijelaskan sebagai mekanisme untuk mempertahankan
dan menyebarkan gen.5
Walaupun pendekatan
ini menimbulkan banyak kontroversi di kalangan filsuf moral dan teolog, ia
tetap menjadi argumen penting yang menantang klaim bahwa altruisme sepenuhnya
murni dan bebas dari motivasi biologis atau egoistik. Kritik ini mendorong
perlunya keseimbangan antara pemahaman ideal tentang altruisme dan kenyataan
kompleks mengenai dorongan-dorongan manusiawi.
Footnotes
[1]
Charles R. Figley, ed., Compassion Fatigue: Coping with Secondary
Traumatic Stress Disorder in Those Who Treat the Traumatized (New York:
Brunner/Mazel, 1995), 7–10.
[2]
Teju Cole, “The White-Savior Industrial Complex,” The Atlantic,
March 21, 2012, https://www.theatlantic.com.
[3]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1989), 45–48.
[4]
Barbara Oakley, ed., Pathological Altruism (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 3–12.
[5]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University
Press, 1976), 95–110.
7.
Altruisme dalam Perspektif Agama dan
Spiritualitas
7.1.
Konsep Altruisme
dalam Agama-Agama Besar
Nilai altruisme,
meskipun tidak selalu disebut dengan istilah yang sama, merupakan pilar moral
dalam berbagai tradisi agama besar di dunia. Agama-agama mengajarkan bahwa
kebaikan terhadap sesama bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban
spiritual yang berakar pada pengakuan akan martabat dan kemanusiaan setiap
individu.
7.1.1.
Islam: "Itsar" dan
Keutamaan Mendahulukan Orang Lain
Dalam Islam, konsep
altruisme diwujudkan dalam istilah itsār, yaitu sikap mendahulukan
kepentingan orang lain atas diri sendiri, bahkan dalam kondisi serba
kekurangan. Al-Qur'an memuji sikap ini dalam konteks kaum Anshar yang berbagi
rezeki dengan kaum Muhajirin:
“Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin)
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan” (Q.S.
al-Ḥashr [59] ayat 9).1
Nabi Muhammad Saw sendiri
merupakan teladan utama dalam perilaku altruistik. Ia dikenal sebagai sosok
yang selalu peduli pada orang miskin, yatim, dan kaum lemah. Dalam hadis disebutkan:
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. al-Ṭabarānī).2
7.1.2.
Kristen: Kasih Tanpa Syarat (Agape)
Dalam Kekristenan,
altruisme diwujudkan dalam kasih agape, yaitu kasih yang tanpa
syarat dan pengorbanan diri. Ajaran Yesus tentang mencintai musuh (Matius 5:44)
dan perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25–37) menekankan bahwa
cinta kasih sejati mencakup semua manusia, termasuk mereka yang dianggap “lain”.3
Salib sendiri, sebagai simbol utama Kekristenan, mengandung makna tertinggi
dari pengorbanan demi keselamatan orang lain.
7.1.3.
Buddha: Welas Asih (Karuna)
Dalam Buddhisme,
altruisme tercermin dalam prinsip karuṇā (welas asih) dan mettā
(cinta kasih universal). Ajaran Buddha mengajak manusia untuk melepaskan
keakuan (anattā) dan membangkitkan belas kasih terhadap semua makhluk hidup. Dhammapada
menyatakan:
“Kebencian tidak dapat diatasi oleh
kebencian, tetapi oleh cinta kasih; inilah hukum yang abadi.”4
Pencerahan spiritual
dalam Buddhisme tidak hanya dicapai melalui kesadaran diri, tetapi juga melalui
upaya untuk membebaskan makhluk lain dari penderitaan.
7.2.
Spiritualitas dan
Pengorbanan: Transendensi Ego
Dari sudut pandang
spiritualitas umum, altruisme adalah praktik transendensi ego, yakni proses di
mana individu melepaskan keterikatan pada kepentingan diri demi keterhubungan
yang lebih luas dengan sesama dan realitas ilahi. Tradisi mistik dalam berbagai
agama, seperti Sufisme dalam Islam, Kristen
kontemplatif, dan Bhakti Yoga dalam Hindu,
menekankan bahwa cinta dan pelayanan kepada makhluk adalah jalan menuju Tuhan.
Dalam pemikiran Albert
Schweitzer, seorang teolog dan dokter kemanusiaan, tindakan
altruistik merupakan respons spiritual terhadap kehidupan sebagai suatu
keajaiban. Ia menulis, “Etika sejati muncul dari perasaan kesatuan dengan
segala kehidupan yang menderita, dan dari dorongan batin untuk membantu.”5
Demikian pula, dalam
spiritualitas modern, tokoh seperti Karen Armstrong menekankan
bahwa compassion
(belas kasih) merupakan inti ajaran semua agama dunia. Ia menyatakan bahwa
"Agama sejati adalah agama yang melahirkan empati, bukan kebencian."6
7.3.
Integrasi Etika dan
Spiritualitas dalam Kehidupan
Pemahaman tentang
altruisme dalam agama tidak hanya membentuk nilai moral, tetapi juga membangun
identitas spiritual yang memandang kebaikan sebagai jalan menuju kesempurnaan
jiwa. Tindakan altruistik, seperti memberi tanpa mengharap balasan atau
memaafkan tanpa syarat, merupakan bentuk latihan spiritual yang membersihkan
hati dan menumbuhkan kedekatan dengan Yang Ilahi.
Dengan demikian,
altruisme dalam agama tidak sekadar merupakan etika sosial, tetapi juga bentuk
peribadahan batiniah yang mengarah pada transformasi diri. Di sinilah letak
kekuatan ajaran spiritual: ia tidak hanya memerintahkan manusia untuk berbuat
baik, tetapi membentuk kesadaran yang dalam tentang kesatuan eksistensial
antara “aku” dan “yang lain”.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah al-Ḥashr [59]: 9. Terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia.
[2]
Al-Muʿjam al-Kabīr li al-Ṭabarānī, no. 12865.
[3]
The Holy Bible, New International Version (Colorado Springs: Biblica,
2011), Matthew 5:44; Luke 10:25–37.
[4]
Dhammapada, trans. Acharya
Buddharakkhita (Kandy: Buddhist Publication Society, 1985), verse 5.
[5]
Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography,
trans. C.T. Campion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1998), 129.
[6]
Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life (New
York: Alfred A. Knopf, 2010), 9.
8.
Kesimpulan dan Refleksi Filosofis
Altruisme,
sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, merupakan prinsip
etis yang berakar dalam ranah aksiologi, yaitu cabang
filsafat yang mempelajari nilai dan kebaikan. Sebagai nilai moral, altruisme
tidak hanya menuntut tindakan, tetapi juga kesadaran terdalam tentang
keterhubungan manusia dengan sesamanya dan dengan dunia secara keseluruhan. Ia
menolak logika egoistik yang mendominasi relasi sosial modern dan menawarkan
alternatif moral yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai bagian dari
tanggung jawab eksistensial manusia.
Dalam ranah
filsafat, altruisme menjadi medan dialektika antara niat dan konsekuensi,
antara kepentingan diri dan kesejahteraan bersama. Etika deontologis menekankan
pentingnya niat
baik dalam tindakan altruistik, sebagaimana ditegaskan oleh Kant
bahwa moralitas sejati terletak pada kehendak untuk berbuat benar tanpa syarat.1
Di sisi lain, etika utilitarian menilai keutamaan altruisme dari hasil yang
dihasilkannya—yakni sebesar apa dampak positifnya terhadap kebahagiaan
kolektif.2 Perbedaan ini menunjukkan bahwa altruisme mengandung
kompleksitas moral yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar pengorbanan atau
pemberian.
Namun demikian, kritik-kritik
terhadap altruisme—baik dari perspektif biologis, psikologis, maupun
kultural—tidak lantas meruntuhkan nilainya sebagai fondasi etis. Sebaliknya,
kritik tersebut justru memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana altruisme
harus dijalankan secara bijaksana dan proporsional. Barbara
Oakley, misalnya, mengingatkan pentingnya membedakan antara
altruisme yang sehat dan yang patologis, agar tindakan altruistik tidak berubah
menjadi beban atau manipulasi sosial.3
Dari sudut pandang
religius dan spiritual, altruisme merupakan perwujudan dari dimensi ilahiah
dalam diri manusia—yakni kemampuan untuk mencintai, memberi, dan memaafkan
tanpa syarat. Dalam Islam, itsār menjadi lambang keutamaan
moral; dalam Kekristenan, kasih agape menjelma dalam pengorbanan total;
sementara dalam Buddhisme, karuṇā dan mettā
menjadi jalan spiritual menuju pencerahan.4 Spiritualitas sejati
tidak dapat dilepaskan dari keberanian untuk mendahulukan yang lain sebagai
ekspresi cinta kepada Yang Maha.
Lebih dari sekadar
kebajikan pribadi, altruisme adalah kerangka etis kolektif yang
sangat dibutuhkan dalam dunia yang dilanda fragmentasi, ketimpangan, dan krisis
empati. Dalam era global yang sarat tantangan ekologis, kemiskinan ekstrem, dan
konflik identitas, altruisme harus dipulihkan bukan hanya sebagai nilai ideal,
tetapi juga sebagai strategi sosial yang rasional. Gerakan Effective
Altruism, misalnya, menjadi bukti bahwa nilai memberi dapat
dikembangkan secara sistematis dan ilmiah untuk menghasilkan dampak global yang
nyata.5
Dalam refleksi
akhir, kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme adalah jalan
tengah antara moralitas dan spiritualitas, antara keberanian
memberi dan kebijaksanaan memberi. Ia menantang kita untuk menjadi manusia yang
tidak hanya berpikir tentang “apa yang dapat aku ambil dari dunia,”
tetapi juga “apa yang dapat aku berikan untuk dunia.” Dengan cara ini,
altruisme bukan sekadar etika, melainkan cara hidup yang memungkinkan
kita menjalani kehidupan yang lebih berarti dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 13–15.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 47–49.
[3]
Barbara Oakley, ed., Pathological Altruism (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 3–12.
[4]
Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life (New
York: Alfred A. Knopf, 2010), 13–18.
[5]
Peter Singer, The Most Good You Can Do: How Effective Altruism Is
Changing Ideas About Living Ethically (New Haven: Yale University Press,
2015), 21–38.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Armstrong, K. (2010). Twelve
steps to a compassionate life. Alfred A. Knopf.
Batson, C. D. (1991). The
altruism question: Toward a social-psychological answer. Lawrence Erlbaum
Associates.
Batson, C. D. (2011). Altruism
in humans. Oxford University Press.
Cole, T. (2012, March 21).
The white-savior industrial complex. The Atlantic. https://www.theatlantic.com
Comte, A. (1852). Catéchisme
positiviste. Garnier Frères.
Comte, A. (1875). System
of positive polity (J. H. Bridges, Trans.). Longmans, Green, and Co.
Dawkins, R. (1976). The
selfish gene. Oxford University Press.
Figley, C. R. (Ed.).
(1995). Compassion fatigue: Coping with secondary traumatic stress disorder
in those who treat the traumatized. Brunner/Mazel.
Greenleaf, R. K. (1977). Servant
leadership: A journey into the nature of legitimate power and greatness.
Paulist Press.
Haidt, J. (2012). The
righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
Pantheon Books.
Hobbes, T. (1996). Leviathan
(R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)
Hume, D. (1896). A
treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Hume, D. (1998). An
enquiry concerning the principles of morals (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism
(G. Sher, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1863)
Moll, J., Krueger, F.,
Zahn, R., Pardini, M., de Oliveira-Souza, R., & Grafman, J. (2006). Human
frontopolar cortex function during real-time charity donation. Proceedings
of the National Academy of Sciences, 103(42), 15623–15628. https://doi.org/10.1073/pnas.0604475103
Nietzsche, F. (1989). On
the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.).
Vintage. (Original work published 1887)
Oakley, B. (Ed.). (2011). Pathological
altruism. Oxford University Press.
Pickering, M. (2009). Auguste
Comte: An intellectual biography (Vol. 2). Cambridge University Press.
Porter, M. E., &
Kramer, M. R. (2011). Creating shared value. Harvard Business Review,
89(1–2), 62–77.
Post, S. G. (2005).
Altruism, happiness, and health: It’s good to be good. International
Journal of Behavioral Medicine, 12(2), 66–77. https://doi.org/10.1207/s15327558ijbm1202_4
Rachels, J., & Rachels,
S. (2019). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill
Education.
Schweitzer, A. (1998). Out
of my life and thought: An autobiography (C. T. Campion, Trans.). Johns
Hopkins University Press.
Scheffler, S. (1994). The
rejection of consequentialism. Oxford University Press.
Singer, P. (1972). Famine,
affluence, and morality. Philosophy and Public Affairs, 1(3), 229–243.
Singer, P. (2009). The
life you can save: Acting now to end world poverty. Random House.
Singer, P. (2015). The
most good you can do: How effective altruism is changing ideas about living
ethically. Yale University Press.
Slim, H. (2015). Humanitarian
ethics: A guide to the morality of aid in war and disaster. Oxford
University Press.
The Holy Bible, New
International Version. (2011). Biblica.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar