La Galigo
Epik Mitologis dan Warisan Budaya Bugis dalam
Perspektif Historis, Sastra, dan Kosmologis
Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan
Geografis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif La
Galigo, sebuah epik mitologis klasik dari masyarakat Bugis di Sulawesi
Selatan, yang dikenal sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia.
Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner yang mencakup kajian filologis,
sastra, antropologi, linguistik, gender, dan ekokritik, artikel ini
mengungkapkan kompleksitas naratif, kosmologis, dan sosial-budaya dalam teks La
Galigo. Penelitian ini menunjukkan bahwa La Galigo bukan hanya
merupakan dokumen sastra kuno, tetapi juga sistem pengetahuan lokal yang
holistik dan dinamis. Epik ini merefleksikan pandangan dunia masyarakat Bugis
pra-Islam tentang penciptaan alam semesta, sistem sosial, nilai etis, dan
hubungan manusia dengan kosmos. Artikel ini juga menyoroti pengakuan
internasional terhadap La Galigo oleh UNESCO serta berbagai bentuk
representasinya dalam seni, budaya populer, dan pendidikan kontemporer. Dengan
membahas La Galigo dalam konteks sastra dunia dan warisan budaya
takbenda, tulisan ini menegaskan pentingnya pelestarian teks lokal sebagai
bagian dari pembentukan identitas budaya dan peradaban global.
Kata Kunci: La Galigo; epik Bugis; warisan budaya; kosmologi;
sastra lisan; filologi; identitas lokal; world literature; UNESCO;
interdisipliner.
PEMBAHASAN
La Galigo dalam Khazanah Budaya Nusantara
1.
Pendahuluan
La
Galigo merupakan sebuah karya sastra epik yang berasal dari
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, Indonesia, dan sering dianggap sebagai
salah satu teks epik terpanjang di dunia. Karya ini ditulis dalam bentuk puisi
naratif dalam bahasa dan aksara Bugis kuno (aksara Lontaraq), dan memuat kisah
mitologis tentang asal-usul manusia, struktur kosmos, serta sistem nilai budaya
masyarakat Bugis pra-Islam. Naskah La Galigo memiliki lebih dari 6.000
halaman teks, menjadikannya lebih panjang dari Mahabharata atau Iliad
dan Odyssey gabungan, sehingga menegaskan kedudukannya sebagai
warisan sastra dunia yang monumental.1
Kisah utama La
Galigo berkisar pada tokoh mitologis Sawerigading dan keluarganya,
yang merupakan keturunan dewa dan manusia, dan menggambarkan relasi antara
dunia atas (langit), dunia tengah (bumi), dan dunia bawah (lautan). Narasi
dalam La
Galigo tidak hanya menyajikan mitos penciptaan dan silsilah kosmik,
tetapi juga memuat pandangan hidup, struktur sosial, dan etika budaya Bugis
seperti konsep siri’ (harga diri), pesse
(empati), dan keseimbangan kosmologis antara manusia dan alam.2
Sebagai warisan
budaya yang awalnya diturunkan secara lisan, La Galigo telah mengalami proses
kodifikasi dan penulisan ulang selama berabad-abad oleh para panrita
atau ahli sastra Bugis. Naskah-naskahnya tersimpan dalam berbagai koleksi, baik
di Indonesia maupun luar negeri, termasuk di Perpustakaan Leiden (Belanda),
Perpustakaan Nasional Indonesia, dan koleksi pribadi keturunan bangsawan Bugis.3
Pada tahun 2004, UNESCO secara resmi mengakui La Galigo sebagai bagian dari Memory
of the World Register, menegaskan nilai pentingnya bagi peradaban
manusia secara global.4
Kajian terhadap La
Galigo melibatkan pendekatan multidisipliner yang mencakup bidang
filologi, antropologi, studi sastra, sejarah, dan kosmologi. Penelitian atas
teks ini tidak hanya merekonstruksi sejarah dan budaya masyarakat Bugis, tetapi
juga mengungkapkan kekayaan konsepsi lokal tentang eksistensi, moralitas, dan
struktur semesta. Dalam konteks akademik kontemporer, La
Galigo juga menjadi sumber penting dalam studi pascakolonial,
identitas etnis, dan dinamika pelestarian budaya lokal dalam kerangka
globalisasi.5
Dengan demikian,
kajian ini bertujuan untuk mengurai La Galigo sebagai teks epik yang
tidak hanya memuat nilai-nilai estetika dan naratif, tetapi juga sebagai
representasi kosmologis dan historis dari masyarakat Bugis. Pendekatan
historis, sastra, dan kosmologis yang digunakan akan menempatkan La
Galigo dalam konteks keilmuannya yang utuh dan relevan, baik secara
lokal maupun global.
Footnotes
[1]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 17.
[2]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 221–226.
[3]
Campbell Macknight, "The Preservation and Transmission of the La
Galigo Manuscripts," in Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
Vol. 151, no. 2 (1995): 268–276.
[4]
UNESCO, “La Galigo,” Memory
of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.
[5]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 45–58.
2.
Asal-Usul dan Konteks Historis La Galigo
La
Galigo berasal dari tradisi lisan masyarakat Bugis di Sulawesi
Selatan yang berkembang sejak masa pra-Islam dan kemudian ditransmisikan dalam
bentuk tulisan pada masa-masa berikutnya. Asal-usul epik ini diyakini berakar
pada kosmologi kuno Bugis yang mengisahkan hubungan antara dunia atas (boting
langi’), dunia tengah (tana), dan dunia bawah (uru’),
serta peran para makhluk adikodrati seperti Batara Guru dan keturunannya dalam
menciptakan tatanan dunia dan manusia.1
Diperkirakan bahwa
komposisi awal La Galigo mulai terbentuk pada
sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17 M, pada masa ketika kerajaan-kerajaan
Bugis seperti Luwu, Wajo, dan Bone mengalami kemajuan dalam sistem sosial dan
kelembagaan.2 Sebagian besar sarjana berpendapat bahwa narasi ini
berkembang dalam suasana budaya aristokratik, di mana para bangsawan Bugis
(anaq karaeng) menjadi penjaga dan pelindung tradisi ini. Naskah-naskah La
Galigo kemudian ditulis oleh para panrita (juru tulis dan ahli sastra
Bugis) dalam aksara Lontaraq, yang merupakan aksara tradisional Bugis-Makassar.3
Penulisan La
Galigo tidak dilakukan oleh satu pengarang tunggal, melainkan
merupakan hasil kompilasi dan transmisi berlapis yang berlangsung selama
ratusan tahun. Oleh karena itu, naskah-naskah yang ada saat ini menunjukkan
keragaman versi dan pengelompokan cerita, meskipun semuanya mengacu pada inti
naratif yang sama: mitos keturunan Batara Guru dan ekspedisi heroik tokoh-tokoh
seperti Sawerigading dan We Tenriabeng.4
Konteks historis La
Galigo juga harus dilihat dalam relasinya dengan transformasi
sosial-budaya masyarakat Bugis. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan pada awal
abad ke-17 menandai titik penting dalam transisi budaya, di mana La
Galigo yang mengandung unsur-unsur animistik dan politeistik mulai
tersisih oleh narasi-narasi Islam yang lebih dominan secara politik dan
religius.5 Meski demikian, teks La Galigo tetap bertahan di
kalangan masyarakat adat sebagai bagian dari ritual, upacara, dan identitas
budaya, hingga kemudian mendapat perhatian akademik dari para filolog,
antropolog, dan sejarawan sejak abad ke-19.
Penelitian modern
terhadap La
Galigo dimulai dengan upaya dokumentasi dan transliterasi oleh ahli
Belanda seperti B.F. Matthes pada pertengahan abad ke-19. Matthes mengumpulkan
naskah-naskah La Galigo yang tersebar di wilayah
Bugis dan menyusunnya menjadi koleksi besar yang kini tersimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda.6 Upaya Matthes inilah yang menjadikan La
Galigo sebagai objek studi filologis dan memperkenalkannya ke dunia
akademik internasional.
Dengan demikian,
asal-usul dan konteks historis La Galigo tidak hanya
memperlihatkan dinamika transmisi budaya Bugis, tetapi juga menggambarkan
proses negosiasi identitas lokal yang berakar pada kosmologi kuno, aristokrasi
tradisional, dan transisi ke dalam dunia modern. Pemahaman atas konteks ini
menjadi kunci dalam mengungkap makna dan nilai dari epik La
Galigo sebagai warisan budaya tak ternilai.
Footnotes
[1]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 205–207.
[2]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 33.
[3]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 25.
[4]
Campbell Macknight, “The La Galigo Manuscripts and the Bugis Cultural
Record,” in Indonesia Circle.
School of Oriental & African Studies. Newsletter, no. 69 (1996): 101–102.
[5]
Ian Caldwell, “Islam and the Genealogy of Power in South Sulawesi,” in Archipel 55 (1998):
95–124.
[6]
B.F. Matthes, Boegineesche
Chrestomathie (Amsterdam: Frederik
Muller, 1864), v–viii.
3.
Struktur dan Ciri-Ciri Sastra La Galigo
Sebagai sebuah karya
sastra epik yang monumental, La Galigo menampilkan struktur
naratif yang khas dan ciri-ciri estetik yang mengakar kuat dalam tradisi lisan
masyarakat Bugis. Naskah ini disusun dalam bentuk puisi naratif yang panjang,
terdiri dari ribuan bait (to-riola) yang menggambarkan
berbagai episode dalam kehidupan tokoh-tokoh mitologis. Struktur dasar La
Galigo mengikuti pola naratif tradisional yang bersifat episodik,
dengan keterhubungan longgar antara satu episode dan episode lainnya, sehingga
memungkinkan fleksibilitas dalam penampilan dan penyampaian cerita oleh para
pendongeng tradisional atau pattula bala.1
Secara tekstual, La
Galigo ditulis dalam bahasa Bugis klasik dengan
menggunakan aksara Lontaraq, yang merupakan sistem
aksara tradisional Bugis-Makassar. Bahasa yang digunakan bersifat puitis,
metaforis, dan sarat dengan simbolisme alam. Sebagian besar teks terdiri dari
pasangan larik paralel dan paralel semantis, yang mencerminkan teknik stilistika
tradisi lisan.2 Salah satu ciri utama dalam gaya penulisan La
Galigo adalah penggunaan paralelisme—baik dalam bentuk
sinonimik maupun antitetik—yang menciptakan irama dan pengulangan makna sebagai
alat mnemonik dalam tradisi oral.3
Puisi dalam La
Galigo tidak memiliki sistem metrum atau rima seperti puisi klasik
Barat, tetapi menggunakan struktur larik panjang yang
terikat secara kontekstual dan musikal dalam penampilan lisan. Setiap larik
biasanya mengandung satu ide pokok atau citra simbolik, yang sering kali
dikaitkan dengan alam, seperti laut, langit, burung, dan pohon, sebagai
representasi dari struktur kosmos Bugis.4 Simbolisme ini tidak hanya
berfungsi sebagai ornamen estetis, melainkan juga merefleksikan relasi filosofis
antara manusia dan alam dalam kosmologi Bugis.
Dari segi struktur
naratif, La
Galigo dapat dibagi menjadi tiga bagian besar: (1) Mitos
penciptaan dan penurunan Batara Guru ke dunia; (2) Kisah
Sawerigading, sang pahlawan utama, dalam ekspedisinya ke
berbagai negeri dan konflik eksistensial; serta (3) Kisah I
We Cudai dan generasi penerus, yang menghubungkan tokoh-tokoh
mitologis dengan awal mula umat manusia di bumi.5 Struktur ini tidak
bersifat linear, melainkan spiral atau siklikal, yang mencerminkan pola
berpikir kosmologis masyarakat Bugis.
Salah satu keunikan La
Galigo adalah ketiadaan tokoh antagonis dalam pengertian klasik.
Konflik yang dihadirkan lebih bersifat eksistensial dan kosmologis—tentang
ketidakseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah, atau antara kehendak ilahi
dan takdir manusia. Dengan demikian, narasi dalam La Galigo tidak semata berkisar
pada pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, tetapi lebih pada upaya
rekonsiliasi antara dimensi kosmis dan manusiawi.6
Selain sebagai teks
sastra, La Galigo
juga memiliki fungsi sosial-religius dalam masyarakat Bugis. Teks ini dibacakan
dalam konteks ritual adat, pelantikan bangsawan, dan upacara agraris, yang
menjadikannya sebagai bagian dari performativitas budaya. Dengan demikian, La
Galigo tidak hanya merupakan dokumen literer, tetapi juga medium
transmisi nilai-nilai sosial, spiritual, dan historis.7
Struktur dan
ciri-ciri sastra La Galigo dengan demikian memperlihatkan
integrasi antara keindahan bahasa, kedalaman kosmologis, dan fungsi sosial,
yang menjadikan karya ini bukan sekadar epik naratif, tetapi sebagai “total
text” dalam pengertian antropologi sastra: teks yang
merepresentasikan semesta kehidupan budaya Bugis.
Footnotes
[1]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 208–210.
[2]
Campbell Macknight, "The Structure of the Sureq Galigo: Notes
towards a Comparative Study," in Indonesia
Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter no. 69 (1996): 104.
[3]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 41–43.
[4]
Andi Zainal Abidin Farid, Sekitar
La Galigo: Suatu Pengantar Sastra Bugis Klasik (Makassar: Hasanuddin University Press, 1999), 63.
[5]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 29–31.
[6]
Gene Ammarell, "Bugis Navigation and La Galigo: A
Cosmological Perspective," in Asian
Folklore Studies 57, no. 1 (1998):
93–96.
[7]
Rahilah Omar, "La Galigo as a Living Tradition: Ritual and
Cultural Performance among the Bugis," in Archipel 77 (2009):
75–78.
4.
Kosmologi dan Mitos Penciptaan dalam La
Galigo
Salah satu aspek
paling mendalam dari La Galigo adalah struktur
kosmologisnya, yang merepresentasikan pandangan dunia (worldview) masyarakat
Bugis pra-Islam tentang asal-usul alam semesta, manusia, dan tatanan
eksistensial. Kosmologi dalam La Galigo bersifat dualistik dan
hirarkis, membagi semesta ke dalam tiga dunia utama: dunia
atas (boting langi’), dunia tengah (tana ritengnga),
dan dunia
bawah (peretiwi atau uri’ lino’). Masing-masing dunia ini
dihuni oleh entitas-entitas adikodrati dengan fungsi kosmis yang spesifik,
serta terhubung secara spiritual dan genealogis.1
Kisah penciptaan
dalam La
Galigo bermula dengan narasi tentang dewa tertinggi di dunia atas, Datu
Patotoé, yang memutuskan untuk menurunkan putranya, Batara
Guru, ke dunia tengah untuk mengatur dan menata kehidupan
manusia serta menciptakan peradaban. Penurunan Batara Guru ini menandai momen
penting dalam penciptaan tatanan dunia (maddoja lino’), dan menjadi awal
mula eksistensi manusia di bumi. Narasi ini merupakan bentuk mitos cosmic
descent, yaitu turunnya tokoh suci dari langit untuk menjadikan
dunia layak huni.2
Batara Guru menikahi
We
Nyili’ Timo, putri dari dunia bawah, yang melambangkan
penyatuan antara unsur langit dan bumi, serta menghasilkan keturunan-keturunan
ilahi yang menjadi nenek moyang manusia, termasuk tokoh utama La
Galigo, Sawerigading. Dengan demikian,
asal-usul manusia dalam La Galigo tidak bersifat biologis
semata, melainkan kosmologis dan sakral. Manusia adalah perpanjangan dari
kehendak langit dan hasil dari rekonsiliasi antara kutub-kutub eksistensial
alam semesta.3
Kosmologi La
Galigo juga menampilkan waktu sebagai sesuatu yang siklikal, bukan
linear. Peristiwa-peristiwa dalam epik ini berulang dalam pola tertentu,
mencerminkan keseimbangan antara kekuatan langit, bumi, dan laut. Dalam hal
ini, struktur naratif La Galigo merefleksikan mitos
keselarasan kosmik, di mana setiap krisis atau konflik harus
diselesaikan melalui harmoni antara makhluk dari dunia yang berbeda. Konsep ini
erat kaitannya dengan sistem nilai Bugis seperti ade’ (tata tertib adat), siri’
(harga diri), dan pesse (empati sosial), yang
semuanya dianggap sebagai refleksi dari tatanan kosmos.4
Dalam struktur
tersebut, Sawerigading, putra Batara
Guru, menjalani perjalanan epik yang tidak hanya bersifat geografis, tetapi
juga kosmologis. Ia menavigasi batas-batas antara dunia manusia dan dunia gaib,
dan dalam perjalanannya menghadapi tantangan-tantangan yang mencerminkan
konflik antara takdir dan kehendak bebas, antara kodrat kosmis dan keputusan
manusiawi. Meskipun sosoknya dipuji sebagai pahlawan, ia juga ditampilkan
sebagai tokoh tragis yang dibatasi oleh struktur takdir universal yang tak
dapat dilawan sepenuhnya.5
Simbolisme
kosmologis juga termanifestasi dalam penggunaan citra-citra alam seperti lautan,
langit,
dan angin,
yang dalam La
Galigo bukan sekadar elemen alamiah, tetapi merupakan medium
spiritual dan tempat tinggal para makhluk adikodrati. Laut, misalnya,
melambangkan dunia bawah yang penuh misteri dan kekuatan primal, sementara
langit adalah simbol kekuasaan transenden dan hukum kosmis.6
Mitos penciptaan
dalam La
Galigo tidak hanya mencerminkan cara pandang teologis dan metafisik
masyarakat Bugis, tetapi juga menjadi dasar bagi struktur sosial dan politik
mereka. Raja dianggap memiliki garis keturunan dari Batara Guru, sehingga
kekuasaan bersumber dari legitimasi kosmologis. Dengan demikian, kosmologi La
Galigo menjadi pondasi ideologis bagi struktur masyarakat
tradisional Bugis.7
Pemahaman terhadap
mitos penciptaan dan struktur kosmologis dalam La Galigo sangat penting untuk
membaca teks ini bukan sekadar sebagai narasi heroik, tetapi sebagai
representasi utuh dari sistem pengetahuan tradisional Bugis. Dalam konteks
kontemporer, kosmologi ini juga menyimpan potensi etis dan ekososial yang
relevan dalam merespons krisis spiritual dan ekologis dunia modern.
Footnotes
[1]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 205–208.
[2]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 49–51.
[3]
Campbell Macknight, “The Cosmological Dimensions of La Galigo,” in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies.
Newsletter no. 69 (1996): 107–109.
[4]
Gene Ammarell, “Bugis Navigation and La
Galigo: A Cosmological Perspective,”
in Asian Folklore Studies 57, no. 1 (1998): 85–87.
[5]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 33–36.
[6]
Rahilah Omar, “Symbolism and the Sacred in La Galigo: Water,
Sky, and Ritual,” in Archipel 77 (2009): 81–84.
[7]
Ian Caldwell, “Power, Descent, and The Sacred in Bugis Cosmology,” in Archipel 55 (1998):
101–105.
5.
Sistem Sosial dan Nilai Budaya Bugis dalam La
Galigo
La
Galigo tidak hanya merupakan karya sastra epik yang menjelaskan
kosmologi dan mitos penciptaan, tetapi juga mencerminkan secara rinci struktur
sosial dan sistem nilai budaya masyarakat Bugis pra-Islam. Melalui kisah-kisah
tokohnya, teks ini menarasikan bagaimana masyarakat Bugis mengatur tatanan
sosial, memaknai hubungan antarindividu, serta menegakkan prinsip-prinsip moral
yang membentuk identitas etnis mereka.
5.1.
Struktur Sosial Hirarkis
Masyarakat Bugis
dalam La
Galigo digambarkan memiliki struktur sosial yang bersifat hirarkis
dan stratifikatif, terdiri atas tiga lapisan utama: kaum
bangsawan (anaq karaeng atau arung), rakyat
biasa (to maradeka), dan budak (ata).1
Tokoh-tokoh utama dalam La Galigo, seperti Batara Guru,
Sawerigading, dan We Tenriabeng, merupakan figur aristokrat yang menegaskan
pentingnya status genealogis dalam sistem sosial Bugis. Keturunan ilahi mereka
menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan posisi sosial dalam dunia manusia. Kehormatan
dan kewibawaan (ade’) seseorang dalam masyarakat
sangat bergantung pada silsilah dan kepatuhan terhadap norma-norma adat yang
diturunkan secara turun-temurun.2
5.2.
Nilai Siri’ dan Pesse
Dua konsep nilai
budaya yang paling menonjol dalam La Galigo adalah siri’
dan pesse,
yang masih menjadi bagian integral dari etos hidup Bugis hingga kini. Siri’
dapat dipahami sebagai harga diri, kehormatan, atau integritas personal dan
kolektif, yang harus dijaga bahkan dengan pengorbanan nyawa. Dalam banyak
episode, tokoh-tokoh La Galigo mengambil keputusan
ekstrem demi mempertahankan siri’, seperti berperang,
mengasingkan diri, atau menolak pernikahan yang melanggar norma adat.3
Pesse,
di sisi lain, berarti empati sosial atau rasa belas kasih yang mengikat
komunitas, menyeimbangkan aspek kehormatan dengan kepedulian terhadap sesama.
Keduanya menjadi fondasi relasional dalam masyarakat Bugis yang memadukan
kehormatan pribadi dan solidaritas sosial.4
5.3.
Gender dan Peran
Perempuan
Berbeda dengan
stereotip patriarkis yang umum dalam epik tradisional, La
Galigo memberikan ruang penting bagi tokoh perempuan. Figur We
Tenriabeng, misalnya, ditampilkan sebagai perempuan suci yang
memiliki kuasa spiritual, kemampuan diplomatik, dan kapasitas intelektual
tinggi. Ia bukan hanya pendamping Sawerigading, tetapi juga tokoh independen
yang mampu menyelesaikan konflik dan meredakan pertikaian antarwilayah.5
Representasi perempuan dalam La Galigo mengisyaratkan bahwa
dalam sistem nilai Bugis kuno terdapat ruang untuk perempuan yang memiliki
otoritas simbolik dan sosial yang signifikan.
5.4.
Adat, Kearifan
Lokal, dan Keseimbangan Kosmik
La
Galigo menegaskan pentingnya ade’ (adat) sebagai aturan tak
tertulis yang mengatur tata laku, etika sosial, dan keputusan-keputusan
politik. Dalam banyak bagian, konflik muncul karena pelanggaran terhadap adat
atau kesalahan dalam memaknai posisi sosial. Oleh karena itu, penyelesaian
konflik dalam La Galigo sering kali dilakukan
melalui rekonsiliasi yang berlandaskan prinsip harmoni antara manusia, leluhur,
dan kekuatan kosmis. Struktur nilai ini menunjukkan bahwa hukum adat dalam
masyarakat Bugis tidak hanya bersifat yuridis, tetapi juga spiritual dan
kosmologis.6
5.5.
Pendidikan Budaya
dan Internalisasi Nilai
Dalam konteks
sosialnya, La
Galigo berfungsi sebagai wahana pendidikan budaya, di mana
nilai-nilai sosial dan moral ditransmisikan secara simbolik dan naratif kepada
generasi muda. Pengisahan ulang La Galigo dalam ritual, nyanyian,
dan pementasan tradisional menjadi sarana internalisasi nilai siri’,
pesse,
dan ade’
ke dalam kesadaran kolektif masyarakat Bugis.7 Fungsi pedagogis ini
menunjukkan bahwa La Galigo bukan sekadar cerita
mitologis, tetapi teks sosial yang mengatur etika hidup bersama.
Footnotes
[1]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 212–214.
[2]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 39–41.
[3]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 60–63.
[4]
Rahilah Omar, “Value Systems in La
Galigo: Between Honour and
Compassion,” in Archipel 77 (2009): 88–90.
[5]
Gene Ammarell, “Gender and Myth in Bugis Epic: The Power of We
Tenriabeng,” in Asian Folklore Studies 58, no. 2 (1999): 195–198.
[6]
Campbell Macknight, “Law, Custom, and Harmony in La Galigo,” in Indonesia Circle no.
69 (1996): 110–112.
[7]
Andi Zainal Abidin Farid, Sekitar
La Galigo: Suatu Pengantar Sastra Bugis Klasik (Makassar: Hasanuddin University Press, 1999), 78–80.
6.
La Galigo sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia
Pengakuan
internasional terhadap La Galigo sebagai warisan budaya
takbenda dunia menandai pentingnya epik ini tidak hanya bagi masyarakat Bugis,
tetapi juga bagi peradaban umat manusia secara global. Pada tahun 2004, United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi
memasukkan naskah La Galigo ke dalam Memory
of the World Register, yakni daftar warisan dokumenter dunia yang
memiliki signifikansi universal dan perlu dilindungi serta dilestarikan.1
Pengakuan ini bukan sekadar simbolik, melainkan merupakan bentuk legitimasi
atas nilai sejarah, sastra, dan budaya dari salah satu teks epik terpanjang di
dunia.
Penetapan tersebut
dilandasi oleh sejumlah pertimbangan penting. Pertama, dari segi panjang
dan keluasan narasi, La Galigo terdiri atas lebih dari
6.000 halaman teks dalam bentuk puisi naratif yang mencakup silsilah dewa-dewa,
kisah cinta, ekspedisi antarbenua, serta transformasi sosial. Kedua, La
Galigo ditulis dalam bahasa Bugis kuno dan aksara Lontaraq,
yang menjadikannya sebagai dokumen linguistik yang penting bagi studi filologi
dan dokumentasi bahasa daerah Indonesia yang mulai terancam punah.2
Ketiga, dari sudut etnohistoris dan antropologis,
teks ini merepresentasikan sistem pengetahuan lokal Bugis tentang kosmologi,
hukum adat, moralitas, dan relasi antarumat manusia serta antara manusia dengan
alam semesta.3
Sebagian besar
naskah La
Galigo yang menjadi dasar pencatatan oleh UNESCO berasal dari koleksi
B.F. Matthes, seorang ahli bahasa dan budaya Bugis dari Belanda
yang mengumpulkan dan menyalin ratusan manuskrip Bugis pada abad ke-19. Koleksi
ini kini tersimpan di Leiden University Library, Belanda,
dan menjadi pusat perhatian para filolog internasional yang mengkaji sastra
Austronesia dan warisan budaya Indonesia.4 Meskipun demikian, masih
banyak versi La Galigo yang beredar secara
lokal, baik dalam bentuk tulisan tangan yang diwariskan turun-temurun di
keluarga bangsawan, maupun yang hidup dalam praktik oral seperti ritual adat
dan pertunjukan seni tradisional.
Pasca-pengakuan
UNESCO, berbagai upaya pelestarian La Galigo mulai diintensifkan. Di
Indonesia, pemerintah, lembaga budaya, dan akademisi meluncurkan program digitalisasi
naskah, pengkajian interdisipliner, dan revitalisasi seni
pertunjukan yang berbasis pada kisah-kisah La Galigo. Salah satu proyek
monumental adalah pertunjukan teater I La Galigo karya sutradara
internasional Robert Wilson, yang dipentaskan
di berbagai negara sejak 2003, dan menggabungkan narasi epik Bugis dengan
pendekatan artistik kontemporer global.5 Pertunjukan ini berhasil
memperkenalkan La Galigo ke audiens internasional
sekaligus memicu kebangkitan minat nasional terhadap warisan sastra Bugis
tersebut.
Namun demikian,
upaya pelestarian La Galigo masih menghadapi sejumlah
tantangan. Di antaranya adalah minimnya pemahaman generasi muda terhadap bahasa
Bugis kuno, keterbatasan akses terhadap naskah-naskah asli yang tersebar di
berbagai koleksi, serta marginalisasi tradisi lisan di tengah modernisasi dan
globalisasi budaya. Oleh karena itu, pelestarian La Galigo menuntut sinergi antara
kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat adat, lembaga pendidikan, serta
dukungan riset akademik yang berkelanjutan.6
Dengan statusnya
sebagai warisan budaya dunia, La Galigo memiliki posisi strategis
untuk dijadikan media diplomasi budaya, pendidikan multikultural, serta sumber
pembelajaran tentang kearifan lokal yang sarat nilai-nilai etis, ekologis, dan
spiritual. Warisan ini bukan hanya milik masyarakat Bugis, tetapi juga aset
intelektual dan moral bagi dunia yang tengah mencari inspirasi dari
tradisi-tradisi kuno dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Footnotes
[1]
UNESCO, “La Galigo Manuscripts,” Memory
of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.
[2]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 43–45.
[3]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 221–225.
[4]
B.F. Matthes, Boegineesche
Chrestomathie (Amsterdam: Frederik
Muller, 1864), v–viii.
[5]
Robert Wilson and Rhoda Grauer, I
La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004).
[6]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 67–70.
7.
Kajian Linguistik atas Teks La Galigo
Sebagai salah satu
karya sastra tertua dan terpanjang di Asia Tenggara, La
Galigo memiliki signifikansi besar dalam kajian linguistik,
khususnya dalam konteks dokumentasi bahasa daerah, sejarah bahasa Austronesia,
dan estetika puitik dalam tradisi lisan. Teks ini ditulis dalam bahasa
Bugis kuno dengan menggunakan aksara Lontaraq, yang merupakan
salah satu varian aksara Brahmik Nusantara yang berkembang di Sulawesi Selatan
sejak abad ke-14 M.1 Kajian linguistik terhadap La
Galigo menjadi penting untuk menelusuri evolusi leksikon,
morfologi, dan sintaksis dalam bahasa Bugis, serta memahami bagaimana bahasa
digunakan dalam konteks religius, sosial, dan artistik.
7.1.
Fonologi dan
Ortografi Bugis Klasik
Dari segi fonologi,
bahasa Bugis dalam La Galigo menunjukkan sistem
konsonantal yang khas, seperti bunyi glotal [Ê”] dan bunyi pranasal yang
dominan. Fonem-fonem ini tercermin dalam penulisan aksara Lontaraq, meskipun
sistem ortografinya bersifat abugida (tiap huruf mewakili
suku kata dengan vokal inheren) yang memiliki keterbatasan dalam mencatat
detail fonetik penuh. Hal ini menimbulkan tantangan dalam proses transliterasi
dan interpretasi fonologis teks oleh para filolog modern.2
Selain itu, ejaan
Bugis kuno dalam La Galigo bersifat konservatif,
mencerminkan bentuk arkais dari sejumlah kata yang kini telah mengalami
perubahan dalam dialek Bugis modern. Contohnya adalah penggunaan kata taué
(manusia) atau batté (tanah), yang dalam dialek
kontemporer mengalami penyederhanaan fonetik.3
7.2.
Leksikon dan Unsur
Puitis
Teks La
Galigo kaya akan leksikon khusus yang mencerminkan
kosmologi, sistem sosial, dan simbolisme budaya Bugis. Banyak istilah yang
tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia modern, seperti ade’
(norma adat), siri’ (kehormatan), dan pesse
(empati), yang menandakan pentingnya kontekstualisasi dalam menerjemahkan teks.4
Kajian semantik terhadap istilah-istilah ini membuka ruang pemahaman atas cara
masyarakat Bugis membentuk makna melalui metafora dan struktur naratif.
Secara stilistika,
bahasa La
Galigo sangat puitis. Ia mengandalkan paralelisme
semantik, yakni pengulangan makna dalam larik-larik yang
berurutan, serta sinematik imaji yang
menggabungkan elemen alam dengan pengalaman batin tokoh. Teknik ini merupakan
ciri utama dari tradisi sastra lisan Austronesia dan berfungsi sebagai alat
mnemonik bagi penyair lisan atau pattula bala.5
7.3.
Sintaksis dan Struktur
Kalimat
Dari aspek
sintaksis, kalimat-kalimat dalam La Galigo relatif panjang dan
kompleks, dengan struktur subordinatif yang kuat. Hal ini mencerminkan pola
berpikir naratif yang tidak linier, melainkan asosiatif dan reflektif. Struktur
ini memungkinkan eksplorasi mendalam atas motif psikologis tokoh serta
penggambaran suasana emosional dan religius yang intens.6
Penggunaan kata
sambung temporal dan kausal seperti niaja (kemudian), siduppa
(karena), dan nasaba (sebab) memperlihatkan
tingkat perkembangan sintaksis yang canggih dalam bahasa Bugis kuno. Struktur
seperti ini juga memperlihatkan bahwa La Galigo bukan hanya teks estetis,
tetapi juga dokumen linguistik yang mencerminkan sistem berpikir dan logika
masyarakat pra-modern.
7.4.
Kontribusi terhadap
Kajian Bahasa Austronesia dan Revitalisasi Bahasa
Kajian linguistik
atas La
Galigo tidak hanya penting untuk pelestarian bahasa Bugis, tetapi
juga memberikan kontribusi besar dalam komparatif linguistik Austronesia.
Bahasa Bugis termasuk dalam cabang South Sulawesi dari keluarga Austronesia,
dan data dari La Galigo menjadi sumber primer
dalam rekonstruksi bahasa purba serta relasi genealogis bahasa-bahasa di
wilayah Indonesia Timur.7
Di sisi lain, La
Galigo juga menjadi instrumen penting dalam revitalisasi
bahasa daerah. Inisiatif pendidikan di Sulawesi Selatan telah
menggunakan kutipan La Galigo dalam kurikulum muatan
lokal untuk memperkuat identitas linguistik dan budaya generasi muda Bugis.
Melalui digitalisasi naskah dan penerbitan terjemahan interlinear, La
Galigo telah menjadi jembatan antara studi akademik dan pelestarian
bahasa daerah.8
Footnotes
[1]
Campbell Macknight, “The Bugis Script and the Transmission of La Galigo,” in Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies.
Newsletter no. 69 (1996): 102–105.
[2]
Achadiati Ikram, Fonologi dan Morfologi
Bahasa Bugis dalam Naskah-Naskah La Galigo (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 33–38.
[3]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 71–74.
[4]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 218–220.
[5]
Rahilah Omar, “Stylistic Features in La
Galigo: Parallelism and Symbolism in
Oral Tradition,” in Archipel 77 (2009): 90–92.
[6]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 48–50.
[7]
Robert Blust, “The Austronesian Languages,” Asia-Pacific Linguistics
(Canberra: Australian National University, 2009), 341–343.
[8]
Nurhayati Rahman, “Bahasa Bugis dalam Perspektif Pelestarian: Studi
Linguistik terhadap Teks La Galigo,” in Wacana:
Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra 18,
no. 1 (2016): 55–58.
8.
Interpretasi dan Relevansi La Galigo
dalam Studi Sastra Dunia
Dalam konteks studi
sastra dunia (world literature), La
Galigo menempati posisi yang unik dan penting sebagai salah satu
epik terpanjang di dunia yang berasal dari Asia Tenggara. Sebagai teks yang
berasal dari tradisi lisan non-Barat dan ditulis dalam bahasa daerah (Bugis), La
Galigo tidak hanya menambah keragaman khasanah sastra global,
tetapi juga menantang dominasi naratif klasik Barat seperti Iliad,
Odyssey,
dan Mahabharata.
Kehadiran La
Galigo memperluas cakrawala studi sastra dunia dengan menghadirkan
perspektif mitologis, kosmologis, dan estetika yang khas dari peradaban maritim
Austronesia.1
8.1.
Dimensi Epik dan
Mitologis dalam Perspektif Global
Sebagai karya epik, La
Galigo memiliki seluruh karakteristik yang umumnya ditemukan dalam
karya-karya sejenis di dunia: tokoh heroik setengah dewa, perjalanan spiritual
dan fisik yang penuh rintangan, konflik kosmologis, serta integrasi antara
dunia manusia dan dunia adikodrati. Tokoh seperti Sawerigading memiliki
kedekatan struktural dengan tokoh epik dunia seperti Odysseus, Gilgamesh, atau
Arjuna, tetapi dengan konteks budaya yang sangat berbeda—yakni maritim,
adatistik, dan egaliter dalam kosmologi lokal.2
Hal ini menunjukkan
bahwa tradisi epik bukanlah eksklusif milik peradaban besar seperti Yunani,
India, atau Mesopotamia, tetapi juga hidup dan berkembang secara otonom di Asia
Tenggara. Dengan demikian, La Galigo menjadi bukti konkret
bahwa masyarakat Bugis memiliki sistem naratif dan kosmologi yang cukup
kompleks untuk melahirkan epos setara secara struktural dan tematis dengan
karya-karya klasik dunia.3
8.2.
Estetika Lokal dan
Strategi Penceritaan
Dari sudut estetika
sastra, La
Galigo menawarkan bentuk ekspresi khas dunia lisan Nusantara:
pengulangan paralelistik, struktur longgar yang memungkinkan improvisasi, serta
percampuran antara narasi linear dan siklikal. Hal ini menantang model naratif
Barat yang seringkali mengutamakan linearitas, konflik protagonis-antagonis
yang tajam, dan akhir resolutif. Dalam La Galigo, konflik lebih bersifat
eksistensial dan relasional, serta diselesaikan dengan mediasi dan harmoni,
bukan kemenangan absolut.4
Dengan demikian, La
Galigo memperkenalkan pendekatan naratif yang lebih berbasis
komunitas dan kosmologi ketimbang individualisme dan heroisme antagonistik.
Strategi ini selaras dengan nilai-nilai lokal seperti siri’
dan ade’,
dan berkontribusi terhadap pemikiran alternatif dalam teori sastra kontemporer,
terutama yang mengkaji teks-teks non-kanonik dalam kerangka postcolonial
world literature.5
8.3.
La Galigo dalam
Perspektif Pascakolonial dan Multikultural
Dalam kajian
pascakolonial, La Galigo dapat dibaca sebagai
representasi naratif dari sebuah kosmologi dan sistem pengetahuan lokal yang
berhasil bertahan dari kolonisasi epistemik. Narasi La Galigo adalah bentuk “arsip
hidup” dari masyarakat Bugis pra-Islam yang tidak hanya mencatat peristiwa,
tetapi membentuk struktur dunia melalui bahasa dan mitos. Oleh karena itu, La
Galigo berperan sebagai teks tandingan terhadap sejarah yang
ditulis dari perspektif kolonial dan sentralistik.6
Di samping itu, La
Galigo juga berfungsi sebagai jembatan multikultural dalam konteks
globalisasi. Pementasan I La Galigo oleh Robert Wilson,
misalnya, membuka ruang dialog antara seni pertunjukan tradisional Bugis dan
estetika teater modern dunia, tanpa kehilangan akar kulturalnya. Adaptasi ini
menunjukkan bahwa La Galigo tidak hanya hidup sebagai
teks, tetapi juga sebagai “peristiwa budaya” yang dapat diterjemahkan ke
dalam berbagai konteks estetika dan etika dunia kontemporer.7
8.4.
Kontribusi terhadap
Reorientasi Studi Sastra Dunia
Kehadiran La
Galigo dalam wacana sastra dunia mendorong munculnya kebutuhan
untuk reorientasi
epistemologis dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “kanon
sastra dunia”. Ini berarti menggeser perhatian dari karya-karya yang
ditulis dalam bahasa Eropa dan dipublikasikan dalam sistem penerbitan global,
menuju karya-karya yang muncul dari tradisi lisan, ditulis dalam bahasa lokal,
dan disampaikan secara performatif dalam ruang komunitas adat.8
Dengan kata lain, La
Galigo memperluas parameter world literature dari yang semula
berbasis teks-terbitan (print-based) menjadi berbasis oral-literary
performance, serta dari orientasi Barat ke inklusi epistemologi
non-Barat. Dalam kerangka ini, La Galigo bukan hanya berkontribusi
sebagai objek studi, tetapi juga sebagai paradigma baru dalam memahami sastra
dunia secara plural, kontekstual, dan dialogis.
Footnotes
[1]
David Damrosch, What Is World
Literature? (Princeton: Princeton
University Press, 2003), 7–9.
[2]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 222–224.
[3]
Mukhlis Paeni, La Galigo: Warisan
Dunia dari Sulawesi Selatan
(Jakarta: Kompas, 2004), 49–52.
[4]
Rahilah Omar, “Orality and Aesthetics in La Galigo: A
Comparative Study,” in Archipel 77 (2009): 87–91.
[5]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 82–85.
[6]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing
Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 16–18.
[7]
Robert Wilson and Rhoda Grauer, I
La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 12–15.
[8]
Emily Apter, Against World
Literature: On the Politics of Untranslatability (London: Verso, 2013), 26–28.
9.
Representasi La Galigo dalam Seni dan
Budaya Kontemporer
Sebagai karya epik
klasik yang lahir dari tradisi lisan masyarakat Bugis, La
Galigo telah melintasi batas-batas ruang dan waktu serta mengalami
berbagai bentuk representasi ulang dalam ranah seni dan budaya kontemporer.
Transformasi ini tidak hanya merevitalisasi teks kuno ke dalam bentuk-bentuk
baru yang dapat diakses masyarakat modern, tetapi juga membuka ruang dialog
antarbudaya serta memperkuat kesadaran identitas lokal di tengah globalisasi.
Melalui seni pertunjukan, media visual, pendidikan, dan digitalisasi, La
Galigo tampil kembali sebagai kekayaan budaya yang terus hidup dan
dinamis.
9.1.
Teater Epik dan
Adaptasi Internasional
Salah satu representasi
La
Galigo yang paling terkenal dalam panggung global adalah pementasan
I La
Galigo oleh Robert Wilson, seorang
sutradara teater avant-garde asal Amerika Serikat. Pertunjukan ini pertama kali
digelar pada tahun 2003 di Esplanade Theatre, Singapura, kemudian berkeliling
ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Belanda, Prancis, Australia, dan
Indonesia.1 Naskahnya disusun oleh Rhoda Grauer berdasarkan kisah La
Galigo, dengan penyesuaian dramatik namun tetap mengacu pada
struktur dan substansi epik asli. Pementasan ini menampilkan aktor-aktor asal
Sulawesi Selatan dan menggunakan musik tradisional Bugis-Makassar yang
dikomposisi oleh Rahayu Supanggah, sehingga
tetap menjaga akar budaya lokal dalam kemasan internasional.2
Pertunjukan I La
Galigo menjadi representasi penting dari bagaimana warisan lokal
dapat dirancang ulang dalam kerangka seni global tanpa kehilangan
keotentikannya. Melalui visualisasi panggung yang minimalis namun ekspresif,
serta perpaduan antara elemen teatrikal Barat dan simbolisme Bugis, pertunjukan
ini berhasil menjadikan La Galigo sebagai karya yang
relevan bagi penonton lintas budaya.
9.2.
Seni Tari, Musik,
dan Sastra Populer
Selain teater, La
Galigo juga banyak diadaptasi dalam bentuk seni pertunjukan
tradisional dan modern di tingkat lokal, seperti tari
kolosal, musik etnik, dan drama musikal.
Di Sulawesi Selatan, berbagai festival budaya rutin menampilkan kisah Sawerigading
dan We
Tenriabeng sebagai simbol kebanggaan etnis Bugis. Misalnya,
Festival La
Galigo di Palopo dan pertunjukan Siri’ Na Pesse yang mengangkat
nilai-nilai utama dalam epik tersebut melalui narasi koreografis dan musikal.3
Selain itu, muncul
pula bentuk-bentuk baru representasi sastra, seperti puisi
modern, novelisasi bebas, hingga komik
berbasis budaya lokal, yang terinspirasi dari tokoh-tokoh dan
peristiwa dalam La Galigo. Upaya ini merupakan
bagian dari gerakan literasi budaya yang mendorong internalisasi nilai-nilai La
Galigo dalam format yang lebih dekat dengan generasi muda.4
9.3.
Pendidikan dan Media
Digital
Dalam ranah
pendidikan, La Galigo telah diintegrasikan ke
dalam kurikulum
muatan lokal di sejumlah sekolah di Sulawesi Selatan, khususnya
dalam mata pelajaran bahasa daerah, sastra Bugis, dan sejarah kebudayaan. Teks
dan kutipan dari La Galigo digunakan untuk
mengenalkan konsep siri’, pesse, dan struktur sosial Bugis
secara kontekstual. Beberapa universitas, seperti Universitas Hasanuddin dan
IAIN Palopo, juga menjadikan La Galigo sebagai bahan kajian
dalam program studi sastra daerah, antropologi, dan seni pertunjukan.5
Seiring perkembangan
teknologi, La
Galigo juga hadir dalam bentuk digitalisasi manuskrip, audiobook,
dan film
dokumenter. Proyek digitalisasi naskah oleh Perpustakaan
Nasional RI dan Leiden University Library memungkinkan akses luas terhadap
manuskrip asli La Galigo, sementara produksi
dokumenter oleh LIPI, UNESCO, dan sineas independen memperkenalkan epik ini ke
publik nasional dan internasional melalui platform visual modern.6
9.4.
Identitas Budaya dan
Politik Representasi
Di luar dunia seni,
representasi La Galigo juga memainkan peran
penting dalam pembentukan dan artikulasi identitas budaya Bugis. Narasi La
Galigo dijadikan simbol kebesaran peradaban Sulawesi Selatan dan
sering dimunculkan dalam diskursus politik budaya daerah. Misalnya, dalam
wacana otonomi daerah dan pelestarian budaya lokal, La Galigo sering dijadikan dasar
argumentatif untuk menegaskan keberadaan warisan kultural yang setara dengan
kebudayaan besar lainnya di Indonesia.7
Namun demikian,
proses representasi ulang ini juga menimbulkan tantangan, seperti komodifikasi
warisan budaya dan penyederhanaan makna simbolik yang kompleks
demi kebutuhan estetika komersial. Oleh karena itu, penting untuk menjaga
keseimbangan antara pelestarian otentisitas dan inovasi artistik dalam
mentransformasikan La Galigo ke ranah kontemporer.
Footnotes
[1]
Robert Wilson and Rhoda Grauer, I
La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 9–12.
[2]
Rahayu Supanggah, “The Musical Structure of I La Galigo,” in Asian Theatre Journal
23, no. 2 (2006): 198–202.
[3]
Dinas Kebudayaan Sulawesi Selatan, Laporan
Festival La Galigo Palopo, 2019.
[4]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 90–93.
[5]
Ramlah Rahim, “Implementasi La Galigo dalam Kurikulum Muatan Lokal
Bahasa Bugis,” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Daerah 13, no. 1 (2021):
45–47.
[6]
Perpustakaan Nasional RI, “Digitalisasi Naskah Kuno La Galigo,” 2021, https://perpusnas.go.id; Leiden University
Library, “La Galigo Digital Manuscripts Collection,” 2020, https://digitalcollections.universiteitleiden.nl.
[7]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 228–229.
10.
Refleksi Teoretis: La Galigo sebagai
Objek Kajian Interdisipliner
Karya epik La
Galigo bukan sekadar teks sastra yang monumental dalam ukuran dan
narasi, tetapi juga merupakan khazanah budaya yang kompleks dan kaya, menjadikannya
objek kajian yang sangat relevan dalam pendekatan interdisipliner.
Kompleksitas isi, bentuk, dan fungsi sosial dari La Galigo memungkinkan digunakannya
berbagai lensa teoritis, mulai dari filologi dan antropologi budaya, hingga
kajian sastra, linguistik, sejarah agama, hingga ekologi spiritual. Pendekatan
interdisipliner ini bukan saja memperluas ruang pemaknaan atas teks, tetapi
juga menghindari reduksionisme yang kerap membatasi warisan budaya semata-mata
dalam bingkai estetika atau sejarah.
10.1.
Kajian Filologis dan
Kritik Teks
Pendekatan awal
terhadap La
Galigo dilakukan dalam kerangka filologi klasik, yang bertujuan
untuk menelusuri naskah-naskah tertua, memverifikasi varian teks, serta
merekonstruksi bentuk aslinya. Pionir seperti B.F. Matthes mengumpulkan dan
menyusun manuskrip Bugis dalam abad ke-19, yang kini menjadi sumber utama bagi
edisi modern dan studi ilmiah di bidang sastra tradisional Indonesia.1
Kajian filologis ini membuka jalan bagi pemahaman terhadap dinamika penyebaran
naskah, pengaruh lokalitas dalam redaksi, serta hubungan antarversi dalam
berbagai komunitas Bugis.
10.2.
Pendekatan Sastra
dan Teori Naratif
Dalam kajian sastra,
La
Galigo dianalisis sebagai epik yang memuat struktur naratif
kompleks, dengan ciri-ciri khas seperti episodik longgar, paralelisme, dan
percampuran naratif antara mitos dan sejarah. Teori naratif modern melihat La
Galigo sebagai teks yang memungkinkan pembacaan post-struktural,
karena ambiguitas simboliknya dan pola-pola repetitif yang membuka ruang
interpretasi multipel.2 Di sisi lain, perspektif mitopoetika
melihat La
Galigo sebagai bentuk konstruksi kosmologi yang tersusun dalam
narasi mitologis, di mana tokoh-tokohnya merepresentasikan konflik antara
struktur langit dan dunia, dewa dan manusia, chaos dan tatanan.3
10.3.
Kajian Antropologi
dan Sosiologi Budaya
La
Galigo juga dapat dianalisis melalui lensa antropologi
simbolik, terutama dalam memahami bagaimana teks ini merepresentasikan
nilai-nilai budaya Bugis seperti siri’, pesse, dan ade’.
Clifford Geertz pernah menekankan pentingnya “thick description” dalam
menafsirkan simbol budaya; La Galigo adalah contoh konkret di
mana teks berfungsi sebagai sistem pemaknaan kolektif masyarakat.4
Nilai-nilai sosial yang termuat dalam La Galigo juga memiliki fungsi pedagogis
dan normatif, yaitu sebagai sarana untuk membentuk dan
mengarahkan perilaku sosial melalui cerita dan mitos.
10.4.
Perspektif
Linguistik dan Kajian Bahasa
Dari sudut
linguistik, La Galigo merupakan sumber penting
untuk merekonstruksi perkembangan bahasa Bugis kuno dan
menelusuri pola semantik, morfologi, serta sintaksis dalam bahasa Austronesia.
Pendekatan ini berkontribusi pada dokumentasi dan pelestarian bahasa daerah
yang kini menghadapi ancaman kepunahan. Kajian semantik terhadap La
Galigo juga memperkaya pemahaman terhadap relasi antara bahasa dan
budaya, terutama dalam konsep-konsep kunci yang tidak mudah diterjemahkan
seperti bissu,
*ure’, atau tenri.5
10.5.
Kajian Gender dan
Representasi Perempuan
Pendekatan
interdisipliner juga meliputi studi gender, terutama dalam
mengkaji bagaimana perempuan ditampilkan dalam narasi La
Galigo. Tokoh seperti We Tenriabeng tidak hanya
tampil sebagai istri pahlawan, tetapi juga sebagai aktor independen dengan
otoritas spiritual dan politik. Perspektif ini membuka wacana baru tentang
posisi perempuan dalam tradisi lisan Asia Tenggara, yang sering kali lebih
kompleks daripada yang diasumsikan dalam kerangka patriarkal sempit.6
10.6.
Dimensi Ekologis dan
Kosmologis
Pendekatan terbaru
terhadap La
Galigo juga menyentuh aspek ekologi budaya dan spiritualitas
lingkungan. Dalam narasi La Galigo, alam tidak diposisikan
sebagai objek eksploitatif, melainkan sebagai entitas kosmis yang memiliki
relasi spiritual dengan manusia. Hal ini membuka kemungkinan untuk membaca La
Galigo dalam kerangka ekokritik, yaitu pendekatan
yang mengkaji relasi antara sastra dan lingkungan hidup.7 Dalam
konteks krisis ekologi global saat ini, kosmologi Bugis yang terjaga dalam La
Galigo menawarkan etika relasional antara manusia dan alam yang
dapat menginspirasi wacana pembangunan berkelanjutan.
10.7.
Sintesis: Dari
Lokalitas ke Universalitas
Kajian
interdisipliner atas La Galigo menunjukkan bahwa epik
ini bukan sekadar artefak budaya lokal, tetapi jendela epistemologis menuju
pemahaman yang lebih dalam tentang manusia, masyarakat, dan semesta. Ia menjadi
titik temu antara sastra dan sejarah, antara etika dan estetika, antara
filsafat hidup dan kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan interdisipliner, La
Galigo dapat dibaca sebagai sumber pengetahuan holistik,
yang merentang dari metafisika hingga ekologi, dari puisi hingga praksis
sosial.
Footnotes
[1]
B.F. Matthes, Boegineesche
Chrestomathie (Amsterdam: Frederik
Muller, 1864), v–viii.
[2]
David Damrosch, What Is World
Literature? (Princeton: Princeton
University Press, 2003), 12–15.
[3]
Joseph Campbell, The Hero with a
Thousand Faces (Princeton: Princeton
University Press, 2004), 23–27.
[4]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–6.
[5]
Achadiati Ikram, Fonologi dan Morfologi
Bahasa Bugis dalam Naskah-Naskah La Galigo (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 44–46.
[6]
Gene Ammarell, “Gender and Myth in Bugis Epic: The Power of We
Tenriabeng,” in Asian Folklore Studies 58, no. 2 (1999): 195–198.
[7]
Greg Garrard, Ecocriticism (London: Routledge, 2004), 93–95.
11.
Penutup
La
Galigo merupakan salah satu mahakarya sastra dunia yang tidak hanya
mencerminkan kejayaan budaya Bugis di masa lampau, tetapi juga menjadi simbol
warisan intelektual yang melampaui batas-batas geografis, linguistik, dan
disiplin keilmuan. Sebagai teks epik yang ditulis dalam bahasa Bugis klasik
dengan aksara Lontaraq, La Galigo merekam kosmologi, sistem
sosial, nilai-nilai etika, dan pengalaman religius masyarakat Bugis pra-Islam
dalam bentuk naratif yang kaya dan puitis.1 Ia tidak hanya
menyampaikan kisah-kisah heroik tokoh mitologis seperti Batara Guru dan
Sawerigading, tetapi juga menghadirkan pandangan dunia yang integral antara
manusia, alam semesta, dan kekuatan adikodrati.
Kajian terhadap La
Galigo mengungkap bahwa karya ini tidak dapat dipahami secara utuh
hanya melalui satu disiplin ilmu. Justru kekuatannya terletak pada kemampuannya
untuk dibaca dan dimaknai melalui pendekatan interdisipliner—melibatkan filologi,
sastra, antropologi, linguistik, studi gender, hingga ekokritik. Pendekatan ini
memperlihatkan bahwa La Galigo adalah teks
total (total text), yakni karya yang
menyimpan lapisan-lapisan pengetahuan lokal sekaligus refleksi filosofis yang
mendalam atas eksistensi manusia dalam relasinya dengan kosmos.2
Pengakuan UNESCO
atas La
Galigo sebagai bagian dari Memory of the World Register pada
tahun 2004 menjadi tonggak penting dalam menempatkannya sebagai warisan budaya
takbenda dunia yang bernilai universal.3 Sejak saat itu, berbagai
bentuk revitalisasi dan adaptasi pun muncul, baik dalam bentuk pertunjukan
teater global seperti I La Galigo oleh Robert Wilson,
maupun dalam media pembelajaran, digitalisasi naskah, hingga adaptasi budaya
populer lokal.4 Representasi ini menunjukkan bahwa La
Galigo bukan hanya dokumen masa lalu, tetapi juga teks hidup yang
terus bertransformasi dan memberikan makna baru dalam konteks zaman modern.
Lebih dari sekadar
warisan literer, La Galigo mengandung potensi
pedagogis dan filosofis yang signifikan bagi pembentukan identitas budaya,
penguatan etika kolektif, dan pemulihan hubungan manusia dengan alam. Dalam
dunia yang semakin terfragmentasi oleh materialisme dan alienasi ekologis,
kosmologi Bugis dalam La Galigo menawarkan alternatif
pandangan hidup yang berbasis pada harmoni, keterhubungan spiritual, dan rasa
hormat terhadap tatanan alam.5
Oleh karena itu,
pelestarian La Galigo tidak boleh dilihat
semata-mata sebagai upaya konservasi artefak budaya, melainkan sebagai bagian
dari proses pemulihan epistemologi lokal
dan afirmasi terhadap pluralitas warisan intelektual dunia. Dalam dunia
akademik, La
Galigo menjadi sumber yang tak ternilai dalam mengkaji bagaimana
narasi, bahasa, dan budaya berkelindan dalam struktur pengetahuan lokal yang
otentik dan relevan.
Footnotes
[1]
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 210–215.
[2]
Nurhayati Rahman, La Galigo dan
Modernitas: Reinterpretasi Teks Bugis Klasik dalam Konteks Kontemporer (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), 102–106.
[3]
UNESCO, “La Galigo Manuscripts,” Memory
of the World Register, 2004, https://en.unesco.org/memory-world.
[4]
Robert Wilson and Rhoda Grauer, I
La Galigo: A Performance Based on the Bugis Epic (Jakarta: Yayasan Bali Purnati, 2004), 8–10.
[5]
Greg Garrard, Ecocriticism (London: Routledge, 2004), 92–94.
Daftar Pustaka
Apter, E. (2013). Against
world literature: On the politics of untranslatability. Verso.
Blust, R. (2009). The
Austronesian languages. Asia-Pacific Linguistics.
Campbell, J. (2004). The
hero with a thousand faces (Commemorative ed.). Princeton
University Press.
Damrosch, D. (2003). What
is world literature? Princeton University Press.
Dinas Kebudayaan Sulawesi
Selatan. (2019). Laporan Festival La Galigo Palopo.
Makassar: Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures: Selected essays. Basic Books.
Garrard, G. (2004). Ecocriticism.
Routledge.
Ikram, A. (1993). Fonologi
dan morfologi bahasa Bugis dalam naskah-naskah La Galigo. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Macknight, C. (1996). The
Bugis script and the transmission of La Galigo. Indonesia
Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 69,
102–105.
Macknight, C. (1996). Law,
custom, and harmony in La Galigo. Indonesia
Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 69,
110–112.
Matthes, B. F. (1864). Boegineesche
chrestomathie. Frederik Muller.
Omar, R. (2009). Orality
and aesthetics in La Galigo: A comparative
study. Archipel, 77, 87–91.
Omar, R. (2009). Value
systems in La Galigo: Between honour and
compassion. Archipel, 77, 88–90.
Paeni, M. (2004). La
Galigo: Warisan dunia dari Sulawesi Selatan. Kompas.
Pelras, C. (1996). The
Bugis. Blackwell Publishers.
Rahim, R. (2021).
Implementasi La Galigo dalam kurikulum
muatan lokal bahasa Bugis. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Daerah,
13(1), 45–47.
Rahman, N. (2015). La
Galigo dan modernitas: Reinterpretasi teks Bugis klasik dalam konteks
kontemporer. Pustaka Refleksi.
Rahman, N. (2016). Bahasa
Bugis dalam perspektif pelestarian: Studi linguistik terhadap teks La
Galigo. Wacana: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra,
18(1), 55–58.
Supanggah, R. (2006). The
musical structure of I La Galigo. Asian
Theatre Journal, 23(2), 198–202.
UNESCO. (2004). La
Galigo Manuscripts. Memory of the World Register. https://en.unesco.org/memory-world
Wilson, R., & Grauer,
R. (2004). I La Galigo: A performance based on the
Bugis epic. Yayasan Bali Purnati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar