Aksiologi dalam Filsafat
Kajian
Komprehensif tentang Nilai, Etika, dan Estetika
Alihkan ke: Cabang-Canag Filsafat.
Aliran Ontologi, Aliran Epistemologi, Aliran Aksiologi, Aliran Metafisik, Aliran Sosial-Politik, Aliran Linguistik dan Analitis, Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat nilai dan aplikasinya dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Kajian ini mencakup dua cabang utama, yaitu
etika, yang mengkaji prinsip moral dan norma perilaku, serta estetika, yang
mengeksplorasi konsep keindahan dan pengalaman estetis. Artikel ini menyajikan
analisis komprehensif tentang sejarah perkembangan aksiologi dari filsafat
klasik hingga kontemporer, ruang lingkupnya dalam etika dan estetika, serta
penerapannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, artikel ini juga
membahas kritik terhadap aksiologi, terutama dalam kaitannya dengan relativisme
nilai, perbedaan antara fakta dan nilai, serta tantangan dalam menghadapi
perkembangan teknologi modern. Dengan pendekatan multidisipliner yang
melibatkan perspektif filsafat, sains, dan etika terapan, kajian ini menegaskan
relevansi aksiologi dalam membangun sistem nilai yang kokoh dan adaptif
terhadap dinamika sosial. Studi ini diharapkan dapat memberikan wawasan
mendalam mengenai peran aksiologi dalam membentuk pola pikir kritis dan
bertanggung jawab dalam kehidupan individu maupun kolektif.
Kata Kunci: Aksiologi,
filsafat nilai, etika, estetika, ilmu pengetahuan, teknologi, relativisme
nilai, moralitas.
PEMBAHASAN
Aksiologi
dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Pengertian Aksiologi dalam Filsafat
Aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang berarti “nilai”
dan logos yang berarti “ilmu” atau “kajian”. Secara
umum, aksiologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang membahas
hakikat nilai, baik dalam konteks etika (moral) maupun estetika (keindahan).¹
Dalam filsafat, aksiologi berperan sebagai disiplin yang meneliti sumber,
sifat, dan penerapan nilai dalam kehidupan manusia. Hal ini mencakup
pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa yang dianggap bernilai?
Bagaimana nilai dapat diukur atau ditentukan? Apakah nilai bersifat subjektif
atau objektif?²
Aksiologi sering kali dikaitkan dengan dua cabang utama filsafat
lainnya, yaitu ontologi dan epistemologi. Jika ontologi membahas hakikat
realitas dan epistemologi menelaah hakikat pengetahuan, maka aksiologi fokus
pada bagaimana manusia memberikan makna dan nilai terhadap sesuatu.³ Dengan
demikian, aksiologi memiliki peran sentral dalam filsafat karena menyentuh
aspek moral, sosial, dan estetika dalam kehidupan sehari-hari.
1.2.
Posisi Aksiologi dalam Cabang-Cabang Filsafat
Sebagai salah satu cabang utama filsafat, aksiologi memiliki
hubungan erat dengan epistemologi dan ontologi. Dalam epistemologi, aksiologi
sering digunakan untuk menilai apakah suatu pengetahuan memiliki manfaat atau
kebenaran yang bersifat praktis. Sedangkan dalam ontologi, aksiologi membantu
menjawab pertanyaan tentang realitas nilai dan apakah nilai itu bersifat
inheren dalam suatu objek atau ditentukan oleh subjek yang mengamatinya.⁴
Beberapa filsuf telah memberikan kontribusi besar dalam
pengembangan aksiologi. Plato, misalnya, menghubungkan nilai dengan dunia ide,
di mana keindahan, kebenaran, dan kebaikan dianggap sebagai entitas yang
bersifat tetap dan absolut.⁵ Sementara itu, Aristoteles lebih menekankan pada
konsep eudaimonia atau kebahagiaan sebagai puncak nilai moral yang
dapat dicapai melalui kebajikan.⁶ Dalam perkembangan filsafat modern, aksiologi
dikaji lebih dalam oleh filsuf seperti Immanuel Kant yang membahas nilai dalam
konteks etika deontologis, serta John Stuart Mill yang mengembangkan
utilitarianisme, yakni nilai berdasarkan kegunaan atau manfaat terbesar bagi
banyak orang.⁷
1.3.
Relevansi Kajian Aksiologi dalam Kehidupan
Kajian aksiologi memiliki relevansi yang luas dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam bidang etika, aksiologi digunakan untuk merumuskan norma
dan prinsip moral yang menjadi pedoman dalam bertindak. Misalnya, dalam etika
profesi, nilai-nilai aksiologi membantu menentukan standar perilaku yang
diharapkan dalam suatu bidang pekerjaan.⁸ Dalam konteks sosial, aksiologi
berperan dalam membangun kesadaran mengenai keadilan, hak asasi manusia, dan
tanggung jawab sosial.
Selain itu, dalam bidang estetika, aksiologi membantu memahami
konsep keindahan dan seni. Nilai estetika tidak hanya bersifat subjektif tetapi
juga dapat memiliki dampak sosial dan budaya yang luas. Misalnya, bagaimana
suatu karya seni dapat merepresentasikan nilai-nilai budaya suatu masyarakat
atau bagaimana selera estetika seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan pendidikan.⁹
Di era modern yang ditandai oleh perkembangan teknologi dan globalisasi,
kajian aksiologi semakin relevan dalam menjawab tantangan etika dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Isu-isu seperti kecerdasan buatan, bioetika, dan
privasi digital menuntut pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai yang
mendasari keputusan manusia dalam menggunakan teknologi.¹⁰ Oleh karena itu,
memahami aksiologi bukan hanya penting dalam ranah akademik, tetapi juga dalam
kehidupan praktis sehari-hari.
Catatan
Kaki
[1]
Louis P. Pojman, Philosophy: The Quest for Truth
(New York: Oxford University Press, 2012), 487.
[2]
John Hospers, An Introduction to Philosophical Analysis
(London: Routledge, 1997), 211.
[3]
William Frankena, Ethics (Englewood Cliffs:
Prentice-Hall, 1973), 12.
[4]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 23.
[5]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 240-245.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28-33.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 44.
[8]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 16-19.
[9]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 95-98.
[10]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 157-162.
2.
Sejarah dan Perkembangan Aksiologi
2.1.
Aksiologi dalam Pemikiran Filsafat Yunani Kuno
Aksiologi sebagai kajian tentang nilai telah menjadi bagian dari
pemikiran filsafat sejak zaman Yunani Kuno. Plato (427–347 SM) dan Aristoteles
(384–322 SM) adalah dua filsuf yang memberikan kontribusi besar dalam perumusan
konsep nilai, terutama dalam bidang etika dan estetika.¹
Plato menganggap bahwa nilai, seperti kebaikan dan keindahan,
adalah bagian dari dunia ide (Theory of Forms). Menurutnya,
nilai-nilai tersebut bersifat absolut dan berada dalam dunia metafisik yang
lebih tinggi dibandingkan dunia fisik.² Dalam The Republic, ia
menggambarkan "Kebaikan" (The Good) sebagai konsep
tertinggi yang menjadi sumber dari semua nilai moral dan estetika.³
Sementara itu, Aristoteles mengembangkan pendekatan yang lebih
empiris terhadap nilai. Dalam Nicomachean Ethics, ia mengajukan konsep
eudaimonia, yang dapat diterjemahkan sebagai "kebahagiaan"
atau "kehidupan yang baik."⁴ Menurutnya, nilai etis dan
estetis tidak berada dalam dunia ide yang terpisah, tetapi ditemukan dalam
kehidupan manusia melalui praktik kebajikan (virtue ethics). Aristoteles
juga memberikan kontribusi dalam estetika melalui karyanya Poetics, di
mana ia membahas prinsip-prinsip keindahan dalam seni dan tragedi.⁵
2.2.
Perkembangan Aksiologi dalam Filsafat Abad
Pertengahan
Pada Abad Pertengahan, konsep nilai dalam aksiologi banyak
dipengaruhi oleh pemikiran teologis, terutama dalam tradisi filsafat Islam,
Kristen, dan Yahudi. Filosof Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibn Sina
(980–1037 M), dan Al-Ghazali (1058–1111 M) mengintegrasikan konsep nilai dari
filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip agama Islam.⁶
Al-Farabi, misalnya, mengembangkan teori tentang kota utama
(al-Madinah al-Fadilah), di mana nilai-nilai moral memainkan peran
sentral dalam menciptakan masyarakat yang ideal.⁷ Ibn Sina, di sisi lain,
menekankan hubungan antara etika dan jiwa manusia dalam konsep kebahagiaan
sejati. Sementara itu, Al-Ghazali lebih menyoroti aspek spiritual dalam nilai
etika, dengan menekankan pentingnya akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam.⁸
Di dunia Kristen, Santo Agustinus (354–430 M) dan Thomas Aquinas
(1225–1274 M) adalah dua tokoh penting dalam pembahasan aksiologi. Santo
Agustinus mengadopsi gagasan Plato tentang nilai absolut dan menghubungkannya
dengan Tuhan sebagai sumber segala kebaikan.⁹ Sementara itu, Thomas Aquinas
menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan doktrin Kristen, dengan menekankan
bahwa nilai moral harus selaras dengan hukum alam dan kehendak Ilahi.¹⁰
2.3.
Aksiologi dalam Filsafat Modern dan Kontemporer
Pada periode modern, filsuf seperti Immanuel Kant (1724–1804)
dan John Stuart Mill (1806–1873) memberikan kontribusi besar dalam pengembangan
aksiologi, khususnya dalam bidang etika. Kant dalam Groundwork of the
Metaphysics of Morals mengembangkan konsep etika deontologis, di mana
nilai moral bersumber dari kewajiban dan hukum universal yang rasional.¹¹
Prinsip utamanya, yang dikenal sebagai categorical imperative,
menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap bernilai secara moral jika dapat
dijadikan hukum universal bagi semua orang.¹²
Berbeda dengan Kant, John Stuart Mill mengembangkan
utilitarianisme, yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan
dampaknya terhadap kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.¹³ Dalam
karyanya Utilitarianism, Mill berpendapat bahwa nilai moral tidak
bersifat absolut, tetapi harus diukur berdasarkan konsekuensinya.¹⁴
Di era kontemporer, aksiologi semakin berkembang dalam berbagai
disiplin ilmu, termasuk filsafat analitik dan postmodernisme. Max Scheler
(1874–1928) dan Nicolai Hartmann (1882–1950) mengembangkan aksiologi sebagai disiplin
yang lebih sistematis, dengan menelaah hierarki nilai dan hubungan antara nilai
objektif dan subjektif.¹⁵ Sementara itu, dalam filsafat postmodern, tokoh
seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritisi konsep nilai
tradisional, dengan menyoroti bagaimana nilai dikonstruksi oleh kekuasaan dan
bahasa.¹⁶
2.4.
Implikasi Sejarah Aksiologi dalam Kehidupan
Kontemporer
Sejarah perkembangan aksiologi menunjukkan bahwa konsep nilai
selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Di era globalisasi
dan teknologi digital, kajian aksiologi menjadi semakin relevan dalam menilai
implikasi etis dari kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik.¹⁷
Dalam ranah etika, misalnya, muncul berbagai perdebatan tentang
bioetika, kecerdasan buatan, dan etika lingkungan. Dalam bidang estetika,
aksiologi membantu memahami peran seni dalam membentuk identitas budaya dan
politik.¹⁸ Oleh karena itu, memahami sejarah aksiologi tidak hanya penting
dalam kajian akademik, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Catatan
Kaki
[1]
Louis P. Pojman, Philosophy: The Quest for Truth
(New York: Oxford University Press, 2012), 487.
[2]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 240-245.
[3]
Ibid., 251.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 28-33.
[5]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath
(London: Penguin Classics, 1996), 12-15.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 98-103.
[7]
Al-Farabi, The Virtuous City, trans. Richard
Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 45-50.
[8]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Kenneth
Honerkamp (Cambridge: Islamic Texts Society, 2015), 110-115.
[9]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 210-215.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), 348-355.
[11]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 44.
[12]
Ibid., 52.
[13]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 16-19.
[14]
Ibid., 23.
[15]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of
Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston:
Northwestern University Press, 1973), 75-80.
[16]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135-140.
[17]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 157-162.
[18]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 95-98.
3.
Ruang Lingkup Aksiologi
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam ranah etika, estetika, maupun
penerapan nilai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.¹ Ruang lingkup aksiologi
dapat dikategorikan ke dalam tiga bidang utama, yaitu etika (nilai moral), estetika (nilai keindahan), dan aksiologi dalam ilmu
pengetahuan serta teknologi (nilai pragmatis dan epistemologis).²
3.1.
Etika: Kajian tentang Nilai Moral
Etika adalah cabang aksiologi yang berfokus pada nilai moral dan
prinsip-prinsip yang menentukan baik atau buruknya suatu tindakan.³ Dalam
filsafat, etika terbagi menjadi tiga kategori utama:
Etika normatif bertujuan menetapkan prinsip-prinsip moral yang dapat menjadi pedoman
dalam bertindak.⁴ Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of
Morals mengembangkan konsep categorical imperative, yang
menyatakan bahwa suatu tindakan bermoral jika dapat dijadikan sebagai hukum
universal.⁵ Sementara itu, John Stuart Mill dengan teori utilitarianismenya
berpendapat bahwa suatu tindakan dikatakan baik jika menghasilkan manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang.⁶
2)
Metaetika
Metaetika
meneliti makna dan sifat dari konsep moral itu sendiri.⁷ Misalnya, apakah
kebaikan itu bersifat objektif atau hanya merupakan konstruksi sosial? G.E.
Moore dalam Principia Ethica mengajukan konsep goodness sebagai
sesuatu yang tidak dapat didefinisikan tetapi dapat dikenali melalui intuisi
moral.⁸
Etika terapan membahas penerapan prinsip etika dalam konteks tertentu, seperti
bioetika, etika bisnis, dan etika lingkungan.⁹ Misalnya, dalam bioetika,
perdebatan tentang euthanasia dan rekayasa genetika melibatkan pertimbangan
nilai etis yang kompleks.¹⁰
3.2.
Estetika: Kajian tentang Nilai Keindahan
Estetika adalah cabang aksiologi yang membahas tentang nilai
keindahan dan pengalaman estetis.¹¹ Filsafat estetika mempertanyakan apakah
keindahan bersifat objektif atau subjektif, serta bagaimana manusia menilai
suatu karya seni atau fenomena estetis lainnya.¹²
1)
Teori Objektif
Keindahan
Plato
dalam Republic menyatakan bahwa keindahan bersifat objektif dan
berasal dari dunia ide yang sempurna.¹³ Aristoteles dalam Poetics juga
menegaskan bahwa prinsip-prinsip estetika tertentu, seperti harmoni dan
keseimbangan, dapat menciptakan keindahan yang bersifat universal.¹⁴
2)
Teori Subjektif
Keindahan
Berlawanan
dengan pandangan objektif, David Hume dan Immanuel Kant berpendapat bahwa
keindahan adalah pengalaman subjektif yang bergantung pada persepsi individu.¹⁵
Kant dalam Critique of Judgment menekankan bahwa penilaian estetika
bersifat reflektif dan melibatkan kemampuan apresiasi individu terhadap suatu
objek seni atau alam.¹⁶
3)
Estetika dan Budaya
Nilai
estetika juga sangat dipengaruhi oleh budaya. Monroe Beardsley menyatakan bahwa
standar estetika dapat berbeda antara masyarakat dan zaman yang berbeda.¹⁷
Misalnya, konsep keindahan dalam seni klasik Yunani berbeda dengan seni abstrak
modern yang lebih menekankan ekspresi subjektif.¹⁸
3.3.
Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Selain etika dan estetika, aksiologi juga berkaitan dengan nilai
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.¹⁹ Ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan
mencari kebenaran, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak etis dan manfaat
praktisnya bagi manusia.²⁰
1)
Nilai dalam Ilmu
Pengetahuan
Pertanyaan
aksiologis dalam ilmu pengetahuan mencakup apakah ilmu pengetahuan harus
bersifat netral atau memiliki tanggung jawab moral.²¹ Thomas Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions berpendapat bahwa paradigma ilmiah
tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai sosial dan budaya.²²
2)
Nilai dalam Teknologi
Pengembangan
teknologi sering kali membawa dilema etis.²³ Misalnya, perkembangan kecerdasan
buatan (AI) memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral atas keputusan
yang diambil oleh sistem otonom.²⁴ Luciano Floridi dalam The Ethics of
Information menyoroti perlunya kebijakan etika dalam penggunaan teknologi
digital agar tidak merugikan hak privasi dan kebebasan individu.²⁵
3.4.
Implikasi Ruang Lingkup Aksiologi dalam
Kehidupan
Pemahaman tentang ruang lingkup aksiologi memiliki dampak luas
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ranah sosial, etika membantu menentukan
norma perilaku yang dapat diterima dalam masyarakat. Dalam dunia seni dan
budaya, estetika membentuk cara manusia menilai dan menghargai karya seni.
Sementara itu, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, aksiologi membantu
memastikan bahwa perkembangan sains dan teknologi tetap memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan.²⁶
Catatan
Kaki
[1]
Louis P. Pojman, Philosophy: The Quest for Truth
(New York: Oxford University Press, 2012), 487.
[2]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 23.
[3]
William Frankena, Ethics (Englewood Cliffs:
Prentice-Hall, 1973), 12.
[4]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 16-19.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 44.
[6]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 16-19.
[7]
G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge
University Press, 1903), 67-72.
[8]
Ibid., 75.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 157-162.
[10]
Julian Savulescu and Guy Kahane, Enhancing Human Capacities (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 82-86.
[11]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 95-98.
[12]
Robert Stecker, Aesthetics and the Philosophy of Art
(Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 33-40.
[13]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 240-245.
[14]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath
(London: Penguin Classics, 1996), 12-15.
[15]
David Hume, Essays: Moral, Political, and Literary
(Indianapolis: Liberty Fund, 1987), 231-237.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans. Werner
S. Pluhar (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 120-126.
[17]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism, 102-105.
[18]
Ibid., 110.
[19]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 89-94.
[20]
Ibid., 102.
[21]
Luciano Floridi, The Ethics of Information, 175-179.
[22]
Ibid., 182.
[23]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper &
Row, 1977), 3-8.
[24]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 215-220.
[25]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 190-195.
[26]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 237-240.
4.
Etika sebagai Cabang Aksiologi
Etika merupakan salah satu cabang utama dalam aksiologi yang
membahas tentang prinsip-prinsip moral, standar perilaku, serta konsep baik dan
buruk dalam kehidupan manusia.¹ Etika tidak hanya bersifat teoretis tetapi juga
memiliki implikasi praktis dalam berbagai aspek kehidupan, seperti hukum,
politik, sains, dan teknologi.² Pembahasan tentang etika telah menjadi fokus
utama dalam filsafat sejak zaman Yunani Kuno hingga era kontemporer, dengan
berbagai teori dan pendekatan yang berkembang sesuai dengan konteks sosial dan
budaya masing-masing zaman.
4.1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Etika
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa
Yunani ethos, yang berarti kebiasaan, adat, atau karakter.³ Dalam
perkembangan filsafat, etika menjadi disiplin ilmu yang mempelajari norma-norma
yang menentukan tindakan manusia, baik dalam konteks individu maupun sosial.⁴
Ruang lingkup etika secara umum terbagi menjadi tiga kategori
utama:
Etika
normatif berusaha menetapkan standar atau prinsip moral yang ideal dalam
menentukan tindakan yang baik atau buruk.⁵ Teori-teori utama dalam etika
normatif mencakup:
Deontologi
(Immanuel Kant) yang menekankan kewajiban moral dan prinsip universalitas.⁶
Utilitarianisme
(Jeremy Bentham dan John Stuart Mill) yang berpendapat bahwa tindakan yang baik
adalah tindakan yang memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.⁷
Etika Kebajikan (Aristoteles) yang menekankan karakter dan kebiasaan
dalam menjalani kehidupan moral yang baik.⁸
2)
Metaetika
Metaetika
membahas asal-usul, makna, dan sifat dari konsep moral itu sendiri.⁹ Pertanyaan
utama dalam metaetika meliputi:
(*)
Apakah nilai moral bersifat objektif atau subjektif?
(*)
Apakah moralitas bersumber dari rasio, emosi, atau konstruksi sosial?
(*)
Bagaimana hubungan antara bahasa dan konsep moral?
G.E.
Moore dalam Principia Ethica mengembangkan konsep non-naturalism,
yang menyatakan bahwa nilai moral tidak dapat didefinisikan dalam istilah
empiris, tetapi hanya dapat dipahami melalui intuisi moral.¹⁰
Etika
terapan membahas penerapan prinsip-prinsip etika normatif dalam konteks
spesifik, seperti:
(*)
Bioetika:
membahas isu-isu moral dalam dunia medis, seperti euthanasia, rekayasa
genetika, dan aborsi.¹¹
(*)
Etika Bisnis: membahas tanggung jawab sosial perusahaan, kejujuran
dalam transaksi, dan hak-hak pekerja.¹²
(*)
Etika Teknologi: membahas implikasi moral dari kecerdasan buatan,
privasi digital, dan dampak teknologi terhadap kehidupan manusia.¹³
4.2.
Perkembangan Pemikiran Etika
Sejarah perkembangan etika dapat ditelusuri melalui beberapa
fase utama:
1)
Etika Klasik (Yunani
Kuno)
Filsafat
etika pertama kali dikembangkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates
menekankan pentingnya rasionalitas dalam menentukan tindakan yang benar,
sedangkan Plato dalam Republic mengaitkan konsep moralitas dengan
dunia ide yang ideal.¹⁴ Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengembangkan
teori virtue ethics yang menekankan kebiasaan baik sebagai kunci
kehidupan yang bermoral.¹⁵
2)
Etika Abad Pertengahan
Pada
masa ini, pemikiran etika dipengaruhi oleh teologi, khususnya dalam tradisi
Kristen dan Islam. Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologica
mengembangkan teori hukum alam yang mengaitkan moralitas dengan hukum Tuhan.¹⁶
Dalam tradisi Islam, Al-Farabi dan Al-Ghazali mengembangkan konsep etika yang
menghubungkan moralitas dengan kebahagiaan spiritual dan akhlak dalam Islam.¹⁷
3)
Etika Modern
Abad
Pencerahan melahirkan teori-teori etika yang lebih sekuler dan rasional.
Immanuel Kant mengembangkan deontological ethics yang menekankan
prinsip moral sebagai kewajiban universal.¹⁸ Sementara itu, Jeremy Bentham dan
John Stuart Mill memperkenalkan utilitarianisme yang menilai moralitas
berdasarkan konsekuensi dan manfaat yang dihasilkan.¹⁹
4)
Etika Kontemporer
Etika
abad ke-20 dan 21 menghadapi tantangan baru yang berkaitan dengan globalisasi,
teknologi, dan hak asasi manusia.²⁰ Filsuf seperti John Rawls dalam A
Theory of Justice mengembangkan konsep keadilan sosial sebagai prinsip
moral yang mendasari sistem politik dan ekonomi.²¹
4.3.
Etika dalam Konteks Sosial dan Teknologi
Dalam era modern, penerapan etika tidak terbatas pada individu
tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan sosial dan perkembangan
teknologi.
1)
Etika dalam Masyarakat
Dalam
kehidupan sosial, etika berperan dalam membentuk norma dan hukum yang mengatur
interaksi antarindividu.²² Pemikiran etis menjadi dasar bagi sistem hukum, hak
asasi manusia, dan kebijakan publik.²³
2)
Etika dan Teknologi
Perkembangan
teknologi menimbulkan dilema etika baru, seperti privasi data, kecerdasan
buatan, dan pengaruh media sosial terhadap kehidupan sosial.²⁴ Luciano Floridi
dalam The Ethics of Information menekankan pentingnya kebijakan etis
dalam pengelolaan informasi digital.²⁵
3)
Etika dan Lingkungan
Etika
lingkungan menyoroti tanggung jawab manusia terhadap alam.²⁶ Pemikiran
ekofeminisme dan teori deep ecology mendorong manusia untuk mempertimbangkan
keberlanjutan ekologis dalam pengambilan keputusan.²⁷
Kesimpulan
Etika sebagai cabang aksiologi memiliki peran penting dalam
membentuk nilai dan norma yang membimbing perilaku manusia. Sejarah
perkembangan etika menunjukkan bahwa konsep moral terus berkembang seiring
dengan perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Di era modern, penerapan etika
menjadi semakin kompleks, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti
kecerdasan buatan, perubahan iklim, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kajian
etika tetap relevan dalam membangun kehidupan yang lebih adil dan bermoral.
Catatan
Kaki
[1]
Louis P. Pojman, Ethics: Discovering Right and Wrong
(Belmont: Wadsworth, 2011), 3.
[2]
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 29.
[3]
William Frankena, Ethics (Englewood Cliffs:
Prentice-Hall, 1973), 5.
[4]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 8-12.
[5]
Ibid., 16.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 35.
[7]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 23.
[8]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 14-18.
[9]
G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge:
Cambridge University Press, 1903), 76.
[10]
Ibid., 85.
[11]
Julian Savulescu and Guy Kahane, Enhancing Human Capacities (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 93.
[12]
Richard T. De George, Business Ethics (New York: Macmillan,
1990), 72.
[13]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 198.
[14]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 50-55.
[15]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 110-115.
[16]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I-II, q. 94, a. 2.
[17]
Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, trans. Fazlur
Rahman (Lahore: Ashraf Press, 1964), 245-250.
[18]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
40-45.
[19]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789),
28-32.
[20]
Peter Singer, The Expanding Circle: Ethics,
Evolution, and Moral Progress (Princeton: Princeton University Press,
2011), 67-75.
[21]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 52-60.
[22]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
88-95.
[23]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 132-140.
[24]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 200-210.
[25]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 115-120.
[26]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle,
trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 45-50.
[27]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 150-160.
5.
Estetika sebagai Cabang Aksiologi
Estetika merupakan cabang aksiologi yang membahas tentang hakikat
keindahan, pengalaman estetis, serta prinsip-prinsip seni dan apresiasi
terhadap karya seni.¹ Sebagai disiplin filsafat, estetika tidak hanya menelaah
aspek objektif dari keindahan, tetapi juga melibatkan dimensi subjektif dalam
pengalaman manusia.² Pembahasan estetika berkembang dari filsafat klasik hingga
era kontemporer, dengan pendekatan yang beragam dalam memahami nilai dan makna
keindahan.
5.1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Estetika
Secara etimologis, kata estetika berasal dari bahasa
Yunani aisthesis, yang berarti persepsi atau sensasi.³ Dalam filsafat,
estetika dipahami sebagai kajian tentang keindahan, baik dalam seni, alam,
maupun pengalaman manusia. Alexander Baumgarten, seorang filsuf Jerman, pertama
kali menggunakan istilah estetika dalam konteks filsafat pada abad
ke-18 untuk merujuk pada ilmu tentang pengalaman keindahan dan seni.⁴
Ruang lingkup estetika dapat dibagi menjadi beberapa aspek
utama:
1)
Keindahan dan
Pengalaman Estetis
Keindahan
merupakan salah satu konsep utama dalam estetika. Filsuf seperti Plato dan
Immanuel Kant membahas keindahan dalam konteks metafisika dan epistemologi.
Plato dalam Symposium mengaitkan keindahan dengan dunia ide yang
sempurna,⁵ sedangkan Kant dalam Critique of Judgment menekankan bahwa
keindahan bersifat subjektif, tetapi memiliki kesepakatan universal.⁶
2)
Filsafat Seni
Filsafat
seni mengkaji hakikat seni, fungsi seni, serta hubungan antara seniman, karya
seni, dan audiens. Hegel berpendapat bahwa seni adalah bentuk ekspresi roh
absolut dalam sejarah peradaban manusia,⁷ sementara Arthur Danto berargumen
bahwa makna seni sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya.⁸
3)
Estetika Alam
Estetika
tidak hanya terbatas pada seni, tetapi juga mencakup keindahan alam. Edmund
Burke dalam A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the
Sublime and Beautiful membedakan antara keindahan (beauty) dan
keagungan (sublime), di mana keagungan sering kali membangkitkan
perasaan kagum dan ketakutan yang mendalam.⁹
4)
Estetika dan Budaya
Dalam
kajian estetika kontemporer, nilai estetis tidak hanya dipahami dalam konteks
Barat tetapi juga dalam perspektif budaya yang beragam. Misalnya, dalam tradisi
Islam, keindahan sering dikaitkan dengan prinsip ketauhidan dan seni Islam yang
berbasis kaligrafi dan arsitektur geometris.¹⁰ Sementara itu, dalam filsafat
Timur seperti Zen, estetika sering dikaitkan dengan konsep kesederhanaan dan
keharmonisan dengan alam.¹¹
5.2.
Sejarah Perkembangan Estetika
1)
Estetika Klasik
Dalam
filsafat Yunani Kuno, estetika banyak dikaji oleh Plato dan Aristoteles. Plato
dalam Republic mengkritik seni sebagai imitasi realitas yang tidak
sempurna,¹² sedangkan Aristoteles dalam Poetics menekankan bahwa seni
memiliki fungsi katarsis, yaitu pembersihan emosi melalui pengalaman estetis.¹³
2)
Estetika Abad Pertengahan
Pada
abad pertengahan, estetika dipengaruhi oleh pemikiran teologis. Santo Agustinus
mengaitkan keindahan dengan keteraturan ilahi,¹⁴ sementara dalam pemikiran
Islam, Al-Farabi dan Ibn Sina mengembangkan teori estetika yang menghubungkan
seni dengan kebahagiaan dan akal manusia.¹⁵
3)
Estetika Modern
Pada
abad ke-18 dan 19, estetika berkembang dengan munculnya teori subjektivitas
dalam pengalaman keindahan. Kant berpendapat bahwa penilaian estetis tidak
didasarkan pada konsep rasional tetapi pada intuisi dan rasa.¹⁶ Sementara itu,
Friedrich Schiller dalam Letters on the Aesthetic Education of Man
menekankan peran seni dalam membentuk kebebasan individu dan harmoni sosial.¹⁷
4)
Estetika Kontemporer
Pada
abad ke-20 dan 21, estetika mengalami perkembangan dalam berbagai aliran
pemikiran. Roland Barthes dalam The Death of the Author mengajukan
gagasan bahwa makna karya seni tidak hanya ditentukan oleh penciptanya tetapi
juga oleh interpretasi audiens.¹⁸ Jean-François Lyotard dalam The
Postmodern Condition mengkritik konsep estetika universal dan menekankan
pluralitas makna dalam seni postmodern.¹⁹
5.3.
Estetika dalam Konteks Teknologi dan Media
Dengan kemajuan teknologi, estetika mengalami perubahan
signifikan, terutama dalam ranah media digital dan seni kontemporer.
1)
Estetika Digital
Perkembangan
teknologi digital telah melahirkan bentuk seni baru, seperti seni komputer (digital
art), animasi, dan kecerdasan buatan dalam penciptaan karya seni.²⁰ Lev
Manovich dalam The Language of New Media mengkaji bagaimana estetika
digital mengubah cara manusia berinteraksi dengan seni dan media.²¹
2)
Estetika dalam Media
Sosial
Platform
media sosial seperti Instagram dan TikTok menciptakan standar baru dalam
estetika visual. Keindahan kini tidak hanya ditentukan oleh institusi seni
tetapi juga oleh tren dan algoritma media sosial.²²
3)
Estetika dan Lingkungan
Dalam
era perubahan iklim, estetika lingkungan menjadi semakin relevan. Berbagai
gerakan seni lingkungan berusaha meningkatkan kesadaran akan isu ekologi
melalui karya seni yang berbasis material daur ulang dan instalasi yang
berinteraksi dengan alam.²³
Kesimpulan
Estetika sebagai cabang aksiologi memiliki peran penting dalam
memahami hakikat keindahan dan seni dalam kehidupan manusia. Sejarah pemikiran
estetika menunjukkan bagaimana konsep keindahan terus berkembang dari era
klasik hingga era digital. Dengan perkembangan teknologi dan media, estetika
semakin beragam dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Oleh karena itu,
kajian estetika tetap menjadi bidang filsafat yang relevan dalam memahami nilai
dan makna dalam kehidupan manusia.
Catatan
Kaki
[1]
Alexander Baumgarten, Aesthetica (Frankfurt: Meiner
Verlag, 1750), 10.
[2]
Monroe Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (Indianapolis: Hackett, 1981), 22.
[3]
Stephen Davies, The Philosophy of Art (Oxford:
Blackwell, 2006), 3.
[4]
Alexander Baumgarten, Aesthetica, 15.
[5]
Plato, Symposium, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2003), 80-85.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans. Werner
S. Pluhar (Indianapolis: Hackett, 1987), 120.
[7]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Aesthetics: Lectures on Fine Art,
trans. T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), 34.
[8]
Arthur Danto, The Transfiguration of the Commonplace
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 67.
[9]
Edmund Burke, A Philosophical Enquiry into the Origin of Our
Ideas of the Sublime and Beautiful (Oxford: Oxford University
Press, 1998), 90.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality
(Albany: SUNY Press, 1987), 45.
[11]
Daisetz T. Suzuki, Zen and Japanese Culture
(Princeton: Princeton University Press, 1959), 130.
[12]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 598-603.
[13]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath
(London: Penguin Classics, 1996), 1449b24-1450a10.
[14]
Augustine of Hippo, De Musica, trans. Robert
Catesby Taliaferro (Washington, DC: Catholic University of America Press,
1947), 6.13.
[15]
Al-Farabi, Kitab al-Musiqa al-Kabir, ed. and
trans. Henry George Farmer (Leiden: Brill, 1930), 28-35.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Werner S. Pluhar (Indianapolis: Hackett, 1987), 220-225.
[17]
Friedrich Schiller, On the Aesthetic Education
of Man, trans. Reginald Snell (New York: Dover, 2004), 87-93.
[18]
Roland Barthes, The Death of the Author,
trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 45-50.
[19]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 75-80.
[20]
Lev Manovich, The Language of New Media
(Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 94-102.
[21]
Mark B. N. Hansen, New Philosophy for New Media
(Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 150-155.
[22]
Nicholas Mirzoeff, How to See the World (New
York: Basic Books, 2016), 120-125.
[23]
Malcolm Miles, Eco-Aesthetics: Art, Literature
and Architecture in a Period of Climate Change (London: Bloomsbury
Academic, 2014), 40-45.
6.
Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Aksiologi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membahas bagaimana
nilai-nilai etika dan estetika berperan dalam pengembangan serta penerapan ilmu
dan teknologi. Dalam konteks ini, aksiologi mempertanyakan apakah ilmu
pengetahuan dan teknologi bersifat netral atau memiliki dimensi moral yang
melekat.¹ Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sering kali
membawa manfaat bagi umat manusia, tetapi juga dapat menimbulkan dilema etis
yang kompleks.² Oleh karena itu, aksiologi berperan dalam mengevaluasi dampak
dari perkembangan ilmu dan teknologi serta memastikan penggunaannya sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
6.1.
Ilmu Pengetahuan dan Netralitas Nilai
Salah satu perdebatan utama dalam aksiologi ilmu pengetahuan
adalah mengenai netralitas nilai (value neutrality). Max Weber
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan seharusnya bebas nilai, dalam arti tidak
terpengaruh oleh kepentingan subjektif atau ideologi tertentu.³ Namun, filsuf
sains seperti Thomas Kuhn menunjukkan bahwa paradigma ilmu pengetahuan
berkembang dalam konteks sosial dan budaya tertentu, yang berarti bahwa
nilai-nilai tertentu selalu mempengaruhi proses ilmiah.⁴
Ilmu pengetahuan sering kali dikembangkan dengan tujuan mencari
kebenaran objektif, tetapi penerapannya di dunia nyata tidak terlepas dari
pertimbangan moral. Misalnya, dalam bidang kedokteran, kemajuan teknologi medis
seperti rekayasa genetika dan bioteknologi menimbulkan dilema etis terkait
dengan batasan intervensi manusia terhadap kehidupan.⁵
6.2.
Etika dalam Pengembangan Teknologi
Perkembangan teknologi yang pesat menghadirkan tantangan etis
yang signifikan. Aksiologi berperan dalam mengevaluasi dampak moral dari
teknologi dan memastikan bahwa inovasi tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi
juga memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa isu etika dalam teknologi
meliputi:
1)
Kecerdasan Buatan dan
Etika Algoritma
Kemajuan
dalam kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) telah
meningkatkan efisiensi dalam berbagai sektor, tetapi juga menimbulkan
pertanyaan etis mengenai bias algoritma, pengambilan keputusan otomatis, dan
dampaknya terhadap lapangan kerja manusia.⁶ Luciano Floridi berpendapat bahwa
AI harus dikembangkan dengan prinsip infoethics, yaitu pendekatan
etika yang memastikan bahwa teknologi informasi berkontribusi pada
kesejahteraan manusia tanpa merugikan nilai-nilai sosial.⁷
2)
Bioteknologi dan Dilema
Moral
Bioteknologi,
termasuk rekayasa genetika dan kloning, telah membuka kemungkinan baru dalam
pengobatan dan pertanian. Namun, penerapannya juga menimbulkan pertanyaan etis,
seperti manipulasi genetik pada manusia dan dampaknya terhadap biodiversitas.⁸
Julian Savulescu mengemukakan konsep procreative beneficence, yaitu
gagasan bahwa intervensi genetik harus dilakukan dengan tujuan meningkatkan
kualitas hidup individu tanpa melanggar prinsip moral.⁹
3)
Teknologi dan Lingkungan
Dampak
teknologi terhadap lingkungan merupakan isu yang semakin penting dalam
diskursus aksiologi. Pembangunan industri dan eksploitasi sumber daya alam
sering kali mengabaikan prinsip keberlanjutan, yang menimbulkan masalah
ekologis seperti perubahan iklim dan kepunahan spesies.¹⁰ Arne Naess
mengembangkan konsep ekofilosofi yang menekankan perlunya kesadaran etis dalam
penggunaan teknologi agar selaras dengan keseimbangan ekologis.¹¹
6.3.
Aksiologi dalam Ilmu Sosial dan Kebijakan
Publik
Dalam ilmu sosial, aksiologi berperan dalam menentukan bagaimana
kebijakan publik dikembangkan berdasarkan nilai-nilai sosial dan etika.
Misalnya, kebijakan tentang privasi data dan regulasi teknologi digital harus
mempertimbangkan hak individu serta implikasi sosialnya.¹² John Rawls dalam A
Theory of Justice menekankan pentingnya keadilan distributif dalam
kebijakan publik, yang berarti bahwa kebijakan teknologi harus dirancang untuk
memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok
tertentu.¹³
Selain itu, aksiologi juga berperan dalam pendidikan sains dan
teknologi, di mana kurikulum tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi
juga mengajarkan etika dan tanggung jawab sosial ilmuwan dan insinyur.¹⁴
6.4.
Peran Filsafat dalam Etika Ilmu dan Teknologi
Filsafat aksiologi membantu manusia dalam memahami dampak etis
dari ilmu dan teknologi. Terdapat beberapa pendekatan filosofis dalam memahami
etika ilmu dan teknologi:
1)
Utilitarianisme
Pendekatan
yang menilai teknologi berdasarkan manfaat maksimal yang dapat diberikan kepada
masyarakat.¹⁵
2)
Deontologi
Perspektif
yang berfokus pada kewajiban moral dalam penggunaan teknologi, tanpa hanya
mempertimbangkan hasil akhirnya.¹⁶
3)
Etika
Kebajikan
Pendekatan
Aristotelian yang menekankan bahwa penggunaan teknologi harus sesuai dengan
karakter moral yang baik dan bertanggung jawab.¹⁷
Kesimpulan
Aksiologi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi menyoroti
pentingnya nilai-nilai etika dan estetika dalam pengembangan serta penerapan
inovasi. Netralitas ilmu pengetahuan sering kali diperdebatkan, mengingat bahwa
pengaruh sosial dan budaya tidak dapat dihindari dalam proses ilmiah.
Perkembangan teknologi juga menghadirkan tantangan etis yang harus dikelola
dengan prinsip moral agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tanpa merugikan
nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, kajian aksiologi menjadi landasan
penting dalam memastikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Catatan
Kaki
[1]
Nicholas Rescher, Axiology: Theory of Values
(Dordrecht: Springer, 1969), 15-20.
[2]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 10-15.
[3]
Max Weber, The Methodology of the Social Sciences,
trans. Edward A. Shils and Henry A. Finch (New York: Free Press, 1949), 80.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 60.
[5]
Leon R. Kass, Life, Liberty, and the Defense of Dignity: The
Challenge for Bioethics (San Francisco: Encounter Books, 2002), 45-50.
[6]
Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, The Ethics of Artificial Intelligence,
in The
Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish
and William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 315-320.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 150-160.
[8]
Julian Savulescu and Guy Kahane, The Moral Obligation to Enhance, Journal
of Medical Ethics 35, no. 7 (2009): 423-425.
[9]
Julian Savulescu, Procreative Beneficence: Why We Should Select
the Best Children, Bioethics 15, no. 5 (2001):
413-426.
[10]
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 105-110.
[11]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 50-55.
[12]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 220-230.
[13]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 55-60.
[14]
Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the
Human Future (New York: W.W. Norton, 2016), 175-180.
[15]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 30.
[16]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 50.
[17]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 180-190.
7.
Kritik dan Tantangan dalam Kajian Aksiologi
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas teori nilai,
etika, dan estetika telah menjadi landasan penting dalam memahami berbagai
aspek kehidupan manusia. Namun, sebagaimana cabang filsafat lainnya, aksiologi
juga menghadapi berbagai kritik dan tantangan konseptual maupun aplikatif.
Beberapa kritik datang dari filsafat analitik yang mempertanyakan dasar
epistemologis aksiologi, sementara tantangan aplikatif muncul dalam konteks
dinamika nilai di era modern, seperti pluralisme budaya dan perkembangan
teknologi.¹ Bab ini akan mengkaji kritik utama terhadap aksiologi serta
tantangan yang dihadapinya dalam dunia kontemporer.
7.1.
Kritik terhadap Dasar Epistemologis Aksiologi
Salah satu kritik utama terhadap aksiologi datang dari tradisi
filsafat analitik yang berusaha memisahkan pernyataan fakta (statements of
fact) dan pernyataan nilai (statements of value). David Hume,
misalnya, berpendapat bahwa terdapat kesenjangan epistemologis antara
pernyataan tentang apa yang "ada" dan apa yang "seharusnya"
(is-ought problem), sehingga nilai-nilai moral dan estetika tidak
dapat diperoleh dari kenyataan empiris.² Kritik ini kemudian dikembangkan oleh
filsuf positivisme logis seperti A.J. Ayer, yang menyatakan bahwa pernyataan
nilai bersifat emotif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris.³
Selain itu, Friedrich Nietzsche memberikan kritik terhadap
fondasi aksiologi dalam tradisi Barat, yang menurutnya masih berakar pada
nilai-nilai metafisik yang tidak dapat dibuktikan. Nietzsche berpendapat bahwa
sistem nilai tradisional cenderung bersifat dogmatis dan lebih banyak
merefleksikan kepentingan sosial tertentu daripada kebenaran objektif.⁴
7.2.
Tantangan Relativisme dan Pluralisme Nilai
Tantangan lain yang dihadapi aksiologi adalah relativisme nilai.
Dalam filsafat postmodernisme, Jean-François Lyotard berpendapat bahwa tidak
ada narasi besar (grand narrative) yang dapat dijadikan standar
universal dalam menilai baik dan buruk.⁵ Relativisme ini menantang aksiologi
tradisional yang sering kali mencari prinsip-prinsip nilai yang bersifat
universal.
Selain itu, dalam masyarakat global yang semakin plural,
tantangan aksiologi adalah bagaimana menentukan nilai yang dapat diterima oleh
berbagai budaya dengan latar belakang yang berbeda. Misalnya, dalam konteks hak
asasi manusia, beberapa budaya memiliki definisi yang berbeda tentang kebebasan
dan keadilan, yang terkadang berbenturan dengan nilai-nilai yang dianggap
universal oleh tradisi filsafat Barat.⁶
7.3.
Krisis Etika dalam Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan dilema
etis baru yang menantang konsep aksiologi klasik. Teknologi seperti kecerdasan
buatan (AI), rekayasa genetika, dan eksplorasi luar angkasa menimbulkan
pertanyaan etis yang belum terjawab sepenuhnya dalam teori aksiologi
tradisional.⁷
Sebagai contoh, dalam konteks AI dan otomatisasi, ada pertanyaan
mengenai apakah mesin dapat memiliki nilai moral, dan sejauh mana manusia
bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan oleh sistem berbasis
algoritma.⁸ Selain itu, dalam bioteknologi, muncul dilema etis terkait dengan
intervensi manusia dalam kehidupan, seperti dalam kasus bayi hasil rekayasa
genetika (designer babies), yang memunculkan pertanyaan tentang batas
antara inovasi dan pelanggaran nilai moral.⁹
7.4.
Kritik terhadap Reduksi Aksiologi dalam Ilmu
Sosial
Dalam ilmu sosial, beberapa filsuf berpendapat bahwa kajian
aksiologi sering kali direduksi menjadi sekadar alat untuk melegitimasi sistem
sosial yang ada. Misalnya, Karl Marx mengkritik sistem nilai dalam kapitalisme
sebagai konstruksi ideologis yang digunakan untuk mempertahankan dominasi kelas
penguasa.¹⁰ Dalam pandangan ini, nilai-nilai seperti kebebasan dan keadilan
bukanlah prinsip moral yang netral, melainkan produk dari kondisi sosial dan
ekonomi tertentu.
Di sisi lain, Pierre Bourdieu mengembangkan teori habitus
yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang
mutlak, melainkan terbentuk dari kebiasaan sosial yang terus direproduksi.¹¹
Dengan demikian, aksiologi dalam ilmu sosial harus selalu mempertimbangkan
faktor kekuasaan dan struktur sosial yang membentuk nilai-nilai tersebut.
7.5.
Masa Depan Aksiologi: Rekonstruksi Nilai dalam
Dunia Kontemporer
Meskipun menghadapi berbagai kritik dan tantangan, aksiologi
tetap memiliki relevansi dalam dunia kontemporer. Beberapa filsuf mencoba
merekonstruksi teori nilai dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan
pragmatis. Jürgen Habermas, misalnya, mengusulkan teori tindakan komunikatif
yang menekankan pentingnya dialog rasional dalam membangun konsensus nilai di
masyarakat yang plural.¹²
Selain itu, dalam filsafat lingkungan, Arne Naess mengembangkan
konsep ekofilosofi yang mencoba menyesuaikan nilai-nilai manusia dengan prinsip
keberlanjutan ekosistem.¹³ Pendekatan ini menunjukkan bahwa aksiologi masih
dapat berkembang dengan mengadopsi perspektif yang lebih inklusif dan berbasis
realitas sosial yang terus berubah.
Kesimpulan
Aksiologi menghadapi berbagai kritik dan tantangan, baik dari
aspek epistemologis, relativisme nilai, dampak teknologi, hingga kritik dalam
ilmu sosial. Namun, kajian aksiologi tetap relevan dalam menghadapi perubahan
zaman, terutama dengan adanya upaya rekonstruksi nilai dalam dunia yang semakin
kompleks dan plural. Oleh karena itu, meskipun aksiologi terus mengalami
perdebatan, ia tetap menjadi cabang filsafat yang penting dalam memahami
nilai-nilai yang membentuk kehidupan manusia.
Catatan
Kaki
[1]
Nicholas Rescher, Axiology: Theory of Values
(Dordrecht: Springer, 1969), 22-25.
[2]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 469-470.
[3]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 102-105.
[4]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 50-55.
[5]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), 27-30.
[6]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2009), 215-220.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 180-185.
[8]
Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, The Ethics of Artificial Intelligence,
in The
Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish
and William M. Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 330-335.
[9]
Julian Savulescu and Guy Kahane, The Moral Obligation to Enhance, Journal
of Medical Ethics 35, no. 7 (2009): 425-428.
[10]
Karl Marx, The German Ideology, trans. C.J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 85-90.
[11]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice,
trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 70-75.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 120-125.
[13]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 60-65.
8.
Kesimpulan
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas teori nilai
memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman manusia terhadap konsep
moralitas, keindahan, dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Sebagai disiplin yang
mengkaji prinsip-prinsip nilai, aksiologi berhubungan erat dengan etika,
estetika, dan penerapan nilai dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sepanjang perkembangannya, aksiologi telah mengalami
perubahan paradigma yang signifikan, dipengaruhi oleh perdebatan filosofis
mengenai sumber nilai, subjektivitas versus objektivitas nilai, serta relevansi
nilai dalam kehidupan sosial dan ilmiah.¹
Secara historis, aksiologi berakar dalam pemikiran para filsuf
klasik seperti Plato dan Aristoteles, yang membahas konsep kebaikan dan
keindahan sebagai elemen fundamental dalam kehidupan manusia.² Perkembangannya
semakin kompleks dengan munculnya berbagai aliran pemikiran dalam filsafat
modern dan kontemporer, seperti rasionalisme, empirisme, utilitarianisme, dan
fenomenologi, yang memberikan perspektif berbeda terhadap bagaimana nilai
dipahami dan diterapkan dalam kehidupan.³
Dalam ruang lingkupnya, aksiologi terbagi ke dalam dua cabang
utama, yaitu etika dan estetika. Etika membahas norma dan prinsip moral yang
menentukan tindakan benar dan salah, sementara estetika mengkaji hakikat
keindahan dan pengalaman estetis.⁴ Kedua bidang ini tidak hanya memiliki
implikasi dalam filsafat teoritis, tetapi juga dalam ranah praktis, seperti
dalam pembentukan hukum, kebijakan publik, seni, dan budaya.
Namun, aksiologi tidak luput dari kritik. Beberapa filsuf,
seperti David Hume dan A.J. Ayer, mempertanyakan validitas epistemologis nilai,
terutama dalam kaitannya dengan perbedaan antara pernyataan fakta dan
pernyataan nilai.⁵ Tantangan lain muncul dari relativisme budaya dan pluralisme
nilai dalam masyarakat modern, yang sering kali menyebabkan konflik dalam
penentuan norma yang dianggap universal.⁶ Selain itu, dalam era teknologi dan
globalisasi, aksiologi menghadapi dilema baru terkait dengan etika kecerdasan
buatan, bioteknologi, dan dampak sosial dari inovasi ilmiah.⁷
Meskipun demikian, aksiologi tetap relevan sebagai fondasi dalam
memahami dan mengarahkan perkembangan peradaban manusia. Para filsuf
kontemporer, seperti Jürgen Habermas dan Amartya Sen, berupaya merekonstruksi
teori nilai agar lebih kontekstual dan dapat diterapkan dalam masyarakat yang
semakin kompleks.⁸ Oleh karena itu, studi aksiologi perlu terus dikembangkan,
tidak hanya sebagai kajian akademis, tetapi juga sebagai alat kritis dalam
menghadapi tantangan moral dan etis dalam dunia modern.
Catatan
Kaki
[1]
Nicholas Rescher, Axiology: Theory of Values (Dordrecht:
Springer, 1969), 5-7.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 506e-507a.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 15-18.
[4]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (Indianapolis: Hackett, 1981), 23-28.
[5]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 110-115.
[6]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), 32-36.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 200-205.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 130-135; Amartya Sen, The Idea
of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009),
225-230.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J.
(1952). Language, truth and logic. Dover Publications.
Beardsley,
M. C. (1981). Aesthetics: Problems in the philosophy of criticism.
Hackett.
Bourdieu, P.
(1977). Outline of a theory of practice (R. Nice, Trans.). Cambridge
University Press.
Bostrom, N.,
& Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K.
Frankish & W. M. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial
intelligence (pp. 330-335). Cambridge University Press.
Floridi, L.
(2013). The ethics of information. Oxford University Press.
Habermas, J.
(1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon
Press.
Hume, D.
(1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon
Press.
Kant, I.
(1997). Critique of practical reason (M. J. Gregor, Trans.). Cambridge
University Press.
Lyotard,
J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G.
Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Marx, K.
(1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International
Publishers.
Naess, A.
(1989). Ecology, community and lifestyle. Cambridge University Press.
Nietzsche,
F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Plato.
(1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.
Rescher, N.
(1969). Axiology: Theory of values. Springer.
Savulescu,
J., & Kahane, G. (2009). The moral obligation to enhance. Journal of
Medical Ethics, 35(7), 425-428.
Sen, A.
(2009). The idea of justice. Harvard University Press.
Lampiran: Kritik Terbaru terhadap Aksiologi
Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai, terus
menghadapi berbagai kritik dan tantangan seiring perkembangan zaman. Berikut
adalah beberapa kritik terbaru terhadap aksiologi yang bersumber dari situs web
kredibel:
1)
Pendekatan
Antroposentris dalam Etika Lingkungan:
Kritik
terhadap pendekatan antroposentris dalam etika lingkungan menantang asumsi
bahwa nilai hanya berpusat pada manusia. Pendekatan ini dianggap mengabaikan
nilai intrinsik alam dan makhluk hidup lainnya, sehingga mendorong eksploitasi
lingkungan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.1
2)
Subjektivitas versus
Objektivitas Nilai:
Perdebatan
antara subjektivitas dan objektivitas nilai menyoroti kesulitan dalam
menentukan apakah nilai-nilai bersifat universal atau relatif terhadap individu
dan budaya tertentu. Kritik ini menantang kemampuan aksiologi untuk menetapkan
standar nilai yang berlaku umum.2
3)
Relativisme Nilai dalam
Masyarakat Multikultural:
Dalam
konteks masyarakat multikultural, aksiologi menghadapi tantangan dalam
menavigasi berbagai sistem nilai yang berbeda. Kritik ini menyoroti potensi
konflik nilai dan kesulitan dalam mencapai konsensus etis di tengah keberagaman
budaya.3
4)
Implikasi Etis dari
Kemajuan Teknologi:
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan pertanyaan aksiologis baru terkait
implikasi etisnya. Kritik ini menyoroti bahwa kemajuan teknologi tidak selalu
sejalan dengan pertimbangan moral dan dapat menimbulkan dilema etis baru yang
kompleks.4
5)
Kritik terhadap
Aksiologi Sains Modern:
Beberapa
pemikir menilai bahwa sains modern cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual
dan etis, sehingga menghasilkan pengetahuan yang terfragmentasi dan kehilangan
makna holistik. Kritik ini menyerukan integrasi nilai-nilai etis dan spiritual
dalam praktik ilmiah untuk mencapai keseimbangan antara kemajuan teknologi dan
kesejahteraan manusia.5
6)
Penerapan Aksiologi
dalam Pendidikan:
Kritik
terhadap penerapan aksiologi dalam pendidikan menyoroti bahwa pendekatan
ontologis dan epistemologis seringkali terlalu teoretis dan kurang
mempertimbangkan realitas praktis di kelas. Hal ini dapat menghambat
pengembangan pemikiran kritis dan kesadaran etis pada peserta didik.6
7)
Isu Aksiologi dalam
Ilmu Komunikasi:
Dalam
bidang ilmu komunikasi, aksiologi menghadapi kritik terkait penilaian subjektif
terhadap nilai informasi dan pesan yang disampaikan. Perbedaan persepsi nilai
antara komunikator dan audiens dapat menimbulkan misinterpretasi dan konflik
nilai.7
8)
Pengaruh Nilai dalam
Pandangan Dunia dan Moralitas:
Aksiologi
dikritik karena kurangnya perhatian terhadap bagaimana nilai-nilai mempengaruhi
pandangan dunia dan moralitas individu. Kritik ini menekankan pentingnya
memahami peran nilai dalam membentuk perilaku dan keputusan moral manusia.8
9)
Kritik terhadap
Aksiologi dalam Filsafat Ilmu:
Beberapa
kritikus berpendapat bahwa aksiologi dalam filsafat ilmu kurang
mempertimbangkan implikasi etis dan moral dari pengetahuan ilmiah. Hal ini
dapat menyebabkan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merugikan
masyarakat.9
10)
Aksiologi dan Kesadaran
Literasi Digital:
Dalam
era digital, aksiologi menghadapi tantangan dalam menilai nilai-nilai yang
mendasari penggunaan teknologi digital. Kritik ini menyoroti perlunya kesadaran
literasi digital yang mempertimbangkan implikasi etis dan moral dalam interaksi
digital.10
Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa aksiologi sebagai
disiplin ilmu terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan sosial, budaya,
dan teknologi. Tantangan-tantangan ini mendorong pemikiran yang lebih dalam
tentang sifat nilai, etika, dan bagaimana kita harus hidup dalam masyarakat
yang kompleks dan terus berubah.
Catatan Kaki
[1]
Liputan6, "Aksiologi Adalah Cabang Filsafat
yang Mengkaji Nilai dan Etika, Pelajari Lebih Lanjut," Liputan6.com,
diakses 11 Maret 2025, https://www.liputan6.com/feeds/read/5774699/aksiologis-adalah-cabang-filsafat-yang-mengkaji-nilai-dan-etika-pelajari-lebih-lanjut.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Universitas Negeri Makassar, "Dampak Kemajuan
Teknologi dalam Perspektif Aksiologi," Jurnal Supremasi Hukum
Universitas Negeri Makassar, diakses 11 Maret 2025, https://ojs.unm.ac.id/supremasi/article/viewFile/59187/27094.
[5]
Multidisipliner.org, "Kritik terhadap
Aksiologi Sains Modern: Kajian Multidisipliner," International Journal
of Interdisciplinary Methodology, diakses 11 Maret 2025, https://multidisipliner.org/index.php/ijim/article/view/152.
[6]
QuestionAI, "Kritik terhadap Penerapan
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Pendidikan," QuestionAI.id,
diakses 11 Maret 2025, https://www.questionai.id/essays-exkAiR7mBI7/kritik-terhadap-penerapan-ontologi-epistemologi-dan.
[7]
Media Neliti, "Isu Aksiologi dalam Ilmu
Komunikasi: Perdebatan Konsep Nilai dalam Komunikasi Digital," Neliti.com,
diakses 11 Maret 2025, https://media.neliti.com/media/publications/470341-none-e3e19913.pdf.
[8]
Diaz Andhika Primadi, "Aksiologi: Pengaruh
Nilai dalam Pandangan Dunia dan Moralitas Manusia," Kompasiana,
diakses 11 Maret 2025, https://www.kompasiana.com/diazandhikaprimadi9476/664762f7147093413d7244f5/aksiologi-pengaruh-nilai-dalam-pandangan-dunia-dan-moralitas-manusia.
[9]
Universitas Pahlawan, "Kritik terhadap
Aksiologi dalam Filsafat Ilmu," Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Universitas Pahlawan, diakses 11 Maret 2025, https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jpdk/article/download/9507/7214.
[10]
Angelina Eugene, "Penerapan Aksiologi dalam
Filsafat Ilmu terhadap Kesadaran Literasi Digital," Kompasiana,
diakses 11 Maret 2025, https://www.kompasiana.com/angelinaeugene6289/647964b94addee02947cc4c2/penerapan-aksiologi-dalam-filsafat-ilmu-terhadap-kesadaran-literasi-digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar