Eksistensialisme Ontologis
Konsepsi Keberadaan dan Subjektivitas dalam Filsafat
Modern
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji eksistensialisme ontologis
sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat modern yang menyoroti persoalan
keberadaan manusia secara radikal dan reflektif. Dengan menelusuri akar
historisnya dari Kierkegaard hingga Heidegger dan Sartre, artikel ini
menekankan bahwa eksistensialisme bukan hanya respons terhadap krisis
metafisika Barat, tetapi juga suatu proyek filosofis yang menempatkan
kebebasan, subjektivitas, keterlemparan, dan keotentikan sebagai dasar
pemahaman manusia. Melalui analisis terhadap konsep-konsep kunci seperti Dasein,
being-for-itself, absurditas, dan nihilasi, eksistensialisme ontologis
menawarkan kerangka pemikiran yang mengajak manusia untuk secara sadar
menciptakan makna hidup di tengah ketiadaan fondasi metafisik yang tetap.
Artikel ini juga membahas relevansi eksistensialisme dalam bidang epistemologi,
etika, filsafat agama, estetika, dan konteks kontemporer seperti psikoterapi,
disrupsi teknologi, dan krisis identitas. Di sisi lain, eksistensialisme
dikritik karena subjektivisme ekstrem dan minimnya kerangka etika normatif.
Meskipun demikian, warisan intelektual eksistensialisme tetap penting sebagai
filsafat yang menggugah kesadaran eksistensial manusia dalam dunia yang semakin
kompleks dan terfragmentasi.
Kata Kunci; Eksistensialisme Ontologis; Keberadaan;
Subjektivitas; Kebebasan; Keotentikan; Dasein; Absurd; Heidegger; Sartre; Makna
Hidup.
PEMBAHASAN
Eksistensialisme Ontologis dalam Sejarah Pemikiran
1.
Pendahuluan
Ontologi, sebagai cabang utama filsafat, membahas
pertanyaan fundamental tentang apa yang ada dan bagaimana sesuatu itu
ada. Dalam ranah ini, eksistensialisme muncul sebagai respons kritis
terhadap reduksi keberadaan menjadi entitas objektif belaka, sebagaimana dianut
dalam tradisi metafisika klasik dan filsafat rasionalistik. Eksistensialisme
tidak sekadar menawarkan jawaban mengenai “ada”, melainkan menekankan bagaimana
manusia mengalami keberadaan secara konkret, subjektif, dan terkadang tragis
dalam dunia yang absurd atau bahkan tanpa makna bawaan.
Eksistensialisme ontologis menempatkan keberadaan
manusia sebagai pusat pertanyaan filsafat, bukan semata-mata sebagai objek
pengetahuan, melainkan sebagai subjek yang berada, mengalami, dan memberi
makna. Berbeda dengan tradisi filsafat sebelumnya yang menekankan esensi
terlebih dahulu, eksistensialisme—khususnya yang diwakili oleh Jean-Paul
Sartre—menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (l’existence
précède l’essence)¹. Ini berarti manusia pertama-tama “ada”, dan
hanya kemudian mendefinisikan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.
Akar eksistensialisme dapat ditelusuri hingga Søren
Kierkegaard, filsuf Denmark abad ke-19 yang menekankan pentingnya
subjektivitas, keputusan pribadi, dan iman sebagai bentuk eksistensi otentik².
Pandangan ini kemudian mendapatkan fondasi fenomenologis melalui karya Martin
Heidegger, yang dalam Sein und Zeit (1927) mengembangkan konsep Dasein
sebagai modus eksistensial khas manusia—suatu keberadaan yang sadar akan
keberadaannya dan mempertanyakan makna “Ada” secara radikal³.
Di tengah dominasi positivisme logis dan
strukturalisme pada abad ke-20, eksistensialisme ontologis tampil sebagai
bentuk resistensi filosofis terhadap dehumanisasi manusia dalam struktur
sosial yang impersonal dan ilmu pengetahuan yang dingin. Ia mengajak manusia
untuk menghadapi kenyataan tentang kebebasan radikal, keterlemparan dalam dunia,
dan tanggung jawab eksistensial tanpa jaminan makna objektif⁴. Karena itulah,
eksistensialisme bukan hanya gerakan filsafat, tetapi juga suatu panggilan
untuk menafsirkan hidup secara personal dan otentik.
Kajian ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis
fondasi-fondasi filosofis eksistensialisme ontologis, dari akarnya dalam
sejarah filsafat modern hingga relevansinya dalam konteks intelektual dan
budaya kontemporer. Dengan menelaah kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti
Heidegger dan Sartre, serta mempertimbangkan kritik dan penerapannya dalam
berbagai bidang, artikel ini diharapkan memberikan pemahaman mendalam tentang
bagaimana eksistensialisme menyumbang pada perubahan paradigma ontologi di era
modern.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to the Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 130–135.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–63.
[4]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel
Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, 2nd ed. (Chicago: University
of Chicago Press, 1983), 31–33.
2.
Kerangka
Historis dan Genealogis Eksistensialisme Ontologis
Eksistensialisme
ontologis tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil evolusi panjang
dari kegelisahan filosofis yang berakar dalam krisis metafisika Barat sejak
akhir abad ke-18, dan menemukan bentuknya dalam pergulatan modern atas makna
eksistensi, kebebasan, dan subjektivitas manusia. Aliran ini menyatu dalam arus
besar pembaruan ontologi, yang memindahkan pusat perhatian dari esensi
universal ke pengalaman eksistensial konkret sebagai locus utama pemaknaan
keberadaan.
2.1. Akar Pra-Eksistensialis:
Kierkegaard dan Nietzsche
Filsuf Denmark Søren
Kierkegaard sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme, meski
istilah itu sendiri baru digunakan kemudian. Ia menolak sistem metafisika
hegemonik Hegelian yang menyerap individu ke dalam totalitas sejarah dan
konsep. Bagi Kierkegaard, eksistensi manusia adalah realitas yang unik dan
personal, ditandai oleh dilema etis dan spiritual yang tak dapat direduksi
menjadi logika rasional⁽¹⁾. Ia menekankan “subjektivitas sebagai kebenaran,”
sebuah proposisi yang merombak gagasan bahwa kebenaran bersifat impersonal dan
universal.
Friedrich
Nietzsche, di sisi lain, memberikan fondasi radikal bagi
eksistensialisme dengan kritiknya terhadap moralitas Kristen, metafisika
tradisional, dan konsep Tuhan. Proklamasi “Tuhan telah mati” (Gott ist
tot) bukan hanya pernyataan teologis, tetapi juga seruan akan
krisis makna dalam zaman modern⁽²⁾. Nietzsche mengedepankan kehendak
untuk berkuasa dan Übermensch sebagai alternatif
ontologis terhadap nihilisme, mendorong individu untuk menciptakan nilai secara
otentik di tengah kehampaan nilai absolut.
2.2.
Mediasi Fenomenologis: Edmund Husserl
Perkembangan
eksistensialisme ontologis secara formal tidak terlepas dari kontribusi Edmund
Husserl dan gerakan fenomenologi yang dipeloporinya. Husserl
mengembangkan metode epoché dan reduksi fenomenologis
untuk kembali ke “hal-hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst), yakni
pengalaman murni sebelum dikonstruksi oleh teori-teori spekulatif⁽³⁾. Meskipun
Husserl masih mempertahankan idealisme transendental, pendekatan
fenomenologisnya membuka jalan bagi pengembangan ontologi eksistensial yang
lebih konkret, seperti yang dilakukan oleh Heidegger.
2.3.
Formulasi Ontologis: Heidegger dan Sartre
Puncak transformasi
eksistensialisme ke dalam ranah ontologi terjadi dalam karya Martin
Heidegger, khususnya dalam Sein und Zeit (1927). Heidegger
mengkritik ontologi tradisional yang hanya membahas “ada” sebagai objek, dan
menggantinya dengan analisis Dasein, yaitu eksistensi manusia
yang berada dalam dunia dan secara reflektif mempertanyakan makna “Ada”
itu sendiri⁽⁴⁾. Dasein bukan sekadar subjek
epistemologis, melainkan eksistensi terbuka yang mengalami kecemasan, waktu,
dan kematian sebagai horizon eksistensial.
Jean-Paul
Sartre, yang terinspirasi oleh Heidegger dan fenomenologi
Husserl, mengembangkan eksistensialisme dalam konteks Prancis pasca-Perang
Dunia II. Dalam L’Être et le Néant (1943), Sartre
menyatakan bahwa eksistensi manusia itu kontingen dan bebas sepenuhnya. Tidak
ada hakikat manusia yang sudah ditetapkan, karena manusia harus “memilih”
dirinya melalui tindakan⁽⁵⁾. Hal ini memperkuat doktrin “eksistensi mendahului
esensi” dan menempatkan kebebasan serta tanggung jawab sebagai struktur dasar
eksistensial manusia.
2.4.
Diferensiasi Teistik dan Ateistik
Seiring
berkembangnya pemikiran eksistensialis, terjadi diferensiasi penting antara eksistensialisme
teistik, seperti pada Kierkegaard dan Gabriel Marcel, dan eksistensialisme
ateistik, sebagaimana diwakili oleh Sartre, Heidegger (meskipun
tidak secara eksplisit ateistik), dan Albert Camus. Eksistensialisme teistik
melihat kebebasan manusia sebagai jalan menuju Tuhan dan pengaktualan iman,
sementara versi ateistik menekankan ketiadaan makna absolut, dan karena itu
menuntut penciptaan makna secara personal di dunia yang absurd⁽⁶⁾.
Eksistensialisme
ontologis lahir dari pertemuan dialektis antara warisan metafisika Barat,
gejolak modernitas, dan kebutuhan mendesak untuk memahami eksistensi manusia
secara otentik di luar sistem-sistem tertutup. Dengan demikian, sejarahnya
bukan sekadar kronologi pemikir, tetapi juga cermin dari krisis dan
transformasi dalam paradigma ontologis manusia modern.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the
Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), 129–135.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, 1983), 50–55.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–39.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 21–34.
[6]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser
(South Bend: St. Augustine's Press, 2001), 45–47; Albert Camus, The Myth of
Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991),
11–15.
3.
Ontologi
Eksistensialis: Konsep dan Prinsip Dasar
Ontologi
eksistensialis membentuk salah satu arus paling radikal dalam sejarah filsafat
modern karena menggugat asumsi-asumsi metafisika klasik tentang keberadaan
sebagai sesuatu yang tetap, objektif, dan dapat dipahami secara universal.
Eksistensialisme ontologis menggantinya dengan pendekatan yang memusatkan
perhatian pada eksistensi manusia yang konkret, sadar-diri,
dan dilematis, di mana keberadaan bukanlah sesuatu yang bisa
dijelaskan melalui kategori-kategori umum, melainkan hanya dapat dipahami dari
pengalaman personal akan menjadi dan keterlemparan ke dunia.
3.1.
Eksistensi Mendahului Esensi
Prinsip paling
ikonik dalam eksistensialisme, terutama dalam versi ateistik,
adalah proposisi bahwa eksistensi mendahului esensi.
Gagasan ini menolak anggapan bahwa manusia memiliki “hakikat” yang ditentukan
sejak awal oleh Tuhan, alam, atau kodrat tertentu. Sebaliknya, manusia
pertama-tama “ada” di dunia, baru kemudian membentuk dirinya sendiri
melalui tindakan, pilihan, dan tanggung jawab. Seperti ditegaskan oleh Jean-Paul
Sartre, “manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari
dirinya sendiri”⁽¹⁾. Dalam pengertian ini, keberadaan manusia bersifat
terbuka, kontingen, dan belum selesai (incomplete), yang menuntut
keterlibatan aktif untuk memaknai dirinya.
3.2.
Subjektivitas dan Individualitas Eksistensial
Berbeda dari
pandangan metafisika tradisional yang berusaha mengabstraksikan manusia ke
dalam konsep umum seperti “animal rationale”, eksistensialisme
menekankan subjektivitas sebagai bentuk keberadaan yang
paling otentik. Subjektivitas bukanlah sekadar pusat
pengetahuan atau perasaan, melainkan eksistensi itu sendiri. Kierkegaard
menyebut bahwa “kebenaran adalah subjektivitas”⁽²⁾, yang berarti bahwa
pengalaman manusia terhadap makna, iman, dan keberadaan tidak dapat diukur
dengan kriteria objektif, melainkan muncul dari pergulatan eksistensial yang
bersifat personal dan eksklusif.
3.3.
Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab
Eksistensialisme
menegaskan bahwa kebebasan adalah hakikat utama manusia,
tetapi kebebasan ini bukanlah sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan juga
beban ontologis yang mengharuskan manusia bertanggung jawab atas keberadaannya.
Sartre menyebut kebebasan manusia sebagai “kutukan”, karena manusia
tidak memiliki alasan untuk menyalahkan kodrat, nasib, atau Tuhan⁽³⁾. Dalam
kerangka ini, manusia tidak dapat bersembunyi di balik norma-norma sosial atau
determinasi eksternal, karena setiap pilihan adalah pernyataan eksistensial
tentang siapa dirinya.
3.4.
Kecemasan dan Absurditas sebagai Struktur
Ontologis
Dalam pandangan
eksistensial, kecemasan (anxiety) bukan hanya
perasaan psikologis, tetapi merupakan ekspresi eksistensial akan ketiadaan
fondasi absolut. Martin Heidegger menggambarkan
kecemasan sebagai keadaan di mana dunia menjadi “asing” dan semua makna
terlepas, sehingga manusia dihadapkan pada kekosongan dan kemungkinan-peluang
yang tak terbatas⁽⁴⁾. Sementara itu, Albert Camus dalam The Myth
of Sisyphus menegaskan absurditas sebagai hasil dari konfrontasi
antara dorongan manusia akan makna dan keheningan dunia yang tidak
memberikannya⁽⁵⁾. Dalam keadaan ini, manusia tidak diberi makna, tetapi harus
menciptakannya melalui tindakan.
3.5.
Otantisitas dan Inautentisitas dalam Struktur
Eksistensi
Salah satu
kontribusi penting dari eksistensialisme ontologis adalah konsep kehidupan
otentik (authentic existence) versus kehidupan
tidak otentik (inauthentic existence). Heidegger menjelaskan
bahwa mayoritas manusia menjalani hidup dalam keadaan das Man—yakni
eksistensi yang dibentuk oleh arus umum masyarakat, konformitas, dan
penghindaran dari pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang makna hidup⁽⁶⁾.
Kehidupan otentik terjadi ketika individu menghadapi kematian dan keterlemparan
secara sadar, lalu memilih hidup yang “miliknya sendiri”, bukan milik
orang lain atau sistem.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the
Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), 129.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 232–237.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 28–31.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, 220–223.
4.
Eksistensialisme
Martin Heidegger: Dasein dan Pertanyaan tentang Ada
Eksistensialisme
ontologis menemukan bentuk sistematis dan konseptualnya yang paling mendalam
dalam karya Martin Heidegger. Melalui
magnum opus-nya Sein und Zeit (Being
and Time, 1927), Heidegger tidak hanya memperkenalkan kerangka
eksistensialis yang baru, tetapi juga mereformulasi persoalan metafisika klasik
dengan menempatkan pertanyaan tentang Ada (die
Frage nach dem Sein) sebagai inti dari filsafat. Baginya, kesalahan
utama filsafat Barat sejak Plato adalah melupakan pertanyaan mendasar ini,
yaitu apa
artinya “ada”?⁽¹⁾.
4.1.
Kritik atas Metafisika Tradisional
Heidegger memulai
proyeknya dengan kritik terhadap metafisika Barat yang terlalu fokus pada
entitas (Seiendes)
dan gagal menyelidiki makna keberadaan itu sendiri (Sein). Tradisi filsafat sebelumnya,
menurutnya, telah menyamakan Ada dengan “ada sebagai
substansi” atau “sebagai objek pengetahuan”, dan karena itu
mereduksi pertanyaan ontologis menjadi persoalan kategorisasi dan logika⁽²⁾.
Heidegger ingin membalikkan arah: ia ingin memahami keberadaan bukan dari sudut
pandang objek, tetapi dari cara manusia sendiri mengada di dunia.
4.2.
Konsep Dasein sebagai
Keberadaan-Khas-Manusia
Untuk mengkaji “Ada”,
Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, sebuah istilah yang secara
literal berarti “ada-di-sana”. Namun dalam kerangka Heidegger, Dasein
merujuk pada eksistensi manusia yang secara khas memiliki kemampuan untuk
mempertanyakan keberadaannya sendiri⁽³⁾. Dasein bukan hanya subjek
epistemologis seperti dalam Cartesianisme, melainkan keberadaan konkret yang “ada-di-dalam-dunia”
(In-der-Welt-sein),
terlibat dalam dunia, dan berada dalam jejaring relasi makna.
Dasein
bersifat terbuka terhadap dunia (Weltöffnung),
ia mengalami dan memaknai dunia melalui keterlibatannya. Artinya, Dasein
tidak netral, melainkan selalu berada dalam suatu suasana (Befindlichkeit),
atau kondisi emosional yang membentuk pemahamannya terhadap dunia. Ini termasuk
perasaan seperti kecemasan, keterlemparan, atau bahkan keterasingan, yang bukan
hanya fenomena psikologis tetapi ekspresi ontologis dari eksistensi manusia⁽⁴⁾.
4.3.
Keterlemparan dan Dunia-nyata
Salah satu dimensi
penting dari Dasein adalah keterlemparan
(Geworfenheit),
yaitu kondisi bahwa manusia tidak memilih untuk dilahirkan, tidak menentukan
awal keberadaannya, dan senantiasa menemukan dirinya “terlempar” ke
dalam dunia dengan sejarah, bahasa, dan budaya tertentu⁽⁵⁾. Namun, dalam
keterlemparannya, Dasein tetap memiliki kapasitas
untuk memilih bagaimana ia akan “mengada”. Di sinilah muncul tensi
antara fakta keterlemparan dan potensi kebebasan: manusia tidak bisa memilih dari
mana, tetapi bisa memilih menjadi apa.
4.4.
Ketertutupan dan Kematian sebagai Horizon Eksistensial
Heidegger juga
menekankan bahwa Dasein adalah makhluk yang berarah
pada kematian (Sein-zum-Tode). Kesadaran akan
kematian memberikan Dasein horizon akhir yang
menstrukturkan seluruh eksistensinya. Berbeda dari makhluk lain, manusia tahu
bahwa ia akan mati, dan dalam kesadaran inilah manusia dapat menjalani hidupnya
secara otentik⁽⁶⁾. Dalam menghadapi kematian, Dasein dapat memilih untuk tidak
larut dalam kehidupan yang tidak otentik (inauthentic existence), yakni hidup
seperti “orang kebanyakan” (das Man), tetapi mengambil alih
eksistensinya dengan kesadaran penuh.
4.5.
Keotentikan dan Tanggung Jawab Eksistensial
Menurut Heidegger, kehidupan
otentik hanya mungkin jika Dasein menanggapi panggilan suara
batin (Ruf),
yakni kesadaran akan keterbatasan waktu dan kematian, serta memutuskan untuk
hidup dalam keaslian. Dalam pilihan ini, Dasein tidak mengikuti arus sosial
(das Man),
tetapi menjadi dirinya sendiri, menerima keberadaannya, dan menanggapi dunia
dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur⁽⁷⁾.
Heidegger tidak
memberikan sistem etika seperti Sartre, tetapi proyeknya menekankan bahwa cara
manusia “mengada” menentukan kemungkinan pemaknaan dan pembukaan
terhadap “Ada” itu sendiri. Eksistensi yang otentik, dalam konteks ini,
bukan soal moralitas, tetapi soal keterbukaan terhadap kebenaran keberadaan.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–24.
[2]
Ibid., 25–30.
[3]
Ibid., 32–34.
[4]
Ibid., 173–176.
[5]
Ibid., 174–178.
[6]
Ibid., 285–290.
[7]
Ibid., 296–303.
5.
Eksistensialisme
Jean-Paul Sartre: Eksistensi sebagai Kesadaran dan Kebebasan
Di antara
tokoh-tokoh besar eksistensialisme, Jean-Paul Sartre adalah figur
paling terkenal dalam mengartikulasikan eksistensialisme sebagai suatu sistem
filsafat yang menyeluruh. Melalui karya monumentalnya L’Être
et le Néant (Being and Nothingness, 1943),
Sartre meradikalisasi gagasan tentang eksistensi manusia sebagai kesadaran yang
bebas, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap dunia yang absurd. Sartre
memperkuat tesis eksistensialis tentang subjektivitas, tetapi juga
mengembangkannya dalam kerangka ontologis yang kompleks, terinspirasi oleh
fenomenologi Husserl dan eksistensialisme ontologis Heidegger⁽¹⁾.
5.1.
Ontologi Dua Mode Ada: Être-en-soi dan Être-pour-soi
Dalam Being
and Nothingness, Sartre membedakan antara dua mode fundamental
keberadaan: ada-dalam-dirinya (être-en-soi)
dan ada-untuk-dirinya
(être-pour-soi).
Être-en-soi
adalah keberadaan benda atau objek yang solid, tertutup, dan tidak sadar,
sementara être-pour-soi
adalah kesadaran manusia yang terbuka, reflektif, dan selalu melebihi dirinya
sendiri⁽²⁾. Kesadaran manusia tidak pernah "utuh" atau statis
seperti benda, tetapi merupakan proses menjadi yang tak pernah selesai.
Artinya, manusia tidak memiliki esensi yang tetap, melainkan senantiasa "melampaui"
dirinya melalui pilihan dan proyek-proyek keberadaan.
5.2.
Eksistensi Mendahului Esensi: Kebebasan sebagai
Kutukan
Sartre mengukuhkan
salah satu prinsip paling mendasar dari eksistensialisme: bahwa eksistensi
mendahului esensi (l’existence précède l’essence).
Dalam pandangan ini, tidak ada “hakikat manusia” yang mendahului keberadaannya;
manusia pertama-tama hadir (exist), dan kemudian menciptakan
dirinya sendiri melalui tindakannya⁽³⁾. Karena itu, manusia
sepenuhnya bebas, tanpa petunjuk metafisis atau ilahi yang
membimbingnya dari luar. Kebebasan ini bukan anugerah, tetapi kutukan
(condamnés
à être libres), karena manusia tidak bisa menghindar dari tanggung
jawab atas pilihannya⁽⁴⁾.
Tidak ada alasan
eksternal yang dapat dijadikan dasar untuk membenarkan pilihan hidup—tidak
Tuhan, tidak kodrat, dan tidak masyarakat. Oleh sebab itu, kebebasan
dan tanggung jawab adalah struktur ontologis dari eksistensi manusia,
bukan pilihan moral belaka.
5.3.
Nihilasi dan Kesadaran sebagai Negasi
Salah satu
kontribusi Sartre yang paling unik adalah konsep nihilasi
(néantisation), yaitu kemampuan kesadaran untuk meniadakan apa
yang “ada” dalam rangka membuat pilihan. Kesadaran selalu menyadari “apa
yang bukan”, dan karena itu ia dapat menolak dunia yang sedang ada untuk
membayangkan kemungkinan lain⁽⁵⁾. Dengan demikian, kesadaran bukan sekadar
pantulan dari dunia objektif, melainkan suatu kemampuan untuk menciptakan jarak
antara diri dan dunia, serta membentuk makna secara aktif.
Contoh sederhana
dari nihilasi adalah janji temu yang gagal: seseorang yang menunggu kawannya di
sebuah kafe dan menyadari ketidakhadirannya melalui "ketiadaan"
itu sendiri. Kesadaran mengenali absennya sesuatu sebagai realitas, dan dalam
konteks inilah kesadaran eksistensial menjadi sebuah medan untuk penolakan,
kebebasan, dan proyek eksistensial⁽⁶⁾.
5.4.
Le Regard: Pandangan Orang Lain dan Krisis Subjektivitas
Dalam dinamika
sosial, Sartre mengembangkan gagasan le regard (pandangan orang
lain), yaitu kesadaran bahwa diri kita dapat menjadi objek bagi subjek lain.
Saat disadari oleh orang lain, kita tidak lagi hanya “ada untuk diri sendiri”
tetapi juga menjadi “ada untuk orang lain” (être-pour-autrui). Ini menimbulkan
ketegangan antara subjektivitas dan objektifikasi, yang dapat menghasilkan rasa
malu, manipulasi, atau konflik⁽⁷⁾.
Contoh klasik Sartre
adalah ilustrasi seseorang yang mengintip melalui lubang kunci, dan kemudian
merasa malu ketika menyadari bahwa dirinya sendiri sedang diawasi. Dalam kesadaran
akan “dilihat”, subjek menjadi objek—dan di sinilah letak alienasi
eksistensial: manusia selalu terjebak dalam dialektika antara kebebasannya dan
persepsi orang lain terhadapnya.
5.5.
Otentisitas dan Tanggung Jawab Eksistensial
Bagi Sartre, hidup
otentik adalah hidup yang mengakui dan mengaktualkan kebebasan,
bukan menyangkalnya. Sebaliknya, kehidupan yang tidak otentik adalah ketika
individu melepaskan tanggung jawabnya dan mengadopsi bad
faith (mauvaise foi), yaitu berbohong
kepada diri sendiri demi merasa aman atau mengikuti norma sosial secara
pasif⁽⁸⁾. Seorang pelayan kafe yang terlalu memainkan peran sebagai pelayan
adalah contoh dari bad faith, karena ia mencoba “menjadi”
pelayan seolah-olah itu adalah esensinya, padahal ia adalah kebebasan itu
sendiri.
Oleh karena itu,
dalam eksistensialisme Sartrean, kebebasan bukan hanya kenyataan ontologis,
tetapi juga tanggung jawab eksistensial untuk menjadi
otentik, untuk menciptakan makna, dan untuk menghadapi
absurditas tanpa lari ke ilusi.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 3–9.
[2]
Ibid., 10–20.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[4]
Sartre, Being and Nothingness, 567.
[5]
Ibid., 45–48.
[6]
Ibid., 10–11.
[7]
Ibid., 340–355.
[8]
Ibid., 86–89.
6.
Relasi
Eksistensialisme Ontologis dengan Cabang Filsafat Lain
Eksistensialisme
ontologis tidak berdiri sendiri sebagai sistem yang tertutup. Ia justru
bersifat dialogis dan interdisipliner, karena mengakar dalam kesadaran manusia
yang kompleks dan menyentuh pelbagai dimensi kehidupan. Oleh sebab itu,
eksistensialisme berinteraksi erat dengan berbagai cabang filsafat lain,
seperti epistemologi, etika, filsafat agama, serta estetika dan seni.
Hubungan-hubungan ini memperlihatkan bukan hanya daya jelajah eksistensialisme,
tetapi juga bagaimana ia menantang dan memperkaya kerangka berpikir dalam
tradisi filsafat modern.
6.1.
Relasi dengan Epistemologi: Subjektivitas
sebagai Sumber Pengetahuan
Dalam epistemologi
klasik, pengetahuan dianggap sebagai proses yang obyektif dan netral, dengan
subjek yang diposisikan sebagai pengamat eksternal atas dunia. Sebaliknya,
eksistensialisme ontologis mengkritik netralitas ini dan menegaskan bahwa pengetahuan
berakar dalam keberadaan subjek yang terlibat secara eksistensial⁽¹⁾.
Bagi Kierkegaard, kebenaran tidak ditemukan dalam proposisi logis, melainkan
dalam subjektivitas
eksistensial yang mendalam⁽²⁾. Heidegger pun menggantikan konsep
"subjek-objek" dengan Dasein sebagai “ada yang
memahami” (Seinsverständnis)⁽³⁾.
Dalam kerangka ini,
epistemologi eksistensialis menolak model kognitif yang sepenuhnya
rasionalistik. Pengetahuan bukanlah cermin realitas, tetapi suatu bentuk
pemaknaan yang tumbuh dari keterlibatan eksistensial manusia dengan dunia. Ini
membuka ruang bagi dimensi hermeneutis dan fenomenologis
dalam cara manusia mengetahui dirinya dan realitas sekitarnya.
6.2.
Relasi dengan Etika: Kebebasan, Tanggung Jawab,
dan Autentisitas
Eksistensialisme
ontologis memiliki implikasi etis yang radikal. Tidak seperti etika normatif
tradisional yang menekankan aturan universal atau kodrat moral manusia,
eksistensialisme membangun etika di atas kebebasan radikal individu dan tanggung jawab
penuh atas pilihannya. Sartre menyatakan bahwa dalam memilih
dirinya sendiri, manusia juga merumuskan nilai untuk seluruh umat
manusia—sebuah etika keberadaan yang tidak dapat diserahkan kepada prinsip
eksternal⁽⁴⁾.
Keputusan etis,
dalam perspektif ini, bukan sekadar kepatuhan terhadap hukum moral, tetapi
ekspresi keotentikan. Hidup etis berarti hidup yang jujur
terhadap kebebasannya sendiri, bukan terjebak dalam bad
faith atau kebohongan terhadap diri sendiri⁽⁵⁾. Maka, etika
eksistensial tidak membentuk sistem moral baku, melainkan menuntut manusia
untuk terus-menerus menilai dirinya sendiri dalam horizon tanggung jawab
eksistensial.
6.3.
Relasi dengan Filsafat Agama: Iman, Absurditas,
dan Keheningan Tuhan
Eksistensialisme
teistik—yang diwakili oleh Kierkegaard, Karl Jaspers, dan Gabriel
Marcel—menggambarkan iman sebagai lompatan eksistensial di tengah
absurditas dunia. Kierkegaard secara khusus menekankan bahwa hubungan dengan
Tuhan bersifat paradoksal dan tidak dapat dijembatani oleh nalar rasional⁽⁶⁾.
Iman, dalam konteks ini, adalah ketegangan batin antara putus asa dan harapan
yang mengakar dalam eksistensi personal.
Sebaliknya, dalam
eksistensialisme ateistik seperti yang dikembangkan Sartre dan Camus, keheningan
Tuhan justru menjadi latar bagi kebebasan manusia. Dalam dunia
yang tidak menawarkan makna objektif, manusialah yang bertanggung jawab untuk
menciptakan makna itu sendiri. Absurditas bukanlah hal yang harus dihindari,
tetapi dihadapi dengan kesadaran dan keberanian⁽⁷⁾. Maka, filsafat agama dan
eksistensialisme memiliki relasi dialektis: antara pencarian transendensi dan
afirmasi atas imanenitas eksistensi.
6.4.
Relasi dengan Estetika dan Seni: Ekspresi
Keberadaan dan Pencarian Makna
Estetika
eksistensial berakar pada gagasan bahwa seni adalah medium ekspresi keberadaan.
Sartre memandang sastra sebagai bentuk praksis eksistensial di mana penulis
menegaskan kebebasan dan menghadirkan dunia melalui pilihan kata dan makna⁽⁸⁾.
Demikian pula, Albert Camus memandang karya seni sebagai cara manusia memberi
bentuk pada absurditas, seperti yang tergambar dalam The Myth
of Sisyphus atau Caligula.
Dalam seni
eksistensialis, tidak ada “estetika ideal”; yang penting adalah
ketulusan dan intensitas pengungkapan eksistensi manusia. Hal ini membuat
eksistensialisme menjadi kekuatan besar dalam perkembangan sastra
modern, teater absurdis, dan seni kontemporer yang
mempertanyakan makna hidup, keterasingan, dan identitas personal.
Kesimpulan Sementara
Eksistensialisme
ontologis berelasi erat dengan berbagai cabang filsafat karena wataknya yang
holistik dan personal. Ia menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman,
moralitas dengan pilihan eksistensial, agama dengan keputusasaan atau iman,
serta seni dengan keberadaan yang absurd namun bermakna. Hubungan ini
membuktikan bahwa eksistensialisme bukan sekadar aliran metafisika, tetapi
suatu kerangka
berpikir filosofis yang menjangkau seluruh dimensi kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 36–38.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to the
Philosophical Crumbs, trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), 130.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 62–67.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 35–40.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.
[6]
Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 53–57.
[7]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 28–37.
[8]
Jean-Paul Sartre, What Is Literature?, trans. Bernard
Frechtman (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 12–17.
7.
Kritik
terhadap Eksistensialisme Ontologis
Meskipun
eksistensialisme ontologis telah memberikan kontribusi besar dalam menggeser
pusat perhatian filsafat dari abstraksi universal ke eksistensi manusia yang
konkret, aliran ini tidak luput dari kritik tajam dari berbagai arus pemikiran
filsafat kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya menyasar kelemahan
metodologis dan logis eksistensialisme, tetapi juga menantang implikasi etis,
sosial, dan epistemologis dari penekanannya yang ekstrem terhadap
subjektivitas, kebebasan, dan keterlemparan.
7.1.
Tuduhan Subjektivisme dan Solipsisme
Salah satu kritik
klasik terhadap eksistensialisme, khususnya pada Sartre dan Kierkegaard, adalah
penekanan
berlebihan pada subjektivitas, yang dianggap mengarah pada
bentuk solipsisme atau keterputusan dari relasi sosial yang objektif. Sartre
menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya sumber makna, dan “tidak ada
Tuhan untuk menjamin nilai-nilai”⁽¹⁾. Dalam pandangan ini, segala makna
moral dan eksistensial menjadi sangat relatif terhadap individu, sehingga
mengancam kemungkinan komunikasi etis dan rasional universal.
Kritikus seperti Theodor
Adorno menyebut eksistensialisme sebagai "ideologi
borjuis dari isolasi," yang gagal membaca struktur sosial sebagai
penentu eksistensi manusia⁽²⁾. Fokus Sartre pada individu dianggap mengabaikan
kondisi historis-material yang membentuk pilihan manusia dalam dunia nyata.
Subjektivisme ini juga mempersulit pengembangan teori sosial yang koheren,
karena tidak ada basis trans-subjektif untuk mengukur makna atau keadilan.
7.2.
Reduksi Realitas Sosial menjadi Kesadaran
Individual
Kritik lain datang
dari tradisi Marxis dan strukturalis, yang
melihat eksistensialisme sebagai bentuk reduksionisme psikologis, yakni
kecenderungan menjelaskan struktur sosial dan sejarah sebagai produk dari
pilihan individu. Louis Althusser, seorang Marxis
strukturalis, mengecam eksistensialisme karena tidak memahami bahwa subjek
telah terlebih dahulu dibentuk oleh struktur ideologis dan aparatus negara,
bukan sebaliknya⁽³⁾. Dengan demikian, kebebasan dalam eksistensialisme dianggap
ilusi, karena tidak memperhitungkan determinasi struktural yang menindas.
Dalam konteks ini,
eksistensialisme dianggap gagal membaca kekuasaan sebagai kategori fundamental
dalam hubungan manusia. Ia terlalu percaya pada kapasitas individu untuk
“membuat dirinya sendiri”, tanpa memperhitungkan bahwa kondisi material dan
simbolik masyarakat telah menetapkan batas-batas praksis subjek.
7.3.
Ketiadaan Etika yang Normatif
Eksistensialisme
juga dikritik karena tidak memberikan panduan etis yang jelas,
melainkan hanya menyerahkan semuanya pada kebebasan personal. Sartre sendiri
menolak adanya ethics of essence, dan menyatakan
bahwa etika harus lahir dari kebebasan yang konkret⁽⁴⁾. Namun bagi banyak
pemikir, ini justru berbahaya, karena membuka jalan bagi relativisme moral yang
ekstrem.
Roger
Scruton, misalnya, menyatakan bahwa etika Sartrean adalah etika
kehendak tanpa isi normatif yang bisa diuji secara objektif⁽⁵⁾. Tanpa standar
umum, bagaimana seseorang bisa mengevaluasi tindakan sebagai “baik” atau
“buruk”, selain melalui perasaan otentik? Di sinilah eksistensialisme
ontologis dianggap rapuh: ia membuka ruang kebebasan tanpa memperjelas batas
tanggung jawab dalam konteks sosial dan hukum moral yang dapat dibagikan
bersama.
7.4.
Tantangan dari Filsafat Analitik dan Logika
Bahasa
Eksistensialisme
ontologis juga ditentang oleh kalangan filsafat analitik, terutama
karena bahasanya yang dianggap tidak jelas, ambigu, dan terlalu spekulatif. Bertrand
Russell mengkritik gaya filosofis kontinental, termasuk
eksistensialisme, sebagai “kesusastraan yang menyamar sebagai filsafat”⁽⁶⁾.
Kritik ini bukan hanya soal gaya, tetapi juga menyangkut verifiabilitas
dan koherensi logis dari proposisi eksistensialis.
Bagi para positivis
logis seperti A.J. Ayer, pernyataan tentang “kecemasan
ontologis”, “ketiadaan”, atau “keotentikan” tidak memiliki
makna empiris yang dapat diuji, dan karenanya merupakan nonsens metafisis⁽⁷⁾.
Meskipun kritik ini lebih metodologis daripada substantif, ia menggambarkan
adanya ketegangan antara eksistensialisme yang fenomenologis dan gaya analisis
logis yang ketat.
7.5.
Respons dan Revisi Eksistensialis
Kritik-kritik ini,
meskipun keras, telah mendorong eksistensialisme untuk bertransformasi
dan berdialog dengan pendekatan-pendekatan baru. Heidegger
sendiri, dalam karya-karya pasca-Sein und Zeit, berpindah ke arah
hermeneutika dan puisi sebagai cara untuk “mendekatkan diri pada Ada”.
Sartre, di penghujung hidupnya, membuka dialog dengan Marxisme dalam Critique
of Dialectical Reason (1960), meskipun dengan hasil yang
problematik⁽⁸⁾.
Sementara itu, tokoh-tokoh
pasca-eksistensialis seperti Emmanuel Levinas dan Paul Ricoeur
merevisi pendekatan eksistensial dengan memperkenalkan etika alteritas dan
hermeneutika naratif, yang membuka eksistensialisme ke arah dialog
antar-subjektif dan historis yang lebih kaya. Dengan demikian, meskipun
eksistensialisme ontologis menuai kritik, ia tetap menjadi medan yang dinamis
dalam filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 34–37.
[2]
Theodor W. Adorno, The Jargon of Authenticity, trans. Knut
Tarnowski and Frederic Will (Evanston, IL: Northwestern University Press,
1973), 6–12.
[3]
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso,
2005), 133–136.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567–570.
[5]
Roger Scruton, Modern Philosophy: An Introduction and Survey
(London: Penguin Books, 1996), 330–333.
[6]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York:
Simon and Schuster, 1945), 758.
[7]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 39–44.
[8]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), xv–xxii.
8.
Eksistensialisme
Ontologis dalam Konteks Kontemporer
Meskipun
eksistensialisme ontologis mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20,
pengaruhnya tetap terasa kuat hingga era kontemporer. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan terdigitalisasi, berbagai krisis global—baik identitas,
spiritualitas, lingkungan, maupun relasi sosial—membuka kembali ruang untuk
refleksi eksistensial. Konsep-konsep seperti kebebasan, keterlemparan,
otentisitas, absurditas, dan kecemasan tetap relevan dalam menghadapi tantangan
zaman modern. Eksistensialisme ontologis, meskipun tidak lagi menjadi gerakan
dominan, mengalami reaktualisasi dalam berbagai bidang, termasuk filsafat
budaya, psikologi, teknologi, dan teori kritis.
8.1.
Krisis Identitas dan Subjektivitas Postmodern
Di tengah runtuhnya
narasi-narasi besar dan bangkitnya pluralitas nilai-nilai dalam era postmodern,
eksistensialisme ontologis mendapatkan aktualitas baru dalam menjawab krisis
identitas dan keterasingan individu. Dalam masyarakat yang
ditandai oleh fragmentasi dan relativisme, konsep eksistensialis tentang
kebebasan dan tanggung jawab personal menjadi relevan kembali sebagai cara
untuk menemukan arah hidup yang otentik⁽¹⁾.
Zygmunt
Bauman, misalnya, dalam teorinya tentang “identitas cair”
menggarisbawahi ketidakstabilan subjektivitas modern dalam masyarakat
konsumeris dan global⁽²⁾. Dalam konteks ini, pendekatan eksistensialis
menyediakan kerangka bagi individu untuk memahami dirinya sebagai proyek
terbuka yang harus diciptakan secara sadar dalam dunia yang tidak menyediakan
peta makna yang tetap.
8.2.
Psikologi Eksistensial dan Kesehatan Mental
Eksistensialisme
juga menemukan ruang ekspresi dalam bidang psikologi dan psikoterapi,
terutama dalam pemikiran tokoh seperti Viktor E. Frankl, Rollo
May, dan Irvin D. Yalom. Mereka
memadukan prinsip-prinsip eksistensialis seperti kebebasan, makna, kematian,
dan keterbatasan menjadi pendekatan terapeutik yang lebih berfokus pada manusia
sebagai makhluk yang memilih dan mencari makna, bukan sekadar
sistem biologis atau mesin stimulus-reaksi⁽³⁾.
Frankl,
yang mengalami penderitaan dalam kamp konsentrasi Nazi, mengembangkan logoterapi—suatu
terapi yang menekankan pencarian makna sebagai inti dari penyembuhan
psikologis⁽⁴⁾. Bagi Frankl, manusia dapat bertahan dari penderitaan asalkan ia
mampu menemukan makna di dalamnya, sejalan dengan postulat eksistensial bahwa
eksistensi mendahului esensi.
8.3.
Eksistensialisme dan Teknologi: Tantangan Era
Digital
Perkembangan
teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) juga menimbulkan pertanyaan
ontologis baru yang dapat dijawab dalam semangat eksistensialis. Dalam dunia yang
semakin dikuasai oleh algoritma, simulasi, dan
virtualitas, manusia berisiko kehilangan agensinya dan jatuh
dalam keterasingan digital. Konsep Heidegger tentang Gestell—kerangka
teknologis yang mengobjektifikasi segala sesuatu—dapat dibaca sebagai kritik
awal terhadap reduksi manusia menjadi data
dalam masyarakat algoritmik⁽⁵⁾.
Di era ini,
eksistensialisme menawarkan resistensi filosofis terhadap dehumanisasi
teknologi. Dengan menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keadaan
sadar-diri, kecemasan, dan keotentikan, eksistensialisme menekankan
pentingnya menjaga subjektivitas dan kebebasan di tengah
determinasi sistem digital⁽⁶⁾.
8.4.
Eksistensialisme, Politik, dan Perjuangan Makna
di Era Krisis
Konteks kontemporer
yang ditandai oleh krisis ekologi, konflik identitas, dan
ketimpangan sosial juga membuka ruang bagi penerapan
eksistensialisme dalam bidang politik dan etika publik. Tokoh-tokoh seperti Simone
de Beauvoir telah menunjukkan bagaimana eksistensialisme dapat
digunakan sebagai landasan untuk teori feminis, dengan menekankan bahwa
perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan dalam
struktur sosial yang membatasi⁽⁷⁾.
Demikian pula, Camus
menekankan sikap pemberontakan eksistensial sebagai bentuk perlawanan terhadap
absurditas politik dan kekuasaan yang menindas. Dalam dunia yang kehilangan
nilai bersama, tindakan yang bermakna lahir bukan dari doktrin, melainkan dari
keputusan personal untuk berkomitmen pada kemanusiaan secara otentik⁽⁸⁾.
8.5.
Eksistensialisme dalam Filsafat Lintas Budaya
Akhir-akhir ini,
eksistensialisme juga berdialog dengan filsafat-filsafat non-Barat,
seperti pemikiran Zen Buddhisme, sufisme, dan filsafat eksistensial Timur.
Kecenderungan reflektif terhadap kekosongan, kesadaran akan kefanaan, dan pencarian
makna hidup menunjukkan kesesuaian antara eksistensialisme ontologis dan
beberapa tradisi kebijaksanaan global. Dialog ini memperkaya eksistensialisme,
menjadikannya lebih terbuka terhadap pluralitas ontologis
dalam kerangka lintas budaya⁽⁹⁾.
Footnotes
[1]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
89–92.
[2]
Zygmunt Bauman, Identity: Conversations with Benedetto Vecchi
(Cambridge: Polity Press, 2004), 20–25.
[3]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic
Books, 1980), 9–15.
[4]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
[5]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 18–20.
[6]
Hubert L. Dreyfus and Charles Spinosa, “Highway Bridges and Feasts:
Heidegger and Borgmann on How to Affirm Technology,” Man and World 30,
no. 2 (1997): 159–177.
[7]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 1989), 267–268.
[8]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York:
Vintage International, 1991), 5–7.
[9]
Thomas P. Kasulis, Intimacy or Integrity: Philosophy and Cultural
Difference (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2002), 114–120.
9.
Refleksi
Filosofis: Eksistensi, Makna, dan Keotentikan Hidup
Eksistensialisme
ontologis pada dasarnya bukan hanya sebuah sistem pemikiran, tetapi juga
merupakan suatu panggilan filosofis dan etis
untuk merefleksikan eksistensi manusia secara jujur dan radikal. Dalam dunia
yang sering kali kehilangan arah, eksistensialisme menyajikan suatu pendekatan
yang mendalam untuk memahami makna hidup, kebebasan, dan tanggung jawab
personal di tengah absurditas, keterbatasan, dan keterlemparan.
9.1.
Mengada dalam Dunia yang Absurd
Salah satu
sumbangsih utama eksistensialisme adalah pengakuannya yang jujur terhadap
kenyataan bahwa dunia ini tidak memiliki makna bawaan.
Eksistensi manusia tidak datang dengan instruksi atau tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Seperti yang ditegaskan oleh Albert
Camus, manusia hidup dalam ketegangan antara kerinduannya akan
makna dan keheningan semesta yang tak memberi jawaban. Dalam kondisi ini,
manusia harus menciptakan makna dari keterhampaan⁽¹⁾.
Namun, absurditas
tidak berarti menyerah atau nihilisme. Sebaliknya, Camus menyarankan “pemberontakan
ontologis”—yakni hidup sepenuhnya dalam kesadaran akan
absurditas itu sendiri, tanpa ilusi metafisik, sambil tetap menegaskan martabat
kemanusiaan⁽²⁾. Sikap ini membuka ruang bagi makna eksistensial yang autentik,
bukan berdasarkan dogma, tetapi dari keterlibatan manusia yang sadar akan
keterbatasannya.
9.2.
Keberanian untuk Menjadi Diri Sendiri
Keotentikan
(authenticity) dalam eksistensialisme bukanlah semata-mata hidup sesuai dengan
keinginan pribadi, tetapi hidup dengan penuh kesadaran akan fakta bahwa
manusia adalah makhluk bebas yang tidak dapat menyalahkan
entitas eksternal atas keberadaannya. Dalam hal ini, keotentikan menjadi sikap
untuk mengakui
keterlemparan, menerima ketakterhindaran dari waktu dan
kematian, serta memilih untuk menjalani hidup secara sadar dan bertanggung
jawab⁽³⁾.
Martin
Heidegger menyebut bahwa manusia yang hidup secara otentik
adalah mereka yang menyadari “menuju-kematian” (Sein-zum-Tode),
dan menjadikan kesadaran itu sebagai horizon untuk hidup secara penuh⁽⁴⁾. Dalam
hal ini, otentisitas bukan tentang melarikan diri dari kematian, melainkan
menghadapi hidup dalam terang keterbatasannya—menghindari das Man
atau kehidupan impersonal yang dikendalikan oleh massa dan konvensi sosial.
9.3.
Kebebasan dan Beban Tanggung Jawab
Eksistensialisme
memandang bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena tidak memiliki pilihan
selain bertanggung
jawab atas setiap keputusan yang dibuatnya. Jean-Paul
Sartre menegaskan bahwa tidak memilih pun adalah sebuah
pilihan. Maka, makna hidup bukan ditemukan di luar diri, tetapi diciptakan
melalui tindakan konkret dan pilihan eksistensial⁽⁵⁾.
Kebebasan
eksistensial bukanlah bentuk anarki moral, melainkan keterpanggilan untuk hidup
secara reflektif dan etis dalam dunia yang tidak memberi jaminan makna. Di sini
tampak bahwa eksistensialisme bukan sekadar pembelaan terhadap individualitas,
tetapi juga seruan etis untuk tidak
menyia-nyiakan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia.
9.4.
Eksistensi Sebagai Proyek yang Belum Selesai
Eksistensi manusia,
dalam pandangan eksistensialis, bukan sesuatu yang statis. Ia adalah proyek
terbuka, selalu dalam proses menjadi.
Heidegger menyebut bahwa Dasein adalah eksistensi-yang-menjelang,
yakni keberadaan yang selalu bergerak ke depan, belum selesai, dan belum ditentukan
sepenuhnya⁽⁶⁾. Dalam pengertian ini, hidup tidak dapat dikurung dalam definisi
atau identitas tetap. Justru dalam keterbukaan terhadap kemungkinanlah
eksistensi memperoleh maknanya.
Simone
de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity,
menambahkan bahwa eksistensi manusia bersifat ambivalen: kita sekaligus bebas
dan terikat, subjek dan objek, sadar dan rentan. Karena itu, membangun makna
hidup membutuhkan pengakuan terhadap ambiguitas ini, serta keberanian untuk
beraksi di tengah ketidakpastian⁽⁷⁾.
9.5.
Makna Hidup sebagai Karya dan Komitmen
Akhirnya,
eksistensialisme ontologis mengajak manusia untuk memahami hidupnya sebagai karya
yang harus digarap sendiri, bukan sebagai dokumen yang
diwariskan. Makna tidak diimpor dari luar, melainkan dibentuk dari dalam, melalui
keterlibatan aktif dalam dunia—dalam cinta, kerja, penderitaan, solidaritas,
dan bahkan dalam kesendirian. Viktor Frankl, dengan
pengalamannya di kamp konsentrasi, menunjukkan bahwa bahkan dalam penderitaan
yang ekstrem, manusia tetap memiliki kemungkinan untuk menemukan makna⁽⁸⁾.
Maka,
eksistensialisme ontologis bukan hanya wacana tentang ketiadaan, tetapi tentang
potensi
menjadi manusia yang penuh kesadaran, bebas, dan bertanggung
jawab. Ia menawarkan refleksi filosofis yang tajam, namun juga dorongan
spiritual dan eksistensial yang mendalam untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana
seharusnya aku hidup di tengah dunia yang tidak memberiku jaminan apa pun
kecuali keberadaanku sendiri?
Footnotes
[1]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 28–32.
[2]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York:
Vintage International, 1991), 16–20.
[3]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
112–115.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 284–292.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 567–572.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, 183–185.
[7]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 34–40.
[8]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 115–118.
10. Penutup
Eksistensialisme ontologis, sebagai salah satu arus
pemikiran paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, telah menawarkan suatu
pendekatan filosofis yang revolusioner terhadap pertanyaan dasar mengenai
keberadaan. Dengan menempatkan subjektivitas manusia, kebebasan radikal, dan
keterlemparan eksistensial sebagai pusat analisis ontologis,
eksistensialisme membuka ruang baru untuk memahami manusia bukan sebagai
entitas yang telah selesai, melainkan sebagai proyek terbuka yang
senantiasa membentuk maknanya dalam dunia yang tidak memberi jaminan
metafisis⁽¹⁾.
Dalam menghadapi kehampaan ontologis, absurditas,
dan ketiadaan fondasi objektif bagi makna hidup, para pemikir eksistensialis
seperti Kierkegaard, Heidegger, Sartre, dan Camus tidak terjebak pada
sikap nihilistik. Sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa dari ruang hampa inilah
manusia memperoleh kebebasan untuk menjadi—untuk memilih, bertanggung
jawab, dan merumuskan makna secara otentik⁽²⁾. Dengan demikian,
eksistensialisme tidak hanya menawarkan kritik terhadap metafisika tradisional,
tetapi juga membangun paradigma alternatif yang lebih bersifat personal,
reflektif, dan partisipatif terhadap kenyataan.
Kekuatan eksistensialisme terletak pada
keberaniannya untuk mengakui bahwa manusia hidup dalam kondisi ambiguitas
ontologis: ia bebas, namun terbatas; ia adalah subjek yang menciptakan
makna, namun sekaligus terikat pada dunia dan sejarah yang tidak sepenuhnya ia
kuasai⁽³⁾. Di sinilah muncul relevansi eksistensialisme di era kontemporer,
saat manusia menghadapi krisis identitas, disrupsi teknologi, serta tekanan
sosial yang mendistorsi agensi individual. Refleksi eksistensialis membantu
menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas
untuk memilih dan memaknai hidupnya, bahkan dalam situasi paling genting.
Namun demikian, eksistensialisme ontologis juga
tidak bebas dari kritik. Penekanannya yang ekstrem pada subjektivitas dan
kebebasan individu dinilai oleh sebagian kalangan sebagai bentuk solipsisme
filosofis, atau bahkan gagal menjawab realitas struktural dan politik yang
membentuk kondisi manusia⁽⁴⁾. Kritik dari tradisi strukturalis, Marxis, dan
filsafat analitik membuka ruang untuk refleksi kritis terhadap
eksistensialisme, dan mendorong terjadinya pembaruan dalam bentuk
eksistensialisme yang lebih terbuka terhadap dialog dengan etika
intersubjektif, politik emansipatoris, dan hermeneutika lintas budaya.
Meskipun demikian, warisan eksistensialisme tetap
signifikan. Ia mengajarkan bahwa hidup bukanlah soal menemukan kebenaran di
luar diri, melainkan tentang menciptakan kebenaran melalui tindakan dan
komitmen pribadi. Eksistensialisme mengingatkan kita bahwa menjadi manusia
adalah keberanian untuk berada, untuk menyambut absurditas, dan untuk tetap
membangun makna di tengah ketakterhindaran kematian⁽⁵⁾. Dalam konteks global
yang semakin terfragmentasi, pendekatan eksistensialis masih menawarkan
kekuatan spiritual dan intelektual bagi manusia yang mencari otentisitas di
dunia yang serba tidak pasti.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
185–192.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 35–40.
[3]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 7–12.
[4]
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben
Brewster (London: Verso, 2005), 133–136.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 121–123.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1973). The
jargon of authenticity (K. Tarnowski & F. Will, Trans.). Northwestern
University Press. (Original work published 1964)
Althusser, L. (2005). For
Marx (B. Brewster, Trans.). Verso. (Original work published 1965)
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications. (Original work published 1936)
Bauman, Z. (2004). Identity:
Conversations with Benedetto Vecchi. Polity Press.
Beauvoir, S. de. (1948). The
ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.
Beauvoir, S. de. (1989). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1949)
Camus, A. (1991). The
myth of Sisyphus (J. O'Brien, Trans.). Vintage International. (Original
work published 1942)
Camus, A. (1991). The rebel
(A. Bower, Trans.). Vintage International. (Original work published 1951)
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world:
A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.
Dreyfus, H. L., &
Spinosa, C. (1997). Highway bridges and feasts: Heidegger and Borgmann on how
to affirm technology. Man and World, 30(2), 159–177. https://doi.org/10.1023/A:1004234010464
Frankl, V. E. (2006). Man’s
search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work
published 1946)
Guignon, C. (2004). On
being authentic. Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1927)
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row. (Original work published 1954)
Kierkegaard, S. (1985). Fear
and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Original work published
1843)
Kierkegaard, S. (2009). Concluding
unscientific postscript to the philosophical crumbs (A. Hannay, Trans.).
Cambridge University Press. (Original work published 1846)
Kasulis, T. P. (2002). Intimacy
or integrity: Philosophy and cultural difference. University of Hawai‘i
Press.
Russell, B. (1945). History
of Western philosophy. Simon and Schuster.
Sartre, J.-P. (1992). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original
work published 1943)
Sartre, J.-P. (2004). Critique
of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work
published 1960)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Sartre, J.-P. (1988). What
is literature? (B. Frechtman, Trans.). Harvard University Press. (Original
work published 1948)
Scruton, R. (1996). Modern
philosophy: An introduction and survey. Penguin Books.
Yalom, I. D. (1980). Existential
psychotherapy. Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar