Kamis, 12 Juni 2025

Vitalisme: Hakikat Kehidupan sebagai Asas Realitas

Vitalisme

Hakikat Kehidupan sebagai Asas Realitas


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji vitalisme sebagai salah satu aliran utama dalam ontologi yang menempatkan kehidupan sebagai asas eksistensial yang tidak dapat direduksi pada penjelasan mekanistik atau materialistik. Melalui telaah historis dan filosofis terhadap gagasan Aristoteles, Georg Ernst Stahl, Hans Driesch, Henri Bergson, hingga pemikir kontemporer seperti Rosi Braidotti dan Jane Bennett, vitalisme ditelusuri dari bentuk klasiknya hingga revitalisasi mutakhirnya dalam wacana filsafat pascamodern, ekologi, dan posthumanisme. Artikel ini menekankan bahwa vitalisme bukan hanya teori biologi metafisik, melainkan juga paradigma ontologis yang mempertanyakan hakikat kehidupan sebagai proses yang holistik, kreatif, dan dinamis. Di tengah dominasi ilmu pengetahuan modern yang cenderung reduksionistik, vitalisme menawarkan alternatif konseptual untuk memahami makhluk hidup sebagai entitas yang memiliki prinsip internal, arah, dan makna eksistensial. Dengan demikian, vitalisme tetap relevan dalam menjembatani antara sains, etika, dan keberlanjutan kehidupan di era kontemporer.

Kata Kunci: Vitalisme; Ontologi; Kehidupan; Vital Force; Posthumanisme; Teleologi; Neo-Vitalisme; Filsafat Eksistensial; Dinamika Organik.


PEMBAHASAN

Vitalisme dalam Peta Pemikiran Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat ontologi sejak masa Yunani Kuno telah menyoal hakikat keberadaan (being) dalam seluruh kompleksitasnya, termasuk pertanyaan fundamental mengenai apa yang menjadikan sesuatu itu hidup. Di tengah dominasi pandangan materialisme dan mekanisme yang memandang realitas sebagai sistem yang tunduk pada hukum-hukum fisik yang deterministik, vitalisme tampil sebagai aliran yang memberikan tempat istimewa bagi prinsip kehidupan sebagai aspek yang tidak dapat direduksi pada materi belaka. Vitalisme mengajukan premis bahwa dalam setiap entitas hidup terdapat suatu kekuatan khas, non-material, yang menjadi asas dan motor penggerak kehidupannya, yang disebut dengan istilah seperti élan vital, Lebenskraft, atau vital force.

Pandangan vitalistik ini sudah berakar sejak filsafat klasik, seperti dalam pemikiran Aristoteles yang memperkenalkan konsep entelechy (εντελέχεια), yakni prinsip aktualisasi dalam diri makhluk hidup yang menjadikan mereka memiliki arah dan tujuan internal dalam proses kehidupannya. Ia menempatkan jiwa (ψυχή, psyche) sebagai bentuk (form) dari tubuh jasmani, dan bukan sekadar akibat dari proses fisik belaka¹. Vitalisme kemudian mengalami pengembangan yang signifikan dalam konteks filsafat dan sains Eropa pada abad ke-17 hingga 19, terutama sebagai respon terhadap reduksionisme mekanistik yang dipopulerkan oleh filsuf-filsuf seperti René Descartes dan para ilmuwan Newtonian.

Dalam ranah ontologi, vitalisme menantang paradigma ontologis yang semata-mata bersandar pada pengamatan empiris dan kalkulasi mekanis. Ia menawarkan alternatif ontologis yang memandang eksistensi sebagai sesuatu yang bersifat hidup, dinamis, dan terarah, serta tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh sebab-akibat material. Kehidupan dalam pandangan vitalistik bukanlah produk sampingan dari reaksi kimia semata, melainkan memiliki kualitas esensial yang melekat dan mandiri, yang disebut sebagai “hakikat vital”.

Dengan berkembangnya sains biologi molekular dan genetika pada abad ke-20, vitalisme mengalami kemunduran di mata komunitas ilmiah karena dianggap tidak memenuhi standar penjelasan ilmiah yang dapat diuji dan diverifikasi². Namun, dalam diskursus filsafat kontemporer, terutama yang berkaitan dengan etika kehidupan, biopolitik, dan keberlanjutan ekologis, vitalisme kembali diangkat sebagai pendekatan ontologis yang relevan dalam menghadapi krisis modernitas yang terlalu menekankan aspek mekanistik dari realitas.

Oleh karena itu, membahas vitalisme dalam konteks ontologi bukan sekadar meninjau sejarah gagasan yang telah usang, melainkan menjajaki kembali kemungkinan landasan filosofis bagi pemahaman realitas yang lebih hidup, spiritual, dan integral. Artikel ini bertujuan untuk mengurai prinsip-prinsip dasar vitalisme, menelusuri tokoh-tokoh sentral dan kritik terhadapnya, serta mengkaji relevansinya dalam konteks kontemporer baik secara filosofis maupun ilmiah.


Footnotes

[1]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Chicago: University of Chicago Press, 1957), Book II, 412a–413b.

[2]                Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian Evolution Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983), 85–91.


2.           Pengertian Vitalisme dalam Ontologi

Secara etimologis, istilah “vitalisme” berasal dari kata Latin vita yang berarti “kehidupan”. Dalam konteks filsafat, vitalisme merujuk pada suatu pandangan ontologis yang menegaskan bahwa kehidupan memiliki prinsip atau kekuatan tersendiri yang tidak dapat direduksi atau dijelaskan secara memadai melalui mekanisme fisika dan kimia semata¹. Vitalisme bukan hanya gagasan biologi, melainkan juga suatu posisi metafisik yang berkaitan dengan hakikat eksistensi makhluk hidup sebagai sesuatu yang memiliki dinamika dan kekhasan ontologis tersendiri dibandingkan dengan benda mati.

Dalam kerangka ontologi, vitalisme memposisikan kehidupan sebagai fondasi realitas yang khas, yaitu sebagai bentuk eksistensi yang memiliki sifat-sifat seperti intensionalitas, arah internal, kemampuan memperbarui diri, dan prinsip kesatuan organis. Berbeda dari benda mati yang pasif dan tidak memiliki arah, makhluk hidup dipandang sebagai entitas yang aktif dan terstruktur oleh kekuatan hidup yang disebut dengan berbagai istilah seperti vital force, life-principle, atau élan vital. Istilah terakhir ini dikembangkan oleh Henri Bergson untuk menjelaskan kekuatan kreatif non-mekanik yang mendasari evolusi dan dinamika kehidupan².

Vitalisme dalam ranah filsafat berkembang sebagai respons terhadap dua arus besar pemikiran ontologis: materialisme dan mekanisme. Materialisme menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk kehidupan, pada dasarnya terdiri dari materi dan tunduk pada hukum-hukum fisika. Mekanisme, yang merupakan turunan dari materialisme, mengklaim bahwa seluruh proses kehidupan hanyalah hasil interaksi mekanis antara unsur-unsur fisik, seperti halnya mesin yang bekerja berdasarkan prinsip kausalitas deterministik. Vitalisme menolak pandangan ini dengan mengemukakan bahwa terdapat dimensi non-material yang menyusun makhluk hidup dan memberi arah pada perkembangan dan organisasinya³.

Vitalisme tidak sekadar menyatakan bahwa kehidupan itu unik, tetapi juga bahwa prinsip hidup itu sendiri bersifat primer secara ontologis—artinya, kehidupan bukanlah akibat dari struktur material, melainkan justru menjadi sumber kebermaknaan struktur itu. Kehidupan memiliki nilai dan eksistensi yang tidak dapat diabaikan dalam memahami realitas. Dengan demikian, vitalisme menempatkan “yang hidup” sebagai pusat penelaahan ontologi, menjadikan realitas bukan sebagai sekadar kumpulan objek yang diam dan mati, melainkan sebagai medan yang terus bergerak, berkembang, dan penuh intensi.

Beberapa tokoh filsafat seperti Hans Driesch menekankan bahwa vitalisme merupakan solusi bagi keterbatasan penjelasan ilmiah terhadap fenomena kompleks dalam biologi, seperti regenerasi, morfogenesis, dan teleologi dalam organisme⁴. Pandangan ini juga memberi inspirasi bagi pendekatan-pendekatan kontemporer dalam filsafat kehidupan dan ekologi yang menolak penyeragaman dunia ke dalam kerangka fisik yang kering.


Footnotes

[1]                Charles Wolfe, “Vitalism and the Metaphysics of Life: The Discreet Charm of Eighteenth-Century Vitalism,” Science in Context 24, no. 3 (2011): 423–440.

[2]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 92–101.

[3]                Timothy Lenoir, The Strategy of Life: Teleology and Mechanics in Nineteenth-Century German Biology (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–22.

[4]                Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 55–68.


3.           Sejarah dan Tokoh-Tokoh Utama Vitalisme

Vitalisme sebagai pandangan filosofis memiliki akar sejarah yang panjang, yang membentang dari filsafat Yunani Kuno hingga diskursus ilmiah dan metafisik pada abad ke-19 dan 20. Meskipun dalam banyak fase mengalami tantangan dari sains empiris modern, vitalisme tetap memegang peran penting dalam sejarah pemikiran tentang hakikat kehidupan dan eksistensi.

3.1.       Fase Klasik: Aristoteles dan Konsep Jiwa sebagai Bentuk

Vitalisme dalam bentuk embrioniknya dapat ditelusuri ke pemikiran Aristoteles (384–322 SM), khususnya dalam karyanya De Anima. Ia memahami jiwa (ψυχή, psyche) sebagai bentuk substansial dari makhluk hidup dan bukan sekadar fungsi dari organ tubuh. Jiwa adalah prinsip penggerak internal yang menjadikan organisme hidup, tumbuh, dan berkembang⁽¹⁾. Konsep entelechy (ἐντελέχεια)—yakni aktualisasi potensi dalam arah tertentu—menjadi salah satu fondasi awal gagasan vitalistik.

3.2.       Vitalisme Ilmiah Awal: Georg Ernst Stahl dan Xavier Bichat

Pada abad ke-17, Georg Ernst Stahl (1659–1734), seorang dokter dan kimiawan Jerman, memperkenalkan konsep anima sebagai kekuatan hidup yang mengatur tubuh secara keseluruhan. Stahl menolak pandangan mekanistik yang memisahkan tubuh dari prinsip kehidupan dan menegaskan bahwa anima bukan hanya sebagai jiwa rasional, tetapi sebagai entitas aktif yang mempertahankan kehidupan⁽²⁾.

Di Prancis, Xavier Bichat (1771–1802) melanjutkan vitalisme dalam pendekatan empiris, dengan membedakan antara dua jenis kehidupan: vie animale dan vie organique. Ia berpendapat bahwa prinsip kehidupan bekerja secara otonom dalam tubuh dan tidak bergantung semata-mata pada struktur organik⁽³⁾. Meskipun pendekatannya masih bersifat spekulatif, Bichat berhasil membentuk landasan bagi biologi modern yang memperlakukan organisme sebagai sistem kompleks yang terorganisasi secara internal.

3.3.       Puncak Vitalisme Modern: Hans Driesch dan Konsep Enteleki

Tokoh paling berpengaruh dalam vitalisme modern adalah Hans Driesch (1867–1941), seorang embriolog dan filsuf Jerman. Dalam eksperimen terhadap embrio landak laut, ia menunjukkan bahwa setiap sel yang dipisahkan tetap mampu berkembang menjadi organisme lengkap. Hasil ini menantang determinisme mekanistik dan membawanya pada kesimpulan bahwa ada “enteleki” yang bekerja sebagai kekuatan non-material yang mengarahkan perkembangan organisme⁽⁴⁾.

Driesch menolak pandangan bahwa kehidupan hanyalah akibat dari interaksi mekanik bagian-bagian tubuh. Ia menyatakan bahwa vitalisme adalah satu-satunya kerangka ontologis yang dapat menjelaskan fenomena seperti regenerasi dan teleologi biologis secara utuh. Pandangannya menjadi puncak argumentasi filosofis bahwa kehidupan adalah entitas otonom dengan hukum internalnya sendiri.

3.4.       Henri Bergson dan Élan Vital

Sementara Driesch menekankan aspek ilmiah dan struktural vitalisme, filsuf Prancis Henri Bergson (1859–1941) memajukan vitalisme dari sisi metafisis dan intuitif. Dalam karyanya L’Évolution créatrice, Bergson memperkenalkan konsep élan vital, yaitu dorongan hidup yang bersifat kreatif, tak terduga, dan bersumber dari dalam eksistensi itu sendiri⁽⁵⁾. Baginya, kehidupan tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui konsep-konsep statis atau sebab-akibat fisik, melainkan harus dipahami melalui intuisi filosofis yang menangkap dinamika realitas yang terus mengalir.

Konsep élan vital menjadi salah satu kontribusi paling terkenal dalam sejarah vitalisme, karena membuka ruang bagi pemahaman kehidupan sebagai gerakan yang orisinal dan penuh kemungkinan, bukan hanya hasil rekayasa mekanik.

3.5.       Kehilangan Dominasi dan Potensi Revitalisasi

Pada abad ke-20, dominasi paradigma reduksionistik dalam biologi molekular membuat vitalisme tampak usang dan spekulatif. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan-pendekatan seperti biologi sistemik, fenomenologi kehidupan, dan filsafat ekologi kembali membuka ruang untuk reinterpretasi vitalisme dalam bentuk yang lebih dinamis dan integratif. Tokoh-tokoh seperti Hans Jonas dan Gilbert Simondon berupaya menghidupkan kembali semangat vitalisme dalam wacana kontemporer⁽⁶⁾.


Footnotes

[1]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Chicago: University of Chicago Press, 1957), Book II, 412a–413b.

[2]                Peter J. Bowler, The Fontana History of the Environmental Sciences (London: Fontana Press, 1992), 174–175.

[3]                Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 80–81.

[4]                Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 115–130.

[5]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 88–102.

[6]                Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology (New York: Harper & Row, 1966); Gilbert Simondon, L’individuation à la lumière des notions de forme et d’information (Grenoble: Éditions Jérôme Millon, 2005).


4.           Prinsip-Prinsip Ontologis dalam Vitalisme

Vitalisme sebagai aliran dalam ontologi bertolak dari asumsi dasar bahwa kehidupan bukan sekadar fenomena fungsional atau hasil interaksi mekanis dari unsur-unsur material, melainkan entitas realitas yang memiliki struktur dan prinsip eksistensial tersendiri. Kehidupan dalam vitalisme bukan produk turunan dari materi, melainkan merupakan dimensi ontologis primer yang memiliki hukum internal dan kecenderungan inheren. Dari prinsip inilah vitalisme membangun sistem ontologinya.

4.1.       Kehidupan sebagai Entitas Otonom

Salah satu prinsip utama vitalisme adalah keyakinan bahwa kehidupan bersifat otonom—bukan sekadar epifenomena dari proses kimia atau fisik. Organisme hidup memiliki kapasitas untuk mengorganisasi diri, mempertahankan eksistensi, dan mereproduksi, yang semuanya tidak bisa direduksi menjadi efek samping dari hukum mekanis semata⁽¹⁾. Dalam kerangka ini, realitas tidak semata-mata dipahami sebagai kumpulan partikel, melainkan sebagai kesatuan yang dihidupkan oleh kekuatan internal.

4.2.       Prinsip Vital (Vital Force) sebagai Dasar Ontologis

Vitalisme menyatakan bahwa terdapat “kekuatan vital” atau vital force yang menjadi sumber dan penggerak kehidupan. Kekuatan ini tidak dapat diobservasi atau diukur seperti halnya energi fisik, tetapi dapat dikenali melalui gejala hidup seperti pertumbuhan, regenerasi, dan orientasi menuju tujuan (teleologi). Hans Driesch menyebut kekuatan ini sebagai entelechy, yakni kekuatan non-material yang bekerja sebagai penentu arah perkembangan organisme hidup, dan tidak ditemukan dalam benda mati⁽²⁾.

Prinsip vital ini menjadi alasan utama mengapa vitalisme menolak penjelasan reduksionis. Vital force bukan hanya tambahan pada organisme hidup, tetapi merupakan prinsip ontologis yang membedakan antara kehidupan dan benda mati. Oleh karena itu, vitalisme menolak pengertian tentang organisme sebagai mesin biologis, dan lebih memandangnya sebagai kesatuan organis yang hidup secara menyeluruh⁽³⁾.

4.3.       Struktur Organik dan Teleologi

Vitalisme juga menekankan bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang tidak hanya kompleks, tetapi juga teleologis, yaitu diarahkan menuju tujuan tertentu secara internal. Setiap bagian organisme tidak bisa dipahami secara terpisah, tetapi sebagai bagian dari keseluruhan yang diarahkan oleh prinsip hidup tersebut. Dalam hal ini, organisme tidak hanya tersusun oleh bagian-bagian yang bekerja sama, tetapi juga oleh suatu kehendak internal untuk mempertahankan dan menyempurnakan eksistensinya⁽⁴⁾.

Konsepsi ini bersinggungan erat dengan pemikiran Aristoteles, yang memahami kehidupan bukan sebagai gerakan mekanik, melainkan sebagai gerak substansial yang berasal dari dalam. Teleologi dalam vitalisme tidak bersifat eksternal, seperti rancangan insinyur, tetapi muncul dari dalam eksistensi makhluk hidup itu sendiri⁽⁵⁾.

4.4.       Dinamisme dan Evolusi

Bagi vitalis seperti Henri Bergson, kehidupan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi justru dinamis, kreatif, dan terus berkembang. Ia memperkenalkan konsep élan vital sebagai dorongan kreatif yang melampaui logika mekanistik dan deterministik, serta sebagai kekuatan metafisik yang mendorong evolusi menuju bentuk-bentuk kehidupan yang lebih kompleks dan berkesadaran⁽⁶⁾.

Di sini, prinsip ontologis vitalisme tidak hanya menjelaskan kehidupan sebagai kondisi sekarang, tetapi juga sebagai proses menjadi (becoming), suatu gerakan yang melampaui bentuk dan struktur menuju kemungkinan yang tak terbatas. Kehidupan adalah arus realitas yang terus menerus menciptakan dirinya, bukan sistem tertutup yang tunduk pada hukum universal yang kaku.

4.5.       Keutuhan (Holisme) dalam Eksistensi

Vitalisme menolak atomisme atau pendekatan parsial dalam menjelaskan realitas hidup. Sebaliknya, ia menekankan prinsip holisme: bahwa makhluk hidup adalah kesatuan yang tidak dapat dipahami dengan hanya menganalisis bagian-bagiannya. Organisme sebagai totalitas tidak bisa dijelaskan melalui penguraian ke unsur-unsur kimiawi, sebab kehidupan itu sendiri muncul dari kesatuan dinamis antarbagian yang digerakkan oleh prinsip hidup⁽⁷⁾.


Footnotes

[1]                Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 92–93.

[2]                Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 124–135.

[3]                Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian Evolution Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983), 86–88.

[4]                Charles Wolfe and Terence Allen, “Vitalism and the Scientific Image: An Introduction,” Science in Context 24, no. 3 (2011): 397–403.

[5]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Chicago: University of Chicago Press, 1957), Book II, 415a–417b.

[6]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 93–104.

[7]                F. S. C. Northrop, The Logic of the Sciences and the Humanities (New York: Macmillan, 1947), 211–215.


5.           Vitalisme vs. Materialisme dan Mekanisme

Dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, vitalisme sering diposisikan secara antagonistik terhadap dua pandangan besar yang mendominasi penjelasan tentang kehidupan, yaitu materialisme dan mekanisme. Perdebatan antara vitalisme dan dua pendekatan ini bukan sekadar perbedaan metodologis, tetapi menyentuh pada level ontologis, yakni tentang apa hakikat eksistensi makhluk hidup.

5.1.       Materialisme: Reduksionisme terhadap Materi

Materialisme memandang bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya adalah materi dan proses fisik. Dalam pandangan ini, fenomena kehidupan tidak memiliki status ontologis khusus, melainkan hanyalah akibat dari konfigurasi atom atau molekul tertentu yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Julien Offray de La Mettrie, dalam L’Homme Machine, secara ekstrem menyamakan manusia dengan mesin yang kompleks, yang beroperasi berdasarkan hukum-hukum mekanika⁽¹⁾.

Vitalisme menolak klaim tersebut dengan menegaskan bahwa kehidupan bukan hasil dari pengaturan materi semata, melainkan berasal dari kekuatan internal yang khas dan tak dapat direduksi. Kehidupan memiliki kualitas emergen yang tak ditemukan dalam benda mati—suatu kekuatan yang bersifat non-fisik dan bersifat pengatur, bukan sekadar reaktif⁽²⁾.

5.2.       Mekanisme: Organisme sebagai Mesin

Mekanisme, sebagai cabang dari materialisme, memandang bahwa organisme hidup dapat dijelaskan seperti halnya mesin: bagian-bagian bekerja secara deterministik menurut hukum kausal. René Descartes adalah tokoh awal pendekatan ini, yang dalam Traité de l’homme menyatakan bahwa tubuh hewan dan manusia adalah mesin biologis yang digerakkan oleh interaksi antara bagian-bagian fisik⁽³⁾. Dalam kerangka ini, fungsi vital seperti denyut jantung, pencernaan, atau persepsi dianggap sebagai hasil otomatis dari gerak mekanik, tanpa melibatkan prinsip hidup yang independen.

Vitalisme secara tajam mengkritik pendekatan ini karena gagal menjelaskan ciri khas kehidupan seperti regenerasi, pertumbuhan, dan teleologi internal. Hans Driesch menunjukkan bahwa eksperimen biologis tidak dapat dijelaskan secara memadai dengan asumsi mekanistik. Ketika embrio hewan laut dibelah, kedua bagian tetap dapat berkembang menjadi individu utuh, menunjukkan bahwa tidak ada cetak biru yang tersimpan secara mekanik di bagian tertentu saja⁽⁴⁾.

5.3.       Perbedaan Ontologis: Kehidupan sebagai Proses versus Sistem Tertutup

Perbedaan paling mendasar antara vitalisme dengan materialisme dan mekanisme terletak pada bagaimana ontologi kehidupan dipahami. Materialisme dan mekanisme memperlakukan kehidupan sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum universal fisika, tanpa arah atau makna intrinsik. Sementara itu, vitalisme memandang kehidupan sebagai proses terbuka yang bersifat kreatif, penuh dinamika, dan diarahkan dari dalam oleh prinsip vital.

Henri Bergson menekankan bahwa kehidupan tidak dapat dijelaskan melalui pengulangan gerak dan struktur, karena pada dasarnya ia adalah proses penciptaan bentuk-bentuk baru—sebuah “gerak vital” yang tidak bisa dijelaskan melalui hukum kekekalan energi atau gerak lurus kausalitas⁽⁵⁾. Élan vital sebagai metafora kekuatan hidup menjadi simbol bahwa eksistensi tidak dapat dikalkulasi sepenuhnya dalam kerangka fisik dan matematis.

5.4.       Kritik Vitalisme terhadap Reduksionisme

Vitalisme juga memberikan kritik filosofis terhadap reduksionisme, yakni kecenderungan untuk menjelaskan keseluruhan berdasarkan bagian-bagiannya. Bagi vitalisme, reduksionisme mengabaikan sifat emergen dan holistik dari organisme hidup. Georges Canguilhem menyatakan bahwa “kesehatan, kehidupan, dan patologi” tidak dapat dijelaskan hanya dengan parameter fisik, karena mereka melibatkan makna, nilai, dan konteks dalam sistem biologis⁽⁶⁾.

Dalam konteks ini, vitalisme tidak hanya menolak reduksionisme sebagai strategi ilmiah, tetapi juga mengusulkan bahwa pemahaman sejati tentang kehidupan harus mempertimbangkan aspek nilai, tujuan, dan intensionalitas yang inheren dalam makhluk hidup—sesuatu yang tidak dapat didekati dengan paradigma mekanistik belaka.

5.5.       Implikasi Filsafat: Keberagaman Metafisika Kehidupan

Konflik antara vitalisme dan materialisme/mekanisme menunjukkan bahwa filsafat kehidupan bukan hanya persoalan ilmiah, tetapi juga metafisik. Vitalisme membuka kemungkinan adanya pluralisme ontologis, yakni bahwa kehidupan tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu model eksistensial tunggal. Sebaliknya, kehidupan mungkin menuntut kita untuk menerima bahwa realitas terdiri dari berbagai lapisan: materi, bentuk, tujuan, dan daya hidup yang saling berkelindan.


Footnotes

[1]                Julien Offray de La Mettrie, Man a Machine, trans. Ann Thomson (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–29.

[2]                Charles Wolfe, “Vitalism and the Metaphysics of Life: The Discreet Charm of Eighteenth-Century Vitalism,” Science in Context 24, no. 3 (2011): 427–430.

[3]                René Descartes, Treatise of Man, trans. Thomas Steele Hall (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1972), 99–104.

[4]                Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 135–141.

[5]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 105–115.

[6]                Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 118–120.


6.           Vitalisme dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Vitalisme, meskipun sering diposisikan sebagai lawan dari pendekatan ilmiah reduksionistik, memainkan peran penting dalam perkembangan awal biologi dan ilmu kehidupan. Sebelum sains modern mengembangkan metodologi eksperimental yang dapat mengukur aktivitas seluler dan biokimia secara presisi, vitalisme menyediakan kerangka filosofis dan spekulatif yang memungkinkan pemahaman awal terhadap dinamika kehidupan. Hubungan antara vitalisme dan sains bersifat dialektis: vitalisme sering menjadi dorongan awal untuk eksplorasi ilmiah, sekaligus juga menjadi sasaran kritik ketika paradigma ilmiah bergerak ke arah empirisisme dan mekanisme.

6.1.       Vitalisme sebagai Fondasi Biologi Pra-Molekular

Pada abad ke-18 dan 19, vitalisme memberikan kontribusi signifikan terhadap lahirnya biologi sebagai disiplin ilmiah yang otonom dari fisika dan kimia. Tokoh-tokoh seperti Xavier Bichat dan Johannes Müller berargumen bahwa proses-proses hidup tidak dapat dipahami hanya dengan prinsip-prinsip fisika, melainkan memerlukan pendekatan yang memperhatikan kekhasan fungsi biologis dan organisasi organisme⁽¹⁾. Vitalisme mendorong pengamatan dan eksperimen terhadap makhluk hidup bukan sekadar sebagai objek mekanik, tetapi sebagai entitas yang memiliki regulasi dan dinamika internal.

Johannes Reinke, seorang ahli botani Jerman, bahkan menggunakan istilah neo-vitalisme untuk menunjukkan bahwa kehidupan tidak mungkin dijelaskan sepenuhnya melalui sebab fisik, dan bahwa faktor ideatif turut mengarahkan proses hidup⁽²⁾. Dalam kerangka ini, vitalisme berperan sebagai prinsip metodologis yang menegaskan keunikan makhluk hidup dan perlunya pendekatan holistik dalam studi biologi.

6.2.       Kontribusi terhadap Eksperimen dan Observasi

Vitalisme juga mendorong pelaksanaan berbagai eksperimen biologis untuk mengamati fenomena hidup yang tak bisa dijelaskan dengan hukum mekanika klasik. Hans Driesch, dalam eksperimennya terhadap embrio landak laut, menunjukkan bahwa pembelahan sel tidak menghentikan proses perkembangan individu utuh, melainkan justru membuktikan adanya prinsip non-material yang mengatur arah pertumbuhan⁽³⁾. Eksperimen ini menjadi dasar bagi kritik terhadap determinisme genetik awal dan membuka pertanyaan filosofis tentang penyebab teleologis dalam organisme.

Vitalisme, meskipun bukan teori ilmiah dalam arti kontemporer, telah menjadi inspirasi bagi metode penelitian yang menolak simplifikasi kehidupan sebagai rangkaian reaksi kimia. Dengan menekankan organisasi, integrasi, dan arah internal dalam organisme, vitalisme menjadi cikal bakal pemikiran sistemik dalam biologi dan kedokteran.

6.3.       Kemunduran dalam Era Biologi Molekular

Dengan munculnya biologi molekular pada pertengahan abad ke-20, vitalisme mulai kehilangan pengaruhnya dalam komunitas ilmiah. Penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick pada tahun 1953 serta berkembangnya teknik-teknik biokimia menjadikan kehidupan tampak dapat dipetakan, dikodekan, dan direkayasa⁽⁴⁾. Reduksionisme menjadi paradigma dominan, dan vitalisme dianggap tidak ilmiah karena tidak menawarkan hipotesis yang dapat diuji secara empiris.

Namun, kritik terhadap reduksionisme juga mulai berkembang dari dalam sains itu sendiri. Misalnya, biologi sistemik dan epigenetika mulai menekankan pentingnya hubungan antarbagian dalam sistem hidup yang tidak bisa dijelaskan dari sekadar gen dan molekul. Ini membuka kembali ruang bagi pendekatan yang mempertimbangkan kompleksitas holistik—sebuah warisan yang dapat ditelusuri ke vitalisme klasik.

6.4.       Reaktualisasi Vitalisme dalam Sains Kontemporer

Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat upaya reaktualisasi pemikiran vitalistik dalam bentuk pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, biologi sistemik, dan studi kompleksitas. Hans Jonas, misalnya, dalam The Phenomenon of Life mengembangkan apa yang ia sebut sebagai philosophical biology, yakni pendekatan yang menggabungkan kedalaman eksistensial dengan struktur biologis⁽⁵⁾. Pendekatan ini menolak baik reduksionisme biologis maupun spekulasi metafisika murni, dan menawarkan jalan tengah yang mempertimbangkan pengalaman organisme sebagai subjek hidup.

Selain itu, filsuf kontemporer seperti Gilbert Simondon mengembangkan teori individuasi yang menekankan bahwa kehidupan merupakan proses pembentukan bentuk yang bersifat dinamis dan relasional, bukan entitas yang dapat diklasifikasikan secara statis⁽⁶⁾. Pendekatan ini beresonansi kuat dengan intuisi vitalisme mengenai kehidupan sebagai gerak, kreativitas, dan integrasi.


Footnotes

[1]                William Coleman, Biology in the Nineteenth Century: Problems of Form, Function and Transformation (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 52–58.

[2]                Charles Wolfe, “Neo-vitalism and the Problem of Regulation in Biology,” Science in Context 24, no. 3 (2011): 403–408.

[3]                Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 131–136.

[4]                James D. Watson, The Double Helix: A Personal Account of the Discovery of the Structure of DNA (New York: Simon and Schuster, 1968), 112–118.

[5]                Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology (New York: Harper & Row, 1966), 1–15.

[6]                Gilbert Simondon, L’individuation à la lumière des notions de forme et d’information (Grenoble: Éditions Jérôme Millon, 2005), 23–31.


7.           Relevansi Vitalisme dalam Wacana Filsafat Kontemporer

Meskipun vitalisme sempat mengalami delegitimasi dalam dunia sains modern akibat dominasi biologi molekular dan pendekatan reduksionistik, aliran ini telah mengalami revitalisasi dalam berbagai wacana filsafat kontemporer. Dalam konteks kekinian, vitalisme tidak lagi dipandang sebagai teori biologi metafisik yang usang, tetapi sebagai kerangka konseptual yang relevan untuk memahami kehidupan secara utuh, terutama dalam menghadapi krisis ekologis, perkembangan teknologi kehidupan, dan dinamika eksistensial manusia pascamodern.

7.1.       Vitalisme Baru dan Kritik terhadap Reduksionisme

Apa yang sering disebut sebagai neo-vitalisme atau vitalisme baru (new vitalism) muncul sebagai reaksi terhadap batas-batas penjelasan saintifik yang terlalu sempit dalam memahami kehidupan. Charles Wolfe mencatat bahwa vitalisme baru bukanlah upaya untuk menghidupkan kembali vital force dalam bentuk klasiknya, tetapi untuk menegaskan bahwa kehidupan memiliki dimensi keutuhan, spontanitas, dan kompleksitas yang tidak dapat direduksi sepenuhnya ke hukum fisika⁽¹⁾. Vitalisme kontemporer bersekutu dengan pendekatan sistemik, biologi kompleksitas, dan fenomenologi dalam menawarkan model realitas yang dinamis dan terbuka.

7.2.       Vitalisme dan Posthumanisme

Dalam pemikiran posthumanisme, vitalisme memainkan peran penting dalam membongkar dikotomi lama antara manusia dan non-manusia. Filsuf seperti Rosi Braidotti mengembangkan konsep vitalisme afirmatif (affirmative vitalism), yaitu pendekatan yang melihat kehidupan sebagai kekuatan produktif yang melampaui batas-batas spesies, identitas, dan struktur sosial⁽²⁾. Dalam kerangka ini, vitalisme menjadi landasan bagi etika baru yang berbasis pada keterhubungan dan keberlanjutan antar bentuk kehidupan, melampaui humanisme antropocentris.

Braidotti menekankan bahwa vitalisme memungkinkan kita untuk memahami keberadaan sebagai kekuatan yang terus menjadi, bukan sebagai esensi yang tertutup. Pandangan ini mendukung keberagaman bentuk kehidupan dan pengalaman sebagai manifestasi dari daya hidup yang terus bertransformasi.

7.3.       Vitalisme dalam Ekofilsafat dan Filsafat Lingkungan

Wacana lingkungan hidup dan ekofilsafat juga mendapat dorongan penting dari kebangkitan vitalisme. Dalam menghadapi degradasi ekologi global, pendekatan vitalistik mengusulkan bahwa alam tidak boleh dilihat sebagai objek mati yang dapat dieksploitasi, melainkan sebagai sistem hidup yang memiliki daya internal. Tokoh seperti Jane Bennett mengembangkan vital materialism, yakni suatu bentuk filsafat materialisme yang tetap mengakui kekuatan aktif dalam materi dan fenomena alam⁽³⁾.

Bennett menyatakan bahwa benda-benda bukanlah entitas pasif, melainkan bagian dari jaringan agensi material yang hidup. Dalam konteks ini, vitalisme memberikan dasar ontologis untuk membangun kembali hubungan manusia dengan alam secara etis dan spiritual—sebuah hubungan yang sebelumnya telah dirusak oleh logika mekanistik dan kapitalistik.

7.4.       Vitalisme dan Teknologi Kehidupan

Relevansi vitalisme juga mencuat dalam diskusi filsafat ilmu dan bioetika, terutama dalam menanggapi perkembangan teknologi kehidupan seperti rekayasa genetika, kloning, dan kecerdasan buatan. Dalam situasi di mana kehidupan semakin bisa dimanipulasi dan direkayasa secara artifisial, vitalisme menawarkan peringatan filosofis tentang makna dan batas kehidupan⁽⁴⁾.

Hans Jonas, misalnya, menegaskan bahwa manipulasi kehidupan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai intrinsik dari eksistensi biologis bisa mengarah pada dehumanisasi dan dekontekstualisasi kehidupan dari makna ontologisnya⁽⁵⁾. Vitalisme dalam hal ini menjadi benteng reflektif terhadap penyalahgunaan teknologi yang berangkat dari asumsi bahwa kehidupan hanyalah objek teknis.

7.5.       Vitalisme sebagai Paradigma Eksistensial

Di luar sains dan teknologi, vitalisme kontemporer juga memiliki peran signifikan dalam ranah filsafat eksistensial. Kehidupan sebagai kekuatan yang terus bergerak dan mencipta dipahami sebagai fondasi untuk merumuskan kebermaknaan eksistensi manusia dalam dunia yang tidak lagi stabil dan homogen. Vitalisme tidak hanya mengajak berpikir tentang apa itu hidup, tetapi juga bagaimana seharusnya kita hidup di tengah dunia yang kompleks dan saling terhubung.


Footnotes

[1]                Charles T. Wolfe, “Vitalism and Its Discontents: Between Being and Becoming,” Theories of Life and the Problem of Reduction, ed. Jean Gayon and Philippe Huneman (Dordrecht: Springer, 2007), 245–260.

[2]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 190–204.

[3]                Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political Ecology of Things (Durham: Duke University Press, 2010), 1–19.

[4]                Eugene Thacker, After Life (Chicago: University of Chicago Press, 2010), 54–67.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 5–15.


8.           Kritik dan Evaluasi terhadap Vitalisme

Meskipun vitalisme memiliki kontribusi penting dalam sejarah pemikiran tentang kehidupan dan keberadaan, pandangan ini tidak lepas dari berbagai kritik, baik dari kalangan ilmuwan, filsuf, maupun praktisi bioetika. Kritik-kritik tersebut umumnya ditujukan pada aspek non-empiris, dogmatis, dan kurangnya daya prediktif dari vitalisme klasik. Namun, dalam evaluasi kontemporer, sebagian filsuf dan ilmuwan justru menilai bahwa vitalisme masih menyimpan potensi filosofis yang penting, terutama dalam menghadapi keterbatasan model reduksionistik.

8.1.       Kritik dari Ilmu Pengetahuan Positivistik

Kritik utama terhadap vitalisme datang dari sains empiris yang mengutamakan falsifiabilitas dan observabilitas sebagai kriteria keilmiahan. Vitalisme dianggap mengajukan konsep seperti vital force atau élan vital yang tidak dapat diuji secara empiris, dan karenanya berada di luar ranah sains⁽¹⁾. Para ilmuwan seperti Claude Bernard dan Hermann von Helmholtz menolak vitalisme karena tidak mampu menjelaskan fenomena kehidupan dalam kerangka hukum-hukum fisika dan kimia yang dapat diverifikasi⁽²⁾.

Di era biologi molekular, keberhasilan menjelaskan proses kehidupan dalam istilah genetik dan biokimia dianggap sebagai pukulan telak terhadap vitalisme. Dengan ditemukannya struktur DNA dan mekanisme replikasi gen, banyak ilmuwan beranggapan bahwa kehidupan tak lagi membutuhkan “prinsip vital” untuk dipahami.

8.2.       Tuduhan Spekulatif dan Mistifikasi

Vitalisme juga dikritik karena cenderung bersifat spekulatif dan metaforis, tanpa landasan teoritis yang kokoh. Konsep seperti entelechy milik Hans Driesch atau élan vital milik Bergson dianggap terlalu kabur dan tidak menawarkan penjelasan yang operasional. Pandangan ini dicurigai sebagai bentuk mistifikasi ilmiah, yaitu mengisi kekosongan pengetahuan dengan entitas non-materi yang tak terukur, seperti “jiwa kehidupan” atau “energi hidup”⁽³⁾.

Karl Popper, dalam kritik epistemologisnya, menyebut bahwa teori seperti vitalisme tidak dapat dibuktikan salah (non-falsifiable), dan karena itu berada di luar batas wacana ilmiah yang rasional⁽⁴⁾. Ia menyamakan vitalisme dengan astrologi atau psikoanalisis freudian yang menurutnya tidak dapat diuji oleh eksperimen yang tegas.

8.3.       Evaluasi Filosofis: Antara Metafisika dan Biologi

Meskipun dikritik dari segi ilmiah, vitalisme tetap dipandang bernilai dalam dimensi filosofis. Filsuf seperti Georges Canguilhem dan Hans Jonas menyarankan agar vitalisme tidak dipahami sebagai teori ilmiah konvensional, melainkan sebagai kerangka ontologis yang mempertanyakan makna kehidupan itu sendiri⁽⁵⁾. Vitalisme tidak bertujuan untuk menjelaskan mekanisme, melainkan untuk memahami keunikan eksistensial makhluk hidup sebagai entitas yang mengalami, merespons, dan memiliki arah.

Dalam konteks ini, vitalisme menjadi semacam kritik terhadap objektivisme sains yang terlalu mengabaikan aspek subjektivitas dan keutuhan makhluk hidup. Canguilhem, misalnya, menekankan bahwa konsep seperti “normal” dan “patologis” tidak bisa dijelaskan semata-mata secara statistik, melainkan melibatkan pemaknaan internal organisme terhadap lingkungannya⁽⁶⁾.

8.4.       Rehabilitasi dalam Wacana Posthumanisme dan Ekologi

Vitalisme kontemporer, dalam bentuk new vitalism atau vital materialism, mulai dilihat sebagai sumber inspirasi untuk menjembatani antara sains, etika, dan politik kehidupan. Filsuf seperti Rosi Braidotti dan Jane Bennett tidak menggunakan vitalisme untuk menggantikan sains, melainkan untuk memperluas horizon pemahaman terhadap makhluk hidup, termasuk benda-benda, lingkungan, dan teknologi sebagai bagian dari jaringan vitalitas yang saling terkait⁽⁷⁾.

Evaluasi ini menunjukkan bahwa vitalisme dapat direhabilitasi bukan sebagai teori ilmiah yang bersaing dengan biologi molekular, tetapi sebagai paradigma metafisik dan eksistensial yang menekankan keberadaan sebagai proses yang kreatif, kompleks, dan terbuka. Dalam dunia yang menghadapi tantangan ekologis dan eksistensial yang mendalam, vitalisme menawarkan alternatif filosofis untuk membayangkan kehidupan yang lebih utuh dan bernilai.


Footnotes

[1]                Ernst Mayr, The Growth of Biological Thought: Diversity, Evolution, and Inheritance (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 43–44.

[2]                Timothy Lenoir, The Strategy of Life: Teleology and Mechanics in Nineteenth-Century German Biology (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 98–103.

[3]                Peter J. Bowler, The Eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian Evolution Theories in the Decades Around 1900 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983), 86–91.

[4]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 45–47.

[5]                Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology (New York: Harper & Row, 1966), 1–18.

[6]                Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 128–130.

[7]                Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political Ecology of Things (Durham: Duke University Press, 2010), 19–25.


9.           Kesimpulan

Vitalisme, dalam kerangka ontologi, tampil sebagai pandangan filosofis yang menegaskan bahwa kehidupan bukanlah hasil sampingan dari proses mekanistik atau reaksi kimia belaka, melainkan merupakan aspek eksistensial yang otonom dan fundamental. Dengan menempatkan kehidupan sebagai pusat realitas, vitalisme menolak reduksionisme materialistik dan menawarkan pemahaman alternatif yang lebih integral, dinamis, dan teleologis terhadap makhluk hidup.

Sejak masa Aristoteles hingga puncaknya dalam pemikiran Hans Driesch dan Henri Bergson, vitalisme mengusung ide bahwa organisme hidup memiliki prinsip internal yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh sains positif. Konsep-konsep seperti entelechy dan élan vital mencerminkan usaha untuk menangkap kekuatan non-material yang menjadi penggerak kehidupan⁽¹⁾. Meskipun pada abad ke-20 vitalisme mendapat kritik keras dari kalangan ilmiah karena dianggap tidak empiris dan tidak dapat difalsifikasi⁽²⁾, pandangan ini tetap menyimpan nilai filosofis yang tak tergantikan.

Dalam perkembangan filsafat kontemporer, vitalisme mengalami transformasi menjadi neo-vitalisme, yang tidak lagi berbicara tentang “kekuatan hidup” secara metafisis semata, melainkan tentang keterbukaan, spontanitas, dan kompleksitas kehidupan yang tidak dapat direduksi ke dalam model matematis atau biologis yang statis. Pendekatan ini tampak jelas dalam karya-karya Rosi Braidotti tentang posthumanisme, maupun dalam gagasan Jane Bennett tentang vital materialism, yang berupaya menjembatani antara ontologi, ekologi, dan etika kehidupan⁽³⁾.

Vitalisme juga berperan sebagai kritik terhadap paradigma dominan dalam ilmu pengetahuan modern yang cenderung objektivis dan mekanistik. Sebagai kerangka reflektif, vitalisme mengingatkan bahwa kehidupan tidak hanya terdiri dari bagian-bagian yang tersusun rapi, tetapi adalah proses yang bersifat emergen, penuh makna, dan terarah. Dalam hal ini, vitalisme menolak dikotomi antara “objek ilmiah” dan “subjek hidup”, dan mengusulkan bahwa makhluk hidup dipahami sebagai kesatuan organis yang memiliki intensionalitas dan nilai⁽⁴⁾.

Secara keseluruhan, vitalisme dalam ontologi tidak sekadar menyumbang teori alternatif tentang hakikat kehidupan, tetapi juga membuka kembali ruang perenungan filosofis yang bersifat eksistensial dan etis. Di tengah tantangan krisis lingkungan, kemajuan teknologi biologis, dan kekaburan makna hidup dalam masyarakat pascamodern, vitalisme menawarkan landasan ontologis untuk memikirkan kembali relasi manusia dengan kehidupan secara lebih bijak dan holistik.


Footnotes

[1]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Henry Holt and Company, 1911), 93–104; Hans Driesch, The History and Theory of Vitalism (London: Macmillan, 1914), 131–136.

[2]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 45–47.

[3]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 190–204; Jane Bennett, Vibrant Matter: A Political Ecology of Things (Durham: Duke University Press, 2010), 1–19.

[4]                Georges Canguilhem, The Normal and the Pathological, trans. Carolyn R. Fawcett (New York: Zone Books, 1991), 118–120; Hans Jonas, The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology (New York: Harper & Row, 1966), 1–15.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1957). De Anima (J. A. Smith, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published ca. 350 B.C.E.)

Bennett, J. (2010). Vibrant matter: A political ecology of things. Duke University Press.

Bergson, H. (1911). Creative evolution (A. Mitchell, Trans.). Henry Holt and Company. (Original work published 1907)

Bichat, X. (1996). In C. Wolfe (Ed.), Vitalism and its discontents. Springer.

Bowler, P. J. (1983). The eclipse of Darwinism: Anti-Darwinian evolution theories in the decades around 1900. Johns Hopkins University Press.

Bowler, P. J. (1992). The Fontana history of the environmental sciences. Fontana Press.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Canguilhem, G. (1991). The normal and the pathological (C. R. Fawcett, Trans.). Zone Books. (Original work published 1943)

Coleman, W. (1971). Biology in the nineteenth century: Problems of form, function and transformation. Cambridge University Press.

Descartes, R. (1972). Treatise of man (T. S. Hall, Trans.). Harvard University Press. (Original work published 1664)

Driesch, H. (1914). The history and theory of vitalism. Macmillan.

Jonas, H. (1966). The phenomenon of life: Toward a philosophical biology. Harper & Row.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1979)

La Mettrie, J. O. (1996). Man a machine (A. Thomson, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1747)

Lenoir, T. (1982). The strategy of life: Teleology and mechanics in nineteenth-century German biology. University of Chicago Press.

Mayr, E. (1982). The growth of biological thought: Diversity, evolution, and inheritance. Harvard University Press.

Northrop, F. S. C. (1947). The logic of the sciences and the humanities. Macmillan.

Popper, K. (2002). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge. (Original work published 1963)

Reinke, J. (1901). In C. Wolfe (Ed.), Vitalism and the metaphysics of life. Springer.

Simondon, G. (2005). L’individuation à la lumière des notions de forme et d’information. Éditions Jérôme Millon. (Original work published 1958)

Thacker, E. (2010). After life. University of Chicago Press.

Watson, J. D. (1968). The double helix: A personal account of the discovery of the structure of DNA. Simon and Schuster.

Wolfe, C. (2011). Neo-vitalism and the problem of regulation in biology. Science in Context, 24(3), 403–418. https://doi.org/10.1017/S0269889711000121

Wolfe, C., & Allen, T. (2011). Vitalism and the scientific image: An introduction. Science in Context, 24(3), 397–403. https://doi.org/10.1017/S026988971100011X

Wolfe, C. T. (2007). Vitalism and its discontents: Between being and becoming. In J. Gayon & P. Huneman (Eds.), Theories of life and the problem of reduction (pp. 245–260). Springer.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar