Jumat, 13 Juni 2025

Eksistensialisme Ontologis: Konsepsi Keberadaan dan Subjektivitas dalam Filsafat Modern

Eksistensialisme Ontologis

Konsepsi Keberadaan dan Subjektivitas dalam Filsafat Modern


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji eksistensialisme ontologis sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat modern yang menyoroti persoalan keberadaan manusia secara radikal dan reflektif. Dengan menelusuri akar historisnya dari Kierkegaard hingga Heidegger dan Sartre, artikel ini menekankan bahwa eksistensialisme bukan hanya respons terhadap krisis metafisika Barat, tetapi juga suatu proyek filosofis yang menempatkan kebebasan, subjektivitas, keterlemparan, dan keotentikan sebagai dasar pemahaman manusia. Melalui analisis terhadap konsep-konsep kunci seperti Dasein, being-for-itself, absurditas, dan nihilasi, eksistensialisme ontologis menawarkan kerangka pemikiran yang mengajak manusia untuk secara sadar menciptakan makna hidup di tengah ketiadaan fondasi metafisik yang tetap. Artikel ini juga membahas relevansi eksistensialisme dalam bidang epistemologi, etika, filsafat agama, estetika, dan konteks kontemporer seperti psikoterapi, disrupsi teknologi, dan krisis identitas. Di sisi lain, eksistensialisme dikritik karena subjektivisme ekstrem dan minimnya kerangka etika normatif. Meskipun demikian, warisan intelektual eksistensialisme tetap penting sebagai filsafat yang menggugah kesadaran eksistensial manusia dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi.

Kata Kunci; Eksistensialisme Ontologis; Keberadaan; Subjektivitas; Kebebasan; Keotentikan; Dasein; Absurd; Heidegger; Sartre; Makna Hidup.


PEMBAHASAN

Eksistensialisme Ontologis dalam Sejarah Pemikiran


1.           Pendahuluan

Ontologi, sebagai cabang utama filsafat, membahas pertanyaan fundamental tentang apa yang ada dan bagaimana sesuatu itu ada. Dalam ranah ini, eksistensialisme muncul sebagai respons kritis terhadap reduksi keberadaan menjadi entitas objektif belaka, sebagaimana dianut dalam tradisi metafisika klasik dan filsafat rasionalistik. Eksistensialisme tidak sekadar menawarkan jawaban mengenai “ada”, melainkan menekankan bagaimana manusia mengalami keberadaan secara konkret, subjektif, dan terkadang tragis dalam dunia yang absurd atau bahkan tanpa makna bawaan.

Eksistensialisme ontologis menempatkan keberadaan manusia sebagai pusat pertanyaan filsafat, bukan semata-mata sebagai objek pengetahuan, melainkan sebagai subjek yang berada, mengalami, dan memberi makna. Berbeda dengan tradisi filsafat sebelumnya yang menekankan esensi terlebih dahulu, eksistensialisme—khususnya yang diwakili oleh Jean-Paul Sartre—menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (l’existence précède l’essence)¹. Ini berarti manusia pertama-tama “ada”, dan hanya kemudian mendefinisikan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.

Akar eksistensialisme dapat ditelusuri hingga Søren Kierkegaard, filsuf Denmark abad ke-19 yang menekankan pentingnya subjektivitas, keputusan pribadi, dan iman sebagai bentuk eksistensi otentik². Pandangan ini kemudian mendapatkan fondasi fenomenologis melalui karya Martin Heidegger, yang dalam Sein und Zeit (1927) mengembangkan konsep Dasein sebagai modus eksistensial khas manusia—suatu keberadaan yang sadar akan keberadaannya dan mempertanyakan makna “Ada” secara radikal³.

Di tengah dominasi positivisme logis dan strukturalisme pada abad ke-20, eksistensialisme ontologis tampil sebagai bentuk resistensi filosofis terhadap dehumanisasi manusia dalam struktur sosial yang impersonal dan ilmu pengetahuan yang dingin. Ia mengajak manusia untuk menghadapi kenyataan tentang kebebasan radikal, keterlemparan dalam dunia, dan tanggung jawab eksistensial tanpa jaminan makna objektif⁴. Karena itulah, eksistensialisme bukan hanya gerakan filsafat, tetapi juga suatu panggilan untuk menafsirkan hidup secara personal dan otentik.

Kajian ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis fondasi-fondasi filosofis eksistensialisme ontologis, dari akarnya dalam sejarah filsafat modern hingga relevansinya dalam konteks intelektual dan budaya kontemporer. Dengan menelaah kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti Heidegger dan Sartre, serta mempertimbangkan kritik dan penerapannya dalam berbagai bidang, artikel ini diharapkan memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana eksistensialisme menyumbang pada perubahan paradigma ontologi di era modern.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 130–135.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–63.

[4]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1983), 31–33.


2.           Kerangka Historis dan Genealogis Eksistensialisme Ontologis

Eksistensialisme ontologis tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil evolusi panjang dari kegelisahan filosofis yang berakar dalam krisis metafisika Barat sejak akhir abad ke-18, dan menemukan bentuknya dalam pergulatan modern atas makna eksistensi, kebebasan, dan subjektivitas manusia. Aliran ini menyatu dalam arus besar pembaruan ontologi, yang memindahkan pusat perhatian dari esensi universal ke pengalaman eksistensial konkret sebagai locus utama pemaknaan keberadaan.

2.1.       Akar Pra-Eksistensialis: Kierkegaard dan Nietzsche

Filsuf Denmark Søren Kierkegaard sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme, meski istilah itu sendiri baru digunakan kemudian. Ia menolak sistem metafisika hegemonik Hegelian yang menyerap individu ke dalam totalitas sejarah dan konsep. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia adalah realitas yang unik dan personal, ditandai oleh dilema etis dan spiritual yang tak dapat direduksi menjadi logika rasional⁽¹⁾. Ia menekankan “subjektivitas sebagai kebenaran,” sebuah proposisi yang merombak gagasan bahwa kebenaran bersifat impersonal dan universal.

Friedrich Nietzsche, di sisi lain, memberikan fondasi radikal bagi eksistensialisme dengan kritiknya terhadap moralitas Kristen, metafisika tradisional, dan konsep Tuhan. Proklamasi “Tuhan telah mati” (Gott ist tot) bukan hanya pernyataan teologis, tetapi juga seruan akan krisis makna dalam zaman modern⁽²⁾. Nietzsche mengedepankan kehendak untuk berkuasa dan Übermensch sebagai alternatif ontologis terhadap nihilisme, mendorong individu untuk menciptakan nilai secara otentik di tengah kehampaan nilai absolut.

2.2.       Mediasi Fenomenologis: Edmund Husserl

Perkembangan eksistensialisme ontologis secara formal tidak terlepas dari kontribusi Edmund Husserl dan gerakan fenomenologi yang dipeloporinya. Husserl mengembangkan metode epoché dan reduksi fenomenologis untuk kembali ke “hal-hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst), yakni pengalaman murni sebelum dikonstruksi oleh teori-teori spekulatif⁽³⁾. Meskipun Husserl masih mempertahankan idealisme transendental, pendekatan fenomenologisnya membuka jalan bagi pengembangan ontologi eksistensial yang lebih konkret, seperti yang dilakukan oleh Heidegger.

2.3.       Formulasi Ontologis: Heidegger dan Sartre

Puncak transformasi eksistensialisme ke dalam ranah ontologi terjadi dalam karya Martin Heidegger, khususnya dalam Sein und Zeit (1927). Heidegger mengkritik ontologi tradisional yang hanya membahas “ada” sebagai objek, dan menggantinya dengan analisis Dasein, yaitu eksistensi manusia yang berada dalam dunia dan secara reflektif mempertanyakan makna “Ada” itu sendiri⁽⁴⁾. Dasein bukan sekadar subjek epistemologis, melainkan eksistensi terbuka yang mengalami kecemasan, waktu, dan kematian sebagai horizon eksistensial.

Jean-Paul Sartre, yang terinspirasi oleh Heidegger dan fenomenologi Husserl, mengembangkan eksistensialisme dalam konteks Prancis pasca-Perang Dunia II. Dalam L’Être et le Néant (1943), Sartre menyatakan bahwa eksistensi manusia itu kontingen dan bebas sepenuhnya. Tidak ada hakikat manusia yang sudah ditetapkan, karena manusia harus “memilih” dirinya melalui tindakan⁽⁵⁾. Hal ini memperkuat doktrin “eksistensi mendahului esensi” dan menempatkan kebebasan serta tanggung jawab sebagai struktur dasar eksistensial manusia.

2.4.       Diferensiasi Teistik dan Ateistik

Seiring berkembangnya pemikiran eksistensialis, terjadi diferensiasi penting antara eksistensialisme teistik, seperti pada Kierkegaard dan Gabriel Marcel, dan eksistensialisme ateistik, sebagaimana diwakili oleh Sartre, Heidegger (meskipun tidak secara eksplisit ateistik), dan Albert Camus. Eksistensialisme teistik melihat kebebasan manusia sebagai jalan menuju Tuhan dan pengaktualan iman, sementara versi ateistik menekankan ketiadaan makna absolut, dan karena itu menuntut penciptaan makna secara personal di dunia yang absurd⁽⁶⁾.

Eksistensialisme ontologis lahir dari pertemuan dialektis antara warisan metafisika Barat, gejolak modernitas, dan kebutuhan mendesak untuk memahami eksistensi manusia secara otentik di luar sistem-sistem tertutup. Dengan demikian, sejarahnya bukan sekadar kronologi pemikir, tetapi juga cermin dari krisis dan transformasi dalam paradigma ontologis manusia modern.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 129–135.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1983), 50–55.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–39.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 21–34.

[6]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (South Bend: St. Augustine's Press, 2001), 45–47; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 11–15.


3.           Ontologi Eksistensialis: Konsep dan Prinsip Dasar

Ontologi eksistensialis membentuk salah satu arus paling radikal dalam sejarah filsafat modern karena menggugat asumsi-asumsi metafisika klasik tentang keberadaan sebagai sesuatu yang tetap, objektif, dan dapat dipahami secara universal. Eksistensialisme ontologis menggantinya dengan pendekatan yang memusatkan perhatian pada eksistensi manusia yang konkret, sadar-diri, dan dilematis, di mana keberadaan bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan melalui kategori-kategori umum, melainkan hanya dapat dipahami dari pengalaman personal akan menjadi dan keterlemparan ke dunia.

3.1.       Eksistensi Mendahului Esensi

Prinsip paling ikonik dalam eksistensialisme, terutama dalam versi ateistik, adalah proposisi bahwa eksistensi mendahului esensi. Gagasan ini menolak anggapan bahwa manusia memiliki “hakikat” yang ditentukan sejak awal oleh Tuhan, alam, atau kodrat tertentu. Sebaliknya, manusia pertama-tama “ada” di dunia, baru kemudian membentuk dirinya sendiri melalui tindakan, pilihan, dan tanggung jawab. Seperti ditegaskan oleh Jean-Paul Sartre, “manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri”⁽¹⁾. Dalam pengertian ini, keberadaan manusia bersifat terbuka, kontingen, dan belum selesai (incomplete), yang menuntut keterlibatan aktif untuk memaknai dirinya.

3.2.       Subjektivitas dan Individualitas Eksistensial

Berbeda dari pandangan metafisika tradisional yang berusaha mengabstraksikan manusia ke dalam konsep umum seperti “animal rationale”, eksistensialisme menekankan subjektivitas sebagai bentuk keberadaan yang paling otentik. Subjektivitas bukanlah sekadar pusat pengetahuan atau perasaan, melainkan eksistensi itu sendiri. Kierkegaard menyebut bahwa “kebenaran adalah subjektivitas”⁽²⁾, yang berarti bahwa pengalaman manusia terhadap makna, iman, dan keberadaan tidak dapat diukur dengan kriteria objektif, melainkan muncul dari pergulatan eksistensial yang bersifat personal dan eksklusif.

3.3.       Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab

Eksistensialisme menegaskan bahwa kebebasan adalah hakikat utama manusia, tetapi kebebasan ini bukanlah sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan juga beban ontologis yang mengharuskan manusia bertanggung jawab atas keberadaannya. Sartre menyebut kebebasan manusia sebagai “kutukan”, karena manusia tidak memiliki alasan untuk menyalahkan kodrat, nasib, atau Tuhan⁽³⁾. Dalam kerangka ini, manusia tidak dapat bersembunyi di balik norma-norma sosial atau determinasi eksternal, karena setiap pilihan adalah pernyataan eksistensial tentang siapa dirinya.

3.4.       Kecemasan dan Absurditas sebagai Struktur Ontologis

Dalam pandangan eksistensial, kecemasan (anxiety) bukan hanya perasaan psikologis, tetapi merupakan ekspresi eksistensial akan ketiadaan fondasi absolut. Martin Heidegger menggambarkan kecemasan sebagai keadaan di mana dunia menjadi “asing” dan semua makna terlepas, sehingga manusia dihadapkan pada kekosongan dan kemungkinan-peluang yang tak terbatas⁽⁴⁾. Sementara itu, Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menegaskan absurditas sebagai hasil dari konfrontasi antara dorongan manusia akan makna dan keheningan dunia yang tidak memberikannya⁽⁵⁾. Dalam keadaan ini, manusia tidak diberi makna, tetapi harus menciptakannya melalui tindakan.

3.5.       Otantisitas dan Inautentisitas dalam Struktur Eksistensi

Salah satu kontribusi penting dari eksistensialisme ontologis adalah konsep kehidupan otentik (authentic existence) versus kehidupan tidak otentik (inauthentic existence). Heidegger menjelaskan bahwa mayoritas manusia menjalani hidup dalam keadaan das Man—yakni eksistensi yang dibentuk oleh arus umum masyarakat, konformitas, dan penghindaran dari pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang makna hidup⁽⁶⁾. Kehidupan otentik terjadi ketika individu menghadapi kematian dan keterlemparan secara sadar, lalu memilih hidup yang “miliknya sendiri”, bukan milik orang lain atau sistem.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 129.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 232–237.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–31.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, 220–223.


4.           Eksistensialisme Martin Heidegger: Dasein dan Pertanyaan tentang Ada

Eksistensialisme ontologis menemukan bentuk sistematis dan konseptualnya yang paling mendalam dalam karya Martin Heidegger. Melalui magnum opus-nya Sein und Zeit (Being and Time, 1927), Heidegger tidak hanya memperkenalkan kerangka eksistensialis yang baru, tetapi juga mereformulasi persoalan metafisika klasik dengan menempatkan pertanyaan tentang Ada (die Frage nach dem Sein) sebagai inti dari filsafat. Baginya, kesalahan utama filsafat Barat sejak Plato adalah melupakan pertanyaan mendasar ini, yaitu apa artinya “ada”?⁽¹⁾.

4.1.       Kritik atas Metafisika Tradisional

Heidegger memulai proyeknya dengan kritik terhadap metafisika Barat yang terlalu fokus pada entitas (Seiendes) dan gagal menyelidiki makna keberadaan itu sendiri (Sein). Tradisi filsafat sebelumnya, menurutnya, telah menyamakan Ada dengan “ada sebagai substansi” atau “sebagai objek pengetahuan”, dan karena itu mereduksi pertanyaan ontologis menjadi persoalan kategorisasi dan logika⁽²⁾. Heidegger ingin membalikkan arah: ia ingin memahami keberadaan bukan dari sudut pandang objek, tetapi dari cara manusia sendiri mengada di dunia.

4.2.       Konsep Dasein sebagai Keberadaan-Khas-Manusia

Untuk mengkaji “Ada”, Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, sebuah istilah yang secara literal berarti “ada-di-sana”. Namun dalam kerangka Heidegger, Dasein merujuk pada eksistensi manusia yang secara khas memiliki kemampuan untuk mempertanyakan keberadaannya sendiri⁽³⁾. Dasein bukan hanya subjek epistemologis seperti dalam Cartesianisme, melainkan keberadaan konkret yang “ada-di-dalam-dunia” (In-der-Welt-sein), terlibat dalam dunia, dan berada dalam jejaring relasi makna.

Dasein bersifat terbuka terhadap dunia (Weltöffnung), ia mengalami dan memaknai dunia melalui keterlibatannya. Artinya, Dasein tidak netral, melainkan selalu berada dalam suatu suasana (Befindlichkeit), atau kondisi emosional yang membentuk pemahamannya terhadap dunia. Ini termasuk perasaan seperti kecemasan, keterlemparan, atau bahkan keterasingan, yang bukan hanya fenomena psikologis tetapi ekspresi ontologis dari eksistensi manusia⁽⁴⁾.

4.3.       Keterlemparan dan Dunia-nyata

Salah satu dimensi penting dari Dasein adalah keterlemparan (Geworfenheit), yaitu kondisi bahwa manusia tidak memilih untuk dilahirkan, tidak menentukan awal keberadaannya, dan senantiasa menemukan dirinya “terlempar” ke dalam dunia dengan sejarah, bahasa, dan budaya tertentu⁽⁵⁾. Namun, dalam keterlemparannya, Dasein tetap memiliki kapasitas untuk memilih bagaimana ia akan “mengada”. Di sinilah muncul tensi antara fakta keterlemparan dan potensi kebebasan: manusia tidak bisa memilih dari mana, tetapi bisa memilih menjadi apa.

4.4.       Ketertutupan dan Kematian sebagai Horizon Eksistensial

Heidegger juga menekankan bahwa Dasein adalah makhluk yang berarah pada kematian (Sein-zum-Tode). Kesadaran akan kematian memberikan Dasein horizon akhir yang menstrukturkan seluruh eksistensinya. Berbeda dari makhluk lain, manusia tahu bahwa ia akan mati, dan dalam kesadaran inilah manusia dapat menjalani hidupnya secara otentik⁽⁶⁾. Dalam menghadapi kematian, Dasein dapat memilih untuk tidak larut dalam kehidupan yang tidak otentik (inauthentic existence), yakni hidup seperti “orang kebanyakan” (das Man), tetapi mengambil alih eksistensinya dengan kesadaran penuh.

4.5.       Keotentikan dan Tanggung Jawab Eksistensial

Menurut Heidegger, kehidupan otentik hanya mungkin jika Dasein menanggapi panggilan suara batin (Ruf), yakni kesadaran akan keterbatasan waktu dan kematian, serta memutuskan untuk hidup dalam keaslian. Dalam pilihan ini, Dasein tidak mengikuti arus sosial (das Man), tetapi menjadi dirinya sendiri, menerima keberadaannya, dan menanggapi dunia dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur⁽⁷⁾.

Heidegger tidak memberikan sistem etika seperti Sartre, tetapi proyeknya menekankan bahwa cara manusia “mengada” menentukan kemungkinan pemaknaan dan pembukaan terhadap “Ada” itu sendiri. Eksistensi yang otentik, dalam konteks ini, bukan soal moralitas, tetapi soal keterbukaan terhadap kebenaran keberadaan.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.

[2]                Ibid., 25–30.

[3]                Ibid., 32–34.

[4]                Ibid., 173–176.

[5]                Ibid., 174–178.

[6]                Ibid., 285–290.

[7]                Ibid., 296–303.


5.           Eksistensialisme Jean-Paul Sartre: Eksistensi sebagai Kesadaran dan Kebebasan

Di antara tokoh-tokoh besar eksistensialisme, Jean-Paul Sartre adalah figur paling terkenal dalam mengartikulasikan eksistensialisme sebagai suatu sistem filsafat yang menyeluruh. Melalui karya monumentalnya L’Être et le Néant (Being and Nothingness, 1943), Sartre meradikalisasi gagasan tentang eksistensi manusia sebagai kesadaran yang bebas, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap dunia yang absurd. Sartre memperkuat tesis eksistensialis tentang subjektivitas, tetapi juga mengembangkannya dalam kerangka ontologis yang kompleks, terinspirasi oleh fenomenologi Husserl dan eksistensialisme ontologis Heidegger⁽¹⁾.

5.1.       Ontologi Dua Mode Ada: Être-en-soi dan Être-pour-soi

Dalam Being and Nothingness, Sartre membedakan antara dua mode fundamental keberadaan: ada-dalam-dirinya (être-en-soi) dan ada-untuk-dirinya (être-pour-soi). Être-en-soi adalah keberadaan benda atau objek yang solid, tertutup, dan tidak sadar, sementara être-pour-soi adalah kesadaran manusia yang terbuka, reflektif, dan selalu melebihi dirinya sendiri⁽²⁾. Kesadaran manusia tidak pernah "utuh" atau statis seperti benda, tetapi merupakan proses menjadi yang tak pernah selesai. Artinya, manusia tidak memiliki esensi yang tetap, melainkan senantiasa "melampaui" dirinya melalui pilihan dan proyek-proyek keberadaan.

5.2.       Eksistensi Mendahului Esensi: Kebebasan sebagai Kutukan

Sartre mengukuhkan salah satu prinsip paling mendasar dari eksistensialisme: bahwa eksistensi mendahului esensi (l’existence précède l’essence). Dalam pandangan ini, tidak ada “hakikat manusia” yang mendahului keberadaannya; manusia pertama-tama hadir (exist), dan kemudian menciptakan dirinya sendiri melalui tindakannya⁽³⁾. Karena itu, manusia sepenuhnya bebas, tanpa petunjuk metafisis atau ilahi yang membimbingnya dari luar. Kebebasan ini bukan anugerah, tetapi kutukan (condamnés à être libres), karena manusia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab atas pilihannya⁽⁴⁾.

Tidak ada alasan eksternal yang dapat dijadikan dasar untuk membenarkan pilihan hidup—tidak Tuhan, tidak kodrat, dan tidak masyarakat. Oleh sebab itu, kebebasan dan tanggung jawab adalah struktur ontologis dari eksistensi manusia, bukan pilihan moral belaka.

5.3.       Nihilasi dan Kesadaran sebagai Negasi

Salah satu kontribusi Sartre yang paling unik adalah konsep nihilasi (néantisation), yaitu kemampuan kesadaran untuk meniadakan apa yang “ada” dalam rangka membuat pilihan. Kesadaran selalu menyadari “apa yang bukan”, dan karena itu ia dapat menolak dunia yang sedang ada untuk membayangkan kemungkinan lain⁽⁵⁾. Dengan demikian, kesadaran bukan sekadar pantulan dari dunia objektif, melainkan suatu kemampuan untuk menciptakan jarak antara diri dan dunia, serta membentuk makna secara aktif.

Contoh sederhana dari nihilasi adalah janji temu yang gagal: seseorang yang menunggu kawannya di sebuah kafe dan menyadari ketidakhadirannya melalui "ketiadaan" itu sendiri. Kesadaran mengenali absennya sesuatu sebagai realitas, dan dalam konteks inilah kesadaran eksistensial menjadi sebuah medan untuk penolakan, kebebasan, dan proyek eksistensial⁽⁶⁾.

5.4.       Le Regard: Pandangan Orang Lain dan Krisis Subjektivitas

Dalam dinamika sosial, Sartre mengembangkan gagasan le regard (pandangan orang lain), yaitu kesadaran bahwa diri kita dapat menjadi objek bagi subjek lain. Saat disadari oleh orang lain, kita tidak lagi hanya “ada untuk diri sendiri” tetapi juga menjadi “ada untuk orang lain” (être-pour-autrui). Ini menimbulkan ketegangan antara subjektivitas dan objektifikasi, yang dapat menghasilkan rasa malu, manipulasi, atau konflik⁽⁷⁾.

Contoh klasik Sartre adalah ilustrasi seseorang yang mengintip melalui lubang kunci, dan kemudian merasa malu ketika menyadari bahwa dirinya sendiri sedang diawasi. Dalam kesadaran akan “dilihat”, subjek menjadi objek—dan di sinilah letak alienasi eksistensial: manusia selalu terjebak dalam dialektika antara kebebasannya dan persepsi orang lain terhadapnya.

5.5.       Otentisitas dan Tanggung Jawab Eksistensial

Bagi Sartre, hidup otentik adalah hidup yang mengakui dan mengaktualkan kebebasan, bukan menyangkalnya. Sebaliknya, kehidupan yang tidak otentik adalah ketika individu melepaskan tanggung jawabnya dan mengadopsi bad faith (mauvaise foi), yaitu berbohong kepada diri sendiri demi merasa aman atau mengikuti norma sosial secara pasif⁽⁸⁾. Seorang pelayan kafe yang terlalu memainkan peran sebagai pelayan adalah contoh dari bad faith, karena ia mencoba “menjadi” pelayan seolah-olah itu adalah esensinya, padahal ia adalah kebebasan itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam eksistensialisme Sartrean, kebebasan bukan hanya kenyataan ontologis, tetapi juga tanggung jawab eksistensial untuk menjadi otentik, untuk menciptakan makna, dan untuk menghadapi absurditas tanpa lari ke ilusi.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 3–9.

[2]                Ibid., 10–20.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[4]                Sartre, Being and Nothingness, 567.

[5]                Ibid., 45–48.

[6]                Ibid., 10–11.

[7]                Ibid., 340–355.

[8]                Ibid., 86–89.


6.           Relasi Eksistensialisme Ontologis dengan Cabang Filsafat Lain

Eksistensialisme ontologis tidak berdiri sendiri sebagai sistem yang tertutup. Ia justru bersifat dialogis dan interdisipliner, karena mengakar dalam kesadaran manusia yang kompleks dan menyentuh pelbagai dimensi kehidupan. Oleh sebab itu, eksistensialisme berinteraksi erat dengan berbagai cabang filsafat lain, seperti epistemologi, etika, filsafat agama, serta estetika dan seni. Hubungan-hubungan ini memperlihatkan bukan hanya daya jelajah eksistensialisme, tetapi juga bagaimana ia menantang dan memperkaya kerangka berpikir dalam tradisi filsafat modern.

6.1.       Relasi dengan Epistemologi: Subjektivitas sebagai Sumber Pengetahuan

Dalam epistemologi klasik, pengetahuan dianggap sebagai proses yang obyektif dan netral, dengan subjek yang diposisikan sebagai pengamat eksternal atas dunia. Sebaliknya, eksistensialisme ontologis mengkritik netralitas ini dan menegaskan bahwa pengetahuan berakar dalam keberadaan subjek yang terlibat secara eksistensial⁽¹⁾. Bagi Kierkegaard, kebenaran tidak ditemukan dalam proposisi logis, melainkan dalam subjektivitas eksistensial yang mendalam⁽²⁾. Heidegger pun menggantikan konsep "subjek-objek" dengan Dasein sebagai “ada yang memahami” (Seinsverständnis)⁽³⁾.

Dalam kerangka ini, epistemologi eksistensialis menolak model kognitif yang sepenuhnya rasionalistik. Pengetahuan bukanlah cermin realitas, tetapi suatu bentuk pemaknaan yang tumbuh dari keterlibatan eksistensial manusia dengan dunia. Ini membuka ruang bagi dimensi hermeneutis dan fenomenologis dalam cara manusia mengetahui dirinya dan realitas sekitarnya.

6.2.       Relasi dengan Etika: Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Autentisitas

Eksistensialisme ontologis memiliki implikasi etis yang radikal. Tidak seperti etika normatif tradisional yang menekankan aturan universal atau kodrat moral manusia, eksistensialisme membangun etika di atas kebebasan radikal individu dan tanggung jawab penuh atas pilihannya. Sartre menyatakan bahwa dalam memilih dirinya sendiri, manusia juga merumuskan nilai untuk seluruh umat manusia—sebuah etika keberadaan yang tidak dapat diserahkan kepada prinsip eksternal⁽⁴⁾.

Keputusan etis, dalam perspektif ini, bukan sekadar kepatuhan terhadap hukum moral, tetapi ekspresi keotentikan. Hidup etis berarti hidup yang jujur terhadap kebebasannya sendiri, bukan terjebak dalam bad faith atau kebohongan terhadap diri sendiri⁽⁵⁾. Maka, etika eksistensial tidak membentuk sistem moral baku, melainkan menuntut manusia untuk terus-menerus menilai dirinya sendiri dalam horizon tanggung jawab eksistensial.

6.3.       Relasi dengan Filsafat Agama: Iman, Absurditas, dan Keheningan Tuhan

Eksistensialisme teistik—yang diwakili oleh Kierkegaard, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel—menggambarkan iman sebagai lompatan eksistensial di tengah absurditas dunia. Kierkegaard secara khusus menekankan bahwa hubungan dengan Tuhan bersifat paradoksal dan tidak dapat dijembatani oleh nalar rasional⁽⁶⁾. Iman, dalam konteks ini, adalah ketegangan batin antara putus asa dan harapan yang mengakar dalam eksistensi personal.

Sebaliknya, dalam eksistensialisme ateistik seperti yang dikembangkan Sartre dan Camus, keheningan Tuhan justru menjadi latar bagi kebebasan manusia. Dalam dunia yang tidak menawarkan makna objektif, manusialah yang bertanggung jawab untuk menciptakan makna itu sendiri. Absurditas bukanlah hal yang harus dihindari, tetapi dihadapi dengan kesadaran dan keberanian⁽⁷⁾. Maka, filsafat agama dan eksistensialisme memiliki relasi dialektis: antara pencarian transendensi dan afirmasi atas imanenitas eksistensi.

6.4.       Relasi dengan Estetika dan Seni: Ekspresi Keberadaan dan Pencarian Makna

Estetika eksistensial berakar pada gagasan bahwa seni adalah medium ekspresi keberadaan. Sartre memandang sastra sebagai bentuk praksis eksistensial di mana penulis menegaskan kebebasan dan menghadirkan dunia melalui pilihan kata dan makna⁽⁸⁾. Demikian pula, Albert Camus memandang karya seni sebagai cara manusia memberi bentuk pada absurditas, seperti yang tergambar dalam The Myth of Sisyphus atau Caligula.

Dalam seni eksistensialis, tidak ada “estetika ideal”; yang penting adalah ketulusan dan intensitas pengungkapan eksistensi manusia. Hal ini membuat eksistensialisme menjadi kekuatan besar dalam perkembangan sastra modern, teater absurdis, dan seni kontemporer yang mempertanyakan makna hidup, keterasingan, dan identitas personal.


Kesimpulan Sementara

Eksistensialisme ontologis berelasi erat dengan berbagai cabang filsafat karena wataknya yang holistik dan personal. Ia menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman, moralitas dengan pilihan eksistensial, agama dengan keputusasaan atau iman, serta seni dengan keberadaan yang absurd namun bermakna. Hubungan ini membuktikan bahwa eksistensialisme bukan sekadar aliran metafisika, tetapi suatu kerangka berpikir filosofis yang menjangkau seluruh dimensi kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 36–38.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 130.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–67.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 35–40.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.

[6]                Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 53–57.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–37.

[8]                Jean-Paul Sartre, What Is Literature?, trans. Bernard Frechtman (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 12–17.


7.           Kritik terhadap Eksistensialisme Ontologis

Meskipun eksistensialisme ontologis telah memberikan kontribusi besar dalam menggeser pusat perhatian filsafat dari abstraksi universal ke eksistensi manusia yang konkret, aliran ini tidak luput dari kritik tajam dari berbagai arus pemikiran filsafat kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya menyasar kelemahan metodologis dan logis eksistensialisme, tetapi juga menantang implikasi etis, sosial, dan epistemologis dari penekanannya yang ekstrem terhadap subjektivitas, kebebasan, dan keterlemparan.

7.1.       Tuduhan Subjektivisme dan Solipsisme

Salah satu kritik klasik terhadap eksistensialisme, khususnya pada Sartre dan Kierkegaard, adalah penekanan berlebihan pada subjektivitas, yang dianggap mengarah pada bentuk solipsisme atau keterputusan dari relasi sosial yang objektif. Sartre menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya sumber makna, dan “tidak ada Tuhan untuk menjamin nilai-nilai”⁽¹⁾. Dalam pandangan ini, segala makna moral dan eksistensial menjadi sangat relatif terhadap individu, sehingga mengancam kemungkinan komunikasi etis dan rasional universal.

Kritikus seperti Theodor Adorno menyebut eksistensialisme sebagai "ideologi borjuis dari isolasi," yang gagal membaca struktur sosial sebagai penentu eksistensi manusia⁽²⁾. Fokus Sartre pada individu dianggap mengabaikan kondisi historis-material yang membentuk pilihan manusia dalam dunia nyata. Subjektivisme ini juga mempersulit pengembangan teori sosial yang koheren, karena tidak ada basis trans-subjektif untuk mengukur makna atau keadilan.

7.2.       Reduksi Realitas Sosial menjadi Kesadaran Individual

Kritik lain datang dari tradisi Marxis dan strukturalis, yang melihat eksistensialisme sebagai bentuk reduksionisme psikologis, yakni kecenderungan menjelaskan struktur sosial dan sejarah sebagai produk dari pilihan individu. Louis Althusser, seorang Marxis strukturalis, mengecam eksistensialisme karena tidak memahami bahwa subjek telah terlebih dahulu dibentuk oleh struktur ideologis dan aparatus negara, bukan sebaliknya⁽³⁾. Dengan demikian, kebebasan dalam eksistensialisme dianggap ilusi, karena tidak memperhitungkan determinasi struktural yang menindas.

Dalam konteks ini, eksistensialisme dianggap gagal membaca kekuasaan sebagai kategori fundamental dalam hubungan manusia. Ia terlalu percaya pada kapasitas individu untuk “membuat dirinya sendiri”, tanpa memperhitungkan bahwa kondisi material dan simbolik masyarakat telah menetapkan batas-batas praksis subjek.

7.3.       Ketiadaan Etika yang Normatif

Eksistensialisme juga dikritik karena tidak memberikan panduan etis yang jelas, melainkan hanya menyerahkan semuanya pada kebebasan personal. Sartre sendiri menolak adanya ethics of essence, dan menyatakan bahwa etika harus lahir dari kebebasan yang konkret⁽⁴⁾. Namun bagi banyak pemikir, ini justru berbahaya, karena membuka jalan bagi relativisme moral yang ekstrem.

Roger Scruton, misalnya, menyatakan bahwa etika Sartrean adalah etika kehendak tanpa isi normatif yang bisa diuji secara objektif⁽⁵⁾. Tanpa standar umum, bagaimana seseorang bisa mengevaluasi tindakan sebagai “baik” atau “buruk”, selain melalui perasaan otentik? Di sinilah eksistensialisme ontologis dianggap rapuh: ia membuka ruang kebebasan tanpa memperjelas batas tanggung jawab dalam konteks sosial dan hukum moral yang dapat dibagikan bersama.

7.4.       Tantangan dari Filsafat Analitik dan Logika Bahasa

Eksistensialisme ontologis juga ditentang oleh kalangan filsafat analitik, terutama karena bahasanya yang dianggap tidak jelas, ambigu, dan terlalu spekulatif. Bertrand Russell mengkritik gaya filosofis kontinental, termasuk eksistensialisme, sebagai “kesusastraan yang menyamar sebagai filsafat”⁽⁶⁾. Kritik ini bukan hanya soal gaya, tetapi juga menyangkut verifiabilitas dan koherensi logis dari proposisi eksistensialis.

Bagi para positivis logis seperti A.J. Ayer, pernyataan tentang “kecemasan ontologis”, “ketiadaan”, atau “keotentikan” tidak memiliki makna empiris yang dapat diuji, dan karenanya merupakan nonsens metafisis⁽⁷⁾. Meskipun kritik ini lebih metodologis daripada substantif, ia menggambarkan adanya ketegangan antara eksistensialisme yang fenomenologis dan gaya analisis logis yang ketat.

7.5.       Respons dan Revisi Eksistensialis

Kritik-kritik ini, meskipun keras, telah mendorong eksistensialisme untuk bertransformasi dan berdialog dengan pendekatan-pendekatan baru. Heidegger sendiri, dalam karya-karya pasca-Sein und Zeit, berpindah ke arah hermeneutika dan puisi sebagai cara untuk “mendekatkan diri pada Ada”. Sartre, di penghujung hidupnya, membuka dialog dengan Marxisme dalam Critique of Dialectical Reason (1960), meskipun dengan hasil yang problematik⁽⁸⁾.

Sementara itu, tokoh-tokoh pasca-eksistensialis seperti Emmanuel Levinas dan Paul Ricoeur merevisi pendekatan eksistensial dengan memperkenalkan etika alteritas dan hermeneutika naratif, yang membuka eksistensialisme ke arah dialog antar-subjektif dan historis yang lebih kaya. Dengan demikian, meskipun eksistensialisme ontologis menuai kritik, ia tetap menjadi medan yang dinamis dalam filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 34–37.

[2]                Theodor W. Adorno, The Jargon of Authenticity, trans. Knut Tarnowski and Frederic Will (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 6–12.

[3]                Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 2005), 133–136.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567–570.

[5]                Roger Scruton, Modern Philosophy: An Introduction and Survey (London: Penguin Books, 1996), 330–333.

[6]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 758.

[7]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 39–44.

[8]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), xv–xxii.


8.           Eksistensialisme Ontologis dalam Konteks Kontemporer

Meskipun eksistensialisme ontologis mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, pengaruhnya tetap terasa kuat hingga era kontemporer. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terdigitalisasi, berbagai krisis global—baik identitas, spiritualitas, lingkungan, maupun relasi sosial—membuka kembali ruang untuk refleksi eksistensial. Konsep-konsep seperti kebebasan, keterlemparan, otentisitas, absurditas, dan kecemasan tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern. Eksistensialisme ontologis, meskipun tidak lagi menjadi gerakan dominan, mengalami reaktualisasi dalam berbagai bidang, termasuk filsafat budaya, psikologi, teknologi, dan teori kritis.

8.1.       Krisis Identitas dan Subjektivitas Postmodern

Di tengah runtuhnya narasi-narasi besar dan bangkitnya pluralitas nilai-nilai dalam era postmodern, eksistensialisme ontologis mendapatkan aktualitas baru dalam menjawab krisis identitas dan keterasingan individu. Dalam masyarakat yang ditandai oleh fragmentasi dan relativisme, konsep eksistensialis tentang kebebasan dan tanggung jawab personal menjadi relevan kembali sebagai cara untuk menemukan arah hidup yang otentik⁽¹⁾.

Zygmunt Bauman, misalnya, dalam teorinya tentang “identitas cair” menggarisbawahi ketidakstabilan subjektivitas modern dalam masyarakat konsumeris dan global⁽²⁾. Dalam konteks ini, pendekatan eksistensialis menyediakan kerangka bagi individu untuk memahami dirinya sebagai proyek terbuka yang harus diciptakan secara sadar dalam dunia yang tidak menyediakan peta makna yang tetap.

8.2.       Psikologi Eksistensial dan Kesehatan Mental

Eksistensialisme juga menemukan ruang ekspresi dalam bidang psikologi dan psikoterapi, terutama dalam pemikiran tokoh seperti Viktor E. Frankl, Rollo May, dan Irvin D. Yalom. Mereka memadukan prinsip-prinsip eksistensialis seperti kebebasan, makna, kematian, dan keterbatasan menjadi pendekatan terapeutik yang lebih berfokus pada manusia sebagai makhluk yang memilih dan mencari makna, bukan sekadar sistem biologis atau mesin stimulus-reaksi⁽³⁾.

Frankl, yang mengalami penderitaan dalam kamp konsentrasi Nazi, mengembangkan logoterapi—suatu terapi yang menekankan pencarian makna sebagai inti dari penyembuhan psikologis⁽⁴⁾. Bagi Frankl, manusia dapat bertahan dari penderitaan asalkan ia mampu menemukan makna di dalamnya, sejalan dengan postulat eksistensial bahwa eksistensi mendahului esensi.

8.3.       Eksistensialisme dan Teknologi: Tantangan Era Digital

Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) juga menimbulkan pertanyaan ontologis baru yang dapat dijawab dalam semangat eksistensialis. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma, simulasi, dan virtualitas, manusia berisiko kehilangan agensinya dan jatuh dalam keterasingan digital. Konsep Heidegger tentang Gestell—kerangka teknologis yang mengobjektifikasi segala sesuatu—dapat dibaca sebagai kritik awal terhadap reduksi manusia menjadi data dalam masyarakat algoritmik⁽⁵⁾.

Di era ini, eksistensialisme menawarkan resistensi filosofis terhadap dehumanisasi teknologi. Dengan menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keadaan sadar-diri, kecemasan, dan keotentikan, eksistensialisme menekankan pentingnya menjaga subjektivitas dan kebebasan di tengah determinasi sistem digital⁽⁶⁾.

8.4.       Eksistensialisme, Politik, dan Perjuangan Makna di Era Krisis

Konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis ekologi, konflik identitas, dan ketimpangan sosial juga membuka ruang bagi penerapan eksistensialisme dalam bidang politik dan etika publik. Tokoh-tokoh seperti Simone de Beauvoir telah menunjukkan bagaimana eksistensialisme dapat digunakan sebagai landasan untuk teori feminis, dengan menekankan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan dalam struktur sosial yang membatasi⁽⁷⁾.

Demikian pula, Camus menekankan sikap pemberontakan eksistensial sebagai bentuk perlawanan terhadap absurditas politik dan kekuasaan yang menindas. Dalam dunia yang kehilangan nilai bersama, tindakan yang bermakna lahir bukan dari doktrin, melainkan dari keputusan personal untuk berkomitmen pada kemanusiaan secara otentik⁽⁸⁾.

8.5.       Eksistensialisme dalam Filsafat Lintas Budaya

Akhir-akhir ini, eksistensialisme juga berdialog dengan filsafat-filsafat non-Barat, seperti pemikiran Zen Buddhisme, sufisme, dan filsafat eksistensial Timur. Kecenderungan reflektif terhadap kekosongan, kesadaran akan kefanaan, dan pencarian makna hidup menunjukkan kesesuaian antara eksistensialisme ontologis dan beberapa tradisi kebijaksanaan global. Dialog ini memperkaya eksistensialisme, menjadikannya lebih terbuka terhadap pluralitas ontologis dalam kerangka lintas budaya⁽⁹⁾.


Footnotes

[1]                Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 89–92.

[2]                Zygmunt Bauman, Identity: Conversations with Benedetto Vecchi (Cambridge: Polity Press, 2004), 20–25.

[3]                Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 9–15.

[4]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[5]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 18–20.

[6]                Hubert L. Dreyfus and Charles Spinosa, “Highway Bridges and Feasts: Heidegger and Borgmann on How to Affirm Technology,” Man and World 30, no. 2 (1997): 159–177.

[7]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267–268.

[8]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 5–7.

[9]                Thomas P. Kasulis, Intimacy or Integrity: Philosophy and Cultural Difference (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2002), 114–120.


9.           Refleksi Filosofis: Eksistensi, Makna, dan Keotentikan Hidup

Eksistensialisme ontologis pada dasarnya bukan hanya sebuah sistem pemikiran, tetapi juga merupakan suatu panggilan filosofis dan etis untuk merefleksikan eksistensi manusia secara jujur dan radikal. Dalam dunia yang sering kali kehilangan arah, eksistensialisme menyajikan suatu pendekatan yang mendalam untuk memahami makna hidup, kebebasan, dan tanggung jawab personal di tengah absurditas, keterbatasan, dan keterlemparan.

9.1.       Mengada dalam Dunia yang Absurd

Salah satu sumbangsih utama eksistensialisme adalah pengakuannya yang jujur terhadap kenyataan bahwa dunia ini tidak memiliki makna bawaan. Eksistensi manusia tidak datang dengan instruksi atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Seperti yang ditegaskan oleh Albert Camus, manusia hidup dalam ketegangan antara kerinduannya akan makna dan keheningan semesta yang tak memberi jawaban. Dalam kondisi ini, manusia harus menciptakan makna dari keterhampaan⁽¹⁾.

Namun, absurditas tidak berarti menyerah atau nihilisme. Sebaliknya, Camus menyarankan “pemberontakan ontologis”—yakni hidup sepenuhnya dalam kesadaran akan absurditas itu sendiri, tanpa ilusi metafisik, sambil tetap menegaskan martabat kemanusiaan⁽²⁾. Sikap ini membuka ruang bagi makna eksistensial yang autentik, bukan berdasarkan dogma, tetapi dari keterlibatan manusia yang sadar akan keterbatasannya.

9.2.       Keberanian untuk Menjadi Diri Sendiri

Keotentikan (authenticity) dalam eksistensialisme bukanlah semata-mata hidup sesuai dengan keinginan pribadi, tetapi hidup dengan penuh kesadaran akan fakta bahwa manusia adalah makhluk bebas yang tidak dapat menyalahkan entitas eksternal atas keberadaannya. Dalam hal ini, keotentikan menjadi sikap untuk mengakui keterlemparan, menerima ketakterhindaran dari waktu dan kematian, serta memilih untuk menjalani hidup secara sadar dan bertanggung jawab⁽³⁾.

Martin Heidegger menyebut bahwa manusia yang hidup secara otentik adalah mereka yang menyadari “menuju-kematian” (Sein-zum-Tode), dan menjadikan kesadaran itu sebagai horizon untuk hidup secara penuh⁽⁴⁾. Dalam hal ini, otentisitas bukan tentang melarikan diri dari kematian, melainkan menghadapi hidup dalam terang keterbatasannya—menghindari das Man atau kehidupan impersonal yang dikendalikan oleh massa dan konvensi sosial.

9.3.       Kebebasan dan Beban Tanggung Jawab

Eksistensialisme memandang bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena tidak memiliki pilihan selain bertanggung jawab atas setiap keputusan yang dibuatnya. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa tidak memilih pun adalah sebuah pilihan. Maka, makna hidup bukan ditemukan di luar diri, tetapi diciptakan melalui tindakan konkret dan pilihan eksistensial⁽⁵⁾.

Kebebasan eksistensial bukanlah bentuk anarki moral, melainkan keterpanggilan untuk hidup secara reflektif dan etis dalam dunia yang tidak memberi jaminan makna. Di sini tampak bahwa eksistensialisme bukan sekadar pembelaan terhadap individualitas, tetapi juga seruan etis untuk tidak menyia-nyiakan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia.

9.4.       Eksistensi Sebagai Proyek yang Belum Selesai

Eksistensi manusia, dalam pandangan eksistensialis, bukan sesuatu yang statis. Ia adalah proyek terbuka, selalu dalam proses menjadi. Heidegger menyebut bahwa Dasein adalah eksistensi-yang-menjelang, yakni keberadaan yang selalu bergerak ke depan, belum selesai, dan belum ditentukan sepenuhnya⁽⁶⁾. Dalam pengertian ini, hidup tidak dapat dikurung dalam definisi atau identitas tetap. Justru dalam keterbukaan terhadap kemungkinanlah eksistensi memperoleh maknanya.

Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity, menambahkan bahwa eksistensi manusia bersifat ambivalen: kita sekaligus bebas dan terikat, subjek dan objek, sadar dan rentan. Karena itu, membangun makna hidup membutuhkan pengakuan terhadap ambiguitas ini, serta keberanian untuk beraksi di tengah ketidakpastian⁽⁷⁾.

9.5.       Makna Hidup sebagai Karya dan Komitmen

Akhirnya, eksistensialisme ontologis mengajak manusia untuk memahami hidupnya sebagai karya yang harus digarap sendiri, bukan sebagai dokumen yang diwariskan. Makna tidak diimpor dari luar, melainkan dibentuk dari dalam, melalui keterlibatan aktif dalam dunia—dalam cinta, kerja, penderitaan, solidaritas, dan bahkan dalam kesendirian. Viktor Frankl, dengan pengalamannya di kamp konsentrasi, menunjukkan bahwa bahkan dalam penderitaan yang ekstrem, manusia tetap memiliki kemungkinan untuk menemukan makna⁽⁸⁾.

Maka, eksistensialisme ontologis bukan hanya wacana tentang ketiadaan, tetapi tentang potensi menjadi manusia yang penuh kesadaran, bebas, dan bertanggung jawab. Ia menawarkan refleksi filosofis yang tajam, namun juga dorongan spiritual dan eksistensial yang mendalam untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana seharusnya aku hidup di tengah dunia yang tidak memberiku jaminan apa pun kecuali keberadaanku sendiri?


Footnotes

[1]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 28–32.

[2]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 16–20.

[3]                Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 112–115.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 284–292.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567–572.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, 183–185.

[7]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 34–40.

[8]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 115–118.


10.       Penutup

Eksistensialisme ontologis, sebagai salah satu arus pemikiran paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, telah menawarkan suatu pendekatan filosofis yang revolusioner terhadap pertanyaan dasar mengenai keberadaan. Dengan menempatkan subjektivitas manusia, kebebasan radikal, dan keterlemparan eksistensial sebagai pusat analisis ontologis, eksistensialisme membuka ruang baru untuk memahami manusia bukan sebagai entitas yang telah selesai, melainkan sebagai proyek terbuka yang senantiasa membentuk maknanya dalam dunia yang tidak memberi jaminan metafisis⁽¹⁾.

Dalam menghadapi kehampaan ontologis, absurditas, dan ketiadaan fondasi objektif bagi makna hidup, para pemikir eksistensialis seperti Kierkegaard, Heidegger, Sartre, dan Camus tidak terjebak pada sikap nihilistik. Sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa dari ruang hampa inilah manusia memperoleh kebebasan untuk menjadi—untuk memilih, bertanggung jawab, dan merumuskan makna secara otentik⁽²⁾. Dengan demikian, eksistensialisme tidak hanya menawarkan kritik terhadap metafisika tradisional, tetapi juga membangun paradigma alternatif yang lebih bersifat personal, reflektif, dan partisipatif terhadap kenyataan.

Kekuatan eksistensialisme terletak pada keberaniannya untuk mengakui bahwa manusia hidup dalam kondisi ambiguitas ontologis: ia bebas, namun terbatas; ia adalah subjek yang menciptakan makna, namun sekaligus terikat pada dunia dan sejarah yang tidak sepenuhnya ia kuasai⁽³⁾. Di sinilah muncul relevansi eksistensialisme di era kontemporer, saat manusia menghadapi krisis identitas, disrupsi teknologi, serta tekanan sosial yang mendistorsi agensi individual. Refleksi eksistensialis membantu menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas untuk memilih dan memaknai hidupnya, bahkan dalam situasi paling genting.

Namun demikian, eksistensialisme ontologis juga tidak bebas dari kritik. Penekanannya yang ekstrem pada subjektivitas dan kebebasan individu dinilai oleh sebagian kalangan sebagai bentuk solipsisme filosofis, atau bahkan gagal menjawab realitas struktural dan politik yang membentuk kondisi manusia⁽⁴⁾. Kritik dari tradisi strukturalis, Marxis, dan filsafat analitik membuka ruang untuk refleksi kritis terhadap eksistensialisme, dan mendorong terjadinya pembaruan dalam bentuk eksistensialisme yang lebih terbuka terhadap dialog dengan etika intersubjektif, politik emansipatoris, dan hermeneutika lintas budaya.

Meskipun demikian, warisan eksistensialisme tetap signifikan. Ia mengajarkan bahwa hidup bukanlah soal menemukan kebenaran di luar diri, melainkan tentang menciptakan kebenaran melalui tindakan dan komitmen pribadi. Eksistensialisme mengingatkan kita bahwa menjadi manusia adalah keberanian untuk berada, untuk menyambut absurditas, dan untuk tetap membangun makna di tengah ketakterhindaran kematian⁽⁵⁾. Dalam konteks global yang semakin terfragmentasi, pendekatan eksistensialis masih menawarkan kekuatan spiritual dan intelektual bagi manusia yang mencari otentisitas di dunia yang serba tidak pasti.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 185–192.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 35–40.

[3]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 7–12.

[4]                Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 2005), 133–136.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 121–123.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (1973). The jargon of authenticity (K. Tarnowski & F. Will, Trans.). Northwestern University Press. (Original work published 1964)

Althusser, L. (2005). For Marx (B. Brewster, Trans.). Verso. (Original work published 1965)

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications. (Original work published 1936)

Bauman, Z. (2004). Identity: Conversations with Benedetto Vecchi. Polity Press.

Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.

Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O'Brien, Trans.). Vintage International. (Original work published 1942)

Camus, A. (1991). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage International. (Original work published 1951)

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.

Dreyfus, H. L., & Spinosa, C. (1997). Highway bridges and feasts: Heidegger and Borgmann on how to affirm technology. Man and World, 30(2), 159–177. https://doi.org/10.1023/A:1004234010464

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)

Guignon, C. (2004). On being authentic. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1954)

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1843)

Kierkegaard, S. (2009). Concluding unscientific postscript to the philosophical crumbs (A. Hannay, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1846)

Kasulis, T. P. (2002). Intimacy or integrity: Philosophy and cultural difference. University of Hawai‘i Press.

Russell, B. (1945). History of Western philosophy. Simon and Schuster.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work published 1960)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946)

Sartre, J.-P. (1988). What is literature? (B. Frechtman, Trans.). Harvard University Press. (Original work published 1948)

Scruton, R. (1996). Modern philosophy: An introduction and survey. Penguin Books.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar