Filsafat Agama
Hakikat, Ruang Lingkup, dan Perkembangannya dalam
Wacana Keilmuan
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat,
ruang lingkup, serta perkembangan filsafat agama sebagai salah satu cabang
penting dalam disiplin filsafat. Melalui pendekatan rasional dan reflektif,
filsafat agama membahas tema-tema fundamental seperti eksistensi Tuhan,
epistemologi keagamaan, etika religius, serta hubungan antara agama dan sains.
Pembahasan juga mencakup peran metode rasional-analitis, fenomenologis, dan
hermeneutis dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan kontemporer, seperti
problem kejahatan, pluralisme agama, sekularisasi, dan spiritualitas
pascamodern. Dalam konteks Islam, filsafat agama telah berkembang melalui
kontribusi pemikir besar seperti Al-Fārābī, Ibn Sīnā, Al-Ghazālī, hingga Mulla
Ṣadrā, yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan pengalaman spiritual ke dalam
pemikiran metafisis dan teologis yang mendalam. Kajian ini menegaskan bahwa
filsafat agama berfungsi sebagai ruang dialog antara iman dan akal, tradisi dan
modernitas, serta agama dan ilmu pengetahuan, dengan tujuan memperdalam
pemahaman rasional terhadap keyakinan religius dan membangun toleransi dalam
masyarakat plural.
Kata Kunci: Filsafat agama, eksistensi Tuhan, epistemologi
keagamaan, pluralisme agama, filsafat Islam, akal dan wahyu, problem kejahatan,
sekularisasi, metodologi filsafat agama.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Agama Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat agama
merupakan salah satu cabang filsafat yang berkembang sebagai respons atas
kebutuhan manusia untuk memahami hakikat terdalam dari keyakinan keagamaan
secara rasional dan sistematis. Ia tidak hanya mempertanyakan kebenaran
doktrin-doktrin agama, tetapi juga menggali dasar-dasar eksistensial dan
metafisik dari keyakinan terhadap Tuhan, wahyu, jiwa, dan kehidupan setelah
mati. Dalam konteks inilah filsafat agama berperan penting sebagai jembatan
antara akal dan iman, antara penalaran filosofis dan pengalaman religius.
Keberadaan filsafat
agama sebagai bidang kajian yang otonom mulai mendapatkan tempat khusus sejak
zaman modern, terutama setelah munculnya pemikiran para filsuf seperti Immanuel
Kant, yang memisahkan ruang iman dan akal dalam upayanya membela otonomi moral
agama tanpa harus mengorbankan rasionalitas filosofis. Kant sendiri menyatakan
bahwa agama harus dibangun dalam batas-batas rasio murni, sebuah posisi yang
menandai titik awal filsafat agama modern sebagai refleksi kritis terhadap
agama dari sudut pandang rasional.1
Namun demikian,
perlu dibedakan secara tegas antara filsafat agama, teologi,
dan ilmu
agama (religious studies). Teologi bersifat normatif dan
berangkat dari keyakinan iman tertentu, sedangkan ilmu agama menggunakan
pendekatan empiris dan historis untuk mengkaji fenomena agama secara objektif.
Sementara itu, filsafat agama bersifat reflektif-kritis: ia bertanya tentang
kebermaknaan konsep-konsep inti dalam agama, seperti Tuhan, mukjizat, doa, atau
wahyu, dengan menggunakan analisis logis dan argumentasi rasional, tanpa
memihak pada satu tradisi agama tertentu.2
Urgensi filsafat
agama semakin menonjol dalam era kontemporer yang ditandai oleh pluralitas
agama, sekularisasi, dan pencarian spiritualitas baru. Dalam masyarakat modern
yang semakin rasional dan ilmiah, filsafat agama memberikan ruang bagi refleksi
mendalam tentang posisi agama dalam kehidupan manusia. Ia juga menyediakan
kerangka berpikir kritis yang memungkinkan dialog antaragama dan menjembatani
kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan keyakinan keagamaan.3
Dalam konteks ini,
filsafat agama bukan sekadar membela agama atau menggugatnya, tetapi lebih dari
itu: ia membantu manusia untuk memahami secara lebih jernih dasar-dasar
kepercayaannya, menghindarkan dari fanatisme, dan membuka ruang bagi perjumpaan
lintas iman secara intelektual. Oleh karena itu, pemahaman terhadap filsafat
agama menjadi penting tidak hanya bagi para filsuf atau teolog, tetapi juga
bagi siapa pun yang ingin mendalami agama secara mendalam, rasional, dan
terbuka.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Religion within the Boundaries of Mere Reason,
trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–10.
[2]
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th
ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 1–3.
[3]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 10–12.
2.
Pengertian Filsafat
Agama
Secara etimologis,
istilah filsafat
agama terdiri dari dua kata, yaitu filsafat (dari bahasa Yunani philosophia:
cinta kebijaksanaan) dan agama, yang mengacu pada sistem
keyakinan terhadap realitas transenden, praktik spiritual, dan nilai-nilai
moral yang diyakini berasal dari wahyu ilahi. Maka, secara umum, filsafat agama
dapat dimaknai sebagai cabang filsafat yang menggunakan pendekatan rasional dan
kritis untuk menganalisis konsep-konsep fundamental dalam agama.1
Menurut William L.
Rowe, filsafat agama adalah “kajian filosofis tentang tema-tema dan
konsep-konsep utama dalam agama, termasuk sifat Tuhan, eksistensi Tuhan,
problem kejahatan, dan hubungan antara iman dan akal.”_2
Definisi ini menunjukkan bahwa filsafat agama tidak terbatas pada satu agama
tertentu, tetapi menyelidiki secara umum aspek-aspek universal dalam semua
bentuk agama, baik teistik maupun non-teistik.
John Hick, seorang
filsuf agama terkemuka abad ke-20, mendefinisikan filsafat agama sebagai usaha
intelektual untuk mengklarifikasi dan mengevaluasi keyakinan-keyakinan
keagamaan menggunakan metode rasional dan filosofis. Ia menekankan bahwa
filsafat agama berperan dalam menggali makna dari konsep-konsep keagamaan agar
dapat dimengerti dan dipertanggungjawabkan secara logis oleh akal manusia.3
Sementara itu, dalam
konteks pemikiran Islam, filsafat agama tidak selalu hadir dengan istilah yang sama,
tetapi banyak ditemukan dalam bentuk pembahasan dalam ilmu kalam, tasawuf
falsafi, dan filsafat Islam klasik. Al-Farabi, misalnya, mengembangkan
pemikiran tentang Tuhan dan kenabian dengan pendekatan logika dan metafisika
Aristotelian. Bagi Al-Farabi, agama adalah simbolisasi filosofis dari kebenaran
metafisis yang dapat diakses oleh akal para filosof dan dijabarkan dalam bentuk
mitos dan syariat untuk masyarakat umum.4
Secara ontologis,
filsafat agama menyoroti realitas metafisis yang menjadi dasar agama—seperti
keberadaan Tuhan, makna eksistensi manusia, dan kehidupan setelah mati. Secara
epistemologis, filsafat agama membahas cara manusia mengetahui kebenaran agama:
apakah melalui wahyu, akal, intuisi, atau pengalaman mistik. Dan secara
aksiologis, filsafat agama mengevaluasi nilai-nilai moral dan etika yang
dikandung agama serta relevansinya dalam kehidupan sosial.5
Filsafat agama
bersifat reflektif, rasional, dan kritis,
berbeda dari pendekatan teologis yang berangkat dari keimanan dogmatis, dan berbeda
pula dari studi agama yang bersifat deskriptif dan empiris. Sebagai cabang
filsafat, ia tidak menerima suatu klaim keagamaan begitu saja, tetapi
mengujinya dengan logika dan argumentasi, tanpa bersikap apriori menerima atau
menolak.6 Dengan demikian, filsafat agama memberi kontribusi besar
dalam memperkaya diskursus keagamaan agar lebih terbuka, dialogis, dan
rasional.
Footnotes
[1]
Frederick Ferré, Basic Modern Philosophy of Religion (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1967), 3.
[2]
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th
ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 1.
[3]
John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 1990), 2–3.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 133–135.
[5]
Peter Byrne, Philosophical and Ethical Problems in Religion
(New York: Palgrave Macmillan, 1997), 15–20.
[6]
Yujin Nagasawa, The Existence of God: A Philosophical Introduction
(New York: Routledge, 2011), 6–8.
3.
Ruang Lingkup
Filsafat Agama
Filsafat agama
sebagai bidang kajian memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi berbagai
dimensi agama yang ditelaah secara filosofis. Ruang lingkup ini tidak hanya
mencakup pertanyaan-pertanyaan klasik tentang eksistensi Tuhan, tetapi juga
mencakup masalah bahasa, epistemologi, etika, serta hubungan antara agama dan
sains. Pembahasan terhadap berbagai aspek ini menunjukkan bahwa filsafat agama
berfungsi sebagai forum rasional yang menguji dasar-dasar keimanan, makna
religius, serta dampaknya dalam kehidupan manusia secara menyeluruh.
3.1.
Ontologi
Agama: Eksistensi Tuhan dan Realitas Transenden
Salah satu fokus
utama filsafat agama adalah pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Para filsuf agama telah merumuskan berbagai argumen klasik seperti argumen
kosmologis, argumen teleologis, argumen
ontologis, serta argumen moral untuk membuktikan
adanya Tuhan.1
Misalnya, argumen
kosmologis yang berasal dari pemikiran Aristoteles dan dikembangkan oleh Thomas
Aquinas menyatakan bahwa setiap sesuatu yang bergerak pasti disebabkan oleh
sesuatu yang lain, sehingga harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan,
yaitu Tuhan.2 Sementara argumen ontologis, seperti yang dirumuskan
oleh Anselmus dari Canterbury, berangkat dari konsep Tuhan sebagai "sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang
lebih besar daripadanya", sehingga eksistensinya dianggap
niscaya dalam realitas.3
Sebaliknya, para
filsuf ateistik seperti David Hume dan J.L. Mackie mengajukan kritik terhadap
argumen-argumen tersebut, terutama dengan menyuarakan problem kejahatan
sebagai tantangan terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa.4
Dengan demikian, diskusi ontologis dalam filsafat agama tidak hanya berupaya
membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi juga menguji konsistensi dan rasionalitas
klaim-klaim metafisis yang diajukan agama.
3.2.
Epistemologi
Agama: Sumber dan Validitas Pengetahuan Keagamaan
Filsafat agama juga
membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan tentang realitas ilahi dan
hal-hal supranatural. Apakah pengetahuan keagamaan bersumber dari wahyu, akal,
pengalaman mistik, atau intuisi moral?5
Filsuf seperti Alvin
Plantinga mengembangkan teori warranted belief, yaitu bahwa
keyakinan terhadap Tuhan dapat bersifat rasional dan dibenarkan meskipun tidak
didasarkan pada argumen-argumen filosofis, selama ia timbul dalam kondisi
kognitif yang andal.6 Di sisi lain, para empirisis seperti Richard
Dawkins menolak validitas pengetahuan keagamaan karena tidak dapat diuji secara
ilmiah atau diverifikasi secara objektif.
Pertanyaan-pertanyaan
ini menunjukkan bahwa filsafat agama berperan penting dalam mengkritisi fondasi
pengetahuan keagamaan dan membedakan antara kepercayaan yang sah secara
epistemologis dan yang tidak.
3.3.
Aksiologi
Agama: Etika dan Nilai-nilai Keagamaan
Agama sering kali
menjadi sumber nilai moral dan panduan etika dalam kehidupan manusia. Filsafat
agama menganalisis apakah nilai-nilai moral bersifat objektif karena berasal
dari Tuhan, atau bersifat relatif karena merupakan konstruksi budaya.7
Filsuf seperti
Immanuel Kant menempatkan agama dalam kerangka etika rasional, dengan
menyatakan bahwa agama seharusnya memperkuat hukum moral yang ditemukan oleh
akal praktis manusia.8 Sementara itu, filsuf agama kontemporer
mengeksplorasi hubungan antara komitmen religius dan tindakan etis dalam
konteks global, pluralistik, dan multikultural.
3.4.
Bahasa Agama:
Simbol, Metafora, dan Makna
Bahasa agama
mengandung simbol-simbol yang sulit dipahami secara literal. Filsafat agama
menyelidiki apakah bahasa agama bersifat kognitif (mengandung pernyataan yang
benar atau salah) atau non-kognitif (hanya ekspresi emosional atau simbolis).9
Misalnya, Ludwig
Wittgenstein melihat bahasa agama sebagai bagian dari “language game” yang
memiliki aturan sendiri, sehingga tidak dapat diukur dengan standar ilmiah atau
logika formal.10 Diskusi ini penting untuk memahami makna di balik
ungkapan-ungkapan religius seperti "Allah itu Maha Pengasih"
atau "Surga adalah kenikmatan abadi", yang tidak selalu dapat
dipahami secara empiris.
3.5.
Agama dan
Sains: Konflik atau Koherensi?
Hubungan antara
agama dan sains juga menjadi bagian dari ruang lingkup filsafat agama. Apakah
keduanya berada dalam konflik abadi, atau justru dapat saling melengkapi?11
Stephen Jay Gould
mengusulkan konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA),
yakni bahwa sains dan agama memiliki wilayah wewenang (magisteria) yang berbeda
dan tidak tumpang tindih: sains menangani fakta empiris, sedangkan agama
mengurusi nilai moral dan makna hidup.12 Namun, ada pula yang
berupaya menyatukan keduanya dalam kerangka dialog, seperti Ian Barbour yang
merumuskan empat model hubungan antara sains dan agama: konflik, independensi,
dialog, dan integrasi.13
Footnotes
[1]
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th
ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 38–60.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, Art.3.
[3]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M.J. Charlesworth
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), ch. 2–4.
[4]
J.L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955):
200–212.
[5]
Peter Byrne, Philosophical and Ethical Problems in Religion
(New York: Palgrave Macmillan, 1997), 45–60.
[6]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford
University Press, 2000), 111–116.
[7]
Michael Peterson et al., Reason and Religious Belief: An
Introduction to the Philosophy of Religion, 5th ed. (New York: Oxford
University Press, 2013), 245–250.
[8]
Immanuel Kant, Religion within the Boundaries of Mere Reason,
trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 87–90.
[9]
Antony Flew and Alasdair MacIntyre, eds., New Essays in
Philosophical Theology (London: SCM Press, 1955), 96–122.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–25.
[11]
Mikael Stenmark, How to Relate Science and Religion: A
Multidimensional Model (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 10–20.
[12]
Stephen Jay Gould, “Nonoverlapping Magisteria,” Natural History
106 (March 1997): 16–22.
[13]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary
Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 77–104.
4.
Tokoh-Tokoh Penting
dalam Filsafat Agama
Perkembangan
filsafat agama sebagai disiplin ilmiah tidak dapat dilepaskan dari kontribusi
sejumlah tokoh besar yang telah memberikan kerangka pemikiran filosofis
terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Para tokoh ini berasal dari berbagai
tradisi dan zaman—mulai dari filsafat Yunani klasik, filsafat Islam abad
pertengahan, hingga pemikir modern dan kontemporer di Barat. Pemikiran mereka
turut membentuk fondasi dan arah perkembangan filsafat agama hingga hari ini.
4.1.
Tokoh-Tokoh
Klasik
Salah satu tokoh
awal yang memberikan pengaruh besar terhadap diskursus religius adalah Plato
(427–347 SM). Ia membahas konsep Ketuhanan dalam bentuk ide
tentang “Yang Maha Baik” (the Good) sebagai entitas metafisis
tertinggi yang menjadi sumber segala eksistensi dan kebenaran.1
Muridnya, Aristoteles (384–322 SM),
mengembangkan ide tentang “Penggerak Tak Bergerak” (Unmoved Mover)
sebagai prinsip pertama dalam kosmos, yang kemudian banyak diadopsi oleh teolog
dan filsuf abad pertengahan sebagai dasar argumen kosmologis tentang Tuhan.2
Dalam tradisi
Helenistik, Plotinus (204–270 M)—pendiri
neoplatonisme—menjelaskan realitas tertinggi sebagai “Sang Satu” (the One),
sumber dari segala sesuatu, yang hanya bisa didekati melalui kontemplasi
mistik.3 Gagasan-gagasan inilah yang kemudian memengaruhi teologi
Kristen, Islam, dan Yahudi dalam menjelaskan konsep ketuhanan.
4.2.
Tokoh-Tokoh
Abad Pertengahan
Dalam tradisi
Kristen, Thomas Aquinas (1225–1274)
adalah tokoh penting yang mengintegrasikan filsafat Aristoteles dengan teologi
Kristen. Dalam Summa Theologica, ia mengajukan
lima argumen rasional tentang eksistensi Tuhan (lima jalan/quinque viae) yang
menjadi dasar argumen teistik klasik hingga kini.4
Dalam dunia Islam,
muncul tokoh-tokoh seperti Al-Farabi (872–950), yang
dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Ia menekankan
pentingnya akal dalam memahami Tuhan dan kenabian, serta menyusun teori emanasi
sebagai penjelasan metafisis tentang penciptaan alam semesta.5 Ibnu
Sina (980–1037) melanjutkan tradisi ini dengan membedakan
antara “wajib al-wujud” (yang niscaya ada) dan “mumkin al-wujud” (yang
mungkin ada), suatu konsep yang sangat berpengaruh dalam argumentasi teistik.6
Di sisi lain, Al-Ghazali
(1058–1111) mengkritik para filsuf dalam Tahafut
al-Falasifah, terutama dalam isu-isu metafisika, namun tetap
mengakui peran akal dalam ranah etika dan spiritualitas. Ia merekonsiliasi
antara rasionalisme dan sufisme dalam kerangka epistemologi Islam yang khas.7
4.3.
Tokoh-Tokoh
Modern
Dalam era modern, Immanuel
Kant (1724–1804) menjadi figur kunci dengan pemikirannya
tentang keterbatasan akal dalam menjangkau realitas metafisis. Dalam Critique
of Pure Reason, ia menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan secara teoritis, namun dalam Critique of Practical Reason ia
mengemukakan bahwa Tuhan adalah postulat moral yang diperlukan untuk menjamin
keadilan dan tujuan moralitas manusia.8 Pandangan ini menggeser
fokus filsafat agama dari metafisika ke etika.
Søren
Kierkegaard (1813–1855), tokoh eksistensialis Kristen,
menekankan pentingnya “lompatan iman” (leap of faith) dalam hubungan manusia
dengan Tuhan. Bagi Kierkegaard, iman adalah keputusan subjektif yang melampaui
rasio, namun tetap otentik secara eksistensial.9
Friedrich
Schleiermacher (1768–1834), tokoh lain dalam tradisi Protestan,
melihat agama sebagai ekspresi rasa ketergantungan mutlak terhadap yang
transenden, bukan sekadar sistem doktrin atau moralitas. Ia menggeser orientasi
filsafat agama ke arah pengalaman religius personal.10
4.4.
Tokoh-Tokoh
Kontemporer
Di era kontemporer,
pemikiran Alvin Plantinga (lahir 1932)
sangat berpengaruh dalam filsafat agama analitik. Ia mengembangkan teori reformed
epistemology, yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan
adalah “wajar” (properly basic) dan tidak memerlukan
bukti eksternal untuk dibenarkan secara rasional.11
Sementara itu, John
Hick (1922–2012) mengembangkan model pluralisme
religius, yakni bahwa semua agama besar di dunia adalah respons
manusia terhadap realitas transenden yang sama, meskipun berbeda dalam ekspresi
kultural dan teologis. Ia mendorong dialog lintas agama dan pembacaan agama
secara kritis dan inklusif.12
Tokoh lain seperti William
Lane Craig dan Richard Swinburne juga menulis
secara luas dalam bidang filsafat agama, khususnya dalam mempertahankan
argumen-argumen teistik dengan pendekatan logika analitis dan probabilistik.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 505a–509c.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
Book XII.
[3]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London:
Penguin Books, 1991), V.1.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q.2, Art.3.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 134–139.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 52–65.
[7]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000),
Introduction.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–130.
[9]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 67–90.
[10]
Friedrich Schleiermacher, On Religion: Speeches to Its Cultured
Despisers, trans. Richard Crouter (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 22–28.
[11]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford
University Press, 2000), 173–200.
[12]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 235–267.
5.
Metode dalam
Filsafat Agama
Filsafat agama
sebagai cabang filsafat memiliki kekhasan dalam pendekatan dan metode yang
digunakannya. Berbeda dengan teologi yang berangkat dari keimanan, atau studi
agama yang bersifat empiris dan deskriptif, filsafat agama mengandalkan
pendekatan rasional, analitis,
dan reflektif-kritis
untuk memahami dan menguji konsep-konsep utama dalam agama. Metode yang
digunakan dalam filsafat agama bervariasi tergantung pada fokus kajian dan
latar belakang tradisi filosofisnya, namun umumnya dapat dikelompokkan ke dalam
tiga pendekatan utama: metode rasional-analitis, pendekatan
fenomenologis, dan pendekatan hermeneutis.
5.1.
Metode
Rasional dan Analitis
Metode ini adalah
pendekatan yang paling khas dalam filsafat agama modern, terutama dalam tradisi
filsafat analitik Anglo-Amerika. Ia menekankan penggunaan logika
formal, argumentasi deduktif, dan analisis
bahasa untuk menelaah klaim-klaim keagamaan, seperti eksistensi
Tuhan, mukjizat, dan kehidupan setelah mati.
Tokoh-tokoh seperti William
Rowe, Richard Swinburne, dan Alvin
Plantinga menggunakan metode ini untuk mengevaluasi validitas
argumen-argumen teistik dan merumuskan epistemologi keagamaan secara sistematis.1
Metode ini memungkinkan filsafat agama berbicara dalam kerangka argumentasi
yang dapat diuji secara rasional, seraya tetap menghargai kompleksitas
tema-tema religius.
Sebagai contoh,
Plantinga mengembangkan argumen bahwa kepercayaan terhadap Tuhan bisa bersifat properly
basic, yakni tidak harus dibuktikan melalui argumen deduktif selama
muncul dalam kondisi epistemik yang benar dan sah.2 Di sisi lain,
Rowe menilai argumen kosmologis dan problem kejahatan sebagai tantangan serius
terhadap pandangan teistik, meskipun ia tidak serta merta menolaknya.3
5.2.
Pendekatan
Fenomenologis
Pendekatan ini
berupaya memahami pengalaman keagamaan
sebagaimana dialami oleh individu, tanpa menilai kebenaran objektif dari klaim
agama tersebut. Pendekatan ini berkembang dari filsafat Edmund Husserl dan
dikembangkan dalam studi agama oleh tokoh seperti Mircea
Eliade, yang melihat agama sebagai struktur pengalaman manusia
yang transendental dan bermakna secara simbolik.4
Fenomenologi agama
tidak berupaya membuktikan Tuhan secara rasional, tetapi berusaha memahami
bagaimana manusia mengalami yang suci (the sacred) dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pendekatan ini, simbol, ritus, dan mitos agama dipandang
sebagai ekspresi pengalaman eksistensial terdalam yang membentuk struktur
kesadaran manusia.5
Meskipun tidak
mengandalkan logika formal seperti dalam pendekatan analitis, metode
fenomenologis tetap relevan dalam filsafat agama karena membuka jalan untuk
memahami aspek-aspek subyektif dan eksistensial dari keyakinan religius,
terutama dalam konteks lintas budaya dan pluralisme keagamaan.
5.3.
Pendekatan
Hermeneutis
Pendekatan ini
menitikberatkan pada penafsiran teks-teks suci dan
simbol-simbol keagamaan dalam konteks sejarah, budaya, dan bahasa. Hermeneutika
berangkat dari keyakinan bahwa makna tidak bersifat tunggal atau literal,
tetapi selalu terkait dengan horizon pemahaman subjek yang menafsirkan.
Tokoh seperti Paul
Ricoeur dan Hans-Georg Gadamer memberikan kontribusi besar dalam
pendekatan ini, dengan menekankan pentingnya dialog antara pembaca dan teks
serta pentingnya pra-pemahaman (pre-understanding) dalam setiap proses
interpretasi.6 Dalam filsafat agama, pendekatan ini digunakan untuk
menelaah makna wahyu, perumpamaan religius, dan simbolisme dalam kitab suci.
Hermeneutika dalam
filsafat agama tidak hanya membongkar makna yang tersembunyi di balik teks-teks
keagamaan, tetapi juga mengaitkannya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis
yang lebih luas seperti kebenaran, keberadaan, dan eksistensi manusia.
Ketiga metode ini
tidak selalu dipertentangkan, bahkan seringkali saling melengkapi. Seorang
filsuf agama bisa menggunakan pendekatan analitis untuk merumuskan argumen, lalu
menggunakan pendekatan fenomenologis untuk memahami pengalaman religius yang
mendasari argumen tersebut, serta pendekatan hermeneutis untuk menafsirkan teks
keagamaan yang menjadi referensinya.
Dengan demikian,
filsafat agama sebagai disiplin akademik menunjukkan keterbukaannya terhadap
pluralitas pendekatan dan kompleksitas tema, seraya tetap memegang teguh
prinsip rasionalitas, refleksi kritis, dan penghormatan terhadap dimensi
transenden agama.
Footnotes
[1]
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction, 4th
ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2007), 13–40.
[2]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford
University Press, 2000), 173–200.
[3]
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American
Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.
[4]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion,
trans. Willard R. Trask (New York: Harcourt, 1959), 10–15.
[5]
Gerardus van der Leeuw, Religion in Essence and Manifestation,
trans. J.E. Turner (New York: Harper & Row, 1963), 8–22.
[6]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 30–45;
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and
Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–293.
6.
Isu-Isu Kontemporer
dalam Filsafat Agama
Filsafat agama
sebagai disiplin yang dinamis terus berkembang menjawab tantangan zaman. Di era
modern dan postmodern, muncul berbagai isu baru yang memperluas cakrawala
perdebatan dalam filsafat agama. Isu-isu ini tidak hanya menyentuh tema klasik
seperti keberadaan Tuhan, tetapi juga mencakup problem etika, epistemologi,
pluralisme agama, dan hubungan antara agama dan sains dalam konteks masyarakat
sekular. Berikut adalah beberapa isu kontemporer penting yang menjadi pusat
perhatian dalam wacana filsafat agama saat ini.
6.1.
Argumen
Teistik dan Ateis dalam Era Modern
Perdebatan tentang
keberadaan Tuhan tetap menjadi pusat dalam filsafat agama kontemporer, namun
dengan pendekatan yang lebih analitis dan multidimensional. Di satu sisi,
filsuf seperti Richard Swinburne menggunakan
pendekatan probabilistik dan prinsip best explanation untuk
mempertahankan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai hipotesis yang paling
rasional atas eksistensi alam semesta.1 Di sisi lain, filsuf ateis
seperti J.L. Mackie dan Graham
Oppy terus mengembangkan argumen-argumen kritis terhadap bukti
teistik dan mengajukan penjelasan naturalistik atas fenomena religius.2
Perdebatan ini tidak
hanya berkutat pada logika metafisika, tetapi juga bersentuhan dengan
epistemologi dan metodologi ilmiah. Misalnya, adanya pengaruh filsafat ilmu dan
teori probabilitas memperkaya cara berpikir tentang argumen keagamaan dalam
konteks penalaran ilmiah dan empiris.
6.2.
Problem
Kejahatan dan Penderitaan
Salah satu isu
paling kuat yang diajukan terhadap teisme adalah problem
kejahatan (problem of evil). Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha
Kuasa dan Maha Pengasih membiarkan penderitaan yang begitu besar di dunia?
Argumen ini telah diperkuat dalam konteks tragedi global, bencana alam, dan
konflik kemanusiaan.
William
Rowe membedakan antara logical problem of evil dan evidential
problem of evil. Ia berpendapat bahwa meskipun mungkin tidak secara
logis mustahil bagi Tuhan dan kejahatan untuk eksis bersama, namun keberadaan
penderitaan yang tampaknya tidak berguna merupakan bukti kuat melawan keberadaan
Tuhan yang baik.3 Sementara itu, teolog dan filsuf seperti Alvin
Plantinga merespons melalui free will defense, yakni bahwa
kejahatan adalah konsekuensi dari kebebasan manusia yang justru diperlukan
untuk eksistensi moral yang otentik.4
6.3.
Sekularisasi
dan Spiritualitas Pasca-Modern
Modernitas membawa
dampak besar terhadap cara manusia memandang agama. Sekularisasi
menggeser agama dari ruang publik ke ruang privat, dan filsafat agama kini juga
mengkaji posisi agama dalam masyarakat plural dan liberal. Dalam konteks ini, Charles
Taylor membahas bagaimana “zaman sekular” bukan berarti
hilangnya kepercayaan, tetapi munculnya berbagai cara untuk mempercayai atau
tidak mempercayai secara personal dan reflektif.5
Selain itu,
spiritualitas pasca-modern cenderung bersifat individualistik, non-dogmatik,
dan sinkretik,
menantang struktur keagamaan yang mapan. Filsafat agama ditantang untuk
merespons fenomena ini tanpa kehilangan ketajaman analitis dan penghargaan
terhadap pengalaman eksistensial manusia.6
6.4.
Pluralisme
Agama dan Toleransi
Di era globalisasi, pluralisme
agama menjadi isu sentral. Apakah semua agama sama-sama valid
dalam merespons realitas transenden, ataukah hanya satu agama yang benar? Tokoh
seperti John Hick mengembangkan teori
pluralisme religius, menyatakan bahwa semua agama besar adalah
respon autentik terhadap “Realitas Transenden” yang sama, meskipun dalam
bentuk ekspresi yang berbeda.7
Hick mengajukan
pendekatan Kantian: seperti halnya “dunia-dalam-dirinya” (noumenon)
yang tidak dapat dikenali langsung oleh akal manusia, maka “Realitas
Transenden” juga hanya bisa dikenali melalui bentuk-bentuk pengalaman
manusiawi yang terbatas.8 Pandangan ini memberikan dasar filosofis
bagi dialog antaragama dan sikap toleransi.
Namun, pendekatan
pluralis ini dikritik oleh sebagian pemikir teistik sebagai mengabaikan
klaim-klaim kebenaran yang khas dalam setiap agama. Karena itu, isu pluralisme
tetap menjadi medan debat yang aktif dalam filsafat agama kontemporer.
6.5.
Agama dan
Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara agama
dan ilmu pengetahuan juga menjadi diskursus penting. Di satu sisi, para filsuf
seperti Stephen Jay Gould mengusulkan
pendekatan Non-Overlapping
Magisteria (NOMA), yaitu bahwa agama dan sains memiliki wilayah
otoritas yang berbeda dan tidak saling bertentangan.9
Namun, tokoh lain
seperti Ian Barbour menawarkan model
yang lebih integratif dengan empat tipologi hubungan antara agama dan sains:
konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Barbour menegaskan bahwa sains
dan agama dapat saling memperkaya bila didekati secara epistemologis terbuka
dan komunikatif.10
Diskusi ini
menunjukkan bahwa filsafat agama tidak hanya berkutat pada metafisika abstrak,
tetapi juga bersinggungan dengan realitas kontemporer manusia yang hidup dalam
dunia yang diwarnai oleh sains, teknologi, dan perubahan sosial-budaya yang
cepat.
Footnotes
[1]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford:
Clarendon Press, 2004), 27–35.
[2]
Graham Oppy, Arguing About Gods (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 102–125.
[3]
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American
Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341.
[4]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids:
Eerdmans, 1974), 29–59.
[5]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press,
2007), 1–23.
[6]
Philip Sheldrake, Spirituality: A Guide for the Perplexed
(London: Bloomsbury, 2007), 86–92.
[7]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 240–270.
[8]
Ibid., 246.
[9]
Stephen Jay Gould, “Nonoverlapping Magisteria,” Natural History
106 (March 1997): 16–22.
[10]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary
Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 89–113.
7.
Filsafat Agama dalam
Konteks Islam
Filsafat agama dalam
konteks Islam memiliki dinamika tersendiri yang khas dan berbeda dari tradisi
Barat. Meskipun istilah filsafat agama (philosophy of
religion) tidak dikenal secara eksplisit dalam khazanah klasik Islam, namun
substansi kajiannya telah lama hadir dalam berbagai disiplin ilmu seperti ‘ilm
al-kalām (teologi rasional), falsafah (filsafat), dan taṣawwuf
(mistisisme Islam). Para pemikir Muslim klasik telah mengembangkan pendekatan
filosofis terhadap tema-tema religius seperti eksistensi Tuhan, kenabian,
wahyu, akal dan wahyu, serta kehidupan setelah mati, dengan kerangka rasional
yang kuat.
7.1.
Filsafat dan
Teologi: Perdebatan tentang Akal dan Wahyu
Sejak abad ke-9 M,
umat Islam mengalami perjumpaan intensif dengan filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Plato dan Aristoteles.
Hal ini memunculkan perdebatan besar antara kalangan teolog (mutakallimūn)
dan filsuf
Muslim mengenai otoritas akal dan wahyu.
Kaum Mu‘tazilah,
misalnya, menekankan peran akal dalam memahami doktrin-doktrin agama dan
berusaha mengharmoniskan konsep keadilan Tuhan dengan kebebasan manusia. Mereka
dapat dianggap sebagai pelopor pemikiran rasional dalam Islam.1
Namun, pendekatan rasional ini dikritik oleh Al-Ash‘arī dan pengikutnya,
yang memadukan pendekatan skripturalis dengan elemen rasional moderat, dan
menjadi arus utama dalam Sunni ortodoks.2
7.2.
Filsuf Muslim
Klasik: Integrasi Filsafat dan Agama
Tokoh-tokoh seperti Al-Fārābī
(872–950) dan Ibn Sīnā (980–1037) memandang
bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan, melainkan dua jalan yang berbeda
untuk mencapai kebenaran. Al-Fārābī menyatakan bahwa agama adalah bentuk
simbolik dari kebenaran filosofis, dan masyarakat ideal harus dipimpin oleh “nabi-filosof”
yang memiliki pengetahuan rasional dan wahyu sekaligus.3
Ibn Sīnā
mengembangkan konsep metafisika ketuhanan yang dikenal dengan wājib
al-wujūd (Yang Niscaya Ada), yaitu Tuhan sebagai eksistensi yang
mustahil tidak ada, dan dari-Nya terpancar seluruh realitas. Ia juga
mengembangkan pembahasan mendalam tentang jiwa, kenabian, dan kebahagiaan
akhirat dalam kerangka rasional yang sistematis.4
Pemikiran mereka
sangat dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus, namun tetap mempertahankan
kerangka Islam sebagai landasan. Akan tetapi, pendekatan ini mendapat tantangan
serius dari ulama seperti Al-Ghazālī (1058–1111), yang
menuduh para filsuf telah menyimpang dalam tiga isu utama: kekekalan alam,
pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan kebangkitan jasmani.5
7.3.
Al-Ghazālī
dan Rekonsiliasi antara Filsafat dan Tasawuf
Al-Ghazālī menjadi
tokoh kunci dalam kritik terhadap filsafat rasionalis, namun bukan dalam arti
penolakan total terhadap akal. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia
menunjukkan keterbatasan logika filsafat dalam menjangkau kebenaran mutlak,
tetapi dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia justru
menggabungkan pendekatan intelektual dan spiritual, dan memperkenalkan kerangka
etika dan mistik Islam yang mendalam.6
Al-Ghazālī meyakini
bahwa pengalaman spiritual (dhawq) adalah jalan tertinggi dalam
mengenal Tuhan, namun tetap mengakui peran penting akal dalam membedakan antara
klaim yang valid dan yang batil. Ia menjadi inspirasi bagi pendekatan filsafat
agama yang mengintegrasikan akal, iman, dan pengalaman batin.
7.4.
Filsafat dan
Tasawuf: Ibn ‘Arabī dan Hikmah Ilāhiyyah
Dalam aliran tasawuf
filosofis, tokoh seperti Ibn ‘Arabī (1165–1240)
mengembangkan konsep wahdat al-wujūd (kesatuan wujud),
yang melihat bahwa seluruh eksistensi berasal dari dan kembali kepada Tuhan.
Dalam kerangka ini, filsafat agama tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga
mistikal dan simbolik.7
Pemikiran Ibn ‘Arabī
memengaruhi filsafat Islam Timur, terutama dalam tradisi hikmah
ilāhiyyah (kebijaksanaan ilahiah) yang dikembangkan oleh Mullā Ṣadrā
(1571–1640) di Persia. Ṣadrā menyatukan logika filsafat,
intuisi sufistik, dan prinsip teologis ke dalam satu sistem metafisika yang
disebut al-ḥikmah
al-muta‘āliyah (filsafat transenden).8 Ini merupakan
kontribusi besar dunia Islam terhadap filsafat agama, yang menekankan integrasi
antara rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu.
7.5.
Filsafat
Agama di Era Modern Islam
Di zaman modern,
filsafat agama dalam dunia Islam menghadapi tantangan sekularisasi, modernisme,
dan relativisme nilai. Tokoh seperti Muhammad Iqbal (1877–1938)
menyerukan perlunya ijtihad filsafati dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengajak umat
Islam untuk memahami kembali dasar-dasar iman dengan pendekatan dinamis dan
kritis.9
Sementara itu,
filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menolak
pendekatan sekular dan menyerukan kembalinya pendekatan sakral dalam memahami
realitas. Ia mengkritik pandangan dunia modern yang reduksionis dan mengabaikan
dimensi metafisik agama.10
Filsafat agama dalam
Islam kontemporer juga mulai bersentuhan dengan pemikiran Barat melalui tokoh
seperti Fazlur Rahman dan M.
Arkoun, yang mengusulkan pendekatan hermeneutis dan historis
terhadap teks-teks keagamaan, serta menjembatani antara modernitas dan tradisi
Islam.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 42–47.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 89–92.
[3]
Alfarabi, On the Perfect State, trans. Richard Walzer (Oxford:
Clarendon Press, 1985), 231–245.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 69–84.
[5]
Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.
[6]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, trans. Nabih Amin Faris (Lahore:
Sh. Muhammad Ashraf, 1962), vol. 1, 22–35.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 15–30.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112–120.
[9]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Stanford: Stanford University Press, 2012), 5–22.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 43–60.
8.
Kesimpulan
Filsafat agama
merupakan bidang kajian yang penting dan relevan dalam memahami agama secara
kritis, rasional, dan mendalam. Sebagai cabang filsafat yang membahas
aspek-aspek fundamental dari agama—seperti eksistensi Tuhan, wahyu, kejahatan,
moralitas, hingga pluralisme—filsafat agama tidak hanya memfokuskan diri pada
upaya pembuktian doktrinal, tetapi juga mengedepankan perenungan tentang makna
terdalam dari pengalaman religius manusia.
Dengan pendekatan rasional
dan analitis, filsafat agama memberikan ruang bagi perdebatan
logis dan argumen filosofis tentang berbagai konsep sentral dalam agama. Hal
ini terlihat dari kontribusi tokoh-tokoh seperti Anselmus,
Thomas
Aquinas, hingga Alvin Plantinga, yang
memperkaya argumen teistik melalui pendekatan logika dan epistemologi modern.1
Pada saat yang sama, pendekatan fenomenologis dan hermeneutis
memperluas cakupan filsafat agama dengan menekankan pengalaman, simbolisme,
serta penafsiran yang kontekstual terhadap ekspresi keagamaan.2
Di era kontemporer,
filsafat agama menghadapi tantangan dan peluang baru: sekularisasi, relativisme
nilai, pluralitas agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Isu-isu seperti problem
kejahatan, pluralisme religius, dan hubungan
agama dan sains menuntut keterlibatan filsafat agama dalam
dialog lintas disiplin dan antartradisi.3 Dalam konteks ini,
filsafat agama tidak bersifat apologetik atau doktriner, tetapi membuka ruang
refleksi kritis atas keyakinan, baik dari dalam maupun luar perspektif
religius.
Dalam tradisi Islam,
meskipun istilah filsafat agama muncul belakangan,
substansi pembahasannya telah hadir dalam bentuk karya-karya para filsuf Muslim
klasik seperti Al-Fārābī, Ibn Sīnā,
Al-Ghazālī,
dan Mullā Ṣadrā,
yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan pengalaman spiritual ke dalam sintesis
yang kaya dan mendalam.4 Pemikiran mereka menjadi sumbangan berharga
dalam diskursus filsafat agama global, sekaligus menunjukkan bahwa filsafat dan
agama bukanlah dua kutub yang saling menafikan, melainkan dapat berjalan
beriringan secara dinamis.
Dengan demikian,
filsafat agama berperan sebagai jembatan antara iman dan akal, tradisi
dan modernitas, serta antara agama dan sains. Ia membantu
manusia untuk tidak sekadar percaya, tetapi juga memahami
apa yang diyakininya, serta membuka kemungkinan untuk berdialog secara jujur
dan terbuka dalam konteks pluralisme zaman ini. Sebagaimana ditegaskan oleh John
Hick, filsafat agama pada akhirnya bertujuan “to clarify the
concepts and to assess the truth-claims of religion in the light of reason.”_5
Footnotes
[1]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford
University Press, 2000), 173–200; Thomas Aquinas, Summa Theologica,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947), I, Q.2, Art.3.
[2]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion,
trans. Willard R. Trask (New York: Harcourt, 1959), 15–20; Paul Ricoeur, Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian
University Press, 1976), 30–45.
[3]
William L. Rowe, “The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism,” American
Philosophical Quarterly 16, no. 4 (1979): 335–341; John Hick, An
Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, 2nd ed.
(New Haven: Yale University Press, 2004), 240–270.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 133–170; Seyyed Hossein Nasr, Sadr
al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian
Academy of Philosophy, 1978), 112–120.
[5]
John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 1990), 2.
Daftar Pustaka
Alfarabi. (1985). On the perfect state (R.
Walzer, Trans.). Clarendon Press.
(Original work published ca. 10th century)
Al-Ghazali. (1962). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (N.
A. Faris, Trans.). Sh. Muhammad Ashraf.
(Original work published ca. 11th century)
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
(Original work published ca. 1095)
Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (M.
J. Charlesworth, Trans.). University of Notre Dame Press.
(Original work published ca. 1078)
Aquinas, T. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Original work published 13th century)
Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926).
Modern Library.
(Original work published ca. 4th century BCE)
Barbour, I. G. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.
Byrne, P. (1997). Philosophical and ethical
problems in religion. Palgrave Macmillan.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Eliade, M. (1959). The sacred and the profane:
The nature of religion (W. R. Trask, Trans.). Harcourt.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.
Flew, A., & MacIntyre, A. (Eds.). (1955). New
essays in philosophical theology. SCM Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
(Original work published 1960)
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Gould, S. J. (1997). Nonoverlapping magisteria. Natural
History, 106(2), 16–22.
Hick, J. (1990). Philosophy of religion (4th
ed.). Prentice Hall.
Hick, J. (2004). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent (2nd ed.). Yale University Press.
Iqbal, M. (2012). The reconstruction of
religious thought in Islam. Stanford University Press.
(Original work published 1930)
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1788)
Leeuw, G. van der. (1963). Religion in essence
and manifestation (J. E. Turner, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1933)
Mackie, J. L. (1955). Evil and omnipotence. Mind,
64(254), 200–212.
Nagasawa, Y. (2011). The existence of God: A
philosophical introduction. Routledge.
Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his
transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Oppy, G. (2006). Arguing about gods.
Cambridge University Press.
Peterson, M., Hasker, W., Reichenbach, B., &
Basinger, D. (2013). Reason and religious belief: An introduction to the
philosophy of religion (5th ed.). Oxford University Press.
Plantinga, A. (1974). God, freedom, and evil.
Eerdmans.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett.
(Original work published ca. 380 BCE)
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). Penguin Books.
(Original work published ca. 3rd century)
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Rowe, W. L. (1979). The problem of evil and some
varieties of atheism. American Philosophical Quarterly, 16(4), 335–341.
Rowe, W. L. (2007). Philosophy of religion: An
introduction (4th ed.). Wadsworth.
Schleiermacher, F. (1996). On religion: Speeches
to its cultured despisers (R. Crouter, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1799)
Sheldrake, P. (2007). Spirituality: A guide for
the perplexed. Bloomsbury Academic.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Clarendon Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap
Press.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar