Vitalisme
Hakikat Kehidupan sebagai Asas Realitas
Alihkan ke: Aliran
Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji vitalisme sebagai salah satu
aliran utama dalam ontologi yang menempatkan kehidupan sebagai asas
eksistensial yang tidak dapat direduksi pada penjelasan mekanistik atau
materialistik. Melalui telaah historis dan filosofis terhadap gagasan
Aristoteles, Georg Ernst Stahl, Hans Driesch, Henri Bergson, hingga pemikir
kontemporer seperti Rosi Braidotti dan Jane Bennett, vitalisme ditelusuri dari
bentuk klasiknya hingga revitalisasi mutakhirnya dalam wacana filsafat
pascamodern, ekologi, dan posthumanisme. Artikel ini menekankan bahwa vitalisme
bukan hanya teori biologi metafisik, melainkan juga paradigma ontologis yang
mempertanyakan hakikat kehidupan sebagai proses yang holistik, kreatif, dan
dinamis. Di tengah dominasi ilmu pengetahuan modern yang cenderung
reduksionistik, vitalisme menawarkan alternatif konseptual untuk memahami
makhluk hidup sebagai entitas yang memiliki prinsip internal, arah, dan makna
eksistensial. Dengan demikian, vitalisme tetap relevan dalam menjembatani
antara sains, etika, dan keberlanjutan kehidupan di era kontemporer.
Kata Kunci: Vitalisme; Ontologi; Kehidupan; Vital Force;
Posthumanisme; Teleologi; Neo-Vitalisme; Filsafat Eksistensial; Dinamika
Organik.
PEMBAHASAN
Vitalisme dalam Peta Pemikiran Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat ontologi sejak masa Yunani Kuno telah
menyoal hakikat keberadaan (being) dalam seluruh kompleksitasnya,
termasuk pertanyaan fundamental mengenai apa yang menjadikan sesuatu itu hidup.
Di tengah dominasi pandangan materialisme dan mekanisme yang memandang realitas
sebagai sistem yang tunduk pada hukum-hukum fisik yang deterministik, vitalisme
tampil sebagai aliran yang memberikan tempat istimewa bagi prinsip kehidupan
sebagai aspek yang tidak dapat direduksi pada materi belaka. Vitalisme
mengajukan premis bahwa dalam setiap entitas hidup terdapat suatu kekuatan
khas, non-material, yang menjadi asas dan motor penggerak kehidupannya, yang
disebut dengan istilah seperti élan vital, Lebenskraft, atau vital
force.
Pandangan vitalistik ini sudah berakar sejak
filsafat klasik, seperti dalam pemikiran Aristoteles yang memperkenalkan konsep
entelechy (εντελέχεια), yakni prinsip aktualisasi dalam diri makhluk
hidup yang menjadikan mereka memiliki arah dan tujuan internal dalam proses
kehidupannya. Ia menempatkan jiwa (ψυχή, psyche) sebagai bentuk (form)
dari tubuh jasmani, dan bukan sekadar akibat dari proses fisik belaka¹.
Vitalisme kemudian mengalami pengembangan yang signifikan dalam konteks
filsafat dan sains Eropa pada abad ke-17 hingga 19, terutama sebagai respon
terhadap reduksionisme mekanistik yang dipopulerkan oleh filsuf-filsuf seperti
René Descartes dan para ilmuwan Newtonian.
Dalam ranah ontologi, vitalisme menantang paradigma
ontologis yang semata-mata bersandar pada pengamatan empiris dan kalkulasi
mekanis. Ia menawarkan alternatif ontologis yang memandang eksistensi sebagai
sesuatu yang bersifat hidup, dinamis, dan terarah, serta tidak sepenuhnya dapat
dijelaskan oleh sebab-akibat material. Kehidupan dalam pandangan vitalistik
bukanlah produk sampingan dari reaksi kimia semata, melainkan memiliki kualitas
esensial yang melekat dan mandiri, yang disebut sebagai “hakikat vital”.
Dengan berkembangnya sains biologi molekular dan
genetika pada abad ke-20, vitalisme mengalami kemunduran di mata komunitas
ilmiah karena dianggap tidak memenuhi standar penjelasan ilmiah yang dapat
diuji dan diverifikasi². Namun, dalam diskursus filsafat kontemporer, terutama
yang berkaitan dengan etika kehidupan, biopolitik, dan keberlanjutan ekologis,
vitalisme kembali diangkat sebagai pendekatan ontologis yang relevan dalam menghadapi
krisis modernitas yang terlalu menekankan aspek mekanistik dari realitas.
Oleh karena itu, membahas vitalisme dalam konteks
ontologi bukan sekadar meninjau sejarah gagasan yang telah usang, melainkan
menjajaki kembali kemungkinan landasan filosofis bagi pemahaman realitas yang
lebih hidup, spiritual, dan integral. Artikel ini bertujuan untuk mengurai
prinsip-prinsip dasar vitalisme, menelusuri tokoh-tokoh sentral dan kritik
terhadapnya, serta mengkaji relevansinya dalam konteks kontemporer baik secara
filosofis maupun ilmiah.
Footnotes
[1]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith
(Chicago: University of Chicago Press, 1957), Book II, 412a–413b.
[2]
Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism:
Anti-Darwinian Evolution Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1983), 85–91.
2.
Pengertian Vitalisme dalam Ontologi
Secara etimologis, istilah “vitalisme”
berasal dari kata Latin vita yang berarti “kehidupan”. Dalam
konteks filsafat, vitalisme merujuk pada suatu pandangan ontologis yang
menegaskan bahwa kehidupan memiliki prinsip atau kekuatan tersendiri yang tidak
dapat direduksi atau dijelaskan secara memadai melalui mekanisme fisika dan
kimia semata¹. Vitalisme bukan hanya gagasan biologi, melainkan juga suatu
posisi metafisik yang berkaitan dengan hakikat eksistensi makhluk hidup
sebagai sesuatu yang memiliki dinamika dan kekhasan ontologis tersendiri
dibandingkan dengan benda mati.
Dalam kerangka ontologi, vitalisme memposisikan
kehidupan sebagai fondasi realitas yang khas, yaitu sebagai bentuk eksistensi
yang memiliki sifat-sifat seperti intensionalitas, arah internal, kemampuan
memperbarui diri, dan prinsip kesatuan organis. Berbeda dari benda mati yang
pasif dan tidak memiliki arah, makhluk hidup dipandang sebagai entitas yang
aktif dan terstruktur oleh kekuatan hidup yang disebut dengan berbagai istilah
seperti vital force, life-principle, atau élan vital.
Istilah terakhir ini dikembangkan oleh Henri Bergson untuk menjelaskan kekuatan
kreatif non-mekanik yang mendasari evolusi dan dinamika kehidupan².
Vitalisme dalam ranah filsafat berkembang sebagai
respons terhadap dua arus besar pemikiran ontologis: materialisme dan
mekanisme. Materialisme menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk kehidupan,
pada dasarnya terdiri dari materi dan tunduk pada hukum-hukum fisika.
Mekanisme, yang merupakan turunan dari materialisme, mengklaim bahwa seluruh
proses kehidupan hanyalah hasil interaksi mekanis antara unsur-unsur fisik,
seperti halnya mesin yang bekerja berdasarkan prinsip kausalitas deterministik.
Vitalisme menolak pandangan ini dengan mengemukakan bahwa terdapat dimensi
non-material yang menyusun makhluk hidup dan memberi arah pada perkembangan dan
organisasinya³.
Vitalisme tidak sekadar menyatakan bahwa kehidupan
itu unik, tetapi juga bahwa prinsip hidup itu sendiri bersifat primer secara
ontologis—artinya, kehidupan bukanlah akibat dari struktur material, melainkan
justru menjadi sumber kebermaknaan struktur itu. Kehidupan memiliki nilai dan
eksistensi yang tidak dapat diabaikan dalam memahami realitas. Dengan demikian,
vitalisme menempatkan “yang hidup” sebagai pusat penelaahan ontologi,
menjadikan realitas bukan sebagai sekadar kumpulan objek yang diam dan mati,
melainkan sebagai medan yang terus bergerak, berkembang, dan penuh intensi.
Beberapa tokoh filsafat seperti Hans Driesch
menekankan bahwa vitalisme merupakan solusi bagi keterbatasan penjelasan ilmiah
terhadap fenomena kompleks dalam biologi, seperti regenerasi, morfogenesis, dan
teleologi dalam organisme⁴. Pandangan ini juga memberi inspirasi bagi
pendekatan-pendekatan kontemporer dalam filsafat kehidupan dan ekologi yang
menolak penyeragaman dunia ke dalam kerangka fisik yang kering.
Footnotes
[1]
Charles Wolfe, “Vitalism and the Metaphysics of
Life: The Discreet Charm of Eighteenth-Century Vitalism,” Science in Context
24, no. 3 (2011): 423–440.
[2]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans.
Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 92–101.
[3]
Timothy Lenoir, The Strategy of Life: Teleology
and Mechanics in Nineteenth-Century German Biology (Chicago: University of
Chicago Press, 1982), 15–22.
[4]
Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism
(London: Macmillan, 1914), 55–68.
3.
Sejarah dan Tokoh-Tokoh Utama Vitalisme
Vitalisme sebagai
pandangan filosofis memiliki akar sejarah yang panjang, yang membentang dari
filsafat Yunani Kuno hingga diskursus ilmiah dan metafisik pada abad ke-19 dan
20. Meskipun dalam banyak fase mengalami tantangan dari sains empiris modern,
vitalisme tetap memegang peran penting dalam sejarah pemikiran tentang hakikat
kehidupan dan eksistensi.
3.1. Fase Klasik: Aristoteles dan Konsep Jiwa sebagai
Bentuk
Vitalisme dalam
bentuk embrioniknya dapat ditelusuri ke pemikiran Aristoteles (384–322 SM),
khususnya dalam karyanya De Anima. Ia memahami jiwa (ψυχή, psyche)
sebagai bentuk substansial dari makhluk hidup dan bukan sekadar fungsi dari
organ tubuh. Jiwa adalah prinsip penggerak internal yang menjadikan organisme
hidup, tumbuh, dan berkembang⁽¹⁾. Konsep entelechy (ἐντελέχεια)—yakni
aktualisasi potensi dalam arah tertentu—menjadi salah satu fondasi awal gagasan
vitalistik.
3.2. Vitalisme Ilmiah Awal: Georg Ernst Stahl dan Xavier
Bichat
Pada abad ke-17,
Georg Ernst Stahl (1659–1734), seorang dokter dan kimiawan Jerman,
memperkenalkan konsep anima sebagai kekuatan hidup yang
mengatur tubuh secara keseluruhan. Stahl menolak pandangan mekanistik yang
memisahkan tubuh dari prinsip kehidupan dan menegaskan bahwa anima
bukan hanya sebagai jiwa rasional, tetapi sebagai entitas aktif yang
mempertahankan kehidupan⁽²⁾.
Di Prancis, Xavier
Bichat (1771–1802) melanjutkan vitalisme dalam pendekatan empiris, dengan
membedakan antara dua jenis kehidupan: vie animale dan vie
organique. Ia berpendapat bahwa prinsip kehidupan bekerja secara
otonom dalam tubuh dan tidak bergantung semata-mata pada struktur organik⁽³⁾.
Meskipun pendekatannya masih bersifat spekulatif, Bichat berhasil membentuk
landasan bagi biologi modern yang memperlakukan organisme sebagai sistem
kompleks yang terorganisasi secara internal.
3.3. Puncak Vitalisme Modern: Hans Driesch dan Konsep
Enteleki
Tokoh paling
berpengaruh dalam vitalisme modern adalah Hans Driesch (1867–1941), seorang
embriolog dan filsuf Jerman. Dalam eksperimen terhadap embrio landak laut, ia
menunjukkan bahwa setiap sel yang dipisahkan tetap mampu berkembang menjadi
organisme lengkap. Hasil ini menantang determinisme mekanistik dan membawanya
pada kesimpulan bahwa ada “enteleki” yang bekerja sebagai kekuatan
non-material yang mengarahkan perkembangan organisme⁽⁴⁾.
Driesch menolak
pandangan bahwa kehidupan hanyalah akibat dari interaksi mekanik bagian-bagian
tubuh. Ia menyatakan bahwa vitalisme adalah satu-satunya kerangka ontologis
yang dapat menjelaskan fenomena seperti regenerasi dan teleologi biologis
secara utuh. Pandangannya menjadi puncak argumentasi filosofis bahwa kehidupan
adalah entitas otonom dengan hukum internalnya sendiri.
3.4. Henri Bergson dan Élan Vital
Sementara Driesch
menekankan aspek ilmiah dan struktural vitalisme, filsuf Prancis Henri Bergson
(1859–1941) memajukan vitalisme dari sisi metafisis dan intuitif. Dalam
karyanya L’Évolution
créatrice, Bergson memperkenalkan konsep élan
vital, yaitu dorongan hidup yang bersifat kreatif, tak terduga, dan
bersumber dari dalam eksistensi itu sendiri⁽⁵⁾. Baginya, kehidupan tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya melalui konsep-konsep statis atau sebab-akibat fisik,
melainkan harus dipahami melalui intuisi filosofis yang menangkap dinamika
realitas yang terus mengalir.
Konsep élan
vital menjadi salah satu kontribusi paling terkenal dalam sejarah
vitalisme, karena membuka ruang bagi pemahaman kehidupan sebagai gerakan yang
orisinal dan penuh kemungkinan, bukan hanya hasil rekayasa mekanik.
3.5. Kehilangan Dominasi dan Potensi Revitalisasi
Pada abad ke-20,
dominasi paradigma reduksionistik dalam biologi molekular membuat vitalisme
tampak usang dan spekulatif. Namun, dalam beberapa dekade terakhir,
pendekatan-pendekatan seperti biologi sistemik, fenomenologi kehidupan, dan filsafat
ekologi kembali membuka ruang untuk reinterpretasi vitalisme dalam bentuk yang
lebih dinamis dan integratif. Tokoh-tokoh seperti Hans Jonas dan Gilbert
Simondon berupaya menghidupkan kembali semangat vitalisme dalam wacana
kontemporer⁽⁶⁾.
Footnotes
[1]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Chicago: University
of Chicago Press, 1957), Book II, 412a–413b.
[2]
Peter J. Bowler, The Fontana History of the Environmental Sciences
(London: Fontana Press, 1992), 174–175.
[3]
Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans.
Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 80–81.
[4]
Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London:
Macmillan, 1914), 115–130.
[5]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New
York: Henry Holt and Company, 1911), 88–102.
[6]
Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology
(New York: Harper & Row, 1966); Gilbert Simondon, L’individuation à la
lumière des notions de forme et d’information (Grenoble: Éditions Jérôme
Millon, 2005).
4.
Prinsip-Prinsip Ontologis dalam Vitalisme
Vitalisme sebagai
aliran dalam ontologi bertolak dari asumsi dasar bahwa kehidupan bukan sekadar
fenomena fungsional atau hasil interaksi mekanis dari unsur-unsur material,
melainkan entitas realitas yang memiliki struktur dan prinsip eksistensial
tersendiri. Kehidupan dalam vitalisme bukan produk turunan dari materi,
melainkan merupakan dimensi ontologis primer yang memiliki hukum internal dan
kecenderungan inheren. Dari prinsip inilah vitalisme membangun sistem
ontologinya.
4.1. Kehidupan sebagai Entitas Otonom
Salah satu prinsip
utama vitalisme adalah keyakinan bahwa kehidupan bersifat otonom—bukan sekadar
epifenomena dari proses kimia atau fisik. Organisme hidup memiliki kapasitas
untuk mengorganisasi diri, mempertahankan eksistensi, dan mereproduksi, yang
semuanya tidak bisa direduksi menjadi efek samping dari hukum mekanis
semata⁽¹⁾. Dalam kerangka ini, realitas tidak semata-mata dipahami sebagai
kumpulan partikel, melainkan sebagai kesatuan yang dihidupkan oleh kekuatan
internal.
4.2. Prinsip Vital (Vital Force) sebagai Dasar Ontologis
Vitalisme menyatakan
bahwa terdapat “kekuatan vital” atau vital force yang menjadi sumber dan
penggerak kehidupan. Kekuatan ini tidak dapat diobservasi atau diukur seperti
halnya energi fisik, tetapi dapat dikenali melalui gejala hidup seperti
pertumbuhan, regenerasi, dan orientasi menuju tujuan (teleologi). Hans Driesch
menyebut kekuatan ini sebagai entelechy, yakni kekuatan
non-material yang bekerja sebagai penentu arah perkembangan organisme hidup,
dan tidak ditemukan dalam benda mati⁽²⁾.
Prinsip vital ini
menjadi alasan utama mengapa vitalisme menolak penjelasan reduksionis. Vital
force bukan hanya tambahan pada organisme hidup, tetapi merupakan prinsip
ontologis yang membedakan antara kehidupan dan benda mati. Oleh karena itu,
vitalisme menolak pengertian tentang organisme sebagai mesin biologis, dan
lebih memandangnya sebagai kesatuan organis yang hidup secara menyeluruh⁽³⁾.
4.3. Struktur Organik dan Teleologi
Vitalisme juga
menekankan bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang tidak hanya kompleks,
tetapi juga teleologis, yaitu diarahkan menuju tujuan tertentu secara internal.
Setiap bagian organisme tidak bisa dipahami secara terpisah, tetapi sebagai
bagian dari keseluruhan yang diarahkan oleh prinsip hidup tersebut. Dalam hal
ini, organisme tidak hanya tersusun oleh bagian-bagian yang bekerja sama,
tetapi juga oleh suatu kehendak internal untuk mempertahankan dan
menyempurnakan eksistensinya⁽⁴⁾.
Konsepsi ini
bersinggungan erat dengan pemikiran Aristoteles, yang memahami kehidupan bukan
sebagai gerakan mekanik, melainkan sebagai gerak substansial yang berasal dari
dalam. Teleologi dalam vitalisme tidak bersifat eksternal, seperti rancangan
insinyur, tetapi muncul dari dalam eksistensi makhluk hidup itu sendiri⁽⁵⁾.
4.4. Dinamisme dan Evolusi
Bagi vitalis seperti
Henri Bergson, kehidupan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi justru dinamis,
kreatif, dan terus berkembang. Ia memperkenalkan konsep élan
vital sebagai dorongan kreatif yang melampaui logika mekanistik dan
deterministik, serta sebagai kekuatan metafisik yang mendorong evolusi menuju
bentuk-bentuk kehidupan yang lebih kompleks dan berkesadaran⁽⁶⁾.
Di sini, prinsip
ontologis vitalisme tidak hanya menjelaskan kehidupan sebagai kondisi sekarang,
tetapi juga sebagai proses menjadi (becoming), suatu gerakan yang
melampaui bentuk dan struktur menuju kemungkinan yang tak terbatas. Kehidupan
adalah arus realitas yang terus menerus menciptakan dirinya, bukan sistem
tertutup yang tunduk pada hukum universal yang kaku.
4.5. Keutuhan (Holisme) dalam Eksistensi
Vitalisme menolak
atomisme atau pendekatan parsial dalam menjelaskan realitas hidup. Sebaliknya,
ia menekankan prinsip holisme: bahwa makhluk hidup adalah kesatuan yang tidak
dapat dipahami dengan hanya menganalisis bagian-bagiannya. Organisme sebagai
totalitas tidak bisa dijelaskan melalui penguraian ke unsur-unsur kimiawi,
sebab kehidupan itu sendiri muncul dari kesatuan dinamis antarbagian yang
digerakkan oleh prinsip hidup⁽⁷⁾.
Footnotes
[1]
Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans.
Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 92–93.
[2]
Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London:
Macmillan, 1914), 124–135.
[3]
Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian Evolution
Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1983), 86–88.
[4]
Charles Wolfe and Terence Allen, “Vitalism and the Scientific Image: An
Introduction,” Science in Context 24, no. 3 (2011): 397–403.
[5]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Chicago: University
of Chicago Press, 1957), Book II, 415a–417b.
[6]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New
York: Henry Holt and Company, 1911), 93–104.
[7]
F. S. C. Northrop, The Logic of the Sciences and the Humanities
(New York: Macmillan, 1947), 211–215.
5.
Vitalisme vs. Materialisme dan Mekanisme
Dalam sejarah
filsafat dan ilmu pengetahuan, vitalisme sering diposisikan secara antagonistik
terhadap dua pandangan besar yang mendominasi penjelasan tentang kehidupan,
yaitu materialisme
dan mekanisme.
Perdebatan antara vitalisme dan dua pendekatan ini bukan sekadar perbedaan
metodologis, tetapi menyentuh pada level ontologis, yakni tentang apa
hakikat eksistensi makhluk hidup.
5.1. Materialisme: Reduksionisme terhadap Materi
Materialisme
memandang bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya adalah materi dan
proses fisik. Dalam pandangan ini, fenomena kehidupan tidak memiliki status
ontologis khusus, melainkan hanyalah akibat dari konfigurasi atom atau molekul
tertentu yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Julien Offray
de La Mettrie, dalam L’Homme Machine, secara ekstrem
menyamakan manusia dengan mesin yang kompleks, yang beroperasi berdasarkan
hukum-hukum mekanika⁽¹⁾.
Vitalisme menolak
klaim tersebut dengan menegaskan bahwa kehidupan bukan hasil dari pengaturan
materi semata, melainkan berasal dari kekuatan internal yang khas dan tak dapat
direduksi. Kehidupan memiliki kualitas emergen yang tak ditemukan dalam benda
mati—suatu kekuatan yang bersifat non-fisik dan bersifat pengatur, bukan
sekadar reaktif⁽²⁾.
5.2. Mekanisme: Organisme sebagai Mesin
Mekanisme, sebagai
cabang dari materialisme, memandang bahwa organisme hidup dapat dijelaskan
seperti halnya mesin: bagian-bagian bekerja secara deterministik menurut hukum
kausal. René Descartes adalah tokoh awal pendekatan ini, yang dalam Traité
de l’homme menyatakan bahwa tubuh hewan dan manusia adalah mesin
biologis yang digerakkan oleh interaksi antara bagian-bagian fisik⁽³⁾. Dalam
kerangka ini, fungsi vital seperti denyut jantung, pencernaan, atau persepsi
dianggap sebagai hasil otomatis dari gerak mekanik, tanpa melibatkan prinsip
hidup yang independen.
Vitalisme secara
tajam mengkritik pendekatan ini karena gagal menjelaskan ciri khas kehidupan
seperti regenerasi, pertumbuhan, dan teleologi internal. Hans Driesch
menunjukkan bahwa eksperimen biologis tidak dapat dijelaskan secara memadai
dengan asumsi mekanistik. Ketika embrio hewan laut dibelah, kedua bagian tetap
dapat berkembang menjadi individu utuh, menunjukkan bahwa tidak ada cetak biru
yang tersimpan secara mekanik di bagian tertentu saja⁽⁴⁾.
5.3. Perbedaan Ontologis: Kehidupan sebagai Proses
versus Sistem Tertutup
Perbedaan paling
mendasar antara vitalisme dengan materialisme dan mekanisme terletak pada
bagaimana ontologi kehidupan dipahami.
Materialisme dan mekanisme memperlakukan kehidupan sebagai sistem
tertutup yang tunduk pada hukum universal fisika, tanpa arah
atau makna intrinsik. Sementara itu, vitalisme memandang kehidupan sebagai proses
terbuka yang bersifat kreatif, penuh dinamika, dan diarahkan
dari dalam oleh prinsip vital.
Henri Bergson
menekankan bahwa kehidupan tidak dapat dijelaskan melalui pengulangan gerak dan
struktur, karena pada dasarnya ia adalah proses penciptaan bentuk-bentuk
baru—sebuah “gerak vital” yang tidak bisa dijelaskan melalui hukum
kekekalan energi atau gerak lurus kausalitas⁽⁵⁾. Élan vital sebagai metafora
kekuatan hidup menjadi simbol bahwa eksistensi tidak dapat dikalkulasi
sepenuhnya dalam kerangka fisik dan matematis.
5.4. Kritik Vitalisme terhadap Reduksionisme
Vitalisme juga
memberikan kritik filosofis terhadap reduksionisme, yakni kecenderungan untuk
menjelaskan keseluruhan berdasarkan bagian-bagiannya. Bagi vitalisme,
reduksionisme mengabaikan sifat emergen dan holistik dari organisme hidup.
Georges Canguilhem menyatakan bahwa “kesehatan, kehidupan, dan patologi”
tidak dapat dijelaskan hanya dengan parameter fisik, karena mereka melibatkan
makna, nilai, dan konteks dalam sistem biologis⁽⁶⁾.
Dalam konteks ini,
vitalisme tidak hanya menolak reduksionisme sebagai strategi ilmiah, tetapi
juga mengusulkan bahwa pemahaman sejati tentang kehidupan harus
mempertimbangkan aspek nilai, tujuan, dan intensionalitas
yang inheren dalam makhluk hidup—sesuatu yang tidak dapat didekati dengan
paradigma mekanistik belaka.
5.5. Implikasi Filsafat: Keberagaman Metafisika
Kehidupan
Konflik antara
vitalisme dan materialisme/mekanisme menunjukkan bahwa filsafat kehidupan bukan
hanya persoalan ilmiah, tetapi juga metafisik. Vitalisme membuka kemungkinan
adanya pluralisme
ontologis, yakni bahwa kehidupan tidak bisa dijelaskan hanya
dengan satu model eksistensial tunggal. Sebaliknya, kehidupan mungkin menuntut
kita untuk menerima bahwa realitas terdiri dari berbagai lapisan: materi, bentuk,
tujuan, dan daya hidup yang saling berkelindan.
Footnotes
[1]
Julien Offray de La Mettrie, Man a Machine, trans. Ann Thomson
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–29.
[2]
Charles Wolfe, “Vitalism and the Metaphysics of Life: The Discreet
Charm of Eighteenth-Century Vitalism,” Science in Context 24, no. 3
(2011): 427–430.
[3]
René Descartes, Treatise of Man, trans. Thomas Steele Hall
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 99–104.
[4]
Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London:
Macmillan, 1914), 135–141.
[5]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New
York: Henry Holt and Company, 1911), 105–115.
[6]
Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans.
Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 118–120.
6.
Vitalisme dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Vitalisme, meskipun
sering diposisikan sebagai lawan dari pendekatan ilmiah reduksionistik,
memainkan peran penting dalam perkembangan awal biologi dan ilmu kehidupan.
Sebelum sains modern mengembangkan metodologi eksperimental yang dapat mengukur
aktivitas seluler dan biokimia secara presisi, vitalisme menyediakan kerangka
filosofis dan spekulatif yang memungkinkan pemahaman awal terhadap dinamika
kehidupan. Hubungan antara vitalisme dan sains bersifat dialektis: vitalisme
sering menjadi dorongan awal untuk eksplorasi ilmiah, sekaligus juga menjadi
sasaran kritik ketika paradigma ilmiah bergerak ke arah empirisisme dan
mekanisme.
6.1. Vitalisme sebagai Fondasi Biologi Pra-Molekular
Pada abad ke-18 dan
19, vitalisme memberikan kontribusi signifikan terhadap lahirnya biologi
sebagai disiplin ilmiah yang otonom dari fisika dan kimia. Tokoh-tokoh seperti
Xavier Bichat dan Johannes Müller berargumen bahwa proses-proses hidup tidak
dapat dipahami hanya dengan prinsip-prinsip fisika, melainkan memerlukan
pendekatan yang memperhatikan kekhasan fungsi biologis dan organisasi
organisme⁽¹⁾. Vitalisme mendorong pengamatan dan eksperimen terhadap makhluk
hidup bukan sekadar sebagai objek mekanik, tetapi sebagai entitas yang memiliki
regulasi dan dinamika internal.
Johannes Reinke,
seorang ahli botani Jerman, bahkan menggunakan istilah neo-vitalisme
untuk menunjukkan bahwa kehidupan tidak mungkin dijelaskan sepenuhnya melalui
sebab fisik, dan bahwa faktor ideatif turut mengarahkan proses hidup⁽²⁾. Dalam
kerangka ini, vitalisme berperan sebagai prinsip metodologis yang menegaskan
keunikan makhluk hidup dan perlunya pendekatan holistik dalam studi biologi.
6.2. Kontribusi terhadap Eksperimen dan Observasi
Vitalisme juga
mendorong pelaksanaan berbagai eksperimen biologis untuk mengamati fenomena
hidup yang tak bisa dijelaskan dengan hukum mekanika klasik. Hans Driesch,
dalam eksperimennya terhadap embrio landak laut, menunjukkan bahwa pembelahan
sel tidak menghentikan proses perkembangan individu utuh, melainkan justru
membuktikan adanya prinsip non-material yang mengatur arah pertumbuhan⁽³⁾.
Eksperimen ini menjadi dasar bagi kritik terhadap determinisme genetik awal dan
membuka pertanyaan filosofis tentang penyebab teleologis dalam organisme.
Vitalisme, meskipun
bukan teori ilmiah dalam arti kontemporer, telah menjadi inspirasi bagi metode
penelitian yang menolak simplifikasi kehidupan sebagai rangkaian reaksi kimia.
Dengan menekankan organisasi, integrasi, dan arah internal dalam organisme,
vitalisme menjadi cikal bakal pemikiran sistemik dalam biologi dan kedokteran.
6.3. Kemunduran dalam Era Biologi Molekular
Dengan munculnya
biologi molekular pada pertengahan abad ke-20, vitalisme mulai kehilangan
pengaruhnya dalam komunitas ilmiah. Penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick
pada tahun 1953 serta berkembangnya teknik-teknik biokimia menjadikan kehidupan
tampak dapat dipetakan, dikodekan, dan direkayasa⁽⁴⁾. Reduksionisme menjadi
paradigma dominan, dan vitalisme dianggap tidak ilmiah karena tidak menawarkan
hipotesis yang dapat diuji secara empiris.
Namun, kritik
terhadap reduksionisme juga mulai berkembang dari dalam sains itu sendiri.
Misalnya, biologi sistemik dan epigenetika mulai menekankan pentingnya hubungan
antarbagian dalam sistem hidup yang tidak bisa dijelaskan dari sekadar gen dan
molekul. Ini membuka kembali ruang bagi pendekatan yang mempertimbangkan
kompleksitas holistik—sebuah warisan yang dapat ditelusuri ke vitalisme klasik.
6.4. Reaktualisasi Vitalisme dalam Sains Kontemporer
Dalam beberapa
dekade terakhir, terdapat upaya reaktualisasi pemikiran vitalistik dalam bentuk
pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, biologi sistemik, dan
studi kompleksitas. Hans Jonas, misalnya, dalam The Phenomenon of Life
mengembangkan apa yang ia sebut sebagai philosophical biology, yakni
pendekatan yang menggabungkan kedalaman eksistensial dengan struktur
biologis⁽⁵⁾. Pendekatan ini menolak baik reduksionisme biologis maupun
spekulasi metafisika murni, dan menawarkan jalan tengah yang mempertimbangkan
pengalaman organisme sebagai subjek hidup.
Selain itu, filsuf
kontemporer seperti Gilbert Simondon mengembangkan teori individuasi yang
menekankan bahwa kehidupan merupakan proses pembentukan bentuk yang bersifat
dinamis dan relasional, bukan entitas yang dapat diklasifikasikan secara
statis⁽⁶⁾. Pendekatan ini beresonansi kuat dengan intuisi vitalisme mengenai
kehidupan sebagai gerak, kreativitas, dan integrasi.
Footnotes
[1]
William Coleman, Biology in the Nineteenth Century: Problems of
Form, Function and Transformation (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), 52–58.
[2]
Charles Wolfe, “Neo-vitalism and the Problem of Regulation in Biology,”
Science in Context 24, no. 3 (2011): 403–408.
[3]
Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London:
Macmillan, 1914), 131–136.
[4]
James D. Watson, The Double Helix: A Personal Account of the
Discovery of the Structure of DNA (New York: Simon and Schuster, 1968),
112–118.
[5]
Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology
(New York: Harper & Row, 1966), 1–15.
[6]
Gilbert Simondon, L’individuation à la lumière des notions de forme
et d’information (Grenoble: Éditions Jérôme Millon, 2005), 23–31.
7.
Relevansi Vitalisme dalam Wacana Filsafat
Kontemporer
Meskipun vitalisme
sempat mengalami delegitimasi dalam dunia sains modern akibat dominasi biologi
molekular dan pendekatan reduksionistik, aliran ini telah mengalami
revitalisasi dalam berbagai wacana filsafat kontemporer. Dalam konteks
kekinian, vitalisme tidak lagi dipandang sebagai teori biologi metafisik yang
usang, tetapi sebagai kerangka konseptual yang relevan untuk memahami kehidupan
secara utuh, terutama dalam menghadapi krisis ekologis, perkembangan teknologi
kehidupan, dan dinamika eksistensial manusia pascamodern.
7.1. Vitalisme Baru dan Kritik terhadap Reduksionisme
Apa yang sering
disebut sebagai neo-vitalisme atau vitalisme
baru (new vitalism) muncul sebagai reaksi terhadap batas-batas
penjelasan saintifik yang terlalu sempit dalam memahami kehidupan. Charles
Wolfe mencatat bahwa vitalisme baru bukanlah upaya untuk menghidupkan kembali
vital force dalam bentuk klasiknya, tetapi untuk menegaskan bahwa kehidupan
memiliki dimensi keutuhan, spontanitas, dan kompleksitas yang tidak dapat
direduksi sepenuhnya ke hukum fisika⁽¹⁾. Vitalisme kontemporer bersekutu dengan
pendekatan sistemik, biologi kompleksitas, dan fenomenologi dalam menawarkan
model realitas yang dinamis dan terbuka.
7.2. Vitalisme dan Posthumanisme
Dalam pemikiran
posthumanisme, vitalisme memainkan peran penting dalam membongkar dikotomi lama
antara manusia dan non-manusia. Filsuf seperti Rosi Braidotti mengembangkan
konsep vitalisme afirmatif (affirmative vitalism), yaitu
pendekatan yang melihat kehidupan sebagai kekuatan produktif yang melampaui
batas-batas spesies, identitas, dan struktur sosial⁽²⁾. Dalam kerangka ini,
vitalisme menjadi landasan bagi etika baru yang berbasis pada keterhubungan dan
keberlanjutan antar bentuk kehidupan, melampaui humanisme antropocentris.
Braidotti menekankan
bahwa vitalisme memungkinkan kita untuk memahami keberadaan sebagai kekuatan
yang terus menjadi, bukan sebagai esensi yang tertutup. Pandangan ini mendukung
keberagaman bentuk kehidupan dan pengalaman sebagai manifestasi dari daya hidup
yang terus bertransformasi.
7.3. Vitalisme dalam Ekofilsafat dan Filsafat Lingkungan
Wacana lingkungan
hidup dan ekofilsafat juga mendapat dorongan penting dari kebangkitan
vitalisme. Dalam menghadapi degradasi ekologi global, pendekatan vitalistik
mengusulkan bahwa alam tidak boleh dilihat sebagai objek mati yang dapat
dieksploitasi, melainkan sebagai sistem hidup yang memiliki daya internal.
Tokoh seperti Jane Bennett mengembangkan vital materialism, yakni suatu
bentuk filsafat materialisme yang tetap mengakui kekuatan aktif dalam materi
dan fenomena alam⁽³⁾.
Bennett menyatakan
bahwa benda-benda bukanlah entitas pasif, melainkan bagian dari jaringan agensi
material yang hidup. Dalam konteks ini, vitalisme memberikan dasar ontologis
untuk membangun kembali hubungan manusia dengan alam secara etis dan
spiritual—sebuah hubungan yang sebelumnya telah dirusak oleh logika mekanistik
dan kapitalistik.
7.4. Vitalisme dan Teknologi Kehidupan
Relevansi vitalisme
juga mencuat dalam diskusi filsafat ilmu dan bioetika, terutama dalam
menanggapi perkembangan teknologi kehidupan seperti rekayasa genetika, kloning,
dan kecerdasan buatan. Dalam situasi di mana kehidupan semakin bisa
dimanipulasi dan direkayasa secara artifisial, vitalisme menawarkan peringatan
filosofis tentang makna dan batas kehidupan⁽⁴⁾.
Hans Jonas,
misalnya, menegaskan bahwa manipulasi kehidupan tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai intrinsik dari eksistensi biologis bisa mengarah pada dehumanisasi
dan dekontekstualisasi kehidupan dari makna ontologisnya⁽⁵⁾. Vitalisme dalam
hal ini menjadi benteng reflektif terhadap penyalahgunaan teknologi yang
berangkat dari asumsi bahwa kehidupan hanyalah objek teknis.
7.5. Vitalisme sebagai Paradigma Eksistensial
Di luar sains dan
teknologi, vitalisme kontemporer juga memiliki peran signifikan dalam ranah
filsafat eksistensial. Kehidupan sebagai kekuatan yang terus bergerak dan
mencipta dipahami sebagai fondasi untuk merumuskan kebermaknaan eksistensi
manusia dalam dunia yang tidak lagi stabil dan homogen. Vitalisme tidak hanya
mengajak berpikir tentang apa itu hidup, tetapi juga bagaimana
seharusnya kita hidup di tengah dunia yang kompleks dan saling
terhubung.
Footnotes
[1]
Charles T. Wolfe, “Vitalism and Its Discontents: Between Being and
Becoming,” Theories of Life and the Problem of Reduction, ed. Jean
Gayon and Philippe Huneman (Dordrecht: Springer, 2007), 245–260.
[2]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
190–204.
[3]
Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political Ecology of Things
(Durham: Duke University Press, 2010), 1–19.
[4]
Eugene Thacker, After Life (Chicago: University of Chicago
Press, 2010), 54–67.
[5]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 5–15.
8.
Kritik dan Evaluasi terhadap Vitalisme
Meskipun vitalisme
memiliki kontribusi penting dalam sejarah pemikiran tentang kehidupan dan
keberadaan, pandangan ini tidak lepas dari berbagai kritik, baik dari kalangan
ilmuwan, filsuf, maupun praktisi bioetika. Kritik-kritik tersebut umumnya
ditujukan pada aspek non-empiris, dogmatis,
dan kurangnya
daya prediktif dari vitalisme klasik. Namun, dalam evaluasi
kontemporer, sebagian filsuf dan ilmuwan justru menilai bahwa vitalisme masih
menyimpan potensi filosofis yang penting, terutama dalam menghadapi
keterbatasan model reduksionistik.
8.1. Kritik dari Ilmu Pengetahuan Positivistik
Kritik utama
terhadap vitalisme datang dari sains empiris yang mengutamakan falsifiabilitas
dan observabilitas
sebagai kriteria keilmiahan. Vitalisme dianggap mengajukan konsep seperti vital
force atau élan vital yang tidak dapat diuji
secara empiris, dan karenanya berada di luar ranah sains⁽¹⁾. Para ilmuwan
seperti Claude Bernard dan Hermann von Helmholtz menolak vitalisme karena tidak
mampu menjelaskan fenomena kehidupan dalam kerangka hukum-hukum fisika dan
kimia yang dapat diverifikasi⁽²⁾.
Di era biologi
molekular, keberhasilan menjelaskan proses kehidupan dalam istilah genetik dan
biokimia dianggap sebagai pukulan telak terhadap vitalisme. Dengan ditemukannya
struktur DNA dan mekanisme replikasi gen, banyak ilmuwan beranggapan bahwa
kehidupan tak lagi membutuhkan “prinsip vital” untuk dipahami.
8.2. Tuduhan Spekulatif dan Mistifikasi
Vitalisme juga
dikritik karena cenderung bersifat spekulatif dan metaforis, tanpa
landasan teoritis yang kokoh. Konsep seperti entelechy milik Hans Driesch atau élan
vital milik Bergson dianggap terlalu kabur dan tidak menawarkan
penjelasan yang operasional. Pandangan ini dicurigai sebagai bentuk mistifikasi
ilmiah, yaitu mengisi kekosongan pengetahuan dengan entitas
non-materi yang tak terukur, seperti “jiwa kehidupan” atau “energi
hidup”⁽³⁾.
Karl Popper, dalam
kritik epistemologisnya, menyebut bahwa teori seperti vitalisme tidak dapat
dibuktikan salah (non-falsifiable), dan karena itu
berada di luar batas wacana ilmiah yang rasional⁽⁴⁾. Ia menyamakan vitalisme
dengan astrologi atau psikoanalisis freudian yang menurutnya tidak dapat diuji
oleh eksperimen yang tegas.
8.3. Evaluasi Filosofis: Antara Metafisika dan Biologi
Meskipun dikritik
dari segi ilmiah, vitalisme tetap dipandang bernilai dalam dimensi filosofis.
Filsuf seperti Georges Canguilhem dan Hans Jonas menyarankan agar vitalisme
tidak dipahami sebagai teori ilmiah konvensional, melainkan sebagai kerangka
ontologis yang mempertanyakan makna kehidupan itu sendiri⁽⁵⁾.
Vitalisme tidak bertujuan untuk menjelaskan mekanisme, melainkan untuk memahami
keunikan eksistensial makhluk hidup sebagai entitas yang mengalami, merespons,
dan memiliki arah.
Dalam konteks ini,
vitalisme menjadi semacam kritik terhadap objektivisme sains yang terlalu
mengabaikan aspek subjektivitas dan keutuhan makhluk hidup. Canguilhem,
misalnya, menekankan bahwa konsep seperti “normal” dan “patologis”
tidak bisa dijelaskan semata-mata secara statistik, melainkan melibatkan
pemaknaan internal organisme terhadap lingkungannya⁽⁶⁾.
8.4. Rehabilitasi dalam Wacana Posthumanisme dan Ekologi
Vitalisme
kontemporer, dalam bentuk new vitalism atau vital
materialism, mulai dilihat sebagai sumber inspirasi untuk
menjembatani antara sains, etika, dan politik kehidupan. Filsuf seperti Rosi
Braidotti dan Jane Bennett tidak menggunakan vitalisme untuk menggantikan
sains, melainkan untuk memperluas horizon pemahaman terhadap makhluk hidup,
termasuk benda-benda, lingkungan, dan teknologi sebagai bagian dari jaringan
vitalitas yang saling terkait⁽⁷⁾.
Evaluasi ini
menunjukkan bahwa vitalisme dapat direhabilitasi bukan sebagai teori ilmiah
yang bersaing dengan biologi molekular, tetapi sebagai paradigma metafisik dan
eksistensial yang menekankan keberadaan sebagai proses yang kreatif, kompleks,
dan terbuka. Dalam dunia yang menghadapi tantangan ekologis dan eksistensial
yang mendalam, vitalisme menawarkan alternatif filosofis untuk membayangkan
kehidupan yang lebih utuh dan bernilai.
Footnotes
[1]
Ernst Mayr, The Growth of Biological Thought: Diversity, Evolution,
and Inheritance (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 43–44.
[2]
Timothy Lenoir, The Strategy of Life: Teleology and Mechanics in
Nineteenth-Century German Biology (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 98–103.
[3]
Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian Evolution
Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1983), 86–91.
[4]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (New York: Routledge, 2002), 45–47.
[5]
Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology
(New York: Harper & Row, 1966), 1–18.
[6]
Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans.
Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 128–130.
[7]
Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political Ecology of Things
(Durham: Duke University Press, 2010), 19–25.
9.
Kesimpulan
Vitalisme, dalam kerangka ontologi, tampil sebagai
pandangan filosofis yang menegaskan bahwa kehidupan bukanlah hasil sampingan
dari proses mekanistik atau reaksi kimia belaka, melainkan merupakan aspek eksistensial
yang otonom dan fundamental. Dengan menempatkan kehidupan sebagai pusat
realitas, vitalisme menolak reduksionisme materialistik dan menawarkan
pemahaman alternatif yang lebih integral, dinamis, dan teleologis terhadap
makhluk hidup.
Sejak masa Aristoteles hingga puncaknya dalam
pemikiran Hans Driesch dan Henri Bergson, vitalisme mengusung ide bahwa
organisme hidup memiliki prinsip internal yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya
oleh sains positif. Konsep-konsep seperti entelechy dan élan vital
mencerminkan usaha untuk menangkap kekuatan non-material yang menjadi penggerak
kehidupan⁽¹⁾. Meskipun pada abad ke-20 vitalisme mendapat kritik keras dari
kalangan ilmiah karena dianggap tidak empiris dan tidak dapat difalsifikasi⁽²⁾,
pandangan ini tetap menyimpan nilai filosofis yang tak tergantikan.
Dalam perkembangan filsafat kontemporer, vitalisme
mengalami transformasi menjadi neo-vitalisme, yang tidak lagi berbicara
tentang “kekuatan hidup” secara metafisis semata, melainkan tentang
keterbukaan, spontanitas, dan kompleksitas kehidupan yang tidak dapat direduksi
ke dalam model matematis atau biologis yang statis. Pendekatan ini tampak jelas
dalam karya-karya Rosi Braidotti tentang posthumanisme, maupun dalam gagasan
Jane Bennett tentang vital materialism, yang berupaya menjembatani
antara ontologi, ekologi, dan etika kehidupan⁽³⁾.
Vitalisme juga berperan sebagai kritik terhadap
paradigma dominan dalam ilmu pengetahuan modern yang cenderung objektivis dan
mekanistik. Sebagai kerangka reflektif, vitalisme mengingatkan bahwa kehidupan
tidak hanya terdiri dari bagian-bagian yang tersusun rapi, tetapi adalah proses
yang bersifat emergen, penuh makna, dan terarah. Dalam hal ini, vitalisme
menolak dikotomi antara “objek ilmiah” dan “subjek hidup”, dan
mengusulkan bahwa makhluk hidup dipahami sebagai kesatuan organis yang memiliki
intensionalitas dan nilai⁽⁴⁾.
Secara keseluruhan, vitalisme dalam ontologi tidak
sekadar menyumbang teori alternatif tentang hakikat kehidupan, tetapi juga
membuka kembali ruang perenungan filosofis yang bersifat eksistensial dan etis.
Di tengah tantangan krisis lingkungan, kemajuan teknologi biologis, dan
kekaburan makna hidup dalam masyarakat pascamodern, vitalisme menawarkan
landasan ontologis untuk memikirkan kembali relasi manusia dengan kehidupan
secara lebih bijak dan holistik.
Footnotes
[1]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans.
Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 93–104; Hans Driesch,
The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 131–136.
[2]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 45–47.
[3]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 190–204; Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political
Ecology of Things (Durham: Duke University Press, 2010), 1–19.
[4]
Georges Canguilhem, The Normal and the
Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991),
118–120; Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology
(New York: Harper & Row, 1966), 1–15.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1957). De
Anima (J. A. Smith, Trans.). University of Chicago Press. (Original work
published ca. 350 B.C.E.)
Bennett, J. (2010). Vibrant
matter: A political ecology of things. Duke University Press.
Bergson, H. (1911). Creative
evolution (A. Mitchell, Trans.). Henry Holt and Company. (Original work
published 1907)
Bichat, X. (1996). In C.
Wolfe (Ed.), Vitalism and its discontents. Springer.
Bowler, P. J. (1983). The
eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian evolution theories in the decades around
1900. Johns Hopkins University Press.
Bowler, P. J. (1992). The
Fontana history of the environmental sciences. Fontana Press.
Braidotti, R. (2013). The
posthuman. Polity Press.
Canguilhem, G. (1991). The
normal and the pathological (C. R. Fawcett, Trans.). Zone Books. (Original
work published 1943)
Coleman, W. (1971). Biology
in the nineteenth century: Problems of form, function and transformation.
Cambridge University Press.
Descartes, R. (1972). Treatise
of man (T. S. Hall, Trans.). Harvard University Press. (Original work
published 1664)
Driesch, H. (1914). The
history and theory of vitalism. Macmillan.
Jonas, H. (1966). The
phenomenon of life: Toward a philosophical biology. Harper & Row.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age
(H. Jonas, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1979)
La Mettrie, J. O. (1996). Man
a machine (A. Thomson, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1747)
Lenoir, T. (1982). The
strategy of life: Teleology and mechanics in nineteenth-century German biology.
University of Chicago Press.
Mayr, E. (1982). The
growth of biological thought: Diversity, evolution, and inheritance.
Harvard University Press.
Northrop, F. S. C. (1947). The
logic of the sciences and the humanities. Macmillan.
Popper, K. (2002). Conjectures
and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge. (Original
work published 1963)
Reinke, J. (1901). In C.
Wolfe (Ed.), Vitalism and the metaphysics of life. Springer.
Simondon, G. (2005). L’individuation
à la lumière des notions de forme et d’information. Éditions Jérôme
Millon. (Original work published 1958)
Thacker, E. (2010). After
life. University of Chicago Press.
Watson, J. D. (1968). The
double helix: A personal account of the discovery of the structure of DNA.
Simon and Schuster.
Wolfe, C. (2011).
Neo-vitalism and the problem of regulation in biology. Science in Context,
24(3), 403–418. https://doi.org/10.1017/S0269889711000121
Wolfe, C., & Allen, T.
(2011). Vitalism and the scientific image: An introduction. Science in
Context, 24(3), 397–403. https://doi.org/10.1017/S026988971100011X
Wolfe, C. T. (2007).
Vitalism and its discontents: Between being and becoming. In J. Gayon & P.
Huneman (Eds.), Theories of life and the problem of reduction (pp.
245–260). Springer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar