Jumat, 13 Juni 2025

La Galigo: Epik Mitologis dan Warisan Budaya Bugis dalam Perspektif Historis, Sastra, dan Kosmologis

La Galigo

Epik Mitologis dan Warisan Budaya Bugis dalam Perspektif Historis, Sastra, dan Kosmologis


Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan Geografis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif La Galigo, sebuah epik mitologis klasik dari masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner yang mencakup kajian filologis, sastra, antropologi, linguistik, gender, dan ekokritik, artikel ini mengungkapkan kompleksitas naratif, kosmologis, dan sosial-budaya dalam teks La Galigo. Penelitian ini menunjukkan bahwa La Galigo bukan hanya merupakan dokumen sastra kuno, tetapi juga sistem pengetahuan lokal yang holistik dan dinamis. Epik ini merefleksikan pandangan dunia masyarakat Bugis pra-Islam tentang penciptaan alam semesta, sistem sosial, nilai etis, dan hubungan manusia dengan kosmos. Artikel ini juga menyoroti pengakuan internasional terhadap La Galigo oleh UNESCO serta berbagai bentuk representasinya dalam seni, budaya populer, dan pendidikan kontemporer. Dengan membahas La Galigo dalam konteks sastra dunia dan warisan budaya takbenda, tulisan ini menegaskan pentingnya pelestarian teks lokal sebagai bagian dari pembentukan identitas budaya dan peradaban global.

Kata Kunci: La Galigo; epik Bugis; warisan budaya; kosmologi; sastra lisan; filologi; identitas lokal; world literature; UNESCO; interdisipliner.


PEMBAHASAN

La Galigo dalam Khazanah Budaya Nusantara


1.           Pendahuluan

La Galigo merupakan sebuah karya sastra epik yang berasal dari masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, Indonesia, dan sering dianggap sebagai salah satu teks epik terpanjang di dunia. Karya ini ditulis dalam bentuk puisi naratif dalam bahasa dan aksara Bugis kuno (aksara Lontaraq), dan memuat kisah mitologis tentang asal-usul manusia, struktur kosmos, serta sistem nilai budaya masyarakat Bugis pra-Islam. Naskah La Galigo memiliki lebih dari 6.000 halaman teks, menjadikannya lebih panjang dari Mahabharata atau Iliad dan Odyssey gabungan, sehingga menegaskan kedudukannya sebagai warisan sastra dunia yang monumental.1

Kisah utama La Galigo berkisar pada tokoh mitologis Sawerigading dan keluarganya, yang merupakan keturunan dewa dan manusia, dan menggambarkan relasi antara dunia atas (langit), dunia tengah (bumi), dan dunia bawah (lautan). Narasi dalam La Galigo tidak hanya menyajikan mitos penciptaan dan silsilah kosmik, tetapi juga memuat pandangan hidup, struktur sosial, dan etika budaya Bugis seperti konsep siri’ (harga diri), pesse (empati), dan keseimbangan kosmologis antara manusia dan alam.2

Sebagai warisan budaya yang awalnya diturunkan secara lisan, La Galigo telah mengalami proses kodifikasi dan penulisan ulang selama berabad-abad oleh para panrita atau ahli sastra Bugis. Naskah-naskahnya tersimpan dalam berbagai koleksi, baik di Indonesia maupun luar negeri, termasuk di Perpustakaan Leiden (Belanda), Perpustakaan Nasional Indonesia, dan koleksi pribadi keturunan bangsawan Bugis.3 Pada tahun 2004, UNESCO secara resmi mengakui La Galigo sebagai bagian dari Memory of the World Register, menegaskan nilai pentingnya bagi peradaban manusia secara global.4

Kajian terhadap La Galigo melibatkan pendekatan multidisipliner yang mencakup bidang filologi, antropologi, studi sastra, sejarah, dan kosmologi. Penelitian atas teks ini tidak hanya merekonstruksi sejarah dan budaya masyarakat Bugis, tetapi juga mengungkapkan kekayaan konsepsi lokal tentang eksistensi, moralitas, dan struktur semesta. Dalam konteks akademik kontemporer, La Galigo juga menjadi sumber penting dalam studi pascakolonial, identitas etnis, dan dinamika pelestarian budaya lokal dalam kerangka globalisasi.5

Dengan demikian, kajian ini bertujuan untuk mengurai La Galigo sebagai teks epik yang tidak hanya memuat nilai-nilai estetika dan naratif, tetapi juga sebagai representasi kosmologis dan historis dari masyarakat Bugis. Pendekatan historis, sastra, dan kosmologis yang digunakan akan menempatkan La Galigo dalam konteks keilmuannya yang utuh dan relevan, baik secara lokal maupun global.


Footnotes

[1]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 17.

[2]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 221–226.

[3]                Campbell Macknight, "The Preservation and Transmission of the La Galigo Manuscripts," in Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 151, no. 2 (1995): 268–276.

[4]                UNESCO, “La Galigo,” Memory of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.

[5]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 45–58.


2.           Asal-Usul dan Konteks Historis La Galigo

La Galigo berasal dari tradisi lisan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan yang berkembang sejak masa pra-Islam dan kemudian ditransmisikan dalam bentuk tulisan pada masa-masa berikutnya. Asal-usul epik ini diyakini berakar pada kosmologi kuno Bugis yang mengisahkan hubungan antara dunia atas (boting langi’), dunia tengah (tana), dan dunia bawah (uru’), serta peran para makhluk adikodrati seperti Batara Guru dan keturunannya dalam menciptakan tatanan dunia dan manusia.1

Diperkirakan bahwa komposisi awal La Galigo mulai terbentuk pada sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17 M, pada masa ketika kerajaan-kerajaan Bugis seperti Luwu, Wajo, dan Bone mengalami kemajuan dalam sistem sosial dan kelembagaan.2 Sebagian besar sarjana berpendapat bahwa narasi ini berkembang dalam suasana budaya aristokratik, di mana para bangsawan Bugis (anaq karaeng) menjadi penjaga dan pelindung tradisi ini. Naskah-naskah La Galigo kemudian ditulis oleh para panrita (juru tulis dan ahli sastra Bugis) dalam aksara Lontaraq, yang merupakan aksara tradisional Bugis-Makassar.3

Penulisan La Galigo tidak dilakukan oleh satu pengarang tunggal, melainkan merupakan hasil kompilasi dan transmisi berlapis yang berlangsung selama ratusan tahun. Oleh karena itu, naskah-naskah yang ada saat ini menunjukkan keragaman versi dan pengelompokan cerita, meskipun semuanya mengacu pada inti naratif yang sama: mitos keturunan Batara Guru dan ekspedisi heroik tokoh-tokoh seperti Sawerigading dan We Tenriabeng.4

Konteks historis La Galigo juga harus dilihat dalam relasinya dengan transformasi sosial-budaya masyarakat Bugis. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17 menandai titik penting dalam transisi budaya, di mana La Galigo yang mengandung unsur-unsur animistik dan politeistik mulai tersisih oleh narasi-narasi Islam yang lebih dominan secara politik dan religius.5 Meski demikian, teks La Galigo tetap bertahan di kalangan masyarakat adat sebagai bagian dari ritual, upacara, dan identitas budaya, hingga kemudian mendapat perhatian akademik dari para filolog, antropolog, dan sejarawan sejak abad ke-19.

Penelitian modern terhadap La Galigo dimulai dengan upaya dokumentasi dan transliterasi oleh ahli Belanda seperti B.F. Matthes pada pertengahan abad ke-19. Matthes mengumpulkan naskah-naskah La Galigo yang tersebar di wilayah Bugis dan menyusunnya menjadi koleksi besar yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.6 Upaya Matthes inilah yang menjadikan La Galigo sebagai objek studi filologis dan memperkenalkannya ke dunia akademik internasional.

Dengan demikian, asal-usul dan konteks historis La Galigo tidak hanya memperlihatkan dinamika transmisi budaya Bugis, tetapi juga menggambarkan proses negosiasi identitas lokal yang berakar pada kosmologi kuno, aristokrasi tradisional, dan transisi ke dalam dunia modern. Pemahaman atas konteks ini menjadi kunci dalam mengungkap makna dan nilai dari epik La Galigo sebagai warisan budaya tak ternilai.


Footnotes

[1]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 205–207.

[2]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 33.

[3]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 25.

[4]                Campbell Macknight, “The La Galigo Manuscripts and the Bugis Cultural Record,” in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, no. 69 (1996): 101–102.

[5]                Ian Caldwell, “Islam and the Genealogy of Power in South Sulawesi,” in Archipel 55 (1998): 95–124.

[6]                B.F. Matthes, Boegineesche Chrestomathie (Amsterdam: Frederik Muller, 1864), v–viii.


3.           Struktur dan Ciri-Ciri Sastra La Galigo

Sebagai sebuah karya sastra epik yang monumental, La Galigo menampilkan struktur naratif yang khas dan ciri-ciri estetik yang mengakar kuat dalam tradisi lisan masyarakat Bugis. Naskah ini disusun dalam bentuk puisi naratif yang panjang, terdiri dari ribuan bait (to-riola) yang menggambarkan berbagai episode dalam kehidupan tokoh-tokoh mitologis. Struktur dasar La Galigo mengikuti pola naratif tradisional yang bersifat episodik, dengan keterhubungan longgar antara satu episode dan episode lainnya, sehingga memungkinkan fleksibilitas dalam penampilan dan penyampaian cerita oleh para pendongeng tradisional atau pattula bala.1

Secara tekstual, La Galigo ditulis dalam bahasa Bugis klasik dengan menggunakan aksara Lontaraq, yang merupakan sistem aksara tradisional Bugis-Makassar. Bahasa yang digunakan bersifat puitis, metaforis, dan sarat dengan simbolisme alam. Sebagian besar teks terdiri dari pasangan larik paralel dan paralel semantis, yang mencerminkan teknik stilistika tradisi lisan.2 Salah satu ciri utama dalam gaya penulisan La Galigo adalah penggunaan paralelisme—baik dalam bentuk sinonimik maupun antitetik—yang menciptakan irama dan pengulangan makna sebagai alat mnemonik dalam tradisi oral.3

Puisi dalam La Galigo tidak memiliki sistem metrum atau rima seperti puisi klasik Barat, tetapi menggunakan struktur larik panjang yang terikat secara kontekstual dan musikal dalam penampilan lisan. Setiap larik biasanya mengandung satu ide pokok atau citra simbolik, yang sering kali dikaitkan dengan alam, seperti laut, langit, burung, dan pohon, sebagai representasi dari struktur kosmos Bugis.4 Simbolisme ini tidak hanya berfungsi sebagai ornamen estetis, melainkan juga merefleksikan relasi filosofis antara manusia dan alam dalam kosmologi Bugis.

Dari segi struktur naratif, La Galigo dapat dibagi menjadi tiga bagian besar: (1) Mitos penciptaan dan penurunan Batara Guru ke dunia; (2) Kisah Sawerigading, sang pahlawan utama, dalam ekspedisinya ke berbagai negeri dan konflik eksistensial; serta (3) Kisah I We Cudai dan generasi penerus, yang menghubungkan tokoh-tokoh mitologis dengan awal mula umat manusia di bumi.5 Struktur ini tidak bersifat linear, melainkan spiral atau siklikal, yang mencerminkan pola berpikir kosmologis masyarakat Bugis.

Salah satu keunikan La Galigo adalah ketiadaan tokoh antagonis dalam pengertian klasik. Konflik yang dihadirkan lebih bersifat eksistensial dan kosmologis—tentang ketidakseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah, atau antara kehendak ilahi dan takdir manusia. Dengan demikian, narasi dalam La Galigo tidak semata berkisar pada pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, tetapi lebih pada upaya rekonsiliasi antara dimensi kosmis dan manusiawi.6

Selain sebagai teks sastra, La Galigo juga memiliki fungsi sosial-religius dalam masyarakat Bugis. Teks ini dibacakan dalam konteks ritual adat, pelantikan bangsawan, dan upacara agraris, yang menjadikannya sebagai bagian dari performativitas budaya. Dengan demikian, La Galigo tidak hanya merupakan dokumen literer, tetapi juga medium transmisi nilai-nilai sosial, spiritual, dan historis.7

Struktur dan ciri-ciri sastra La Galigo dengan demikian memperlihatkan integrasi antara keindahan bahasa, kedalaman kosmologis, dan fungsi sosial, yang menjadikan karya ini bukan sekadar epik naratif, tetapi sebagai “total text” dalam pengertian antropologi sastra: teks yang merepresentasikan semesta kehidupan budaya Bugis.


Footnotes

[1]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 208–210.

[2]                Campbell Macknight, "The Structure of the Sureq Galigo: Notes towards a Comparative Study," in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter no. 69 (1996): 104.

[3]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 41–43.

[4]                Andi Zainal Abidin Farid, Sekitar La Galigo: Suatu Pengantar Sastra Bugis Klasik (Makassar: Hasanuddin University Press, 1999), 63.

[5]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 29–31.

[6]                Gene Ammarell, "Bugis Navigation and La Galigo: A Cosmological Perspective," in Asian Folklore Studies 57, no. 1 (1998): 93–96.

[7]                Rahilah Omar, "La Galigo as a Living Tradition: Ritual and Cultural Performance among the Bugis," in Archipel 77 (2009): 75–78.


4.           Kosmologi dan Mitos Penciptaan dalam La Galigo

Salah satu aspek paling mendalam dari La Galigo adalah struktur kosmologisnya, yang merepresentasikan pandangan dunia (worldview) masyarakat Bugis pra-Islam tentang asal-usul alam semesta, manusia, dan tatanan eksistensial. Kosmologi dalam La Galigo bersifat dualistik dan hirarkis, membagi semesta ke dalam tiga dunia utama: dunia atas (boting langi’), dunia tengah (tana ritengnga), dan dunia bawah (peretiwi atau uri’ lino’). Masing-masing dunia ini dihuni oleh entitas-entitas adikodrati dengan fungsi kosmis yang spesifik, serta terhubung secara spiritual dan genealogis.1

Kisah penciptaan dalam La Galigo bermula dengan narasi tentang dewa tertinggi di dunia atas, Datu Patotoé, yang memutuskan untuk menurunkan putranya, Batara Guru, ke dunia tengah untuk mengatur dan menata kehidupan manusia serta menciptakan peradaban. Penurunan Batara Guru ini menandai momen penting dalam penciptaan tatanan dunia (maddoja lino’), dan menjadi awal mula eksistensi manusia di bumi. Narasi ini merupakan bentuk mitos cosmic descent, yaitu turunnya tokoh suci dari langit untuk menjadikan dunia layak huni.2

Batara Guru menikahi We Nyili’ Timo, putri dari dunia bawah, yang melambangkan penyatuan antara unsur langit dan bumi, serta menghasilkan keturunan-keturunan ilahi yang menjadi nenek moyang manusia, termasuk tokoh utama La Galigo, Sawerigading. Dengan demikian, asal-usul manusia dalam La Galigo tidak bersifat biologis semata, melainkan kosmologis dan sakral. Manusia adalah perpanjangan dari kehendak langit dan hasil dari rekonsiliasi antara kutub-kutub eksistensial alam semesta.3

Kosmologi La Galigo juga menampilkan waktu sebagai sesuatu yang siklikal, bukan linear. Peristiwa-peristiwa dalam epik ini berulang dalam pola tertentu, mencerminkan keseimbangan antara kekuatan langit, bumi, dan laut. Dalam hal ini, struktur naratif La Galigo merefleksikan mitos keselarasan kosmik, di mana setiap krisis atau konflik harus diselesaikan melalui harmoni antara makhluk dari dunia yang berbeda. Konsep ini erat kaitannya dengan sistem nilai Bugis seperti ade’ (tata tertib adat), siri’ (harga diri), dan pesse (empati sosial), yang semuanya dianggap sebagai refleksi dari tatanan kosmos.4

Dalam struktur tersebut, Sawerigading, putra Batara Guru, menjalani perjalanan epik yang tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga kosmologis. Ia menavigasi batas-batas antara dunia manusia dan dunia gaib, dan dalam perjalanannya menghadapi tantangan-tantangan yang mencerminkan konflik antara takdir dan kehendak bebas, antara kodrat kosmis dan keputusan manusiawi. Meskipun sosoknya dipuji sebagai pahlawan, ia juga ditampilkan sebagai tokoh tragis yang dibatasi oleh struktur takdir universal yang tak dapat dilawan sepenuhnya.5

Simbolisme kosmologis juga termanifestasi dalam penggunaan citra-citra alam seperti lautan, langit, dan angin, yang dalam La Galigo bukan sekadar elemen alamiah, tetapi merupakan medium spiritual dan tempat tinggal para makhluk adikodrati. Laut, misalnya, melambangkan dunia bawah yang penuh misteri dan kekuatan primal, sementara langit adalah simbol kekuasaan transenden dan hukum kosmis.6

Mitos penciptaan dalam La Galigo tidak hanya mencerminkan cara pandang teologis dan metafisik masyarakat Bugis, tetapi juga menjadi dasar bagi struktur sosial dan politik mereka. Raja dianggap memiliki garis keturunan dari Batara Guru, sehingga kekuasaan bersumber dari legitimasi kosmologis. Dengan demikian, kosmologi La Galigo menjadi pondasi ideologis bagi struktur masyarakat tradisional Bugis.7

Pemahaman terhadap mitos penciptaan dan struktur kosmologis dalam La Galigo sangat penting untuk membaca teks ini bukan sekadar sebagai narasi heroik, tetapi sebagai representasi utuh dari sistem pengetahuan tradisional Bugis. Dalam konteks kontemporer, kosmologi ini juga menyimpan potensi etis dan ekososial yang relevan dalam merespons krisis spiritual dan ekologis dunia modern.


Footnotes

[1]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 205–208.

[2]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 49–51.

[3]                Campbell Macknight, “The Cosmological Dimensions of La Galigo,” in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter no. 69 (1996): 107–109.

[4]                Gene Ammarell, “Bugis Navigation and La Galigo: A Cosmological Perspective,” in Asian Folklore Studies 57, no. 1 (1998): 85–87.

[5]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 33–36.

[6]                Rahilah Omar, “Symbolism and the Sacred in La Galigo: Water, Sky, and Ritual,” in Archipel 77 (2009): 81–84.

[7]                Ian Caldwell, “Power, Descent, and The Sacred in Bugis Cosmology,” in Archipel 55 (1998): 101–105.


5.           Sistem Sosial dan Nilai Budaya Bugis dalam La Galigo

La Galigo tidak hanya merupakan karya sastra epik yang menjelaskan kosmologi dan mitos penciptaan, tetapi juga mencerminkan secara rinci struktur sosial dan sistem nilai budaya masyarakat Bugis pra-Islam. Melalui kisah-kisah tokohnya, teks ini menarasikan bagaimana masyarakat Bugis mengatur tatanan sosial, memaknai hubungan antarindividu, serta menegakkan prinsip-prinsip moral yang membentuk identitas etnis mereka.

5.1.       Struktur Sosial Hirarkis

Masyarakat Bugis dalam La Galigo digambarkan memiliki struktur sosial yang bersifat hirarkis dan stratifikatif, terdiri atas tiga lapisan utama: kaum bangsawan (anaq karaeng atau arung), rakyat biasa (to maradeka), dan budak (ata).1 Tokoh-tokoh utama dalam La Galigo, seperti Batara Guru, Sawerigading, dan We Tenriabeng, merupakan figur aristokrat yang menegaskan pentingnya status genealogis dalam sistem sosial Bugis. Keturunan ilahi mereka menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan posisi sosial dalam dunia manusia. Kehormatan dan kewibawaan (ade’) seseorang dalam masyarakat sangat bergantung pada silsilah dan kepatuhan terhadap norma-norma adat yang diturunkan secara turun-temurun.2

5.2.       Nilai Siri’ dan Pesse

Dua konsep nilai budaya yang paling menonjol dalam La Galigo adalah siri’ dan pesse, yang masih menjadi bagian integral dari etos hidup Bugis hingga kini. Siri’ dapat dipahami sebagai harga diri, kehormatan, atau integritas personal dan kolektif, yang harus dijaga bahkan dengan pengorbanan nyawa. Dalam banyak episode, tokoh-tokoh La Galigo mengambil keputusan ekstrem demi mempertahankan siri’, seperti berperang, mengasingkan diri, atau menolak pernikahan yang melanggar norma adat.3 Pesse, di sisi lain, berarti empati sosial atau rasa belas kasih yang mengikat komunitas, menyeimbangkan aspek kehormatan dengan kepedulian terhadap sesama. Keduanya menjadi fondasi relasional dalam masyarakat Bugis yang memadukan kehormatan pribadi dan solidaritas sosial.4

5.3.       Gender dan Peran Perempuan

Berbeda dengan stereotip patriarkis yang umum dalam epik tradisional, La Galigo memberikan ruang penting bagi tokoh perempuan. Figur We Tenriabeng, misalnya, ditampilkan sebagai perempuan suci yang memiliki kuasa spiritual, kemampuan diplomatik, dan kapasitas intelektual tinggi. Ia bukan hanya pendamping Sawerigading, tetapi juga tokoh independen yang mampu menyelesaikan konflik dan meredakan pertikaian antarwilayah.5 Representasi perempuan dalam La Galigo mengisyaratkan bahwa dalam sistem nilai Bugis kuno terdapat ruang untuk perempuan yang memiliki otoritas simbolik dan sosial yang signifikan.

5.4.       Adat, Kearifan Lokal, dan Keseimbangan Kosmik

La Galigo menegaskan pentingnya ade’ (adat) sebagai aturan tak tertulis yang mengatur tata laku, etika sosial, dan keputusan-keputusan politik. Dalam banyak bagian, konflik muncul karena pelanggaran terhadap adat atau kesalahan dalam memaknai posisi sosial. Oleh karena itu, penyelesaian konflik dalam La Galigo sering kali dilakukan melalui rekonsiliasi yang berlandaskan prinsip harmoni antara manusia, leluhur, dan kekuatan kosmis. Struktur nilai ini menunjukkan bahwa hukum adat dalam masyarakat Bugis tidak hanya bersifat yuridis, tetapi juga spiritual dan kosmologis.6

5.5.       Pendidikan Budaya dan Internalisasi Nilai

Dalam konteks sosialnya, La Galigo berfungsi sebagai wahana pendidikan budaya, di mana nilai-nilai sosial dan moral ditransmisikan secara simbolik dan naratif kepada generasi muda. Pengisahan ulang La Galigo dalam ritual, nyanyian, dan pementasan tradisional menjadi sarana internalisasi nilai siri’, pesse, dan ade’ ke dalam kesadaran kolektif masyarakat Bugis.7 Fungsi pedagogis ini menunjukkan bahwa La Galigo bukan sekadar cerita mitologis, tetapi teks sosial yang mengatur etika hidup bersama.


Footnotes

[1]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 212–214.

[2]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 39–41.

[3]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 60–63.

[4]                Rahilah Omar, “Value Systems in La Galigo: Between Honour and Compassion,” in Archipel 77 (2009): 88–90.

[5]                Gene Ammarell, “Gender and Myth in Bugis Epic: The Power of We Tenriabeng,” in Asian Folklore Studies 58, no. 2 (1999): 195–198.

[6]                Campbell Macknight, “Law, Custom, and Harmony in La Galigo,” in Indonesia Circle no. 69 (1996): 110–112.

[7]                Andi Zainal Abidin Farid, Sekitar La Galigo: Suatu Pengantar Sastra Bugis Klasik (Makassar: Hasanuddin University Press, 1999), 78–80.


6.           La Galigo sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia

Pengakuan internasional terhadap La Galigo sebagai warisan budaya takbenda dunia menandai pentingnya epik ini tidak hanya bagi masyarakat Bugis, tetapi juga bagi peradaban umat manusia secara global. Pada tahun 2004, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi memasukkan naskah La Galigo ke dalam Memory of the World Register, yakni daftar warisan dokumenter dunia yang memiliki signifikansi universal dan perlu dilindungi serta dilestarikan.1 Pengakuan ini bukan sekadar simbolik, melainkan merupakan bentuk legitimasi atas nilai sejarah, sastra, dan budaya dari salah satu teks epik terpanjang di dunia.

Penetapan tersebut dilandasi oleh sejumlah pertimbangan penting. Pertama, dari segi panjang dan keluasan narasi, La Galigo terdiri atas lebih dari 6.000 halaman teks dalam bentuk puisi naratif yang mencakup silsilah dewa-dewa, kisah cinta, ekspedisi antarbenua, serta transformasi sosial. Kedua, La Galigo ditulis dalam bahasa Bugis kuno dan aksara Lontaraq, yang menjadikannya sebagai dokumen linguistik yang penting bagi studi filologi dan dokumentasi bahasa daerah Indonesia yang mulai terancam punah.2 Ketiga, dari sudut etnohistoris dan antropologis, teks ini merepresentasikan sistem pengetahuan lokal Bugis tentang kosmologi, hukum adat, moralitas, dan relasi antarumat manusia serta antara manusia dengan alam semesta.3

Sebagian besar naskah La Galigo yang menjadi dasar pencatatan oleh UNESCO berasal dari koleksi B.F. Matthes, seorang ahli bahasa dan budaya Bugis dari Belanda yang mengumpulkan dan menyalin ratusan manuskrip Bugis pada abad ke-19. Koleksi ini kini tersimpan di Leiden University Library, Belanda, dan menjadi pusat perhatian para filolog internasional yang mengkaji sastra Austronesia dan warisan budaya Indonesia.4 Meskipun demikian, masih banyak versi La Galigo yang beredar secara lokal, baik dalam bentuk tulisan tangan yang diwariskan turun-temurun di keluarga bangsawan, maupun yang hidup dalam praktik oral seperti ritual adat dan pertunjukan seni tradisional.

Pasca-pengakuan UNESCO, berbagai upaya pelestarian La Galigo mulai diintensifkan. Di Indonesia, pemerintah, lembaga budaya, dan akademisi meluncurkan program digitalisasi naskah, pengkajian interdisipliner, dan revitalisasi seni pertunjukan yang berbasis pada kisah-kisah La Galigo. Salah satu proyek monumental adalah pertunjukan teater I La Galigo karya sutradara internasional Robert Wilson, yang dipentaskan di berbagai negara sejak 2003, dan menggabungkan narasi epik Bugis dengan pendekatan artistik kontemporer global.5 Pertunjukan ini berhasil memperkenalkan La Galigo ke audiens internasional sekaligus memicu kebangkitan minat nasional terhadap warisan sastra Bugis tersebut.

Namun demikian, upaya pelestarian La Galigo masih menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya adalah minimnya pemahaman generasi muda terhadap bahasa Bugis kuno, keterbatasan akses terhadap naskah-naskah asli yang tersebar di berbagai koleksi, serta marginalisasi tradisi lisan di tengah modernisasi dan globalisasi budaya. Oleh karena itu, pelestarian La Galigo menuntut sinergi antara kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat adat, lembaga pendidikan, serta dukungan riset akademik yang berkelanjutan.6

Dengan statusnya sebagai warisan budaya dunia, La Galigo memiliki posisi strategis untuk dijadikan media diplomasi budaya, pendidikan multikultural, serta sumber pembelajaran tentang kearifan lokal yang sarat nilai-nilai etis, ekologis, dan spiritual. Warisan ini bukan hanya milik masyarakat Bugis, tetapi juga aset intelektual dan moral bagi dunia yang tengah mencari inspirasi dari tradisi-tradisi kuno dalam menghadapi tantangan kontemporer.


Footnotes

[1]                UNESCO, “La Galigo Manuscripts,” Memory of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.

[2]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 43–45.

[3]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 221–225.

[4]                B.F. Matthes, Boegineesche Chrestomathie (Amsterdam: Frederik Muller, 1864), v–viii.

[5]                Robert Wilson and Rhoda Grauer, I La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004).

[6]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 67–70.


7.           Kajian Linguistik atas Teks La Galigo

Sebagai salah satu karya sastra tertua dan terpanjang di Asia Tenggara, La Galigo memiliki signifikansi besar dalam kajian linguistik, khususnya dalam konteks dokumentasi bahasa daerah, sejarah bahasa Austronesia, dan estetika puitik dalam tradisi lisan. Teks ini ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan menggunakan aksara Lontaraq, yang merupakan salah satu varian aksara Brahmik Nusantara yang berkembang di Sulawesi Selatan sejak abad ke-14 M.1 Kajian linguistik terhadap La Galigo menjadi penting untuk menelusuri evolusi leksikon, morfologi, dan sintaksis dalam bahasa Bugis, serta memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks religius, sosial, dan artistik.

7.1.       Fonologi dan Ortografi Bugis Klasik

Dari segi fonologi, bahasa Bugis dalam La Galigo menunjukkan sistem konsonantal yang khas, seperti bunyi glotal [Ê”] dan bunyi pranasal yang dominan. Fonem-fonem ini tercermin dalam penulisan aksara Lontaraq, meskipun sistem ortografinya bersifat abugida (tiap huruf mewakili suku kata dengan vokal inheren) yang memiliki keterbatasan dalam mencatat detail fonetik penuh. Hal ini menimbulkan tantangan dalam proses transliterasi dan interpretasi fonologis teks oleh para filolog modern.2

Selain itu, ejaan Bugis kuno dalam La Galigo bersifat konservatif, mencerminkan bentuk arkais dari sejumlah kata yang kini telah mengalami perubahan dalam dialek Bugis modern. Contohnya adalah penggunaan kata taué (manusia) atau batté (tanah), yang dalam dialek kontemporer mengalami penyederhanaan fonetik.3

7.2.       Leksikon dan Unsur Puitis

Teks La Galigo kaya akan leksikon khusus yang mencerminkan kosmologi, sistem sosial, dan simbolisme budaya Bugis. Banyak istilah yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia modern, seperti ade’ (norma adat), siri’ (kehormatan), dan pesse (empati), yang menandakan pentingnya kontekstualisasi dalam menerjemahkan teks.4 Kajian semantik terhadap istilah-istilah ini membuka ruang pemahaman atas cara masyarakat Bugis membentuk makna melalui metafora dan struktur naratif.

Secara stilistika, bahasa La Galigo sangat puitis. Ia mengandalkan paralelisme semantik, yakni pengulangan makna dalam larik-larik yang berurutan, serta sinematik imaji yang menggabungkan elemen alam dengan pengalaman batin tokoh. Teknik ini merupakan ciri utama dari tradisi sastra lisan Austronesia dan berfungsi sebagai alat mnemonik bagi penyair lisan atau pattula bala.5

7.3.       Sintaksis dan Struktur Kalimat

Dari aspek sintaksis, kalimat-kalimat dalam La Galigo relatif panjang dan kompleks, dengan struktur subordinatif yang kuat. Hal ini mencerminkan pola berpikir naratif yang tidak linier, melainkan asosiatif dan reflektif. Struktur ini memungkinkan eksplorasi mendalam atas motif psikologis tokoh serta penggambaran suasana emosional dan religius yang intens.6

Penggunaan kata sambung temporal dan kausal seperti niaja (kemudian), siduppa (karena), dan nasaba (sebab) memperlihatkan tingkat perkembangan sintaksis yang canggih dalam bahasa Bugis kuno. Struktur seperti ini juga memperlihatkan bahwa La Galigo bukan hanya teks estetis, tetapi juga dokumen linguistik yang mencerminkan sistem berpikir dan logika masyarakat pra-modern.

7.4.       Kontribusi terhadap Kajian Bahasa Austronesia dan Revitalisasi Bahasa

Kajian linguistik atas La Galigo tidak hanya penting untuk pelestarian bahasa Bugis, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam komparatif linguistik Austronesia. Bahasa Bugis termasuk dalam cabang South Sulawesi dari keluarga Austronesia, dan data dari La Galigo menjadi sumber primer dalam rekonstruksi bahasa purba serta relasi genealogis bahasa-bahasa di wilayah Indonesia Timur.7

Di sisi lain, La Galigo juga menjadi instrumen penting dalam revitalisasi bahasa daerah. Inisiatif pendidikan di Sulawesi Selatan telah menggunakan kutipan La Galigo dalam kurikulum muatan lokal untuk memperkuat identitas linguistik dan budaya generasi muda Bugis. Melalui digitalisasi naskah dan penerbitan terjemahan interlinear, La Galigo telah menjadi jembatan antara studi akademik dan pelestarian bahasa daerah.8


Footnotes

[1]                Campbell Macknight, “The Bugis Script and the Transmission of La Galigo,” in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter no. 69 (1996): 102–105.

[2]                Achadiati Ikram, Fonologi dan Morfologi Bahasa Bugis dalam Naskah-Naskah La Galigo (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 33–38.

[3]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 71–74.

[4]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 218–220.

[5]                Rahilah Omar, “Stylistic Features in La Galigo: Parallelism and Symbolism in Oral Tradition,” in Archipel 77 (2009): 90–92.

[6]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 48–50.

[7]                Robert Blust, “The Austronesian Languages,” Asia-Pacific Linguistics (Canberra: Australian National University, 2009), 341–343.

[8]                Nurhayati Rahman, “Bahasa Bugis dalam Perspektif Pelestarian: Studi Linguistik terhadap Teks La Galigo,” in Wacana: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra 18, no. 1 (2016): 55–58.


8.           Interpretasi dan Relevansi La Galigo dalam Studi Sastra Dunia

Dalam konteks studi sastra dunia (world literature), La Galigo menempati posisi yang unik dan penting sebagai salah satu epik terpanjang di dunia yang berasal dari Asia Tenggara. Sebagai teks yang berasal dari tradisi lisan non-Barat dan ditulis dalam bahasa daerah (Bugis), La Galigo tidak hanya menambah keragaman khasanah sastra global, tetapi juga menantang dominasi naratif klasik Barat seperti Iliad, Odyssey, dan Mahabharata. Kehadiran La Galigo memperluas cakrawala studi sastra dunia dengan menghadirkan perspektif mitologis, kosmologis, dan estetika yang khas dari peradaban maritim Austronesia.1

8.1.       Dimensi Epik dan Mitologis dalam Perspektif Global

Sebagai karya epik, La Galigo memiliki seluruh karakteristik yang umumnya ditemukan dalam karya-karya sejenis di dunia: tokoh heroik setengah dewa, perjalanan spiritual dan fisik yang penuh rintangan, konflik kosmologis, serta integrasi antara dunia manusia dan dunia adikodrati. Tokoh seperti Sawerigading memiliki kedekatan struktural dengan tokoh epik dunia seperti Odysseus, Gilgamesh, atau Arjuna, tetapi dengan konteks budaya yang sangat berbeda—yakni maritim, adatistik, dan egaliter dalam kosmologi lokal.2

Hal ini menunjukkan bahwa tradisi epik bukanlah eksklusif milik peradaban besar seperti Yunani, India, atau Mesopotamia, tetapi juga hidup dan berkembang secara otonom di Asia Tenggara. Dengan demikian, La Galigo menjadi bukti konkret bahwa masyarakat Bugis memiliki sistem naratif dan kosmologi yang cukup kompleks untuk melahirkan epos setara secara struktural dan tematis dengan karya-karya klasik dunia.3

8.2.       Estetika Lokal dan Strategi Penceritaan

Dari sudut estetika sastra, La Galigo menawarkan bentuk ekspresi khas dunia lisan Nusantara: pengulangan paralelistik, struktur longgar yang memungkinkan improvisasi, serta percampuran antara narasi linear dan siklikal. Hal ini menantang model naratif Barat yang seringkali mengutamakan linearitas, konflik protagonis-antagonis yang tajam, dan akhir resolutif. Dalam La Galigo, konflik lebih bersifat eksistensial dan relasional, serta diselesaikan dengan mediasi dan harmoni, bukan kemenangan absolut.4

Dengan demikian, La Galigo memperkenalkan pendekatan naratif yang lebih berbasis komunitas dan kosmologi ketimbang individualisme dan heroisme antagonistik. Strategi ini selaras dengan nilai-nilai lokal seperti siri’ dan ade’, dan berkontribusi terhadap pemikiran alternatif dalam teori sastra kontemporer, terutama yang mengkaji teks-teks non-kanonik dalam kerangka postcolonial world literature.5

8.3.       La Galigo dalam Perspektif Pascakolonial dan Multikultural

Dalam kajian pascakolonial, La Galigo dapat dibaca sebagai representasi naratif dari sebuah kosmologi dan sistem pengetahuan lokal yang berhasil bertahan dari kolonisasi epistemik. Narasi La Galigo adalah bentuk “arsip hidup” dari masyarakat Bugis pra-Islam yang tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi membentuk struktur dunia melalui bahasa dan mitos. Oleh karena itu, La Galigo berperan sebagai teks tandingan terhadap sejarah yang ditulis dari perspektif kolonial dan sentralistik.6

Di samping itu, La Galigo juga berfungsi sebagai jembatan multikultural dalam konteks globalisasi. Pementasan I La Galigo oleh Robert Wilson, misalnya, membuka ruang dialog antara seni pertunjukan tradisional Bugis dan estetika teater modern dunia, tanpa kehilangan akar kulturalnya. Adaptasi ini menunjukkan bahwa La Galigo tidak hanya hidup sebagai teks, tetapi juga sebagai “peristiwa budaya” yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai konteks estetika dan etika dunia kontemporer.7

8.4.       Kontribusi terhadap Reorientasi Studi Sastra Dunia

Kehadiran La Galigo dalam wacana sastra dunia mendorong munculnya kebutuhan untuk reorientasi epistemologis dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “kanon sastra dunia”. Ini berarti menggeser perhatian dari karya-karya yang ditulis dalam bahasa Eropa dan dipublikasikan dalam sistem penerbitan global, menuju karya-karya yang muncul dari tradisi lisan, ditulis dalam bahasa lokal, dan disampaikan secara performatif dalam ruang komunitas adat.8

Dengan kata lain, La Galigo memperluas parameter world literature dari yang semula berbasis teks-terbitan (print-based) menjadi berbasis oral-literary performance, serta dari orientasi Barat ke inklusi epistemologi non-Barat. Dalam kerangka ini, La Galigo bukan hanya berkontribusi sebagai objek studi, tetapi juga sebagai paradigma baru dalam memahami sastra dunia secara plural, kontekstual, dan dialogis.


Footnotes

[1]                David Damrosch, What Is World Literature? (Princeton: Princeton University Press, 2003), 7–9.

[2]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 222–224.

[3]                Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan Dunia dari Sulawesi Selatan (Jakarta: Kompas, 2004), 49–52.

[4]                Rahilah Omar, “Orality and Aesthetics in La Galigo: A Comparative Study,” in Archipel 77 (2009): 87–91.

[5]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 82–85.

[6]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 16–18.

[7]                Robert Wilson and Rhoda Grauer, I La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 12–15.

[8]                Emily Apter, Against World Literature: On the Politics of Untranslatability (London: Verso, 2013), 26–28.


9.           Representasi La Galigo dalam Seni dan Budaya Kontemporer

Sebagai karya epik klasik yang lahir dari tradisi lisan masyarakat Bugis, La Galigo telah melintasi batas-batas ruang dan waktu serta mengalami berbagai bentuk representasi ulang dalam ranah seni dan budaya kontemporer. Transformasi ini tidak hanya merevitalisasi teks kuno ke dalam bentuk-bentuk baru yang dapat diakses masyarakat modern, tetapi juga membuka ruang dialog antarbudaya serta memperkuat kesadaran identitas lokal di tengah globalisasi. Melalui seni pertunjukan, media visual, pendidikan, dan digitalisasi, La Galigo tampil kembali sebagai kekayaan budaya yang terus hidup dan dinamis.

9.1.       Teater Epik dan Adaptasi Internasional

Salah satu representasi La Galigo yang paling terkenal dalam panggung global adalah pementasan I La Galigo oleh Robert Wilson, seorang sutradara teater avant-garde asal Amerika Serikat. Pertunjukan ini pertama kali digelar pada tahun 2003 di Esplanade Theatre, Singapura, kemudian berkeliling ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Belanda, Prancis, Australia, dan Indonesia.1 Naskahnya disusun oleh Rhoda Grauer berdasarkan kisah La Galigo, dengan penyesuaian dramatik namun tetap mengacu pada struktur dan substansi epik asli. Pementasan ini menampilkan aktor-aktor asal Sulawesi Selatan dan menggunakan musik tradisional Bugis-Makassar yang dikomposisi oleh Rahayu Supanggah, sehingga tetap menjaga akar budaya lokal dalam kemasan internasional.2

Pertunjukan I La Galigo menjadi representasi penting dari bagaimana warisan lokal dapat dirancang ulang dalam kerangka seni global tanpa kehilangan keotentikannya. Melalui visualisasi panggung yang minimalis namun ekspresif, serta perpaduan antara elemen teatrikal Barat dan simbolisme Bugis, pertunjukan ini berhasil menjadikan La Galigo sebagai karya yang relevan bagi penonton lintas budaya.

9.2.       Seni Tari, Musik, dan Sastra Populer

Selain teater, La Galigo juga banyak diadaptasi dalam bentuk seni pertunjukan tradisional dan modern di tingkat lokal, seperti tari kolosal, musik etnik, dan drama musikal. Di Sulawesi Selatan, berbagai festival budaya rutin menampilkan kisah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai simbol kebanggaan etnis Bugis. Misalnya, Festival La Galigo di Palopo dan pertunjukan Siri’ Na Pesse yang mengangkat nilai-nilai utama dalam epik tersebut melalui narasi koreografis dan musikal.3

Selain itu, muncul pula bentuk-bentuk baru representasi sastra, seperti puisi modern, novelisasi bebas, hingga komik berbasis budaya lokal, yang terinspirasi dari tokoh-tokoh dan peristiwa dalam La Galigo. Upaya ini merupakan bagian dari gerakan literasi budaya yang mendorong internalisasi nilai-nilai La Galigo dalam format yang lebih dekat dengan generasi muda.4

9.3.       Pendidikan dan Media Digital

Dalam ranah pendidikan, La Galigo telah diintegrasikan ke dalam kurikulum muatan lokal di sejumlah sekolah di Sulawesi Selatan, khususnya dalam mata pelajaran bahasa daerah, sastra Bugis, dan sejarah kebudayaan. Teks dan kutipan dari La Galigo digunakan untuk mengenalkan konsep siri’, pesse, dan struktur sosial Bugis secara kontekstual. Beberapa universitas, seperti Universitas Hasanuddin dan IAIN Palopo, juga menjadikan La Galigo sebagai bahan kajian dalam program studi sastra daerah, antropologi, dan seni pertunjukan.5

Seiring perkembangan teknologi, La Galigo juga hadir dalam bentuk digitalisasi manuskrip, audiobook, dan film dokumenter. Proyek digitalisasi naskah oleh Perpustakaan Nasional RI dan Leiden University Library memungkinkan akses luas terhadap manuskrip asli La Galigo, sementara produksi dokumenter oleh LIPI, UNESCO, dan sineas independen memperkenalkan epik ini ke publik nasional dan internasional melalui platform visual modern.6

9.4.       Identitas Budaya dan Politik Representasi

Di luar dunia seni, representasi La Galigo juga memainkan peran penting dalam pembentukan dan artikulasi identitas budaya Bugis. Narasi La Galigo dijadikan simbol kebesaran peradaban Sulawesi Selatan dan sering dimunculkan dalam diskursus politik budaya daerah. Misalnya, dalam wacana otonomi daerah dan pelestarian budaya lokal, La Galigo sering dijadikan dasar argumentatif untuk menegaskan keberadaan warisan kultural yang setara dengan kebudayaan besar lainnya di Indonesia.7

Namun demikian, proses representasi ulang ini juga menimbulkan tantangan, seperti komodifikasi warisan budaya dan penyederhanaan makna simbolik yang kompleks demi kebutuhan estetika komersial. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian otentisitas dan inovasi artistik dalam mentransformasikan La Galigo ke ranah kontemporer.


Footnotes

[1]                Robert Wilson and Rhoda Grauer, I La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 9–12.

[2]                Rahayu Supanggah, “The Musical Structure of I La Galigo,” in Asian Theatre Journal 23, no. 2 (2006): 198–202.

[3]                Dinas Kebudayaan Sulawesi Selatan, Laporan Festival La Galigo Palopo, 2019.

[4]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 90–93.

[5]                Ramlah Rahim, “Implementasi La Galigo dalam Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Bugis,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Daerah 13, no. 1 (2021): 45–47.

[6]                Perpustakaan Nasional RI, “Digitalisasi Naskah Kuno La Galigo,” 2021, https://perpusnas.go.id; Leiden University Library, “La Galigo Digital Manuscripts Collection,” 2020, https://digitalcollections.universiteitleiden.nl.

[7]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 228–229.


10.       Refleksi Teoretis: La Galigo sebagai Objek Kajian Interdisipliner

Karya epik La Galigo bukan sekadar teks sastra yang monumental dalam ukuran dan narasi, tetapi juga merupakan khazanah budaya yang kompleks dan kaya, menjadikannya objek kajian yang sangat relevan dalam pendekatan interdisipliner. Kompleksitas isi, bentuk, dan fungsi sosial dari La Galigo memungkinkan digunakannya berbagai lensa teoritis, mulai dari filologi dan antropologi budaya, hingga kajian sastra, linguistik, sejarah agama, hingga ekologi spiritual. Pendekatan interdisipliner ini bukan saja memperluas ruang pemaknaan atas teks, tetapi juga menghindari reduksionisme yang kerap membatasi warisan budaya semata-mata dalam bingkai estetika atau sejarah.

10.1.    Kajian Filologis dan Kritik Teks

Pendekatan awal terhadap La Galigo dilakukan dalam kerangka filologi klasik, yang bertujuan untuk menelusuri naskah-naskah tertua, memverifikasi varian teks, serta merekonstruksi bentuk aslinya. Pionir seperti B.F. Matthes mengumpulkan dan menyusun manuskrip Bugis dalam abad ke-19, yang kini menjadi sumber utama bagi edisi modern dan studi ilmiah di bidang sastra tradisional Indonesia.1 Kajian filologis ini membuka jalan bagi pemahaman terhadap dinamika penyebaran naskah, pengaruh lokalitas dalam redaksi, serta hubungan antarversi dalam berbagai komunitas Bugis.

10.2.    Pendekatan Sastra dan Teori Naratif

Dalam kajian sastra, La Galigo dianalisis sebagai epik yang memuat struktur naratif kompleks, dengan ciri-ciri khas seperti episodik longgar, paralelisme, dan percampuran naratif antara mitos dan sejarah. Teori naratif modern melihat La Galigo sebagai teks yang memungkinkan pembacaan post-struktural, karena ambiguitas simboliknya dan pola-pola repetitif yang membuka ruang interpretasi multipel.2 Di sisi lain, perspektif mitopoetika melihat La Galigo sebagai bentuk konstruksi kosmologi yang tersusun dalam narasi mitologis, di mana tokoh-tokohnya merepresentasikan konflik antara struktur langit dan dunia, dewa dan manusia, chaos dan tatanan.3

10.3.    Kajian Antropologi dan Sosiologi Budaya

La Galigo juga dapat dianalisis melalui lensa antropologi simbolik, terutama dalam memahami bagaimana teks ini merepresentasikan nilai-nilai budaya Bugis seperti siri’, pesse, dan ade’. Clifford Geertz pernah menekankan pentingnya “thick description” dalam menafsirkan simbol budaya; La Galigo adalah contoh konkret di mana teks berfungsi sebagai sistem pemaknaan kolektif masyarakat.4 Nilai-nilai sosial yang termuat dalam La Galigo juga memiliki fungsi pedagogis dan normatif, yaitu sebagai sarana untuk membentuk dan mengarahkan perilaku sosial melalui cerita dan mitos.

10.4.    Perspektif Linguistik dan Kajian Bahasa

Dari sudut linguistik, La Galigo merupakan sumber penting untuk merekonstruksi perkembangan bahasa Bugis kuno dan menelusuri pola semantik, morfologi, serta sintaksis dalam bahasa Austronesia. Pendekatan ini berkontribusi pada dokumentasi dan pelestarian bahasa daerah yang kini menghadapi ancaman kepunahan. Kajian semantik terhadap La Galigo juga memperkaya pemahaman terhadap relasi antara bahasa dan budaya, terutama dalam konsep-konsep kunci yang tidak mudah diterjemahkan seperti bissu, *ure’, atau tenri.5

10.5.    Kajian Gender dan Representasi Perempuan

Pendekatan interdisipliner juga meliputi studi gender, terutama dalam mengkaji bagaimana perempuan ditampilkan dalam narasi La Galigo. Tokoh seperti We Tenriabeng tidak hanya tampil sebagai istri pahlawan, tetapi juga sebagai aktor independen dengan otoritas spiritual dan politik. Perspektif ini membuka wacana baru tentang posisi perempuan dalam tradisi lisan Asia Tenggara, yang sering kali lebih kompleks daripada yang diasumsikan dalam kerangka patriarkal sempit.6

10.6.    Dimensi Ekologis dan Kosmologis

Pendekatan terbaru terhadap La Galigo juga menyentuh aspek ekologi budaya dan spiritualitas lingkungan. Dalam narasi La Galigo, alam tidak diposisikan sebagai objek eksploitatif, melainkan sebagai entitas kosmis yang memiliki relasi spiritual dengan manusia. Hal ini membuka kemungkinan untuk membaca La Galigo dalam kerangka ekokritik, yaitu pendekatan yang mengkaji relasi antara sastra dan lingkungan hidup.7 Dalam konteks krisis ekologi global saat ini, kosmologi Bugis yang terjaga dalam La Galigo menawarkan etika relasional antara manusia dan alam yang dapat menginspirasi wacana pembangunan berkelanjutan.

10.7.    Sintesis: Dari Lokalitas ke Universalitas

Kajian interdisipliner atas La Galigo menunjukkan bahwa epik ini bukan sekadar artefak budaya lokal, tetapi jendela epistemologis menuju pemahaman yang lebih dalam tentang manusia, masyarakat, dan semesta. Ia menjadi titik temu antara sastra dan sejarah, antara etika dan estetika, antara filsafat hidup dan kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan interdisipliner, La Galigo dapat dibaca sebagai sumber pengetahuan holistik, yang merentang dari metafisika hingga ekologi, dari puisi hingga praksis sosial.


Footnotes

[1]                B.F. Matthes, Boegineesche Chrestomathie (Amsterdam: Frederik Muller, 1864), v–viii.

[2]                David Damrosch, What Is World Literature? (Princeton: Princeton University Press, 2003), 12–15.

[3]                Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton: Princeton University Press, 2004), 23–27.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[5]                Achadiati Ikram, Fonologi dan Morfologi Bahasa Bugis dalam Naskah-Naskah La Galigo (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 44–46.

[6]                Gene Ammarell, “Gender and Myth in Bugis Epic: The Power of We Tenriabeng,” in Asian Folklore Studies 58, no. 2 (1999): 195–198.

[7]                Greg Garrard, Ecocriticism (London: Routledge, 2004), 93–95.


11.       Penutup

La Galigo merupakan salah satu mahakarya sastra dunia yang tidak hanya mencerminkan kejayaan budaya Bugis di masa lampau, tetapi juga menjadi simbol warisan intelektual yang melampaui batas-batas geografis, linguistik, dan disiplin keilmuan. Sebagai teks epik yang ditulis dalam bahasa Bugis klasik dengan aksara Lontaraq, La Galigo merekam kosmologi, sistem sosial, nilai-nilai etika, dan pengalaman religius masyarakat Bugis pra-Islam dalam bentuk naratif yang kaya dan puitis.1 Ia tidak hanya menyampaikan kisah-kisah heroik tokoh mitologis seperti Batara Guru dan Sawerigading, tetapi juga menghadirkan pandangan dunia yang integral antara manusia, alam semesta, dan kekuatan adikodrati.

Kajian terhadap La Galigo mengungkap bahwa karya ini tidak dapat dipahami secara utuh hanya melalui satu disiplin ilmu. Justru kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk dibaca dan dimaknai melalui pendekatan interdisipliner—melibatkan filologi, sastra, antropologi, linguistik, studi gender, hingga ekokritik. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa La Galigo adalah teks total (total text), yakni karya yang menyimpan lapisan-lapisan pengetahuan lokal sekaligus refleksi filosofis yang mendalam atas eksistensi manusia dalam relasinya dengan kosmos.2

Pengakuan UNESCO atas La Galigo sebagai bagian dari Memory of the World Register pada tahun 2004 menjadi tonggak penting dalam menempatkannya sebagai warisan budaya takbenda dunia yang bernilai universal.3 Sejak saat itu, berbagai bentuk revitalisasi dan adaptasi pun muncul, baik dalam bentuk pertunjukan teater global seperti I La Galigo oleh Robert Wilson, maupun dalam media pembelajaran, digitalisasi naskah, hingga adaptasi budaya populer lokal.4 Representasi ini menunjukkan bahwa La Galigo bukan hanya dokumen masa lalu, tetapi juga teks hidup yang terus bertransformasi dan memberikan makna baru dalam konteks zaman modern.

Lebih dari sekadar warisan literer, La Galigo mengandung potensi pedagogis dan filosofis yang signifikan bagi pembentukan identitas budaya, penguatan etika kolektif, dan pemulihan hubungan manusia dengan alam. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh materialisme dan alienasi ekologis, kosmologi Bugis dalam La Galigo menawarkan alternatif pandangan hidup yang berbasis pada harmoni, keterhubungan spiritual, dan rasa hormat terhadap tatanan alam.5

Oleh karena itu, pelestarian La Galigo tidak boleh dilihat semata-mata sebagai upaya konservasi artefak budaya, melainkan sebagai bagian dari proses pemulihan epistemologi lokal dan afirmasi terhadap pluralitas warisan intelektual dunia. Dalam dunia akademik, La Galigo menjadi sumber yang tak ternilai dalam mengkaji bagaimana narasi, bahasa, dan budaya berkelindan dalam struktur pengetahuan lokal yang otentik dan relevan.


Footnotes

[1]                Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 210–215.

[2]                Nurhayati Rahman, La Galigo dan Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 102–106.

[3]                UNESCO, “La Galigo Manuscripts,” Memory of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.

[4]                Robert Wilson and Rhoda Grauer, I La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 8–10.

[5]                Greg Garrard, Ecocriticism (London: Routledge, 2004), 92–94.


Daftar Pustaka

Apter, E. (2013). Against world literature: On the politics of untranslatability. Verso.

Blust, R. (2009). The Austronesian languages. Asia-Pacific Linguistics.

Campbell, J. (2004). The hero with a thousand faces (Commemorative ed.). Princeton University Press.

Damrosch, D. (2003). What is world literature? Princeton University Press.

Dinas Kebudayaan Sulawesi Selatan. (2019). Laporan Festival La Galigo Palopo. Makassar: Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. Basic Books.

Garrard, G. (2004). Ecocriticism. Routledge.

Ikram, A. (1993). Fonologi dan morfologi bahasa Bugis dalam naskah-naskah La Galigo. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Macknight, C. (1996). The Bugis script and the transmission of La Galigo. Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 69, 102–105.

Macknight, C. (1996). Law, custom, and harmony in La Galigo. Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 69, 110–112.

Matthes, B. F. (1864). Boegineesche chrestomathie. Frederik Muller.

Omar, R. (2009). Orality and aesthetics in La Galigo: A comparative study. Archipel, 77, 87–91.

Omar, R. (2009). Value systems in La Galigo: Between honour and compassion. Archipel, 77, 88–90.

Paeni, M. (2004). La Galigo: Warisan dunia dari Sulawesi Selatan. Kompas.

Pelras, C. (1996). The Bugis. Blackwell Publishers.

Rahim, R. (2021). Implementasi La Galigo dalam kurikulum muatan lokal bahasa Bugis. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Daerah, 13(1), 45–47.

Rahman, N. (2015). La Galigo dan modernitas: Reinterpretasi teks Bugis klasik dalam konteks kontemporer. Pustaka Refleksi.

Rahman, N. (2016). Bahasa Bugis dalam perspektif pelestarian: Studi linguistik terhadap teks La Galigo. Wacana: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 18(1), 55–58.

Supanggah, R. (2006). The musical structure of I La Galigo. Asian Theatre Journal, 23(2), 198–202.

UNESCO. (2004). La Galigo Manuscripts. Memory of the World Register. https://en.unesco.org/memory-world

Wilson, R., & Grauer, R. (2004). I La Galigo: A performance based on the Bugis epic. Yayasan Bali Purnati.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar