Jumat, 08 November 2024

Filsafat Agama: Hakikat, Ruang Lingkup, dan Perkembangannya dalam Wacana Keilmuan

Filsafat Agama

 
Hakikat, Ruang Lingkup, dan Perkembangannya dalam Wacana Keilmuan


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat, ruang lingkup, serta perkembangan filsafat agama sebagai salah satu cabang penting dalam disiplin filsafat. Melalui pendekatan rasional dan reflektif, filsafat agama membahas tema-tema fundamental seperti eksistensi Tuhan, epistemologi keagamaan, etika religius, serta hubungan antara agama dan sains. Pembahasan juga mencakup peran metode rasional-analitis, fenomenologis, dan hermeneutis dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan kontemporer, seperti problem kejahatan, pluralisme agama, sekularisasi, dan spiritualitas pascamodern. Dalam konteks Islam, filsafat agama telah berkembang melalui kontribusi pemikir besar seperti Al-Fārābī, Ibn Sīnā, Al-Ghazālī, hingga Mulla Ṣadrā, yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan pengalaman spiritual ke dalam pemikiran metafisis dan teologis yang mendalam. Kajian ini menegaskan bahwa filsafat agama berfungsi sebagai ruang dialog antara iman dan akal, tradisi dan modernitas, serta agama dan ilmu pengetahuan, dengan tujuan memperdalam pemahaman rasional terhadap keyakinan religius dan membangun toleransi dalam masyarakat plural.

Kata Kunci: Filsafat agama, eksistensi Tuhan, epistemologi keagamaan, pluralisme agama, filsafat Islam, akal dan wahyu, problem kejahatan, sekularisasi, metodologi filsafat agama.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Agama Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat agama merupakan salah satu cabang filsafat yang berkembang sebagai respons atas kebutuhan manusia untuk memahami hakikat terdalam dari keyakinan keagamaan secara rasional dan sistematis. Ia tidak hanya mempertanyakan kebenaran doktrin-doktrin agama, tetapi juga menggali dasar-dasar eksistensial dan metafisik dari keyakinan terhadap Tuhan, wahyu, jiwa, dan kehidupan setelah mati. Dalam konteks inilah filsafat agama berperan penting sebagai jembatan antara akal dan iman, antara penalaran filosofis dan pengalaman religius.

Keberadaan filsafat agama sebagai bidang kajian yang otonom mulai mendapatkan tempat khusus sejak zaman modern, terutama setelah munculnya pemikiran para filsuf seperti Immanuel Kant, yang memisahkan ruang iman dan akal dalam upayanya membela otonomi moral agama tanpa harus mengorbankan rasionalitas filosofis. Kant sendiri menyatakan bahwa agama harus dibangun dalam batas-batas rasio murni, sebuah posisi yang menandai titik awal filsafat agama modern sebagai refleksi kritis terhadap agama dari sudut pandang rasional.1

Namun demikian, perlu dibedakan secara tegas antara filsafat agama, teologi, dan ilmu agama (religious studies). Teologi bersifat normatif dan berangkat dari keyakinan iman tertentu, sedangkan ilmu agama menggunakan pendekatan empiris dan historis untuk mengkaji fenomena agama secara objektif. Sementara itu, filsafat agama bersifat reflektif-kritis: ia bertanya tentang kebermaknaan konsep-konsep inti dalam agama, seperti Tuhan, mukjizat, doa, atau wahyu, dengan menggunakan analisis logis dan argumentasi rasional, tanpa memihak pada satu tradisi agama tertentu.2

Urgensi filsafat agama semakin menonjol dalam era kontemporer yang ditandai oleh pluralitas agama, sekularisasi, dan pencarian spiritualitas baru. Dalam masyarakat modern yang semakin rasional dan ilmiah, filsafat agama memberikan ruang bagi refleksi mendalam tentang posisi agama dalam kehidupan manusia. Ia juga menyediakan kerangka berpikir kritis yang memungkinkan dialog antaragama dan menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan keyakinan keagamaan.3

Dalam konteks ini, filsafat agama bukan sekadar membela agama atau menggugatnya, tetapi lebih dari itu: ia membantu manusia untuk memahami secara lebih jernih dasar-dasar kepercayaannya, menghindarkan dari fanatisme, dan membuka ruang bagi perjumpaan lintas iman secara intelektual. Oleh karena itu, pemahaman terhadap filsafat agama menjadi penting tidak hanya bagi para filsuf atau teolog, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin mendalami agama secara mendalam, rasional, dan terbuka.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Religion within the Boundaries of Mere Reason, trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–10.

[2]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 1–3.

[3]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 10–12.


2.           Pengertian Filsafat Agama

Secara etimologis, istilah filsafat agama terdiri dari dua kata, yaitu filsafat (dari bahasa Yunani philosophia: cinta kebijaksanaan) dan agama, yang mengacu pada sistem keyakinan terhadap realitas transenden, praktik spiritual, dan nilai-nilai moral yang diyakini berasal dari wahyu ilahi. Maka, secara umum, filsafat agama dapat dimaknai sebagai cabang filsafat yang menggunakan pendekatan rasional dan kritis untuk menganalisis konsep-konsep fundamental dalam agama.1

Menurut William L. Rowe, filsafat agama adalah “kajian filosofis tentang tema-tema dan konsep-konsep utama dalam agama, termasuk sifat Tuhan, eksistensi Tuhan, problem kejahatan, dan hubungan antara iman dan akal.”_2 Definisi ini menunjukkan bahwa filsafat agama tidak terbatas pada satu agama tertentu, tetapi menyelidiki secara umum aspek-aspek universal dalam semua bentuk agama, baik teistik maupun non-teistik.

John Hick, seorang filsuf agama terkemuka abad ke-20, mendefinisikan filsafat agama sebagai usaha intelektual untuk mengklarifikasi dan mengevaluasi keyakinan-keyakinan keagamaan menggunakan metode rasional dan filosofis. Ia menekankan bahwa filsafat agama berperan dalam menggali makna dari konsep-konsep keagamaan agar dapat dimengerti dan dipertanggungjawabkan secara logis oleh akal manusia.3

Sementara itu, dalam konteks pemikiran Islam, filsafat agama tidak selalu hadir dengan istilah yang sama, tetapi banyak ditemukan dalam bentuk pembahasan dalam ilmu kalam, tasawuf falsafi, dan filsafat Islam klasik. Al-Farabi, misalnya, mengembangkan pemikiran tentang Tuhan dan kenabian dengan pendekatan logika dan metafisika Aristotelian. Bagi Al-Farabi, agama adalah simbolisasi filosofis dari kebenaran metafisis yang dapat diakses oleh akal para filosof dan dijabarkan dalam bentuk mitos dan syariat untuk masyarakat umum.4

Secara ontologis, filsafat agama menyoroti realitas metafisis yang menjadi dasar agama—seperti keberadaan Tuhan, makna eksistensi manusia, dan kehidupan setelah mati. Secara epistemologis, filsafat agama membahas cara manusia mengetahui kebenaran agama: apakah melalui wahyu, akal, intuisi, atau pengalaman mistik. Dan secara aksiologis, filsafat agama mengevaluasi nilai-nilai moral dan etika yang dikandung agama serta relevansinya dalam kehidupan sosial.5

Filsafat agama bersifat reflektif, rasional, dan kritis, berbeda dari pendekatan teologis yang berangkat dari keimanan dogmatis, dan berbeda pula dari studi agama yang bersifat deskriptif dan empiris. Sebagai cabang filsafat, ia tidak menerima suatu klaim keagamaan begitu saja, tetapi mengujinya dengan logika dan argumentasi, tanpa bersikap apriori menerima atau menolak.6 Dengan demikian, filsafat agama memberi kontribusi besar dalam memperkaya diskursus keagamaan agar lebih terbuka, dialogis, dan rasional.


Footnotes

[1]                Frederick Ferré, Basic Modern Philosophy of Religion (New York: Charles Scribner’s Sons, 1967), 3.

[2]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 1.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1990), 2–3.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 133–135.

[5]                Peter Byrne, Philosophical and Ethical Problems in Religion (New York: Palgrave Macmillan, 1997), 15–20.

[6]                Yujin Nagasawa, The Existence of God: A Philosophical Introduction (New York: Routledge, 2011), 6–8.


3.           Ruang Lingkup Filsafat Agama

Filsafat agama sebagai bidang kajian memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi berbagai dimensi agama yang ditelaah secara filosofis. Ruang lingkup ini tidak hanya mencakup pertanyaan-pertanyaan klasik tentang eksistensi Tuhan, tetapi juga mencakup masalah bahasa, epistemologi, etika, serta hubungan antara agama dan sains. Pembahasan terhadap berbagai aspek ini menunjukkan bahwa filsafat agama berfungsi sebagai forum rasional yang menguji dasar-dasar keimanan, makna religius, serta dampaknya dalam kehidupan manusia secara menyeluruh.

3.1.       Ontologi Agama: Eksistensi Tuhan dan Realitas Transenden

Salah satu fokus utama filsafat agama adalah pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Para filsuf agama telah merumuskan berbagai argumen klasik seperti argumen kosmologis, argumen teleologis, argumen ontologis, serta argumen moral untuk membuktikan adanya Tuhan.1

Misalnya, argumen kosmologis yang berasal dari pemikiran Aristoteles dan dikembangkan oleh Thomas Aquinas menyatakan bahwa setiap sesuatu yang bergerak pasti disebabkan oleh sesuatu yang lain, sehingga harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.2 Sementara argumen ontologis, seperti yang dirumuskan oleh Anselmus dari Canterbury, berangkat dari konsep Tuhan sebagai "sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya", sehingga eksistensinya dianggap niscaya dalam realitas.3

Sebaliknya, para filsuf ateistik seperti David Hume dan J.L. Mackie mengajukan kritik terhadap argumen-argumen tersebut, terutama dengan menyuarakan problem kejahatan sebagai tantangan terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa.4 Dengan demikian, diskusi ontologis dalam filsafat agama tidak hanya berupaya membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi juga menguji konsistensi dan rasionalitas klaim-klaim metafisis yang diajukan agama.

3.2.       Epistemologi Agama: Sumber dan Validitas Pengetahuan Keagamaan

Filsafat agama juga membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan tentang realitas ilahi dan hal-hal supranatural. Apakah pengetahuan keagamaan bersumber dari wahyu, akal, pengalaman mistik, atau intuisi moral?5

Filsuf seperti Alvin Plantinga mengembangkan teori warranted belief, yaitu bahwa keyakinan terhadap Tuhan dapat bersifat rasional dan dibenarkan meskipun tidak didasarkan pada argumen-argumen filosofis, selama ia timbul dalam kondisi kognitif yang andal.6 Di sisi lain, para empirisis seperti Richard Dawkins menolak validitas pengetahuan keagamaan karena tidak dapat diuji secara ilmiah atau diverifikasi secara objektif.

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa filsafat agama berperan penting dalam mengkritisi fondasi pengetahuan keagamaan dan membedakan antara kepercayaan yang sah secara epistemologis dan yang tidak.

3.3.       Aksiologi Agama: Etika dan Nilai-nilai Keagamaan

Agama sering kali menjadi sumber nilai moral dan panduan etika dalam kehidupan manusia. Filsafat agama menganalisis apakah nilai-nilai moral bersifat objektif karena berasal dari Tuhan, atau bersifat relatif karena merupakan konstruksi budaya.7

Filsuf seperti Immanuel Kant menempatkan agama dalam kerangka etika rasional, dengan menyatakan bahwa agama seharusnya memperkuat hukum moral yang ditemukan oleh akal praktis manusia.8 Sementara itu, filsuf agama kontemporer mengeksplorasi hubungan antara komitmen religius dan tindakan etis dalam konteks global, pluralistik, dan multikultural.

3.4.       Bahasa Agama: Simbol, Metafora, dan Makna

Bahasa agama mengandung simbol-simbol yang sulit dipahami secara literal. Filsafat agama menyelidiki apakah bahasa agama bersifat kognitif (mengandung pernyataan yang benar atau salah) atau non-kognitif (hanya ekspresi emosional atau simbolis).9

Misalnya, Ludwig Wittgenstein melihat bahasa agama sebagai bagian dari “language game” yang memiliki aturan sendiri, sehingga tidak dapat diukur dengan standar ilmiah atau logika formal.10 Diskusi ini penting untuk memahami makna di balik ungkapan-ungkapan religius seperti "Allah itu Maha Pengasih" atau "Surga adalah kenikmatan abadi", yang tidak selalu dapat dipahami secara empiris.

3.5.       Agama dan Sains: Konflik atau Koherensi?

Hubungan antara agama dan sains juga menjadi bagian dari ruang lingkup filsafat agama. Apakah keduanya berada dalam konflik abadi, atau justru dapat saling melengkapi?11

Stephen Jay Gould mengusulkan konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA), yakni bahwa sains dan agama memiliki wilayah wewenang (magisteria) yang berbeda dan tidak tumpang tindih: sains menangani fakta empiris, sedangkan agama mengurusi nilai moral dan makna hidup.12 Namun, ada pula yang berupaya menyatukan keduanya dalam kerangka dialog, seperti Ian Barbour yang merumuskan empat model hubungan antara sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.13


Footnotes

[1]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 38–60.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, Art.3.

[3]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M.J. Charlesworth (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), ch. 2–4.

[4]                J.L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955): 200–212.

[5]                Peter Byrne, Philosophical and Ethical Problems in Religion (New York: Palgrave Macmillan, 1997), 45–60.

[6]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 111–116.

[7]                Michael Peterson et al., Reason and Religious Belief: An Introduction to the Philosophy of Religion, 5th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 245–250.

[8]                Immanuel Kant, Religion within the Boundaries of Mere Reason, trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 87–90.

[9]                Antony Flew and Alasdair MacIntyre, eds., New Essays in Philosophical Theology (London: SCM Press, 1955), 96–122.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–25.

[11]             Mikael Stenmark, How to Relate Science and Religion: A Multidimensional Model (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 10–20.

[12]             Stephen Jay Gould, “Nonoverlapping Magisteria,” Natural History 106 (March 1997): 16–22.

[13]             Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.


4.           Tokoh-Tokoh Penting dalam Filsafat Agama

Perkembangan filsafat agama sebagai disiplin ilmiah tidak dapat dilepaskan dari kontribusi sejumlah tokoh besar yang telah memberikan kerangka pemikiran filosofis terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Para tokoh ini berasal dari berbagai tradisi dan zaman—mulai dari filsafat Yunani klasik, filsafat Islam abad pertengahan, hingga pemikir modern dan kontemporer di Barat. Pemikiran mereka turut membentuk fondasi dan arah perkembangan filsafat agama hingga hari ini.

4.1.       Tokoh-Tokoh Klasik

Salah satu tokoh awal yang memberikan pengaruh besar terhadap diskursus religius adalah Plato (427–347 SM). Ia membahas konsep Ketuhanan dalam bentuk ide tentang “Yang Maha Baik” (the Good) sebagai entitas metafisis tertinggi yang menjadi sumber segala eksistensi dan kebenaran.1 Muridnya, Aristoteles (384–322 SM), mengembangkan ide tentang “Penggerak Tak Bergerak” (Unmoved Mover) sebagai prinsip pertama dalam kosmos, yang kemudian banyak diadopsi oleh teolog dan filsuf abad pertengahan sebagai dasar argumen kosmologis tentang Tuhan.2

Dalam tradisi Helenistik, Plotinus (204–270 M)—pendiri neoplatonisme—menjelaskan realitas tertinggi sebagai “Sang Satu” (the One), sumber dari segala sesuatu, yang hanya bisa didekati melalui kontemplasi mistik.3 Gagasan-gagasan inilah yang kemudian memengaruhi teologi Kristen, Islam, dan Yahudi dalam menjelaskan konsep ketuhanan.

4.2.       Tokoh-Tokoh Abad Pertengahan

Dalam tradisi Kristen, Thomas Aquinas (1225–1274) adalah tokoh penting yang mengintegrasikan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Dalam Summa Theologica, ia mengajukan lima argumen rasional tentang eksistensi Tuhan (lima jalan/quinque viae) yang menjadi dasar argumen teistik klasik hingga kini.4

Dalam dunia Islam, muncul tokoh-tokoh seperti Al-Farabi (872–950), yang dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Ia menekankan pentingnya akal dalam memahami Tuhan dan kenabian, serta menyusun teori emanasi sebagai penjelasan metafisis tentang penciptaan alam semesta.5 Ibnu Sina (980–1037) melanjutkan tradisi ini dengan membedakan antara “wajib al-wujud” (yang niscaya ada) dan “mumkin al-wujud” (yang mungkin ada), suatu konsep yang sangat berpengaruh dalam argumentasi teistik.6

Di sisi lain, Al-Ghazali (1058–1111) mengkritik para filsuf dalam Tahafut al-Falasifah, terutama dalam isu-isu metafisika, namun tetap mengakui peran akal dalam ranah etika dan spiritualitas. Ia merekonsiliasi antara rasionalisme dan sufisme dalam kerangka epistemologi Islam yang khas.7

4.3.       Tokoh-Tokoh Modern

Dalam era modern, Immanuel Kant (1724–1804) menjadi figur kunci dengan pemikirannya tentang keterbatasan akal dalam menjangkau realitas metafisis. Dalam Critique of Pure Reason, ia menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara teoritis, namun dalam Critique of Practical Reason ia mengemukakan bahwa Tuhan adalah postulat moral yang diperlukan untuk menjamin keadilan dan tujuan moralitas manusia.8 Pandangan ini menggeser fokus filsafat agama dari metafisika ke etika.

Søren Kierkegaard (1813–1855), tokoh eksistensialis Kristen, menekankan pentingnya “lompatan iman” (leap of faith) dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Bagi Kierkegaard, iman adalah keputusan subjektif yang melampaui rasio, namun tetap otentik secara eksistensial.9

Friedrich Schleiermacher (1768–1834), tokoh lain dalam tradisi Protestan, melihat agama sebagai ekspresi rasa ketergantungan mutlak terhadap yang transenden, bukan sekadar sistem doktrin atau moralitas. Ia menggeser orientasi filsafat agama ke arah pengalaman religius personal.10

4.4.       Tokoh-Tokoh Kontemporer

Di era kontemporer, pemikiran Alvin Plantinga (lahir 1932) sangat berpengaruh dalam filsafat agama analitik. Ia mengembangkan teori reformed epistemology, yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah “wajar” (properly basic) dan tidak memerlukan bukti eksternal untuk dibenarkan secara rasional.11

Sementara itu, John Hick (1922–2012) mengembangkan model pluralisme religius, yakni bahwa semua agama besar di dunia adalah respons manusia terhadap realitas transenden yang sama, meskipun berbeda dalam ekspresi kultural dan teologis. Ia mendorong dialog lintas agama dan pembacaan agama secara kritis dan inklusif.12

Tokoh lain seperti William Lane Craig dan Richard Swinburne juga menulis secara luas dalam bidang filsafat agama, khususnya dalam mempertahankan argumen-argumen teistik dengan pendekatan logika analitis dan probabilistik.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 505a–509c.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book XII.

[3]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), V.1.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, Art.3.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 134–139.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 52–65.

[7]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), Introduction.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–130.

[9]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 67–90.

[10]             Friedrich Schleiermacher, On Religion: Speeches to Its Cultured Despisers, trans. Richard Crouter (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 22–28.

[11]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 173–200.

[12]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 235–267.


5.           Metode dalam Filsafat Agama

Filsafat agama sebagai cabang filsafat memiliki kekhasan dalam pendekatan dan metode yang digunakannya. Berbeda dengan teologi yang berangkat dari keimanan, atau studi agama yang bersifat empiris dan deskriptif, filsafat agama mengandalkan pendekatan rasional, analitis, dan reflektif-kritis untuk memahami dan menguji konsep-konsep utama dalam agama. Metode yang digunakan dalam filsafat agama bervariasi tergantung pada fokus kajian dan latar belakang tradisi filosofisnya, namun umumnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan utama: metode rasional-analitis, pendekatan fenomenologis, dan pendekatan hermeneutis.

5.1.       Metode Rasional dan Analitis

Metode ini adalah pendekatan yang paling khas dalam filsafat agama modern, terutama dalam tradisi filsafat analitik Anglo-Amerika. Ia menekankan penggunaan logika formal, argumentasi deduktif, dan analisis bahasa untuk menelaah klaim-klaim keagamaan, seperti eksistensi Tuhan, mukjizat, dan kehidupan setelah mati.

Tokoh-tokoh seperti William Rowe, Richard Swinburne, dan Alvin Plantinga menggunakan metode ini untuk mengevaluasi validitas argumen-argumen teistik dan merumuskan epistemologi keagamaan secara sistematis.1 Metode ini memungkinkan filsafat agama berbicara dalam kerangka argumentasi yang dapat diuji secara rasional, seraya tetap menghargai kompleksitas tema-tema religius.

Sebagai contoh, Plantinga mengembangkan argumen bahwa kepercayaan terhadap Tuhan bisa bersifat properly basic, yakni tidak harus dibuktikan melalui argumen deduktif selama muncul dalam kondisi epistemik yang benar dan sah.2 Di sisi lain, Rowe menilai argumen kosmologis dan problem kejahatan sebagai tantangan serius terhadap pandangan teistik, meskipun ia tidak serta merta menolaknya.3

5.2.       Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan ini berupaya memahami pengalaman keagamaan sebagaimana dialami oleh individu, tanpa menilai kebenaran objektif dari klaim agama tersebut. Pendekatan ini berkembang dari filsafat Edmund Husserl dan dikembangkan dalam studi agama oleh tokoh seperti Mircea Eliade, yang melihat agama sebagai struktur pengalaman manusia yang transendental dan bermakna secara simbolik.4

Fenomenologi agama tidak berupaya membuktikan Tuhan secara rasional, tetapi berusaha memahami bagaimana manusia mengalami yang suci (the sacred) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pendekatan ini, simbol, ritus, dan mitos agama dipandang sebagai ekspresi pengalaman eksistensial terdalam yang membentuk struktur kesadaran manusia.5

Meskipun tidak mengandalkan logika formal seperti dalam pendekatan analitis, metode fenomenologis tetap relevan dalam filsafat agama karena membuka jalan untuk memahami aspek-aspek subyektif dan eksistensial dari keyakinan religius, terutama dalam konteks lintas budaya dan pluralisme keagamaan.

5.3.       Pendekatan Hermeneutis

Pendekatan ini menitikberatkan pada penafsiran teks-teks suci dan simbol-simbol keagamaan dalam konteks sejarah, budaya, dan bahasa. Hermeneutika berangkat dari keyakinan bahwa makna tidak bersifat tunggal atau literal, tetapi selalu terkait dengan horizon pemahaman subjek yang menafsirkan.

Tokoh seperti Paul Ricoeur dan Hans-Georg Gadamer memberikan kontribusi besar dalam pendekatan ini, dengan menekankan pentingnya dialog antara pembaca dan teks serta pentingnya pra-pemahaman (pre-understanding) dalam setiap proses interpretasi.6 Dalam filsafat agama, pendekatan ini digunakan untuk menelaah makna wahyu, perumpamaan religius, dan simbolisme dalam kitab suci.

Hermeneutika dalam filsafat agama tidak hanya membongkar makna yang tersembunyi di balik teks-teks keagamaan, tetapi juga mengaitkannya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang lebih luas seperti kebenaran, keberadaan, dan eksistensi manusia.


Ketiga metode ini tidak selalu dipertentangkan, bahkan seringkali saling melengkapi. Seorang filsuf agama bisa menggunakan pendekatan analitis untuk merumuskan argumen, lalu menggunakan pendekatan fenomenologis untuk memahami pengalaman religius yang mendasari argumen tersebut, serta pendekatan hermeneutis untuk menafsirkan teks keagamaan yang menjadi referensinya.

Dengan demikian, filsafat agama sebagai disiplin akademik menunjukkan keterbukaannya terhadap pluralitas pendekatan dan kompleksitas tema, seraya tetap memegang teguh prinsip rasionalitas, refleksi kritis, dan penghormatan terhadap dimensi transenden agama.


Footnotes

[1]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 13–40.

[2]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 173–200.

[3]                William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.

[4]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, trans. Willard R. Trask (New York: Harcourt, 1959), 10–15.

[5]                Gerardus van der Leeuw, Religion in Essence and Manifestation, trans. J.E. Turner (New York: Harper & Row, 1963), 8–22.

[6]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 30–45; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–293.


6.           Isu-Isu Kontemporer dalam Filsafat Agama

Filsafat agama sebagai disiplin yang dinamis terus berkembang menjawab tantangan zaman. Di era modern dan postmodern, muncul berbagai isu baru yang memperluas cakrawala perdebatan dalam filsafat agama. Isu-isu ini tidak hanya menyentuh tema klasik seperti keberadaan Tuhan, tetapi juga mencakup problem etika, epistemologi, pluralisme agama, dan hubungan antara agama dan sains dalam konteks masyarakat sekular. Berikut adalah beberapa isu kontemporer penting yang menjadi pusat perhatian dalam wacana filsafat agama saat ini.

6.1.       Argumen Teistik dan Ateis dalam Era Modern

Perdebatan tentang keberadaan Tuhan tetap menjadi pusat dalam filsafat agama kontemporer, namun dengan pendekatan yang lebih analitis dan multidimensional. Di satu sisi, filsuf seperti Richard Swinburne menggunakan pendekatan probabilistik dan prinsip best explanation untuk mempertahankan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai hipotesis yang paling rasional atas eksistensi alam semesta.1 Di sisi lain, filsuf ateis seperti J.L. Mackie dan Graham Oppy terus mengembangkan argumen-argumen kritis terhadap bukti teistik dan mengajukan penjelasan naturalistik atas fenomena religius.2

Perdebatan ini tidak hanya berkutat pada logika metafisika, tetapi juga bersentuhan dengan epistemologi dan metodologi ilmiah. Misalnya, adanya pengaruh filsafat ilmu dan teori probabilitas memperkaya cara berpikir tentang argumen keagamaan dalam konteks penalaran ilmiah dan empiris.

6.2.       Problem Kejahatan dan Penderitaan

Salah satu isu paling kuat yang diajukan terhadap teisme adalah problem kejahatan (problem of evil). Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih membiarkan penderitaan yang begitu besar di dunia? Argumen ini telah diperkuat dalam konteks tragedi global, bencana alam, dan konflik kemanusiaan.

William Rowe membedakan antara logical problem of evil dan evidential problem of evil. Ia berpendapat bahwa meskipun mungkin tidak secara logis mustahil bagi Tuhan dan kejahatan untuk eksis bersama, namun keberadaan penderitaan yang tampaknya tidak berguna merupakan bukti kuat melawan keberadaan Tuhan yang baik.3 Sementara itu, teolog dan filsuf seperti Alvin Plantinga merespons melalui free will defense, yakni bahwa kejahatan adalah konsekuensi dari kebebasan manusia yang justru diperlukan untuk eksistensi moral yang otentik.4

6.3.       Sekularisasi dan Spiritualitas Pasca-Modern

Modernitas membawa dampak besar terhadap cara manusia memandang agama. Sekularisasi menggeser agama dari ruang publik ke ruang privat, dan filsafat agama kini juga mengkaji posisi agama dalam masyarakat plural dan liberal. Dalam konteks ini, Charles Taylor membahas bagaimana “zaman sekular” bukan berarti hilangnya kepercayaan, tetapi munculnya berbagai cara untuk mempercayai atau tidak mempercayai secara personal dan reflektif.5

Selain itu, spiritualitas pasca-modern cenderung bersifat individualistik, non-dogmatik, dan sinkretik, menantang struktur keagamaan yang mapan. Filsafat agama ditantang untuk merespons fenomena ini tanpa kehilangan ketajaman analitis dan penghargaan terhadap pengalaman eksistensial manusia.6

6.4.       Pluralisme Agama dan Toleransi

Di era globalisasi, pluralisme agama menjadi isu sentral. Apakah semua agama sama-sama valid dalam merespons realitas transenden, ataukah hanya satu agama yang benar? Tokoh seperti John Hick mengembangkan teori pluralisme religius, menyatakan bahwa semua agama besar adalah respon autentik terhadap “Realitas Transenden” yang sama, meskipun dalam bentuk ekspresi yang berbeda.7

Hick mengajukan pendekatan Kantian: seperti halnya “dunia-dalam-dirinya” (noumenon) yang tidak dapat dikenali langsung oleh akal manusia, maka “Realitas Transenden” juga hanya bisa dikenali melalui bentuk-bentuk pengalaman manusiawi yang terbatas.8 Pandangan ini memberikan dasar filosofis bagi dialog antaragama dan sikap toleransi.

Namun, pendekatan pluralis ini dikritik oleh sebagian pemikir teistik sebagai mengabaikan klaim-klaim kebenaran yang khas dalam setiap agama. Karena itu, isu pluralisme tetap menjadi medan debat yang aktif dalam filsafat agama kontemporer.

6.5.       Agama dan Ilmu Pengetahuan

Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan juga menjadi diskursus penting. Di satu sisi, para filsuf seperti Stephen Jay Gould mengusulkan pendekatan Non-Overlapping Magisteria (NOMA), yaitu bahwa agama dan sains memiliki wilayah otoritas yang berbeda dan tidak saling bertentangan.9

Namun, tokoh lain seperti Ian Barbour menawarkan model yang lebih integratif dengan empat tipologi hubungan antara agama dan sains: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Barbour menegaskan bahwa sains dan agama dapat saling memperkaya bila didekati secara epistemologis terbuka dan komunikatif.10

Diskusi ini menunjukkan bahwa filsafat agama tidak hanya berkutat pada metafisika abstrak, tetapi juga bersinggungan dengan realitas kontemporer manusia yang hidup dalam dunia yang diwarnai oleh sains, teknologi, dan perubahan sosial-budaya yang cepat.


Footnotes

[1]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 27–35.

[2]                Graham Oppy, Arguing About Gods (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 102–125.

[3]                William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.

[4]                Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), 29–59.

[5]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 1–23.

[6]                Philip Sheldrake, Spirituality: A Guide for the Perplexed (London: Bloomsbury, 2007), 86–92.

[7]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 240–270.

[8]                Ibid., 246.

[9]                Stephen Jay Gould, “Nonoverlapping Magisteria,” Natural History 106 (March 1997): 16–22.

[10]             Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 89–113.


7.           Filsafat Agama dalam Konteks Islam

Filsafat agama dalam konteks Islam memiliki dinamika tersendiri yang khas dan berbeda dari tradisi Barat. Meskipun istilah filsafat agama (philosophy of religion) tidak dikenal secara eksplisit dalam khazanah klasik Islam, namun substansi kajiannya telah lama hadir dalam berbagai disiplin ilmu seperti ‘ilm al-kalām (teologi rasional), falsafah (filsafat), dan taṣawwuf (mistisisme Islam). Para pemikir Muslim klasik telah mengembangkan pendekatan filosofis terhadap tema-tema religius seperti eksistensi Tuhan, kenabian, wahyu, akal dan wahyu, serta kehidupan setelah mati, dengan kerangka rasional yang kuat.

7.1.       Filsafat dan Teologi: Perdebatan tentang Akal dan Wahyu

Sejak abad ke-9 M, umat Islam mengalami perjumpaan intensif dengan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Plato dan Aristoteles. Hal ini memunculkan perdebatan besar antara kalangan teolog (mutakallimūn) dan filsuf Muslim mengenai otoritas akal dan wahyu.

Kaum Mu‘tazilah, misalnya, menekankan peran akal dalam memahami doktrin-doktrin agama dan berusaha mengharmoniskan konsep keadilan Tuhan dengan kebebasan manusia. Mereka dapat dianggap sebagai pelopor pemikiran rasional dalam Islam.1 Namun, pendekatan rasional ini dikritik oleh Al-Ash‘arī dan pengikutnya, yang memadukan pendekatan skripturalis dengan elemen rasional moderat, dan menjadi arus utama dalam Sunni ortodoks.2

7.2.       Filsuf Muslim Klasik: Integrasi Filsafat dan Agama

Tokoh-tokoh seperti Al-Fārābī (872–950) dan Ibn Sīnā (980–1037) memandang bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan, melainkan dua jalan yang berbeda untuk mencapai kebenaran. Al-Fārābī menyatakan bahwa agama adalah bentuk simbolik dari kebenaran filosofis, dan masyarakat ideal harus dipimpin oleh “nabi-filosof” yang memiliki pengetahuan rasional dan wahyu sekaligus.3

Ibn Sīnā mengembangkan konsep metafisika ketuhanan yang dikenal dengan wājib al-wujūd (Yang Niscaya Ada), yaitu Tuhan sebagai eksistensi yang mustahil tidak ada, dan dari-Nya terpancar seluruh realitas. Ia juga mengembangkan pembahasan mendalam tentang jiwa, kenabian, dan kebahagiaan akhirat dalam kerangka rasional yang sistematis.4

Pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus, namun tetap mempertahankan kerangka Islam sebagai landasan. Akan tetapi, pendekatan ini mendapat tantangan serius dari ulama seperti Al-Ghazālī (1058–1111), yang menuduh para filsuf telah menyimpang dalam tiga isu utama: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.5

7.3.       Al-Ghazālī dan Rekonsiliasi antara Filsafat dan Tasawuf

Al-Ghazālī menjadi tokoh kunci dalam kritik terhadap filsafat rasionalis, namun bukan dalam arti penolakan total terhadap akal. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menunjukkan keterbatasan logika filsafat dalam menjangkau kebenaran mutlak, tetapi dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia justru menggabungkan pendekatan intelektual dan spiritual, dan memperkenalkan kerangka etika dan mistik Islam yang mendalam.6

Al-Ghazālī meyakini bahwa pengalaman spiritual (dhawq) adalah jalan tertinggi dalam mengenal Tuhan, namun tetap mengakui peran penting akal dalam membedakan antara klaim yang valid dan yang batil. Ia menjadi inspirasi bagi pendekatan filsafat agama yang mengintegrasikan akal, iman, dan pengalaman batin.

7.4.       Filsafat dan Tasawuf: Ibn ‘Arabī dan Hikmah Ilāhiyyah

Dalam aliran tasawuf filosofis, tokoh seperti Ibn ‘Arabī (1165–1240) mengembangkan konsep wahdat al-wujūd (kesatuan wujud), yang melihat bahwa seluruh eksistensi berasal dari dan kembali kepada Tuhan. Dalam kerangka ini, filsafat agama tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga mistikal dan simbolik.7

Pemikiran Ibn ‘Arabī memengaruhi filsafat Islam Timur, terutama dalam tradisi hikmah ilāhiyyah (kebijaksanaan ilahiah) yang dikembangkan oleh Mullā Ṣadrā (1571–1640) di Persia. Ṣadrā menyatukan logika filsafat, intuisi sufistik, dan prinsip teologis ke dalam satu sistem metafisika yang disebut al-ḥikmah al-muta‘āliyah (filsafat transenden).8 Ini merupakan kontribusi besar dunia Islam terhadap filsafat agama, yang menekankan integrasi antara rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu.

7.5.       Filsafat Agama di Era Modern Islam

Di zaman modern, filsafat agama dalam dunia Islam menghadapi tantangan sekularisasi, modernisme, dan relativisme nilai. Tokoh seperti Muhammad Iqbal (1877–1938) menyerukan perlunya ijtihad filsafati dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengajak umat Islam untuk memahami kembali dasar-dasar iman dengan pendekatan dinamis dan kritis.9

Sementara itu, filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menolak pendekatan sekular dan menyerukan kembalinya pendekatan sakral dalam memahami realitas. Ia mengkritik pandangan dunia modern yang reduksionis dan mengabaikan dimensi metafisik agama.10

Filsafat agama dalam Islam kontemporer juga mulai bersentuhan dengan pemikiran Barat melalui tokoh seperti Fazlur Rahman dan M. Arkoun, yang mengusulkan pendekatan hermeneutis dan historis terhadap teks-teks keagamaan, serta menjembatani antara modernitas dan tradisi Islam.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 42–47.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–92.

[3]                Alfarabi, On the Perfect State, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 231–245.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 69–84.

[5]                Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, trans. Nabih Amin Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), vol. 1, 22–35.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 15–30.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112–120.

[9]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2012), 5–22.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 43–60.


8.           Kesimpulan

Filsafat agama merupakan bidang kajian yang penting dan relevan dalam memahami agama secara kritis, rasional, dan mendalam. Sebagai cabang filsafat yang membahas aspek-aspek fundamental dari agama—seperti eksistensi Tuhan, wahyu, kejahatan, moralitas, hingga pluralisme—filsafat agama tidak hanya memfokuskan diri pada upaya pembuktian doktrinal, tetapi juga mengedepankan perenungan tentang makna terdalam dari pengalaman religius manusia.

Dengan pendekatan rasional dan analitis, filsafat agama memberikan ruang bagi perdebatan logis dan argumen filosofis tentang berbagai konsep sentral dalam agama. Hal ini terlihat dari kontribusi tokoh-tokoh seperti Anselmus, Thomas Aquinas, hingga Alvin Plantinga, yang memperkaya argumen teistik melalui pendekatan logika dan epistemologi modern.1 Pada saat yang sama, pendekatan fenomenologis dan hermeneutis memperluas cakupan filsafat agama dengan menekankan pengalaman, simbolisme, serta penafsiran yang kontekstual terhadap ekspresi keagamaan.2

Di era kontemporer, filsafat agama menghadapi tantangan dan peluang baru: sekularisasi, relativisme nilai, pluralitas agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Isu-isu seperti problem kejahatan, pluralisme religius, dan hubungan agama dan sains menuntut keterlibatan filsafat agama dalam dialog lintas disiplin dan antartradisi.3 Dalam konteks ini, filsafat agama tidak bersifat apologetik atau doktriner, tetapi membuka ruang refleksi kritis atas keyakinan, baik dari dalam maupun luar perspektif religius.

Dalam tradisi Islam, meskipun istilah filsafat agama muncul belakangan, substansi pembahasannya telah hadir dalam bentuk karya-karya para filsuf Muslim klasik seperti Al-Fārābī, Ibn Sīnā, Al-Ghazālī, dan Mullā Ṣadrā, yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan pengalaman spiritual ke dalam sintesis yang kaya dan mendalam.4 Pemikiran mereka menjadi sumbangan berharga dalam diskursus filsafat agama global, sekaligus menunjukkan bahwa filsafat dan agama bukanlah dua kutub yang saling menafikan, melainkan dapat berjalan beriringan secara dinamis.

Dengan demikian, filsafat agama berperan sebagai jembatan antara iman dan akal, tradisi dan modernitas, serta antara agama dan sains. Ia membantu manusia untuk tidak sekadar percaya, tetapi juga memahami apa yang diyakininya, serta membuka kemungkinan untuk berdialog secara jujur dan terbuka dalam konteks pluralisme zaman ini. Sebagaimana ditegaskan oleh John Hick, filsafat agama pada akhirnya bertujuan “to clarify the concepts and to assess the truth-claims of religion in the light of reason.”_5


Footnotes

[1]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 173–200; Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, Art.3.

[2]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, trans. Willard R. Trask (New York: Harcourt, 1959), 15–20; Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 30–45.

[3]                William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341; John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 240–270.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 133–170; Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112–120.

[5]                John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1990), 2.


Daftar Pustaka

Alfarabi. (1985). On the perfect state (R. Walzer, Trans.). Clarendon Press.

(Original work published ca. 10th century)

Al-Ghazali. (1962). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (N. A. Faris, Trans.). Sh. Muhammad Ashraf.

(Original work published ca. 11th century)

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

(Original work published ca. 1095)

Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (M. J. Charlesworth, Trans.). University of Notre Dame Press.

(Original work published ca. 1078)

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

(Original work published 13th century)

Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.

(Original work published ca. 4th century BCE)

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.

Byrne, P. (1997). Philosophical and ethical problems in religion. Palgrave Macmillan.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion (W. R. Trask, Trans.). Harcourt.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Flew, A., & MacIntyre, A. (Eds.). (1955). New essays in philosophical theology. SCM Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

(Original work published 1960)

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Gould, S. J. (1997). Nonoverlapping magisteria. Natural History, 106(2), 16–22.

Hick, J. (1990). Philosophy of religion (4th ed.). Prentice Hall.

Hick, J. (2004). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent (2nd ed.). Yale University Press.

Iqbal, M. (2012). The reconstruction of religious thought in Islam. Stanford University Press.

(Original work published 1930)

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

(Original work published 1788)

Leeuw, G. van der. (1963). Religion in essence and manifestation (J. E. Turner, Trans.). Harper & Row.

(Original work published 1933)

Mackie, J. L. (1955). Evil and omnipotence. Mind, 64(254), 200–212.

Nagasawa, Y. (2011). The existence of God: A philosophical introduction. Routledge.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Oppy, G. (2006). Arguing about gods. Cambridge University Press.

Peterson, M., Hasker, W., Reichenbach, B., & Basinger, D. (2013). Reason and religious belief: An introduction to the philosophy of religion (5th ed.). Oxford University Press.

Plantinga, A. (1974). God, freedom, and evil. Eerdmans.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

(Original work published ca. 380 BCE)

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Books.

(Original work published ca. 3rd century)

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Rowe, W. L. (1979). The problem of evil and some varieties of atheism. American Philosophical Quarterly, 16(4), 335–341.

Rowe, W. L. (2007). Philosophy of religion: An introduction (4th ed.). Wadsworth.

Schleiermacher, F. (1996). On religion: Speeches to its cultured despisers (R. Crouter, Trans.). Cambridge University Press.

(Original work published 1799)

Sheldrake, P. (2007). Spirituality: A guide for the perplexed. Bloomsbury Academic.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Clarendon Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar