Antropologi
Kajian Menyeluruh tentang Manusia dan Budayanya
Abstrak
Artikel ini mengulas secara komprehensif tentang
antropologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia secara holistik
dalam konteks budaya, sosial, biologis, dan historis. Pembahasan dimulai dengan
pengantar konseptual mengenai definisi dan urgensi antropologi, dilanjutkan
dengan tinjauan historis perkembangan ilmu ini dari era kolonial hingga masa
kontemporer. Artikel ini juga membahas lima cabang utama antropologi—budaya,
fisik, linguistik, arkeologi, dan terapan—serta konsep-konsep kunci seperti
budaya, etnosentrisme, relativisme budaya, sistem kekerabatan, dan perubahan
budaya. Di samping itu, dikaji pula metodologi khas antropologi seperti
observasi partisipan dan etnografi, serta tantangan etis yang dihadapi. Pada
bagian akhir, artikel menyoroti relevansi antropologi dalam menghadapi isu-isu
kontemporer seperti multikulturalisme, globalisasi, dan kebijakan publik, serta
merefleksikan tantangan masa depan antropologi dalam era digital dan global.
Melalui pendekatan reflektif dan berbasis literatur ilmiah, artikel ini
menunjukkan bahwa antropologi bukan sekadar studi tentang “yang lain”,
melainkan alat penting untuk memahami kemanusiaan secara utuh.
Kata Kunci: Antropologi,
budaya, etnografi, multikulturalisme, relativisme budaya, globalisasi,
metodologi kualitatif, antropologi terapan, identitas sosial, refleksivitas.
PEMBAHASAN
Kajian Antropologi Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial
yang secara khusus mengkaji manusia secara holistik, mencakup aspek biologis,
sosial, budaya, hingga sejarah evolusinya. Kata antropologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu anthropos (manusia) dan logos (ilmu atau
wacana), sehingga secara harfiah berarti "ilmu tentang manusia."
Antropologi mencoba memahami manusia tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi
juga dari cara hidup, nilai, tradisi, dan sistem sosial yang dikembangkannya
dalam berbagai konteks ruang dan waktu.¹
Dalam konteks akademik modern, antropologi tidak
hanya berfokus pada masyarakat primitif seperti anggapan awalnya, tetapi juga
pada masyarakat modern dan kompleks. Pendekatan lintas budaya (cross-cultural)
yang digunakan memungkinkan ilmuwan sosial memahami keragaman bentuk kehidupan
manusia dan sekaligus menemukan prinsip-prinsip universal yang mendasari
budaya.² Clifford Geertz, seorang antropolog budaya terkemuka, menyatakan bahwa
antropologi adalah “ilmu interpretatif yang mencoba membaca makna di balik
simbol dan praktik budaya.”_³ Dengan demikian, antropologi berperan penting
dalam membongkar makna-makna tersembunyi dalam praktik sosial yang tampak
sederhana di permukaan.
Urgensi mempelajari antropologi menjadi semakin
tinggi dalam era globalisasi dan multikulturalisme. Di tengah meningkatnya
interaksi antarbangsa, konflik identitas, serta tantangan keberagaman budaya,
pemahaman antropologis menjadi alat penting untuk menumbuhkan sikap toleran,
empatik, dan humanis.⁴ Melalui studi antropologi, kita diajak untuk melihat
dunia dari perspektif orang lain—melatih apa yang disebut sebagai cultural
relativism—dan mengurangi kecenderungan ethnocentrism, yakni menilai
budaya lain berdasarkan ukuran budaya sendiri.⁵
Sebagai ilmu yang menekankan pada observasi
partisipatif dan pengalaman langsung di lapangan, antropologi memiliki keunikan
metodologis dibandingkan ilmu sosial lainnya seperti sosiologi atau ilmu
politik. Sosiologi umumnya mempelajari masyarakat dengan metode statistik dan
skala besar, sedangkan antropologi lebih fokus pada studi mendalam terhadap
kelompok kecil dengan pendekatan etnografis.⁶ Oleh karena itu, antropologi
memberikan pemahaman yang mendalam (thick description) tentang kehidupan
manusia yang mungkin tidak tertangkap oleh pendekatan kuantitatif semata.
Dengan cakupannya yang luas dan kedalamannya yang
khas, antropologi menjadi jembatan penting antara ilmu alam dan ilmu sosial.
Ilmu ini tidak hanya menjelaskan "bagaimana" manusia hidup,
tetapi juga "mengapa" mereka hidup dengan cara tertentu.
Pembahasan dalam artikel ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai
perkembangan antropologi, cabang-cabangnya, konsep-konsep penting, serta
relevansinya dalam kehidupan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 3.
[2]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural
Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 5.
[3]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.
[4]
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and
Nationalism: Anthropological Perspectives, 4th ed. (London: Pluto Press,
2015), 2–3.
[5]
William A. Haviland et al., Cultural
Anthropology: The Human Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning,
2013), 28.
[6]
Conrad Phillip Kottak, Anthropology:
Appreciating Human Diversity, 17th ed. (New York: McGraw-Hill Education,
2017), 7.
2.
Sejarah
dan Perkembangan Antropologi
2.1.
Akar Historis Antropologi
Antropologi sebagai
disiplin ilmu lahir dari perpaduan antara rasa ingin tahu manusia terhadap
perbedaan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa pencerahan di
Eropa. Namun, kecenderungan untuk mengamati dan mencatat kehidupan budaya lain
sesungguhnya telah ada sejak masa kuno. Herodotus dari Yunani Kuno, misalnya,
sering dianggap sebagai “bapak sejarah” sekaligus pelopor dalam mencatat
kehidupan berbagai bangsa yang ditemuinya.¹
Kemunculan antropologi
modern berkaitan erat dengan ekspansi kolonialisme Eropa pada abad ke-19.
Ketika bangsa Eropa menjelajahi dan menguasai wilayah-wilayah di Asia, Afrika,
dan Amerika, mereka berhadapan dengan masyarakat yang sistem sosial dan
budayanya sangat berbeda. Kebutuhan untuk memahami “yang lain” inilah
yang menjadi pemicu awal studi antropologis, meski pada masa itu masih sangat
bias eurocentris.²
2.2.
Periode Klasik: Antropologi
Evolusionis
Antropologi sebagai
ilmu formal mulai berkembang pada akhir abad ke-19 dengan pendekatan evolusionisme
budaya, yang terinspirasi oleh teori evolusi Darwin. Tokoh
utama dalam pendekatan ini adalah Edward Burnett Tylor dan Lewis
Henry Morgan. Tylor mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_³
Mereka meyakini
bahwa semua masyarakat manusia berkembang melalui tahap-tahap evolusi yang
linier: dari bentuk “primitif” menuju “beradab.”_⁴ Meskipun
pandangan ini kini dianggap problematik karena bersifat etnosentris dan
merendahkan budaya non-Barat, pendekatan ini memberi kontribusi awal dalam
mengklasifikasikan keragaman budaya.
2.3.
Kritik dan Lahirnya
Antropologi Relativistik
Kritik terhadap
pendekatan evolusionisme mulai muncul di awal abad ke-20, terutama dari Franz
Boas, seorang antropolog Jerman-Amerika yang dikenal sebagai “bapak
antropologi Amerika.” Boas menolak ide bahwa budaya berkembang secara
linier dan universal. Ia menekankan pentingnya kerja lapangan, observasi
langsung, dan prinsip relativisme budaya—yakni bahwa
setiap budaya harus dipahami berdasarkan kerangka nilai dan logikanya sendiri.⁵
Pendekatan Boas ini
kemudian menginspirasi lahirnya metode etnografi, yakni deskripsi
mendalam tentang suatu masyarakat berdasarkan pengalaman langsung peneliti.
Salah satu penerapannya yang terkenal adalah karya Bronislaw
Malinowski, seorang antropolog Inggris-Polandia, yang melakukan
penelitian di Kepulauan Trobriand. Ia menetapkan standar baru dalam metode
observasi partisipan.⁶
2.4.
Perkembangan Antropologi
Strukturalis dan Simbolik
Pertengahan abad
ke-20 ditandai oleh munculnya pendekatan strukturalis yang dipelopori
oleh Claude
Lévi-Strauss. Ia melihat bahwa pola pikir manusia di berbagai
budaya memiliki struktur dasar yang sama, misalnya dalam bentuk oposisi biner
seperti “baik–buruk,” “mentah–matang,” dan lain-lain.⁷
Pada dekade-dekade
berikutnya, muncul pendekatan antropologi simbolik dan interpretatif,
terutama dikembangkan oleh Clifford Geertz. Dalam
pandangannya, budaya adalah sistem simbol yang harus diinterpretasi. Ia
memperkenalkan metode thick description untuk memahami
makna yang tersembunyi di balik praktik sosial sehari-hari.⁸
2.5.
Antropologi Kontemporer dan
Postmodernisme
Dalam konteks
kontemporer, antropologi telah berkembang ke berbagai arah baru, seperti antropologi
politik, antropologi ekonomi, dan antropologi
visual. Selain itu, pendekatan postmodern juga mempengaruhi
cara pandang antropolog modern, dengan menekankan pentingnya refleksivitas,
peran peneliti, dan kritik terhadap narasi tunggal tentang budaya.⁹
Antropologi kini
tidak hanya mempelajari masyarakat “asing” atau “tradisional,”
tetapi juga memeriksa dinamika global seperti migrasi, urbanisasi, teknologi
digital, hingga isu-isu lingkungan dan keberlanjutan.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives,
4th ed. (New York: Routledge, 2016), 8.
[2]
Henrika Kuklick, “The Savage Within: The Social History of British
Anthropology, 1885–1945,” Cambridge University Press (1991), 3–5.
[3]
Edward B. Tylor, Primitive Culture, vol. 1 (London: John
Murray, 1871), 1.
[4]
Lewis H. Morgan, Ancient Society (New York: Henry Holt and
Company, 1877), 3.
[5]
Franz Boas, The Mind of Primitive Man, rev. ed. (New York:
Macmillan, 1938), 9–10.
[6]
Bronislaw Malinowski, Argonauts of the Western Pacific
(London: Routledge & Kegan Paul, 1922), xv–xvi.
[7]
Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 3–4.
[8]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays
(New York: Basic Books, 1973), 6.
[9]
James Clifford dan George E. Marcus, eds., Writing Culture: The
Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California
Press, 1986), 2–3.
[10]
Thomas Hylland Eriksen, Small Places, Large Issues: An Introduction
to Social and Cultural Anthropology, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015),
21–22.
3.
Cabang-Cabang
Antropologi
Antropologi sebagai
ilmu yang luas dan multidisipliner memiliki berbagai cabang kajian yang
berfokus pada aspek-aspek berbeda dari kehidupan manusia. Secara umum, cabang
utama antropologi terbagi menjadi empat, yang dikenal sebagai empat
pilar antropologi klasik: antropologi budaya, antropologi
fisik/biologis, antropologi linguistik, dan antropologi arkeologi.¹ Dalam
perkembangan kontemporer, muncul pula antropologi terapan sebagai
bentuk aplikatif dari semua cabang tersebut.
3.1.
Antropologi Budaya
Antropologi budaya
merupakan cabang yang paling dikenal dan paling banyak dikembangkan, khususnya
dalam konteks antropologi di Indonesia. Fokus utamanya adalah pada studi
tentang budaya sebagai sistem nilai, praktik sosial,
simbol, dan makna yang membentuk kehidupan manusia dalam masyarakat tertentu.²
Tokoh penting dalam
cabang ini adalah Clifford Geertz, yang
memperkenalkan pendekatan interpretatif dalam memahami budaya sebagai sistem
makna. Menurut Geertz, budaya tidak bisa dipahami hanya dari struktur
sosialnya, tetapi harus ditafsirkan secara mendalam (thick
description) melalui simbol dan praktik lokal.³
Antropologi budaya
juga mencakup studi tentang sistem ekonomi, organisasi sosial, agama, ritual,
kekerabatan, gender, hingga perubahan budaya akibat modernisasi dan
globalisasi.⁴
3.2.
Antropologi Fisik
(Biologis)
Antropologi fisik
atau biologis mempelajari aspek biologis manusia, termasuk evolusi, variasi
genetika, adaptasi lingkungan, dan hubungan manusia dengan spesies primata
lainnya. Salah satu tujuan utamanya adalah memahami evolusi
Homo sapiens dan proses biologis yang membentuk keberagaman ras dan ciri fisik
manusia di berbagai belahan dunia.⁵
Cabang ini sering
bersinggungan dengan paleoantropologi (studi fosil manusia purba), primatologi,
dan bioarkeologi. Penelitian dalam bidang ini juga berguna dalam forensik dan
kesehatan masyarakat.⁶
3.3.
Antropologi Linguistik
Antropologi
linguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan budaya, serta peran
bahasa dalam membentuk identitas, makna sosial, dan dinamika kekuasaan dalam
masyarakat. Antropolog linguistik tidak hanya meneliti struktur bahasa, tetapi
juga bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial tertentu.⁷
Pendekatan ini
penting dalam memahami bagaimana bahasa mencerminkan pola pikir budaya,
serta bagaimana bahasa dapat mempengaruhi cara manusia memandang dunia
(relativisme linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf).⁸
Antropologi
linguistik juga menjadi alat penting dalam pelestarian bahasa-bahasa lokal yang
terancam punah akibat dominasi bahasa global.
3.4.
Antropologi Arkeologi
Antropologi
arkeologi bertugas menelusuri masa lalu umat manusia melalui
peninggalan material seperti artefak, bangunan, perkakas, serta
sisa-sisa biologis dan ekologis. Berbeda dengan sejarah tertulis, arkeologi
berusaha merekonstruksi kehidupan manusia prasejarah dari bukti-bukti fisik
yang tertinggal.⁹
Cabang ini memainkan
peran besar dalam mengungkap sejarah peradaban kuno dan membantu menjelaskan
pola perubahan budaya dari masa ke masa. Arkeologi modern juga menggunakan
teknologi seperti GIS (Geographic Information Systems), pencitraan satelit, dan
datasi karbon untuk menunjang akurasi analisis.¹⁰
3.5.
Antropologi Terapan
Antropologi terapan
adalah cabang praktis yang menggunakan konsep dan metode antropologi untuk
menyelesaikan masalah nyata dalam bidang kesehatan, pendidikan,
pembangunan, ekonomi, dan kebijakan publik.¹¹
Antropolog terapan
sering terlibat dalam proyek pembangunan masyarakat, mitigasi bencana, konflik
sosial, hingga advokasi untuk komunitas adat. Salah satu pendekatan utama dalam
antropologi terapan adalah partisipasi langsung bersama masyarakat,
bukan sekadar observasi akademik.¹²
Catatan Kaki
[1]
Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity,
17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 5.
[2]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th
ed. (Boston: Pearson, 2015), 8–9.
[3]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays
(New York: Basic Books, 1973), 6.
[4]
William A. Haviland et al., Cultural Anthropology: The Human
Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 25.
[5]
Robert Jurmain et al., Introduction to Physical Anthropology,
15th ed. (Boston: Cengage, 2016), 10.
[6]
Douglas H. Ubelaker, “Forensic Anthropology: Historical Overview and
Current Status,” Journal of Forensic Sciences 56, no. 6 (2011):
1220–23.
[7]
Alessandro Duranti, Linguistic Anthropology (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 2–3.
[8]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–10.
[9]
Brian M. Fagan, Ancient Lives: An Introduction to Archaeology and
Prehistory, 6th ed. (New York: Routledge, 2016), 12.
[10]
Colin Renfrew dan Paul Bahn, Archaeology: Theories, Methods and
Practice, 7th ed. (London: Thames & Hudson, 2016), 88.
[11]
Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging
the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 3.
[12]
Merrill Singer, A Companion to Medical Anthropology
(Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 15.
4.
Konsep-Konsep
Utama dalam Antropologi
Sebagai ilmu yang
mempelajari manusia secara holistik, antropologi menggunakan berbagai konsep
dasar untuk memahami keragaman budaya dan dinamika kehidupan sosial.
Konsep-konsep ini berfungsi sebagai alat analisis dalam menjelaskan perilaku
manusia, sistem kepercayaan, hubungan sosial, dan perubahan budaya yang terjadi
di berbagai masyarakat.
4.1.
Budaya
Budaya merupakan
konsep sentral dalam antropologi. Edward B. Tylor mendefinisikan budaya sebagai
“keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral,
adat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_¹
Definisi ini menekankan bahwa budaya adalah hasil belajar, bukan bawaan
biologis.
Budaya bersifat dinamis,
artinya dapat berubah, berkembang, dan beradaptasi dengan lingkungan maupun
perkembangan zaman.² Dalam kerangka antropologis, budaya terdiri atas
unsur-unsur seperti sistem kepercayaan, norma, nilai, bahasa, simbol, dan
teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.³
4.2.
Etnosentrisme dan
Relativisme Budaya
Dua konsep penting
dalam memahami budaya secara objektif adalah etnosentrisme dan relativisme
budaya.
·
Etnosentrisme
adalah kecenderungan seseorang untuk menilai budaya lain berdasarkan standar
budaya sendiri dan menganggap budayanya sebagai yang paling benar atau unggul.⁴
Sikap ini sering menjadi akar konflik sosial, diskriminasi, dan kolonialisme
budaya.
·
Relativisme budaya
merupakan pendekatan yang menekankan bahwa budaya harus dipahami dalam
konteksnya sendiri, bukan dengan ukuran budaya lain.⁵ Konsep ini diperkenalkan
oleh Franz Boas sebagai reaksi terhadap etnosentrisme Barat dalam menilai
masyarakat non-Barat.⁶ Meskipun tidak berarti semua praktik budaya harus
diterima begitu saja, pendekatan ini mendorong sikap empatik dan penghargaan
terhadap keragaman.
4.3.
Struktur Sosial dan
Organisasi Sosial
Struktur sosial
mengacu pada pola hubungan yang relatif stabil dan
terorganisir antara individu dalam suatu masyarakat, termasuk
dalam hal status, peran, dan institusi sosial.⁷ Sementara itu, organisasi
sosial adalah wujud konkret dari struktur sosial, seperti
keluarga, lembaga adat, sistem kekerabatan, dan asosiasi ekonomi atau
keagamaan.
Antropologi menaruh
perhatian besar terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial tradisional, seperti
sistem klan, moiety, atau totemisme, dan bagaimana struktur-struktur ini
mengatur hak waris, perkawinan, hingga pembagian kerja.⁸
4.4.
Sistem Kekerabatan dan
Keluarga
Sistem kekerabatan
adalah salah satu aspek paling kompleks dalam kajian antropologi karena
mencerminkan cara masyarakat mengorganisasi hubungan darah, perkawinan, dan
afiliasi sosial.⁹ Dalam beberapa masyarakat, seperti di suku-suku Melanesia dan
Afrika, sistem kekerabatan menentukan warisan, tempat tinggal, bahkan aliansi
politik.
Antropologi
membedakan antara keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended
family), serta memperhatikan pola keturunan seperti patrilineal,
matrilineal,
dan bilateral.¹⁰
Kajian kekerabatan juga mencakup sistem sapaan kekerabatan (kinship
terminology) yang sangat beragam di seluruh dunia.
4.5.
Mitos, Ritus, dan
Simbolisme
Antropologi
menempatkan mitos dan ritus sebagai bagian
penting dari struktur budaya simbolik. Mitos berfungsi menjelaskan asal-usul
dunia, manusia, dan tatanan sosial menurut versi suatu masyarakat, sedangkan
ritus adalah praktik simbolik yang berkaitan dengan keyakinan, seperti ritual
inisiasi, kematian, atau kesuburan.¹¹
Simbol dalam
antropologi dipahami sebagai representasi yang mengandung makna lebih dari
sekadar bentuk fisiknya. Clifford Geertz menekankan bahwa budaya adalah
sistem simbol, dan tugas antropolog adalah menginterpretasikan
makna di balik simbol-simbol tersebut.¹²
4.6.
Perubahan Budaya
Perubahan budaya
merupakan proses dinamis yang terjadi akibat berbagai faktor, seperti kontak
antarbudaya, perkembangan teknologi, kolonialisme, dan globalisasi. Proses ini
dapat berbentuk:
·
Difusi:
penyebaran unsur budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
·
Akulturasi:
percampuran dua budaya yang saling memengaruhi, tetapi tetap mempertahankan
identitas masing-masing.
·
Asimilasi:
peleburan budaya minoritas ke dalam budaya dominan.
·
Inovasi:
penemuan atau penciptaan baru dalam masyarakat itu sendiri.¹³
Antropologi
kontemporer juga membahas bagaimana globalisasi menciptakan fenomena seperti hibriditas
budaya, yaitu pembauran unsur lokal dan global dalam praktik
budaya modern.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Edward B. Tylor, Primitive Culture, vol. 1 (London: John
Murray, 1871), 1.
[2]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th
ed. (Boston: Pearson, 2015), 10.
[3]
William A. Haviland et al., Cultural Anthropology: The Human
Challenge, 14th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 26–27.
[4]
Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity,
17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 31.
[5]
Thomas Hylland Eriksen, Small Places, Large Issues: An Introduction
to Social and Cultural Anthropology, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015),
20.
[6]
Franz Boas, The Mind of Primitive Man, rev. ed. (New York:
Macmillan, 1938), 9.
[7]
Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives,
4th ed. (New York: Routledge, 2016), 87.
[8]
Robin Fox, Kinship and Marriage: An Anthropological Perspective
(Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 33–34.
[9]
David M. Schneider, American Kinship: A Cultural Account
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 4.
[10]
Haviland et al., Cultural Anthropology, 251.
[11]
Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure
(Chicago: Aldine Publishing, 1969), 94–96.
[12]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[13]
Ember dan Ember, Cultural Anthropology, 355–360.
[14]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 21–22.
5.
Metodologi
dalam Penelitian Antropologi
Metodologi dalam
antropologi memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari disiplin ilmu
sosial lainnya. Fokus utama antropologi adalah memahami makna, praktik, dan
struktur kehidupan manusia dari sudut pandang masyarakat yang diteliti. Oleh
karena itu, pendekatan kualitatif, holistik,
dan interpretatif
menjadi fondasi utama dalam penelitian antropologi.¹
Metode penelitian antropologi
menekankan pentingnya keterlibatan langsung peneliti di tengah-tengah
masyarakat yang menjadi objek kajian. Keterlibatan ini memungkinkan pemahaman
yang mendalam terhadap sistem simbolik, relasi sosial, dan dinamika budaya yang
tidak selalu tampak dari luar.
5.1.
Observasi Partisipan
Metode utama dalam
antropologi adalah observasi partisipan (participant observation),
yakni ketika peneliti hidup dan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang
diteliti dalam jangka waktu yang cukup lama.² Metode ini pertama kali
dipopulerkan oleh Bronislaw Malinowski dalam
penelitiannya di Kepulauan Trobriand pada awal abad ke-20.³ Ia menekankan
pentingnya “tinggal bersama mereka, berbicara dalam bahasa mereka, dan ikut
dalam kehidupan mereka sehari-hari” sebagai cara untuk memahami makna di balik
tindakan sosial.
Observasi partisipan
memungkinkan peneliti menyerap kebiasaan, nilai, dan praktik simbolik
masyarakat secara alami. Selain sebagai teknik pengumpulan data, metode ini juga
membantu membangun kepercayaan antara peneliti dan
komunitas lokal.
5.2.
Etnografi sebagai Produk
dan Proses
Penelitian
antropologi sering kali menghasilkan etnografi, yakni deskripsi
menyeluruh dan mendalam tentang kehidupan suatu kelompok masyarakat.⁴ Etnografi
bukan hanya produk tulisan, tetapi juga proses metodologis yang
mencakup pencatatan observasi, wawancara, refleksi personal, dan interpretasi
makna budaya.
Menurut James
Clifford, etnografi adalah “teks yang disusun dari posisi
dan pengalaman tertentu,” sehingga selalu membawa subjektivitas peneliti.⁵
Oleh sebab itu, dalam antropologi kontemporer, muncul pendekatan refleksivitas
yang menuntut peneliti menyadari dan mengakui peran serta pengaruh dirinya
dalam proses penelitian.⁶
5.3.
Teknik Wawancara dan Studi
Kasus
Selain observasi,
antropolog juga menggunakan wawancara mendalam (in-depth interviews), baik
secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Wawancara memungkinkan penggalian
data tentang persepsi, pengalaman hidup, dan narasi personal dari informan yang
tidak dapat diperoleh hanya dari observasi.⁷
Teknik studi
kasus sering digunakan untuk menggambarkan dinamika suatu
peristiwa, praktik budaya, atau konflik sosial dalam konteks lokal secara
rinci. Dengan memusatkan perhatian pada satu unit sosial secara mendalam,
antropologi dapat menghasilkan analisis yang detail dan kontekstual.
5.4.
Pendekatan Holistik dan
Emik-Etik
Antropologi
menekankan pendekatan holistik, yaitu memahami
manusia secara menyeluruh dalam relasi antar aspek biologis, sosial, budaya,
ekonomi, dan simbolik.⁸ Hal ini dilakukan dengan menggabungkan berbagai teknik
dan perspektif dalam satu studi.
Selain itu,
antropologi membedakan antara pendekatan emik dan etik:
·
Pendekatan emik
adalah sudut pandang orang dalam, yakni bagaimana masyarakat
lokal memahami dan menjelaskan dunianya.
·
Pendekatan etik
adalah sudut pandang orang luar, yaitu kerangka analitis yang
digunakan peneliti untuk menafsirkan data secara akademik.⁹
Kedua pendekatan ini
saling melengkapi untuk menghasilkan analisis yang lebih objektif dan sensitif
terhadap konteks lokal.
5.5.
Etika dalam Penelitian
Antropologi
Etika menjadi
perhatian utama dalam penelitian antropologi, karena keterlibatan langsung
dengan manusia dan komunitas sosial. Peneliti wajib menjaga kerahasiaan
informan, memperoleh izin partisipasi (informed consent),
dan menghindari eksploitasi terhadap masyarakat yang diteliti.¹⁰
Dalam banyak kasus,
peneliti juga dihadapkan pada dilema etis, terutama ketika hasil penelitian
menyangkut isu sensitif seperti konflik, diskriminasi, atau pelanggaran hak
asasi manusia. Karena itu, refleksi etis dan tanggung jawab sosial menjadi
bagian tak terpisahkan dari metodologi antropologi modern.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th
ed. (Boston: Pearson, 2015), 26.
[2]
Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity,
17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 39–40.
[3]
Bronislaw Malinowski, Argonauts of the Western Pacific
(London: Routledge & Kegan Paul, 1922), xvi.
[4]
H. Russell Bernard, Research Methods in Anthropology: Qualitative
and Quantitative Approaches, 5th ed. (Lanham: AltaMira Press, 2011),
256–260.
[5]
James Clifford, “Introduction: Partial Truths,” dalam Writing
Culture: The Poetics and Politics of Ethnography, ed. James Clifford dan
George E. Marcus (Berkeley: University of California Press, 1986), 2.
[6]
George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of
Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995): 95.
[7]
Nigel Rapport dan Joanna Overing, Social and Cultural Anthropology:
The Key Concepts, 2nd ed. (London: Routledge, 2007), 200.
[8]
Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives,
4th ed. (New York: Routledge, 2016), 15.
[9]
Marvin Harris, Cultural Anthropology, 5th ed. (Boston: Allyn
and Bacon, 2007), 31.
[10]
American Anthropological Association, Code of Ethics of the
American Anthropological Association (2012), accessed March 30, 2025, https://www.americananthro.org.
[11]
Barbara Tedlock, “From Participant Observation to the Observation of
Participation,” Journal of Anthropological Research 47, no. 1 (1991):
69–94.
6.
Relevansi
dan Aplikasi Antropologi di Era Kontemporer
Dalam dunia yang
semakin terhubung dan kompleks, antropologi menunjukkan peran strategisnya
dalam memahami dinamika sosial dan budaya yang terjadi pada tingkat lokal maupun
global. Kemampuan antropologi dalam membaca makna di balik praktik sosial,
serta pendekatan humanistik yang menekankan pemahaman mendalam terhadap cara
hidup masyarakat, membuatnya sangat relevan di era kontemporer.¹
6.1.
Antropologi dan
Multikulturalisme
Salah satu
kontribusi utama antropologi dalam masyarakat modern adalah dalam memahami
dan mengelola keberagaman budaya. Di tengah masyarakat yang
semakin plural—baik karena migrasi, globalisasi, maupun perkembangan komunikasi
digital—antropologi memberikan perangkat analisis untuk memahami identitas
budaya, konflik antarbudaya, serta dinamika integrasi sosial.²
Pendekatan relativisme
budaya yang menjadi landasan antropologi sangat penting dalam
menumbuhkan sikap toleransi dan empati dalam masyarakat multikultural.³ Kajian
tentang etnisitas, nasionalisme, dan pembentukan identitas kelompok—sebagaimana
dibahas oleh antropolog seperti Thomas Hylland Eriksen—juga
menunjukkan pentingnya antropologi dalam membongkar konstruksi sosial atas
perbedaan.⁴
6.2.
Kajian Identitas dan
Politik Kebudayaan
Antropologi
kontemporer banyak terlibat dalam kajian identitas, baik dalam konteks
gender, ras, etnisitas, maupun agama. Identitas tidak lagi dilihat sebagai
sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses yang terus dinegosiasikan melalui
relasi kuasa, wacana, dan praktik sosial.⁵
Antropologi juga
berperan dalam politik kebudayaan, yaitu upaya
merebut, mendefinisikan, dan mengatur simbol-simbol budaya dalam ruang publik.
Dalam konteks ini, antropolog tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga advokat
budaya bagi komunitas marjinal yang sering tidak terdengar
suaranya dalam kebijakan nasional.⁶
6.3.
Antropologi dan Pembangunan
Berkelanjutan
Dalam bidang
pembangunan, antropologi berkontribusi besar dalam merancang program-program
yang berbasis
kearifan lokal dan konteks sosial masyarakat setempat.
Pendekatan ini menolak solusi pembangunan yang bersifat top-down dan
teknokratik, yang seringkali gagal karena tidak memperhatikan struktur sosial
dan budaya lokal.⁷
Antropolog bekerja
sama dengan lembaga pembangunan, LSM, dan pemerintah dalam isu-isu seperti kesehatan
masyarakat, pendidikan, lingkungan
hidup, dan pengentasan kemiskinan.⁸ Konsep
seperti development
anthropology atau applied anthropology menunjukkan
bagaimana antropologi digunakan secara praktis untuk memberdayakan masyarakat.
6.4.
Antropologi dan Isu-Isu
Global
Antropologi saat ini
juga sangat aktif dalam membahas isu-isu global, seperti:
·
Migrasi
internasional: memahami pengalaman migran dan dampak sosial-budaya
dari diaspora.
·
Perubahan iklim:
mempelajari bagaimana komunitas lokal merespons krisis ekologi.
·
Teknologi digital:
mengkaji budaya digital, media sosial, dan identitas daring.
·
Kesehatan global:
mengevaluasi respons budaya terhadap pandemi, vaksinasi, dan intervensi medis.⁹
Pendekatan antropologi
multisitus (multi-sited ethnography) menjadi populer dalam
studi-studi globalisasi karena memungkinkan peneliti mengikuti alur barang,
manusia, dan ide lintas batas geografis.¹⁰
6.5.
Peran Antropologi dalam
Kebijakan Publik
Antropologi semakin
sering digunakan dalam perumusan kebijakan publik yang
berkeadilan sosial. Banyak antropolog bekerja di luar dunia akademik sebagai konsultan
kebijakan, peneliti sosial, atau analis budaya di lembaga
pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta.
Dengan perspektif “dari
bawah ke atas” (bottom-up), antropologi membantu menyuarakan pengalaman
masyarakat akar rumput, sehingga kebijakan yang dihasilkan
lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan lokal.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural Anthropology, 15th
ed. (Boston: Pearson, 2015), 27.
[2]
Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global Forces, Local Lives,
4th ed. (New York: Routledge, 2016), 14–15.
[3]
Conrad Phillip Kottak, Anthropology: Appreciating Human Diversity,
17th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 32.
[4]
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives, 4th ed. (London: Pluto Press, 2015), 2–4.
[5]
Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries: The Social
Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown, 1969), 10–11.
[6]
James Clifford, “The Predicament of Culture: Twentieth-Century
Ethnography, Literature, and Art” (Cambridge: Harvard University Press, 1988),
16.
[7]
Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking
of the Third World (Princeton: Princeton University Press, 1995), 44.
[8]
Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging
the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 5.
[9]
Mark Nichter, “Global Health: Why Cultural Perceptions Matter,” BMJ
324, no. 7347 (2002): 1355–57.
[10]
George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of
Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995):
95–117.
[11]
Merrill Singer, A Companion to Medical Anthropology
(Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 17.
7.
Tantangan
dan Masa Depan Antropologi
Seiring dengan
perkembangan zaman dan perubahan struktur sosial global, antropologi menghadapi
sejumlah tantangan metodologis, etis, dan konseptual. Namun di sisi lain,
kompleksitas dunia kontemporer justru membuka peluang baru bagi antropologi
untuk bertransformasi dan memperluas ruang lingkupnya. Dalam konteks ini,
refleksi kritis terhadap masa lalu dan inovasi metodologis menjadi kunci untuk
menjaga relevansi antropologi di masa depan.
7.1.
Warisan Kolonialisme dan
Kritik Poskolonial
Salah satu tantangan
utama antropologi adalah warisan historisnya yang terkait erat dengan
kolonialisme. Pada masa awal kemunculannya, antropologi kerap
berperan sebagai alat kekuasaan kolonial dalam memahami dan mengontrol
masyarakat jajahan.¹ Pendekatan seperti etnosentrisme dan evolusionisme budaya
telah dikritik sebagai bentuk legitimasi dominasi Barat atas “yang lain.”
Gerakan antropologi
poskolonial kemudian muncul untuk mengoreksi bias-bias
tersebut. Antropolog kontemporer seperti Talal Asad dan Gayatri
Spivak menekankan pentingnya mendekolonisasi metode dan narasi
antropologis, serta memberi ruang bagi suara masyarakat lokal dalam produksi
pengetahuan.² Pendekatan ini mendorong peneliti untuk lebih reflektif terhadap
posisi mereka sebagai “orang luar” dan memperhatikan ketimpangan relasi
kuasa dalam proses penelitian.³
7.2.
Tantangan Etika dan
Representasi
Masalah etika
penelitian tetap menjadi tantangan serius dalam antropologi,
terutama terkait dengan representasi budaya dan perlindungan terhadap informan.
Keterlibatan antropolog dalam isu-isu sensitif seperti konflik, kesehatan, atau
migrasi memunculkan dilema antara kepentingan akademik dan tanggung jawab
sosial.⁴
Kritik terhadap representasi
tunggal dan simplifikasi budaya juga semakin kuat. Dalam
konteks ini, pendekatan refleksivitas, yakni kesadaran
akan subjektivitas dan posisi peneliti dalam produksi pengetahuan, menjadi prinsip
penting dalam etnografi modern.⁵
7.3.
Dinamika Global dan Krisis
Identitas
Globalisasi
menghadirkan perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat dan kompleks.
Masyarakat kini hidup dalam dunia yang penuh dengan mobilitas
tinggi, hibriditas budaya, dan identitas
yang cair. Antropologi harus menyesuaikan pendekatannya untuk
memahami fenomena baru ini, termasuk pergeseran dari komunitas lokal yang
homogen ke masyarakat global yang heterogen dan terus berubah.⁶
Fenomena seperti
migrasi global, diaspora, media digital, dan ekonomi transnasional menuntut
penggunaan metodologi baru seperti etnografi multisitus, etnografi
virtual, atau pendekatan interdisipliner.⁷
7.4.
Inovasi Metodologis dan
Teknologi Digital
Perkembangan
teknologi informasi membuka ruang baru bagi antropologi untuk berekspansi ke
dalam ranah digital. Munculnya antropologi digital dan antropologi
visual memungkinkan studi tentang kehidupan daring, budaya
internet, serta interaksi sosial di platform digital.⁸
Metode seperti netnografi
(etnografi internet), analisis media sosial, dan penggunaan perangkat lunak
analisis kualitatif memperluas jangkauan penelitian antropologis ke ruang-ruang
yang sebelumnya tidak terjamah. Hal ini menunjukkan bahwa antropologi dapat
beradaptasi secara dinamis terhadap transformasi zaman.⁹
7.5.
Masa Depan Antropologi:
Interdisipliner dan Keterlibatan Sosial
Masa depan
antropologi terletak pada kemampuannya untuk berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain
seperti sosiologi, ilmu politik, teknologi, ilmu lingkungan, dan kesehatan
masyarakat. Pendekatan interdisipliner memungkinkan antropologi menyumbangkan
wawasan kualitatif dan kontekstual yang sangat dibutuhkan dalam analisis
kebijakan dan pengembangan masyarakat.¹⁰
Selain itu, semakin
banyak antropolog yang terlibat dalam aktivisme sosial, pengabdian
masyarakat, dan perumusan kebijakan publik. Hal
ini menandai pergeseran dari antropologi yang bersifat “mengamati dari luar”
menjadi antropologi yang terlibat secara langsung
dalam perubahan sosial.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Henrika Kuklick, The Savage Within: The Social History of British
Anthropology, 1885–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
4–6.
[2]
Talal Asad, Anthropology and the Colonial Encounter (London:
Ithaca Press, 1973), 15–17.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson dan Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Barbara Tedlock, “From Participant Observation to the Observation of
Participation,” Journal of Anthropological Research 47, no. 1 (1991):
71–72.
[5]
James Clifford dan George E. Marcus, eds., Writing Culture: The
Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California
Press, 1986), 2–3.
[6]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of
Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 48–49.
[7]
George E. Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of
Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of Anthropology 24 (1995):
96–97.
[8]
Heather A. Horst dan Daniel Miller, Digital Anthropology
(London: Bloomsbury Academic, 2012), 3–5.
[9]
Robert Kozinets, Netnography: Doing Ethnographic Research Online,
2nd ed. (London: Sage, 2015), 1–2.
[10]
Merrill Singer dan Pamela I. Erickson, eds., A Companion to Medical
Anthropology (Chichester: Wiley-Blackwell, 2016), 19.
[11]
Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and Public Policy: Bridging
the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 7.
8.
Penutup
Antropologi, sebagai ilmu yang mempelajari manusia
secara menyeluruh dalam kerangka budaya, sosial, biologis, dan historisnya,
telah menunjukkan peran vitalnya dalam memahami kompleksitas kehidupan manusia
di berbagai belahan dunia. Keunikan antropologi terletak pada pendekatan
holistik dan interpretatifnya yang mampu menggali makna di balik praktik sosial
dan simbol budaya yang sering kali luput dari pengamatan ilmu sosial lainnya.¹
Sepanjang sejarahnya, antropologi telah mengalami
transformasi signifikan—dari studi masyarakat “primitif” pada era
kolonial, menuju kajian kritis terhadap identitas, kekuasaan, dan globalisasi
dalam dunia kontemporer.² Refleksi terhadap akar kolonialisme dan adopsi
pendekatan poskolonial menandai kesadaran antropologi modern akan pentingnya
keadilan epistemik dan suara masyarakat lokal dalam produksi pengetahuan.³
Di tengah arus globalisasi, migrasi, konflik
identitas, serta disrupsi teknologi digital, antropologi tetap relevan sebagai
alat pemahaman dan navigasi terhadap dunia yang terus berubah. Pendekatan
seperti etnografi multisitus, antropologi digital, dan keterlibatan
interdisipliner membuktikan bahwa antropologi mampu beradaptasi dan berinovasi
sesuai dengan dinamika zaman.⁴
Selain sebagai disiplin akademik, antropologi juga
memiliki dimensi praktis yang kuat dalam menjawab tantangan dunia nyata. Dalam
pembangunan, kesehatan masyarakat, pendidikan, advokasi hak minoritas, hingga
perumusan kebijakan publik, antropologi telah membuktikan kemampuannya untuk
menjembatani antara ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.⁵ Dengan memberi
tempat bagi narasi-narasi dari bawah dan membongkar struktur makna yang
tersembunyi, antropologi hadir sebagai kekuatan intelektual dan moral dalam
memperjuangkan keberagaman, keadilan, dan kemanusiaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, tugas
antropologi bukan sekadar menjelaskan apa yang orang lakukan, tetapi “menafsirkan
makna dari apa yang mereka lakukan.”_⁶ Oleh karena itu, studi antropologi
bukan hanya memperluas pengetahuan kita tentang budaya lain, tetapi juga
memperdalam pemahaman kita tentang diri kita sendiri sebagai bagian dari umat
manusia yang beragam namun terhubung oleh nilai-nilai kemanusiaan universal.
Catatan Kaki
[1]
Carol R. Ember dan Melvin Ember, Cultural
Anthropology, 15th ed. (Boston: Pearson, 2015), 6.
[2]
Jack David Eller, Cultural Anthropology: Global
Forces, Local Lives, 4th ed. (New York: Routledge, 2016), 12–13.
[3]
Talal Asad, Anthropology and the Colonial
Encounter (London: Ithaca Press, 1973), 16.
[4]
George E. Marcus, “Ethnography in/of the World
System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography,” Annual Review of
Anthropology 24 (1995): 95–117.
[5]
Barbara R. Johnston, ed., Anthropology and
Public Policy: Bridging the Gap (New York: Berghahn Books, 2004), 4–5.
[6]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.
Asad, T. (1973). Anthropology and the colonial
encounter. Ithaca Press.
Barth, F. (1969). Ethnic groups and boundaries:
The social organization of culture difference. Little, Brown.
Bernard, H. R. (2011). Research methods in
anthropology: Qualitative and quantitative approaches (5th ed.). AltaMira
Press.
Clifford, J. (1988). The predicament of culture:
Twentieth-century ethnography, literature, and art. Harvard University
Press.
Clifford, J., & Marcus, G. E. (Eds.). (1986). Writing
culture: The poetics and politics of ethnography. University of California Press.
Duranti, A. (1997). Linguistic anthropology.
Cambridge University Press.
Eller, J. D. (2016). Cultural anthropology:
Global forces, local lives (4th ed.). Routledge.
Ember, C. R., & Ember, M. (2015). Cultural
anthropology (15th ed.). Pearson.
Escobar, A. (1995). Encountering development:
The making and unmaking of the Third World. Princeton University Press.
Eriksen, T. H. (2015). Ethnicity and
nationalism: Anthropological perspectives (4th ed.). Pluto Press.
Eriksen, T. H. (2015). Small places, large
issues: An introduction to social and cultural anthropology (4th ed.).
Pluto Press.
Fagan, B. M. (2016). Ancient lives: An
introduction to archaeology and prehistory (6th ed.). Routledge.
Fox, R. (1967). Kinship and marriage: An
anthropological perspective. Cambridge University Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures: Selected essays. Basic Books.
Harris, M. (2007). Cultural anthropology
(5th ed.). Allyn and Bacon.
Haviland, W. A., Prins, H. E. L., Walrath, D.,
& McBride, B. (2013). Cultural anthropology: The human challenge
(14th ed.). Cengage Learning.
Horst, H. A., & Miller, D. (2012). Digital
anthropology. Bloomsbury Academic.
Johnston, B. R. (Ed.). (2004). Anthropology and
public policy: Bridging the gap. Berghahn Books.
Jurmain, R., Kilgore, L., Trevathan, W., &
Ciochon, R. L. (2016). Introduction to physical anthropology (15th ed.).
Cengage Learning.
Kottak, C. P. (2017). Anthropology: Appreciating
human diversity (17th ed.). McGraw-Hill Education.
Kozinets, R. V. (2015). Netnography: Doing
ethnographic research online (2nd ed.). Sage Publications.
Kuklick, H. (1991). The savage within: The
social history of British anthropology, 1885–1945. Cambridge University
Press.
Malinowski, B. (1922). Argonauts of the Western
Pacific. Routledge & Kegan Paul.
Marcus, G. E. (1995). Ethnography in/of the world
system: The emergence of multi-sited ethnography. Annual Review of
Anthropology, 24, 95–117. https://doi.org/10.1146/annurev.an.24.100195.000523
Nichter, M. (2002). Global health: Why cultural
perceptions matter. BMJ, 324(7347), 1355–1357. https://doi.org/10.1136/bmj.324.7347.1355
Rapport, N., & Overing, J. (2007). Social
and cultural anthropology: The key concepts (2nd ed.). Routledge.
Renfrew, C., & Bahn, P. (2016). Archaeology:
Theories, methods and practice (7th ed.). Thames & Hudson.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to
the study of speech. Harcourt, Brace.
Schneider, D. M. (1980). American kinship: A
cultural account. University of Chicago Press.
Singer, M. (2016). A companion to medical
anthropology. Wiley-Blackwell.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In
C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of
culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Tedlock, B. (1991). From participant observation to
the observation of participation. Journal of Anthropological Research, 47(1),
69–94.
Tylor, E. B. (1871). Primitive culture (Vol.
1). John Murray.
Turner, V. (1969). The ritual process: Structure
and anti-structure. Aldine Publishing.
Ubelaker, D. H. (2011). Forensic anthropology:
Historical overview and current status. Journal of Forensic Sciences, 56(6),
1220–1223. https://doi.org/10.1111/j.1556-4029.2011.01868.x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar