Kamis, 12 Juni 2025

Panpsikisme: Kesadaran sebagai Asas Realitas Semesta

Panpsikisme

Kesadaran sebagai Asas Realitas Semesta


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas panpsikisme sebagai salah satu aliran filsafat ontologis yang mengusulkan bahwa kesadaran merupakan aspek fundamental dan universal dari seluruh realitas. Panpsikisme menolak pandangan bahwa kesadaran hanya merupakan hasil dari kompleksitas biologis, dan sebaliknya menyatakan bahwa bahkan entitas paling dasar dalam alam semesta memiliki bentuk pengalaman primitif atau proto-kesadaran. Melalui pendekatan historis, konseptual, dan argumentatif, artikel ini mengulas akar gagasan panpsikisme dari filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran kontemporer, serta mengevaluasi kontribusinya terhadap problematika “hard problem of consciousness”, emergensi mental, dan relasi antara materi dan kesadaran. Selain mengkaji argumen-argumen pendukung, artikel ini juga memaparkan kritik filosofis terhadap panpsikisme, termasuk masalah kombinasi, tuduhan spekulatif, dan ketidakjelasan konsep kesadaran mikro. Di sisi lain, artikel ini menunjukkan bahwa panpsikisme memiliki relevansi yang signifikan dalam diskursus filsafat pikiran, etika lingkungan, dan pengembangan teknologi cerdas. Sebagai simpulan, panpsikisme bukan hanya tawaran metafisika alternatif, melainkan juga kerangka reflektif yang menjanjikan dalam menjawab tantangan eksistensial kontemporer melalui pemahaman baru atas realitas dan kesadaran.

Kata Kunci: Panpsikisme, ontologi, kesadaran, filsafat pikiran, realitas, dual-aspect monism, hard problem of consciousness, proto-kesadaran.


PEMBAHASAN

Panpsikisme dalam Ontologi


1.           Pendahuluan

Pertanyaan mengenai hakikat realitas telah menjadi tema sentral dalam tradisi filsafat sejak era Yunani Kuno. Dalam kerangka ontologi, cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan dan hakikat segala sesuatu, muncul berbagai teori untuk menjelaskan struktur terdalam dari semesta. Salah satu persoalan yang paling kompleks dalam diskursus ontologis kontemporer adalah relasi antara materi dan kesadaran. Sejauh mana kesadaran dapat direduksi menjadi produk material, atau justru menjadi unsur fundamental dari eksistensi itu sendiri, menjadi perdebatan utama di antara para filsuf dan ilmuwan kognitif saat ini.

Dalam konteks ini, panpsikisme (panpsychism) muncul sebagai pendekatan alternatif yang menggugah dan radikal. Ia berangkat dari asumsi bahwa kesadaran bukanlah suatu anomali atau produk emergen, melainkan sebuah fitur dasar dan universal dari seluruh realitas. Dengan kata lain, setiap entitas di alam semesta – dari partikel subatomik hingga organisme kompleks – memiliki aspek mental atau pengalaman subjektif, meskipun dalam derajat dan bentuk yang berbeda-beda¹.

Gagasan ini tidaklah asing dalam sejarah filsafat. Sejumlah pemikir klasik seperti Thales, Anaximenes, Plato, dan Plotinus telah menyiratkan adanya prinsip hidup atau ruh universal yang melingkupi seluruh kosmos². Dalam perkembangan selanjutnya, terutama melalui karya Gottfried Wilhelm Leibniz, muncul model monadologi yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari unit-unit eksistensial kecil bernama monad yang semuanya memiliki persepsi³. Dalam pemikiran kontemporer, filsuf seperti Alfred North Whitehead, Galen Strawson, dan Philip Goff telah menghidupkan kembali panpsikisme sebagai alternatif terhadap dualisme dan materialisme yang dianggap gagal menjelaskan secara tuntas problematika kesadaran⁴.

Urgensi pembahasan tentang panpsikisme tidak hanya terletak pada daya tarik metafisiknya, tetapi juga karena potensinya dalam memberikan landasan teoritis bagi berbagai bidang ilmu lain. Misalnya, dalam filsafat pikiran, panpsikisme menjawab "the hard problem of consciousness" yang dikemukakan oleh David Chalmers, yaitu mengapa dan bagaimana proses fisik di otak menghasilkan pengalaman subjektif⁵. Dalam bidang etika dan lingkungan, panpsikisme mengajukan pandangan yang lebih inklusif dan holistik terhadap alam, yang dapat mendorong etika ekologis berbasis penghormatan terhadap seluruh bentuk eksistensi⁶.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali secara sistematis dasar-dasar ontologis panpsikisme, menelusuri akar sejarah dan argumentasi utamanya, serta mengevaluasi posisi doktrinalnya di tengah diskursus filsafat kontemporer. Dengan pendekatan kritis dan referensi akademik yang relevan, pembahasan ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang alternatif filsafat realitas yang selama ini berada di luar arus utama.


Footnotes

[1]                Philip Goff, Galileo’s Error: Foundations for a New Science of Consciousness (New York: Pantheon Books, 2019), 36.

[2]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 1–27.

[3]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, terjemahan dan pengantar oleh Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), §1–18.

[4]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 3–31.

[5]                David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.

[6]                Freya Mathews, For Love of Matter: A Contemporary Panpsychism (Albany: SUNY Press, 2003), 78–89.


2.           Definisi dan Pokok Ajaran Panpsikisme

Panpsikisme berasal dari dua kata Yunani: pan berarti “semua” dan psyche berarti “jiwa” atau “kesadaran”. Secara etimologis, panpsikisme dapat dimaknai sebagai pandangan bahwa semua hal di alam semesta memiliki unsur kesadaran atau pengalaman mental dalam suatu bentuk tertentu¹. Namun, definisi ini tidak berarti bahwa semua benda memiliki kesadaran dalam arti penuh seperti manusia, melainkan bahwa aspek mental merupakan sifat dasar dari semua entitas, sekecil dan sesederhana apa pun entitas itu.

Dalam filsafat kontemporer, panpsikisme didefinisikan sebagai pandangan metafisik yang menyatakan bahwa kesadaran bersifat fundamental dan ubiquitus—yakni tidak hanya muncul pada tingkat organisme biologis kompleks, tetapi menjadi unsur dasar dari struktur realitas itu sendiri². Dalam kerangka ini, kesadaran bukanlah sesuatu yang “muncul” dari proses fisik, seperti yang diasumsikan dalam teori emergentisme, melainkan sudah melekat pada setiap partikel atau unit realitas paling dasar, seperti elektron, quark, atau bahkan ruang dan waktu itu sendiri³.

Pokok-pokok ajaran panpsikisme dapat dirumuskan dalam beberapa prinsip utama:

1)                  Kesadaran adalah sifat mendasar (fundamental) dari realitas.

Ia tidak bergantung pada struktur biologis kompleks, tetapi merupakan bagian dari tatanan ontologis dasar. Artinya, kesadaran tidak dapat direduksi menjadi fenomena fisik semata, melainkan harus dianggap sebagai aspek primer dari keberadaan⁴.

2)                  Kesadaran bersifat universal (ubiquitous).

Tidak ada bagian dari alam semesta yang sepenuhnya inert atau mati dalam pengertian ontologis. Bahkan benda-benda yang tampak tidak hidup—batu, atom, foton—memiliki bentuk kesadaran paling primitif atau “proto-kesadaran”⁵.

3)                  Kesadaran memiliki bentuk yang beragam tergantung pada kompleksitas struktur fisik.

Dalam organisme biologis seperti manusia, kesadaran muncul dalam bentuk pengalaman subjektif yang kompleks; sedangkan dalam entitas yang lebih sederhana, bentuk kesadarannya jauh lebih elementer dan tidak terartikulasi⁶.

4)                  Relasi antara bagian dan keseluruhan (part-whole relation) mempengaruhi bentuk manifestasi kesadaran.

Konsep ini sering dijelaskan dalam perdebatan mengenai combination problem, yaitu bagaimana kesadaran-kesadaran mikro dari partikel dasar dapat membentuk satu kesadaran makro dalam sistem yang kompleks⁷.

Penting untuk membedakan panpsikisme dari pandangan lain yang tampak serupa secara terminologis namun berbeda secara konseptual. Misalnya, animisme—yang mengatribusi jiwa pada benda-benda alam secara spiritual—lebih bersifat religius atau mitologis daripada filosofis. Sementara itu, idealisme, seperti dalam pandangan George Berkeley, menganggap bahwa realitas secara keseluruhan adalah mental, namun tidak mengakui adanya dimensi fisik yang berdiri sendiri. Panpsikisme, sebaliknya, membela realitas fisik namun menganggap bahwa unsur mental dan fisik merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi⁸.

Dengan demikian, panpsikisme hadir sebagai upaya untuk menjembatani jurang antara dua kutub ekstrem dalam filsafat pikiran: materialisme yang memandang kesadaran sebagai ilusi atau produk sampingan semata, dan idealisme yang mengingkari eksistensi materi. Ia menawarkan suatu bentuk realisme metafisik yang menyatukan kesadaran dan materi dalam satu kerangka ontologis yang koheren.


Footnotes

[1]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 2.

[2]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 4–5.

[3]                Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 40–41.

[4]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 55.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 113–114.

[6]                William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 12.

[7]                Philip Goff, William Seager, and David Skrbina, “The Combination Problem,” in The Routledge Handbook of Panpsychism, ed. William Seager (New York: Routledge, 2020), 251–269.

[8]                Skrbina, Panpsychism in the West, 6–8.


3.           Akar Historis dan Perkembangan Gagasan Panpsikisme

Gagasan panpsikisme tidak muncul sebagai konsep baru dalam filsafat, melainkan memiliki akar historis yang dalam dan beragam. Dari pemikiran kosmologis pra-Sokratik hingga spekulasi metafisik filsafat modern, doktrin ini menunjukkan kontinuitas ide mengenai kehadiran aspek mental atau kesadaran dalam seluruh entitas di alam semesta. Meskipun istilah panpsikisme sendiri baru dipopulerkan pada abad ke-19, ide dasarnya telah hidup dalam berbagai bentuk pemikiran filosofis sejak awal perkembangan intelektual manusia.

3.1.       Filsafat Yunani Kuno

Pemikiran awal yang dapat dikaitkan dengan panpsikisme muncul dalam filsafat pra-Sokratik. Thales dari Miletos (abad ke-6 SM), yang dianggap sebagai filsuf pertama dalam tradisi Barat, mengemukakan bahwa "segala sesuatu penuh dengan dewa" (πάντα πλήρη θεῶν)¹. Pernyataan ini sering ditafsirkan sebagai bentuk awal dari gagasan bahwa segala sesuatu memiliki prinsip hidup atau kesadaran, meskipun dalam bentuk yang sangat primitif.

Anaximenes, murid Thales, menyatakan bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu dan memiliki jiwa, menunjukkan upaya menjelaskan hubungan antara elemen fisik dan entitas hidup². Sedangkan Herakleitos mengajukan konsep logos sebagai prinsip rasional universal yang mengatur seluruh alam semesta, yang mengindikasikan suatu bentuk “kesadaran kosmik” yang terdistribusi di seluruh realitas³.

Plato kemudian membawa gagasan ini lebih jauh melalui Timaeus, di mana ia menyatakan bahwa dunia ini adalah makhluk hidup yang memiliki jiwa dunia (anima mundi)⁴. Konsep ini menjadi sangat berpengaruh dalam filsafat Neoplatonik, terutama dalam pemikiran Plotinus, yang membayangkan realitas sebagai emanasi dari Satu yang mencakup jiwa universal⁵.

3.2.       Abad Pertengahan dan Renaisans

Pada Abad Pertengahan, pemikiran tentang dunia yang hidup dan penuh kesadaran tetap bertahan melalui tradisi mistik dan metafisik. Namun, gagasan ini mendapatkan revitalisasi yang signifikan pada masa Renaisans. Giordano Bruno (1548–1600), seorang filsuf Italia, secara eksplisit menganut panpsikisme. Ia menolak dualisme Cartesian dan menyatakan bahwa alam semesta adalah satu substansi hidup yang memiliki jiwa, dan bahwa setiap bagian dari alam mengandung unsur kesadaran⁶. Pandangan Bruno menentang ortodoksi gerejawi saat itu dan menyebabkan ia dieksekusi karena ajaran-ajarannya dianggap sesat.

3.3.       Masa Modern: Leibniz dan Monadologi

Kontribusi besar bagi formulasi sistematis panpsikisme datang dari Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) melalui teori monadologi. Dalam Monadology, Leibniz mengemukakan bahwa realitas tersusun dari unit metafisik tak terbagi yang disebut monad, masing-masing dengan persepsi dan kehendak internalnya sendiri⁷. Meskipun tidak semua monad memiliki kesadaran reflektif seperti manusia, semua memiliki bentuk persepsi, menjadikan pandangan ini sebagai bentuk panpsikisme hierarkis.

Leibniz menolak mekanisme murni ala Descartes dan menggantikannya dengan pandangan bahwa realitas mengandung dimensi batiniah yang bersifat mental, dan dunia yang kita lihat adalah ekspresi lahiriah dari proses perseptif monadik⁸. Dengan ini, ia secara halus menempatkan kesadaran bukan sebagai produk dari interaksi material, tetapi sebagai struktur terdalam dari segala eksistensi.

3.4.       Pemikiran Kontemporer

Di era kontemporer, panpsikisme mengalami kebangkitan kembali sebagai tanggapan atas kegagalan materialisme eliminatif dan fisikalisme dalam menjelaskan “hard problem of consciousness” sebagaimana dirumuskan oleh David Chalmers⁹. Alfred North Whitehead, melalui Process and Reality, memperkenalkan pendekatan prosesual terhadap realitas yang menyatakan bahwa setiap entitas aktual memiliki pengalaman. Bagi Whitehead, “keberadaan adalah menjadi mengalami,” dan oleh karena itu tidak ada eksistensi yang sepenuhnya inert atau tanpa aspek mental¹⁰.

Filsuf-filsuf seperti Galen Strawson, Thomas Nagel, dan Philip Goff telah mengembangkan kembali panpsikisme dalam bentuk yang lebih sistematis. Strawson, misalnya, berargumen bahwa fakta bahwa kesadaran eksis berarti bahwa kesadaran harus dimasukkan ke dalam deskripsi dasar realitas fisik, dan bahwa fisikalisme sejati justru mengarah pada panpsikisme¹¹. Goff mengembangkan teori “panprotopsikisme”, yang menyatakan bahwa partikel fundamental memiliki sifat-sifat mental sederhana yang menjadi dasar bagi pengalaman kompleks¹².


Footnotes

[1]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 8.

[2]                Ibid., 10–11.

[3]                John Burnet, Early Greek Philosophy (London: A. & C. Black, 1908), 134–135.

[4]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 30b–37d.

[5]                Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1.2–5.

[6]                Hilary Gatti, Giordano Bruno and Renaissance Science (Ithaca: Cornell University Press, 2002), 121–124.

[7]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), §1–18.

[8]                Bertrand Russell, A Critical Exposition of the Philosophy of Leibniz (London: Routledge, 1992), 103–107.

[9]                David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.

[10]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–27.

[11]             Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 4–5.

[12]             Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 46–49.


4.           Panpsikisme dalam Konteks Ontologi

Dalam kerangka filsafat ontologi, pertanyaan fundamental yang diajukan adalah: Apa yang benar-benar ada? dan Apa hakikat keberadaan itu sendiri? Tradisi ontologi Barat telah lama terpolarisasi antara dua pendekatan besar: materialisme, yang menekankan bahwa realitas pada dasarnya bersifat fisik, dan idealisme, yang berpendapat bahwa segala sesuatu berakar pada kesadaran atau pikiran. Di tengah-tengah perdebatan ini, panpsikisme menawarkan paradigma alternatif yang menyatakan bahwa kesadaran bukanlah ilusi atau efek sampingan dari materi, melainkan aspek fundamental dan tak terelakkan dari eksistensi itu sendiri¹.

Panpsikisme memandang realitas sebagai tersusun dari entitas-entitas yang tidak hanya memiliki sifat fisik (massa, lokasi, energi), tetapi juga aspek fenomenal atau mental—yakni bentuk primitif dari pengalaman. Konsekuensinya, kesadaran dipahami bukan sebagai produk kompleksitas biologis, tetapi sebagai unsur ontologis primer yang membentuk struktur terdalam dari segala sesuatu². Dalam pandangan ini, tidak ada “benda mati” secara ontologis murni: setiap partikel atau sistem memiliki dimensi pengalaman, walau bersifat sangat sederhana dan tidak sadar dalam pengertian manusiawi³.

Dengan demikian, panpsikisme merevisi struktur ontologis tradisional yang mengasumsikan adanya entitas fisik yang sepenuhnya tak sadar. Sebaliknya, ia mengusulkan suatu bentuk dual-aspect monism, yakni pandangan bahwa setiap entitas memiliki dua aspek mendasar: aspek fisik dan aspek mental, yang tidak dapat direduksi satu sama lain⁴. Pendekatan ini tidak hanya menghindari dualisme kartesian yang memisahkan roh dan materi secara radikal, tetapi juga menolak fisikalisme yang mengabaikan dimensi subjektif eksistensi.

Dalam upaya menjelaskan realitas secara holistik, panpsikisme juga mengusulkan bahwa kesadaran bersifat tidak emergen secara ontologis, tetapi bersifat intrinsik. Artinya, tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa kesadaran tiba-tiba muncul dari entitas-entitas yang sama sekali tidak memiliki kesadaran. Sebagaimana dikatakan Galen Strawson, “kita harus mulai dari kenyataan bahwa kesadaran itu nyata dan tak dapat disangkal, dan segala teori ontologis yang mengabaikannya pasti cacat secara fundamental”⁵.

Panpsikisme juga mengundang kita untuk meninjau ulang ontologi relasional: bahwa eksistensi bukan sekadar kumpulan objek yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait melalui pengalaman dan persepsi. Dalam konteks ini, proses aktualisasi dan pengalaman menjadi inti dari menjadi-ada (being), sebagaimana dirumuskan oleh Alfred North Whitehead dalam filsafat prosesnya⁶. Dengan memandang realitas sebagai jaringan entitas yang saling memengaruhi secara fisik dan mental, panpsikisme membentuk suatu ontologi dinamis dan non-reduksionistik.

Lebih lanjut, panpsikisme mengusulkan bahwa kesadaran dan materi adalah dua sisi dari “koin eksistensial” yang sama, bukan dua substansi yang berbeda. Ini memberikan jalan tengah yang elegan dalam filsafat ontologi: satu sisi mengakui realitas fisik, sementara sisi lain menegaskan bahwa aspek mental tidak boleh diabaikan atau direduksi begitu saja. Dalam artian ini, panpsikisme tidak hanya menjadi solusi filosofis atas problematika kesadaran, tetapi juga sebagai revisi besar terhadap asumsi dasar tentang realitas itu sendiri⁷.

Implikasi dari pendekatan ontologis ini bersifat luas: dari redefinisi apa itu subjek, objek, dan interaksi, hingga reformulasi konsep entitas sebagai entitas yang mengalami. Dengan memasukkan kesadaran dalam fondasi realitas, panpsikisme menantang kita untuk berpikir ulang tentang sifat dasar dari segala eksistensi dan menumbuhkan keterbukaan terhadap paradigma filosofis yang lebih integratif.


Footnotes

[1]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 6–8.

[2]                Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 44–47.

[3]                William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 5–6.

[4]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 54–58.

[5]                Strawson, “Realistic Monism,” 11.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–28.

[7]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 20–24.


5.           Argumen-Argumen Pendukung Panpsikisme

Panpsikisme, sebagai suatu posisi metafisik yang menyatakan bahwa kesadaran bersifat fundamental dan universal, tidak hanya bersandar pada intuisi atau tradisi, tetapi juga pada serangkaian argumen filosofis dan refleksi ilmiah yang secara mendalam menantang asumsi dasar fisikalisme dan materialisme. Beberapa argumen utama yang mendukung panpsikisme dikembangkan sebagai tanggapan atas kesenjangan epistemologis dan metafisik dalam memahami fenomena kesadaran. Berikut adalah empat argumen kunci yang sering dikemukakan oleh para pendukung panpsikisme:

5.1.       Argumen dari Kesinambungan Evolusi (Continuity Argument)

Salah satu argumen klasik untuk panpsikisme bertumpu pada prinsip kesinambungan evolusioner. Menurut pandangan ini, jika kesadaran merupakan hasil dari proses evolusi alamiah, maka mustahil ia muncul secara tiba-tiba dan tanpa dasar dari materi yang sepenuhnya tidak sadar. Jika kesadaran manusia adalah hasil dari evolusi gradual, maka harus diasumsikan bahwa bentuk-bentuk proto-kesadaran atau kesadaran primitif telah ada dalam tahap-tahap awal realitas⁽¹⁾.

Filsuf seperti William James dan Charles Hartshorne telah mengajukan bahwa mustahil menjelaskan lompatan dari entitas tak sadar ke kesadaran penuh tanpa adanya kontinuitas kesadaran sepanjang struktur realitas⁽²⁾. Dalam kerangka ini, panpsikisme menawarkan solusi logis: bahwa kesadaran telah menjadi fitur yang menyertai realitas sejak awal, bukan sebagai emergensi tiba-tiba.

5.2.       Argumen dari Hard Problem of Consciousness

Istilah “hard problem of consciousness” dicetuskan oleh David Chalmers untuk menggambarkan kesenjangan antara penjelasan fisikal terhadap fungsi otak dan pengalaman subjektif yang menyertainya. Sementara pendekatan ilmiah dapat menjelaskan bagaimana otak memproses informasi, ia gagal menjawab mengapa proses tersebut disertai dengan pengalaman batin (qualia)⁽³⁾.

Panpsikisme, dalam hal ini, menghindari problematika emergentisme dengan menyatakan bahwa aspek pengalaman sudah inheren dalam realitas fisik itu sendiri. Dengan demikian, pengalaman subjektif bukanlah hasil dari kompleksitas, tetapi manifestasi dari sifat dasar entitas fisik yang memiliki sisi mental⁽⁴⁾.

5.3.       Argumen dari Kemustahilan Emergensi Eksperiensial

Argumen ini terkait erat dengan yang sebelumnya, namun lebih menekankan pada ketidakmungkinan emergensi ontologis yang radikal. Jika semua bagian penyusun suatu sistem (misalnya neuron) benar-benar tidak memiliki aspek mental, maka tidak masuk akal bahwa gabungan mereka dapat menghasilkan fenomena kesadaran. Hal ini dikenal sebagai “argument from radical emergence”⁽⁵⁾.

Sebagai tanggapan, panpsikisme menyatakan bahwa kesadaran tidak dapat muncul dari entitas yang sepenuhnya tak sadar. Maka dari itu, setiap partikel dasar harus sudah memiliki bentuk kesadaran primitif yang, melalui struktur dan hubungan tertentu, membentuk kesadaran yang lebih kompleks⁽⁶⁾. Ini merupakan solusi terhadap masalah kombinasi, yakni bagaimana kesadaran-kesadaran mikro membentuk satu kesadaran makro.

5.4.       Argumen dari Konsistensi Metafisik dan Sains Kontemporer

Sejumlah pemikir panpsikis modern seperti Galen Strawson dan Philip Goff berargumen bahwa panpsikisme lebih konsisten dengan naturalisme radikal dibandingkan materialisme. Strawson, misalnya, menyatakan bahwa jika kita mengakui realitas kesadaran sebagai fakta dunia, maka fisikalisme yang sejati harus memasukkan kesadaran dalam deskripsi dasar realitas⁽⁷⁾.

Selain itu, perkembangan dalam fisika kuantum yang menunjukkan perilaku non-deterministik dan keterkaitan sistem (entanglement), memberi ruang untuk interpretasi bahwa realitas memiliki dimensi subyektif atau “internal” yang belum terjamah oleh paradigma fisik klasik⁽⁸⁾. Meski bukan bukti langsung, banyak pendukung panpsikisme melihat bahwa sains kontemporer membuka kembali pertanyaan-pertanyaan metafisik yang mendalam tentang sifat realitas.


Kesimpulan Parsial

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa panpsikisme bukan sekadar spekulasi metafisik tanpa dasar, melainkan jawaban filosofis yang serius terhadap problem-problem fundamental dalam filsafat pikiran dan ontologi. Ia memberikan penjelasan non-reduktif tentang kesadaran, menawarkan konsistensi logis dalam kerangka evolusi, dan memperluas wawasan metafisika kita terhadap kemungkinan bahwa kesadaran adalah struktur terdalam dari eksistensi, bukan produk akhirnya.


Footnotes

[1]                William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 13.

[2]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 162–165.

[3]                David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.

[4]                Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 43–47.

[5]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 55.

[6]                William Seager and David Skrbina, “Panpsychism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2020 ed., https://plato.stanford.edu/entries/panpsychism/.

[7]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 4–5.

[8]                Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (New York: Springer, 2007), 89–94.


6.           Kritik terhadap Panpsikisme

Meskipun panpsikisme menawarkan pendekatan ontologis yang menarik dan alternatif terhadap dualisme serta materialisme reduksionistik, doktrin ini tidak luput dari berbagai kritik filosofis dan ilmiah. Sebagian besar kritik menyoroti problem konseptual, implikasi empiris, serta dugaan spekulatif yang melekat pada asumsi panpsikistik tentang hakikat kesadaran dan realitas. Berikut ini adalah beberapa kritik utama yang sering diajukan terhadap panpsikisme:

6.1.       Masalah Kombinasi (Combination Problem)

Salah satu kritik paling mendasar terhadap panpsikisme adalah masalah kombinasi, yaitu pertanyaan bagaimana kesadaran-kesadaran mikro dari entitas dasar (misalnya elektron atau quark) dapat menyatu menjadi kesadaran makro seperti pikiran manusia. Jika setiap partikel memiliki bentuk proto-kesadaran, bagaimana gabungan dari jutaan kesadaran kecil itu menghasilkan satu kesadaran terpadu dan koheren?

Filsuf William James telah lama menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa kesadaran dapat dijumlahkan seperti objek fisik⁽¹⁾. Galen Strawson sendiri, meskipun membela panpsikisme, mengakui bahwa masalah kombinasi merupakan tantangan yang sangat serius bagi doktrin ini⁽²⁾. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menjawabnya, seperti teori identitas holistik atau pendekatan panprotopsikisme, namun hingga kini belum ada konsensus filosofis yang meyakinkan.

6.2.       Tuduhan Spekulatif dan Kurangnya Dukungan Empiris

Panpsikisme juga dikritik sebagai sistem metafisik yang spekulatif dan tidak memiliki verifikasi empiris yang jelas. Karena kesadaran mikro pada partikel atau sistem sederhana tidak dapat diobservasi secara langsung, maka klaim bahwa semua entitas memiliki aspek mental dianggap tak terfalsifikasi.

Daniel Dennett, seorang materialis eliminatif terkemuka, mengecam pendekatan seperti panpsikisme sebagai “romantis, namun tidak berguna,” karena tidak menawarkan penjelasan operasional maupun manfaat prediktif dalam sains empiris⁽³⁾. Kritikus lainnya menilai bahwa panpsikisme cenderung mengaburkan perbedaan antara penjelasan filosofis dan mitos metafisik⁽⁴⁾.

6.3.       Ambiguitas Konseptual tentang Kesadaran Mikro

Kritik berikutnya berkaitan dengan ketidakjelasan definisional dari apa yang dimaksud dengan “proto-kesadaran” atau bentuk kesadaran mikro. Jika kesadaran dipahami sebagai pengalaman subjektif, maka sulit dijelaskan bagaimana partikel seperti elektron, yang tidak memiliki sistem saraf atau kapasitas kognitif, bisa memiliki pengalaman walaupun dalam tingkat dasar.

Sebagaimana dikemukakan oleh Barbara Montero, jika kita tidak dapat secara konseptual membedakan antara sistem yang sadar dan tidak sadar, maka konsep kesadaran menjadi terlalu longgar dan kehilangan makna analitiknya⁽⁵⁾. Ini menimbulkan risiko bahwa panpsikisme menjadi bentuk pan-nominalisme, di mana kesadaran menjadi sekadar label untuk segala hal, tanpa nilai eksploratif.

6.4.       Risiko Anthropomorfisme dan Mistifikasi Realitas

Beberapa kritikus menyatakan bahwa panpsikisme jatuh pada anthropomorfisme metafisik, yaitu kecenderungan untuk memproyeksikan atribut mental manusia ke dalam struktur realitas non-manusia. Dengan menyatakan bahwa semua benda “merasakan” atau memiliki pengalaman, ada kekhawatiran bahwa panpsikisme melanggar prinsip kesederhanaan ontologis (Occam’s razor)⁽⁶⁾.

Karl Popper juga memperingatkan terhadap “ilusi intelektual” yang muncul dari menyamakan sifat dasar realitas dengan kesadaran, yang berpotensi mengaburkan batas antara penjelasan ilmiah dan mistisisme filosofis⁽⁷⁾. Dalam hal ini, panpsikisme dianggap lebih sebagai “metafisika romantik” daripada teori ontologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

6.5.       Ketidakpraktisan dalam Kerangka Sains Alam

Dari perspektif ilmiah, panpsikisme sering dianggap tidak memberikan kontribusi konkret terhadap pengembangan teori-teori ilmiah, khususnya dalam bidang neurobiologi dan fisika. Karena panpsikisme tidak dapat diuji melalui metode eksperimen konvensional, banyak ilmuwan skeptis terhadap signifikansinya dalam sains kontemporer.

Seperti yang ditegaskan oleh Keith Frankish, "panpsikisme mungkin menawarkan kedamaian metafisik, tetapi ia tak memberi kita alat untuk memecahkan teka-teki kesadaran secara ilmiah."⁽⁸⁾. Dalam kerangka epistemologi sains, nilai suatu teori diukur dari daya jelajah dan kemampuannya dalam menghasilkan prediksi yang dapat diverifikasi—dimensi yang hingga kini masih kurang dalam panpsikisme.


Kesimpulan Parsial

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa panpsikisme, meskipun menarik secara konseptual dan menjawab kelemahan-kelemahan materialisme, tetap menghadapi tantangan serius dalam aspek koherensi logis, kejelasan definisional, serta validitas empiris. Namun demikian, kompleksitas kritik ini juga menandakan bahwa panpsikisme adalah doktrin yang layak untuk terus dikaji dan diuji dalam ranah ontologi dan filsafat pikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                William James, The Principles of Psychology, vol. 1 (New York: Henry Holt, 1890), 160–165.

[2]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 22–24.

[3]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Co., 1991), 455.

[4]                John Searle, The Mystery of Consciousness (New York: The New York Review of Books, 1997), 75–78.

[5]                Barbara Montero, “What Is the Problem with the Combination Problem?” in The Routledge Handbook of Panpsychism, ed. William Seager (New York: Routledge, 2020), 276–282.

[6]                Thomas Metzinger, “The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth of the Self” (New York: Basic Books, 2009), 83.

[7]                Karl Popper, The Self and Its Brain, co-authored with John C. Eccles (London: Routledge, 1977), 39–41.

[8]                Keith Frankish, “Illusionism as a Theory of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 23, no. 11–12 (2016): 11.


7.           Relevansi Panpsikisme dalam Diskursus Kontemporer

Dalam dekade-dekade terakhir, panpsikisme mengalami kebangkitan dalam wacana filsafat kontemporer, khususnya dalam filsafat pikiran, ontologi, dan interdisiplin ilmu yang mengkaji kesadaran. Di tengah kebuntuan yang dialami oleh paradigma fisikalis dalam menjelaskan fenomena kesadaran, panpsikisme menawarkan pendekatan alternatif yang berani dan integratif. Relevansinya tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga menyentuh aspek sains, etika, dan bahkan teknologi.

7.1.       Panpsikisme dan Filsafat Pikiran Kontemporer

Di ranah filsafat pikiran, panpsikisme menjadi respons serius terhadap “hard problem of consciousness” yang dikemukakan oleh David Chalmers—yakni persoalan mengapa dan bagaimana proses fisik menghasilkan pengalaman subjektif (qualia)¹. Ketika fisikalisme reduksionistik terbukti tidak mampu memberikan jawaban yang memadai terhadap eksistensi pengalaman batin, sejumlah filsuf mulai membuka ruang bagi posisi metafisik baru yang tidak mengabaikan kenyataan kesadaran itu sendiri.

Philip Goff, misalnya, mengembangkan pendekatan panprotopsikisme, yaitu bentuk panpsikisme yang menyatakan bahwa entitas dasar realitas memiliki sifat-sifat mental yang sangat sederhana, yang dalam konfigurasi tertentu menghasilkan pengalaman kompleks². Demikian pula Galen Strawson berargumen bahwa jika fisikalisme benar-benar menjelaskan segala sesuatu, maka ia harus mencakup kesadaran sebagai bagian dari hakikat fisik itu sendiri³.

7.2.       Peran dalam Perdebatan Filsafat Sains dan Metafisika Alam

Dalam diskursus filsafat sains, panpsikisme memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang batas-batas pengetahuan ilmiah. Ilmu modern, yang didasarkan pada observasi objektif, memiliki keterbatasan dalam mengakses aspek subjektif atau fenomenal dari realitas. Panpsikisme mengusulkan bahwa sains harus meluaskan kerangka ontologisnya untuk mencakup pengalaman sebagai bagian dari realitas yang sama validnya dengan struktur materi⁴.

Beberapa ilmuwan dan filsuf seperti Freya Mathews dan David Skrbina bahkan mengusulkan bahwa pendekatan panpsikis dapat menjembatani jurang antara sains dan metafisika dengan mengakui dua sisi realitas: yang dapat diukur secara objektif dan yang dialami secara subyektif⁵. Dalam konteks ini, panpsikisme tidak bertentangan dengan sains, melainkan melengkapi batas-batasnya melalui kerangka interpretatif yang lebih luas.

7.3.       Implikasi Etis dan Ekologis

Salah satu dimensi paling kuat dari panpsikisme dalam konteks kontemporer adalah implikasinya dalam etika lingkungan. Jika setiap aspek realitas memiliki bentuk kesadaran atau pengalaman, maka pandangan terhadap alam sebagai “objek mati” perlu direvisi secara radikal. Ini membuka landasan filosofis baru untuk pendekatan ekosentris yang mengakui nilai intrinsik dari setiap makhluk dan elemen alam, bukan hanya karena kegunaannya bagi manusia⁶.

Filsuf ekologi Freya Mathews menyatakan bahwa panpsikisme memungkinkan munculnya etika empati universal, di mana relasi manusia dengan semesta tidak lagi bersifat eksploitatif, melainkan relasional dan penuh hormat⁷. Ini sejalan dengan kesadaran global akan krisis iklim dan kebutuhan untuk merumuskan paradigma yang lebih inklusif dalam melihat kehidupan dan keberlanjutan planet.

7.4.       Keterkaitan dengan Teknologi dan Studi Kecerdasan Buatan

Dalam ranah teknologi dan kecerdasan buatan (AI), panpsikisme menghadirkan perdebatan penting mengenai batas-batas kesadaran buatan. Jika kesadaran merupakan properti yang melekat pada struktur realitas, maka muncul pertanyaan apakah sistem buatan seperti komputer atau robot dapat benar-benar memiliki pengalaman subjektif, atau hanya mensimulasikannya⁸. Hal ini berdampak pada perumusan etika AI dan tanggung jawab moral dalam desain sistem cerdas.

Beberapa pemikir seperti Thomas Metzinger memperingatkan bahwa pemahaman dangkal tentang kesadaran dalam teknologi berisiko menghasilkan "simulakra moral"—entitas yang tampak sadar tetapi sesungguhnya tidak memilikinya⁹. Panpsikisme dapat menawarkan kerangka filosofis untuk membedakan antara kesadaran sejati dan simulasi kognitif, serta untuk merumuskan pendekatan baru dalam pengembangan teknologi yang menghormati kompleksitas ontologis kehidupan.

7.5.       Resonansi dalam Wacana Lintas Disiplin

Relevansi panpsikisme juga terasa dalam wacana lintas disiplin antara filsafat, psikologi transpersonal, teologi, dan bahkan seni. Gagasan bahwa alam semesta memiliki dimensi batiniah membuka ruang bagi dialog antara mistisisme dan filsafat kritis, antara spiritualitas dan sains, serta antara puitika dan ontologi. Ini menciptakan medan interkoneksi konseptual yang berpotensi memperkaya cara manusia memahami dirinya dan dunianya¹⁰.

Dengan demikian, panpsikisme tidak hanya menjadi topik spekulatif dalam metafisika, tetapi menjelma sebagai pusat wacana kritis dan kreatif dalam menjawab tantangan eksistensial zaman kontemporer.


Footnotes

[1]                David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.

[2]                Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 43–48.

[3]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 3–31.

[4]                William Seager, The Routledge Handbook of Panpsychism (New York: Routledge, 2020), 9–12.

[5]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 203–210.

[6]                Freya Mathews, For Love of Matter: A Contemporary Panpsychism (Albany: SUNY Press, 2003), 87–90.

[7]                Ibid., 115–118.

[8]                Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If AI Has Become Self-Aware,” Scientific American, November 2019.

[9]                Thomas Metzinger, “The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth of the Self” (New York: Basic Books, 2009), 127–130.

[10]             Jorge Ferrer, Revisioning Transpersonal Theory: A Participatory Vision of Human Spirituality (Albany: SUNY Press, 2002), 56–61.


8.           Kesimpulan

Panpsikisme, sebagai sebuah doktrin ontologis, mengusulkan bahwa kesadaran bukanlah produk sampingan dari kompleksitas biologis, tetapi merupakan fitur mendasar dan universal dari realitas itu sendiri. Di tengah kebuntuan pendekatan reduksionistik dalam menjelaskan fenomena batiniah manusia, panpsikisme menghadirkan kerangka alternatif yang mampu menyatukan aspek fisik dan mental dalam satu kesatuan metafisik yang lebih utuh dan holistik.

Sepanjang pembahasan ini, telah dijelaskan bahwa akar historis panpsikisme berakar sejak era pra-Sokratik dan terus berkembang melalui pemikiran Plato, Leibniz, hingga filsuf kontemporer seperti Alfred North Whitehead dan Philip Goff¹. Ide pokok bahwa setiap entitas, betapapun sederhananya, memiliki sisi pengalaman atau proto-kesadaran, memungkinkan filsafat menjelaskan kontinuitas eksistensial dari materi tak hidup hingga kehidupan berpikir.

Secara ontologis, panpsikisme menentang dikotomi kaku antara materi dan pikiran. Alih-alih mempertahankan dualisme atau menundukkan mentalitas kepada fisik, panpsikisme menyarankan bahwa setiap entitas memiliki aspek fisik dan mental secara bersamaan, sebagaimana dijelaskan dalam konsep dual-aspect monism². Posisi ini tidak hanya menawarkan koherensi filosofis yang lebih baik terhadap keberadaan kesadaran, tetapi juga memperluas cakrawala ontologi ke arah yang lebih inklusif dan transformatif.

Argumen-argumen pendukung panpsikisme, seperti argumen dari kesinambungan evolusi, problem emergensi, dan hard problem of consciousness, menunjukkan bahwa teori ini memiliki kekuatan penjelas (explanatory power) yang kuat terhadap fenomena kesadaran, dibandingkan posisi fisikalisme murni³. Namun demikian, panpsikisme bukan tanpa kritik. Masalah kombinasi, tuduhan spekulatif, dan ketidakjelasan definisional menjadi tantangan serius yang menuntut eksplorasi konseptual yang lebih dalam⁴.

Meskipun demikian, dalam wacana kontemporer, panpsikisme terbukti semakin relevan dan berpengaruh, baik dalam filsafat pikiran, filsafat sains, etika lingkungan, maupun diskursus teknologi dan AI⁵. Kemampuannya untuk menjembatani dimensi-dimensi ontologis yang selama ini terfragmentasi menjadikan panpsikisme bukan sekadar hipotesis metafisik, melainkan tawaran epistemologis yang membuka horizon baru dalam memahami realitas.

Dengan demikian, panpsikisme tidak hanya menantang pandangan lama tentang dunia sebagai objek inert, tetapi juga mengundang manusia untuk merefleksikan posisinya dalam kosmos secara lebih empatik, relasional, dan sadar. Dalam dunia yang tengah mengalami krisis spiritual, ekologis, dan eksistensial, panpsikisme menawarkan kemungkinan untuk menata ulang cara pandang terhadap realitas, kehidupan, dan kebermaknaan⁶.


Footnotes

[1]                David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge, MA: MIT Press, 2005), 15–22; Philip Goff, Consciousness and Fundamental Reality (Oxford: Oxford University Press, 2017), 36–41.

[2]                Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 9–12.

[3]                David J. Chalmers, “Facing Up to the Problem of Consciousness,” Journal of Consciousness Studies 2, no. 3 (1995): 200–219.

[4]                William James, The Principles of Psychology, vol. 1 (New York: Henry Holt, 1890), 160–165; Barbara Montero, “What Is the Problem with the Combination Problem?” in The Routledge Handbook of Panpsychism, ed. William Seager (New York: Routledge, 2020), 276–282.

[5]                Freya Mathews, For Love of Matter: A Contemporary Panpsychism (Albany: SUNY Press, 2003), 112–118; Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If AI Has Become Self-Aware,” Scientific American, November 2019.

[6]                Jorge Ferrer, Revisioning Transpersonal Theory: A Participatory Vision of Human Spirituality (Albany: SUNY Press, 2002), 60–64.


Daftar Pustaka

Burnet, J. (1908). Early Greek philosophy. A. & C. Black.

Chalmers, D. J. (1995). Facing up to the problem of consciousness. Journal of Consciousness Studies, 2(3), 200–219.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Co.

Ferrer, J. N. (2002). Revisioning transpersonal theory: A participatory vision of human spirituality. State University of New York Press.

Frankish, K. (2016). Illusionism as a theory of consciousness. Journal of Consciousness Studies, 23(11–12), 11–39.

Goff, P. (2017). Consciousness and fundamental reality. Oxford University Press.

Goff, P. (2019). Galileo’s error: Foundations for a new science of consciousness. Pantheon Books.

Goff, P., Seager, W., & Skrbina, D. (2020). The combination problem. In W. Seager (Ed.), The Routledge handbook of panpsychism (pp. 251–269). Routledge.

James, W. (1890). The principles of psychology (Vol. 1). Henry Holt.

Leibniz, G. W. (1991). Monadology (N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.

Mathews, F. (2003). For love of matter: A contemporary panpsychism. State University of New York Press.

Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. Basic Books.

Montero, B. (2020). What is the problem with the combination problem? In W. Seager (Ed.), The Routledge handbook of panpsychism (pp. 276–282). Routledge.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false. Oxford University Press.

Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). Hackett Publishing.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Classics.

Popper, K. R., & Eccles, J. C. (1977). The self and its brain. Routledge.

Russell, B. (1992). A critical exposition of the philosophy of Leibniz. Routledge.

Schneider, S., & Turner, E. (2019, November). Is anyone home? A way to find out if AI has become self-aware. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/

Seager, W. (Ed.). (2020). The Routledge handbook of panpsychism. Routledge.

Searle, J. (1997). The mystery of consciousness. The New York Review of Books.

Skrbina, D. (2005). Panpsychism in the West. MIT Press.

Stapp, H. P. (2007). Mindful universe: Quantum mechanics and the participating observer. Springer.

Strawson, G. (2006). Realistic monism: Why physicalism entails panpsychism. Journal of Consciousness Studies, 13(10–11), 3–31.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar