Senin, 07 April 2025

Antropologi: Kajian Menyeluruh tentang Manusia dan Budayanya

Antropologi

Kajian Menyeluruh tentang Manusia dan Budayanya


Abstrak

Artikel ini mengulas secara komprehensif tentang antropologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia secara holistik dalam konteks budaya, sosial, biologis, dan historis. Pembahasan dimulai dengan pengantar konseptual mengenai definisi dan urgensi antropologi, dilanjutkan dengan tinjauan historis perkembangan ilmu ini dari era kolonial hingga masa kontemporer. Artikel ini juga membahas lima cabang utama antropologi—budaya, fisik, linguistik, arkeologi, dan terapan—serta konsep-konsep kunci seperti budaya, etnosentrisme, relativisme budaya, sistem kekerabatan, dan perubahan budaya. Di samping itu, dikaji pula metodologi khas antropologi seperti observasi partisipan dan etnografi, serta tantangan etis yang dihadapi. Pada bagian akhir, artikel menyoroti relevansi antropologi dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti multikulturalisme, globalisasi, dan kebijakan publik, serta merefleksikan tantangan masa depan antropologi dalam era digital dan global. Melalui pendekatan reflektif dan berbasis literatur ilmiah, artikel ini menunjukkan bahwa antropologi bukan sekadar studi tentang “yang lain”, melainkan alat penting untuk memahami kemanusiaan secara utuh.

Kata Kunci: Antropologi, budaya, etnografi, multikulturalisme, relativisme budaya, globalisasi, metodologi kualitatif, antropologi terapan, identitas sosial, refleksivitas.


PEMBAHASAN

Kajian Antropologi Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang secara khusus mengkaji manusia secara holistik, mencakup aspek biologis, sosial, budaya, hingga sejarah evolusinya. Kata antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthropos (manusia) dan logos (ilmu atau wacana), sehingga secara harfiah berarti "ilmu tentang manusia." Antropologi mencoba memahami manusia tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi juga dari cara hidup, nilai, tradisi, dan sistem sosial yang dikembangkannya dalam berbagai konteks ruang dan waktu.¹

Dalam konteks akademik modern, antropologi tidak hanya berfokus pada masyarakat primitif seperti anggapan awalnya, tetapi juga pada masyarakat modern dan kompleks. Pendekatan lintas budaya (cross-cultural) yang digunakan memungkinkan ilmuwan sosial memahami keragaman bentuk kehidupan manusia dan sekaligus menemukan prinsip-prinsip universal yang mendasari budaya.² Clifford Geertz, seorang antropolog budaya terkemuka, menyatakan bahwa antropologi adalah “ilmu interpretatif yang mencoba membaca makna di balik simbol dan praktik budaya.”_³ Dengan demikian, antropologi berperan penting dalam membongkar makna-makna tersembunyi dalam praktik sosial yang tampak sederhana di permukaan.

Urgensi mempelajari antropologi menjadi semakin tinggi dalam era globalisasi dan multikulturalisme. Di tengah meningkatnya interaksi antarbangsa, konflik identitas, serta tantangan keberagaman budaya, pemahaman antropologis menjadi alat penting untuk menumbuhkan sikap toleran, empatik, dan humanis.⁴ Melalui studi antropologi, kita diajak untuk melihat dunia dari perspektif orang lain—melatih apa yang disebut sebagai cultural relativism—dan mengurangi kecenderungan ethnocentrism, yakni menilai budaya lain berdasarkan ukuran budaya sendiri.⁵

Sebagai ilmu yang menekankan pada observasi partisipatif dan pengalaman langsung di lapangan, antropologi memiliki keunikan metodologis dibandingkan ilmu sosial lainnya seperti sosiologi atau ilmu politik. Sosiologi umumnya mempelajari masyarakat dengan metode statistik dan skala besar, sedangkan antropologi lebih fokus pada studi mendalam terhadap kelompok kecil dengan pendekatan etnografis.⁶ Oleh karena itu, antropologi memberikan pemahaman yang mendalam (thick description) tentang kehidupan manusia yang mungkin tidak tertangkap oleh pendekatan kuantitatif semata.

Dengan cakupannya yang luas dan kedalamannya yang khas, antropologi menjadi jembatan penting antara ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu ini tidak hanya menjelaskan "bagaimana" manusia hidup, tetapi juga "mengapa" mereka hidup dengan cara tertentu. Pembahasan dalam artikel ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai perkembangan antropologi, cabang-cabangnya, konsep-konsep penting, serta relevansinya dalam kehidupan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 3.

[2]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 5.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.

[4]                Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015), 2–3.

[5]                William A. Haviland et al., Cultural Anthropology: The Human Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 28.

[6]                Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 7.


2.           Sejarah dan Perkembangan Antropologi

2.1.       Akar Historis Antropologi

Antropologi sebagai disiplin ilmu lahir dari perpaduan antara rasa ingin tahu manusia terhadap perbedaan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa pencerahan di Eropa. Namun, kecenderungan untuk mengamati dan mencatat kehidupan budaya lain sesungguhnya telah ada sejak masa kuno. Herodotus dari Yunani Kuno, misalnya, sering dianggap sebagai “bapak sejarah” sekaligus pelopor dalam mencatat kehidupan berbagai bangsa yang ditemuinya.¹

Kemunculan antropologi modern berkaitan erat dengan ekspansi kolonialisme Eropa pada abad ke-19. Ketika bangsa Eropa menjelajahi dan menguasai wilayah-wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika, mereka berhadapan dengan masyarakat yang sistem sosial dan budayanya sangat berbeda. Kebutuhan untuk memahami “yang lain” inilah yang menjadi pemicu awal studi antropologis, meski pada masa itu masih sangat bias eurocentris.²

2.2.       Periode Klasik: Antropologi Evolusionis

Antropologi sebagai ilmu formal mulai berkembang pada akhir abad ke-19 dengan pendekatan evolusionisme budaya, yang terinspirasi oleh teori evolusi Darwin. Tokoh utama dalam pendekatan ini adalah Edward Burnett Tylor dan Lewis Henry Morgan. Tylor mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_³

Mereka meyakini bahwa semua masyarakat manusia berkembang melalui tahap-tahap evolusi yang linier: dari bentuk “primitif” menuju “beradab.”_⁴ Meskipun pandangan ini kini dianggap problematik karena bersifat etnosentris dan merendahkan budaya non-Barat, pendekatan ini memberi kontribusi awal dalam mengklasifikasikan keragaman budaya.

2.3.       Kritik dan Lahirnya Antropologi Relativistik

Kritik terhadap pendekatan evolusionisme mulai muncul di awal abad ke-20, terutama dari Franz Boas, seorang antropolog Jerman-Amerika yang dikenal sebagai “bapak antropologi Amerika.” Boas menolak ide bahwa budaya berkembang secara linier dan universal. Ia menekankan pentingnya kerja lapangan, observasi langsung, dan prinsip relativisme budaya—yakni bahwa setiap budaya harus dipahami berdasarkan kerangka nilai dan logikanya sendiri.⁵

Pendekatan Boas ini kemudian menginspirasi lahirnya metode etnografi, yakni deskripsi mendalam tentang suatu masyarakat berdasarkan pengalaman langsung peneliti. Salah satu penerapannya yang terkenal adalah karya Bronislaw Malinowski, seorang antropolog Inggris-Polandia, yang melakukan penelitian di Kepulauan Trobriand. Ia menetapkan standar baru dalam metode observasi partisipan.⁶

2.4.       Perkembangan Antropologi Strukturalis dan Simbolik

Pertengahan abad ke-20 ditandai oleh munculnya pendekatan strukturalis yang dipelopori oleh Claude Lévi-Strauss. Ia melihat bahwa pola pikir manusia di berbagai budaya memiliki struktur dasar yang sama, misalnya dalam bentuk oposisi biner seperti “baik–buruk,” “mentah–matang,” dan lain-lain.⁷

Pada dekade-dekade berikutnya, muncul pendekatan antropologi simbolik dan interpretatif, terutama dikembangkan oleh Clifford Geertz. Dalam pandangannya, budaya adalah sistem simbol yang harus diinterpretasi. Ia memperkenalkan metode thick description untuk memahami makna yang tersembunyi di balik praktik sosial sehari-hari.⁸

2.5.       Antropologi Kontemporer dan Postmodernisme

Dalam konteks kontemporer, antropologi telah berkembang ke berbagai arah baru, seperti antropologi politik, antropologi ekonomi, dan antropologi visual. Selain itu, pendekatan postmodern juga mempengaruhi cara pandang antropolog modern, dengan menekankan pentingnya refleksivitas, peran peneliti, dan kritik terhadap narasi tunggal tentang budaya.⁹

Antropologi kini tidak hanya mempelajari masyarakat “asing” atau “tradisional,” tetapi juga memeriksa dinamika global seperti migrasi, urbanisasi, teknologi digital, hingga isu-isu lingkungan dan keberlanjutan.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 8.

[2]                Henrika Kuklick, “The Savage Within: The Social History of British Anthropology, 1885–1945,” Cambridge University Press (1991), 3–5.

[3]                Edward B. Tylor, Primitive Culture, vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.

[4]                Lewis H. Morgan, Ancient Society (New York: Henry Holt and Company, 1877), 3.

[5]                Franz Boas, The Mind of Primitive Man, rev. ed. (New York: Macmillan, 1938), 9–10.

[6]                Bronislaw Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), xv–xvi.

[7]                Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 3–4.

[8]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 6.

[9]                James Clifford dan George E. Marcus, eds., Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California Press, 1986), 2–3.

[10]             Thomas Hylland Eriksen, Small Places, Large Issues: An Introduction to Social and Cultural Anthropology, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015), 21–22.


3.           Cabang-Cabang Antropologi

Antropologi sebagai ilmu yang luas dan multidisipliner memiliki berbagai cabang kajian yang berfokus pada aspek-aspek berbeda dari kehidupan manusia. Secara umum, cabang utama antropologi terbagi menjadi empat, yang dikenal sebagai empat pilar antropologi klasik: antropologi budaya, antropologi fisik/biologis, antropologi linguistik, dan antropologi arkeologi.¹ Dalam perkembangan kontemporer, muncul pula antropologi terapan sebagai bentuk aplikatif dari semua cabang tersebut.

3.1.       Antropologi Budaya

Antropologi budaya merupakan cabang yang paling dikenal dan paling banyak dikembangkan, khususnya dalam konteks antropologi di Indonesia. Fokus utamanya adalah pada studi tentang budaya sebagai sistem nilai, praktik sosial, simbol, dan makna yang membentuk kehidupan manusia dalam masyarakat tertentu

Tokoh penting dalam cabang ini adalah Clifford Geertz, yang memperkenalkan pendekatan interpretatif dalam memahami budaya sebagai sistem makna. Menurut Geertz, budaya tidak bisa dipahami hanya dari struktur sosialnya, tetapi harus ditafsirkan secara mendalam (thick description) melalui simbol dan praktik lokal.³

Antropologi budaya juga mencakup studi tentang sistem ekonomi, organisasi sosial, agama, ritual, kekerabatan, gender, hingga perubahan budaya akibat modernisasi dan globalisasi.⁴

3.2.       Antropologi Fisik (Biologis)

Antropologi fisik atau biologis mempelajari aspek biologis manusia, termasuk evolusi, variasi genetika, adaptasi lingkungan, dan hubungan manusia dengan spesies primata lainnya. Salah satu tujuan utamanya adalah memahami evolusi Homo sapiens dan proses biologis yang membentuk keberagaman ras dan ciri fisik manusia di berbagai belahan dunia.⁵

Cabang ini sering bersinggungan dengan paleoantropologi (studi fosil manusia purba), primatologi, dan bioarkeologi. Penelitian dalam bidang ini juga berguna dalam forensik dan kesehatan masyarakat.⁶

3.3.       Antropologi Linguistik

Antropologi linguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan budaya, serta peran bahasa dalam membentuk identitas, makna sosial, dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Antropolog linguistik tidak hanya meneliti struktur bahasa, tetapi juga bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial tertentu.⁷

Pendekatan ini penting dalam memahami bagaimana bahasa mencerminkan pola pikir budaya, serta bagaimana bahasa dapat mempengaruhi cara manusia memandang dunia (relativisme linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf).⁸

Antropologi linguistik juga menjadi alat penting dalam pelestarian bahasa-bahasa lokal yang terancam punah akibat dominasi bahasa global.

3.4.       Antropologi Arkeologi

Antropologi arkeologi bertugas menelusuri masa lalu umat manusia melalui peninggalan material seperti artefak, bangunan, perkakas, serta sisa-sisa biologis dan ekologis. Berbeda dengan sejarah tertulis, arkeologi berusaha merekonstruksi kehidupan manusia prasejarah dari bukti-bukti fisik yang tertinggal.⁹

Cabang ini memainkan peran besar dalam mengungkap sejarah peradaban kuno dan membantu menjelaskan pola perubahan budaya dari masa ke masa. Arkeologi modern juga menggunakan teknologi seperti GIS (Geographic Information Systems), pencitraan satelit, dan datasi karbon untuk menunjang akurasi analisis.¹⁰

3.5.       Antropologi Terapan

Antropologi terapan adalah cabang praktis yang menggunakan konsep dan metode antropologi untuk menyelesaikan masalah nyata dalam bidang kesehatan, pendidikan, pembangunan, ekonomi, dan kebijakan publik.¹¹

Antropolog terapan sering terlibat dalam proyek pembangunan masyarakat, mitigasi bencana, konflik sosial, hingga advokasi untuk komunitas adat. Salah satu pendekatan utama dalam antropologi terapan adalah partisipasi langsung bersama masyarakat, bukan sekadar observasi akademik.¹²


Catatan Kaki

[1]                Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 5.

[2]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 8–9.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 6.

[4]                William A. Haviland et al., Cultural Anthropology: The Human Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 25.

[5]                Robert Jurmain et al., Introduction to Physical Anthropology, 15th ed. (Boston: Cengage, 2016), 10.

[6]                Douglas H. Ubelaker, “Forensic Anthropology: Historical Overview and Current Status,” Journal of Forensic Sciences 56, no. 6 (2011): 1220–23.

[7]                Alessandro Duranti, Linguistic Anthropology (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 2–3.

[8]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–10.

[9]                Brian M. Fagan, Ancient Lives: An Introduction to Archaeology and Prehistory, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 12.

[10]             Colin Renfrew dan Paul Bahn, Archaeology: Theories, Methods and Practice, 7th ed. (London: Thames & Hudson, 2016), 88.

[11]             Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 3.

[12]             Merrill Singer, A Companion to Medical Anthropology (Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 15.


4.           Konsep-Konsep Utama dalam Antropologi

Sebagai ilmu yang mempelajari manusia secara holistik, antropologi menggunakan berbagai konsep dasar untuk memahami keragaman budaya dan dinamika kehidupan sosial. Konsep-konsep ini berfungsi sebagai alat analisis dalam menjelaskan perilaku manusia, sistem kepercayaan, hubungan sosial, dan perubahan budaya yang terjadi di berbagai masyarakat.

4.1.       Budaya

Budaya merupakan konsep sentral dalam antropologi. Edward B. Tylor mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_¹ Definisi ini menekankan bahwa budaya adalah hasil belajar, bukan bawaan biologis.

Budaya bersifat dinamis, artinya dapat berubah, berkembang, dan beradaptasi dengan lingkungan maupun perkembangan zaman.² Dalam kerangka antropologis, budaya terdiri atas unsur-unsur seperti sistem kepercayaan, norma, nilai, bahasa, simbol, dan teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.³

4.2.       Etnosentrisme dan Relativisme Budaya

Dua konsep penting dalam memahami budaya secara objektif adalah etnosentrisme dan relativisme budaya.

·                     Etnosentrisme adalah kecenderungan seseorang untuk menilai budaya lain berdasarkan standar budaya sendiri dan menganggap budayanya sebagai yang paling benar atau unggul.⁴ Sikap ini sering menjadi akar konflik sosial, diskriminasi, dan kolonialisme budaya.

·                     Relativisme budaya merupakan pendekatan yang menekankan bahwa budaya harus dipahami dalam konteksnya sendiri, bukan dengan ukuran budaya lain.⁵ Konsep ini diperkenalkan oleh Franz Boas sebagai reaksi terhadap etnosentrisme Barat dalam menilai masyarakat non-Barat.⁶ Meskipun tidak berarti semua praktik budaya harus diterima begitu saja, pendekatan ini mendorong sikap empatik dan penghargaan terhadap keragaman.

4.3.       Struktur Sosial dan Organisasi Sosial

Struktur sosial mengacu pada pola hubungan yang relatif stabil dan terorganisir antara individu dalam suatu masyarakat, termasuk dalam hal status, peran, dan institusi sosial.⁷ Sementara itu, organisasi sosial adalah wujud konkret dari struktur sosial, seperti keluarga, lembaga adat, sistem kekerabatan, dan asosiasi ekonomi atau keagamaan.

Antropologi menaruh perhatian besar terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial tradisional, seperti sistem klan, moiety, atau totemisme, dan bagaimana struktur-struktur ini mengatur hak waris, perkawinan, hingga pembagian kerja.⁸

4.4.       Sistem Kekerabatan dan Keluarga

Sistem kekerabatan adalah salah satu aspek paling kompleks dalam kajian antropologi karena mencerminkan cara masyarakat mengorganisasi hubungan darah, perkawinan, dan afiliasi sosial.⁹ Dalam beberapa masyarakat, seperti di suku-suku Melanesia dan Afrika, sistem kekerabatan menentukan warisan, tempat tinggal, bahkan aliansi politik.

Antropologi membedakan antara keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family), serta memperhatikan pola keturunan seperti patrilineal, matrilineal, dan bilateral.¹⁰ Kajian kekerabatan juga mencakup sistem sapaan kekerabatan (kinship terminology) yang sangat beragam di seluruh dunia.

4.5.       Mitos, Ritus, dan Simbolisme

Antropologi menempatkan mitos dan ritus sebagai bagian penting dari struktur budaya simbolik. Mitos berfungsi menjelaskan asal-usul dunia, manusia, dan tatanan sosial menurut versi suatu masyarakat, sedangkan ritus adalah praktik simbolik yang berkaitan dengan keyakinan, seperti ritual inisiasi, kematian, atau kesuburan.¹¹

Simbol dalam antropologi dipahami sebagai representasi yang mengandung makna lebih dari sekadar bentuk fisiknya. Clifford Geertz menekankan bahwa budaya adalah sistem simbol, dan tugas antropolog adalah menginterpretasikan makna di balik simbol-simbol tersebut.¹²

4.6.       Perubahan Budaya

Perubahan budaya merupakan proses dinamis yang terjadi akibat berbagai faktor, seperti kontak antarbudaya, perkembangan teknologi, kolonialisme, dan globalisasi. Proses ini dapat berbentuk:

·                     Difusi: penyebaran unsur budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain.

·                     Akulturasi: percampuran dua budaya yang saling memengaruhi, tetapi tetap mempertahankan identitas masing-masing.

·                     Asimilasi: peleburan budaya minoritas ke dalam budaya dominan.

·                     Inovasi: penemuan atau penciptaan baru dalam masyarakat itu sendiri.¹³

Antropologi kontemporer juga membahas bagaimana globalisasi menciptakan fenomena seperti hibriditas budaya, yaitu pembauran unsur lokal dan global dalam praktik budaya modern.¹⁴


Catatan Kaki

[1]                Edward B. Tylor, Primitive Culture, vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.

[2]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 10.

[3]                William A. Haviland et al., Cultural Anthropology: The Human Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 26–27.

[4]                Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 31.

[5]                Thomas Hylland Eriksen, Small Places, Large Issues: An Introduction to Social and Cultural Anthropology, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015), 20.

[6]                Franz Boas, The Mind of Primitive Man, rev. ed. (New York: Macmillan, 1938), 9.

[7]                Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 87.

[8]                Robin Fox, Kinship and Marriage: An Anthropological Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 33–34.

[9]                David M. Schneider, American Kinship: A Cultural Account (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 4.

[10]             Haviland et al., Cultural Anthropology, 251.

[11]             Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Chicago: Aldine Publishing, 1969), 94–96.

[12]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.

[13]             Ember dan Ember, Cultural Anthropology, 355–360.

[14]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 21–22.


5.           Metodologi dalam Penelitian Antropologi

Metodologi dalam antropologi memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari disiplin ilmu sosial lainnya. Fokus utama antropologi adalah memahami makna, praktik, dan struktur kehidupan manusia dari sudut pandang masyarakat yang diteliti. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif, holistik, dan interpretatif menjadi fondasi utama dalam penelitian antropologi.¹

Metode penelitian antropologi menekankan pentingnya keterlibatan langsung peneliti di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek kajian. Keterlibatan ini memungkinkan pemahaman yang mendalam terhadap sistem simbolik, relasi sosial, dan dinamika budaya yang tidak selalu tampak dari luar.

5.1.       Observasi Partisipan

Metode utama dalam antropologi adalah observasi partisipan (participant observation), yakni ketika peneliti hidup dan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang diteliti dalam jangka waktu yang cukup lama.² Metode ini pertama kali dipopulerkan oleh Bronislaw Malinowski dalam penelitiannya di Kepulauan Trobriand pada awal abad ke-20.³ Ia menekankan pentingnya “tinggal bersama mereka, berbicara dalam bahasa mereka, dan ikut dalam kehidupan mereka sehari-hari” sebagai cara untuk memahami makna di balik tindakan sosial.

Observasi partisipan memungkinkan peneliti menyerap kebiasaan, nilai, dan praktik simbolik masyarakat secara alami. Selain sebagai teknik pengumpulan data, metode ini juga membantu membangun kepercayaan antara peneliti dan komunitas lokal.

5.2.       Etnografi sebagai Produk dan Proses

Penelitian antropologi sering kali menghasilkan etnografi, yakni deskripsi menyeluruh dan mendalam tentang kehidupan suatu kelompok masyarakat.⁴ Etnografi bukan hanya produk tulisan, tetapi juga proses metodologis yang mencakup pencatatan observasi, wawancara, refleksi personal, dan interpretasi makna budaya.

Menurut James Clifford, etnografi adalah “teks yang disusun dari posisi dan pengalaman tertentu,” sehingga selalu membawa subjektivitas peneliti.⁵ Oleh sebab itu, dalam antropologi kontemporer, muncul pendekatan refleksivitas yang menuntut peneliti menyadari dan mengakui peran serta pengaruh dirinya dalam proses penelitian.⁶

5.3.       Teknik Wawancara dan Studi Kasus

Selain observasi, antropolog juga menggunakan wawancara mendalam (in-depth interviews), baik secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Wawancara memungkinkan penggalian data tentang persepsi, pengalaman hidup, dan narasi personal dari informan yang tidak dapat diperoleh hanya dari observasi.⁷

Teknik studi kasus sering digunakan untuk menggambarkan dinamika suatu peristiwa, praktik budaya, atau konflik sosial dalam konteks lokal secara rinci. Dengan memusatkan perhatian pada satu unit sosial secara mendalam, antropologi dapat menghasilkan analisis yang detail dan kontekstual.

5.4.       Pendekatan Holistik dan Emik-Etik

Antropologi menekankan pendekatan holistik, yaitu memahami manusia secara menyeluruh dalam relasi antar aspek biologis, sosial, budaya, ekonomi, dan simbolik.⁸ Hal ini dilakukan dengan menggabungkan berbagai teknik dan perspektif dalam satu studi.

Selain itu, antropologi membedakan antara pendekatan emik dan etik:

·                     Pendekatan emik adalah sudut pandang orang dalam, yakni bagaimana masyarakat lokal memahami dan menjelaskan dunianya.

·                     Pendekatan etik adalah sudut pandang orang luar, yaitu kerangka analitis yang digunakan peneliti untuk menafsirkan data secara akademik.⁹

Kedua pendekatan ini saling melengkapi untuk menghasilkan analisis yang lebih objektif dan sensitif terhadap konteks lokal.

5.5.       Etika dalam Penelitian Antropologi

Etika menjadi perhatian utama dalam penelitian antropologi, karena keterlibatan langsung dengan manusia dan komunitas sosial. Peneliti wajib menjaga kerahasiaan informan, memperoleh izin partisipasi (informed consent), dan menghindari eksploitasi terhadap masyarakat yang diteliti.¹⁰

Dalam banyak kasus, peneliti juga dihadapkan pada dilema etis, terutama ketika hasil penelitian menyangkut isu sensitif seperti konflik, diskriminasi, atau pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, refleksi etis dan tanggung jawab sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari metodologi antropologi modern.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 26.

[2]                Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 39–40.

[3]                Bronislaw Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), xvi.

[4]                H. Russell Bernard, Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches, 5th ed. (Lanham: AltaMira Press, 2011), 256–260.

[5]                James Clifford, “Introduction: Partial Truths,” dalam Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography, ed. James Clifford dan George E. Marcus (Berkeley: University of California Press, 1986), 2.

[6]                George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995): 95.

[7]                Nigel Rapport dan Joanna Overing, Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts, 2nd ed. (London: Routledge, 2007), 200.

[8]                Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 15.

[9]                Marvin Harris, Cultural Anthropology, 5th ed. (Boston: Allyn and Bacon, 2007), 31.

[10]             American Anthropological Association, Code of Ethics of the American Anthropological Association (2012), accessed March 30, 2025, https://www.americananthro.org.

[11]             Barbara Tedlock, “From Participant Observation to the Observation of Participation,” Journal of Anthropological Research 47, no. 1 (1991): 69–94.


6.           Relevansi dan Aplikasi Antropologi di Era Kontemporer

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, antropologi menunjukkan peran strategisnya dalam memahami dinamika sosial dan budaya yang terjadi pada tingkat lokal maupun global. Kemampuan antropologi dalam membaca makna di balik praktik sosial, serta pendekatan humanistik yang menekankan pemahaman mendalam terhadap cara hidup masyarakat, membuatnya sangat relevan di era kontemporer.¹

6.1.       Antropologi dan Multikulturalisme

Salah satu kontribusi utama antropologi dalam masyarakat modern adalah dalam memahami dan mengelola keberagaman budaya. Di tengah masyarakat yang semakin plural—baik karena migrasi, globalisasi, maupun perkembangan komunikasi digital—antropologi memberikan perangkat analisis untuk memahami identitas budaya, konflik antarbudaya, serta dinamika integrasi sosial.²

Pendekatan relativisme budaya yang menjadi landasan antropologi sangat penting dalam menumbuhkan sikap toleransi dan empati dalam masyarakat multikultural.³ Kajian tentang etnisitas, nasionalisme, dan pembentukan identitas kelompok—sebagaimana dibahas oleh antropolog seperti Thomas Hylland Eriksen—juga menunjukkan pentingnya antropologi dalam membongkar konstruksi sosial atas perbedaan.⁴

6.2.       Kajian Identitas dan Politik Kebudayaan

Antropologi kontemporer banyak terlibat dalam kajian identitas, baik dalam konteks gender, ras, etnisitas, maupun agama. Identitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses yang terus dinegosiasikan melalui relasi kuasa, wacana, dan praktik sosial.⁵

Antropologi juga berperan dalam politik kebudayaan, yaitu upaya merebut, mendefinisikan, dan mengatur simbol-simbol budaya dalam ruang publik. Dalam konteks ini, antropolog tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga advokat budaya bagi komunitas marjinal yang sering tidak terdengar suaranya dalam kebijakan nasional.⁶

6.3.       Antropologi dan Pembangunan Berkelanjutan

Dalam bidang pembangunan, antropologi berkontribusi besar dalam merancang program-program yang berbasis kearifan lokal dan konteks sosial masyarakat setempat. Pendekatan ini menolak solusi pembangunan yang bersifat top-down dan teknokratik, yang seringkali gagal karena tidak memperhatikan struktur sosial dan budaya lokal.⁷

Antropolog bekerja sama dengan lembaga pembangunan, LSM, dan pemerintah dalam isu-isu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan, lingkungan hidup, dan pengentasan kemiskinan.⁸ Konsep seperti development anthropology atau applied anthropology menunjukkan bagaimana antropologi digunakan secara praktis untuk memberdayakan masyarakat.

6.4.       Antropologi dan Isu-Isu Global

Antropologi saat ini juga sangat aktif dalam membahas isu-isu global, seperti:

·                     Migrasi internasional: memahami pengalaman migran dan dampak sosial-budaya dari diaspora.

·                     Perubahan iklim: mempelajari bagaimana komunitas lokal merespons krisis ekologi.

·                     Teknologi digital: mengkaji budaya digital, media sosial, dan identitas daring.

·                     Kesehatan global: mengevaluasi respons budaya terhadap pandemi, vaksinasi, dan intervensi medis.⁹

Pendekatan antropologi multisitus (multi-sited ethnography) menjadi populer dalam studi-studi globalisasi karena memungkinkan peneliti mengikuti alur barang, manusia, dan ide lintas batas geografis.¹⁰

6.5.       Peran Antropologi dalam Kebijakan Publik

Antropologi semakin sering digunakan dalam perumusan kebijakan publik yang berkeadilan sosial. Banyak antropolog bekerja di luar dunia akademik sebagai konsultan kebijakan, peneliti sosial, atau analis budaya di lembaga pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta.

Dengan perspektif “dari bawah ke atas” (bottom-up), antropologi membantu menyuarakan pengalaman masyarakat akar rumput, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan lokal.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 27.

[2]                Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 14–15.

[3]                Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 32.

[4]                Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015), 2–4.

[5]                Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown, 1969), 10–11.

[6]                James Clifford, “The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature, and Art” (Cambridge: Harvard University Press, 1988), 16.

[7]                Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton: Princeton University Press, 1995), 44.

[8]                Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 5.

[9]                Mark Nichter, “Global Health: Why Cultural Perceptions Matter,” BMJ 324, no. 7347 (2002): 1355–57.

[10]             George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995): 95–117.

[11]             Merrill Singer, A Companion to Medical Anthropology (Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 17.


7.           Tantangan dan Masa Depan Antropologi

Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan struktur sosial global, antropologi menghadapi sejumlah tantangan metodologis, etis, dan konseptual. Namun di sisi lain, kompleksitas dunia kontemporer justru membuka peluang baru bagi antropologi untuk bertransformasi dan memperluas ruang lingkupnya. Dalam konteks ini, refleksi kritis terhadap masa lalu dan inovasi metodologis menjadi kunci untuk menjaga relevansi antropologi di masa depan.

7.1.       Warisan Kolonialisme dan Kritik Poskolonial

Salah satu tantangan utama antropologi adalah warisan historisnya yang terkait erat dengan kolonialisme. Pada masa awal kemunculannya, antropologi kerap berperan sebagai alat kekuasaan kolonial dalam memahami dan mengontrol masyarakat jajahan.¹ Pendekatan seperti etnosentrisme dan evolusionisme budaya telah dikritik sebagai bentuk legitimasi dominasi Barat atas “yang lain.”

Gerakan antropologi poskolonial kemudian muncul untuk mengoreksi bias-bias tersebut. Antropolog kontemporer seperti Talal Asad dan Gayatri Spivak menekankan pentingnya mendekolonisasi metode dan narasi antropologis, serta memberi ruang bagi suara masyarakat lokal dalam produksi pengetahuan.² Pendekatan ini mendorong peneliti untuk lebih reflektif terhadap posisi mereka sebagai “orang luar” dan memperhatikan ketimpangan relasi kuasa dalam proses penelitian.³

7.2.       Tantangan Etika dan Representasi

Masalah etika penelitian tetap menjadi tantangan serius dalam antropologi, terutama terkait dengan representasi budaya dan perlindungan terhadap informan. Keterlibatan antropolog dalam isu-isu sensitif seperti konflik, kesehatan, atau migrasi memunculkan dilema antara kepentingan akademik dan tanggung jawab sosial.⁴

Kritik terhadap representasi tunggal dan simplifikasi budaya juga semakin kuat. Dalam konteks ini, pendekatan refleksivitas, yakni kesadaran akan subjektivitas dan posisi peneliti dalam produksi pengetahuan, menjadi prinsip penting dalam etnografi modern.⁵

7.3.       Dinamika Global dan Krisis Identitas

Globalisasi menghadirkan perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat dan kompleks. Masyarakat kini hidup dalam dunia yang penuh dengan mobilitas tinggi, hibriditas budaya, dan identitas yang cair. Antropologi harus menyesuaikan pendekatannya untuk memahami fenomena baru ini, termasuk pergeseran dari komunitas lokal yang homogen ke masyarakat global yang heterogen dan terus berubah.⁶

Fenomena seperti migrasi global, diaspora, media digital, dan ekonomi transnasional menuntut penggunaan metodologi baru seperti etnografi multisitus, etnografi virtual, atau pendekatan interdisipliner.⁷

7.4.       Inovasi Metodologis dan Teknologi Digital

Perkembangan teknologi informasi membuka ruang baru bagi antropologi untuk berekspansi ke dalam ranah digital. Munculnya antropologi digital dan antropologi visual memungkinkan studi tentang kehidupan daring, budaya internet, serta interaksi sosial di platform digital.⁸

Metode seperti netnografi (etnografi internet), analisis media sosial, dan penggunaan perangkat lunak analisis kualitatif memperluas jangkauan penelitian antropologis ke ruang-ruang yang sebelumnya tidak terjamah. Hal ini menunjukkan bahwa antropologi dapat beradaptasi secara dinamis terhadap transformasi zaman.⁹

7.5.       Masa Depan Antropologi: Interdisipliner dan Keterlibatan Sosial

Masa depan antropologi terletak pada kemampuannya untuk berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, ilmu politik, teknologi, ilmu lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Pendekatan interdisipliner memungkinkan antropologi menyumbangkan wawasan kualitatif dan kontekstual yang sangat dibutuhkan dalam analisis kebijakan dan pengembangan masyarakat.¹⁰

Selain itu, semakin banyak antropolog yang terlibat dalam aktivisme sosial, pengabdian masyarakat, dan perumusan kebijakan publik. Hal ini menandai pergeseran dari antropologi yang bersifat “mengamati dari luar” menjadi antropologi yang terlibat secara langsung dalam perubahan sosial.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Henrika Kuklick, The Savage Within: The Social History of British Anthropology, 1885–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 4–6.

[2]                Talal Asad, Anthropology and the Colonial Encounter (London: Ithaca Press, 1973), 15–17.

[3]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[4]                Barbara Tedlock, “From Participant Observation to the Observation of Participation,” Journal of Anthropological Research 47, no. 1 (1991): 71–72.

[5]                James Clifford dan George E. Marcus, eds., Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California Press, 1986), 2–3.

[6]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 48–49.

[7]                George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995): 96–97.

[8]                Heather A. Horst dan Daniel Miller, Digital Anthropology (London: Bloomsbury Academic, 2012), 3–5.

[9]                Robert Kozinets, Netnography: Doing Ethnographic Research Online, 2nd ed. (London: Sage, 2015), 1–2.

[10]             Merrill Singer dan Pamela I. Erickson, eds., A Companion to Medical Anthropology (Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 19.

[11]             Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 7.


8.           Penutup

Antropologi, sebagai ilmu yang mempelajari manusia secara menyeluruh dalam kerangka budaya, sosial, biologis, dan historisnya, telah menunjukkan peran vitalnya dalam memahami kompleksitas kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Keunikan antropologi terletak pada pendekatan holistik dan interpretatifnya yang mampu menggali makna di balik praktik sosial dan simbol budaya yang sering kali luput dari pengamatan ilmu sosial lainnya.¹

Sepanjang sejarahnya, antropologi telah mengalami transformasi signifikan—dari studi masyarakat “primitif” pada era kolonial, menuju kajian kritis terhadap identitas, kekuasaan, dan globalisasi dalam dunia kontemporer.² Refleksi terhadap akar kolonialisme dan adopsi pendekatan poskolonial menandai kesadaran antropologi modern akan pentingnya keadilan epistemik dan suara masyarakat lokal dalam produksi pengetahuan.³

Di tengah arus globalisasi, migrasi, konflik identitas, serta disrupsi teknologi digital, antropologi tetap relevan sebagai alat pemahaman dan navigasi terhadap dunia yang terus berubah. Pendekatan seperti etnografi multisitus, antropologi digital, dan keterlibatan interdisipliner membuktikan bahwa antropologi mampu beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan dinamika zaman.⁴

Selain sebagai disiplin akademik, antropologi juga memiliki dimensi praktis yang kuat dalam menjawab tantangan dunia nyata. Dalam pembangunan, kesehatan masyarakat, pendidikan, advokasi hak minoritas, hingga perumusan kebijakan publik, antropologi telah membuktikan kemampuannya untuk menjembatani antara ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.⁵ Dengan memberi tempat bagi narasi-narasi dari bawah dan membongkar struktur makna yang tersembunyi, antropologi hadir sebagai kekuatan intelektual dan moral dalam memperjuangkan keberagaman, keadilan, dan kemanusiaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, tugas antropologi bukan sekadar menjelaskan apa yang orang lakukan, tetapi “menafsirkan makna dari apa yang mereka lakukan.”_⁶ Oleh karena itu, studi antropologi bukan hanya memperluas pengetahuan kita tentang budaya lain, tetapi juga memperdalam pemahaman kita tentang diri kita sendiri sebagai bagian dari umat manusia yang beragam namun terhubung oleh nilai-nilai kemanusiaan universal.


Catatan Kaki

[1]                Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 6.

[2]                Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 12–13.

[3]                Talal Asad, Anthropology and the Colonial Encounter (London: Ithaca Press, 1973), 16.

[4]                George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995): 95–117.

[5]                Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 4–5.

[6]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Asad, T. (1973). Anthropology and the colonial encounter. Ithaca Press.

Barth, F. (1969). Ethnic groups and boundaries: The social organization of culture difference. Little, Brown.

Bernard, H. R. (2011). Research methods in anthropology: Qualitative and quantitative approaches (5th ed.). AltaMira Press.

Clifford, J. (1988). The predicament of culture: Twentieth-century ethnography, literature, and art. Harvard University Press.

Clifford, J., & Marcus, G. E. (Eds.). (1986). Writing culture: The poetics and politics of ethnography. University of California Press.

Duranti, A. (1997). Linguistic anthropology. Cambridge University Press.

Eller, J. D. (2016). Cultural anthropology: Global forces, local lives (4th ed.). Routledge.

Ember, C. R., & Ember, M. (2015). Cultural anthropology (15th ed.). Pearson.

Escobar, A. (1995). Encountering development: The making and unmaking of the Third World. Princeton University Press.

Eriksen, T. H. (2015). Ethnicity and nationalism: Anthropological perspectives (4th ed.). Pluto Press.

Eriksen, T. H. (2015). Small places, large issues: An introduction to social and cultural anthropology (4th ed.). Pluto Press.

Fagan, B. M. (2016). Ancient lives: An introduction to archaeology and prehistory (6th ed.). Routledge.

Fox, R. (1967). Kinship and marriage: An anthropological perspective. Cambridge University Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. Basic Books.

Harris, M. (2007). Cultural anthropology (5th ed.). Allyn and Bacon.

Haviland, W. A., Prins, H. E. L., Walrath, D., & McBride, B. (2013). Cultural anthropology: The human challenge (14th ed.). Cengage Learning.

Horst, H. A., & Miller, D. (2012). Digital anthropology. Bloomsbury Academic.

Johnston, B. R. (Ed.). (2004). Anthropology and public policy: Bridging the gap. Berghahn Books.

Jurmain, R., Kilgore, L., Trevathan, W., & Ciochon, R. L. (2016). Introduction to physical anthropology (15th ed.). Cengage Learning.

Kottak, C. P. (2017). Anthropology: Appreciating human diversity (17th ed.). McGraw-Hill Education.

Kozinets, R. V. (2015). Netnography: Doing ethnographic research online (2nd ed.). Sage Publications.

Kuklick, H. (1991). The savage within: The social history of British anthropology, 1885–1945. Cambridge University Press.

Malinowski, B. (1922). Argonauts of the Western Pacific. Routledge & Kegan Paul.

Marcus, G. E. (1995). Ethnography in/of the world system: The emergence of multi-sited ethnography. Annual Review of Anthropology, 24, 95–117. https://doi.org/10.1146/annurev.an.24.100195.000523

Nichter, M. (2002). Global health: Why cultural perceptions matter. BMJ, 324(7347), 1355–1357. https://doi.org/10.1136/bmj.324.7347.1355

Rapport, N., & Overing, J. (2007). Social and cultural anthropology: The key concepts (2nd ed.). Routledge.

Renfrew, C., & Bahn, P. (2016). Archaeology: Theories, methods and practice (7th ed.). Thames & Hudson.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace.

Schneider, D. M. (1980). American kinship: A cultural account. University of Chicago Press.

Singer, M. (2016). A companion to medical anthropology. Wiley-Blackwell.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Tedlock, B. (1991). From participant observation to the observation of participation. Journal of Anthropological Research, 47(1), 69–94.

Tylor, E. B. (1871). Primitive culture (Vol. 1). John Murray.

Turner, V. (1969). The ritual process: Structure and anti-structure. Aldine Publishing.

Ubelaker, D. H. (2011). Forensic anthropology: Historical overview and current status. Journal of Forensic Sciences, 56(6), 1220–1223. https://doi.org/10.1111/j.1556-4029.2011.01868.x


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar