Fenomenologi Ontologis
Telaah atas Keberadaan, Kesadaran, dan Makna dalam
Tradisi Fenomenologis Modern
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pendekatan
fenomenologi ontologis sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat kontemporer,
khususnya dalam ranah ontologi. Berangkat dari kritik terhadap metafisika
tradisional dan epistemologi modern yang cenderung mereduksi keberadaan menjadi
entitas objektif atau representasi mental, fenomenologi ontologis menempatkan
pengalaman eksistensial manusia sebagai dasar pengungkapan makna ada.
Melalui analisis terhadap kontribusi Edmund Husserl, Martin Heidegger,
Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, dan Gabriel Marcel,
artikel ini menunjukkan bahwa keberadaan dipahami sebagai proses keterbukaan
yang dihayati secara temporal, relasional, dan bertubuh. Tema-tema seperti
intentionalitas, kebertubuhan, dunia kehidupan (Lebenswelt),
intersubjektivitas, dan keotentikan menjadi kerangka utama dalam mendalami
makna eksistensi manusia dalam dunia yang selalu berubah. Artikel ini juga
mengulas berbagai kritik atas fenomenologi ontologis dari sudut pandang
filsafat analitik, realisme kritis, feminisme, dan poststrukturalisme, serta
menawarkan refleksi filosofis mengenai bagaimana pendekatan ini tetap relevan
dalam memahami dinamika keberadaan, kesadaran, dan makna di era kontemporer.
Kata Kunci: Fenomenologi ontologis; keberadaan; kesadaran;
Dasein; tubuh; eksistensialisme; Heidegger; Merleau-Ponty; Levinas; makna hidup.
PEMBAHASAN
Kajian Fenomenologi Ontologis
1.
Pendahuluan
Permasalahan tentang keberadaan atau eksistensi
(Sein) merupakan tema sentral dalam sejarah filsafat, sejak masa pra-Sokratik
hingga pemikiran kontemporer. Namun demikian, cara pendekatan terhadap keberadaan
mengalami pergeseran signifikan seiring berkembangnya metode dan perspektif
filosofis. Bila dalam metafisika klasik keberadaan dipahami secara esensial dan
abstrak, maka fenomenologi menawarkan jalan baru untuk mengakses makna
keberadaan melalui pengalaman kesadaran yang langsung dan konkret terhadap
fenomena.
Fenomenologi, sebagai sebuah pendekatan filosofis
yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, awalnya dimaksudkan sebagai “ilmu
pengetahuan yang ketat” (strenge Wissenschaft) tentang kesadaran murni
melalui metode reduksi dan intuisi esensial terhadap fenomena sebagaimana yang
tampil dalam kesadaran itu sendiri¹. Dalam konteks ini, keberadaan tidak
terlebih dahulu diasumsikan sebagai sesuatu yang objektif, melainkan sebagai
sesuatu yang dihadirkan dalam dan melalui pengalaman kesadaran. Hal ini membuka
kemungkinan untuk memahami ada tidak semata sebagai fakta metafisis,
melainkan sebagai suatu horizon makna yang mengemuka secara fenomenal.
Namun, titik balik yang menentukan dalam
pengembangan fenomenologi menjadi pendekatan ontologis terjadi melalui karya Martin
Heidegger. Heidegger mengkritik fenomenologi Husserl karena masih bertumpu
pada subjek transendental, lalu merekonstruksi fenomenologi sebagai “ontologi
fundamental” (fundamentale Ontologie)—yaitu penyelidikan terhadap makna ada
itu sendiri melalui analisis eksistensial terhadap Dasein, yakni manusia
sebagai makhluk yang memiliki kesadaran akan keberadaannya². Dalam pandangan
Heidegger, pertanyaan tentang ada (Sein) telah lama dilupakan oleh
tradisi metafisika Barat, dan karena itu perlu dihidupkan kembali melalui
analisis terhadap eksistensi manusia sebagai jalan masuk untuk memahami
keberadaan secara autentik³.
Fenomenologi ontologis kemudian berkembang menjadi
suatu tradisi pemikiran yang luas, mencakup gagasan-gagasan dari pemikir
seperti Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel
Levinas, dan Gabriel Marcel, yang masing-masing mengeksplorasi
dimensi keberadaan melalui kesadaran, tubuh, hubungan antar-pribadi, dan
pengalaman etis⁴. Dengan demikian, fenomenologi ontologis tidak hanya merupakan
transformasi metodologis dari fenomenologi klasik, tetapi juga menjadi fondasi
refleksi filosofis tentang kehidupan, makna, dan keotentikan di dunia modern
yang sering kali tereduksi dalam kategorisasi ilmiah dan teknologi.
Dalam konteks inilah, artikel ini bertujuan untuk
menggali secara sistematis dan reflektif bagaimana fenomenologi dikembangkan
menjadi pendekatan ontologis. Fokus utama akan diarahkan pada bagaimana makna
keberadaan, kesadaran, dan relasi dengan dunia diartikulasikan dalam tradisi
fenomenologis modern. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap pemahaman filsafat kontemporer, khususnya dalam merespons krisis makna
dan keasingan eksistensial dalam masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 43–45.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34–35.
[3]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT
Press, 1991), 2–6.
[4]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology
(London: Routledge, 2000), 223–294.
2.
Landasan
Teoretis: Ontologi dan Permasalahan Keberadaan
Dalam filsafat, ontologi merupakan cabang
utama yang membahas pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai ada (being) dan
apa artinya menjadi (to be). Sejak era pra-Sokratik, terutama oleh
Parmenides dan Herakleitos, perdebatan tentang keberadaan menjadi pusat
perhatian metafisika. Parmenides, misalnya, menyatakan bahwa yang ada
itu ada dan yang tidak ada tidak dapat dipikirkan, mengisyaratkan
bahwa ada itu bersifat tunggal, abadi, dan tak berubah¹. Sementara itu,
Herakleitos memperkenalkan konsep keberadaan dalam perubahan,
menyiratkan bahwa segala sesuatu dalam realitas adalah dinamis dan tak tetap².
Ontologi dalam tradisi metafisika
klasik—sebagaimana terlihat dalam pemikiran Plato dan
Aristoteles—mendefinisikan ada secara esensialis. Plato
membedakan antara dunia indrawi yang bersifat semu dengan dunia ide yang
merupakan realitas sejati, di mana ide atau bentuk adalah dasar dari
segala keberadaan³. Aristoteles lebih konkret: ia mendefinisikan
keberadaan sebagai substansi (ousia) yang terdiri dari bentuk (form) dan
materi (matter), serta menempatkan “ada sebagai ada” (being qua being)
sebagai objek penyelidikan filsafat pertama⁴.
Namun, sejak awal modernitas, terutama setelah Descartes,
pendekatan terhadap keberadaan mengalami pergeseran yang signifikan. Subjek
berpikir menjadi pusat (cogito), sehingga pertanyaan tentang keberadaan
dikaitkan erat dengan kejelasan rasional dan representasi mental⁵. Hal ini
memunculkan paradigma subjektivisme dan reduksi ontologi ke dalam epistemologi,
yaitu reduksi keberadaan menjadi sekadar objek pengetahuan. Akibatnya,
dimensi eksistensial dari keberadaan terabaikan atau direduksi ke dalam
kerangka berpikir logis dan ilmiah.
Kritik terhadap reduksi ini muncul dari tradisi
fenomenologi, terutama melalui upaya untuk merehabilitasi pengalaman
keberadaan secara langsung. Dalam hal ini, pertanyaan “apa itu ada?”
tidak dijawab dengan abstraksi konseptual belaka, melainkan dengan menelusuri
bagaimana keberadaan hadir dalam kesadaran dan pengalaman manusia. Fenomenologi
memosisikan dirinya sebagai kritik terhadap metafisika tradisional yang gagal
mengungkap dinamika keberadaan yang konkrit, sebagaimana dihadirkan dalam dunia
kehidupan (Lebenswelt)⁶.
Martin Heidegger, tokoh sentral dalam fenomenologi ontologis, dengan tegas menyatakan
bahwa pertanyaan tentang makna ada (die Frage nach dem Sinn von Sein)
telah dilupakan oleh metafisika Barat dan perlu diajukan kembali. Menurut
Heidegger, pemahaman terhadap keberadaan harus dimulai dari analisis terhadap
Dasein, yaitu manusia sebagai makhluk yang ada-di-dalam-dunia dan sadar
akan keberadaannya sendiri⁷. Dasein menjadi pintu masuk ontologis karena hanya
manusia yang memiliki hubungan reflektif dan eksplisit terhadap ada.
Dengan demikian, ontologi bukan sekadar
penyelidikan tentang kategori universal (seperti substansi atau kualitas),
tetapi merupakan penelusuran eksistensial atas struktur pengalaman manusia
dalam hubungannya dengan dunia. Ini yang membedakan pendekatan fenomenologi
ontologis dari metafisika klasik maupun positivisme ilmiah. Alih-alih memulai
dari prinsip-prinsip rasional atau data empiris, fenomenologi ontologis
berangkat dari pengalaman konkret sebagai basis pengungkapan ada.
Footnotes
[1]
Parmenides, Fragments, trans. John Burnet,
in Early Greek Philosophy (London: A & C Black, 1908), fr. B2.
[2]
Heraclitus, Fragments, trans. T.M. Robinson,
in Heraclitus: Fragments (Toronto: University of Toronto Press, 1987),
fr. B12.
[3]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube,
rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d–511e.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in
The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random
House, 1941), Book IV, 1003a–1003b.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–20.
[6]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern
University Press, 1970), 103–106.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 19–21.
3.
Fenomenologi
sebagai Pendekatan Filsafat
Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan
filosofis paling berpengaruh dalam filsafat kontemporer yang ditujukan untuk
memahami struktur pengalaman sebagaimana yang dialami secara langsung oleh
kesadaran. Diperkenalkan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20,
fenomenologi berupaya mengembalikan filsafat kepada “hal-hal itu sendiri”
(zu den Sachen selbst)—sebuah slogan epistemologis yang menegaskan
pentingnya kembali kepada pengalaman asli sebelum ia dibentuk oleh teori-teori
psikologis, ilmiah, atau metafisis¹.
Pada dasarnya, fenomenologi adalah studi
sistematis tentang struktur kesadaran dan fenomena sebagaimana yang tampil
dalam kesadaran. Husserl menolak pendekatan positivistik dan naturalistik
yang memperlakukan realitas sebagai objek semata-mata, dan menggantikannya
dengan telaah atas bagaimana objek-objek itu hadir dalam kesadaran dalam bentuk
intensional—yakni, selalu tentang sesuatu². Inilah yang disebut sebagai intentionalitas
kesadaran, yang menjadi prinsip utama dalam fenomenologi: setiap tindakan
kesadaran selalu memiliki korelasi terhadap suatu objek, meski objek itu hanya
muncul sebagai representasi atau kemungkinan.
Untuk melaksanakan penyelidikan fenomenologis,
Husserl mengembangkan metode reduksi fenomenologis (epoché) yang
mengajak kita untuk mengesampingkan (bracketing) semua asumsi tentang
keberadaan objektif dunia, guna memusatkan perhatian hanya pada bagaimana dunia
tersebut dihadirkan dalam kesadaran³. Reduksi ini bukanlah bentuk
skeptisisme, melainkan langkah metodologis agar kita dapat mengamati esensi
pengalaman secara murni, terbebas dari prakonsepsi dan konstruksi kultural.
Selain reduksi, intuisi esensial juga
menjadi elemen kunci dalam metode fenomenologis. Melalui intuisi ini, kesadaran
tidak hanya menangkap fakta-fakta kontingen, melainkan juga mengungkapkan esensi
universal dari fenomena, yang dapat dikenali lewat apa yang disebut Husserl
sebagai “penglihatan eidetik”⁴. Artinya, fenomenologi tidak hanya
deskriptif tetapi juga transendental, karena menyelidiki kondisi kemungkinan
bagi pengalaman dan pengenalan atas dunia.
Namun, pengaruh fenomenologi melampaui batas-batas
metode yang dirumuskan Husserl. Para penerusnya, seperti Martin Heidegger,
Jean-Paul Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty, mengembangkan
pendekatan ini ke arah yang lebih eksistensial, ontologis, dan tubuhiah.
Heidegger, khususnya, mengubah fokus fenomenologi dari “kesadaran” ke “keberadaan”,
dan mengartikulasikan bahwa fenomenologi bukan hanya metode untuk mengetahui,
tetapi juga cara untuk mengungkapkan makna ada melalui eksistensi yang
konkret⁵.
Berbeda dengan metode empiris atau deduktif,
fenomenologi bersifat deskriptif, reflektif, dan analitis, berangkat
dari pengalaman pertama untuk menelusuri struktur terdalam dari kesadaran dan
dunia yang dihayatinya. Hal ini menjadikannya unik dalam ranah filsafat karena
menyatukan subjek dan objek dalam suatu korelasi makna, bukan memisahkannya
seperti dalam dualisme tradisional.
Fenomenologi juga memiliki pengaruh besar di luar
filsafat, khususnya dalam psikologi eksistensial, hermeneutika, sosiologi,
studi agama, dan bahkan dalam estetika dan pendidikan. Keunggulan utamanya
adalah kemampuan untuk menjembatani antara pengalaman konkret dan refleksi
teoritis secara sistematis, tanpa mereduksi kompleksitas makna yang terkandung
dalam pengalaman itu sendiri⁶.
Dengan demikian, fenomenologi sebagai pendekatan
filsafat bukan hanya menawarkan metode analisis terhadap struktur kesadaran,
tetapi juga membuka cakrawala pemahaman baru mengenai keberadaan manusia dalam
dunia. Ia memungkinkan filsafat untuk tidak hanya menjadi disiplin
rasional-formal, melainkan juga sebuah laku reflektif yang berakar pada
kehidupan nyata dan pengalaman manusia yang konkret.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Logical Investigations,
trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), vol. 1, xvi–xvii.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology
(London: Routledge, 2000), 16–19.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 52–55.
[4]
Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology
(Stanford: Stanford University Press, 2003), 45–50.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 58–61.
[6]
Lester Embree, “What is Phenomenology?” in Phenomenology:
Critical Concepts in Philosophy, ed. Dermot Moran and Lester Embree
(London: Routledge, 2004), 3–10.
4.
Transformasi
Ontologis Fenomenologi oleh Martin Heidegger
Martin Heidegger merupakan figur sentral yang mentransformasikan
fenomenologi dari sebuah metode deskriptif kesadaran menjadi suatu penyelidikan
ontologis tentang keberadaan (Sein). Berbeda dari Edmund Husserl yang
menekankan kesadaran transendental dan esensi fenomena, Heidegger menggeser
fokus ke pertanyaan mendasar yang telah lama diabaikan dalam sejarah filsafat
Barat, yaitu: apa arti ada itu sendiri? (Was ist das Sein?)¹.
Dalam magnum opus-nya Sein und Zeit (Being
and Time, 1927), Heidegger mengemukakan bahwa pertanyaan tentang keberadaan
telah “dilupakan” oleh tradisi metafisika yang terjebak dalam pemahaman
ontik—yakni, menyelidiki entitas (makhluk, Seiendes) tanpa menyelidiki
makna keberadaannya sendiri (Sein)². Heidegger menyebut pendekatannya
sebagai ontologi fundamental (fundamentale Ontologie), yaitu
penyelidikan filosofis terhadap struktur eksistensial yang memungkinkan semua
bentuk pengertian tentang entitas.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Heidegger
memperkenalkan konsep Dasein, yaitu manusia sebagai makhluk yang
memiliki pemahaman eksistensial terhadap keberadaannya sendiri. Dasein
secara harfiah berarti “ada-di-sana”, menunjuk pada eksistensi manusia
yang senantiasa berada dalam dunia, berinteraksi dengan dunia, dan menyadari
dirinya sebagai makhluk yang ada³. Dasein tidak netral dan objektif; ia
memiliki keterlibatan (In-der-Welt-sein) yang bersifat faktis dan
historis.
Dalam analisisnya terhadap Dasein, Heidegger
mengemukakan struktur-struktur eksistensial seperti Geworfenheit
(keterlemparan), Verfallenheit (jatuh dalam ketidakotentikan), Sorge
(kepedulian), dan yang paling menentukan, Sein-zum-Tode (keberadaan
menuju kematian). Eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan
proses menjadi yang terbuka terhadap kemungkinan dan selalu menuju kefanaan⁴.
Dalam kesadaran akan kematian, Dasein dipanggil untuk hidup secara
otentik—menghadapi eksistensinya sendiri secara jujur, bukan sekadar mengikuti
arus kebanyakan (das Man).
Heidegger juga menegaskan bahwa waktu merupakan
dimensi mendasar dari keberadaan. Waktu bukan hanya kronologi objektif,
melainkan horizon dari pemahaman eksistensial. Oleh karena itu, keberadaan
adalah temporal, dan struktur pemahaman terhadap makna keberadaan hanya
mungkin jika dipahami dalam kerangka waktu eksistensial (masa lalu sebagai
keterlemparan, kini sebagai keterlibatan, dan masa depan sebagai kemungkinan)⁵.
Dengan demikian, fenomenologi dalam tangan
Heidegger tidak lagi berpusat pada deskripsi fenomena dalam kesadaran,
tetapi menjadi penyingkapan (aletheia) terhadap keberadaan
melalui eksistensi manusia. Fenomenologi dijadikan metode untuk menampakkan
yang tersembunyi dalam keseharian, yakni struktur terdalam dari “ada”
itu sendiri⁶. Ia tidak memisahkan antara subjek dan objek, melainkan
menyelidiki korelasi eksistensial antara Dasein dan dunia dalam keberadaannya
yang konkret.
Transformasi ini memiliki implikasi luas bagi
filsafat kontemporer, terutama dalam menggeser perhatian dari epistemologi ke
ontologi, dari subjek universal ke eksistensi partikular, dari logika ke
keterlibatan hidup. Heidegger membuka jalan bagi berkembangnya
eksistensialisme, hermeneutika filosofis, dan fenomenologi tubuh, sekaligus
mengundang kritik mendalam dari filsuf-filsuf seperti Emmanuel Levinas dan
Jean-Paul Sartre.
Dengan mengintegrasikan fenomenologi ke dalam
penyelidikan ontologis yang radikal, Heidegger telah memberi kontribusi
mendalam bagi pemahaman makna keberadaan yang bukan hanya bersifat konseptual,
melainkan eksistensial, historis, dan temporal.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–22.
[2]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT
Press, 1991), 13–15.
[3]
Richard Polt, Heidegger: An Introduction
(Ithaca: Cornell University Press, 1999), 29–32.
[4]
Heidegger, Being and Time, 279–311.
[5]
Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time
(London: Routledge, 2013), 45–51.
[6]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology
(London: Routledge, 2000), 228–232.
5.
Fenomenologi
Ontologis dalam Tradisi Kontinental
Setelah transformasi
radikal yang dilakukan oleh Martin Heidegger terhadap fenomenologi Husserl
menjadi sebuah proyek ontologis, pengaruh pemikiran fenomenologis terus meluas
dan dikembangkan oleh para filsuf besar dalam tradisi kontinental Eropa. Para
penerus Heidegger seperti Jean-Paul Sartre, Maurice
Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, dan Gabriel
Marcel masing-masing mengembangkan pemikiran fenomenologi ke
arah yang lebih eksistensial, tubuhiah, relasional, dan spiritual, menjadikan
fenomenologi ontologis sebagai medan refleksi multidimensi atas makna
keberadaan manusia.
5.1.
Jean-Paul Sartre:
Kebebasan dan Keberadaan untuk Diri
Jean-Paul Sartre
mengadaptasi pendekatan fenomenologi Heidegger dalam kerangka eksistensialisme
ateistik. Dalam L’Être et le Néant (Being
and Nothingness, 1943), Sartre membedakan antara dua mode
keberadaan: en-soi (keberadaan-dalam-diri) dan pour-soi
(keberadaan-untuk-diri). Yang pertama bersifat inert dan tak sadar, sementara
yang kedua bersifat reflektif dan sadar akan dirinya sendiri¹. Sartre
menegaskan bahwa pour-soi bersifat “nihilatif”
karena dalam kesadarannya ia tidak sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri,
melainkan selalu mengada dalam kekurangan dan proyek². Ontologi Sartre
menekankan kebebasan radikal manusia untuk
mencipta dirinya sendiri, meskipun hal ini membawa konsekuensi kecemasan
(anxiety) dan tanggung jawab mutlak.
5.2.
Maurice Merleau-Ponty:
Tubuh sebagai Subjek Ontologis
Sementara itu,
Maurice Merleau-Ponty mengkritik kecenderungan Cartesian dan Husserlian yang
memisahkan subjek dan dunia, serta menekankan pentingnya tubuh sebagai medium
kesadaran. Dalam Phénoménologie de la Perception (Phenomenology
of Perception, 1945), ia mengemukakan bahwa tubuh bukan sekadar
objek fisik, melainkan adalah “body-subject”—suatu pusat
kesadaran yang hidup dan melekat pada dunia melalui persepsi³. Tubuh
memungkinkan keterlibatan ontologis dengan dunia, karena setiap tindakan dan
persepsi senantiasa berlangsung dalam horizon dunia yang telah termaknai.
Konsep ini menjungkirbalikkan paradigma idealistik dan membuka ruang bagi
pemahaman tentang makna sebagai sesuatu yang dihidupi, bukan sekadar dipikirkan.
5.3.
Emmanuel Levinas:
Etika sebagai Filsafat Pertama
Emmanuel Levinas
mengambil jalan yang berbeda dengan Heidegger. Dalam karya seperti Totalité
et Infini (Totality and Infinity, 1961),
Levinas menolak pendekatan ontologi yang menekankan totalitas dan identitas,
dan sebaliknya mengajukan etika sebagai filsafat pertama⁴.
Bagi Levinas, keberadaan yang paling fundamental bukanlah refleksi atas “ada”
secara impersonal, melainkan keterbukaan terhadap Yang Lain (the Other). Wajah orang
lain memunculkan tanggung jawab etis yang tak dapat direduksi dalam sistem
ontologis apa pun. Dengan demikian, Levinas mengubah fenomenologi ontologis
menjadi fenomenologi relasional dan etis,
di mana makna keberadaan ditemukan dalam relasi yang tak simetris antara Aku
dan Engkau.
5.4.
Gabriel Marcel:
Misteri Eksistensi dan Keberadaan sebagai Partisipasi
Dalam tradisi
eksistensialisme religius, Gabriel Marcel menawarkan pendekatan yang sangat
khas terhadap fenomenologi ontologis. Berbeda dari Sartre yang menekankan
kekosongan dan kebebasan radikal, Marcel menggarisbawahi dimensi
partisipatif dari keberadaan manusia. Ia membedakan antara “masalah”
dan “misteri”: yang pertama dapat diselesaikan secara objektif,
sementara yang kedua melibatkan keberadaan subjek itu sendiri secara total⁵.
Dalam Le Mystère
de l’Être (The Mystery of Being), Marcel
menekankan bahwa eksistensi manusia bersifat dialogis dan transenden, di mana ada
bukanlah sesuatu yang dipahami secara intelektual, tetapi dihayati dalam cinta,
kesetiaan, dan kehadiran.
Fenomenologi ontologis
dalam tradisi kontinental memperkaya pemahaman kita tentang keberadaan tidak
hanya sebagai entitas metafisik, tetapi sebagai sesuatu yang diungkapkan
melalui kesadaran, tubuh, relasi, dan keterlibatan eksistensial. Para pemikir
ini menunjukkan bahwa makna ada tidak tunggal dan statis,
melainkan bersifat plural, kontekstual, dan terbuka terhadap berbagai horizon:
kebebasan, pengalaman tubuh, tanggung jawab etis, dan spiritualitas.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes
(New York: Washington Square Press, 1992), 100–110.
[2]
Jonathan Webber, The Existentialism of Jean-Paul Sartre (New
York: Routledge, 2009), 51–53.
[3]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 66–68.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–42.
[5]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery, 1960), 117–123.
6.
Tema-Tema
Kunci dalam Fenomenologi Ontologis
Fenomenologi
ontologis, sebagaimana berkembang sejak Martin Heidegger dan diteruskan oleh
pemikir kontinental lainnya, menampilkan sejumlah tema sentral yang menjadi
ciri khas pendekatan ini dalam memahami keberadaan. Tema-tema tersebut bukan
hanya bersifat filosofis-teoritis, tetapi juga mencerminkan pengalaman
eksistensial yang konkret dan mendalam. Beberapa tema utama yang menjadi
fondasi dalam fenomenologi ontologis meliputi intentionalitas kesadaran, fenomena
sebagai pengungkapan makna ada, struktur dunia kehidupan (Lebenswelt),
serta subjektivitas,
intersubjektivitas, dan keotentikan.
6.1.
Intentionalitas dan
Struktur Kesadaran dalam Konteks Ontologis
Intentionalitas
merupakan konsep fundamental dalam fenomenologi, yang pertama kali dirumuskan
secara sistematis oleh Husserl. Ia menyatakan bahwa semua kesadaran bersifat intentional,
yakni selalu terarah kepada sesuatu—consciousness is always consciousness of
something¹. Dalam konteks ontologis, intentionalitas tidak hanya
menunjukkan struktur kesadaran, tetapi juga cara keberadaan dihadirkan kepada
subjek. Heidegger memperluas makna intentionalitas dengan menyatakan bahwa
Dasein selalu ada-di-dalam-dunia dan memiliki
struktur keterarahan yang inheren terhadap makna-makna duniawi². Artinya,
keberadaan tidak dipahami secara netral, melainkan sebagai keterlibatan
eksistensial yang bermakna.
6.2.
Fenomena sebagai Mode
Pengungkapan Keberadaan
Dalam fenomenologi
ontologis, fenomena bukan sekadar penampakan empiris, melainkan pengungkapan
dari yang tersembunyi (aletheia). Heidegger menekankan
bahwa “fenomena” adalah apa yang menyingkap dirinya sendiri sebagai dirinya
sendiri³. Oleh karena itu, fenomenologi menjadi jalan untuk membuka tirai yang
menyembunyikan makna ada. Dunia tidak tampil sebagai
kumpulan objek, tetapi sebagai medan pengungkapan eksistensial yang selalu
mengandung potensi ketersembunyian dan keterbukaan. Proses pengungkapan ini
bersifat hermeneutik, yaitu selalu melibatkan interpretasi terhadap makna yang
tidak pernah sepenuhnya hadir secara final.
6.3.
Dunia Kehidupan
(Lebenswelt) dan Struktur Eksistensial
Husserl
memperkenalkan istilah Lebenswelt untuk merujuk pada dunia
kehidupan sebagai latar belakang prateoritis dari segala pengalaman. Dunia kehidupan
adalah dunia yang langsung kita alami, sebelum ditata oleh sains, teknologi,
atau sistem rasional⁴. Heidegger mengembangkan gagasan ini dalam bentuk being-in-the-world,
yang menyatakan bahwa Dasein selalu eksis dalam konteks dunia yang telah
termaknai secara historis, linguistik, dan sosial. Dalam kerangka ini, keberadaan
tidak pernah soliter, melainkan senantiasa berada dalam
jaringan relasi, simbol, dan nilai-nilai yang membentuk horizon pengertian
manusia terhadap dunia.
6.4.
Subjektivitas,
Intersubjektivitas, dan Keotentikan
Fenomenologi
ontologis juga menyoroti hubungan antara subjek dan yang lain (the Other).
Subjektivitas tidak dipahami sebagai pusat tertutup (sebagaimana dalam
Cartesianisme), melainkan sebagai keterbukaan terhadap dunia dan terhadap yang
lain. Dalam fenomenologi klasik, hubungan ini dijembatani oleh konsep intersubjektivitas,
yakni pengakuan timbal balik antara subjek sebagai pusat makna⁵. Heidegger
melampaui itu dengan membahas kejatuhan Dasein dalam “das Man” (orang
kebanyakan), yang menyamarkan keunikan eksistensial. Hanya dengan menghadapi
keberadaan secara personal—terutama dalam kesadaran akan kematian—Dasein dapat
menghidupi keotentikan (Eigentlichkeit),
yakni menjadi dirinya sendiri secara utuh dan sadar⁶.
6.5.
Temporalitas dan Historisitas
sebagai Struktur Keberadaan
Waktu bukan hanya
latar bagi eksistensi, melainkan struktur inheren dari Dasein itu sendiri.
Heidegger menunjukkan bahwa eksistensi bersifat temporal: masa lalu sebagai
keterlemparan (Geworfenheit), masa kini sebagai keterlibatan
(Verfallenheit),
dan masa depan sebagai kemungkinan yang dituju (Entwurf)⁷. Historisitas menjadi
bagian integral dari eksistensi karena keberadaan manusia dibentuk oleh
tradisi, bahasa, dan pemaknaan historis yang terus-menerus direinterpretasi.
Secara keseluruhan,
tema-tema dalam fenomenologi ontologis menekankan keterkaitan antara
keberadaan, kesadaran, dan dunia sebagai struktur dinamis yang terus
mengungkapkan makna dalam horizon waktu, relasi, dan pengalaman. Pemahaman
terhadap keberadaan bukanlah pencarian hakikat statis, melainkan keterlibatan
reflektif dalam proses pengungkapan makna eksistensial yang tak kunjung usai.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay
(London: Routledge, 2001), vol. 2, 192–196.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–83.
[3]
Ibid., 51–53.
[4]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press,
1970), 103–107.
[5]
Dan Zahavi, Self-Awareness and Alterity: A Phenomenological
Investigation (Evanston: Northwestern University Press, 1999), 88–90.
[6]
Heidegger, Being and Time, 279–311.
[7]
Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time (London:
Routledge, 2013), 67–71.
7.
Kontribusi
Fenomenologi Ontologis terhadap Diskursus Filsafat Kontemporer
Fenomenologi
ontologis, terutama sebagaimana dirumuskan oleh Martin Heidegger dan
dikembangkan oleh para pemikir kontinental sesudahnya, telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat kontemporer. Dengan
menekankan penghayatan eksistensial manusia terhadap keberadaan, pendekatan ini
tidak hanya membentuk arah baru dalam filsafat eksistensial dan hermeneutika, tetapi
juga memberi pengaruh mendalam dalam ranah etika, teologi, teori kritis, serta
ilmu humaniora secara luas. Kontribusi fenomenologi ontologis dapat dilihat
dalam lima dimensi utama berikut.
7.1.
Kritik terhadap
Rasionalisme dan Objektivisme Modern
Salah satu
kontribusi utama fenomenologi ontologis adalah kritiknya terhadap rasionalisme
dan objektivisme yang mendominasi filsafat dan ilmu pengetahuan modern sejak
Descartes dan Pencerahan. Heidegger dan para pengikutnya menyoroti bahwa
pendekatan objektivistik telah mereduksi realitas menjadi kumpulan entitas yang
netral dan terpisah dari keterlibatan manusia⁽¹⁾. Sebagai respons, fenomenologi
ontologis memulihkan pentingnya pengalaman yang hidup dan situasional dalam
memahami makna keberadaan. Dunia tidak netral, tetapi selalu dimaknai oleh
Dasein melalui keterlibatan eksistensialnya.
7.2.
Landasan bagi
Eksistensialisme dan Etika Keotentikan
Fenomenologi
ontologis meletakkan dasar ontologis bagi eksistensialisme modern. Sartre
mengadopsi kerangka Heideggerian dalam menggambarkan manusia sebagai makhluk
yang harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui kebebasan radikal⁽²⁾.
Lebih dari itu, gagasan Heidegger tentang keotentikan (Eigentlichkeit)
mendorong pergeseran etika dari hukum moral universal ke etika keberadaan, di
mana manusia dipanggil untuk secara sadar mengada sebagai dirinya sendiri.
Konsep ini menjadi titik tolak dalam pengembangan etika eksistensial yang
menolak konformisme dan mendesak tanggung jawab personal terhadap
eksistensi⁽³⁾.
7.3.
Pembaruan Hermeneutika
dan Filsafat Bahasa
Pengaruh Heidegger
terhadap hermeneutika filosofis,
khususnya melalui tokoh seperti Hans-Georg Gadamer, sangat besar. Heidegger
menyatakan bahwa pemahaman bukanlah tindakan intelektual netral, melainkan modus
eksistensial Dasein⁽⁴⁾. Dengan demikian, setiap tindakan memahami
selalu terjadi dalam horizon historis dan linguistik tertentu, yang menuntut
pendekatan interpretatif terhadap realitas. Hermeneutika ontologis ini
menantang model penafsiran yang bersifat objektivis dan menawarkan alternatif
yang lebih reflektif dan kontekstual dalam memahami makna.
7.4.
Fondasi bagi Teologi
dan Spiritualitas Kontemporer
Meskipun Heidegger
sendiri tidak menulis sebagai teolog, banyak teolog kontemporer yang
memanfaatkan pendekatan fenomenologi ontologis dalam memahami iman dan
spiritualitas. Tokoh seperti Paul Tillich, Rudolf
Bultmann, dan Jean-Luc Marion mengadopsi
struktur eksistensial dan horizon makna dalam menjelaskan keterbukaan manusia
terhadap yang transenden⁽⁵⁾. Dalam hal ini, pengalaman keagamaan tidak
direduksi menjadi doktrin, tetapi dipahami sebagai fenomena keterbukaan eksistensial
terhadap makna yang melampaui diri.
7.5.
Pengaruh dalam
Humaniora dan Ilmu Sosial
Fenomenologi
ontologis juga memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu sosial dan
humaniora, khususnya dalam kajian budaya, sosiologi fenomenologis (misalnya
melalui Alfred Schutz), dan filsafat pendidikan. Dalam filsafat pendidikan,
pendekatan ini digunakan untuk menekankan pentingnya pengalaman belajar yang
bermakna dan keterlibatan penuh subjek dalam dunia⁽⁶⁾. Sementara dalam kajian
budaya, fenomenologi ontologis membuka cara baru untuk memahami identitas,
ruang, dan tubuh sebagai konstruksi yang dialami secara eksistensial.
Fenomenologi
ontologis dengan demikian telah memperluas cakrawala filsafat dari penyelidikan
abstrak menuju refleksi mendalam atas eksistensi konkret. Ia membentuk suatu
paradigma alternatif yang menekankan makna, situasi, dan keberadaan yang
terbuka terhadap interpretasi dan keotentikan. Dalam dunia yang semakin
terfragmentasi dan terdigitalisasi, pendekatan ini tetap relevan sebagai
kerangka pemahaman yang menempatkan manusia dan pengalamannya sebagai pusat
refleksi filosofis.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 27–30.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.
[3]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
18–23.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 250–270.
[5]
Jean-Luc Marion, God Without Being: Hors-Texte, trans. Thomas
A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 5–15.
[6]
Max van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an
Action Sensitive Pedagogy (London: Althouse Press, 1990), 12–20.
8.
Kritik
dan Perdebatan atas Fenomenologi Ontologis
Fenomenologi
ontologis telah menjadi salah satu pendekatan filsafat paling berpengaruh dalam
abad ke-20. Namun, pengaruh tersebut juga disertai oleh berbagai kritik dan
perdebatan tajam dari beragam aliran filsafat dan perspektif teoretis.
Kritik-kritik ini tidak hanya mempertanyakan asumsi dasar fenomenologi
ontologis, tetapi juga menantang klaim-klaim metodologis, etis, politis, dan
metafisik yang terkandung di dalamnya. Beberapa kelompok kritis utama yang
menanggapi pendekatan ini berasal dari filsafat analitik, realisme
kritis, feminisme, dan poststrukturalisme.
8.1.
Kritik dari Filsafat
Analitik: Ketidakjelasan Konseptual dan Bahasa yang Gelap
Filsuf dari tradisi
analitik, seperti Gilbert Ryle dan A.J.
Ayer, seringkali mengkritik fenomenologi ontologis karena
dianggap tidak memiliki ketegasan logis dan menggunakan bahasa yang kabur.
Dalam The
Concept of Mind, Ryle secara eksplisit menyatakan bahwa Heidegger
mengaburkan makna “ada” dengan cara yang metaforis dan sulit
diverifikasi secara logis¹. Bagi filsafat analitik, pernyataan-pernyataan
ontologis Heidegger sering kali tidak memenuhi kriteria klarifikasi makna yang
menjadi inti logika analitik. Dengan demikian, fenomenologi ontologis dianggap
terlalu spekulatif dan tidak bisa diuji secara argumentatif.
8.2.
Tantangan Realisme
Kritis: Fenomenologi sebagai Idealistik dan Antirealistis
Pendekatan
fenomenologi yang menekankan dunia sebagai “yang tampak bagi kesadaran”
sering ditafsirkan sebagai bentuk idealism subjektif, yang
mengabaikan realitas obyektif dunia di luar pengalaman. Roy
Bhaskar, tokoh utama dalam realisme kritis, mengkritik bahwa
fenomenologi gagal membedakan antara realitas dan pengalaman
atas realitas, sehingga cenderung menurunkan kebenaran menjadi
representasi kesadaran saja². Dalam kerangka ini, fenomenologi ontologis
dikritik karena terlalu memusatkan perhatian pada horizon Dasein dan tidak
memberi ruang bagi struktur kausal objektif yang membentuk realitas sosial
maupun alamiah.
8.3.
Kritik Feminis:
Netralitas Subjek yang Bias Gender
Beberapa pemikir
feminis mengkritik bahwa subjek Dasein dalam Being and Time secara implisit
mengasumsikan universalitas pengalaman pria Barat, dan gagal mengakomodasi
keberagaman identitas gender. Iris Marion Young menyoroti
bahwa Heidegger tidak memperhitungkan dimensi tubuh yang dibentuk oleh relasi
kuasa dan seksualitas³. Dalam hal ini, fenomenologi ontologis dikritik karena
menyuguhkan gambaran “manusia” yang bersifat abstrak, netral, dan ahistoris,
padahal dalam kenyataannya eksistensi senantiasa dibentuk oleh konteks
sosial-politik yang bersifat patriarkal dan hierarkis.
8.4.
Kritik Poststrukturalis:
Ontologi sebagai Totalisasi Makna
Dari perspektif
poststrukturalisme, fenomenologi ontologis ditantang karena dianggap masih
terjebak dalam proyek totalisasi makna melalui
struktur eksistensial yang dinaturalisasikan. Jacques Derrida, dalam kritiknya
terhadap fenomenologi Husserl dan Heidegger, menyatakan bahwa klaim atas
kehadiran makna yang langsung (presence) melalui pengalaman
eksistensial tidak dapat dipertahankan secara logis. Dalam Margins
of Philosophy, Derrida menegaskan bahwa semua makna selalu tertunda
(différance)
dan tidak pernah hadir secara penuh⁴. Maka, fenomenologi ontologis dituduh
gagal menyadari bahwa struktur pemaknaan selalu bersifat linguistik dan
terperangkap dalam permainan tanda yang tidak berujung.
8.5.
Pertanyaan Etis dan
Politik: Kekosongan Normatif dalam Fenomenologi
Kritik lain yang
penting adalah bahwa fenomenologi ontologis kerap dianggap tidak
cukup normatif dalam menjawab persoalan etika dan keadilan
sosial. Meskipun Heidegger menyinggung soal keotentikan dan tanggung jawab
eksistensial, pendekatan tersebut tetap dianggap kurang tajam dalam
menganalisis struktur sosial-politik yang menindas. Bahkan, keterlibatan
Heidegger dengan Nazisme pada 1930-an telah menjadi sumber kritik moral yang
serius⁵. Para filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Jürgen
Habermas menilai bahwa orientasi fenomenologi terhadap “ke
dalam” (inwardness) harus diimbangi dengan keterbukaan terhadap yang
lain dan tuntutan komunikasi intersubjektif yang etis⁶.
Secara keseluruhan,
meskipun fenomenologi ontologis memiliki kedalaman reflektif yang tinggi dan
pengaruh luas, pendekatan ini juga mengundang banyak kritik yang penting untuk
diperhatikan. Kritik-kritik tersebut mendorong pembaruan fenomenologi agar
lebih terbuka terhadap perbedaan, kekuasaan, dan struktur sosial, serta
menuntut pengembangan metodologi yang lebih inklusif, reflektif, dan
bertanggung jawab secara etis dan epistemologis.
Footnotes
[1]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), 317–320.
[2]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), 15–20.
[3]
Iris Marion Young, “Throwing Like a Girl: A Phenomenology of Feminine
Body Comportment,” in Throwing Like a Girl and Other Essays in Feminist
Philosophy and Social Theory (Bloomington: Indiana University Press,
1990), 141–154.
[4]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–20.
[5]
Richard Wolin, The Heidegger Controversy: A Critical Reader
(Cambridge, MA: MIT Press, 1993), 45–62.
[6]
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 47–50.
9.
Refleksi
Filosofis: Makna Ada dan Kebertubuhan dalam Fenomenologi
Fenomenologi
ontologis tidak hanya menyuguhkan model konseptual untuk memahami struktur
keberadaan manusia, tetapi juga menjadi medan refleksi filosofis yang mendalam
mengenai makna
ada (Sein) dan kebertubuhan sebagai dasar
penghayatan eksistensial. Dalam tradisi ini, keberadaan bukanlah entitas
metafisik yang abstrak, melainkan horizon keterbukaan yang dialami dan dihayati
oleh subjek yang berada-di-dunia. Kesadaran tidak lagi dipahami sebagai pusat
mental tertutup, melainkan sebagai struktur yang terbuka, berwaktu, dan
bertubuh. Oleh karena itu, untuk memahami makna ada, fenomenologi ontologis
mengarahkan kita pada kebertubuhan sebagai cara utama Dasein mengada.
9.1.
Keberadaan sebagai
Keterbukaan terhadap Dunia
Martin Heidegger
menolak pemahaman tradisional tentang keberadaan sebagai kategori metafisika
universal dan statis. Sebaliknya, ia mengajukan bahwa keberadaan adalah
keterbukaan yang terjadi dalam pengalaman konkret Dasein. Ada
bukanlah benda atau fakta, melainkan horizon pengungkapan yang memungkinkan
segala sesuatu tampak dan bermakna dalam dunia⁽¹⁾. Proses ini disebut sebagai aletheia—penyingkapan
dari yang tersembunyi. Dalam keterbukaannya, Dasein berada dalam relasi yang
dinamis dengan dunia, bukan sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai eksistensi
yang berpartisipasi secara aktif.
9.2.
Tubuh sebagai Dasar
Eksistensi dan Kesadaran
Kritik terhadap
dualisme Cartesian oleh para fenomenolog seperti Merleau-Ponty menegaskan bahwa
tubuh bukanlah objek yang dikuasai oleh pikiran, melainkan subjek yang hidup
dan mengalami. Dalam Phenomenology of Perception,
Merleau-Ponty menegaskan bahwa tubuh adalah medium utama kesadaran,
tempat dunia dihadirkan sebagai sesuatu yang dapat dijangkau, disentuh, dan
dialami secara langsung⁽²⁾. Tubuh bukan sekadar alat, tetapi “aku yang
merasakan” dan “aku yang bertindak”. Pengalaman eksistensial terjadi
karena tubuh memungkinkan kita berakar dalam ruang, waktu, dan dunia.
9.3.
Tubuh, Dunia, dan
Makna yang Dihidupi
Dalam fenomenologi
ontologis, makna tidak ditentukan secara objektif dan eksternal, tetapi selalu dihidupi
melalui kebertubuhan. Dunia bukanlah sekumpulan objek netral, melainkan ruang
penghayatan yang bersifat intensional dan situasional. Sebagaimana ditunjukkan
Merleau-Ponty, tubuh membuka kita terhadap dunia dalam struktur habitual,
di mana persepsi dan tindakan melebur dalam gerak pengalaman yang utuh⁽³⁾.
Fenomena seperti berjalan, meraba, atau berbicara adalah bentuk ekspresi
ontologis di mana makna mengalir tanpa perlu direpresentasikan secara eksplisit
dalam bahasa atau konsep.
9.4.
Temporalitas dan
Kebertubuhan: Eksistensi sebagai Proyeksi dan Keterlemparan
Heidegger menyatakan
bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh temporalitas, yaitu cara Dasein
mengada dalam waktu melalui struktur keterlemparan (masa lalu), keterlibatan
(masa kini), dan proyek (masa depan)⁽⁴⁾. Tubuh bukan hanya bagian dari dunia
kini, tetapi juga membawa sejarah eksistensial yang membentuk horizon
kemungkinan. Setiap tindakan tubuh mencerminkan sejarah hidup yang konkret,
termasuk trauma, kebiasaan, dan harapan. Oleh karena itu, tubuh tidak netral
secara ontologis—ia adalah arsip makna yang bergerak dalam waktu.
9.5.
Kebertubuhan sebagai
Titik Awal Etis dan Eksistensial
Dimensi etis dalam
fenomenologi ontologis juga bertumpu pada kebertubuhan. Bagi Emmanuel
Levinas, tubuh adalah tempat di mana tanggung jawab terhadap yang
lain terwujud. Wajah orang lain menginterpelasi aku dalam
kerentanannya yang konkret, bukan dalam abstraksi rasional⁽⁵⁾. Dengan demikian,
keberadaan yang bertubuh menandai keterbukaan terhadap relasi etis yang tidak
simetris. Tubuh tidak hanya menyambungkan kita dengan dunia, tetapi juga dengan
yang lain—dalam kesakitan, kesendirian, dan cinta.
Dalam refleksi
filosofis fenomenologi ontologis, makna ada bukanlah entitas metafisika
yang terisolasi, melainkan proses terbuka yang berlangsung dalam tubuh, dunia,
dan waktu. Tubuh menjadi dasar dari keterlibatan manusia dengan dunia, tempat
makna tidak hanya dipikirkan, tetapi dihayati. Kesadaran bertubuh membuka jalan
bagi pemahaman eksistensi yang bersifat mendalam, partikular, dan selalu dalam
proses menjadi.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–68.
[2]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 94–97.
[3]
Ibid., 145–150.
[4]
Stephen Mulhall, Heidegger and Being and Time (London:
Routledge, 2013), 84–86.
[5]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–202.
10. Penutup
Fenomenologi ontologis telah menandai pergeseran
paradigma penting dalam sejarah filsafat kontemporer, terutama melalui
kritiknya terhadap pendekatan rasionalistik, positivistik, dan dualistik yang
mendominasi modernitas. Melalui tokoh-tokoh sentral seperti Martin Heidegger,
Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Emmanuel Levinas, pendekatan ini
tidak hanya memulihkan pentingnya pengalaman eksistensial yang hidup,
tetapi juga membuka horizon baru tentang bagaimana ada, kesadaran,
dan makna dipahami dalam keterkaitannya yang konkret dengan dunia dan
tubuh manusia.
Sebagaimana telah dijabarkan, fenomenologi
ontologis menolak pemahaman tentang keberadaan sebagai entitas metafisik yang
tertutup, dan sebaliknya mengartikulasikan ada sebagai keterbukaan
terhadap dunia dalam struktur waktu, tubuh, dan relasi. Heidegger mengajukan
bahwa hanya dengan memahami Dasein—manusia sebagai makhluk yang sadar akan
keberadaannya sendiri—kita dapat mendekati pertanyaan mendasar tentang makna
keberadaan (Sein)¹. Ini membuka ruang bagi eksplorasi filosofis tentang
keotentikan, keterlemparan, dan proyek eksistensial dalam dimensi temporal yang
khas.
Kontribusi pendekatan ini meluas tidak hanya dalam
filsafat eksistensial dan hermeneutika, tetapi juga dalam etika, estetika,
pendidikan, teologi, hingga sosiologi interpretatif. Pendekatan fenomenologis
yang berakar pada kebertubuhan dan pengalaman konkret memungkinkan kritik
terhadap struktur-struktur dominan yang cenderung mereduksi manusia menjadi
objek pasif dalam sistem rasional atau sosial. Di sisi lain, fenomenologi
ontologis juga menunjukkan keterbatasan dirinya: baik dari segi bahasanya yang
sulit diakses, maupun dari keterbatasan dalam menjawab problem normatif,
politik, dan historis secara eksplisit².
Meski demikian, peran fenomenologi ontologis tetap
relevan, terutama dalam konteks krisis makna, dehumanisasi teknologi, dan
fragmentasi identitas di abad ke-21. Ia mengajak kita untuk tidak hanya
berpikir tentang dunia, tetapi menghayatinya secara otentik, reflektif, dan
bertanggung jawab—dalam tubuh, dalam waktu, dan dalam relasi dengan yang lain.
Pendekatan ini juga menawarkan dasar ontologis bagi pembacaan ulang atas
manusia sebagai makhluk yang senantiasa dalam proses menjadi, bukan sebagai
entitas yang telah selesai dan tertutup.
Akhirnya, fenomenologi ontologis bukanlah doktrin
atau sistem, melainkan suatu cara mengada yang terbuka terhadap makna—sebuah
laku filsafat yang terus menghidupkan pertanyaan mendasar tentang
keberadaan dan keterlibatan manusia di dalam dunia yang selalu berubah.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.
[2]
Charles Guignon, Heidegger and the Problem of
Knowledge (Indianapolis: Hackett, 1983), 89–93.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic
(2nd ed.). Dover Publications.
Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science.
Verso.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Guignon, C. (1983). Heidegger and the problem of
knowledge. Hackett Publishing.
Guignon, C. (2004). On being authentic.
Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Husserl, E. (1970). The crisis of European
sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern
University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Husserl, E. (2001). Logical investigations
(J. N. Findlay, Trans.; Vols. 1–2). Routledge. (Original work published
1900–1901)
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Levinas, E. (1998). Otherwise than being or
beyond essence (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Manen, M. van. (1990). Researching lived experience:
Human science for an action sensitive pedagogy. Althouse Press.
Marcel, G. (1960). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Mulhall, S. (2013). Heidegger and Being and Time.
Routledge.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
University of Chicago Press.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Webber, J. (2009). The existentialism of
Jean-Paul Sartre. Routledge.
Wolin, R. (Ed.). (1993). The Heidegger
controversy: A critical reader. MIT Press.
Young, I. M. (1990). Throwing like a girl: A
phenomenology of feminine body comportment. In Throwing like a girl and
other essays in feminist philosophy and social theory (pp. 141–154).
Indiana University Press.
Zahavi, D. (1999). Self-awareness and alterity:
A phenomenological investigation. Northwestern University Press.
Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology.
Stanford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar