Panpsikisme
Kesadaran sebagai Asas Realitas Semesta
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas panpsikisme sebagai salah satu
aliran filsafat ontologis yang mengusulkan bahwa kesadaran merupakan aspek
fundamental dan universal dari seluruh realitas. Panpsikisme menolak pandangan
bahwa kesadaran hanya merupakan hasil dari kompleksitas biologis, dan
sebaliknya menyatakan bahwa bahkan entitas paling dasar dalam alam semesta
memiliki bentuk pengalaman primitif atau proto-kesadaran. Melalui pendekatan
historis, konseptual, dan argumentatif, artikel ini mengulas akar gagasan
panpsikisme dari filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer, serta
mengevaluasi kontribusinya terhadap problematika “hard problem of
consciousness”, emergensi mental, dan relasi antara materi dan kesadaran.
Selain mengkaji argumen-argumen pendukung, artikel ini juga memaparkan kritik
filosofis terhadap panpsikisme, termasuk masalah kombinasi, tuduhan spekulatif,
dan ketidakjelasan konsep kesadaran mikro. Di sisi lain, artikel ini
menunjukkan bahwa panpsikisme memiliki relevansi yang signifikan dalam
diskursus filsafat pikiran, etika lingkungan, dan pengembangan teknologi
cerdas. Sebagai simpulan, panpsikisme bukan hanya tawaran metafisika
alternatif, melainkan juga kerangka reflektif yang menjanjikan dalam menjawab
tantangan eksistensial kontemporer melalui pemahaman baru atas realitas dan
kesadaran.
Kata Kunci: Panpsikisme, ontologi, kesadaran, filsafat pikiran,
realitas, dual-aspect monism, hard problem of consciousness, proto-kesadaran.
PEMBAHASAN
Panpsikisme dalam Ontologi
1.
Pendahuluan
Pertanyaan mengenai hakikat realitas telah menjadi
tema sentral dalam tradisi filsafat sejak era Yunani Kuno. Dalam kerangka ontologi,
cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan dan hakikat segala sesuatu,
muncul berbagai teori untuk menjelaskan struktur terdalam dari semesta. Salah
satu persoalan yang paling kompleks dalam diskursus ontologis kontemporer
adalah relasi antara materi dan kesadaran. Sejauh mana kesadaran
dapat direduksi menjadi produk material, atau justru menjadi unsur fundamental
dari eksistensi itu sendiri, menjadi perdebatan utama di antara para filsuf dan
ilmuwan kognitif saat ini.
Dalam konteks ini, panpsikisme (panpsychism)
muncul sebagai pendekatan alternatif yang menggugah dan radikal. Ia berangkat
dari asumsi bahwa kesadaran bukanlah suatu anomali atau produk emergen,
melainkan sebuah fitur dasar dan universal dari seluruh realitas. Dengan
kata lain, setiap entitas di alam semesta – dari partikel subatomik hingga
organisme kompleks – memiliki aspek mental atau pengalaman subjektif, meskipun
dalam derajat dan bentuk yang berbeda-beda¹.
Gagasan ini tidaklah asing dalam sejarah filsafat.
Sejumlah pemikir klasik seperti Thales, Anaximenes, Plato, dan Plotinus telah
menyiratkan adanya prinsip hidup atau ruh universal yang melingkupi seluruh
kosmos². Dalam perkembangan selanjutnya, terutama melalui karya Gottfried
Wilhelm Leibniz, muncul model monadologi yang menyatakan bahwa
realitas terdiri dari unit-unit eksistensial kecil bernama monad yang
semuanya memiliki persepsi³. Dalam pemikiran kontemporer, filsuf seperti Alfred
North Whitehead, Galen Strawson, dan Philip Goff telah
menghidupkan kembali panpsikisme sebagai alternatif terhadap dualisme dan
materialisme yang dianggap gagal menjelaskan secara tuntas problematika
kesadaran⁴.
Urgensi pembahasan tentang panpsikisme tidak hanya
terletak pada daya tarik metafisiknya, tetapi juga karena potensinya dalam
memberikan landasan teoritis bagi berbagai bidang ilmu lain. Misalnya, dalam
filsafat pikiran, panpsikisme menjawab "the hard problem of
consciousness" yang dikemukakan oleh David Chalmers, yaitu mengapa dan
bagaimana proses fisik di otak menghasilkan pengalaman subjektif⁵. Dalam bidang
etika dan lingkungan, panpsikisme mengajukan pandangan yang lebih inklusif dan
holistik terhadap alam, yang dapat mendorong etika ekologis berbasis
penghormatan terhadap seluruh bentuk eksistensi⁶.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
menggali secara sistematis dasar-dasar ontologis panpsikisme, menelusuri akar
sejarah dan argumentasi utamanya, serta mengevaluasi posisi doktrinalnya di
tengah diskursus filsafat kontemporer. Dengan pendekatan kritis dan referensi
akademik yang relevan, pembahasan ini diharapkan dapat memperluas wawasan
tentang alternatif filsafat realitas yang selama ini berada di luar arus utama.
Footnotes
[1]
Philip Goff, Galileo’s Error: Foundations for a
New Science of Consciousness (New York: Pantheon Books, 2019), 36.
[2]
David Skrbina, Panpsychism in the West
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 1–27.
[3]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
terjemahan dan pengantar oleh Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press, 1991), §1–18.
[4]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism
Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11
(2006): 3–31.
[5]
David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of
Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995):
200–219.
[6]
Freya Mathews, For Love of Matter: A
Contemporary Panpsychism (Albany: SUNY Press, 2003), 78–89.
2.
Definisi dan Pokok Ajaran Panpsikisme
Panpsikisme berasal dari dua kata Yunani: pan berarti “semua” dan psyche
berarti “jiwa” atau “kesadaran”. Secara etimologis, panpsikisme
dapat dimaknai sebagai pandangan bahwa semua hal di alam semesta memiliki
unsur kesadaran atau pengalaman mental dalam suatu bentuk tertentu¹. Namun,
definisi ini tidak berarti bahwa semua benda memiliki kesadaran dalam arti
penuh seperti manusia, melainkan bahwa aspek mental merupakan sifat dasar
dari semua entitas, sekecil dan sesederhana apa pun entitas itu.
Dalam filsafat kontemporer, panpsikisme
didefinisikan sebagai pandangan metafisik yang menyatakan bahwa kesadaran bersifat
fundamental dan ubiquitus—yakni tidak hanya muncul pada tingkat organisme
biologis kompleks, tetapi menjadi unsur dasar dari struktur realitas itu
sendiri². Dalam kerangka ini, kesadaran bukanlah sesuatu yang “muncul” dari
proses fisik, seperti yang diasumsikan dalam teori emergentisme, melainkan sudah
melekat pada setiap partikel atau unit realitas paling dasar, seperti
elektron, quark, atau bahkan ruang dan waktu itu sendiri³.
Pokok-pokok ajaran panpsikisme dapat dirumuskan
dalam beberapa prinsip utama:
1)
Kesadaran adalah sifat mendasar (fundamental) dari realitas.
Ia tidak
bergantung pada struktur biologis kompleks, tetapi merupakan bagian dari
tatanan ontologis dasar. Artinya, kesadaran tidak dapat direduksi menjadi
fenomena fisik semata, melainkan harus dianggap sebagai aspek primer dari
keberadaan⁴.
2)
Kesadaran bersifat universal (ubiquitous).
Tidak ada
bagian dari alam semesta yang sepenuhnya inert atau mati dalam pengertian
ontologis. Bahkan benda-benda yang tampak tidak hidup—batu, atom,
foton—memiliki bentuk kesadaran paling primitif atau “proto-kesadaran”⁵.
3)
Kesadaran memiliki bentuk yang beragam tergantung pada kompleksitas
struktur fisik.
Dalam
organisme biologis seperti manusia, kesadaran muncul dalam bentuk pengalaman
subjektif yang kompleks; sedangkan dalam entitas yang lebih sederhana, bentuk
kesadarannya jauh lebih elementer dan tidak terartikulasi⁶.
4)
Relasi antara bagian dan keseluruhan (part-whole relation) mempengaruhi
bentuk manifestasi kesadaran.
Konsep ini
sering dijelaskan dalam perdebatan mengenai combination problem, yaitu
bagaimana kesadaran-kesadaran mikro dari partikel dasar dapat membentuk satu
kesadaran makro dalam sistem yang kompleks⁷.
Penting untuk membedakan panpsikisme dari pandangan
lain yang tampak serupa secara terminologis namun berbeda secara konseptual.
Misalnya, animisme—yang mengatribusi jiwa pada benda-benda alam secara
spiritual—lebih bersifat religius atau mitologis daripada filosofis. Sementara
itu, idealisme, seperti dalam pandangan George Berkeley, menganggap
bahwa realitas secara keseluruhan adalah mental, namun tidak mengakui adanya
dimensi fisik yang berdiri sendiri. Panpsikisme, sebaliknya, membela
realitas fisik namun menganggap bahwa unsur mental dan fisik merupakan aspek
yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi⁸.
Dengan demikian, panpsikisme hadir sebagai upaya
untuk menjembatani jurang antara dua kutub ekstrem dalam filsafat pikiran: materialisme
yang memandang kesadaran sebagai ilusi atau produk sampingan semata, dan idealisme
yang mengingkari eksistensi materi. Ia menawarkan suatu bentuk realisme
metafisik yang menyatukan kesadaran dan materi dalam satu kerangka
ontologis yang koheren.
Footnotes
[1]
David Skrbina, Panpsychism in the West
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 2.
[2]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism
Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11
(2006): 4–5.
[3]
Philip Goff, Consciousness and Fundamental
Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 40–41.
[4]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the
Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False
(New York: Oxford University Press, 2012), 55.
[5]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
113–114.
[6]
William Seager, The Routledge Handbook of
Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 12.
[7]
Philip Goff, William Seager, and David Skrbina,
“The Combination Problem,” in The Routledge Handbook of Panpsychism, ed.
William Seager (New York: Routledge, 2020), 251–269.
[8]
Skrbina, Panpsychism in the West, 6–8.
3.
Akar Historis dan Perkembangan Gagasan
Panpsikisme
Gagasan panpsikisme
tidak muncul sebagai konsep baru dalam filsafat, melainkan memiliki akar
historis yang dalam dan beragam. Dari pemikiran kosmologis pra-Sokratik hingga
spekulasi metafisik filsafat modern, doktrin ini menunjukkan kontinuitas ide
mengenai kehadiran aspek mental atau kesadaran dalam
seluruh entitas di alam semesta. Meskipun istilah panpsikisme
sendiri baru dipopulerkan pada abad ke-19, ide dasarnya telah hidup dalam
berbagai bentuk pemikiran filosofis sejak awal perkembangan intelektual
manusia.
3.1. Filsafat Yunani Kuno
Pemikiran awal yang
dapat dikaitkan dengan panpsikisme muncul dalam filsafat pra-Sokratik. Thales
dari Miletos (abad ke-6 SM), yang dianggap sebagai filsuf
pertama dalam tradisi Barat, mengemukakan bahwa "segala sesuatu penuh
dengan dewa" (πάντα πλήρη θεῶν)¹. Pernyataan ini
sering ditafsirkan sebagai bentuk awal dari gagasan bahwa segala
sesuatu memiliki prinsip hidup atau kesadaran, meskipun dalam
bentuk yang sangat primitif.
Anaximenes,
murid Thales, menyatakan bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu dan
memiliki jiwa, menunjukkan upaya menjelaskan hubungan antara elemen fisik dan
entitas hidup². Sedangkan Herakleitos mengajukan konsep logos
sebagai prinsip rasional universal yang mengatur seluruh alam semesta, yang
mengindikasikan suatu bentuk “kesadaran kosmik” yang terdistribusi di
seluruh realitas³.
Plato
kemudian membawa gagasan ini lebih jauh melalui Timaeus, di mana ia menyatakan
bahwa dunia ini adalah makhluk hidup yang memiliki jiwa dunia (anima
mundi)⁴. Konsep ini menjadi sangat berpengaruh dalam filsafat
Neoplatonik, terutama dalam pemikiran Plotinus, yang membayangkan
realitas sebagai emanasi dari Satu yang mencakup jiwa universal⁵.
3.2. Abad Pertengahan dan Renaisans
Pada Abad
Pertengahan, pemikiran tentang dunia yang hidup dan penuh kesadaran tetap
bertahan melalui tradisi mistik dan metafisik. Namun, gagasan ini mendapatkan
revitalisasi yang signifikan pada masa Renaisans. Giordano
Bruno (1548–1600), seorang filsuf Italia, secara eksplisit
menganut panpsikisme. Ia menolak dualisme Cartesian dan menyatakan bahwa alam
semesta adalah satu substansi hidup yang memiliki jiwa, dan
bahwa setiap bagian dari alam mengandung unsur kesadaran⁶. Pandangan Bruno
menentang ortodoksi gerejawi saat itu dan menyebabkan ia dieksekusi karena
ajaran-ajarannya dianggap sesat.
3.3. Masa Modern: Leibniz dan Monadologi
Kontribusi besar
bagi formulasi sistematis panpsikisme datang dari Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646–1716) melalui teori monadologi.
Dalam Monadology,
Leibniz mengemukakan bahwa realitas tersusun dari unit metafisik tak
terbagi yang disebut monad, masing-masing dengan
persepsi dan kehendak internalnya sendiri⁷. Meskipun tidak semua monad
memiliki kesadaran reflektif seperti manusia, semua memiliki bentuk persepsi,
menjadikan pandangan ini sebagai bentuk panpsikisme hierarkis.
Leibniz menolak
mekanisme murni ala Descartes dan menggantikannya dengan pandangan bahwa realitas
mengandung dimensi batiniah yang bersifat mental, dan dunia
yang kita lihat adalah ekspresi lahiriah dari proses perseptif monadik⁸. Dengan
ini, ia secara halus menempatkan kesadaran bukan sebagai produk dari interaksi
material, tetapi sebagai struktur terdalam dari segala eksistensi.
3.4. Pemikiran Kontemporer
Di era kontemporer,
panpsikisme mengalami kebangkitan kembali sebagai tanggapan atas kegagalan
materialisme eliminatif dan fisikalisme dalam menjelaskan “hard
problem of consciousness” sebagaimana dirumuskan oleh David
Chalmers⁹. Alfred North Whitehead, melalui
Process
and Reality, memperkenalkan pendekatan prosesual terhadap realitas
yang menyatakan bahwa setiap entitas aktual memiliki pengalaman. Bagi
Whitehead, “keberadaan adalah menjadi mengalami,” dan oleh karena itu
tidak ada eksistensi yang sepenuhnya inert atau tanpa aspek mental¹⁰.
Filsuf-filsuf
seperti Galen Strawson, Thomas
Nagel, dan Philip Goff telah mengembangkan
kembali panpsikisme dalam bentuk yang lebih sistematis. Strawson, misalnya,
berargumen bahwa fakta bahwa kesadaran eksis berarti bahwa
kesadaran harus dimasukkan ke dalam deskripsi dasar realitas fisik,
dan bahwa fisikalisme sejati justru mengarah pada panpsikisme¹¹. Goff
mengembangkan teori “panprotopsikisme”, yang menyatakan bahwa partikel
fundamental memiliki sifat-sifat mental sederhana yang menjadi dasar bagi
pengalaman kompleks¹².
Footnotes
[1]
David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT
Press, 2005), 8.
[2]
Ibid., 10–11.
[3]
John Burnet, Early Greek Philosophy (London: A. & C.
Black, 1908), 134–135.
[4]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 30b–37d.
[5]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London:
Penguin Classics, 1991), V.1.2–5.
[6]
Hilary Gatti, Giordano Bruno and Renaissance Science (Ithaca:
Cornell University Press, 2002), 121–124.
[7]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), §1–18.
[8]
Bertrand Russell, A Critical Exposition of the Philosophy of
Leibniz (London: Routledge, 1992), 103–107.
[9]
David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal
of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.
[10]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–27.
[11]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails
Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006):
4–5.
[12]
Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford:
Oxford University Press, 2017), 46–49.
4.
Panpsikisme dalam Konteks Ontologi
Dalam kerangka filsafat ontologi, pertanyaan
fundamental yang diajukan adalah: Apa yang benar-benar ada? dan Apa
hakikat keberadaan itu sendiri? Tradisi ontologi Barat telah lama
terpolarisasi antara dua pendekatan besar: materialisme, yang menekankan
bahwa realitas pada dasarnya bersifat fisik, dan idealisme, yang
berpendapat bahwa segala sesuatu berakar pada kesadaran atau pikiran. Di
tengah-tengah perdebatan ini, panpsikisme menawarkan paradigma alternatif
yang menyatakan bahwa kesadaran bukanlah ilusi atau efek sampingan dari
materi, melainkan aspek fundamental dan tak terelakkan dari eksistensi
itu sendiri¹.
Panpsikisme memandang realitas sebagai tersusun
dari entitas-entitas yang tidak hanya memiliki sifat fisik (massa, lokasi,
energi), tetapi juga aspek fenomenal atau mental—yakni bentuk primitif
dari pengalaman. Konsekuensinya, kesadaran dipahami bukan sebagai produk
kompleksitas biologis, tetapi sebagai unsur ontologis primer yang
membentuk struktur terdalam dari segala sesuatu². Dalam pandangan ini, tidak
ada “benda mati” secara ontologis murni: setiap partikel atau sistem
memiliki dimensi pengalaman, walau bersifat sangat sederhana dan tidak sadar
dalam pengertian manusiawi³.
Dengan demikian, panpsikisme merevisi struktur
ontologis tradisional yang mengasumsikan adanya entitas fisik yang
sepenuhnya tak sadar. Sebaliknya, ia mengusulkan suatu bentuk dual-aspect
monism, yakni pandangan bahwa setiap entitas memiliki dua aspek mendasar:
aspek fisik dan aspek mental, yang tidak dapat direduksi satu sama lain⁴.
Pendekatan ini tidak hanya menghindari dualisme kartesian yang memisahkan roh
dan materi secara radikal, tetapi juga menolak fisikalisme yang mengabaikan
dimensi subjektif eksistensi.
Dalam upaya menjelaskan realitas secara holistik,
panpsikisme juga mengusulkan bahwa kesadaran bersifat tidak emergen secara
ontologis, tetapi bersifat intrinsik. Artinya, tidak masuk akal
untuk menyatakan bahwa kesadaran tiba-tiba muncul dari entitas-entitas yang
sama sekali tidak memiliki kesadaran. Sebagaimana dikatakan Galen Strawson, “kita
harus mulai dari kenyataan bahwa kesadaran itu nyata dan tak dapat disangkal,
dan segala teori ontologis yang mengabaikannya pasti cacat secara fundamental”⁵.
Panpsikisme juga mengundang kita untuk meninjau
ulang ontologi relasional: bahwa eksistensi bukan sekadar kumpulan objek
yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait melalui pengalaman dan persepsi.
Dalam konteks ini, proses aktualisasi dan pengalaman menjadi inti dari
menjadi-ada (being), sebagaimana dirumuskan oleh Alfred North
Whitehead dalam filsafat prosesnya⁶. Dengan memandang realitas sebagai jaringan
entitas yang saling memengaruhi secara fisik dan mental, panpsikisme membentuk
suatu ontologi dinamis dan non-reduksionistik.
Lebih lanjut, panpsikisme mengusulkan bahwa kesadaran
dan materi adalah dua sisi dari “koin eksistensial” yang sama, bukan dua
substansi yang berbeda. Ini memberikan jalan tengah yang elegan dalam filsafat
ontologi: satu sisi mengakui realitas fisik, sementara sisi lain menegaskan
bahwa aspek mental tidak boleh diabaikan atau direduksi begitu saja. Dalam
artian ini, panpsikisme tidak hanya menjadi solusi filosofis atas
problematika kesadaran, tetapi juga sebagai revisi besar terhadap asumsi
dasar tentang realitas itu sendiri⁷.
Implikasi dari pendekatan ontologis ini bersifat
luas: dari redefinisi apa itu subjek, objek, dan interaksi,
hingga reformulasi konsep entitas sebagai entitas yang mengalami. Dengan
memasukkan kesadaran dalam fondasi realitas, panpsikisme menantang kita untuk
berpikir ulang tentang sifat dasar dari segala eksistensi dan menumbuhkan
keterbukaan terhadap paradigma filosofis yang lebih integratif.
Footnotes
[1]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism
Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11
(2006): 6–8.
[2]
Philip Goff, Consciousness and Fundamental
Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 44–47.
[3]
William Seager, The Routledge Handbook of
Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 5–6.
[4]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist
Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False (New York:
Oxford University Press, 2012), 54–58.
[5]
Strawson, “Realistic Monism,” 11.
[6]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
23–28.
[7]
David Skrbina, Panpsychism in the West
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 20–24.
5.
Argumen-Argumen Pendukung Panpsikisme
Panpsikisme, sebagai
suatu posisi metafisik yang menyatakan bahwa kesadaran bersifat fundamental dan
universal, tidak hanya bersandar pada intuisi atau tradisi, tetapi juga pada
serangkaian argumen filosofis dan refleksi ilmiah
yang secara mendalam menantang asumsi dasar fisikalisme dan materialisme.
Beberapa argumen utama yang mendukung panpsikisme dikembangkan sebagai
tanggapan atas kesenjangan epistemologis dan metafisik dalam memahami fenomena
kesadaran. Berikut adalah empat argumen kunci yang sering dikemukakan oleh para
pendukung panpsikisme:
5.1. Argumen dari Kesinambungan Evolusi (Continuity
Argument)
Salah satu argumen
klasik untuk panpsikisme bertumpu pada prinsip kesinambungan evolusioner.
Menurut pandangan ini, jika kesadaran merupakan hasil dari proses evolusi
alamiah, maka mustahil ia muncul secara tiba-tiba dan tanpa dasar dari materi
yang sepenuhnya tidak sadar. Jika kesadaran manusia adalah hasil dari evolusi
gradual, maka harus diasumsikan bahwa bentuk-bentuk proto-kesadaran
atau kesadaran primitif telah ada dalam tahap-tahap awal realitas⁽¹⁾.
Filsuf seperti
William James dan Charles Hartshorne telah mengajukan bahwa mustahil
menjelaskan lompatan dari entitas tak sadar ke kesadaran penuh tanpa adanya kontinuitas
kesadaran sepanjang struktur realitas⁽²⁾. Dalam kerangka ini,
panpsikisme menawarkan solusi logis: bahwa kesadaran telah menjadi fitur yang
menyertai realitas sejak awal, bukan sebagai emergensi tiba-tiba.
5.2. Argumen dari Hard Problem of Consciousness
Istilah “hard problem
of consciousness” dicetuskan oleh David Chalmers untuk
menggambarkan kesenjangan antara penjelasan fisikal terhadap fungsi otak
dan pengalaman
subjektif yang menyertainya. Sementara pendekatan ilmiah dapat
menjelaskan bagaimana otak memproses informasi, ia gagal menjawab mengapa
proses tersebut disertai dengan pengalaman batin (qualia)⁽³⁾.
Panpsikisme, dalam
hal ini, menghindari problematika emergentisme dengan menyatakan bahwa aspek
pengalaman sudah inheren dalam realitas fisik itu sendiri.
Dengan demikian, pengalaman subjektif bukanlah hasil dari kompleksitas, tetapi manifestasi
dari sifat dasar entitas fisik yang memiliki sisi mental⁽⁴⁾.
5.3. Argumen dari Kemustahilan Emergensi Eksperiensial
Argumen ini terkait
erat dengan yang sebelumnya, namun lebih menekankan pada ketidakmungkinan emergensi
ontologis yang radikal. Jika semua bagian penyusun suatu sistem
(misalnya neuron) benar-benar tidak memiliki aspek mental, maka tidak masuk
akal bahwa gabungan mereka dapat menghasilkan fenomena kesadaran. Hal ini dikenal
sebagai “argument from radical emergence”⁽⁵⁾.
Sebagai tanggapan,
panpsikisme menyatakan bahwa kesadaran tidak dapat muncul dari entitas yang
sepenuhnya tak sadar. Maka dari itu, setiap partikel dasar
harus sudah memiliki bentuk kesadaran primitif yang, melalui struktur dan
hubungan tertentu, membentuk kesadaran yang lebih kompleks⁽⁶⁾. Ini merupakan
solusi terhadap masalah kombinasi, yakni
bagaimana kesadaran-kesadaran mikro membentuk satu kesadaran makro.
5.4. Argumen dari Konsistensi Metafisik dan Sains Kontemporer
Sejumlah pemikir
panpsikis modern seperti Galen Strawson dan Philip Goff berargumen bahwa panpsikisme
lebih konsisten dengan naturalisme radikal dibandingkan
materialisme. Strawson, misalnya, menyatakan bahwa jika kita mengakui realitas
kesadaran sebagai fakta dunia, maka fisikalisme yang sejati harus memasukkan
kesadaran dalam deskripsi dasar realitas⁽⁷⁾.
Selain itu,
perkembangan dalam fisika kuantum yang menunjukkan
perilaku non-deterministik dan keterkaitan sistem (entanglement), memberi ruang
untuk interpretasi bahwa realitas memiliki dimensi subyektif atau “internal”
yang belum terjamah oleh paradigma fisik klasik⁽⁸⁾. Meski bukan bukti langsung,
banyak pendukung panpsikisme melihat bahwa sains kontemporer membuka kembali
pertanyaan-pertanyaan metafisik yang mendalam tentang sifat realitas.
Kesimpulan Parsial
Argumen-argumen di
atas menunjukkan bahwa panpsikisme bukan sekadar spekulasi metafisik tanpa
dasar, melainkan jawaban filosofis yang serius terhadap
problem-problem fundamental dalam filsafat pikiran dan ontologi.
Ia memberikan penjelasan non-reduktif tentang kesadaran, menawarkan konsistensi
logis dalam kerangka evolusi, dan memperluas wawasan metafisika kita terhadap
kemungkinan bahwa kesadaran adalah struktur terdalam dari
eksistensi, bukan produk akhirnya.
Footnotes
[1]
William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New
York: Routledge, 2020), 13.
[2]
David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT
Press, 2005), 162–165.
[3]
David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal
of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.
[4]
Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford:
Oxford University Press, 2017), 43–47.
[5]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature is Almost Certainly False (New York: Oxford
University Press, 2012), 55.
[6]
William Seager and David Skrbina, “Panpsychism,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2020 ed., https://plato.stanford.edu/entries/panpsychism/.
[7]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails
Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006):
4–5.
[8]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (New York: Springer, 2007), 89–94.
6.
Kritik terhadap Panpsikisme
Meskipun panpsikisme
menawarkan pendekatan ontologis yang menarik dan alternatif terhadap dualisme
serta materialisme reduksionistik, doktrin ini tidak luput dari berbagai kritik
filosofis dan ilmiah. Sebagian besar kritik menyoroti problem
konseptual, implikasi empiris, serta dugaan spekulatif yang melekat pada asumsi
panpsikistik tentang hakikat kesadaran dan realitas. Berikut ini adalah
beberapa kritik utama yang sering diajukan terhadap panpsikisme:
6.1. Masalah Kombinasi (Combination Problem)
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap panpsikisme adalah masalah kombinasi, yaitu
pertanyaan bagaimana kesadaran-kesadaran mikro dari entitas dasar (misalnya
elektron atau quark) dapat menyatu menjadi kesadaran makro seperti pikiran
manusia. Jika setiap partikel memiliki bentuk proto-kesadaran, bagaimana
gabungan dari jutaan kesadaran kecil itu menghasilkan satu kesadaran terpadu
dan koheren?
Filsuf William James
telah lama menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa kesadaran dapat dijumlahkan seperti
objek fisik⁽¹⁾. Galen Strawson sendiri, meskipun membela panpsikisme, mengakui
bahwa masalah kombinasi merupakan tantangan yang sangat serius bagi doktrin
ini⁽²⁾. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menjawabnya, seperti teori
identitas holistik atau pendekatan panprotopsikisme, namun hingga kini belum
ada konsensus filosofis yang meyakinkan.
6.2. Tuduhan Spekulatif dan Kurangnya Dukungan Empiris
Panpsikisme juga
dikritik sebagai sistem metafisik yang spekulatif
dan tidak memiliki verifikasi empiris yang jelas.
Karena kesadaran mikro pada partikel atau sistem sederhana tidak dapat
diobservasi secara langsung, maka klaim bahwa semua entitas memiliki aspek
mental dianggap tak terfalsifikasi.
Daniel Dennett,
seorang materialis eliminatif terkemuka, mengecam pendekatan seperti
panpsikisme sebagai “romantis, namun tidak berguna,” karena tidak
menawarkan penjelasan operasional maupun manfaat prediktif dalam sains empiris⁽³⁾.
Kritikus lainnya menilai bahwa panpsikisme cenderung mengaburkan perbedaan
antara penjelasan filosofis dan mitos metafisik⁽⁴⁾.
6.3. Ambiguitas Konseptual tentang Kesadaran Mikro
Kritik berikutnya
berkaitan dengan ketidakjelasan definisional
dari apa yang dimaksud dengan “proto-kesadaran” atau bentuk kesadaran
mikro. Jika kesadaran dipahami sebagai pengalaman subjektif, maka sulit
dijelaskan bagaimana partikel seperti elektron, yang tidak memiliki sistem
saraf atau kapasitas kognitif, bisa memiliki pengalaman walaupun dalam tingkat
dasar.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Barbara Montero, jika kita tidak dapat secara konseptual
membedakan antara sistem yang sadar dan tidak sadar, maka konsep
kesadaran menjadi terlalu longgar dan kehilangan makna analitiknya⁽⁵⁾.
Ini menimbulkan risiko bahwa panpsikisme menjadi bentuk pan-nominalisme,
di mana kesadaran menjadi sekadar label untuk segala hal, tanpa nilai
eksploratif.
6.4. Risiko Anthropomorfisme dan Mistifikasi Realitas
Beberapa kritikus
menyatakan bahwa panpsikisme jatuh pada anthropomorfisme metafisik,
yaitu kecenderungan untuk memproyeksikan atribut mental manusia ke dalam
struktur realitas non-manusia. Dengan menyatakan bahwa semua benda “merasakan”
atau memiliki pengalaman, ada kekhawatiran bahwa panpsikisme
melanggar prinsip kesederhanaan ontologis (Occam’s razor)⁽⁶⁾.
Karl Popper juga
memperingatkan terhadap “ilusi intelektual” yang muncul dari menyamakan
sifat dasar realitas dengan kesadaran, yang berpotensi mengaburkan batas antara
penjelasan ilmiah dan mistisisme filosofis⁽⁷⁾. Dalam
hal ini, panpsikisme dianggap lebih sebagai “metafisika romantik” daripada
teori ontologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
6.5. Ketidakpraktisan dalam Kerangka Sains Alam
Dari perspektif
ilmiah, panpsikisme sering dianggap tidak memberikan kontribusi konkret terhadap
pengembangan teori-teori ilmiah, khususnya dalam bidang
neurobiologi dan fisika. Karena panpsikisme tidak dapat diuji melalui metode
eksperimen konvensional, banyak ilmuwan skeptis terhadap signifikansinya dalam
sains kontemporer.
Seperti yang
ditegaskan oleh Keith Frankish, "panpsikisme mungkin menawarkan kedamaian
metafisik, tetapi ia tak memberi kita alat untuk memecahkan teka-teki kesadaran
secara ilmiah."⁽⁸⁾. Dalam kerangka epistemologi sains, nilai
suatu teori diukur dari daya jelajah dan kemampuannya dalam menghasilkan
prediksi yang dapat diverifikasi—dimensi yang hingga kini masih kurang dalam
panpsikisme.
Kesimpulan Parsial
Kritik-kritik di
atas menunjukkan bahwa panpsikisme, meskipun menarik secara konseptual dan
menjawab kelemahan-kelemahan materialisme, tetap menghadapi tantangan serius
dalam aspek koherensi logis, kejelasan definisional, serta
validitas empiris. Namun demikian, kompleksitas kritik ini juga
menandakan bahwa panpsikisme adalah doktrin yang layak untuk terus dikaji dan
diuji dalam ranah ontologi dan filsafat pikiran kontemporer.
Footnotes
[1]
William James, The Principles of Psychology, vol. 1 (New York:
Henry Holt, 1890), 160–165.
[2]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails
Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006):
22–24.
[3]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little,
Brown and Co., 1991), 455.
[4]
John Searle, The Mystery of Consciousness (New York: The New
York Review of Books, 1997), 75–78.
[5]
Barbara Montero, “What Is the Problem with the Combination Problem?” in
The Routledge Handbook of Panpsychism, ed. William Seager (New York:
Routledge, 2020), 276–282.
[6]
Thomas Metzinger, “The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth
of the Self” (New York: Basic Books, 2009), 83.
[7]
Karl Popper, The Self and Its Brain, co-authored with John C.
Eccles (London: Routledge, 1977), 39–41.
[8]
Keith Frankish, “Illusionism as a Theory of Consciousness,” Journal
of Consciousness Studies 23, no. 11–12 (2016): 11.
7.
Relevansi Panpsikisme dalam Diskursus
Kontemporer
Dalam dekade-dekade
terakhir, panpsikisme mengalami kebangkitan dalam wacana filsafat kontemporer,
khususnya dalam filsafat pikiran, ontologi, dan interdisiplin
ilmu yang mengkaji kesadaran. Di tengah kebuntuan yang dialami
oleh paradigma fisikalis dalam menjelaskan fenomena kesadaran, panpsikisme
menawarkan pendekatan alternatif yang berani dan integratif. Relevansinya tidak
hanya bersifat filosofis, tetapi juga menyentuh aspek sains, etika, dan bahkan
teknologi.
7.1. Panpsikisme dan Filsafat Pikiran Kontemporer
Di ranah filsafat
pikiran, panpsikisme menjadi respons serius terhadap “hard
problem of consciousness” yang dikemukakan oleh David
Chalmers—yakni persoalan mengapa dan bagaimana proses fisik menghasilkan
pengalaman subjektif (qualia)¹. Ketika fisikalisme
reduksionistik terbukti tidak mampu memberikan jawaban yang memadai terhadap
eksistensi pengalaman batin, sejumlah filsuf mulai membuka ruang bagi posisi
metafisik baru yang tidak mengabaikan kenyataan kesadaran itu sendiri.
Philip
Goff, misalnya, mengembangkan pendekatan panprotopsikisme,
yaitu bentuk panpsikisme yang menyatakan bahwa entitas dasar realitas memiliki
sifat-sifat mental yang sangat sederhana, yang dalam konfigurasi tertentu
menghasilkan pengalaman kompleks². Demikian pula Galen
Strawson berargumen bahwa jika fisikalisme benar-benar
menjelaskan segala sesuatu, maka ia harus mencakup kesadaran sebagai bagian
dari hakikat fisik itu sendiri³.
7.2. Peran dalam Perdebatan Filsafat Sains dan
Metafisika Alam
Dalam diskursus
filsafat sains, panpsikisme memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang batas-batas
pengetahuan ilmiah. Ilmu modern, yang didasarkan pada observasi
objektif, memiliki keterbatasan dalam mengakses aspek subjektif atau fenomenal
dari realitas. Panpsikisme mengusulkan bahwa sains harus meluaskan kerangka ontologisnya
untuk mencakup pengalaman sebagai bagian dari realitas yang sama validnya
dengan struktur materi⁴.
Beberapa ilmuwan dan
filsuf seperti Freya Mathews dan David
Skrbina bahkan mengusulkan bahwa pendekatan panpsikis dapat
menjembatani jurang antara sains dan metafisika dengan mengakui dua sisi
realitas: yang dapat diukur secara objektif dan yang dialami secara subyektif⁵.
Dalam konteks ini, panpsikisme tidak bertentangan dengan sains, melainkan
melengkapi batas-batasnya melalui kerangka interpretatif yang lebih luas.
7.3. Implikasi Etis dan Ekologis
Salah satu dimensi
paling kuat dari panpsikisme dalam konteks kontemporer adalah implikasinya
dalam etika
lingkungan. Jika setiap aspek realitas memiliki bentuk
kesadaran atau pengalaman, maka pandangan terhadap alam sebagai “objek mati”
perlu direvisi secara radikal. Ini membuka landasan filosofis
baru untuk pendekatan ekosentris yang mengakui nilai
intrinsik dari setiap makhluk dan elemen alam, bukan hanya karena kegunaannya
bagi manusia⁶.
Filsuf ekologi Freya
Mathews menyatakan bahwa panpsikisme memungkinkan munculnya etika
empati universal, di mana relasi manusia dengan semesta tidak
lagi bersifat eksploitatif, melainkan relasional dan penuh hormat⁷. Ini sejalan
dengan kesadaran global akan krisis iklim dan kebutuhan untuk merumuskan
paradigma yang lebih inklusif dalam melihat kehidupan dan keberlanjutan planet.
7.4. Keterkaitan dengan Teknologi dan Studi Kecerdasan
Buatan
Dalam ranah teknologi
dan kecerdasan buatan (AI), panpsikisme menghadirkan perdebatan
penting mengenai batas-batas kesadaran buatan.
Jika kesadaran merupakan properti yang melekat pada struktur realitas, maka
muncul pertanyaan apakah sistem buatan seperti komputer atau robot dapat
benar-benar memiliki pengalaman subjektif, atau hanya mensimulasikannya⁸. Hal
ini berdampak pada perumusan etika AI dan tanggung jawab moral dalam desain
sistem cerdas.
Beberapa pemikir
seperti Thomas Metzinger memperingatkan
bahwa pemahaman dangkal tentang kesadaran dalam teknologi berisiko menghasilkan
"simulakra moral"—entitas yang tampak sadar tetapi
sesungguhnya tidak memilikinya⁹. Panpsikisme dapat menawarkan kerangka
filosofis untuk membedakan antara kesadaran sejati dan simulasi
kognitif, serta untuk merumuskan pendekatan baru dalam
pengembangan teknologi yang menghormati kompleksitas ontologis kehidupan.
7.5. Resonansi dalam Wacana Lintas Disiplin
Relevansi
panpsikisme juga terasa dalam wacana lintas disiplin antara filsafat, psikologi
transpersonal, teologi, dan bahkan seni. Gagasan bahwa alam semesta memiliki
dimensi batiniah membuka ruang bagi dialog antara mistisisme
dan filsafat kritis, antara spiritualitas dan sains, serta
antara puitika
dan ontologi. Ini menciptakan medan interkoneksi konseptual
yang berpotensi memperkaya cara manusia memahami dirinya dan dunianya¹⁰.
Dengan demikian,
panpsikisme tidak hanya menjadi topik spekulatif dalam metafisika, tetapi
menjelma sebagai pusat wacana kritis dan kreatif
dalam menjawab tantangan eksistensial zaman kontemporer.
Footnotes
[1]
David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal
of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.
[2]
Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford:
Oxford University Press, 2017), 43–48.
[3]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails
Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006):
3–31.
[4]
William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New
York: Routledge, 2020), 9–12.
[5]
David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT
Press, 2005), 203–210.
[6]
Freya Mathews, For Love of Matter: A Contemporary Panpsychism
(Albany: SUNY Press, 2003), 87–90.
[7]
Ibid., 115–118.
[8]
Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If
AI Has Become Self-Aware,” Scientific American, November 2019.
[9]
Thomas Metzinger, “The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth
of the Self” (New York: Basic Books, 2009), 127–130.
[10]
Jorge Ferrer, Revisioning Transpersonal Theory: A Participatory
Vision of Human Spirituality (Albany: SUNY Press, 2002), 56–61.
8.
Kesimpulan
Panpsikisme, sebagai sebuah doktrin ontologis,
mengusulkan bahwa kesadaran bukanlah produk sampingan dari kompleksitas
biologis, tetapi merupakan fitur mendasar dan universal dari realitas itu
sendiri. Di tengah kebuntuan pendekatan reduksionistik dalam menjelaskan
fenomena batiniah manusia, panpsikisme menghadirkan kerangka alternatif yang
mampu menyatukan aspek fisik dan mental dalam satu kesatuan metafisik
yang lebih utuh dan holistik.
Sepanjang pembahasan ini, telah dijelaskan bahwa
akar historis panpsikisme berakar sejak era pra-Sokratik dan terus berkembang
melalui pemikiran Plato, Leibniz, hingga filsuf kontemporer seperti Alfred
North Whitehead dan Philip Goff¹. Ide pokok bahwa setiap entitas, betapapun
sederhananya, memiliki sisi pengalaman atau proto-kesadaran,
memungkinkan filsafat menjelaskan kontinuitas eksistensial dari materi
tak hidup hingga kehidupan berpikir.
Secara ontologis, panpsikisme menentang dikotomi
kaku antara materi dan pikiran. Alih-alih mempertahankan dualisme atau
menundukkan mentalitas kepada fisik, panpsikisme menyarankan bahwa setiap
entitas memiliki aspek fisik dan mental secara bersamaan, sebagaimana
dijelaskan dalam konsep dual-aspect monism². Posisi ini tidak hanya
menawarkan koherensi filosofis yang lebih baik terhadap keberadaan kesadaran,
tetapi juga memperluas cakrawala ontologi ke arah yang lebih inklusif dan
transformatif.
Argumen-argumen pendukung panpsikisme, seperti
argumen dari kesinambungan evolusi, problem emergensi, dan hard problem of
consciousness, menunjukkan bahwa teori ini memiliki kekuatan penjelas
(explanatory power) yang kuat terhadap fenomena kesadaran, dibandingkan
posisi fisikalisme murni³. Namun demikian, panpsikisme bukan tanpa kritik.
Masalah kombinasi, tuduhan spekulatif, dan ketidakjelasan definisional menjadi
tantangan serius yang menuntut eksplorasi konseptual yang lebih dalam⁴.
Meskipun demikian, dalam wacana kontemporer,
panpsikisme terbukti semakin relevan dan berpengaruh, baik dalam
filsafat pikiran, filsafat sains, etika lingkungan, maupun diskursus teknologi
dan AI⁵. Kemampuannya untuk menjembatani dimensi-dimensi ontologis yang
selama ini terfragmentasi menjadikan panpsikisme bukan sekadar hipotesis
metafisik, melainkan tawaran epistemologis yang membuka horizon baru dalam
memahami realitas.
Dengan demikian, panpsikisme tidak hanya menantang
pandangan lama tentang dunia sebagai objek inert, tetapi juga mengundang
manusia untuk merefleksikan posisinya dalam kosmos secara lebih empatik,
relasional, dan sadar. Dalam dunia yang tengah mengalami krisis spiritual,
ekologis, dan eksistensial, panpsikisme menawarkan kemungkinan untuk menata
ulang cara pandang terhadap realitas, kehidupan, dan kebermaknaan⁶.
Footnotes
[1]
David Skrbina, Panpsychism in the West
(Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 15–22; Philip Goff, Consciousness and
Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 36–41.
[2]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism
Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11
(2006): 9–12.
[3]
David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of
Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995):
200–219.
[4]
William James, The Principles of Psychology,
vol. 1 (New York: Henry Holt, 1890), 160–165; Barbara Montero, “What Is the
Problem with the Combination Problem?” in The Routledge Handbook of
Panpsychism, ed. William Seager (New York: Routledge, 2020), 276–282.
[5]
Freya Mathews, For Love of Matter: A
Contemporary Panpsychism (Albany: SUNY Press, 2003), 112–118; Susan
Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If AI Has Become
Self-Aware,” Scientific American, November 2019.
[6]
Jorge Ferrer, Revisioning Transpersonal Theory:
A Participatory Vision of Human Spirituality (Albany: SUNY Press, 2002),
60–64.
Daftar Pustaka
Burnet, J. (1908). Early
Greek philosophy. A. & C. Black.
Chalmers, D. J. (1995).
Facing up to the problem of consciousness. Journal of Consciousness
Studies, 2(3), 200–219.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness
explained. Little, Brown and Co.
Ferrer, J. N. (2002). Revisioning
transpersonal theory: A participatory vision of human spirituality. State
University of New York Press.
Frankish, K. (2016).
Illusionism as a theory of consciousness. Journal of Consciousness Studies,
23(11–12), 11–39.
Goff, P. (2017). Consciousness
and fundamental reality. Oxford University Press.
Goff, P. (2019). Galileo’s
error: Foundations for a new science of consciousness. Pantheon Books.
Goff, P., Seager, W., &
Skrbina, D. (2020). The combination problem. In W. Seager (Ed.), The
Routledge handbook of panpsychism (pp. 251–269). Routledge.
James, W. (1890). The
principles of psychology (Vol. 1). Henry Holt.
Leibniz, G. W. (1991). Monadology
(N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.
Mathews, F. (2003). For
love of matter: A contemporary panpsychism. State University of New York
Press.
Metzinger, T. (2009). The
ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. Basic Books.
Montero, B. (2020). What is
the problem with the combination problem? In W. Seager (Ed.), The Routledge
handbook of panpsychism (pp. 276–282). Routledge.
Nagel, T. (2012). Mind
and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost
certainly false. Oxford University Press.
Plato. (2000). Timaeus
(D. J. Zeyl, Trans.). Hackett Publishing.
Plotinus. (1991). The
Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Classics.
Popper, K. R., &
Eccles, J. C. (1977). The self and its brain. Routledge.
Russell, B. (1992). A
critical exposition of the philosophy of Leibniz. Routledge.
Schneider, S., &
Turner, E. (2019, November). Is anyone home? A way to find out if AI has become
self-aware. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/
Seager, W. (Ed.). (2020). The
Routledge handbook of panpsychism. Routledge.
Searle, J. (1997). The
mystery of consciousness. The New York Review of Books.
Skrbina, D. (2005). Panpsychism
in the West. MIT Press.
Stapp, H. P. (2007). Mindful
universe: Quantum mechanics and the participating observer. Springer.
Strawson, G. (2006).
Realistic monism: Why physicalism entails panpsychism. Journal of
Consciousness Studies, 13(10–11), 3–31.
Whitehead, A. N. (1978). Process
and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar