Jumat, 13 Juni 2025

Fenomenologi Ontologis: Telaah atas Keberadaan, Kesadaran, dan Makna dalam Tradisi Fenomenologis Modern

Fenomenologi Ontologis

Telaah atas Keberadaan, Kesadaran, dan Makna dalam Tradisi Fenomenologis Modern


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pendekatan fenomenologi ontologis sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat kontemporer, khususnya dalam ranah ontologi. Berangkat dari kritik terhadap metafisika tradisional dan epistemologi modern yang cenderung mereduksi keberadaan menjadi entitas objektif atau representasi mental, fenomenologi ontologis menempatkan pengalaman eksistensial manusia sebagai dasar pengungkapan makna ada. Melalui analisis terhadap kontribusi Edmund Husserl, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, dan Gabriel Marcel, artikel ini menunjukkan bahwa keberadaan dipahami sebagai proses keterbukaan yang dihayati secara temporal, relasional, dan bertubuh. Tema-tema seperti intentionalitas, kebertubuhan, dunia kehidupan (Lebenswelt), intersubjektivitas, dan keotentikan menjadi kerangka utama dalam mendalami makna eksistensi manusia dalam dunia yang selalu berubah. Artikel ini juga mengulas berbagai kritik atas fenomenologi ontologis dari sudut pandang filsafat analitik, realisme kritis, feminisme, dan poststrukturalisme, serta menawarkan refleksi filosofis mengenai bagaimana pendekatan ini tetap relevan dalam memahami dinamika keberadaan, kesadaran, dan makna di era kontemporer.

Kata Kunci: Fenomenologi ontologis; keberadaan; kesadaran; Dasein; tubuh; eksistensialisme; Heidegger; Merleau-Ponty; Levinas; makna hidup.


PEMBAHASAN

Kajian Fenomenologi Ontologis


1.           Pendahuluan

Permasalahan tentang keberadaan atau eksistensi (Sein) merupakan tema sentral dalam sejarah filsafat, sejak masa pra-Sokratik hingga pemikiran kontemporer. Namun demikian, cara pendekatan terhadap keberadaan mengalami pergeseran signifikan seiring berkembangnya metode dan perspektif filosofis. Bila dalam metafisika klasik keberadaan dipahami secara esensial dan abstrak, maka fenomenologi menawarkan jalan baru untuk mengakses makna keberadaan melalui pengalaman kesadaran yang langsung dan konkret terhadap fenomena.

Fenomenologi, sebagai sebuah pendekatan filosofis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, awalnya dimaksudkan sebagai “ilmu pengetahuan yang ketat” (strenge Wissenschaft) tentang kesadaran murni melalui metode reduksi dan intuisi esensial terhadap fenomena sebagaimana yang tampil dalam kesadaran itu sendiri¹. Dalam konteks ini, keberadaan tidak terlebih dahulu diasumsikan sebagai sesuatu yang objektif, melainkan sebagai sesuatu yang dihadirkan dalam dan melalui pengalaman kesadaran. Hal ini membuka kemungkinan untuk memahami ada tidak semata sebagai fakta metafisis, melainkan sebagai suatu horizon makna yang mengemuka secara fenomenal.

Namun, titik balik yang menentukan dalam pengembangan fenomenologi menjadi pendekatan ontologis terjadi melalui karya Martin Heidegger. Heidegger mengkritik fenomenologi Husserl karena masih bertumpu pada subjek transendental, lalu merekonstruksi fenomenologi sebagai “ontologi fundamental” (fundamentale Ontologie)—yaitu penyelidikan terhadap makna ada itu sendiri melalui analisis eksistensial terhadap Dasein, yakni manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran akan keberadaannya². Dalam pandangan Heidegger, pertanyaan tentang ada (Sein) telah lama dilupakan oleh tradisi metafisika Barat, dan karena itu perlu dihidupkan kembali melalui analisis terhadap eksistensi manusia sebagai jalan masuk untuk memahami keberadaan secara autentik³.

Fenomenologi ontologis kemudian berkembang menjadi suatu tradisi pemikiran yang luas, mencakup gagasan-gagasan dari pemikir seperti Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, dan Gabriel Marcel, yang masing-masing mengeksplorasi dimensi keberadaan melalui kesadaran, tubuh, hubungan antar-pribadi, dan pengalaman etis⁴. Dengan demikian, fenomenologi ontologis tidak hanya merupakan transformasi metodologis dari fenomenologi klasik, tetapi juga menjadi fondasi refleksi filosofis tentang kehidupan, makna, dan keotentikan di dunia modern yang sering kali tereduksi dalam kategorisasi ilmiah dan teknologi.

Dalam konteks inilah, artikel ini bertujuan untuk menggali secara sistematis dan reflektif bagaimana fenomenologi dikembangkan menjadi pendekatan ontologis. Fokus utama akan diarahkan pada bagaimana makna keberadaan, kesadaran, dan relasi dengan dunia diartikulasikan dalam tradisi fenomenologis modern. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman filsafat kontemporer, khususnya dalam merespons krisis makna dan keasingan eksistensial dalam masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 43–45.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34–35.

[3]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 2–6.

[4]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 223–294.


2.           Landasan Teoretis: Ontologi dan Permasalahan Keberadaan

Dalam filsafat, ontologi merupakan cabang utama yang membahas pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai ada (being) dan apa artinya menjadi (to be). Sejak era pra-Sokratik, terutama oleh Parmenides dan Herakleitos, perdebatan tentang keberadaan menjadi pusat perhatian metafisika. Parmenides, misalnya, menyatakan bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada tidak dapat dipikirkan, mengisyaratkan bahwa ada itu bersifat tunggal, abadi, dan tak berubah¹. Sementara itu, Herakleitos memperkenalkan konsep keberadaan dalam perubahan, menyiratkan bahwa segala sesuatu dalam realitas adalah dinamis dan tak tetap².

Ontologi dalam tradisi metafisika klasik—sebagaimana terlihat dalam pemikiran Plato dan Aristoteles—mendefinisikan ada secara esensialis. Plato membedakan antara dunia indrawi yang bersifat semu dengan dunia ide yang merupakan realitas sejati, di mana ide atau bentuk adalah dasar dari segala keberadaan³. Aristoteles lebih konkret: ia mendefinisikan keberadaan sebagai substansi (ousia) yang terdiri dari bentuk (form) dan materi (matter), serta menempatkan “ada sebagai ada” (being qua being) sebagai objek penyelidikan filsafat pertama⁴.

Namun, sejak awal modernitas, terutama setelah Descartes, pendekatan terhadap keberadaan mengalami pergeseran yang signifikan. Subjek berpikir menjadi pusat (cogito), sehingga pertanyaan tentang keberadaan dikaitkan erat dengan kejelasan rasional dan representasi mental⁵. Hal ini memunculkan paradigma subjektivisme dan reduksi ontologi ke dalam epistemologi, yaitu reduksi keberadaan menjadi sekadar objek pengetahuan. Akibatnya, dimensi eksistensial dari keberadaan terabaikan atau direduksi ke dalam kerangka berpikir logis dan ilmiah.

Kritik terhadap reduksi ini muncul dari tradisi fenomenologi, terutama melalui upaya untuk merehabilitasi pengalaman keberadaan secara langsung. Dalam hal ini, pertanyaan “apa itu ada?” tidak dijawab dengan abstraksi konseptual belaka, melainkan dengan menelusuri bagaimana keberadaan hadir dalam kesadaran dan pengalaman manusia. Fenomenologi memosisikan dirinya sebagai kritik terhadap metafisika tradisional yang gagal mengungkap dinamika keberadaan yang konkrit, sebagaimana dihadirkan dalam dunia kehidupan (Lebenswelt)⁶.

Martin Heidegger, tokoh sentral dalam fenomenologi ontologis, dengan tegas menyatakan bahwa pertanyaan tentang makna ada (die Frage nach dem Sinn von Sein) telah dilupakan oleh metafisika Barat dan perlu diajukan kembali. Menurut Heidegger, pemahaman terhadap keberadaan harus dimulai dari analisis terhadap Dasein, yaitu manusia sebagai makhluk yang ada-di-dalam-dunia dan sadar akan keberadaannya sendiri⁷. Dasein menjadi pintu masuk ontologis karena hanya manusia yang memiliki hubungan reflektif dan eksplisit terhadap ada.

Dengan demikian, ontologi bukan sekadar penyelidikan tentang kategori universal (seperti substansi atau kualitas), tetapi merupakan penelusuran eksistensial atas struktur pengalaman manusia dalam hubungannya dengan dunia. Ini yang membedakan pendekatan fenomenologi ontologis dari metafisika klasik maupun positivisme ilmiah. Alih-alih memulai dari prinsip-prinsip rasional atau data empiris, fenomenologi ontologis berangkat dari pengalaman konkret sebagai basis pengungkapan ada.


Footnotes

[1]                Parmenides, Fragments, trans. John Burnet, in Early Greek Philosophy (London: A & C Black, 1908), fr. B2.

[2]                Heraclitus, Fragments, trans. T.M. Robinson, in Heraclitus: Fragments (Toronto: University of Toronto Press, 1987), fr. B12.

[3]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d–511e.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book IV, 1003a–1003b.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–20.

[6]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 103–106.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 19–21.


3.           Fenomenologi sebagai Pendekatan Filsafat

Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan filosofis paling berpengaruh dalam filsafat kontemporer yang ditujukan untuk memahami struktur pengalaman sebagaimana yang dialami secara langsung oleh kesadaran. Diperkenalkan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20, fenomenologi berupaya mengembalikan filsafat kepada “hal-hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst)—sebuah slogan epistemologis yang menegaskan pentingnya kembali kepada pengalaman asli sebelum ia dibentuk oleh teori-teori psikologis, ilmiah, atau metafisis¹.

Pada dasarnya, fenomenologi adalah studi sistematis tentang struktur kesadaran dan fenomena sebagaimana yang tampil dalam kesadaran. Husserl menolak pendekatan positivistik dan naturalistik yang memperlakukan realitas sebagai objek semata-mata, dan menggantikannya dengan telaah atas bagaimana objek-objek itu hadir dalam kesadaran dalam bentuk intensional—yakni, selalu tentang sesuatu². Inilah yang disebut sebagai intentionalitas kesadaran, yang menjadi prinsip utama dalam fenomenologi: setiap tindakan kesadaran selalu memiliki korelasi terhadap suatu objek, meski objek itu hanya muncul sebagai representasi atau kemungkinan.

Untuk melaksanakan penyelidikan fenomenologis, Husserl mengembangkan metode reduksi fenomenologis (epoché) yang mengajak kita untuk mengesampingkan (bracketing) semua asumsi tentang keberadaan objektif dunia, guna memusatkan perhatian hanya pada bagaimana dunia tersebut dihadirkan dalam kesadaran³. Reduksi ini bukanlah bentuk skeptisisme, melainkan langkah metodologis agar kita dapat mengamati esensi pengalaman secara murni, terbebas dari prakonsepsi dan konstruksi kultural.

Selain reduksi, intuisi esensial juga menjadi elemen kunci dalam metode fenomenologis. Melalui intuisi ini, kesadaran tidak hanya menangkap fakta-fakta kontingen, melainkan juga mengungkapkan esensi universal dari fenomena, yang dapat dikenali lewat apa yang disebut Husserl sebagai “penglihatan eidetik”⁴. Artinya, fenomenologi tidak hanya deskriptif tetapi juga transendental, karena menyelidiki kondisi kemungkinan bagi pengalaman dan pengenalan atas dunia.

Namun, pengaruh fenomenologi melampaui batas-batas metode yang dirumuskan Husserl. Para penerusnya, seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty, mengembangkan pendekatan ini ke arah yang lebih eksistensial, ontologis, dan tubuhiah. Heidegger, khususnya, mengubah fokus fenomenologi dari “kesadaran” ke “keberadaan”, dan mengartikulasikan bahwa fenomenologi bukan hanya metode untuk mengetahui, tetapi juga cara untuk mengungkapkan makna ada melalui eksistensi yang konkret⁵.

Berbeda dengan metode empiris atau deduktif, fenomenologi bersifat deskriptif, reflektif, dan analitis, berangkat dari pengalaman pertama untuk menelusuri struktur terdalam dari kesadaran dan dunia yang dihayatinya. Hal ini menjadikannya unik dalam ranah filsafat karena menyatukan subjek dan objek dalam suatu korelasi makna, bukan memisahkannya seperti dalam dualisme tradisional.

Fenomenologi juga memiliki pengaruh besar di luar filsafat, khususnya dalam psikologi eksistensial, hermeneutika, sosiologi, studi agama, dan bahkan dalam estetika dan pendidikan. Keunggulan utamanya adalah kemampuan untuk menjembatani antara pengalaman konkret dan refleksi teoritis secara sistematis, tanpa mereduksi kompleksitas makna yang terkandung dalam pengalaman itu sendiri⁶.

Dengan demikian, fenomenologi sebagai pendekatan filsafat bukan hanya menawarkan metode analisis terhadap struktur kesadaran, tetapi juga membuka cakrawala pemahaman baru mengenai keberadaan manusia dalam dunia. Ia memungkinkan filsafat untuk tidak hanya menjadi disiplin rasional-formal, melainkan juga sebuah laku reflektif yang berakar pada kehidupan nyata dan pengalaman manusia yang konkret.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 1, xvi–xvii.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 16–19.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 52–55.

[4]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 45–50.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 58–61.

[6]                Lester Embree, “What is Phenomenology?” in Phenomenology: Critical Concepts in Philosophy, ed. Dermot Moran and Lester Embree (London: Routledge, 2004), 3–10.


4.           Transformasi Ontologis Fenomenologi oleh Martin Heidegger

Martin Heidegger merupakan figur sentral yang mentransformasikan fenomenologi dari sebuah metode deskriptif kesadaran menjadi suatu penyelidikan ontologis tentang keberadaan (Sein). Berbeda dari Edmund Husserl yang menekankan kesadaran transendental dan esensi fenomena, Heidegger menggeser fokus ke pertanyaan mendasar yang telah lama diabaikan dalam sejarah filsafat Barat, yaitu: apa arti ada itu sendiri? (Was ist das Sein?)¹.

Dalam magnum opus-nya Sein und Zeit (Being and Time, 1927), Heidegger mengemukakan bahwa pertanyaan tentang keberadaan telah “dilupakan” oleh tradisi metafisika yang terjebak dalam pemahaman ontik—yakni, menyelidiki entitas (makhluk, Seiendes) tanpa menyelidiki makna keberadaannya sendiri (Sein)². Heidegger menyebut pendekatannya sebagai ontologi fundamental (fundamentale Ontologie), yaitu penyelidikan filosofis terhadap struktur eksistensial yang memungkinkan semua bentuk pengertian tentang entitas.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, yaitu manusia sebagai makhluk yang memiliki pemahaman eksistensial terhadap keberadaannya sendiri. Dasein secara harfiah berarti “ada-di-sana”, menunjuk pada eksistensi manusia yang senantiasa berada dalam dunia, berinteraksi dengan dunia, dan menyadari dirinya sebagai makhluk yang ada³. Dasein tidak netral dan objektif; ia memiliki keterlibatan (In-der-Welt-sein) yang bersifat faktis dan historis.

Dalam analisisnya terhadap Dasein, Heidegger mengemukakan struktur-struktur eksistensial seperti Geworfenheit (keterlemparan), Verfallenheit (jatuh dalam ketidakotentikan), Sorge (kepedulian), dan yang paling menentukan, Sein-zum-Tode (keberadaan menuju kematian). Eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses menjadi yang terbuka terhadap kemungkinan dan selalu menuju kefanaan⁴. Dalam kesadaran akan kematian, Dasein dipanggil untuk hidup secara otentik—menghadapi eksistensinya sendiri secara jujur, bukan sekadar mengikuti arus kebanyakan (das Man).

Heidegger juga menegaskan bahwa waktu merupakan dimensi mendasar dari keberadaan. Waktu bukan hanya kronologi objektif, melainkan horizon dari pemahaman eksistensial. Oleh karena itu, keberadaan adalah temporal, dan struktur pemahaman terhadap makna keberadaan hanya mungkin jika dipahami dalam kerangka waktu eksistensial (masa lalu sebagai keterlemparan, kini sebagai keterlibatan, dan masa depan sebagai kemungkinan)⁵.

Dengan demikian, fenomenologi dalam tangan Heidegger tidak lagi berpusat pada deskripsi fenomena dalam kesadaran, tetapi menjadi penyingkapan (aletheia) terhadap keberadaan melalui eksistensi manusia. Fenomenologi dijadikan metode untuk menampakkan yang tersembunyi dalam keseharian, yakni struktur terdalam dari “ada” itu sendiri⁶. Ia tidak memisahkan antara subjek dan objek, melainkan menyelidiki korelasi eksistensial antara Dasein dan dunia dalam keberadaannya yang konkret.

Transformasi ini memiliki implikasi luas bagi filsafat kontemporer, terutama dalam menggeser perhatian dari epistemologi ke ontologi, dari subjek universal ke eksistensi partikular, dari logika ke keterlibatan hidup. Heidegger membuka jalan bagi berkembangnya eksistensialisme, hermeneutika filosofis, dan fenomenologi tubuh, sekaligus mengundang kritik mendalam dari filsuf-filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Jean-Paul Sartre.

Dengan mengintegrasikan fenomenologi ke dalam penyelidikan ontologis yang radikal, Heidegger telah memberi kontribusi mendalam bagi pemahaman makna keberadaan yang bukan hanya bersifat konseptual, melainkan eksistensial, historis, dan temporal.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–22.

[2]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 13–15.

[3]                Richard Polt, Heidegger: An Introduction (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 29–32.

[4]                Heidegger, Being and Time, 279–311.

[5]                Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time (London: Routledge, 2013), 45–51.

[6]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 228–232.


5.           Fenomenologi Ontologis dalam Tradisi Kontinental

Setelah transformasi radikal yang dilakukan oleh Martin Heidegger terhadap fenomenologi Husserl menjadi sebuah proyek ontologis, pengaruh pemikiran fenomenologis terus meluas dan dikembangkan oleh para filsuf besar dalam tradisi kontinental Eropa. Para penerus Heidegger seperti Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, dan Gabriel Marcel masing-masing mengembangkan pemikiran fenomenologi ke arah yang lebih eksistensial, tubuhiah, relasional, dan spiritual, menjadikan fenomenologi ontologis sebagai medan refleksi multidimensi atas makna keberadaan manusia.

5.1.       Jean-Paul Sartre: Kebebasan dan Keberadaan untuk Diri

Jean-Paul Sartre mengadaptasi pendekatan fenomenologi Heidegger dalam kerangka eksistensialisme ateistik. Dalam L’Être et le Néant (Being and Nothingness, 1943), Sartre membedakan antara dua mode keberadaan: en-soi (keberadaan-dalam-diri) dan pour-soi (keberadaan-untuk-diri). Yang pertama bersifat inert dan tak sadar, sementara yang kedua bersifat reflektif dan sadar akan dirinya sendiri¹. Sartre menegaskan bahwa pour-soi bersifat “nihilatif” karena dalam kesadarannya ia tidak sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri, melainkan selalu mengada dalam kekurangan dan proyek². Ontologi Sartre menekankan kebebasan radikal manusia untuk mencipta dirinya sendiri, meskipun hal ini membawa konsekuensi kecemasan (anxiety) dan tanggung jawab mutlak.

5.2.       Maurice Merleau-Ponty: Tubuh sebagai Subjek Ontologis

Sementara itu, Maurice Merleau-Ponty mengkritik kecenderungan Cartesian dan Husserlian yang memisahkan subjek dan dunia, serta menekankan pentingnya tubuh sebagai medium kesadaran. Dalam Phénoménologie de la Perception (Phenomenology of Perception, 1945), ia mengemukakan bahwa tubuh bukan sekadar objek fisik, melainkan adalah “body-subject”—suatu pusat kesadaran yang hidup dan melekat pada dunia melalui persepsi³. Tubuh memungkinkan keterlibatan ontologis dengan dunia, karena setiap tindakan dan persepsi senantiasa berlangsung dalam horizon dunia yang telah termaknai. Konsep ini menjungkirbalikkan paradigma idealistik dan membuka ruang bagi pemahaman tentang makna sebagai sesuatu yang dihidupi, bukan sekadar dipikirkan.

5.3.       Emmanuel Levinas: Etika sebagai Filsafat Pertama

Emmanuel Levinas mengambil jalan yang berbeda dengan Heidegger. Dalam karya seperti Totalité et Infini (Totality and Infinity, 1961), Levinas menolak pendekatan ontologi yang menekankan totalitas dan identitas, dan sebaliknya mengajukan etika sebagai filsafat pertama⁴. Bagi Levinas, keberadaan yang paling fundamental bukanlah refleksi atas “ada” secara impersonal, melainkan keterbukaan terhadap Yang Lain (the Other). Wajah orang lain memunculkan tanggung jawab etis yang tak dapat direduksi dalam sistem ontologis apa pun. Dengan demikian, Levinas mengubah fenomenologi ontologis menjadi fenomenologi relasional dan etis, di mana makna keberadaan ditemukan dalam relasi yang tak simetris antara Aku dan Engkau.

5.4.       Gabriel Marcel: Misteri Eksistensi dan Keberadaan sebagai Partisipasi

Dalam tradisi eksistensialisme religius, Gabriel Marcel menawarkan pendekatan yang sangat khas terhadap fenomenologi ontologis. Berbeda dari Sartre yang menekankan kekosongan dan kebebasan radikal, Marcel menggarisbawahi dimensi partisipatif dari keberadaan manusia. Ia membedakan antara “masalah” dan “misteri”: yang pertama dapat diselesaikan secara objektif, sementara yang kedua melibatkan keberadaan subjek itu sendiri secara total⁵. Dalam Le Mystère de l’Être (The Mystery of Being), Marcel menekankan bahwa eksistensi manusia bersifat dialogis dan transenden, di mana ada bukanlah sesuatu yang dipahami secara intelektual, tetapi dihayati dalam cinta, kesetiaan, dan kehadiran.


Fenomenologi ontologis dalam tradisi kontinental memperkaya pemahaman kita tentang keberadaan tidak hanya sebagai entitas metafisik, tetapi sebagai sesuatu yang diungkapkan melalui kesadaran, tubuh, relasi, dan keterlibatan eksistensial. Para pemikir ini menunjukkan bahwa makna ada tidak tunggal dan statis, melainkan bersifat plural, kontekstual, dan terbuka terhadap berbagai horizon: kebebasan, pengalaman tubuh, tanggung jawab etis, dan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 100–110.

[2]                Jonathan Webber, The Existentialism of Jean-Paul Sartre (New York: Routledge, 2009), 51–53.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 66–68.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–42.

[5]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1960), 117–123.


6.           Tema-Tema Kunci dalam Fenomenologi Ontologis

Fenomenologi ontologis, sebagaimana berkembang sejak Martin Heidegger dan diteruskan oleh pemikir kontinental lainnya, menampilkan sejumlah tema sentral yang menjadi ciri khas pendekatan ini dalam memahami keberadaan. Tema-tema tersebut bukan hanya bersifat filosofis-teoritis, tetapi juga mencerminkan pengalaman eksistensial yang konkret dan mendalam. Beberapa tema utama yang menjadi fondasi dalam fenomenologi ontologis meliputi intentionalitas kesadaran, fenomena sebagai pengungkapan makna ada, struktur dunia kehidupan (Lebenswelt), serta subjektivitas, intersubjektivitas, dan keotentikan.

6.1.       Intentionalitas dan Struktur Kesadaran dalam Konteks Ontologis

Intentionalitas merupakan konsep fundamental dalam fenomenologi, yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Husserl. Ia menyatakan bahwa semua kesadaran bersifat intentional, yakni selalu terarah kepada sesuatu—consciousness is always consciousness of something¹. Dalam konteks ontologis, intentionalitas tidak hanya menunjukkan struktur kesadaran, tetapi juga cara keberadaan dihadirkan kepada subjek. Heidegger memperluas makna intentionalitas dengan menyatakan bahwa Dasein selalu ada-di-dalam-dunia dan memiliki struktur keterarahan yang inheren terhadap makna-makna duniawi². Artinya, keberadaan tidak dipahami secara netral, melainkan sebagai keterlibatan eksistensial yang bermakna.

6.2.       Fenomena sebagai Mode Pengungkapan Keberadaan

Dalam fenomenologi ontologis, fenomena bukan sekadar penampakan empiris, melainkan pengungkapan dari yang tersembunyi (aletheia). Heidegger menekankan bahwa “fenomena” adalah apa yang menyingkap dirinya sendiri sebagai dirinya sendiri³. Oleh karena itu, fenomenologi menjadi jalan untuk membuka tirai yang menyembunyikan makna ada. Dunia tidak tampil sebagai kumpulan objek, tetapi sebagai medan pengungkapan eksistensial yang selalu mengandung potensi ketersembunyian dan keterbukaan. Proses pengungkapan ini bersifat hermeneutik, yaitu selalu melibatkan interpretasi terhadap makna yang tidak pernah sepenuhnya hadir secara final.

6.3.       Dunia Kehidupan (Lebenswelt) dan Struktur Eksistensial

Husserl memperkenalkan istilah Lebenswelt untuk merujuk pada dunia kehidupan sebagai latar belakang prateoritis dari segala pengalaman. Dunia kehidupan adalah dunia yang langsung kita alami, sebelum ditata oleh sains, teknologi, atau sistem rasional⁴. Heidegger mengembangkan gagasan ini dalam bentuk being-in-the-world, yang menyatakan bahwa Dasein selalu eksis dalam konteks dunia yang telah termaknai secara historis, linguistik, dan sosial. Dalam kerangka ini, keberadaan tidak pernah soliter, melainkan senantiasa berada dalam jaringan relasi, simbol, dan nilai-nilai yang membentuk horizon pengertian manusia terhadap dunia.

6.4.       Subjektivitas, Intersubjektivitas, dan Keotentikan

Fenomenologi ontologis juga menyoroti hubungan antara subjek dan yang lain (the Other). Subjektivitas tidak dipahami sebagai pusat tertutup (sebagaimana dalam Cartesianisme), melainkan sebagai keterbukaan terhadap dunia dan terhadap yang lain. Dalam fenomenologi klasik, hubungan ini dijembatani oleh konsep intersubjektivitas, yakni pengakuan timbal balik antara subjek sebagai pusat makna⁵. Heidegger melampaui itu dengan membahas kejatuhan Dasein dalam “das Man” (orang kebanyakan), yang menyamarkan keunikan eksistensial. Hanya dengan menghadapi keberadaan secara personal—terutama dalam kesadaran akan kematian—Dasein dapat menghidupi keotentikan (Eigentlichkeit), yakni menjadi dirinya sendiri secara utuh dan sadar⁶.

6.5.       Temporalitas dan Historisitas sebagai Struktur Keberadaan

Waktu bukan hanya latar bagi eksistensi, melainkan struktur inheren dari Dasein itu sendiri. Heidegger menunjukkan bahwa eksistensi bersifat temporal: masa lalu sebagai keterlemparan (Geworfenheit), masa kini sebagai keterlibatan (Verfallenheit), dan masa depan sebagai kemungkinan yang dituju (Entwurf)⁷. Historisitas menjadi bagian integral dari eksistensi karena keberadaan manusia dibentuk oleh tradisi, bahasa, dan pemaknaan historis yang terus-menerus direinterpretasi.


Secara keseluruhan, tema-tema dalam fenomenologi ontologis menekankan keterkaitan antara keberadaan, kesadaran, dan dunia sebagai struktur dinamis yang terus mengungkapkan makna dalam horizon waktu, relasi, dan pengalaman. Pemahaman terhadap keberadaan bukanlah pencarian hakikat statis, melainkan keterlibatan reflektif dalam proses pengungkapan makna eksistensial yang tak kunjung usai.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 2, 192–196.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–83.

[3]                Ibid., 51–53.

[4]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 103–107.

[5]                Dan Zahavi, Self-Awareness and Alterity: A Phenomenological Investigation (Evanston: Northwestern University Press, 1999), 88–90.

[6]                Heidegger, Being and Time, 279–311.

[7]                Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time (London: Routledge, 2013), 67–71.


7.           Kontribusi Fenomenologi Ontologis terhadap Diskursus Filsafat Kontemporer

Fenomenologi ontologis, terutama sebagaimana dirumuskan oleh Martin Heidegger dan dikembangkan oleh para pemikir kontinental sesudahnya, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat kontemporer. Dengan menekankan penghayatan eksistensial manusia terhadap keberadaan, pendekatan ini tidak hanya membentuk arah baru dalam filsafat eksistensial dan hermeneutika, tetapi juga memberi pengaruh mendalam dalam ranah etika, teologi, teori kritis, serta ilmu humaniora secara luas. Kontribusi fenomenologi ontologis dapat dilihat dalam lima dimensi utama berikut.

7.1.       Kritik terhadap Rasionalisme dan Objektivisme Modern

Salah satu kontribusi utama fenomenologi ontologis adalah kritiknya terhadap rasionalisme dan objektivisme yang mendominasi filsafat dan ilmu pengetahuan modern sejak Descartes dan Pencerahan. Heidegger dan para pengikutnya menyoroti bahwa pendekatan objektivistik telah mereduksi realitas menjadi kumpulan entitas yang netral dan terpisah dari keterlibatan manusia⁽¹⁾. Sebagai respons, fenomenologi ontologis memulihkan pentingnya pengalaman yang hidup dan situasional dalam memahami makna keberadaan. Dunia tidak netral, tetapi selalu dimaknai oleh Dasein melalui keterlibatan eksistensialnya.

7.2.       Landasan bagi Eksistensialisme dan Etika Keotentikan

Fenomenologi ontologis meletakkan dasar ontologis bagi eksistensialisme modern. Sartre mengadopsi kerangka Heideggerian dalam menggambarkan manusia sebagai makhluk yang harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui kebebasan radikal⁽²⁾. Lebih dari itu, gagasan Heidegger tentang keotentikan (Eigentlichkeit) mendorong pergeseran etika dari hukum moral universal ke etika keberadaan, di mana manusia dipanggil untuk secara sadar mengada sebagai dirinya sendiri. Konsep ini menjadi titik tolak dalam pengembangan etika eksistensial yang menolak konformisme dan mendesak tanggung jawab personal terhadap eksistensi⁽³⁾.

7.3.       Pembaruan Hermeneutika dan Filsafat Bahasa

Pengaruh Heidegger terhadap hermeneutika filosofis, khususnya melalui tokoh seperti Hans-Georg Gadamer, sangat besar. Heidegger menyatakan bahwa pemahaman bukanlah tindakan intelektual netral, melainkan modus eksistensial Dasein⁽⁴⁾. Dengan demikian, setiap tindakan memahami selalu terjadi dalam horizon historis dan linguistik tertentu, yang menuntut pendekatan interpretatif terhadap realitas. Hermeneutika ontologis ini menantang model penafsiran yang bersifat objektivis dan menawarkan alternatif yang lebih reflektif dan kontekstual dalam memahami makna.

7.4.       Fondasi bagi Teologi dan Spiritualitas Kontemporer

Meskipun Heidegger sendiri tidak menulis sebagai teolog, banyak teolog kontemporer yang memanfaatkan pendekatan fenomenologi ontologis dalam memahami iman dan spiritualitas. Tokoh seperti Paul Tillich, Rudolf Bultmann, dan Jean-Luc Marion mengadopsi struktur eksistensial dan horizon makna dalam menjelaskan keterbukaan manusia terhadap yang transenden⁽⁵⁾. Dalam hal ini, pengalaman keagamaan tidak direduksi menjadi doktrin, tetapi dipahami sebagai fenomena keterbukaan eksistensial terhadap makna yang melampaui diri.

7.5.       Pengaruh dalam Humaniora dan Ilmu Sosial

Fenomenologi ontologis juga memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu sosial dan humaniora, khususnya dalam kajian budaya, sosiologi fenomenologis (misalnya melalui Alfred Schutz), dan filsafat pendidikan. Dalam filsafat pendidikan, pendekatan ini digunakan untuk menekankan pentingnya pengalaman belajar yang bermakna dan keterlibatan penuh subjek dalam dunia⁽⁶⁾. Sementara dalam kajian budaya, fenomenologi ontologis membuka cara baru untuk memahami identitas, ruang, dan tubuh sebagai konstruksi yang dialami secara eksistensial.


Fenomenologi ontologis dengan demikian telah memperluas cakrawala filsafat dari penyelidikan abstrak menuju refleksi mendalam atas eksistensi konkret. Ia membentuk suatu paradigma alternatif yang menekankan makna, situasi, dan keberadaan yang terbuka terhadap interpretasi dan keotentikan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan terdigitalisasi, pendekatan ini tetap relevan sebagai kerangka pemahaman yang menempatkan manusia dan pengalamannya sebagai pusat refleksi filosofis.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 27–30.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.

[3]                Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 18–23.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 250–270.

[5]                Jean-Luc Marion, God Without Being: Hors-Texte, trans. Thomas A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 5–15.

[6]                Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action Sensitive Pedagogy (London: Althouse Press, 1990), 12–20.


8.           Kritik dan Perdebatan atas Fenomenologi Ontologis

Fenomenologi ontologis telah menjadi salah satu pendekatan filsafat paling berpengaruh dalam abad ke-20. Namun, pengaruh tersebut juga disertai oleh berbagai kritik dan perdebatan tajam dari beragam aliran filsafat dan perspektif teoretis. Kritik-kritik ini tidak hanya mempertanyakan asumsi dasar fenomenologi ontologis, tetapi juga menantang klaim-klaim metodologis, etis, politis, dan metafisik yang terkandung di dalamnya. Beberapa kelompok kritis utama yang menanggapi pendekatan ini berasal dari filsafat analitik, realisme kritis, feminisme, dan poststrukturalisme.

8.1.       Kritik dari Filsafat Analitik: Ketidakjelasan Konseptual dan Bahasa yang Gelap

Filsuf dari tradisi analitik, seperti Gilbert Ryle dan A.J. Ayer, seringkali mengkritik fenomenologi ontologis karena dianggap tidak memiliki ketegasan logis dan menggunakan bahasa yang kabur. Dalam The Concept of Mind, Ryle secara eksplisit menyatakan bahwa Heidegger mengaburkan makna “ada” dengan cara yang metaforis dan sulit diverifikasi secara logis¹. Bagi filsafat analitik, pernyataan-pernyataan ontologis Heidegger sering kali tidak memenuhi kriteria klarifikasi makna yang menjadi inti logika analitik. Dengan demikian, fenomenologi ontologis dianggap terlalu spekulatif dan tidak bisa diuji secara argumentatif.

8.2.       Tantangan Realisme Kritis: Fenomenologi sebagai Idealistik dan Antirealistis

Pendekatan fenomenologi yang menekankan dunia sebagai “yang tampak bagi kesadaran” sering ditafsirkan sebagai bentuk idealism subjektif, yang mengabaikan realitas obyektif dunia di luar pengalaman. Roy Bhaskar, tokoh utama dalam realisme kritis, mengkritik bahwa fenomenologi gagal membedakan antara realitas dan pengalaman atas realitas, sehingga cenderung menurunkan kebenaran menjadi representasi kesadaran saja². Dalam kerangka ini, fenomenologi ontologis dikritik karena terlalu memusatkan perhatian pada horizon Dasein dan tidak memberi ruang bagi struktur kausal objektif yang membentuk realitas sosial maupun alamiah.

8.3.       Kritik Feminis: Netralitas Subjek yang Bias Gender

Beberapa pemikir feminis mengkritik bahwa subjek Dasein dalam Being and Time secara implisit mengasumsikan universalitas pengalaman pria Barat, dan gagal mengakomodasi keberagaman identitas gender. Iris Marion Young menyoroti bahwa Heidegger tidak memperhitungkan dimensi tubuh yang dibentuk oleh relasi kuasa dan seksualitas³. Dalam hal ini, fenomenologi ontologis dikritik karena menyuguhkan gambaran “manusia” yang bersifat abstrak, netral, dan ahistoris, padahal dalam kenyataannya eksistensi senantiasa dibentuk oleh konteks sosial-politik yang bersifat patriarkal dan hierarkis.

8.4.       Kritik Poststrukturalis: Ontologi sebagai Totalisasi Makna

Dari perspektif poststrukturalisme, fenomenologi ontologis ditantang karena dianggap masih terjebak dalam proyek totalisasi makna melalui struktur eksistensial yang dinaturalisasikan. Jacques Derrida, dalam kritiknya terhadap fenomenologi Husserl dan Heidegger, menyatakan bahwa klaim atas kehadiran makna yang langsung (presence) melalui pengalaman eksistensial tidak dapat dipertahankan secara logis. Dalam Margins of Philosophy, Derrida menegaskan bahwa semua makna selalu tertunda (différance) dan tidak pernah hadir secara penuh⁴. Maka, fenomenologi ontologis dituduh gagal menyadari bahwa struktur pemaknaan selalu bersifat linguistik dan terperangkap dalam permainan tanda yang tidak berujung.

8.5.       Pertanyaan Etis dan Politik: Kekosongan Normatif dalam Fenomenologi

Kritik lain yang penting adalah bahwa fenomenologi ontologis kerap dianggap tidak cukup normatif dalam menjawab persoalan etika dan keadilan sosial. Meskipun Heidegger menyinggung soal keotentikan dan tanggung jawab eksistensial, pendekatan tersebut tetap dianggap kurang tajam dalam menganalisis struktur sosial-politik yang menindas. Bahkan, keterlibatan Heidegger dengan Nazisme pada 1930-an telah menjadi sumber kritik moral yang serius⁵. Para filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Jürgen Habermas menilai bahwa orientasi fenomenologi terhadap “ke dalam” (inwardness) harus diimbangi dengan keterbukaan terhadap yang lain dan tuntutan komunikasi intersubjektif yang etis⁶.


Secara keseluruhan, meskipun fenomenologi ontologis memiliki kedalaman reflektif yang tinggi dan pengaruh luas, pendekatan ini juga mengundang banyak kritik yang penting untuk diperhatikan. Kritik-kritik tersebut mendorong pembaruan fenomenologi agar lebih terbuka terhadap perbedaan, kekuasaan, dan struktur sosial, serta menuntut pengembangan metodologi yang lebih inklusif, reflektif, dan bertanggung jawab secara etis dan epistemologis.


Footnotes

[1]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 317–320.

[2]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), 15–20.

[3]                Iris Marion Young, “Throwing Like a Girl: A Phenomenology of Feminine Body Comportment,” in Throwing Like a Girl and Other Essays in Feminist Philosophy and Social Theory (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 141–154.

[4]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–20.

[5]                Richard Wolin, The Heidegger Controversy: A Critical Reader (Cambridge, MA: MIT Press, 1993), 45–62.

[6]                Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 47–50.


9.           Refleksi Filosofis: Makna Ada dan Kebertubuhan dalam Fenomenologi

Fenomenologi ontologis tidak hanya menyuguhkan model konseptual untuk memahami struktur keberadaan manusia, tetapi juga menjadi medan refleksi filosofis yang mendalam mengenai makna ada (Sein) dan kebertubuhan sebagai dasar penghayatan eksistensial. Dalam tradisi ini, keberadaan bukanlah entitas metafisik yang abstrak, melainkan horizon keterbukaan yang dialami dan dihayati oleh subjek yang berada-di-dunia. Kesadaran tidak lagi dipahami sebagai pusat mental tertutup, melainkan sebagai struktur yang terbuka, berwaktu, dan bertubuh. Oleh karena itu, untuk memahami makna ada, fenomenologi ontologis mengarahkan kita pada kebertubuhan sebagai cara utama Dasein mengada.

9.1.       Keberadaan sebagai Keterbukaan terhadap Dunia

Martin Heidegger menolak pemahaman tradisional tentang keberadaan sebagai kategori metafisika universal dan statis. Sebaliknya, ia mengajukan bahwa keberadaan adalah keterbukaan yang terjadi dalam pengalaman konkret Dasein. Ada bukanlah benda atau fakta, melainkan horizon pengungkapan yang memungkinkan segala sesuatu tampak dan bermakna dalam dunia⁽¹⁾. Proses ini disebut sebagai aletheia—penyingkapan dari yang tersembunyi. Dalam keterbukaannya, Dasein berada dalam relasi yang dinamis dengan dunia, bukan sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai eksistensi yang berpartisipasi secara aktif.

9.2.       Tubuh sebagai Dasar Eksistensi dan Kesadaran

Kritik terhadap dualisme Cartesian oleh para fenomenolog seperti Merleau-Ponty menegaskan bahwa tubuh bukanlah objek yang dikuasai oleh pikiran, melainkan subjek yang hidup dan mengalami. Dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty menegaskan bahwa tubuh adalah medium utama kesadaran, tempat dunia dihadirkan sebagai sesuatu yang dapat dijangkau, disentuh, dan dialami secara langsung⁽²⁾. Tubuh bukan sekadar alat, tetapi “aku yang merasakan” dan “aku yang bertindak”. Pengalaman eksistensial terjadi karena tubuh memungkinkan kita berakar dalam ruang, waktu, dan dunia.

9.3.       Tubuh, Dunia, dan Makna yang Dihidupi

Dalam fenomenologi ontologis, makna tidak ditentukan secara objektif dan eksternal, tetapi selalu dihidupi melalui kebertubuhan. Dunia bukanlah sekumpulan objek netral, melainkan ruang penghayatan yang bersifat intensional dan situasional. Sebagaimana ditunjukkan Merleau-Ponty, tubuh membuka kita terhadap dunia dalam struktur habitual, di mana persepsi dan tindakan melebur dalam gerak pengalaman yang utuh⁽³⁾. Fenomena seperti berjalan, meraba, atau berbicara adalah bentuk ekspresi ontologis di mana makna mengalir tanpa perlu direpresentasikan secara eksplisit dalam bahasa atau konsep.

9.4.       Temporalitas dan Kebertubuhan: Eksistensi sebagai Proyeksi dan Keterlemparan

Heidegger menyatakan bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh temporalitas, yaitu cara Dasein mengada dalam waktu melalui struktur keterlemparan (masa lalu), keterlibatan (masa kini), dan proyek (masa depan)⁽⁴⁾. Tubuh bukan hanya bagian dari dunia kini, tetapi juga membawa sejarah eksistensial yang membentuk horizon kemungkinan. Setiap tindakan tubuh mencerminkan sejarah hidup yang konkret, termasuk trauma, kebiasaan, dan harapan. Oleh karena itu, tubuh tidak netral secara ontologis—ia adalah arsip makna yang bergerak dalam waktu.

9.5.       Kebertubuhan sebagai Titik Awal Etis dan Eksistensial

Dimensi etis dalam fenomenologi ontologis juga bertumpu pada kebertubuhan. Bagi Emmanuel Levinas, tubuh adalah tempat di mana tanggung jawab terhadap yang lain terwujud. Wajah orang lain menginterpelasi aku dalam kerentanannya yang konkret, bukan dalam abstraksi rasional⁽⁵⁾. Dengan demikian, keberadaan yang bertubuh menandai keterbukaan terhadap relasi etis yang tidak simetris. Tubuh tidak hanya menyambungkan kita dengan dunia, tetapi juga dengan yang lain—dalam kesakitan, kesendirian, dan cinta.


Dalam refleksi filosofis fenomenologi ontologis, makna ada bukanlah entitas metafisika yang terisolasi, melainkan proses terbuka yang berlangsung dalam tubuh, dunia, dan waktu. Tubuh menjadi dasar dari keterlibatan manusia dengan dunia, tempat makna tidak hanya dipikirkan, tetapi dihayati. Kesadaran bertubuh membuka jalan bagi pemahaman eksistensi yang bersifat mendalam, partikular, dan selalu dalam proses menjadi.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–68.

[2]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 94–97.

[3]                Ibid., 145–150.

[4]                Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time (London: Routledge, 2013), 84–86.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–202.


10.       Penutup

Fenomenologi ontologis telah menandai pergeseran paradigma penting dalam sejarah filsafat kontemporer, terutama melalui kritiknya terhadap pendekatan rasionalistik, positivistik, dan dualistik yang mendominasi modernitas. Melalui tokoh-tokoh sentral seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Emmanuel Levinas, pendekatan ini tidak hanya memulihkan pentingnya pengalaman eksistensial yang hidup, tetapi juga membuka horizon baru tentang bagaimana ada, kesadaran, dan makna dipahami dalam keterkaitannya yang konkret dengan dunia dan tubuh manusia.

Sebagaimana telah dijabarkan, fenomenologi ontologis menolak pemahaman tentang keberadaan sebagai entitas metafisik yang tertutup, dan sebaliknya mengartikulasikan ada sebagai keterbukaan terhadap dunia dalam struktur waktu, tubuh, dan relasi. Heidegger mengajukan bahwa hanya dengan memahami Dasein—manusia sebagai makhluk yang sadar akan keberadaannya sendiri—kita dapat mendekati pertanyaan mendasar tentang makna keberadaan (Sein)¹. Ini membuka ruang bagi eksplorasi filosofis tentang keotentikan, keterlemparan, dan proyek eksistensial dalam dimensi temporal yang khas.

Kontribusi pendekatan ini meluas tidak hanya dalam filsafat eksistensial dan hermeneutika, tetapi juga dalam etika, estetika, pendidikan, teologi, hingga sosiologi interpretatif. Pendekatan fenomenologis yang berakar pada kebertubuhan dan pengalaman konkret memungkinkan kritik terhadap struktur-struktur dominan yang cenderung mereduksi manusia menjadi objek pasif dalam sistem rasional atau sosial. Di sisi lain, fenomenologi ontologis juga menunjukkan keterbatasan dirinya: baik dari segi bahasanya yang sulit diakses, maupun dari keterbatasan dalam menjawab problem normatif, politik, dan historis secara eksplisit².

Meski demikian, peran fenomenologi ontologis tetap relevan, terutama dalam konteks krisis makna, dehumanisasi teknologi, dan fragmentasi identitas di abad ke-21. Ia mengajak kita untuk tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi menghayatinya secara otentik, reflektif, dan bertanggung jawab—dalam tubuh, dalam waktu, dan dalam relasi dengan yang lain. Pendekatan ini juga menawarkan dasar ontologis bagi pembacaan ulang atas manusia sebagai makhluk yang senantiasa dalam proses menjadi, bukan sebagai entitas yang telah selesai dan tertutup.

Akhirnya, fenomenologi ontologis bukanlah doktrin atau sistem, melainkan suatu cara mengada yang terbuka terhadap makna—sebuah laku filsafat yang terus menghidupkan pertanyaan mendasar tentang keberadaan dan keterlibatan manusia di dalam dunia yang selalu berubah.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.

[2]                Charles Guignon, Heidegger and the Problem of Knowledge (Indianapolis: Hackett, 1983), 89–93.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic (2nd ed.). Dover Publications.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science. Verso.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Guignon, C. (1983). Heidegger and the problem of knowledge. Hackett Publishing.

Guignon, C. (2004). On being authentic. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Husserl, E. (2001). Logical investigations (J. N. Findlay, Trans.; Vols. 1–2). Routledge. (Original work published 1900–1901)

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1998). Otherwise than being or beyond essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Manen, M. van. (1990). Researching lived experience: Human science for an action sensitive pedagogy. Althouse Press.

Marcel, G. (1960). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Mulhall, S. (2013). Heidegger and Being and Time. Routledge.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. University of Chicago Press.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Webber, J. (2009). The existentialism of Jean-Paul Sartre. Routledge.

Wolin, R. (Ed.). (1993). The Heidegger controversy: A critical reader. MIT Press.

Young, I. M. (1990). Throwing like a girl: A phenomenology of feminine body comportment. In Throwing like a girl and other essays in feminist philosophy and social theory (pp. 141–154). Indiana University Press.

Zahavi, D. (1999). Self-awareness and alterity: A phenomenological investigation. Northwestern University Press.

Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology. Stanford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar