Senin, 16 Juni 2025

Asas Kewarganegaraan: Prinsip-Prinsip Hukum dalam Menentukan Status Kewarganegaraan Individu di Era Globalisasi

Asas Kewarganegaraan

Prinsip-Prinsip Hukum dalam Menentukan Status Kewarganegaraan Individu di Era Globalisasi


Alihkan ke: Civic Education.


Abstrak

Kewarganegaraan merupakan unsur fundamental dalam struktur kenegaraan modern yang menentukan status hukum individu sebagai anggota resmi suatu negara. Artikel ini membahas secara komprehensif prinsip-prinsip hukum yang mendasari penentuan kewarganegaraan, khususnya melalui asas ius sanguinis (keturunan) dan ius soli (tempat kelahiran), serta varian lain seperti kewarganegaraan tunggal dan ganda terbatas. Penelitian ini juga mengeksplorasi implementasi asas-asas tersebut dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, serta menyoroti tantangan-tantangan kontemporer seperti fenomena tanpa kewarganegaraan (statelessness), permintaan pengakuan kewarganegaraan ganda, dan politisasi status kewarganegaraan dalam konteks global. Melalui pendekatan yuridis-normatif dan kajian literatur akademik, artikel ini menyimpulkan perlunya reformasi hukum kewarganegaraan Indonesia agar lebih adaptif terhadap perubahan global, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai konstitusional dan identitas nasional.

Kata Kunci: Kewarganegaraan, Ius Sanguinis, Ius Soli, kewarganegaraan ganda, statelessness, hukum Indonesia, globalisasi, hak asasi manusia.


PEMBAHASAN

Status Kewarganegaraan dalam Hukum dan Kehidupan Bernegara


1.           Pendahuluan

Kewarganegaraan merupakan salah satu konsep fundamental dalam sistem hukum modern yang menentukan hubungan hukum antara individu dengan negara. Melalui kewarganegaraan, seseorang memperoleh hak dan kewajiban yang diakui serta dilindungi oleh hukum negara tempat ia menjadi warga negara. Status ini menjadi pintu gerbang bagi individu untuk menikmati berbagai hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial, sekaligus menjadi dasar bagi negara untuk menuntut loyalitas dan ketaatan hukum dari warganya. Tanpa kewarganegaraan yang sah, individu dapat berada dalam kondisi tanpa perlindungan hukum, yang dikenal sebagai statelessness, suatu kondisi yang mengancam martabat dan kehidupan seseorang secara fundamental.¹

Dalam dunia yang semakin terdorong oleh arus globalisasi, migrasi lintas negara, dan pernikahan antarwarga negara yang berbeda kewarganegaraan, permasalahan tentang penentuan status kewarganegaraan menjadi semakin kompleks. Negara-negara di dunia menganut prinsip-prinsip tertentu yang dijadikan dasar dalam menetapkan siapa saja yang dianggap sebagai warga negaranya. Prinsip-prinsip ini dikenal sebagai asas kewarganegaraan, yang pada umumnya terbagi ke dalam dua kategori utama: ius sanguinis (berdasarkan garis keturunan) dan ius soli (berdasarkan tempat kelahiran).² Kedua asas ini berkembang dari tradisi hukum yang berbeda dan masing-masing mencerminkan kepentingan politik, sosial, serta budaya dari negara-negara yang mengadopsinya.

Indonesia sebagai negara yang memiliki sejarah panjang interaksi lintas budaya dan kolonialisme, mengembangkan sistem kewarganegaraannya melalui serangkaian dinamika hukum dan politik. Dalam kerangka hukum positif, Indonesia saat ini mengatur masalah kewarganegaraan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang pada prinsipnya menganut asas ius sanguinis, namun memberikan ruang terbatas terhadap penerapan asas ius soli dalam kondisi tertentu.³ Hal ini merupakan bentuk adaptasi terhadap kebutuhan global sekaligus perlindungan terhadap identitas nasional dalam era yang ditandai oleh mobilitas tinggi dan multikulturalisme.

Permasalahan yang sering muncul terkait kewarganegaraan antara lain adalah anak hasil perkawinan campuran, status warga diaspora, serta kasus kehilangan atau penolakan kewarganegaraan. Dalam konteks ini, asas kewarganegaraan bukan sekadar teori hukum, tetapi merupakan pilar penting dalam menentukan kejelasan identitas hukum seseorang. Maka dari itu, kajian ini menjadi penting untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan, tantangan kontemporer yang dihadapi negara dalam menetapkan kewarganegaraan, serta dampaknya terhadap hak-hak dasar individu.


Footnotes

[1]                Michelle Foster and Hélène Lambert, International Refugee Law and the Protection of Stateless Persons (Oxford: Oxford University Press, 2019), 7.

[2]                Peter J. Spiro, Beyond Citizenship: American Identity after Globalization (New York: Oxford University Press, 2008), 42–45.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 155–157.


2.           Pengertian dan Fungsi Kewarganegaraan

Secara etimologis, istilah “kewarganegaraan” berasal dari kata citizenship dalam bahasa Inggris, yang merujuk pada status hukum seseorang sebagai anggota resmi suatu negara. Dalam konteks hukum publik, kewarganegaraan merupakan jalinan hubungan timbal balik antara individu dengan negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya. Menurut T. Alexander Aleinikoff, kewarganegaraan tidak hanya berarti status legal semata, tetapi juga merupakan ekspresi dari identitas politik dan keterikatan seseorang terhadap suatu komunitas nasional.¹

Dalam perspektif hukum internasional, kewarganegaraan dipahami sebagai ikatan hukum antara individu dengan suatu negara yang diakui oleh sistem hukum negara tersebut dan dihormati oleh komunitas internasional.² Kewarganegaraan menjadi sarana utama untuk menentukan kepada negara mana seseorang tunduk dan dari negara mana ia memperoleh perlindungan hukum, terutama dalam konteks hubungan antarnegara dan yurisdiksi lintas batas.³ Dalam praktiknya, negara memiliki kewenangan penuh (sovereign prerogative) untuk menentukan syarat dan asas kewarganegaraan yang berlaku di wilayahnya, selama prinsip-prinsip tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, khususnya prinsip non-diskriminasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.⁴

Secara substantif, kewarganegaraan mengandung beberapa fungsi penting dalam kehidupan individu dan negara:

2.1.       Fungsi Identitas Hukum

Kewarganegaraan adalah pengenal utama dalam sistem hukum suatu negara. Ia menetapkan identitas legal seseorang dan menjadi dasar pencatatan status sipil seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian. Identitas ini juga mempengaruhi akses terhadap dokumen penting seperti kartu identitas, paspor, dan dokumen kependudukan lainnya.⁵

2.2.       Fungsi Akses terhadap Hak Konstitusional

Status kewarganegaraan memberikan akses penuh kepada individu terhadap hak-hak yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional, seperti hak memilih dan dipilih, hak atas pendidikan, perlindungan hukum, jaminan sosial, serta kebebasan berekspresi dan beragama.⁶ Dalam konteks demokrasi, hanya warga negara yang memiliki legitimasi politik untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan negara.

2.3.       Fungsi Penanggung Kewajiban

Sebagai konsekuensi dari hak yang diberikan, kewarganegaraan juga mengharuskan individu menunaikan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap negara, seperti membayar pajak, menaati hukum, mengikuti pendidikan dasar, dan dalam beberapa negara, menjalani wajib militer.⁷ Fungsi ini memperlihatkan dimensi timbal balik dalam konsep kewarganegaraan: tidak ada hak tanpa kewajiban.

2.4.       Fungsi Integrasi dan Kohesi Sosial

Kewarganegaraan berperan penting dalam membangun rasa memiliki terhadap negara dan memperkuat identitas nasional. Dalam negara-bangsa modern, kewarganegaraan digunakan sebagai alat untuk membangun kohesi sosial di tengah keberagaman budaya, etnis, dan agama.⁸ Oleh karena itu, kebijakan kewarganegaraan kerap diposisikan sebagai instrumen rekayasa sosial (social engineering) untuk membentuk warga negara yang loyal, produktif, dan toleran.

Dalam era globalisasi, ketika identitas dan mobilitas manusia semakin kompleks, kewarganegaraan tetap menjadi institusi penting yang mengikat hak dan tanggung jawab warga terhadap negara. Namun demikian, pemahaman atas pengertian dan fungsi kewarganegaraan harus terus diperluas agar mampu menjawab tantangan transnasional seperti migrasi, pengungsi, dan kewarganegaraan ganda yang kini semakin mengemuka di berbagai belahan dunia.


Footnotes

[1]                T. Alexander Aleinikoff, Semblances of Sovereignty: The Constitution, the State, and American Citizenship (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 13.

[2]                Guy S. Goodwin-Gill, International Law and the Movement of Persons Between States (Oxford: Clarendon Press, 1978), 7.

[3]                Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law, 2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 3–5.

[4]                United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Handbook on Protection of Stateless Persons (Geneva: UNHCR, 2014), 9.

[5]                Reydonnyzar Moenek, Hukum Kewarganegaraan dalam Perspektif Keindonesiaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 52.

[6]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2019), 119–120.

[7]                Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 87.

[8]                Yasemin Nuhoglu Soysal, Limits of Citizenship: Migrants and Postnational Membership in Europe (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 25–27.


3.           Asas-Asas Kewarganegaraan

Asas kewarganegaraan merupakan prinsip dasar yang digunakan oleh negara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi warga negaranya. Asas ini berfungsi sebagai rujukan normatif sekaligus sebagai mekanisme hukum yang mengatur cara pewarganegaraan, baik melalui kelahiran, perkawinan, naturalisasi, maupun bentuk perolehan lainnya.¹ Dalam praktik internasional, terdapat dua asas utama yang paling lazim digunakan oleh negara-negara di dunia, yaitu ius sanguinis (asas keturunan) dan ius soli (asas tempat kelahiran). Selain itu, berkembang pula asas-asas lain yang berkaitan dengan kebijakan kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda dalam konteks globalisasi.²

3.1.       Asas Ius Sanguinis (Asas Keturunan)

Asas ius sanguinis berasal dari tradisi hukum Romawi dan berarti "hak darah", yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya, tanpa memandang tempat kelahirannya.³ Negara-negara yang menganut asas ini umumnya menekankan pentingnya garis keturunan dan ikatan etnis dalam membentuk identitas kewarganegaraan. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan Indonesia menganut asas ini sebagai prinsip utama dalam sistem kewarganegaraannya.⁴

Kelebihan dari asas ius sanguinis adalah kemampuannya mempertahankan kesinambungan identitas nasional lintas generasi, terutama dalam konteks diaspora. Namun, asas ini juga berisiko menimbulkan status stateless bagi anak-anak yang lahir di luar wilayah negara dan dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan yang sah.⁵

3.2.       Asas Ius Soli (Asas Tempat Kelahiran)

Asas ius soli berarti "hak tanah", yakni kewarganegaraan diberikan kepada siapa pun yang lahir di wilayah suatu negara, tanpa memperhitungkan asal-usul orang tuanya. Asas ini berakar pada tradisi hukum Inggris dan banyak diterapkan di negara-negara Amerika seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil.⁶

Penerapan asas ini memiliki keuntungan dalam menurunkan angka anak-anak tanpa kewarganegaraan serta mendorong integrasi warga negara baru melalui kelahiran alami. Namun, dalam praktiknya, penerapan ius soli murni dapat memicu kekhawatiran terhadap imigrasi ilegal dan "birth tourism", di mana individu sengaja melahirkan di negara tertentu untuk memperoleh kewarganegaraan bagi anaknya.⁷

3.3.       Asas Kewarganegaraan Tunggal

Asas kewarganegaraan tunggal menyatakan bahwa seseorang hanya diakui memiliki satu kewarganegaraan oleh suatu negara. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menjaga kesetiaan tunggal kepada negara dan menghindari konflik hukum yang mungkin timbul akibat kepemilikan lebih dari satu kewarganegaraan.⁸

Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, meskipun memberikan toleransi kewarganegaraan ganda secara terbatas bagi anak hasil perkawinan campuran hingga usia 18 tahun.⁹ Di satu sisi, asas ini mempertegas identitas kebangsaan; di sisi lain, ia dianggap kurang responsif terhadap dinamika global yang memungkinkan mobilitas tinggi dan keterlibatan warga dalam dua yurisdiksi sekaligus.

3.4.       Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Asas ini memungkinkan individu memiliki dua atau lebih kewarganegaraan dalam kondisi tertentu yang ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara. Penerapan asas ini merupakan respons terhadap kenyataan bahwa banyak warga dunia memiliki keterikatan ganda akibat pernikahan campuran, migrasi jangka panjang, atau sebab-sebab lain yang sah secara hukum.¹⁰

Meskipun memberi keleluasaan identitas dan hak sipil yang lebih luas, kewarganegaraan ganda juga memunculkan persoalan yuridis seperti hak pilih ganda, kewajiban militer di dua negara, serta masalah yurisdiksi dalam kasus pelanggaran hukum lintas negara.¹¹ Oleh karena itu, banyak negara membatasi kewarganegaraan ganda hanya untuk kasus-kasus tertentu dan dalam waktu tertentu.


Footnotes

[1]                Peter J. Spiro, At Home in Two Countries: The Past and Future of Dual Citizenship (New York: NYU Press, 2016), 9–10.

[2]                Guy S. Goodwin-Gill and Jane McAdam, The Refugee in International Law, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2007), 58–59.

[3]                Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law, 2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 25.

[4]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 161–162.

[5]                United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Guidelines on Statelessness No. 4 (Geneva: UNHCR, 2012), 3–5.

[6]                Peter H. Schuck and Rogers M. Smith, Citizenship without Consent: Illegal Aliens in the American Polity (New Haven: Yale University Press, 1985), 36–38.

[7]                Hiroshi Motomura, Americans in Waiting: The Lost Story of Immigration and Citizenship in the United States (New York: Oxford University Press, 2006), 122.

[8]                T. Alexander Aleinikoff and Douglas Klusmeyer, eds., Citizenship Today: Global Perspectives and Practices (Washington, D.C.: Carnegie Endowment for International Peace, 2001), 109.

[9]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 6 dan 41.

[10]             Rainer Bauböck et al., Acquisition of Citizenship: Trends, Problems and Opportunities (Florence: European University Institute, 2013), 14–16.

[11]             Linda Bosniak, The Citizen and the Alien: Dilemmas of Contemporary Membership (Princeton: Princeton University Press, 2006), 77–79.


4.           Implementasi Asas Kewarganegaraan di Indonesia

Sistem kewarganegaraan Indonesia mengalami perkembangan historis dan yuridis yang signifikan, seiring dengan dinamika politik dan kebutuhan konstitusional bangsa. Dalam konteks hukum positif, Indonesia mengatur kewarganegaraan secara komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menggantikan ketentuan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan sistem kewarganegaraan nasional dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan tantangan globalisasi.¹

Secara prinsip, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas ius sanguinis (keturunan) sebagai dasar utama penentuan kewarganegaraan. Artinya, seseorang yang lahir dari ayah atau ibu warga negara Indonesia (WNI), baik di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia, secara otomatis memperoleh status sebagai warga negara Indonesia.² Hal ini menegaskan pentingnya ikatan darah sebagai fondasi hubungan hukum antara individu dan negara. Selain itu, UU tersebut juga secara terbatas mengakui asas ius soli dalam situasi tertentu, terutama untuk menghindari status tanpa kewarganegaraan (statelessness), misalnya terhadap anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang tidak jelas kewarganegaraannya atau tidak memiliki kewarganegaraan.³

Penerapan asas kewarganegaraan di Indonesia juga mempertimbangkan realitas sosial, seperti fenomena perkawinan campuran dan anak hasil hubungan antarwarga negara berbeda. Dalam hal ini, Undang-Undang memberikan kesempatan kepada anak hasil perkawinan campuran untuk memiliki kewarganegaraan ganda terbatas hingga usia 18 tahun atau menikah sebelum usia tersebut, dengan ketentuan bahwa setelahnya anak wajib memilih satu kewarganegaraan.⁴ Ketentuan ini merupakan kompromi yang mencerminkan keterbukaan Indonesia terhadap realitas global, sekaligus menjaga prinsip kewarganegaraan tunggal sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.⁵

Di samping itu, Indonesia juga mengenal mekanisme naturalisasi, yaitu pemberian kewarganegaraan kepada warga negara asing melalui proses permohonan resmi dan pemenuhan persyaratan hukum tertentu, seperti telah tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut, mampu berbahasa Indonesia, mengakui Pancasila dan UUD 1945, serta tidak pernah dijatuhi pidana berat.⁶ Pemberian kewarganegaraan secara naturalisasi mencerminkan bentuk penghargaan terhadap proses integrasi dan loyalitas warga negara asing terhadap negara Indonesia.

Namun, pelaksanaan asas kewarganegaraan di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan, seperti minimnya literasi hukum warga negara terkait status kewarganegaraan, inkonsistensi dalam administrasi kependudukan, serta kompleksitas pengakuan terhadap diaspora Indonesia yang lahir dan tumbuh di luar negeri.⁷ Salah satu isu penting yang terus menjadi perdebatan publik adalah desakan untuk mengakomodasi kewarganegaraan ganda permanen, terutama bagi diaspora Indonesia yang memiliki potensi ekonomi dan sosial besar namun terkendala oleh pembatasan hukum nasional.⁸

Dalam konteks globalisasi yang mempercepat pergerakan lintas negara, implementasi asas kewarganegaraan di Indonesia harus terus dievaluasi agar selaras dengan prinsip keadilan, efektivitas administrasi, serta perlindungan hak-hak sipil. Reformasi kebijakan kewarganegaraan yang adaptif dan kontekstual sangat diperlukan agar Indonesia mampu menghadapi tantangan masa depan tanpa kehilangan jati diri konstitusionalnya.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 188–190.

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 4 huruf a.

[3]                Ibid., Pasal 5 dan Pasal 6.

[4]                Ibid., Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 41.

[5]                Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 104.

[6]                Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Pasal 9 dan Pasal 10.

[7]                Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 13–15.

[8]              Novi Basuki, “Kewarganegaraan Ganda dan Tantangannya di Indonesia,” The Conversation, 16 Mei 2020, https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365.


5.           Tantangan Kontemporer dalam Penentuan Kewarganegaraan

Di era globalisasi yang ditandai oleh peningkatan mobilitas manusia, integrasi ekonomi lintas negara, dan perkembangan teknologi informasi, penentuan kewarganegaraan tidak lagi menjadi persoalan domestik semata. Isu kewarganegaraan kini memasuki ranah transnasional dengan kompleksitas yang jauh lebih tinggi dibanding masa sebelumnya. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dihadapkan pada berbagai tantangan kontemporer yang menguji fleksibilitas dan relevansi asas-asas kewarganegaraan yang selama ini dianut.

5.1.       Fenomena Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness)

Salah satu tantangan paling serius dalam penentuan kewarganegaraan adalah keberadaan individu atau kelompok yang tidak memiliki kewarganegaraan, atau dikenal sebagai stateless persons. Menurut data UNHCR, terdapat lebih dari 4,3 juta orang tanpa kewarganegaraan di dunia, yang hidup dalam ketidakpastian hukum, tanpa akses terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan formal, dan perlindungan hukum.¹

Statelessness dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain konflik antarhukum kewarganegaraan (konflik antara asas ius soli dan ius sanguinis), diskriminasi etnis atau gender, atau kegagalan negara dalam mencatat kelahiran.² Di Indonesia, meskipun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah memberikan ruang perlindungan terhadap anak-anak yang berpotensi stateless, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala administratif dan sosialisasi hukum yang lemah.³

5.2.       Kewarganegaraan Ganda dan Kesetiaan Ganda

Tantangan berikutnya adalah meningkatnya permintaan terhadap pengakuan kewarganegaraan ganda sebagai konsekuensi dari globalisasi, pernikahan campuran, dan diaspora. Banyak negara telah melonggarkan kebijakan mereka untuk memungkinkan kewarganegaraan ganda secara permanen, dengan alasan mobilitas ekonomi, keterikatan identitas, dan kepentingan nasional.⁴ Namun demikian, isu kesetiaan ganda (dual allegiance) menjadi kekhawatiran utama yang sering dikemukakan oleh negara-negara yang masih menganut asas kewarganegaraan tunggal, termasuk Indonesia.⁵

Pemerintah Indonesia sampai saat ini hanya mengakui kewarganegaraan ganda secara terbatas, terutama untuk anak-anak hasil perkawinan campuran, dengan syarat harus memilih salah satu kewarganegaraan setelah mencapai usia 18 tahun.⁶ Kebijakan ini masih menyisakan debat publik, khususnya di kalangan diaspora yang merasa kehilangan hak partisipasi penuh dalam kehidupan bernegara akibat keterbatasan regulasi tersebut.⁷

5.3.       Perubahan Identitas dan Integrasi Transnasional

Globalisasi juga menimbulkan transformasi dalam konsep identitas warga negara. Identitas kebangsaan tidak lagi bersifat tunggal dan eksklusif, melainkan mulai terfragmentasi oleh afiliasi regional (seperti kewarganegaraan Uni Eropa), budaya digital, dan komunitas global.⁸ Fenomena ini memperlemah batas-batas teritorial dari kewarganegaraan konvensional, sekaligus memunculkan pertanyaan tentang legitimasi negara dalam menuntut kesetiaan penuh dari warga negaranya.

Integrasi regional, seperti dalam konteks ASEAN, juga mendorong perdebatan tentang kemungkinan pembentukan konsep kewarganegaraan regional yang memungkinkan mobilitas tenaga kerja tanpa harus melepaskan status kewarganegaraan nasional.⁹ Namun, belum adanya kerangka hukum yang jelas membuat gagasan ini masih berada pada tingkat diskursus normatif, bukan implementatif.

5.4.       Kewarganegaraan sebagai Instrumen Politik dan Keamanan

Di berbagai negara, kewarganegaraan digunakan sebagai instrumen politik untuk memperkuat identitas nasional atau menyingkirkan kelompok tertentu dari keanggotaan negara. Pemberlakuan kebijakan pencabutan kewarganegaraan terhadap warga yang terlibat dalam aktivitas ekstremisme atau dianggap mengancam stabilitas nasional merupakan contoh dari politisasi kewarganegaraan.¹⁰

Kasus semacam ini memunculkan dilema antara perlindungan hak asasi dan kepentingan keamanan nasional. Di satu sisi, negara berhak melindungi kedaulatannya; di sisi lain, pencabutan kewarganegaraan dapat menimbulkan pelanggaran hak sipil yang serius dan bertentangan dengan prinsip non-penalitas ganda (non bis in idem) dalam hukum pidana internasional.¹¹


Footnotes

[1]                United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Global Trends: Forced Displacement in 2022 (Geneva: UNHCR, 2023), 38.

[2]                Laura van Waas, Nationality Matters: Statelessness under International Law (Cambridge: Intersentia, 2008), 65–70.

[3]                Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 14–15.

[4]                Peter J. Spiro, At Home in Two Countries: The Past and Future of Dual Citizenship (New York: NYU Press, 2016), 43–45.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 198–199.

[6]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 6 dan 41.

[7]                Novi Basuki, “Kewarganegaraan Ganda dan Tantangannya di Indonesia,” The Conversation, 16 Mei 2020, https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365.

[8]                Yasemin Nuhoglu Soysal, Limits of Citizenship: Migrants and Postnational Membership in Europe (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 3–5.

[9]                Hiro Katsumata, “ASEAN’s Cooperative Security Enterprise: Norms and Interests in the ASEAN Regional Forum,” Asian Survey 44, no. 5 (2004): 720–721.

[10]             Audrey Macklin, “Citizenship Revocation, the Privilege to Have Rights and the Production of the Alien,” Queen’s Law Journal 40, no. 1 (2014): 4–6.

[11]             Alice Edwards, Nationality, Statelessness and Human Rights: A Handbook for Parliamentarians (Geneva: Inter-Parliamentary Union & UNHCR, 2018), 35–37.


6.           Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1.       Kesimpulan

Kewarganegaraan merupakan instrumen hukum fundamental yang mengatur hubungan timbal balik antara individu dan negara, sekaligus menjadi prasyarat utama bagi pelaksanaan hak-hak sipil, politik, dan sosial dalam suatu sistem negara modern. Dalam praktiknya, negara-negara di dunia menggunakan asas-asas tertentu untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, yang umumnya didasarkan pada prinsip ius sanguinis (keturunan) atau ius soli (tempat kelahiran).¹

Indonesia secara dominan menganut asas ius sanguinis sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, namun juga memberikan pengakuan terbatas terhadap asas ius soli dalam upaya mencegah munculnya kasus tanpa kewarganegaraan (statelessness).² Selain itu, Indonesia menerapkan asas kewarganegaraan tunggal dengan pengecualian temporer terhadap anak hasil perkawinan campuran, yang diperbolehkan memiliki kewarganegaraan ganda hingga batas usia tertentu.³

Namun, dalam konteks globalisasi, dinamika kewarganegaraan menjadi semakin kompleks. Tantangan kontemporer seperti mobilitas lintas negara, keberadaan individu tanpa kewarganegaraan, desakan pengakuan kewarganegaraan ganda permanen, dan penggunaan kewarganegaraan sebagai instrumen politik telah menuntut adanya adaptasi hukum yang lebih progresif dan responsif.⁴ Tanpa pembaruan hukum yang kontekstual, sistem kewarganegaraan Indonesia berisiko mengalami ketertinggalan dalam merespons realitas sosial-politik global yang terus berubah.⁵

6.2.       Rekomendasi

1)                  Revisi Terbatas terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan

Legislator dan pemerintah perlu mempertimbangkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, khususnya dalam hal pengaturan kewarganegaraan ganda permanen bagi kelompok tertentu, seperti diaspora Indonesia yang berkontribusi positif dalam pembangunan nasional.⁶ Praktik ini telah berhasil diterapkan di beberapa negara tanpa mengancam integritas nasional, seperti India dan Filipina, yang menerapkan sistem kewarganegaraan ganda terbatas untuk menjaga keterikatan diaspora dengan tanah air.⁷

2)                  Penguatan Mekanisme Pencegahan Statelessness

Pemerintah perlu meningkatkan sistem administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, terutama di daerah perbatasan dan kawasan terpencil, untuk mencegah munculnya generasi tanpa kewarganegaraan. Sosialisasi hukum tentang hak dan prosedur pewarganegaraan harus diperluas agar menjangkau kelompok rentan, termasuk anak-anak hasil perkawinan tidak sah atau tidak tercatat.⁸

3)                  Pengembangan Basis Data Kewarganegaraan Terpadu

Diperlukan penguatan koordinasi antara lembaga-lembaga negara seperti Ditjen Dukcapil, Imigrasi, dan Kemenkumham untuk membentuk basis data kewarganegaraan yang terpadu, akurat, dan mudah diakses oleh otoritas hukum. Hal ini akan meminimalkan tumpang tindih data serta mempercepat proses klarifikasi status kewarganegaraan dalam kasus-kasus yang kompleks.⁹

4)                  Perlindungan Hukum terhadap WNI di Luar Negeri

Negara harus proaktif dalam memberikan perlindungan hukum dan pelayanan konsuler bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah status kewarganegaraan akibat peraturan imigrasi di negara tujuan.¹⁰ Penguatan peran perwakilan diplomatik harus disertai dengan pembinaan hukum yang memadai terhadap komunitas diaspora.

5)                  Peningkatan Literasi Kewarganegaraan

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mendorong literasi kewarganegaraan di kalangan generasi muda melalui kurikulum pendidikan dan program penyuluhan hukum. Pemahaman yang baik tentang hak, kewajiban, dan prosedur pewarganegaraan akan memperkuat kesadaran hukum dan identitas nasional warga negara Indonesia.¹¹

Dengan pendekatan yang inklusif, berbasis hak asasi manusia, dan adaptif terhadap globalisasi, Indonesia dapat membangun sistem kewarganegaraan yang tidak hanya konstitusional tetapi juga responsif terhadap perkembangan zaman.


Footnotes

[1]                Peter J. Spiro, Beyond Citizenship: American Identity after Globalization (New York: Oxford University Press, 2008), 42.

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 4 dan Pasal 5.

[3]                Ibid., Pasal 6 dan Pasal 41.

[4]                Laura van Waas, Nationality Matters: Statelessness under International Law (Cambridge: Intersentia, 2008), 87.

[5]                T. Alexander Aleinikoff, Semblances of Sovereignty: The Constitution, the State, and American Citizenship (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 115.

[6]                Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 17.

[7]                Ruben Carranza, “Overseas Filipinos and Dual Citizenship,” Asia-Pacific Migration Journal 13, no. 1 (2004): 123–126.

[8]                United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Handbook on Protection of Stateless Persons (Geneva: UNHCR, 2014), 12.

[9]                Sinta Dewi Rosadi, “Transformasi Data Kependudukan dan Kepastian Status Warga Negara,” Jurnal Hukum IUS 5, no. 2 (2017): 200–202.

[10]             Directorate of Protection for Indonesian Citizens and Legal Entities, Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI, 2023), 45–47.

[11]             Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 101.


Daftar Pustaka

Aleinikoff, T. A. (2002). Semblances of sovereignty: The Constitution, the state, and American citizenship. Harvard University Press.

Aleinikoff, T. A., & Klusmeyer, D. (Eds.). (2001). Citizenship today: Global perspectives and practices. Carnegie Endowment for International Peace.

Arinanto, S. (2002). Hak asasi manusia dalam transisi politik di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan.

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan kewarganegaraan. Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar ilmu hukum tata negara. Rajawali Pers.

Atang, A. (2018). Problem yuridis dalam status kewarganegaraan Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, 7(1), 13–17.

Bauböck, R., Ersbøll, E., Groenendijk, K., & Waldrauch, H. (2013). Acquisition of citizenship: Trends, problems and opportunities. European University Institute.

Basuki, N. (2020, May 16). Kewarganegaraan ganda dan tantangannya di Indonesia. The Conversation. https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365

Carranza, R. (2004). Overseas Filipinos and dual citizenship. Asia-Pacific Migration Journal, 13(1), 123–126.

Directorate of Protection for Indonesian Citizens and Legal Entities. (2023). Laporan tahunan 2022. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Edwards, A. (2018). Nationality, statelessness and human rights: A handbook for parliamentarians. Inter-Parliamentary Union & UNHCR.

Goodwin-Gill, G. S. (1978). International law and the movement of persons between states. Clarendon Press.

Goodwin-Gill, G. S., & McAdam, J. (2007). The refugee in international law (3rd ed.). Oxford University Press.

Katsumata, H. (2004). ASEAN’s cooperative security enterprise: Norms and interests in the ASEAN Regional Forum. Asian Survey, 44(5), 720–736.

Macklin, A. (2014). Citizenship revocation, the privilege to have rights and the production of the alien. Queen’s Law Journal, 40(1), 1–53.

Motomura, H. (2006). Americans in waiting: The lost story of immigration and citizenship in the United States. Oxford University Press.

Rosadi, S. D. (2017). Transformasi data kependudukan dan kepastian status warga negara. Jurnal Hukum IUS, 5(2), 200–202.

Schuck, P. H., & Smith, R. M. (1985). Citizenship without consent: Illegal aliens in the American polity. Yale University Press.

Soysal, Y. N. (1994). Limits of citizenship: Migrants and postnational membership in Europe. University of Chicago Press.

Spiro, P. J. (2008). Beyond citizenship: American identity after globalization. Oxford University Press.

Spiro, P. J. (2016). At home in two countries: The past and future of dual citizenship. NYU Press.

UNHCR. (2012). Guidelines on Statelessness No. 4: Ensuring every child’s right to acquire a nationality. United Nations High Commissioner for Refugees.

UNHCR. (2014). Handbook on protection of stateless persons. United Nations High Commissioner for Refugees.

UNHCR. (2023). Global trends: Forced displacement in 2022. United Nations High Commissioner for Refugees. https://www.unhcr.org/statistics

van Waas, L. (2008). Nationality matters: Statelessness under international law. Intersentia.

Weis, P. (1979). Nationality and statelessness in international law (2nd ed.). Martinus Nijhoff.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.


Kasus: Kemungkinan Seorang Anak Lahir Tanpa Kewarganegaraan (Stateless Child)

Nama Kasus (fiktif):

Bayi A, lahir di Indonesia dari orang tua asing tanpa kewarganegaraan yang sah.

A.           Latar Belakang:

Bayi A lahir di Kota Batam, Indonesia, dari pasangan suami istri asal Myanmar etnis Rohingya yang tidak memiliki status kewarganegaraan resmi akibat konflik politik dan diskriminasi etnis di negara asalnya. Orang tua Bayi A masuk ke wilayah Indonesia sebagai pengungsi tidak terdokumentasi dan tidak memiliki paspor, akta kelahiran, atau dokumen kewarganegaraan apa pun.

B.           Analisis Yuridis:

1)                  Asas Kewarganegaraan Orang Tua:

Karena kedua orang tua tidak memiliki kewarganegaraan sah (stateless), maka Bayi A tidak dapat memperoleh kewarganegaraan berdasarkan ius sanguinis, karena prinsip ini mensyaratkan adanya kewarganegaraan yang dapat diwariskan dari orang tua.¹

2)                  Asas Ius Soli di Indonesia:

Indonesia pada dasarnya menganut asas ius sanguinis, namun Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 membuka peluang penerapan asas ius soli terbatas:

Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya dan tidak memperoleh kewarganegaraan dari ayah dan ibunya, menjadi Warga Negara Indonesia.”²

Dalam kasus ini, jika Bayi A benar-benar tidak dapat memperoleh kewarganegaraan dari negara mana pun (termasuk Myanmar), maka ia berhak memperoleh status Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan tersebut, sebagai upaya mencegah status tanpa kewarganegaraan.

3)                  Permasalahan Implementasi:

Dalam praktiknya, banyak anak dalam situasi serupa mengalami kesulitan administratif untuk memperoleh akta kelahiran atau status WNI karena:

Kurangnya dokumentasi dari orang tua,

Ketidaktahuan aparatur sipil negara terhadap asas perlindungan terhadap statelessness,

Minimnya akses terhadap bantuan hukum.

4)                  Konteks Internasional:

Situasi ini juga menyalahi ketentuan Pasal 7 Konvensi Hak Anak (CRC) 1989 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kewarganegaraan sejak lahir.³ Indonesia, sebagai negara pihak dalam CRC, memiliki kewajiban internasional untuk menjamin hak tersebut terlaksana secara efektif.


Kesimpulan Kasus:

Bayi A secara prinsip hukum dapat menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan ius soli terbatas dalam UU No. 12 Tahun 2006. Namun, kelemahan implementasi hukum dan hambatan administratif kerap menjadikan anak-anak dalam situasi seperti ini rentan mengalami status stateless. Ini menunjukkan perlunya penguatan sistem pencatatan sipil, pelatihan aparatur negara, dan layanan bantuan hukum untuk menghindari pelanggaran terhadap hak kewarganegaraan anak.


Footnotes

[1]                Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law, 2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 48.

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 5 huruf b.

[3]                United Nations, Convention on the Rights of the Child, adopted 20 November 1989, entered into force 2 September 1990, Article 7.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar